Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PEDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan zaman di era modern semakin pesat, dimana adanya

tuntutan dalam melakukan pekerjaan dan akses memperoleh informasi.

Penggunaan computer di era Revolusi Industri 4.0 adalah suatu hal yang biasa.

Hampir semua jenis pekerjaan membutuhkan komputer. Pengguunaan alat

bantu yang paling banyak digunakan manusia, komputer ternyata juga dapat

menimbulkan efek negatif. Monitor komputer tidak hanya menampilkan

gambar dan teks, tetapi juga mengeluarkan radiasi gelombang yang tidak dapat

dideteksi oleh mata seperti sinar (UV) dan sinar X yang dapat menyebabkan

gangguan fisiologis pada mata, kepala, ataupun badan. Computer Vision

Syndrome (CVS) merupakan salah satu gangguan penglihatan yang

diakibatkan oleh penggunaan computer yang terlalu lama. Salah satu

gejala CVS adalah kelelahan mata. Pada kondisi ini akibat penggunaan

fungsi penglihatan secara intensef sehingga memicu penurunan ketahanan

penglihatan. Pandemi COVID-19 mengharuskan masyarakat untuk

beradaptasi sebagai upaya mengurangi transmisi COVID-19, salah

satunya dengan menerapkan bekerja jarak jauh secara daring / Work

from Home (WFH) serta melalui pembelajaran secara daring / School from

Home (SFH) (Handarini & Wulandari, 2020) dengan konsep telecommuting

(Mungkasa, 2020). Kelompok masyarakat yang sangat terdampak oleh

kebiasaan ini adalah kelompok usia produktif dengan rentang bawah usia 15

1
tahun dan batas atas usia 64 tahun (Tjiptoherijanto, 2001) dan mencakup

70,72% dari total populasi masyarakat Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2020).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 mengenai

Statistik Telekomunikasi Indonesia, perkembangan kepemilikan komputer

dalam rumah mengalami peningkatan sekitar 0,56% per tahun (BPS,2019).

Lokasi penggunaan komputer oleh masyarakat di yaitu dirumah (61,92%),

kantor (42,08%), dan sekolah (12,12%). Lokasi penggunaan laptop yaitu di

rumah (61,72), kantor (56,48%), dan sekolah (14,24%) (Kemkominfo,2017).

Secara global, kasus CVS diderita oleh hampir 60 juta orang dan setiap

tahunnya sejuta kasus baru terjadi. Kasus CVS mempengaruhi sekitar 90%

orang yang menghabiskan waktu 3 jam atau lebih di depan computer (Mersha

et al., 2020). CVS dilaporkan memiliki prevalensi lebih besar pada laki-laki

namun dari penelitian lainnya disimpulkan perempuan memiliki risiko lebih

tinggi mengalami gejala CVS yaitu sakit kepala dan penglihatan kabur. Dari

penelitian didapatkan data prevalensi CVS pada subyek berusia kurang dari 20

tahun adalah sebesar 58% (Sari dan Himayani, 2018).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014

angka kejadian astenopia (kelelahan mata) berkisar 40% sampai 90% (Irma et

al,2019). Berdasarkan survey terhadap orang dewasa di Amerika oleh Vision

Council pada tahun 2018,dilaporkan lebih dari 80% menggunakan perangkat

digital selama lebih dari 2 jam/hari. Tercatat gejala CVS dengan adanya

penggunaan perangkat digital tersebut seperti nyeri leher/bahu (35%), sakit

kepala (27,2%), ketegangan mata (32,4%), penglihatan kabur (27,7%), dan

2
mata kering (27,2%) (Alexandria,2019). Secara global, hampir 60 juta orang

mengalami CVS dan angka ini diperkirakan akan bertambah jutaan kasus

setiap tahunnya (Ranasinghe et al.,2016).

Menurut hasil survey American Eye-Q tahun 2015 tentang teknologi

dan kesehatan mata,melaporkan bahwa rerata pekerja di Amerikat Serikat

bekerja dengan menggunakan komputer selama 7 jam/hari dikantor maupun

dirumah dan dilaporkan bahwa 58% orang dewasa mengalami ketegangan

mata atau masalah penglihatan sebagai akibat langsung dari penggunaan

dysplay tersebut. Pada survey tersebut juga ditemukan bahwa komputer

desktop dan laptop adalah alat yang paling mengganggu mereka. Ponsel berada

diurutan kedua di 26%, diikuti oleh tablet di 8% (AOA,2016).

Di Indonesia, Anggrainy et al (2020) melakukan penelitian terhadap

seluruh komputer aktif berjumlah 76 orang pegawai di KKP, prevalensi CVS

yang paling banyak adalah mata lelah (88%), sakit pada leher (72,5%), sakit

pada punggung (56,5%), penglihatan kabur (55,5%), mata terasa tegang (54%),

sakit kepala (42%), mata terasa iritasi (38,5%), dan mata kering (38,5%)

(Anggrainy et al.,2020). Beberapa penelitian menyatakan bahwa prevalensi

CVS mencapi 64-90% pada seseorang yang sering terpapar VDT, salah

satunya adalah mahasiswa (Amalia, 2018).

Computer vision syndrome didefinisikan oleh American Opometric

Association sebagai masalah mata dan penglihatan majemuk yang berkaitan

dengan penglihatan jarak dekat yang dialami seseoarang selagi menggunakan

komputer atau dysplay lainnya dalam waktu yang lama secara terus menerus

3
(AOA,1997,2016; Venkatesh, Girish, Kulkarni & Mannava,2016) .National

institut for occupational safety and Health (NIOSH) Amerika Serikat

mengatakan bahwa sekitar 90% orang menghabiskan 3 jam atau lebih dari

sehari dikomputer dapat mengakibatkan computer vision syndrome (CVS)

(Anggrainy et,al,2020). American Opometric Association meyebutkan,CVS

adalah gangguan penglihatan akibat penggunaan komputer dengan durasi yang

lama. Gangguan penglihatan disebabkan oleh cahaya terang atau sinar biru dari

layar komputer yang masuk ke mata karena harus terus menerus memfokuskan

penglihatan saat sedang membaca atau melihat sesuatu di monitor. Keluhan

yang dialami penderita CVS antara lain ketegangan mata, sakit kepala,

penglihatan kabur, mata kering, serta nyeri leher dan bahu (AOA,2020).

Sinar biru menjadi faktor internal terjadinya kelelahan mata karena

mempunyai panjang gelombang pendek dengan jumlah energi yang lebih

tinggi dari pada sinar lainnya. Oleh karena itu, paparan sinar biru semakin lama

akan menyebabkan kerusakan mata serius dalam jangka panjang (Citrawathi,

Udiantari and Warpala, 2019). Sinar biru dapat menciptakan silau yang dapat

mengurangi kontras visual dan memengaruhi ketajaman penglihatan.

Kelelahan mata akibat paparan sinar biru dapat terjadi apabila menatap layar

smartphone lebih dari 2 jam (Citrawathi, Udiantari and Warpala, 2019).

Dampak sinar dari paparan sinar biru selain terjadinya kelelahan mata

dan kerusakan retina dalam jangka panjang, juga dapat meningkatkan risiko

kenaikan berat badan, diabetes, kanker dan serangan jantung (Vani et al.,

2021). Kelelahan mata dapat menimbulkan gejala bagi penderitanya seperti

4
sakit kepala, mata sakit, mata lelah, pandangan menjadi kabur, mata terasa

berair sampai mata terasa terbakar hingga sensitif terhadap cahaya yang terang

(Kellogg Eye Center, 2015). Gejala tersebut sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Layan Al Tawil dkk (2020) menyatakan bahwa sebanyak 65%

responden merasakan sakit kepala dan 51,5% mahasiswi merasakan mata

kering (Al Tawil et al., 2020).

