Anda di halaman 1dari 64

UNIVERSITAS INDONESIA

PROFILAKSIS TETES MATA NEPAFENAC 0.1% TERHADAP


PERUBAHAN MAKULA PASCA FAKOEMULSIFIKASI PADA
PENDERITA
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY
Studi&pendahuluan&menggunakan&spectral3domain&optical&coherence&tomography&
(SD3OCT)&&

&
TESIS

SOEFIANDI SOEDARMAN
0906565236

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

PROGRAM STUDI DOKTER SPESIALIS

ILMU KESEHATAN MATA

JAKARTA

DESEMBER 2013

! i!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! ii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! iii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya,
sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian saya yang merupakan salah satu syarat
akademik untuk menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian dan penulisan tesis ini tidak mungkin
dapat diselesaikan tanpa bantuan, bimbingan dan dukungan moril dari berbagai pihak. Oleh
karena itu saya ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:

1. dr. Ari Djatikusumo, SpM (K) selaku pembimbing utama dan pencetus ide
penelitian. Terima kasih untuk kesempatan yang telah diberikan dan juga
kesabarannya dalam membimbing saya menyelesaikan penelitian ini
2. dr Syska Widyawati, SpM, beliau merupakan seorang pendidik dan motivator
sehingga bimbingan dari beliau sangat bermanfaat dan menjadi pendorong
semangat untuk menyelesaikan penelitian ini.
3. Prof. Dra. Arini Setiawati, PhD selaku pembimbing di bidang statistik. Ketelitian
dan kecermatan beliau sangat membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
Terima kasih atas bimbingan dan untuk waktu yang telah diberikan di tengah
kesibukan sehari-hari yang demikian padat.
4. Dr.dr. Widya Artini, SpM(K), dr. Elvioza, SpM(K) dr Yudisianil, SpM (K) dan
dr.Tri Rahayu, SpM(K) yang selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk
menyelesaikan pendidikan spesialiasi mata ini.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata FKUI yang telah
memberi banyak ilmu pengetahuan dan keterampilan selama saya menjalani
pendidikan. Semoga ilmu dan keterampilan tersebut dapat saya amalkan dengan
baik di mayarakat.
6. Perawat dan seluruh karyawan departemen Ilmu Kesehatan Mata yang tidak
mungkin saya sebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan dalam
menyelesaikan penelitian ini.

! iv!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
7. Staf tata usaha S2: Ibu Kholidah dan Mba Siti. Terimakasih atas kesabaran dan
bantuannya dalam membantu saya untuk menyelesaikan semua kewajiban selama
masa pendidikan.
8. Teman-teman residen mata yang telah membantu saya sejak awal sampai akhir
masa penelitian. Terimakasih untuk kerjasama dan dukungan yang telah
diberikan.
9. Sahabat seangkatan saya : Yusran, Asih, Lika, Sindy, dan Suci. Terima kasih
untuk pertemanan, kekompokan dan canda tawanya yang membuat pendidikan ini
terasa lebih menyenangkan.
10. Orang tua saya yang sangat saya sayangi dan hormati: papa Iman, mama Aan,
papa bambang, dan mama Ina di tengah merekalah saya selalu merasakan
kehangatan. Terima kasih tak terhingga untuk segala dukungan dan do’a yang
tidak pernah putus dipanjatkan selama saya menjalani pendidikan ini. Hanya
Allah SWT yang dapat membalasnya
11. Istriku tercinta dr Natasya Prameswari. Terima kasih telah memberikan
dukungan, kasih sayang, kesabaran dan ketenangan dalam saya menjalani
pendidikan. Terima kasih untuk segala cinta, kepercayaan dan kebanggaan yang
selalu diberikan terhadap saya.

Akhir kata, terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan penelitian ini. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi
masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 15 Desember 2013

Penulis

Soefiandi Soedarman

! v!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! vi!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
PROFILAKSIS TETES MATA NEPAFENAC 0,1% TERHADAP PERUBAHAN
MAKULA PASCA FAKOEMULSIFIKASI PADA PENDERITA
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY
Studi pendahuluan menggunakan spectral-domain optical coherence tomography
(SD-OCT)

Soefiandi Soedarman, Ari Djatikusumo1, Syska Widyawati1, Arini Setiawati2


1
Departemen Ilmu Kesehatan Mata, 2Departemen Farmakologi & Teraupetik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

Abstrak
Tujuan : Untuk mengetahui perubahan ketebalan makula sebelum dan sesudah operasi
fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis
tetes mata nepafenac 0.1%.
Metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar. Sebanyak 36 subyek yang
memenuhi kriteria inklusi menjalani fakoemulsifikasi. Secara acak 18 subyek
mendapatkan tetes mata nepafenac 0,1 % dan sisanya mendapatkan tetes mata plasebo
yang dipakai 3 hari pre fakoemulsifikasi hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi.
Ketebalan fovea dan volume makula diukur dengan SD-OCT pre-fakoemulsifikasi dan
minggu ke-4 pasca fakoemulsifikasi. Dilakukan juga pengukuran tajam penglihatan
dengan koreksi (TPDK) dan tingkat peradangan di bilik mata depan.
Hasil : Didapatkan peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo 4 minggu pasca
fakoemulsifikasi secara statistik berbeda bermakna (uji-t berpasangan, p=0,022). Pada
kelompok nepafenac tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna 4
minggu pasca fakoemulsifikasi (uji-t berpasangan, p = 0,538). Didapatkan 1 pasien pada
kelompok plasebo mengalami CME. Pada penilaian perubahan volume makula 4 minggu
pasca fakoemulsifikasi, terdapat peningkatan volume makula pada ke-2 kelompok yang
bermakna secara statitistik (uji-t berpasangan, p<0,05) tetapi antar kedua kelompok tidak
bermakna (uji-t tidak berpasangan, p= 0,621). Secara klinis presentase tingkat
peradangan di bilik mata depan pada kelompok plasebo lebih besar dibandingkan
kelompok nepafenac pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (38,9% : 5,6%) walaupun secara
statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (uji Kolmogorov-Smirnov,
p=0,27). Kelompok nepafenac secara klinis mendapatkan TPDK yang lebih baik
dibandingkan kelompok placebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi walaupun secara
statistik tidak berbeda bermakna (uji t tidak berpasangan, p=0,991).
Kesimpulan : Pemberian tetes mata nepafanac 0,1% dapat mencegah penebalan fovea
secara bermakna (klinis dan statistik) 4 minggu pasca fakoemulsifikasi pada penderita
NPDR ringan-sedang. Secara klinis pemberian tetes mata nepafenac 0,1% dapat
mengurangi resiko peradangan di bilik mata depan, resiko terjadinya CME, dan
penurunan tajam penglihatan meskipun tidak mencapai kemaknaan secara statistik bila
dibandingkan dengan plasebo.
Kata kunci: nepafenac, ketebalan makula, fakoemulsifikasi, diabetic retinopati, SD-
OCT.

! vii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
THE EFFECT OF PROPHYLACTIC NEPAFENAC 0,1% EYE DROPS ON
MACULAR CHANGES AFTER PHACOEMULSIFICATION IN
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY PATIENTS USING
SPECTRAL DOMAIN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY (SD-OCT)
A Preliminary Report

Soefiandi Soedarman1, Ari Djatikusumo1, Syska Widyawati1, Arini Setiawati2


1
Department of Ophthalmology, 2Department of Pharmacology & Therapeutic
Faculty of Medicine, University of Indonesia, Cipto-Mangunkusumo Hospital

Abstract
Aim : To evaluate the effect of prophylactic nepafenac eye drops on macular thickness
changes after phacoemulsification surgery in mild to moderate NPDR patients.
Method : This study is an open label randomized clinical trial. Thirty-six subjects who
met the inclusion criteria underwent phacoemulsification. One group (18 subjects) were
given nepafenac 0,1% eye drops and the rest were given placebo; both products were
used 3 days before phacoemulsification until 14 days after phacoemulsification. Foveal
thickness and total macular volume were measured by SD-OCT before surgery and the
fourth week after phacoemulsification. Best corrected visual acuity (BCVA) and degree
of inflammation in the anterior chamber were also being assessed.
Result : There was a statistically significant increase foveal thickness in the placebo
group 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p=0,022). In the nepafenac group
there was no significant changes in the foveal thickness 4 weeks after
phacoemulsification (paired t-test, p = 0,538). One patient in the placebo group had
CME. There was an increased in total macular volume, which were statistically
significant in both groups (paired t-test, p<0,05) although not significantly different
between the two groups (unpaired t-test, p= 0,621). Clinically, percentage degree of
inflammation in anterior chamber in placebo group was higher than nepafenac group
(38,9% : 5,6%) but not significantly different between 2 groups (Kolmogorov-Smirnov
test, p=0,27). Nepafenac group achieved clinically better BCVA than the placebo group 4
weeks after phacoemulsification, although statistically there was no significant difference
between two groups (unpaired t-test, p=0,991).
Conclusion : Nepafenac 0,1% eye drops could prevent foveal thickening 4 weeks after
phacoemulsification in mild to moderate NPDR patients. Clinically, nepafenac 0,1% eye
drops could decrease the risk of inflammation in the anterior chamber, risk of CME, and
vision deterioration although did not reach statistically significant.
Keywords: nepafenac, macular thickness, phacoemulsification, retinopathy diabetic, SD-
OCT.!

! viii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
DAFTAR ISI

Halaman judul …………………………………………………………………………… i


Halaman pengesahan orisinalitas ………………………………………………………...ii
Halaman pengesahan …………………………………………………………………… iii
Kata pengantar/ ucapan terima kasih ………………………………………………….... iv
Halaman persetujuan publikasi karya ilmiah …………………………………………… vi
Abstrak …...................................................................................................................... vii
Abstract ………………………………………………………………………………. viii
Daftar Isi ………............................................................................................................. ix
Daftar Gambar ………………………………………………………………………….,xi
Daftar Tabel ……………………………………………………………………………. xi
Daftar Lampiran …………………………………………………………………………xii
BAB 1 Pendahuluan ........................................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah ............................................................................................ 4
1.3 Tujuan penelitian ............................................................................................. 4
1.3.1 Tujuan umum .................................................................................... 4
1.3.2 Tujuan khusus .................................................................................. 4
1.4 Hipotesis …………………………………………………………………….. 5
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5
BAB 2 Tinjauan pustaka …................................................................................................ 6
2.1 Anatomi retina ................................................................................................ 6
2.2 Anatomi makula ……………........................................................................... 7
2.3 Perubahan sel-sel retina pada diabetes …......................................................... 8
2.4 Edema makula pasca operasi katarak pada pemderita diabetes...................... 10
2.5 Nepafenac sebagai Non-Steroid Anti-Inflammation Drugs (NSAID)............ 12
2.6 Spectral-Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT)...................... 13
BAB 3 Kerangka konsep ..................................................................................................17
3.1 Kerangka teori ……………………………………………………………… 17

! ix!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
3.2 Skema kerangka konsep ……………………………………………………. 18
BAB 4 Metodologi Penelitian .......................................................................................... 19
4.1 Desain penelitian …………………………………………………………… 19
4.2 Tempat dan waktu penelitian ………………………………………………. 19
4.3 Populasi dan sampel penelitian …………………………………………….. 19
4.4 Kriteria seleksi ……………………………………………………………... 19
4.5 Estimasi besar sampel ……………………………………………………… 21
4.6 Cara pengambilan sampel ………………………………………………….. 21
4.7 Alokasi sampel ……………………………………………………………... 22
4.8 Alur penelitian ……………………………………………………………... 23
4.9 Cara kerja penelitian ……………………………………………………….. 24
4.10 Rencana analisis …………………………………………………………... 26
4.11 Definisi operasional ………………………………………………………. 27
4.12 Etik ………………………………………………………………………... 29
BAB 5 Hasil penelitian ………………………………………………………………… 31
BAB 6 Pembahasan ……………………………………………………………………. 36
BAB 7 Simpulan dan Saran ……………………………………………………………. 42
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 43

! x!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Potongan melintang retina ………………………………………………….. 6


Gambar 2. Anatomi makula ……………………………………………………………. 8
Gambar 3 Empat kelompok utama sel-sel retina ………………………………………. 9
Gambar 4.Mekanisme terjadinya CME ………………………………………………...12
Gambar 5. Mekanisme kerja NSAID …………………………………………………..12
Gambar 6. Gambaran OCT makula normal ………………………………………..…. 15
Gambar 7. Ketebalan makula normal berdasarkan pemeriksaan OCT ……………….. 15
Gambar 8. Gambaran 3 dimensi pada daerah makula menggunakan TOPCON 2000 .. 16
Gambar 9. Derajat kekeruhan lensas berdasarkan klasifikasi LOCS III ..…………….. 28
Gambar 10.Peta retina pada OCT …………………………..,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, 29

DAFTAR TABEL

Tabel 5.2. Karakteristik dasar dan demografi penelitian ……………………………... 32


Tabel 5.3. Perbandingan ketebalan fovea (center thickness) antar kedua kelompok
sebelum dan 4 minggu sesudah fakoemulsifikasi ……………………………………… 32
Tabel 5.4. Perbandingan volume makula (total macular volume) antar kedua kelompok
sebelum dan 4 minggu sesudah fakoemulsifikasi ……………………………………… 33
Tabel 5.5. Perbandingan rerata jumlah sel hari-1 antar kedua kelompok …………….. 34
Tabel 5.6. Perbandingan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) antar kedua
kelompok sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi ……………………………………... 34

! xi!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Penelitian ………………………………………………..…….. 47


Lampiran 2 Informed consent ....................................................................................... 48
Lampiran 3. Formulir persetujuan mengikuti penelitian ………………........................ 50
Lampiran 4. Surat keterangan lolos kajian etik………………………………………... 51
Lampiran 5. Tabel induk (1)………………………………………………………….. 52

! xii!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 1!

