Anda di halaman 1dari 100

Tesis

EFEK PEMBERIAN DEKSAMETASON DOSIS TUNGGAL


TERHADAP NYERI DAN MUAL-MUNTAH PASKA OPERASI
PADA PASIEN DENGAN ANESTESI SPINAL

Oleh :
dr. Andri Boy
127041135
Pembimbing :
Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An, KIC, KAO
Dr. dr. Dadik Wahyu Wijaya, Sp.An

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK -SPESIALIS


DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
hingga saya mampu menyelesaikan penelitian dan menyusun tesis ini dengan baik. Tesis
yang berjudul “Efek pemberian dexametason dosis tunggal terhadap nyeri dan mual-
muntah paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal“ sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif
di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun demikian, saya
berharap agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah serta
perbendaharaan dalam penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini dan dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya
mengucapkan rasa terimakasih kepada kedua orang tua saya bapak H.Amiruddin Tanjung
dan ibu Hj.Azliar Akbar yang tidak bosan – bosan mendoakan dan mendukung saya sejak
kecil hingga sekarang. Dan juga ucapan terimakasih dan penghargaan kepada yang
terhormat: Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp. An, KIC, KAO dan Dr. dr. Dadik Wahyu
Wijaya, Sp. An atas kesediaannya sebagai pembimbing tesis saya ini, yang walaupun di
tengah kesibukannya masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta
kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada
saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada
Bapak, dr. Juliandi Harahap, M.kes sebagai pembimbing statistik yang juga telah banyak
meluangkan waktu dan kesibukannya untuk membimbing saya dalam analisa statistik
penelitian ini.
Dengan berakhirnya masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya
menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Runtung
Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr. Aldy
Safruddin Rambe, Sp.S(K), Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik Dr. dr.
Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K), serta Sekretaris Program Studi
Magister Kedokteran Klinik dr. Mohd. Rhiza Z Tala, M.Ked(OG), Sp.OG(K) atas
kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti program pendidikan

i
Universitas Sumatera Utara
dokter spesialis (PPDS) I di bidang ilmu Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU /
RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Akhyar H. Nasution, SpAn, KAKV dan Prof. dr.
Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dr. Tasrif Hamdi, M.Ked (An), SpAn sebagai Sekretaris Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked (An), SpAn
sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, terimakasih karena
telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada saya dalam
mengikuti pendidikan spesialisasi di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga
selesai.
Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution, SpAn. KIC;
Alm. dr. Chairul M. Mursin, SpAn, KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn. KIC.
KAO; dr. Akhyar H. Nasution, SpAn. KAKV; dr. Asmin Lubis, DAF, SpAn. KAP.KMN;
dr. Qodri F. Tanjung, SpAn. KAKV; dr. Hasanul Arifin SpAn. KAP. KIC; Dr. dr.
Nazaruddin Umar, SpAn. KNA; dr. Ade Veronica HY, SpAn. KIC; dr. Yutu Solihat,
SpAn. KAKV; dr. Soejat Harto, SpAn. KAP; dr. Syamsul Bahri Siregar, SpAn; dr
Tumbur, SpAn; dr. Walman Sitohang, SpAn; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya, SpAn; Dr.
dr. Dadik W. Wijaya, SpAn; dr. M. Ihsan, SpAn. KMN; dr. Guido M. Solihin, SpAn.
KAKV; dr. Andriamuri P. Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Ade Winata, Sp. An, KIC; Dr.
Rommy F Nadeak, SpAn. KIC; dr. Rr. Shinta Irina, SpAn. KNA; dr. Fadli Armi Lubis,
M. Ked (An), Sp. An; dr. Raka Jati P. M. Ked (An) Sp. An; dr. Bastian Lubis M.Ked(An)
Sp.An. KIC; dr. Wulan Fadine M. Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafiz Hasbi M.Ked (An)
Sp.An; dr. Tasrif Hamdi M. Ked (An) Sp.An, dr. Luwih Bisono, Sp. An, KAR; saya
ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini dalam
bidang ilmu pengetahuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin
menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta
pengajaran dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya
sangat bermanfaat bagi saya di kemudian hari.
Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RS
Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri
Hijau Medan yang telah mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan

ii
Universitas Sumatera Utara
kepada saya untuk belajar menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa pendidikan
di rumah sakit yang beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Istri tercinta dr. Jarmillah Elmaco
M.Ked(PD) SpPD yang telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk
mendukung dan mendoakan selama masa pendidikan saya dimulai hingga saat ini.
Yang tercinta teman-teman sejawat peserta pendidikan keahlian Anestesiologi dan
Terapi Intensif dr. Firdaus, dr. Agus, dr. Tommy, dr Ridho yang telah bersama-sama baik
duka maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat
dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
Kepada seluruh teman-teman, rekan-rekan dan kerabat, handaitaulan, keluarga
besar, pasien-pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang
senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil kepada saya selama
menjalani pendidikan, dari lubuk hati yang terdalam saya ucapkan terimakasih.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada paramedis dan karyawan
Departemen / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU / RSUP H. Adam Malik
Medan, RS Universitas Sumatera Utara, RSUD Pirngadi Medan dan Rumkit Tk II Putri
Hijau Medan, yang telah banyak membantu dalam pendidikan dan penelitian ini.
Akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini memohon maaf
atas segala kekurangan selama mengikuti masa pendidikan di Departemen Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Semoga segala
bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerjasama yang diberikan kepada
saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta balasan yang berlipat
ganda dari Allah SWT.

Medan, Maret 2019


Penulis

(dr. Andri Boy)

iii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… ...... x
ABSTRAK ...................................................................................................... xi
ABSTRACT .................................................................................................... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang………………………………………………………. ...... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………. ......... 4
1.3 Hipotesa…………………………………………………………….......... 4
1.4 Tujuan Penelitian ………………………………………………….. ........ 4
1.5 Manfaat ................................................................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6


2.1 Anestesi Spinal ......................................................................................... 6
2.1.1 Definisi ..................................................................................... 6
2.1.2 Anatomi kolumna vertebralis ................................................... 7
2.1.3 Distribusi Segmental Saraf Spinal............................................ 8
2.1.4 Saraf Otonom ........................................................................... 8
2.1.5 Indikasi & Kontraindikasi ........................................................ 9
2.1.6 Teknik Spinal Anestesi............................................................. 10
2.1.7 Pengaruh Spinal Anestesi pada tubuh ...................................... 11
2.2 Nyeri ........................................................................................................ 13
2.2.1 Definisi Nyeri ........................................................................... 13
2.2.2 Patofisiologi Nyeri ................................................................... 14
2.2.3 Penliaian Nyeri ......................................................................... 17

iv

Universitas Sumatera Utara


2.2.4 Klasifikasi nyeri ....................................................................... 19
2.2.5 Tatalaksana Nyeri ..................................................................... 21
2.3 Mual-Muntah Paska Operasi..................................................................... 23
2.3.1 Patofisiologi Mual Muntah....................................................... 24
2.3.2 Identifikasi pasien beresiko mendapatkan Mual-Muntah
Paska Operasi ........................................................................... 25
2.4 Efek Deksametason Terkait Nyeri dan Mual-Muntah Paska Operasi ..... 29
2.5 Kerangka Teori ........................................................................................ 33
2.6 Kerangka Konsep ..................................................................................... 34

BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................. 35


3.1 Desain Penelitian ..................................................................................... 35
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................. 35
3.3 Populasi dan Sampel ................................................................................ 35
3.3.1 Populasi ........................................................................................ 35
3.3.2 Sampel .......................................................................................... 35
3.4 Besar Sampel ............................................................................................. 35
3.5 Kriteria Inklusi, Eksklusi, Putus Uji, ......................................................... 36
3.5.1 Kriteria Inklusi ............................................................................. 36
3.5.2 Kriteria Eksklusi .......................................................................... 36
3.5.3 Kriteria Dropout ............................................................................ 36
3.6 Metode Pengambilan Sampel, Alat, Bahan dan Cara Kerja ...................... 37
3.6.1 Metode Pengambilan Sampel ........................................................ 36
3.6.2 Alat ................................................................................................ 37
3.6.3 Bahan ............................................................................................. 37
3.6.4 Cara Kerja ..................................................................................... 37
3.7 Identifikasi Variabel .................................................................................. 38
3.8 Analisa Data .............................................................................................. 39
3.9 Defenisi Operasional .................................................................................. 39
3.10 Masalah Etika ........................................................................................... 40
3.11 Kerangka Operasional ............................................................................. 42

Universitas Sumatera Utara


BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 43
4.1 Hasil ........................................................................................................... 43
4.1.1 Karakteristik Sampel ......................................................................... 43
4.1.2 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T0 ........................................................ 44
4.1.3 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T1 ...................................................... 45
4.1.4 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T2 ...................................................... 47
4.1.5 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T3 ..................................................... 48
4.1.6 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T4 ..................................................... 49
4.1.7 Perbandingan kejadian nyeri pada pemberian deksametason
dan placebo ...................................................................................... 50
4.1.8 Efek pemberian deksameason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
mual-muntah paska operasi pada pasien dengan anaestesi spinal ... 50
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 57
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Judul Halaman
Tabel 2.1. Faktor Resiko Mual-Muntah Paska Operasi

Pada Dewasa ............................................................................... 26

Tabel 2.2. Strategi Mengurangi Resiko Dasar ............................ 27

Tabel 2.3. Dosis dan Waktu Pemberian Antiemetik

untuk Mencegah Mual Muntah Paska Operasi pada Dewasa ..... 27

Tabel 4.1 Karakteristik sampel ................................................... 43

Tabel 4.2 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal


2 ml (10 mg) terhadap kejadian nyeri pada T0 ........................... 45

Tabel 4.3 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml


(10 mg) terhadap kejadian nyeri pada T1 ................................... 45

Tabel 4.4 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml


(10 mg) terhadap kejadian nyeri pada T2 ................................... 46

Tabel 4.5 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal

2 ml (10 mg) terhadap kejadian nyeri pada T3 ........................... 46

Tabel 4.6 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml


(10 mg) terhadap kejadian nyeri pada T4 .................................. 47

Tabel 4.7 Gambaran kejadian mual-muntah paska operasi pada


pasien dengan anaestesi spinal setelah efek pemberian deksameason
dosis tunggal 2 ml (10 mg).......................................................... 49

vii

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.8 efek pemberian deksameason dosis tunggal 2 ml
(10 mg) terhadap mual muntah paska operasi pada pasien
dengan anaestesi spinal .............................................................. 49

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Judul Halaman
Gambar 2.1. Anatomi kolumna vertebralis ................................. 7
Gambar 2.2 Wong Baker Faces Pain Rating Scale..................... 17
Gambar 2.3 Verbal Rating Scale ................................................. 18
Gambar 2.4 Numerical Rating Scale ........................................... 18
Gambar 2.5 Visual Analogue Scale ............................................ 19
Gambar 2.6 New adaption of the analgetic ladder ..................... 23
Gambar 2.7.Pain ladder-acute pain. Pedoman pemilihan
analgetik untuk nyeriakut non kanker durasi <3 bulan
pada dewasa ................................................................................ 23
Gambar 2.8. Merangkum berbagai patofisiologi yang terlibat
dalam mual dan muntah .............................................................. 25
Gambar 2.9. Skor risiko untuk mual-muntah paska operasi
pada orang dewasa. Nilai risiko sederhana untuk memprediksi
resiko pasien mendapatkan mual-muntah paska operasi.
Ketika 0, 1, 2, 3, dan 4 dari faktor risiko ada, resiko yang sesuai
untuk mual-muntah paska operasi masing-masing
sekitar 10%, 20%, 40%, 60%, dan 80%.26................................. 27
Gambar 2.10. Algoritma MEHT untuk Pengobatan Mual dan
Mual Paska Operasi..................................................................... 29
Gambar 2.11. Kerangka teori ...................................................... 33
Gambar 2.12. Kerangka konsep .................................................. 34
Gambar 3.1. Visual Analogue Scale ........................................... 40
Gambar 3.2. Kerangka operasional ............................................. 42
Gambar 4.1 Perbandingan kejadian nyeri pada pemberian
deksametason dan placebo .......................................................... 48

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

NO JUDUL HALAMAN
1 Riwayat Hidup Peneliti 70
2 Jadwal Pertahapan Penelitian 72
3 Lembar penjelasan mengenai penelitian 73
4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan 76
5 Lembaran observasi Pasien Perioperatif 80
6 Anggaran Penelitian 83
7 Tabel Randomisasi Sampel 84

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pendahuluan: Deksametason adalah glukokortikoid dengan efek


mineralokortikoid sedikit, yang umum digunakan perioperatif untuk mengurangi
mual muntah paska operasi dan memiliki efek menguntungkan sebagai analgesia
paska operasi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk efek pemberian deksametason dosis
tunggal 2 ml (10 mg) terhadap kejadian nyeri dan mual-muntah paska operasi
pada pasien dengan anestesi spinal.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian eksperimen (true experimental study
design), double blind randomized control trial. Penelitian dilaksanakan di Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara dari
Januari-Februari 2019. Total sampel yang diperoleh adalah 36 untuk kelompok
pemberian Deksametason 2ml (10 mg) intravena dan 36 sampel untuk kelompok
pemberian placebo.
Hasil: Dari hasil yang didapat kelompok perlakuan deksametason paling banyak
memiliki nilai VAS 3 sebanyak 15 sampel (41,7%) sedangkan pada kelompok
placebo paling banyak pada VAS 3 dan VAS 4 yang masing-masing 15 sampel
(41,7%) dan 15 sampel (41,7%). Kelompok perlakuan deksametason paling
banyak memiliki nilai VAS 2 sebanyak 14 sampel (38,9%) sedangkan pada
kelompok placebo paling banyak pada VAS 5 sebanyak 15 sampel (41,7%). nilai
VAS pada kelompok kontrol (NaCl 0,9%) memiliki nilai rata-rata yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakukan (Deksametason). Selain itu,
pada kelompok kontrol terjadi peningkatan nilai rata-rata VAS yang sedikit
meningkat pada T1 (6 jam postoperatif) dan mengalami penurunan setelah
diberikan analgetik rescue (ketorolac 30 mg) karena nilai VAS yang lebih dari 4,
sehingga mengalami penurunan pada T2 hingga T4.
Kesimpulan: Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) memiliki
efek terhadap kerjadian PONV dengan hasil yang signifikan yaitu p=0,007, yang
artinya memiliki hubungan yang signifikan.

Kata Kunci: Dexametason, Visual analogue scale (VAS), Postoperative nausea


and vomiting (PONV)

xi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Introduction: Dexamethasone is a glucocorticoid with few mineralocorticoid


effects, which is commonly used perioperatively to reduce postoperative nausea
and has a beneficial effect as postoperative analgesia.
Objective: This study aimed to effect the administration of a single dose of
dexamethasone 2 ml (10 mg) to the incidence of postoperative pain and nausea in
patients with spinal anesthesia.
Method: From the results obtained, the dexamethasone treatment group had the
most VAS 3 values as many as 15 samples (41.7%) whereas in the placebo group
there were at most VAS 3 and VAS 4 which were 15 samples (41.7%) and 15
samples (respectively). 41.7%). The dexamethasone treatment group had the most
VAS 2 values as many as 14 samples (38.9%) whereas in the placebo group there
were at most VAS 5 as many as 15 samples (41.7%). VAS values in the control
group (0.9% NaCl) had a higher average value compared to the treatment group
(Dexamethasone). In addition, in the control group there was an increase in the
average VAS value which was slightly increased at T1 (6 hours postoperatively)
and decreased after being given analgesic rescue (ketorolac 30 mg) because the
VAS value was more than 4, so it decreased at T2 to T4 .
Conclusions: The effect of a single dose of dexamethasone 2 ml (10 mg) has an
effect on the work of PONV with significant results, namely p = 0.007, which
means it has a significant relationship.

