GLAUKOMA
Halaman Judul
Oleh:
NIM. 1311722010
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
i
TAHUN 2024
ii
LEMBAR PENGESAHAN
NIM :1311722034
Judul : Glaukoma
Mengetahui,
Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Gorontalo
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, kami dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Konjungtivitis”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Negeri Gorontalo.
Dalam pembuatan referat ini penulis mendapatkan banyak bimbingan,
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada AKP dr. Agung
Darmawan, Sp. M selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan pikiran, untuk membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan referat ini masih
belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan penulisan referat ini ke depannya.
Semoga referat ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang
membutuhkan.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
Halaman Judul.....................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva.....................................................................2
2.2. Definisi Konjungtivitis.........................................................................................2
2.3. Epidemiologi Konjungtivitis................................................................................2
2.4. Etiologi Konjungtivitis.........................................................................................3
2.5. Patofisiologi Konjungtivitis.................................................................................6
2.6. Manifestasi Klinis Konjungtivitis.........................................................................7
2.7. Diagnosis Konjungtivitis......................................................................................9
2.8. Penatalaksanaan Konjungtivitis........................................................................11
2.9. Komplikasi Konjungtivitis..................................................................................14
2.10. Prognosis Konjungtivitis................................................................................15
BAB III...............................................................................................................................16
LAPORAN KASUS..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Mata adalah salah satu indera yang penting, hampir 80% informasi diserap
melalui sistem visual. Namun fungsi visual juga rentan terhadap berbagai
gangguan/ kelainan dari yang ringan sampai yang dapat berakibat kebutaan.
Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu
mendapat perhatian.1
Glaukoma adalah kelainan pada saraf mata yang ditandai dengan neuropati
optik disertai hilangnya lapang pandang yang khas dengan peningkatan tekanan
intra okuler sebagai faktor risiko utama. 2,3 Saat ini glaukoma menduduki urutan
kedua penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia 4 dan dunia.5 Klasifikasi
glaukoma dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria. Berdasarkan etiologinya
glaukoma diklasifikasikan sebagai glaukoma primer, glaukoma sekunder dan
glaukoma kongenital, berdasarkan struktur sudut iridokornealis diklasifikasikan
sebagai glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup dan berdasarkan
perjalanan penyakitnya diklasifikasikan sebagai glaukoma akut dan glaukoma
kronis.1
Penderita glaukoma di seluruh dunia pada tahun 2010 diperkirakan
mencapai 60,5 juta dan akan meningkat menjadi 79,6 juta pada tahun 2020.
Hampir separuh penderita glaukoma (47%) berada di Asia dimana 87%
disebabkan oleh primary angle closure glaucoma (PACG). Pada tahun 2010,
diperkirakan 4.5 juta orang menderita kebutaan dua mata akibat primary open-
angle glaucoma (POAG) dan 3.9 juta orang akibat PACG pada tahun 2010 dan
pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 5.9 juta dan 5.3 juta.
Berbeda dengan katarak, kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen.4 Hasil
Survei Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993- 1996 mendapatkan
prevalensi glaukoma di Indonesia sebesar 0.2%. Menurut hasil Riskesdas 2007,
prevalensi glaukoma adalah 4.6 %.1
1
Insiden glaukoma sekunder diperkirakan sekitar 0.44% dari populasi atau
sekitar 18% dari jumlah penderita POAG. Penyebab glaukoma sekunder cukup
bervariasi. Sebuah studi menyebutkan persentase penyebab glaukoma sekunder
adalah sebagai berikut: glaukoma terkait lensa 2,5%, glaukoma neovaskuler
0,95%, glaukoma uveitik 0,4%, dan glaukoma terinduksi steroid sebesar 0,2%
dari seluruh kasus glaukoma.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan komplikasi
tersering adalah abses peritonsilar.2
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka kejadian
penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan survei
epidemiologi penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) di 7
provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik pada tahun 2013 sebesar
3,8%, tertinggi kedua setelah nasofaring akut.3
2.4. Etiologi Konjungtivitis
2.4.1 Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis Viral
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif Jika terjadi
infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien.8,9
4
Gambar 3. Tonsilitis Bakteri
2.4.2 Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis Difteri
5
Gambar 5. Tonsilitis Septik
c. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)
Gambar 6. Angina Plaut Vincent. Terlihat adanya ulkus di daerah tonsil dextra
d. Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin,
sulfa dan arsen.8
6
a b
7
perlawanan imun tubuh yang kemudian terbentuklah fokus infeksi Pada
awalnya infeksi ini bersifat akut yang biasanya disebabkan oleh virus yang
berkembang di membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Setelah peradangan akut ini, tonsil bisa benar-benar membaik seperti
semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini dapat menyebabkan
peradangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri patogen
akan bersarang didalam tonsil yang bisa menyebabkan peradangan yang
bersifat kronik. 10
Akibat dari terjadinya peradangan kronik ini, sampai-sampai ukuran
tonsil yang membesar akibat terjadinya hiperplasia parenkim atau
degenerasi fribrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Sumbatan pada kripte
tonsil dapat mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen
didalam kripte, yang kemudian memudahkan bakteri masuk kedalam
parenkim tonsil.10
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan pedekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.8
2.6. Manifestasi Klinis Konjungtivitis
2.6.1 Tonsilitis Akut 8,12
a) Sakit tenggorok (odinofagi) dan sukar menelan (disfagia). Pada
Anak mungkin tidak mengeluh sakit tenggorok tapi akan menolak
untuk makan.