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit yang perlu mendapat
perhatian karena prevalensi yang tinggi. Wild et al1 dalam studinya
memprediksikan terdapat kenaikan yang cukup signifikan pada penderita DM dari
171 juta pada tahun 2000 hingga mencapai 366 juta pada tahun 2030. Diabetik
retinopati merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular tersering pada pasien
dengan DM. Sivaprasad et al2 dalam studinya mengatakan prevalensi diabetik
retinopati di kawasan Asia sebesar 35% dimana 10% diantaranya telah
menyebabkan turunnya tajam penglihatan akibat diabetic macular edema (DME).

Di Indonesia, penelitian dekriptif oleh Sya’baniah et al3 menunjukkan angka


insiden retinopati diabetik sebesar 24,50 % dari seluruh pasien diabetes baru yang
dilakukan skrining pada bulan November 2010 hingga Oktober 2011. Dari
sejumlah 565 pasien yang mengalami retinopati diabetik, 200 pasien (8,7 %)
mengalami mild-nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) dan 207 pasien
(11.39 %) mengalami moderate-proliferative diabetic retinopathy (PDR).

Selain komplikasi diabetik retinopati, pada penderita DM juga memiliki risiko


timbulnya katarak 2 hingga 4 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tanpa DM.
Diperkirakan sekitar 20% penderita katarak memiliki riwayat DM. Dengan
meningkatnya prevalensi DM di Indonesia maka jumlah penderita DM yang akan
menjalani operasi katarak diperkirakan juga akan meningkat.4-5

Salah satu komplikasi tersering dari penderita DM yang menjalani operasi katarak
ialah cystoid macular edema (CME). Cystoid macular edema merupakan suatu
keadaan yang dapat menyebabkan turunnya tajam penglihatan. Patogenesis
timbulnya CME diawali dengan adanya trauma pada iris, badan siliar, dan sel
epitel lensa pasca operasi katarak yang akan menyebabkan penglepasan fosfolipid
dan mengaktifkan mediator inflamasi seperti prostaglandin. Prostaglandin sebagai

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 2!

mediator inflamasi yang berasal dari tiap sel yang rusak di bilik mata depan akan
berdifusi ke posterior dan menyebabkan kerusakan blood retinal barrier (BRB).
Kerusakan BRB ini akan meningkatkan permeabilitas kapiler perivofea dan
menyebabkan akumulasi cairan di outer plexiform layer dan inner retinal layer.6

Pada penderita DM kerusakan BRB sudah terjadi sebelum operasi katarak


dilakukan sehingga risiko timbulnya CME dikatakan lebih besar dibandingkan
pasien pasca operasi katarak tanpa DM. Teknik operasi katarak yang rutin
digunakan saat ini ialah teknik operasi karatak dengan metode fakoemulsifikasi.
Pollack et al7 dalam studinya mengatakan risiko timbulnya CME pasca
fakoemulsifikasi dengan DM lebih besar (50 %) dibandingkan pada penderita
pasca fakoemulsifikasi tanpa DM (8%). Dikatakan juga pada subyek dengan
riwayat DM disertai diabetik retinopati sebelum tindakan fakoemulsifikasi, risiko
timbulnya CME lebih besar (56%) dibandingkan dengan penderita DM tanpa
riwayat diabetik retinopati sebelum fakoemulsifikasi (7%). Kim et al8
mengatakan 22% penderita diabetik retinopati yang menjalani operasi katarak
terjadi peningkatan ketebalan makula 1 bulan pasca fakoemulsifikasi yang
menyebabkan turunnya tajam penglihatan yang cukup siginifikan.

Pemberian kortikosteroid untuk mengurangi risiko timbulnya CME telah banyak


dipublikasi. Kim et al9 dalam studinya mengatakan pemberian injeksi sub-Tenon
triamcinolone acetonide dapat mengurangi risiko timbulnya CME serta
mengurangi peningkatan central macular thickness 1 bulan setelah tindakan
fakoemulsifikasi pada penderita diabetes. Namun adanya efek samping seperti
glaukoma, infeksi seperti endoftalmitis, dan proses penyembuhan luka yang lama
menyebabkan penggunaan terapi dengan metode ini jarang digunakan.

Dalam suatu penelitian meta-analisis, Rosseti et al10 menyatakan efektivitas dari


penggunaan kombinasi tetes mata nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
dan tetes mata kortikosteroid dalam mencegah terjadinya CME. Studi lain dari
Almeida et al11 mengatakan penggunaan profilaksis NSAID dilanjutkan dengan
kombinasi NSAID dan kortikosteroid selama 4 minggu pasca fakoemusifikasi

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 3!

secara signifikan mengurangi risiko timbulnya CME dibandingkan dengan hanya


penggunaan kortikosteroid pasca operasi. Di Indonesia penelitian oleh Risriwani
et al38 juga mengatakan penggunaan profilaksis meloxicam oral dilanjutkan
dengan kombinasi dengan kortikosteroid selama 2 minggu pasca fakoemusifikasi
secara signifikan mengurangi risiko timbulnya CME dibandingkan dengan hanya
penggunaan kortikosteroid pasca operasi.

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs dalam mekanisme kerjanya akan


menghambat enzim cyclooxygenase yaitu COX-1 dan COX-2 serta menghambat
pembentukan endoperoksidase terutama prostaglandin. Adanya efek ini akan
mengurangi pemeabillitas ocular-blood barrier, miosis selama operasi, hiperemis
konjungtiva, dan fluktuasi tekanan intra okular selama operasi. Saat ini terdapat 4
jenis tetes mata golongan NSAID diantaranya diclofenac 0.1%, ketorolac 0.5%,
bromfenac 0.09 %, dan nepafenac 0.1 %.12

Nepafenac (amfenac amide) merupakan suatu inhibitor COX-1 dan COX-2. Tidak
seperti tetes mata golongan NSAID lain, nepafenac bukan merupakan suatu free
acid, melainkan suatu NSAID prodrug (substansi inaktif yang akan menjadi aktif
setalah mengalami proses metabolik di dalam tubuh) yang memiliki efek
permeabilitas terbaik di kornea dibandingkan NSAID lainnya. Adanya
permeabilitas yang baik dari obat ini akan mengurangi paparan obat ini terhadap
permukaan kornea sehingga mengurangi risiko timbulnya toksisitas pada kornea.
Studi secara in-vitro menggunakan mata kelinci mendapatkan bahwa nepafenac
memiliki permeabilitas 6 kali lebih baik dibandingkan diklofenac serta memiliki
efek yang lebih baik dalam menghambat aktivitas COX-2 dibandingkan ketorolac
dan bromfenac.13,14 Singh et al15 dalam studinya mengatakan penggunaan
kombinasi tetes mata nepafenac 0,1% dan prednisolone 1 % selama 90 hari pasca
fakoemulsifikasi pada penderita retinopati diabetik secara signifikan mengurangi
risiko timbulnya CME dibandingkan dengan hanya pemberian tetes mata
prednisolone 1%.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 4!

1.2. Rumusan Masalah


Insiden CME diperkirakan akan meningkat pada pasien katarak dengan penyakit
penyerta DM karena berdasarkan patofisiologinya rusaknya pembuluh darah
retina pada DM akan memperberat kerusakan BRB pasca operasi katarak.
Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan risiko penebalan makula pasca
operasi katarak. Pemberian tetes mata golongan NSAID dapat mencegah
terjadinya keadaan ini secara efektif, dimana nepafenac 0,1% sebagai salah satu
tetes mata NSAID memiliki efek bioavailibitas okular terbaik dibandingkan tetes
mata golongan NSAID lainnya. Berdasarkan uraian diatas maka timbul
pertanyaan, bagaimanakah perubahan ketebalan makula pada penderita DM yang
menjalani operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi pasca pemberian
profilaksis tetes mata nepafenac 0.1% ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui efek pemberian profilaksis tetes mata nepafenac 0.1% terhadap
ketebalan makula pada pasien DM dengan NPDR ringan-sedang yang menjalani
operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi.

1.3.2. Tujuan Khusus


1.3.2.1 Tujuan Khusus Primer
Mengetahui perubahan ketebalan makula sebelum dan sesudah operasi
fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa
profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.
1.3.1.2 Tujuan Khusus Sekunder
1. Mengetahui perubahan volume makula sebelum dan sesudah operasi
fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan
tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 5!

2. Mengetahui perubahan jumlah sel dan flare sesudah operasi


fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan
tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.
3. Mengetahui perubahan tajam peglihatan sebelum dan sesudah operasi
fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan
tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.

1.4. Hipotesis
Terdapat perbedaan ketebalan makula 4 minggu sesudah operasi fakoemulsifikasi
pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis tetes mata
nepafenac 0.1%.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Manfaat bagi Subyek Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi subyek penelitian
dengan katarak disertai NPDR ringan-sedang dan hasil penelitian ini dapat
dijadikan pedoman penatalaksanaan katarak dengan penyerta NPDR ringan-
sedang bagi pasien-pasien lainnya.

1.5.2. Manfaat bagi Institusi


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan dapat
diaplikasikan sebagai terapi standar pada pasien katarak dengan penyerta NPDR
ringan-sedang, khususnya di Departemen Mata Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo.

1.5.3. Manfaat bagi Peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan peneliti
mengenai penatalaksanaan pasien katarak dengan penyerta NPDR ringan-sedang,
serta memberikan tambahan pengalaman penelitian.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 6!

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Retina


Retina merupakan bagian dari organ bola mata dengan struktur yang transparan
dan tipis yang berkembang dari lapisan luar dan dalam dari diskus optikus. Pada
gambaran potong lintang dari luar ke dalam retina terdiri dari 10 lapisan yaitu
retinal pigment epithelium (RPE) dan lamina basalis, lapisan fotoreseptor,
external limiting membrane (ELM), outer nuclear layer (ONL), outer plexiform
layer (OPL), inner nuclear layer (INL), inner plexiform layer (IPL), ganglion cell
layer (GCL), nerve fiber layer (NFL), dan inner limiting membrane (ILM).16

Gambar 1. Potongan melintang retina16

Lapisan RPE memiliki beberapa fungsi diantaranya metabolisme vitamin A,


pemeliharaan sawar darah retina, fagositosis dari fotoreseptor bagian luar,
absorbsi cahaya, pertukaran panas, pembentukan lamina basalis, produksi dari
matriks mukopolisakarida di sekitar segmen luar, dan transport aktif material dari
dan ke dalam RPE. Lapisan neurosensoris retina, lapisan fotoreseptor hingga ILM,
memiliki komposisi yang terdiri dari elemen neuronal, glial, dan vaskular.16,17

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 7!

Elemen neuronal merupakan lapisan fotoreseptor dari neurosensoris retina yang


mengandung sel neuroepitelial yaitu sel batang dan sel kerucut. Setiap sel
fotoreseptor terdiri dari segmen luar dan segmen dalam. Segmen luar yang
dikelilingi oleh matriks mukopolisakarida, memiliki hubungan langsung dengan
prosesus apikal dari RPE. Antara RPE dengan segmen luar fotoreseptor tidak
ditemukan adanya tight junctions ataupun hubungan interseluler lainnya. Hingga
saat ini belum dapat dipahami faktor-faktor yang mempertahankan lapisan ini
dalam keadaan yang baik, namun diperkirakan melibatkan proses transport aktif.
Elemen neuronal dan hubungannya di retina sangat kompleks. Elemen ini terdiri
dari lebih dari 120 juta sel batang dam 6 juta sel kerucut yang saling berhubungan,
dan proses signal yang terjadi antar sel-sel ini sangatlah signifikan.17

Elemen glial terdiri dari sel Muller yang merupakan sel glial yang memanjang
secara vertical dari ELM hingga ILM. Nukleus dari sel ini terletak pada INL. Sel
Muller bersama dengan elemen glial yaitu fibrous dan protoplasmic astrosit, serta
mikroglia merupakan struktur pendukung dan nutrisi pada retina. Elemen
vaskular retina terdiri dari 2 bagian, yaitu segmen dalam retina yang diperdarahi
oleh arteri retina sentralis dan segmen luar retina yang diperdarahi oleh arteri
koriokapilaris. Pada 50% orang, arteri silioretinal yang merupakan percabangan
dari sirkulasi siliaris, turut memperdarahi segmen dalam retina.17,18

2.2. Anatomi Makula


Makula atau bintik kuning adalah daerah di dalam arkade vaskular temporal retina
yang mengandung pigment xantophyl (yellow pigment). Pigmen ini berperan
sebagai filter pelindung terhadap radiasi sinar ultraviolet. Secara histologi,
makula merupakan daerah dengan > 1 lapis nukleus sel ganglion dan lapisan
fotoreseptornya didominasi oleh sel kerucut. Secara klinis makula berdiameter 5-6
mm dan terletak di polus posterior / retina sentral.

Fovea (fovea centralis) adalah suatu daerah berdiameter 1,5 mm yang terletak di
daerah polus posterior, 3 mm lateral terhadap diskus optik. Daerah ini berfungsi
sebagai pusat tajam penglihatan dan penglihatan warna. Di dalam fovea terdapat

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 8!

daerah tanpa pembuluh darah yang disebut foveal avascular zone (FAZ). Bagian
pusat dari FAZ ini dianggap sebagi pusat dari makula dan sebagai titik fiksasi.
16,17

Foveola adalah suatu penggaungan sentral di dalam fovea, terletak kurang lebih 4
mm temporal dan 0.8 mm inferior terhadap pusat diskus optik. Diameternya
kurang lebih 0.35 mm dengan cekungan pada pusat foveola yang disebut umbo.
Fotoreseptor di daerah foveola seluruhnya terdiri atas sel kerucut, sehingga sangat
berperan pada fungsi tajam penglihatan. Parafovea merupakan daerah berbebntuk
cincin yang mengelilingi fovea dengan diameter 0,5 mm dimana terdapat lapisan
sel ganglion, lapisan nuklear dalam, dan lapisan pleksiformis luar yang paling
tebal. Di sekeliling parafovea terdapat cincin dengan lebar 1.5 mm yang disebut
daerah perifovea.17,19

Gambar 2. Anatomi makula18

2.3. Perubahan Sel-Sel Retina Pada Diabetes


Terdapat 4 kelompok utama dari sel retina yang dapat terpengaruh oleh diabetes.
Empat kelompok itu terdiri dari komponen vaskular yaitu perisit dan sel endotel,
komponen makroglia yaitu sel Muller dan astrosit, komponen neural yaitu
fotoreseptor , sel bipolar, sel amacrine dan sel ganglion, serta komponen
mikroglia.20

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 9!

Gambar 3. Empat kelompok utama sel-sel retina21

Kapiler retina terdiri dari satu lapis sel endotel yang dikelilingi oleh perisit. Perisit
merupakan otot polos dari kapiler yang berfungsi mengatur regulasi dari aliran
darah retina dengan cara berdilatasi dan berkontraksi sedangkan sel endotel
berfungsi mengatur regulasi homeostatik dari blood retinal barrier. Pada
retinopati diabetik, kelainan yang pertama kali terjadi adalah kerusakan dan
kehilangan sel-sel perisit.20,21 Studi dari Brignardello et al22 dengan menggunakan
kultur sel bovine mendapatkan bahwa peningkatan kadar glukosa bersifat toksik
terhadap perisit retina dalam 96 jam. Hilangnya sel perisit akan menginduksi
terjadinya proliferasi dari sel-sel endotel dan berkurangnya respon pembuluh
darah retina terhadap mediator-mediator lokal seperti nitric oxide (NO). Keadaan
ini akan menyebabkan gangguan pada proses atoregulasi dan perfusi dari vaskular
retina.

Salah satu komponen makroglia ialah astrosit. Astrosit merupakan suatu


komponen yang mengelilingi pembuluh darah retina bagian dalam (inner retina)
yang memiliki kemampuan untuk menginduksi ekspresi protein-protein taut kedap
dan mempertahankan blood-retinal barrier. Studi dari Barber et al23 dan
Rungger-Brandle et al24 mengatakan pada keadaann hiperglikemia jangka pendek
menyebabkan berkurangnya kemampuan astrosit dalam menginduksi ekspresi
protein taut kedap, dan pemberian insulin dalam 48 jam pertama akan
memperbaiki sebagian dari keadaan ini. Sel Muller juga mengalami perubahan
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 10!

pada diabetes. Diketahui bahwa sel Muller akan berproliferasi membentuk


epiretinal membran pada keadaan proliferatif diabetik retinopati. Rusaknya sel-sel
makroglia ini akan menghasilkan sitokin-sitokin seperti vascular endothelial
growth factor (VEGF) yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

Komponen mikroglia yang dalam keadaan normal tidak aktif akan mengalami
aktivasi akibat diabetes. Zeng et al25 dalam studinya mengatakan adanya aktivasi
dari sel mikroglia ini akan meningkatkan penglepasan mediator-mediator
inflamasi seperti sitokin dan kemokin (VEGF dan tumor necrosis factor) yang
akan semakin meningkatkan kerusakan permeabilitas vaskular pada diabetes.

Sel–sel neural juga mengalami perubahan pada keadaan diabetes. Beberapa studi
mengatakan bahwa terdapat kehilangan dari sel-sel neural pada seseorang yang
memiliki diabetes. Diketahui bahwa terjadi kematian dari sel ganglion dan sel
lapisan inti dalam pada fase awal dari diabetik retinopati sehingga menyebabkan
terjadinya atrofi dari sel lapisan inti dalam dan berkurangnya jumlah dari sel
ganglion. Keadaan diatas dapat menimbulkan gangguan dari integritas blood-
retinal barrier dimana secara klinis dapat meyebabkan terjadinya edema
makula.20,21

2.4. Edema Makula pasca Operasi Katarak pada Penderita Diabetes


Edema makula pasca operasi katarak (Irvine-Gass Syndrome) merupakan
komplikasi pasca operasi katarak yang terjadi akibat rusaknya BRB bagian dalam
(endotel vaskular retina) dan BRB bagian luar (RPE) dimana keadaan ini dapat
meningkatkan permeabilitas kapiler perivofea dan menyebabkan akumulasi cairan
di outer plexiform layer dan inner retinal layer. Pada penderita diabetik,
kerusakan BRB ini sudah terjadi sebelumnya melalui mekanisme yang telah
dijelaskan diatas sehingga dapat diperkirakan risiko terjadinya CME pasca operasi
katarak pada penderita diabetes semakin tinggi.26

Cystoid macular edema dibagi menjadi tipe angiografik dan klinis. Cystoid
macular edema angiografik adalah edema makula yang terdeteksi melalui

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 11!

pemeriksaan FFA dan OCT tanpa disertai penurunan tajam penglihatan sedangkan
CME klinis merupakan edema makula yang berhubungan dengan penurunan
tajam penglihatan. Insiden CME yang dilaporkan sangat bervariasi dimana tipe
angiografik berkisar antara 3-70 persen sedangkan CME klinis antara 1-6%.6,27

Insiden CME angiografik meningkat pada penderita dengan diabetes. Pollack et


al7 dalam studinya mendapatkan 50% subyek yang menjalani operasi katarak
dengan riwayat diabetes (tanpa atau dengan diabetik retinopati) akan terjadi CME
dibandingkan dengan 8% subyek yang menjalani operasi katarak tanpa riwayat
diabetes. Durasi lamanya menderita diabetes dan durasi penguunaan terapi insulin
dikatakan sebagai faktor risiko timbulnya CME. Dalam studi ini juga dikatakan
bahwa timbulnya CME dikatakan lebih besar pada subyek yang menjalani operasi
katarak dengan diabetik retinopati sebelumnya dibandingkan subyek yang
menjalani operasi katarak dengan diabetes namun belum mengalami diabetik
retinopati (81% : 32%).

Miyake et al6 dalam studinya mengatakan adanya peranan prostaglandin yang


menimbulkan terjadinya CME. Trauma terhadap iris, badan silier atau sel-sel
epitel lensa menginduksi pembentukan prostaglandin dalam cairan akuos.
Prostaglandin bersama mediator-mediator inflamasi lainnya seperti endotoksin,
kompleks imun, dan sitokin-sitokin akan meyebabkan kerusakan sawar darah
akuos. Mediator-mediator inflamasi ini akan berdifusi ke vitreus dan mencapai
retina, dimana mediator ini akan menyebabkan kerusakan BRB. Pada operasi
katarak mediator tersebut akan menstimulasi kapiler retina dan menyebabkan
kebocoran serum dari pembuluh darah ke jaringan retina. Pada awalnya
kebocoran ini akan menyebabkan penebalan makula yang difus yang kemudian
akan berlanjut mengalami perubahan cystoid di outer pleksiform layer atau inner
nuclear layer. Rongga cystoid tersebut cenderung lebih besar di sentral dan akan
memberikan gambaran petaloid atau stellate. Akumulasi cairan inilah yang dapat
menurunkan tajam penglihatan.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 12!

Gambar4. Mekanisme terjadinya CME6

2.5 Nepafenac sebagai Non-Steroid Anti-Inflammation Drugs (NSAID)


Proses inflamasi nerupakan suatu respon terhadap stimulus berupa cedera atau
luka pada jaringan. Respon inflamasi terjadi dalam 3 fase yaitu fase akut, fase
subakut,dan fase proliferatif kronik. Secara umum setiap sel yang mengalami
kerusakan akan mengeluarkan asam arakidonat yang mengalami konversi melalui
2 jalur. JAlur yang pertama adalah jalur cyclooxygenase, dimanan asama
arakidonat ini akan dikonversi menjadi berbagai macam prostaglandin dan
tromboksan. Jalur kedua adalah jalur lipoxygenase yang akan dikonversi menjadi
berbagai leukotrien. Prinsip efek terapi NSAID berasal dari kemampuannya
menghambat jalur cyclooxygenase yaitu konversi dari asam arakidonat menjadi
prostaglandin.12

Gambar5. Mekanisme kerja NSAID12


Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 13!

Nepafenac (amfenac acide) merupakan suatu prodrug dari NSAID yang akan
mengalami bioaktivasi menjadi amfenac yaitu NSAID poten yang menghambat
aktivitas COX-1 dan COX-2, pada jaringan okular seperti badan siliar, retina dan
koroid. Dibandingkan NSAID lainnya, nepafenac memiliki efek permabilitas
terbaik di kornea.13 Ke et al28 dalam studinya mengatakan bahwa nepafenac
memiliki efek permeabilitas 6x lebih baik dibadingkan diklofenac serta memiliki
efek yang lebih baik dalam menghambat aktivitas COX-2 dibandingkan ketorolac
dan bromfenac.

Nepafenac setelah berpenetrasi melalui kornea akan mengalami bioaktivasi


menjadi amfenac, NSAID poten yang menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2,
pada jaringan okular seperti badan siliar, retina dan koroid. Dibandingkan NSAID
lain nepafenac memiliki efek yang lebih baik dalam menghambat pembentukan
prostaglandin-E2 (PGE2) di iris dan badan siliar serta prostaglandin jenis lainnya
di bilik mata depan.29 Kapin et al30 dalam studinya menggunakan kelinci yang
diinduksi untuk mengalami inflamasi pada retina mendapatkan hasil bahwa tetes
mata nepafenac jika dibandingkan dengan ketorolac ataupun diklofenac memliki
efek penetrasi ke segmen posterior yang lebih baik, dimana keadaan ini dapat
menurunkan kadar protein dan konsentrasi PGE2 di vitreus sehingga dapat
menstabilkan blood retinal barrier.

2.6. Spectral-Domain Optical Coherence Tomography (SD-OCT)


Optical Coherence Tomography (OCT) adalah suatu alat pemeriksaan diagnosa
jaringan tubuh invivo secara non- invasive . OCT pertama kali dipakai untuk
aplikasi klinik pada tahun 1997. Beberapa tahun belakangan ini penggunaannya
meningkat pesat dalam oftalmologi terutama oleh spesialis retina. Selain itu OCT
dapat dipakai juga untuk kelainan glaukoma. Informasi kelainan retina dapat
diterangkan oleh OCT seperti edema makula, RPE detachment, perubahan
neovaskular intra-retinal dan sub-retinal , serta traksi vitreoretina. Selain itu OCT
dapat dipakai juga sebagai alat bantu tambahan pemeriksaan angiografi.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 14!

Optical coherence tomography (OCT) merupakan suatu alat pemeriksaan imaging


dengan prinsip kerja mirip dengan pemeriksaan ultrasonografi B-mode, namun
OCT lebih sensitif dan akurat. Ultrasonografi dengan resolusi 150 mikron,
sedangkan OCT 10 mikron untuk time-domain OCT (TD-OCT) dan 1-6 mikron
untuk spectral-domain OCT (SD-OCT). Alat ini memakai gelombang cahaya,
berbeda dengan ultrasonogafi yang memakai gelombang suara, sehingga OCT
tidak memerlukan kontak dengan mata. Pemeriksaan OCT ini hanya memerlukan
waktu beberapa detik, OCT mudah dilakukan dan mudah interpretasinya, cepat,
reliabel, sensitif, reproducible, dan non-kontak.

Interpretasi pemeriksaan OCT untuk mendeteksi kelainan di retina dapat dibagi


menjadi 3 yaitu pengukuran morfologi, reflektiviti dan ketebalan retina. Secara
gambaran morfologi, OCT dapat mendeteksi kelainan dari profil retina,
permukaan retina dan perubahan struktur retina posterior, seperti menghilangnya
depresi fovea pada edema makula dan gambaran seperti kista pada edema makula
kistoid.

Perubahan refektiviti dari jaringan merupakan elemen penting pada analisa OCT.
Membran limitan interna terlihat jelas pada OCT karena kontras antara vitreus
yang tidak atau kurang memantulkan (non-reflective) dan retina yang mudah
memantulkan (higly reflective). Lapisan pleksiform internal dan eksternal dapat
dikenali dengan sedikit memantulkan (slightly reflective). Tingkat pantulan
lapisan pleksiform lebih tinggi dari lapisan inti. Bagian luar sensoris retina
dibatasi oleh area yang sangat memantulkan gelombang (high reflective) setebal
70 mikron yang merupakan lapisan epitel pigmen retina. Membran bruch dan
lapisan koriokapiler umumnya terlihat sebagai strukur yang less reflective.
Lapisan fotoreseptor membentuk pita yang poor reflective di depan RPE. Poor
reflective terjadi karena orientasi sel-sel fotoreseptor. Pita fotoreseptor lebih tebal
di area depresi kornea. Pembuluh darah normal yang terletak di NFL dapat
dikenali dengan adanya shadow areas yang terbentuk di lapisan posterior.31.32

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 15!

Gambar6. Gambaran OCT makula normal 33

Pemeriksaan kuantitatif berupa ketebalan retina merupakan salah satu


pemeriksaan yang penting pada beberapa kelainan retina, dan dapat menilai
setelah terapi medikamentosa, laser maupun operasi. Ketebalan retina normal
adalah 200 s/d 275 mikron. Foveal depression antara 170-190 mikron. Ketebalan
retina dapat juga digambarkan dengan perubahan warna pada retinal mapping.
Ketebalan retina lebih dari 470 mikron adalah warna putih, ketebalan 350 s/d 470
berwarna merah, 320 s/d 350 mikron warna jingga, 270 s/d 320 warna kuning,
210 s/d 270 warna hijau, dan 150 s/d 210 warna biru. Fovea memberikan warna
biru sedangkan retina normal berwarna hijau. Ketebalan meningkat terjadi pada
edema retina. Pemeriksaan OCT dapat pula menilai variasi edema makula, seperti
fokal atau difus edema, maupun kistoid. 31.32

Gambar7. Ketebalan makula normal berdasarkan pemeriksaan OCT34

Sejak 2004, SD-OCT dengan standar yang lebih tinggi telah memasuki praktek
klinik dengan resolusi 1 - 5 mikron serta dengan peningkatan visualisasi pada
karakteristik morfologi dan patologi retina. Teknologi SD-OCT menggunakan
low-coherence interferometry untuk mendeteksi pantulan cahaya, dengan
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 16!

spektrometer dan kamera kecepatan tinggi berdasarkan transformasi Fourier.


Aplikasi dari formula ini dapat mengukur pantulan cahaya secara simultan,
dibandingkan dengan TD-OCT yang secara sekuensial. SD-OCT secara signifikan
dapat mengurangi gambaran artefak akibat pergerakan dibandingkan dengan TD-
OCT, dan SD OCT memberikan analisis volumetrik yang lebih akurat dan
gambaran 3-dimensi.

3D-OCT 2000 (TOPCON, PARAMUS, NEW JERSEY, USA) merupakan salah


satu jenis SD-OCT mempunyai resolusi axial 6 mikron dan kecepatan 18.000 A-
scan per detik. Akuisisi segmen posterior mencakup 6x6-mm, 4.5x4.5-mm, atau
3x3-mm volume cube scans, dan memiliki metode 3D rendering. Integrasi dari
3.15-megapixel kamera non-midriatik adalah sebuah aspek unik dari sistem
tersebut yang akan membuat foto fundus berwarna dan juga pada gambar OCT
dapat didapatkan ketebalan retina dan analisis glaukoma.34,35

Gambar 8. Gambaran 3 dimensi pada daerah makula dan sekitarnya menggunakan Topcon
35
3D-OCT 2000

Sebuah penelitian mengatakan bahwa pengukuran ketebalan fovea rata-rata lebih


baik pada 3D-OCT 2000 dibandingkan dengan Stratus OCT (216.4±18.0 µm and
195.6 ±17.2 µm, pada 35 subyek yang sehat) dikarenakan kualitas morfologi
segmen posterior yang lebih baik.36

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 17!

BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Teori


1. Pada setiap operasi katarak walaupun tanpa komplikasi akan dilepaskan
berbagai macam mediator inflamasi, terutama prostaglandin.
2. Prostaglandin sebagai mediator inflamasi yang berasal dari tiap sel yang
rusak di bilik mata depan akan berdifusi ke posterior dan menyebabkan
kerusakan blood retinal barrier (BRB).
3. Kerusakan BRB ini akan meningkatkan permeabilitas kapiler perivofea
dan menyebabkan akumulasi cairan di outer plexiform layer dan inner
retinal layer di makula.
4. Akumulasi cairan ini dapat berlanjut menjadi cystoid macular edema
(CME)
5. Cystoid macular edema (CME) pasca operasi katarak (Irvine-Gass
Syndrome) merupakan komplikasi pasca operasi katarak yang dapat
menyebabkan turunnya tajam penglihatan.
6. Pada penderita NPDR kerusakan BRB sudah terjadi sebelum operasi
katarak dilakukan sehingga risiko timbulnya CME menjadi lebih besar.
7. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan suatu anti
prostaglandin yang akan mencegah pembentukan prostaglandin pada
operasi katarak.
8. Nepafenac (amfenac amide) merupakan suatu suatu NSAID prodrug yang
memiliki efek permeabilitas terbaik di kornea serta memiliki efek penetrasi
ke segemen posterior yang lebih baik dibandingkan NSAID lainnya.
9. Sampai saat ini, belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial
yang melaporkan efek pemberian profilaksis tetes mata nepafenac 0,1%
terhadap perubahan ketebalan makula pasca fakoemulsifikasi pada
penderita NPDR ringan-sedang

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 18!

3.2 Skema Kerangka Teori

DM! Hiperglikemia!

Aldose! AGE!
Reduktase!

AGE!product!
Aktivasi!sorbitol! ↑!!
↑!

! Endhotelin!↑!

Kerusakan!
seluluer! Reseptor!endhotelin!pada!
perisit!
Hipoksia!
Inflamasi!
Kematian!perisit! Vasokontriksi!
Angiogenesis! VEGF!↑! Rusaknya!
BRB!
Sitotoksik
Edema!Makula!
!

Permeabilitas! Vasogeni
Vaskular! k! Ekstraselule Intraselule
r! r!
Cystoid&Macular&Edema&

Difus!
Operation!irritation!&!
inflammation! Rusaknya!
BRB!

Corticosteroi
Asam!arakidonat!
d!

Aktivasi!phosfolipase! Prostaglandin!

cyclooksigena
se!
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 19!

3.2. Skema Kerangka Konsep

Pasien Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)


ringan-sedang disertai kekeruhan lensa NO2,NC2 –
NO4,NC4 (berdasarkan pemeriksaan klinis dan foto fundus)

Pemberian tetes mata nepafenac 0,1 %

Fakoemulsifikasi

Keluaran anatomi: Keluaran Fungsional:

Ketebalan!Makula! Tajam Penglihatan

Volume!Makula(

Jumlah!Cells!&!Flare(

Keterangan Gambar:

: Keluaran Primer

: Keluaran Sekunder

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 20!

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan suatu uji klinis, prospektif, randomisasi, dan
open-blinded evaluation.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Mata Kirana Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM). Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret
2013, pada setiap hari kerja, hingga jumlah sampel tercukupi dan waktu
pengamatan terpenuhi, yaitu 4 minggu pasca-fakoemulsifikasi.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1. Populasi Terjangkau
Semua pasien NPDR ringan-sedang dengan derajat katarak NO2,NC2 –
NO4,NC4 dengan atau tanpa kekeruhan kortikal dan posterior subkapsular
(menurut klasifikasi LOCS III37) yang berobat ke Poliklinik Mata Kirana
RSCM.

4.3.2. Sampel Penelitian


Sampel dipilih dari populasi terjangkau yang diindikasikan dan memenuhi
syarat untuk dilakukan tindakan fakoemulsifikasi sesuai kriteria penelitian.

4.4. Kriteria Seleksi


4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Pasien diabetes melitus tipe 2, dengan NPDR tanpa CSME sesuai
kriteria ETDRS yang dinilai berdasarkan pemeriksaan slit lamp
biomikroskop dan foto fundus oleh ahli retina.
2. Pasien dengan derajat katarak NO2,NC2 – NO4,NC4 dengan atau
tanpa kekeruhan kortikal dan posterior subkapsular (menurut
klasifikasi LOCS III37) yang dinilai oleh ahli bedah katarak dan

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 21!

diindikasikan operasi fakoemulsifikasi dan masih dapat dilakukan


penilaian ketebalan makula menggunakan SD-OCT pre-operasi.
3. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani
informed consent.

4.4.2. Kriteria Eksklusi


1. Pasien dengan riwayat inflamasi intraokular, glaukoma dan patologi di
makula dan segmen posterior lainnya.
2. Pasien dengan komplikasi fakoemulsifikasi intraoperasi dan
pascaoperasi
3. Pasien dengan riwayat laser fotokoagulasi sebelumnya.
4. Pasien tanpa implantasi lensa intraokular
5. Pasien dengan kadar HbA1c > 11%, dan hipertensi yang tidak
terkontrol dengan tekanan sistolik > 165 mmHg, dan tekanan diastolik
> 90 mmHg.

4.4.3. Kriteria Drop-out


1. Pasien tidak datang untuk follow-up pada waktu yang ditentukan.
2. Pasien tidak mematuhi prosedur yang ditetapkan pada penelitian.
3. Pasien mengundurkan diri pada saat penelitian sedang berlangsung
dengan sebab apa pun.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 22!

4.5. Estimasi Besar Sampel


Perhitungan besar sampel pada penelitian ini menggunakan rumus uji
hipotesis terhadap rerata 2 populasi tidak berpasangan sebagai berikut:

2
n1 = n2 = 2 (Zα + Zβ)S
(x1 –x2)

n1 = besar sampel kelompok studi


n2 = besar sampel kelompok kontrol
Zα = 1,96
Zβ = 0,842
S = simpang baku ketebalan makula = 35 µm15
x1 –x2 = selisih minimal ketebalan makula dengan SD-OCT antar kedua
kelompok tidak berpasangan yang dianggap bermakna secara klinik
ditetapkan sebesar 25 µm.

n1=n2= 2 (1,96 + 0,842)2 (35)2 = 30,77 ≅ 31


(25)2

Karena keterbatasan waktu dan dana penelitian, maka ditetapkan besar sampel
untuk setiap kelompok n1 = n2 = 18 mata.

4.6. Cara Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 23!

4.7. Alokasi Sampel


Sebanyak 36 mata yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan
diikutsertakan dalam penelitian. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam 2
kelompok perlakuan yang berbeda. Perlakuan ditentukan secara acak dengan
metode randomisasi blok. Randomisasi ini menggunakan 4 blok dengan
kombinasi A dan B (AABB, ABAB, ABBA, BAAB, BABA, dan BBAA).
Amplop putih yang disegel dan berisi nomor urut penelitian digunakan untuk
allocation concealment. :
• Kelompok studi yaitu pasien NPDR ringan-sedang dengan derajat
katarak NO2,NC2 – NO4,NC4 dengan atau tanpa kekeruhan kortikal
dan posterior subkapsular yang menjalani operasi fakoemulsifikasi
yang mendapatkan terapi tetes mata nepafenac 0,1% 3x per hari. Obat
diberikan 3 hari pre-operasi sampai 2 minggu pasca operasi.
• Kelompok kontrol yaitu pasien NPDR ringan-sedang dengan derajat
katarak NO2,NC2 – NO4,NC4 dengan atau tanpa kekeruhan kortikal
dan posterior subkapsular yang menjalani operasi fakoemulsifikasi
yang mendapatkan terapi tetes plasebo 3x per hari. Obat diberikan 3
hari pre-operasi sampai 2 minggu pasca operasi.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 24!

4.8. Alur Penelitian

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 25!

4.9. Cara Kerja Penelitian


1. Subyek yang memenuhi kriteria inklusi direkrut oleh dr.AD dan dr.SW
yang dianggap telah memiliki konsensus yang sama mengenai pembagian
NPDR dan derajat kekeruhan katarak dari poliklinik mata Kirana divisi
Vitreoretina dan divisi Kornea dan Bedah Refraktif.
2. Dilakukan pemeriksaan preoperasi meliputi tajam penglihatan dengan
koreksi terbaik, tekanan intraokular (TIO), segmen posterior, kelainan atau
penyakit mata yang ada, keratometri dan biometri.
3. Dilakukan pemeriksaaan laboratorium (darah perifer lengkap, masa
perdarahan dan pembekuan, gula darah puasa (GDP), gula darah 2 jam
post-prandial (GD2PP), dan HBA1c.
4. Selama penelitian, subyek tetap mengkonsumsi obat anti diabetes sesuai
rekomendasi dokter spesialis penyakit dalam divisi metabolik-endokrin
RSCM.
5. Pemeriksaan SD-OCT menggunakan 3D-OCT 2000 (TOPCON,
PARAMUS, NEW JERSEY, USA) dilakukan 2 kali, 1-3 hari pre-operasi
dan 4 minggu pasca-operasi. Pemeriksaan OCT akan dilakukan oleh satu
orang perawat terlatih. Pemeriksaan ini dilakukan pada kondisi pupil
dilatasi dengan pemberian tetes mata tropicamide 1%. Dilakukan
pemeriksaan menggunakan type of scan 3D, scan area 6x6 mm, dengan
scan density 512x128. Dipilih metode 3D-OCT volumetric data raster
pattern. Data yang diambil adalah ketebalan dan volume fovea yaitu
ketebalan dan volume sentral makula dalam radius 1 mm. Penilaian hasil
OCT akan dilakukan oleh dr. AD.
6. Tiga hari sebelum operasi, subyek mulai meneteskan obat sesuai dengan
yang didapat dan diteruskan hingga 14 hari pasca operasi.
7. Sebelum operasi (pada hari operasi) dilakukan pemeriksaaan tekanan
darah, TIO.
8. Subyek dioperasi oleh salah satu operator di RSCM (dr.AD atau dr. SW).
Laporan operasi dilengkapi dengan pemeriksaan phaco time dan ada atau
tidaknya komplikasi operasi dan jenis komplikasi. Subyek mendapat terapi
pasca operasi katarak sesuai dengan standar prosedur yang berlaku.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 26!

9. Hari pertama operasi subyek datang untuk kontrol, dilakukan pemeriksaan


tajam penglihatan tanpa koreksi (TPTK), jumlah sel dan flare
menggunakan slit lamp biomikroskopi. Dicatat apakah terdapat komplikasi
pasca operasi.
10. Subyek kontrol pada hari-1, minggu-1, dan minggu-4 sesuai dengan
standar prosedur.
11. Pada kontrol minggu ke-4, subyek dilakukan pemeriksaan tajam
penglihatan dengan koreksi (TPDK) menggunakan ETDRS chart, jumlah
sel dan flare menggunakan slit-lamp biomikroskopi, dan SD-OCT.

4.9.1 Teknik Fakoemulsifikasi


1. Fakoemulsifikasi menggunakan mesin Alcon-Infinity
2. Setelah dipasang speculum, diberikan anastesi topikal
3. Dilakukan clear corneal incision, ukuran 2,75 mm, menggunakan
keratom sekaligus menembus bilik mata depan (BMD)
4. Bahan viscoelastik dimasukkan ke BMD
5. Dilakukan kapsulotomi, continous curvelinier capsulorhexis (CCC) 360°
menggunakan jarum spuit 1 cc yang dibengkokkan atau ultrata.
Dilanjutkan dengan hidrodiseksi.
6. Teknik stop and chop digunakan untuk mengambil massa lensa.
7. Dilakukan irigasi aspirasi sisa korteks
8. Implantasi lensa intraokular in the bag menggunakan lensa foldable
9. Diberikan injeksi intracameral levofloxacin 0.5% (Cravit) sebanyak 0.1
cc.
10. Insisi kornea dihidrasi (tanpa jahitan)

4.9.2 Terapi pasca operasi


Kedua kelompok mendapatkan pengobatan yang sama yang merupakan terapi
standar terapi pasien pasca fakoemulsifikasi di RSCM yaitu :
• Kombinasi dexamethason 0.1 %, neomycin sulfate, polimyxin beta (cendo
xytrol) diberikan 6 kali sehari hingga minggu-2, 4 kali sehari hingga
minggu -3, 3 kali sehari hingga minggu ke-4
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 27!

• Antibiotik ofloxacin 0.5% tetes mata (floxa) diberikan 6 kali sehari


hingga minggu-2.

4.10. Analisis
Data penelitian yang dicatat di dalam formulir penelitian akan dimasukkan ke
dalam tabel induk di komputer. Data perbedaan nilai sebelum dan sesudah
intervensi akan diuji normalitasnya terlebih dahulu dengan uji Kolmogorov-
Smirnov. Distribusi data dengan sebaran normal (p>0.05) disajikan dalam bentuk
mean (standard deviation).

Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai variabel ketebalan makula, volume


makula dan tajam penglihatan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
sebelum dan sesudah perlakuan dilakukan pengujian statistik dengan student t-test
tidak berpasangan. Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai variabel ketebalan
makula, volume makula dan sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing
kelompok dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan student t-test
berpasangan. Untuk mengetahui adanya perbedaan nilai variabel jumlah sel antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol hari-1 dan minggu-4 sesudah
perlakuan dilakukan pengujian statistik dengan Kolmogorov-Smirnov.

Data akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer


pengolah data statistik, yaitu Microsoft Excel 2007 dan SPSS (Statistical Package
for Social Sciences) for Windows versi 17.0. Nilai p < 0.05 dianggap bermakna.
Data yang telah diolah akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 28!

4.11. Definisi Operasional


1. Usia dinyatakan dalam tahun
2. Tipe NPDR17
Dibedakan menjadi:
a. Mild NPDR: Mikroaneurisma saja .
b. Moderate NPDR: Lebih dari mikroaneurisma saja, namun kurang dari
severe NPDR.
c. Severe NPDR: Ditemukan satu dari kelainan berikut (4-2-1 rule) dan
tidak ditemukan tanda-tanda PDR
• > 20 perdarahan intraretina pada keempat kuadran
• Venous beading pada ≥ 2 kuadran
• Intraretinal Microvascular Abnormalities (IRMA) pada ≥ 1
kuadran.
d. Very severe NPDR: Ditemukan dua / lebih dari kelainan di atas dan
tidak ditemukan tanda-tanda PDR
3. Katarak
Derajat kekeruhan lensa NO2,NC2 – NO4,NC4 dengan atau tanpa
kekeruhan kortikal dan posterior subkapsular NI-III berdasarkan
klasifikasi LOCS III37

Gambar 9. Derajat kekeruhan lensa berdasarkan klasifikasi LOCS III37


4. Tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK)
Tajam penglihatan yang didapat dengan koreksi kacamata terbaik dan
diukur dengan ETDRS chart pada jarak 4 meter. Satuan TPDK adalah
logMar pada ETDRS chart.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 29!

5. Jumlah sel dan flare


Perhitungan jumlah sel dan flare berdasarkan klasifikasi Nussenblatt39
• Trace : 1-5
• +1 : 6-15
• +2 : 16-25
• +3 : 26-50
• +4 : >50
6. Ketebalan fovea (center thickness) adalah ketebalan dan volume makula
sentral dengan radius 1 mm (A1)
7. Volume Makula (total macular volume) adalah rerata dari
A1+A2+A3+A4+A5+A6+A7+A8+A9

Gambar10. Peta retina yang terbagi menjadi 3 lingkaran; lingkaran paling dalam
radius 1mm (fovea), lingkar tengah 2 mm (kuadran dalam) dan lingkar luar 3 mm
(kuadran luar)40

8. Perubahan ketebalan fovea adalah ketebalan fovea 4 minggu pasca operasi


dikurangi ketebalan fovea pre-operasi dalam mikrometer
9. Perubahan volume makula adalah volume makula 4 minggu pasca operasi
dikurangi volume makula pre-operasi dalam mm3
10. Penyakit mata lain adalah termasuk semua kelainan di makula, glaucoma,
dan riwayat inflamasi intraokular
11. Lensa intraokular yang digunakan menggunakan lensa foldable, acrylic
hydrophobic
12. Phaco time adalah waktu yang tercatat pada mesin fako, yang
menunjukkan aktifitas gelombang ultrasound (kaki pada pedal 3)
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 30!

13. Komplikasi intraoperasi meliputi robekan kapsul posterior, prolaps vitreus,


dan prolaps iris.
14. Komplikasi pasca operasi meliputi edema kornea yang berat yang dinilai
oleh konsultan divisi Kornea dan Bedah Refraktif

4.12. Etik
Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia dengan no 135/H2.F1/ETIK/2013.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 31!

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Pengambilan data


Penelitian dilakukan di poliklinik mata divisi vitreoretina, divisi kornea dan bedah
refraktif, serta kamar bedah RSCM Kirana Jakarta. Dari Maret 2013 hingga
Agustus 2013 terdapat 38 subyek yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia
ikut serta dalam penelitian. Terdapat 2 subyek penelitian yang di eksklusi, satu
mengalami komplikasi intraoperasi ruptur kapsul posterior dan satu subyek
lainnya mengalami non-arteritic ischemic optic neuropathy (NAION) pasca
operasi.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 32!

5.2. Karakteristik subyek


Karakteristik subyek pada penelitian ini disajikan pada tabel berikut
Tabel 5.2. Karakteristik dasar dan demografi penelitian
Variabel Nepafenac (n = 18) Plasebo (n = 18)
Demografis
Usia (tahun)
rerata ± SD 60,83 + 6,77 64,06 + 4,73
Jenis kelamin (n, %)
Laki-laki 8 (44,40%) 9 (50%)
Perempuan 10 (55,60%) 9 (50%)
Jenis retinopati (n, %)
NPDR ringan 12 (66,67%) 10 (55,60%)
NPDR sedang 6 (33,33%) 8 (44,40%)
Derajat katarak (n, %)
NO2,NC2 3 (16,67%) 1 (5,56%)
NO3.NC3 11 (61,11%) 13 (72,22%)
NO4,NC4 4 (22,22%) 4 (22,22%)
TIO pre-op (mmHg) 15,11 15,17
TPDK pre-operasi (logMAR) 0,60 0,60
HbA1c (%)
rerata ± SD 7,68 + 1,02 7,67 + 1,11
Phaco time (detik)
rerata + SD 52,16 + 7,8 52,82 + 10,05

Pada tabel di atas diketahui bahwa terdapat 36 subyek penelitian yang tersebar
merata pada kedua kelompok. Rerata usia pasien yakni 60 tahun pada kelompok
nepafenac dan 64 tahun pada kelompok plasebo. Sebagian besar subyek pada
kedua kelompok memiliki jenis retinopati NPDR ringan dan derajat katarak NO3,
NC3. Tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) pre-operasi, rerata tingkat
HbA1c dan phaco time antara kedua kelompok memiliki nilai yang hampir sama.

Tabel 5.3. Perbandingan ketebalan fovea (center thickness) antar kedua


kelompok sebelum dan 4 minggu sesudah fakoemulsifikasi
Regio Nepafenac Plasebo p*
Ketebalan fovea (µm)
Pre-operasi (SD) 222,22 (36,12) 204,17 (31,30) 0,118
Pasca-operasi (SD) 217,33 (35,52) 251,56 (108,86) 0,311
Delta perubahan -4,89 (32,96) 47,40 (106,15) 0,054
(SD) 0,538 0,022
p**
* uji t tidak berpasangan
** uji t berpasangan

Pada tabel diatas, setelah diuji normalitasnya terlebih dahulu dengan uji
Kolmogorov-Smirnov didapatkan distribusi data dengan sebaran normal pada
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 33!

masing-masing kelompok sehingga digunakan uji-t tidak berpasangan antar 2


kelompok dan uji-t berpasangan antar sesama kelompok. Pada penelitian ini
setelah dilakukan tindakan fakoemulsifikasi, terdapat peningkatan ketebalan fovea
pada kelompok plasebo baik secara klinis maupun statistik (p = 0,022), sedangkan
pada kelompok nepafenac tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang
bermakna (p=0,538).

Jika dibandingkan perubahan ketebalan makula antara kelompok plasebo dan


kelompok nepafenac secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna secara statistik (p=0,054). Pada penelitian ini didapatkan satu subyek
pada kelompok plasebo mengalami cystoid macular edema (CME) 4 minggu
setelah fakoemulsifikasi.

Tabel 5.4. Perbandingan volume makula (total macular volume) antar kedua
kelompok sebelum dan 4 minggu sesudah fakoemulsifikasi
Regio Nepafenac Plasebo p*
Volume makula (mm3)
Pre-operasi (SD) 7,57 (0,63) 7,57 (0,86) 0,991
Pasca-operasi (SD) 8,01 (0,79) 8,12 (1,32) 0,762
Delta perubahan 0,43 (0,48) 0,55 (0,83) 0,621
p** 0,012 0.001
* uji t tidak berpasangan
** uji t berpasangan

Sebagai secondary outcome dilakukan juga pengukuran volume regio makula


seperti terlihat pada tabel 5.4. Jika membandingkan rerata volume regio makula
sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi di kelompok yang sama, kedua kelompok
mengalami penambahan volume setelah fakoemulsifikasi dan secara statistik
memberikan hasil yang bermakna (uji-t berpasangan; berturut-turut p = 0,012 dan
p=0,001), namun jika dibandingkan antara kedua kelompok, peningkatan volume
makula tersebut tidak bermakna secara statistik (p=0,621).

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 34!

Tabel 5.5 Perbandingan rerata jumlah sel hari-1 antar kedua kelompok
Jumlah Sel Hari I
Trace +1 +2 p
N % n % n %
Nepafenac 2 11,1 15 83,3 1 5,6 0,27
Plasebo 0 0 11 61,1 7 38,9
Total 2 5,6 26 72,2 8 22,2
* : Uji Kolmogorv-Smirnov

Berdasarkan tabel 5.5, rerata jumlah sel pada hari pertama menunjukkan bahwa
kelompok plasebo memiliki persentase peradangan intraokular yang lebih besar
dibandingkan kelompok nepafenac (38,9% : 5,6%) walaupun jika dianalisa secara
statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0,27). Pada follow-up
minggu ke 4 jumlah rerata jumlah sel di semua subyek penelitian telah menurun
menjadi 0.

Tabel 5.6. Perbandingan tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) antar


kedua kelompok sebelum dan sesudah fakoemulsifikasi (logMar).
Tindakan Nepafenac Plasebo p*
Pre-operasi (SD) 0,60 (0,26) 0,60 (0,23) 1.000
Pasca-operasi (SD) 0,00 (0,00) 0,06 (0,17) 0,163
* uji t tidak berpasangan

Berdasarkan tabel 5.6 kedua kelompok memliki TPDK yang hampir sama
sebelum fakoemulsifikasi dan secara analisa statistik tidak berbeda bermakna (p =
1,000). Pada tabel ini didapatkan bahwa kelompok nepafenac mendapatkan tajam
penglihatan yang lebih baik dibandingkan kelompok plasebo setelah
fakoemulsifikasi walaupun jika dianalisa secara statistik tidak berbeda bermakna
(p=0,991). Pada kelompok nepafenac pada seluruh subyek mendapatkan tajam
penglihatan 6/6 (logMar 0) dimana pada kelompok plasebo terdapat 3 pasien
dengan tajam penglihatan 6/7,5 (logMar 0,1) dan satu pasien dengan CME tajam
penglihatan 6/30 (logMar 0,7).

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 35!

Tabel 5.7. Efek samping nepafenac


Gejala Jumlah Subyek
Sensasi benda asing 0
Nyeri pada mata 0
Fotofobia 0
Reaksi alergi 0
Gangguan gastrointestinal 0

Berdasarkan tabel diatas tidak ada satupun subyek yang mengalami efek samping
pada pemberian tetes mata nepafenac.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 36!

BAB 6
PEMBAHASAN

Katarak dan diabetik retinopati merupakan penyakit mata yang cukup sering
ditemukan. Studi oleh Klein et al41 mendapatkan individu dengan katarak pada
penderita diabetes 2 kali lebih banyak dibandingkan dengan individu tanpa
diabetes. Penelitian lain oleh West et al42 mengatakan secara biokimia pada
penderita diabetes terjadi peningkatan glukosa ataupun galaktosa di dalam lensa
yang dapat menyebabkan efek hiperosmotik di dalam lensa seperti pembengkakan
serabut lensa, pembentukan vakoula dan kekeruhan lensa.

Pada penelitian ini, usia subyek penelitian berkisar antara 60 hingga 65 tahun di
kedua kelompok dimana hal ini sesuai dengan data yang ditunjukkan oleh
Framingham Eye Study dan National Health & Nutrition Examination Survey
(NHANES) bahwa risiko katarak senilis meningkat menjadi 3-4 kali lipat hingga
umur 65 tahun pada pasien diabetes. Semua subyek pada penelitian ini memiliki
rerata kadar HbA1c > 7% dengan NPDR ringan-sedang, dan tidak berbeda
bermakna antara kedua kelompok. Hal ini sesuai dengan studi oleh Kohner43 yang
mengatakan bahwa pada penderita NPDR ringan-sedang rata-rata memiliki kadar
HbA1c berkisar antara 8-9%. Dengan tidak adanya perbedaan yang bermakna
antara kedua kelompok, menunjukkan berat kerusakan BRB pada saat dilakukan
operasi fakoemulsifikasi diasumsikan tidak berbeda bermakna.

Salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya CME ialah durasi effective
phaco time (EPT). Rerata durasi EPT pada kedua kelompok pada penelitian ini
berkisar 52-53 detik atau kurang dari 1 menit dimana secara statistik tidak berbeda
bermakna antar 2 kelompok. Studi oleh Dholakia et al44 mengatakan dari 165
pasien yang dilakukan fakoemusifikasi dengan EPT < 1 menit, setelah dilakukan
follow up 1 dan 6 bulan tidak terdapat satupun pasien yang mengalami CME.
Walau demikian terdapat satu pasien dalam penelitian ini dengan EPT 44 detik
namun mengalami CME. Peneliti menyimpulkan keadaan tersebut mungkin

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 37!

berkaitan dengan kondisi lain pada pasien seperti adanya kondisi kerusakan
vaskular pada retina akibat diabetik retinopati sebelum dilakukan tindakan
fakoemulsifikasi. Hal ini didukung oleh studi dari Henderson et al45 yang
mengatakan bahwa EPT tidak secara spesifik mempengaruhi terjadinya CME
namun kerusakan vaskular retina sebelum operasi merupakan salah satu faktor
terjadinya CME pasca tindakan fakoemulsifikasi.

Penelitian ini menggunakan SD-OCT jenis 3D OCT 2000 (TOPCON). Studi oleh
Han et al46 mengatakan bahwa SD-OCT memiliki keakuratan lebih baik dalam
mengukur ketebalan fovea dibandingkan TD-OCT. Beberapa studi mengatakan
bahwa ketebalan normal fovea jika dilakukan pengukuran dengan SD-OCT
berkisar dari 154-282 µm, 51-72,5 µm lebih tinggi dibandingkan jika dilakukan
pengukuran dengan menggunakan TD-OCT. Pada penelitian ini ketebalan fovea
sebelum dilakukan fakoemulsifikasi di kedua kelompok berkisar antara 153 – 274
µm. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum dilakukan fakoemulsifikasi semua
subyek penelitian belum mengalami CSME ataupun DME.34,46

Penelitian ini merupakan suatu uji klinis, prospektif, randomisasi, dan open-
blinded evaluation dan merupakan penelitian pertama di Indonesia yang menilai
efek profilaksis tetes mata nepafenac 0,1 % terhadap perubahan makula pasca
fakoemulsifikasi pada penderita NPDR. Nepafenac merupakan suatu NSAID
prodrug yang memiliki efek permeabilitas terbaik di kornea dibandingkan NSAID
lain. Studi dari Lindstrom et al47 dan Nardi M48 mengatakan bahwa nepafenac
merupakan satu-satunya inhibitor COX-1-COX 2 yang dapat berpenetrasi hingga
ke retina sehingga diharapkan pemberian obat ini dapat mengurangi risiko
terjadinya CME pada high-risk katarak seperti pada penelitian ini. Studi di-atas
sesuai dengan hasil dari penelitian ini dimana pada kelompok nepafenac tidak ada
satupun subyek yang mengalami CME dan tidak terjadi perubahan ketebalan
fovea yang bermakna 4 minggu pasca fakoemulsifikasi.

Tujuan utama penelitian ini ialah mengetahui perubahan ketebalan makula pasca
fakoemulsifikasi dengan dan tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0,1 %. Pada
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 38!

penelitian ini, tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna pada
kelompok nepafenac sedangkan pada kelompok plasebo didapatkan peningkatan
perubahan rerata ketebalan fovea sebesar 47 µm yang secara klinis dan statistik
memiliki kemaknaan. Penelitian oleh Singh et al15 mendapatkan peningkatan
ketebalan fovea sebesar 40 µm dapat menyebabkan turunnya tajam penglihatan >
5 huruf.

Jika dibandingkan antar kedua kelompok, perubahan rerata ketebalan fovea di


akhir follow-up (4 minggu pasca operasi) tidak bermakna secara statisik (p=
0,054). Hal ini berbeda dengan beberapa studi tentang profilaksis nepafenac yang
telah dilakukan sebelumnya. Singh et al15 mengatakan bahwa pemberian
profilaksis nepafenac secara klinis dan statistik mengurangi risiko terjadinya CME
pasca fakoemulsifikasi pada penderita retinopati diabetik. Peneliti menyimpulkan
mungkin keadaan ini terjadi akibat besar sampel yang tidak sesuai dengan
estimasi perhitungan besar sampel dalam penelitian ini. Dalam metodologi
penelitian, estimasi besar sampel untuk dapat memberikan kemaknaan secara
statistik yaitu 31 subyek untuk masing-masing kelompok namun dikarenakan
keterbatasan waktu pada penelitian ini besar sampel masing-masing kelompok
hanya berjumlah 18 subyek.

Studi lain yang mendukung pemberian tetes mata nepafenac dapat menurunkan
risiko terjadinya CME pasca fakomulsifikasi antara lain studi dari Miyake et al6,
Almeida et al11, Lindstrom47, dan Wolf 49. Perbedaaan ke-4 studi tersebut dengan
penelitian ini ialah bahwa pada ke-4 studi tersebut semua subyek penelitian
merupakan pasien katarak tanpa retinopati diabetik.

Pada penelitian ini durasi pemberian tetes mata nepafenac sesuai dengan
rekomendasi dari studi-studi sebelumnya, yaitu 1-3 hari sebelum fakoemulsifikasi
hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi.6,11,47,49 Perbedaan studi ini dengan studi
yang dilakukan Singh et al15 ialah bahwa pada studi tersebut pemberian profilaksis
nepafenac diberikan 1 hari sebelum operasi hingga hari ke 90 pasca operasi.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 39!

Selain ketebalan fovea, pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran volume
makula (total macular volume). Kebocoran pada makula selain menyebabkan
penebalan makula juga akan menunjukkan adanya penambahan volume pada
makula. Tidak banyak penelitian lain yang mengevaluasi perubahan volume
makula karena ketebalan makula yang berhubungan langsung dengan tajam
penglihatan dan bukan volume.38

Pada penelitian ini, empat minggu setelah fakoemulsikasi didapatkan peningkatan


volume makula pada kedua kelompok yang secara statistik berbeda bermakna
(p<0,05). Pada kelompok nepafenac peningkatan ini sedikit lebih rendah
dibandingkan kelompok plasebo (0,43 mm3 : 0,55 mm3) dan jika dibandingkan
tidak bermakna secara statistik (p=0,621). Hasil ini berbeda dengan studi dari
Singh et al15 yang mendapatkan bahwa perubahan volume makula pada hari ke 14
hingga 90 pasca fakoemulsifikasi secara klinik dan statistik, kelompok nepafenac
memiliki presentase perubahan volume makula yang lebih kecil dibandingkan
kelompok plasebo.

Pada grup nepafenac dalam penelitian ini perubahan volume makula tidak sejalan
dengan perubahan ketebalan makula, dimana pada pengukuran ketebalan fovea
terjadi kecenderungan perubahan yang menurun sedangkan pada pengukuran
volume makula terjadi kecenderungan peningkatan pada evaluasi minggu ke-4
pasca fakoemulsifikasi. Peneliti menyimpulkan keadaan ini mungkin terjadi
karena volume makula yang terukur ialah volume keseluruhan makula bukan
volume fovea.

Selain volume makula, secondary outcome yang dinilai dalam penelitian ini ialah
perbandingan jumlah sel di bilik mata depan dan perbandingan tajam penglihatan
dengan koreksi (TPDK) antar 2 kelompok. Pada penelitian ini tingkat peradangan
di bilik mata depan didapatkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik
antara kedua kelompok pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (p=0,27), meskipun
jika melihat persentase, pada kelompok plasebo memiliki persentase lebih besar
dalam jumlah sel di bilik mata depan dibandingkan kelompok nepafenac (38,9% :

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 40!

5,6%). Hal ini berbeda dengan studi yang dilakukan Lane et al29, dimana pada
studi tersebut menunjukkan kelompok nepafenac secara statistik menurunkan
reaksi inflamasi di bilik mata depan dibandingkan kelompok plasebo. Kelemahan
metodologi pada penelitian ini adalah jumlah sampel yang lebih sedikit dan
pengukuran jumlah sel yang tidak mengggunakan flaremeter, dimana alat ini lebih
sensitif dalam pengukuran jumlah sel di bilik mata depan dibandingkan
pengukuran jumlah sel dengan metode klasifikasi Nussenblatt.39 Peneliti juga
melakukan pengukuran jumlah sel pada akhir follow-up (4 minggu pasca
fakoemulsifikasi) namun dikarenakan seluruh subyek pada kedua kelompok
mendapatkan jumlah sel 0, analisa statistik tidak dapat dilakukan.

Studi Singh et al15 mengatakan bahwa tetes mata nepafenac dapat mengurangi
risiko penurunan tajam penglihatan satu bulan pasca fakoemulsifikasi pada pasien
retinopati diabetik. Pada penelitian ini, didapatkan 4 pasien pada kelompok
plasebo mendapatkan tajam penglihatan < 6/6 setelah 4 minggu pasca
fakoemusifikasi, namun jika dibandingkan dengan kelompok nepafenac secara
statitistik tidak berbeda bermakna (p=0,16). Jika dikorelasikan dengan ketebalan
fovea, ke-4 pasien tersebut mengalami peningkatan ketebalan fovea > 20 % 4
minggu pasca operasi katarak. Hal ini sesuai dengan studi oleh Nicholas et al50
yang menunjukkan korelasi yang positif antara penurunan tajam penglihatan
dengan peningkatan ketebalan fovea ± 20% 6 minggu pasca operasi
fakoemulsifikasi.

Dilaporkan bahwa tetes mata nepafenac dapat memberikan efek samping berupa
sensasi benda asing, nyeri pada mata, fotofobia, reaksi alergi dan gangguan
gastrointestinal.29 Pada penelitian ini semua subyek pada kelompok nepafenac
tidak mengalami efek samping yang disebutkan diatas.

Penelitian ini memiliki kelebihan berupa desain uji klinis randomisasi yang
tersamar. Hingga saat ini, belum ada penelitian sebelumnya di Indonesia yang
menilai efektivitas obat tetes mata nepafenac 0,1%, sehingga penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan. Kelebihan lain dari penelitian ini ialah

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 41!

penggunaan SD-OCT dalam pengukuran ketebalan dan volume fovea dimana


pada penelitian sebelumnya masih menggunakan TD-OCT.

Kelemahan dari penelitian ini antara lain jumlah sampel dalam penelitian ini
terlalu kecil sehingga perbedaan yang seharusnya bermakna menjadi kurang
bermakna, seperti pada perubahan ketebalan fovea antara kedua kelompok 4
minggu pasca fakoemulsifikasi. Kelemahan lainnya ialah pengukuran reaksi
inflamasi di bilik mata depan yang tidak menggunakan flaremeter.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 42!

BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN

7.1. SIMPULAN
1. Terdapat peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo yang
bermakna secara klinis dan statistik sedangkan pada kelompok nepafenac
tidak didapatkan perubahan pada evaluasi minggu ke 4.
2. Terdapat peningkatan volume makula pada kedua kelompok yang
bermakna secara statistik namun peningkatan tersebut tidak berbeda
bermakna jika dibandingkan antar kedua kelompok pada evaluasi minggu
ke-4.
3. Kelompok nepafenac secara klinis mengurangi risiko timbulnya
peradangan di bilik mata depan dibandingkan kelompok plasebo pada
evaluasi hari-1 walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna.
4. Pemberian tetes mata nepafenac secara klinis dapat mengurangi risiko
terjadinya CME dan penurunan tajam penglihatan dibandingkan plasebo
pada evaluasi minggu ke-4 walaupun secara statitistik tidak berbeda.

7.2. SARAN
Perlu dilanjutkan dengan penelitian yang sama dengan subyek yang lebih
banyak sehingga perbedaan klinis yang bermakna dapat mencapai
kemaknaan statistik agar dapat diambil kesimpulan yang sahih.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 43!

DAFTAR PUSTAKA

1. Wild S, Roglic G, Green A, et al. Global prevalence of diabetes: estimates


for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care 2004;27:1047-
53
2. Sivaprasad S, Gupta B, Crosby-Nwaoby, Evans J. Prevalence of diabetic
retinopathy in various ethnic groups: a worldwide perspective. Surv
Ophthalmol 2012;57:347-70.
3. Sya’baniah UN, Andayani G, Djatikusumo A. Penelitian deskriptif:
Prevalensi dan faktor risiko retinopati diabetik pada pasien diabetes
mellitus berdasarkan skrining fotografi fundus di RS Cipto
Mangunkusumo.2012
4. Gupta A, Gupta V. Diabetic maculopathy and cataract surgery.
Ophthalmol Clin of North America 2001;14:625-37.
5. Romero-Aroca P, Fernandez-Ballart J, Almena-Garcia M, Mendez-Marin
I, Salvat-Serra M, Buil-Calvo JA. Nonproliferative diabetic retinopathy
and macular edema progression after phacoemulsification: prospective
study. J Cataract Refract Surg 2006;32:1438–44.
6. Miyake K, Ibaraki N. Prostaglandins and macular edema. Surv
Ophthalmol 2002;47(Suppl 1):S203-18.
7. Pollack A, Leiba H, Bukelman A, Oliver M. Cystoid macular edema
following cataract extraction in patient with diabetes. Br J Ophthalmol
1992;76:221-4.
8. Kim SJ, Equi R, Bressler NM. Analysis of macular edema after cataract
surgery in patients with diabetes using optical coherence tomography.
Ophthalmol 2007;114:881-9.
9. Kim SY, Yong J, Lee YC, Park YH. Effect of a single intraoperative sub-
Tenon injection of triamcinolone acetonide on the progression of diabetic
retinopathy and visual outcomes after cataract surgery. J Cataract Refract
Surg 2008:34:823-6.
10. Rosseti L, Chaudhuri J, Dickersin K. Medical prophylaxis and treatment of
cystoid macular edema after cataract surgery; the results of meta analysis.
Ophthalmol 1998;105:397-405.
11. Almeida DR, Khan Z, Xing L, Bakar SN, Rahim K, Urton T et al.
Prophylactic nepafenac and ketorolac versus plasebo in preventing
postoperative macular edema after uneventful phacoemulsification, J
Cataract Refract Surg 2012;38:1537–43.
12. Kim SJ, Flach AJ, Jampol LM. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs in
ophthalmology. Surv Ophthalmol 2010;55:108-33.
13. Walters T, Raizman M, Ernest P, Gayton J, Lehmann R. In vivo
pharmacokinetics and in vitro pharmacodynamics of nepafenac, amfenac,
ketorolac, and brofenac. J Cataract Refract Surg 2007; 33:1539-45.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 44!

14. Gamache DA, Graff G, Brady MT, Spellman JM, Yanni JM. Nepafrenac,
a unique nonsteroidal prodrug with potential utility in the treatment of
trauma-induced ocular inflammation: I. Assessment of anti-inflammatory
efficacy. Inflammation 2000;24:371-84.
15. Singh R, Alpern L, Jaffe GJ, Lehmann RP, Lim J, Reiser H et al.
Evaluation of nepafenac in prevention of macular edema following
cataract surgery in patients with diabetic retinopathy. Clinical
Ophthalmology 2012;6:1259-69,
16. American Academy Ophthalmology Staff. In: fundamentals and principles
of ophthalmology. Basic and clinical science course; 2011: p41-86.
17. American Academy of Ophthalmology Staff. In: retina and vitreous. Basic
and clinical science course: 2011. p109-32
18. Bringmann A, Pannicke T, Grosche J, Francke M, Wiedemann P,
Skatchkov SN, et al. Muller cells in the healthy and diseased retina.
Progress in Retinal and Eye Research 2006;25:397-424
19. Forrester JV, Dick AD, McMenamin PG, Lee WR. In: anatomy of the eye
and orbit. London: WB Saunders; 2002. p. 1-87.
20. Ciulla TA, Harris A, Latkany P, Piper HC, Arend O, Garzozi H, et al.
Ocular perfusion abnormalities in diabetes. Acta Ophthalmol Scand 2002;
80: 468-77.
21. Gardner TW, Antonetti , Barber AJ, LaNoue KF, Levison SW,. Diabetic
retinopathy: more than meets the eye. Surv Ophthalmol
2002;47(suppl):253-62.
22. Brignardello E, Beltramo E. Dehydroepiandrosterone protects bovine
retinalcapillary pericytes against glucose toxicity. J Endocrinol
1998;158:21–6.
23. Barber AJ, Antonetti DA, Gardner TW. Altered expression of retinal
occludin and glial fibrillary acidic protein in experimental diabetes. Invest
Ophthalmol Vis Sci 2000;41:3561–8.
24. Rungger-Brandle E, Dosso AA, Leuenberger PM. Glial reactivity, an early
feature of diabetic retinopathy. Invest Ophthalmol Vis Sci 2000;41:1971–
80.
25. Zeng XX, Ng YK, Ling EA. Neuronal and microglial response in the
retina of streptozotocin-induced diabetic rats. Vis Neurosci 2000;17:463–
71.
26. Tranos PG, Wickremasinghe SS, Stangos NT, Topouzis F, Tsinopoulos I,
Pavesio CE. Macular edema. Surv Ophthalmol 2004;49(5):470-90.
27. Flach AJ. The incidence, pathogenesis and treatment of cyctoid macular
edema, following cataract surgery. Tr Am Ophth Soc 1998;96:556-618.
28. Ke T-L, Graff G, Spellman JM, Yanni JM. Nepafenac, a unique non-
steroidal prodrug with potential utility in the treatment of trauma-induced
ocular inflammation: II. In vitro bioactivation and permeation of external
ocular barriers. Inflammation 2000;24:371-84.
29. Lane SS, Modi SS, Lehmann RP, Holland EJ. Nepafenac ophthalmic
suspension 0.1 % for the prevention and treatment of ocular inflammation
associated with cataract surgery. J Cataract Refract Surg 2007;33:53-8.
30. Kapin Ma, Yanni JM, Brady MT. Inflammation-mediated retinal edema in
the rabbit is inhibited by topical nepafenac. Inflammation 2003;27:281-91.
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 45!

31. Brancato R, Lumbroso B. In: guide to optical coherence tomography


interpretation. Roma: I.N.C Publisher; 2004. p25.
32. Schuman JS, Puliafito CA, Fujimoto JG. In: optical coherence tomography
of ocular diseases. New York: Slack Incorporated; 2004. p52-55.
33. Koleva-Georgieva D. Optical coherence tomography findings in diabetic
macular edema. Graefe’s Arch Clin Exp Ophthalmol 2009;247:1461-9
34. Dacosta S, Rajendran B, Janakiraman P. In: spectral domain OCT. India:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2008. p17-25.
35. Kiernan DF, Mieler WF, Hariprasad SM. Spectral-domain optical
coherence tomography: a comparison of modern high-resolution retinal
imaging systems. Am J Ophthalmol 2010;149:18-31.
36. Costa-Cunha LV, Cunha LP, Malta RF, Monteiro ML. Comparison of
Fourier-domain and time-domain optical coherence tomography in the
detection of band atrophy of the optic nerve.Am J Ophthalmol 2009;147:
56–63.
37. Tan AC, Loon SC, Choi H, Thean L. Lens opacities classification system
III: cataract grading variability between junior and senior staff at a
Singapore hospital. J Cataract Refract Surg 2008;34:1948-52.
38. Risriwani D, Elvioza, Hutauruk J. Pengaruh meloxicam terhadap
perubahan ketebalan makula pasca fakoemulsifikasi pada penderita non-
proliferative diabetic retinopathy. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2008.
39. Nussenblatt RB, Whiteup SM. In: uveitis fundamentals and clinical
practise 3rd ed. Philadelphia: Mosby; 2004: p.57.
40. Elvioza. Dasar-dasar OCT. Proceeding of the 5th Sumatera
Ophthalmologist Meeting. Palembang: Indonesia Ophthalmology
Association; 2007.
41. Klein R, Klein BEK, Moss SE, Cruickshanks KJ. The winconsin
epidemiologic study diabetic retinopathy: XVII. The 14-year incidence
and progression of diabetic retinopathy and associated risk factors in type
1 diabetes. Ophthalmol 1998;105:1801-15
42. West SK, Valmadrid CT. Epidemiology of risk factors for related age-
related cataract. Surv Ophthalmol 1995;39(4):323-34.
43. Kohner EM. The effect of diabetic control on diabetic retinopathy. Eye
1993;7:309-11.
44. Dholakia SA, Vasavada AR. Intraoperative performance and longterm
outcome of phacoemulsification in age related cataract. Indian J of
Ophthalmol 2004;54(4):311-7.
45. Henderson BA, Kim JY, Ament CS, Ferrufino-Ponce ZK, Grabowska A,
Cremers SL. Clinical pseudophakic cystoid macular edema risk factors of
development and duration after treatment. J Cataract Refract Surg 2007;
33:1550-8.
46. Han IC, Jaffe GJ. Comparison of spectral- and time- domain optical
coherence tomography for retinal thickness measurements in healthy and
diseased eyes. Am J Ophthalmol 2009; 147: 847-58.
47. Lindstrom R, Kim T. Ocular permeation and inhibition of retinal
inflammation: an examination of data and expert opinion on the clinical

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 46!

utility of nepafenac.Current Medical Research and Opinion 2006; 20(2):


397-404.
48. Nardi M. Nepafenac in the prevention and treatment of ocular
inflammation and pain following cataract surgery and in the prevention pf
post-operative macular oedema in diabetic patients. European Ophthalmic
Review 2012; 6(3): 169-72.
49. Wolf EJ, Braunstein A, Shih C, Braunstein RE. Incident of visually
significant pseudophakic macular edema after uneventful
phacoemulsification in patients treated with nepafenac. J Cataract Refract
Surg 2007; 33: 1546-9.
50. Nicholas S, Riley A, Patel H, Neveldson B, Purdie G, Wells AP.
Correlations beteween optical coherence tomography measurement of
macular thickness and visual acuity after cataract extraction. Clin Axp
Ophthalmol 2006; 80: 468-77.

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 47!

Lampiran 1. Formulir Penelitian


PROFILAKSIS TETES MATA NEPAFENAC 0.1% TERHADAP
PERUBAHAN KETEBALAN MAKULA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
PADA PENDERITA
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY
Pemeriksaan menggunakan spectral-domain optical coherence tomography
(SD-OCT)

I. Identitas
No. : …………………… No. rekam medis :…………………….
Nama : …………………………………………..jenis kelamin : L/P
Usia : ……………………….. tahun
Alamat : …………………………………………………………………….
……………………………………………………………………...
Telepon: Rumah/Kantor : ……………………….................................
Handphone : ……………………….................................

II. Data awal (tanggal ……………………)


1. TPTK (logMAR) : OD ……… OS …….
2. TPDK (logMAR) : OD ……… OS …….
3. Derajat katarak :
4. Derajat NPDR :
5. Kadar HbA1c :
6. GDP / GD2PP :
7. Phaco time :

III. Ketebalan dan volume fovea pre dan pasca fakoemulsifikasi


Fovea Pre-operasi Pasca operasi minggu ke 4
Ketebalan
Volume

IV. Tajam penglihatan dan jumlah sel flare pasca operasi


Variabel Hari 1 Minggu ke 4 pasca fakoemulsifikasi
TPTK
TPDK
Sel dan flare

V. Efek samping nepafenac


Gejala
Sensasi benda asing
Nyeri pada mata
Fotofobia
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 48!

Reaksi alergi
Gangguan gastrointestinal
Lain-lain

Lampiran 2. Informed Consent

FORMULIR PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT)


Informasi diberikan kepada subyek penelitian

PROFILAKSIS TETES MATA NEPAFENAC 0.1% TERHADAP


PERUBAHAN KETEBALAN MAKULA PASCA FAKOEMULSIFIKASI
PADA PENDERITA
NON-PROLIFERATIVE DIABETIC RETINOPATHY
Pemeriksaan menggunakan spectral-domain optical coherence tomography
(SD-OCT)
!
! Bapak/Ibu Yth, saat ini Bapak/Ibu telah menderita penyakit kencing manis
(diabetes mellitus) yang telah menimbulkan komplikasi pada saraf mata yang
disebut sebagai retinopati diabetik. Retinopati diabetik yang diderita oleh
Bapak/Ibu termasuk dalam kategori ringan dan sedang dimana pada kategori ini
belum memerlukan penangan khusus selain mengontrol kadar gula darah. Namun,
selain adanya retinopati diabetik tersebut, Bapak/Ibu juga menderita katarak yang
cukup tebal dan menyebabkan penglihatan Bapak/Ibu buram. Operasi katarak
diperlukan untuk dapat memperbaiki penglihatan, yaitu mengeluarkan lensa yang
keruh kemudian menggantinya dengan lensa buatan.
Salah satu komplikasi yang mungkin terjadi setelah operasi selesai adalah
terjadinya pembengkakan pada saraf mata, sebagai akibat dari reaksi peradangan
dari tubuh sendiri yang disebut sebagai cystoid macular edema (CME). Cystoid
macular edema merupakan suatu keadaan yang dapat menyebabkan turunnya
tajam penglihatan. Salah satu tujuan pemberian obat tetes mata setelah operasi
katarak adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pembengkakan ini.
Adanya diabetik retinopati yang dialami Bapak/Ibu pada saat operasi
katarak sudah dibuktikan dapat meningkatkan risiko terjadinya pembengkakan
pada saraf mata seperti yang sudah dijelaskan. Untuk mengurangi risiko tersebut
diperlukan obat anti radang tambahan untuk pasien diabetik retinopati yang akan
menjalani operasi katarak. Saat ini, kami tim peneliti dari Departemen Mata
Kirana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sedang mengadakan penelitian yang
bertujuan mengetahui efek pemberian obat anti radang terhadap pembengkakan
saraf mata pada penderita retinopati diabetik yang akan menjalani operasi katarak.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, Bapak/Ibu telah memenuhi
syarat untuk mengikuti penelitian ini. Sebelum operasi dilakukan, Bapak/Ibu akan
diperiksa kada gula darah (GDP/GD2PP), kadar hemoglobin pengikat gula
(HbA1c), dan pemeriksaan saraf mata dengan alat yang bekerja seperti kamera
atau disebut dengan nama SD-OCT. Pembiayaan pemeriksaan ini sepenuhnya
akan menjadi tanggung jawab peneliti. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum dan
28 hari pasca operasi katarak. Saat dilakukan pemeriksaan saraf mata, Bapak/Ibu
diminta untuk tidak datang sendiri karena kami akan melebarkan manik-manik
mata Bapak/Ibu dengan tetes mata yang dapat menimbulkan rasa silau dan kabur
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013
! 49!

saat melihat dekat selama kurang lebih 4 jam Bapak/Ibu akan mendapat obat
dalam bentuk tetes mata yang harus digunakan setiap hari, mulai dari 3 hari
sebelum operasi katarak hingga 14 hari setelah operasi katarak. Frekuensi
pemberian obat ini sebanyak 3 kali dalam sehari.
Bapak/Ibu bebas menolak berpartisipasi atau mengundurkan diri dalam
penelitian ini karena sesuatu hal, Jika Bapak/Ibu bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini, Bapak/Ibu harus mengikuti aturan dan tatacara penelitian ini. Jika
selama penelitian terdapat hal yang belum jelas atau keluhan lainnya, Bapak/Ibu
boleh datang untuk kontrol kapan saja atau menghubungi: Dr. Soefiandi
Soedarman di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSCM Kirana, nomor telepon:
08181289094
Kami akan menjaga kerahasiaan Bapak/Ibu, sehingga data dalam
penelitian ini hanya akan diketahui oleh peneliti. Terima kasih atas perhatian dan
kerjasama Bapak/Ibu sekalian. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk
pencegahan kebutaan yang disebabkan oleh kencing manis dan katarak di masa
yang akan datang

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 50!

Lampiran 3. Formulir persetujuan mengikuti penelitian

PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : …………………………………………………………………
Usia : ………………………………………………………………….
Alamat : …………………………………………………………………….
Telepon : Rumah :…………………………………………………….
HP :…………………………………………………….
Setelah mendapatkan informasi yang cukup dari Dr. Soefiandi Soedarman dan
menyadari sepenuhnya manfaat dan risiko terhadap pemeriksaan dan pengobatan
yang akan dilakukan pada penelitian ini, maka dengan sukarela saya menyetujui
untuk ikut serta dalam penelitian. Saya bersedia mematuhi segala aturan yang
diberikan. Apabila selama penelitian berlangsung terdapat sesuatu yang dianggap
merugikan saya, maka saya berhak membatalkan persetujuan ini. Demikian
perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak
mana pun.

Jakarta, ………………………2013
Tanda tangan pasien dan nama jelas

………………………………………

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! 51!

Lampiran 4. Surat keterangan lolos kaji etik

Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013


! lii!

! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!Universitas Indonesia
Profilaksis tetes…, Soefiandi Soedarman, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai