Anda di halaman 1dari 29

Makalah Adult Nursing III

Asuhan keperawatan dengan gangguan penglihatan (Glaukoma)

Kelompok 2

1. Widi astuti (012221056)


2. Mediana (012221059)
3. Ambar susilowati (012221061)
4. Melissa Desfa Fitri (012221067)
5. Riska amalia (012221068)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BINAWAN
2022
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan segala
rahmat dan hidayah-Nya yang tak terhingga, sehingga tim penulis mampu untuk menyelesaikan
tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini berjudul “ Asuhan Keperawatan dengan Gangguan
Penglihatan (Glaukoma) ”. semoga makalah yang kami buat bisa menambah wawasan ilmu lebih
banyak lagi.
Dalam melakukan penyusunan tugas makalah ini tim penulis telah mendapatkan banyak
masukan, dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat berguna dan
bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan yang
baik ini dengan berbesar hati penulis ingin mengucapkan terimah kasih kepada berbagai pihak
yang membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Jakarta, 06 November 2022

penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN......................................................................................................................................4
A. Latar belakang...............................................................................................................................4
B. Tujuan............................................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................................7
A. Definisi Glaukoma.........................................................................................................................7
B. Etiologi............................................................................................................................................8
C. Factor resiko penderita Glaukoma...............................................................................................8
D. Klasifikasi glaukoma.....................................................................................................................8
E. Patofisiologi..................................................................................................................................11
F. WOC.............................................................................................................................................12
G. Manifestasi klinis penderita glaukoma......................................................................................13
H. Pemeriksaan medis glaukoma....................................................................................................13
I. Penatalaksanaan medis penderita Glaukoma...........................................................................15
J. Asuhan keperawatan pada pasien Glaukoma...........................................................................18
1. Pengkajian................................................................................................................................18
2. Diagnosa keperawatan............................................................................................................20
3. Intervensi keperawatan...........................................................................................................22
4. Implementasi keperawatan.....................................................................................................26
5. Evaluasi keperawatan..............................................................................................................26
BAB III.....................................................................................................................................................27
PENUTUP................................................................................................................................................27
A. Kesimpulan..................................................................................................................................27
B. Saran.............................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................28

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Mata manusia merupakan alat indra yang penting. Mata dapat menyerap > 80%
informasi (Kemenkes, 2018). Apabila mata mengalami gangguan, maka akan terganggu
fungsi kerjanya. Beberapa gangguan atau penyakit mata yang dapat menyebabkan kebutaan
ialah katarak, kelainan kornea, glaukoma, kelainan refraksi, kelainan retina dan kelainan
nutrisi (Suranto, 2012). Dewasa kini, glaukoma merupakan penyakit mata yang sering terjadi
di masyarakat. Glaukoma merupakan penyebab kebutaan kedua setelah katarak yang
menyebabkan kebutaan dan bersifat permanen. Pada dekade terakhir ini, prevalensi
glaukoma meninkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Glaukoma menyumbang 2,78%
gangguan pengelihatan di dunia (Pusdatin Kemenkes RI, 2019).

Pada tahun 2020, diperkirakan sekitar 80 juta Individu di dunia menderita glaukoma
dan sebanyak 87% berada di Asia (Allison et al., 2020). Diperkirakan kejadian glaukoma
akan meningkat mencapai 111,8 juta di tahun 2040 di dunia (Tham et al., 2014). Pada tahun
2017, jumlah kasus baru glaukoma pada pasien rawat jalan di rumah sakit Indonesia ialah
80.548 kasus dan yang terbanyak dialami oleh wanita. Pada data pasien rawat jalan dan rawat
inap rumah sakit di Indonesia pada tahun 2017, mayorita glaukoma diderita oleh kelompok
umur 44-69 tahun (Pusdatin Kemenkes RI, 2019).

Glaukoma adalah penyakit kerusakan pada saraf mata yang dapat menyebabkan
menyempitnya lapang pandang seseorang dan dapat menyebakan kehilangan fungsi
pengelihatan. Faktor resiko utama glaukoma ialah teradinya peningkatan pada tekanan bola
mata (L. Cantor et al., 2017). Secara garis besar glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi
glaukoma primer dan glaukoma sekunder. Glaukoma primer ialah glaukoma yang tidak
diketahui penyebabnya, yang mana glaukoma jenis ini merupakan jenis glaukoma terbanyak
yag terjadi. Glukoma sekunder ialah glaukoma yang terjadi kareba penyakit mata lain seperti
peradangan mata berulang, komplikasi dari katarak, terdapatnya benturan atau trauma benda
tumpul pada mata, komplikasi dari penyakit diabetes dan hipertensi, serta akibat penggunaan

4
obat golongan kortikosteroid dalam jangka Panjang tanpa pengawasan dokter (Pusdatin
Kemenkes RI, 2019).

Penderita glaukoma memerlukan pengobatan dan penatalaksanaan yang


berkesinambungan. Keberhasilan tatalaksana glaukoma dapat dinilai melalui tekanan
intraocular (TIO), tajam pengelihatan, progresivitas, glaucomatous optic neuropathy,
penilaian lapang pandang, dan penurunan umlah obat anti glaukoma (Goldberg & Susanna Jr,
2016). Salah satu tatalaksana yang dapat dilakukan ialah tindakan bedah Trabekulektomi.
Trabekulektomi bertujuan untuk menurunkan tekanan intraocular melalui pembuatan flap
pada sklera dan iridotomy, sehingga aliran akuos dapat berjalan keluar bilik mata depan
Tindakan trabekulektomy efektif dalam menurunkan TIO dalam alah satu tujuan tatalaksana
glaukoma (Choy, 2017). Tindakan trabekulektomi dengan pemberian 5-FU efektif dilakukan
dalam menurunkan TIO apabila terap medikamentosa glaukoma tidak memberikan hasil
yang diharapkan (Lahira Eriskan, 2020).

