Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata merupakan organ penting dalam tubuh kita. Informasi yang diterima otak

sekitar 95% masuk melalui panca indera penglihatan tersebut. Penurunan tajam

penglihatan merupakan kelainan refraksi yang terdiri dari miopia, astigmatisma, dan

hipermetropia yang disebabkan akibat berkas cahaya jatuh tidak tepat pada retina

[ CITATION Kis081 \l 1033 ].

Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan dan hambatan

penglihatan saat beraktivitas [ CITATION YuL11 \l 1033 ]. Miopia merupakan salah

satu gangguan penglihatan yang memiliki prevalensi tinggi di dunia dan hampir 90%

miopia terjadi di negara berkembang (Rahimi, et al., 2015). Diperkirakan 1,6 miliar

manusia terkena miopia dan kemungkinan akan meningkat hingga 2,5 miliar pada

tahun 2020[ CITATION YuL11 \l 1033 ].

Berdasarkan data WHO terdapat 285 juta orang di dunia yang mengalami

gangguan penglihatan, dimana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta yang

mengalami berpenglihatan kurang (low vision). Secara global, gangguan penglihatan

tersebut disebabkan oleh 43% kelainan refraksi, 33% katarak, dan 2% glaukoma.

Meskipun demikian, bila dikoreksi secara dini sekitar 80% gangguan penglihatan

dapat dicegah maupun diobati [ CITATION Pri17 \l 1033 ].

Dari seluruh kelompok umur (berdasarkan sensus penduduk tahun 1990)

kelainan refraksi (12,9%) merupakan penyebab low vision / penglihatan terbatas

1
2

terbanyak kedua setelah katarak (16,3%) di Indonesia[ CITATION Saw03 \l 1033 ].

Survei Departemen Kesehatan Repiblik Indonesia (Depkes RI) tahun 1993-1996

mendapatkan kelainan refraksi di Indonesia sebesar 24,72% menempati urutan

pertama dalam 10 penyakit mata terbanyak, dan merupakan penyebab kebutaan urutan

ketiga (0,14%) setelah katarak (0,78%) dan glaucoma (0,20%) serta menjadi masalah

yang cukup serius[ CITATION Hay111 \l 1033 ].

Menurut Riskesdas (2013) prevalensi severo low vision (penurunan ketajaman

penglihatan) tertinggi terdapat di Lampung (1,7%) ,diikuti Nusa Tenggara Timur dan

Kalimantan Barat (masing-masing 1,6%). Sedangkan Gorontalo menempati urutan ke-

4 tertinggi dengan prevalensi sebesar 1,3% (Riskesdas,2013).

Meskipun penyebab pasti miopia masih belum jelas, namun bukti-bukti yang

ada menunjukkan bahwa penyebab multifaktorial berhubungan dengan faktor

keturunan (genetik) dan faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan adalah

lamanya aktivitas melihat dekat [ CITATION Wul18 \l 1033 ].

Membaca dan menonton televisi juga dapat memberi pengaruh terhadap

miopia. Meskipun, pengaruh yang didapatkan akan berbeda pada setiap individu.

Tidak menutup kemungkinan, bahwa gaya hidup dewasa ini dalam penggunaan

gadget, seperti telepon selular, laptop, komputer yang terlalu lama dengan jarak

pandang yang tetap juga dapat mempengaruhi terjadinya miopia. Sinar biru yang

dipancarkan alat-alat elektronik dapat mempengaruhi otot mata sehingga bekerja lebih

berat[ CITATION Pri17 \l 1033 ].

Saat membaca, terjadinya miopia akan dipengaruhi oleh posisi, kecukupan

cahaya ketika membaca, besar kecilnya huruf atau angka yang dibaca. Sedangkan
3

dalam penggunaan komputer akan berhubungan dengan adanya pancaran gambar yang

memungkinkan adanya bentuk akomodasi yang berbeda. Jarak yang dibutuhkan dalam

mengerjakan hal-hal tersebut akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap

miopia[ CITATION KAR081 \l 1033 ].

Peneliti dari Chinese University of Hong Kong mengamati anak yang banyak

menghabiskan waktunya pada aktivitas-aktivitas jarak dekat (nearwork activity)

seperti belajar, membaca, menggunakan komputer, bermain video game, dan

menonton televisi akan lebih beresiko terkena miopia [ CITATION Hua15 \l 1033 ].

The National Research Council Committee on Vision Working Group on

Myopia Prevalence and Progression meninjau lebih dari 500 artikel miopia. Mereka

menyimpulkan bahwa miopia bias mulai didapat atau mengalami progres pada usia di

atas 16 tahun, meskipun dengan derajat yang tidak parah dan dalam populasi yang

kecil. Studi menyimpulkan bahwa 40% penderita hiperopia rendah dan emetropia

yang memasuki bangku kuliah dan pendidikan militer menjadi miopia pada saat usia

25 tahun. Sebaliknya, pada studi yang tidak memasukkan mahasiswa dalam

perhitungan menunjukkan hasil yang lebih sedikit yaitu <10[ CITATION Pri171 \l

1033 ].

