Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN JOURNAL READING

Impact of the COVID-19 Lockdown on Digital Device-Related Ocular


Health

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan senior Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun Oleh :

Jasmine Elnitiarta 22010120220042


Salma Yasmine Azzahara 22010120220154
Benediktus Arya Sena Dewanta 22010120220055
Kinanti Maura Sandradewi 22010120220047
Tri Elina Sari 22010120220163
Manda Petrina 22010120220181
Hyoshita Salsabila 22010120220032

Dosen Pengampu :

dr. Denti Puspasari Sp.M

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Journal Reading dengan :


Judul : Impact of the COVID-19 Lockdown on Digital Device-Related Ocular Health
Bagian : Ilmu Penyakit Mata

Pembimbing : dr. Denti Puspasari Sp.M

Telah diajukan dan disahkan pada tanggal April 2021

Semarang, April 2021

Dosen Pengampu

dr. Denti Puspasari Sp.M


Impact of the COVID-19 lockdown on digital device-related ocular health

Fayiqa Ahamed Bahkir, Srinivasan Subramanian Grandee

ABSTRAK

Tujuan: Sejak diumumkannya karantina wilayah karena COVID-19, penggunaan peralatan


digital telah meningkat di seluruh dunia, yang menyebabkan peningkatan paparan terhadap
organ visual pada seluruh usia. Tujuan dari penelitian ini untuk menguji dampak dari
karantina wilayah terhadap penggunaan peralatan digital dan dampaknya, keterlibatannya
terhadap kesehatan permukaan okular dan abnormalitas pada ritme sirkadian yang
berhubungan dengan digital eye strain (ketegangan mata akibat peralatan digital)

Metode: Survei terbuka dilakukan secara daring dan dikirimkan melalui berbagai platform
media sosial selama 2 minggu.

Hasil: Diperoleh total respon sejumlah 407 dengan rata-rata usia responden yaitu 27,4 tahun.
Umumnya, 93,6% responden melaporkan peningkatan screentime sejak karantina wilayah
diumumkan. Rata-rata peningkatan pemakaian peralatan digital dikalkulasikan sekitar 4,8 ±
2,8 jam per hari. Ditemukan total pemakaian per hari 8,65 ± 3,74 jam. Gangguan tidur
dilaporkan oleh 62,4% dari total responden. Umumnya, 95,7% responden mengalami
setidaknya satu gejala yang berhubungan dengan gangguan tidur yang berhubungan dengan
pemakaian peralatan digital, dan 56,5% melaporkan frekuensi dan intensitas gejala tersebut
meningkat sejak karantina wilayah diumumkan.

Kesimpulan: Penelitian ini menggarisbawahi adanya peningkatan besar dalam pemakaian


peralatan dihital setelah diresmikannya karantina wilayah dan berhubungan dengan hal ini,
kesehatan mata atau okular menurun secara lambat pada seluduh usia. Kesadaran mengenai
pencegahan digital eye strain harus ditekankan, dan nantinya, pengukuran agar dapat
meringankan efek samping menjadi yang paling minimum harus diteliti.

Latar Belakang

Dengan waktu dan dimulainya penggunaan teknologi, komputer, laptop, tablet, gawai
mengalami peningkatan penggunaan yang stabil pada beberapa tahun lalu. Pelayaran digital
ini memerlukan jarak yang berlangsung sebagian antara penglihatan dekat maupun jauh dan
menyebabkan ketegangan pada mata yang sebenarnya peralatan digital ini telah didesain
untuk kenyamanan dalam penglihatan jarak dekat maupun jauh. Kedaruratan pandemi
COVID-19 dan karantina wilayah di seluruh dunia diikuti dengan peningkatan waktu di
depan layar, yang terjadi secara spontan.