Pasien pasca tindakan trabekulektomi biasanya akan mengeluh nyeri pada mata post
operasi. Nyeri berlangsung setelah tindakan dilakukan. Pasien pasca tindakan trabekulektomi
hari ke-0 akan mengeluh nyeri dengan skala nyeri 3-5. Nyeri ialah rasa indrawi dan
pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang
nyata atau berpotensi rusak atau tergambarkan seperti adanya kerusakan jaringan (Suwondo
et al., 2017). Nyeri pasca tindakan bedah dapat disebabkan oleh rangsangan mekanik luka
yang dapat menyebabkan tubuh menghasilkan mediator nyeri (Potter & Perry, 2013). Nyeri
akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan, lamanya terbatas, hilang
seirama dengan penyembuhannya (Suwondo et al., 2017).

Pentalaksanaan nyeri data dilakukan dengan terapi farmakologi dan non-farmakologi.


Penatalaksanaan ecara faraologi dapat dilakukan dengan penggunaan obat-obatan analagetk
yang efetif untuk menurunkan skala nyeri. Sementara penatalaksanaan non-farmakologi
dapat dilakukan dengan teknik manajemen nyeri yang dapat berupa teknik relaksasi atau
teknik distrasi pada pasien yang mengalami nyeri ringgan hingga sedang. Metode
mengkombinasikan kedua metode tersebut sangat efektic untuk mengontrol dan mengurangi
nyeri atau ketidaknyamanan pasca operasi (Potter & Perry, 2013).

5
B. Tujuan
1. Tujuan umum:
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur sistem
persepsi sensori dan untuk memberikan wawasan kepada mahasiswa/i tentang
glaukoma dan tindakan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit glukoma.

2. Tujuan khusus:

a. Untuk mengetahui definisi dari glaukoma.


b. Untuk mengetahui klasifikasi glaukoma.
c. Untuk mengetahui etiologi glaukoma.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC glaukoma.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis glaukoma.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan medis glaukoma.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan glaukoma.
h. Untuk mengetahui asuhan keperawatan glaukoma.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Glaukoma

Glaukoma berasal dari bahasa Yunani “glaukos” yang berarti hijau kebiruan, yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma adalah
sekelompok gangguan gangguan yangbmelibatkan beberapa perubahan atau gejala patologis
yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) dengan segalah akibatnya.
(Indriana dan N Istiqomah; 2004).

Glaukoma ialah penyakit atau kelainan pada mata akibat kerusakan saraf mata yang
dapat menyempitkan lapang pandang dan hilangnya fungsi pengelihatan. Penyebab atau
faktor risiko utama glaukoma ialah peningkatan tekanan bola mata. Peningkatan bola mata
umunya berlangsung perlahan sehingga tidak menimbulkan gejala pada awalnya sampai
penderita sadar setelah terjadi penyempitan lapang pandang (Pusdatin Kemenkes RI, 2019)

Glaukoma adalah kelainan yang terjadi pada mata yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan bola mata atau tekanan intra ocular (TIO), atrofi papil saraf optik, dan
menciutnya lapang pandang. Galukoma dapat menunjukan kesan hijau kebiruan pada pupil
mata penderita. Kelainan mata ini disebabkan oleh bertambahnya produksi cairan mata oleh
badan siliar dan berkurangnya pengeluaran cairan mata di dareah sudut bilik mata atau di
celah pupil (Ilyas & Yulianti, 2019).

Cairan pada bola mata berfungsi memberikan nutrisi pada organ dalam bola mata,
namun pada penderita glaukoma siklus cairan mengalami ketidakseimbangan. Cairan bola
mata yang diproduksi seharusnya dikeluarkan, namun pada penderita glaukoma terdapat
masalah dalam saluran pengeluaran dan menyebabkan peningkatan TIO pada pail saraf mata
dan menyempitkan lapang pandang yang dapat menjadi kebutaan (Ilyas & Yulianti, 2019;
Pusdatin Kemenkes RI, 2019). Berdasarkan definisi diatas, glaukoma ialah penyakit atau
kelainan pada mata akibat kerusakan saraf bolah mata yang ditandai dengan peningkatan
tekanan bola mata atau tekanan intra okular (TIO) akibat bertambahnya produksi cairan bola
mata atau berkurangnya pengeluaran cairan mata sehingga terjadi peningkatan TIO.

7
B. Etiologi
Penyebab adanya peningkatan tekanan intraokuli adalah perubahan anatomi sebagai
bentuk gangguan mata atau sistemik lainnya, trauma mata, dan predisposisi faktor genetik.
Glaukoma sering muncul sebagai manifestasi penyakit atau proses patologik dari sistem
tubuh lainnya. Adapun faktor resiko timbulnya glaukoma antara lain riwayat glauakoma pada
keluarga, diabetes melitus dan pada orang kulit hitam
C. Factor resiko penderita Glaukoma
Faktor resiko yang dapat terjadi ada penderita glaukoma menurut Kusumadjaja Sp.M(K)
(2019) dan Witmer (2016) ialah :
1. Tekanan intra okular (TIO) tinggi > 20 mmHg
2. Ras Asia dan Afrika dan orang dengan bilik mata depan yang dangkal
3. Usia diatas 40 tahun
4. Miopian (rabun jauh) tinggi atau hiperpobia (rabun dekat)
5. Riwayat penyakit degeneratif seperti: diabetes melitus,hipertensi, penyempitan pembuluh
darah, dan penyakit jantung coroner
6. Riwayat penyakit glaukoma pada keluarga (keturunan) g. Riwayat trauma atau cedera
pada mata h. Penggunaan steroid jangka panjang.
D. Klasifikasi glaukoma
Glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi empat macam menurut Richard A. Harper (2018) :
1. Glaukoma primer
a) Glaukoma primer sudut terbuka atau primary open angle glaucoma (POAG)
Glaukoma primer sudut terbuka atau glaukoma simpleks ialah glaukoma yang
tidak diketahui penyebabnya dan ditandai dengan sudut bilik mata yang terbuka.
Glaukoma primer sudut terbuka dapat didiagnosis apabila ditemukan pada kedua
mata pada pemeriksaan pertama dan tanpa ditemukan kelainan yang dapat menjadi
penyebab. Terdapat 99% penderita glaukoma primer terdapat hambatan pengeluaran
cairan (aquos humor) pada jalinan trabekulum dan kanal Schlemm (Goldberg &
Susanna Jr, 2016; Ilyas & Yulianti, 2019).
Gejala POAG atau primer sudut terbuka terjadi secara lambat atau tanpa disadari
oleh penderita sehingga menyebabkan kebutaan yaitu menjadi glaukoma absolut.
Pada glaukoma simpleks tekanan bola mata tinggi atau lebih dari 20 mmHg. Mata

