Anda di halaman 1dari 31

JOURNAL READING

Tinjauan mengenai Epidemiologi Miopia pada Anak Usia Sekolah di


Seluruh Dunia

DISUSUN OLEH :
Rebecca Gracella Atmaja
G992003124

PEMBIMBING
dr Retno Widiati, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK/PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2020

1
Abstrak

Latar Belakang : Karena prevalensi miopia yang tinggi, studi epidemiologi menjadi
penting untuk dilakukan. Anak-anak dengan onset dini memiliki risiko komplikasi
tertentu yang terkait dengan miopia, karena perkembangan dari waktu ke waktu dapat
menyebabkan miopia berat dan degenerasi makula miopik. Baik faktor genetik maupun
lingkungan berperan dalam peningkatan prevalensi miopia. Penelitian ini bertujuan untuk
meninjau literatur terkini tentang epidemiologi dan faktor risiko miopia pada anak usia
sekolah (usia 6 tahun - 19 tahun) di seluruh dunia.

Metode : PubMed dan Medline dicari dengan kata kunci berikut: prevalensi, kejadian,
miopia, kelainan refraksi, faktor risiko, anak-anak dan gangguan penglihatan. Artikel
berbahasa Inggris yang diterbitkan antara Januari 2013 dan Maret 2019 disertakan dalam
penelitian ini. Studi ditinjau secara kritis untuk metodologi penelitian dan ketahanan data.
Delapan puluh studi dimasukkan dalam tinjauan pustaka ini.

Hasil : Prevalensi miopia tetap lebih tinggi di Asia (60%) dibandingkan dengan Eropa
(40%) menggunakan pemeriksaan refraksi sikloplegik. Studi yang melaporkan
pengukuran non-sikloplegik menunjukkan tingkat prevalensi miopia yang sangat tinggi
pada anak sekolah di Asia Timur (73%), dan tingkat yang tinggi di Amerika Utara (42%).
Prevalensi rendah di bawah 10% didapatkan pada anak-anak Afrika dan Amerika Selatan.
Dalam studi terbaru, faktor risiko miopia pada anak sekolah meliputi waktu untuk berada
di luar ruangan yang sedikit, penggunaan cahaya yang tidak adekuat/ redup, penggunaan
lampu LED untuk pekerjaan rumah, jam tidur yang kurang, jarak baca kurang dari 25 cm,
dan tinggal di lingkungan urban/perkotaan.

Kesimpulan : Rendahnya aktivitas di luar ruangan dan di dekat tempat kerja merupakan
faktor risiko untuk miopia; tinjauan ini memberikan bukti tentang faktor risiko
lingkungan tambahan. Studi epidemiologi baru harus dilakukan pada implementasi
strategi kesehatan masyarakat untuk mengatasi dan menghindari miopia. Karena tingkat
prevalensi miopia pada penelitian non-sikloplegik terlalu tinggi, kami merekomendasikan
untuk hanya mempertimbangkan pengukuran sikloplegik.

2
Kata Kunci : Miopia, Epidemiologi, Faktor Risiko, Anak-anak

3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan miopia modern mencerminkan tren di mana anak-anak di banyak
negara menghabiskan banyak waktu untuk membaca, belajar, atau - baru-baru ini -
menggunakan komputer dan smartphone. Bukti menunjukkan bahwa tidak hanya faktor
1-4
genetik, tetapi juga faktor lingkungan seperti waktu yang dihabiskan di luar ruangan ,
memainkan peran utama dalam peningkatan ini, dan mungkin menjelaskan epidemi
miopia yang telah muncul di Asia Timur. Di belahan dunia lain, prevalensi miopia juga
nampaknya meningkat. Oleh karena itu, miopia menjadi sangat penting dalam studi
epidemiologi. Diperkirakan 1,4 miliar orang rabun pada tahun 2000, dan diperkirakan
pada tahun 2050 jumlahnya akan mencapai 4,8 miliar 5. Secara sosial ekonomi, kelainan
refraksi, terutama jika tidak diperbaiki, dapat mempengaruhi kinerja sekolah, membatasi
kelayakan kerja dan merusak kualitas hidup. Miopia diketahui berhubungan dengan
beberapa komplikasi mata seperti ablasi retina, glaukoma, katarak, perubahan diskus
optikus, dan makulopati 6. Tingkat prevalensi yang tinggi menjadi tantangan kesehatan
terutama bagi masyarakat karena gangguan penglihatan. Potensi hilangnya produktivitas
global yang terkait dengan beban tunanetra pada tahun 2015 diperkirakan mencapai US$
244 miliar dari miopia yang tidak dikoreksi, dan US$ 6 miliar akibat degenerasi makula
miopik 7. Anak-anak dengan miopia awitan dini adalah kelompok yang berisiko besar
karena mereka akan memiliki durasi penyakit yang lebih panjang, perkembangan miopia
yang lebih tinggi dan akan berisiko menjadi miopia berat ditambah dengan degenerasi
makula miopik. Usia onset miopia atau durasi perkembangan miopia adalah indikator
prognosis paling signifikan dari miopia tinggi di masa kanak-kanak 8.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan tinjauan terkini tentang epidemiologi
dan faktor risiko miopia pada anak sekolah usia 6 tahun - 19 tahun.

4
BAGIAN UTAMA
METODOLOGI
Pencarian Literatur
Literatur dari PubMed dan Medline dicari untuk mengidentifikasi prevalensi miopia pada
anak-anak, seperti yang dilaporkan dalam artikel antara bulan Januari 2013 dan Maret
2019. Kata kunci berikut digunakan dalam berbagai kombinasi: prevalensi, insidensi,
miopia, kelainan refraksi, dan gangguan penglihatan ((“prevalensi”[Semua Bidang]
ATAU “insidensi”[Semua Bidang]) DAN ( “gangguan refraksi”[Semua Bidang] ATAU
“miopia”[Semua Bidang] ATAU“gangguan penglihatan”[Semua bidang] )). Semua
publikasi dalam bahasa Inggris dan abstrak dari publikasi non-Inggris telah ditinjau.
Daftar referensi publikasi yang relevan juga dianggap sebagai sumber informasi yang
potensial. Jika ada penelitian lain (misalnya yang sudah lebih dari 5 tahun yang lalu)
yang dianggap penting untuk membuat kesimpulan, maka akan dimasukkan dalam bagian
diskusi. Studi ditinjau secara kritis untuk bagian metodologi dan kekuatan data, secara
khusus definisi miopia dan pengukurannya dengan siklopegik. Tidak ada upaya untuk
mencari data yang belum dipublikasikan.

Seleksi Literatur
Artikel lengkap yang termasuk dalam analisis prevalensi diharuskan memenuhi kriteria
berikut: 1) desain potong lintang (cross sectional) atau kohort, 2) pengukuran kelainan
refraksi yang dilakukan menggunakan refraktometer, 3) definisi miopia yang jelas dan
informasi tentang pengukuran dengan sikloplegik atau tanpa sikloplegik, 4) Prevalensi
dinilai pada anak usia 6 tahun - 19 tahun, 5) studi dengan sampel minimal 100 anak. Jika
lebih dari satu definisi miopia digunakan dalam sebuah penelitian, maka yang lebih
umum digunakan dipilih supaya lebih memungkinkan untuk dilakukan perbandingan.
Hasil hingga dua kelompok usia disajikan, dan jika data untuk lebih dari dua kelompok
dilaporkan, maka digunakan rata-ratanya atau memilih kelompok usia yang paling umum.
Literatur akan dieksklusikan dari analisis prevalensi jika menggunakan rabun jauh yang
self-reported, melaporkan prevalensi gangguan penglihatan selain miopia atau jika
dilakukan juga pada hewan.

5
HASIL
Proses pencarian dilakukan dengan mengidentifikasi 1627 artikel yang unik. Dua puluh
delapan artikel memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam analisis utama (prevalensi
miopia). Satu studi dieksklusikan, karena menyajikan data dari klinik optometri
perawatan primer 9. Selain itu, ada 55 artikel ikut dimasukkan dalam analisis faktor
risiko.

Prevalensi miopia pada anak sekolah


Prevalensi miopia ditentukan oleh refraksi ekuivalen sferikal/ spherical equivalent
refraction (SER) yang dihitung sebagai berikut: sferis ditambah setengah dari silinder.
Prevalensi miopia dilaporkan pada Tabel 1 (daftar studi ada di file tambahan 1 ), dengan
rincian geografis dan usia pada Gambar. 1 (pengukuran sikloplegik) dan Gambar. 2
(pengukuran non-sikloplegik). Prevalensi berkisar dari 0,7% di Arab Saudi (anak-anak
berusia 3 sampai 10 tahun) 35, 1,4% di Amerika Selatan (anak-anak berusia 5 tahun - 15
tahun) 28 dan 65,5% dalam kelompok siswa sekolah menengah pertama tahun ketiga (usia
14 tahun – 15 tahun; dengan rata-rata 15.25 ± 0.46 tahun) di distrik Haidian di Beijing.
Prevalensi miopia tertinggi pada anak sekolah dilaporkan di Asia Timur dan Singapura,
daerah perkotaan Cina, Taiwan dan Korea Selatan 39,40. Di Eropa, prevalensinya mencapai
42,7% dalam 10-19 tahun studi kohort di Perancis 24. Dibandingkan dengan pengukuran
dengan siklopegik, mayoritas penelitian prevalensi miopia yang diukur tanpa siklopegik
melaporkan tingkat prevalensi yang jauh lebih tinggi. Misalnya, prevalensi setinggi 73%
33
ditemukan pada anak-anak Korea Selatan yang berusia 12 sampai 18 tahun . Namun,
ada beberapa negara yang angka prevalensinya masih rendah, seperti Brazil (3,14 dan
26,27 25
9,6%) dan Ghana (3,4%) . Di negara-negara tersebut bahkan ketika
mempertimbangkan pengukuran non-sikloplegik yang estimasinya dilebihkan, prevalensi
38
miopia pada anak sekolah tetap rendah, misalnya di Republik Afrika Selatan (7%) atau
25,37
di Kolombia (11,2%) . Carter dkk. juga menemukan prevalensi miopia yang sangat
rendah (dengan hiperopia yang relatif lebih umum dijumpai) pada anak sekolah si
Paraguay (1,4%) 28.
Parameter penting untuk menganalisis epidemiologi miopia adalah usia, karena
tingkat prevalensi miopia diketahui meningkat secara signifikan seiring bertambahnya
usia (Tabel 1 ). Misalnya, dalam Studi Mata Anak-Anak Shandong, hanya 1,76 ± 1,2%

6
dari anak-anak berusia empat tahun yang mengalami miopia, sedangkan pada usia 17
tahun prevalensinya sebanyak 84,6 ± 3,2% 14. Dalam penelitian lain, dalam satu tahun,
kejadian miopia di antara siswa kelas 1 sekolah dasar (usia 6-7 tahun) di Cina adalah
33,6% (95% CI: 31.7 - 35.%), dengan tingkat progresi -0,97 D (95% CI: - 1,22 hingga
41
-0,71 D) . Selain itu, miopia yang dimulai di usia sekolah bersifat progresif hingga
dewasa pada hampir setengah dari jumlah pasien yang diteliti 42.

7
Perubahan seiring waktu
Di beberapa negara, prevalensi miopia meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam
sebuah penelitian dari Distrik Haidian di Beijing, Cina, prevalensi miopia pada anak
sekolah berusia 15 tahun meningkat dari 55,95% pada tahun 2005 menjadi 65,48% pada
tahun 2015 10. Di kota Fenghua, Cina bagian timur, prevalensi miopia pada siswa sekolah
menengah meningkat dari 79,5% pada tahun 2001 menjadi 87,7% pada tahun 2015, dan
adanya miopia berat (SER lebih besar dari - 6,0 D) merupakan kontributor utama
peningkatan ini 43. Di Cina Barat tidak hanya prevalensi miopia meningkat, tetapi juga
progresivitas miopia tahunan baru-baru ini dicatat 13. Studi Mata Waterloo menunjukkan
prevalensi peningkatan derajat miopia jangka panjang di Amerika Serikat 36. Prevalensi
mencapai angka 42,4% pada anak usia 10 sampai 15 tahun, dan 53,9% pada anak usia 15
sampai 20 tahun; hal ini secara signifikan lebih tinggi dari peak value 21% (pada mereka
yang berusia 20 tahun - 30 tahun) yang dilaporkan dalam studi komparatif pada tahun
1982 43.

8
Tabel 1. Studi cross-sectional prevalensi miopia pada anak sekolah dengan siklopegik

9
Tabel 1. Studi cross-sectional prevalensi miopia pada anak sekolah tanpa siklopegik

10
Gambar 1. Rincian geografis dan persebaran usia pada prevalensi miopia (dengan sikloplegik)

11
Gambar 2. Rincian geografis dan persebaran usia pada prevalensi miopia (tanpa siklopegik)

12
Faktor Risiko
Faktor risiko yang mempengaruhi prevalensi miopia disajikan pada Tabel 2. Ada
beberapa faktor risiko yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi seperti
orang tua yang miopia, perbedaan etnis, lebih sedikit waktu di luar rumah, jarak baca
yang semakin dekat, kepadatan penduduk dan status sosial ekonomi.

Orang tua yang miopia


Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lim et al., anak-anak (usia 6 - 18 tahun) yang
kedua orang tuanya rabun memiliki kelainan refraksi rata-rata - 2,33 D dan odds ratio
mengalami miopia di masa kanak-kanak dengan dua orang tua miopia adalah 2,83,
dibandingkan dengan anak yang kedua orangtuanya tanpa miopia 45. Meski faktor genetik
berdampak pada pertumbuhan mata, perkembangan miopia tampaknya terutama
49
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti pendidikan . Data dari Handan Offspring
Myopia Study menunjukkan pada anak-anak usia 14 tahun memiliki keadaan refraksi
mirip dengan orang tua mereka 16. Myopic shift antargenerasi diperkirakan hanya terjadi 1
hari pada usia 18 tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa faktor lingkungan
49
seperti pendidikan mempengaruhi emmetropisasi . Melihat kelainan refraksi antar
saudara dalam 700 keluarga di Amerika Serikat, Jones-Jordan et al. menemukan bahwa
faktor lingkungan mengurangi perkiraan korelasi kesalahan bias di antara saudara
50
kandung yang hanya 0,5% . Hal ini dikonfirmasi oleh Collaborative Longitudinal
51
Evaluation of Ethnicity and Refractive Error Study . Kelainan refraksi lebih sedikit
untuk hiperopia dan lebih banyak miopia pada usia 7 sampai 13 tahun yang secara
konsisten dikaitkan dengan onset miopia, sementara untuk faktor orang tua yang rabun,
tempat bekerja yang dekat, dan waktu di luar ruangan tidak berpengaruh. Studi The
Sydney Adolescent Vascular and Eye Study (SAVES) mengungkapkan bahwa miopia
pada orang tua merupakan faktor risiko miopia untuk anak-anak pada onset usia 6 tahun,
tetapi tidak pada kelompok usia 12 tahun 29.
Sebuah studi baru-baru ini dari Belanda menemukan tujuh parameter independen yang
terkait dengan pemanjangan aksial/ aksial elongation (AL) yang lebih cepat pada anak-anak usia
6 hingga 9 tahun: miopia orang tua, 1 atau lebih buku yang dibaca per minggu, waktu yang
dihabiskan untuk membaca, tidak aktif olahraga, etnis non-Eropa, lebih sedikit waktu yang
dihabiskan di luar ruangan, dan rasio dasar AL-toCorneal Radius 52.