Merujuk pada American Optometric Association, penggunaan alat digital sebentar-


bentarnya selama 2 jam secara terus menerus per hari sudah cukup ubtuk meningkatkan
masalah pada struktur mata dan gangguan pandang, dan gejala tersebut dirujuk sebagai
digital eye strain. Pemakaian jangka panjang pada alat-alat digital bukan hanya sebagai
stressor pada sistem visual tetapi juga menyebabkan ketegangan muskuloskeletal dan
gangguan irama sirkadian, dan gejala-gejala ini menyebabkan diagnosis penyakit ini berada
dalam pengkategorian computer vision syndrome (CVS) – walaupun istilah digital eye strain
dan computer vision syndrome sering digunakan masing-masing sebagai istilah pengganti
dalam banyak literatur). Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi dampak karantina
wilayah di seluruh dunia terhadap durasi pemakaian alat digital dan akibatnya, pengaruh pada
kesehatan lapisan terluar okular dan irama sirkadian. Subjek penelitian ini melibatkan
populasi pelajar, atau pekerja profesional tertarget dalam satu bidang. Penelitian ini
merupakan penelitian pertama yang menargetkan populasi umum dan termasuk semua orang
dengan berbagai usia, mengingat penggunaa alat digital tidak terbatas hanya pada satu
demografi.

Patofisiologi ketegangan mata digital


Ketegangan mata digital (digital eye strain) adalah manifestasi dari penguapan air mata
berlebih yang disebabkan oleh penurunan frekuensi dan laju berkedip yang inkomplit yang
menyebabkan kerusakan permukaan mata, dan gejala astenopik yang disebabkan oleh sistem
visual dalam keadaan akomodasi dan konvergensi yang konstan. Faktor lingkungan lain,
seperti ergonomi yang buruk, pencahayaan yang tidak tepat, silau, penurunan kelembaban
pada ruangan ber-AC, semuanya merupakan faktor penyebab memburuknya gejala ini.
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, pemakai lensa kontak, orang dengan riwayat
penyakit mata, diabetes, jenis kelamin wanita, dan penyakit autoimun berisiko untuk
mengembangkan gejala yang lebih berat daripada rekan-rekan mereka yang seusia.
Penggunaan perangkat digital menyebabkan penurunan kecepatan berkedip secara
signifikan, oleh sebab itu, kelenjar meibom tidak terstimulasi secara mekanis untuk
melepaskan lapisan lipid yang tepat, dan terjadi penurunan kecepatan pengisian lapisan air
mata. Saat bekerja di depan komputer, akomodasi cenderung lebih tinggi daripada yang
biasanya dibutuhkan di dekat tempat kerja, apertura palpebral secara vertikal lebih panjang,
menyebabkan penguapan lebih cepat dan kedipan inkomplit. Kedipan yang tidak sempurna
gagal mendistribusikan lapisan air mata dengan baik, menghasilkan lapisan air mata yang
tidak stabil, ditambah dengan lapisan lipid yang tidak memadai, menyebabkan mata kering,
bintik-bintik atau sensasi benda asing, rasa terbakar, dan gatal pada mata.
Komponen lainnya adalah ketegangan pada otot mata, baik internal maupun eksternal.
Pekerjaan dekat yang terus-meneurus menuntut mata untuk selalu berada dalam kondisi
akomodasi, sementara konvergensi yang diperlukan membebani otot-otot ekstraokuler.
Ketika keadaan ini dipertahankan untuk periode waktu yang lama, sistem motorik visual
menjadi lelah dan menyebabkan ketegangan mata dan sakit kepala.
Penglihatan yang kabur dan penglihatan ganda dapat dikaitkan dengan kelelahan mata,
gejala mata kering, atau ketidakmampuan rileks akomodasi, menyebabkan kesulitan dalam
fokus pada jarak pandang yang bervariasi. Peningkatan kepekaan terhadap cahaya, silau,
lingkaran cahaya berwarna di sekitar cahaya terang disebabkan karena perbedaan dalam antar
permukaan air–tear film.
Paparan sinar biru yang dipancarkan oleh perangkat digital pada waktu lama, meskipun
tidak terbukti berbahaya, telah menimbulkan kekhawatiran terkait fototoksisitas kumulatif.
Paparan cahaya menyebabkan gangguan sekresi melanin oleh melanosit di kelenjar pineal,
yang dikendalikan oleh sel ganglion fotosensitif yang mengandung melanopsin pada retina.
Sel-sel ini sensitif terhadap cahaya dalam panjang gelombang 482 nm, termasuk dalam
spektrum cahaya biru.