8
tidak merah dan tidak ada keluhan yang menganggu penderita tanpa disadari.
Gangguan saraf optik akan terlihat saat adanya gangguan lapang pandang atau
penyempitan lapang pandang (Ilyas & Yulianti, 2019).
b) Glaukoma primer sudut tertutup atau primary angle closer glaucoma (PACG)
Glaukoma primer sudut tertutup atau PACG ialah keadaan penigkatan IO akibat
penutupan sudut sebagian atau seluruhnya oleh iris perifer sehingga terjadi obstruksi
pada aliran aaquos humor. Blok pupil relatif menjadi penyebab mendasar kasus
PACG. Diprkirakan 91 % kebutaan bilateral di Asia Timur disebabkan PACG. Hal ini
didukung oleh perbedaan struktur anatomi bilik mata depan, dimana orang Asia timur
memiliki kedalaman mata depan yang lebih dangkal (Srisubekti & Nurwasis, 2007;
Wright, 1983).
Glaukoma sudut tertutup akut akan terjadi apabila terjadi penutupan tibatiba pada
jalan kelyar aquos humor. Hal ini akan menyebabkan rasa sakit yang berat dengan
tekanan bola mata yang tinggi (Goldberg & Susanna Jr, 2016; Ilyas & Yulianti,
2019).
Glaukoma sudut tertutup akut merupakan suatu kegawatdaruratan pada mata.
Glaukoma sudut tertutup akut akan membuat penderita merasa pengelihatan berkabut
dan menurun, merasa mual hingga muntah, hal disekitar menjadi silau, dan mata
terasa bengkak (Ilyas & Yulianti, 2019).
2. Glaukoma kongenital

Glaukoma kongenital dapat terjadi pada sekitar 1:10.000 kelahiran bayi. Bayi
yang menderita glaukoma merupakan hasil perkembangan abnormal anyaman
trabekulum. Semakin awal anak terkena penyakit glaukoma, semakin parah abnormalitas
yang terbentuk. Hal itu semakin memperpaah glaukoma yang diderita bayi atau anak gold
(Goldberg & Susanna Jr, 2016). Glaukoma kongenital yang terjadi pada anak dapat
terjadi akibat penyakit keturunan (Ilyas & Yulianti, 2019).

Bayi memiliki mata yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Namun, mata
yang terlalu besar merupakan tanda bahaya, dimana mata bayi yang membesar scara
abnormal seperti maa lembu diebut bustalmik (Goldberg & Susanna Jr, 2016).
Peregangan bola mata yang mencapai titik maksimal dapat membuat membrane di dalam

9
kornea menjadi terbelah sehingga bola mata membesar. Bola mata yang membesar
awalanya dengan kornea terlihat jernis berubah menjadi putih dan keruh. Tanda lainnya
ialah air mata yang berlebihan saat menangis, mata merah, sensitif atau tidak kuat melihat
cahaya (Goldberg & Susanna Jr, 2016; Ilyas & Yulianti, 2019).

3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder ialah glaukoma yang terjadi akibat kondisi yang dapat
menimbulkan glaukoma. Hal yang dapat menimbulkan glaukoma sekunder seperti:
perubahan lensa, kelainan atau inflamasi pada uvea, terdapat trauma mata sebelumnya,
terdapat tindakan bedah mata sebelumnya, adanya ruberosis, dan penggunaan obat steroid
jangka panjang. Tanda dan gejalanay sesuai dengan penyakit yang mendasari. Terapi
pada glaukoma sekunder selainan mnurunkan TIO, juga mengatasi hal yang
mendasarinya (Ilyas & Yulianti, 2019).
Glaukoma sekunder terjadi ketika sirkulasi di dalam mata terganggu. Hal ini
membuat aquos humor tidak dapat mencapai sistem drainase akibat penyakit lain yang
dapat membat gangguan pada struktur di dalam mata. Saat terjadi hambatan, TIO
meningkat cepat dan sangat tinggi sehingga memerlukan terapi spesifik yang cepat, tepat,
dan benar (Goldberg & Susanna Jr, 2016).
4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir dari seluruh glaukoma. dimana pada
stadium glaukoma absolut sudah terjadi kebutaan akibat laju tekanan bola tinggi yang
menganggu fungsi lanjut. Seiring mata menjadi “buta”, mengakibatkan penyumbatan
pada pembuluh darah dan menimbulkan penyulit. Penyulit ini berupa nevoskulariasi iris.
Keadaan nevoskulariasi ini menimbulkan glaukoma hemoragik yang memberikan rasa
sakit yang kuat (Ilyas & Yulianti, 2019).
Penderita glaukoma absolut akan merasa mata keras seperti batu dan dengan rasa
sakit. Kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, dan papil atrofi. Pngobatan yang dapat
dilakukan berupa membrika sinar beta pada badan siliar untuk menekan fungsi badan
siliar. Hal lainnya ialah dengan alkohol retobular atau melakukan pengangkatan bola
mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit (Ilyas & Yulianti,
2019).

10
E. Patofisiologi
Penyebab utama glaukoma adalah meningkatnya tekanan bola mata di atas 20mmHg,
penyebab lainnya adalah diabetes mellitus. Kortikosteroid jangka panjang, miopia, trauma
mata. Tekanan bola mata di atas normal yang terus menerus akan merusak saraf penglihatan
yang menyebabkan obstruksi jaringan trabekuler sehingga ketidakseimbangan dapat terjadi
akibat produksi berlebih badan siliar atau oleh peningkatan hambatan abnormal terhadap
aliran keluar Aqueos humor melalui kamera okuli anterior (COA).
Peningkatan TIO > 23 mmHg memerlukan evaluasi yang seksama. Peningkatan TIO
mengurangi aliran darah ke saraf optik dan retina sehingga menimbulkan masalah
keperawatan yaitu nyeri akut. Iskemia menyebakan struktur ini kehilangan fungsinya secara
bertahap. Kerusakan jaringan biasanya dimulai dari perifer dan bergerak menuju fovea
sentralis sehingga munculnya masalah keperawatan ansietas pada pasien.
Tingginya tekanan intraokular bergantung pada besarnya produksi humor aqueus oleh
badan siliari dan mengalirkannya keluar. Besarnya aliran keluar humor aquelus melalui sudut
bilik mata depan juga bergantung pada keadaan kanal Schlemm dan keadaan tekanan
episklera. Tekanan intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg pada pemeriksaan
dengan tonometer Schiotz (aplasti). Jika terjadi peningkatan tekanan intraokuli lebih dari 23
mmHg, diperlukan evaluasi lebih lanjut. Secara fisiologis, tekanan intraokuli yang tinggi
akan menyebabkan terhambatannya aliran darah menuju serabut saraf optik dan ke retina.
Iskemia ini akan menimbulkan kerusakan fungsi secara bertahap. Apabila terjadi peningkatan
tekanan intraokular, akan timbul penggaungan dan degenerasi saraf optikus yang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor :
a. Gangguan perdarahan pada papil yang menyebabkan deganerasi berkas serabut saraf
pada papil saraf optik.

b. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang
merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian tepi papil
saraf otak relatif lebih kuat dari pada bagian tengah sehingga terjadi penggaungan
pada papil saraf optik.

c. Kelainan lapang pandang pada glaukoma disebabkan oleh kerusakan serabut saraf
optik. (Tamsuri M, 2010 : 72-73).

11
F. WOC

Usia ≥ 40 tahun, DM, kortikosteroid jangka


panjang, miopia, trauma mata.

Obtruksi jaringan Peningkatan tekanan


trabekuler vitreus

Hambatan pengaliran Pergerakan iris ke


cairan humor aqueous depan

TIO meningkat Glaukoma TIO meningkat

Nyeri

Gangguan saraf optik Tindakan operasi

Perubahan pengelihatan Anxietas Kurang pengetahuan


perifer

Gangguan persepsi
sensori: pengelihatan

Kebutaan

12
G. Manifestasi klinis penderita glaukoma
Tanda dan gejala yang dapat dirasakan oleh penderita glaukoma menurut Kusumadjaja
Sp.M(K) (2019) dan Ilyas & Yulianti (2019) ialah :
1. Akut
a) Tekanan bola mata atau tekanan intra okular (TIO) > 40 mmHg
b) Pengelihatan menjadi kabur dan mata merah
c) Mengalami sakit kepala dan mata terasa sakit
d) Mual dan muntah ketika sakit kepala
e) Melihat pelangi pada cahaya lampu
2. Kronis
a) Mata tenang atau tanpa gejala sampai saraf mata rusak berat
b) Timbul perlahan-lahan
c) Terdapat tunnel vision atau pengelihatan menyempit seperti melihat dalam Lorong
d) Merasa tidak ada nyeri kepala atau mata dan tidak ada mual mutah
e) Tekanan bola mana menetap antara 20-30 mmHg
H. Pemeriksaan medis glaukoma
Pemeriksaan medis glaukoma yang dapat dilakukan berdasarkan Ilyas & Yulianti (2019) dan
Pusdatin Kemenkes RI (2019) ialah :
1. Tajam pengelihatan
Pemeriksaan tajam pengelihatan berfungsi untuk mengetahui fungsi pengelihatan
setiap mata. Pemeriksaan ini apat dilakukan dengan dua cara. Pemeriksaan yang
dilakukan ialah pemeriksaan optotype snellen untuk tajam pengelihatan jauh dan jaeger
chart untuk tajam pengelihatan dekat (Ilyas & Yulianti, 2019).
Pemeriksaan optotype snellen untuk tajam pengelihatan jauh dengan cara pasien
duduk menghadap optotype snellen dengan jarak 6 meter. Kemudian dipasangkan trial
frame pada mata dan lalu ditutup dengan occlude. Pasien lalu diminta membaca setia
hurup pada optotype snellen mulai dari hurup besar hingga huruf pada baris terkecil.
Pemeriksaan ini dilakukan bergantian pada kedua mata mulai dari mata kanan ke mata
kiri (Budhiastra, 2017).
Pemeriksaan jaeger chart untuk tajam pengelihatan dekat dengan membaca tulisan
pada jaeger chart dengan jarak 33 cm. pemeriksaan ini dilakukan setelah mendapat

13
koreksi terbaik pada pemeriksaan tajam pengelihatan jauh. Cek mata kanan terlebih
dahulu, setelah itu cek mata kiri baru kemudian cek dengan kedua mata terbuka. Catat
sampai angka berapa pasien dapat membaca dengan jelas dan benar. Apabila pasien tidak
dapat membaca tulisan yang paling kecil maka diberikan koreksi tambahan dengan lensa
plus hingga pasien dapat melihat dengan jelas seluruh tulisan pada jaeger Chart
(Budhiastra, 2017).
2. Tonometri
Pemeriksaan tonometri ialah pemeriksaan tekanan bola mata atau TIO. Proses
pemeriksaan ini dengan menyentuh sebagian kecil bola mata dengan semburan udara.
Terdapat lima macam cara mengukur TIO, yaitu : tonometer digital dengan probe,
tonometer schizot, tonometer applanasi goldman, non concat tonometer (NCT), dan hand
held applanasi (Ilyas & Yulianti, 2019). Pemeriksaan tonomteri applanasi goldmann
memerlukan anastesi topical untuk membuat mata menjadi mati rasa sebelum diperiksa
(Goldberg & Susanna Jr, 2016). Kini pemeriksaan TIO dengan sistem moderen dengan
tonometer probe digital dan non concat tonometer (NCT) dianjurkan pada masa covid-19.
Hal ini untuk mencegah penyebaran covid-19 (Perdami, 2020).
3. Oftalmoskopia
Oftalmoskopia ialah pemeriksaan fundus okuli atau evaluasi struktur mata bagian
dalam. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya tandatanda glaukoma dan
mengevaluasi progresivitas penyakit. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melebarkan
pupil menggunakan obat tetes midriatil. Obat tetes midriatil akan membuat pupil melebar
sehingga saraf mata dapat terlihat jelas (Ilyas & Yulianti, 2019; Pusdatin Kemenkes RI,
2019).
4. Perimetri
Pemeriksaan ini bertujuan untuk pemetaan lapang pandang terutama pada derah
sentral atau para sentral. Pemeriksaan in harus dilakukan dalam kondisi tenang dan penuh
konsentrasi. Lapang pandang normal adalah 90 derajat temporal, 60 derajat superior, 50
derajat nasal, dan 70 derajat inferior (Ilyas & Yulianti, 2019; Pusdatin Kemenkes RI,
2019).