Gejalanya dapat berupa ketegangan/kelelahan mata, mata kering, mata

merah, iritasi mata, rasa terbakar pada mata, penglihatan kabur, penglihatan

ganda, lambat dalam mengubah fokus, perubahan persepsi warna, sekresi air

mata yang berlebihan, sensitif cahaya/silau, nyeri kepala, dan rasa sakit pada

leher, bahu dan punggung. Bagi seorang anak kondisi kelelahan mata dapat

menyebabkan gangguan perilaku seperti gangguan emosi, sosial maupun

konsentrasi, gangguan tidur, kegemukan, prestasi menurun, bahkan

menyebabkan masalah kekerasan. CVS dapat disebabkan oleh kelainan okular

termasuk gangguan daya akomodasi, namun bisa juga akibat kelainan

ekstraokular/ergonomis (Patil et al., 2019).

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian CVS antara lain:

durasi penggunaan komputer, jarak maupun sudut pandang mata terhadap layar

komputer, tinggi dan inklinasi layar, pengaturan intensitas cahaya layar

komputer dan lingkungan sekitar, jenis komputer, penggunaan kacamata,

lensa kontak, dan penggunaan glare cover (Sari dan Himayani, 2018).

Ketegangan pada mata dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan mengarah

pada penurunan produktivitas sekitar 4-19% (Mersha et al., 2020).

5
Dampak buruk terhadap kesehatan mata dan fisik akibat penggunaan

komputer yang berlebihan sesungguhnya dapat dicegah, salah satunya dengan

beristirahat setelah menggunakan komputer (Lee et al., 2019). Upaya lain juga

perlu dilakukan untuk menjaga mata yang sehat dari layar komputer atau gawai

lainnya (Insani, 2018). Kesadaran menjadi langkah penting dalam upaya

mencegah maupun mengobati gangguan kesehatan mata (Patil et al., 2019).

Pengetahuan yang baik tentang bagaimana menjaga kesehatan mata serta

pemahaman akan penyakit mata dapat menjadi kunci bagi implementasi

pencegahan dan inisiasi terapi gangguan mata (Patil et al., 2019).

Beberapa cara yang harus dilakukan untuk mencegah Computer Vision

Syndrome (CVS) ini adalah menjaga posisi mata 20-28 inci dari komputer,

mengurangi cahaya yang berasal dari komputer menggunakan teknologi layar

antiglare, mengatur posisi duduk dan mengetik yang tepat, melakukan

istirahat mata selama 15-20 menit setelah menata layar selama 2 jam, serta

sering mengedipkan mata agar mata tetap lembab (AOA,2020).

Hasil survei awal yang dilakukan dikampus stikes maranatha pada

desember 2022 ditemukan 8 orang mahasiswa yang mengalami gejala CVS

dan dari 8 mahasiswa tersebut ditemukan bahwa 8 mahasiswa tersebut

mengalami masalah CVS dan terdapat beberapa keluhan yang dialami oleh

kedelapan mahasiswa tersebut terkait penggunaan laptop dan dari kedelapan

mahasiswa tersebut belum memahami terkait dengan perilaku pencegahan

Computer Vision Syndrome (CVS). Keluhan terbanyak yang sering dialami

diantaranya yaitu sakit kepala, sakit mata, sering kali pusing ketika

6
menghadap kelayar laptop lebih dari 1 jam dan terkadang harus menggunakan

kacamata saat menggunakanlaptop karena mata sering kali berair ketika

terlalu lama menghadap kelayar laptop.

Oleh karena itu berdasarkan latar belakang masalah diatas maka

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan

Pengetahuan dan Sikap Dengan Perilaku Pencegahan Computer Vision

Syndrome (CVS) pada Mahasiswa STIkes Maranatha”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian tentang “Apakah ada Hubungan antara

pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan Computer Vision

syndrome pada mahasiswa kampus Stikes Maranatha?”.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku

pencegahan pada mahasiswa pengguna komputer di kampus Stikes Maranatha

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengindetifikasi pengetahuan Computer Vision syndrom (CVS).

2. Untuk mengidentifikasi tentang sikap CVS

3. Untuk mengidentifikasi tentang perilaku pencegahan CVS.

4. Untuk menganalisis hubungan anatara pengetahuan dan sikap dengan

perilaku pencegahan CVS.

7
1.4. Manfaat

1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini menjadi sarana bagi peneliti untuk menambah wawasan

mengenai hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan

Computer Vision Syndrome (CVS). Penelitian ini juga menjadi sarana peneliti

dalam menerapkan disiplin ilmu yang telah didapat serta meningkatkan

kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.

1.4.2. Bagi Mahasiswa

Penelitian ini memberikan gambaran mengenai hubungan pengetahuan

dan sikap dengan perilaku pencegahan Computer Vision Syndrome (CVS)

sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi mahasiswa dalam

berperilaku atau menentukan sikap saat menggunakan computer maupun

dalam upaya mencegah terjadinya CVS.

1.4.3. Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi lebih kepada

mahasiswa dan juga dijadikan referensi terhadap peneliti berikutnya tentang

hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan Computer

Vision Syndrome (CVS).

8
1.5. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian
No Nama peneliti Judul Metode penelitin Hasil penelitian Instumen
dan tahun penelitian
1 Ariffio Dava Pengetahun dan Penelitian ini Subjek penelitian didapatkan total 133 Kuesioner
Prihandoyo, perilaku merupakan responden dengan perolehan 100
dkk (2021) mahasiswa terkait penelitian cross responden (75,19%) memiliki
computer vision sectional pengetahuan mengenai CVS yang cukup
syndrome (CVS) baik, 69 responden (51,88%) memiliki
serta penggunan perilaku yang menyebabkan risiko tinggi
dan penyimpanan terkena CVS dan 71 responden (53,36%)
obat tetes mata memiliki pengetahuan yang cukup baik
sebagai dalam penyimpanan dan penggunaan
penanganannya.. obat tetes mata terkait CVS.

2 Nopriadi,Yuha Faktor yang Jenis penelitian


Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kuesioner
rika Pratiwi, Berhubungan ini adalah
karyawan Bank RK Pekanbaru yang
Emy dengan Kejadian kuantitatif mengalami keluhan CVS, yaitu berupa
Leonita,Erna Computer Vision observasional mata lelah dan tegang 54,3%, nyeri pada
Tresnanengsih Syndrome pada dengan leher 28,7%, nyeri bahu 27,7%, sakit
(2018) Karyawan Bank rancangan crosskepala 25,5%, pandangan kabur 20,2%,
sectional. melihat kembar 17%, mata berair dan
sulit fokus 14,9%, nyeri punggung
11,7%, mata perih, sakit iritasi sebesar
5,3%..
3 Ayu Syahlan Hubungan durasi Jenis penelitian Terdapat hasil yang signifikan pada Kuesioner
Nadia, Ameria penggunaan ini analitik variable durasi penggunaan komputer
Paramita, Ave komputer dengan dalam sehari dengan kejadian dengan
Olivia portabel dengan pendekatan cross dan pencahayaan lingkungan terhadap
Rahman. kejadian sectional kejadian CVS. Diketahui bahwa terdapat
(2020) Computer Vision hubungan yang bermakna antara durasi
Syndrome pada penggunaan komputer portabel dan
mahasiswa pencahayaan lingkungan dengan
fakultas kejadian CVS.
kedokteran dan
ilmu kesehatan
universitas jambi
tahun 2020

9
Berdasarkan penelitian pada tabel 1 menyatakan bahwa ada hubungan

pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan Computer Vision Syndrome

(CVS)pada mahasiswa dan penelitian tersebut menggunakan penelitian deskriptif

Cross Sectional dengan metode pengambilan data melalui survey online sedangkan

pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan penelitian deskriptif korelasi

dengan pendekatan Cross Sectionaldimana untuk mengetahui hubungan antara

variable yang satu dengan variable lainnya, dan dari kedua penelitian tersebut

terdapa persamaan yaitu untuk mengetahui adanya hubungan pengetahuan dan sikap

dengan perilaku pencegahan computer vision syndrome, kemudian pada analisa bivariat

jenis uji yang digunakan adalah uji chi square dan istrumen penelitian yang digunakan

yaitu kuesioner.