Metode
Survei ditujukan pada individu berusia di atas 18 tahun yang menggunakan perangkat
digital. Kriteria eksklusi adalah orang-orang yang menjalani pengobatan untuk glaukoma,
pemakai lensa kontak, dan orang-orang yang telah menjalani LASIK atau operasi mata
lainnya yang dapat mempengaruhi kesehatan permukaan mata. Menggunakan rumus 4 pq /
d2, mengambil prevalensi 80%, dan d 5% dari prevalensi, ukuran sampel dihitung sebagai
400.
Setelah disetujui oleh Komite Etika Manusia Institusional, survei online terbuka
menggunakan Google Formulir dikirim ke orang-orang di platform media sosial (WhatsApp,
Facebook, Instagram). Demografi yang berbeda-beda menjadi sasaran untuk mendapatkan
sampel perwakilan dari masing-masing sub kelompok - pelajar, staf medis dan paramedis,
pekerja profesional non medis, dan lain-lain. Tautan survei dikirim ke nomor WhatsApp
pribadi mahasiswa kedokteran, mahasiswa teknik dan seni, karyawan perusahaan IT,
insinyur, dokter, magang, perawat, dan diposting di beberapa grup WhatsApp yang sering
dikunjungi oleh ibu rumah tangga.
Informed consent mengenai usia minimum untuk berpartisipasi dalam penelitian ini,
mengapa penelitian dilakukan dan jaminan kerahasiaan data. Kuesioner terdiri dari 14
pertanyaan dan terbuka selama dua minggu. Tanggapan tidak dapat dikirim berulang dari
alamat IP yang sama. Hanya kuesioner lengkap yang digunakan untuk penelitian ini. Analisis
data menggunakan software SPSS versi 13. Korelasi Pearson digunakan untuk menemukan
hubungan antar variabel. Uji chi-square diterapkan pada variabel kategori. Nilai P ≤ 0,05
dianggap signifikan.

Hasil
Didapat 520 responden dimana 407 diantaranya dinilai layak untuk penelitian setelah
diterapkan kriteria eksklusi. Dari 407 subjek 55.5% (226/407) merupakan pria sementara
44.5% adalah wanita.
Mayoritas subjek, yaitu 58% (236/407) termasuk dalam kelompok usia 19-26, 24.8%
(101/407) usia 27-34, 11.8% usia 35-42 dan 5.4% >42 tahun. 36.4% (148/407) merupakan
pelajar termasuk mahasiswa kedokteran, 14.5% merupakan tenaga kerja kesehatan yang
meliputi pemagang, residen dan ke atas. 36.9% merupakan pekerja non-medis dan 12.3%
merupakan rumah tangga atau pengangguran sementara akibat pandemi global.
45.5% (185/407) subjek mengetahui adanya computer vision syndrome atau digital eye
strain, dimana dari antara subjek tersebut hanya 41.62% (77/185) menyadari bahwa istirahat
setiap 20 menit diperlukan pada saat bekerja dengan alat digital.

