Anda di halaman 1dari 29

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR

“GANGGUAN PENGLIHATAN& KEBUTAAN”

Kelompok 4:

Ainun Nur Aziza (2113201010)


Ellin Kurnia (2113201061)
Oreanital (2113201024)
Wahyuni Effendi (2113201051)

Nama dosen pengampu: Andi Suyatni, SKM, M. Kes

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS WIDYA GAMA MAHAKAM SAMARINDA
TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur, kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih
dan sayang-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gangguan
Penglihatan & Kebutaan” yang telah diberikan oleh Dosen Mata Kuliah kepada Kami dengan
baik. Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai tugas dari mata kuliah “Epidemiologi
Penyakit Tidak Menular”. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Ibu Andi
Suyatni, SKM, M.Kes atas bimbingan dan arahannya guna terselesainya tugas ini.
Semoga makalah dengan judul “Gangguan Penglihatan & Kebutaan” ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat
berguna bagi Kami sendiri maupun orang lain yang membacanya.
Terlepas dari semua itu, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman Kami,
menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka. Kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar Kami dapat memperbaiki makalah ini.

Samarinda, 24 November 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................3

BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

A. Latar Belakang................................................................................................................4

BAB II........................................................................................................................................6

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................6

A. Definisi............................................................................................................................6

B. Epidemiologi Penyakit....................................................................................................6

C. Etiologi............................................................................................................................7

D. Patofisiologi....................................................................................................................9

E. Diagnosa........................................................................................................................12

F. Faktor Risiko.................................................................................................................13

G. Patogenesis....................................................................................................................15

H. Kemungkinan Komplikasi............................................................................................19

I. Penatalaksanaan............................................................................................................20

J. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan.....................................................................21

BAB III.....................................................................................................................................24

PEMBAHASAN......................................................................................................................24

A. Judul Jurnal...................................................................................................................24

B. Metode...........................................................................................................................24

C. Hasil..............................................................................................................................24

A. Judul Jurnal...................................................................................................................25

B. Metode...........................................................................................................................25

iii
C. Hasil..............................................................................................................................25

BAB IV....................................................................................................................................27

PENUTUP................................................................................................................................27

A. Kesimpulan...................................................................................................................27

B. Saran..............................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................29

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan penglihatan dan kebutaan memiliki penyebab utama yang berbeda d
imana gangguan penglihatan disebabkan oleh kelainan refraksi sedangkan kebutaan di
sebabkan oleh katarak. Gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan masy
arakat di tingkat global maupun nasional. Dalam Global Report on Vision, setidaknya
terdapat 2.2 miliar orang yang mengalami gangguan penglihatan, 1 miliar diantaranya
sebenarnya dapat dicegah (WHO, 2019). Selain itu, pada 2020 diperkirakan 43.4 juta
penduduk dunia mengalami kebutaan (Bourne et al., 2021).
Di tingkat nasional, prevalensi kebutaan penduduk berusia 6 tahun ke atas adal
ah 0.4%, sekitar 80% diantaranya dapat dicegah atau diobati (Kementerian Kesehatan
RI, 2013). Survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) 2014-2016 me
nunjukkan 8 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan penglihatan, dengan prev
alensi kebutaan nasional di angka 3% serta perkiraan kasus kebutaan terjadi pada 1.6 j
uta penduduk Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2018; Rif’ati et al., 2020). Hasil ter
sebut menempatkan Indonesia pada negara dengan prevalensi gangguan penglihatan.
Prevalensi dan jumlah kasus gangguan penglihatan serta kebutaan global dan n
asional masih tinggi, Indonesia menempati peringkat pertama di Asia Tenggara. Worl
d Report on Vision dan Survey Rapid Assesment of Avoidable Blindenss (RAAB) 20
14-2016 di Indonesia menunjukkan keadaan tersebut disebabkan oleh gangguan refra
ksi, katarak, glaukoma, dan retinopati diabetik yang dapat dicegah. Gangguan penglih
atan dan kebutaan menyebabkan penurunan pada produktivitas masyarakat, daya sain
g, dan kerugian ekonomi. Oleh karena itu, Substansi Gangguan Indera dan Fungsional
memiliki beberapa strategi dalam rangka penanggulangan gangguan penglihatan pada
penduduk Indonesia.
Khususnya di rumah sakit SMEC Samarinda memberikan layanan terbaik kare
na didukung oleh dokter dan profesional kesehatan terbaik dalam bidang Ophthalmolo
gists (dokter spesialis khusus mata) yang siap panderita untuk mengatasi gangguan pe
nglihatan seperti katarak, retina, dan glaukoma.

5
Selain didukung dari tenaga medis yang profesional, SMEC Samarinda dileng
kapi dengan berbagai teknologi terkini berstandar internasional seperti Reichert Lenso
meter, Slit Lamp Microscope Topcon dan masih banyak lagi.
Untuk mengakomodasi semua kebutuhan pelayanan mata, tersedia ruang laser,
rawat jalan dan kamar operasi. SMEC Samarinda juga dilengkapi dengan optik, dan I
nformasi Edukasi sehingga telah berkembang menjadi klinik terpadu dengan cakupan
pelayanan yang komprehensif. Hingga kini, SMEC Samarinda sudah menangani lebih
dari 70.000 pasien dan mengoperasi lebih dari 18.000 mata. Tidak hanya itu, SMEC S
amarinda juga mengakomodir Anda dan keluarga yang terdaftar sebagai peserta BPJS
Kesehatan.

A.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
a. Gangguan Penglihatan
Penglihatan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh
aspek kehidupan termasuk diantaranya pada proses pendidikan. Meskipun fun
gsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering kali kesehatan m
ata kurang terperhatikan, sehingga banyak penyakit yang menyerang mata tida
k diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan penglihatan atau kelainan r
efraksi. Gangguan penglihatan adalah keterbatasan sistem visual dengan manif
estasi berupa berkurangnya tajam penglihatan, sensitivitas kontras, gangguan l
apang pandang, distorsi visual, dan/atau kesulitan persepsi visual.
b. Kebutaan
Kebutaan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat menjalan
kan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukaan penglihatannya sebagai hal esensi
al sebagaimana orang sehat pada umumnya. World Health Organization (WH
O) berdasarkan International Statistical Classification of Diaseases and Relate
d Health Problems, 10th revision (ICD-10) mendefinisikan kebutaan sebagai t
ajam penglihatan kurang dari 3/60 atau lapang pandang kurang dari 10 derajat
pada mata terbaik dengan koreksi refraksi yang tersedia.

B. Epidemiologi Penyakit
a. Gangguan Penglihatan
Kelainan refraksi diperkirakan dialami oleh 123,7 juta orang di seluruh
dunia. (Fricke, 2018) Penelitian yang dilakukan pada tahun 2018 menggambar
kan pada anak-anak, estimasi prevalensi miopia, hiperopia, dan astigmatisma
masing- masing adalah 11,7%; 4,6%; dan 14,9%. Estimasi prevalensi miopia b
erkisar antara 4,9% di Asia Tenggara hingga 18,2% di wilayah Pasifik Barat, e
stimasi prevalensi hiperopia berkisar antara 2,2% di Asia Tenggara hingga 14,
3% di Amerika, dan estimasi prevalensi astigmatisma berkisar dari 9,8% di As
ia Tenggara hingga 27,2% di Amerika. Pada orang dewasa, estimasi prevalens

7
i miopia, hiperopia, dan astigmatisma masing-masing adalah 26,5%; 30,9%; d
an 40,4%. Estimasi prevalensi miopia berkisar antara 16,2% di Amerika hingg
a 32,9% di Asia Tenggara, estimasi prevalensi hiperopia berkisar antara 23,1%
di Eropa hingga 38,6% di Afrika dan 37,2% di Amerika, dan estimasi prevalen
si.
astigmatisma berkisar antara 11,4% di Afrika hingga 45.6% di Amerik
a dan 44.8% di Asia Tenggara. (Hashemi, 2018) Estimasi prevalensi penderita
presbiopia di dunia 55% pada orang berusia 30 tahun ke atas. Orang dengan pr
esbiopia lebih cenderung memiliki koreksi optik yang memadai jika mereka ti
nggal di sebuah daerah perkotaan dari negara yang lebih maju dengan pengelu
aran kesehatan yang lebih tinggi dan kesenjangan yang lebih rendah.
b. Kebutaan
Populasi tentang kebutaan anak di Indonesia sendiri masih sangat terba
tas sehingga menyebabkan minimnya data tentang kebutaan anak di Indonesia.
Menurut, hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi 4.802 kasus
kebutaan dan 14.407 kasus kehilangan penglihatan pada anak usia 5-14 tahun.
Oleh karena itu, pencegahan kebutaan atau gangguan penglihatan pada anak-a
nak sangat penting untuk dilakukan.

C. Etiologi
a. Gangguan Penglihatan
 Etiologi Kelainan Refraksi
Kelainan refraktif diyakini disebabkan modifikasi dan mutasi yang me
nyebabkan perubahan pada sistem kerja optik. Genome-wide association study
(GWAS) dan penelitian next generation sequencing (NGR) telah menentukan
gen yang dapat menyebabkan kelainan refraksi. Beberapa genetik yang dapat
menyebabkan miopia adalah LAMA2 (laminin subunit alpha 2), KCNQ5 (pota
ssium voltage-gated channel subfamily q member 5), APLP2 (amyloid-like pr
otein 2), dan LEPREL1 (leprecan-like protein 1). (Tedja, 2020) Teori lain men
gatakan bahwa pekerjaan yang membutuhkan fokus mata pada objek yang dek
at, seperti buku atau layar komputer, untuk jangka waktu yang lama menyebab
kan dan berkontribusi pada perkembangan miopia, seperti yang terlihat pada p
revalensi miopia yang lebih tinggi pada mereka yang berpendidikan lebih ting

8
gi dan mereka yang terlibat dalam aktivitas pekerjaan yang membutuhkan fok
us mata pada objek yang dekat tersebut. (Megbelayin, 2013) Faktor lain sepert
i, status sosial-ekonomi, lingkungan, prematuritas, tinggi badan, status gizi, tin
gkat pendidikan orang tua, kecerdasan, lingkungan intra-uterin dan orbita adal
ah faktor risiko lain yang terkait dalam berbagai cara dengan onset dan perkem
bangan kelainan refraksi terutama miopia. (Chakraborty, 2020)
Gen yang bertanggung jawab menjadi penyebab hiperopia adalah gen
phosphodiesterase 11A (PDE11A), protein tetratricopeptide repeat domain 30
A (TTC30A), dan alkylglycerone phosphate synthase (AGPS).
Terdapat 2 gen kandidat yang menjadi penyebab astigmatisma yang telah diide
ntifikasi yaitu PDGFRA (platelet-derived growth factor receptor) dan VAX2
(ventral anterior homeobox 2). Gen yang terlibat dalam presbiopia adalah alph
a crystallin (Khetrapal, 2019)
b. Kebutaan
Etiologi katarak Beberapa faktor risiko katarak dapat dibedakan menja
di faktor individu, lingkungan, dan faktor protektif.
a. Faktor individu terdiri atas usia, jenis kelamin, ras, serta faktor genetic.
b. Faktor lingkungan termasuk kebiasaan merokok, paparan sinar ultraviol
et, status sosioekonomi, tingkat pendidikan, diabetes mellitus, hipertensi,
penggunaan steroid, dan obat-obat penyakit gout.
c. Faktor protektif meliputi penggunaan aspirin dan terapi pengganti horm
on pada wanita.

Menurut Ode Penyebab katarak lainnya meliputi:

a. Faktor keturunan.
b. Cacat bawaan sejak lahir (congenital).
c. Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
d. Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
e. Gangguan metabolisme, seperti DM (Diabetes Mellitus). Gangguan per
tumbuhan. Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu y
ang cukup lama.
f. Rokok dan alkohol.
g. Operasi mata sebelumnya dan trauma mata.