Penelitian pada tabel 2 menyatakan terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap dan

perilaku pencegahan pada kejadian Computer Vsion Syndrome (CVS), Jenis penelitian ini

adalah kuantitatif observasional dengan rancangan cross sectional Analisis data

yang digunakan adalah univariat, chi-square untuk analisis bivariat dan uji multiple

logistic regression untuk analisis multivariat. Sedangkan penelitian ini

menggunakan desain penelitian deskriptif korelasi dengan pendekatan cros

sectional dimana untuk mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan

variabel lainnya, persamaan yang ada yaitu pada fokus penelitianya yaitu untuk

mengetahui adanya hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan

computer vision syndrome dan uji yang digunakan yaitu uji chi square.

Berdasarkan penelitian pada tabel 3 menyatakan terdapat hubungan durasi

penggunaan computer antara pengetahuan, sikap dengan perilaku pencegahan

10
pada kejadian Computer Vsion Syndrome (CVS) pada mahasiswa, Jenis penelitian

ini analitik dengan pendekatan cross sectional menggunakan kuesioner penelitian

dan dalam analisa data menggunakan uji chi square. Sedangkan penelitian yang

akan dilakukan ini pada analisa data menggunakan uji chi square saja dan desain

penelitian ini yaitu deskriptif korelasi dengan pendekatan cros sectional dimana

untuk mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan variabel

lainnya.Adapun persamaan penelitian terletak pada fokus penelitianya yaitu untuk

mengetahui adanya hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan

computer vision syndromedan instrument penelitian yang digunakan adalah

kuesioner.

11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Computer Vision Syndrome (CVS)

2.1.1 Definisi
Gangguan pada mata dan kepala, mulai dari nyeri atau sakit kepala,

mata kering, iritasi, dan mata lelah, sering disebut juga dengan CVS (Ningsih,

Ambarwati dan Jadmiko, 2015). CVS merupakan sekumpulan masalah pada

mata dan penglihatan yang terjadi karena penggunaan laptop, tablet, e-reader,

dan handpone yang terlalu lama (AOA, 2016). CVS adalah sekumpulan

masalah pada mata dan penglihatan terkait dengan kegiatan yang menekankan

pada penglihatan dekat selama menggunakan laptop (Loh dan Reddy, 2008).

CVS dapat juga diartikan sebagai kumpulan gangguan fisik yang menyerang

pengguna laptop (Kurmasela, Saerang dan Rares, 2013). CVS adalah suatu

kondisi dimana seseorang merasakan satu atau lebih gejala pada mata akibat

dari penggunaan laptop yang lama (Reddy et al, 2013). CVS ditandai dengan

gejala visual yang dihasilkan dari interaksi dengan layar laptop atau

lingkungan (Akinbinu dan Mashalla, 2014).

American Optometric Association (AOA) mendefinisikan CVS sebagai

kumpulan gejala pada mata dan penglihatan yang berhubungan dengan

aktivitas yang memberatkan penglihatan jarak dekat dan berlangsung selama

atau setelah penggunaan komputer, tablet, e-reader, dan telepon seluler (AOA,

2017.
2.1.2 Penyebab
Penyebab seseorang mengalami CVS, selain penggunaan laptop yang

terlalu lama, adalah pencahayaan yang buruk, silau pada layar monitor, jarak

pandang yang tidak tepat, posisi duduk yang buruk, masalah penglihatan yang tidak

dikoreks i, serta kombinasi dari faktor-faktor tersebut (AOA, 2016). Keluhan CVS

juga dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut, yaitu kelelahan otot ekstraokuler

dan intraokuler, penurunan kedipan mata, mata kering, stres pada otot mata yang

berulang, penggunaan kacamata atau lensa kontak, dan kelainan refraksi

(Priliandita, 2015). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan mata kering

sehingga menimbulkan gejala CVS adalah factor lingkugan, jenis kelamin, riwayat

penyakit, riwayat pengobatan (Wimalasundera, 2006).

2.1.3 Faktor Risiko Computer Vision Syndrome


1) Factor individual
1) Usia
Pengguna komputer usia lebih dari 30 tahun lebih mungkin untuk

mengalami Computer Vision Syndrome (CVS) dangan gangguan

musculoskeletal secara bersamaan. Pengguna komputer dari usia antara 25-30

tahun lebih berisiko terkena CVS (Ellahi, Khalil dan Akram, 2011).

Penelitian oleh Das dkk. (2010), menunjukkan bahwa pekerja

pengguna komputer atau didepan Video Display Terminal yang berusia lebih

dari 40 tahun lebih banyak mengeluhkan rasa tidak nyaman

menggunakan komputer yang berkaitan dengan kesehatan, dengan

tingkat tertinggi dibandingkan dengan kelompok usia lain.


2) Jenis Kelamin
CVS lebih banyak di kalangan laki-laki daripada perempuan.

Laki-laki berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami CVS dengan

gejala kemerahan, sensasi terbakar, penglihatan kabur, dan mat akering.

Namun sakit kepala, leher, dan nyeri bahu relative lebih banyak pada

wanita. Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi terkena mata kering

(Logaraj, Madhupriya dan Hegde, 2014).

3) Riwayat Penyakit

Berbagai penyakit sistemik berkontribusi menyebabkan mata

kering seperti riwayat penyakit imun osupresi flupus, penyakit thyroid,

rheumatoid arthritis, diabetes, fluktuasi hormonal, dan acnerosacea (Sheedy

dan Shaw-McMinn,2003). Penelitian Moss, dan Klein (2008) menunjukkan

bahwa berbagai faktor risiko penyakitjantung, seperti total HDL memiliki

hubungan terbalik dengan kejadian mata kering, sedangkan diabetes

memiliki hubungan langsung dengan kejadian mata kering..

Penyakit mata juga berkontribusi menyebakan gejala mata kering

seperti: disfungsi kelenjar meibom, blepharitis, konjungtivitis alergi,

blepharochalasis, trichiasis, dan gangguan kelopak mata seperti

ektropion dan entropion, yang tidak dapat menutup sempurna yang penting

untuk menyebarkan secara merata air mata ke seluruh permukaan

kornea (Sheedy dan Shaw-McMinn,2003).

Kondisi mata kering bisa disebabkan oleh penurunan sekresi air mata

lakrimal atau penguapan berlebihan. Salah satu dari penyebab ini dapat

14
menyebabkan gejala CVS. Penurunan sekresi bisa disebabkan Sjogren's

syndrome, kondisi autoimun yang mempengaruhi baik lakrimal dan

kelenjar ludah (Bayetto dan Logan,2010)

4) Riwayat Pengobatan

Penggunaan obat-obatan juga berkontribusi untuk meyebabkan

mata kering seperti obat antihistamin, antihipertensi, antikolinergik,

antidepresan, kontrasepsioral, obat glaukoma, dan obat kronis dengan

bahan pengawet (Sheedy dan Shaw-McMinn,2003).

Penelitian oleh Moss, dan Klein ( 2008) menunjukkan bahwa obat-

obatan juga memiliki hubungan dengan kejadian mata kering. lnsiden

lebih tinggi pada orang yang memakai obat antihistamin, anticemas,

antidepresan, steroidoral atauvitamin. Penggunaan aspirin 1pada penderita

arthritis juga memiliki hubungan langsung dengan mata kering.