Penelitian yang dilakukan di Universitas Nasional Singapura menunjukkan

bahwa prevalensi miopia pada mahasiswa kedokteran tahun kedua sekitar 89,8%.

Penelitian lain yang dilakukan di Taiwan juga menunjukkan bahwa lebih dari 90%

mahasiswa kedokteran yang mengalami miopia. Sedangkan penelitian di Turki

menunjukkan bahwa mahasiswa kedokteran mengalami miopia sekitar 32,9%

[ CITATION Fau14 \l 1033 ].


4

Mahasiswa kedokteran banyak membaca buku, sehingga mahasiswa

kedokteran cenderung terkena miopia. Dari hasil penelitian pada 195 mahasiswa

kedokteran di Osmania Medical College, Hyderabad didapatkan 68% menderita

miopia[ CITATION Red15 \l 1033 ], sedangkan penelitian pada 2053 mahasiswa

kedokteran di China didapatkan 78,5% sampai 84,1% menderita miopia [ CITATION

LvL13 \l 1033 ].

Di dunia, populasi miopi kelas tinggi adalah pada lansia. Yaitu sekitar 2,5-

9,6%. Prevalensi miopi telah dilaporkan sekitar 70%-90% dibeberapa Negara Asia,

30-40% di Eropa dan Amerika Serikat, dan 10-20% di Afrika. Prevalensi tertinggi

berada dibeberapa Negara Asia (China, India, Melayu), dimana hampir 50%-80%

orang dewasa mengalami miopia. Terutama di China, tingkat miopia adalah yang

tertinggi di dunia. Prevalensi adalah 77,3% pada siswa SMA, dan lebih dari 80%

mahasiswa. Atau sekitar 400 juta dari 1,3 miliar penduduk China. Pada tahun 2020

diperkirakan 2,5 miliar (30%) penduduk dari populasi dunia akan mengalami

miopi[ CITATION Mru13 \l 1033 ]. Didukung dengan hasil penelitian lain dibeberapa

rumah sakit di Indonesia ditemukan insidens penderita miopia berkisar antara 50%

sampai 80,3% dari semua gangguan tajam penglihatan[ CITATION Ari131 \l 1033 ].

Di provinsi Lampung berdasarkan data yang dikumpulkan dari 200 orang

berumur 5->7 tahun oleh Dinas Kesehatan Provinsi Lampung berdasarkan data

absolute laporan data kesakitan ICD X (LBI-1) SP2TP total provinsi tahun 2011

dilaporkan bahwa angka kejadian miopi di Provinsi Lampung usia 5-9 tahun sebanyak

3%, usia 10-14 tahun sebanyak 6,5%, usia 15-19 tahun sebanyak 4,5%, usia 20-44

tahun sebanyak 31,5%, usia 45-54 tahun sebanyak 32,5%, usia 55-59 tahun sebanyak
5

13,5 %, usia 60-69 tahun sebanyak 7%, dan usia >7 tahun sebanyak 1,5%[ CITATION

Ari16 \l 1033 ].

Dari kecenderungan mahasiswa kedokteran untuk mengalami miopia maka

mendorong peneliti untuk mengetahui pengaruh aktivitas melihat jarak dekat terhadap

angka kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

khususnya pada angkatan 2016. Peneliti tidak mengambil sample Mahasiswa

Angkatan dibawah tahun 2016, dikarenakan mahasiswa angkatan tersebut diatas telah

menjalani sidang skripsi maupun Ko-Assisten sehingga untuk mendapatkan

populasinya menjadi sangat sulit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut : Apakah ada pengaruh aktivitas melihat jarak dekat terhadap angka

kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh aktivitas melihat jarak dekat terhadap angka

kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati tahun

2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


6

1. Untuk mengetahui distribusi kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Malahayati Angkatan 2016 pada tahun penelitian 2019.

2. Untuk mengetahui distribusi lama membaca buku, komputer/gadget terhadap

angka kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Malahayati Angkatan 2016 pada tahun penelitian 2019.

3. Untuk mengetahui distribusi jarak membaca buku, komputer/gadget terhadap

angka kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

Malahayati Angkatan 2016 pada tahun penelitian 2019.

4. Untuk mengetahui adakah pengaruh lama membaca buku, komputer/gadget

terhadap angka kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Malahayati Angkatan 2016 pada tahun penelitian 2019.

5. Untuk mengetahui adakah pengaruh jarak membaca buku, komputer/gadget

berpengaruh terhadap angka kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Malahayati Angkatan 2016 pada tahun penelitian

2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

1. Memberikan gambaran informasi dan pengetahuan mengenai miopia.


7

2. Memberikan informasi mengenai kelainan miopia yang diderita responden

sehingga dapat segera ditangani.