9
D. Patofisiologi
a. Gangguan Penglihatan
Patofisiologi gangguan refraksi melibatkan gangguan pada bentuk bola
mata yang menyebabkan cahaya gagal difokuskan secara akurat pada retina. G
angguan refraksi dibagi menjadi empat jenis, yaitu myopia, hiperopia, astigma
tisme, dan presbyopia
Kelainan Refraksi Manusia memiliki mata disebelah kiri dan kanan. K
ehilangan atau kerusakan salah satu bola mata dapat mengganggu penglihatan.
Berdasarkan data WHO, terdapat 285 juta orang di dunia yang mengalami gan
gguan penglihatan, dimana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta ora
ng mengalami penglihatan kurang. Tajam penglihatan sudah dikatakan low vis
ion dengan visus 6/18. Secara global, gangguan penglihatan tersebut disebabk
an oleh kelainan refraksi 43%, katarak 33% dan glaukoma 2%. Meskipun dem
ikian, bila dikoreksi dini sekitar 80% gangguan penglihatan dapat dicegah mau
pun diobati.
Kelainan refraksi adalah kelainan pembiasan sinar pada mata, sehingga
sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan ata
u di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik fokus. K
elainan refraksi memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia, yaitu sebesar 2
4,7 dan pada anakanak usia sekolah dasar sebesar 10% dari 66 juta anak Indon
esia.
Kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling sering
terjadi. Miopia adalah salah satu kelainan refraksi pada mata yang memiliki pr
evalensi tinggi di dunia. Dalam pengamatan selama beberapa dekade terakhir
menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi miopia telah mengalami peningkatan
dan ada epidemi miopia di Asia. Sekitar 148 juta atau 51% penduduk di Amer
ika Serikat memakai alat pengoreksi gangguan refraksi, dengan penggunaan le
nsa kontak mencapai 34 juta orang. Angka kejadian rabun jauh meningkat ses
uai dengan pertambahan usia.
Jumlah penderita rabun jauh di Amerika Serikat berkisar 3% antara usi
a 5-7 tahun, 8% antara usia 8-10 tahun, 14% antara usia 11-12 tahun dan 25%
antara usia 12-17 tahun. Pada etnis tertentu, peningkatan angka kejadian juga t
erjadi walaupun presentase tiap usia berbeda. Etnis Tiongkok memiliki insiden
rabun jauh lebih tinggi pada seluruh usia. Studi nasional Taiwan menemukan p

10
revalensi sebanyak 12% pada usia 6 tahun dan 84% pada usia 16-18 tahun. An
gka yang sama juga dijumpai di Singapura dan Jepang.
b. Kebutaan
Menurut standar WHO, batas prevalensi kebutaan yang tidak menjadi
masalah kesehatan adalah 0,5% dan jika prevalensi di atas 1 % menunjukkan a
danya keterlibatan masalah sosial / lintas sektor. Melihat hasil – hasil survei di
Indonesia tampaknya prevalensi kebutaan pada semua umur mengalami penur
unan.
Prevalensi kebutaan juga dipengaruhi factor social ekonomi dimana ak
ses untuk mendapatkan pencegahan dan penanganan gangguan pengelihatan d
an kebutaan di pengaruh oleh keterbatasan finansial, informasi dan keterjangk
auan pelayanan kesehatan. Perdami. menyatakan bahwa 0,78% kebuataan akib
at katarak yang tidak di terapi di Indonesia dan pada Survey nasional dilaporka
n prevalensi katarak 1,8%.
World Health Organization (WHO) mengestimasikan jumlah orang de
ngan gangguan pengelihatan di seluruh dunia pada tahun 2018 adalah 1,3 mily
ar orang. Katarak merupakan penyebab gangguan pengelihatan terbanyak ked
ua di seluruh dunia (33%) setelah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi (42
%). Namun, katarak menepati posisi pertama sebagai penyebab kebutaan di du
nia dengan prevalensi 51% (WHO, 2014). Katarak atau kekeruhan lensa mata
merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia maupun duni
a. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun di antara
1.000 orang terdapat seorang pendertia baru katarak. Penduduk Indonesia juga
memeliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan
penduduk subtropis sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi di bawah
55 tahun. Prevalensi katarak Provinsi Lampung hasil petugas enumerator dala
m Riskesdas 2018 sebanyak 1,5%. Insiden penyakit katarak di Rumah Sakit P
ertamina Bintang Amin Bandar Lampung sangatlah tinggi. Menurut data reka
m medik di poli mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin kurang lebih 100
orang pasien katarak per bulan yang datang ke poli mata Rumah Sakit Pertami
na Bintang Amin. Masih banyak penderita katarak yang tidak mengetahui jika
menderita katarak.
Hal ini terlihat dari tiga terbanyak alasan penderita katarak belum oper
asi hasil Riskesdas 2018 yaitu 51,6% karena tidak mengetahui menderita katar

11
ak, 11,6% karena tidak mampu membiayai dan 8,1% karena takut operasi (Ke
menkes, 2018). Penelitian etiopatogenitas oleh Gupta et al., (2018) menunjukk
an bahwa faktor genetik berperan penting dalam penyakit katarak. Selain itu b
ayi yang dilahirkan pada ibu yang mengalami infeksi seperti rubella dan tokso
plasmosis selama masa kehamilan lebih cenderung didiagnosis dengan katarak
kongenital. Umur juga merupakan salah satu faktor risiko katarak yang jelas, d
imana 48% dari kasus kebutaan dunia diakibatkan oleh penyakit katarak yang
diderita pada orang yang berusia >50 tahun. Selain itu, jenis kelamin perempu
an juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya katarak. Hal ini dikarena
kan penurunan kadar estrogen pada wanita pasca menopause. Kelainan metabo
lik seperti penyakit diabetes melitus serta kelainan sistemik seperti hipertensi j
uga merupakan antara faktor risiko terjadinya katarak. Tujuan untuk mengetah
ui karakteristik faktor risiko penderita katarak. Penelitian ini penting dikarenak
an katarak dapat menyebabkan kebutaan dan akan mengalami peningkatan dar
i tahun ke tahun.
Katarak disebut bular, yang memiliki arti penglihatan yang tertutup air
terjun akibat lensa yang keruh. Kekeruhan tersebut terjadi pada serabut atau ba
han lensa di dalam kapsul lensa. Kekeruhan ini akibat hidrasi cairan lensa, ata
u denaturasi protein lensa serta akibat gangguan metabolisme normal lensa ya
ng dapat timbul pada usia tertentu. Jadi katarak merupakan salah satu keadaan
patologik lensa, dimana lensa menjadi keruh.
Berdasarkan maturitasnya, katarak dapat dibagi menjadi empat yaitu in
sipien. imatur, matur dan hipermatur. Katarak imatur warna keputihan yang m
uncul di dalam pupil lebih sedikit dibandingkan dengan matur dan hipermatur.
Katarak imatur merupakan kondisi yang belum serius. Katarak hipermatur war
na keputihan dalam pupil sangat banyak dan dapat menyebabkan lensa mata b
erhenti untuk. bekerja.