14
5. Gonioskopi
Gonioskopi iala pemeriksaan sudut bilik mata depan. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan meletakkan lensa sudut (goniolens) dan dapat dilihat pertemuan iris dengan
kornea disudut bilik mata. Penentuan sudut bilik mata dilakukan dissetiap kasus yang
dicurigai glaukoma (Ilyas & Yulianti, 2019).
6. Pakimetri
Pakimetri adalah alat untuk melakukan pemeriksaan ketebalan kornea mata.
Ketebalan kornea mata ialah jaringan bening yang berada paling depan dari bola mata.
Ketebalan kornea mata dapat mempengaruhi penghitungan TIO (Ilyas & Yulianti, 2019;
Pusdatin Kemenkes RI, 2019).
I. Penatalaksanaan medis penderita Glaukoma
Glaukoma ialah penyakit yang tidak hanya disebabkan oleh peningkatan cairan di dalam
mata. Glaukoma juga dapat disebabkan oleh aliran aquos humor yang lemah, tekanan bola
mata yang normal atau tinggi, kerusakan saraf pengelihatan, dan kehilangan pengelihatan
tetap. Glaukoma dapat menyebabkan kehilangan pengeliatan secara progresif dan irreversible
(Ilyas & Yulianti, 2019).
Tujuan utama terapi glaukoma adalah dengan menurunkan tekanan intraokular serta
meningkatkan aliran humor aquos (drainase) dengan efek samping yang minimal.
Penatalaksanaan glaukoma mencakup pemberian medikamentosa, dan terapi bedah.
(Goldberg & Susanna Jr, 2016; Ilyas & Yulianti, 2019).
1. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan dengan tujuan untuk mengatasi kemungkinan yang
menjadi penyebabnya (Ilyas & Yulianti, 2019). Penggunaan terpai medikamentosa dapat
dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Terapi Mendikamentosa untuk Glaukoma

Golongan Contoh obat dosis Mekanisme fungsi Efek samping


Prostaglandin Latanoprost, 1x sehari Meningkatkan aliran Lokal :
analog travoprost, malam pembuangan Konjungtiva
(prostamide bimatoprost hari Aqueous Humor injeksi, , edema
melalui uveo scleral makula, penebalan

15
yang tidak umum bulu mata.
Sistemik : Sakit
Kepala
Betaadrenergik Timolol, 1-2x per Menurunkan Lokal : Iritasi, mata
bloker betaxolol, sehari produksi Aqueous kering, reaksi
carteolol pada pagi Humor dan alergi Sistemik :
hari mengurangi Kontraindikasi
masuknya Aqueous pada pasien asma,
Humor kedalam penyakit paru
mata obstruksi kronis,
dan bradikardi
Alfaadrenergik Brimonidine, 2-3x Menurunkan Lokal : Iritasi, mata
agonis apraklonidin sehari produksi Aqueous kering, reaksi
Humor dan alergi Sistemik :
meningkatkan aliran Hipotensi postural,
pembuangan gagal ginjal gagal
Aqueous Humor nafas pada anak
Karbonik Acetazolamide, 2-3x Menurunkan Lokal : Iritasi,
anhydrase brinzolamide sehari produksi Aqueous sensasi terbakar,
inhibitor Humor mata kering
Sistemik :
Parastesia, mual,
diare, kekurangan
nafsu makan,
Kolinergik Pilokarpin, 4xlebih Meningkatkan Lokal : Iritasi,
agonis carbakol sehari pembuangan mencetuskan
Aqueous Humor myopia, spasme
silier Sistemik :
Sakit kepala

16
2. Tindakan Bedah
Tindakan bedah dilakukan apabila setelah terapi medikamentosa atau pengobatan
tidak berhasil. Prognosis tergantung pada penemuan dan pengobatan dini. Tindakan
pembedahan tidak menjamin kesembuhan mata seluruhnya. Tindakan bedah yang
dilakukan dengan tujuan membuat filtrasi aquos humor kelar bilik mata dengan beberapa
tindakan. Apabila gagal dalam tindakan bedah maka mata akan menjadi buta total (Ilyas
& Yulianti, 2019).
Tindakan insisi bedah yang palig sering dilakukan untuk pasien glaukoma ialah
trabekulektomi dan implant tube. Prosedur ini akan membuat TIO turun secara
signifikan. Pada tindaka ini akan dibuat saluran yang melewati jalur aliran keluar air mata
yang alami. Tindakan bedah ini juga akan membuat risiko komplikaasi yang signifikan
(L. B. Cantor et al., 2020).
a) Trabekulektomi
Trabekulektomi ialah suatu prosedur yang menciptakan jalur baru (fistula)
sehingga disebut prosedur fistualiasi. Trabekulektomi menciptakan jalur baru yang
memungkinkan aqueous humor untuk mengalir keluar dari bilik anterior melalui
bedah korneosklera, pembukaan dan ke dalam subkonjungtiva dan ruang sub-tendon.
Trabekulektomi membuat fistula yang berada dibwah penutup dengan ketebalan
parsial (L. B. Cantor et al., 2020).
Indikasi tindakan trabekulektomi ilah perkembangan dari kerusakan vsual dan
TIO yang tidak terkontrol. Tindakan insisi ini dapat dilakukan ketika terapi medis dan
laser tidak cukup mencegah kerusakan progresif atau pengobatan gagal. Dalam suatu
situasi, misal ketika satu mata mengalami kerusakan glaukoma yang signifikan dan
TIO tinggi dan sudah ditoleransi.
oleh terap medis. Dalam kasus tersebut, beberapa ahli bedah akan
merekomendasikan pembedahan sebelum deteksi kerusakan pasti (L. B. Cantor et al.,
2020). Kontraindikasi tindakan trabekulektomi dapat secara okular atau sistemik.
Mata yang telah buta total tidak dipertimbangkan untuk tindakan insisi.
Cyclodestruction adalah aletrnatif yang lebih baik untuk menurunkan TIO di mata
yang telah buta total. Kondisi yang menjadi predisposisi kegagalan trabekulektomi
seperti neovakularisasi segemn anterior aktif atau uveitis anterior aktif.