1.4.2 Bagi Mahasiswa

1. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai pengaruh aktivitas melihat

jarak dekat terhadap angka kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Malahayati

2. Menjadi dasar bagi peneliti-peneliti selanjutnya.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat menjadi literatur bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan

penelitian dengan mengambil topik miopia dengan menggunakan faktor lain.

1.5 Ruang Lingkup

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian

analitik dengan rancangan cross sectional. Batasan ruang lingkup pada penelitian ini

adalah mengenai pengaruh aktivitas melihat jarak dekat terhadap angka kejadian

miopia pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas malahayati. Waktu penelitian

pada bulan Maret 2019 dan lokasi penelitian di Universitas Malahayati.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Mata merupakan organ visual yang terdiri dari bola mata (Bulbus oculi) dan

struktur tambahan (Structurae oculi accessorae)[ CITATION Pau12 \l 1033 ]. Bola

mata terletak di suatu cavitas yang menyerupai pyramid segi empat berongga dengan

dasar yang mengarah ke anteromedial dan apeks ke posteromedial. Bola mata terdiri

atas kornea dan nervus opticus[ CITATION Moo13 \l 1033 ]. Bola mata orang dewasa

normal memiliki diameter anteroposterior sekitar 24,2 mm [CITATION Rio09 \l

1033 ].

Bola mata terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan luar (fibrosa), lapisan tengah

(vaskular), dan lapisan dalam. Lapisan fibrosa terdiri dari sklera dan kornea. Lapisan

vaskular yang kaya pembuluh darah terdiri dari koroid, korpus siliaris dan iris. Lapisan

dalam terdiri atas retina yang memiliki bagian optik dan non-visual (Paulsen &

Waschke, 2012). Bola mata memiliki media refraksi yaitu media yang dapat

membiaskan cahaya yang masuk ke mata, yaitu lensa, kornea, aqueous humor, dan

vitreous humor [ CITATION Moo131 \l 1033 ]

8
9

Gambar 2.1 Anatomi Mata [ CITATION Wil10 \l 1033 ]

2.1.1 Sklera

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang

hamper seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta

berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan durameter nervus optikus di

posterior. Secara histologi, sklera terdiri atas banyak pita pdat yang sejajar dan

berkas-berkas jaringan kolagen teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal

10-16 µm dan lebar 100-140 µm.

2.1.2 Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding

dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Dari anterior ke posterior, kornea

mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda yaitu:

1) Epitel

Epitel pada kornea memiliki ketebalan 50 µm dan terdiri atas lima lapis

epitel tidak bertanduk; sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
10

2) Membran bowman

Membran bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea yang

merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur.

3) Stroma

Stroma menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma tersusun atas

jalinan lamella serat serat kolagen yang memiliki tinggi 1-2 µm dan lebar

sekitar 10-250 µm.

4) Membran descement

Membran descement merupakan membran aselular yang sangat elastis.

Saat lahir tebalnya sekitar 3 µm dan terus menebal hingga 10-12 µm.

5) Endotel

Endotel hanya memiliki satu lapis sel, tetapi lapisan ini berperan besar

dalam mempertahankan deturgesensi stroma kornea.

2.1.3 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera. Koroid

tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid, besar, sedang, dan kecil. Semakin

dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam

pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris. Koroid di sebelah dalam

dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid

terletak di antara koroid dan sklera. Kumpulan pembuluh darah koroid mendarahi

bagian luar retina yang menyokongnya.


11

2.1.4 Korpus Siliaris

Korpus siliaris membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal

iris (sekitar 6 mm). Processus siliaris berasal dari pars plicata yang merupakan

pembentuk aqueous humor.

2.1.5 Iris

Iris merupakan perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Di dalam stroma

iris terdapat sfingter dan otot otot dilator. Iris mengendalikan banyaknya cahaya

yang masuk ke dalam mata dengan mengecilkan (miosis) atau melebarkan

(midriasis) pupil.

2.1.6 Retina

Retina dalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan

yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina terdiri

atas lapisan-lapisan , adalah sebagai berikut:

1) Membran limitans interna

Merupakan membran hialin antara retina dan corpus vitreum.

2) Lapisan serat saraf

Mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus.

3) Lapisan sel ganglion

4) Lapisan pleksiform dalam

Merupakan tempat sinaps sel ganglion dengan sel bipolar dan sel amakrin.

5) Lapisan inti dalam (nukleus dalam)

Merupakan tubuh sel muller, sel horizontal, dan sel bipolar.


12

6) Lapisan pleksiform luar

7) Merupakan tempat sinaps sel fotoreseptor dengan sel horizontal dan sel bipolar.

8) Lapisan inti luar (nukleus luar)

9) Membran limitans eksterna

10) Lapisan fotoreseptor Terdiri atas sel batang dan sel kerucut.