13
Tabel 2. Faktor risiko prevalensi miopia pada studi analisis

Berdasarkan hasil yang disebutkan di atas, penulis menyarankan bahwa perubahan


perilaku adalah yang paling penting pada pencegahan miopia pada anak-anak yang harus
dipertimbangkan.

Waktu untuk berada di luar ruangan


Waktu di luar ruangan telah terbukti menjadi faktor lingkungan yang berpengaruh kuat
dalam menunda timbulnya miopia. The Sydney Adolescent Vascular and Eye Study
(SAVES) mengevaluasi faktor risiko kejadian miopia pada anak sekolah Australia selama

14
5 tahun. Periode penelitian selama 6 tahun dan dibagi dalam 2 kelompok berikut: lebih
muda ( n = 892; berusia 6 tahun pada saat dilakukan penelitian) dan lebih tua ( n = 1211;
29
berusia 12 tahun pada saat mulai dilakukan penelitian) . Anak-anak yang miopia
ternyata menghabiskan lebih sedikit waktu di luar rumah dibandingkan dengan mereka
yang tetap tidak menderita miopik (16,3 jam dibanding 21,0 jam pada kelompok yang
lebih muda, p < 0,0001; dan 17,2 jam dibanding 19,6 jam pada kelompok yang lebih tua,
p = 0,001). Tidak sejalan dengan hasil SAVES, penelitian The Avon Longitudinal Study
of Parents and Children menyatakan hubungan negatif antara waktu berada di luar
ruangan dan miopia. Tambahan waktu di luar ruangan dalam rentang usia 3 hingga 9
53
tahun dikaitkan dengan penurunan insidensi miopia pada usia 10 hingga 15 tahun .
Studi lain menunjukkan bahwa pola paparan cahaya di luar ruangan setiap hari berbeda
secara substansial di antara anak-anak Australia (105 ± 42 menit / hari) dan Singapura
(61 ± 40 menit / hari; p = 0,005) 54.
Perkembangan miopia tidak terkait erat dengan jarak tempat bekerja yang dekat,
aktivitas luar ruangan / olahraga pada saudara kandung dengan paparan lingkungan yang
sama 50. Dari sebuah uji klinis acak/ randomized clinical trial (RCT) oleh He et al., kelas
yang diadakan di luar ruangan selama 40 menit pada setiap hari sekolah selama 3 tahun
menghasilkan penurunan insidensi miopia dari 39,5% menjadi 30,4% 1. Sebuah RCT
baru-baru ini menunjukkan bahwa aktivitas di luar ruangan dapat menghambat
progresivitas rabun pada anak-anak yang berusia 6 sampai 7 tahun sebesar 30% dalam 1
tahun 2. Hasil ini mungkin menunjukkan bahwa pasien yang berisiko miopia berat
memerlukan sejumlah perawatan untuk mengendalikan kondisinya, termasuk perubahan
gaya hidup (peningkatan waktu beraktivitas di luar ruangan) dan pengobatan dengan tetes
mata atropin, lensa kontak progresif atau ortokeratologi. Hasil menarik disajikan dalam
studi terbaru pada remaja ras Kaukasian di Norwegia yang berusia 16-19 tahun ( n = 393)
yang tinggal di 60° LU, di mana musim gugur-musim dingin disana 50 hari lebih lama
55
dari musim panas . Dari hasil penelitian, total waktu yang dihabiskan mereka untuk
melakukan kegiatan di luar ruangan tidak terkait dengan miopia (3,65 ± 1,5 jam pada
miopia, dan 3,81 ± 1,9 pada non miopia, p = 0.64). Selain itu, prevalensi miopia cukup
rendah (13% untuk SER ≤ - 0,5 D), meskipun waktu siang hari yang lebih pendek di
periode musim gugur-musim dingin (10 jam 36 menit - 11 jam 5 menit) dan aktivitas

15
55
dalam ruangan tingkat tinggi dan di dekat tempat kerja . Mekanisme dasar yang
disepakati secara umum dari waktu yang dihabiskan di luar ruangan yang diusulkan oleh
para peneliti didasarkan pada rilisnya dopamin retinal yang mengontrol regenerasi sel di
sklera. Pengamatan genetik menambah keyakinan pada gagasan saat ini bahwa miopia
disebabkan oleh kaskade sinyal retina-ke-sklera yang menginduksi remodeling skleral
56
sebagai respons terhadap rangsangan cahaya . Namun, ada kemungkinan bahwa
57
variabel lain dapat mempengaruhi emmetropisasi, termasuk sinar ultraviolet dan blue-
58
light . Selain itu, tinjauan sistematis baru-baru ini menemukan bahwa konsentrasi
vitamin D darah yang lebih rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko miopia; di sisi
lain, kadar vitamin D serum mungkin hanya mewakili waktu berada di luar ruangan 59.
Jarak pandang juga jauh lebih besar di luar ruangan, dengan persyaratan akomodatif yang
lebih kecil serta memberikan ruang dioptrik yang lebih seragam 60,61.
The Childhood Health, Activity, and Motor Performance Eye Study menentukan
hubungan antara aktivitas fisik dan miopia; dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 307
anak-anak Denmark pengukuran akselerometer dilakukan pada usia rata-rata 9.7, 11.0,
12.9, dan 15.4 tahun 22. Prevalensi miopia pada titik waktu terakhir adalah 17,9% dan
tidak terkait dengan aktivitas fisik. Dalam kohort Amerika, olahraga dikaitkan dengan
tingkat miopia yang lebih rendah 62. Tideman dkk. menemukan bahwa anak-anak rabun
(n = 5711, anak usia enam tahun) di Eropa menghabiskan lebih sedikit waktu di luar
rumah, memiliki vitamin D3 lebih rendah dan indeks massa tubuh lebih tinggi daripada
anak yang tidak rabun 23. Demikian pula, Terasaki et al. menganalisis faktor gaya hidup
yang terkait dengan perkembangan miopia pada siswa sekolah dasar tahun ketiga di
46
Jepang . Berat badan berlebih, parental miopia dan kebiasaan diet western foods
dikaitkan dengan peningkatan prevalensi miopia.
Di Finlandia, miopia yang lebih tinggi selama kedewasaan dikaitkan dengan
miopi orang tua, lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk olahraga dan aktivitas luar
42
ruangan selama tahun sekolah . Namun, lebih sedikit waktu yang dihabiskan untuk
olahraga mungkin juga merupakan kausa dari aktivitas luar ruangan yang rendah.
Investigasi terbaru lainnya melaporkan hubungan antara miopia dan BMI, dengan anak-
63
anak obesitas memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan miopia . Hasil ini
harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena anak-anak obesitas mungkin kurang

16
terlibat dalam olahraga dan aktivitas luar ruangan, karena ini mungkin merupakan faktor
perancu yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Hal tersebut merupakan faktor risiko
penting dan berpotensi dapat menjadi target upaya kesehatan masyarakat di masa
mendatang, yang melibatkan perlindungan anak tidak hanya dari miopia, tetapi juga dari
perilaku tidak sehat lainnya yang dapat berdampak pada kesehatan.
Penerjemahan literatur penelitian mengenai waktu aktivitas di luar ruangan,
hingga praktik klinis juga berkembang pesat. Kuesioner terbaru yang diterapkan pada
dokter mata anak di seluruh dunia menunjukkan bahwa 86% responden menyarankan
anak-anak dengan miopia untuk menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah 64.