17
Trabekulektomi sulit berhasil pada mata yang mengalami konjungtiva ekstensif
cedera (misalnya, setelah operasi ablasi retina atau trauma kimia) atau yang memiliki
sklera tipis dari operasi sebelumnya atau skleritis nekrotikans. Dalam kasus seperti
itu, kemungkinan keberhasilan juga berkurang karena peningkatan risiko jaringan
parut (L. B. Cantor et al., 2020).
Komplikasi dari tindakan trabekulektomi ialah dua macam yaitu komplikasi awal
dan komplikasi akhir. Komplikasi awal termasuk kebocoran luka di tempat insisi,
hipotoni, bilik mata depan yang dangkal atau datar, dan efusi koroid serosa atau
hemoragik. Komplikasi lanjut termasuk blebitis, endoftalmitis terkait bleb, kebocoran
bleb, hipotoni dan makulopati terkait atau koroid. Perdarahan, kegagalan bleb, bleb
yang menggantung, bleb yang menyakitkan, ptosis, dan retraksi kelopak mata. Bleb
penyaringan dapat bocor, menghasilkan dellen, atau melebar sehingga mengganggu
fungsi kelopak mata atau meluas ke kornea dan mengganggu penglihatan atau
menyebabkan iritasi (L. B. Cantor et al., 2020.
b) Implant Tube
Pemasangan Implant tube umumnya melibatkan penempatan tabung di bilik mata
depan, di dalam sulkus siliaris atau melalui pars plana ke dalam rongga vitreous.
Tabung terhubung ke ekstraokular lempeng, yang melekat pada sklera di wilayah
ekuator dunia, antara otot ekstraokular, dan dalam beberapa kasus terselip di bawah
otot. Cairan mengalir keluar melalui tabung dan masuk ke ruang subkonjungtiva di
daerah lempeng ekstraokular (L. B. Cantor et al., 2020).
Tindakan implant tube harus mempertimbangkan keadaan klinis seperti :
trabekulektomi yang gagal dengan penggunaan amtibiotik, uveitis yang aktif,
glaukoma neovascular, konjungtiva yang tidak memadai, apakhia, penggunaan lensa.
Endotel kornea borderline ialah kontraindikasi dari implant tube. (L. B. Cantor et al.,
2020).
J. Asuhan keperawatan pada pasien Glaukoma
1. Pengkajian
Pengkajian ialah tahapan awal pada proses keperawatan yang mana pengkajian ialah
kegiatan pengumpulan data berdasarkan format yang telah tersedia. Pengumpulan data

18
yang dilakukan harus berisikan data yang valid dan komperhensif. Data yang di dapat
harus akurat sehingga akan diketahui permsalahan yang terjadi (Hidayat, 2021).
a. Data umum
Identitas klien meliputi nama, umur, agama, tempat tinggal, status pendidikan, dan
penanggung jawab klien.
b. Kesehatan umum
1) Alasan MRS / Keluhan Utama
Keluhan utama yang lazim di dapatkan adalah keluhan adanya nyeri akibat
tindakan pembedahan maupun sebelum pembedahan. Pengkajian yang lengkap
mengenai nyeri klien, dapat menggunakan metode PQRS (Potter & Perry, 2013;
Suwondo et al., 2017).
2) Riwayat penyakit sekarang / riwayat kejadian
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana sifat dan
hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang memperberat dan
memperingan. Riwayat okuler meliputi gejala meningkatnya TIO, uveitis, trauma
pembedahan, penggunaan kortikosteroid sistemik maupun topikal jangka lama. 3)
Riwayat penyakit dahulu Pada riwayat penyakit dahulu yang penting untuk dikaji
antara lain penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, tuberculosis,
dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian serta riwayat sakit yang sama pada
anggota keluarga (genetic).
c. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Pada pasien glaukoma, pupil tetap berdilatasi dan tidak responsif terhadap cahaya,
mata merah dan bengkak, ketajaman penglihatan menurun, lapang pandang
menyempit (Ilyas & Yulianti, 2019).
2) Pemeriksaan slitlamp, funduskopi dan tonometri
Pada pasien dengan glaukoma sebelum operasi maka akan dilakukan pemeriksaan
slitlamp dan funduskopi, untuk melihat kondisi segmen belakang mata seperti
kondisi saraf, makula, retina yang apabila ada kelainan dapat dideteksi secara
akurat. Pasien juga dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengetahui tekanan
bola mata. Pada pasien pasca operasi glaukoma juga dilakukan pemeriksaan

19
slitlamp dan tonometri untuk mengetahui keadaan umum mata pasca operasi,
tekanan bola mata dan komplikasi pasca operasi (Goldberg & Susanna Jr, 2016;
Ilyas & Yulianti, 2019).
d. Pola Fungsi
1) Nyeri / Kenyamanan
Melakukan pengkajian nyeri dengan metode PQRST. P (penyebab) menanyakan
apakah pasien mengalami nyari. Q (quality) menanyakan gambaran rasa nyari
yang dirasakan pasien. R (region). Menanyakan dimana letak yeri yang dirasa dan
apakah yeri terasa terlokalisir atau menyebar. S (skala/severity) menanyakan skala
nyeri yang dirasa. T (time) menanyakan berapa lama nyeri telah dirasakan dan
apalah nyeri terasa terus menerus atau hilang timbul.
2) Pola kognitif dan Persepsi
Pada glaukoma akut terjadi kekaburan pengelihatan mendadak. Pupil tetap
berdilatasi dan tidak responsif terhadap cahaya. Rasa sakit hebat yang menjalar ke
kepala di sertai mual dan muntah, mata merah dan bengkak, tajam penglihatan
sangat menurun dan melihat lingkaran-lingkaran seperti pelangi (Ilyas & Yulianti,
2019).
e. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan yang dilakukan dapat beberapa macam. Pemeriksaan harus
dilakukan dengan baik untuk mendapat hasil yang sesuai. Pemeriksaan yang
dilakukan ialah pemeriksaan tajam pengelihatan dengan snelen chart, pemeriksaan
tekanan bola mata dengan tonometri, pemeriksaan oftalmoskopi, perimetri untuk
memeriksa lapang pandang, dan pakimeti mengukur ketebalan kornea (Ilyas &
Yulianti, 2019).
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa ialah melakukan suatu penilian klinis dari hasil pengkajian yang
didapatkan. Diagnosa merupakan tahapan kedua dalam proses keperawatan (Hidayat,
2021). Diagnosa keperawatan dapat ditegakan melalui tiga tahapan, yaitu Analisa data,
identifikasi masalah, dan perumusan diagnosa (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017).