11) Epitel pigmen retina

2.1.7 Lensa

Lensa merupakan struktur bikonveks, avascular, tak berwarna, dan hampir

transparan sempurna dengan tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Terletak di

posterior iris dan anterior vitreous humor. Lensa ditahan ditempatnya oleh

ligamentum suspensorium atau zonula zinni yang tersusun atas banyak fibril. Enam

puluh lima persen lensa terdiri atas air dan sekitar tiga puluh lima persennya terdiri

atas protein (kandungan proteinnya tertinggi di antara jaringan-jaringan tubuh).

2.1.8 Aqueous Humor

Aqueous humor diproduksi oleh korpus siliaris. Aqueous humor memberi

nutrisi untuk kornea dan lensa yang tidak memiliki pembuluh darah. Aqueous

humor akan masuk ke camera oculi posterior, berjalan melalui pupil ke dalam

camera oculi anterior, dan bermuara ke dalam sinus venosus sklera atau canalis

sclem.
13

2.1.9 Vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avascular yang

membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengandung air sekitar

99%. Sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi

bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat

banyak air [ CITATION Rio09 \l 1033 ].

2.2 Fisiologi Penglihatan

Bola mata memiliki empat media refraksi. Media refraksi adalah media yang

dapat membiaskan cahaya yang masuk ke mata, yaitu lensa, kornea, aqueous humor,

dan vitreous humor. Agar bayangan dapat jatuh tepat di retina, cahaya yang masuk

harus mengalami refraksi melalui media media tersebut. Jika terdapat kelainan pada

media refraksi, cahaya mungkin tidak jatuh tepat di retina.

Proses penglihatan terdiri dari empat tahap, yaitu:

1) Tahap pembiasan

Tahap pembiasan terjadi di kornea, lensa, dan corpus viterum. Hasil

pembiasan tergantung pada besarnya kelengkungan lensa.

2) Tahap sintesa fotokimia

Tahap ini terjadi di fovea. Proses kimia yang terjadi akan merangsang dan

menimbulkan impuls listrik.


14

3) Tahap pengiriman sinyal sensoris Impuls listrik akan diantar oleh serabut saraf ke

pusat penglihatan di otak.

4) Tahap persepsi di pusat penglihatan

Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil, kemudian di

fokuskan oleh lensa ke bagian retina. Cahaya harus melewati lapisan ganglion dan

bipolar sebelum mencapai fotoreseptor. Fotoreseptor pada retina mengumpulkan

informasi yang di tangkap mata, kemudian sinyal tersebut di kirimkan ke otak

melalui saraf optik [ CITATION She11 \l 1033 ].

Mata yang memiliki penglihatan normal atau tanpa kelainan refraksi

disebut dengan emetropia, sedangkan mata yang mengalami kelainan refraksi

disebut ametropia. Kelainan termasuk kedalam ametropia antara lain:

1) Miopia

Miopia adalah suatu keadaan yang disebabkan karena sinar sejajar yang

masuk ke mata tidak di fokuskan di depan retina, sehingga objek yang jauh

akan terlihat kabur atau buram.

2) Hipermetropia

Hipermetropia adalah keadaan yang diakibatkan karena sinar sejajar

jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya di belakang retina, sehingga

saat melihat dekat akan terlihat kabur dan akan tampak jelas apabila melihat

dalam jarak yang jauh.

3) Astigmatisma

Astigmatisma adalah keadaan yang terjadi akibat berkas sinar tidak

difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina tetapi pada 2 garis titik api
15

yang saling tegak lurus karena adanya kelainan kelengkungan permukaan

kornea [ CITATION Ily10 \l 1033 ].

2.3 Akomodasi

Akomodasi adalah suatu mekanisme dimana mata merubah kekuatan

refraksinya dengan merubah ketajaman lensa kristalin. Sementara itu untuk

memfokuskan benda yang berjarak dekat otot siliaris melakukan kontraksi sehingga

membuat lensa mata menjadi tebal. Daya akomodasi mata dibatasi oleh dua titik yaitu

titik dekat (punctum proximum) yaitu titik terdekat yang masih dapat dilihat dengan

jelas oleh mata. Titik jauh (punctum remotum), yaitu titik terjauh yang masih dapat

dilihat dengan jelas oleh mata. Kebanyakan dari masalah penglihatan berhubungan

dengan kemampuan akomodasi, seperti akomodasi yang terlalu besar, terlalu kecil

ataupun terlalu lambat.

Ada banyak teori yang telah dikemukan tentang bagaimana proses akomodasi

dapat terjadi pada mata. Teori yang paling tua dikenal yaitu teori vitreus oleh Cramers,

lalu dikembangkan juga teori akomodasi relaksasi oleh Helmholtz, teori kontraksi

zonula oleh Tscherning, dan masih banyak teori akomodasi lainnya.