E. Diagnosa
a. Gangguan Penglihatan
Gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, dari gangguan ringan s
ampai gangguan berat yang dapat mengakibatkan Tidak bisa melihat. Penyakit
mata ini ada yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri ataupun jamur.Masala
h yang di timbulkan, berawal dari gejala umum seperti rasa sakit dan perih ke

12
mudian timbul merah pada mata. Ketidak tahuan dan kurangnya pengetahuan
atau wawasan masyarakat, serta besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
mengobati penyakit mata akibat kurang diketahui gejala secara dini.
Terdapat beberapa kondisi yang menyebabkan penglihatan terganggu yaitu
a. Rabun dekat atau dalam bahasa medis hyperopia.
b. Rabun jauh atau dalam bahasa medis myopia.
c. Rabun senja atau dalam bahasa medis nyctalopia
b. Kebutaan
Dalam mendiagnosis buta, dokter akan melakukan pemeriksaan terhada
p gejala yang ada, kondisi fisik, dan riwayat kesehatan pasien. Dokter juga aka
n menanyakan sejak kapan kondisi ini dialami, dan apakah kondisi membaik a
tau tidak. Pemeriksaan awal ini bertujuan untuk menduga penyebab buta dan
menentukan tes yang akan digunakan dalam proses diagnosis. Untuk memasti
kan, dokter dapat melakukan serangkaian tes untuk memeriksa mata, seperti.
a Tes ketajaman.
Tes ini menggunakan grafik huruf dengan ukuran yang berbeda. Pasien
akan diminta untuk menutup sebelah mata, berdiri di jarak tertentu, dan m
embaca huruf yang ditunjuk dokter di grafik tersebut.
b Tes lapang pandang.
Tes ini bertujuan untuk memeriksa ada atau tidaknya gangguan pada b
agian tertentu di lapang pandang atau jangkauan penglihatan pasien. Dok
ter akan meminta pasien untuk merespons cahaya maupun gerakan yang a
kan diisyaratkan pada sudut pandang yang berbeda, tanpa harus menggera
kan mata.
c Slit lamp.
Slit lamp adalah tes yang menggunakan alat khusus, berupa mikroskop,
yang bertujuan untuk memeriksa kornea, iris, lensa mata, dan ruang di ant
ara kornea dan iris yang berisi cairan.
d Oftalmoskopi.
Tes ini bertujuan untuk memeriksa kondisi organ mata bagian belakan
g melalui alat yang disebut oftalmoskop. Umumnya sebelum tes dilaksana
kan, pasien akan diberikan cairan tetes khusus agar pupil tidak mengecil s
aat pemeriksaan berlangsung.
e Tonometry.

13
Tes ini menggunakan alat khusus untuk mengukur tekanan di mata yan
g dapat menyebabkan kebutaan. Tonometry digunakan untuk mendeteksi
dan mengawasi pengobatan glukoma.

F. Faktor Risiko
a. Gangguan Penglihatan
1. Menurut daerah dan tempat tinggal
Prevalensi gangguan penglihatan di negara berpenghasilan rend
ah dan sedang diperkirakan sebanyak 4 kali lipat dibanding negara be
rpenghasilan tinggi
2. Menurut usia dan jenis kelamin
Usia merupakan faktor risiko utama pada berbagai kondisi mata.
Prevalensi gangguan penglihatan jauh terjadi lebih banyak pada popul
asi yang berusia tua. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 80% ganggu
an penglihatan jauh bilateral dan kebutaan, dan sekitar dua pertiga gan
gguan penglihatan dekat terjadi pada populasi berusia 50 tahun lebih. P
ada umumnya, wanita hidup lebih lama dibanding pria, sehingga mem
punyai risiko lebih besar dalam mengalami kondisi kelainan mata berd
asarkan usia.
b. Kebutaan
1. Faktor Demografi (Usia dan Jenis Kelamin)
Proses terbentuknya katarak merupakan bagian dari proses dari
penuaan, penuaan berkontribusi dalam terakumulasinya kerusakan yan
g disebabkan oleh lingkungan, sehingga kemampuan regenerasi yang s
udah menurun karena bertambahnya usia akan semakin memberat
Prevalensi katarak yang lebih tinggi pada wanita menjadi faktor
banyaknya penelitian yang dilakukan untuk menginvestigasi efek dari
estrogen endogen dan eksogen. Beberapa studi menunjukkan bahwa se
seorang yang mengalami menarke lebih awal dan/atau menopause lebi
h lambat menunjukkan penurunan risiko katarak yang mengindikasika
n bahwa estrogen mungkin memiliki efek protektif terhadap lensa.
2. Faktor Sosial Ekonomi (Penghasilan dan Pendidikan)

14
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, untuk
faktor penghasilan didapatkan hasil pada responden dengan penghasila
n rendah (Rp 0-1juta) akan beresiko katarak sebesar 0,4 kali dibanding
kan dengan responden yang berada pada kategori penghasilan tinggi (R
p > 1juta) dengan 95% IK (0,2-0,9). Hal tersebut bermakna secara stati
stik karena nilai p value = 0,04 (p < 0,05). Tetapi, bukan sebagai faktor
risiko penyakit katarak melainkan menjadi faktor protektif penyakit kat
arak (OR < 1). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan deng
an penurunan risiko katarak pada studi yang dilakukan pada populasi y
ang berbeda di seluruh dunia. Berdasarkan penelitian sebelumnya, lulu
san dari universitas akan lebih rendah risiko terkena cortical cataract .F
aktor kebiasaan Merokok
Pada penelitian meta-analysis yang telah dilakukan menunjukk
an bahwa merokok berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
katarak senilis dengan studi cohort dan case control. Didapatkan pula h
asil yang positif untuk analisis hubungan dengan nuclear cataract dan p
osterior subcapsular cataract. Hubungan ini lebih kuat pada perokok ak
tif dibandingkan dengan yang sudah berhenti merokok. Namun, tidak d
itemukan hubungan antara status merokok dengan cortical cataract pad
a studi cohort dan case control ini. Mekanisme aksi dari merokok pada
katarak senilis tidak sepenuhnya diketahui, tapi ada beberapa kemungk
inan mekanisme biologis. Pertama, merokok menyebabkan adanya pro
ses oksidatif melalui aktivitas radikal bebas didalam tubuh yang berleb
ihan sehingga

G. Patogenesis
a. Gangguan Penglihatan
Gangguan penglihatan dan kehilangan penglihatan dapat terjadi pada s
emua usia, pada balita, pada usia sekolah, usia produktif maupun lansia.
Gangguan penglihatan ini dapat mengganggu aktivitas , dan membaha
yakan penderita sehingga bisa mengurangi kualitas hidup dan bahkan dapat m
engakibatkan depresi pada penderita.