Efek lockdown terhadap waktu paparan layar


93.6% responden mencatat peningkatan penggunaan gadget digital setelah lockdown.
Peningkatan yang dicatat rata-rata sekitar 4.8 +/- 2.8 jam per hari, sehingga waktu paparan
layar setiap hari sekitar 8.65 +/- 3.74 jam. Peningkatan penggunaan gadget digital sebanyak 5
jam atau lebih terjadi pada 51.1% (208/407) responden, dimana 40.9% dari angka tersebut
merupakan pelajar.
Pelajar mencatat peningkatan rata-rata penggunaan gadget sebesar 5.18 +/- jam per
hari, sehingga penggunaan rata-rata menjadi 8.9 +/- 3.63 jam per hari. 49.3% (73/148) dari
populasi pelajar menggunakan gadget untuk tujuan pendidikan (kelas daring, tugas, webinar).
62.41% (254/407) responden menyatakan bahwa penggunaan gadget menghambat
kemampuan responden untuk tidur pada waktu yang optimal, dengan kekhawatiran karena
65.68% (155/236) orang dibawah usia 26 tahun mengalami gangguan pola tidur akibat
penggunaan gadget digital.
Pelajar merupakan kelompok yang paling terpengaruh, dimana 66.9% (99/148) dari
populasi pelajar melaporkan ketidakmampuan tidur tepat waktu, diikuti oleh pekerja non-
medis, dimana 64.7% (97/150) menderita gangguan tidur. Populasi ini mencatat waktu
paparan layar rata-rata sebesar 9.28 +/- 3.42 jam per hari, dimana 68% (102/150) mengakui
bahwa hal tersebut berkaitan dengan pekerjaan.
6.63% (27/407) responden melaporkan tidak ada perubahan waktu paparan layar
selama lockdown. 37% (10/27) dari populasi tersebut merupakan pekerja rumah tangga,
diikuti oleh populasi pelajar sebesar 29.6% (8/27) yang sudah mencatat 6-7 jam paparan layar
sebelum lockdown.

Perbandingan penggunaan gadget digital sebelum dan sesudah lockdown diterapkan


Prevalensi gejala digital eye strain

Waktu paparan layar (jam) per hari setelah lockdown diterapkan

Gejala ketegangan mata digital


Enam belas gejala yang berhubungan dengan ketegangan mata digital (sakit kepala,
sakit mata, kelopak mata berat, mata kemerahan, mata berair, sensasi terbakar, kekeringan
mata, peningkatan kepekaan terhadap cahaya, gatal, berkedip berlebihan, kesulitan untuk
fokus melihat tulisan yang dicetak, pandangan kabur, perasaan bahwa penglihatan itu
memburuk, perasaan benda asing pada mata atau kelopak mata yang kasar, penglihatan
ganda, berwarna cincin di sekitar benda terang) dimasukkan dalam kuesioner. Laki-laki
melaporkan rata-rata 2,81 ± 2,54 gejala, sedangkan perempuan melaporkan 3,5 ± 2,78 gejala,
dan perbedaan ini ditemukan signifikan secara statistik (P = 0,009).
Korelasi antara peningkatan waktu layar dan jumlah gejala ditemukan signifikan secara
statistik (P = 0,001). Seiring waktu layar meningkat, terdapat peningkatan frekuensi gejala (P
= 0,028) dan intensitas gejala (P = 0,005) yang signifikan secara statistik. Gangguan tidur pun
semakin banyak dilaporkan oleh orang-orang dengan waktu layar yang lebih tinggi,
hubungan ini juga ditemukan signifikan (P = 0,001). Secara keseluruhan, 95,8% (368/407)
responden pernah mengalami setidaknya satu gejala yang terkait dengan penggunaan
perangkat digital, dan 56,5% (230/407) mengatakan frekuensi dan intensitas tersebut gejala
meningkat sejak lockdown akibat pandemi COVID-19 dilaksanakan. Penggunaan rata-rata di
antara populasi ini adalah 9,3 ± 3,5 jam; dan sebagian besar terdiri dari komunitas pelajar,
yaitu 60% populasi (138/230).

