Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL


2024
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

GLAUKOMA

Halaman Judul

Oleh:

Jeane Kirania Tangahu, S.Ked

NIM. 1311722010

Pembimbing:

AKP dr. Agung Darmawan, Sp. M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

i
TAHUN 2024

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Jeane Kirania Tangahu, S. Ked

NIM :1311722034

Judul : Glaukoma

Telah menyelesaikan refeart yang berjudul “Konjungtivitis” dan telah disetujui


serta telah dibacakan dihadapan dokter pembimbing klinis dalam rangka
kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Negeri Gorontalo

Gorontalo, April 2024

Penulis Dosen Pembimbing

Jeane Kirania Tangahu, S.Ked AKP dr. Agung Darmawan, Sp. M

Mengetahui,
Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Gorontalo

dr. Naning Suleman, M.Kes., Sp. M

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya, kami dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Konjungtivitis”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Negeri Gorontalo.
Dalam pembuatan referat ini penulis mendapatkan banyak bimbingan,
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada AKP dr. Agung
Darmawan, Sp. M selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan pikiran, untuk membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan referat ini masih
belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan penulisan referat ini ke depannya.
Semoga referat ini dapat memberikan manfaat ilmiah bagi semua pihak yang
membutuhkan.

Gorontalo, April 2024


Penulis,

Jeane Kirania Tangahu, S. Ked


NIM. 1311722010

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN
Halaman Judul.....................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva.....................................................................2
2.2. Definisi Konjungtivitis.........................................................................................2
2.3. Epidemiologi Konjungtivitis................................................................................2
2.4. Etiologi Konjungtivitis.........................................................................................3
2.5. Patofisiologi Konjungtivitis.................................................................................6
2.6. Manifestasi Klinis Konjungtivitis.........................................................................7
2.7. Diagnosis Konjungtivitis......................................................................................9
2.8. Penatalaksanaan Konjungtivitis........................................................................11
2.9. Komplikasi Konjungtivitis..................................................................................14
2.10. Prognosis Konjungtivitis................................................................................15
BAB III...............................................................................................................................16
LAPORAN KASUS..............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................17

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Mata adalah salah satu indera yang penting, hampir 80% informasi diserap
melalui sistem visual. Namun fungsi visual juga rentan terhadap berbagai
gangguan/ kelainan dari yang ringan sampai yang dapat berakibat kebutaan.
Upaya mencegah dan menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan perlu
mendapat perhatian.1
Glaukoma adalah kelainan pada saraf mata yang ditandai dengan neuropati
optik disertai hilangnya lapang pandang yang khas dengan peningkatan tekanan
intra okuler sebagai faktor risiko utama. 2,3 Saat ini glaukoma menduduki urutan
kedua penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia 4 dan dunia.5 Klasifikasi
glaukoma dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria. Berdasarkan etiologinya
glaukoma diklasifikasikan sebagai glaukoma primer, glaukoma sekunder dan
glaukoma kongenital, berdasarkan struktur sudut iridokornealis diklasifikasikan
sebagai glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup dan berdasarkan
perjalanan penyakitnya diklasifikasikan sebagai glaukoma akut dan glaukoma
kronis.1
Penderita glaukoma di seluruh dunia pada tahun 2010 diperkirakan
mencapai 60,5 juta dan akan meningkat menjadi 79,6 juta pada tahun 2020.
Hampir separuh penderita glaukoma (47%) berada di Asia dimana 87%
disebabkan oleh primary angle closure glaucoma (PACG). Pada tahun 2010,
diperkirakan 4.5 juta orang menderita kebutaan dua mata akibat primary open-
angle glaucoma (POAG) dan 3.9 juta orang akibat PACG pada tahun 2010 dan
pada tahun 2020 diperkirakan akan meningkat menjadi 5.9 juta dan 5.3 juta.
Berbeda dengan katarak, kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen.4 Hasil
Survei Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993- 1996 mendapatkan
prevalensi glaukoma di Indonesia sebesar 0.2%. Menurut hasil Riskesdas 2007,
prevalensi glaukoma adalah 4.6 %.1

1
Insiden glaukoma sekunder diperkirakan sekitar 0.44% dari populasi atau
sekitar 18% dari jumlah penderita POAG. Penyebab glaukoma sekunder cukup
bervariasi. Sebuah studi menyebutkan persentase penyebab glaukoma sekunder
adalah sebagai berikut: glaukoma terkait lensa 2,5%, glaukoma neovaskuler
0,95%, glaukoma uveitik 0,4%, dan glaukoma terinduksi steroid sebesar 0,2%
dari seluruh kasus glaukoma.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva

2.2. Definisi Glaukoma


Glaukoma berasal dari Bahasa Yunani Glaukos yang berarti hijau
kebiruan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita
glaucoma. Glaucoma adalah suatu neuropati kronis didapat yag ditandai
oleh pencekungan (Cupping) diskus optikus dan pengecilan lapang
pandang, biasanya disertai peningkatan tekanan intra okuli. Pada Sebagian
besar kasus glaucoma tidak disertai dengan penyakit lainnya (glaucoma
primer).
2.3. Epidemiologi Konjungtivitis
Tonsilitis secara epidemiologi paling sering terjadi pada anak-anak,
tetapi jarang terjadi pada anak usia < 2 tahun. Tonsilitis juga sangat jarang
terjadi pada orang tua usia >40 tahun. Tonsilitis akibat
bakteri Streptococcus umumnya terjadi pada anak berusia antara 5 dan 15
tahun, sedangkan tonsilitis akibat virus lebih banyak terjadi pada anak
kecil. Berbagai penelitian melaporkan bahwa rata-rata prevalensi status
karir pada anak sekolah untuk Streptococcus grup A adalah 15,9%.7
Dari data epidemiologi World Health Organization (WHO),
diperkirakan 287.000 anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi
(operasi tonsil), dengan atau tanpa adenoidektomi. Sekitar 248.000 anak
atau dengan prevalensi 86,4% mengalami tonsilioadenoidektomi dan
39.000 lainnya atau dengan prevalensi 13,6% menjalani tonsilektomi saja.2
Dari data epidemiologi mengenai prevalensi tonsilitis kronik di
berbagai negara, yang salah satunya di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa penyakit tonsilitis kronik di Amerika merupakan penyakit yang
sering terjadi pada anak usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun
dengan prevalensi tonsilitis kronik sebesar 1,59%. 3 Insidensi terjadinya

3
tonsilitis rekuren di Eropa dilaporkan sekitar 11% dengan komplikasi
tersering adalah abses peritonsilar.2
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI, angka kejadian
penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan survei
epidemiologi penyakit telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) di 7
provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis kronik pada tahun 2013 sebesar
3,8%, tertinggi kedua setelah nasofaring akut.3
2.4. Etiologi Konjungtivitis
2.4.1 Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis Viral
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif Jika terjadi
infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan
tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri
dirasakan pasien.8,9

Gambar 2. Tonsilitis Viral


b. Tonsilitis Bakteri
Radang akut tonsil dapat disebabkan grup A Streptococcus B
Hemolyticus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus,
Streptococcus viridan dan Streptococcus pyogenes. 8,9

4
Gambar 3. Tonsilitis Bakteri
2.4.2 Tonsilitis membranosa
a. Tonsilitis Difteri

Penyebab tonsilitis difteri ialah Coryne bacterium diphteriae, bakteri


yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran napas bagian atas
yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh bakteri ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03
satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar
imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.8

Gambar 4. Tonsilitis Difteri


b. Tonsilitis Septik
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptococcus B Hemolyticus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. 8,9

5
Gambar 5. Tonsilitis Septik
c. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulsero membranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang


didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.8

Gambar 6. Angina Plaut Vincent. Terlihat adanya ulkus di daerah tonsil dextra
d. Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin,
sulfa dan arsen.8

6
a b

Gambar 7. Angina agranulositosis. a) Orofaringoskopi menunjukkan aspek eritematosa


tonsil palatina, edema uvula. b) Lesi aphthous di palatum durum dan mukosa jugal
2.4.3 Tonsilitis kronik

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan polutan


yang menahun seperti asap rokok, beberapa jenis makanan, higiene
mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat. Bakteri penyebabnya sama dengan
tonsilitis akut tetapi kadang-kadang disebabkan oleh bakteri golongan
gram negatif.2,8

Gambar 8. Tonsilitis Kronik


2.5. Patofisiologi Konjungtivitis
Infeksi pada tonsil dapat terjadi jika antigen ingestan maupun
antigen inhalan dapat dengan mudah masuk kedalam tonsil dan terjadilah