5) Penggunaan Kacamata

Kacamata digunakan untuk mengoreksi kelainan refraksi. Koreksi

yang buruk merupakan salah satu risiko terjadinya mata lelah pada

pengguna Video Display Unit (VDU). Studi terhadap pengguna VDU di Italia

melaporkan bahwa 38% dari pengguna VDU mempunyai kelainan

miopia. Hasii penelitian Cole, Maddocks dan Sharpe (1996) menyatakan

bahwa 62,5% pengguna Video Display Terminal (VDT) dengan kacamata

mengeluhkan nyeri kepala di daerah frontal yang frekuensi yang

merupakan salah satu akibat dari kelelahan mata akibat VDT. Sebuah

penelitian pernah dilakukan oleh Edema dan Akwukwuma (2010),

15
tentang kejadian astenopia pada pengguna VDT yang menggunakan

kacamata. Hasil yang diperoleh ialah terdapat perbedaan yang signifikan

antara pengguna VDT yang memakai kacamata dengan kejadian

astenopia dibandingkan dengan pengguna VDT yang tidak memakai

kacamata.

6) Penggunaan Lensa Kontak

Hasil penelitian Logaraj, Madhupriya dan Hegde (2014)

menunjukkan bahwa dari 176 siswa yang mengunakan baik kacamata

ataupun lensa kontak, 72,2% (127/176) dari mereka memiliki gejala

penglihatan dari CVS. Siswa mengenakan lensa koreksi baik kacamata

atau lensa kontak menunjukkan risiko lebih tinggi terkena sakit kepala dan

penglihatan kabur, signifikan secara statistik. Siswa yang memakai lensa

kontak berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami sakit kepala,

penglihatan kabur dan mata kering dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan lensa kontak.

Kojima dkk. (2007), melaporkan bahwa nilai tinggi tearmeniscus

lebih buruk dan volume tearmeniscus juga lebih rendah pada pekerja

pengguna komputer dengan lensa kontak dan bekerja di depan

computer selama lebih dari sama dengan 4 jam sehari dari pada pekerja

pengguna komputer yang tidak menggunakan lensa kontak dan bekerja

didepan komputer selama kurang dari 4 jam sehari. Hasil penelitian yang

lain yaitu keluhan adanya gangguan penglihatan pada pekerja pengguna

16
komputer dengan lensa kontak dan bekerja di depan komputer

selama lebih dari sama dengan 4 jam sehari lebih tinggi secara signifikan.

7) Lama bekerja dengn computer

Hubungan usia mulai menggunakan computer dengan terjadinya

ketidaknyamanan penglihatan belum diteliti banyak. Dalarn penelitian

Bhanderi, Choudhary dan Doshi (2008) ditemukan bahwa usia mulai

menggunakan computer menjadi prediktorastenopia. Angka kejadian

astenopia lebih tinggi pada pengguna VDT yang bekerja dengan

computer selama kurang leb ih5 tahun

8) Lama penggunaan computer

Penelitian oleh Azkadina (2012), menunjukkan bahwa lama

bekerja di depan komputer berhubungan secara signifikan dengan kejadian

CVS dan bekerja didepan komputer selama lebihdari atau sama dengan 4 jam

secara terus-menerus berisiko tiga setengah kali lipa tlebih tinggi untuk

mengalami CVS dibandingkan dengan bekerja didepan computer selama

kurang dari 4 jam secara terus-menerus.

2) Faktor Komputer
1) Sudut Penglihatan

Penggunaan komputer sebaiknya berada di bawah garis horizontal

mata terhadap layar komputer. Secara optimal, layar komputer sebaiknya

berada pada sudut 15-20° terhadap level mata (AOA, 2017).

Menurut Logaraj dalam penelitiannya, pengguna komputer yang

melihat komputer pada sudut <15° memiliki risiko lebih tinggi untuk

17
mengalami keluhan berupa sakit kepala dan iritasi mata (Logaraj, Priya,

Seetharaman, et al., 2013). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil

penelitian Reddy yang melaporkan bahwa pengguna komputer dengan

posisi layar lebih rendah dari tingkat mata mengalami gejala CVS yang

lebih rendah (Reddy, Low, Lim, et al., 2013).

Gambar 2.1 Sudut Mata Nornal pada Pengguna Komputer (AOA, 2017).

2) Jarak Pandang Mata terhadap Komputer

Penelitian oleh Logaraj menunjukkan bahwa responden yang

bekerja di depan komputer dengan jarak kurang dari 50 cm berisiko lebih

tinggi terkena CVS dan secara signifikan tinggi untuk menderita buram

pada penglihatan. Menurut Kanithkar dalam penelitiannya melaporkan

bahwa semakin jauh jarak pandang mata terhadap layar komputer (90-100

cm) gejala yang dikeluhkan responden terkait CVS akan semakin sedikit.

Idealnya, jarak penglihatan mata terhadap layar komputer adalah sebesar

20-40 inchi (50-100cm) (Logaraj, Priya, Seetharaman, et al., 2013).

18
3) Penggunaan Antiglare Cover

Cahaya silau dan pantulan cahaya dapat menjadi penyebab keluhan

mata tegang dan sakit kepala. Secara signifikan, prevalensi gejala CVS

lebih rendah terjadi pada subjek yang menggunakan antiglare cover pada

layar komputernya (Bhanderi, Sushilkumar, & Doshi, 2008).

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Logaraj, Priya, Seetharaman,

et al. (2013) dalam upaya untuk menghindari cahaya silau dan pantulan

cahaya selama bekerja di depan komputer responden menggunakan

antiglare cover.

3) Factor Lingkungan
1) Pencahayaan Ruangan

Umumnya, pencahayaan di ruang kerja dengan VDT atau layar

komputer menggunakan pencahayaan yang lebih terang. Hal tersebut

menyebabkan mata silau dan menurunkan kemampuan mata untuk

memfokuskan penglihatan pada monitor (Yan, Hu, Chen, et al., 2008).

2) Kelembapan Udara Ruangan

Semakin rendah kelembapan udara dapat menurunkan frekuensi

berkedip sehingga menyebabkan keluhan CVS seperti mata kering (Cabrera

& Lim Bon Siong, 2010).

3) Suhu Udara Ruangan

Sama seperti kelembapan udara, suhu udara yang rendah dapat

menurunkan frekuensi berkedip normal (Cabrera & Lim Bon Siong, 2010).

19
2.1.4 Pencegahan

Pencegahan terhadap CVS dapat dilakukan yaitu dengan modifikasi faktor

lingkungan dan perawatan mata oleh pengguna komputer (Loh & Reddy, 2008).

1. Modifikasi Faktor Lingkungan

1) Penggunaan filter atau penyesuaian pencahayaan ruangan dapat

mengurangi kelelahan penglihatan akibat cahaya terang dari jendela

lampu fluorescent yang dipakai sebagai penerangan yang dapat

menyebabkan cahaya silau.

2) Pencahayaan komputer dan pencahayaan ruangan harus sama untuk

mencegah gejala mata tegang.

3) Penggunaan screen filter untuk mengurangi pantulan pada layar

komputer.

4) Jarak mata sebaiknya terletak pada 35-40 inchi dari layar komputer dan

layar seharusnya berada pada 10-20o di bawah level mata

2. Perawatan Mata

1) Melakukan istirahat dan perubahan pada pandangan dapat mengurangi

gejala okular.

2) Menggunakan artificial tears untuk mengurangi mata kering karena

berkurangnya refleks kedip.

3) Menggunakan kacamata koreksi pada pengguna

komputer dengan kelainan refraksi.

20
2.2 Konsep Pengetahuan
2.1.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga (Notoatmodjo, 2014)

2.1.2 Tingkat Pengetahuan


Menurut (Notoatmodjo 2012), pengetahuan yang tercakup dalam domain

kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan,yakni

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari

atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2) Memahami (komprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap obyek atas materi dapat menjelaskan, menyebutkan

contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang

dipelajari.

21
3) Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi

di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,

metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau yang lain.