Diskusi
Peningkatan mendadak dalam penggunaan perangkat digital dan jumlah waktu layar
setiap hari disebabkan oleh pergeseran aktivitas profesional dan sosial ke platform berbasis
web setelah munculnya novel coronavirus. Hal yang dimaksud termasuk panggilan
konferensi daring, rapat, webinar, kelas online, tugas dilakukan di perangkat digital, bekerja
dari rumah, panggilan video pribadi, belanja daring, waktu luang, dan hiburan.
Secara keseluruhan, 90,42% (368/407) responden mengalami setidaknya satu gejala
yang terkait dengan penggunaan perangkat digital. Temuan ini lebih tinggi dari prevalensi
yang dilaporkan dalam penelitian sebelumnya. Pada tahun 2014, sebuah studi yang dilakukan
di Chennai oleh Logaraj et al. melaporkan bahwa prevalensinya ialah 81,9% di kalangan
mahasiswa teknik dan 78,6% di kalangan mahasiswa kedokteran. Pergeseran signifikan bisa
jadi dikarenakan peningkatan durasi penggunaan perangkat digital pada seluruh peserta
penelitian. Studi sebelumnya melaporkan bahwa waktu layar per hari kurang dari 4 jam untuk
85% mahasiswa kedokteran dan 46% mahasiswa teknik, sedangkan populasi mahasiswa pada
studi ini waktu layar rata-rata 8,9 ± 3,63 jam per hari.
Pada studi ini, terlihat bahwa wanita lebih terkena dampak dari penggunaan perangkat
digital dibandingkan pria (P=0.009). Hal ini diterapkan pada insidensi mata kering yang lebih
tinggi pada wanita, jumlah yang lebih besar pada mata kering yang berkaitan dengan kondisi
autoimun pada wanita, dan masalah kesehatan mata yang berhubungan dengan kosmetik.
Hubungan antara penggunaan kosmetik dengan mata kering telah terungkap melalui migrasi
produk ke permukaan mata, ditambah dengan senyawa kimia yang digunakan di dalamnya
yang dapat dikaitkan dengan ketidakstabilan fim air mata, sehingga menyebabkan mata
menjadi kering. Sakit kepala sering menyerang perempuan dan biasanya dibarengi dengan
beberapa gejala seperti sensitivitas terhadap cahaya, nyeri kepala, silau dan penglihatan
kabur. Semakin tinggi insiden gejala pada wanita mirip dengan temuan kebanyakan
penelitian sebelumnya. Menariknya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Logaraj et al.,
laki-laki menunjukkan prevalensi mata kering yang lebih tinggi.
Tercatat bahwa antara populasi siswa dan populasi pekerja non medis, meski memiliki
pembanding total waktu layar per hari dengan 8,8 ± 3,6 jam, dan 9,3 ± 3,4 jam;yang pertama
melaporkan gejala 3,9 ± 3,2, sedangkan yang terakhir memiliki gejala melaporkan 3,4 ± 2
gejala. Populasi siswa lebih banyak bergejala, hal ini dikaitkan dengan peningkatan tiba-tiba
waktu layar pada siswa, yang sebelumnya tidak terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam
dan berturut-turut di perangkat digital.
Dalam penelitian kami, gejala yang paling umum adalah sakit kepala, mempengaruhi
43,5% (177/407) dari populasi. Sakit kepala mencerminkan ketegangan mata, kesalahan
refraksi yang tidak terdiagnosis, atau hasil dari eksposur cahaya terang terus menerus dalam
periode waktu yang tidak wajar. Hal tersebut sepadan dengan kejadian sakit kepala yang
dilaporkan oleh penelitian yang dilakukan di Chennai pada tahun 2014, dan secara signifikan
lebih tinggi dari prevalensi yang dilaporkan di Ethiopia pada tahun 2018.
Sakit mata dialami oleh 29% (118/407) orang, dapat dijelaskan melalui adanya
ketegangan yang tidak semestinya pada otot-otot intrinsik akomodasi dan tidak dapat
sepenuhnya relaksasi di bawah pemandangan jarak perangkat digital. Hal ini secara
signifikan lebih kecil dari 47,63% prevalensi yang dilaporkan oleh Dessie et al.,
Kemungkinan adanya fakta bahwa pemakai lensa kontak tidak dikecualikan dari studi mereka
membuat prevalensi studi tersebut lebih tinggi. Kemungkinan faktor lain adalah kurangnya
jeda di lingkungan kantor dibandingkan dengan penggunaan perangkat di rumah selama
karantina. Ergonomi kantor turut terlibat.
Gambar 4. Pie Chart menggambarkan (a) frekuensi gejala, dan (b)
tingkat keparahan gejala ketegangan mata digital yang dialami oleh populasi
penelitian
Penglihatan kabur telah dilaporkan oleh 16,5% dari populasi, angka ini lebih tinggi dari
angka kejadian yang dilaporkan oleh Talwar et al., sebesar 13,2%. Di sisi lain, studi yang
dilakukan oleh Logaraj dkk. Menunjukkan sebesar 6,4% mahasiswa kedokteran dan 31,6%
dari mahasiswa teknik mengalami gejala ini.
Secara keseluruhan, 23,8% (97/407) orang mengatakan bahwa mereka mengalami
kelopak mata berat. Selain fakta bahwa kelopak mata yang berat sering terlihat pada orang
dengan penyakit mata kering, hal ini menarik untuk diperhatikan bahwa 74,2% (72/97) dari
populasi mengalami gangguan tidur terkait dengan penggunaan perangkat digital, dan
kelopak mata yang berat bisa jadi manifestasi kelelahan akibat pola tidur yang buruk.
Gangguan pola tidur lebih sering terjadi pada individu yang melaporkan waktu layar yang
lebih lama, seperti yang dilaporkan oleh beberapa penelitian