7
perlawanan imun tubuh yang kemudian terbentuklah fokus infeksi Pada
awalnya infeksi ini bersifat akut yang biasanya disebabkan oleh virus yang
berkembang di membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.
Setelah peradangan akut ini, tonsil bisa benar-benar membaik seperti
semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini dapat menyebabkan
peradangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri patogen
akan bersarang didalam tonsil yang bisa menyebabkan peradangan yang
bersifat kronik. 10
Akibat dari terjadinya peradangan kronik ini, sampai-sampai ukuran
tonsil yang membesar akibat terjadinya hiperplasia parenkim atau
degenerasi fribrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Sumbatan pada kripte
tonsil dapat mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen
didalam kripte, yang kemudian memudahkan bakteri masuk kedalam
parenkim tonsil.10
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan pedekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.8
2.6. Manifestasi Klinis Konjungtivitis
2.6.1 Tonsilitis Akut 8,12
a) Sakit tenggorok (odinofagi) dan sukar menelan (disfagia). Pada
Anak mungkin tidak mengeluh sakit tenggorok tapi akan menolak
untuk makan.
b) Otalgia sebagai akibat dari nyeli alih melalui N.IX
c) Demam, hal ini bisa menyebabkan kejang demam pada bayi.
d) Malaise, nyeri sendi, dan tanda-tanda dehidrasi.

8
e) Tonsil membesar dan hiperemis serta dapat menunjukkan pus dari
kripta di tonsil (detritus).
f) Durasi perlangsungan tonsilitis akut biasanya 4 sampai 6 hari.
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Tonsilitis bakterial memiliki masa inkubasi 2-4 hari,
gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri
waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa
nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri telinga (otalgia).
Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf n.
glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan fisis orofaringoskopi tampak
tonsil membengkak, hiperemis dan terdapat detritus berbentuk folikel,
lakunar atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula
membengkak dan nyeri tekan.8
Pada tonsilitis membranosa seperti tonsilitis difteri, gambaran
kliniknya dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum, gejala lokal dan
gejala akibat eksotoksin. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya
yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal
yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membran semu.8

Membran semu ini dapat meluas ke palatum mole, uvula,


nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran napas.
Membran ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan
mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya
sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeester's hals. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh
bakteri difteri ini akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada
jantung dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.8

9
2.6.2 Tonsilitis Kronik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus. Rasa ada
yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan napas
berbau (halitosis).8
Radang amandel/tonsil yang kronik terjadi secara berulang-ulang
dan berlangsung lama. Pembesaran tonsil/amandel bisa sangat besar
sehingga tonsil kiri dan kanan saling bertemu dan dapat mengganggu jalan
pernapasan.2
Tonsilitis juga biasanya dapat mengakibatkan keluhan berupa
ngorok saat tidur karena pengaruh besarnya tonsil yang mengganggu jalan
napas bahkan keluhan sesak nafas dapat terjadi apabila pemebesaran tonsil
telah menutup jalur pernafasan.2

Gambar 9. Tonsilitis kronik yang sangat besar sehingga menggagu jalan napas
2.7. Diagnosis Konjungtivitis
Penegakan diagnosis dari tonsilitis dapat dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat dari keluhan-
keluhan pasien, berupa keluhan lokal dan keluhan sistemik. Keluhan lokal
yang dapat dirasakan antara lain nyeri saat menelan, rasa sakit dan
mengganjal pada tenggorok, halitosis (bau mulut), demam, mendengkur,
gangguan saat bernapas, hidung tersumbat, dan batuk pilek berulang.

10
Selain itu, dapat disertai dengan keluhan sistemik, seperti rasa lemah,
nafsu makan berkurang, nyeri kepala, dan nyeri pada persendian.11
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dalam menegakkan diagnosis tonsilitis ini,
maka sering didapatkan hasil yaitu pembesaran tonsil, pelebaran
permukaan pada kripta tonsil, ditemukan detritus pada penekanan kripta,
hiperemis/kemerahan pada arkus anterior atau posterior hiperemis, dan
dapat ditemukan pembesaran kelenjar submandibula. Diagnosis tonsilitis
dapat ditegakan apabila terdapat satu atau lebih keluhan dari anamnesis
yang sering berulang ditambah dengan pembesaran ukuran tonsil dan/atau
pemeriksaan fisik lainnya. 11

Dalam penegakan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan


pembesaran tonsil dalam ukuran T0 – T4 (Friedman Grading
Scale):12
- T0 : tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat.
- T1 : besar tonsil 1/4 dari jarak arkus anterior dan uvula, di sini terlihat
tonsil tertutupi pilar tonsilar.
- T2 : besar tonsil 1/2 dari jarak arkus anterior dan uvula, terlihat tonsil
membesar ke arah pilar tonsilar.
- T3 : besar besar tonsil ¾ dari jarak arkus anterior dan uvula, terlihat
tonsil telah mencapai luar pilar tonsilar.
- T4 : besar tonsil telah mencapai arkus anterior atau lebih, terlihat tonsil
sudah mencapai garis Tengah

