Anda di halaman 1dari 69

KORELASI HASIL PEMERIKSAAN MIKROPERIMETRI MP3

DAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY PADA


PENDERITA EDEMA MAKULA DIABETIK

Oleh :
Endi Pramudya Laksana
NPM 131221170510

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Utama Ilmu Kesehatan Mata

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2021
ABSTRAK

Latar belakang: Keadaan hiperglikemia kronis, dapat menyebabkan gangguan


sawar darah retina dan menyebabkan akumulasi cairan di intraseluler ekstraseluler
makula disebut edema makula yang dapat dinilai menggunakan Optical Coherence
Tomography (OCT). Perubahan mikrovaskular retina terutama pada sel ganglion
retina sehingga menyebabkan penurunan sensitivitas retina yang dapat dinilai
menggunakan Mikroperimetri MP3. Patologi Edema makula diabetik (DME) perlu
dievaluasi baik secara fungsional dan struktural, sehingga perlu dilihat korelasi
pemeriksaan OCT dan Mikroperimetri MP3.
Tujuan: Untuk menganalisis korelasi antara hasil pemeriksaan Mikroperimetri
MP3 dan Optical Coherence Tomography pada penderita DME.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasi analitik potong lintang pada
57 orang (61 mata) pasien DME yang berusia 40-70 tahun yang memiliki hasil
pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dan OCT baik.
Hasil: Didapatkan median ketebalan makula dengan sensitivitas retina menurun
sebesar 426 µm (rentang 307-612) dan median ketebalan makula dengan
sensitivitas retina normal sebesar 365 µm (rentang 325-379). Ditemukan korelasi
secara statistik antara ketebalan makula yang meningkat dengan penurunan
sensitivitas retina menggunakan analisis Spearman P value sebesar 0.0001.
Simpulan: Terdapat korelasi hasil pemeriksaan OCT dan Mikroperimetri MP3
pada penderita DME.

Kata kunci: edema makula diabetik, ketebalan makula, sensitivitas retina, OCT,
Mikroperimetri MP3
ABSTRACT

Introduction: Chronic hyperglycemia cause disruption of the blood-retinal barrier


and cause fluid accumulation in intracellular extracellular macula called macular
edema which can be assessed using Optical Coherence Tomography (OCT).
Changes of retinal microvascular especially in retinal ganglion cells, cause
decreased in macular sensitivity which can assessed using MP3 Microperimetry.
Pathology of diabetic macular edema (DME) needs to be evaluated both
functionally and structurally, so it is necessary to see the correlation between OCT
examination and MP3 Microperimetry.
Purpose: To assess correlation OCT and MP3 Microperimetry examination results.
Methode: This was a cross-sectional study, conducted in 57 person (61 eyes) of
DME patients age 40-70 y.o with good results examination of OCT and MP3
Microperimetry.
Results: Median macular thickness in patient with decreased macular sensitivity
was 426 µm (range 307-612) and in normal macular sensitivity was 365 µm (range
325-379). Statistical correlation was found between increased macular thickness
and decreased macular sensitivity using Spearmans analysis with P value 0.0001.
Conclusion: There were significance correlation between results of OCT
examination and MP3 Microperimetry examination

Keywords: diabetic macular edema, macular thickness, macular sensitivity, OCT,


MP3 Microperimetry
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas karunia dan rahmatNya

sehingga tesis ini dapat diselesaikan.Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Pendidikan Dokter

Spesialis 1 (PPDS-I) Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.

Penulis menyampaikan rasa hormat kepada Prof.Dr. Rina Indiastuti. S.E., M.SIE

selaku Rektor Universitas Padjadjaran Bandung dan Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., Sp.OG(K) yang telah

memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran.

Penulis juga menghaturkan rasa terimakasih kepada (alm) Prof. Sugana

Tjakrasudjatma, dr, SpM, (alm) Prof. Dr. Gantira Natadisastra, dr, SpM(K), (alm)

Prof Dr. Farida Sirlan, dr, SpM(K), dan Prof Arief S. Kartasasmita, dr, SpM(K),

MM, M.Kes, PhD, selaku guru besar Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran yang telah meluangkan waktu untuk memberikan

dukungan, bimbingan, serta suri tauladan yang tidak ternilai bagi penulis selama

mengikuti Pendidikan spesialis mata hingga selesainya tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada jajaran direksi Pusat Mata

Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, dr Irayanti SpM(K), MARS selaku

Direktur Utama dan Dr. Antonia Kartika, dr., SpM(K), M.Kes selaku DIrektur

Medik dan Keperawatan, dan Pendidikan yang telah memberikan kesempatan

iv
v

untuk dapat belajar, bekerja, dan menggunakan sarana dan prasarana di Pusat Mata

Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Arief S. Kartasasmita, dr,

SpM(K), MM, M.Kes, PhD dan Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), M.Kes selaku

Kepala departemen dan PLT Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran serta Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr., SpOG(K)

dan Dr. Irawati Irfani, dr., SpM(K), M.Kes selaku Ketua Program Studi dan

Sekretaris Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran.

Penghargaan dan rasa terima kasih sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada

Prof Arief S. Kartasasmita, dr, SpM(K), MM, M.Kes, PhD selaku pembimbing I

dan dr. Primawita O. Amiruddin SpM(K), M.Kes selaku pembimbing II yang telah

sabar membimbing, memberi masukan, dukungan dan arahan selama penelitian

berlangsung sehingga penelitian ini berjalan lancer sampai tahap akhir penyelesaian

tesis ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Andika Prahasta

dr, SpM(K), M.Kes, Dr. Angga Kartiwa dr, SpM(K), M.Kes, dr Rova Virgana

SpM(K) yang telah memberikan masukan dan gagasan sehingga pada akhirnya tesis

ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih juga kepada dr Patriotika Muslima

SpM sebagai notulensi dalam rangkaian siding yang penulis jalani. Penulis ucapkan

terima kasih pula kepada Dr. Elsa Gustianty, dr SpM(K), M.Kes sebagai mentor

penulis selama Pendidikan yang telah memberikan dukungan, saran, dan bimbingan

selama penulis menjalani Pendidikan. Ucapan terima kasih kepada seluruh staf
vi

pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Mata yang telah senantiasa membimbing

dan menjadi teladan yang baik bagi penulis selama masa pendidikan.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Nurvita Trianasari, S.Si, M.Stat

atas bantuan analisis data statistic. Terima kasih kepada ibu Sri Ambarwati, Ibu

Mumbaryatun, Bapak Ajat Sudrajat, dan Kang Ludfi selaku staf secretariat dan

pustakawan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

yang banyak membantu penulis selama masa Pendidikan. Kepada seluruh perawat

dan karyawan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung, penulis

mengucapkan terima kasih atas segala bantuan, Kerjasama yang telah terjalin

selama ini dan terlebih kepada pasien-pasien sebagai sumber ilmu penulis selama

belajar.

Penghargaan tertinggi untuk kedua orang tua penulis, Papi tercinta (alm) Kol.

Benny Effendy S.IP dan Mami tersayang Effi Ariani S.IP serta Bapak dan Ibu

mertua penulis, dr Dikki Drajat Kusmayadi Sp.BA(K) dan Hely Melawati. Tiada

kata yang dapat mengungkapkan betapa besar rasa syukur dan cinta penulis kepada

Orantua penulis. Terima kasih atas cinta, kasih saying, dukungan, kepercayaan, dan

kesabaran yang telah diberikan dalam membesarkan, mendidik, membimbing dan

memberikan teladan dalam menjalani kehidupan, semangat dan doa yang tidak

pernah putus untuk keberhasilan penulis. Semoga Allah SWT senantiasa

melimpahkan berkat dan Kesehatan kepada orangtua penulis. Rasa terima kasih

yang dalam juga penulis haturkan kepada istri dan anak tercinta, dr Silmina

Kusmaheidi, Hasillah Ralinsha Asilend dan Kairashi Rafisqy Asilend yang telah

mendoakan, mendukung serta memberi semangat tiada henti kepada penulis.


vii

Ucapan terima kasih tulus penulis ucapkan kepada adik tersayang Letda. Rexy

Chandra Yudha, Ivena Fahriza Effendy, dr. Syarafina Kusmaheidi, dan M. Faisal

atas perhatian, doa dan pengertiannya dalam mendukung penulis selama mengikuti

Pendidikan.

Kepada seluruh sahabat, teman sejawat residen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran, khususnya rekan seperjuangan penulis yaitu

Radit, Akbar, Arnov, Tommy, Andre, Ivan, Sita, Nova, Pauline, Magda, Nuzul,

Nay, Daniel, Liani terima kasih atas persahabatan kebersamaan, Kerjasama dan

suka duka yang telah dilalui Bersama selama menempuh Pendidikan.

Terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu, meskipun penulis tidak

dapat menyebut satu persatu, tetapi penulis yakin segala bantuannya akan

diperhitungkan oleh Allah SWT dan akan membalas seluruh kebaikan, kesabaran,

dan keikhlasan yang telah Bapak/ Ibu/ Saudara berikan kepada penulis selama ini.

Bandung, Desember 2021

Penulis,

Endi Pramudya Laksana


DAFTAR ISI

ABSTRACT……………………………………………………………….………i
ABSTRACT………………………………………………………………….……ii
PERNYATAAN…………………………………………………………………iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………….……..iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….vii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….…..…...x
DAFTAR TABEL………………………………………………………..………xi
DAFTAR SINGKATAN……………………………………………………….xii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………...xiii
BAB I PENDAHULUAN……………………….………………………………..1
1.1 Latar Belakan...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………….……….4
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….5
1.4 Kegunaan Penelitian……………………………………………………5
1.4.1 Kegunaan Penelitian…………………………………………….5
1.4.2 Kegunaan Praktis………………………………………………..5
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS………………………………………………………………………6
2.1 Kajian Pustaka…………………………………………………………..6
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Retina………………………………………6
2.1.2 Retinopati Diabetik………………………………………………..10
2.1.2.1 Klasifikasi Retinopati Diabetik……………………………..14
2.1.2.2 Pemeriksaan Penunjang Edema Makula Diabetik………….16
2.1.2.3 Tatalaksana Edema Makula Diabetik………………………20
2.2 Kerangka Pemikiran…………………………………………………...22
2.3 Premis dan Hipotesis…………………………………………………...24
2.3.1 Premis……………………………………………………………..24
2.3.2 Hipotesis…………………………………………………………..25
2.4 Bagan Kerangka Pemikiran…………………………………………...25

viii
ix

BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN……………………………26


3.1 Subjek Penelitian……………………………………………………….26
3.1.1 Kriteria Inklusi…………………………………………………….26
3.1.2 Kriteria Eksklusi…………………………………………………..26
3.1.3 Cara Pemilihan Sampel……………………………………………27
3.1.4 Penentuan Besar Sampel………………………………………….27
3.2 Metode Penelitian………………………………………………………28
3.2.1 Rancangan Penelitian……………………………………………..28
3.2.2 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional……………………29
3.2.2.1 Identifikasi Variabel………………………………………..29
3.2.2.2 Definisi Operasional………………………………………..29
3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data……………………….30
3.2.3.1 Alat dan Bahan……………………………………………..30
3.2.3.2 Persiapan Sebelum Penelitian………………………………30
3.2.3.3 Prosedur Pemeriksaan Optical Coherence Tomography……31
3.2.3.4 Prosedur Pemeriksaan Mikroperimetri MP3……………….32
3.2.3.5 Rancangan Analisis Data…………………………………...33
3.2.3.6 Tempat dan Waktu Penelitian……………………………...35
3.2.3.7 Implikasi/Aspek Etik Penelitian……………………………35
3.3 Skema Alur Penelitian………………………………………………….36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………37
4.1 Hasil Penelitian…………………………………………………………37
4.2 Uji Hipotesis…………………………………………………………….43
4.3 Pembahasan…………………………………………………………….43
BAB V SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………….47
5.1 Simpulan………………………………………………………………...47
5.2 Saran…………………………………………………………………….47
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...48
LAMPIRAN……………………………………………………………………..51
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Makula………………………………………….……6