Helmholtz mengajukan teori relaksasi akomodasinya berdasarkan perubahan

ukuran serat – serat purkinje di permukaan anterior lensa kristalin (sama halnya

dengan eksperimen yang telah dilakukan oleh Cramer) untuk mendukung gagasannya

bahwa lensa kristalin sebenarnya berperan besar terhadap akomodasi. Dia mengamati

saat mata tidak berakomodasi dan melihat jauh, maka otot – otot siliaris akan

berelaksasi dan serat – serat zonula elastis jadi teregang, ini akan menarik lensa
16

kristalin ke arah luar ke ekuator dan lensa menjadi datar Ini merupakan teori yang

sangat berlawanan dengan teori Helmholtz’s. Tscherning menggunakan sebuah

ophthalmophacometer yang telah ia rancang untuk mengamati gambar yang dibentuk

oleh permukaan anterior dan posterior lensa kristalin. Dia berpendapat bahwa

konstraksi otot siliaris akan meningkatkan ketegangan serat – serat zonula, sehingga

merubah ketajaman lensa tanpa merubah ketebalan ataupun diameter lensa. “Posisi

Tscherning “ merupakan suatu kondisi saat lensa kristalin dikeluarkan dari bola mata,

dan ini tampak seperti kondisi penglihatan jauh dan tidak berakomodasi seperti teori

yang diajukan oleh Helmholtz[ CITATION Wat18 \l 1033 ].

2.4 Miopia

2.4.1 Definisi Miopia

Miopia atau rabun jauh adalah suatu kelainan refraksi yang di sebabkan

karena sinar sejajar yang masuk ke mata tidak difokuskan di depan retina (Kistianti,

2008). Pada miopia objek yang dekat akan terlihat jelas tetapi objek yang jauh akan

tampak buram[ CITATION Boy3b \l 1033 ].

Gambar 2.2 Mata Miopia [ CITATION Ost17 \l 1033 ]


2.4.2 Gejala Klinis
17

Gejala klinis yang akan ditimbulkan pertama kali adalah menurunnya

penglihatan jauh, bahkan dengan koreksi refraksi, sering dijumpai penurunan

kemampuan untuk melihat dengan jelas.

Penderita merasa tidak nyaman ketika menggunakan lensa koreksi, dimana

kacamata untuk miopia tinggi biasanya berat dengan distrosi yang bermakna ditepi

lensa, lapang pandang juga terbatas. Penderita merasa tidak nyaman, tetapi juga

tidak dapat melakukan aktivitas tanpa kacamatanya (Widodo,2007).

2.4.3 Diagnosis Miopia

a. Riwayat pasien, yaitu berupa keluhan utama,masalah yang berhubungan dengan

mata, penglihatan dan kondisi kesehatan secara umum, perkembangan penyakit

dan riwayat keluarga, penggunaan obat dan alergi obat.

b. Pemeriksaan tajam penglihatan atau visus, merupakan pemeriksaan fungsi

mata, untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang yaitu dapat menggunakan

snellen chart yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mngecil untuk

menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka yang sesuai dengan suatu

jarak ( dalam kaki atau meter), yakni jarak yang memungkinkan semua huruf

dalam baris itu terbaca oleh mata normal. Misalnya, huruf-huruf pada baris

“40” cukup besar untuk dapat dibaca mata normal dari jarak 40 kaki.

Sesuai konvensi ketajaman penglihatan dapat diukur dengan jarak jauh-

20 kaki (6 meter), karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam

keadaan istirahat atau tanpa akomodasi. Snellen chart diletakkan sejajar dengan

mata orang yang diperiksa, pastikan ruang tempat pemeriksaan cukup cahaya
18

(tidak gelap dan tidak silau). Pemeriksaan ketajaman penglihatan dilakukan

pada salah satu dari kedua mata secara bergantian. Saat sedang dilakukan

pemeriksaan pada mata kanan maka mata kiri subjek akan ditutup dengan

telapak tangan dengan rapat namun tidak menekan bola mata, demikian pula

sebaliknya. Kemudian subjek akan diminta menyebutkan nama huruf pada

snellen chart yang ditunjuk pemeriksa. Pemeriksa akan menunjuk satu persatu

seluruh huruf pada snellen chart, dimulai dari huruf di baris paling atas hingga

subjek salah menyebut 3 huruf dari baris yang ditunjuk. Lalu pemeriksa akan

mencatat ketajaman penglihatan subjek sesuai standar yang tertera pada snellen

chart. Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka (mis.,”20/40”).

Angka pertama adalah jarak uji (dalam meter) antara “kartu” dan pasien, dan

angka kedua adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata

pasien. Penglihatan 20/20 adalah normal; penglihatan 20/60 berarti huruf yang

cukup besar untuk dibaca dari jarak 60 kaki oleh mata-normal baru bisa dibaca

oleh mata pasien dari jarak 20 kaki (Riordan-Eva & Witcher,2009).


19

Gambar 2.3 : Snellen Chart[CITATION Eye14 \l 1033 ]

2.4.4 Klasifikasi Miopia

Secara umum miopia diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1) Miopia non patologis

Miopia non patologis atau sering disebut dengan school miopia

memiliki pertumbuhan struktur refraksi mata yang normal. Onset terjadinya

miopia non patologis biasanya pada masa anak-anak, terus berkembang pada

masa pertumbuhan remaja dan biasanya akan stabil pada awal dekade kedua.