Jarak baca yang dekat


Studi SAVES mengungkapkan bahwa jarak baca yang dekat merupakan faktor risiko
miopia tetapi hanya untuk anak-anak berusia 6 tahun, dan tidak pada kelompok usia 12
tahun 29. Hasil ini mungkin menunjukkan bahwa jarak baca yang dekat dapat menjadi
faktor untuk memicu timbulnya miopia lebih dini pada anak-anak. Mungkin ada
perbedaan dalam mekanisme pengaturan perkembangan antara miopia onset awal dan
miopia onset selanjutnya. Anak-anak yang relatif lebih rabun rabun ternyata secara
signifikan memiliki jarak baca yang relatif dekat (19,4 vs 17,6), yang secara statistik
signifikan ( p = 0,02), namun, hubungannya lebih rendah daripada aktivitas di luar
ruangan. Kombinasi dari kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi perkembangan
miopia. Jarak membaca yang lebih pendek dan miopia yang lebih tinggi pada ujian awal
(1 tahun sebelum penilaian akhir) adalah faktor risiko perkembangan miopia dalam
kelompok sekolah dasar kelas dua (usia 7 tahun). - 8 tahun) anak-anak di Taipei 47. Dalam
penelitian ini, perkembangan miopia yang cepat pada anak-anak dikaitkan dengan lebih
banyak miopia pada awal dan jarak membaca yang lebih pendek. Demikian pula, dalam
penelitian siswa usia sekolah dasar dan menengah di Guangzhou ( n = 3055, usia rata-rata
13,6 ± 1,6 tahun), anak-anak yang jarak bacanya kurang dari 25 cm lebih mungkin
mengalami miopia daripada mereka yang membaca dari jarak 25 - 29 cm atau lebih dari
12
29 cm ( p < 0,001) . Dalam studi yang sama, membaca lebih dari 2 jam setiap hari
dikaitkan secara positif dengan miopia pada anak laki-laki, sementara menghabiskan

17
waktu menonton televisi per minggu dikaitkan dengan miopia pada anak perempuan.
Anak-anak Taiwan menghadiri kelas privat di luar sistem sekolah biasa pada malam hari
65
atau pada akhir pekan selama ≥ 2 jam / hari meningkatkan risiko miopia kejadian .
Penulis berhipotesis bahwa efek ini mungkin disebabkan oleh peningkatan aktivitas
visual dekat atau pengurangan waktu di luar ruangan. Karena efek aktivitas jarak dekat
pada onset miopia dan perkembangannya terbukti lebih tinggi pada anak-anak yang lebih
kecil, tampaknya masuk akal untuk membatasi waktu yang tidak perlu dihabiskan untuk
aktivitas jarak dekat (termasuk perangkat elektronik) oleh anak-anak prasekolah, dan
aktivitas ini harus berada di bawah pengawasan orang tua yang ketat.

Lampu LED dan jam tidur


Dalam sebuah penelitian oleh Pan et al., Yang dilakukan pada 2.346 anak-anak Cina
berusia 13 hingga 14 tahun yang menggunakan lampu LED untuk pekerjaan rumah
memiliki prevalensi miopia yang lebih tinggi (SER kurang dari - 0,75 D) dan panjang
aksial lebih panjang dari yang menggunakan lampu pijar (p = 0,04 dan p = 0,007,
masing-masing) atau lampu fluoresen ( p = 0,02 dan p = 0,003, masing-masing) 11. Gong
dkk. menemukan jam tidur yang rendah menjadi faktor risiko independen untuk miopia
pada 15.316 siswa dengan usia rata-rata 12,1 ± 3,3 tahun dari 18 distrik di Beijing. Anak-
anak dengan waktu tidur 7 jam atau kurang (odds ratio 3,37, interval kepercayaan 95%
(CI): 3,07 - 3,70, p < 0,001) atau sekitar 8 jam tidur (rasio odds 2,12, 95% CI 1.94 - 2.31,
p <0.001) memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidur 9
jam atau lebih setiap hari 32. Kerugian dari penelitian ini adalah hanya menganalisis SER
non-sikloplegik. Mekanisme yang mendasari hubungan miopia waktu tidur belum
dipahami dengan baik dan diperlukan penelitian lebih lanjut; mungkin ketidakaktifan otot
siliaris selama tidur dapat mencegah atau mengurangi perkembangan rabun jauh. Namun,
variabel baru lainnya mungkin terlibat seperti efek cahaya redup. Temuan baru
menunjukkan bahwa selain paparan cahaya terang, jalur batang yang dirangsang oleh
paparan cahaya redup bisa menjadi penting untuk perkembangan miopia manusia 66. Satu
studi dengan anak-anak Australia yang berusia 10 hingga 15 tahun menunjukkan bahwa
anak-anak rabun menghabiskan lebih sedikit waktu baik dalam kondisi cahaya skotopik
maupun di luar ruangan dibandingkan dengan anak-anak non-rabun. Miopia mungkin

18
juga telah mengurangi sensitivitas terhadap rangsangan S-cone frekuensi rendah dengan
konsekuensi kegagalan emmetropia 67.

Kepadatan penduduk
Kepadatan populasi yang lebih tinggi tampaknya terkait dengan risiko miopia, terlepas
dari waktu yang dihabiskan di luar ruangan dan faktor lingkungan lainnya 68. Kepadatan
populasi yang tinggi dan ukuran rumah yang kecil juga dikaitkan dengan panjang aksial
48,69
yang lebih panjang dan kesalahan refraksi pada anak-anak di Hong Kong dan Beijing .
Studi di Beijing melaporkan faktor risiko lain yang berhubungan dengan miopia, seperti
daerah pemukiman perkotaan 69. Dalam kohort anak-anak berusia 12 tahun dari wilayah
30
perkotaan Beijing yang lebih besar, prevalensi miopia adalah 70,9% . Kesalahan
refraksi rata-rata pada anak usia 18 tahun adalah - 3,74 ± 2,56D.
Prevalensi miopia tertinggi di ibu kota provinsi di provinsi Hubei, diikuti oleh
kota non-provinsi, dan terendah di daerah pedesaan, dengan perbedaan yang signifikan
secara statistik ( p < 0,05) 70. Di sisi lain, kejadian miopia di daerah pedesaan di barat
daya Jepang sangat rendah, dari 0,3 hingga 4,9% selama studi lima tahun di akhir 1990-
an 71. Secara umum, kepadatan populasi yang tinggi mungkin merupakan pengganti dari
pekerjaan luar ruangan dan dekat; anak-anak di daerah perkotaan mungkin menghabiskan
lebih sedikit waktu di luar rumah, karena mereka mungkin tidak memiliki tempat yang
tersedia untuk bermain.

Status sosial ekonomi/ social economic status (SES)


Dalam Studi Miopia India Utara, prevalensi miopia adalah 13,1% 17. Miopia lebih umum
terjadi pada anak-anak dengan SES yang lebih tinggi dan di antara siswa sekolah swasta,
dibandingkan dengan siswa sekolah negeri. Agaknya anak-anak di sekolah swasta
menghabiskan lebih banyak waktu di sekolah dibandingkan dengan anak-anak di sekolah
umum; mereka menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca dan menulis di rumah,
dengan tekanan yang jauh lebih besar dan kemungkinan yang lebih besar untuk
mendapatkan kelas tambahan. Belajar dan membaca selama lebih dari 5 jam setiap hari,
menonton televisi selama lebih dari 2 jam setiap hari, dan bermain video / game seluler
juga secara signifikan dikaitkan dengan miopia. Dalam studi ini tidak ada mekanisme
yang jelas menghubungkan SES yang lebih tinggi dan menghadiri sekolah swasta dengan

19
miopia, kecuali melalui pendidikan yang diterima anak-anak. Hipotesis yang masuk akal
adalah bahwa anak-anak dari keluarga SES yang lebih tinggi dan sekolah swasta akan
mendapatkan pendidikan yang lebih intensif, p < 0,001). Temuan kontradiktif dilaporkan
oleh sebuah penelitian di Belanda terhadap kohort multi-etnis dari anak-anak berusia 6
tahun, mengungkapkan pengaruh signifikan faktor sosial ekonomi pada Namun, anak-
anak dari keluarga dengan latar belakang etnis non-Eropa, serupa dengan mereka di
23
sekolah swasta di India Utara, menghabiskan lebih sedikit waktu di luar . Anak-anak
dalam studi Rotterdam masih sangat muda, dan pengaruh pendidikan tampaknya tidak
terlalu jelas, dan meskipun orang tua mereka berpenghasilan rendah, mereka mungkin
memiliki komitmen yang lebih besar pada pendidikan sebagai jalan menuju kesuksesan.
prevalensi miopia 23. Secara khusus, anak-anak keturunan non-Eropa, dengan anak-anak
dari pendidikan ibu yang rendah, pendapatan keluarga yang rendah, lebih cenderung
menjadi rabun. Temuan ini berbeda dengan hasil yang dikutip sebelumnya pada anak-
anak India Utara 17.

DISKUSI
Refraksi sikloplegik ditetapkan sebagai standar emas untuk studi epidemiologi tentang
kesalahan refraksi. Namun demikian, dalam tinjauan kami sembilan studi menggunakan
pengukuran non-sikloplegik, sementara 19 studi menyajikan refraksi sikloplegik. Studi
melaporkan pengukuran non-sikloplegik prevalensi tidak dapat diandalkan; penerapan
pengukuran non-sikloplegik menyebabkan kesalahan substansial, baik dalam tingkat
prevalensi dan hubungan dengan faktor risiko 77,72. Misalnya, Lundberg et al. melaporkan
prevalensi miopia pada anak-anak mencapai 33,6% menggunakan pengukuran
nonsikloplegik dan 17,9% dengan sikloplegia 22. Dalam Studi Mata Anak-Anak
Shandong, perbedaan antara SER sikloplegik dan non-sikloplegik adalah 0,78 ± 0,79 D;
perbedaan ini menurun seiring bertambahnya usia dan meningkat dengan kesalahan
refraksi hiperopik yang lebih besar 73. Dalam studi oleh Fotedar perbedaan antara SER
sikloplegik dan non-siklopegik adalah 1,18 D (95% CI: 1,05). - 1,30 D) untuk anak usia 6
tahun, dan 0,84 D (0,81 - 0.87 D) untuk anak-anak usia 12 tahun 74. Dengan demikian,
kesalahan refraksi telah salah diklasifikasikan pada 9,5% anak-anak usia 6 tahun, dan
17,8% anak-anak berusia 12 tahun 74. Menariknya, Studi Perkembangan Miopia Beijing

20
(yang melibatkan anak-anak berusia 6 sampai 17 tahun) menemukan bahwa perbedaan
utama antara non-siklopgik dan siklopegik dikaitkan dengan perkembangan miopia pada
anak-anak, tetapi tidak dengan onset miopia 75.
Berbagai penelitian yang termasuk dalam ulasan ini menggunakan definisi miopia
yang berbeda. Sebagian besar penelitian mendefinisikan miopia sebagai SER kurang dari
atau sama dengan - 0,5 D. Beberapa penelitian menggunakan kriteria SER kurang dari -
0,5 D, atau kurang dari atau sama dengan - 0.75 D. Miopia juga didefinisikan sebagai
SER kurang dari atau sama dengan - 1,0 D pada anak usia 6 tahun. SER lebih besar dari
atau sama dengan - 3,0 D pada anak usia 3 - 6 tahun dilaporkan dalam satu penelitian 35.
Definisi miopia sangat penting, dan bahkan perubahan kecil dalam definisi ambang (±
0,25D) telah terbukti mempengaruhi secara signifikan kesimpulan dari studi epidemiologi
76 , 77 , 78
. Baru-baru ini, International Myopia Institute menyarankan untuk menggunakan a
≤ - 0,5 D ambang batas sebagai konsensus berbasis bukti 79.
Masalah lainnya adalah pilihan mata; biasanya pengukuran mata kanan
dimasukkan dalam analisis. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Seoul, Korea
Selatan, prevalensi standar usia dilaporkan mencapai 80% pada anak-anak berusia 12
33
tahun. - 18 tahun . Namun, miopia diklasifikasikan menurut Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit Korea; itu menggunakan definisi miopia sebagai SER lebih besar
atau sama dengan - 0,75 D di salah satu mata (lebih buruk). Saat menerapkan definisi < -
0,5 D di mata kanan, tingkat prevalensi turun menjadi 73%. Selain itu, orang harus
mempertimbangkan bahwa hasil ini secara signifikan bias karena pengukuran dilakukan
tanpa sikloplegia.
Menariknya, dalam beberapa kelompok migran, terutama yang berasal dari Asia
Timur, anak-anak tersebut jauh lebih rabun dibandingkan yang berasal dari Eropa,
80 , 81
mungkin karena pendidikan intensif yang diterima anak-anak . Anak-anak etnis Asia
Timur menghabiskan lebih sedikit waktu di luar ruangan dan lebih banyak waktu di dekat
aktivitas kerja dibandingkan dengan anak-anak Kaukasia Eropa di semua sekolah usia 80.
Rudnicka dkk. menemukan bahwa peningkatan prevalensi miopia selama dekade terakhir
terkait dengan perbedaan etnis, dengan hanya sedikit perubahan yang terlihat pada kulit
putih tetapi peningkatan yang signifikan diamati pada orang Asia Timur dan peningkatan
82
yang lebih lemah di antara orang Asia Selatan . Miopia juga umum terjadi pada