Gambar 2.2 Lapisan Retina…………………………………………………7
Gambar 2.3 Pemeriksaan Fluorescein Angiography……………………….17
Gambar 2.4 Pemeriksaan Optical Coherence Tomography………………..18
Gambar 2.5 Pemeriksaan Optical Coherence Tomography Angiography….19
Gambar 2.6 Pemeriksaan Mikroperimetri MP3…………………………….20
Gambar 2.7 Bagan Kerangka Pemikiran……………………………………25

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Internasional Retinopati Diabetik………………………….15


Tabel 2.2 Klasifikasi Edema Makula Diabetik…………………………………..16
Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian……………………………37
Tabel 4.2 Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina………………..38
Tabel 4.3 Analisis Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina………39

xi
DAFTAR SINGKATAN

OCT : Optical Coherence Tomography


DME : Edema Makula Diabetik
DM : Diabetes Melitus
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
WHO : World Health Organization
TIO : Tekanan Intraokular
OCTA : Optical Coherence Tomography Angiography
FA : Fluorescein Angiography
FAZ : Foveal Avascular Zone
RNFL : Retin Nerve Fiber Layer
DR : Retinopati Diabetik
PDR : Proliferative Diabetic Retinopathy
VTDR : Vision Threatening Diabetic Retinopathy
AAO : American Academy of Ophthalmology
AGEs : Advanced Glycosylation end-products
NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phospate-Oxidase
ETDRS : Early Treatment Diabetic Retinopathy Study
NVD : Neovaskularisasi Diskus
NVE : Neovaskularisasi Elsewhere
CSME : Clinically Significant Macular Edema
ICGA : Indocyanine Green Angiography
DCCT : Diabetes Control and Complication Trial
DRIL : Disorganization of Retina Inner Layer

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Persetujuan Etik…………………………………….………………51


Lampiran 2 Lembar Persetujuan Ikut serta dalam Penelitian…………………...52
Lampiran 3 Data Penelitian……………………………………………………..53
Lampiran 4 Biodata Peneliti…………………………………………………….55

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Edema Makula Diabetik (DME) merupakan suatu pembengkakan pada retina

diakibatkan oleh kebocoran cairan dari pembuluh darah makula pasien yang

menderita diabetes melitus (DM). Kebocoran cairan terjadi akibat peningkatan

permeabilitas pembuluh darah yang disebabkan oleh Vascular endothelial growth

factor (VEGF). Berdasarkan World Health Organization (WHO) sekitar 8,4 juta

penduduk pada tahun 2000 mengidap DM dan diperkirakan akan bertambah hingga

21,3 juta penduduk pada tahun 2030. Edema makula diabetik merupakan salah satu

penyebab utama gangguan penglihatan pada usia menengah, sebanyak 14%

penduduk di dunia dengan DM mengalami DME. Prevalensi kelainan retina di

Indonesia sebanyak 0,13% dan penelitian yang dilakukan pada tahun 2019

dikatakan rentang usia terbanyak untuk penderita DME adalah usia 50-59 tahun

sebanyak 51,4%.1-4

Secara garis besar DME diakibatkan oleh keadaan hiperglikemia pada

pembuluh darah retina dalam rentang waktu panjang pada penderita diabetik

retinopati, sehingga sawar darah retina mengalami gangguan. Keadaan patologis

pada sawar darah retina ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler

perifovea dan terjadi akumulasi cairan pada intraselular ekstraselular retina yang

disebut edema makula. Patogenesis terjadinya DME juga berhubungan dengan

1
2

peningkatan VEGF akibat kondisi hiperglikemia, ketika kadar VEGF meningkat

dapat menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan serta kebocoran plasma darah.9-15

Pemeriksaan DME meliputi pemeriksaan tajam penglihatan, Slitlamp

Biomicroscopy, Tekanan Intraokular (TIO), pemeriksaan fundus, sedangkan

pemeriksaan penunjang berupa foto fundus, Optical Coherence Tomography

(OCT), Optical coherence tomoraphy angiography (OCTA) dan Fluorescein

Angiography (FA). Pemeriksaan FA umum dilakukan sebagai penunjang untuk

menegakkan diagnosis DME karena dapat memperlihatkan mikroaneurisma,

venous beading, gangguan sawar darah retina dengan terdapat area terlokalisir

akibat kebocoran kapiler. Kekurangan dari FA yaitu bersifat invasif, waktu sedikit

lama, dan memerlukan Fluorescein sebagai zat pewarna yang memiliki efek yang

merugikan berupa mual, muntah dan urtikaria. Pemeriksaan FA juga terdapat light

scattering pada lapisan inner retina sehingga tidak dapat menilai deep capillary

network.5,16-20

Pemeriksaan OCT merupakan pemeriksaan penunjang dengan tampilan

gambaran potong melintang dari lapisan retina dalam dan merupakan metode yang

mudah untuk menilai terdapatnya penebalan makula. Optical Coherence

Tomography menyediakan informasi berupa struktural dan kuantitatif dari DME,

dan tidak bersifat invasif sehingga lebih sering dilakukan untuk menegakkan

diagnosis DME dibandingkan dengan FA. Untuk menilai capillary density flow dan

mikroaneurisma tidak dapat menggunakan FA dan OCT, sehingga diperlukan

pemeriksaan Optical coherence tomoraphy angiography (OCTA). OCTA

merupakan metode untuk melihat pergerakan dari sel darah merah dengan cara
3

menganalisis perubahan intensitas dari pemeriksaan B-scan berulang pada lokasi

yang sama. Pemeriksaan OCTA dapat memberikan gambaran resolusi tinggi pada

lapisan vaskularisasi retina dengan cepat dan tidak invasif karena tidak

membutuhkan zat pewarna. Terdapat beberapa algoritma kuantifikasi otomatis

yang digunakan untuk menilai data dari OCTA seperti area FAZ, densitas

vaskular,dan areas of nonflow.19-21

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis DME seperti FA, OCT

dan OCTA merupakan pemeriksaan untuk menilai struktural dari makula. Penilaian

secara fungsional dapat dilakukan dengan cara menilai sensitivitas retina.

Sensitivitas retina pada pasien DME dapat menurun akibat adanya gangguan

perfusi pada sel ganglion retina. Mikroperimetri dapat menilai sensitivitas retina

pada lokasi yang tepat dikarenakan dapat memilih lokasi yang akan dilakukan

pemeriksaan dari gambaran fundus. Salah satu alat terbaru untuk pemeriksaan

mikroperimetri adalah MP3, alat ini dapat melakukan penelusuran gambaran

fundus secara otomatis. Makula merupakan area dengan struktur mikrovaskular

terpadat pada retina dan memiliki proses metabolisme tertinggi, sehingga makula

merupakan area paling tepat untuk menilai adanya penurunan sensitivitas pada

retina. Prinsip utama tatalaksana pada pasien DME adalah kontrol faktor sistemik

dan tatalaksana terhadap okular. Kontrol faktor sistemik bertujuan untuk mencegah

retinopati dan progresivitas penyakit sedangkan tujuan terapi okular untuk

mencegah kehilangan dan memperbaiki tajam penglihatan. Pada kondisi

progresifitas penurunan tajam penglihatan dapat dilakukan terapi Anti-VEGF,

terapi laser dan pemberian triamcinolone. Pemeriksaan penunjang berupa OCT,


4

OCTA, FA dan Mikroperimetri MP3 dapat dilakukan untuk menilai progresivitas

dari DME dan juga untuk menilai keberhasilan dari terapi.18-20,22,23

Kelainan DME perlu dievaluasi baik secara fungsional dan struktural, sehingga

diperlukan pemeriksaan fungsional seperti Mikroperimetri MP3 karena dapat

menilai sensitivitas retina. Penulis tertarik untuk mengevaluasi mengenai korelasi

perubahan fungsional menggunakan Mikroperimetri MP3 dan perubahan secara

struktural menggunakan OCT pada pasien DME.

Berdasarkan uraian diatas disusunlah tema sentral penelitian ini sebagai

berikut :

Edema makula diabetik (DME) merupakan salah satu penyebab utama


gangguan penglihatan pada pasien dengan Diabetes melitus (DM) di usia menengah.
Keadaan patologis pada sawar darah retina mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler perifovea dan terjadi akumulasi cairan pada intraselular
ekstraselular retina yang disebut edema makula. Patogenesis terjadinya DME juga
berhubungan dengan peningkatan VEGF akibat kondisi hiperglikemia, ketika kadar
VEGF meningkat dapat menyebabkan terjadinya kebocoran plasma darah serta
hipoksia jaringan. Pemeriksaan OCT merupakan metode yang mudah dalam
menilai penebalan pada makula. Mikroperimetri dapat menilai sensitivitas retina
pada lokasi yang tepat dikarenakan dapat memilih lokasi yang akan dilakukan
pemeriksaan dari gambaran fundus. Salah satu alat terbaru untuk pemeriksaan
mikroperimetri adalah MP3, alat ini dapat melakukan penelusuran gambaran
fundus secara otomatis. Patologi DME perlu dievaluasi baik secara fungsional dan
struktural, sehingga diperlukan pemeriksaan Mikroperimetri karena dapat menilai
sensitivitas retina. Evaluasi mengenai korelasi perubahan fungsional menggunakan
Mikroperimetri MP3 dan perubahan struktural makula menggunakan OCT pada
pasien DME menarik untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan penunjang

Mikroperimetri MP3 dan Optical Coherence Tomography pada penderita DME.


5

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis korelasi antara hasil

pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dan Optical Coherence Tomography pada

penderita DME.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran edema makula diabetik

melalui pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dan Optical Coherence Tomography,

serta melihat korelasi antara pemeriksaan secara fungsional dan struktural.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Apabila terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan edema makula diabetik

menggunakan Mikroperimetri MP3 dan Optical Coherence Tomography, maka

pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dapat dilakukan secara rutin pada pasien DM


BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Retina

Retina merupakan suatu lapisan yang berada pada bagian belakang bola mata

dan memiliki ketebalan sekitar 0.5mm. Retina mencakup suatu area dengan

diameter berkisar antara 30-40mm. Bagian sentral dari retina disebut dengan

makula terletak diantara saraf optik dan vaskularisasi bagian temporal. Secara

histologi makula memiliki 2 atau lebih sel ganglion, sehingga sel ganglion pada

area makula menyusun 50% dari jumlah sel ganglion di seluruh retina.5,6

Gambar 2.1 Anatomi Makula, a:umbo; b:foveola; c:fovea; d:parafoveal ; e:makula


Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology; Retina and Vitreous5

Bagian sentral dari makula disebut dengan fovea memiliki luas 1,5mm

berfungsi untuk penglihatan spasial tingkat tinggi dan juga penglihatan warna.