15
Beberapa gangguan penglihatan yang paling sering terjadi yaitu, Kelainan Ref
raksi, Katarak, Infeksi Mata, Glaukoma, Degenerasi Makula terkait usia, Retin
opati Diabetik dan kelainan mata lainnya.
1. Kelainan refraksi
Adalah kondisi dimana cahaya yang masuk kedalam mata tidak
dapat difokuskan dengan jelas. Terdapat 4 jenis kelainan refraksi yaitu
myopia (rabun jauh), hipermetropi (rabun dekat), presbiopi (rabun dek
at usia lanjut), dan astigmatism (silindris).
2. Konjungtivitis atau Mata Merah
Adalah iritasi atau peradangan pada konjungtiva, yang menutup
i bagian putih bola mata. Kondisi ini dapat disebabkan alergi atau infek
si bakteri atau virus. Konjungtivitis bisa sangat menular dan menyebar
melalui kontak dengan sekresi mata dari orang yang terinfeksi.Gejala
meliputi mata kemerahan, gatal, dan berair. Hal ini juga dapat menyeb
abkan keluarnya kotoran atau pengerasan kulit di sekitar mata.
3. Katarak
adalah gangguan penglihatan akibat dari lensa yang menjadi ke
ruh, kelainan ini tidak dapat disembuhkan dengan penggunaan kacamat
a. Katarak dapat terjadi 1 sisi atau kedua sisi mata. Penyakit ini jika dib
iarkan dapat menyebabkan kebutaan pada usia tua. Keluhan biasanya p
enurunan penglihatan seperti melihat awan/ kabut dan silau ketika meli
hat cahaya. Gangguan penglihatan ini dapat dihilangkan dengan melak
ukan operasi katarak.
4. Degenerasi Makula atau disebut Aged Related Macular Degeneration
(AMD)
Aged Related Macular Degeneration (AMD) sering terjadi pada
lansia dengan gejala awal yaitu pandangan buram dimulai dari bagian t
engah penglihatan. AMD dibagi menjadi dua tipe kering dan basah. A
md kering terjadi secara bertahap karena kematian sel-sel retina. AMD
tipe basah terjadi karena pertumbuhan pembuluh darah yang abnormal
kedalam makula, sehingga terjadi perdarahan atau penumpukan cairan
dibagian makula sehingga menyebabkan gangguan penglihatan. Faktor
risiko AMD yaitu faktor genetik, merokok dan usia tua. Pasien yang m

16
emiliki faktor risiko harus waspada agar dapat ditangani dengan baik s
ebelum muncul komplikasi hingga kebutaan.
5. Retinopati Diabetik
Adalah penyakit diabetes sering diderita oleh lansia, penyakit si
stemik ini dapat memicu terjadinya retinopati atau kerusakan pada lapi
san retina. Gejala retinopati berupa: penglihatan yang kabur, floaters (b
ercak hitam pada penglihatan), nyeri pada mata/mata merah, dan pengl
ihatan berbayang.
6. Glaukoma
Penyakit mata yang terjadi karena penyumbatan aliran cairan b
ola mata, sehingga cairan tersebut menumpuk dan meningkatkan tekan
an pada bola mata meningkat. Glaukoma memiliki beberapa tipe glauk
oma primer sudut tertutup, glaukoma primer sudut terbuka, glaukoma s
ekunder, dan kongenital (bawaan sejak lahir). Pada glaukoma sudut ter
buka lebih sering terjadi dibandingkan sudut tertutup terutama pada usi
a >49 tahun. Tekanan yang tinggi pada bola mata dapat mengakibatkan
kerusakan saraf mata sehingga kehilangan lapang pandang. Gejala glau
koma sudut terbuka yaitu seperti melihat dalam sebuah lorong sehingg
a sisi kanan kiri tidak terlihat, jika penyakit ini terus berlanjut tanpa pe
ngobatan maka penglihatan dapat hilang sepenuhnya.
b. Kebutaan
1. katarak
Katarak terjadi saat transparansi lensa hilang. Katarak dapat dis
ebabkan oleh kelainan genetik, metabolik, maupun sekunder terhadap
penyakit okular atau penyakit sistemik. Faktor risiko yang dapat menin
gkatkan kejadian katarak yaitu usia, jenis kelamin wanita, merokok, pa
paran ultraviolet B berlebih, diabetes, penggunaan kortikosteroid jangk
a panjang dan miopia tinggi. Faktor risiko paling penting dalam terjadi
nya katarak adalah penuaan.
Kebutaan karena katarak bersifat reversibel karena dapat ditera
pi melalui operasi dan pengangkatan lensa. Katarak menyebabkan keb
utaan sebesar 35,15% di seluruh dunia. Angka kejadian kebutaan karen
a katarak pada usia 50 tahun ke atas di Jawa Barat sebesar 71,7%. Oper