Derajat miopia non patologis biasanya ringan sampai sedang (<6 dioptri).

2) Miopia patologis

Miopia patologis disebabkan karena pertumbuhan panjang aksial bola

mata yang terlalu berlebih. Orang dengan miopia patologis akan lebih berisiko

untuk terjadi degenerasi retina dan keadaan keadaan patologis lain. Pada miopi

ini derajatnya sudah berat, lebih dari 6 diopter [ CITATION Ost17 \l 1033 ].
20

Miopia berdasarkan penyebabnya diklasifikasikan menjadi :


1) Miopia refraktif, yaitu miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan

kornea dan lensa yang telalu kuat.

2) Miopia aksial, yaitu miopia yang terjadi akibat panjangnya sumbu bola mata,

sedangkan kelengkungan lensa dan korneanya normal.

Menurut derajat beratnya miopia diklasifikasikan menjadi :

1) Miopia ringan : <1 Dioptri sampai 3 Dioptri.

2) Miopia sedang : 3 Dioptri sampai dengan 6 Dioptri.

3) Miopia berat : >6 Dioptri.

Miopia berdasarkan usia :

1) Congenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.

2) Youth onset myopia : <20 tahun.

3) Early adult onset myopia : 20 sampai 40 tahun.

4) Late adult onset myopia : >40 tahun.

Berdasarkan perjalanannya diklasifikasikan menjadi :

1) Miopia stasioner : miopia yang tetap menetap setelah dewasa.

2) Miopia progresif : miopia yang terus menerus bertambah akibat bertambah

panjangnya bola mata.


21

3) Miopia maligna : miopia yang berjalan progresif yang dapat mengakibatkan

ablasio retina dan kebutaan. Miopia maligna biasanya lebih dari 6 dioptri yang

disertai dengan adanya kelainan[ CITATION Ily10 \l 1033 ].

2.4.5 Faktor Resiko

1) Keturunan

Faktor yang penting pada miopia yaitu faktor keturunan. Anak dengan

orang tua yang mengalami kelainan refraksi cenderung juga mengalami

kelainan refraksi. Prevalensi miopia pada anak yang kedua orang tuanya

miopia adalah 32,9 %, sedangkan pada anak dengan hanya salah satu orang

tuanya yang mengalami miopia adalah sekitar 18,2%, dan kurang dari 8,3%

pada anak dengan orang tua tanpa miopia[ CITATION Kom141 \l 1033 ].

Pada tahun 2008, Kathryn A. Rose membandingkan prevalensi dan

faktor risiko miopia pada anak-anak etnis Cina di Sydney dan Singapura

dengan kriteria inklusi kedua orang tua memiliki etnis Cina. Prevalensi miopia

pada anak dari etnis Cina lebih tinggi di Singapura (29,1%) daripada di

Sydney[ CITATION Ros08 \l 1033 ].

2) Aktivitas Melihat Jarak Dekat

Aktivitas melihat dekat jangka panjang menyebabkan miopia melalui

efek fisik langsung akibat akomodasi terus menerus sehingga tonus otot siliaris

menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori terbaru,

aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan miopia melalui terbentuknya

bayangan buram di retina (retina blur) yang terjadi selama fokus dekat.
22

Peneliti dari Chinese University of Hong Kong mengamati anak yang

banyak menghabiskan waktunya pada aktivitas-aktivitas jarak dekat (nearwork

activity) seperti belajar, membaca, menggunakan komputer, bermain video

game, dan menonton televisi akan lebih beresiko terkena miopia (Huang, et al.,

2015).

3) Aktivitas di luar ruangan

Aktivitas di luar ruangan merupakan suatu faktor protektif yang dapat

mencegah terjadinya miopia, namun hingga kini mekanismenya masih belum

terlalu jelas [ CITATION LMu14 \l 1033 ]. Sebuah hipotesis yang dapat

diterima secara luas adalah paparan cahaya yang terang akan menstimulasi

pelepasan dopamin yang dapat menghambat elongasi bola mata (French, et al.,

2013).

Kurangnya outdoor activity juga mempengaruhi pertumbuhan miopia.

Vitamin D yang didapat ketika melakukan aktivitas luar ruangan memiliki

peran dalam pembentukan kolagen dimana merupakan komponen utama

sklera[ CITATION Sof16 \l 1033 ].

4) Kekurangan gizi yang dibutuhkan mata juga bisa memperlemah mata sehingga

kurang mampu bekerja keras dan mudah terkena miopia jika mata terlalu

bekerja berat. Vitamin A, betakaroten, alpukat, ektrak bilberry, dan lain-lain

baik untuk mata[ CITATION Mar14 \l 1033 ].

2.4.6 Penatalaksanaan
23

Orang yang terkena miopia dapat diberikan kacamata dengan lensa cekung

atau dapat juga menggunakan lensa kontak. Kacamata dan lensa kontak akan

memfokuskan kembali cahaya tepat pada retina. Kacamata juga dapat membantu

melindungi mata dari sinar ultraviolet yang berbahaya. Bedah refraktif dilakukan

setelah pasien berhenti tumbuh, biasanya sekitar usia 20 tahun. Bedah

keratorefraktif menggunakan laser untuk membentuk kembali kornea sehingga

mata dapat kembali normal. Jika operasi berhasil maka pasien akan memiliki

ketajaman visual yang sangat baik tanpa kacamata atau lensa kontak. Bedah

refraktif yang paling sering dilakukan adalah Photorefractive Keratectomy (PRK),

Laser In Situ Keratomileusis (LASIK), dan Laser Epithelial Keratomileusis

[ CITATION Ost17 \l 1033 ].

2.5 Penelitian Terkait

Hasil penelitian Melita Perty Arianti tahun 2012 tentang hubungan antara

riwayat miopia dikeluarga dan lama aktivitas jarak dekat dengan kejadian miopia pada

mahasiswa PSPD angkatan 2010-2012, berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai p

tidak terdapat hubungan secara statistic antara membaca buku pelajaran (p=0,961),

membaca untuk hobi (p=nilai konstan), menulis (p=0,298), menggunakan laptop,

handphone, dan bermain video game (p=0,940), menonton televisi (p=0,701) dengan

kejadian miopia.
24

Hasil penelitian Nuraysha Nurullah tahun 2013 tentang hubungan antara jenis

kelamin, faktor genetik dan aktivitas melihat jarak dekat dengan kejadian miopia pada

pelajar SMK. ST Patrick di Sabah, Malaysia. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan

prevalensi kelainan miopia (visus kurang dari 6/6) didapatkan sebesar 42.86%.

Didapatkan hubungan yang bermakna antara aktivitas membaca buku dan menonton

TV dengan kejadian miopia (p=0.001 dan p=0.001) dengan kejadian miopia pada

pelajar SMK. ST. Patrick di Sabah, Malaysia.

2.6 Kerangka Teori

Keturunan

lama membaca
buku,komputer/gadget

Aktivitas melihat
Jarak membaca buku,
jarak dekat
komputer/gadget

Miopia
Menonton TV

Aktivitas di luar
Vitamin D
ruangan

Kekurangan gizi
Vitamin A,C,E
yang dibutuhkan
25

Keterangan

Diteliti

Tidak diteliti

Gambar 2.4 Kerangka Teori (Huang et al., 2015) [ CITATION Mar14 \l 1033 ]
26

2.7 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Aktivitas melihat jarak dekat Miopia

Gambar 2.5 Kerangka Konsep

2.8 Hipotesis Penelitian


a. Ho :
Tidak ada pengaruh aktivitas melihat jarak dekat terhadap angka kejadian miopia

pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati tahun 2019.


b. Ha :
Ada pengaruh aktivitas melihat jarak dekat terhadap angka kejadian miopia pada

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati tahun 2019.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survey analitik.

Pada penelitian ini dilakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena atau faktor

risiko dengan efek. Faktor risiko pada penelitian ini adalah lamanya aktivitas jarak

dekat (membaca buku,komputer/gadget). Sedangkan faktor efek nya adalah miopia.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu

Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan Maret 2019.

3.2.2 Tempat

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

yaitu ruang praktikum dan asrama Greendormitory Universitas Malahayati Bandar

Lampung.

3.3 Rancangan Penelitian

27
28

Rancangan penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah

rancangan cross sectional, yaitu dengan cara, observasi atau pengumpulan data

dilakukan sekaligus pada waktu yang sama.

3.4 Subyek Penelitian

3.4.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti[ CITATION Not14 \l 1033 ]. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung

angkatan 2016 yang berjumlah 333 orang. Dikarenakan Mahasiswa angkatan 2016

saat ini adalah Mahasiswa yang memasuki fase pendidikan tahun kedua yaitu

semester 3 dan semester 4 yang dianggap oleh peneliti sebelumnya, semakin lama

ternyata semakin meningkat prevalensi kejadian miopia pada Mahasiswa Fakultas

Kedokteran.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi[ CITATION Not14 \l 1033 ]. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang

valid, besar sampel harus dihitung berdasarkan rumus. Rumus besar sampel yang

akan digunakan pada penelitian ini adalah rumus slovin, yaitu :

N
n=
1+ N ( e )2

Keterangan:
29

n : ukuran sampel/jumlah responden

N : ukuran populasi

e : presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang

masih bisa ditolerir : e = 0,1

333
n= 2
1+333(0,1)

333
n=
1+3,33

n = 76,9

n = 77

Dari jumlah populasi sebanyak 333 orang, setelah dilakukan perhitungan dengan

menggunakan rumus slovin didapatkan 77 responden yang akan digunakan sebagai

sampel.

3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu dengan cara Purposive

Sampling yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh

peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui

sebelumnya[ CITATION Not14 \l 1033 ].

3.5 Kriteria Penelitian


30

3.5.1 Kriteria Inklusi

Dalam penelitian ini yang menjadi kriteria inklusi yaitu sebagai berikut:

1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung

angkatan 2016 menggunakan kacamata atau Soft lens dengan lensa sferis

konkaf (lensa minus).

2) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Malahayati Bandar Lampung angkatan 2016

yang mengalami miopia pada kedua mata (mata kiri dan mata kanan) dengan

visus <6/6.

3.5.2 Kriteria Eksklusi

Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini sebagai berikut:

1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung

angkatan 2016 yang menderita miopia tapi pada salah satu mata (kanan saja

atau kiri saja).

2) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung

angkatan 2016 yang menderita astigmatisma murni.

3.6 Variabel Penelitian

1) Variabel Dependen
31

Variable Dependen atau variable terikat (akibat) adalah variable yang

dipengaruhi oleh variabel independent. Pada penelitian ini yang menjadi variabel

dependen adalah kejadian miopia.

2) Variabel Independen

Variabel Independen atau variabel bebas adalah variabel yang

mempengaruhi hasil. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah

faktor aktivitas melihat jarak dekat (membaca buku, komputer/gadget).

3.7 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Miopia Gangguan untuk Kuesioner Ringan-sedang (0-6 Ordinal
melihat juah pada Dioptri)
kedua mata ≥sedang-berat (>6 Dioptri)
Lama Lamanya Kuesioner ≤ 2 jam Ordinal
membaca menggunakan > 2 jam
buku,komputer komputer/gadget,
/gadget membaca buku
32

Jarak membaca Jarak yang digunakan Kuesioner ≥30 cm Ordinal


buku,komputer penderita miopia untuk < 30 cm
/gadget membaca buku dan
menggunakan
komputer/gadget yang
dinilai dalam senti
meter (cm)

3.8 Alat Ukur

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dan snellen chart.

3.9 Pengumpulan Data

Jenis data pada penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh dengan cara :

1) Pemeriksaan visus/ tajam penglihatan secara langsung menggunakan kartu snellen.

2) Menggunakan kuesioner yang sudah disiapkan oleh peneliti dan di isi oleh

responden.

3.10 Pengelolaan Data

Tahapan yang dilakukan untuk pengolahan data ini yaitu:


33

1. Editing

Pada tahap ini, data yang sudah dikumpulkan, dicatat, diperiksa dan

diteliti kembali. Hal ini bisa dilakukan pada saat proses pengumpulan data atau

saat data sudah terkumpul.

2. Coding

Data yang sudah di edit, diberikan kode numeric (angka) terhadap data

yang terdiri dari beberapa kategori. Pemberian kode sangat penting untuk

pengolahan dan analisa data di komputer.

3. Entry

Data yang sudah dikumpulkan, dimasukkan kedalam komputer untuk

dilakukan analisis data.

4. Cleaning

Pada tahap ini dilakukan pengecekan kembali data yang sudah masuk

ke komputer agar tidak ada kesalahan dalam memasukkan data dan agar hasil

analisis yang dihasilkan mejadi valid.

3.11 Analisis Statistik


Miopia

34

Analisi statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan

program software computer dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu

Univariat dan Bivariat.

1) Analisa Univariat

Analisa Univariat dilakukan untuk mendeskripsikan data agar terlihat

karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Data kategorik akan dilihat

distribusi frekuensi dengan ukuran proporsi dan presentase lalu disajikan dalam

bnetuk tabel dan narasi.

2) Analisa Bivariat

Analisa Bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel

dependen dengan variabel independen. Uji yang dipakai pada penelitian ini

adalah digunakan uji spearman. Apabila didapatkan nilai p<0,05, maka Ho

ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat korelasi yang signifikan. Dengan

nilai r (korelasi) antara -1 (hubungan linier negatif sempurna) sampai +1

(hubungan linier positif sempurna) (Syahdrajat, 2018). Selain itu ditentukan

pula nilai koefisien korelasi (r) untuk mengetahui kekuatan pengaruh antara

dua variabel dengan ketentuan angka korelasi sebagai berikut:

Tabel 3.2 Kekuatan Koefisien Korelasi Menurut (Dahlan, 2014)

Interval Koefisien Kekuatan Hubungan


35

0,0 - <0,2 Sangat lemah

0,2 - <0,4 Lemah

0,4 - <0,6 Sedang

0,6- <0,8 Kuat

0,8 – 1,00 Sangat Kuat

3.12 Alur Penelitian

Adapun alur penelitian yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

Penyusunan Proposal

Pre Survey

Populasi
36

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi


Sampel

Penelitian

Melakukan pembagian dan pengisian kuesioner, serta


pemeriksaan visus menggunakan snellen chart

Mencatat Data

Pengolahan Data

Analisis Data

Gambar 2.6 Alur Penelitian


37

Anda mungkin juga menyukai