Limitasi
Subjek tidak mengalami refraksi dan tidak melakukan pemeriksaan ke dokter mata, dan
kelainan refraksi yang ada sebelumnya, kelainan permukaan mata, dan defisiensi vitamin
yang mungkin berkontribusi pada beratnya gejala yang dialami tidak dinilai. Penelitian ini
hanya berfokus pada gejala sedangkan banyak individu dengan mata kering yang berat dan
hanya mengeluhkan gejala ringan, sehingga terjadi kurangnya diagnosis pada kasus yang
dilaporkan sendiri oleh penderita. Penelitian ini hanya mencakup ketegangan mata digital dan
gangguan ritme sirkadian yang disebabkan perpanjangan waktu yang dihabiskan di depan
layar dan tidak mencakup masalah muskuloskeletal yang disebabkan oleh buruknya postur.
Penelitian ini ditujukkan pada subjek usia diatas 18 tahun dan sesuai protokol kesehatan yaitu
social distancing, karena anak usia sekolah sangat berpengaruh. Perkembangan miopia pada
anak perlu ditindaklanjuti, karena dapat menekan perkembangan sistem visual. Efek pancaran
sinar ke retina menimbulkan kekhawatiran dan perlu evaluasi lebih lanjut.

Prevensi
Ketegangan mata digital atau bahkan sindrom penglihatan komputer adalah contoh
klasik dari permasalahan kesehatan akibat gaya hidup yang dapat dicegah dan langkah cepat
untuk mengurangi gejalanya sangat dibutuhkan. Berbagai tindakan dapat diambil oleh
individu untuk membatasi dampak ketegangan mata digital pada penglihatan. Tindakan yang
paling penting dilakukan adalah mengingat untuk mengedipkan mata secara sadar dalam
interval waktu tertentu. Tindakan berkedip lebih keras saat menggunakan gawai dapat
dianjurkan, karena tindakan ini membantu menekan kelenjar meibomian sehingga lapisan
lipid dari lapisan air mata akan terbentuk dengan baik. Hal ini mencegah terjadinya mata
kering akibat evaporasi. Posisi peletakan layar yang benar, yaitu 4–5 inci di bawah
permukaan mata, menyebabkan sebagian besar bola mata dilindungi oleh kelopak mata dan
hanya sebagian kecil bagian bola mata di bagian inferior yang terkena pengeringan oleh
lingkungan luar.