17
asi katarak di berbagai negara masih kurang adekuat sehingga katarak
masih menjadi penyebab utama kebutaan.
2. Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi atau ametropia adalah kelainan optik yang me
nyebabkan cahaya tidak jatuh di fovea pada mata yang tidak berakomo
dasi. Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dun
ia yang sebelumnya kurang mendapatkan perhatian yang cukup. Saat i
ni kelainan refraksi mulai mendapatkan perhatian sebagai prioritas seb
agai penyakit yang dapat dikoreksi.
3. Kekeruhan Kornea
Kekeruhan kornea merupakan salah satu penyebab kebutaan di
dunia. Kekeruhan kornea dapat disebabkan oleh infeksi, nutrisi, inflam
asi, keturunan, degeneratif, dan trauma. Kekeruhan kornea karena infe
ksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, trakoma, atau onkosers
iasis. Penyebab kekeruhan korena karena nutrisi yaitu xeroftalmia. Onk
osersiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus. T
rakoma adalah penyakit yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.
Xeroftalmia terjadi pada keadaan defisiensi vitamin A.
4. Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik adalah komplikasi penyakit diabetes yang
menyebabkan kerusakan pembuluh darah retina. Penyebab utama retin
opati diabetik yaitu kadar gula darah yang tinggi. Peningkatan kadar gu
la darah pada pasien dengan diabetes dapat merusak pembuluh darah k
ecil yang terdapat di retina. Retinopati diabetic ditandai dengan sekelo
mpok lesi yang ditemukan di retina atau fundus pasien dengan diabetes
Faktor risiko retinopati diabetik adalah durasi seseorang menderita dia
betes, kontrol gula darah yang buruk, tekanan darah tinggi, kolesterol ti
nggi, dan kehamilan
5. Glaukoma
Glaukoma adalah kelompok penyakit neuropati optik yang dita
ndai dengan degenerasi sel ganglion retina yang progresif serta kehilan
gan jaringan saraf yang berhubungan dengan disfungsi penglihatan. Us
ia, riwayat glaukoma pada keluarga, ras, dan serta pengobatan sistemik
dapat menjadi faktor risiko dari penyakit glaukoma. Glaukoma berdasa

18
rkan etiologi yang mendasarinya dibagi menjadi dua kelompok yaitu gl
aukoma primer dan sekunder. Gejala pada glaukoma primer timbul sec
ara spontan tanpa ada pencetus, sedangkan glaukoma sekunder dapat ti
mbul karena kelainan lain pada mata atau sistemik seperti trauma, oba
t-obatan seperti kortikosteroid, inflamasi, maupun tumor. Glaukoma m
erupakan penyebab kebutaan ireversibel
6. Age-related Macular Degeneration (AMD)
Age-related Macular Degeneration adalah gangguan penglihata
n yang terjadi di usia tua dan ditandai dengan penglihatan sentral yang
hilang karena lesi degeneratif di area makula. Faktor risiko terjadinya
AMD yaitu usia, ras kauskasia, riwayat penyakit dengan AMD, merok
ok, penyakit kardiovaskular, paparan sinar matahari, kolesterol tinggi d
an darah tinggi. Age-related Macular Degeneration biasanya terjadi pa
da usia 55 tahun dan prevalensinya meningkat seiring bertambahnya us
ia. Angka kejadian AMD di dunia diperkirakan sebesar 5,93%. Penderi
ta AMD diperkirakan mencapai 196 juta jiwa pada 2020 dan 288 juta ji
wa pada 2040. Prevalensi kelainan pada segmen posterior yang menye
babkan kebutaan di Indonesia mencapai 6,0%. Kelainan segmen poster
ior yang menyebabkan kebutaan di Jawa Barat yaitu 0,9%.

H. Kemungkinan Komplikasi
a. Gangguan Penglihatan & Kebutaan
Komplikasi operasi katarak dapat terjadi selama operasi maupun setela
h operasi. Persiapan Pre Operasi dan Pemeriksaan periodik pasca operasi katar
ak sangat penting untuk mendeteksi komplikasi operasi. Pedoman Nasional Pe
layanan Kedokteran Tata Laksana Katarak pada Dewasa menyebutkan bebera
pa komplikasi yang dapat ditimbulkan dari tindakan operasi katarak antara lain
:
1. Ruptur kapsul posterior (Posterior Capsule Rupture/PCR)
Kejadiannya bervariasi antara 2% (pada kasus uncomplicated p
hacoemulsification)-9% (pada kasus dengan risiko tinggi). Setiap opera

19
tor perlu memiliki kemampuan untuk melakukan vitrektomi anterior se
rta memiliki pilihan kekuatan IOL cadangan bila terjadi PCR.
2. Cystoid macular edema (CME)
Angka kejadian CME bervariasi antara 1-3% dengan teknik SIC
S. Beberapa faktor risiko terjadinya CME antara lain: riwayat uveitis, P
CR dengan prolaps vitreus, retinopati diabetik, riwayat operasi vitero-r
etina, serta riwayat CME pada mata kontralateral. Belum ada protokol
pencegahan terjadinya CME, namun pemberian anti inflamasi steroid d
apat dipertimbangkan untuk kasus risiko tinggi.
3. Endoftalmitis
Angka kejadian endoftalmitis sangat rendah berkisar antara 0.00
4-0.16% di seluruh dunia. Faktor risiko terjadinya endoftalmitis antara l
ain: PCR, vitreus loss, waktu operasi yang lama, operasi yang dilakuka
n oleh residen, pasien dengan imunocompromised, konstruksi luka yan
g bocor, anestesi topikal bentuk gel sebelum povidone iodine, pasien us
ia lanjut. Menurut Endophthalmitis Vitrectomy Study dikatakan bahwa
vitrektomi dilakukan pada kasus dengan tajam penglihatan hands-motio
n (visus 1/300); namun menurut rekomendasi ESCRS (European Societ
y of Cataract and Refractive Surgeons), vitrektomi segera dengan pemb
erian antibiotik intravitreal (pilihan ceftazidime dan vancomycin) akan
memberikan hasil tajam penglihatan yang lebih baik apapun tajam peng
lihatan awal dari pasien tersebut.
4. Toxic anterior segment syndrome (TASS)
TASS adalah radang steril pasca operasi katarak yang ditandai d
engan reaksi radang segmen anterior yang hebat, adanya fibrin, adanya
hipopion, adanya edema kornea masif, rasa nyeri tidak terlalu menonjol
yang -terjadi dalam 12-48 jam pasca operasi katarak. Hal tersebut dapat
diakibatkan oleh sterilisasi instrumen yang tidak adekuat, irigasi dari fa
koemulsifikasi yang tidak adekuat, hingga penggunaan sarung tangan d
engan powder. TASS biasanya responsif dengan pemberian antiinflama
si topikal, namun bila ada kecurigaan mengarah ke endoftalmitis, sebai
knya dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiolog
i.