Keywords: Dexamethasone, Visual analogue scale (VAS), Postoperative nausea


and vomiting (PONV)

xii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anestesi neuraksial paling sering digunakan untuk bedah perut bagian


bawah dan ekstremitas bagian bawah. Anestesi spinal, epidural, dan gabungan
spinal-epidural dapat digunakan untuk banyak prosedur bedah yang sama.
Perbedaan pemilihan teknik anestesi ini dipengaruhi oleh prosedur tertentu atau
kondisi pasien.1

Penggunaan anestesi neuraksial meningkat secara dramatis. Anestesi


spinal telah terbukti menimbulkan "respon stres" terhadap pembedahan,
mengurangi kehilangan darah intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli
paska operasi, mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien bedah
berisiko tinggi. Teknik anestesi neuraksial juga memiliki keuntungan menurunkan
risiko gagal intubasi, aspirasi isi lambung, menghindari penggunaan obat agen
depresandan memiliki kemampuan kesadaran pasien tetap terjaga. Bupivakain
hiperbarik adalah agen yang paling sering digunakan untuk anestesi spinal. 2

Nyeri akut adalah pemicu stres utama yang memicu respons


neuroendokrin, imun dan inflamasi (perubahan psiko-neuro-endokrin-imunologi).
Hal ini mengarah kepada peningkatan kadar hormon (stres) tertentu, katabolisme
dengan kehilangan jaringan, imunosupresi, peningkatan konsumsi oksigen
miokard karena takikardia dan peningkatan curah jantung, meningkatnya resiko
tromboemboli, vasokonstriksi, menurunnya motilitas saluran cerna, deteriorasi
fungsi paru dan menyebabkan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas.
Stres yang berlebihan tidak hanya disebabkan oleh rasa sakit itu sendiri, tetapi
juga oleh penyakit, cedera, atau prosedur pembedahan. Dengan demikian, mencari
penyebab dan solusi simtomatik diperlukan untuk mengurangi respon stres dan
dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.3

Nyeri paska operasi adalah contoh kasus nyeri akut baik dari patofisiologi
dan sudut pandang terapi. Prosedur bedah menyebabkan kerusakan jaringan lokal,

Universitas Sumatera Utara


menghasilkan pelepasan prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, zat P, dan
mediator lain, produksi rangsangan berbahaya, iritasi ujung saraf bebas dan
nosiseptor (nyeri nosiseptor). Bradikinin, serotonin, histaminsangat peka dan
menstimulasi reseptor, metabolit asam arakidonat hanya peka terhadap hal
tersebut diatas. Nyeri juga dapat timbul langsung di struktur saraf perifer atau
sentral, dimana nyeri muncul selama prosedur pembedahan (nyeri neuropatik).
Sinyal nyeri ditularkan oleh serat A-delta yang tipis ber-mielin dan serat C tidak
bermyelin dari neuron aferen primer ke dalam sistem saraf pusat. Di sumsum
tulang belakang, sinyal nyeri dimodulasi dengan cara yang rumit dan beberapa
dari sinyal nyeri ini dipindahkan ke anterior dan memancing respons refleks
segmental. Lainnya diteruskan ke atas melalui traktus spinotalamik dan
spinoretikular, memprovokasi respon suprasegmental dan kortikal. Syaraf otonom
juga terlibat dalam transfer sinyal nyeri. Nyeri paska operasi dapat berasal dari
kulit, atau struktur somatik dan visceral yang lebih dalam. Ini dapat dibagi
menjadi somatik nosiseptiv (dari kulit, otot, tulang), nosiseptiv viseral (dari organ
rongga toraks dan perut), dan neuropatik (disebabkan oleh kerusakan pada
struktur saraf). Biasanya hal ini merupakan kombinasi dari beberapa jenis rasa
sakit.4

Refleks segmental menyebabkan peningkatan ketegangan dan kejang otot


rangka, dengan demikian meningkatkan konsumsi oksigen di otot dan produksi
laktat. Stimulasi neuron simpatik menghasilkan takikardia, peningkatan volume
stroke, kerja jantung, konsumsi oksigen miokard, penurunan tonus otot polos
saluran cerna dan sistem saluran kencing.5

Refleks supra segmental lebih lanjut meningkatkan sistem saraf simpatik


dan merangsang hipotalamus dan aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Peningkatan
laju metabolik, terutama katabolisme dan konsumsi oksigen miokard. 5

Respons kortikal disebabkan oleh aktivasi sistem kompleks yang terkait


dengan integrasi dan persepsi rasa sakit. Nyeri dapat disertai dengan rasa
kekhawatiran dan rasa takut, yang selanjutnya merangsang hipotalamus. 5

Universitas Sumatera Utara


Mual dan muntah paska operasi terjadi sekitar 20% -30% pada pasien dan
menjadi keluhan kedua yang paling umum sering dilaporkan setelah keluhan nyeri
akut paska operasi.6

Efikasi glukokortikoid untuk mengurangi rasa sakit dan peradangan


setelah operasi sedang dikembangkan. Glukokortikoid agen anti-inflamasi kuat,
yang dapat digunakan untuk mengontrol nyeri paska operasi dalam waktu singkat
pada berbagai jenis operasi. Deksametason juga memiliki efek antiemetik, selain
anti-radangdan efek analgesik.7

Mekanisme kerja glukokortikoid tidak sepenuhnya dipahami namun


diduga teori terkait penghambatan produksi mediator inflamasi (prostaglandin dan
bradikinin), mencegah pengurangan ambang nyeri yang terjadi ketika operasi dan
mengurangi pembengkakan jaringan karena memiliki efek antiinflamasi dan
menghambat kompresi saraf oleh jaringan yang bengkak.8

Deksametason adalah glukokortikoid dengan efek mineralokortikoid


sedikit, yang umum digunakan perioperatif untuk mengurangi mual muntah paska
operasi dan memiliki efek menguntungkan sebagai analgesia paska operasi. 9

Henzi et al10 tahun 2000 meneliti deksametason sebagai pencegahan mual-


muntah paska operasi. Rejimen dosis deksametason yang paling sering digunakan
adalah 8 atau 10 mg IV pada orang dewasa, dan 1 atau 1,5 mg/kg IV pada anak-
anak. Uji coba membandingkan deksametason dengan plasebo pada orang dewasa,
dimana dosis deksametason 8 atau 10 mg, oral atau IV memberikan hasil
signifikan secara statistik bahwa deksametason menurunkan kejadian mual-
muntah paska operasi.10

Jeffrey et al11 tahun 2013 mendapatkan hasil penelitian prospektif, acak,


double-blind, terkontrol menunjukkan penambahan profilaksis deksametason 10
mg IV sebagai rejimen multimodal yang komprehensif meningkatkan antiemetik
dan kontrol analgesik, meningkatkan mobilitas, dan memperpendek rawatan
rumah sakit se telah total artroplasti panggul dan lutut. Dosis deksametason 10 mg
IV meningkatkan kontrol nyeri dan mual-muntah paska operasi secara
signifikan.11
3

Universitas Sumatera Utara


Dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan
deksametason 10 mg iv dapat meningkatkan kontrol nyeri dan dapat menurunkan
kejadian mual-muntah paska operasi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
meneliti efek pemberian deksametason dosis tunggal 2ml (10mg) terhadap
kejadian nyeri, mual-muntah paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri mual dan muntah paska operasi pada pasien dengan
anestesi spinal.

1.3 Hipotesa
Pemberian deksametason dosis dosis tunggal 2 ml (10 mg) untuk
mengurangi kejadian nyeri dan mual-muntah paska operasi pada pasien dengan
anestesi spinal.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10


mg) terhadap kejadian nyeri dan mual-muntah paska operasi pada pasien
dengan anestesi spinal.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10
mg) terhadap kejadian nyeri pada pasien dengan anestesi spinal.
2. Untuk mengetahui efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10
mg) terhadap mual-muntah paska operasi pada pasien dengan anestesi
spinal.

Universitas Sumatera Utara


1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat dalam bidang akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber rujukan


tambahan dalam penelitian lanjutan tentang pengaruh pemberian deksametason
dalam mengurangi nyeri dan mual muntah paska operasi dengan anestesi spinal.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran kepada klinisi untuk dapat
menjadikan deksametason sebagai alternatif pemilihan adjuvan dengan efek
samping yang minimal

1.5.3 Manfaat Pelayanan Masyarakat


1. Untuk meningkatkan kontrol terhadap nyeri pada pasien yang menjalani
operasi spinal anestesi
2. Untuk meningkatkan kenyamanan pasien dengan mengurangi efek
samping mual muntah paska operasi dengan spinal anestesi

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Spinal

2.1.1 Definisi

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang


subaraknoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal
ke dalam ruang subaraknoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah
dikerjakan.12

Otak dan corda spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinalis (CSS) dalam
ruang sub araknoid yang sekaligus melindunginya dari trauma akibat gerakan
yang tiba-tiba. Sebagian besar (90%) CSS diproduksi dari daral dalam pleksus
koroid diventrikel lateral, III, IV dengan kecepatan 0.3-0.4 ml/mnt dan diabsorbsi
kembali ke dalam darah oleh granulasi araknoid. Volume cairan serebrospinal
yang dibentuk setiap hari sekitar 150 cc. Jika cairan berkurang (misalnya karena
pungsi lumbal) dapat diproduksi lagi untuk menggantikan kehilangan tersebut.
Berat jenis 1.003-1.009. pH 7.31-7.34. Glukosa 50-75 mg/dl. Protein 18-41 mg/dl.
Tekanan 9-20 cmH20.12

Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut
hipobarik.Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa.Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. 13

Secara teknis, ketika akan dilakukan operasi dengan menggunakan snestesi


sub araknoid blok (SAB), yang diinginkan adalah timbulnya anestesi dengan blok
yang setinggi-tingginya, tetapi efek samping/komplikasi yang diinginkan
minimal. Banyak hal yang mempengaruhi ketinggian blok, dan apabila blok

Universitas Sumatera Utara


terlalu tinggi, maka salah satu komplikasi yang paling sering adalah terjadinya
high/total spinal.13

2.1.2 Anatomi Kolumna Vertebralis

Kanalis spinalis berjalan dari foramen magnum ke hiatus sakralis, tetapi


ruang sub araknoid berakhir setinggi vertebra sakralis 2. Korda spinalis juga
berakhir setinggi bervariasi antara vertebra torakal 12 sampai lumbal 3, sehingga
akan aman jika memasuki ruang sub araknoid dibawah lumbal 2. Walaupun
demikian, ruang subaraknoid bisa dimasuki pada ketinggian diatasnya dengan
indikasi khusus.13

Gambar 2.1. Anatomi kolumna vertebralis13

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Distribusi Segmental Saraf Spinal

Saraf spinal yang meninggalkan kanalis spinalis melalui foramen


intervertebral segera setelahnya kemudian bercabang menjadi ramus anterior dan
posterior primer. Yang terhakir menyuplai kulit dan otot belakang, dan
sebelumnya menyuplai seluruh tubuh. Setiap segmen saraf spinal menyuplai regio
spesifik dari kulit, otot dan tulang. Di regio servikal, brakial,lumbosakral,ramus
anterior bergabung untuk membentuk pleksus saraf.13

2.1.4 Saraf Otonom

Anestesi spinal dapat menyebabkan blokade secara luas terhadap sistem saraf
simpatis maupun parasimpatis,sebagai tambahan, saraf otonom visceral aferen
juga terlibat dalam stimulus nyeri dalam abdomen yang juga harus di blok jika
analgesi total diperlukan.14

a. Simpatis
Impuls eferen dari sistem saraf pusat ke pembuluh darah dan organ yang
disuplai oleh saraf simpatis harus berjalan melewati saraf pre dan
postganglionik.Kedua serabut sarafini terlibat hubungan sinap didalam
ganglion. Ganglia tersebut terletak dalam rantai simpatik dan pleksus yang
besar didalam thoraks dan abdomen, seperti pleksus kardiak.Serabut saraf
preganglion melebar dari sel saraf di kolumna lateral serabut abu abu korda
spinalis, melalui akar saraf ventral korda spinalis, dari thorakal 1 sampai
lumbal 2.
b. Parasimpatis
Saraf aferen dan eferen sistem parasimpatis dari saraf kranial dan
sakral(2,3, dan 4).Nervus vagus merupakan saraf kranial paling penting yang
membawa saraf efferen parasimpatis,tetapi mereka juga berada dalam
n.okulomotor,fasial glosofaringeus dan n.asesorius. Serabut preganglioner
berjalan keberbagai organ yang disuplai .Sinapsis terjadi pada dinding tiap
organ dengan serabut postganglionik yang pendek.
Nervus vagus menginervasi jantung paru, oesofagus dan traktus
gastrointestinal bagian bawah sampai kekolon transversum. Saraf parasimpatis

Universitas Sumatera Utara


sakral bersama saraf simpatis didistribusikan pada usus besar bagian bawah
kolon transversum, vesika urinaria, dan organ reproduksi.14
Tidak seperti saraf otonom simpatis, saraf parasimpatis kranial khususnya
nervus vagus tidak dipengaruhi oleh blokade spinal anestesi kecuali lokal
anestesi menyebar masuk kranium.
c. Serabut Aferen Viseral
Terdistribusi bersama sistem eferen simpatis dan parasimpatis, merupakan
serabut aferen dengan sel induk berada di akar ganglia dorsal,Refleks disini
terkait dengan: lapar,nausea,distensi dan kontraksi uterus. Biasanya diaktivasi
oleh tarikan yang berlebihan atau respon dari inflamasi atau iskemia.16

2.1.5 Indikasi & Kontraindikasi

Indikasi

Indikasi dilakukan anestesi spinal pada operasi–operasi ekstremitas bawah.


Hampir semua operasi yang melibatkan ekstremitas bawah dapat dilakukan seperti
operasi hernia, ginekologi, urologi, dan operasi daerah perineum dan genitalia.15

Kontraindikasi

Tidak semua pasien dapat dilakukan anestesi spinal. Ada beberapa pasien yang
tidak dapat dilakukan anestesi spinal seperti:15

 Alat dan sarana yang tidak lengkap


 Tidak diperbolehkan melakukan anestesi spinal bila sarana dan prasarana
tidak lengkap, seperti tidak ada alat intubasi, ETT, dan obat resusitasi.
 Pasien dengan gangguan hemostasis
 Pasien denga trombosit yang rendah atau pasien yang mendapat terapi
antikoagulan seperti warfarin, heparin beresiko untuk terjadi perdarahan.
Hal ini disebabkan karena sewaktu melakukan anestesi spinal jarum spinal
menempus vena di epidural. Bila fungsi hemostasis terganggu perdarahan
yang seharusnya berhenti lama berhenti atau tidak berhenti sama sekali.
Hal ini menyebabkan penekanan pada medulla spinalis.