Terdapat area pada fovea yang tidak memiliki suplai darah dari pembuluh darah

retina disebut Foveal avascular zone (FAZ). Foveola merupakan area dengan

66
7

diameter 0,35mm yang berada di tengah fovea. Parafovea mengelilingi fovea dan

memiliki sel ganglion, lapisan sel nuclear dalam, serta lapisan pleksiform luar

paling tebal. Area parafovea dikelilingi oleh perifovea. Area sirkular dengan

diameter 6mm disekitar fovea disebut retina sentral, dan diluar area retina sentral

hingga ora serata disebut retina perifer.5,6

Gambar 2.2 Lapisan Retina. A.Retina Perifer B.Retina Sentral


Dikuti dari : American Academy of Ophthalmology; Retina and Vitreous5

Retina memiliki beberapa lapis sel yang dapat dilihat pada preparat histologi.

Lapisan retina paling dalam terdiri dari membran limitan interna, Retina nerve fiber

layer (RNFL) yang merupakan kumpulan akson dari sel ganglion, lapisan sel

ganglion yang terdiri dari badan sel ganglion, lapisan pleksiform dalam, lapisan

nuklear dalam, membran limitan medial, lapisan pleksiform luar, lapisan serabut

henle, lapisan nuklear luar yang terdiri dari nukleus fotoreseptor, membran limitan
8

eksterna, lapisan segmen dalam sel batang dan kerucut, serta lapisan segmen luar

sel batang dan kerucut di bagian terluar. Retina memiliki 2 tipe sel glial, yaitu

makroglia yang terdiri dari sel Muller dan astrosit, serta mikroglia.5-7

Densitas serta distribusi fotoreseptor berbeda berdasarkan lokasinya pada

retina. Area fovea memiliki sel fotoreseptor dan prosesus dari sel Muller,

sedangkan pada foveola hanya memiliki sel kerucut. Area perifer retina jumlah sel

kerucut semakin berkurang dibandingkan dengan sentral makula. Densitas terbesar

sel batang berada pada 4mm dari tengah fovea, kemudian semakin perifer akan

semakin menurun. Sel kerucut bersinaps 1:1 dengan sel bipolar pada area sentral

sedangkan sel batang dapat mencapai lebih dari 100 sel untuk bersinaps dengan 1

sel bipolar, kemudian sel bipolar akan bersinaps dengan sel ganglion. Selain

menerima masukan dari sel bipolar, sel ganglion juga menerima masukan dari sel

amakrin. Akson-akson dari sel ganglion berjalan disepanjang permukaan retina dan

bersatu membentuk saraf optik.6-8

Berdasarkan respon terhadap cahaya, sel ganglion dapat dibedakan menjadi

beberapa tipe yaitu tipe on, on-off dan off, sedangkan secara morfologi dibedakan

menjadi sel alfa dan sel beta. Masing-masing tipe terbagi menjadi subtipe a dan b

berdasarkan percabangan sel ganglion di lapisan sublamina a atau b pada lapisan

pleksiform dalam. Sel ganglion subtipe a merupakan sel ganglion tipe sentral OFF,

sementara subtipe b merupakan tipe sentral ON. Berdasarkan lama respon sel

ganglion dibagi menjadi tipe X untuk respon berkelanjutan dan tipe Y untuk respon

singkat. Sel ganglion juga dapat dibagi menjadi sel M dan P berdasarkan respon

visual yang dihantarkan. Sel P lebih banyak terdapat pada bagian sentral retina dan
9

memiliki sensitivitas pada frekuensi spasial tinggi sehingga baik untuk penglihatan

tajam, sedangkan sel M lebih banyak terdapat pada area perifer retina dan memiliki

afinitas pada frekuensi spasial rendah. Sel ganglion akan membentuk suatu aksi

potensial yang dihantarkan keluar retina pada nukleus genikulatum lateral. Aksi

potensial tersebut ditransmisikan dalam jarak jauh hingga mencapai ke otak.

Respon dari sel ganglion tersebut membuat seseorang dapat melihat stimulus visual,

sehingga apabila terdapat hambatan transmisi sinyal oleh sel ganglion akibat

kerusakan pada sel tersebut dapat mengakibatkan penurunan fungsi visual.5-8

Retina memiliki dua zona oksigenasi yang berbeda, yaitu retina bagian dalam

dan luar. Retina bagian dalam diperdarahi oleh vaskularisasi retina yang memiliki

sistem autoregulasi. Sistem autoregulasi dapat menjaga kadar oksigenasi tetap

konstan. Arteri retina sentral melalui kanal optik masuk kedalam mata dan

bercabang menjadi 4 dan masing-masing memperdarahi satu kuadran retina.

Terdapat 4 lapisan pembuluh darah yang memperdarahi lapisan-lapisan retina,

yaitu kapiler radial peripapil yang terletak pada lapisan RNFL, pleksus vaskular

superfisial pada lapisan sel ganglion serta 2 lapisan pleksus kapiler dalam yang

terletak pada masing-masing sisi lapisan nuklear dalam. Retina bagian luar

diperdarahi oleh vaskularisasi yang berasal dari koroid. Vaskularisasi koroid tidak

memiliki sistem autoregulasi seperti vaskularisasi retina, sehingga kadar oksigen

sistemik seseorang dapat mempengaruhi kadar oksigen retina bagian luar secara

langsung.6-8
10

2.1.2 Retinopati Diabetik

Retinopati Diabetik (DR) merupakan suatu kelainan mikrovaskular akibat

diabetes yang menyerang 1 dari 3 orang dengan Diabetes Melitus (DM). Retinopati

Diabetik terjadi pada hampir seluruh penderita DM tipe 1 dan 77% pada DM tipe

2 yang memiliki riwayat lebih dari 20 tahun. Retinopati diabetik merupakan

penyebab kelima kebutaan yang dapat dicegah, dan penyebab kelima paling sering

untuk gangguan penglihatan sedang hingga berat. American Academy of

Ophthalmology (AAO) memberikan rekomendasi terhadap penderita DM tipe 1

untuk melakukan pemeriksaan oftalmologis secara berkala dimulai sejak 5 tahun

setelah dilakukan diagnosis, dan DM tipe 2 sejak pertama kali dilakukan

diagnosis.1-3,5

Sebuah studi meta-analisis global mengatakan 36,4% orang dengan DM

memiliki DR di Amerika Serikat, Australia, Eropa dan Asia. Studi tersebut juga

melaporkan 10,2% orang dengan DR yang mengancam penglihatan (VTDR) yaitu

Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) dan/atau DME. Populasi diabetes dunia

tahun 2010 didapatkan 92 juta orang dewasa menderita DR, dengan 17 juta orang

menderita PDR dan 20 juta orang menderita DME serta 28 juta orang menderita

VTDR.3,4

Patogenesis terjadinya DR belum dapat dijelaskan secara detail, tetapi diyakini

disebabkan oleh adanya paparan hiperglikemia kronis mengakibatkan perubahan

jalur biokimia dan molekul salah satunya adalah peningkatan stres oksidatif

inflamasi, dan jalur protein kinase-C dengan hasil akhir kerusakan endotel dan

kehilangan perisit. Perubahan kapiler retina seperti penebalan membran basemen


11

dan hilangnya selektif perisit dapat menyebabkan oklusi kapiler dan nonperfusi

retina. Kelainan hematologi pada keadaan hiperglikemia kronis juga berhubungan

dengan waktu terjadinya dan progresifitas DR, seperti peningkatan adhesi

trombosit, peningkatan agregasi eritrosit, dan gangguan fibrinolisis.10-12

Keadaan hiperglikemia dapat memberikan beberapa konsekuensi, salah

satunya adalah pembentukan protein termodifikasi yang disebut advanced

glycosylation end-products (AGEs). Produk glikasi AGEs dapat mempengaruhi

aktivitas enzim, ikatan molekul regulatory, dan ketentuan terhadap proteolisis.

Ikatan AGEs dengan reseptor endotel mengakibatkan perubahan permeabilitas

vaskular dan memicu trombosis pada permukaan sel endotel. 9,12-14

Radikal bebas merupakan bahan kimia reaktif yang dapat mengakibatkan

oksidasi residu asam amino dan lipid peroksidase. Radikal bebas diproduksi secara

kontinyu melalui berbagai proses metabolik, dan dieliminasi segera oleh

antioksidan seperti glutation (GSH), vitamin C dan E. Pasien DM memiliki kadar

GSH, vitamin C dan E yang relatif rendah, diperkirakan terjadi karena adanya

kompetisi antara nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase (NADPH).

Jalur poliol mengkonversi glukosa menjadi poliol. Glukosa dikonversi menjadi

sorbitol melalui kerja enzim aldose reduktase. Pada keadaan normal, glukosa

dimetabolisme melalui jalur heksokinase. Pada kondisi hiperglikemia, tingginya

kadar glukosa darah mensaturasi jalur heksokinase kemudian dimetabolisme

melalui jalur poliol. Adanya sorbitol yang tidak dapat menembus membran sel

dengan mudah menyebabkan peningkatan osmolaritas seluler dan berakhir pada

kerusakan sel. Peningkatan aktivitas jalur poliol juga merubah status redox dari
12

nukleotida piridin tNADP+ dan NAD+. Kedua nukleotida ini merupakan faktor

penting pada banyak reaksi katalisasi enzim, sehingga akan mempengaruhi banyak

jalur metabolik, diantaranya penurunan sintesis glutation reduksi, nitrit oksida,

mioinositol dan taurin. 10-12

Protein kinase adalah enzim yang memodifikasi protein melalui proses

fosforilasi. Pada keadaan hiperglikemia terjadi peningkatan aktivitas protein kinase

C pada sel endotel, sehingga meningkatkan sintesis diasilgliserol dari glukosa.

Protein kinase C berperan dalam transduksi sinyal dalam pembentukan hormon,

faktor pertumbuhan, dan neurotransmitter. Protein kinase C dapat mempengaruhi

kecepatan pertumbuhan, sintesis DNA, pergantian reseptor hormon, dan kontraksi

vaskular sel otot polos. Pada proses ini terjadi remodeling dari matriks ekstraseluler

vascular, sehingga dapat menimbulkan adhesi leukosit dan disfungsi endotel yang

kemudian memicu proses leukostasis dan penebalan membran basal. Penebalan

membran basal kapiler merupakan tanda khas mikroangiopati secara histologis.

Elemen penting pada penebalan membran basalis kapiler adalah kolagen tipe IV

seperti heparin sulfat, laminin, dan fibronektin. Pada diabetes, diduga terdapat

gangguan sintesis proteoglikan dan peningkatan hidroksilisin dan disakarida yang

terikat secara glikosidal. 10-12

Gangguan hemostasis akibat adanya leukostasis retina ditemukan juga

memegang peranan dalam pathogenesis retinopati diabetik. Peningkatan

leukostasis retina pada DM akan mempengaruhi fungsi endotel retina, perfusi

retina, angiogenesis, dan permeabilitas vaskular. Gangguan vaskular pada

retinopati diabetik ditandai dengan abnormalitas aliran vaskular, gangguan


13

permeabilitas, dan/atau oklusi atau kapiler non perfusi. Dua mekanisme patologis

yang mendasari terjadinya retinopati diabetik yang mengancam penglihatan yaitu

kebocoran mikrovaskular dan oklusi mikrovaskular. 9,12-14

Beberapa perubahan anatomis yang terjadi pada retinopati diabetik yaitu

hilangnya sel perisit, penebalan membran basalis kapiler, mikroaneurisma,

apoptosis kapiler, kerusakan sawar darah-retina. Hilangnya sel perisit merupakan

tanda paling dini dan paling spesifik dari retinopati diabetik. Perisit merupakan sel

kontraktil yang memegang peranan penting dalam autoregulasi mikrovaskular.

Hilangnya perisit mengacu pada perubahan kontak interseluler vaskular dan

kerusakan sawar darah-retina. Secara klinis akan memberikan gambaran dilatasi

vena dan beading. Hilangnya kontak interseluler akan memicu proliferasi sel

endotel yang kemudian berkembang menjadi mikroaneurisma. Mekanisme

hiperglikemia menyebabkan hilangnya sel perisit masih belum diketahui secara

pasti, namun terdapat dua mekanisme yang dicurigai berperan yaitu jalur aldose

reduktase dan platelet-derived growth factor-beta (PDGF-B). 9,12-14

Sel endotel berperan dalam menjaga sawar darah-retina, sehingga kerusakan

pada sel endotel akan mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular. Sel

endotel ditemukan menghasilkan PDGF-B dan sel perisit memiliki reseptor PDGF-

B dan respon terhadap PDGF-B. PDGF-B dihipotesakan memiliki peranan penting

dalam menjaga viabilitas perisit, namun belum ada penelitian yang

mengkonfirmasi hipotesis ini. Mekanisme biokimia yang diduga berperan

diantaranya jalur sorbitol dan aldose reduktase. 9,12-14


14

2.1.2.1 Klasifikasi Retinopati Diabetik dan Edema Makula Diabetik

Dalam menentukan klasifikasi dari DR, perlu untuk mengetahui kelainan yang

dapat terjadi pada retina saat pemeriksaan funduskopi seperti mikroaneurisma,

perdarahan intraretina, venous beading (dilatasi dan konstriksi vena), intraretinal

microaneurysms abnormalities (IRMA), hard exudates (deposit lipid), cottown

wool spot (iskemik retina akibat akumulasi debris axoplasmic pada bundel dekat

akson sel ganglion), dan neovaskularisasi retina. Perubahan mikrovaskular retina

yang terjadi pada Nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR) terbatas pada

retina dan tidak melewati Internal Limiting Membrane (ILM). Kelainan vaskular

seperti mikroaneurisma, perdarahan intraretinal, cotton wool spot, area retina

nonperfusi, IRMA, abnormalitas arteriolar, venous beading menandai terjadinya

NPDR. Derajat keparahan NPDR dapat berupa ringan, sedang, berat dinilai

berdasarkan temuan klinis funduskopi retina dibandingkan dengan foto standar dari

Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS).9,12-14

Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) merupakan suatu respon angiogenik

akibat keadaan retina denganb iskemik luas. Klasifikasi PDR terbagi menjadi early

PDR , high risk PDR dan advanced PDR berdasarkan temuan neovaskularisasi

pada diskus (NVD) atau neovaskularisasi elsewhere (NVE), perdarahan vitreous,

serta keterlibatan komplikasi penyakit kardiovaskular. Klasifikasi early PDR

ditandai dengan adanya NVD atau NVE, klasifikasi high risk PDR ditandai

dengan adanya NVD dan perdarahan vitreous, sedangkan pada advanced PDR jika

terdapat kelainan kardiovaskular beserta komplikasinya.11-14


15

Tabel 2.1. Klasifikasi Internasional Retinopati Diabetik


Retinopati Diabetik Pemeriksaan Fundus
No DR Tidak terdapat kelainan
Mild NPDR Mikroaneurisma
Mikroaneurisma disertai tanda klinis lain :
Moderate NPDR
hard exudates, cotton wool spot
Terdapat 1 dari tanda klinis :
- Perdarahan retina berat dan mikroaneurisma
Severe NPDR di 4 kuadran
- Venous beading ≥ 2 kuadran
- IRMA ≥ 1 kuadran
Severe NPDR disertai 1 tanda berikut :
PDR - Neovaskularisasi
- Perdarahan Vitreous
Sumber: Wong14

Edema makula diabetik (DME) terpisah dari klasifikasi DR dikarenakan DME

dapat terjadi pada seluruh klasifikasi DR. International Classification DR

mengklasifikasikan DME berdasarkan pemeriksaan klinis dan foto fundus fotografi

lokasi DME dari fovea. Pemeriksaan penunjang OCT membantu untuk

menentukan klasifikasi dari DME; (1) tidak terdapat DME, tidak terdapat

penebalan retina atau hard exudate pada makula, (2) DME tanpa keterlibatan

central subfield zone (diameter 1mm), (3) DME dengan keterlibatan central

subfield zone. Clinically Significant Makula Edema (CSME) dikemukakan oleh

Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) sebagai DME apabila

terdapat salah satu dari 3 kriteria; penebalan pada 500µm dari fovea sentral, hard

exudates pada 500µm di fovea sentral dengan penebalan disekitarnya, dan

penebalan 1 diameter disk yang terletak setidaknya 1 diameter disk dari fovea

sentral.11,13-17
16

Tabel 2.2 Klasifikasi Edema Makula Diabetik


DME Temuan Retina Lokasi Retina
Mild DME Penebalan atau eksudat di polus diluar makula sentral
posterior (diameter 1000 µm)
Moderate Penebalan atau eksudat di polus didalam makula sentral
DME posterior (diameter 1000 µm) tanpa
keterlibatan fovea
Severe Penebalan atau eksudat di polus didalam makula sentral
DME posterior (diameter 1000 µm) dengan
keterlibatan fovea
Sumber : Wilkinson et al17

2.1.2.2 Pemeriksaan Penunjang Edema Makula Diabetik

Deteksi awal pada DME dapat memberikan tatalaksana yang baik sehingga

mencegah kehilangan tajam penglihatan yang permanen. Pemeriksaan tajam

penglihatan dilakukan untuk dapat menilai secara fungsional keparahan akibat

edema pada makula, akan tetapi tetap dibutuhkan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang untuk menentukan diagnosis dan derajat keparahan DME

dapat dilakukan menggunakan berbagai modalitas. Pemeriksaan penunjang juga

dapat memberikan informasi progresivitas penyakit dan respon terhadap terapi.9,17

Fluorescein Angiography (FA) merupakan pemeriksaan penunjang gold

standard dalam menentukan diagnosis DME dikarenakan dengan pemeriksaan FA

dapat menilai keadaan non perfusi dan kebocoran kapiler pada retina. Pemeriksaan

terbaru menggunakan widefield FA dapat melihat polus posterior dan fundus

perifer sehingga dapat secara akurat menilai tanda iskemik awal dan PDR. Tan et

al mengatakan iskemik pada perifer retina berhubungan dengan adanya DME,

sehingga dengan pemeriksaan penunjang widefield FA penting untuk dilakukan.

Efek samping dari pemeriksaan FA perlu untuk diperhatikan karena dapat

menyebabkan reaksi anafilaksis, nekrosis pada jaringan lokal, mual, muntah, reaksi

kardiopulmonal, nyeri kepala, serta tromboplebitis pada area injeksi. Prosedur


17

pemeriksaan yang bersifat invasif, efek samping yang dapat terjadi dan terdapatnya

pemeriksaan penunjang OCTA membuat pemeriksaan FA jarang dilakukan dalam

menentukan diagnosis dan tatalaksana DME.18-21

Gambar 2.3 Pemeriksaan Fluorescein Angiography


Dikuti dari : American Academy of Ophthalmology; Retina and Vitreous5

Optical Coherence Tomography (OCT) menjadi pemeriksaan yang sering

dilakukan dalam menentukan diagnosis DME karena dapat melihat hard exudate

dan pembuluh darah intraretinal pada lapisan retina. Pemeriksaan OCT memiliki

kemampuan untuk memberikan pencitraan detail struktur okular secara non-invasif

serta dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif pada retina dan saraf

optik. OCT saat ini telah menjadi suatu perangkat yang memiliki peran penting

dalam penapisan, diagnosis, serta evaluasi tatalaksana retinopati diabetik.

Teknologi OCT memiliki prinsip interferometri koherensi rendah, dimana cahaya

dengan koherensi rendah dipancarkan kepada jaringan target, kemudian cahaya

yang direfleksikan kembali oleh jaringan akan dikombinasikan dengan pancaran

cahaya kedua atau reference beam. Hasil dari pola interferensi yang dihasilkan akan
18

digunakan untuk merekonstruksi suatu A-scan aksial, yang menggambarkan

kemampuan scattering pada setiap jaringan yang terdapat di jalur pancaran cahaya

tersebut. Menggerakan cahaya dalam suatu garis pada jaringan akan menghasilkan

kompilasi A-scan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi suatu B-scan.

Mengulangi beberapa B-scan pada beberapa lokasi yang berdekatan dapat

menhasilkan infromasi mengenai kondisi volume struktur secara 3 dimensi.19-20

Gambar 2.4 Pemeriksaan Optical Coherence Tomography


Dikuti dari : American Academy of Ophthalmology; Retina and Vitreous5

Pemeriksaan OCTA merupakan modalitas baru untuk menilai retina dan

koroid. Pemeriksaan ini dapat melihat pelebaran pembuluh darah, peningkatan

FAZ, dan non perfusi kapiler pada retina. Pembuluh darah koroid juga dapat

diidentifikasi dengan jelas pada OCTA, sedangkan FA memerlukan Indocyanine

green angiography (ICGA) untuk menilai kelainan pada koroid. Pemeriksaan FA

dan ICGA menilai keadaan patologi berdasarkan kebocoran dan pooling dari

pembuluh darah sedangkan OCTA menilai keadaan pembuluh darah retina yang

abnormal dan perubahan anatomis dari retina akibat DME. De Carlo et al

mengatakan OCTA dapat mengidentifikasi lokasi dari mikroaneurisma yang

berdekatan dari cairan retina. Pemeriksaan OCTA tidak dapat melihat gambaran
19

secara widefield sehingga pemeriksaan FA masih merupakan gold standard dalam

menentukan diagnosis DME.18-21

Gambar 2.5 Pemeriksaan Optical Coherence Tomography Angiography.


A.Pleksus vaskular superfisial, B.Pleksus vaskular dalam, C.Koriokapilaris
Dikutip dari : American Academy of Ophthalmology; Retina and Vitreous5

Pemeriksaan FA, OCT dan OCTA merupakan pemeriksaan untuk menilai

morfologi dari makula pada pasien DME. Terdapat pemeriksaan penunjang baru

untuk menilai fungsi dari makula yaitu menggunakan mikroperimetri MP3.

Pemeriksaan penunjang ini bersifat otomatis untuk melihat gambaran fundus retina

dan dapat dilakukan pada pasien pupil kecil. Mikroperimetri MP3 tidak bersifat

invasif dan sangat mudah untuk dilakukan. Pemeriksaan MP3 mirip dengan tes

perimetri, pemeriksaan dilakukan pada ruangan gelap dilakukan 1 mata bergantian


20

mata lainnya dilakukan oklusi kemudian pasien akan diberikan stimulus cahaya

dan diminta untuk menekan alat saat melihat stimulus, akan tetapi karena bersifat

automatic retinal tracking stimulus yang diterima selalu pada area yang sama pada

fundus sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat. Stimulus cahaya yang

diberikan dimulai dari 0-20 desibel pada setiap pola dari 56 lokasi pada area makula

yang berbeda dan titik sentral berada pada fovea berupa lingkaran merah 1 derajat.

Parameter yang dapat dinilai dari pemeriksaan mikroperimetri berupa rata-rata

sensitivitas dalam decibel dan kualitas fiksasi pasien. Hasil dengan 18 dB dapat

dinilai sebagai sensitivitas retina yang normal dan dibawah itu merupakan

sensitivitas yang menurun. Fiksasi pasien dikatakan stabil jika 75% dari total

fiksasi jatuh pada area lingkaran 4 derajat, dan tidak stabil jika kurang dari 75%.22,23

A B

Gambar 2.6 Pemeriksaan Mikroperimetri MP3. A. Sensitifitas normal makula;


B. Sensitifitas menurun makula
Dikutip dari : Palkovits22

2.1.2.3 Tatalaksana Edema Makula Diabetik

Berdasarkan studi Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan

United Kingdom Prospective Diabetic Study (UKPDS), regulasi gula darah


21

merupakan tatalaksana utama dalam retinopati diabetik dan menurunkan resiko

timbulnya retinopati baru serta mengurangi perkembangan retinopati yang ada

pada pasien dengan DM tipe 1 dan DM tipe 2. Studi tersebut juga

merekomendasikan untuk mengontrol kadar HbA1c hingga kurang dari 7.0%.

Tatalaksana untuk pasien DR dilakukan berdasarkan derajat keparahan DR yang

diderita serta ada atau tidaknya DME. Prinsip utama tatalaksana pada pasien DME

adalah kontrol faktor sistemik dan tatalaksana terhadap okular. Kontrol faktor

sistemik bertujuan untuk mencegah retinopati dan progresivitas penyakit

sedangkan tujuan terapi okular untuk mencegah kehilangan dan memperbaiki tajam

penglihatan. Pada kondisi progresivitas penurunan tajam penglihatan dapat

dilakukan terapi Anti-VEGF, terapi laser dan pemberian triamcinolone.14-17

Pemberian Anti-VEGF intravitreal merupakan terapi lini pertama untuk pasien

DME. Obat Anti-VEGF yang tersedia termasuk aflibercept, bevacizumab,

pegaptanib, dan ranibizumab. Penelitian uji klinis menunjukkan obat-obatan Anti

VEGF tersebut dapat memberikan hasil yang baik pada pasien DME. Berdasarkan

protokol I The Diabetic retinopathy clinical research network (DRCR.net)

menunjukkkan bahwa pemberian Anti-VEGF intravitreal memberikan hasil tajam

penglihatan yang lebih baik dibandingkan dengan tatalaksana laser pada pasien

DME dengan keterlibatan makula sentral. Terapi laser masih dapat dilakukan pada

pasien DME jika tidak terdapat keterlibatan makula sentral atau tajam penglihatan

masih lebih baik dari 20/32. Berdasarkan beberapa protokol tatalaksana injeksi

Anti-VEGF intravitreal dapat diberikan setiap 4 minggu dengan pemberian 3 kali


22

injeksi, untuk injeksi selanjutnya dapat mengikuti Treat-and-extend atau pro re

nata (PRN).14-17

2.2 Kerangka Pemikiran

Keadaan hiperglikemia dalam rentang waktu panjang dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan stress oksidatif, inflamasi dan hipoksia sehingga terjadi

perubahan pada neurovaskular retina dan berujung pada terjadinya apoptosis sel

yang memicu kehilangan sel perisit pada dinding vaskular. Proses tersebut dapat

menyebabkan terjadinya modifikasi kapiler retina dalam, sehingga menyebabkan

kerusakan sawar darah-retina. Keadaan patologis pada sawar darah retina ini

mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler perifovea dan terjadi akumulasi

cairan pada intraselular ekstraselular retina yang disebut edema makula.

Patogenesis terjadinya DME juga berhubungan dengan peningkatan VEGF akibat

kondisi hiperglikemia, ketika kadar VEGF meningkat dapat menyebabkan

terjadinya kebocoran plasma darah serta hipoksia jaringan.5,9-14

Perubahan neovaskular retina juga dapat menyebabkan oklusi kapiler dan

gangguan perfusi pada retina sehingga dapat menyebabkan disfungsi sel ganglion

retina dan berakibat penurunan sensitivitas retina. Makula merupakan area dengan

struktur mikrovaskular terpadat pada retina dan memiliki proses metabolisme

tertinggi, sehingga makula merupakan area paling tepat untuk menilai adanya

penurunan sensitivitas pada retina. Salah satu alat terbaru untuk pemeriksaan

sensitivitas retina adalah mikroperimetri MP3, alat ini dapat melakukan tracking

gambaran fundus secara otomatis.9-14,22,23


23

Deteksi awal pada DME dapat memberikan tatalaksana yang baik sehingga

mencegah kehilangan tajam penglihatan yang permanen. Pemeriksaan penunjang

untuk menentukan diagnosis dan derajat keparahan DME dapat dilakukan

menggunakan berbagai modalitas, salah satunya dengan Optical Coherence

Tomography (OCT). Pemeriksaan menggunakan OCT menjadi pemeriksaan yang

sering dilakukan dalam menentukan diagnosis DME karena dapat melihat hard

exudate dan pembuluh darah intraretinal pada lapisan retina. Pemeriksaan OCT

memiliki kemampuan untuk memberikan pencitraan detil struktur okular secara

non-invasif serta dapat digunakan untuk melakukan analisis kuantitatif retina. 19-20

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis DME seperti FA, OCT

dan OCTA merupakan pemeriksaan untuk menilai struktural dari makula.

Penilaian secara fungsional dapat dilakukan dengan cara menilai sensitivitas retina.

Penilaian sensitivitas retina parasentral cukup sulit menggunakan perimetri

konvensional terutama pada pasien dengan gangguan pada makula karena terdapat

skotoma sentral sehingga sulit untuk fiksasi. Mikroperimetri dapat menilai

sensitivitas retina pada lokasi yang tepat dikarenakan dapat memilih lokasi yang

akan dilakukan pemeriksaan dari gambaran fundus. Kelainan DME perlu

dievaluasi baik berdasarkan morfologi dan fungsional, sehingga diperlukan

pemeriksaan fungsional seperti Mikroperimetri karena dapat menilai sensitivitas

retina.20-23
24

2.3 Premis dan Hipotesis

2.3.1 Premis

Berdasarkan tinjauan Pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat

ditarik premis sebagai berikut:

Premis 1 : Hiperglikemia dalam rentang waktu panjang dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan stres oksidatif, inflamasi dan hipoksia

sehingga terjadi perubahan pada neurovaskular retina dan berujung

pada terjadinya apoptosis sel yang memicu kehilangan sel perisit

pada dinding vaskular.5,9

Premis 2 : Perubahan neovaskular retina dapat menyebabkan terjadinya

modifikasi kapiler retina dalam, sehingga menyebabkan kerusakan

sawar darah-retina mengakibatkan peningkatan permeabilitas

kapiler perifovea dan terjadi akumulasi cairan pada intraselular

ekstraselular retina.9-14

Premis 3 : Akumulasi cairan pada intraselular ekstraselular retina dapat

menyebabkan peningkatan ketebalan lapisan retina yang dapat

dilihat dan diukur menggunakan OCT.19-20

Premis 4 : Perubahan vaskular retina dapat menyebabkan oklusi kapiler dan

gangguan perfusi pada retina sehingga dapat menyebabkan

disfungsi sel ganglion retina.9-14

Premis 5 : Disfungsi sel ganglion retina dapat menyebabkan penurunan

sensitivitas pada retina yang dapat dinilai dengan menggunakan

mikroperimetri MP3.22,23
25

2.3.2 Hipotesis

Terdapat korelasi antara hasil pemeriksaan penunjang Mikroperimetri MP3

dengan Optical Coherence Tomography pada pasien edema makula diabetik.

2.4 Bagan Kerangka Pemikiran

Hiperglikemia Kronis

↑ VEGF ↑ stress oksidatif


Inflamasi
Hipoksia

Perubahan Neovaskular Retina

↓ sel perisit Oklusi Kapiler


Kerusakan sawar darah-retina Gangguan Perfusi
↑ permeabilitas vaskular

Disfungsi Sel Ganglion

Akumulasi cairan di
Intraselular Ekstraselular retina ↓ Sensitivitas retina

Pemeriksaan OCT Korelasi ? Pemeriksaan


Makula Mikroperimetri MP3

Gambar 2.7 Bagan Kerangka Pemikiran


26

BAB III

SUBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1. Subjek Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah penderita Diabetes Melitus (DM).

Subjek penelitian adalah penderita DM dengan Edema Makula Diabetik (DME)

pada setiap klasifikasi Diabetik Retinopati (DR) di Pusat Mata Nasional Rumah

Sakit Mata Cicendo Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia

mengikuti penelitian dengan mengisi lembar persetujuan penelitian.

3.1.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan Mikroperimetri

MP3 dan OCT yang baik pada pasien usia 40-70 tahun dengan diagnosis DR

disertai DME dengan keterlibatan fovea.

3.1.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada pasien ini adalah pencitraan Mikroperimetri MP3 dan

OCT dengan hasil realibilitas tidak baik, adanya kekeruhan media refraktif yang

bermakna, riwayat operasi ataupun tindakan intraokular kecuali terapi anti-VEGF,

riwayat kelainan okular atau kelainan retina lainnya seperti iskemik makula,

disorganization of retina inner layer (DRIL).

26
27

3.1.3 Cara Pemilihan Sampel

Pemilihan sampel dilakukan dengan memilih sampel yang memenuhi kriteria

sampai kurun waktu tertentu hingga total jumlah sampel minimal terpenuhi

(consecutive sampling).

3.1.4 Penentuan Besar Sampel Penelitian

Penentuan besar sampel sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu untuk

menganalisis hubungan antara hasil pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dan Optical

Coherence Tomography Angiography pada penderita edema makula diabetik.

Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan analisis

korelasi, untuk melihat korelasi, adapun rumus untuk menentukan ukuran sampel

pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

2
 
 
Z + Z  
n= +3
  (1 + r )  
 0,5 ln  
  (1 − r )  

Keterangan:

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini

Z = Derajat kepercayaan yaitu 95%(1,96)

Z = Kekuatan uji yaitu 80% (0,84)

r = Koefisien korelasi yang bermakna (0,37 berdasarkan nilai koefisien

korelasi pada jurnal Stella Vujosevic)


28

Jumlah sampel yang diperlukan berdasarkan rumus analisis korelasi adalah

sebagai berikut :

2
 Z + Z  
n=  +3
 0.5ln(1 + r ) /(1 − r ) 

2
1.96 + 0.84
𝑛=[ ] +3
0.5 𝑙𝑛( 1 + 0.37)/(1 − 0.37)
2
2.8
𝑛=[ ] +3
0.5 𝑙𝑛 1 . 5/0.5

n = 51,96 ~ 52

Berdasarkan rumus di atas maka diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak

52 subjek penelitian. Bila ditambahkan 10% untuk mengantisipasi kehilangan data,

maka jumlah sampel minimal adalah 58 orang subjek penelitian.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross-

sectional, kemudian dilakukan analisis korelasi. Seluruh sampel yang telah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan dimasukkan sebagai subjek penelitian.

Konsep Crossectional study atau metode potong lintang adalah untuk mengukur

variabel independen dan dependen pada waktu bersamaan. Jenis penelitian ini

berusaha mempelajari dinamika hubungan antara faktor-faktor resiko dengan

dampak atau efeknya. Faktor resiko dan dampak atau efeknya diobservasi pada saat

yang sama, artinya setiap subjek penelitian diobservasi hanya satu kali saja dan

faktor risiko serta dampak diukur menurut keadaan atau status pada saat observasi.
29

Dilihat dari hubungan antar variabelnya, penelitian ini merupakan penelitian kausal

atau sebab akibat, yaitu penelitian yang diadakan untuk menjelaskan hubungan

antar variabel, variabel yang satu menyebabkan atau menentukan nilai variabel

yang lain.

3.2.2 Indentifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.2.2.1 Identifikasi Variabel

Variabel bebas pada penelitian ini adalah ketebalan makula hasil pencitraan

OCT. Variabel terikat pada penelitian ini adalah sensitivitas retina hasil

Mikroperimetri MP3. Faktor perancu pada penelitian ini adalah usia, durasi DM,

riwayat merokok.

3.2.2.2 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Sensitivitas Analisis sensitivitas retina Mikroperimetri Desibel Numerik
retina dengan memberikan MP3
stimulus cahaya terhadap
makula
Ketebalan Analisis ketebalan makula OCT Mikrometer Numerik
makula didapatkan dari hasil
makula cube scan.
Durasi DM Waktu saat ditegakkan Wawancara Tahun Numerik
diagnosis DM hingga
waktu pemeriksaan
30

3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

3.2.3.1 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Visual acuity auto projector

2. Slit lamp biomicroscope

3. Tonometer non kontak

4. Oftalmoskop indirek

5. Obat tetes mata tropikamid 1 %

6. Perangkat OCT Zeiss® Cirrus HD 5000

7. Perangkat Mikroperimetri Nidek® MP3

3.2.3.2 Persiapan Sebelum Penelitian

Cara kerja pada penelitian ini antara lain :

1. Rancangan penelitian diajukan ke bagian Komite Etik Penelitian

Kesehatan ethical clearance PMN RS Mata Cicendo.

2. Rancangan penelitian diajukan ke Direktur SDM, Pendidikan dan

Penelitian PMN RS Mata Cicendo melalui surat yang dibuat oleh Kepala

Program Studi dan Kepala Departemen IK Mata.

3. Penjelasan mengenai tujuan penelitian dan mengisi surat persetujuan

informed consent penelitian kepada sampel.

4. Sampel yang masuk dalam kriteria inklusi akan diberikan penjelasan

secara lisan mengenai prosedur pemeriksaan serta kegunaan penelitian.

Jika pasien dan keluarga setuju dan bersedia berpartisipasi dalam


31

penelitian ini maka akan diberikan lembar surat persetujuan (informed

consent) untuk dilakukan tanda tangan.

5. Pasien yang telah menandatangani lembar surat persetujuan diberikan

jadwal untuk dilakukan pencatatan identitas dan dilakukan anamnesis ,

pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan tekanan intraokular,

pemeriksaan segmen anterior bola mata dengan menggunakan lampu celah,

pemeriksaan segmen posterior menggunakan oftalmoskopi indirek,

pemeriksaan OCT dan pemeriksaan Mikroperimetri MP3 oleh 1 perawat

diagnostik PMN RS Mata Cicendo.

3.2.3.3 Prosedur Pemeriksaan Optical Coherence Tomography

1. Bersihkan sandaran dagu dan dahi pada mesin dengan menggunakan

alkohol.

2. Sesuaikan tinggi meja agar pasien dapat duduk dengan nyaman.

3. Pilih jenis scan yang akan kita lakukan pada mesin OCT, kemudian tunggu

sandaran dagu bergerak secara otomatis menyesuaikan dengan jenis scan

yang akan kita lakukan. Minta pasien untuk meletakkan dagu pada

sandaran dagu yang telah selesai bergerak dengan sempurna.

4. Pemeriksaan dilakukan satu persatu pada masing-masing mata. Pasien

diminta untuk memfokuskan pandangan pada target fiksasi di mesin,

informasikan kepada pasien agar dapat berkedip dengan normal selama

proses penyesuaian kesejajaran oleh mesin OCT, dan instruksikan untuk

membuka mata dengan lebar selama proses pengambilan scan berlangsung.


32

5. Pemeriksaan OCT didapatkan dengan memilih jenis makula cube scan

512x128. Nilai yang tertera pada masing-masing mata dicatat sebagai nilai

ketebalan makula.

6. Informasikan kepada pasien agar dapat mengangkat wajah dari sandaran

dahi dan dagu apabila hasil yang sesuai sudah didapatkan.

3.2.3.4 Prosedur Pemeriksaan Mikroperimetri MP3

1. Bersihkan sandaran dagu dan dahi pada mesin dengan menggunakan

alkohol.

2. Sesuaikan tinggi meja agar pasien dapat duduk dengan nyaman.

3. Setelah mesin dinyalakan, mesin mikroperimetri MP3 akan bergerak untuk

melakukan kalibrasi, setelah proses kalibrasi selesai minta pasien untuk

meletakkan dagu dan dahi pada sandaran yang tersedia.

4. Pemeriksaan dilakukan satu persatu pada masing-masing mata.

Mikroperimetri MP3 akan melakukan tes fiksasi berupa kesejajaran pupil,

kesejajaran retina, focus retina, setelah itu secara otomatis alat akan

memberikan hasil terhadap tes fiksasi yang dilakukan.

5. Tahap berikutnya setelah hasil tes fiksasi baik, alat secara otomatis akan

memberikan rangsangan berupa cahaya terhadap pasien dan minta pasien

untuk menekan tombol yang tersedia pada alat jika pasien dapat melihat

rangsangan cahaya tersebut.

6. Informasikan kepada pasien agar dapat mengangkat wajah dari sandaran

dahi dan dagu apabila hasil yang sesuai sudah didapatkan.


33

3.2.3.5 Rancangan Analisis Data

Data yang sudah terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah

data menjadi informasi. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai

dari:

1) Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan

2) Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data

angka atau bilangan.

3) Data entry yaitu memasukkan data, yakni hasil pemeriksaan dan

pengukuran subjek penelitian yang telah di-coding, dimasukan ke dalam

program komputer.

4) Cleaning, yaitu apabila semua data dari responden telah selesai

dimasukkan, maka perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan

sebagainya, kemudian dilakukan koreksi.

Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk mendiskripsikan

variabel-variabel dependen dan independen sehingga dapat membantu analisis

selanjutnya secara lebih mendalam. Selain itu, analisis secara deskriptif ini juga

digunakan untuk mengetahui karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel

penelitian. Analisis data untuk melihat gambaran proporsi masing - masing variabel

yang akan disajikan secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif

dan uji hipotesis. Data yang berskala numerik seperti umur sampel dan BMI

dipresentasikan dengan rerata, standar deviasi, median dan range. Kemudian untuk

data karakteristik sampel berupa data kategorik seperti jenis kelamin dan pekerjaan
34

maka diberikan koding dan dipresentasikan sebagai distribusi frekuensi dan

persentase.

Analisis yang dilakukan harus sesuai dengan jenis masalah penelitian dan

data yang digunakan. Kemudian untuk data numerik, sebelum dilakukan uji

statistika data numerik tersebut dinilai dengan uji normalitas dengan menggunakan

Shapiro-Wilk test, apabila data kurang dari 50, alternatifnya adalah Kolmogorov

Smirnov apabila data lebih dari 50, dimana uji ini digunakan untuk menguji apakah

data berdistribusi normal atau berdistribusi tidak normal. Selanjutnya analisis

statistik sesuai tujuan penelitian dan hipotesis yaitu untuk menguji apakah terdapat

hubungan antara hasil pemeriksaan penunjang mikroperimetri MP3 dan Optical

Coherence Tomography Angiography pada penderita edema makula diabetik.

Uji statistik yang bertujuan mengetahui korelasi antara data numerik dengan

data mengikuti distribusi normal maka maka digunakan uji statistika korelasi

Pearson Test sedangkan untuk data yang tidak normal maka menggunakan

Spearman. Interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, arah

korelasi, dan nilai p: Kekuatan korelasi (r) berdasarkan kriteria Guillford (1956)

yaitu : 0,0 -< 0,2 = sangat lemah; 0,2 - < 0,4 = lemah; 0,4 -< 0,7 = sedang; 0,7 - <

0,9 = kuat; 0,9 -1,0 = sangat kuat. Arah korelasi positif searah berarti semakin besar

nilai satu variabel, semakin besar pula nilai variabel lainnya. Arah korelasi negatif:

berlawanan arah berarti semakin besar nilai satu variabel, semakin kecil nilai

variabel lainnya. Adapun kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p apabila

p ≤ 0,05 artinya signifikan atau bermakna secara statistika, dan p > 0,05 tidak

signifikan atau tidak bermakna secara statistik. Nilai p < 0,05: terdapat korelasi
35

yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Nilai p > 0,05; tidak terdapat korelasi

yang bermakna antara dua variabel yang diuji. Data yang diperoleh dicatat dalam

formulir khusus kemudian diolah melalui program SPSS versi 24.0 for Windows.

3.2.3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di unit Vitreoretina dan unit Diagnostik Pusat

Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung dalam waktu penelitian dari

bulan September hingga Oktober 2021.

3.2.3.7 Implikasi/Aspek Etik Penelitian

Penelitian ini berpedoman pada tiga prinsip dasar penelitian terhadap manusia

dengan memperhatikan hal-hal berikut :

A. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)

1. Subjek penilitian memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi

mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian secara jelas.

2. Keikutsertaan subjek dalam penelitian dilakukan secara sukarela dan

sadar, dan sewaktu-waktu dapat mempergunakan haknya untuk

menghentikan keikutsertaan dalam penelitian tanpa paksaan.

B. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficience and non maleficience)

1. Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat kepada subjek

penderita DME dengan mendapatkan pemeriksaan dasar mata,

pemeriksaan OCT dan Mikroperimetri MP3 yang dapat mendeteksi

perubahan struktur dan fungsional makula pasien.


36

2. Rasa tidak nyaman mungkin timbul saat pemeriksaan akibat dilakukan

dengan berbagai macam alat, serta rasa silau dan buram dapat muncul

akibat obat tetes midriatikum untuk melebarkan pupil, akan tetapi efek

yang timbul tidak membahayakan pasien.

C. Prinsip keadilan (justice)

Seluruh subjek penelitian ini diperlakukan secara seragam, dengan

menggunakan cara dan alat yang terstandarisasi oleh dokter spesialis mata.

3.3 Skema Alur Penelitian

Pasien regular di unit Vitreoretina yang telah terdiagnosa DME dan memenuhi
kriteria inklusi diberikan penjelasan mengenai penelitian, pasien yang bersedia
mengikuti penelitian menandatangani formular informed consent

Anamnesis, pemeriksaan visus, tekanan intraokular, segmen anterior bola mata

Dilatasi pupil dengan penetesan midriatikum 1% pada setiap mata

Pemeriksaan segmen posterior bola mata, OCT dan Mikroperimetri MP3

Dokumentasi hasil

Analisis data
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di unit Vitreoretina dan Diagnostik PMN Rumah

Sakit Mata Cicendo Bandung pada bulan September – Oktober 2021. Berdasarkan data

yang dikumpulkan, didapatkan total 57 pasien dan 61 mata yang masuk kriteria inklusi

pada pasien DME yang dilakukan pemeriksaan OCT makula dan Mikroperimetri MP3.

Gambaran karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian


Variabel N=57 (pasien)
Jumlah Pasien 57(100.0%)
Jumlah Mata* 61(100.0%)
Usia
Dewasa Muda (40-50 tahun) 16(28.1%)
Dewasa (51-60 tahun) 29(50.9%)
Usia Lanjut (>60 tahun) 12(21.1%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 28(49.1%)
Perempuan 29(50.9%)
Durasi DM (tahun)
Median 10.00
Range (min-max) 3.00-20.00
Kadar HbA1c
<6.4% 4(7.0%)
>6.5% 53(93.0%)
Lateralitas
Unilateral 53(93.0%)
Bilateral 4(7.0%)
Diagnosis Retinopati Diabetik
Moderate NPDR 2(3.5%)
Severe NPDR 41(71.9%)
PDR 14(24.6%)
Terapi Anti VEGF
Belum Terapi 30(52.6%)
Sudah Terapi 27(47.4%)
Keterangan: Untuk data kategorik disajikan dengan jumlah/frekuensi dan persentase sedangkan data
numerik disajikan dengan rerata, median, standar deviasi dan range. * N jumlah mata

37
38

Tabel 4.1 menjelaskan gambaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan

usia, jenis kelamin, durasi DM, kadar HbA1c, lateralitas, klasifikasi DR dan riwayat

terapi. Jumlah keseluruhan pasien sebanyak 57 orang dengan total jumlah mata

sebanyak 61 mata. Untuk pasien dengan usia kategori dewasa muda sebanyak 16

orang (28.1%), dewasa sebanyak 29 orang (50.9%) dan usia lanjut sebanyak 12

orang (21.1%). Pasien laki-laki sebanyak 28 orang (49.1%) dan perempuan

sebanyak 29 orang (50.9%). Pasien dengan durasi DM median 10 tahun dengan

kadar HbA1c kategori <6.4% sebanyak 4 orang (7.0%) dan >6.5% sebanyak 53

orang (93.0%). Untuk pasien dengan lateralitas kategori unilateral sebanyak 53

orang (93.0%) dan bilateral sebanyak 4 orang (7.0%). Diagnosis DR pada setiap

pasien dengan DME dengan moderate NPDR sebanyak 2 orang (3.5%), severe

NPDR sebanyak 41 orang (71.9%) dan PDR sebanyak 14 orang (24.6%). Sebanyak

30 orang (52.6%) belum mendapatkan terapi anti VEGF sebelumnya dan 27 orang

(47.4%) sudah mendapatkan terapi.

Tabel 4.2 Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina


Sensitivitas retina
Variabel Menurun Normal Nilai P
N=55 (mata) N=6 (mata)
Ketebalan Makula 0.006*
Median 426.00 362.500
Range(min-max) 307.00-612.00 325.00-379.00
Keterangan: Untuk data numerik nilai p diuji dengan uji T tidak berpasangan apabila data berdsitribusi normal
dengan alternatif uji Mann Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Nilai kemaknaan berdasarkan
nilai p<0,05 .Tanda* menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.

Tabel 4.2 menjelaskan korelasi antara ketebalan makula dengan sensitivitas

retina. Kelompok sensitivitas retina menurun, untuk ketebalan makula memiliki

median sebesar 426 µm (rentang 307-612) dan kelompok sensitivitas retina normal

362.5 µm (rentang 325-379). Analisis data numerik ini diuji dengan menggunakan
39

uji Mann Whitney karena data tidak berdistribusi normal yaitu variabel ketebalan

makula. Hasil uji statistik pada kelompok penelitian diatas diperoleh informasi nilai

P pada variable ketebalan makula lebih kecil dari 0.05 (nilai P>0.05) yang berarti

signifikan atau bermakna secara statistik dengan demikian dapat dijelaskan bahwa

terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara variable ketebalan

makula pada kelompok menurun dan normal.

Tabel 4.3 Tabel Analisis Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina

Variabel Korelasi R P Value

Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas retina Spearman -0.823 0.0001**

Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas Makula Spearman -0.820 0.0001**


pada pasien yang belum terapi

Korelasi Ketebalan Makula dengan Sensitivitas Makula Spearman -0.857 0.0001**


pada pasien yang sudah terapi
Keterangan: nilai kemaknaan p < 0,05.Tanda ** menunjukkan signifikan atau bermakna secara statistika.
r :koefisien korelasi.

Sesuai dengan tabel 4.3 diatas dari hasil analisis statistik uji korelasi Spearman

antara variabel ketebalan makula dengan sensitivitas retina diperoleh P value untuk

korelasi antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina mempunyai nilai

kemaknaan atau P value sebesar 0.0001 dimana nilai p tersebut lebih kecil dari 0,05

(P value< 0,05). Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan atau bermakna

secara statistik, maka dapat disimpulkan terdapat korelasi antara setiap variabel

ketebalan makula dengan sensitivitas retina . Nilai koefisien korelasi (R) diperoleh

informasi bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi yang kuat dengan

menggunakan analisis statistik Spearman, maka didapatkan nilai R untuk nilai

korelasi ketebalan makula dengan sensitivitas retina sebesar -0.823 ; nilai p=


40

0.0001 , pada pasien yang belum terapi sebesar -0.857 ; nilai p= 0.0001, pada pasien

yang telah melakukan terapi sebesar -0.820 ; nilai p= 0.0001 ; hal ini menunjukan

bahwa adanya korelasi yang signifikan dengan arah korelasi negatif dan yang kuat

antara ketebalan makula dengan sensitivitas retina. Setelah melalui pengujian dan

hasilnya signifikan, maka untuk menentukan keeratan hubungan bisa digunakan

kriteria Guilford, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya korelasi atau

hubungan yang kuat dan signifikan antara ketebalan makula dengan sensitivitas

retina baik pada pasien yang belum melakukan terapi dan telah melakukan terapi.

4.2 Uji Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan penunjang

mikroperimetri MP3 memiliki korelasi dengan Optical Coherence Tomography

pada pasien DME. Uji menggunakan uji korelasi Spearman antara variable

ketebalan makula dengan sensitivitas retina diperoleh p value untuk korelasi antara

ketebalan makula dengan sensitivitas retina mempunyai nilai kemaknaan atau P

Value sebesar 0.0001 dimana nilai p tersebut lebih kecil dari 0,05 (P value< 0,05).

Hal ini menunjukkan korelasi yang signifikan atau bermakna secara statistik,

maka dapat disimpulkan terdapat korelasi antara setiap variabel ketebalan makula

dengan sensitivitas retina.

Kesimpulan : Hipotesis diterima.


41

4.3 Pembahasan

Karakteristik subjek pada penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, durasi

menderita DM, kadar HbA1c. Data tersebut didapatkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan klinis. Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan proporsi pasien dengan jenis

kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan

data Riskesdas 2018 yang melaporkan pasien DM perempuan 1,8% di Indonesia

lebih banyak dibandingkan laki-laki 1,2%. Hasil tersebut berkaitan oleh laki-laki

lebih banyak yang bekerja dan melakukan aktifitas sehingga paparan DM lebih

rendah dibandingkan dengan perempuan. Usia dewasa (51-60) tahun memiliki

paparan DM lebih banyak dibandingkan dewasa muda dan usia lanjut. Hal ini sesuai

dengan data Riskesdas 2018 menunjukkan proporsi DM terbesar berada pada

rentang 55-64 tahun (6,3%). Secara keseluruhan median durasi pasien DM adalah

10 tahun (rentang 3.00-20.00). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh El-

magid dkk, dikatakan kondisi subklinis retinopati diabetik terjadi pada rentang 4-8

tahun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan kepatuhan dalam pengobatan dan kontrol

gula darah yang dilakukan kurang lebih baik pada pasien penelitian ini sebanyak

93% memiliki kadar HbA1c >6,5%. Sebagian besar subjek pada penelitian ini

terlambat untuk dilakukan pemeriksaan mata secara dini dan dilakukan

pemeriksaan mata setelah terdapat gejala penglihatan buram. Sebanyak 71.9%

pasien terdiagnosis DME pada klasifikasi severe NPDR. Edema makula diabetik

dapat terjadi pada setiap klasifikasi DR sehingga untuk klasifikasi DME dibedakan

dari klasifikasi DR.2,3,24,25


42

Palkovits, dkk menilai sensitivitas retina menggunakan mikroperimetri MP3

pada pasien dengan kondisi makula sehat dan pasien dengan gangguan makula.

Penelitian tersebut mengatakan bahwa pemeriksaan sensitivitas retina

menggunakan mikroperimetri MP3 memiliki hasil yang adekuat terhadap pasien-

pasien dengan kelainan makula. Penggunaan mikroperimetri MP3 juga dapat

menilai progresitivitas pada gangguan makula dan keberhasilan terapi dengan

menilai sensitivitas retina secara rutin. Penelitian serupa juga dilakukan oleh

Nagpal, dkk dengan menggunakan mikroperimetri MP3 yang dibandingkan dengan

OCTA untuk menilai degenerasi makula. Penelitian tersebut mengatakan bahwa

mikroperimetri MP3 dapat digunakan untuk menilai keberhasilan terapi yang

diberikan pada pasien-pasien dengan degenerasi makula dengan secara rutin

melakukan pemeriksaan mikroperimetri MP3.22,23

Hubungan ketebalan makula menggunakan pemeriksaan OCT dengan

sensitivitas retina menggunakan pemeriksaan mikroperimetri MP3 pada kelompok

sensitivitas retina normal dan menurun menunjukkan perbedaan yang bermakna

secara statistik. Pada penelitian ini didapatkan median ketebalan makula pada

kelompok sensitivitas retina yang menurun sebesar 426 µm (rentang 307-612).

Vujosevic dkk membandingkan perubahan sensitivitas retina menggunakan

pemeriksaan mikroperimetri MP1 terhadap ketebalan makula pada beberapa

klasifikasi DME. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan rerata ketebalan

makula pada kelompok clinically significant macular edema (CSME) adalah

390.4±93.8µm dengan menggunakan OCT dan rerata sensitivitas retina 4.7±3.5 dB.

Penelitian tersebut juga melaporkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara
43

rerata ketebalan makula dan sensitivitas retina pada kelompok no macular edema

(NE) dan non clinically significant macular edema (NCSME) akan tetapi terdapat

korelasi yang signifikan pada kelompok CSME. Perubahan neovaskular retina pada

DME dapat menyebabkan kerusakan sawar darah retina sehingga terjadi penebalan

lapisan retina, hal tersebut juga dapat menyebabkan disfungsi sel ganglion retina

sehingga sensitivitas retina akan terjadi penurunan. Penelitian Vujosevic dkk sesuai

dengan penelitian ini pada tabel 4.2 dan tabel 4.3, yaitu terdapat korelasi yang

bermakna antara ketebalan makula menggunakan pemeriksaan OCT dan

sensitivitas retina menggunakan Mikroperimetri MP3 baik pada pasien yang belum

dilakukan terapi dan telah dilakukan terapi anti VEGF. Faktor yang menyebabkan

edema makula dan penurunan sensitivitas retina juga berhubungan dengan

peningkatan anti VEGF yang meningkat karena dapat menyebabkan terjadinya

kebocoran plasma darah dan hipoksia jaringan. Hal tersebut menyebabkan saat

terjadi DME akan menyebabkan juga terjadinya penurunan sensitivitas retina yang

dinilai menggunakan OCT dan mikroperimetri MP3.25,26

Ketebalan makula setelah dilakukan terapi anti VEGF dapat saja terjadi

penurunan, akibat anti VEGF yang menurun sehingga kerusakan sawar darah retina

dan peningkatan permeabilitas kapiler tidak akan terjadi. Hal tersebut menyebabkan

akumulasi cairan di dalam retina akan berkurang. Ketebalan makula yang menurun

secara langsung akan memberikan hasil sensitivitas retina yang baik juga selama

tidak terjadi DRIL. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini pada tabel 4.3,

didapatkan korelasi yang bermakna secara statistik antara ketebalan makula dengan

sensitivitas retina pada pasien yang telah dilakukan terapi anti VEGF. 25,26
44

Etheridge dkk menilai korelasi ketebalan makula dengan tajam penglihatan

berdasarkan usia, pada penelitian tersebut tidak didapatkan hasil yang signifikan

secara statistik akan tetapi jika dilakukan analisis pada lapisan-lapisan makula yang

terpisah pada lapisan pleksiformis dalam dan lapisan nuklear luar terdapat korelasi

antara ketebalan makula berdasarkan usia. Pasien DR dengan usia lanjut dapat

meningkatkan terjadinya hipoksia jaringan yang memicu keadaan disfungsi sel

ganglion retina semakin parah sehingga sensitivitas retina pada usia lanjut

cenderung lebih menurun dibandingkan pada usia muda dengan DR.27,28

Penelitian yang dilakukan oleh Kaur S dkk, menilai hubungan kadar HbA1c

dengan sensitivitas retina menggunakan mikroperimetri MP1. Pada penelitian

tersebut didapatkan penurunan sensitivitas retina tidak diakibatkan oleh

pertambahan usia, akan tetapi diakibatkan oleh tingginya kadar HbA1c. Kadar

HbA1c yang meningkat dapat menjadi salah satu faktor penanda menurunnya

sensitivitas dari retina. Peningkatan kadar HbA1c menandakan keadaan

hiperglikemia kronis pada tubuh, keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan stres oksidatif, inflamasi dan hipoksia yang menyebabkan terjadinya

apoptosis sel. Proses ini memicu kehilangan sel perisit pada dinding vaskular dan

dapat terjadi oklusi kapiler yang berujung terjadinya gangguan perfusi retina dan

disfungsi sel ganglion. Berbeda dengan menilai sensitivitas retina, kadar HbA1c

tidak dapat menilai ketebalan makula dikarenakan proses terapi yang diberikan

dengan regulasi gula darah saja tidak membuat ketebalan makula menurun, begitu

juga sebaliknya terapi anti VEGF yang diberikan untuk terapi DME tidak dapat

membuat kadar HbA1c menurun juga.29,30


45

Keterbatasan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel hanya dilakukan

pada satu waktu kunjungan, sehingga dalam menilai progresifitas penurunan

ketebalan makula dengan sensitivitas retina belum dapat memberikan gambaran

secara maksimal. Faktor-faktor lain yang memiliki hubungan terhadap sensitivitas

retina juga memungkinkan untuk mempengaruhi hasil penelitian yang didapatkan

seperti beberapa subjek sudah dilakukan terapi anti VEGF.


BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Terdapat korelasi hasil pemeriksaan OCT berupa ketebalan makula dan

pemeriksaan Mikroperimetri MP3 berupa sensitivitas retina pada pasien DME.

5.2 Saran

Hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat

cohort dalam menilai keberhasilan terapi pada pasien DME menggunakan korelasi

OCT dan Mikroperimetri MP3.

46
47

DAFTAR PUSTAKA

1. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas, 9th ed. Brussels,


Belgium: 2019.
2. IAPB. Diabetic Retinopathy – silently binding millions of people world-wide.
IAPB vision atlas. Diakses dari http://atlas.iapb.org/vision-trends/diabetic-
retinopathy/ IMF.
3. Persatuan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB Perkeni;2019
4. Sabanayagam C, Banu R, Chee ML, Lee R, Wang YX, Tan G, et al. Incidence
and progression of diabetic retinopathy: a systematic review. LANCET
Diabetes Endrocrinol. 2018;8587(5):Hal.1-10.
5. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous. Dalam : Basic
and Clinical Science Course. USA: American Academy of Ophthalmology;
2018.
6. Grant MB, Lutty GA. Retinal and Choroidal Vasculature: Retinal
Oxygenation. Dalam: Schachat AP, editor. Ryan’s Retina. Edisi ke-6. China:
Elsevier; 2018.
7. Skalicky SE. Ocular and Visual Physiology. Sydney: Springer; 2016. Hal. 285-
98.
8. Kolb H. Morphology and Circuitry of Ganglion Cells. Dalam: Kolb H,
Fernandez E, Nelson R, editor. Webvision: The Organization of the Retina and
Visual System. Salt Lake City (UT): University of Utah Health Science Center;
1995.
9. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study research group. Photocoagulation
for diabetic makula edema. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study report
number 1. Arch Ophthalmol. 1985;103. Hal. 1796-806.
10. Hodgson NM, Zhu J, Wu F, Ferreyra HA, Zhang K. Diabetic Retinopathy:
Genetics and Etiologic Mechanisms. Dalam: Schachat AP, editor. Ryan’s
Retina. Edisi ke-6. China: Elsevier; 2018.
11. Henry E. Wiley, Emily Y, Chew, Frederick L. Ferris III. Nonproliferative
Diabetic Retinopathy and Diabetic Macular Edema. Dalam: Schachat AP,
editor. Ryan’s Retina. Edisi ke-6. China: Elsevier; 2018.
12. Wu L, Fernandez-Loaiza P, Sauma J, et al. Classification of diabetic
retinopathy and diabetic makula edema. World Journal of Diabetes.
2013;4(6):290-4.
13. American Academy of Ophthalmology. Diabetic Retinopathy PPP - Updated
2016. www.aao.org/preferred-practice-pattern/diabetic-retinopathy-ppp-
updated-2016.
14. Wong TY, Aiello LP, Ferris F, Gupta N, Kawasaki R, Lansingh V, et al.
Updated 2017 ICO Guidelines for Diabetic Eye Care. Int Counc Ophthalmol.
2017.
15. May JM. Ascorbic acid repletion: A possible therapy for diabetic makula
edema. Free Radical Biology & Medicine. 2016;94. Hal. 47-54.
48

16. Bhagat N, Grigorian RA, Tutela A, Zarbin MA. Diabetic makula edema:
pathogenesis and treatment. Survey of Ophthalmology. 2009;54(1). Hal. 1-32.
17. Wilkinson CP, Ferris FL 3rd, Klein RE, et al. Proposed international clinical
diabetic retinopathy and diabetic makula edema disease severity scales.
Ophthalmology. 2003;110(9). Hal. 1677-8.
18. Tan CS, Chew MC, Lim LW, Sadda SR. Advances in retinal imaging for
diabetic retinopathy and diabetic makula edema. Indian Journal of
Ophthalmology. 2016;64(1). Hal. 76-83.
19. Mookiah MR, Acharya UR, Fujita H. Application of different imaging
modalities for diagnosis of diabetic makula edema: A review. Computers in
Biology and Medicine. 2015;66. Hal. 295-315.
20. de Carlo TE, Chin AT, Joseph T. Distinguishing diabetic makula edema from
capillary nonperfusion using optical coherence tomography angiography.
Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging Retina. 2016;47(2). Hal. 108-14.
21. Novais EA, Louzada RN, Waheed NK. Contemporary retinal imaging
techniques in diabetic retinopathy: a review. Clin Exp Ophthalmol. 2016;44(4).
Hal. 289-99.
22. Palkovits S, Hirnschall N, Georgiev S. Test-Retest reproducibility of the
microperimeter MP3 with fundus image tracking in healthy subjects and
patients with makula disease. Translational Vision Science and Technology.
2018;17(7). Hal. 1-7.
23. Nagpal M, Khandelwal J, Juneja R. Correlation of optical coherence
tomography angiography and microperimetry (MP3) features in wet age-
related makula degeneration. Indian Journal of Ophthalmology. 2018;66(12).
Hal. 1790-5.
24. Riskesdas 2018 [Internet]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018.
Tersedia pada: https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil riskesdas-2018.pdf
25. Tag El-Din AE-M. Comparative study between patients with subclinical
diabetic retinopathy and healthy individuals in the retinal microvascular
changes using optical coherence tomography angiography. Delta J
Ophthalmol. 2019;20(3):132.
26. Vujosevic S, Midena E, Pilotto E, Radin PP, dkk. Diabetic macular edema:
Correlation between microperimetry and optical coherence tomography
findings. Investigate Ophthalmology & Visual Science. 2006;47(7). Hal 3044-
51.
27. Etheridge T, Liu Z, Nalbandyan M, Cleland S, dkk. Association of Macular
Thickness with age and age-related macular degeneration in the carotenoids in
age-related eye disease study 2 (CAREDS2), an ancillary study of the women’s
health initiative. ARVO journal. 2021;10(2). Hal 39.
28. Wang Q, Wei WB, Wang YX, dkk. Thickness of individual layers at the
macula and associated factors: the Beijing eye study. BMC Ophthalmol.
2020;20. Hal 49.
29. Kaur S, Siti-Aishah I, Haliza AM, Nor FN. HbA1c and retinal sensitivity in
diabetics using microperimetry. Journal of Optometry. 2018;3(7).
49

30. Kahveci B, Ekinci YD. Evaluation of the relationship between HbA1c level
and retina choroidal thickness in patients with gestational diabetes mellitus.
Arquivos Brasileiros de Oftalmologia. 2021.
50

Lampiran 1
51

Lampiran 2

Lembar Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian

Saya telah membaca atau memperoleh penjelasan, sepenuhnya menyadari,


mengerti, dan memahami tentang tujuan, manfaat, dan resiko yang mungkin timbul
dalam penelitian, serta telah diberi kesempatan untuk bertanya dan telah dijawab
dengan memuaskan, juga sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dari
keikutsertaannya, maka saya setuju/tidak setuju*) ikut dalam penelitian ini, yang
berjudul :
“Korelasi Hasil Pemeriksaan Mikroperimetri MP3 dan Optical Coherence
Tomography Pada Penderita Edema Makula Diabetik”
Saya dengan sukarela memilih untuk ikut serta dalam penelitian ini tanpa
tekanan/paksaan siapapun. Saya akan diberikan Salinan lembar penjelasan dan
formular persetujuan yang telah saya tandatangani untuk arsip saya.
Saya setuju:
Ya/Tidak*)

Tanggal : Tanda tangan (bila tidak bisa


dapat digunakan cap jempol)
Nama Peserta:
Usia:
Alamat:
Nama Peneliti:
Endi Pramudya L, dr.
Nama Saksi:

*) coret yang tidak perlu


52

Lampiran 3. Data Penelitian


53
54

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Endi Pramudya Laksana

NPM : 131221170510

TTL : Magelang, 01 September 1989

Alamat : Jalan Samratulangi G.140 RT.002 RW.013 Kelurahan Baros, Cimahi

Orang Tua : Alm. Kol. Benny Effendy S.Ip

Effi Ariyani S.Ip

Pendidikan :

1. SDN Kedungsari 1 Magelang (1995-2001)

2. SMP Negri 6 Cimahi (2001-2004)

3. SMAT Krida Nusantara Bandung (2004-2007)

4. Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran UNPAD (2009-

2012)

5. Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran UNPAD (2012-2014)

6. Program Pendidikan Dokter Spesialis I, Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas

Kedokteran UNPAD-PMN RS Mata Cicendo Bandung (2018-2022)

Pengalaman Kerja :

1. Dokter Internship RST Ciremai, Cirebon (2014-2015)

2. Dokter RSAU Salamun Bandung (2016-2018)

3. Dokter IGD Bandung Eye Center (2017-2018)

Anda mungkin juga menyukai