Memfokuskan mata pada objek yang jauh setiap interval waktu tertentu mengurangi upaya
akomodatif mata untuk sementara waktu dan mencegah nyeri mata dan sakit kepala. Aturan
praktisnya adalah aturan 20-20-20, yaitu bahwa setelah setiap 20 menit menatap layar,
seseorang harus mengambil jeda 20 detik untuk fokus pada objek yang terletak 20 kaki
jauhnya. Untuk orang yang bekerja terus menerus di depan layar selama lebih dari 8 sampai
10 jam sehari, sepasang “kacamata komputer ” khusus mungkin merupakan langkah tepat
yang dapat diambil. Kacamata ini sebenarnya hanyalah sepasang lensa preskripsi dengan
daya plus kecil (+ 0,25D hingga + 0,5D) yang bisa dikenakan seseorang saat bekerja di depan
layar untuk mengurangi usaha akomodatif dari mata. Namun pada umumnya kacamata ini
belum banyak digunakan.

Gangguan irama sirkadian dapat dikontrol sampai taraf tertentu melalui penggunaan filter
cahaya biru di perangkat elektronik itu sendiri, maupun dengan menggunakan kacamata polos
dengan sedikit warna kuning pada lensanya, yang disebut “kacamata filter sinar biru".
Kacamata ini tidak membutuhkan preskripsi, karena mereka hanyalah kacamata biasa dengan
sedikit warna kuning di lensanya. Penggunaan kacamata ini mungkin hanya terbatas untuk
mengurangi gangguan irama sirkadian di atas fungsi lainnya. AAO belum merekomendasikan
penggunaan kacamata digital khusus apapun untuk mengatasi ketegangan mata digital hingga
saat ini.

Tindakan lain yang dapat dilakukan misalnya kompres hangat yang diikuti dengan pijatan
lembut pada kelopak mata sebanyak sekali atau dua kali sehari untuk membantu kelenjar
tarsal berfungsi dengan baik. Tetes mata bebas pengawet dapat direkomendasikan. Sesering
mungkin, individu yang memakai lensa kontak bisa diminta untuk beralih ke penggunaan
kacamata selama bekerja di depan layar.

Terdapat beberapa aplikasi, baik yang digunakan pada ponsel cerdas maupun komputer, yang
mengingatkan seseorang untuk beristirahat pada interval tetap yang disesuaikan. Aplikasi ini
dapat digunakan untuk mengurangi frekuensi munculnya gejala. Bagi mereka yang bekerja
dari rumah, “ruangan kantor” seadanya dengan posisi layar yang tepat, tinggi meja, kursi
ergonomis, dan pencahayaan yang optimal akan mengurangi ketegangan pada mata sekaligus
menghindarkan pengguna dari masalah yang disebabkan oleh postur tubuh yang buruk.

Bila memungkinkan untuk menghilangkan ketegangan visual, sinar lebih disukai daripada
kelas video. Pembaca dapat mengatur ukuran huruf dan kontras pada antarmuka sehingga
sangat membantu meredakan ketegangan mata. Buku audio merupakan alternatif yang tepat
untuk menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar. Televisi, meskipun memiliki
kerugiannya sendiri adalah alternatif yang lebih baik dibandingkan gawai, dan dapat
digunakan apabila memungkinkan untuk kegiatan berbagi layar atau transfer data.

Penyebab pasti mata kering yang menguap yang disebabkan oleh penurunan kecepatan
kedipan yang drastis, yang kemudian menyebabkan munculnya serangkaian masalah lain.
Studi lebih lanjut di bidang ini harus melibatkan pertanyaan tentang tingkat kedipan dengan
nilai normal dan memastikan lebih jelas setiap kali kedipan. Teknik Pavlovian dapat
dikembangkan, dimana subjek diberi stimulus taktil ringan yang dapat menyebabkan kedipan.
Perkembangan teknik tersebut membutuhkan pelatihan berbulan-bulan untuk menghasilkan
refleks yang terkondisi, tetapi mengingat banyaknya penderita yang mengalami ketegangan
mata digital, sehingga sekarang merupakan tempat yang bagus untuk memulai.

Kesimpulan
Penelitian ini memfokuskan terjadinya peningkatan penggunaan perangkat digital setelah
dilakukan lockdown akibat COVID-19, dan mengakibatkan terjadinya penurunan kesehatan
mata pada semua kelompok usia. Diperlukan adanya tindakan untuk pencegahan ketegangan
mata digital dan meminimalkan efek samping.
CRITICAL APPRAISAL

Critical appraisal dilakukan dengan metode PICO-VIA.

Population, Patient, Problem

Individu berusia di atas 18 tahun yang menggunakan perangkat digital (Pelajar, staf medis
dan paramedis, pekerja profesional non medis).

Intervention

Survei online terbuka menggunakan Google Formulir dikirim ke orang-orang di platform


media sosial (WhatsApp, Facebook, Instagram). Tautan ke survei dikirim ke nomor
WhatsApp pribadi mahasiswa kedokteran, mahasiswa teknik dan seni, karyawan perusahaan
IT, insinyur, dokter, magang, perawat, dan diposting di beberapa grup WhatsApp yang sering
dikunjungi oleh ibu rumah tangga; mereka semua didorong untuk mengirimkannya.
Kuesioner terdiri dari 14 pertanyaan dan terbuka untuk jangka waktu dua minggu.

Comparison
Demografi orang yang berbeda serta jangka waktu penggunaan gadget selama pandemic dan
sebelum pandemic dengan penurunan kesehatan mata

Outcome

Penggunaan gadget pada masa pandemi Covid-19 meningkat, disertai dengan penurunan
kesehatan mata pada semua kelompok usia.

Validity
1. Apakah fokus penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian?
Jawaban : Ya, penelitian ini memberikan informasi tentang peningkatan waktu layar
setelah dilakukan lockdown akibat pandemi COVID-19 dan dampaknya pada gejala
ketegangan mata dan gangguan tidur. Hal ini sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan
oleh peneliti.
2. Apakah subjek penelitian ini diambil dengan cara yang tepat?
Jawaban : Ya, kuisioner via Google Form disebarkan melalui WhatsApp, Instagram,
Facebook, dan ditujukan kepada populasi berusia di atas 18 tahun yang menggunakan
gawai digital dengan kriteria eksklusi yang telah tertulis, serta informed consent sebelum
dilakukan pengisian kuisionernya.
3. Apakah data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian?
Jawaban : Ya, data yang dikumpulkan dan dianalisis telah sesuai dengan tujuan
penelitian, yaitu usia subjek, pekerjaan, peningkatan waktu layar pasca lockdown, gejala
ketegangan mata akibat digital. Setelah dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS,
dapat ditemukan hubungan antara peningkatan waktu layar pasca lockdown dan
implikasinya terhadap kesehatan baik kesehatan mata maupun gangguan tidur sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan peneliti.
4. Apakah penelitian ini mempunyai jumlah subjek yang cukup?
Jawaban : Ya, penelitian ini memiliki 407 responden pengguna perangkat digital dengan
gender, usia, dan pekerjaan yang bervariasi. Angka tersebut lebih besar dari standar
sampling populasi yaitu sebesar 400 responden.
5. Apakah analisis data dilakukan cukup baik?

Jawaban : Ya, analisis data dilakukan menggunakan software SPSS versi 13 dengan uji
korelasi Pearson untuk menemukan hubungan antar variabel lalu uji Chi-square
diaplikasikan per kategori variabel. Hasil yang menunjukkan P ≤ 0.05 dianggap
signifikan.

Importance
Penelitian ini sangat penting karena dapat memberikan informasi tentang peningkatan waktu
layar setelah dilakukan lockdown akibat pandemi COVID-19 dan dampaknya pada gejala
ketegangan mata dan gangguan tidur. Sehingga dapat membatasi dampak ketegangan mata
digital pada penglihatan dengan melakukan beberapa tindakan.

Applicability
Penelitian ini dapat dilakukan di Indonesia karena negara Indonesia juga sedang menjalani
lockdown akibat pandemi COVID-19 sehingga terjadi peningkatan penggunaan gawai untuk
memfasilitasi kegiatan belajar, bekerja, maupun hiburan. Selain itu juga tidak ada perbedaan
dari subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan populasi yang didapatkan
di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai