Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan dunia. World Health


Organization (WHO) menyatakan sebagai kedaruratan global pada tahun
1992.1 Kasus tuberkulosis merupakan masalah di 22 negara dunia belum dapat
disembuhkan meskipun insiden menurun 2,2% pada tahun 2011.2 Indonesia
menempati urutan ke-4 dunia jumlah penderita tuberkulosis setelah India,
Cina, Afrika Selatan tahun 2011.1,2 Tercatat 8,7 juta kasus baru tuberkulosis
aktif di dunia dengan angka kematian mencapai 1,4 juta pasien di tahun 2011.3
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan
gejala respiratorik yaitu batuk 2 minggu atau lebih, sesak, nyeri dada, batuk
darah, dan gejala sistemik yaitu demam, malaise, keringat malam, dan berat
badan turun.1-3 Terapi tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan,
mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas, mencegah kekambuhan
dan kematian, meminimalkan penularan kuman Mycobacterium tuberculosis
(Mtb), mencegah perkembangan dan penularan resistensi obat anti
tuberkulosis (OAT).2,4
Tuberkulosis dapat menginfeksi setiap organ tubuh diluar paru
(tuberkulosis ekstra paru) terjadi pada 10-42% pasien tergantung dari ras, usia,
penyakit komorbid, genotip kuman Mtb dan status imun pasien.3 Pasien gagal
ginjal kronik (GGK), terapi dialisis, dan transplantasi ginjal beresiko tinggi
terinfeksi tuberkulosis.5,6 Imunodefisiensi dan terapi imunosupresif pada
pasien penyakit ginjal meningkatkan kerentanan reaktivasi infeksi laten
tuberkulosis atau terinfeksi tuberkulosis.6 Gejala timbul tidak khas membuat
diagnosa tuberkulosis pada pasien penyakit ginjal sering terlambat.5,6

1
DEFINISI

Gagal ginjal kronik sebagai abnormalitas struktur dan fungsi ginjal


selama lebih dari tiga bulan yang berimplikasi pada kesehatan pasien.
Penilaian kerusakan ginjal dari gejala klinis pasien tidak sensitif dan spesifik
bisa menunjukkan derajat penurunan fungsi ginjal. Penyakit gagal ginjal
kronik menyebabkan penurunan fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik.
Gromerulous filtration rate (GFR) adalah indeks terbaik untuk menilai fungsi
ginjal.7,8
Gagal ginjal kronik menyebabkan penurunan fungsi imun diperberat
dengan terapi imunosupresif.7 Gagal ginjal kronik dinilai dari beberapa faktor,
yaitu protein urin, kelainan sedimen urin, gangguan elektrolit, abnormalitas
jaringan ginjal, kelainan radiologi ginjal, dan riwayat transplantasi ginjal.
Penurunan GFR kurang dari 60 ml / menit / 1,73 m2 menunjukkan gagal ginjal
kronik Kriteria penilaian gagal ginjal kronik dapat dilihat pada tabel satu
dibawah ini.8
Tabel 1. Kriteria gagal ginjal kronik
Kriteria GGK ditemukannya : (timbul lebih dari 3 bulan)
Penanda kerusakan 1.Albuminuria (Albumin excretion rate / AER ≥ 30
ginjal mg/24 jam, albumin creatinin ratio / ACR ≥30mg/g
(satu atau lebih) [≥3mg/mmol])
2.Abnormalitas sedimen urin
3.Gangguan elektrolit disebabkan kerusakan tubuler
ginjal
4.Kerusakan histologi ginjal
5.Kelainan radiologis
6.Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan GFR GFR < 60ml/menit/1,73m2
Dikutip dari 8

2
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium
complex. Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu
yang disertai gejala pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah,
dan/atau gejala sistemik seperti nafsu makan menurun, penurunan berat
badan, keringat malam, dan mudah lelah.1,2