11
Gambar 10 . Grading Tonsil (Friedman Grading Scale): a. T0, b. T1, c. T2, d. T3 dan e. T413

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi, yakni melewati swab jaringan inti
tonsil maupun permukaan tonsil Gold standard pemeriksaan tonsil adalah
kultur dari dalam tonsil. Pemeriksaan kultur pada inti tonsil bisa
memberikan gambaran dari penyebab tonsilitis yang lebih akurat karena
bakteri yang menginfeksi tonsil merupakan bakteri yang masuk kedalam
parenkim tonsil, meskipun pada permukaan tonsil mengalami
kontaminasi dengan flora-flora normal disaluran pernapasan atas
kemudian bisa jadi bukan bakteri yang menginfeksi tonsil.4
b. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis tonsilitis kronik. Pada pemeriksaan histopatologi
ini, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan yakni ditemukan ringan-
sedang infiltrasi limfosit, infiltrasi limfosit yang difus, dan adanya abses
Ugra. Kemudian dengan gabungan ketiga kriteria itu ditambah dengan
beberapa histopatologi lainnya dapat diketahui jelas dalam menegakkan
diagnosis dari tonsilitis kronik. 4

2.8. Penatalaksanaan Konjungtivitis


Pemberian tatalaksana berbeda-beda setiap kategori tonsillitis
sebagai berikut.
2.8.1 Tonsilitis Akut
a. Tonsilitis Viral
Pada umumnya, penderita dcngan tolnsilitis akut serta demam
sebaiknya tirah baring, pemberian cairan adekuat, dan diet ringan.
Analgesik, dan antivirus diberikan jika gejala berat.2
Analgetik pilihan utama yang direkomendasiakan untuk pasien
dewasa adalah Ibuprofen atau paracetamol. Ibuprofen mempunyai hasil
yang lebih baik untuk mengurangi nyeri tenggorok daripada paracetamol.
Paracetamol merupakan pilihan utama sebagai analgetika pada anak.

12
Ibuprofen merupakan terapi alternatif dan tidak diberikan secara rutin
pada anak dengan risiko dehidrasi..14
b. Tonsilitis Bakterial
Antibiotika spectrum luas, seperti penisilin, eritromisin. Antipiretik
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.2
Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine
memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok
dan memperbaiki gejala. Lidocaine spray secara signfikan dapat
mengurangi keparahan nyeri dalam tiga hari pertama.14
Antibiotik yang dapat digunakan, yaitu: 14
1) Amoksisilin peroral 50 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 1 g),
atau 25 mg/kgbb dua kali sehari (dosis maksimum 500 mg), selama
10 hari. Penggunaan amoksisilin peroral di Indonesia 50-60 mg/kgbb
dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis dewasa 3x500 mg.
2) Sefalosporin generasi pertama seperti cephalexin dan cefadroxil
diberikan selama 10 hari. Cephalexin peroral 20 mg/kgbb dua kali
sehari (dosis maksimum 500 mg). Cefadroxil peroral 30 mg/kgbb
sekali sehari (dosis maksimum 1 g) selama 10 hari.
3) Klindamisin peroral 7mg/kgbb, 3 kali sehari (dosis maksimum 300
mg) selama 10 hari.
4) Azitromisin peroral 12 mg/kgbb sekali sehari (dosis maksimum 500
mg) selama 5 hari. (level bukti II, derajat rekomendasi B) Azitromisin
dosis total 60 mg/kgbb lebih efektif dibandingkan antibiotik lain
selama 10 hari, sedangkan azitromsin dosis total 30 mg/kgbb kurang
efektif pada anak-anak. Azitromisin memberikan efek yang sama
dengan antibiotik lain pada dewasa. Azitromisin dosis tunggal 2 gram
extended relase sama efektifnya dengan azitromisin 500 mg sekali
sehari selama 3 hari. Di Indonesia, azitromisin diberikan 500 mg per
hari selama 3 hari.
5) Klaritromisin peroral 7,5 mg/kgbb 2 kali sehari (dosis maksimum 250
mg) selama 10 hari.

