Oleh :
Endi Pramudya Laksana
NPM 131221170510
TESIS
Kata kunci: edema makula diabetik, ketebalan makula, sensitivitas retina, OCT,
Mikroperimetri MP3
ABSTRACT
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas karunia dan rahmatNya
sehingga tesis ini dapat diselesaikan.Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Pendidikan Dokter
Penulis menyampaikan rasa hormat kepada Prof.Dr. Rina Indiastuti. S.E., M.SIE
Universitas Padjadjaran Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., Sp.OG(K) yang telah
Padjadjaran.
Tjakrasudjatma, dr, SpM, (alm) Prof. Dr. Gantira Natadisastra, dr, SpM(K), (alm)
Prof Dr. Farida Sirlan, dr, SpM(K), dan Prof Arief S. Kartasasmita, dr, SpM(K),
MM, M.Kes, PhD, selaku guru besar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
dukungan, bimbingan, serta suri tauladan yang tidak ternilai bagi penulis selama
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada jajaran direksi Pusat Mata
Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, dr Irayanti SpM(K), MARS selaku
Direktur Utama dan Dr. Antonia Kartika, dr., SpM(K), M.Kes selaku DIrektur
iv
v
untuk dapat belajar, bekerja, dan menggunakan sarana dan prasarana di Pusat Mata
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Arief S. Kartasasmita, dr,
SpM(K), MM, M.Kes, PhD dan Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), M.Kes selaku
Kepala departemen dan PLT Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran serta Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., SpOG(K)
dan Dr. Irawati Irfani, dr., SpM(K), M.Kes selaku Ketua Program Studi dan
Padjadjaran.
Prof Arief S. Kartasasmita, dr, SpM(K), MM, M.Kes, PhD selaku pembimbing I
dan dr. Primawita O. Amiruddin SpM(K), M.Kes selaku pembimbing II yang telah
berlangsung sehingga penelitian ini berjalan lancer sampai tahap akhir penyelesaian
tesis ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Andika Prahasta
dr, SpM(K), M.Kes, Dr. Angga Kartiwa dr, SpM(K), M.Kes, dr Rova Virgana
SpM(K) yang telah memberikan masukan dan gagasan sehingga pada akhirnya tesis
ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih juga kepada dr Patriotika Muslima
SpM sebagai notulensi dalam rangkaian siding yang penulis jalani. Penulis ucapkan
terima kasih pula kepada Dr. Elsa Gustianty, dr SpM(K), M.Kes sebagai mentor
penulis selama Pendidikan yang telah memberikan dukungan, saran, dan bimbingan
selama penulis menjalani Pendidikan. Ucapan terima kasih kepada seluruh staf
vi
dan menjadi teladan yang baik bagi penulis selama masa pendidikan.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Nurvita Trianasari, S.Si, M.Stat
atas bantuan analisis data statistic. Terima kasih kepada ibu Sri Ambarwati, Ibu
Mumbaryatun, Bapak Ajat Sudrajat, dan Kang Ludfi selaku staf secretariat dan
yang banyak membantu penulis selama masa Pendidikan. Kepada seluruh perawat
dan karyawan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, penulis
mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, Kerjasama yang telah terjalin
selama ini dan terlebih kepada pasien-pasien sebagai sumber ilmu penulis selama
belajar.
Penghargaan tertinggi untuk kedua orang tua penulis, Papi tercinta (alm) Kol.
Benny Effendy S.IP dan Mami tersayang Effi Ariani S.IP serta Bapak dan Ibu
mertua penulis, dr Dikki Drajat Kusmayadi Sp.BA(K) dan Hely Melawati. Tiada
kata yang dapat mengungkapkan betapa besar rasa syukur dan cinta penulis kepada
Orantua penulis. Terima kasih atas cinta, kasih saying, dukungan, kepercayaan, dan
memberikan teladan dalam menjalani kehidupan, semangat dan doa yang tidak
melimpahkan berkat dan Kesehatan kepada orangtua penulis. Rasa terima kasih
yang dalam juga penulis haturkan kepada istri dan anak tercinta, dr Silmina
Kusmaheidi, Hasillah Ralinsha Asilend dan Kairashi Rafisqy Asilend yang telah
Ucapan terima kasih tulus penulis ucapkan kepada adik tersayang Letda. Rexy
Chandra Yudha, Ivena Fahriza Effendy, dr. Syarafina Kusmaheidi, dan M. Faisal
atas perhatian, doa dan pengertiannya dalam mendukung penulis selama mengikuti
Pendidikan.
Kepada seluruh sahabat, teman sejawat residen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Radit, Akbar, Arnov, Tommy, Andre, Ivan, Sita, Nova, Pauline, Magda, Nuzul,
Nay, Daniel, Liani terima kasih atas persahabatan kebersamaan, Kerjasama dan
Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu, meskipun penulis tidak
dapat menyebut satu persatu, tetapi penulis yakin segala bantuannya akan
diperhitungkan oleh Allah SWT dan akan membalas seluruh kebaikan, kesabaran,
dan keikhlasan yang telah Bapak/ Ibu/ Saudara berikan kepada penulis selama ini.
Penulis,
ABSTRACT……………………………………………………………….………i
ABSTRACT………………………………………………………………….……ii
PERNYATAAN…………………………………………………………………iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………….……..iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….…..…...x
DAFTAR TABEL………………………………………………………..………xi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...xiii
BAB I PENDAHULUAN……………………….………………………………..1
1.1 Latar Belakan...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….……….4
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….5
1.4 Kegunaan Penelitian……………………………………………………5
1.4.1 Kegunaan Penelitian…………………………………………….5
1.4.2 Kegunaan Praktis………………………………………………..5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS………………………………………………………………………6
2.1 Kajian Pustaka…………………………………………………………..6
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Retina………………………………………6
2.1.2 Retinopati Diabetik………………………………………………..10
2.1.2.1 Klasifikasi Retinopati Diabetik……………………………..14
2.1.2.2 Pemeriksaan Penunjang Edema Makula Diabetik………….16
2.1.2.3 Tatalaksana Edema Makula Diabetik………………………20
2.2 Kerangka Pemikiran…………………………………………………...22
2.3 Premis dan Hipotesis…………………………………………………...24
2.3.1 Premis……………………………………………………………..24
2.3.2 Hipotesis…………………………………………………………..25
2.4 Bagan Kerangka Pemikiran…………………………………………...25
viii
ix
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR SINGKATAN
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
diakibatkan oleh kebocoran cairan dari pembuluh darah makula pasien yang
factor (VEGF). Berdasarkan World Health Organization (WHO) sekitar 8,4 juta
penduduk pada tahun 2000 mengidap DM dan diperkirakan akan bertambah hingga
21,3 juta penduduk pada tahun 2030. Edema makula diabetik merupakan salah satu
Indonesia sebanyak 0,13% dan penelitian yang dilakukan pada tahun 2019
dikatakan rentang usia terbanyak untuk penderita DME adalah usia 50-59 tahun
sebanyak 51,4%.1-4
pembuluh darah retina dalam rentang waktu panjang pada penderita diabetik
perifovea dan terjadi akumulasi cairan pada intraselular ekstraselular retina yang
1
2
venous beading, gangguan sawar darah retina dengan terdapat area terlokalisir
akibat kebocoran kapiler. Kekurangan dari FA yaitu bersifat invasif, waktu sedikit
lama, dan memerlukan Fluorescein sebagai zat pewarna yang memiliki efek yang
merugikan berupa mual, muntah dan urtikaria. Pemeriksaan FA juga terdapat light
scattering pada lapisan inner retina sehingga tidak dapat menilai deep capillary
network.5,16-20
gambaran potong melintang dari lapisan retina dalam dan merupakan metode yang
dan tidak bersifat invasif sehingga lebih sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis DME dibandingkan dengan FA. Untuk menilai capillary density flow dan
merupakan metode untuk melihat pergerakan dari sel darah merah dengan cara
3
yang sama. Pemeriksaan OCTA dapat memberikan gambaran resolusi tinggi pada
lapisan vaskularisasi retina dengan cepat dan tidak invasif karena tidak
yang digunakan untuk menilai data dari OCTA seperti area FAZ, densitas
dan OCTA merupakan pemeriksaan untuk menilai struktural dari makula. Penilaian
Sensitivitas retina pada pasien DME dapat menurun akibat adanya gangguan
perfusi pada sel ganglion retina. Mikroperimetri dapat menilai sensitivitas retina
pada lokasi yang tepat dikarenakan dapat memilih lokasi yang akan dilakukan
pemeriksaan dari gambaran fundus. Salah satu alat terbaru untuk pemeriksaan
terpadat pada retina dan memiliki proses metabolisme tertinggi, sehingga makula
merupakan area paling tepat untuk menilai adanya penurunan sensitivitas pada
retina. Prinsip utama tatalaksana pada pasien DME adalah kontrol faktor sistemik
dan tatalaksana terhadap okular. Kontrol faktor sistemik bertujuan untuk mencegah
Kelainan DME perlu dievaluasi baik secara fungsional dan struktural, sehingga
berikut :
penderita DME.
Retina merupakan suatu lapisan yang berada pada bagian belakang bola mata
dan memiliki ketebalan sekitar 0.5mm. Retina mencakup suatu area dengan
diameter berkisar antara 30-40mm. Bagian sentral dari retina disebut dengan
makula terletak diantara saraf optik dan vaskularisasi bagian temporal. Secara
histologi makula memiliki 2 atau lebih sel ganglion, sehingga sel ganglion pada
area makula menyusun 50% dari jumlah sel ganglion di seluruh retina.5,6
Bagian sentral dari makula disebut dengan fovea memiliki luas 1,5mm
berfungsi untuk penglihatan spasial tingkat tinggi dan juga penglihatan warna.
Terdapat area pada fovea yang tidak memiliki suplai darah dari pembuluh darah
retina disebut Foveal avascular zone (FAZ). Foveola merupakan area dengan
66
7
diameter 0,35mm yang berada di tengah fovea. Parafovea mengelilingi fovea dan
memiliki sel ganglion, lapisan sel nuclear dalam, serta lapisan pleksiform luar
paling tebal. Area parafovea dikelilingi oleh perifovea. Area sirkular dengan
diameter 6mm disekitar fovea disebut retina sentral, dan diluar area retina sentral
Retina memiliki beberapa lapis sel yang dapat dilihat pada preparat histologi.
Lapisan retina paling dalam terdiri dari membran limitan interna, Retina nerve fiber
layer (RNFL) yang merupakan kumpulan akson dari sel ganglion, lapisan sel
ganglion yang terdiri dari badan sel ganglion, lapisan pleksiform dalam, lapisan
nuklear dalam, membran limitan medial, lapisan pleksiform luar, lapisan serabut
henle, lapisan nuklear luar yang terdiri dari nukleus fotoreseptor, membran limitan
8
eksterna, lapisan segmen dalam sel batang dan kerucut, serta lapisan segmen luar
sel batang dan kerucut di bagian terluar. Retina memiliki 2 tipe sel glial, yaitu
makroglia yang terdiri dari sel Muller dan astrosit, serta mikroglia.5-7
retina. Area fovea memiliki sel fotoreseptor dan prosesus dari sel Muller,
sedangkan pada foveola hanya memiliki sel kerucut. Area perifer retina jumlah sel
sel batang berada pada 4mm dari tengah fovea, kemudian semakin perifer akan
semakin menurun. Sel kerucut bersinaps 1:1 dengan sel bipolar pada area sentral
sedangkan sel batang dapat mencapai lebih dari 100 sel untuk bersinaps dengan 1
sel bipolar, kemudian sel bipolar akan bersinaps dengan sel ganglion. Selain
menerima masukan dari sel bipolar, sel ganglion juga menerima masukan dari sel
amakrin. Akson-akson dari sel ganglion berjalan disepanjang permukaan retina dan
beberapa tipe yaitu tipe on, on-off dan off, sedangkan secara morfologi dibedakan
menjadi sel alfa dan sel beta. Masing-masing tipe terbagi menjadi subtipe a dan b
pleksiform dalam. Sel ganglion subtipe a merupakan sel ganglion tipe sentral OFF,
sementara subtipe b merupakan tipe sentral ON. Berdasarkan lama respon sel
ganglion dibagi menjadi tipe X untuk respon berkelanjutan dan tipe Y untuk respon
singkat. Sel ganglion juga dapat dibagi menjadi sel M dan P berdasarkan respon
visual yang dihantarkan. Sel P lebih banyak terdapat pada bagian sentral retina dan
9
memiliki sensitivitas pada frekuensi spasial tinggi sehingga baik untuk penglihatan
tajam, sedangkan sel M lebih banyak terdapat pada area perifer retina dan memiliki
afinitas pada frekuensi spasial rendah. Sel ganglion akan membentuk suatu aksi
potensial yang dihantarkan keluar retina pada nukleus genikulatum lateral. Aksi
Respon dari sel ganglion tersebut membuat seseorang dapat melihat stimulus visual,
sehingga apabila terdapat hambatan transmisi sinyal oleh sel ganglion akibat
Retina memiliki dua zona oksigenasi yang berbeda, yaitu retina bagian dalam
dan luar. Retina bagian dalam diperdarahi oleh vaskularisasi retina yang memiliki
konstan. Arteri retina sentral melalui kanal optik masuk kedalam mata dan
yaitu kapiler radial peripapil yang terletak pada lapisan RNFL, pleksus vaskular
superfisial pada lapisan sel ganglion serta 2 lapisan pleksus kapiler dalam yang
terletak pada masing-masing sisi lapisan nuklear dalam. Retina bagian luar
diperdarahi oleh vaskularisasi yang berasal dari koroid. Vaskularisasi koroid tidak
sistemik seseorang dapat mempengaruhi kadar oksigen retina bagian luar secara
langsung.6-8
10
diabetes yang menyerang 1 dari 3 orang dengan Diabetes Melitus (DM). Retinopati
Diabetik terjadi pada hampir seluruh penderita DM tipe 1 dan 77% pada DM tipe
penyebab kelima kebutaan yang dapat dicegah, dan penyebab kelima paling sering
diagnosis.1-3,5
memiliki DR di Amerika Serikat, Australia, Eropa dan Asia. Studi tersebut juga
tahun 2010 didapatkan 92 juta orang dewasa menderita DR, dengan 17 juta orang
menderita PDR dan 20 juta orang menderita DME serta 28 juta orang menderita
VTDR.3,4
jalur biokimia dan molekul salah satunya adalah peningkatan stres oksidatif
inflamasi, dan jalur protein kinase-C dengan hasil akhir kerusakan endotel dan
dan hilangnya selektif perisit dapat menyebabkan oklusi kapiler dan nonperfusi
oksidasi residu asam amino dan lipid peroksidase. Radikal bebas diproduksi secara
GSH, vitamin C dan E yang relatif rendah, diperkirakan terjadi karena adanya
sorbitol melalui kerja enzim aldose reduktase. Pada keadaan normal, glukosa
melalui jalur poliol. Adanya sorbitol yang tidak dapat menembus membran sel
kerusakan sel. Peningkatan aktivitas jalur poliol juga merubah status redox dari
12
nukleotida piridin tNADP+ dan NAD+. Kedua nukleotida ini merupakan faktor
penting pada banyak reaksi katalisasi enzim, sehingga akan mempengaruhi banyak
vaskular sel otot polos. Pada proses ini terjadi remodeling dari matriks ekstraseluler
vascular, sehingga dapat menimbulkan adhesi leukosit dan disfungsi endotel yang
Elemen penting pada penebalan membran basalis kapiler adalah kolagen tipe IV
seperti heparin sulfat, laminin, dan fibronektin. Pada diabetes, diduga terdapat
permeabilitas, dan/atau oklusi atau kapiler non perfusi. Dua mekanisme patologis
tanda paling dini dan paling spesifik dari retinopati diabetik. Perisit merupakan sel
vena dan beading. Hilangnya kontak interseluler akan memicu proliferasi sel
pasti, namun terdapat dua mekanisme yang dicurigai berperan yaitu jalur aldose
endotel ditemukan menghasilkan PDGF-B dan sel perisit memiliki reseptor PDGF-
Dalam menentukan klasifikasi dari DR, perlu untuk mengetahui kelainan yang
wool spot (iskemik retina akibat akumulasi debris axoplasmic pada bundel dekat
retina dan tidak melewati Internal Limiting Membrane (ILM). Kelainan vaskular
NPDR. Derajat keparahan NPDR dapat berupa ringan, sedang, berat dinilai
berdasarkan temuan klinis funduskopi retina dibandingkan dengan foto standar dari
akibat keadaan retina denganb iskemik luas. Klasifikasi PDR terbagi menjadi early
PDR , high risk PDR dan advanced PDR berdasarkan temuan neovaskularisasi
ditandai dengan adanya NVD atau NVE, klasifikasi high risk PDR ditandai
dengan adanya NVD dan perdarahan vitreous, sedangkan pada advanced PDR jika
menentukan klasifikasi dari DME; (1) tidak terdapat DME, tidak terdapat
penebalan retina atau hard exudate pada makula, (2) DME tanpa keterlibatan
central subfield zone (diameter 1mm), (3) DME dengan keterlibatan central
terdapat salah satu dari 3 kriteria; penebalan pada 500µm dari fovea sentral, hard
penebalan 1 diameter disk yang terletak setidaknya 1 diameter disk dari fovea
sentral.11,13-17
16
Deteksi awal pada DME dapat memberikan tatalaksana yang baik sehingga
dapat menilai keadaan non perfusi dan kebocoran kapiler pada retina. Pemeriksaan
perifer sehingga dapat secara akurat menilai tanda iskemik awal dan PDR. Tan et
menyebabkan reaksi anafilaksis, nekrosis pada jaringan lokal, mual, muntah, reaksi
pemeriksaan yang bersifat invasif, efek samping yang dapat terjadi dan terdapatnya
dilakukan dalam menentukan diagnosis DME karena dapat melihat hard exudate
dan pembuluh darah intraretinal pada lapisan retina. Pemeriksaan OCT memiliki
serta dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif pada retina dan saraf
optik. OCT saat ini telah menjadi suatu perangkat yang memiliki peran penting
cahaya kedua atau reference beam. Hasil dari pola interferensi yang dihasilkan akan
18
kemampuan scattering pada setiap jaringan yang terdapat di jalur pancaran cahaya
tersebut. Menggerakan cahaya dalam suatu garis pada jaringan akan menghasilkan
FAZ, dan non perfusi kapiler pada retina. Pembuluh darah koroid juga dapat
dan ICGA menilai keadaan patologi berdasarkan kebocoran dan pooling dari
pembuluh darah sedangkan OCTA menilai keadaan pembuluh darah retina yang
berdekatan dari cairan retina. Pemeriksaan OCTA tidak dapat melihat gambaran
19
morfologi dari makula pada pasien DME. Terdapat pemeriksaan penunjang baru
Pemeriksaan penunjang ini bersifat otomatis untuk melihat gambaran fundus retina
dan dapat dilakukan pada pasien pupil kecil. Mikroperimetri MP3 tidak bersifat
invasif dan sangat mudah untuk dilakukan. Pemeriksaan MP3 mirip dengan tes
mata lainnya dilakukan oklusi kemudian pasien akan diberikan stimulus cahaya
dan diminta untuk menekan alat saat melihat stimulus, akan tetapi karena bersifat
automatic retinal tracking stimulus yang diterima selalu pada area yang sama pada
fundus sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat. Stimulus cahaya yang
diberikan dimulai dari 0-20 desibel pada setiap pola dari 56 lokasi pada area makula
yang berbeda dan titik sentral berada pada fovea berupa lingkaran merah 1 derajat.
sensitivitas dalam decibel dan kualitas fiksasi pasien. Hasil dengan 18 dB dapat
dinilai sebagai sensitivitas retina yang normal dan dibawah itu merupakan
sensitivitas yang menurun. Fiksasi pasien dikatakan stabil jika 75% dari total
fiksasi jatuh pada area lingkaran 4 derajat, dan tidak stabil jika kurang dari 75%.22,23
A B
diderita serta ada atau tidaknya DME. Prinsip utama tatalaksana pada pasien DME
adalah kontrol faktor sistemik dan tatalaksana terhadap okular. Kontrol faktor
sedangkan tujuan terapi okular untuk mencegah kehilangan dan memperbaiki tajam
VEGF tersebut dapat memberikan hasil yang baik pada pasien DME. Berdasarkan
penglihatan yang lebih baik dibandingkan dengan tatalaksana laser pada pasien
DME dengan keterlibatan makula sentral. Terapi laser masih dapat dilakukan pada
pasien DME jika tidak terdapat keterlibatan makula sentral atau tajam penglihatan
masih lebih baik dari 20/32. Berdasarkan beberapa protokol tatalaksana injeksi
nata (PRN).14-17
perubahan pada neurovaskular retina dan berujung pada terjadinya apoptosis sel
yang memicu kehilangan sel perisit pada dinding vaskular. Proses tersebut dapat
kerusakan sawar darah-retina. Keadaan patologis pada sawar darah retina ini
gangguan perfusi pada retina sehingga dapat menyebabkan disfungsi sel ganglion
retina dan berakibat penurunan sensitivitas retina. Makula merupakan area dengan
tertinggi, sehingga makula merupakan area paling tepat untuk menilai adanya
penurunan sensitivitas pada retina. Salah satu alat terbaru untuk pemeriksaan
sensitivitas retina adalah mikroperimetri MP3, alat ini dapat melakukan tracking
Deteksi awal pada DME dapat memberikan tatalaksana yang baik sehingga
sering dilakukan dalam menentukan diagnosis DME karena dapat melihat hard
exudate dan pembuluh darah intraretinal pada lapisan retina. Pemeriksaan OCT
non-invasif serta dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif retina. 19-20
Penilaian secara fungsional dapat dilakukan dengan cara menilai sensitivitas retina.
konvensional terutama pada pasien dengan gangguan pada makula karena terdapat
sensitivitas retina pada lokasi yang tepat dikarenakan dapat memilih lokasi yang
retina.20-23
24
2.3.1 Premis
ekstraselular retina.9-14
mikroperimetri MP3.22,23
25
2.3.2 Hipotesis
Hiperglikemia Kronis
Akumulasi cairan di
Intraselular Ekstraselular retina ↓ Sensitivitas retina
BAB III
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita Diabetes Melitus (DM).
pada setiap klasifikasi Diabetik Retinopati (DR) di Pusat Mata Nasional Rumah
Sakit Mata Cicendo Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia
MP3 dan OCT yang baik pada pasien usia 40-70 tahun dengan diagnosis DR
Kriteria eksklusi pada pasien ini adalah pencitraan Mikroperimetri MP3 dan
OCT dengan hasil realibilitas tidak baik, adanya kekeruhan media refraktif yang
riwayat kelainan okular atau kelainan retina lainnya seperti iskemik makula,
26
27
sampai kurun waktu tertentu hingga total jumlah sampel minimal terpenuhi
(consecutive sampling).
Penentuan besar sampel sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk
korelasi, untuk melihat korelasi, adapun rumus untuk menentukan ukuran sampel
2
Z + Z
n= +3
(1 + r )
0,5 ln
(1 − r )
Keterangan:
sebagai berikut :
2
Z + Z
n= +3
0.5ln(1 + r ) /(1 − r )
2
1.96 + 0.84
𝑛=[ ] +3
0.5 𝑙𝑛( 1 + 0.37)/(1 − 0.37)
2
2.8
𝑛=[ ] +3
0.5 𝑙𝑛 1 . 5/0.5
n = 51,96 ~ 52
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan dimasukkan sebagai subjek penelitian.
Konsep Crossectional study atau metode potong lintang adalah untuk mengukur
variabel independen dan dependen pada waktu bersamaan. Jenis penelitian ini
dampak atau efeknya. Faktor resiko dan dampak atau efeknya diobservasi pada saat
yang sama, artinya setiap subjek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan
faktor risiko serta dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi.
29
Dilihat dari hubungan antar variabelnya, penelitian ini merupakan penelitian kausal
atau sebab akibat, yaitu penelitian yang diadakan untuk menjelaskan hubungan
antar variabel, variabel yang satu menyebabkan atau menentukan nilai variabel
yang lain.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah ketebalan makula hasil pencitraan
OCT. Variabel terikat pada penelitian ini adalah sensitivitas retina hasil
Mikroperimetri MP3. Faktor perancu pada penelitian ini adalah usia, durasi DM,
riwayat merokok.
berikut :
4. Oftalmoskop indirek
Penelitian PMN RS Mata Cicendo melalui surat yang dibuat oleh Kepala
alkohol.
3. Pilih jenis scan yang akan kita lakukan pada mesin OCT, kemudian tunggu
yang akan kita lakukan. Minta pasien untuk meletakkan dagu pada
512x128. Nilai yang tertera pada masing-masing mata dicatat sebagai nilai
ketebalan makula.
alkohol.
kesejajaran retina, focus retina, setelah itu secara otomatis alat akan
5. Tahap berikutnya setelah hasil tes fiksasi baik, alat secara otomatis akan
untuk menekan tombol yang tersedia pada alat jika pasien dapat melihat
dari:
2) Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
program komputer.
selanjutnya secara lebih mendalam. Selain itu, analisis secara deskriptif ini juga
penelitian. Analisis data untuk melihat gambaran proporsi masing - masing variabel
yang akan disajikan secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif
dan uji hipotesis. Data yang berskala numerik seperti umur sampel dan BMI
dipresentasikan dengan rerata, standar deviasi, median dan range. Kemudian untuk
data karakteristik sampel berupa data kategorik seperti jenis kelamin dan pekerjaan
34
persentase.
Analisis yang dilakukan harus sesuai dengan jenis masalah penelitian dan
data yang digunakan. Kemudian untuk data numerik, sebelum dilakukan uji
statistika data numerik tersebut dinilai dengan uji normalitas dengan menggunakan
Shapiro-Wilk test, apabila data kurang dari 50, alternatifnya adalah Kolmogorov
Smirnov apabila data lebih dari 50, dimana uji ini digunakan untuk menguji apakah
statistik sesuai tujuan penelitian dan hipotesis yaitu untuk menguji apakah terdapat
Uji statistik yang bertujuan mengetahui korelasi antara data numerik dengan
data mengikuti distribusi normal maka maka digunakan uji statistika korelasi
Pearson Test sedangkan untuk data yang tidak normal maka menggunakan
korelasi, dan nilai p: Kekuatan korelasi (r) berdasarkan kriteria Guillford (1956)
yaitu : 0,0 -< 0,2 = sangat lemah; 0,2 - < 0,4 = lemah; 0,4 -< 0,7 = sedang; 0,7 - <
0,9 = kuat; 0,9 -1,0 = sangat kuat. Arah korelasi positif searah berarti semakin besar
nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya. Arah korelasi negatif:
berlawanan arah berarti semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai
variabel lainnya. Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p apabila
p ≤ 0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistika, dan p > 0,05 tidak
signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Nilai p < 0,05: terdapat korelasi
35
yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Nilai p > 0,05; tidak terdapat korelasi
yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Data yang diperoleh dicatat dalam
formulir khusus kemudian diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows.
Penelitian ini akan dilakukan di unit Vitreoretina dan unit Diagnostik Pusat
Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung dalam waktu penelitian dari
Penelitian ini berpedoman pada tiga prinsip dasar penelitian terhadap manusia
dengan berbagai macam alat, serta rasa silau dan buram dapat muncul
akibat obat tetes midriatikum untuk melebarkan pupil, akan tetapi efek
menggunakan cara dan alat yang terstandarisasi oleh dokter spesialis mata.
Pasien regular di unit Vitreoretina yang telah terdiagnosa DME dan memenuhi
kriteria inklusi diberikan penjelasan mengenai penelitian, pasien yang bersedia
mengikuti penelitian menandatangani formular informed consent
Dokumentasi hasil
Analisis data
BAB IV
Penelitian ini telah dilakukan di unit Vitreoretina dan Diagnostik PMN Rumah
Sakit Mata Cicendo Bandung pada bulan September – Oktober 2021. Berdasarkan data
yang dikumpulkan, didapatkan total 57 pasien dan 61 mata yang masuk kriteria inklusi
pada pasien DME yang dilakukan pemeriksaan OCT makula dan Mikroperimetri MP3.
37
38
usia, jenis kelamin, durasi DM, kadar HbA1c, lateralitas, klasifikasi DR dan riwayat
terapi. Jumlah keseluruhan pasien sebanyak 57 orang dengan total jumlah mata
sebanyak 61 mata. Untuk pasien dengan usia kategori dewasa muda sebanyak 16
orang (28.1%), dewasa sebanyak 29 orang (50.9%) dan usia lanjut sebanyak 12
kadar HbA1c kategori <6.4% sebanyak 4 orang (7.0%) dan >6.5% sebanyak 53
orang (93.0%) dan bilateral sebanyak 4 orang (7.0%). Diagnosis DR pada setiap
pasien dengan DME dengan moderate NPDR sebanyak 2 orang (3.5%), severe
NPDR sebanyak 41 orang (71.9%) dan PDR sebanyak 14 orang (24.6%). Sebanyak
30 orang (52.6%) belum mendapatkan terapi anti VEGF sebelumnya dan 27 orang
median sebesar 426 µm (rentang 307-612) dan kelompok sensitivitas retina normal
362.5 µm (rentang 325-379). Analisis data numerik ini diuji dengan menggunakan
39
uji Mann Whitney karena data tidak berdistribusi normal yaitu variabel ketebalan
makula. Hasil uji statistik pada kelompok penelitian diatas diperoleh informasi nilai
P pada variable ketebalan makula lebih kecil dari 0.05 (nilai P>0.05) yang berarti
signifikan atau bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa
terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara variable ketebalan
Tabel 4.3 Tabel Analisis Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina
Sesuai dengan tabel 4.3 diatas dari hasil analisis statistik uji korelasi Spearman
antara variabel ketebalan makula dengan sensitivitas retina diperoleh P value untuk
kemaknaan atau P value sebesar 0.0001 dimana nilai p tersebut lebih kecil dari 0,05
(P value< 0,05). Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan atau bermakna
secara statistik, maka dapat disimpulkan terdapat korelasi antara setiap variabel
ketebalan makula dengan sensitivitas retina . Nilai koefisien korelasi (R) diperoleh
informasi bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat dengan
0.0001 , pada pasien yang belum terapi sebesar -0.857 ; nilai p= 0.0001, pada pasien
yang telah melakukan terapi sebesar -0.820 ; nilai p= 0.0001 ; hal ini menunjukan
bahwa adanya korelasi yang signifikan dengan arah korelasi negatif dan yang kuat
antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina. Setelah melalui pengujian dan
hubungan yang kuat dan signifikan antara ketebalan makula dengan sensitivitas
retina baik pada pasien yang belum melakukan terapi dan telah melakukan terapi.
pada pasien DME. Uji menggunakan uji korelasi Spearman antara variable
ketebalan makula dengan sensitivitas retina diperoleh p value untuk korelasi antara
Value sebesar 0.0001 dimana nilai p tersebut lebih kecil dari 0,05 (P value< 0,05).
Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan atau bermakna secara statistik,
maka dapat disimpulkan terdapat korelasi antara setiap variabel ketebalan makula
4.3 Pembahasan
Karakteristik subjek pada penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, durasi
menderita DM, kadar HbA1c. Data tersebut didapatkan melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan proporsi pasien dengan jenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan
lebih banyak dibandingkan laki-laki 1,2%. Hasil tersebut berkaitan oleh laki-laki
lebih banyak yang bekerja dan melakukan aktifitas sehingga paparan DM lebih
paparan DM lebih banyak dibandingkan dewasa muda dan usia lanjut. Hal ini sesuai
rentang 55-64 tahun (6,3%). Secara keseluruhan median durasi pasien DM adalah
10 tahun (rentang 3.00-20.00). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh El-
magid dkk, dikatakan kondisi subklinis retinopati diabetik terjadi pada rentang 4-8
tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan kepatuhan dalam pengobatan dan kontrol
gula darah yang dilakukan kurang lebih baik pada pasien penelitian ini sebanyak
93% memiliki kadar HbA1c >6,5%. Sebagian besar subjek pada penelitian ini
pasien terdiagnosis DME pada klasifikasi severe NPDR. Edema makula diabetik
dapat terjadi pada setiap klasifikasi DR sehingga untuk klasifikasi DME dibedakan
pada pasien dengan kondisi makula sehat dan pasien dengan gangguan makula.
menilai sensitivitas retina secara rutin. Penelitian serupa juga dilakukan oleh
secara statistik. Pada penelitian ini didapatkan median ketebalan makula pada
390.4±93.8µm dengan menggunakan OCT dan rerata sensitivitas retina 4.7±3.5 dB.
Penelitian tersebut juga melaporkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara
43
rerata ketebalan makula dan sensitivitas retina pada kelompok no macular edema
(NE) dan non clinically significant macular edema (NCSME) akan tetapi terdapat
korelasi yang signifikan pada kelompok CSME. Perubahan neovaskular retina pada
DME dapat menyebabkan kerusakan sawar darah retina sehingga terjadi penebalan
lapisan retina, hal tersebut juga dapat menyebabkan disfungsi sel ganglion retina
sehingga sensitivitas retina akan terjadi penurunan. Penelitian Vujosevic dkk sesuai
dengan penelitian ini pada tabel 4.2 dan tabel 4.3, yaitu terdapat korelasi yang
sensitivitas retina menggunakan Mikroperimetri MP3 baik pada pasien yang belum
dilakukan terapi dan telah dilakukan terapi anti VEGF. Faktor yang menyebabkan
kebocoran plasma darah dan hipoksia jaringan. Hal tersebut menyebabkan saat
terjadi DME akan menyebabkan juga terjadinya penurunan sensitivitas retina yang
Ketebalan makula setelah dilakukan terapi anti VEGF dapat saja terjadi
penurunan, akibat anti VEGF yang menurun sehingga kerusakan sawar darah retina
dan peningkatan permeabilitas kapiler tidak akan terjadi. Hal tersebut menyebabkan
akumulasi cairan di dalam retina akan berkurang. Ketebalan makula yang menurun
secara langsung akan memberikan hasil sensitivitas retina yang baik juga selama
tidak terjadi DRIL. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini pada tabel 4.3,
didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara ketebalan makula dengan
sensitivitas retina pada pasien yang telah dilakukan terapi anti VEGF. 25,26
44
berdasarkan usia, pada penelitian tersebut tidak didapatkan hasil yang signifikan
secara statistik akan tetapi jika dilakukan analisis pada lapisan-lapisan makula yang
terpisah pada lapisan pleksiformis dalam dan lapisan nuklear luar terdapat korelasi
antara ketebalan makula berdasarkan usia. Pasien DR dengan usia lanjut dapat
ganglion retina semakin parah sehingga sensitivitas retina pada usia lanjut
Penelitian yang dilakukan oleh Kaur S dkk, menilai hubungan kadar HbA1c
pertambahan usia, akan tetapi diakibatkan oleh tingginya kadar HbA1c. Kadar
HbA1c yang meningkat dapat menjadi salah satu faktor penanda menurunnya
apoptosis sel. Proses ini memicu kehilangan sel perisit pada dinding vaskular dan
dapat terjadi oklusi kapiler yang berujung terjadinya gangguan perfusi retina dan
disfungsi sel ganglion. Berbeda dengan menilai sensitivitas retina, kadar HbA1c
tidak dapat menilai ketebalan makula dikarenakan proses terapi yang diberikan
dengan regulasi gula darah saja tidak membuat ketebalan makula menurun, begitu
juga sebaliknya terapi anti VEGF yang diberikan untuk terapi DME tidak dapat
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat
cohort dalam menilai keberhasilan terapi pada pasien DME menggunakan korelasi
46
47
DAFTAR PUSTAKA
16. Bhagat N, Grigorian RA, Tutela A, Zarbin MA. Diabetic makula edema:
pathogenesis and treatment. Survey of Ophthalmology. 2009;54(1). Hal. 1-32.
17. Wilkinson CP, Ferris FL 3rd, Klein RE, et al. Proposed international clinical
diabetic retinopathy and diabetic makula edema disease severity scales.
Ophthalmology. 2003;110(9). Hal. 1677-8.
18. Tan CS, Chew MC, Lim LW, Sadda SR. Advances in retinal imaging for
diabetic retinopathy and diabetic makula edema. Indian Journal of
Ophthalmology. 2016;64(1). Hal. 76-83.
19. Mookiah MR, Acharya UR, Fujita H. Application of different imaging
modalities for diagnosis of diabetic makula edema: A review. Computers in
Biology and Medicine. 2015;66. Hal. 295-315.
20. de Carlo TE, Chin AT, Joseph T. Distinguishing diabetic makula edema from
capillary nonperfusion using optical coherence tomography angiography.
Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging Retina. 2016;47(2). Hal. 108-14.
21. Novais EA, Louzada RN, Waheed NK. Contemporary retinal imaging
techniques in diabetic retinopathy: a review. Clin Exp Ophthalmol. 2016;44(4).
Hal. 289-99.
22. Palkovits S, Hirnschall N, Georgiev S. Test-Retest reproducibility of the
microperimeter MP3 with fundus image tracking in healthy subjects and
patients with makula disease. Translational Vision Science and Technology.
2018;17(7). Hal. 1-7.
23. Nagpal M, Khandelwal J, Juneja R. Correlation of optical coherence
tomography angiography and microperimetry (MP3) features in wet age-
related makula degeneration. Indian Journal of Ophthalmology. 2018;66(12).
Hal. 1790-5.
24. Riskesdas 2018 [Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
Tersedia pada: https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil riskesdas-2018.pdf
25. Tag El-Din AE-M. Comparative study between patients with subclinical
diabetic retinopathy and healthy individuals in the retinal microvascular
changes using optical coherence tomography angiography. Delta J
Ophthalmol. 2019;20(3):132.
26. Vujosevic S, Midena E, Pilotto E, Radin PP, dkk. Diabetic macular edema:
Correlation between microperimetry and optical coherence tomography
findings. Investigate Ophthalmology & Visual Science. 2006;47(7). Hal 3044-
51.
27. Etheridge T, Liu Z, Nalbandyan M, Cleland S, dkk. Association of Macular
Thickness with age and age-related macular degeneration in the carotenoids in
age-related eye disease study 2 (CAREDS2), an ancillary study of the women’s
health initiative. ARVO journal. 2021;10(2). Hal 39.
28. Wang Q, Wei WB, Wang YX, dkk. Thickness of individual layers at the
macula and associated factors: the Beijing eye study. BMC Ophthalmol.
2020;20. Hal 49.
29. Kaur S, Siti-Aishah I, Haliza AM, Nor FN. HbA1c and retinal sensitivity in
diabetics using microperimetry. Journal of Optometry. 2018;3(7).
49
30. Kahveci B, Ekinci YD. Evaluation of the relationship between HbA1c level
and retina choroidal thickness in patients with gestational diabetes mellitus.
Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021.
50
Lampiran 1
51
Lampiran 2
NPM : 131221170510
Pendidikan :
2012)
Pengalaman Kerja :