20
I. Penatalaksanaan
a. Gangguan Penglihatan
Penatalaksanaan gangguan refraksi adalah koreksi tajam penglihatan y
ang dapat dilakukan kacamata, lensa kontak, atau pembedahan. Kacamata adal
ah metode koreksi yang paling mudah dan aman. Lensa kontak dapat memberi
kan bidang penglihatan yang lebih luas, namun terkait dengan risiko infeksi. P
embedahan refraktif secara permanen mengubah bentuk kornea. Salah satu int
ervensi bedah yang sering digunakan adalah LASIK (laser-assisted in situ kera
tomileusis).
b. Kebutaan
Satu-satunya cara untuk menghilangkan katarak adalah dengan operasi.
Operasi katarak adalah operasi untuk menghilangkan lensa yang berawan (Am
erican Academy of Ophthalmology). Operasi katarak merupakan sebuah prose
dur mengeluarkan lensa mata kemudian menggantinya dengan lensa buatan. B
erdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa operasi katarak adalah se
buah prosedur mengeluarkan lensa mata alami yang keruh dan menggantinya
dengan lensa buatan. Adapun Indikasi Operasi Katarak sesuai Keputusan Ment
eri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07 (2018) tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Katarak Pada Dewasa,
antara lain:
1. Meningkatkan tajam penglihatan pasien yang sifatnya subjektif bervari
asi tergantung seberapa besar katarak telah mengganggu aktivitas sehar
i-hari.
2. Alasan medis, yaitu adanya penyakit okular lain yang mengancam pen
glihatan sehingga memerlukan penanganan segera seperti glaukoma fa
komorfik, glaukoma fakolitik dan ablasio retina, serta untuk meningkat
kan visualisasi retina dalam rangka evaluasi dan terapi pada penyakit-p
enyakit diretina.
3. Alasan kosmetik, pada pasien yang tetap menginginkan operasi walaup
un telah mengetahui kecilnya peluang untuk memperoleh visus yang le
bih baik, hanya saja pasien tersebut tidak ingin bola matanya terlihat p
utih.

21
J. Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan
a. Gangguan Penglihatan
1. Pencegahan masalah kelainan refraksi dapat dilakukan dengan menera
pkan praktik visual hygiene. Visual hygiene merujuk pada berbagai up
aya untuk mencegah berbagai masalah kesehatan mata termasuk kelain
an refraksi(Karuppiah et al., 2019). Visual hygiene meliputi modifikasi
terhadap 8 praktik Kesehatan sebagai berikut :
a. Lama waktu paparan layar,
b. Jarak pandang menonton televisi,
c. Jarak penglihatan ke layar saat menggunakan komputer,
d. Postur tubuh saat membaca atau melihat layar,
e. Pencahayaan untuk membaca,
f. Visual breaks,
g. Kebiasaan membaca saat bergerak, serta
h. Jarak pandang ke obyek baca
2. Pemeriksaan refraksi merupakan pemeriksaan dasar, tetapi sangat men
entukan langkah selanjutnya dalam diagnostik dan terapi. Pemeriksaan
yang tepat dan akurat pada pasien dengan gangguan refraksi dapat dica
pai melalui tahapan sebagai berikut, yaitu:
1. Pemeriksaan refraksi subjektif.
2. Pemeriksaan refraksi objektif
3. Pross cylinder test, dan binocular balancing.
Pemeriksaan objektif adalah pemeriksaan refraksi dimana hasil refraksi
dapat ditentukan tanpa mengandalkan masukan atau respons dari pasie
n. Kelebihan pemeriksaan ini adalah pemeriksaan dapat dilakukan tanp
a informasi subjektif dari pasien mengenai kualitas visus yang diperole
h selama prosedur berlangsung. Kerja sama dari pasien yang diperluka
n hanya pada saat, misalnya, meletakkan kepala, atau memfiksasi pand
angan pada target tertentu. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan me
nggunakan retinoskopi, otorefraksi, atau fotorefraksi
b. Kebutaan
1. Pencegahan Katarak, yaitu dengan konsumsi sedikit sumber vitamin A
dapat meningkatkan kejadian katarak. Hasil penelitian ini sejalan den
gan teori yang menyatakan bahwa mengkonsumsi sumber vitamin A m

22
emperlambat proses penuaan. Beberapa kandungan vitamin A yaitu kar
oten (wortel), betakaroten, lutein, zeaxantin ditemukan di wortel sebag
ai antioksian yang bertindak untuk mengurangi kerusakan radikal beba
s di mata dan dapat mencegah katarak serta mampu mengontrol terjadi
nya proses katarak.
2. Penanggulangan katarak Pada tahun 2018, terdapat tiga aspek p
rogram penanggulangan terjadinya katarak yang dikeluarkan oleh pe
merintah Indonesia, sebagai berikut:
1) dengan meningkatkan kualitas dan cakupan media, dapat de
ngan mudah mengedukasi masyarakat terkait katarak secara
optimal;
2) dengan meningkatkan kualitas dan cakupan deteks
i dini dan operasi katarak;
3) mendorong pelaksanaan untuk penanggulangan katarak
di setiap daerah secara komprehensif dan inklusif, hal ini
dilakukan dengan mempertimbangkan aspek demografi da
n geografi serta prevalensi kebutaan akibat katarak. Satu-satu
nya cara yang tersedia dan efektif untuk mengatasi katarak adal
ah operasi, namun memerlukan biaya yang relatif mahal dan te
naga yang sangat terlatih, sehingga pencegahan merupakan alte
rnatif dalam penanganan penyakit ini. Katekin dari teh hijau ter
bukti efektif untuk mencegah katarak dengan menghambat stres
retikulum endoplasma dan stres oksidatif

23
BAB III

PEMBAHASAN
Jurnal 1

A. Judul Jurnal
“Karakteristik Faktor Risiko Penderita Katarak”
B. Metode
Jenis Penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif dengan rancanga
n cross sectional dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien di Rum
ah Sakit X Bandar Lampung. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kata
rak di Rumah Sakit X Bandar Lampung tahun 2019 sebanyak 498 orang dan di dapatk
an sampel sebanyak 83 orang. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel Indepen
den sebagai berikut:
Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor risiko, variabel independen dal
am penelitian ini adalah katarak.
C. Hasil

Variabel Jumlah Orang Persentase (%)


Usia
>50 Tahun 63 76%
<50 Tahun 20 24%
Jenis Kelamin
Perempuan 48 58%
Laki-laki 35 42%
Diabetes Militus
Tanpa Diabetes Militus 63 76%
Diabetes Militus 20 24%
Tekanan Darah
Hipertensi 45 54%
Normal 38 46%
Jenis Trauma Mata
Non-Trauma 73 88%

24
Trauma 10 12%
Jurnal 2

A. Judul Jurnal
“Tingkat Pengetahuan Siswa Tentang Kelainan Refraksi Mata”

B. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif dengan p
endekatan kuantitatif mengetahui tingkat pengetahuan kelainan refraksi Siswa Kelas
XI Jurusan Multimedia di SMK Negeri 2 Bandung. Populasi penelitian adalah siswa k
elas XI Jurusan Multimedia SMK Negeri 2 Bandung. Sampel penelitian adalah objek
yang didapatkan dari populasi hasil observasi sebanyak 58 responden. Instrumen pene
litian yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner berbentuk pilihan, diman
a jawabannya telah disediakan yang diisi oleh responden. Sedangkan metode yang dig
unakan untuk
mengumpulkan data penelitian adalah membagikan kusioner untuk mengetahui tingka
t pengetahuan jenis kelaianan refraksi dalam bentuk google form.

C. Hasil
1. Tingkatan Pengetahuan Kelainan Refraksi Astigmatisme

Variabel Jumlah Orang Persentase


Baik 12 20,69 %
Cukup 13 22,41 %
Kurang 33 56,90 %
TOTAL 58 100

2. Tingkat Pengetahuan Kelainan refraksi

Variabel Jumlah Orang Persentase


Baik 9 15,52 %
Cukup 8 13,79 %
Kurang 41 70,69 %
TOTAL 58 100

3. Tingkat Pengetahuan kelaian refraksi myopia

25
Variabel Jumlah Orang Persentase
Baik 13 24,41 %
Cukup 11 18,97 %
Kurang 34 58,62 %
TOTAL 58 100

4. Tingkat Pengetahuan kelaian refragsi Hipermetropia

Variabel Jumlah Orang Persentase


Baik 6 10,34 %
Cukup 9 15,52 %
Kurang 43 74,14 %
TOTAL 58 100

5. Jenis Kelamin

Variabel Jumlah Orang Persentase


Perempuan 19 32,76 %
Laki-laki 39 67,24%
TOTAL 58 100

26
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Gangguan penglihatan dan kebutaan memiliki penyebab utama yang berbeda d
imana gangguan penglihatan disebabkan oleh kelainan refraksi sedangkan kebutaan di
sebabkan oleh katarak. Gangguan penglihatan masih menjadi masalah kesehatan masy
arakat di tingkat global maupun nasional.
Katarak berpotensi menimbulkan komplikasi, perburukan penglihatan bahkan
menimbulkan kebutaan bila tidak ditangani. Komplikasi kebutaan yang tidak diobati b
erpotensi menyebabkan sulit berjalan, penurunan kualitas hidup. Bahkan, kebutaan ju
ga dapat menimbulkan masalah kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan. Lalu
Diabetes Militus, Hipertensi, Merokok, dan Memakai obat-obatan juga salah satu fakt
or penyebab dari komplikasi Penglihatan.
Kelainan refraktif diyakini disebabkan modifikasi dan mutasi yang menyebabk
an perubahan pada sistem kerja optik. Genome-wide association study (GWAS) dan p
enelitian next generation sequencing (NGR) telah menentukan gen yang dapat menye
babkan kelainan refraksi. Beberapa genetik yang dapat menyebabkan miopia adalah L
AMA2 (laminin subunit alpha 2), KCNQ5 (potassium voltage-gated channel subfamil
y q member 5), APLP2 (amyloid-like protein 2), dan LEPREL1 (leprecan-like protein
1). (Tedja, 2020) Teori lain mengatakan bahwa pekerjaan yang membutuhkan fokus
mata pada objek yang dekat, seperti buku atau layar komputer, untuk jangka waktu ya
ng lama menyebabkan dan berkontribusi pada perkembangan miopia, seperti yang terl
ihat pada prevalensi miopia yang lebih tinggi pada mereka yang berpendidikan lebih ti
nggi dan mereka yang terlibat dalam aktivitas pekerjaan yang membutuhkan fokus ma
ta pada objek yang dekat tersebut

27
B. Saran
Demikian pokok bahasan yang dapat kami paparkan, kami menyadari masih b
anyak sekali kesalahan dalam pembuatan makalah ini yang berjudul “Gangguan
Penglihatan & Kebutaan”. Besar harapan kami pada makalah ini dapat bermanfaat unt
uk banyak kalangan. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar makalah ini dapat disusun
menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

28
DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, P. O., Ginting, D. V., Irfani, I., Karfiati, F., Kuntorini, M. S. W., & Caesarya, S.
(2021). Hubungan Usia dan Jenis Kelamin dengan Jenis Kelainan Refraksi pa
da Anak di Pusat Mata Nasional RumahSakit Mata Cicendo. Jurnal Oftalmolo
gi, 3(2), 17-23.

Detty, A. U., Artini, I., & Yulian, V. R. (2021). Karakteristik Faktor Risiko Penderita Katara
k. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 10(1), 12-17.

Diperiksa, T. (2018). DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKT


ERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUM
AH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG.

Ibrahim, M. F. (2019). Antioksidan dan katarak. Jurnal Biomedika dan Kesehatan, 2(4), 154-


161.

Helisarah, D. U., & Al Farisi, S. (2020). Gambaran Tajam Penglihatan dan Koreksi Kelaina
n Refraksi pada Pasien Pasca Operasi Katarak di RSUD Arjawinangun. Jurn
al Sehat Masada, 14(1), 142-146.

Kemkes.go.id. (2022, 05 Oktober). Strategi Pengentasan Gangguan Penglihatan. Diakses pa


da 28 November 2022, dari https://www.kemkes.go.id/article/view/221005000
02/begini-strategi-pengentasan-gangguan-penglihatan.html

Pangestu, T. C. M., & Kartadinata, E. (2021). Indeks massa tubuh berhubungan dengan angk
a kejadian katarak. Jurnal Biomedika dan Kesehatan, 4(4), 170-177.

Risma, D., Hermawan, H., & Subekti, T. (2022). Tingkat Pengetahuan Siswa tentang Kelain
an Refraksi Mata. Jurnal Sehat Masada, 16(1), 233-239.

Satyagraha, M. T., Fahrezi, A. A., Ulum, R. A., & Hidayatullah, G. C. S. TRANSPLANTASI


HUMAN EMBRYONIC STEM CELL RETINAL PIGMENT EPITHELIUM
SUBRETINAL SEBAGAI TERAPI DEGENERASI MAKULA TERKAIT U
SIA TIPE KERING.

29

Anda mungkin juga menyukai