13
6) Eritromisin etilsuksinat (EES) 40 mg/kgbb/hari, 2-4 kali (4x400 mg
pada dewasa) selama 10 hari.
7) Apabila tidak terdapat alergi pada penisilin V, penisilin V dapat
diberikan selama 10 hari. Dosis anak ialah 250 mg selama 10 hari. per
oral, 2-3 kali sehari. Dosis dewasa ialah 4x250 mg perhari, atau
2x500 mg perhari.
2.8.2 Tonsilitis Membranosa
a. Tonsillitis difteri
Anti difteri serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur,
dengan dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya
penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 – 50 mg/kgBB dibagi
dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2 mg/kgBB/hari.
Antipiretik untuk simtomatis. Pasien harus diisolasi karena penyakit ini
dapat menular. Pasien istirahat di tempat tidur selama 2 – 3 minggu. 2,8
b. Angina Plaut Vincent
Antibiotik spectrum luas selama 1 minggu, perbaiki kebersihan mulut,
konsumsi vitamin C dan B kompleks.8

2.8.3 Tonsilitis kronik


Untuk penatalaksanaan tonsilitis kronik ini meliputi beberapa
terapi operatif dan medikamentosa. Terapi ini difokuskan untuk
menanggulangi higiene mulut yang kurang bersih melalui pemberian
antibiotik. Antibiotik tipe penisilin masih digunakan pada sebagian besar
kasus. Pada kasus yang berulang dapat meningkatkan berlangsungnya
perubahan bakteriologi kemudian perlu diberikan antibiotik selain tipe
penisilin.4,8
Terapi pembedahan pada tonsilitis kronik dilaksanakan jika terapi
konservatif tidak sukses. Tonsilektomi adalah nama dari tindakan
pembedahan ini. Untuk indikasi tonsilektomi yang dahulu dan sekarang
tidak jauh berbeda, akan tetapi saat ini ada sedikit perbedaan dalam
menetapkan indikasi tonsilektomi.

14
Rekomendasi pedoman klinik yang dikeluarkan American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)
menyatakan bahwa 2 indikasi tersering untuk dilakukan tonsilektomi
adalah tonsilitis akut rekuren dan OSAS (Obstructive Sleep Apnea
Syndrome).
Indonesia mengeluarkan rekomendasi pedoman klinik tonsilektomi
dalam Health Technology Assesment (HTA) Indonesia tahun 2004 yang
telah disesuaikan dengan AAO-HNS, yaitu:
a) Indikasi absolut
 Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran napas
misal pada OSAS, disfagia berat yang disebabkan obstruksi,
gangguan tidur, komplikasi kardiopulmoner, gangguan
pertumbuhan dentofasial, gangguan bicara (hiponasal).
 Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase.
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
b) Indikasi relatif
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis.
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B-
hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik
resisten β-laktamase.
Kontraindikasi dari tindakan tonsilektomi yakni pada risiko yaitu;
(1) anastesi penyakit berat, (2) anemia, (3) gangguan perdarahan, (4)
infeksi akut yang berat dan (5) Palatoskizis. Namun bila keadaan
tersebut dapat di atasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan dengan imbang antara manfaat dan risiko. 14

15
2.9. Komplikasi Konjungtivitis
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut,
sinusitis, abses peritonsil (Quincy thorat), abses parafaring, bronkitis,
glomerulonefritis akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi
v. Jugularis interna (sindrom Lemierre).8
Radang kronik dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen
dan dapat timbul endocarditis, myositis, nefritis, artritis, dermatitis,
pruritus, dan furunkulosis. Adapun peradangan kronik pada tonsil yang
dapat menimbulkan beberapa komplikasi lainnya, seperti:4
1) Abses peritonsilar, untuk abses ini bisa terjadi karena adanya perluasan
infeksi pada kapsul tonsil sehingga mengenai jaringan sekitarnya.
Pasien biasanya akan mengeluhkan nyeri tenggorok, sulit menelan,
kesulitan membuka mulut, adanya pembesaran tonsil unilateral dan
membutuhkan penanganan berupa pemberian antibiotik dan
tonsilektomi. Biasanya komplikasi ini sangat sering terjadi pada kasus
tonsilitiss berulang.4

Gambar 11. Abses Peritonsilar


2) Obstructive sleep apnea biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi pada orang dewasa. Hal ini dapat
terjadi jika terdapat pembesaran pada tonsil dan adenoid terutama pada
anak-anak.4

16
3) Abses parafaring yang terjadi akibat proses supurasi kelenjar getah
bening leher bagian dalam, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan
mastoid.4

Gambar 12. Abses parafaring


2.10. Prognosis Konjungtivitis
Secara umum, prognosis tonsilitis sangat baik dan sembuh tanpa
komplikasi. Sebagian besar tonsilitis virus sembuh dalam 7-10 hari,
sedangkan tonsilitis bakteri dengan terapi antibiotik yang sesuai mulai
membaik dalam 24-48 jam . Morbiditas dapat meningkat jika tonsilitis
berulang sehingga mengganggu aktivitas dalam sekolah dan bekerja.2

BAB III

LAPORAN KASUS

17
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDAMI, 2018. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Glaukoma

18

Anda mungkin juga menyukai