b) Otalgia sebagai akibat dari nyeli alih melalui N.IX
c) Demam, hal ini bisa menyebabkan kejang demam pada bayi.
d) Malaise, nyeri sendi, dan tanda-tanda dehidrasi.
8
e) Tonsil membesar dan hiperemis serta dapat menunjukkan pus dari
kripta di tonsil (detritus).
f) Durasi perlangsungan tonsilitis akut biasanya 4 sampai 6 hari.
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Tonsilitis bakterial memiliki masa inkubasi 2-4 hari,
gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri
waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa
nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri telinga (otalgia).
Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.
glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan fisis orofaringoskopi tampak
tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakunar atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeri tekan.8
Pada tonsilitis membranosa seperti tonsilitis difteri, gambaran
kliniknya dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan
gejala akibat eksotoksin. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya
yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal
yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.8
9
2.6.2 Tonsilitis Kronik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Rasa ada
yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas
berbau (halitosis).8
Radang amandel/tonsil yang kronik terjadi secara berulang-ulang
dan berlangsung lama. Pembesaran tonsil/amandel bisa sangat besar
sehingga tonsil kiri dan kanan saling bertemu dan dapat mengganggu jalan
pernapasan.2
Tonsilitis juga biasanya dapat mengakibatkan keluhan berupa
ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil yang mengganggu jalan
napas bahkan keluhan sesak nafas dapat terjadi apabila pemebesaran tonsil
telah menutup jalur pernafasan.2
Gambar 9. Tonsilitis kronik yang sangat besar sehingga menggagu jalan napas
2.7. Diagnosis Konjungtivitis
Penegakan diagnosis dari tonsilitis dapat dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat dari keluhan-
keluhan pasien, berupa keluhan lokal dan keluhan sistemik. Keluhan lokal
yang dapat dirasakan antara lain nyeri saat menelan, rasa sakit dan
mengganjal pada tenggorok, halitosis (bau mulut), demam, mendengkur,
gangguan saat bernapas, hidung tersumbat, dan batuk pilek berulang.
10
Selain itu, dapat disertai dengan keluhan sistemik, seperti rasa lemah,
nafsu makan berkurang, nyeri kepala, dan nyeri pada persendian.11
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosis tonsilitis ini,
maka sering didapatkan hasil yaitu pembesaran tonsil, pelebaran
permukaan pada kripta tonsil, ditemukan detritus pada penekanan kripta,
hiperemis/kemerahan pada arkus anterior atau posterior hiperemis, dan
dapat ditemukan pembesaran kelenjar submandibula. Diagnosis tonsilitis
dapat ditegakan apabila terdapat satu atau lebih keluhan dari anamnesis
yang sering berulang ditambah dengan pembesaran ukuran tonsil dan/atau
pemeriksaan fisik lainnya. 11
11
Gambar 10 . Grading Tonsil (Friedman Grading Scale): a. T0, b. T1, c. T2, d. T3 dan e. T413
12
Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin
pada anak dengan risiko dehidrasi..14
b. Tonsilitis Bakterial
Antibiotika spectrum luas, seperti penisilin, eritromisin. Antipiretik
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.2
Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine
memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok
dan memperbaiki gejala. Lidocaine spray secara signfikan dapat
mengurangi keparahan nyeri dalam tiga hari pertama.14
Antibiotik yang dapat digunakan, yaitu: 14
1) Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g),
atau 25 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg), selama
10 hari. Penggunaan amoksisilin peroral di Indonesia 50-60 mg/kgbb
dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis dewasa 3x500 mg.
2) Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil
diberikan selama 10 hari. Cephalexin peroral 20 mg/kgbb dua kali
sehari (dosis maksimum 500 mg). Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb
sekali sehari (dosis maksimum 1 g) selama 10 hari.
3) Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300
mg) selama 10 hari.
4) Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500
mg) selama 5 hari. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Azitromisin
dosis total 60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain
selama 10 hari, sedangkan azitromsin dosis total 30 mg/kgbb kurang
efektif pada anak-anak. Azitromisin memberikan efek yang sama
dengan antibiotik lain pada dewasa. Azitromisin dosis tunggal 2 gram
extended relase sama efektifnya dengan azitromisin 500 mg sekali
sehari selama 3 hari. Di Indonesia, azitromisin diberikan 500 mg per
hari selama 3 hari.
5) Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis maksimum 250
mg) selama 10 hari.
13
6) Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400 mg
pada dewasa) selama 10 hari.
7) Apabila tidak terdapat alergi pada penisilin V, penisilin V dapat
diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg selama 10 hari. per
oral, 2-3 kali sehari. Dosis dewasa ialah 4x250 mg perhari, atau
2x500 mg perhari.
2.8.2 Tonsilitis Membranosa
a. Tonsillitis difteri
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya
penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 – 50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik untuk simtomatis. Pasien harus diisolasi karena penyakit ini
dapat menular. Pasien istirahat di tempat tidur selama 2 – 3 minggu. 2,8
b. Angina Plaut Vincent
Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu, perbaiki kebersihan mulut,
konsumsi vitamin C dan B kompleks.8
14
Rekomendasi pedoman klinik yang dikeluarkan American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
menyatakan bahwa 2 indikasi tersering untuk dilakukan tonsilektomi
adalah tonsilitis akut rekuren dan OSAS (Obstructive Sleep Apnea
Syndrome).
Indonesia mengeluarkan rekomendasi pedoman klinik tonsilektomi
dalam Health Technology Assesment (HTA) Indonesia tahun 2004 yang
telah disesuaikan dengan AAO-HNS, yaitu:
a) Indikasi absolut
Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran napas
misal pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan obstruksi,
gangguan tidur, komplikasi kardiopulmoner, gangguan
pertumbuhan dentofasial, gangguan bicara (hiponasal).
Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase.
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
b) Indikasi relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B-
hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik
resisten β-laktamase.
Kontraindikasi dari tindakan tonsilektomi yakni pada risiko yaitu;
(1) anastesi penyakit berat, (2) anemia, (3) gangguan perdarahan, (4)
infeksi akut yang berat dan (5) Palatoskizis. Namun bila keadaan
tersebut dapat di atasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan dengan imbang antara manfaat dan risiko. 14
15
2.9. Komplikasi Konjungtivitis
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil (Quincy thorat), abses parafaring, bronkitis,
glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi
v. Jugularis interna (sindrom Lemierre).8
Radang kronik dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endocarditis, myositis, nefritis, artritis, dermatitis,
pruritus, dan furunkulosis. Adapun peradangan kronik pada tonsil yang
dapat menimbulkan beberapa komplikasi lainnya, seperti:4
1) Abses peritonsilar, untuk abses ini bisa terjadi karena adanya perluasan
infeksi pada kapsul tonsil sehingga mengenai jaringan sekitarnya.
Pasien biasanya akan mengeluhkan nyeri tenggorok, sulit menelan,
kesulitan membuka mulut, adanya pembesaran tonsil unilateral dan
membutuhkan penanganan berupa pemberian antibiotik dan
tonsilektomi. Biasanya komplikasi ini sangat sering terjadi pada kasus
tonsilitiss berulang.4
16
3) Abses parafaring yang terjadi akibat proses supurasi kelenjar getah
bening leher bagian dalam, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan
mastoid.4
BAB III
LAPORAN KASUS
17
DAFTAR PUSTAKA
18