4) Analisis (analysis)

Anaisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek kedalam komponen-komponen,tetapi masih didalam suatu struktur

organisasi, masih ada kaitannya satu sama lain.

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meleltakan atau

menghubugngkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu bentuk kemampuan

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan

pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau mmenggunakan kriterisa-

kriteria yang ada. Pengukuran pengethuan dapat dilakukan dengan

menggunakan wawancaara atau angket yang menanyakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalam

pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan

dengan tingkatan-tingkatan di atas.

22
2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengarui Pengetahuan
Ada beberapa factor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang,yaitu:

1) Factor internal meliputi:

1) Umur

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan sesorang

akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari segi kepercayaan

masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang

yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari

pengalaman jiwa (Nursalam, 2011).

2) Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experience is the

best teacher), pepatah tersebut bias diartikan bahwa pengalaman

merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan

cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu

pengalaman pribadi pun dapat dijadikan sebagai upaya untuk

memperoleh pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan

persoalan yang dihadapi pada masa lalu (Nursalam, 2011).

3) Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan sesorang semakin banyak

pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya semakin pendidikan

yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang

terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan (Nursalam, 2011).

23
4) Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya (Menurut

Thomas 2007, dalam Nursalam 2011). Pekerjaan bukanlah sumber

kesenangan,tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah

yang membosankan berulang dan banyak tantangan (Nursalam,

2011).

5) Jenis kelamin

Istila jenis kelamin merupakan suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial

maupun kultural.

2)Factor eksternal

1) Informasi

Menurut Long (1996) dalam Nursalam dan Pariani (2010)

informasi merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi

cemas. Seseorang yang mendapat informasi akan mempertinggi

tingkat pengetahuan terhadap suatu hal.

2) Lingkungan

Menurut Notoatmodjo (2010), hasil dari beberapa

pengalaman dan hasil observasi yang terjadi dilapangan

(masyarakat) bahwa perilaku seseorang termasuk terjadinya perilaku

kesehatan, diawali dengan pengalaman-pengalaman seseorang serta

adanya factor eksternal (lingkungan fisik dan non fisik).

24
3) Sosial budaya

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial

seseoarang maka tingkat pengetahuan akan semakin tinggi pula.

2.1.4 Pengukuran Pengetahuan

Menurut (Arikuntu, 2010), pengukuran pengetahuan dapat dilakukan

dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang

diukur dari subyek atau responden kedalam pengetahuan yang ingin diukur

dan disesuaikan dengan tingkatnya, adapun jenis pertanyaan yang dapat

digunakan untuk pengukuran pengetahuan secara umum dibagi menjadi 2

jenis yaitu:

1.Pertanyaan subjektif

Penggunaan pertanyaan subjektif dengan jenis pertanyaan esay

digunakan dengan penilaian yang melibatkan factor subjektif dari penilai,

sehingga hasil nilai akan berbeda dari setiap penilai dari waktu ke waktu.

2. Pertanyaan objektif

Jenis pertanyaan objektif seperti ganda (multiple choise), betul salah

dan pertanyaan membodohkan dapat dinilai secara pas oleh penilai.

Menurut (Arikunto, 2010), pengukuran tingkat pengetahuan dapat

dikategorikan menjadi 3 yaitu:

1) Pengetahuan baik bilah responden dapat menjawab 76% - 100%

dengan benar dari total jawaban pertanyaan

2) Pengetahuan cukup bila responden dapat menjawab 56% - 75%

dengan benar dari total jawaban pertanyaan

25
3) Pengetahuan kurang bila responden dapat menjawab <56% dari total

jawaban pertanyaan.

2.3 Konsep Sikap


2.3.1Pengertian Sikap
Menurut Damiati, dkk (2017), sikap merupakan suatu ekspresi perasaan

seseorang yang merefleksikan kesukaannya atau ketidaksukaannya terhadap

suatu objek. Menurut Kotler (2007) sikap adalah evaluasi, perasaan, dan

kecenderungan seseoarang yang secara konsisten menyukai atau tidak menyukai

suatu objek atau gagasan. Menurut Sumarwan (2014) sikap merupakan

ungkapan perasaan konsumen tentang suatu objek apakah disukai atau tidak, dan

sikap juga menggambarkan kepercayaan konsumen terhadap berbagai atribut

dan manfaat dari objek tersebut. Menurut Umar Husein (2007) sikap adalah

evaluasi, perasaan, dan cenderung seseoarang yang relative konsisten terhadap

suatu objek atau gagasan yang terdiri dari aspek keyakinan dan evaluasi atribut.

Sikap atau attitude sebagai suatu reaksi pandangan atau perasaan

seseoarang individu terhadap objek tertentu. Walaupun objek sama, namun tidak

semua individu mempunyai sikap yang sama, hal itu dapat dipengaruhi oleh

keadaan individu, pengalaman, informasi dan kebutuhan masing-masing

individu berbeda. Sikap seseoarang terhadap objek akan membentuk perilaku

individu terhadap objek (Gerungan, 2004).

26
2.3.2Komponen Sikap
Menurut Darmiati,dkk (2017) sikap terdiri dari tiga komponen utama,yaitu:

1) Komponen kognitif. Komponen pertama dari sikap kognitif seseorang yaitu

pengetahuan, dan persepsi yang diperoleh melalui kombinasi pengalaman

langsung dengan objek sikap dan informasi tentang objek itu yang diperoleh

dari berbagai sumber. Pengetahuan dan persepsi yang dihasilkannya biasanya

membentuk keyakinan artinya keyakinan konsumen bahwa objek sikap

tertentu memiliki beberapa atribut dan bahwa perilaku tertentu akan

menyebabkan hasil tertentu.

2) Komponen afektif. Komponen afektif berkaitan dengan emosi atau perasaan

konsumen terhadap suatu objek. Perasaan itu mencerminkan evaluasi

keseluruh konsumen terhadap suatu objek, yaitu suatu keadaan seberapa jauh

konsumen merasa suka atau tidak suka terhadap objek itu, evaluasi konsumen

terhadap suatu merek dapat diukur dengan penilaian terhadap merk dari

”sangat jelek” samapi “sangat baik” atau dari “sangat tidak suka” sampai

“sangat suka”.

3) Komponen Konatif. Merupakan komponen yang berkaitan dengan

kemungkinan atau kecenderungan bahwa seseorang akan melakukan tindakan

tertentu yang berkaitan dengan objek sikap, komponen konatif sering kali

diperlukan sebagai suatu ekspresi dari niat konsumen untuk membeli.

Azraw (2012) berpendapat struktur sikap terjadi dari tiga komponen

yang saling menunjang yaitu:

27
1)Komponen kognitif. Komponen kognitif berisi kepercayaan streotipe

seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek

sikap. Seringkali komponen ini dapat disamakan dengan pandangan

(opini), terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang

kontroversial.

2)Komponen afektif. Komponen afektif merupakan perasaan individu

terhadap objek sikap atau menyangkut masalah emosi. Masalah

emosional inilah yang biasanya berakar paling bertahan terhadap

perubahan-perubahan yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.

3)Komponen perilaku Konatif. Komponen perilaku atau konatif dalam

stuktur sikap menunjukan bagaimana perilaku atau kecenderungan

berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap

yang dihadapinya.

2.3.3 Ciri-Ciri Sikap

Menurut Danang Sunyonto (2012) sikap mempunyai ciri antara lain:

1) Sikap bukan pembawaan manusia sejak lahir, melainkan dibentuk

atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu didalam hubungan

dengan objeknya

2) Sikap dapat berubah-ubah dan dapat dipelajari, oleh karena itu sikap

dapat berubah pada orang bila terdapat keadaan dan syarat tertentu

yang memudahkan sikapnya pada orang itu sendiri.

28
3) Sikap itu tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa mengandung

hubungan pada satu objek tertentu tang dapat dirumuskan dengan

jelas.

2.3.4 Cara Pengukuran Sikap


Menurut Sugiyono (2009) bentuk skala sikap yang perlu diketahui sebagai

berikut:

1) Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepi

penelitian, fenomena sosial ini telah ditetapkan secara spesifik oleh

peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variable penelitian. Denfan

skala Likert, maka variable akan diukur dijbarkan menjadi indicator

variable.

Cara pengukuran skala Likert menurut Machfoedz (2008) yakni:

1. Pernyataan positif

1) Sangat setuju (SS) : bernilaai 4

2) Setuju (S) : bernilai 3

3) Tidak setuju (TS) : bernilai 2

4) Sangat tidak setuju (STS) :bernilai 1

2. Pernyataan negative

1) Sangat setuju (SS) : bernilaai 4

2) Setuju (S) : bernilai 3

3) Tidak setuju (TS) : bernilai 2

4) Sangat tidak setuju (STS) :bernilai 1

29
2. Skala Guttman.

Menurut Sugiyono (2009) skala guttman merupkan alat komulatif.

Jika sorang menyisahkan pertnyaan yang berbobot lebih berat, ia akan

mengiyakan pertanyaan yang berbobot lainnya. Skala Guttman megukur

suatu dimensi saja dari suatu yang variabel yang multidimensi. Skala

Guttmen disebut juga skala Scalogram yang sangat baik untuk

meyakinkan. Jika seseorang menyatakan tidak terhadap pertanyaan sikap

tertentu dari sederetan pertanyaan itu, ia akan menyatakan lebih dari

tidak terhadap pernyataan berikutnya. Jadi Skala Guttman ialah skala yag

digunakan untuk jawabanyang bersifat jelas (tegas) dan konsistn.

Misalnya: ykin-tidak yakin, ya-tidak,benar-salah, positif negative.

2.4 Perilaku Pencegahan


2.4.1 Definisi Perilaku

Perilaku merupakan bentuk respon terhadap stimulus (rangsangan) dari luar

(MRL, Jaya and Mahendra, 2019). Skinner dalam Nurmala (2018)

menyatakan bahwa Perilaku merupakan hasil dari hubungan stimulus atau

rangsangan dengan respon. Perilaku kesehatan merupakan respon yang dapat

memengaruhi kesehatan, kejadian penyakit, sistem pelayanan dan pola

konsumsi dilingkungan social (Nurmala et al.,2018).

2.4.2 Jenis Perilaku


Jenis perilaku dilihat dari respon terhadap stimulus terbagi menjadi dua

(MRL,Jaya and Mahendra,2019):

30
1) Perilaku terbuka

Respon terhadap stimulus secara terbuka dan nyata. Respon dapat

berupa tindakan atau praktik yang jelas dan dapat diamati oleh orang lain.

2) Perilaku tertutup

Respon terhadap stimulus secara tertutup danmasih sebatas bentuk

perhatian, persepsi pengetahuan, dan sikap. Perilaku ini belum bisa diamati

secara jelas oleh orang lain.

2.4.3 Ciri – Ciri Perilaku


Setiap manusia dengan manusia lain pasti memiliki perilaku yang berbeda,

baik dari segi kepekaan sosial, keberlangsungan hidup, orientasi sikap

kepada tugas, usaha dan perjuangan (Hartono, 2016). Ciri-ciri perilaku

menurut Sarlito Wirawan (1983) dalam Hartono (2016) meliputi:

1) Kepekaan social

Manusia merupakan makhluk sosial yang dapat berinteraksi dengan

lingkungan sekelilingnya. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti

membutuhkan teman dan melakukan kerjasama dalam siklus

kehidupannya. Setiap manusia memiliki perilaku yang berbeda,

oleh karena itu manusia harus menyesuaikan perilaku dengan

pandangan dan keadaan orang lain.

2) Kelangsungan perilaku

Perilaku manusia yang terjadi saat ini,merupakan kelanjutan dari

perilaku sebelumnya yang pernah dilakukan. Perilaku tidak akan

terjadi saat ini tanpa adanya pengaruh dari perilaku sebelumnya.

31
Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa perilaku tidak mudah untuk

berhenti karena Perilaku sebelumnya merupakan dasar dari perilaku

selanjutnya.

3) Orientasi sikap kepada tugas

Setiap perilaku yang dilakukan oleh individu memiliki tugas dan

tujuan tertentu. Dengan kata lain, perilaku yang dilakukan memiliki

tujuan karena ada keinginan yang ingin dicapai oleh individu itu

sendiri.

4) Usaha dan perjuangan

Setiap individu akan memperjuangkan sesuatu yang menjadi

pilihan dan tujuannya. Sehingga dalam mencapai apa yang

diinginkan, dibutuhkan usaha dan perjuangan.

5) Keunikan setiap individu

Manusia memiliki sifat, watak, ciri-ciri, kepribadian, tabiat dan

motivasi yang berbeda-beda. Setiap manusia tidak bisa disamakan

antara satu dengan yang lainnya karena memiliki keunikan masing-

masing. Demikian juga dengan perilaku, pengalaman, tujuan dan

keinginan setiap manusia pasti memiliki perbedaan.

2.4.4 Proses Pembentukan Perilaku


Perilaku manusia timbul karena adanya dorongan akan kebutuhan dalam

hidupnya. Kebutuhan manusia terbagi menjadi dua, yaitu kebutuhan dasar dan

kebutuhan tambahan. Menurut A. Maslow dalam Hartono (2016) bahwa

kebutuhan dasar manusia terdapat pada lima

32
tingkatan, sebagai berikut:
1) Tingkatan pertama atau yang paling mendasar yaitu kebutuhan
fisiologis.
2) Tingkatan kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman.
3) Tingkatan ketiga yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai.
4) Tingkatan keempat yaitu kebutuhan harga diri.
5) Tingkatan kelima atau paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri.
Proses pembentukan perilaku pada dasarnya merupakan hasil dari

interaksi stimulus (rangsangan) dan respon (tanggapan). Dalam teori lingkungan

menjelaskan bahwa perilaku timbul karena ada rangsangan baik dari dalam atau

luar individu. Rangsangan yang diterima akan diteruskan oleh panca indera ke

otak untuk memberikan jawaban berupa respon. Sedangkan dalam teori

lingkaran, perilaku terjadi karena adanya rangkaian berupa kebutuhan,

dorongan, tujuan dan kepuasan. Adanya kebutuhan yang dirasakan individu,

memunculkan motivasi atau dorongan untuk beraktivitas dalam mencapai tujuan

yang diinginkan dan berakhir dengan kepuasan (Hartono, 2016).

2.4.5 Cara Pengukuran Perilaku


Menurut (Anzwar, 2008), pengukuran perilaku yang berisi pernyataan-

pernyataan terpilih dan telah diuji reabilitas dan validitasnya maka dapat

digunakan untuk mengungkapkan perilaku kelompok responden. Kriteria

pengukuran perilaku yaitu :

1) Perilaku positif jika niai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner

> T mean.

33
2) Perilaku negative jika T skor yang diperoleh responden dari kuesioner ≤

T mean.

Subyek memberi respon dengan empat kategori ketentuan, yaitu: selalu,

sering, jarang, tidak pernah.

Dengan skor jawaban :

1. Jawaban dari item pertanyaan perilaku positif

1) Selalu (SL) jika responden sangat setuju dengan pernyataan

kuesioner dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 4

2) Sering (SR) jika responden setuju dengan pernyaatan kuesioner

dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 3

3) Jarang (JR) jika responden ragu dengan pernyataan kuesioner dan

diberikan melalui jawaban kuesioner skor 2

4) Tidak pernah (TP) jika responden tidak setuju dengan pernyataan

kuesioner dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 1

2. Jawaban dari item pertanyaan perilku negative

1) Selalu (SL) jika responden sangat setuju dengan pernyataan

kuesioner dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 1

2) Sering (SR) jika responden setuju dengan pernyaatan kuesioner

dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 2

3) Jarang (JR) jika responden ragu dengan pernyataan kuesioner dan

diberikan melalui jawaban kuesioner skor 3

4) Tidak pernah (TP) jika responden tidak setuju dengan pernyataan

kuesioner dan diberikan melalui jawaban kuesioner skor 4

34
Penilaian perilaku yang didapatkan jika :

1) Nilai > 50, berarti subjek berperilaku positif

2) Nilai ≤ 50, berarti subjek berperilaku negatif

35
2.5 KERANGKA TEORI

Faktor Risiko Computer


Vision Syndrome

Fator Individual:
Faktor Lingkungan;
 Usia Fator Komputer:
 Pencahayaan ruangan
 Jenis Kelamin  Sudut penglihatan
 Kelembaban udara
 Riwayat Penyakit  Jarak pandang mata
ruangan
 Riwayat Pengobatan terhadap computer
 Suhu udara ruangan
 Penggunaan Kacamata  Penggunaan anti
 Penggunaan Lensa Kontak glare cover.
 Lama Bekerja Dengan
Computer
 Lama Penggunaan Computer

COMPUTER VISION
SYNDROME

PENGETAHUAN
PENCEGAHAN
SIKAP

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN


PERILAKU PENCEGAHAN
COMPUTER VISION SYNDROME

Gambar 2.2 Kerangka Teori


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka konsep

Kerangka Konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan antara

konsep satu terhadap konsep lainnya atau antara variabel satu dengan variabel yang

lain dari masalah yang ingin diteliti (Natoatmodjo, 2018).

Variable Independen Variable Dependen

Pengetahuan

Perilaku pencegahan
computer vision

Sikap syndrome

Keterangan:

= Diteliti

= Hubungan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

37
3.2 Hipotesis penelitian

Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya

hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan dua variable. Variable bebas dan

variable terikat. Hipotesis berfungsi untuk menentukan ke arah pembuktian, artinya

hipotesis ini merupakan pernyataan yang harus dibuktikan (Natoatmodjo, 2018). Maka

hipotesis dalam penelitian ini adalah :

H0 = Ada hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegana

Computer Vision Syndrome pada mahasiswa.

3.3 Desain penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif korelasi non-eksperimental yaitu penelitian korelasi dengan metode

cross sectional. Menurut Notoatmodjo (2012), cross sectional merupakan

jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel

bebas dan tergantung hanya satu kali pada satu saat. Penelitian ini dilakukan

untuk mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan dan sikap

terhadap computer vision syndrome dan variabel dependen dalam penelitian ini adalah

perilaku pencegahan computer vision syndrome.

38
3.4 Definisi operasional

Definisi operasional adalah definisi bedasarkan karakteistik yang diamati dari

sesuatu yang didefinisikan tersebut.

Tabel 3.4.1 Definisi Operasional

Variable Definisi Alat Skor Skala


penelitian Operasional Ukur
Independen

Pengetahua Pemahaman Pengisian Skor: Ordinal


Computer
n seseorang tentang Benar = 1
Vision
pencegahan Syndrome Salah = 0
Questionnair
Computer Vision Dengan
e
Syndrome. (CVS-Q) Kriteria:
1) Pengetahuan 3 = Baik 76-
komputer
100%
2) Penyebab
komputer 2 = Cukup 56-
3) Faktor yang
75%
mempengaruhi
kejadian komputer 1 = Kurang ≤
4) Dampak
55%
penggunaan
komputer
5) Pencegahan
komputer

39
Sikap Kebiasaan atau sikap Pengisian Skor:
Computer
mahasiswa dalam Favorable:
Vision Nominal
menggunakan Syndrome Ss : 4
Questionnair
komputer. S :3
e
1) Pengetahuan (CVS-Q) Ts : 2
komputer melalui
Sts : 1
2) Penyebab google form
komputer Unfavorable:
3) Faktor yang
Ss : 1
mempengaruhi
kejadian komputer S :2
4) Dampak
Ts : 3
penggunaan
komputer Sts : 4
5) Pencegahan
Dengan
computer
Kriteria:
1 = Sikap
positif > T
mean
2 = Sikap
negatif < T
mean

Dependen

Perilaku Tercapainya Pengisian  Baik jika Ordinal


Computer
pencegahan mahasiswa dalam Vision nilai yang
Syndrome
computer mencegah Questionnair didapat ≥
e
vision penggunaan (CVS-Q)

40
syndrome komputer yang melalui 76-100%
google form
berlebihan  Cukup jika

1) Pengetahuan nilai yang


komputer
2) Penyebab di dapat –
komputer
3) Faktor yang 75%
mempengaruhi
kejadian  Buruk jika
komputer
4) Dampak nilai yang
penggunaan
komputer didapat ≤
5) Pencegahan
computer 60%.

3.5 Populasi dan sampel

3.5.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek / subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). Populasi dalam

penelitian ini adalah mahasiswa yang menggunakan komputer dengan jumlah 996.

3.5.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi yang diteliti (Sugiyono, 2022). Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus

Slovin, dengan perhitungan:

N
n= 2
1+ N (e )
Keterangan :

41
n = Ukuran sampel/jumlah responden

N = Ukuran populasi

E = Presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel

yang masih bisa ditolerir; e = 0,1

maka untuk mengetahui sampel penelitian, dengan perhitungan sebagai berikut:


N
n= 2
1+ N (e )
996
n=
1+ 996 ¿ ¿
996
n=
1+ 9 ,96
996
n=
10 , 96
n=90 , 87 dibulatkan menjadi91 responden

Berdasarkan perhitungan diatas minimal sampel dalam penelitian ini adalah 91

responden, peneliti juga mengidentifikasi dalam kriteria inklusi dan esklusi:

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek peneliti mewakili sampel

peneliti yang memenuhi syarat sebagai sampel (Hidayat, 2011).

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah

1) Mahasiswa/I di Stikes Maranatha Kupang

2) Mahasiswa yang menggunakan laptop setiap hari dalam satu minggu

terakhir.

3) Mahasiswa/I yang bersedia untuk menjadi responden

42
2. Kriteria esklusi

Kriteria ekslusi merupakan kriteria dimana subyek peneliti tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel peneliti

(Hidayat,2011).

1) Mahasiswa yang tidak memiliki computer/laptop

2) Mahasiswa tidak hadir saat penelitian dilakukan

3) Mahasiswa yang tidak bersedia menjadi responden

4) Mahasiswa yang sedang turun praktek

3.6 Teknik Sampling

Menurut sugiyono (2016:82) terdapat 2 teknik sampling yaitu dapat digunakan,

yaitu:

1) Probality Sampling

Probality sampling adalah teknik pengambilan sampling yang memberikan

peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk di pilih

menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi, simple random sampling,

proportionate stratified random sampling, disproportionate stratifies

random sampling, sampling area (cluser).

2) Non Probality Sampling

Non Probality Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak

memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik sampel ini meliputi,

sampling sistematis, kuota, aksidental, purposive, jenuh, snowball.

43
Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan yaitu non

probality sampling dengan teknik purposive sampling.

Menurut Sugiyono (2016:85) bahwa:

“purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data

dengan pertimbangan tertentu”.

Alasan menggunakan teknik purposive sampling adalah karena tidak semua

sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang diteliti. Oleh

karena itu, penulis memilih teknik purposive sampling yang menetapkan

pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteia tertentu yang harus di

penuhi oleh sampel-sampel yang digunkana dalam penelitian ini.

3.7 Tempat dan waktu penelitian

3.7.1 Tempat penelitian

Tempat penelitian akan dilaksanakan di Kampus Stikes Maranatha Kupang

3.7.2 Waktu penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Maret tahun 2023

3.8 Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kuesioner yang

terdiri dari dua variabel. Kuesioner untuk variabel independen untuk menilai tingkat

pengetahuan dan sikap responden. Kuesioner untuk variabel dependen untuk menilai

perilaku pencegahan computer vision syndrome. Kuesinoer ini dibuat oleh peneliti

sendiri dan kueioner tersebut sesuai dengan indicator, pengetahuan, sikap dan perilaku

3.8.1 Kisi-Kisi Kuesioner Pengetahuan

44
No Variabel Indikator No item

1 Pengetahuan kuesioner Pertanyaan positif 1, 2, 3, 5,6,10,11,12,13

Pertanyaan negatif 4,7,8,9

2 Sikap kuesioner Pernyataan positif 1,2,3,5

Pernyataan negatif 4

3 Perilaku kuesioner Pernyataan positif 1, 2, 3, 6, 7

Pernyataan negatif 4, 5

3.9 Etika penelitian

Penelitian kesehatan pada umumnya menggunakan manusia sebagai objek yang di

teliti, hal ini berarti adanya suatu hubungan timbal balik antara orang sebagai peneliti

dan orang sebagai diteliti. Oleh sebab itu sebagai prinsip etika dan moral seperti yang

telah di uraikan, maka dalam pelaksaan penelitian kesehatan khususnya, harus di

perhatikan hubungan antara keduabelah pihak ini secara etika, atau biasanya disebut

sebagai etika penelitian (Nursalam, 2020).

Dalam penelitian ini perlu diperhatikan masalah etika yang meliputi :

1. Surat Persetujuan (Informed concent).

Informed concent merupakan susatu bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan.Informed

concent yang di berikan kepada subjek/responden. Sebelum subjek di beri

kesempatan untuk membaca isi lembar persetujuan, jika sebelum menerima

menjadi responden untuk diteliti maka peneliti tidak bisa memaksa responden

untuk diteliti dan menghormati hak dari responden.

45
2. Tanpa Nama (Anonimity).
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subjek/responden penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode
pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan di sajikan.
Dilakukan untuk menjaga kerahasiaan responden sebagai objek peneliti, peneliti
tidak mencantumkan nama responden pada lembar kusioner yang diisi oleh
responden, peneliti hanya memberikan nama inisial atau kode tertentu.

3. Kerahasiaan (confidentiality).

Kerahasian subjek/responden di jaga kerahasiaan oleh peneliti, baik

informasi maupun masalah-masalah lain yang di berikan oleh subjek atau

responden. Masalah ini merupakan masalah dengan memberikan jaminan

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan di laporkan

pada hasil riset.

4. Keadilan (Justife)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan sesudah

keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyat a

mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian dalam melakukan

penelitian, peneliti selalu menjelaskan prosedur penelitian dan menjamin bahwa

semua subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama.

5. Bermanfaat Dan Tidak Merugikan (Beneficeence And nonmaleficence)

Dalam melakukan penelitian memperhatikan manfaat penelitian ini bagi

subjek penelitian. Selain itu peneliti juga harus mempertimbangkan dan melihat

kerugian yang dapat merugikan subjek pada setiap kegiatan penelitian. Oleh

46
karena itu peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan keuntungan yang

akan timbul.

3.10 Prosedur penelitian

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan lembar kuesioner.

Proses-proses dalam pengumpulan data pada penelitian melalui beberapa tahap yaitu:

1. Peneliti mengurus surat ijin penelitian dari kampus STIKes Maranatha Kupang.

2. Peneliti mengurus surat ijin ke Ketua Stikes Maranatha Kupang

3. Peneliti mengambil responden sesuai kriteria.

4. Peneliti menjelaskan tujuan dan maksud dari penelitian, kepada calon responden.

Jika calon responden setuju untuk menjadi responden dalam penelitian, responden

diminta untuk mengisi lembar persetujuan (informed consent)

5. Peneliti membagikan kuesioner melalui google from tentang hubungan

pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan computer vision syndrome

kepada responden dan menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada responden.

6. Setelah kuesioner terkumpul maka peneliti memindahkan data untuk ditabulasi dan

melakukan analisa data.

3.11 Pengolahan dan analisa data

3.11.1 Pengolahan data

Dalam melakukan analisis, data diolah terlebih dahulu dengan tujuan

mengubah data menjadi infomasi. Dalam statistik infomasi yang diperoleh

dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan, terutama dalam pengujian

hipotesis. Tahapan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut:

a. Editing

47
Peneliti melakukan pemeiksaan kembali kebenaran data yaitu dengan

memeriksa terlebih dahulu kuesioner yang diserahkan oleh responden

b. Coding

Peneliti melakukan pengkodean berupa angka numerik pada data yang telah

peneliti tetapkan. Pengkodean ini penting terutama karna pengolahan data

yang peneliti lakukan menggunakan software komputer.

1. Coding Pengetahuan

Benar =1

Salah =0

Dengan Kriteria Hasil :

Pengetahuan kurang (≤ 55%) =1

Pengetahuan cukup (56-76%) =2

Pengetahuan baik (76-100%) =3

2. Coding Sikap :

Pernyataan Favorable:

Ss : 4

S :3

Ts : 2

Sts : 1

Pernyataan Unfavorable:

Ss : 1

S :2

Ts : 3

48
Sts : 4

Dengan Kriteria:

Sikap positif > T mean = 2

Sikap negatif < T mean = 1

c. Scoring (penetapan skor)

Setelah semua data terkumpul dan kelengkapannya diperiksa, kemudian

setelahnya dilakukan tabulasi dan diberikan skor sesuai dengan kategori dari

data serta jumlah item pertanyaan dari setiap variable.

1. Pengetahuan

3 = Baik 76-100%

2 = Cukup 56-75%

1 = Kurang ≤ 55%

2. Sikap

Skoring 1 untuk jawaban positif

Skoring 2 untuk jawaban negatif

3. perilaku pencegahan computer vision syndrome

Skoring 1 untuk perilaku pencegahan baik

Skoring 2 untuk perilaku pencegahan tidak baik

d. Entri data

Peneliti melakukan data entri yaitu memasukkan data penelitian yang

selanjutnya peneliti tampilkan dalam tabel distribusi frekuensi.

49
e. Cleaning data

Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

dimasukkan ke dalam computer untuk memastikan data telah bersih dari

kesalahan sehingga data siap di analisa.

3.11.2 Analisa data

1. Analisa univariat

50
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan karakteristik setiap variabel

penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung jenis datanya. Untuk data

numeric digunakan mean (rata-rata), median dan standar deviasi (Natoatmojo,

2018). Analisa univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran distribusi

frekuensi dan presentase semua variabel yang terdiri dari variabel independen

(pengetahuan dan sikap), variabel dependen (perilaku pencegahan computer

vision syndrome), dan karakteristik responden yaitu nama, usia, pendidikan dan

pekerjaan. Data pada analisa univariat ini dijadikan dalam bentuk kategori dengan

peringkasan data menggunakan distribusi frekuensi denan ukuran presentase (%).

2. Analisa bivariat

Analisa bivariat dilakukan pada dua variabel yang diduga berhubungan

atau berkorelasi (Natoatmojo, 2012). Analisa dalam penelitian ini adalah

hubungan antara variabel pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan

computer vision syndrome menggunakan uji chi-squar dengan batas kemaknaan

(α) <0,05 dengan menggunakan sistem komputerisasi SPSS.

Dasar pengambilan hipotesis penelitian berdasarkan pada tingkat signifikan (nilai

ρ), yaitu:

1. Jika nilai ρ >0.05 berarti hipotesis penelitian ditolak

2. Jika nilai ρ <0.05 berarti hipotesis penelitian diterima

51

Anda mungkin juga menyukai