20
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan peningkatan TIO (prosedur
operasi) ditandai dengan pasien mengeuh nyeri, tampak meringis, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur, dan Tekanan darah meningkat (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017).
b. Penurunan persepsi sensori visual/penglihatan b.d serabut saraf oleh karena
peningkatan TIO
c. Ansietas berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan, kurang pengetahuan
tentang prosedur pembedahan

21
3. Intervensi keperawatan

Tabel 2.2 Rencana Asuhan Keperawatan Nyeri Akut pada Pasien Glaukoma

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional


keperawatan (SIKI) (SLKI)
1 Nyeri akut Penyebab Setelah di lakukan tindakan SLKI: manajemen nyeri
Agen cedera fisik keperawatan selama …x 24 jam 1. Kaji tipe, intensitas dan lokasi 1. Mengenal berat
(posedur operasi) di harapkan : nyeri ringannya nyeri dan
Gejala dan tanda SLKI : Tingkat Nyeri menentukan terapi
a. Mayor Dipertahankan pada level 4 2. Pantau derajat nyeri mata 2. Untuk mengidentifikasi
Subjektif Ditingkatkan ke level 5 setiap 30 menit selama masa kemajuan atau
- Mengeluh nyeri 1. Meningkat akut penyimpanan dari hasil
Objektif 2. Cukup meningkat yang diharapkan

- Tampak 3. Sedang 3. Pertahankan istirahat ditempat 3. Mengurangi rangsangan

meringis 4. Cukup menurun tidur dalam ruangan yang terhadap syaraf sensori
5. Menurun tenang dan gelap dengan dan mengurangi TIO
- Frekuensi nadi
Dengan Kriteria Hasil : kepala ditinggikan 30 derajat
meningkat
1. Klien dapat atau dalam posisi nyaman
- Sulit tidur
mengidentifikasi penyebab 4. Beri lingkungan yang nyaman 4. Stres dan sinar
b. Minor
nyeri menimbulkan TIO yang
Subjektif
2. Klien menyebutkan fakyot- mencetuskan nyeri
Tidak tersedia
5. Anjurkan pasien untuk tekhnik 5. Kedaan rileks dapat
Objektif faktor yang dapat
relaksasi mengurangi nyeri

22
- Tekanan darah meningkatkan nyeri 6. Kolaborasi pemberian 6. Untuk mengurangi nyeri
meningkat 3. Klien mampu melakukan analgesic.
Kondisi klinis tindakan untuk mengurangi
terkait nyeri
- Kondisi
pembedahan o
Glaukoma
2 Penurunan persepsi Setelah di lakukan tindakan 1. Kaji dan catat ketajaman 1. Menentukan
sensori keperawatan selama …x 24 jam penglihatan kemampuan visual
visual/penglihatan b.d di harapkan : 2. Kaji tingkat deskripsi 2. Memberikan
serabut saraf oleh Dipertahankan pada level 4 fungsional terhadap keakuratan terhadap
karena peningkatan TIO Ditingkatkan ke level 5 penglihatan dan perawatan penglihatan dan
1. Meningkat perawatan
2. Cukup meningkat 3. Sesuaikan lingkungan 3. Meningkatkan self
3. Sedang dengan kemampuan care dan mengurangi
4. Cukup menurun penglihatan ketergantungan
5. Menurun 4. Kaji jumlah dan tipe 4. Meningkatkan
Dengan kriteria hasil rangsangan yang dapat rangsangan pada
1. Klien dapat meneteskan diterima pasien waktu kemampuan
obat mata dengan benar penglihatan menurun
2. Kooperatif dalam 5. Observasi ttv 5. Mengetahui kondisi
tindakan perkembangan

23
3. Menyadari hilangnnya pasien secara dini
penglihatan secara 6. Kolaborasi pemberian 6. Untuk mempercepat
permanen terapi dengan tim medis proses penyembuhan
4. Tidak terjadi penurunan
visus lebih lanjut

3 Ansietas berhubungan Setelah di lakukan tindakan 1. Hati-hati penyampaian 1. Jika pasien belum
dengan penurunan keperawatan selama …x 24 jam hilangnya penglihatan siap akan menambah
ketajaman penglihatan, di harapkan : secara permanen kecemasan
kurang pengetahuan Dipertahankan pada level 4 2. Berikan kesempatan 2. Mengekspresikan
tentang prosedur Ditingkatkan ke level 5 pasien untuk perasaan membantu
pembedahan 1. Meningkat mengekspresikan tentang mengidentifikasi
2. Cukup meningkat kondisinya sumber cemas
3. Sedang 3. Pertahankan kondisi yang 3. Rileks dapat
4. Cukup menurun rileks menurunkan cemas
5. Menurun 4. Observasi ttv 4. Untuk mengetahui
Dengan kriteria hasil ttv dan
1. Berkurangnnya perasaan perkembangan
cemas pasien
2. Posisi tubuh rileks 5. Siapkan bel ditempat tidur 5. Dengan memberikan
3. Mengungkapkan dan instruksikan pasien perhatian dan
pemahanan tentang memberikan tanda bel bila menambah

24
rencana tindakan perlu bantuan kepercayaan pasien
6. Kolaborasi pemberian 6. Diharapkan dapat
terapi mempercepat proses
penyembuhan