RESPON IMUN MTB

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri obligat aerob dan


patogen intraseluler menginfeksi jaringan paru yang kaya oksigen.9,10
Makrofag alveolar memfagosit bakteri ini pada awal infeksi, setelah dua
sampai enam minggu terbentuk cell-mediated immunity (CMI), limfosit dan
makrofag teraktifasi memasuki lesi infeksi membentuk formasi granuloma.9
Lesi granuloma terdiri dari sel limfosit T dan bermacam tingkat maturasi sel
fagosit mononuklear.9,11
Reaksi imun tubuh melawan Mtb memerlukan respon seluler melalui
aktivasi Th1 / Th17. Mycobacterium tuberculosis menginfeksi makrofag dan
sel dendritik dimana kapsul molekul kaya lemak M. tuberculosis melindungi
dari racun radikal dan enzim hidrolitik sel-sel fagosit.10 Mekanisme lain
imunitas antimikrobakteri adalah limfosit T sitolitik menghancurkan sel
terinfeksi bakteri. Mycobacterium tuberculosis menghasilkan reaksi
hipersensitifitas tipe lambat dan pembentukan tuberkel diikuti stimulasi
makrofag oleh sel T CD4+ untuk membunuh bakteri intraseluler.9,12
Makrofag alveolar dan sel dendritik memfagositosis Mycobacterium
tuberculosis yang masuk melalui saluran pernafasan. Sel terinfeksi bermigrasi
ke bagian distal paru mengalami nekrosis menyebabkan kuman Mtb
memasuki dan menginfeksi sel fagosit parenkim.9,10 Pattern recognition

3
receptors (PRRS) diekspresikan oleh makrofag, sel dendritik dan sel-sel epitel
berinteraksi dengan permukaan Mtb mengeluarkan sitokin inflamasi dan
kemokin untuk merekrut sel imun lain (neutrofil, monosit, limfosit) ke fokus
infeksi membentukan granuloma. Sel dendritik terinfeksi dibantu oleh
neutrofil bermigrasi ke kelenjar getah bening memicu respon sel T.
Interleukin 12 (IL-12) yang dikeluarkan sel dendritik terinfeksi menyebabkan
sel T dalam kelenjar getah bening mengalami pematangan ke arah Th1.9,11
Sel Th1 bermigrasi ke tempat infeksi mikobakteri dimana efektor sel
Th1 menjalani pematangan fungsional dan meningkatkan produksi kemokin
dan sitokin efektor. Kemokin menarik sel imun lain membentuk reaksi
hipersensitifitas tipe lambat.11 Sitokin Interferon- (IFN-) dan tumor necrosis
factor- (TNF-) mengaktifkan makrofag. Makrofag menghasilkan reactive
nitrogen intermediate (RNI) dan reactive oxygen intermediate (ROI)
berfungsi meningkatkan ekspresi molekul kompleks histokompatibilitas
mayor (Major Histocompatibilitas Complex / MHC) kelas II untuk sekresi
mediator inflamasi membunuh kuman Mtb, dan meningkatkan presentasi
antigen dan menyebarkan peradangan lokal membentukan granuloma.10–12
Sel CD8+ T menghasilkan IFN- mempunyai efek sitotoksik terhadap
sel terinfeksi Mtb, sel Th17 mempromosikan pada sel Th1 dan merekrut
neutrofil, granulosit memfagosit mikobakteria mempunyai efek bakterisida
dan berkontribusi terhadap pembentukan granuloma. Sel limfosit B bersama
dengan sel T membentuk struktur folikel (disebut "jaringan limfoid tersier")
mengatur respon imun di paru.9,11
Mekanisme pertahanan terhadap infeksi Mtb ada dua yaitu mekanisme
sitotoksik untuk menghentikan infeksi dan pembentukan granuloma untuk
mencegah penyebaran Mtb yang tergantung pada fungsi sel-sel imun

4
tubuh.9,11,13 Sel imun bawaan mengenali Mtb ligan dari PRRS termasuk Toll-
like reseptor (TLR), C-lektine like receptors (CLRS), reseptor scavenger
(SR), reseptor imunoglobulin Fc (FcRs), NOD-like reseptors (NLRs). Ikatan
PRRS menginduksi ekspresi gen untuk respon sitokin Interleukin IL-1, TNF-
, dan IL-6.9,11
Interleukin-1β, TNF-α, dan IL-6 mempromosikan Mtb pada makrofag.
Interleukin-1 bersifat kemotaktik terhadap limfosit T merangsang proliferasi
sel CD4 + T dan produksi IFN- mengontrol proses awal pembentukan
granuloma, dan perekrutan neutrofil. Tumor necrosis factor- penting bagi
proses pembentukan lesi granulomatosa dan memiliki sifat imunoregulator.
Interleukin-6 memodulasi respon sel T membentukan antibodi dan
merangsang hematopoiesis myeloid. Ketiga sitokin tersebut (IL-1, TNF-,
dan IL-6) menyebabkan efek trombosis mikrovaskular, kebocoran kapiler dan
kemotaksis neutrofil, disfungsi organ, inflamasi sistemik, respon fase akut,
kakeksia dan demam.11,13,14
Kemokin disekresikan oleh makrofag, neutrofil, limfosit T, sel endotel
dan sel lainnya. Kemokin CC CCL2, CCL3, CCL4, CCL5 menarik monosit,
limfosit, makrofag, sel dendritik, sel NK menuju tempat infeksi dan
membantu respon Th1. Kemokin CXCL10 (IP-10) dan CXCL9 (MIG)
diproduksi sebagai respons terhadap IFN- menarik limfosit-T dan monosit.
Kemokin CXCL8 (IL-8), CXCL2 (MIP-2) dan CXCL1 (KC) menarik sel
punca hematopoietik dan granulosit bertanggung jawab untuk inflamasi
neutrofil pada TB laten. Interferon- mengaktifkan makrofag untuk
memfagosit Mtb. Granzyme dan perforin meningkatkan sitotoksisitas sel T
CD8+ dan sel NK terhadap Mtb. Gambar satu dibawah ini menunjukkan
imunopatogenesis Mycobacterium tuberculosa.14

5
Gambar 1. Imunopatogenesis Mtb.
Dikutip dari 14.

RESPON IMUN PADA PASIEN GAGAL GINJAL

Sel imun berperan dalam proses perbaikan jaringan rusak akibat


trauma, infeksi, iskemik, zat racun, alergi, dan berbagai jenis cedera lainnya.15
Sistem imun tubuh dibagi menjadi dua yaitu sistem imun nonspesifik (alamiah
/ natural / innate / native / bawaan) dan spesifik (spesifik / adaptif /
acquired).16 Sistem imun nonspesifik mempunyai sifat respon cepat terhadap
infeksi dan kerusakan jaringan terdiri dari monosit di pembuluh darah
(makrofag di jaringan), netrofil (polymorphonuclear / PMN), sel dendritik, sel
natural killer, sel mast, eosinofil, basofil, dan sel tubuh lain yang berperan
dalam sistem imun ini. Sistem imun spesifik mengenali, mengingat, dan
menghancurkan bakteri patogen tertentu termasuk sel limfosit T dan B. Sistem
imun spesifik lebih kuat dibanding sistem imun nonspesifik.15,16

6
Retensi uremia pada pasien GGK menyebabkan inflamasi sistemik dan
defisiensi imun secara bersamaan. Inflamasi sistemik menyebabkan
aterosklerosis, penyakit kardiovaskular, cachexia dan anemia. Defisiensi imun
menyebabkan gangguan respon vaksinasi dan meningkatkan resiko infeksi.
Kedua hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas pasien GGK.15,17,18
Gambar dua dibawah ini menunjukkan efek racun uremia pada sistem imun.15

Gambar 2. Efek uremia pada respon imun bawaan dan dapatan. IFN-γ :
Interferon Gamma, IL-12 : Interleukin 12, APC = Antigen
Presenting Cell, TLR = Toll Like Receptor, MØ =
Mikroorganisme
Dikutip dari (15)

Inflamasi sistemik pasien GGK menyebabkan aterosklerosis, penyakit


kardiovaskular, cachexia dan anemia. Kedua hal ini menyebabkan morbiditas
dan mortalitas pasien.15,17,18 Gangguan respon imun karena retensi uremia

7
disebabkan oleh a) penurunan fungsi fagositosis granulosit dan monosit /
makrofag, b) kerusakan kapasitas presentasi antigen pada sel APC, c)
penurunan jumlah presentasi antigen pada permukaan sel dendritik, d)
penurunan kapasitas produksi limfosit B, e) kenaikan apoptosis sel limfosit T,
dan f) gangguan cell mediated immunity (CMI). Mekanisme uremia
menyebabkan gangguan respon imun belum sepenuhnya dipahami karena
banyak faktor berkontribusi kelainan ini.15
Retensi uremia menyebabkan peningkatan inflamasi sistemik dan stres
oksidatif pasien GGK karena aktivasi sistem imun nonspesifik.15,17 Hal ini
disebabkan karena a) peningkatan ekspresi Toll-like receptor (TLR) -2, TLR-
4, produksi sitokin, dan spesies oksigen reaktif (ROS) pada integrin basal
monosit, b) penurunan fungsi inhibisi sel T regulator (Treg), c) aktifasi dan
degranulasi polimorfonuklear (PMN), d) peningkatan produksi ROS dan
ekspresi kemokin di tingkat seluler yang menyebabkan sel non imun jaringan
tubuh memberikan sinyal inflamasi, e) peningkatan aktifitas pro inflamasi
LDL dan mengurangi kapasitas anti inflamasi HDL, f) penurunan fungsi
antioksidan endogen, antiinflamasi dan sistem pertahanan cytoprotective.15
Angka infeksi meningkat dan respon vaksinasi menurun pada pasien
GGK yang dilakukan hemodialisis. Sel dendritik sebagai APC berperan untuk
inisiasi dan pemeliharaan imunitas nonspesifik dan spesifik. Pasien GGK
mengalami penurunan endositosis dan gangguan pematangan sel dendritik,
selain itu terjadi peningkatan produksi IL-12p70 (IL-12).19 Interleukin-12
berperan dalam respon imun dengan menjembatani imunitas bawaan dan
adaptif., diproduksi cepat oleh sel fagosit aktif (monosit / makrofag, neutrofil,
DC) pada antigen bakteri dan patogen intraseluler, IL-12 merupakan inducer

8
poten respon imun Th1, produksi IFN-γ, dan sitotoksisitas oleh sel NK dan T
dan dalam proliferasi sel T.19,20
Uremia pada pasien GGK membuat deplesi dan disfungsi sel dendritik
disebabkan oleh penurunan subset plasmasitoid sel dendritik. Hemodialisis
memperburuk proses deplesi DC dan transplantasi ginjal memperbaiki
kelainan ini. Mengingat peran penting dari DC dalam peraturan imunitas
bawaan dan adaptif, Gangguan fungsi DC berkontribusi terhadap pertahanan
infeksi mikroba dan respon vaksinasi pasien GGK.15,17
Polimorfonuklear memfagositosis sel dan antigen berumur pendek (5
hari) mengandung granul protein intraseluler yang bersifat bakteriosid seperti
protein kationik dan defensin, enzim proteolitik dan katepsin G (menguraikan
protein bakteri), lisozim (melisiskan dinding sel bakteri), NAD(P)H oxidase-II
(menghasilkan ROS), myeloperoxidase (menghasilkan HOCl), dan laktoferin
(menghambat replikasi bakteri melalui pembatasan zat besi).
Polimorfonuklear merupakan garis pertahanan pertama pada invasi mikroba
dan berperan penting dalam inflamasi.15,16
Pasien GGK menunjukkan peningkatan regulasi basal TLR-4, TLR-2
dan ekspresi integrin, produksi ROS dan degranulasi. Kelainan ini
berkontribusi pada stres oksidatif sistemik, inflamasi dan kerusakan jaringan
disertai penurunan kapasitas fagositosis PMN. Kelainan ini diperkuat proses
hemodialisis kemungkinan disebabkan paparan membran dializer, tekanan
cytoskeletal dari pompa roller, dan masuknya kompartemen dialisat.13,16
Pasien GGK menunjukkan penurunan rasio CD4 / CD8, peningkatan rasio
Th1 / Th2 dan peningkatan apoptosis sel T memori naif CD4+ dan CD8+ akan
meningkatkan resiko infeksi.15,17

9
Pasien GGK mengalami penurunan jumlah beberapa subtipe sel B
lainnya pada pasien dewasa dengan ESRD. Penurunan sel limfosit B
disebabkan dua mekanisme yaitu pertama uremia meningkatkan apoptosis sel
B, kedua keadaan uremia mengganggu pematangan sel B. Penurunan fungsi
sel limfosit B membuat gangguan respon imun humoral dan meningkatkan
resiko infeksi pada pasien GGK.17,18 Hubungan uremia antara kelainan imun
dan penyakit kardiovaskular dapat dilihat pada gambar tiga di bawah ini.17

Gambar 3. Hubungan antara penyakit gagal ginjal kronis disertai uremia dan
kelainan imun dan penyakit kardiovaskular.
Dikutip dari 17.

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

Sebanyak 30% sampai 50% pasien gagal ginjal kronis


mengalami infeksi TB. Gejala batuk lebih dari dua minggu, berat badan
menurun, keringat malam, pembesaran kelenjar limfe pada pasien gagal ginjal
kronis harus dicurigai adanya infeksi TB.6 Pasien GGK dengan dialisis
dengan riwayat kontak pasien terinfeksi TB positif ataupun negatif rentan

10
terinfeksi TB daripada populasi umum karena itu pemeriksaan infeksi TB
pasien GGK dianjurkan untuk mencegah perkembangan TB aktif dan
kontaminasi sekunder lain.5
Diagnosis penyakit TB pasien GGK sulit ditegakkan karena gejala
klasik TB mirip dengan gejala klinis GGK. Diagnosis TB tertunda 12 bulan
sejak awal dialisis pada 50% pasien GGK karena gejala TB ekstrapulmonal
dan gejala klinis tidak khas TB paru. TB ekstra paru timbul sekitar 50% lebih
banyak pada pasien dialisis di bandingkan pasien non GGK.21,22 Penelitian
Fang et al. pasien GGK terinfeksi TB sekitar 48% menunjukkan kelainan
gambaran radiologis pada paru. Tabel dua dibawah ini menunjukkan gejala
TB yang timbul pada pasien GGK.21
Gambar 5. Kelainan yang timbul pada pasien GGK dengan infeksi TB.
Organ %
Paru 48,4
Paru dan ekstra paru 11,2
Ekstra paru : 51,6
Peritoneum 16,1
Pleura 13,0
Kelenjar limfe 9,7
Saluran urogenital 6,5
Persendian 3,2
Otot 1,6
Sistem saraf pusat 1,6
Hepar 1,6
Dikutip dari 21.
Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan dan hasil gambaran rontgen
toraks harus dibandingkan dengan rantgen sebelumnya, jika tampak kelainan
baru dikonsultasikan pada dokter paru. Pasien GGK dengan hemodialisis atau
dialisis peritoneal tidak memerlukan pemeriksaan rutin menggunakan tes kulit

11
tuberkulin (TST) atau tes IGRA karena dapat menghasilkan tes negatif
palsu.5,6
Pemeriksaan sputum BTA, kultur dan sensitifitas kuman Mtb penting
dilakukan. Hasil biopsi histologis terdapat granulomata dengan atau tanpa
kaseasi atau nekrosis membantu diagnosis Tb dengan sebagian spesimen
biopsi harus dilakukan pemeriksaan mikrobiologi kultur kuman Mtb.
Pemeriksaan sputum BTA pasien GGK dilakukan pada tiga spesimen dahak
pagi. Bronkoskopi dilakukan pada pasien GGK dicurigai terinfeksi TB jika
tidak dapat mengeluarkan dahak.6

KEMOPROFILAKSIS

Kemoprofilaksis TB adalah tindakan pencegahan infeksi Mtb atau


untuk menghindari perkembangan penyakit pada individu yang sudah
terinfeksi.23 Pemberian profilaksis isoniazid mengurangi risiko infeksi TB
pasien GGK sebanyak 60%.5,6 Pasien dengan penyakit hati sebelumnya
memiliki risiko lebih tinggi terjadi efek samping. American Thoracic Society
merekomendasikan pemberian isoniazid selama sembilan bulan disertai
pyridoxine untuk profilaksis TB pasien GGK. British Thoracic Society
merekomendasikan tiga rejimen yaitu enam bulan isoniazid, tiga bulan
rifampisin dan isoniazid, dan empat sampai enam bulan rifampisin. Kedua
rekomendasi memiliki sedikit bukti, dan penelitian lebih lanjut sangat
diperlukan.23,24
Pemberian kemoprofilaksis TB pasien GGK meningkatkan risiko
hepatitis diputuskan oleh ahli paru untuk pasien transplantasi ginjal. Isoniazid
dan rifampisin digunakan dosis normal pada GGK selama dialisis atau
transplantasi ginjal. Rejimen terapi enam bulan isoniazid (300 mg) setiap hari,

12
atau 15 mg/kg tiga kali per minggu. Pasien GGK stadium IV dan V dengan
dialisis ditambah piridoksin 10-25 mg sehari (maksimal 900 mg). Pemberian
isoniasid jangka panjang tidak mengingat banyaknya efek samping.5,6 Tabel
tiga berikut adalah rejimen profilaksis TB untuk pasien GGK.24
Tabel 3. Rejimen profilaksis TB pasien GGK
Rejimen Dosis
6 INH Anak: 10 mg/kg/hari
Dewasa:5 mg/kg/hari
Maks: 300 mg
9 INH Anak: 10 mg/kg/hari
Dewasa:5 mg/kg/hari
Maks: 300 mg
3-4 RIF Anak : 10 mg/kg/hari
Dewasa : 10 mg/kg/hari
Maks.: 600 mg
3-4 RIF + INH Anak : 10 mg/kg/hari Anak: 10 mg/kg/hari
Dewasa : 10 mg/kg/hari Dewasa:5 mg/kg/hari
Maks.: 600 mg Maks: 300 mg
3 RPT + INH Rifapentine: Isoniazid:
10.0–14.0 kg: 300 mg Anak: 15 mg/kg/d
14.1–25.0 kg: 450 mg Dewasa : 15 mg/kg/d
25.1–32.0 kg: 600 mg Maks. : 900 mg
32.1–49.9 kg: 750 mg
Maks. : 900 mg
Dikutip dari 24.
TERAPI

Terapi TB pasien GGK memperhatikan farmakologi obat anti


tuberkulosis baik yang diekskresikan ginjal dan proses dialisis. Rejimen OAT
6 sampai 9 bulan atau lebih tergantung pemberian terapi imunosupresi dengan
dosis Hemodialisis mengeluarkan sebagian obat antituberkulosis diberikan
setelah proses dialisis. Efek samping OAT timbul pada 46% pasien GGK

13
lebih banyak dibanding pasien TB non GGK seperti efek samping neurologik,
neuropati optik, dan hepatitis dimonitor secara berkala terutama pada pasien
usia tua.22
Hemodialisa dan peritoneal dialisa mempengaruhi dosis OAT pasien
GGK. Interval dosis menjadi tiga kali per minggu disesuaikan jadwal dialisis
dapat mengurangi risiko akumulasi dan toksisitas obat. Pemberian obat empat
sampai enam jam sebelum dialisis mengurangi toksisitas etambutol dan
pirazinamid. Mekanisme dialisis peritoneal berbeda dengan hemodialisis.
Penyesuaian dosis tidak diperlukan untuk isoniazid, rifampicin, atau
pirazinamid.6
Terapi OAT diberikan pada pasien GGK oleh ahli paru untuk
dilakukan pengawasan penyakit, efek samping terapi, dan keputusan
pemberian dosis maupun lama terapi.5,6,22 Rekomendasi terapi OAT pada
pasien GGK menurut American Thoracic Society dan European Respiratory
Society adalah sebagai berikut :5,22
1. Rifampisin diekskresikan melalui hepatobilier dan sekitar 10-30%
diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap (formylrifampicin).5
Peningkatan konsentrasi dalam tubuh tidak mencapai level toksik sehingga
dapat diberikan dosis sama seperti pasien normal. Terapi dialisa pasien
GGK tidak mempengaruhi dosis rifampisin dalam tubuh. Efek samping
pemberian rifampisin pasien GGK jarang terjadi.5,6,22
2. Isoniasid diekskresikan melalui hepatobilier sehingga dapat diberikan
dosis normal pada pasien GGK. Studi farmakokinetik isoniazid pada gagal
ginjal menunjukkan waktu paruh isoniazid meningkat sekitar 45% pada
pasien dialisa tetapi tidak menyebabkan efek samping signifikan
mengharuskan pengurangan dosis. Isoniasid menimbulkan efek samping

14
neurotoksisitas pasien GGK pada minggu pertama awal terapi sehingga
perlu ditambahkan piridoksin sebagai suplemen terapi.22
3. Pirazinamid diekskresikan melalui hepar dan hasil metabolitnya
diekskresikan melalu ginjal. Hiperurisemia adalah efek samping
pirazinamid merupakan masalah pasien GGKsehingga dosis diturunkan
sesuai tingkat keparahan dari GGK. Pirazinamid diberikan tiga kali
seminggu setelah dialisa.5,25
4. Etambutol diekskresi melalui ginjal sehingga pemberiannya dihindari pada
pasien GGK. Etambutol diberikan tiga kali seminggu pada pasien GGK
dengan kasus MDR TB dan diawasi oleh ahli paru. Pemeriksaan mata
dilakukan berkala karena efek samping okuler sering dilaporkan. Pasien
GGK dengan GFR dibawah 10 ml/menit tidak boleh diberikan etambutol
karena meningkatkan efek sampingnya22,25.
5. Ciprofloksasin diekskresikan melalui hepar dan ginjal sehingga
pengawasan efek samping obat harus dilakukan.22
6. Moxifloksasin dapat diberikan tanpa perubahan dosis setelah dialisis.5,25
7. Streptomycin, amikacin, capreomycin diekskresikan melalui ginjal.
Pemberiannya harus dimonitor konsentrasinya dalam serum pasien
diberikan tiga kali seminggu setelah dialisis.22
8. Cycloserine mempunyai efek samping neurotoksisitas tinggi pada pasien
GGK diberikan tiga kali seminggu setelah dialisa.6,22
9. Paraaminosalicylic acid (PAS) diekskresikan dalam bentuk awal di urin
dapat menyebabkan asidosis sehingga harus dihindari. Pemberian granule
PASER mengurangi efek samping PAS karena retensi natrium dapat
dihindari. Pemberian PAS tidak lebih dari 4 gram per hari.22,25
Tabel empat dibawah ini memperlihatkan dosis terapi OAT pasien GGK.25

15
Tabel 4. Penyesuaian dosis OAT pada gangguan ginjal.
Penyesuaian dosis OAT
Klirens Kreatinin
Obat Hemodialisa Dialisis Keterangan
30-60 10-29 <10 Intermiten Peritoneal
mL/min mL/min mL/min
Rifampisin tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu  Aman pada
10mg/kg/hari penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian gangguan
maks. 600mg ginjal
 Ekskresi
melalui
hepatobilier
 Interaksi
obat-obatan
transplantasi
ginjal
(Siklosporin
atau
Takrolimus)
Isoniazid tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu  Aman pada
5mg/kg/hari penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian gangguan
maks. 300mg ginjal
 Ekskresi
melalui
hepar
 Resiko
neurotoksik
naik,
penambahan
piridoksin
(25mg/hari)

16
Penyesuaian dosis OAT
Klirens Kreatinin
Obat Hemodialisa Dialisis Keterangan
30-60 10-29 <10 Intermiten Peritoneal
mL/min mL/min mL/min
Pirazinamid tidak perlu 30-40 30-40 30-40 tidak perlu  Aman pada
30-40 penyesuaian mg/kg/48 mg/kg/ 3x mg/kg/ 3x penyesuaian gangguan
mg/kg/hari jam seminggu seminggu ginjal
maks. : setelah HD  Ekskresi
1,5g <50kg melalui
2g >50kg hepar, hasil
metabolit
melalui
ginjal
 Perlu
pemeriksaan
asam urat
dan fungsi
hepar karena
hepatotoksik
Etambutol 15mg/kg/hari 15mg/kg/48 15mg/kg/48 15mg/kg/3x 15mg/kg/48  Pemberian
15mg/kg/hari jam jam seminggu jam hanya sangat
setelah HD diperlukan
 Ekskresi
melalui
ginjal
 Toksisitas
okular sering
perlu
pemeriksaan
mata berkala
Moxifloxacin tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu  Perlu
400mg/hari penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian perhatian
pada
gangguan
ginjal
 Eksresi
hepatobilier
dan renal
 Efek
samping
neurotoksik
dan
tendonopati

17
Penyesuaian dosis OAT
Klirens Kreatinin
Obat Hemodialisa Dialisis Keterangan
30-60 10-29 <10 Intermiten Peritoneal
mL/min mL/min mL/min
Streptomisin 15mg/kg dosis individu dengan interval antara dosis  Perlu
15mg/kg/hari disesuaikan untuk mencapai dosis dalam plasma perhatian
khusus pada
Amikasin 15mg/kg dosis individu dengan interval antara dosis gangguan
15mg/kg/hari disesuaikan untuk mencapai dosis dalam plasma ginjal
 Ekskresi
Kapreomisin 15mg/kg dosis individu dengan interval antara dosis melalui
15mg/kg/hari disesuaikan untuk mencapai dosis dalam plasma ginjal
 Pengawasan
dosis obat
dalam
plasma dan
efek
samping
 Pemberian
setelah
dialisis
Protionamide tidak perlu tidak perlu 250mg/12 250mg/12 250mg/12  Aman pada
15-20mg/kg/ penyesuaian penyesuaian jam jam jam gangguan
hari dosis ginjal
terbagi  Ekskresi
hepatik
 Pengawasan
neurotoksik
dan
hepatotoksik
Sikloserin 250mg/12 250mg/24 250mg/24 250mg/24 250mg/24  Pemberian
10-15mg/kg/ jam jam jam jam setela jam hanya sangat
hari dosis dialisis diperlukan
terbagi  Ekskresi
melalui
ginjal
 Pengawasan
neurotoksik
 Pengawasan
dosis dalam
plasma

18
Penyesuaian dosis OAT
Klirens Kreatinin
Obat Hemodialisa Dialisis Keterangan
30-60 10-29 <10 Intermiten Peritoneal
mL/min mL/min mL/min
Asam Para tidak perlu 4g dibagi 4g dibagi 4g dibagi  Pengawasan
4g dibagi
Aminosilik penyesuaian dalam 12 dalam 12 dalam 12 dalam 12
pada
(PAS) jam jam jam jam
gangguan
8-12mg/hari ginjal
dosis terbagi  Ekskresi
melalui
ginjal
 Resiko
tinggi
asidosis dan
gangguan
gastrointesti
nal
Linezolid tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu tidak perlu  Aman pada
600mg/hari penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian penyesuaian gangguan
ginjal
 Ekskresi
hepatik dan
renal
 Resiko tinggi
hematotoksik
dan
neuropati
perifer
Dikutip dari 23.

19
SIMPULAN
1. Tuberkulosis merupakan masalah di dunia saat ini.
2. Gagal ginjal kronik merupakan penyakit kerusakan ginjal secara
fungsional.
3. Imunodefisiensi merupakan gambaran klinis GGK meningkatkan resiko
infeksi tuberkulosis.
4. Gejala klinis infeksi TB pada penderita GGK sering kali tidak tampak
5. Pasien GGK dengan batuk lebih dua minggu, keringat malam, penurunan
berat badan, dan adanya kelainan radiologis dicurigai terinfeksi TB.
6. Diagnosis TB dilakukan dilakukan pasien GGK dicurigai TB dengan
kultur sputum BTA, biopsi jaringan.
7. Kemoprofilaksis diberikan pada pasien GGK resiko tinggi infeksi TB
8. Terapi TB pada penderita GGK diawasi efek samping OAT dengan dosis
penyesuaian sesuai derajat keparahan GGK.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. In : Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2011. p.48-9.
2. Subuh M, Priohutomo S. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. In: Dinihari TN, Siaglan V, editor. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Nasional;
2014. p.1-4.
3. Zumla A, Ravioglione M, Hafner R, von Reyn F. Tuberculosis. The
New England Journal of Medicine.2013;368:745-55.
4. Arbex MA, Varella MdCL, de Siqueira HR, de Mello FAF.
Antituberculosis drugs: drug interactions, adverse effects, and use in
special situations. part 1: first-line drugs. Journal of Brazillian
Pneumology.2010;36:626-40.
5. Milburn HJ, Ashman N, Davies P, et al. Guidelines for the prevention
and management of mycobacterium tuberculosis infection and disease
in adult patients with chronic kidney disease. Thorax.2010;65:559-70.
6. Milburn HJ. How should we treat tuberculosis in adult patients with
chronic kidney disease. Polskie Archiwum Medycyny Wewnętrznej.
2010;120:417-22.
7. Kroll GD. Chronic kidney disease staging and progresion. In: Kalantar-
Zadeh K, editor. Chronic Kidney Disease (CKD). 6th ed. Los Angeles.
Henry Ford Health System; 2011.p.4-6.
8. Eknoyan G, Lameire N, Eckardt KU. KDIGO 2012 clinical practice
guideline for the evaluation and management of chronic kidney

21
disease.Vol 3;2013.p.5-8.
9. Raja A. Immunology of tuberculosis. Indian Journal of Medical
Respirology.2004;120:213-32.
10. Schlesinger LS, editor. Pathophysiology of tuberculosis infection. Rom
WN, Stuart G In: Tuberculosis 2nd Ed. Philadelphia:Lippincott
Williams and Wilkins,Wolters Kluwer Company; 2004.
11. Mortaz E, Varahram M, Farnia P, Bahadori M. New Aspects in
Immunopathology of mycobacterium tuberculosis. ISRN Immunology.
2012.
12. Ernst JD. The immunological life cycle of tuberculosis. Nature
Reviews of Immunology. 2012;12:581-91.
13. De Martino M, Galli L, Chiappini E. Reflections on the immunology of
tuberculosis: will we ever unravel the skein? BMC Infection Disease.
2014;14.
14. Yew WW, Lange C, Leung CC. Treatment of tuberculosis: update
2010. European Respirology Journals.2011;37(2):441-62.
15. Vaziri ND, Pahl M V., Crum A, Norris K. Effect of uremia on structure
and function of immune system. Journal of Renal Nutr.
2012;22(1):149-56.
16. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar.10th ed. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2012.
17. Cohen G, Hörl WH. Immune dysfunction in uremia—an update. Toxins
(Basel).2012;4:962-90.
18. Hauser AB, Stinghen AEM, Kato S, et al. Characteristics and causes of
immune dysfunction related to uremia.2008;28:183-187.
19. Lim WH, Kireta S, Leedham E, Russ GR, Coates PT. Uremia impairs

22
monocyte and monocyte-derived dendritic cell function in hemodialysis
patients. Kidney Int.2007;72(9):1138-48.
20. Louis S, Dutertre C-A, Vimeux L, et al. IL-23 and IL-12p70 production
by monocytes and dendritic cells in primary HIV-1 infection. Journal of
Leukocyte Biology.2010;87(4):645-53.
21. Fang HC, Lee PT, Chen CL, Wu MJ, Chou KJ, Chung HM.
Tuberculosis in patients with end-stage renal disease. International
Journal of Tuberculosis Lung Disease.2004;8(1):92-7.
22. Imi N, Edregoniu DIM, Lteanu MO, et al. Tuberculosis and chronic
renal failure therapy patterns.Current Health Science Journal.
2011;37(2):106-8.
23. Smith WCS. Chemoprophylaxis in the prevention of tuberculosis.
British medicine journal.2008;336(7647):730-1.
24. Ai JW, Ruan QL, Liu QH, Zhang WH. Updates on the risk factors for
latent tuberculosis reactivation and their managements. Emerging
Microbes Infection.2016;5(1).
25. Departement oh Health Queensland Government. Guideline Treatment
of Tuberculosis in Adults and Children version 3.0. Queensland
Government.2015.

Komentator Korektor

dr. Leo S dr.Agung Setiadi

23
24

Anda mungkin juga menyukai