21
kelompok pediatrik California Selatan yang beragam dan anak-anak keturunan Asia
memiliki prevalensi tertinggi. Kebiasaan gaya hidup tertentu dalam populasi yang
62
berbeda sebagian dapat menjelaskan perbedaan dalam prevalensi miopia . Telah
disarankan bahwa peran penyebab yang mungkin dalam pengembangan miopia adalah
sistem pendidikan yang kompetitif dan penuh tekanan di beberapa negara Asia Timur 83.
Faktor risiko baru, selain waktu di luar ruangan, seperti penggunaan lampu LED
untuk pekerjaan rumah, cahaya redup, jam tidur rendah, jarak membaca kurang dari 25
cm, dan tinggal di lingkungan perkotaan dijelaskan dalam studi terbaru. Studi
epidemiologi tambahan harus dilakukan untuk memperluas pengetahuan di luar ruangan
tentang perkembangan miopia. Studi intervensi mungkin juga diperlukan untuk lebih
memahami efektivitas metode pencegahan dalam pengaturan dan kelompok usia yang
berbeda. Meskipun pola intensitas cahaya pada manusia telah terlibat dalam perlindungan
miopia, penelitian perlu diperluas lebih lanjut untuk memahami bagaimana pencahayaan
perlu dilakukan untuk menghindari miopia. Pola longitudinal paparan cahaya dalam
berbagai kesalahan bias (mis. Miop, hiperopia dan emmetropia) diperlukan untuk
memahami parameter cahaya mana yang paling penting (misalnya intensitas cahaya,
durasi atau keteraturan). Penelitian ini tidak fokus pada prevalensi miopia tinggi yang
merupakan indikator penting dan perlu dikembangkan lebih lanjut.

SIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa angka prevalensi terbukti meningkat di Asia, tetapi juga di
Eropa dan Amerika Utara. Kebiasaan gaya hidup tertentu dalam populasi yang berbeda
dapat menjelaskan sebagian perbedaan dalam prevalensi miopia antar wilayah geografis.
Tindakan pencegahan seperti program aktivitas di luar ruangan dan perubahan pada
kegiatan melihat jarak dekat pada anak prasekolah harus dilaksanakan.

22
23
RESUME

Judul Tinjauan mengenai Epidemiologi Miopia pada Anak Usia Sekolah di Seluruh
Dunia
Latar Prevalensi miopia yang tinggi membuat studi epidemiologi penting untuk
Belakang dilakukan. Anak-anak dengan miopia onset dini memiliki risiko komplikasi
tertentu karena dapat menyebabkan miopia berat dan degenerasi makula
miopik. Baik faktor genetik maupun lingkungan berperan dalam peningkatan
prevalensi miopia.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk meninjau literatur terkini tentang epidemiologi
dan faktor risiko miopia pada anak usia sekolah (usia 6 tahun - 19 tahun) di
seluruh dunia.
Metode Artikel dari PubMed dan Medline dicari dengan kata kunci berikut:
prevalensi, kejadian, miopia, kelainan refraksi, faktor risiko, anak-anak dan
gangguan penglihatan. Artikel berbahasa Inggris yang diterbitkan antara
Januari 2013 dan Maret 2019 disertakan dalam penelitian ini. Delapan puluh
studi dimasukkan dalam tinjauan pustaka ini.
Hasil Prevalensi miopia lebih tinggi di Asia (60%) dibandingkan dengan Eropa
(40%) menggunakan pemeriksaan refraksi sikloplegik. Studi yang
melaporkan pengukuran non-sikloplegik menunjukkan tingkat prevalensi
miopia yang sangat tinggi pada anak sekolah di Asia Timur (73%), dan
tingkat yang tinggi di Amerika Utara (42%). Prevalensi rendah di bawah 10%
didapatkan pada anak-anak Afrika dan Amerika Selatan. Dalam studi terbaru,
faktor risiko miopia pada anak sekolah meliputi waktu untuk berada di luar
ruangan yang sedikit, penggunaan cahaya yang tidak adekuat/ redup,
penggunaan lampu LED untuk pekerjaan rumah, jam tidur yang kurang, jarak
baca kurang dari 25 cm, dan tinggal di lingkungan urban/perkotaan.
Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa angka prevalensi terbukti meningkat di Asia, tetapi
juga di Eropa dan Amerika Utara. Kebiasaan gaya hidup tertentu dalam
populasi yang berbeda dapat menjelaskan sebagian perbedaan dalam
prevalensi miopia antar wilayah geografis. Tindakan pencegahan seperti
program aktivitas di luar ruangan dan perubahan pada kegiatan melihat jarak

24
dekat pada anak prasekolah harus dilaksanakan.
Rangkuman Miopia merupakan keadaan berkurangnya daya penglihatan jarak jauh
dan Hasil seseorang dan diketahui berhubungan dengan beberapa komplikasi mata
Pembelajara seperti ablasi retina, glaukoma, katarak, perubahan diskus optikus, dan
n makulopati. Namun, prevalensi miopia justru meningkat di berbagai belahan
dunia. Tidak hanya jumlah penderita miopia yang bertambah, namun usia
awitan miopia yang semakin dini serta derajat miopia yang semakin berat
menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dari masyarakat.
Berbagai faktor turut terlibat dalam peningkatan prevalensi miopia di
berbagai negara, seperti memiliki orang tua yang miopia, perbedaan etnis,
lebih sedikit waktu di luar rumah, jarak baca yang semakin dekat, kepadatan
penduduk dan status sosial ekonomi. Dari faktor-faktor tersebut, beberapa
diantaranya dapat dihindari untuk mencegah terjadinya miopia maupun
mengurangi progresivitas miopia. Tindakan pencegahan yang berkaitan
dengan gaya hidup, seperti membaca pada jarak 25 cm atau lebih,
mengurangi waktu paparan mata dari gadget, menggunakan cahaya yang
cukup saat beraktivitas yang memerlukan melihat dengan teliti, memperbaiki
jam tidur, dan menambah aktivitas fisik di luar ruangan supaya mata terbiasa
dengan pandangan jauh dapat dimulai sedini mungkin. Namun, studi lebih
lanjut seperti studi intervensi mungkin juga diperlukan untuk lebih
memahami efektivitas metode pencegahan miopia.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. He M, Xiang F, Zeng Y, et al. Effect of time spent outdoors at school on the


development of myopia among children in China. JAMA. 2015;314:1142.
2. Wu P-C, Chen C-T, Lin K-K, et al. Myopia prevention and outdoor light intensity in a
school-based cluster randomized trial. Ophthalmology. 2018; 125:1239–50.
3. Wu P-C, Tsai C-L, Wu H-L, et al. Outdoor activity during class recess reduces myopia
onset and progression in school children. Ophthalmology. 2013;120: 1080–5.
4. Jin J-X, Hua W-J, Jiang X, et al. Effect of outdoor activity on myopia onset and
progression in school-aged children in Northeast China: the Sujiatun eye care study.
BMC Ophthalmol. 2015;15:73.
5. Holden BA, Fricke TR, Wilson DA, et al. Global prevalence of myopia and high myopia
and temporal trends from 2000 through 2050. Ophthalmology. 2016;123:1036–42.
6. Ikuno Y. Overview of the complications of high myopia. Retina. 2017;37: 2347–51.
7. Naidoo KS, Fricke TR, Frick KD, et al. Potential lost productivity resulting from the
global burden of myopia: systematic review, meta-analysis, and modeling.
Ophthalmology. 2018;126:338–46.
8. Chua SYL, Sabanayagam C, Cheung Y-B, et al. Age of onset of myopia predicts risk of
high myopia in later childhood in myopic Singapore children. Ophthalmic Physiol Opt.
2016;36:388–94.
9. Gomez-Salazar F, Campos-Romero A, Gomez-Campaña H, et al. Refractive errors
among children, adolescents and adults attending eye clinics in Mexico. Int J
Ophthalmol. 2017;10:796–802.
10. Li Y, Liu J, Qi P. The increasing prevalence of myopia in junior high school students in
the Haidian District of Beijing, China: a 10-year population-based survey. BMC
Ophthalmol. 2017;17:88.
11. Pan C-W, Wu R-K, Liu H, et al. Types of lamp for homework and myopia among
Chinese school-aged children. Ophthalmic Epidemiol. 2017;25:1–7.
12. Guo L, Yang J, Mai J, et al. Prevalence and associated factors of myopia among
primary and middle school-aged students: a school-based study in Guangzhou. Eye.
2016;30:796–804.
13. Zhou W-J, Zhang Y-Y, Li H, et al. Five-year progression of refractive error and
incidence of myopia in school-aged children in Western China. J Epidemiol.
2016;26:386–95.
14. Wu JF, Bi HS, Wang SM, et al. Refractive error, visual acuity and causes of vision loss
in children in Shandong, China. The Shandong Children Eye Study. PLoS One.
2013;8:e82763.

26
15. Guo K, Yang DY, Wang Y, et al. Prevalence of myopia in schoolchildren in Ejina: the
Gobi Desert children eye study. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2015;56: 1769–74.
16. Lin Z, Gao TY, Vasudevan B, et al. Generational difference of refractive error and risk
factors in the Handan offspring myopia study. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2014;55:5711–7.
17. Saxena R, Vashist P, Tandon R, et al. Prevalence of myopia and its risk factors in
urban school children in Delhi: the North India myopia study (NIM study). PLoS One.
2015;10:e0117349.
18. Grzybowski A, Nowak MS. The review of refractive studies of nonadults in Poland.
Acta Ophthalmol. 2018;96:e755-6.
19. Kanclerz P, Przewlocka K. Results of refractive error screening of Polish
schoolchildren aged 6 to 14 years. Przegl Lek. 2019;76:468-71.
20. Aldebasi YH. Prevalence of correctable visual impairment in primary school children
in Qassim Province, Saudi Arabia. J Optom. 2014;7:168–76.
21. Al Wadaani FA, Amin TT, Ali A, et al. Prevalence and pattern of refractive errors
among primary school children in Al Hassa, Saudi Arabia. Glob J Health Sci.
2013;5:125–34.
22. Lundberg K, Suhr Thykjaer A, Søgaard Hansen R, et al. Physical activity and myopia
in Danish children-The CHAMPS Eye Study. Acta Ophthalmol. 2017; 96:134–41.
23. Tideman JWL, Polling JR, Hofman A, et al. Environmental factors explain
socioeconomic prevalence differences in myopia in 6-year-old children. Br J
Ophthalmol. 2017;102:243–7.
24. Matamoros E, Ingrand P, Pelen F, et al. Prevalence of myopia in France: a cross-
sectional analysis. Medicine. 2015;94:e1976.
25. Kumah BD, Ebri A, Abdul-Kabir M, et al. Refractive error and visual impairment in
private school children in Ghana. Optom Vis Sci. 2013;90:1456–61.
26. Lira RPC, Arieta CEL, Passos THM, et al. Distribution of ocular component measures
and refraction in Brazilian school children. Ophthalmic Epidemiol. 2017;24:29–35.
27. Moraes Ibrahim F, Moraes Ibrahim M, Pomepo de Camargo JR, et al. Visual
impairment and myopia in Brazilian children: a population-based study. Optom Vis Sci.
2013;90:223–7.
28. Carter MJ, Lansingh VC, Schacht G, et al. Visual acuity and refraction by age for
children of three different ethnic groups in Paraguay. Arq Bras Oftalmol. 2013;76:94–7.
29. French AN, Morgan IG, Mitchell P, et al. Risk factors for incident myopia in
Australian schoolchildren: the Sydney adolescent vascular and eye study.
Ophthalmology. 2013;120:2100–8.

27
30. Guo Y, Duan JL, Liu LJ, et al. High myopia in greater Beijing school children in 2016.
PLoS One. 2017;12:e0187396.
31. You QS, Wu LJ, Duan JL, et al. Prevalence of myopia in school children in greater
Beijing: the Beijing childhood eye study. Acta Ophthalmol. 2014;92:e398–406.
32. Gong Y, Zhang X, Tian D, et al. Parental myopia, near work, hours of sleep and
myopia in Chinese children. Health. 2014;06:64–70.
33. Rim TH, Kim S-H, Lim KH, et al. Refractive errors in Koreans: the Korea National
Health and nutrition examination survey 2008-2012. Korean J Ophthalmol.
2016;30:214–24.
34. Mahayana IT, Indrawati SG, Pawiroranu S. The prevalence of uncorrected refractive
error in urban, suburban, exurban and rural primary school children in Indonesian
population. Int J Ophthalmol. 2017;10:1771–6.
35. Alrahili NHR, Jadidy ES, Alahmadi BSH, et al. Prevalence of uncorrected refractive
errors among children aged 3-10 years in western Saudi Arabia. Saudi Med J.
2017;38:804–10.
36. Hrynchak PK, Mittelstaedt A, Machan CM, et al. Increase in myopia prevalence in
clinic-based populations across a century. Optom Vis Sci. 2013;90:1331–41.
37. Galvis V, Tello A, Otero J, et al. Refractive errors in children and adolescents in
Bucaramanga (Colombia). Arq Bras Oftalmol. 2017;80:359–63.
38. Wajuihian SO, Hansraj R. Refractive error in a sample of black high school children in
South Africa. Optom Vis Sci. 2017;94:1145–52.
39. Xiang F, He M, Zeng Y, et al. Increases in the prevalence of reduced visual acuity and
myopia in Chinese children in Guangzhou over the past 20 years. Eye. 2013;27:1353–8.
40. Ding B-Y, Shih Y-F, Lin LLK, et al. Myopia among schoolchildren in East Asia and
Singapore. Surv Ophthalmol. 2017;62:677–97.
41. Li L, Zhong H, Li J, et al. Incidence of myopia and biometric characteristics of
premyopic eyes among Chinese children and adolescents. BMC Ophthalmol.
2018;18:178.
42. Pärssinen O, Kauppinen M, Viljanen A. The progression of myopia from its onset at
age 8-12 to adulthood and the influence of heredity and external factors on myopic
progression. A 23-year follow-up study. Acta Ophthalmol. 2014;92:730–9.
43. Chen M, Wu A, Zhang L, et al. The increasing prevalence of myopia and high myopia
among high school students in Fenghua city, eastern China: a 15-year population-based
survey. BMC Ophthalmol. 2018;18:159.
44. Herrnheiser J. Die refractionsentwicklung des menschlichen auges. Zeitschrift Fuer
Heilkunde. 1892;13:342–77.

28
45. Lim LT, Gong Y, Ah-Kee EY, et al. Impact of parental history of myopia on the
development of myopia in mainland China school-aged children. Ophthalmol Eye Dis.
2014;6:31–5.
46. Terasaki H, Yamashita T, Yoshihara N, et al. Association of lifestyle and body
structure to ocular axial length in Japanese elementary school children. BMC
Ophthalmol. 2017;17:123.
47. Hsu C-C, Huang N, Lin P-Y, et al. Risk factors for myopia progression in second-grade
primary school children in Taipei: a population-based cohort study. Br J Ophthalmol.
2017;101:1611–7.
48. Choi KY, Yu WY, Lam CHI, et al. Childhood exposure to constricted living space: a
possible environmental threat for myopia development. Ophthalmic Physiol Opt.
2017;37:568–75.
49. Goldschmidt E, Jacobsen N. Genetic and environmental effects on myopia
development and progression. Eye. 2014;28:126–33.
50. Jones-Jordan LA, Sinnott LT, Graham ND, et al. The contributions of near work and
outdoor activity to the correlation between siblings in the collaborative longitudinal
evaluation of ethnicity and refractive error (CLEERE) study. Invest Opthalmol Visual
Sci. 2014;55:6333.
51. Zadnik K, Sinnott LT, Cotter SA, et al. Prediction of juvenile-onset myopia. JAMA
Ophthalmol. 2015;133:683–9.
52. Tideman JWL, Polling JR, Jaddoe VWV, et al. Environmental risk factors can reduce
axial length elongation and myopia incidence in 6- to 9-year-old children.
Ophthalmology. 2018;126:127–36.
53. Shah RL, Huang Y, Guggenheim JA, et al. Time outdoors at specific ages during early
childhood and the risk of incident myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2017;58:1158–
66.
54. Read SA, Vincent SJ, Tan C-S, et al. Patterns of daily outdoor light exposure in
Australian and Singaporean children. Transl Vis Sci Technol. 2018;7:8.
55. Hagen LA, Gjelle JVB, Arnegard S, et al. Prevalence and possible factors of myopia in
Norwegian adolescents. Sci Rep. 2018;8:13479.
56. Tedja MS, Wojciechowski R, Hysi PG, et al. Genome-wide association metaanalysis
highlights light-induced signaling as a driver for refractive error. Nat Genet.
2018;50:834–48.
57. Jiang X, Kurihara T, Torii H, et al. Progress and control of myopia by light
environments. Eye Contact Lens. 2018;44:273–8.
58. Rucker F, Henriksen M, Yanase T, et al. The role of temporal contrast and blue light in
emmetropization. Vis Res. 2018;151:78–87.

29
59. Tang SM, Lau T, Rong SS, et al. Vitamin D and its pathway genes in myopia:
systematic review and meta-analysis. Br J Ophthalmol. 2019;103:8–17.
60. French AN, Ashby RS, Morgan IG, et al. Time outdoors and the prevention of myopia.
Exp Eye Res. 2013;114:58–68.
61. Flitcroft DI. The complex interactions of retinal, optical and environmental factors in
myopia aetiology. Prog Retin Eye Res. 2012;31:622–60.
62. Theophanous C, Modjtahedi BS, Batech M, et al. Myopia prevalence and risk factors in
children. Clin Ophthalmol. 2018;12:1581–7.
63. Lim DH, Han J, Chung T-Y, et al. The high prevalence of myopia in Korean children
with influence of parental refractive errors: the 2008-2012 Korean National Health and
nutrition examination survey. PLoS One. 2018;13: e0207690.
64. Zloto O, Wygnanski-Jaffe T, Farzavandi SK, et al. Current trends among pediatric
ophthalmologists to decrease myopia progression-an international perspective. Graefes
Arch Clin Exp Ophthalmol. 2018;256:2457–66.
65. Ku P-W, Steptoe A, Lai Y-J, et al. The associations between near visual activity and
incident myopia in children: a Nationwide 4-year follow-up study. Ophthalmology.
2018;126:214–20.
66. Landis EG, Yang V, Brown DM, et al. Dim light exposure and myopia in children.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 2018;59:4804–11.
67. Taylor CP, Shepard TG, Rucker FJ, et al. Sensitivity to S-cone stimuli and the
development of myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2018;59:4622–30.
68. Zhang M, Li L, Chen L, et al. Population density and refractive error among Chinese
children. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2010;51:4969–76.
69. Guo Y, Liu LJ, Xu L, et al. Outdoor activity and myopia among primary students in
rural and urban regions of Beijing. Ophthalmology. 2013;120:277–83.
70. Zeng CQ, Zhou LH, Zhang P, et al. The epidemiology of myopia in primary school
students of grade 1 to 3 in Hubei province. Zhonghua Yan Ke Za Zhi. 2018;54:756–61.
71. Yamashita T, Watanabe S, Ohba N. A longitudinal study of cycloplegic refraction in a
cohort of 350 Japanese schoolchildren. Anisometropia. Ophthalmic Physiol Opt.
1999;19:30–3.
72. Fotouhi A, Morgan IG, Iribarren R, et al. Validity of noncycloplegic refraction in the
assessment of refractive errors: the Tehran eye study. Acta Ophthalmol. 2012;90:380–6.
73. Hu YY, Wu JF, Lu TL, et al. Effect of cycloplegia on the refractive status of children:
the Shandong children eye study. PLoS One. 2015;10:e0117482.

30
74. Fotedar R, Rochtchina E, Morgan I, et al. Necessity of Cycloplegia for assessing
refractive error in 12-year-old children: a population-based study. Am J Ophthalmol.
2007;144:307–9.
75. Lin Z, Vasudevan B, Ciuffreda KJ, et al. The difference between cycloplegic and non-
cycloplegic autorefraction and its association with progression of refractive error in
Beijing urban children. Ophthalmic Physiol Opt. 2017;37: 489–97.
76. Cumberland PM, Bountziouka V, Rahi JS. Impact of varying the definition of myopia
on estimates of prevalence and associations with risk factors: time for an approach that
serves research, practice and policy. Br J Ophthalmol. 2018;102:1407–12.
77. Morgan IG, Iribarren R, Fotouhi A, et al. Cycloplegic refraction is the gold standard for
epidemiological studies. Acta Ophthalmol. 2015;93:581–5.
78. Grzybowski A, Kanclerz P. The standardized definition of high myopia. Graefes Arch
Clin Exp Ophthalmol. 2019;257:1805.
79. Flitcroft DI, He M, Jonas JB, et al. IMI - defining and classifying myopia: a proposed
set of standards for clinical and epidemiologic studies. Invest Ophthalmol Vis Sci.
2019;60:M20–30.
80. French AN, Morgan IG, Mitchell P, et al. Patterns of myopigenic activities with age,
gender and ethnicity in Sydney schoolchildren. Ophthalmic Physiol Opt. 2013;33:318–
28.
81. Ip JM, Huynh SC, Robaei D, et al. Ethnic differences in refraction and ocular biometry
in a population-based sample of 11-15-year-old Australian children. Eye. 2008;22:649–
56.
82. Rudnicka AR, Kapetanakis VV, Wathern AK, et al. Global variations and time trends
in the prevalence of childhood myopia, a systematic review and quantitative meta-
analysis: implications for aetiology and early prevention. Br J Ophthalmol.
2016;100:882–90.
83. Jiang Y, Tian B. Understanding Modifiable Risk Factors for the Development of
Myopia. Ophthalmology. 2018;126:221–2.

31

Anda mungkin juga menyukai