25
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tahap keempat dari proses keperawatan.
Implementasi keperawatan ialah serangkaian kegatan yang dilakukan oleh perawat dalam
membantu pasien selama menjalani perawatan agar mendapatkan hasil yang diharapkan.
Implementasi kepeawatan dilakukan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat
(Hidayat, 2021). Tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien selalu berdasarkan
intervensi yang sudah direncanakan berdasarkan SIKI (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018),
yaitu:
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan ialah tahapan terkahir dari proses keperawatan. Evaluasi
terdiri dari dua kegiatan yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses
dilakukan selama proses perawatan berlangsung atau menilai respon pasien, sedangkan
evaluasi hasil dilakukan atas target tujuan yang telah dibuat (Hidayat, 2021). Format yang
digunakan menurut Hidayat (2021) yaitu format SOAP yang terdiri dari subjective,
ovjective, assement dan palnning. Pada kasus glaukoma dengan nyeri akut yang harus
dievaluasi menurut (Tim Pokja SLKI PPNI, 2019) ialah :
a. Subjective
yaitu keluhan nyeri menurun. Pasien mengatakan nyeri akut menurun dan skala nyeri
menurun
b. Objective
meringis menurun, kesulitan tidur menurun, frekuensi nadi membaik, dan tekanan
darah membaik. Pasien tampak tenang, pasien tidak kesulitan untuk tidur serta tanda-
tanda vital membaik.
c. Assesment
yang diharapkan ialah nyeri akut teratasi
d. Planning
yaitu perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau
ditambah dari rencana keperawatan yang sudah dibuat sebelumnya.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang tidak langsung, yang
secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan mata semakin lama akan semakin
berkurang sehingga akhirnya mata akan menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran
cairan yang keluar dari bola mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola
mata akan menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf mata
tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.

Glaukoma dapat diklasifikasi menjadi 3 yaitu: glaukoma primer, kongenital, sekunder


dan absolut. Adapun tanda dan gejalanya adalah kornea suram, sakit kepala , nyeri, lapang
pandang menurun,dll. Komplikasi dari glaucoma adalah kebutaan. Penatalaksanaannya dapat
dilakukan berbagai terapi obat-obatan, sala satunya adalah dengan pemberian terapi timolol
yang bertujuan untuk menurunkan intraokuler (TIO).

B. Saran

1. Bagi petugas kesehata atau instansi kesehatan agar lebih meningkatkan pelayanan
kesehatan khususnya pada glaukoma untuk pencapaian kualitas keperawatan secara
optimal dan sebaiknya proses keperawatan selalu dilaksanakan secara
berkesinambungan.

2. Bagi klien dan keluarga, Perawatan tidak kalah pentingnya dengan pengobatan karena
bagaimanapun teraturnya pengobatan tanpa perawatan yang sempurna maka
penyembuhan yang diharapkan tidak tercapai, oleh sebab itu perlu adanya penjelasan
pada klien dan keluarga mengenai manfaat serta pentingnya kesehatan.

3. Bagi mahasiswa keperawatan, diharapkan mampu memahami dan menerapkan


asuhan keperawatan yang benar pada klien dengan glaukoma.

27
DAFTAR PUSTAKA

Budhiastra, P. et all. (2017). Buku Panduan Belajar : Ilmu Kesehatan Mata (P. G. Sudhira & P.
Wardani (eds.); 1st ed., Vol. 1). Udayana University Press.

Choy, B. N. K. (2017). Comparison of surgical outcome of trabeculectomy and


phacotrabeculectomy in Chinese glaucoma patients. International Journal of
Ophthalmology, 10(12), 1928–1930. https://doi.org/10.18240/ijo.2017.12.23

Goldberg, I., & Susanna Jr, R. (2016). Glaukoma: Langkah Penting Selamatkan Penglihatan
Anda. In Y. A. P. Wirjoasmoro (Ed.), Kugler Publications (1st ed.). Kugler Publications

Hidayat, A. H. (2021). Dokumentasi Keperawatan; Aplikasi Praktik Klinik (N. A. Aziz (ed.);
pertama). Health Books Publishing. https://play.google.com/books/reader?
id=XecdEAAAQBAJ&pg=GBS.PA2 &hl=id

Ilyas, P. dr. H. S., & Yulianti, S. R. (2019). Ilmu Penyakit Mata (H. Utama (ed.); 5th ed.). Badan
Penerbit FK UI

Istiqomah, Indriana N. 2004. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata. Jakarta : EGC

Kemenkes, R. (2018). Infodatin Situasi Gangguan Penglihatan. In Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI (p. 11). Kementerian Kesehatan RI.
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodati
n/infodatin-Gangguan-penglihatan-2018.pdf

Kusumadjaja Sp.M(K), D. I. M. A. (2019). GLAUKOMA Jangan ditakuti mari kita anggap


sebagaiteman.UniversitasUdayana,140.https://simdos.unud.ac.id/uploads/
file_penelitian_1_dir/619dd02f88e428d52 52a2262201d87eb.pdf

Lahira Eriskan, A. (2020). Penatalaksanaan Trabekulektomi deng

PERDAMI. (2020). Panduan Pelayanan Mata Era Pandemik COVID-19 & Adaptasi Kebiasaan
Baru (R. Sitompul (ed.); pertama). Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia.
https://perdami.or.id/wpcontent/uploads/2021/01/Panduan-Pelayanan-Mata-Era-
Pandemik-COVID19-Adaptasi-Kebiasaan-Baru_Rekomendasi-PERDAMI.pdf

28
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2013). Fundamental of Nursing. In Stockert (Ed.), Ranking File for
the Nurses (Eight). Elsevier Inc.

Pusdatin Kemenkes RI. (2019). InfoDatin Glaukoma 2019.pdf (pp. 1–9). Kementerian Kesehatan
RI.

Srisubekti, E., & Nurwasis. (2007). Sudut Tertutup Primer Akut. Jurnal Oftalmologi Indonesia,
5(2),15.https://repository.unair.ac.id/104169/1/SudutTertutupPrimerAkutcompressed.pdf.

Suwondo, B. S., Meliala, L., & Sudadi. (2017). Buku Ajar Nyeri 2017 (D. A. dan T. I. R. D.
Sardjito & F. K. U. G. M. Jl. (eds.); 1st ed.). Perkumpulan Nyeri Indonesia.
https://id.scribd.com/document/401666306/ebook-buku-ajarnyeri-r31jan2019-pdf

Tim Pokja SDKI PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Idikator
Diagnostik (Persatuan Perawat Nasional Indonesia (ed.); 1st ed.). Dewan Pengurus Pusat
PPNI.

Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indoensia : Definisi dan
Tindakan Keperawatan (PPNI (ed.); pertama). Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
Hasil Keperawatan (PPNI (ed.); pertama). Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai