&
TESIS
SOEFIANDI SOEDARMAN
0906565236
JAKARTA
DESEMBER 2013
! i!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! ii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! iii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya,
sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian saya yang merupakan salah satu syarat
akademik untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian dan penulisan tesis ini tidak mungkin
dapat diselesaikan tanpa bantuan, bimbingan dan dukungan moril dari berbagai pihak. Oleh
karena itu saya ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Ari Djatikusumo, SpM (K) selaku pembimbing utama dan pencetus ide
penelitian. Terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan dan juga
kesabarannya dalam membimbing saya menyelesaikan penelitian ini
2. dr Syska Widyawati, SpM, beliau merupakan seorang pendidik dan motivator
sehingga bimbingan dari beliau sangat bermanfaat dan menjadi pendorong
semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Prof. Dra. Arini Setiawati, PhD selaku pembimbing di bidang statistik. Ketelitian
dan kecermatan beliau sangat membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
Terima kasih atas bimbingan dan untuk waktu yang telah diberikan di tengah
kesibukan sehari-hari yang demikian padat.
4. Dr.dr. Widya Artini, SpM(K), dr. Elvioza, SpM(K) dr Yudisianil, SpM (K) dan
dr.Tri Rahayu, SpM(K) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk
menyelesaikan pendidikan spesialiasi mata ini.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI yang telah
memberi banyak ilmu pengetahuan dan keterampilan selama saya menjalani
pendidikan. Semoga ilmu dan keterampilan tersebut dapat saya amalkan dengan
baik di mayarakat.
6. Perawat dan seluruh karyawan departemen Ilmu Kesehatan Mata yang tidak
mungkin saya sebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini.
! iv!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
7. Staf tata usaha S2: Ibu Kholidah dan Mba Siti. Terimakasih atas kesabaran dan
bantuannya dalam membantu saya untuk menyelesaikan semua kewajiban selama
masa pendidikan.
8. Teman-teman residen mata yang telah membantu saya sejak awal sampai akhir
masa penelitian. Terimakasih untuk kerjasama dan dukungan yang telah
diberikan.
9. Sahabat seangkatan saya : Yusran, Asih, Lika, Sindy, dan Suci. Terima kasih
untuk pertemanan, kekompokan dan canda tawanya yang membuat pendidikan ini
terasa lebih menyenangkan.
10. Orang tua saya yang sangat saya sayangi dan hormati: papa Iman, mama Aan,
papa bambang, dan mama Ina di tengah merekalah saya selalu merasakan
kehangatan. Terima kasih tak terhingga untuk segala dukungan dan do’a yang
tidak pernah putus dipanjatkan selama saya menjalani pendidikan ini. Hanya
Allah SWT yang dapat membalasnya
11. Istriku tercinta dr Natasya Prameswari. Terima kasih telah memberikan
dukungan, kasih sayang, kesabaran dan ketenangan dalam saya menjalani
pendidikan. Terima kasih untuk segala cinta, kepercayaan dan kebanggaan yang
selalu diberikan terhadap saya.
Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan penelitian ini. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi
masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
Soefiandi Soedarman
! v!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! vi!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
PROFILAKSIS TETES MATA NEPAFENAC 0,1% TERHADAP PERUBAHAN
MAKULA PASCA FAKOEMULSIFIKASI PADA PENDERITA
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY
Studi pendahuluan menggunakan spectral-domain optical coherence tomography
(SD-OCT)
Abstrak
Tujuan : Untuk mengetahui perubahan ketebalan makula sebelum dan sesudah operasi
fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis
tetes mata nepafenac 0.1%.
Metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar. Sebanyak 36 subyek yang
memenuhi kriteria inklusi menjalani fakoemulsifikasi. Secara acak 18 subyek
mendapatkan tetes mata nepafenac 0,1 % dan sisanya mendapatkan tetes mata plasebo
yang dipakai 3 hari pre fakoemulsifikasi hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi.
Ketebalan fovea dan volume makula diukur dengan SD-OCT pre-fakoemulsifikasi dan
minggu ke-4 pasca fakoemulsifikasi. Dilakukan juga pengukuran tajam penglihatan
dengan koreksi (TPDK) dan tingkat peradangan di bilik mata depan.
Hasil : Didapatkan peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo 4 minggu pasca
fakoemulsifikasi secara statistik berbeda bermakna (uji-t berpasangan, p=0,022). Pada
kelompok nepafenac tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna 4
minggu pasca fakoemulsifikasi (uji-t berpasangan, p = 0,538). Didapatkan 1 pasien pada
kelompok plasebo mengalami CME. Pada penilaian perubahan volume makula 4 minggu
pasca fakoemulsifikasi, terdapat peningkatan volume makula pada ke-2 kelompok yang
bermakna secara statitistik (uji-t berpasangan, p<0,05) tetapi antar kedua kelompok tidak
bermakna (uji-t tidak berpasangan, p= 0,621). Secara klinis presentase tingkat
peradangan di bilik mata depan pada kelompok plasebo lebih besar dibandingkan
kelompok nepafenac pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (38,9% : 5,6%) walaupun secara
statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (uji Kolmogorov-Smirnov,
p=0,27). Kelompok nepafenac secara klinis mendapatkan TPDK yang lebih baik
dibandingkan kelompok placebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi walaupun secara
statistik tidak berbeda bermakna (uji t tidak berpasangan, p=0,991).
Kesimpulan : Pemberian tetes mata nepafanac 0,1% dapat mencegah penebalan fovea
secara bermakna (klinis dan statistik) 4 minggu pasca fakoemulsifikasi pada penderita
NPDR ringan-sedang. Secara klinis pemberian tetes mata nepafenac 0,1% dapat
mengurangi resiko peradangan di bilik mata depan, resiko terjadinya CME, dan
penurunan tajam penglihatan meskipun tidak mencapai kemaknaan secara statistik bila
dibandingkan dengan plasebo.
Kata kunci: nepafenac, ketebalan makula, fakoemulsifikasi, diabetic retinopati, SD-
OCT.
! vii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
THE EFFECT OF PROPHYLACTIC NEPAFENAC 0,1% EYE DROPS ON
MACULAR CHANGES AFTER PHACOEMULSIFICATION IN
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY PATIENTS USING
SPECTRAL DOMAIN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY (SD-OCT)
A Preliminary Report
Abstract
Aim : To evaluate the effect of prophylactic nepafenac eye drops on macular thickness
changes after phacoemulsification surgery in mild to moderate NPDR patients.
Method : This study is an open label randomized clinical trial. Thirty-six subjects who
met the inclusion criteria underwent phacoemulsification. One group (18 subjects) were
given nepafenac 0,1% eye drops and the rest were given placebo; both products were
used 3 days before phacoemulsification until 14 days after phacoemulsification. Foveal
thickness and total macular volume were measured by SD-OCT before surgery and the
fourth week after phacoemulsification. Best corrected visual acuity (BCVA) and degree
of inflammation in the anterior chamber were also being assessed.
Result : There was a statistically significant increase foveal thickness in the placebo
group 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p=0,022). In the nepafenac group
there was no significant changes in the foveal thickness 4 weeks after
phacoemulsification (paired t-test, p = 0,538). One patient in the placebo group had
CME. There was an increased in total macular volume, which were statistically
significant in both groups (paired t-test, p<0,05) although not significantly different
between the two groups (unpaired t-test, p= 0,621). Clinically, percentage degree of
inflammation in anterior chamber in placebo group was higher than nepafenac group
(38,9% : 5,6%) but not significantly different between 2 groups (Kolmogorov-Smirnov
test, p=0,27). Nepafenac group achieved clinically better BCVA than the placebo group 4
weeks after phacoemulsification, although statistically there was no significant difference
between two groups (unpaired t-test, p=0,991).
Conclusion : Nepafenac 0,1% eye drops could prevent foveal thickening 4 weeks after
phacoemulsification in mild to moderate NPDR patients. Clinically, nepafenac 0,1% eye
drops could decrease the risk of inflammation in the anterior chamber, risk of CME, and
vision deterioration although did not reach statistically significant.
Keywords: nepafenac, macular thickness, phacoemulsification, retinopathy diabetic, SD-
OCT.!
! viii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
DAFTAR ISI
! ix!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
3.2 Skema kerangka konsep ……………………………………………………. 18
BAB 4 Metodologi Penelitian .......................................................................................... 19
4.1 Desain penelitian …………………………………………………………… 19
4.2 Tempat dan waktu penelitian ………………………………………………. 19
4.3 Populasi dan sampel penelitian …………………………………………….. 19
4.4 Kriteria seleksi ……………………………………………………………... 19
4.5 Estimasi besar sampel ……………………………………………………… 21
4.6 Cara pengambilan sampel ………………………………………………….. 21
4.7 Alokasi sampel ……………………………………………………………... 22
4.8 Alur penelitian ……………………………………………………………... 23
4.9 Cara kerja penelitian ……………………………………………………….. 24
4.10 Rencana analisis …………………………………………………………... 26
4.11 Definisi operasional ………………………………………………………. 27
4.12 Etik ………………………………………………………………………... 29
BAB 5 Hasil penelitian ………………………………………………………………… 31
BAB 6 Pembahasan ……………………………………………………………………. 36
BAB 7 Simpulan dan Saran ……………………………………………………………. 42
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 43
! x!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
! xi!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
! xii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 1!
BAB 1
PENDAHULUAN
Salah satu komplikasi tersering dari penderita DM yang menjalani operasi katarak
ialah cystoid macular edema (CME). Cystoid macular edema merupakan suatu
keadaan yang dapat menyebabkan turunnya tajam penglihatan. Patogenesis
timbulnya CME diawali dengan adanya trauma pada iris, badan siliar, dan sel
epitel lensa pasca operasi katarak yang akan menyebabkan penglepasan fosfolipid
dan mengaktifkan mediator inflamasi seperti prostaglandin. Prostaglandin sebagai
mediator inflamasi yang berasal dari tiap sel yang rusak di bilik mata depan akan
berdifusi ke posterior dan menyebabkan kerusakan blood retinal barrier (BRB).
Kerusakan BRB ini akan meningkatkan permeabilitas kapiler perivofea dan
menyebabkan akumulasi cairan di outer plexiform layer dan inner retinal layer.6
Nepafenac (amfenac amide) merupakan suatu inhibitor COX-1 dan COX-2. Tidak
seperti tetes mata golongan NSAID lain, nepafenac bukan merupakan suatu free
acid, melainkan suatu NSAID prodrug (substansi inaktif yang akan menjadi aktif
setalah mengalami proses metabolik di dalam tubuh) yang memiliki efek
permeabilitas terbaik di kornea dibandingkan NSAID lainnya. Adanya
permeabilitas yang baik dari obat ini akan mengurangi paparan obat ini terhadap
permukaan kornea sehingga mengurangi risiko timbulnya toksisitas pada kornea.
Studi secara in-vitro menggunakan mata kelinci mendapatkan bahwa nepafenac
memiliki permeabilitas 6 kali lebih baik dibandingkan diklofenac serta memiliki
efek yang lebih baik dalam menghambat aktivitas COX-2 dibandingkan ketorolac
dan bromfenac.13,14 Singh et al15 dalam studinya mengatakan penggunaan
kombinasi tetes mata nepafenac 0,1% dan prednisolone 1 % selama 90 hari pasca
fakoemulsifikasi pada penderita retinopati diabetik secara signifikan mengurangi
risiko timbulnya CME dibandingkan dengan hanya pemberian tetes mata
prednisolone 1%.
1.4. Hipotesis
Terdapat perbedaan ketebalan makula 4 minggu sesudah operasi fakoemulsifikasi
pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis tetes mata
nepafenac 0.1%.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Elemen glial terdiri dari sel Muller yang merupakan sel glial yang memanjang
secara vertical dari ELM hingga ILM. Nukleus dari sel ini terletak pada INL. Sel
Muller bersama dengan elemen glial yaitu fibrous dan protoplasmic astrosit, serta
mikroglia merupakan struktur pendukung dan nutrisi pada retina. Elemen
vaskular retina terdiri dari 2 bagian, yaitu segmen dalam retina yang diperdarahi
oleh arteri retina sentralis dan segmen luar retina yang diperdarahi oleh arteri
koriokapilaris. Pada 50% orang, arteri silioretinal yang merupakan percabangan
dari sirkulasi siliaris, turut memperdarahi segmen dalam retina.17,18
Fovea (fovea centralis) adalah suatu daerah berdiameter 1,5 mm yang terletak di
daerah polus posterior, 3 mm lateral terhadap diskus optik. Daerah ini berfungsi
sebagai pusat tajam penglihatan dan penglihatan warna. Di dalam fovea terdapat
daerah tanpa pembuluh darah yang disebut foveal avascular zone (FAZ). Bagian
pusat dari FAZ ini dianggap sebagi pusat dari makula dan sebagai titik fiksasi.
16,17
Foveola adalah suatu penggaungan sentral di dalam fovea, terletak kurang lebih 4
mm temporal dan 0.8 mm inferior terhadap pusat diskus optik. Diameternya
kurang lebih 0.35 mm dengan cekungan pada pusat foveola yang disebut umbo.
Fotoreseptor di daerah foveola seluruhnya terdiri atas sel kerucut, sehingga sangat
berperan pada fungsi tajam penglihatan. Parafovea merupakan daerah berbebntuk
cincin yang mengelilingi fovea dengan diameter 0,5 mm dimana terdapat lapisan
sel ganglion, lapisan nuklear dalam, dan lapisan pleksiformis luar yang paling
tebal. Di sekeliling parafovea terdapat cincin dengan lebar 1.5 mm yang disebut
daerah perifovea.17,19
Kapiler retina terdiri dari satu lapis sel endotel yang dikelilingi oleh perisit. Perisit
merupakan otot polos dari kapiler yang berfungsi mengatur regulasi dari aliran
darah retina dengan cara berdilatasi dan berkontraksi sedangkan sel endotel
berfungsi mengatur regulasi homeostatik dari blood retinal barrier. Pada
retinopati diabetik, kelainan yang pertama kali terjadi adalah kerusakan dan
kehilangan sel-sel perisit.20,21 Studi dari Brignardello et al22 dengan menggunakan
kultur sel bovine mendapatkan bahwa peningkatan kadar glukosa bersifat toksik
terhadap perisit retina dalam 96 jam. Hilangnya sel perisit akan menginduksi
terjadinya proliferasi dari sel-sel endotel dan berkurangnya respon pembuluh
darah retina terhadap mediator-mediator lokal seperti nitric oxide (NO). Keadaan
ini akan menyebabkan gangguan pada proses atoregulasi dan perfusi dari vaskular
retina.
Komponen mikroglia yang dalam keadaan normal tidak aktif akan mengalami
aktivasi akibat diabetes. Zeng et al25 dalam studinya mengatakan adanya aktivasi
dari sel mikroglia ini akan meningkatkan penglepasan mediator-mediator
inflamasi seperti sitokin dan kemokin (VEGF dan tumor necrosis factor) yang
akan semakin meningkatkan kerusakan permeabilitas vaskular pada diabetes.
Sel–sel neural juga mengalami perubahan pada keadaan diabetes. Beberapa studi
mengatakan bahwa terdapat kehilangan dari sel-sel neural pada seseorang yang
memiliki diabetes. Diketahui bahwa terjadi kematian dari sel ganglion dan sel
lapisan inti dalam pada fase awal dari diabetik retinopati sehingga menyebabkan
terjadinya atrofi dari sel lapisan inti dalam dan berkurangnya jumlah dari sel
ganglion. Keadaan diatas dapat menimbulkan gangguan dari integritas blood-
retinal barrier dimana secara klinis dapat meyebabkan terjadinya edema
makula.20,21
Cystoid macular edema dibagi menjadi tipe angiografik dan klinis. Cystoid
macular edema angiografik adalah edema makula yang terdeteksi melalui
pemeriksaan FFA dan OCT tanpa disertai penurunan tajam penglihatan sedangkan
CME klinis merupakan edema makula yang berhubungan dengan penurunan
tajam penglihatan. Insiden CME yang dilaporkan sangat bervariasi dimana tipe
angiografik berkisar antara 3-70 persen sedangkan CME klinis antara 1-6%.6,27
Nepafenac (amfenac acide) merupakan suatu prodrug dari NSAID yang akan
mengalami bioaktivasi menjadi amfenac yaitu NSAID poten yang menghambat
aktivitas COX-1 dan COX-2, pada jaringan okular seperti badan siliar, retina dan
koroid. Dibandingkan NSAID lainnya, nepafenac memiliki efek permabilitas
terbaik di kornea.13 Ke et al28 dalam studinya mengatakan bahwa nepafenac
memiliki efek permeabilitas 6x lebih baik dibadingkan diklofenac serta memiliki
efek yang lebih baik dalam menghambat aktivitas COX-2 dibandingkan ketorolac
dan bromfenac.
Perubahan refektiviti dari jaringan merupakan elemen penting pada analisa OCT.
Membran limitan interna terlihat jelas pada OCT karena kontras antara vitreus
yang tidak atau kurang memantulkan (non-reflective) dan retina yang mudah
memantulkan (higly reflective). Lapisan pleksiform internal dan eksternal dapat
dikenali dengan sedikit memantulkan (slightly reflective). Tingkat pantulan
lapisan pleksiform lebih tinggi dari lapisan inti. Bagian luar sensoris retina
dibatasi oleh area yang sangat memantulkan gelombang (high reflective) setebal
70 mikron yang merupakan lapisan epitel pigmen retina. Membran bruch dan
lapisan koriokapiler umumnya terlihat sebagai strukur yang less reflective.
Lapisan fotoreseptor membentuk pita yang poor reflective di depan RPE. Poor
reflective terjadi karena orientasi sel-sel fotoreseptor. Pita fotoreseptor lebih tebal
di area depresi kornea. Pembuluh darah normal yang terletak di NFL dapat
dikenali dengan adanya shadow areas yang terbentuk di lapisan posterior.31.32
Sejak 2004, SD-OCT dengan standar yang lebih tinggi telah memasuki praktek
klinik dengan resolusi 1 - 5 mikron serta dengan peningkatan visualisasi pada
karakteristik morfologi dan patologi retina. Teknologi SD-OCT menggunakan
low-coherence interferometry untuk mendeteksi pantulan cahaya, dengan
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 16!
Gambar 8. Gambaran 3 dimensi pada daerah makula dan sekitarnya menggunakan Topcon
35
3D-OCT 2000
BAB 3
KERANGKA KONSEP
DM! Hiperglikemia!
Aldose! AGE!
Reduktase!
AGE!product!
Aktivasi!sorbitol! ↑!!
↑!
! Endhotelin!↑!
Kerusakan!
seluluer! Reseptor!endhotelin!pada!
perisit!
Hipoksia!
Inflamasi!
Kematian!perisit! Vasokontriksi!
Angiogenesis! VEGF!↑! Rusaknya!
BRB!
Sitotoksik
Edema!Makula!
!
Permeabilitas! Vasogeni
Vaskular! k! Ekstraselule Intraselule
r! r!
Cystoid&Macular&Edema&
Difus!
Operation!irritation!&!
inflammation! Rusaknya!
BRB!
Corticosteroi
Asam!arakidonat!
d!
Aktivasi!phosfolipase! Prostaglandin!
cyclooksigena
se!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 19!
Fakoemulsifikasi
Volume!Makula(
Jumlah!Cells!&!Flare(
Keterangan Gambar:
: Keluaran Primer
: Keluaran Sekunder
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
2
n1 = n2 = 2 (Zα + Zβ)S
(x1 –x2)
Karena keterbatasan waktu dan dana penelitian, maka ditetapkan besar sampel
untuk setiap kelompok n1 = n2 = 18 mata.
4.10. Analisis
Data penelitian yang dicatat di dalam formulir penelitian akan dimasukkan ke
dalam tabel induk di komputer. Data perbedaan nilai sebelum dan sesudah
intervensi akan diuji normalitasnya terlebih dahulu dengan uji Kolmogorov-
Smirnov. Distribusi data dengan sebaran normal (p>0.05) disajikan dalam bentuk
mean (standard deviation).
Gambar10. Peta retina yang terbagi menjadi 3 lingkaran; lingkaran paling dalam
radius 1mm (fovea), lingkar tengah 2 mm (kuadran dalam) dan lingkar luar 3 mm
(kuadran luar)40
4.12. Etik
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dengan no 135/H2.F1/ETIK/2013.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada tabel di atas diketahui bahwa terdapat 36 subyek penelitian yang tersebar
merata pada kedua kelompok. Rerata usia pasien yakni 60 tahun pada kelompok
nepafenac dan 64 tahun pada kelompok plasebo. Sebagian besar subyek pada
kedua kelompok memiliki jenis retinopati NPDR ringan dan derajat katarak NO3,
NC3. Tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) pre-operasi, rerata tingkat
HbA1c dan phaco time antara kedua kelompok memiliki nilai yang hampir sama.
Pada tabel diatas, setelah diuji normalitasnya terlebih dahulu dengan uji
Kolmogorov-Smirnov didapatkan distribusi data dengan sebaran normal pada
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 33!
Tabel 5.4. Perbandingan volume makula (total macular volume) antar kedua
kelompok sebelum dan 4 minggu sesudah fakoemulsifikasi
Regio Nepafenac Plasebo p*
Volume makula (mm3)
Pre-operasi (SD) 7,57 (0,63) 7,57 (0,86) 0,991
Pasca-operasi (SD) 8,01 (0,79) 8,12 (1,32) 0,762
Delta perubahan 0,43 (0,48) 0,55 (0,83) 0,621
p** 0,012 0.001
* uji t tidak berpasangan
** uji t berpasangan
Tabel 5.5 Perbandingan rerata jumlah sel hari-1 antar kedua kelompok
Jumlah Sel Hari I
Trace +1 +2 p
N % n % n %
Nepafenac 2 11,1 15 83,3 1 5,6 0,27
Plasebo 0 0 11 61,1 7 38,9
Total 2 5,6 26 72,2 8 22,2
* : Uji Kolmogorv-Smirnov
Berdasarkan tabel 5.5, rerata jumlah sel pada hari pertama menunjukkan bahwa
kelompok plasebo memiliki persentase peradangan intraokular yang lebih besar
dibandingkan kelompok nepafenac (38,9% : 5,6%) walaupun jika dianalisa secara
statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0,27). Pada follow-up
minggu ke 4 jumlah rerata jumlah sel di semua subyek penelitian telah menurun
menjadi 0.
Berdasarkan tabel 5.6 kedua kelompok memliki TPDK yang hampir sama
sebelum fakoemulsifikasi dan secara analisa statistik tidak berbeda bermakna (p =
1,000). Pada tabel ini didapatkan bahwa kelompok nepafenac mendapatkan tajam
penglihatan yang lebih baik dibandingkan kelompok plasebo setelah
fakoemulsifikasi walaupun jika dianalisa secara statistik tidak berbeda bermakna
(p=0,991). Pada kelompok nepafenac pada seluruh subyek mendapatkan tajam
penglihatan 6/6 (logMar 0) dimana pada kelompok plasebo terdapat 3 pasien
dengan tajam penglihatan 6/7,5 (logMar 0,1) dan satu pasien dengan CME tajam
penglihatan 6/30 (logMar 0,7).
Berdasarkan tabel diatas tidak ada satupun subyek yang mengalami efek samping
pada pemberian tetes mata nepafenac.
BAB 6
PEMBAHASAN
Katarak dan diabetik retinopati merupakan penyakit mata yang cukup sering
ditemukan. Studi oleh Klein et al41 mendapatkan individu dengan katarak pada
penderita diabetes 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan individu tanpa
diabetes. Penelitian lain oleh West et al42 mengatakan secara biokimia pada
penderita diabetes terjadi peningkatan glukosa ataupun galaktosa di dalam lensa
yang dapat menyebabkan efek hiperosmotik di dalam lensa seperti pembengkakan
serabut lensa, pembentukan vakoula dan kekeruhan lensa.
Pada penelitian ini, usia subyek penelitian berkisar antara 60 hingga 65 tahun di
kedua kelompok dimana hal ini sesuai dengan data yang ditunjukkan oleh
Framingham Eye Study dan National Health & Nutrition Examination Survey
(NHANES) bahwa risiko katarak senilis meningkat menjadi 3-4 kali lipat hingga
umur 65 tahun pada pasien diabetes. Semua subyek pada penelitian ini memiliki
rerata kadar HbA1c > 7% dengan NPDR ringan-sedang, dan tidak berbeda
bermakna antara kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan studi oleh Kohner43 yang
mengatakan bahwa pada penderita NPDR ringan-sedang rata-rata memiliki kadar
HbA1c berkisar antara 8-9%. Dengan tidak adanya perbedaan yang bermakna
antara kedua kelompok, menunjukkan berat kerusakan BRB pada saat dilakukan
operasi fakoemulsifikasi diasumsikan tidak berbeda bermakna.
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya CME ialah durasi effective
phaco time (EPT). Rerata durasi EPT pada kedua kelompok pada penelitian ini
berkisar 52-53 detik atau kurang dari 1 menit dimana secara statistik tidak berbeda
bermakna antar 2 kelompok. Studi oleh Dholakia et al44 mengatakan dari 165
pasien yang dilakukan fakoemusifikasi dengan EPT < 1 menit, setelah dilakukan
follow up 1 dan 6 bulan tidak terdapat satupun pasien yang mengalami CME.
Walau demikian terdapat satu pasien dalam penelitian ini dengan EPT 44 detik
namun mengalami CME. Peneliti menyimpulkan keadaan tersebut mungkin
berkaitan dengan kondisi lain pada pasien seperti adanya kondisi kerusakan
vaskular pada retina akibat diabetik retinopati sebelum dilakukan tindakan
fakoemulsifikasi. Hal ini didukung oleh studi dari Henderson et al45 yang
mengatakan bahwa EPT tidak secara spesifik mempengaruhi terjadinya CME
namun kerusakan vaskular retina sebelum operasi merupakan salah satu faktor
terjadinya CME pasca tindakan fakoemulsifikasi.
Penelitian ini menggunakan SD-OCT jenis 3D OCT 2000 (TOPCON). Studi oleh
Han et al46 mengatakan bahwa SD-OCT memiliki keakuratan lebih baik dalam
mengukur ketebalan fovea dibandingkan TD-OCT. Beberapa studi mengatakan
bahwa ketebalan normal fovea jika dilakukan pengukuran dengan SD-OCT
berkisar dari 154-282 µm, 51-72,5 µm lebih tinggi dibandingkan jika dilakukan
pengukuran dengan menggunakan TD-OCT. Pada penelitian ini ketebalan fovea
sebelum dilakukan fakoemulsifikasi di kedua kelompok berkisar antara 153 – 274
µm. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum dilakukan fakoemulsifikasi semua
subyek penelitian belum mengalami CSME ataupun DME.34,46
Penelitian ini merupakan suatu uji klinis, prospektif, randomisasi, dan open-
blinded evaluation dan merupakan penelitian pertama di Indonesia yang menilai
efek profilaksis tetes mata nepafenac 0,1 % terhadap perubahan makula pasca
fakoemulsifikasi pada penderita NPDR. Nepafenac merupakan suatu NSAID
prodrug yang memiliki efek permeabilitas terbaik di kornea dibandingkan NSAID
lain. Studi dari Lindstrom et al47 dan Nardi M48 mengatakan bahwa nepafenac
merupakan satu-satunya inhibitor COX-1-COX 2 yang dapat berpenetrasi hingga
ke retina sehingga diharapkan pemberian obat ini dapat mengurangi risiko
terjadinya CME pada high-risk katarak seperti pada penelitian ini. Studi di-atas
sesuai dengan hasil dari penelitian ini dimana pada kelompok nepafenac tidak ada
satupun subyek yang mengalami CME dan tidak terjadi perubahan ketebalan
fovea yang bermakna 4 minggu pasca fakoemulsifikasi.
Tujuan utama penelitian ini ialah mengetahui perubahan ketebalan makula pasca
fakoemulsifikasi dengan dan tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0,1 %. Pada
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 38!
penelitian ini, tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna pada
kelompok nepafenac sedangkan pada kelompok plasebo didapatkan peningkatan
perubahan rerata ketebalan fovea sebesar 47 µm yang secara klinis dan statistik
memiliki kemaknaan. Penelitian oleh Singh et al15 mendapatkan peningkatan
ketebalan fovea sebesar 40 µm dapat menyebabkan turunnya tajam penglihatan >
5 huruf.
Studi lain yang mendukung pemberian tetes mata nepafenac dapat menurunkan
risiko terjadinya CME pasca fakomulsifikasi antara lain studi dari Miyake et al6,
Almeida et al11, Lindstrom47, dan Wolf 49. Perbedaaan ke-4 studi tersebut dengan
penelitian ini ialah bahwa pada ke-4 studi tersebut semua subyek penelitian
merupakan pasien katarak tanpa retinopati diabetik.
Pada penelitian ini durasi pemberian tetes mata nepafenac sesuai dengan
rekomendasi dari studi-studi sebelumnya, yaitu 1-3 hari sebelum fakoemulsifikasi
hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi.6,11,47,49 Perbedaan studi ini dengan studi
yang dilakukan Singh et al15 ialah bahwa pada studi tersebut pemberian profilaksis
nepafenac diberikan 1 hari sebelum operasi hingga hari ke 90 pasca operasi.
Selain ketebalan fovea, pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran volume
makula (total macular volume). Kebocoran pada makula selain menyebabkan
penebalan makula juga akan menunjukkan adanya penambahan volume pada
makula. Tidak banyak penelitian lain yang mengevaluasi perubahan volume
makula karena ketebalan makula yang berhubungan langsung dengan tajam
penglihatan dan bukan volume.38
Pada grup nepafenac dalam penelitian ini perubahan volume makula tidak sejalan
dengan perubahan ketebalan makula, dimana pada pengukuran ketebalan fovea
terjadi kecenderungan perubahan yang menurun sedangkan pada pengukuran
volume makula terjadi kecenderungan peningkatan pada evaluasi minggu ke-4
pasca fakoemulsifikasi. Peneliti menyimpulkan keadaan ini mungkin terjadi
karena volume makula yang terukur ialah volume keseluruhan makula bukan
volume fovea.
Selain volume makula, secondary outcome yang dinilai dalam penelitian ini ialah
perbandingan jumlah sel di bilik mata depan dan perbandingan tajam penglihatan
dengan koreksi (TPDK) antar 2 kelompok. Pada penelitian ini tingkat peradangan
di bilik mata depan didapatkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik
antara kedua kelompok pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (p=0,27), meskipun
jika melihat persentase, pada kelompok plasebo memiliki persentase lebih besar
dalam jumlah sel di bilik mata depan dibandingkan kelompok nepafenac (38,9% :
5,6%). Hal ini berbeda dengan studi yang dilakukan Lane et al29, dimana pada
studi tersebut menunjukkan kelompok nepafenac secara statistik menurunkan
reaksi inflamasi di bilik mata depan dibandingkan kelompok plasebo. Kelemahan
metodologi pada penelitian ini adalah jumlah sampel yang lebih sedikit dan
pengukuran jumlah sel yang tidak mengggunakan flaremeter, dimana alat ini lebih
sensitif dalam pengukuran jumlah sel di bilik mata depan dibandingkan
pengukuran jumlah sel dengan metode klasifikasi Nussenblatt.39 Peneliti juga
melakukan pengukuran jumlah sel pada akhir follow-up (4 minggu pasca
fakoemulsifikasi) namun dikarenakan seluruh subyek pada kedua kelompok
mendapatkan jumlah sel 0, analisa statistik tidak dapat dilakukan.
Studi Singh et al15 mengatakan bahwa tetes mata nepafenac dapat mengurangi
risiko penurunan tajam penglihatan satu bulan pasca fakoemulsifikasi pada pasien
retinopati diabetik. Pada penelitian ini, didapatkan 4 pasien pada kelompok
plasebo mendapatkan tajam penglihatan < 6/6 setelah 4 minggu pasca
fakoemusifikasi, namun jika dibandingkan dengan kelompok nepafenac secara
statitistik tidak berbeda bermakna (p=0,16). Jika dikorelasikan dengan ketebalan
fovea, ke-4 pasien tersebut mengalami peningkatan ketebalan fovea > 20 % 4
minggu pasca operasi katarak. Hal ini sesuai dengan studi oleh Nicholas et al50
yang menunjukkan korelasi yang positif antara penurunan tajam penglihatan
dengan peningkatan ketebalan fovea ± 20% 6 minggu pasca operasi
fakoemulsifikasi.
Dilaporkan bahwa tetes mata nepafenac dapat memberikan efek samping berupa
sensasi benda asing, nyeri pada mata, fotofobia, reaksi alergi dan gangguan
gastrointestinal.29 Pada penelitian ini semua subyek pada kelompok nepafenac
tidak mengalami efek samping yang disebutkan diatas.
Penelitian ini memiliki kelebihan berupa desain uji klinis randomisasi yang
tersamar. Hingga saat ini, belum ada penelitian sebelumnya di Indonesia yang
menilai efektivitas obat tetes mata nepafenac 0,1%, sehingga penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan. Kelebihan lain dari penelitian ini ialah
Kelemahan dari penelitian ini antara lain jumlah sampel dalam penelitian ini
terlalu kecil sehingga perbedaan yang seharusnya bermakna menjadi kurang
bermakna, seperti pada perubahan ketebalan fovea antara kedua kelompok 4
minggu pasca fakoemulsifikasi. Kelemahan lainnya ialah pengukuran reaksi
inflamasi di bilik mata depan yang tidak menggunakan flaremeter.
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. SIMPULAN
1. Terdapat peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo yang
bermakna secara klinis dan statistik sedangkan pada kelompok nepafenac
tidak didapatkan perubahan pada evaluasi minggu ke 4.
2. Terdapat peningkatan volume makula pada kedua kelompok yang
bermakna secara statistik namun peningkatan tersebut tidak berbeda
bermakna jika dibandingkan antar kedua kelompok pada evaluasi minggu
ke-4.
3. Kelompok nepafenac secara klinis mengurangi risiko timbulnya
peradangan di bilik mata depan dibandingkan kelompok plasebo pada
evaluasi hari-1 walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna.
4. Pemberian tetes mata nepafenac secara klinis dapat mengurangi risiko
terjadinya CME dan penurunan tajam penglihatan dibandingkan plasebo
pada evaluasi minggu ke-4 walaupun secara statitistik tidak berbeda.
7.2. SARAN
Perlu dilanjutkan dengan penelitian yang sama dengan subyek yang lebih
banyak sehingga perbedaan klinis yang bermakna dapat mencapai
kemaknaan statistik agar dapat diambil kesimpulan yang sahih.
DAFTAR PUSTAKA
14. Gamache DA, Graff G, Brady MT, Spellman JM, Yanni JM. Nepafrenac,
a unique nonsteroidal prodrug with potential utility in the treatment of
trauma-induced ocular inflammation: I. Assessment of anti-inflammatory
efficacy. Inflammation 2000;24:371-84.
15. Singh R, Alpern L, Jaffe GJ, Lehmann RP, Lim J, Reiser H et al.
Evaluation of nepafenac in prevention of macular edema following
cataract surgery in patients with diabetic retinopathy. Clinical
Ophthalmology 2012;6:1259-69,
16. American Academy Ophthalmology Staff. In: fundamentals and principles
of ophthalmology. Basic and clinical science course; 2011: p41-86.
17. American Academy of Ophthalmology Staff. In: retina and vitreous. Basic
and clinical science course: 2011. p109-32
18. Bringmann A, Pannicke T, Grosche J, Francke M, Wiedemann P,
Skatchkov SN, et al. Muller cells in the healthy and diseased retina.
Progress in Retinal and Eye Research 2006;25:397-424
19. Forrester JV, Dick AD, McMenamin PG, Lee WR. In: anatomy of the eye
and orbit. London: WB Saunders; 2002. p. 1-87.
20. Ciulla TA, Harris A, Latkany P, Piper HC, Arend O, Garzozi H, et al.
Ocular perfusion abnormalities in diabetes. Acta Ophthalmol Scand 2002;
80: 468-77.
21. Gardner TW, Antonetti , Barber AJ, LaNoue KF, Levison SW,. Diabetic
retinopathy: more than meets the eye. Surv Ophthalmol
2002;47(suppl):253-62.
22. Brignardello E, Beltramo E. Dehydroepiandrosterone protects bovine
retinalcapillary pericytes against glucose toxicity. J Endocrinol
1998;158:21–6.
23. Barber AJ, Antonetti DA, Gardner TW. Altered expression of retinal
occludin and glial fibrillary acidic protein in experimental diabetes. Invest
Ophthalmol Vis Sci 2000;41:3561–8.
24. Rungger-Brandle E, Dosso AA, Leuenberger PM. Glial reactivity, an early
feature of diabetic retinopathy. Invest Ophthalmol Vis Sci 2000;41:1971–
80.
25. Zeng XX, Ng YK, Ling EA. Neuronal and microglial response in the
retina of streptozotocin-induced diabetic rats. Vis Neurosci 2000;17:463–
71.
26. Tranos PG, Wickremasinghe SS, Stangos NT, Topouzis F, Tsinopoulos I,
Pavesio CE. Macular edema. Surv Ophthalmol 2004;49(5):470-90.
27. Flach AJ. The incidence, pathogenesis and treatment of cyctoid macular
edema, following cataract surgery. Tr Am Ophth Soc 1998;96:556-618.
28. Ke T-L, Graff G, Spellman JM, Yanni JM. Nepafenac, a unique non-
steroidal prodrug with potential utility in the treatment of trauma-induced
ocular inflammation: II. In vitro bioactivation and permeation of external
ocular barriers. Inflammation 2000;24:371-84.
29. Lane SS, Modi SS, Lehmann RP, Holland EJ. Nepafenac ophthalmic
suspension 0.1 % for the prevention and treatment of ocular inflammation
associated with cataract surgery. J Cataract Refract Surg 2007;33:53-8.
30. Kapin Ma, Yanni JM, Brady MT. Inflammation-mediated retinal edema in
the rabbit is inhibited by topical nepafenac. Inflammation 2003;27:281-91.
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 45!
I. Identitas
No. : …………………… No. rekam medis :…………………….
Nama : …………………………………………..jenis kelamin : L/P
Usia : ……………………….. tahun
Alamat : …………………………………………………………………….
……………………………………………………………………...
Telepon: Rumah/Kantor : ……………………….................................
Handphone : ……………………….................................
Reaksi alergi
Gangguan gastrointestinal
Lain-lain
saat melihat dekat selama kurang lebih 4 jam Bapak/Ibu akan mendapat obat
dalam bentuk tetes mata yang harus digunakan setiap hari, mulai dari 3 hari
sebelum operasi katarak hingga 14 hari setelah operasi katarak. Frekuensi
pemberian obat ini sebanyak 3 kali dalam sehari.
Bapak/Ibu bebas menolak berpartisipasi atau mengundurkan diri dalam
penelitian ini karena sesuatu hal, Jika Bapak/Ibu bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini, Bapak/Ibu harus mengikuti aturan dan tatacara penelitian ini. Jika
selama penelitian terdapat hal yang belum jelas atau keluhan lainnya, Bapak/Ibu
boleh datang untuk kontrol kapan saja atau menghubungi: Dr. Soefiandi
Soedarman di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSCM Kirana, nomor telepon:
08181289094
Kami akan menjaga kerahasiaan Bapak/Ibu, sehingga data dalam
penelitian ini hanya akan diketahui oleh peneliti. Terima kasih atas perhatian dan
kerjasama Bapak/Ibu sekalian. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk
pencegahan kebutaan yang disebabkan oleh kencing manis dan katarak di masa
yang akan datang
Jakarta, ………………………2013
Tanda tangan pasien dan nama jelas
………………………………………
! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!Universitas Indonesia
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013