Universitas Sumatera Utara


 Pasien dengan hipovelemia
 Pasien dengan perdarahan, dehidrasi karena muntah-muntah, dan diare.
Pasien harus dilakukan resusitasi sebelum dilakukan anestesi spinal. Bila
tidak dapat terjadi hipotensi yang hebat yang dapat berakibat vatal bagi
pasien.
 Penolakan pasien
 Bila pasien ingin dilakukan general anestesia dibandingkan dengan
regional anestesia maka dokter harus menghormati keputusan dari pasien.
Kita sebagai dokter wajib menjelaskan apa keuntungan dan kerugian bila
dilakukan regional anestesia akan tetapi bila pasien tetap ingin dilakukan
regional anestesia kita sebagai tenaga medis tidak boleh memaksakan
kehendak kita.
 Pasien dibawah umur
 Walau pun regional anestesia sukses dilakukan pada anak, tetapi
dibutuhkan keahlian yang lebih untuk melakukannya.
 Pasien dengan kelainan neurologis misalnya pasien dengan trauma kepala
dengan peningkatan tekanan intrakranial kontraindikasi dilakukan spinal.
Dikarenakan dengan tusukan dan penambahan volume pada ruang
subarahnoid akan memperparah tekanan intrakranial pasien.

2.1.6. Teknik Spinal Anestesi

Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang
sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan
resusitasi telah tersedia. Sebelum memposisikan pasien, seluruh peralatan untuk
blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah
dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbuka, cairan preloading
sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk
anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien15

Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut Inspeksi dan
palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-

10

Universitas Sumatera Utara


operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan
dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi. 17

1. Posisi pasien :
A. Posisi Lateral
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5 – 10 cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
B. Posisi duduk
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin
akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
C. posisi Prone
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
2. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
Cara penusukan. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Mkin besar noor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi
komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache), dianjurkan dipakai jarum
kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila
ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa
mili meter sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat
anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang
mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal17

2.1.7 Pengaruh Spinal Anestesi Pada Tubuh

Prinsip aksi dari blokade neuroaksial adalah pada akar saraf. Anestesi lokal
yang diinjeksikan pada LCS akan beraksi diserabut saraf disitu.

11

Universitas Sumatera Utara


a) Blokade Somatis

Dengan memutus transmisi terhadap rangsangan nyeri dan menurunkan tonus


otot akan menyebabkan blokade neuroaksial menyediakan kondisi operasi yang
bagus.Blokade sensoris memutus baik rangsangan somatis maupun visceral,
sedangkan blokade motorik akan membuat otot dalam keadaan relaksasi.Saraf
spinal berisi berbagai tipe serabut saraf, semakin kecil serabut dan yang bermielin,
semakin mudah untuk diblok.17

b) Blokade Otonom

Pemutusan transmisi saraf otonom pada saraf spinal menyebabkan blokade


simpatis dan beberapa blokade parasimpatis.

1. Sistem Kardiovaskuler

Manifestasi blok spinal pada sistem kardiovaskuler adalah penurunan tekanan


darah dalam berbagai derajat bervariasi. Tekanan darah ditemukan oleh resistensi
vaskuler dan cardiac output, dimana cardiac output hasil dari stroke volume dan
heart rate. Kemudian stroke volume sendiri ditentukan oleh preload, afterload, dan
kontraktilitas. Tekanan darah yang berubah ketika terjadi blokade spinal
berhubungan dengan perubahan resistensi vaskuler dan cardiac output.

Derajat efek pada kardiovaskular ini secara umum proporsional dengan derajat
ketinggian blokade simpatisnya.

Efek vasodilatasinya pada bagian yang terblok akan mengakibatkan kompensasi


pada bagian yang tidak terblok,yaitu vasokontriksi didaerah yang tidak terblok.
Beberapa hal untuk mengatasi ini adalah dengan pemberian cairan preload, 10-
20ml/kg bb. Atau kalau sudah terjadi dengan pemberian efedrin yang
menyebabkan vasokonstriksi dan menaikkan heart rate dan kontraktilitas. 17

2. Sistim Respirasi

Sistem respirasi tidak terjadi perubahan yang bermakna pada blokade


neuroaksial, bahkan pada blok yang cukup tinggi. Blok pada nervus
Phrenikus(C3-C5)menyebabkan kontribusi pada pasien susah bernapas.17

12

Universitas Sumatera Utara


Ekspirasi bersifat pasif pada individunormal selama nafas biasa, tetapi menjadi
aktif waktu hiperventilasi. Otot ekspirasi utama adalah otot abdominal. Otot
interkostalis internal juga membantu ekhalasi. Pasien-pasien dengan penyakit paru
kronik berat mungkin perlu otot-otot ekspirasi selama bernafas dalam keadaan
istirahat, karena meningkatnya tahanan aliran udara ekspirasi dan penurunan
rekoil elastik paru. Oleh karena itu pada pasien ini mungkin membahayakan
dengan anestesi spinal tinggi. Tetapi, penelitian pada pasien-pasien dengan
penyakit paru kronis menunjukkan bahwa perubahan mekanik respirasi yang
dihubungkan dengan anestesi spinal dapat ditoleransi dengan baik.18

Pada kejadian total spinal, dapat terjadi respiratory arrest akibat dari kelumpuhan
otot nafas atau iskemia yang terjadi akibat hipotensi.

3. Sistem Gastrointestinal

Sistem simpatisnya berasal dari segmen T5-L1, ketika terjadi terblok akan
terjadi kenaikan peristaltik, tonus otot sfingeter, dan melawan tonus dari nervus
vagus.18

4. Sistem Urinalisis

Renal Blood Flow akan dipertahankan oleh autoregulasi, sehingga pengaruh dari
blokade neuroaksial hanya sedikit. Tetapi terjadi kehilangan kontrol terhadap
fungsi vesica, sehingga terjadi retensi urine.18

2.2 Nyeri

2.2.1 Definisi
Pada tahun 1968, McCaffery mendefinisikan nyeri sebagai “whatever the
experiencing person says it is, existing whenever she says it does”. Defenisi ini
menegaskan bahwa nyeri itu sangat subjektif dan tidak ada alat ukur objektif
terhadap nyeri. Pada tahun 1979, International Association for the Study of Pain
(IASP, 1979) mendefinisikan nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang
tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Nyeri adalah
pengalaman, sifatnya subjektif, penilaiannya tergantung apa yang dilaporkan
pasien. Sensasi nyeri adalah fenomena neurobiokimia yang melibatkan banyak
13

Universitas Sumatera Utara


zat-zat biokimia yang diwujudkan dalam bentuk neurotransmiter nyeri.
Neurotransmiter ini teraktivasi akibat rangsangan yang diterima oleh nosiseptor.
Nosiseptor adalah reseptor sensorik khusus yang bertanggung jawab untuk
rangsangan noxious (tidak menyenangkan) misalnya rasa sakit. 18

2.2.2 Patofisologi Nyeri


Ada empat proses yang terlibat dalam nyeri yaitu transduksi, transmisi,
modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses merubah sinyal nyeri dari
mekanik, suhu, kimia menjadi suatu sinyal-sinyal listrik yang akan diterima
diujung-ujung saraf. Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi
kimiawi endogen seperti bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion
K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang
melingkupi nosiseptor.18

Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa fosfolipid yang


mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung nosiseptif aferen. Asam
arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan
membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) dan akan membentuk
mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri seperti tromboksan (TXA2),
prostaglandin (PGE2, PG2α), prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien (LT)
atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan, timbul mediator nyeri
atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. 19

Sel mast juga aktif dan akan melepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini
menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial
jaringan yang rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang
merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan terhadap cedera jaringan
dan reparasi luka.19

Pada akhirnya mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak
langsung diaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat dirangsang
oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu
14

Universitas Sumatera Utara


respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit.
Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan
sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, allodinia dan proses
ini berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan.19

Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang


akan menstimulus dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang
terlepas akibat terjadinya metabolisme asam arakhidonat. Lekotrien D4 juga
melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris
dengan menstimulus sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Leukosit Poli
Morfo Nuklear (PMN) melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan
dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan
sitokin proinflamasi: interleukin IL1β, IL6, TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat
akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL1β berinteraksi dengan
neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan
menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast melepaskan
serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan
menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti
inflamasi non steroid atau non-steroid antiinflamatory drugs (AINS/NSAID).
Transmisi adalah proses berikutnya dari transduksi berupa penyaluran sinyal-
sinyal nyeri berupa sinyal listrik. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas impuls
akan membesar yang kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer
lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut perifer
terdiri dari serabut sensoris, motorik somatik, motorik otonomik. Akson dari
neuron primer bermielin atau tidak bermielin, dibungkus neurolema. Terbagi atas
serabut A,B,C. Serabut A terbagi menjadi Aα, Aβ, Aγ dan Aδ. Akson berakhir
pada kulit dan bangunan lain sebagai anyaman rapat, dekat ujung akhir saraf,
bungkus perineural terbuka dan sel schwan menjadi ireguler. 20

Serabut aferen primer nosispetif khusus menghantarkan impuls nosispetif,


yang terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot, visera. Serabut yang
menyampaikan impuls nosiseptif hanya Aδ dan C, sehingga serabut tersebut tidak
bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon adalah mekanik,

15

Universitas Sumatera Utara


mekanotermal. Impuls di neuron aferen primer melewati radiks posterior masuk
ke medula spinalis pada berbagai tingkat membentuk sel bodi dalam ganglia
radiks posterior. Serabut ini membelah dua, mengirim banyak cabang kolateral.
Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia gelaitnosa (lamina II,
III), lamina V, lamina IV.20

Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus


spinotalamikus lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk decendens
dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya
disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri dan diterjemahkan. Proses
transmisi ini dapat dihambat oleh obat anestesi lokal. 20

Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsangan nyeri yang terjadi


ditingkat medula spinalis. Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari
sejak transmisi pertama menuju korteks serebri. Modifikasi dapat berupa
augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi (penghambatan). Impuls setelah
mencapai kornu posterior medula spinalis akan mengalami penyaringan intensitas
yang bisa diperbesar atau dihambat. Sistem pengendali modulasi ini adalah sistem
gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain. Terdiri dari substansia
gelatinosa sebagai penghambat sel transmisi T, serabut aferen diameter besar akan
menutup gerbang, diameter kecil akan membuka gerbang. Cabang serabut
decendens dari otak ke substansia gelatinosa akan menambah hambatan sel
transmisi T. Apabila impuls melebihi ambang sel T maka akan melewati sistem
kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat supraspinal di korteks
somatosensoris. Impuls akan dipersepsi sebagai pengalaman nyeri. Substansi yang
bekerja sebagai modulator nyeri di medulla spinalis yaitu dinorfin, enkefalin,
noradrenalin, dopamin 5 HT2, GABA (Gama Amino Butiric Acid) akan
menghambat nyeri. Substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, ATP
(Adenosin Tripisphat), asam amino eksitatori.20

Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut mencapai korteks


otak sehingga mencapai tingkat kesadaran dan pada akhirnya diterjemahkan dan
ditindak lanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut. Hasil akhir dari proses
interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada
16

Universitas Sumatera Utara


akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai
diskriminasi dari sensorik. Sel transmisi T didalam sistim gerbang spinal kendali
nyeri menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls melebihi
atau sama dengan ambang T, impuls nosiseptif tersebut dapat melewati sistem
gerbang kendali dan diteruskan ke pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di
korteks somatosensoris, korteks transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri
sensoris perifer serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan
berintergrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri.
Secara sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat
kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan oleh
individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya. 20

2.2.3 Penilaian nyeri


Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri pascapembedahan yang efektif. Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien
digunakan untuk menilai derajat nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini
mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri
yang dirasakan.28 Ada beberapa skala penilaian nyeri:

1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale20


Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien
dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang
kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal
setempat.

Gambar 2.2 Wong Baker Faces Pain Rating Scale20

17

Universitas Sumatera Utara


2. Verbal Rating Scale (VRS) 20
Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima
poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.

Gambar 2.3 Verbal Rating Scale.20

3. Numerical Rating Scale (NRS) 20


Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan
angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang sedang sampai hebat.

Gambar 2.4 Numerical Rating Scale20

4. Visual Analogue Scale (VAS)20


Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda
tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat.

18

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.5 Visual Analogue Scale.20
Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan
nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.
Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah
digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik,
dimana juga penggunaannya mudah hanya menggunakan beberapa kata
sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga
melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan
bahwa VAS secara statistik paling baik dalam menilai derajat nyeri. Nilai
VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan
digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap
nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga
perlu diberikan obat analgetik penyelamat (analgetic rescue).

2.2.4 Klasifikasi Nyeri


Kejadian nyeri unik pada setiap individual kadang disertai dengan rasa
takut, marah, kecemasan, depresi dan kelelahan dan sering mempengaruhi
bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektivitas nyeri membuat sulitnya
mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri. Salah satu pendekatan
yaitu dengan mengklasifikasi nyeri berdasarkan durasi (akut, kronik),
patofisiologi (nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (pascapembedahan, kanker
dan sebagainya).20Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang


terbatas. Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai 7 hari dan
diakibatkan langsung adanya kerusakan jaringan misalnya pembedahan.
Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan

19

Universitas Sumatera Utara


yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya
disertai kelainan patologis dan indikasi adanya penyakit seperti kanker, end-stage
organ dysfunction, infeksi HIV dan lain-lain. Nyeri kronik mungkin mempunyai
elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung,
migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kondisi patologis yang
terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (medulla
spinalis) membuat pengobatan menjadi lebih sulit. Pasien dengan nyeri akut dapat
memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah
yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul tetapi nyeri
kronik bisa tanpa disertai adanya respon otonom. Nyeri kronik dapat berupa
hiperalgesia dan allodinia yang pengobatan untuk nyeri ini sangat sulit sehingga,
penanganan untuk nyeri akut harus baik agar dapat mencegah timbulnya nyeri
kronik.2

2.2.4.1 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik


Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik. Nyeri
nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik
dan suhu yang menyebabkan aktivasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer
(saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri). Nyeri neuropatik
merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan jaringan saraf pada saraf
perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan
perifer dan biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Dampak
dari cedera serabut saraf adalah perubahan dalam fungsi saraf baik di lokasi
cedera dan ataupun daerah sekitar cedera. Pasien yang mengalami nyeri
neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid. 20-
23

2.2.4.2 Nyeri Viseral


Nyeri viseral biasanya menjalar, lokalisasi yang difus dan mengarah ke
daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom
yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi
ritmis otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan
gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi, dan

20

Universitas Sumatera Utara


distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti nyeri somatik
dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat
dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri
viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan
dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri
tajam bila organ padat terkena (Ashburn dan Lipman, 1993).20-23

Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme


otot polos, peregangan struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu,
atau ureter. Peregangan pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan
dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah karena distensi berlebih
dari jaringan. Impuls nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks
menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf
simpatis, dimana impuls dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan
glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar
melalui saraf parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari
sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan
bagian pertama dari empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls
ini masuk ke korda spinalis melalui nervus thorak ke 2, 3, 4 dan 5. Penyebab
impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia
miokard. Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun,
bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri. 20-23

2.2.4.3 Nyeri Somatik


Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah
dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan,
membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi
bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Nyeri
somatik biasanya lebih akut, intens, tajam, lokal, dan diperburuk oleh gerakan.20-23

2.2.5 Tata Laksana

Berbagai macam klasifikasi digunakan untuk obat-obat anti nyeri


(analgesia), namun secara umum dapat dibagi menjadi :

21

Universitas Sumatera Utara


a. Analgesik nonopiod
Asetaminofen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS), termasuk aspirin
dan turunan asam salisilat.
b. Analgesik opioid
c. Analgesik adjuvan atau ko-analgesik
Suatu kelompok obat dengan indikasi tertentu, namun memiliki efek anti nyeri,
seperti obat antiepilepsi dan atidepresan trisiklik.19

WHO analgesic ladder22 :

1. Nyeri
a. Non opioid
Parasetamol, ASA, NSAID
b. Adjuvant
steroid, ansiolitik, antidepresan, hipnotik, antikonvulsan,,antiepileptic-
likegabapentinoids (gabapentin and pregabalin), membrane stabilizers,
sodium channel blockers, NMDA receptor antagonists for the treatment of
neuropathic pain,cannabinoids.
2. Nyeri menetap atau meningkat
a. Opioid untuk nyeri ringan hingga sedang
Kodein, tramadol, propoxyphene, buprenorphine, oxycodone (dosis rendah)
b. Non-opioid
c. Adjuvant
3. Nyeri menetap atau meningkat
a. Opioid untuk nyeri sedang hingga berat
Morfin, fentanil, methadone, hydromorphone, oxycodone
b. Non-opioid
c. Adjuvant
4. Terapi intervensi
Blok saraf, epidural, terapi PCA, terapi blok neurolitik, SCS/DCS.

22

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.6.New adaption of the analgetic ladder.20

Gambar 2.7.Pain ladder-acute pain. Pedoman pemilihan analgetik untuk nyeri

akut non kanker durasi <3 bulan pada dewasa.21

2.3 Mual-Muntah Paska Operasi

Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan salah satu keluhan


umumdan sering menyusahkan pasien. Insiden terjadinya muntah sekitar 30%,
insiden terjadinya mual sekitar 50%, dan dalam subset pasien berisiko tinggi mual
muntah paska operasi terjadi sekitar 80%.24-26

Mual-muntah paska operasi dapat didefinisikan sebagai mual dan muntah


yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah operasi. Panduan ini telah
23

Universitas Sumatera Utara


dikembangkan untuk membantu dalam manajemen pasien, yang berusia 16 tahun
atau lebih berisiko mengalami mual-muntah paska operasi. 24-26

Mual-muntah paska operasiadalah komplikasi umum setelah operasi. Hal


ini dikaitkan dengan efek fisiologis dan psikologis yang dapat menyebabkan
pemulihan tertunda setelah operasi. Mual-muntah paska operasi dapat secara
langsung menyebabkan gangguan saluran napas, aspirasi pneumonia, kehilangan
cairan dan ketidakseimbangan elektrolit, ruptur esofagus, hipertensi vena,
peningkatan stres pada luka pasien. Juga dapat menyebabkan kelelahan, suasana
hati yang tidak enak, kesusahan, dan rasa nyeri. 24-26

2.3.1 Patofisiologi Mual Muntah

Mual muntah paska operasi dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Opioid
bukan satu-satunya penyebab mual-muntah paska operasi. Area utama yang
diaktifkan untuk menyebabkan mual-muntah paska operasi adalah Medulla
Oblongata dan Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Mual dan muntah berada di
bawah kendali Central Nervous System (CNS) melalui pusat muntah di Medulla
Oblongata dan CTZ pada area ventrikel ke-4. 24-26

Gambar 2.8. Merangkum berbagai patofisiologi yang terlibat dalam mual dan
muntah24
24

Universitas Sumatera Utara


2.3.2 Identifikasi Pasien Beresiko Mendapatkan Mual-Muntah Paska Operasi

Penelitian tambahan mengidentifikasi bahwa kelompok usia yang lebih


muda (<50 tahun) memiliki faktor resiko yang signifikan mendapatkan mual-
muntah paska operasi (rasio odds, OR; confidence interval 95% [CI]): 1.79 (1.39–
2.30) dibandingkan kelompok usia 50 tahun atau lebih.25

Jenis operasi yang diduga sebagai faktor risiko masih diperdebatkan. Bukti
baru menunjukkankolesistektomi: 1.90 (1.36-2.68), operasi ginekologi: 1.24
(1.02-1.52), dan laparoskopi: 1.37 (1.07-1.77) diduga memiliki insiden yang
tinggi terjadinya mual muntah paska operasi bila dibandingkan dengan bedah
umum sebagai kelompok referensi.26

Kontribusi opioid intraoperatif terhadap mual muntah paska operasi


lemah,dan tidak ada perbedaan antara opioid yang berbeda. Jenis kelamin
perempuan adalah prediktor spesifik pasien terkuat (OR 2.57, CI 95%, 2.32-2.84),
diikuti riwayat mual-munyah paska operasi (2.09, 1.90-2.29), status tidak
merokok (1.82, 1.68–1.98),riwayat penyakit dengan kesulitan bergerak (1.77,
1.55-2.24), dan usia (0.88 per dekade, 0.84-0.92). Penggunaan anestesi volatile
adalahanestesi terkuat terkait prediktor (1.82, 1.56-2.13), diikuti oleh durasi
anestesi (1.46 jam-1, 1.30-1.63), penggunaan opioid paska operasi (1.47, 1.31-
1.65), dan nitrous oxide (1.45, 1.06–1.98).25,26

25

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Faktor Resiko Mual-Muntah Paska Operasi Pada Dewasa27

Evidence Risk factors


Positive overall Female sex (B1)
History of PONV or motion sickness (B1)
Nonsmoking (B1)
Younger age (B1)
General versus regional anesthesia (A1)
Use of volatile anesthetics and nitrous oxide (A1)
Postoperative opioids (A1)
Conflicting Duration of anesthesia (B1)
Type of surgery (cholecystectomy, laparoscopic,
gynecological) (B1)
Disproven or of
limited clinical ASA physical status (B1)
relevance Menstrual cycle (B1)
Level of anesthetist’s experience (B1)
Muscle relaxant antagonists (A2)

BMI (B1)
Anxiety (B1)
Nasogastric tube (A1)
Supplemental oxygen (A1)
Perioperative fasting (A2)
Migraine (B1)
PONV = postoperative nausea and vomiting; BMI = body mass index; MS =
motion sickness.

26

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.9. Skor risiko untuk mual-muntah paska operasi pada orang dewasa.
Nilai risiko sederhana untuk memprediksi resiko pasien mendapatkan mual-
muntah paska operasi. Ketika 0, 1, 2, 3, dan 4 dari faktor risiko ada, resiko yang
sesuai untuk mual-muntah paska operasi masing-masing sekitar 10%, 20%, 40%,
60%, dan 80%.26

Tabel 2.2. Strategi Mengurangi Resiko Dasar28

Strategi Mengurangi Resiko Dasar


Menghindari anestesi umum dengan menggunakan
anestesi regional
Penggunaan propofol untuk induksi dan pemeliharaan
anestesi
Menghindari nitrous oxide
Menghindari anestesi volatil
Minimalisasi opioid intraoperatif dan paska operasi
Hidrasi yang memadai

Tabel 2.3. Dosis dan Waktu Pemberian Antiemetik untuk Mencegah Mual
Muntah Paska Operasi pada Dewasa28

Obat Dosis Evidence Waktu Evidence


Aprepitan 40 mg per os A2 Di awal A2
Casopitan 150 mg per os A3 Di awal
Deksametason 4-5 mg iv A1 Di awal A1
Dimenhidrinat 1 mg/kg IV A1

27

Universitas Sumatera Utara


Dolasetron 12.5 mg IV A2 Di akhir operasi; A2
waktu mungkin tidak
mempengaruhi
Droperidol 0.625-1.25 mg A1 efikasi A1
Ephedrine IV A2 Di akhir operasi
Granisetron 0.5 mg/kg A1 A1
Haloperidol 0.35–3 mg IV A1 Di akhir operasi
Metilprednisolon 0.5–<2 mg A2
Ondansetron IM/IV A1 A1
Palonosetron 40 mg IV A2 Di akhir operasi A2
Perphenazine 4 mg IV, 8 mg A1 Di awal
Promethazine 0.075 mg IV A2
Ramosetron 5 mg IV A2 A2
Rolapitant 6.25 - 12.5 mg A3 Di akhir operasi
Scopolamine IV A1 Di awal A1
0.3 mg IV Terbaik sore atau 2
70–200 mg jam sebelum operasi
Tropisetron per os A1 Pendapat
Scopolamine Di akhir operasi ahli
Transdermal
patch
2 mg IV

28

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.10. Algoritma MEHT untuk Pengobatan Mual dan Mual Paska
Operasi25

2.4 Efek Deksametason Terkait Nyeri dan Mual-Muntah Paska Operasi

Glukokortikoid adalah penghambat COX-2 yang juga memiliki efek yang


banyak pada sintesis prostaglandin, yang menjelaskan efek analgesik ringan.The
onset of action beberapa jam setelah pemberian dengan demikian, administrasi pre
operasi lebih disukai. Dosis deksametason adalah antara 4-16 mg IV. Skema ini

29

Universitas Sumatera Utara


sudah direkomendasikan sebelum prosedur bedah tertentu (wasir), sedangkan
pada operasi lain (operasi payudara, perbaikan hernia) tidak dianjurkan. Ironisnya,
efikasi ini seharusnya yang belum terbukti-terkait prospek, terlepas dari kenyataan
bahwa banyak penelitian yang menunjukkan efek analgesik kortikosteroid
dilakukan pada operasi payudara non-kosmetik. Selain memiliki efek analgesik
yang ringan, deksametason secara rutin digunakan untuk efek antiemetiknya.
Keamanan dari dosis yang lebih tinggi dipertanyakan, dan deksametason gagal
menunjukkan efek pencegahan pada nyeri paska operasi kronis. Kortikosteroid
lain tampaknya memiliki efek yang kurang. Metillprednisolon dengan dosis 30–
125 mg IV juga menghasilkan analgesia ringan, penelitian tentang efek 50 mg
prednisone PO menunjukkan tidak berpengaruh pada intensitas nyeri paska
operasi.5

Pada 1964, Smith dan rekan kerja memberikan suntikan steroid–penisilin


sebagai campuran anestesi lokal ke dalam fosa tonsilar selama operasi dan
mengamati penurunan nyeri dan peradangan paska operasi. 29

Pada tahun 1972, Papangelou membandingkan deksametason oral kombinasi


dengan analgesik, dibandingkan dengan analgesik saja. Dijumpai pada 480 pasien
menjalani tonsilektomi dan ditemukan lebih sedikit edema jaringan dan nyeri pada
kelompok pasien yang diobati dengan steroid periode pascka operasi. 30

Cedera jaringan menginduksi peradangan akut diketahui memainkan peran


penting dalam asal-usul rasa nyeri terkait pembedahan, dan deksametason secara
teoritis harus bermanfaat dalam manajemen nyeri akut paska operasi karena
potensi efeknya sebagai anti-inflamasi.

Holte et al.33 telah meneliti uji coba acak yang tersedia (1996-2001) mengenai
pemberian steroid dosis tunggal perioperatif dan ditemukan deksametason yang
memiliki efek antiemetik dan analgesik dalam berbagai jenis operasi.

Pemberian obat profilaksis terkait mual-muntah paska operasi menggunakan 1


hingga 2 intervensi pada usia dewasa dengan resiko sedang. Dimana obat-obatan
baru yang disetujui secara klinis atau dengan penelitian lebih lanjut berdasarkan
pedoman terakhir adalah28 :
30

Universitas Sumatera Utara


1. The 5-hydroxytryptamine (5HT3)antagonis reseptor: ramosetron dan
palonosetron

2. Neurokinin-1(NK-1)antagonis reseptor: aprepitant, casopitant, dan rolapitant

3. Kortikosteroid: metilprednisolon

4. Butyrophenone: haloperidol

5. Antihistamin: meclizine

Ondansetron 4 mg, droperidol 1,25 mg, dan deksametason 4 mg sama


efektifnya dimana masing-masing mengurangi risiko mual-muntah paska operasi
secaratunggal sekitar 25%.32Kortikosteroid yaitu deksametason efektif mencegah
mual dan muntah pada pasien paska operasi.33,34Pemberian dosis profilaksis 4-5
mg IV pada pasien dengan peningkatan resiko mual-muntah paska operasi
dianjurkan setelah induksi anestesi di akhir operasi.33 Sebagai profilaksis mual-
muntah paska operasi khasiat deksametason 4 mg IV mirip dengan ondansetron4
mg IV dan droperidol 1,25 mg IV.32 Studi yang lebih barusemakin banyak
menggunakan dosis deksametason 8 mg IV yang lebih tinggidaripada dosis efektif
minimum 4 hingga 5 mg.35,36,37,38,39

Deksametason 8 mg preoperatif meningkatkan postdischargekualitas


pemulihan selain mengurangi rasa mual, nyeri, dan kelelahan.40 Efek
Deksametason juga bergantung pada dosis untuk kualitas pemulihan. Pada 24 jam,
pasienmenerima deksamethasone 0.1 vs 0.05 mg/kg diperlukan lebih sedikitopioid
dan dilaporkan mual kurang dirasakan, sakit tenggorokan, nyeri otot,dan kesulitan
mulai tertidur.41 Evaluasi meta-analisisefek analgesik bergantung dari dosis
deksametason perioperatif bahwa dosis>0.1 mg/kg adalah efektif dalam strategi
multimodal untuk mengurangi nyeri dan konsumsi opioid paska operasi.42,43
Dengan tambahan ini manfaat pereda nyeri dan kualitas pemulihan yang lebih
baik, profilaksis dosis deksametason 0.1 mg/kg atau 8 mg pada orang dewasa
dapat dipertimbangkan meskipun konfirmasi lebih lanjut diperlukan untuk dosis
yang lebih besar.

31

Universitas Sumatera Utara


Data keamanan deksametason perioperatif tidak meyakinkan. Dalam
kebanyakan penelitian, satu dosis perioperatif deksametason tampaknya tidak
meningkatkan resiko infeksi luka.33,42Mempertimbangkan rasio resiko-manfaat,
editorial baru-baru ini menyarankan dosis tunggal deksametason 4-8 mg aman
bila digunakan sebagai profilaksis mual-muntah paska operasi.44

Dosis antiemetik optimal dengan terapi kombinasi perlu diberikan. Regimen


terapi kombinasi menggunakan ondansetron dengan droperidol atau deksametason
paling banyak dipelajari. Telah disarankan bahwa bila menggunakan sebagai
terapi kombinasi, dosis deksametason tidak boleh melebihi 10 mg IV, dosis
droperidol seharusnya tidak melebihi 1 mg IV, dan dosis ondansetron pada orang
dewasa tidak boleh melebihi 4 mg dan bisa jauh lebih rendah. 45

Beberapa penelitian mengkonfirmasi keefektifan kombinasi terapi dengan


dekametason.46,47,48,49,50,51,52,53

Deksametason pertama kali dilaporkan sebagai regimen antiemetikefektif


pada pasien yang menerima kemoterapi kanker.54 Wattwil dkk.55 menunjukkan
bahwa deksametason 4 mg efektif untuk mencegah mual-muntah paska operasi
payudara tetapi tidak bisa menunjukkan perbedaan rasa sakit paska operasi.

32

Universitas Sumatera Utara


2.5. Kerangka Teori

Pembedahan Efek spinal anestesi

Respon Meningkatkan Efek langsung pada Menghambat


stes vestibular chemoreceptor pengosongan
sensitivitas trigger zone (CTZ) gaster

Deksametason
Defisiensi
glucocorticoid Mual
muntah
Deksametason

Positive feedback
HPA-axis

Meningkat Kortisol

Pelepasan prostaglandin, histamin, Meningkatkan


nyeri
serotonin, bradikinin, zat mediator lain

Gambar 2.11. Kerangka teori

33

Universitas Sumatera Utara


2.6. Kerangka Konsep

Nyeri (VAS)

Deksametason
2ml (10 mg)
Mual & Muntah
Paska Operasi (PONV
Score)

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Berhubungan atau tidak

Gambar 2.12. Kerangka konsep

34

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini adalah suatu penelitian eksperimen (true experimental study


design), double blind randomized control trial.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dan Rumah
Sakit Universitas Sumatera Utara waktu penelitian dimulai setelah ethical
clearance terbit sampai sampel terpenuhi.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah seluruh pasien yang menjalani operasi elektif dengan


Anestesi spinal di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

3.3.2 Sampel

Sebagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi yang akan
serta mewakili populasi yang dipilih secara consecutive sampling sampai jumlah
sampel terpenuhi.

3.4 Besar Sampel

Besar sampel dihitung berdasarkan rumus:

Uji hipotesis proporsi dua populasi (two-tailed test):

n1=n2 ≥((1-/2) √2 P (1-P) + (1-β) √P1 (1-P1) + P2 (1-P2) )2

(P1-P2)

Dimana :
Z (1 / 2) = deviat baku alpha, untuk  = 0,05 maka nilai baku normal sebesar 1,96.

35

Universitas Sumatera Utara


Z (1  ) = deviat baku betha, untuk  = 0,20 maka nilai baku normal sebesar

0,842.

P1 = proporsi nyeri dan mual-muntah paska operasi, sebesar = 0,30 (30,0%).57

P = perkiraan nyeri dan mual-muntah paska operasi setelah mendapat obat


yang diteliti = 0,005 (5,0%).

P1-P2 = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,25.

Maka sampel minimal untuk masing-masing kelompok perlakuan sebanyak 36


orang.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1 Inklusi
a. Bersedia ikut dalam penelitian.
b. Usia 16-65 tahun.
c. Status fisik ASA I-II.
d. Tinggi blok Th 5
3.5.2 Eksklusi
a. Pasien menolak ikut serta dalam penelitian .
b. Kontraindikasi anestesi spinal.
c. Pasien alergi dengan obat yang akan dilakukan penelitian
d. Pasien dengan operasi sectio caesarea
3.5.3 Kriteria Drop Out
a. Anestesi Spinal gagal atau berubah menjadi anestesi umum
b. Pasien yang akan menjalani operasi dengan anestesi spinal >2 jam

3.6 Metode Pengambilan Sampel, Alat, Bahan dan Cara Kerja

3.6.1 Metode Pengambilan Sampel

Subjek yang memenuhikriteria dicatat nama, umur, nomor rekam medis,


jenis kelamin, alamat, nomor telpon dan semua data klinis yang berhubungan
dengan penelitian ini. Peneliti mengambil semua subjek yang memenuhi kriteria

36

Universitas Sumatera Utara


penelitian. Pasien diacak dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok A menerima
2 ml (10 mg) deksametason iv dan kelompok B menerima 2 ml normal saline
(0,9%) berdasarkan proses randomisasi.

3.6.2 Alat
a. Alat monitor non invasif otomatik meliputi tekanan darah, denyut
jantung, frekuensi nafas,electrocardiography (EKG), saturasi oksigen,
Vital Sign.
b. Spuit 5 ml (B-Braun)
c. Spinocain 25 G (B-Braun)
d. Pencatat waktu
T0, T1-6jam, T2-12 jam, T3-18 jam, T4-24 jam.
e. Alat pengukur nyeri (VAS)
f. Alat tulis dan formulir penelitian

3.6.3 Bahan
a. Obat-obatan anestesi spinal bupivacaine 0,5% (Regivell)
b. Cairan normal saline (NaCl 0,9%)
c. Obat yang diteliti 2 ml deksametason iv (Deksametason)
d. Obat anti nyeri lain jika dibutuhkan Fentanyl 1 mcg/kgbb intravena,
Ketorolac 30 mg Intravena (VAS>4)
e. Obat anti PONV Ondansentron 4mg intravena (ondansentron HCL)
f. Obat emergensi : Efedrin (Vasodrin) 5mg/ml dan Sulfas Atropin
(Atropin Sulfate) 0,25mg/ml yang sudah teraplus

3.6.4 Cara Kerja

a. Peneliti mengambil semua subjek yang memenuhi kriteria penelitian.


Pasien diberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan dan
bersedia mengikuti penelitian dan mengisi informed consent.
b. Pasien merupakan yang menjalani pembedahan, dimana pasien diacak
dibagi menjadi dua kelompok.

37

Universitas Sumatera Utara


c. Dilakukan pengukuran dan pencatatan tekanan darah, denyut jantung,
frekuensi nafas, electrocardiography (EKG), saturasi oksigen, mean
arterial pressure (MAP) 5 menit sebelum anestesi spinal.
d. Kedua kelompok diberikan Preemptive Analgesia Fentanyl 1mcg/kgbb
e. Semua pasien menerima terapi hidrasi 1000 cc RL diikuti anestesi
spinal dengan bupivacaine hiperbarik 0,5% (Regivell) pada L2-L3 atau
L3-L4 posisi duduk atau lateral.
f. Kelompok A menerima 2 ml deksametason iv dan kelompok B
menerima 2 ml normal saline (0,9%) berdasarkan proses randomisasi.
Selama periode follow-up hingga 24 jam paska operasi dilakukan
pengukuran dan pencatatan Vital Sign, tingkat nyeri dan mual-muntah
pada T0, T1-6jam, T2-12 jam, T3-18 jam, T4-24 jam.
g. Tingkat nyeri dinilai berdasarkan visual analog scale (VAS) diukur
menggunakan penggaris 10-cm menurut laporan pasien. Dalam metode
ini, pasien diminta untuk menunjukkan nol artinya tidak memiliki
gejala dan sepuluh artinya memiliki gejala yang paling parah. Untuk
rasa nyeri, skor 1-3 dianggap ringan, 4-6 sebagai moderat,dan 7-10
sebagai berat. Untuk menilai frekuensi muntah digunakan alat ukur
kuesioner PONV yg terdiri dari empat penilaian yaitu 0 (tidak mual) 1
(mual) 2 (muntah 1 kali) 3 (muntah 2 kali lebih)
h. Apabila nilai VAS yang di tunjukan oleh pasien menunjukan tingkat
nyeri sedang sampai berat (VAS>4) maka akan diberikan analgetik
tambahan yaitu Ketorolac 30mg intravena untuk rescue
i. Sebagai antiemetik untuk mengatasi mual-muntah paska operasi pasien
dapat diberikan 4 mg Ondancentron i.v.
3.7 Identifikasi Variabel
a. Variabel bebas
Deksametason 2ml (10mg) intravena
b. Variabel tergantung
Nyeri
Mual-Muntah paska operasi

38

Universitas Sumatera Utara


3.8 Analisa Data
a. Data yang di perlukan terkumpul. Kemudian data tersebut di periksa
kembali tentang kelengkapannya sebelum ditabulasi dan diolah. Data hasil
penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program
komputer Windows SPSS-17 (Statistical Product and Service Solution).
b. Data numerik ditampilkan dalam rata-rata nilai ± SD (standard deviasi)
sedangkan data kategorik ditampilkan dalam jumlah % (persentase)
c. Data demografi : uji kenormalan data numerik digunakan uji T-
independent, uji kenormalan data kategorik dengan menggunakan uji Chi-
square
d. Hipotesa penelitian diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney.
e. interval kepercayaan 95% dengan nilai p<0.05 dianggap bermakna secara
statistik.

3.9 Defenisi Operasional


a. Deksametason
Deksametason merupakan glukokortikoid yang menghambat COX-2 yang
juga memiliki efek yang banyak pada sintesis prostaglandin, sehingga
menghasilkan efek analgesik ringan. Mekanisme kerja glukokortikoid
tidak sepenuhnya dipahami namun diduga teori terkait penghambatan
produksi mediator inflamasi (prostaglandin dan bradikinin), mencegah
pengurangan ambang nyeri yang terjadi ketika operasi dan mengurangi
pembengkakan jaringan karena memiliki efek antiinflamasi dan
menghambat kompresi saraf oleh jaringan yang bengkak.8 Deksametason
juga memiliki efek antiemetik, selain anti-radang dan efek analgesik.7

b. Nyeri
Nyeri akut adalah suatu sensasi sensoris, emosional dan mental yang tidak
menyenangkan (pengalaman) berhubungan dengan tanda-tanda vegetatif,
respon psikologis dan perubahan perilaku. Berlangsung lama, beberapa
jam atau beberapa hari, jarang lebih dari sebulan. Nyeri paska operasi
adalah contoh khas nyeri akut. Semua prosedur bedah terkait dengan

39

Universitas Sumatera Utara


tingkat rasa sakit paska operasi tertentu. 5Nyeri akut dikenal sebagai
pemicu stres utama yang memicu respons neuroendokrin, imun dan
inflamasi (perubahan psiko-neuro-endokrin-imunologi).3 Metode penilaian
numerik intensitas nyeri yang digunakan adalah Visual Analogue Scale
(VAS), dimana pasien menentukan intensitas nyeri dengan menunjukkan
suatu titik sepanjang garis horizontal terus menerus, dengan angka 0
hingga 10 di sisi lain.19

Gambar 3.1. Visual Analogue Scale19.


Pengelompokan intensitas nyeri
1-3 : Nyeri Ringan
4-6 : Nyeri Sedang
7-10 : Nyeri Berat

c. Mual-muntah
Mual-muntah paska operasi dapat didefinisikan sebagai mual dan muntah
yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah operasi.25 Mual muntah paska
operasi dapat disebabkan oleh sejumlah faktor. Opioid bukan satu-satunya
penyebab mual-muntah paska operasi. Area utama yang diaktifkan untuk
menyebabkan mual-muntah paska operasi adalah Medulla Oblongata dan
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Mual dan muntah berada di bawah
kendali Central Nervous System (CNS) melalui pusat muntah di Medulla
Oblongata dan CTZ pada area ventrikel ke-4.25

3.10. Masalah Etika

a. Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari komisi etik


penelitian bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

40

Universitas Sumatera Utara


Utara dan Rumah Sakit Umum Pusat H.Adam Malik Medan dan
Rumah Sakit Jejaring
b. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta
resiko dan hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta
mengisi formulis kesediaan menjadi subjek penelitian (informed
consent).
c. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tindakan yang
sudah lazim dikerjakan terhadap pasien dan sebelum anestesi dan
proses penelitian dimulai, telah dipersiapkan alat-alat
kegawatdaruratan (oro/nasopharyngeal airway, ambu bag, sumber
oksigen, laringoskop, endotracheal tube ukuran pasien, suction set),
monitor (pulse oximetry, tekanan darah, EKG, Frekuensi denyut
jantung), obat emergensi (efedrin, adrenalin, sulfas atropin, lidokain,
aminofilin, deksametason, nalaxone).
d. Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru dan otak
selama proses penelitian berlangsung, maka langsung dilakukan
antisipasi dan penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar
seperti yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

41

Universitas Sumatera Utara


3.11 Kerangka Operasional

Populasi
Inklusi Eksklusi

Sampel

5 menit sebelum anestesi spinal, pengukuran :


1. Vital sign
2. Electrocardiography (EKG),
3. Saturasi oksigen
Preoperatif

Kelompok perlakuan Kelompok kontrol

Deksametason NaCl 0,9%


2ml (10mg) IV IV 2ml

Anestesi Spinal (3 ml Bupivacaine 0,5%) di L2-


Intraoperatif L3 atau L3-L4

T0 (0 jam) T1 (6 jam) T2 (12 jam) T3 (18 jam) T4 (24 jam)


Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri Nyeri
(VAS) (VAS) (VAS) (VAS) (VAS)
Postoperatif Muntah Muntah Muntah Muntah Muntah
Paska Paska Paska Paska Paska
operasi Operasi operasi operasi operasi
Vital Sign Vital Sign Vital Sign Vital Sign Vital Sign

Pengolahan data

Analisis data

Laporan hasil

Gambar 3.2. Kerangka operasional


42

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL

4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik Sampel
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu Januari-Februari 2019 di
Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Universitas Sumatera
Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian deksametason
dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap kejadian nyeri mual dan muntah paska
operasi pada pasien dengan anestesi spinal.
Sampel yang diperoleh pada penelitian ini berjumlah 72 sampel yang
sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, dengan 36 sampel kelompok
perlakuan pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) dan 36 sampel
kelompok kelompok placebo (NaCl 0,9%) sebagai kelompok kontrol.
Karakteristik sampel ditampilkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik sampel

Perlakuan
Jumlah p
Karakteristik Deksametason Plasebo
value
N % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 23 51,1 22 48,9 45 62,5 0.000
Perempuan 13 48,1 14 51,9 27 37,5
Usia (mean±SD) 43.73±3.47 39.55±3.53 0.000
Jenis pembedahn
Bedah ortopedi 9 60,0 6 40,0 15 20,8
Bedah umum 4 44,4 5 55,6 9 12,5
0.200
Bedah digestif 10 55,6 8 44,4 18 25,0
Urologi 7 36,8 12 63,2 19 26,4
Ginekologi 6 54,5 5 45,5 11 15,3
ASA
1 23 41,1 33 58,9 56 80,6 0.000
2 13 81,2 3 18,8 16 19,4
Jumlah 36 100.0% 36 100.0% 72 100.0%

43

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan distribusi karakteristik sampel
berdasarkan kelompok perlakuan. Jenis kelamin, laki-laki pada kelompok
deksametason sebanyak 23 sampel (51.1%) dan pada kelompok plasebo sebanyak
22 sampel (48,9%) sedangkan jenis kelamin perempuan pada kelompok
deksametason sebanyak 13 sampel (48,1%) dan pada kelompok plasebo sebanyak
14 sampel (51,9%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p (0.000) < 0.05 yang
berarti ada perbedaan proporsi jenis kelamin antara kelompok deksametason
dengan plasebo. Usia, rerata usia pada kelompok deksametason 4.73 tahun
sedangkan pada kelompok plasebo 5.55 tahun. Dari hasil uji statistik diperoleh
nilai p (0.000) < 0.05 yang berarti ada perbedaan rerata usia antara kelompok
deksametason dengan kelompok plasebo. Selain itu
Sampel pada penelitian ini paling banyak berasal dari pasien bedah
urologi sebanyak 19 sampel (26,4%) diikuit oleh pasien bedah digestif 18 sampel
(25,0%), sedangkan sampel paling sedikit berasal dari bedah umum sebanyak 9
sampel (12,5%). Pasien pada penelitian ini paling banyak ASA 1 dimana pada
kelompok deksametason sebanyak 23 sampel (41,1%) dan pada kelompok plasebo
sebanyak 33 sampel (58,9%) sedangkan ASA 2 pada kelompok deksametason
sebanyak 13 sampel (81,2%) dan pada kelompok plasebo sebanyak 3 sampel
(18,8%). Dari hasil uji statistiK diperoleh nilai p (0.000) > 0.05 yang berarti tidak
perbedaan proporsi ASA antara kelompok deksametason dengan plasebo.

4.1.2 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T0
Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri pada T0 ditampilkan pada Table 4.2

44

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.2 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T0

Deksametason (T0) Placebo (T0)


VAS
n % n %
10 0 0 0 0
9 0 0 0 0
8 0 0 0 0
7 0 0 0 0
6 3 8.3% 0 0.0%
5 8 22.2% 6 16.7%
4 10 27.8% 15 41.7%
3 15 41.7% 15 41.7%
2 0 0 0 0
1 0 0 0 0
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan
deksametason paling banyak memiliki nilai VAS 3 sebanyak 15 sampel (41,7%)
sedangkan pada kelompok placebo paling banyak pada VAS 3 dan VAS 4 yang
masing-masing 15 sampel (41,7%) dan 15 sampel (41,7%). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T0 (0 jam) pada kelompok
perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS yang lebih rendah yaitu VAS 3,
dibandingkan kelompok placebo yang paling banyak memiliki nilai skor VAS 4.

45

Universitas Sumatera Utara


Dexametason (T0) Placebo (T0)

41.70% 41.70% 41.70%

27.80%

22.20%

16.70%

8.30%

0.00%

VAS 6 VAS 5 VAS 4 VAS 3

Gambar 4.1 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T0

4.1.3 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T1
Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri pada T1 ditampilkan pada Table 4.3
Tabel 4.3 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T1

Deksametason (T1) Placebo (T1)


VAS
n % N %
10 0 0 0 0
9 0 0 0 0
8 0 0 0 0
7 0 0 0 0
6 0 0.0% 11 30.6%
5 0 0.0% 15 41.7%
4 0 0.0% 9 25.0%
3 11 30.6% 1 2.8%
2 14 38.9% 0 0.0%
1 11 30.6% 0 0.0%

46

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Tabel 4.3 didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan
deksametason paling banyak memiliki nilai VAS 2 sebanyak 14 sampel (38,9%)
sedangkan pada kelompok placebo paling banyak pada VAS 5 sebanyak 15
sampel (41,7%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilian kejadian nyeri pada
T1 (6 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS yang
lebih rendah yaitu VAS 2, dibandingkan dengan kelompok placebo yang paling
banyak memiliki nilai skor VAS 5.

Dexametason (T1) Placebo (T1)

41.70%
38.90%

30.60% 30.60% 30.60%


25.00%

2.80%
0.00% 0.00% 0.00% 0.00% 0.00%

VAS 6 VAS 5 VAS 4 VAS 3 VAS 2 VAS 1

Gambaran 4. 2 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T1
4.1.4 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T2
Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri pada T2 ditampilkan pada Table 4.4

Tabel 4.4 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T2

Deksametason (T2) Placebo (T2)


VAS
n % N %
10 0 0 0 0
9 0 0 0 0
8 0 0 0 0
7 0 0 0 0
6 0 0 0 0
5 0 0.0% 3 8.3%

47

Universitas Sumatera Utara


4 0 0.0% 8 22.2%
3 11 30.6% 15 41.7%
2 14 38.9% 9 25.0%
1 11 30.6% 1 2.8%

Dexametason (T2) Placebo (T2)

41.70%
38.90%

30.60% 30.60%
25.00%
22.20%

8.30%
2.80%
0.00% 0.00%

VAS 5 VAS 4 VAS 3 VAS 2 VAS 1

Gambaran 4.3 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T2

Berdasarkan Tabel 4.4 didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan


deksametason paling banyak memiliki nilai VAS 2 sebanyak 14 sampel (38,9%)
sedangkan pada kelompok placebo paling banyak pada VAS 3 sebanyak 15
sampel (41,7%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilian kejadian nyeri pada
T2 (12 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS
yang lebih rendah yaitu VAS 2, dibandingkan dengan kelompok placebo yang
paling banyak memiliki nilai skor VAS 3.

4.1.5 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T3
Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri pada T3 ditampilkan pada Table 4.5

48

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.5 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T3

Deksametason (T3) Placebo (T3)


VAS
n % N %
10 0 0 0 0
9 0 0 0 0
8 0 0 0 0
7 0 0 0 0
6 0 0 0 0
5 0 0.0% 3 8.3%
4 0 0.0% 8 22.2%
3 0 0.0% 15 41.7%
2 6 16.7% 9 25.0%
1 30 83.3% 1 2.8%

Berdasarkan Tabel 4.5 didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan


deksametason paling banyak memiliki nilai VAS 1 sebanyak 30 sampel (83,3%)
sedangkan pada kelompok placebo paling banyak pada VAS 3 sebanyak 15
sampel (41,7%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilian kejadian nyeri pada
T3 (18 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS
yang lebih rendah yaitu VAS 1, sedangkan kelompok placebo paling banyak
memiliki nilai skor VAS 3.

Dexametason (T3) Placebo (T3)

83.30%

41.70%

22.20% 25.00%
16.70%
8.30%
0.00% 0.00% 0.00% 2.80%

VAS 3 VAS 2 VAS 1

Gambaran 4. 4 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T3

49

Universitas Sumatera Utara


4.1.6 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)
terhadap kejadian nyeri pada T4
Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri pada T4 ditampilkan pada Table 4.6

Tabel 4.6 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T4

Deksametason (T4) Placebo (T4)


VAS
n % N %
10 0 0 0 0
9 0 0 0 0
8 0 0 0 0
7 0 0 0 0
6 0 0 0 0
5 0 0 0 0
4 0 0 0 0
3 0 0.0% 20 55.6%
2 0 0.0% 16 44.4%
1 36 100.0% 0 0.0%

Berdasarkan Tabel 4.6 didapatkan bahwa pada kelompok perlakuan


deksametason seluruh sampel memiliki nilai VAS 1 (100,0%) sedangkan pada
kelompok placebo paling banyak pada VAS 3 sebanyak 20 sampel (55,6%).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T4(24 jam) pada
kelompok perlakuan memiliki nilai skor VAS yang lebih rendah yaitu VAS 1,
dibandingkan kelompok placebo paling banyak memiliki nilai skor VAS 3.

50

Universitas Sumatera Utara


Dexametason (T4) Placebo (T4)

100.00%

55.60%

44.40%

0.00% 0.00% 0.00%

VAS 3 VAS 2 VAS 1

Gambaran 4.5 Gambaran pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg)


terhadap kejadian nyeri pada T4

4.1.7 Perbandingan kejadian nyeri pada pemberian deksametason dan


placebo
Perbandingan kejadian nyeri pada pemberian deksametason dosis tunggal
2 ml (10 mg) pada T1, T2, T3, dan T4 ditampilkan pada Gambar 4.1

51

Universitas Sumatera Utara


Kelompok perlakuan Kelompok kontrol

VAS 5.0
4.0
3.1 3.1
3.8 2.6
2.0
2.0
1.2 1.0

T0 T1 T2 T3 T4

Gambar 4.6 Perbandingan kejadian nyeri pada pemberian deksametason dan


placebo

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa nilai VAS pada kelompok
kontrol (NaCl 0,9%) memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok perlakukan (Deksametason). Selain itu, pada kelompok kontrol
terjadi peningkatan nilai rata-rata VAS yang sedikit meningkat pada T1 (6 jam
postoperatif) dan mengalami penurunan setelah diberikan analgetik rescue
(ketorolac 30 mg) karena nilai VAS yang lebih dari 4, sehingga mengalami
penurunan pada T2 hingga T4.

4.1.8 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap


kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T0

Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap


kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T0

Tabel 4.7 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T0
Kelompok MeanSD Median Nilai p
Deksametason 4.01.0 4
0.46
Plasebo 3.70.7 4
Nilai  <0.05
52

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Tabel 4.7 didapatkan bahwa nilai rerata VAS kelompok
deksametason pada pengamatan T0 sebesar 4,0 dan kelompok plasebo sebesar 3,7.
secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna nilai VAS pada kelompok
deksametason dan plasebo pada pengamatan T0.

4.1.9 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap


kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T1
Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T1

Tabel 4.8 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T1

Kelompok MeanSD Median Nilai p


Deksametason 2.00.8 2
0.000
Plasebo 5.00.8 5
Nilai  <0.05

Berdasarkan Tabel 4.8 didapatkan bahwa nilai rerata VAS kelompok


deksametason pada pengamatan T1 sebesar 2,0 dan kelompok plasebo sebesar 5,0.
secara statistik terdapat perbedaan bermakna nilai VAS pada kelompok
deksametason dan plasebo pada pengamatan T1.

4.1.10 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap


kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T2
Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T2

Tabel 4.9 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T2

Kelompok MeanSD Median Nilai p


Deksametason 2.00.8 2
0.000
Plasebo 3.00.9 3
Nilai  <0.05

Berdasarkan Tabel 4.9 didapatkan bahwa nilai rerata VAS kelompok


deksametason pada pengamatan T2 sebesar 2,0 dan kelompok plasebo sebesar 3,0.

53

Universitas Sumatera Utara


secara statistik terdapat perbedaan bermakna nilai VAS pada kelompok
deksametason dan plasebo pada pengamatan T2.
4.1.11 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T3
Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T3

Tabel 4.10 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T3

Kelompok MeanSD Median Nilai p


Deksametason 1.11.0 1
0.000
Plasebo 3.00.9 3
Nilai  <0.05

Berdasarkan Tabel 4.7 didapatkan bahwa nilai rerata VAS kelompok


deksametason pada pengamatan T3 sebesar 1,1 dan kelompok plasebo sebesar 3,0.
secara statistik terdapat perbedaan bermakna nilai VAS pada kelompok
deksametason dan plasebo pada pengamatan T3.

4.1.12 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap


kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T4
Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T4

Tabel 4.11 Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
kejadian nyeri paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal pada T4

Kelompok MeanSD Median Nilai p


Deksametason 1.00.0 4
0.000
Plasebo 2.50.5 3
Nilai  <0.05

Berdasarkan Tabel 4.7 didapatkan bahwa nilai rerata VAS kelompok


deksametason pada pengamatan T4 sebesar 1,0 dan kelompok plasebo sebesar 2,5.
secara statistik terdapat perbedaan bermakna nilai VAS pada kelompok
deksametason dan plasebo pada pengamatan T4.

54

Universitas Sumatera Utara


4.1.13 Efek pemberian deksameason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap mual-
muntah paska operasi pada pasien dengan anaestesi spinal

Perbandingan kejadian nyeri pada pemberian deksametason dosis tunggal


2 ml (10 mg) pada T1, T2, T3, dan T4 ditampilkan pada Tabel 4.7

Tabel 4.12 Gambaran kejadian mual-muntah paska operasi pada pasien dengan
anaestesi spinal setelah efek pemberian deksameason dosis tunggal 2 ml
(10 mg)

Deksametason Plasebo
Munta Munta
PONV Tidak Munta Tidak Munta
Mual h>3 Mual h>3
Mual h 1 kali Mual h 1 kali
kali kali
N 32 4 0 0 28 5 1 2
T
11.1 77.8 13.9
1 % 88.9% 0.0% 0.0% 2.8% 5.6%
% % %
N 36 0 0 0 28 5 1 2
T
100.0 77.8 13.9
2 % 0.0% 0.0% 0.0% 2.8% 5.6%
% % %
N 36 0 0 0 28 5 1 2
T
100.0 77.8 13.9
3 % 0.0% 0.0% 0.0% 2.8% 5.6%
% % %
N 36 0 0 0 28 5 1 2
T
100.0 77.8 13.9
4 % 0.0% 0.0% 0.0% 2.8% 5.6%
% % %

Berdasarkan Tabel 4.7 bahwa PONV pada kelompok perlakuan tidak


terjadi pada 32 sampel (88,9%) pada T1, dan pada T2 kejadian PONV ditemukan
lagi. Hanya 4 sampel (11,1%) pada kelompok perlakuan yang mengalami mual.
Sedangkan pada kelompok kontrol, sampel yang tidak mengalami PONVI
sebanyak 28 sampel (77,8%), dan sisanya mengalami PONV berupa mual,
muntah 1 kali, dan muntah lebih dari 3 kali yang masing-masing sebanyak 5
sampel (13,9%), 1 sampel (2,8%) dan 2 sampel (5,6%)

55

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.13 efek pemberian deksameason dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap
mual-muntah paska operasi pada pasien dengan anaestesi spinal

PONV
Kelompok Nilai p
T1 T2 T3 T4
Mean 0.11 0.00 0.00 0.00
Deksametason 0.007*
SD 0.32 0.00 0.00 0.00
Mean 0.36 0.36 0.36 0.36
Plasebo -
SD 0.80 0.80 0.80 0.80
* Uji Friedman

Berdasarkan Tabel 4.8 didapatkan bahwa efek pemberian deksametason


dosis tunggal 2 ml (10 mg) memiliki efek terhadap kerjadian PONV dengan hasil
yang signifikan yaitu p=0,007, yang artinya memiliki hubungan yang signifikan.

56

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek pemberian deksametason


dosis tunggal 2 ml (10 mg) terhadap kejadian nyeri, mual dan muntah paska
operasi pada pasien dengan anestesi spinal. Penggunaan deksametason 10 mg iv
dapat meningkatkan kontrol nyeri dan dapat menurunkan kejadian mual-muntah
paska operasi.
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T0
(0 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS yang
lebih rendah yaitu VAS 3, dibandingkan kelompok placebo yang paling banyak
memiliki nilai skor VAS 4. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Erlangga et al (2015) bahwa pemberian deksametason 10 mg
sebagai adjuvant analgetik terhadap nyeri pascabedah menunjukkan efek yang
baik untuk mengurangi efek nyeri.55
Berdasarkan Tabel 4.3 didapatkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T1
(6 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS yang
lebih rendah yaitu VAS 2, dibandingkan dengan kelompok placebo yang paling
banyak memiliki nilai skor VAS 5.
Berdasarkan Tabel 4.4 didapatkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T2
(12 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS yang
lebih rendah yaitu VAS 2, dibandingkan dengan kelompok placebo yang paling
banyak memiliki nilai skor VAS 3. Hal ini sesuai dengan teori bahwa steroid
mengurangi rasa sakit pasca operasi dengan mengurangi peradangan pasca
operasi56. Dalam peneliian meta-analisis, skor VAS yang cendurung turun hingga
rasa nyeri menghilang secara efektif dikaitkan dengan pemberian deksametason
57,58
, dan skor VAS pada kelompok kontrol secara signifikan lebih tinggi daripada
pada kelompok deksametason. Selain itu, penelitian lain menemukan bahwa
steroid sistemik dapat meredakan rasa sakit pasca operasi secara efektif hingga 48
jam, dan faktor inflamasi serum CPR yang dikontrol dalam kelompok
58,60
deksametason selama periode penelitian . Hal ini menunjukkan rasa sakit
dengan manajemen pemberian deksametason secara signifikan terkait dengan
kontrol peradangan.
57

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Tabel 4.5 didapatkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T3
(18 jam) pada kelompok perlakuan paling banyak memiliki nilai skor VAS yang
lebih rendah yaitu VAS 1, sedangkan kelompok placebo paling banyak memiliki
nilai skor VAS 3.
Berdasarkan Tabel 4.6 didapatkan bahwa penilian kejadian nyeri pada T4
(24 jam) pada kelompok perlakuan seluruhnya memiliki nilai skor VAS yang
lebih rendah yaitu VAS 1, dibandingkan kelompok placebo paling banyak
memiliki nilai skor VAS 3. Hasil sesuai dengan penelitian meta-analisis Fan et al
(2018) bahwa deksametason menurunkan nyeri pasca operasi, kejadian PONV,
dan konsumsi opioid total secara efektif yang memainkan peran penting dalam
pemulihan cepat. Penelitian meta-analisis ini mengidentifikasi 8 studi
menunjukkan kelompok deksametason lebih superior dibandingkan kelompok
kontrol dalam menurunkan nilai VAS dan konsumsi opioid dalam 24 dan
menurunkan kejadian muntah postoperatif.61
Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa nilai VAS pada kelompok
kontrol (NaCl 0,9%) memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok perlakukan (Deksametason). Hal ini sesuai dengan literature
bahwa nyeri yang terjadi pascabedah merupakan nyeri nosiseptif yang terjadi
sebagai akibat proses inflamasi.63,64 Deksametason merupakan kortikosteroid dari
golongan glukokortikoid yang mempunyai efek anti-inflamasi yang paling kuat.
Peranan deksametason di dalam menghambat sintesis enzim siklooksigenasi 1 dan
2 akan menekan produksi prostaglandin yang berfungsi sebagai mediator
inflamasi dan nyeri sehingga terbentuklah efek analgesi.65
Berdasarkan Tabel 4.8 didapatkan bahwa efek pemberian deksametason
dosis tunggal 2 ml (10 mg) memiliki efek terhadap kerjadian PONV dengan hasil
yang signifikan yaitu p=0,007, yang artinya memiliki hubungan yang signifikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Ho et al (2011) bahwa efek pemberian
deksametason sebagai pencegahan PONV, telah menemukan hasil yang cukup
baik. Prosedur-prosedur ini termasuk kolesistektomi laparoskopi, ligasi tuba
laparoskopi, histerektomi, tiroidektomi, operasi telinga, penggantian lutut total,
tonsilektomi, dan operasi strabismus.66 Selain itu, pada pasien yang menggunakan
morfin epidural untuk analgesia pasca operasi, kejadian mual dan muntah sekitar

58

Universitas Sumatera Utara


40-60%. Beberapa penelitian telah menyelidiki efektivitas relatif deksametason
dalam mengurangi mual dan muntah yang disebabkan oleh morfin epidural.
Deksametason telah terbukti mengurangi tingkat insiden sekitar 30-40%. Selain
itu studi lain menemukan bahwa deksametason intravena 5 mg sama efektifnya
dengan 10 mg, dosis tersebut sama efektifnya dengan 1,25 mg droperidol sebagai
pengobatan mual dan muntah yang disebabkan oleh morfin epidural.66

59

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Nilai VAS pada kelompok kontrol (NaCl 0,9%) memiliki nilai rata-rata
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakukan
(Deksametason).
2. Terjadi peningkatan nilai rata-rata VAS yang sedikit meningkat pada T1 (6
jam postoperatif) kelompok kontrol dan mengalami penurunan setelah
diberikan analgetik rescue (ketorolac 30 mg) karena nilai VAS yang lebih
dari 4, sehingga mengalami penurunan pada T2 hingga T4.
3. Efek pemberian deksametason dosis tunggal 2 ml (10 mg) memiliki efek
terhadap kejadian PONV dengan hasil yang signifikan yaitu p=0,007, yang
artinya memiliki hubungan yang signifikan.

6.2 Saran
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan awal untuk dilakukan
penelitian deksametason terhadap nyeri paska operasi dan PONV dengan
sampel yang lebih besar
2. Penelitin ini diharapan dapat menjadi masukkan bagi pengambil keputusan
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan untuk memasukkan
deksametason sebagai obat adjuvan bagian dari standard operasional
pelayanan pelaksaan preoperatif

60

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

1. Unyime Ituk, Cynthia A Wong, Robert Maniker, Marianna Crowley.


Overview of Neuraxial
Anesthesia:https://www.uptodate.com/contents/overview-of-neuraxial-
anesthesia. October 2018.

2. Nicholau D. The postanesthesia care unit, Postoperative nausea and


vomiting. In: Aphel CC, editor. Miller’s Anesthesia. 8th ed. Philadelphia,
PA: Elsevier Churchill Livingstone; 2015. p. 2924‑ 2973.

3. Wu SL, Raja SN. Treatment of acute postoperative pain. Lancet 2011;


377: 2215–25.

4. Bernard P, Schimmer Keith L. Adrenocortical steroids and their synthetic


analogs. Parker in the Pharmacological Basics of Therapeutics- Goodman
& Gillman. 12th ed. Pennsylvania: McGraw-Hill Education/ Medical;
2011. p. 1649-1676.

5. Jiri Malek, Pavel Sevcik. Postoperative Pain Management. Department of


Anesthesiology and Resuscitation, Third Faculty of Medicine, Charles
University Prague and University Hospital Královské Vinohrady, Czech
Republic; 2017. p. 1-112.

6. Bernard CM. Spinal and Epidural anesthesia. In: Barash Clinical


Anaesthesia. 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
p. 905‑ 936.

7. Mohtadi A, Neisoonpur S, Salari A, Akhondzadeh R, et al. The effect of


single dose administration of deksamethasone on postoperative pain in
patients undergoing laparoscopic cholecystectomy. Anesth Pain Med
2014;4:e17872.

8. Liu K, Hsu CC, Chia YY. Effect of deksamethasone on postoperative


emesis and pain. Br J Anaesth 1998;80:85‑ 86.

61

Universitas Sumatera Utara


9. Kaan MN, Odabasi O, Gezer E, Daldal A. The effect of preoperative
deksamethasone on early oral intake, vomiting and pain after
tonsillectomy. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2006;70:73‑ 79.

10. Iris Henzi, Bernhard Walder, and Martin R. Deksamethasone for the
Prevention of Postoperative Nausea and Vomiting: A Quantitative
Systematic Review. Divisions of Anaesthesiology, and Anaesthesiological
Investigations, Department Anaesthesiology, Pharmacology, and Surgical
Intensive Care, Geneva University Hospitals, Geneva, Switzerland. Anesth
Analg 2000;90:186 –194.

11. Jeffrey R. Backes, Jared C. Bentley, Joel R. Politi, Bryan T. Chambers.


Deksamethasone Reduces Length of Hospitalization and Improves
Postoperative Pain and Nausea After Total Joint Arthroplasty A
Prospective, Randomized Controlled Trial. Elsevier The Journal of
Arthroplasty 28 Suppl. 1 (2013) 11–17.

12. Latief A. Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan Ruswan. M. Petunjuk Praktis


Anestesiologi Edisi Kedua, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penerbit : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta 2001;105-112.

13. Sudadi, Artika IGN. Komplikasi Anestesi Regional, Perhimpunan Dokter


Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia. Penerbit
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
Indonesia. Jakarta 2017;81-101.

14. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK, Stock MC. Clinical
Anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2009.

15. Covindo BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anasthesia and
analgesia. Philadhelpia: W.B Saunders Company; 2006.

16. David BB, Vaida S, Gaitini L. The Influence of Hugh Spinal Anesthesia
on Sensivity to Midazolam Sedation. Anesth Analg. 1995; 81: 525-528.
62

Universitas Sumatera Utara


17. Jung CW, Bahk JK, Lee JH, Lim YJ. The Tenth Rib as a New Landmark
of The Lumbar Vertebral Level during Spinal Block. Anesthesia. 2004;
59: page 359-363.

18. Miler RD. Miller’s Ansthesia. 7th ed. Philadelphia: Churcill Livingstone;
2010.

19. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan and Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. McGraw Hill Company; 2013.

20. Gaol Lumban Hasiana, Pryambodho. Manajemen Nyeri. Kapita Selekta


Kedokteran Edisi ke-4. Media Aesculapius. Jakarta 2014; 544-550.

21. the WSCCG Medicines Management Team and West Suffolk Pain
Services. Pain Ladder-Acute Pain. Version 1 November 2017. Review
Date November 2019.

22. Grisell Vargas-Schaffer. Is the WHO analgesic ladder still valid? Twenty-
four years of experience. Canadian Family Physician June
2010, 56 (6) 514-517.

23. the WSCCG Medicines Management Team and West Suffolk Pain
Services. Pain Ladder-Acute Pain. Version 1 November 2017. Review
Date November 2019.

24. Apfel CC, Läärä E, Koivuranta M, Greim CA, Roewer N. A simplified


risk score for predicting postoperative nausea and vomiting: conclusions
from cross-validations between two centers. Anesthesiology 1999;91:693–
700.

25. Koivuranta M, Läärä E, Snåre L, Alahuhta S. A survey of postoperative


nausea and vomiting. Anaesthesia 1997;52:443–449.

26. Sinclair DR, Chung F, Mezei G. Can postoperative nausea and vomiting
be predicted? Anesthesiology 1999;91:109–118.

63

Universitas Sumatera Utara


27. Mark Alexander-Williams, Tom Durcan, Alison Bloor, Sayra Khatun,
Lynne Mustard. Clinical Guideline Acute Pain Management-Post
Operative Nausea and Vomiting Integrated Pain Management Service–
IPMS. Mid Essex Hospital Services. 2018;p 1-11.

28. Apfel CC, Philip BK, Cakmakkaya OS, Shilling A, Shi YY, Leslie JB,
Allard M, Turan A, Windle P, Odom-Forren J, Hooper VD, Radke OC,
Ruiz J, Kovac A. Who is at risk for postdischarge nausea and vomiting
after ambulatory surgery? Anesthesiology 2012;117:475–486.

29. Apfel CC, Heidrich FM, Jukar-Rao S, Jalota L, Hornuss C, Whelan RP,
Zhang K, Cakmakkaya OS. Evidence-based analysis of risk factors for
postoperative nausea and vomiting. Br J Anaesth 2012;109:742–753.

30. Tong J. Gan, Pierre Diemunsch, Ashraf S. Habib, Anthony Kovac, Peter
Kranke, Tricia A, et al. Consensus Guidelines for the Management of
Postoperative Nausea and Vomiting. Society for Ambulatory
Anesthesiology. Anesth Analg 2014;118:85–113.

31. Smith JP, King JT, Gershun NI. Alleviation of pain and prevention of
infection after tonsillectomy: a controlled clinical study of a novel
injectable combination. Transactions of the American Academy of
Ophthalmologic Otolaryngology 1964; 66; 65–69.

32. Papangelou L. Steroid therapy in tonsillectomy. Laryngoscope 1972; 82:


297–302.

33. Holte K, Kehlet H: Perioperative single-dose glucocorticoid


administration: pathophysiologic effects and clinical implications. J Am
Coll Surg 2002, 195:694-712.

34. Apfel CC, Korttila K, Abdalla M, Kerger H, Turan A, Vedder I, Zernak C,


Danner K, Jokela R, Pocock SJ, Trenkler S, Kredel M, Biedler A, Sessler
DI, Roewer N; IMPACT Investigators. A factorial trial of six interventions
for the prevention of postoperative nausea and vomiting. N Engl J Med
2004;350:2441–2451.
64

Universitas Sumatera Utara


35. Henzi I, Walder B, Tramèr MR. Deksamethasone for the prevention of
postoperative nausea and vomiting: a quantitative systematic review.
Anesth Analg 2000;90:186–194.

36. Wang JJ, Ho ST, Lee SC, Liu YC, Ho CM. The use of deksamethasone for
preventing postoperative nausea and vomiting in females undergoing
thyroidectomy: a dose-ranging study. Anesth Analg 2000;91:1404–1407.

37. Arslan M, Cicek R, Kalender HT, Yilmaz H. Preventing postoperative


nausea and vomiting after laparoscopic cholecystectomy: a prospective,
randomized, double-blind study. Curr Ther Res Clin Exp 2011;72:1–12.

38. Arslan M, Demir ME. Prevention of postoperative nausea and vomiting


with a small dose of propofol combined with deksamethasone 4 mg or
deksamethasone 8 mg in patients undergoing middle ear surgery: a
prospective, randomized, double-blind study. Bratisl Lek Listy
2011;112:332–336.

39. Feroci F, Rettori M, Borrelli A, Lenzi E, Ottaviano A, Scatizzi M.


Deksamethasone prophylaxis before thyroidectomy to reduce
postoperative nausea, pain, and vocal dysfunction: a randomized clinical
controlled trial. Head Neck 2011;33:840–846.

40. Bilgin TE, Birbicer H, Ozer Z, Doruk N, Tok E, Oral U. A comparative


study of the antiemetic efficacy of deksamethasone, ondansetron, and
metoclopramide in patients undergoing gynecological surgery. Med Sci
Monit 2010;16:CR336–341.

41. Chaparro LE, Gallo T, Gonzalez NJ, Rivera MF, Peng PW. Effectiveness
of combined haloperidol and deksamethasone versus deksamethasone only
for postoperative nausea and vomiting in high-risk day surgery patients: a
randomized blinded trial. Eur J Anaesthesiol 2010;27:192–195.

42. Murphy GS, Szokol JW, Greenberg SB, Avram MJ, Vender JS, Nisman
M, Vaughn J. Preoperative deksamethasone enhances quality of recovery

65

Universitas Sumatera Utara


after laparoscopic cholecystectomy: effect on in-hospital and
postdischarge recovery outcomes. Anesthesiology 2011;114:882–890.

43. De Oliveira GS Jr, Ahmad S, Fitzgerald PC, Marcus RJ, Altman CS,
Panjwani AS, McCarthy RJ. Dose ranging study on the effect of
preoperative deksamethasone on postoperative quality of recovery and
opioid consumption after ambulatory gynaecological surgery. Br J
Anaesth 2011;107:362–371.

44. De Oliveira GS Jr, Almeida MD, Benzon HT, McCarthy RJ. Perioperative
single dose systemic deksamethasone for postoperative pain: a meta-
analysis of randomized controlled trials. Anesthesiology 2011;115:575–
588.

45. Waldron NH, Jones CA, Gan TJ, Allen TK, Habib AS. Impact of
perioperative deksamethasone on postoperative analgesia and side-effects:
systematic review and meta-analysis. Br J Anaesth 2013;110:191–200.

46. Ali Khan S, McDonagh DL, Gan TJ. Wound complications with
deksamethasone for postoperative nausea and vomiting prophylaxis: a
moot point? Anesth Analg 2013;116:966–968.

47. Tramèr MR. A rational approach to the control of postoperative nausea


and vomiting: evidence from systematic reviews. Part I. Efficacy and harm
of antiemetic interventions, and methodological issues. Acta Anaesthesiol
Scand 2001;45:4–13.

48. Makhdoom NK, Farid MF. Prophylactic antiemetic effects of midazolam,


deksamethasone, and its combination after middle ear surgery. Saudi Med
J 2009;30:504–508.

49. Yeo J, Jung J, Ryu T, Jeon YH, Kim S, Baek W. Antiemetic efficacy of
deksamethasone combined with midazolam after middle ear surgery.
Otolaryngol Head Neck Surg 2009;141:684–688.

66

Universitas Sumatera Utara


50. Banihashem N, Hassannasab B, Naziri F, Rahimifar AR, Hosseini V,
Shirkhani Z. Comparison of the prophylactic effect of ondansetron and
deksamethasone on postoperative nausea and vomiting after intrathecal
meperidine in women scheduled for elective cesarean section. JBUMS
2011;13:30–33.

51. Bano F, Zafar S, Aftab S, Haider S. Deksamethasone plus ondansetron for


prevention of postoperative nausea and vomiting in patients undergoing
laparoscopic cholecystectomy: a comparison with deksamethasone alone. J
Coll Physicians Surg Pak 2008;18:265–269.

52. Gan TJ, Coop A, Philip BK. A randomized, double-blind study of


granisetron plus deksamethasone versus ondansetron plus deksamethasone
to prevent postoperative nausea and vomiting in patients undergoing
abdominal hysterectomy. Anesth Analg 2005;101:1323–1329.

53. Leksowski K, Peryga P, Szyca R. Ondansetron, metoclopramid,


deksamethason, and their combinations compared for the prevention of
postoperative nausea and vomiting in patients undergoing laparoscopic
cholecystectomy: a prospective randomized study. Surg Endosc
2006;20:878–882.

54. Antonetti M, Kirton O, Bui P, Ademi A, Staff I, Hudson-Civetta JA, Lilly


R. The effects of preoperative rofecoxib, metoclopramide,
deksamethasone, and ondansetron on postoperative pain and nausea in
patients undergoing elective laparoscopic cholecystectomy. Surg Endosc
2007;21:1855–1861.

55. Kim MS, Coté CJ, Cr istoloveanu C, Roth AG, Vornov P, Jennings MA,
Maddalozzo JP, Sullivan C. There is no doseescalation response to
deksamethasone (0.0625-1.0 mg/kg) in pediatric tonsillectomy or
adenotonsillectomy patients for preventing vomiting, reducing pain,
shortening time to first liquid intake, or the incidence of voice change.

56.Erlangga ME, Sitanggang RH, Bisri T. Perbandingan Pemberian

67

Universitas Sumatera Utara


Deksametason 10 mg dengan 15 mg Intravena sebagai Adjuvan Analgetik
terhadap Skala Nyeri Pascabedah pada Pasien yang Dilakukan Radikal
Mastektomi Termodifikasi. 2Jurnal Anestesi Perioper. 2015;3(3):146–54.
57. Kerr DR, Kohan L. Local infiltration analgesia: a technique for the
control of acute postoperative pain following knee and hip surgery: A case
study of 325 patients. Acta Orthop [Internet]. 2008 Jan 8 [cited 2019 Mar
10];79(2):174–83. Available
from: http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17453670710014950
58. Wang C-J, Long F-Y, Yang L-Q, Shen Y-J, Guo F, Huang T-F, et al.
Efficacy of perineural deksamethasone with ropivacaine in adductor canal
block for post-operative analgesia in patients undergoing total knee
arthroplasty: A randomized controlled trial. Exp Ther Med [Internet]. 2017
Oct 1 [cited 2019 Mar 10];14(4):3942–6. Available from:
https://www.spandidos-publications.com/10.3892/etm.2017.4974
59. Backes JR, Bentley JC, Politi JR, Chambers BT. Deksamethasone
Reduces Length of Hospitalization and Improves Postoperative Pain and
Nausea After Total Joint Arthroplasty: A Prospective, Randomized
Controlled Trial. J Arthroplasty [Internet]. 2013 Sep 1 [cited 2019 Mar
10];28(8):11–7.Available
from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0883540313005007
60. Ikeuchi M, Kamimoto Y, Izumi M, Fukunaga K, Aso K, Sugimura N, et
al. Effects of deksamethasone on local infiltration analgesia in total knee
arthroplasty: a randomized controlled trial. Knee Surgery, Sport Traumatol
Arthrosc [Internet]. 2014 Jul 11 [cited 2019 Mar 10];22(7):1638–43.
Available from: http://link.springer.com/10.1007/s00167-013-2367-5
61. Fan Z, Ma J, Kuang M, Zhang L, Han B, Yang B, et al. The efficacy of
deksamethasone reducing postoperative pain and emesis after total knee
arthroplasty: A systematic review and meta-analysis. Int J Surg [Internet].
2018 Apr 1 [cited 2019 Mar 10];52:149–55. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1743919118305739
62. Salerno A, Hermann R. Efficacy and Safety of Steroid Use for

68

Universitas Sumatera Utara


Postoperative Pain Relief. J Bone Jt Surg [Internet]. 2006 Jun [cited 2019
Mar 10];88(6):1361–72.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16757774
63. Hancı V, Yurtlu BS, Domi R, Shibata Y, Eyigör C. Acute Postoperative
Pain Control. Pain Res Manag [Internet]. 2017 [cited 2019 Mar
10];2017:7831014.Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28684926
64. Vyvey M. Steroids as pain relief adjuvants. Can Fam Physician [Internet].
2010 Dec [cited 2019 Mar 10];56(12):1295–7, e415. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21156893
65. Ho C-M, Wu H-L, Ho S-T, Wang J-J. Deksamethasone prevents
postoperative nausea and vomiting: Benefit versus risk. Acta Anaesthesiol
Taiwanica [Internet]. 2011 Sep [cited 2019 Mar 10];49(3):100–4.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21982171

69

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : dr. Andri Boy

NIM : 127114010

Tempat / Tgl Lahir : Labuhan Deli,31 Januari 1979

Agama : Islam

Alamat Rumah : Jl.Karya Bakti,Perumahan Bakti Residen No.5 Medan


Johor.

Nama Ayah : H.Amiruddin Tanjung (alm)

Nama Ibu : Hj.Azliar Akbar (alm)

Status : Menikah

Nama Istri : dr.Jarmilah Elmaco Sp.PD

Riwayat Pendidikan

1984-1990 : SDN Labuhan Deli-Medan

1990-1993 : SMPN Labuhan Deli-Medan

1993-1996 : SMUN Labuhan Deli-Medan

1996-2003 : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara

2013-sekarang : PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Riwayat Pekerjaan

2003-2006 : Dokter PTT Puskesmas Pariaman Sumatera Barat

2006-2007 : Dokter Tim Kesehatah Haji Indonesia (TKHI)

70

Universitas Sumatera Utara


2007-2008 : Dokter PNS Puskesmas Nareh Pariaman Sumatera Barat

2008-2013 : Dokter PNS RSUD Ahmad Muchtar Bukit Tinggi

71

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

JADWAL PERTAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN

Agenda November Desember Januari Februari


2018 2018 2019 2019 –
Maret 2019
Bimbingan
Proposal
Seminar
Proposal
Perbaikan
Proposal
Komisi Etika
FK USU
Pengumpulan
data
Pengolahan &
Analisis data
Seminar Akhir
Penelitian

72

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

Assalamualaikum Wr. Wb.,


Salam sejahtera,
Bapak/Ibu/Saudara/i Yth,

Saya dr. Andri boy, Saat ini sedang menjalani program pendidikan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara dan sedang melakukan penelitian yang berjudul;

“EFEK PEMBERIAN DEKSAMETASON DOSIS TUNGGAL

TERHADAP NYERI DAN MUAL-MUNTAH PASKA OPERASI

PADA PASIEN DENGAN ANESTESI SPINAL”

Penelitian ini bertujua untuk mendapatkan pilihan obat yang efektif untuk
mengetahuin efek pemberian deksametason dosis tunggal terhadap kejadian nyeri,
mual-muntah pasca operasi. Pada pasien dengan Anestesi Spinal.

Bapak/Ibu/Saudara/i Yth,

Penelitian ini menyagkut pelayanan pembiusan untuk penanganan nyeri dan mual-
muntah paska operasi pada pasien dengan anestesi spinal. Yang di maksudk
dengan penanganan nyeri dan mual-muntah paska operasi adalah pasien
mendapatkan obat suntikan setelah pembiusan Anestesi Spinal sehingga
diharapkan pasien tidak merasa nyeri pada bekas luka operasi dan tidak
merasakan mual-muntah.

Yang akan saya nilai adalah kondisi keadaan pasien setelah operasi terutama
mengenai nyeri luka bekas operasi dan mual-muntah. Perlu diketauhi bahwa nyeri

73

Universitas Sumatera Utara


dan mual muntah merupakan resiko umum yang timbul setelah proses operasi
dengan Anestesi Spinal

Nyeri dan mual muntah yang muncul ini akan saya perhatikan selama 24 jam
setelah operasi dengan waktu pemantauan jam ke 0, jam ke 6, jam ke 12, jam ke
18, jam ke 24 setelah pemberian obat. Apabila nyeri dan mual-muntah paska
operasi bersifat menganggu, tidak nyaman dan tidak tertahankan, maka peneliti
akan memberikan dan melakukan penanganan standar yang sesuai dengan
prosedur yang sudah diterima secara luas terhadap penanganan nyeri dan mual-
muntah.

Bapak/ibu/Saudara/i sekalian akan diambil sebagai subjek/pelaku penelitian ini,


berdasarkan kriteria yang sudah di sepakati sebelumnya. Bila anda setuju untuk
diikut sertakan dalam penelitian ini, maka saya sangat mengharapkan kerja sama
yang baik dan berkenan untuk menandatangani surat persetujuan ini. Namun
apabila anda tidak bersedia, kami akan tetap memberikan pelayanan sebagaimana
mestinya.

Untuk lebih jelasnya, pada saat turut serta sebagai sukarelawan pada penelitian
ini, Bapak/ibu/Saudara/i akan menjalani prosedur sebagai berikut:

1. Sukarelawan adalah pasien yang akan menjalani pembedahan


elektif dengan pembiusan spinal di Instalasi Bedah Pusat Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dan Rumah Sakit Jejaring
2. sebelum pelaksanaan pembedahan, sukarelawan di puasakan
selama 8 jam
3. Pagi harinya sukarelawan dibawa keruang tunggu kamar operasi
dan di pastikan infus terpasang lancar. Kemudian pasien di acak
dan bagi menjadi 2 kelompok
4. Semua pasien menerima terapi hidrasi 1000 cc RL diikuti anestesi
spinal bupivacaine hiperbarik 0.5% pada L2-L3 atau L3-L4 posisi
duduk atau lateral

74

Universitas Sumatera Utara


5. Kelompok A menerima 2m Deksametason iv dan kelompok B
menerima 2 ml normal saline (0.9%) berddasarkan proses
randomisasi
6. Setelah pembiusan selesai pasien akan di pindahkan ke ruang
Recovery Room dan di pindahkan ke ruangan
7. Semua sukarelawan di follow up hingga 24 jam paska operasi.
Dilakukan pengukuran dan pencatatan mean arterial pressure
(MAP), denyut jantung, frekuensi nafas, tingkat nyeri dan mual-
muntah pada jam ke 0, jam ke 6, jam ke 12, jam ke 18, jam ke 24.

Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang


berbahaya bagi Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian, namun apa bila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan
yang di lakukan selama penelitian berlangsung. Maka Bapak/Ibu/Saudara/i dapat
menghubungi dr. Andri Boy (081374834846) untuk mendapatkan pertolongan.
Selain dari itu, penelitian ini juga diawasi konsultan-konsultan di bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Sehingga bilang terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan peneliti dapat berkonsultasi dalam hal penanganan kejadian tersebut.

Kerjasama Bapak/ibu/Saudara/i sangat diharapkan dalam penelitian ini


(±1hari). Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut penelitian ini,
setiap saaat dapat ditanyakan pada peneliti dr. Andri Boy.

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,


diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah terpilih sebagai sukarelawan pada
penelitian ini, dapat mengisi lembaran persetujuan turut serta dalam penelitian
yang telah di siapkan

Medan,...................... 2018

75

Universitas Sumatera Utara


(dr. Andri Boy)

RM.2.11/IC.SPenelitian/2
Lampiran 4 0...
NRM :
Nama :
JenisKelamian :
Tgl. Lahir :

RSUP H. Adam Malik- FK USU

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti Utama : dr. Andri Boy

Pemberi Informasi : dr. Andri Boy

Penerima Informasi :

Nama Subyek :

Tanggal Lahir (umur) :

Jenis Kelamin :

Alamat :

No. Telp (Hp) :


JENIS INFORMASI ISI INFORMASI TANDAI
(diisi dengan bahasa yang dimengerti oleh
masyarakat awam)
1 Judul Penelitian EFEK PEMBERIAN DEKSAMETASON
DOSIS TUNGGAL TERHADAP NYERI
DAN MUAL-MUNTAH PASKA
OPERASI PADA PASIEN DENGAN
ANESTESI SPINAL
2 Tujuan penelitian Untuk menilai efek deksametason dosis
tunggal terhadap efek nyeri dan mual
muntah pada pasien anestesi spinal
3 Cara & Prosedur a. Penelitian dimulai setelah syarat-
Penelitian syarat administrasi terpenuhi
b. Suntikan diberikan di kamar operasi,
di jelaskan kepada pasien mengenai
skala nyeri yang akan dinilai.
Dengan tingkatan 0-3, 0 berarti tidak
76

Universitas Sumatera Utara


ada rasa nyeri, skor 1-3 berarti nyeri
ringan, 4-6 berarti nyeri sedang, 7-10
nyeri berat
c. Pasien dipuasakan dan sudah
terpasang infus ukuran 18G serta
dilakukan penambahan cairan
d. Pasien kemudian dibagi secara acak
kedalam2 kelompok dilakukan
dengan tabel acak dipilih secara acak
e. Setelah di tentukan kelompok A atau
kelompok B dilakukan tindakan
pembiusan tulang belakang, setelah
dilakukan pembiusan tulang
belakang kelompok A diberi obat
deksametason 10 mg/2ml dan
selanjutnya kelompok B diberi
larutan normosaline 2ml
f. Data dan tanda khusus pasien dan
skala nyeri serta mual muntah di
catat untuk kemudian di analisis
secara statistik
Jumlah Subyek 72
4
5 Waktu Penelitian 2 bulan

6 Manfaat Manfaat penelitian ini diharapkan dapat


penelitian memberikan informasi tentang efek
termasuk manfaat deksametason dalam mengurangi nyeri dan
bagi subyek mual muntah
7 Risiko & efek Pada umumnya, penelitian ini tidak akan
samping dalam menimbulkan efek samping yang berbahaya
penelitian bagi Bapak/Ibu/saudara/saudari
8 Ketidak Sedikit menimbulkan rasa mual
nyamanan subyek
penelitian
9 Perlindungan Semua pasien yang terlibat dalam penelitian
Subjek Rentan ini dijamin haknya sebagaimana mestinya
dan pasien berhak mengundurkan diri, tanpa
mengurangi pelayanan terhadap dirinya
10 Kompensasi bila Bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
terjadi efek selama penelitian berlangsung, yang
samping disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan
pada penelitian ini, dapat menghubungi
Saya, dr. Andri Boy (telp : 081374834846).
Seluruh biaya yang timbul untuk penelitian
ini serta akibat yang muncul dari penelitian
ini, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Pembimbing Penelitian dan Saya sendiri
77

Universitas Sumatera Utara


sebagai peneliti. Penelitian akan diawasi
dan disupervisi oleh dokter ahli di bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
11 Alternatif Karena tidak menimbulkan efek samping
Penanganan bila yang berat maka tidak ada penanganan lebih
ada lanjut
Inisial Subyek : …………

JENIS ISI INFORMASI TANDAI


INFORMASI (diisi dengan bahasa yang dimengerti oleh
masyarakat awam)
12 Penjagaan Seluruh data bapak/ibu akan dirahasiakan
kerahasiaan Data terhadap hasil penelitian ini. Data yang
kami ambil merupakan hasil penelitian
kami dan variable penelitian yang terkait
13 Biaya Yang Seluruh biaya yang berkaitan dengan
ditanggung oleh prosedur normal akan ditanggung oleh
subyek peneliti
14 Insentif bagi -
subyek

15 Nama & alamat dr. Andri Boy


peneliti serta jl. Karya bakti bakti residen no 5 medan
nomor telepon johor
yang bisa 081374834846
dihubungi
(bila diperlukan dapat ditambahkan gambar prosedur dan alur prosedur)

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman I dan 2 mengenai penelitian yang


akan dilakukan oleh :dr. Andri Boy dengan judul : EFEK PEMBERIAN
DEKSAMETASON DOSS TUNGGAL TERHADAP NYERI DAN MUAL-
MUNTAH PASKA OPERASI PADA PASIEN DENGAN ANESTESI SPINAL.
informasi tersebut sudah saya pahami dengan baik.

Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam


penelitian di atas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila
suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak
membatalkan persetujuan ini.

78

Universitas Sumatera Utara


---------------------------------------------- ------------------
-------------------------
Nama dan Tanda Tangan Subyek Tanggal

----------------------------------------------
Nama dan Tanda Tangan saksi/wali

----------------------------------------------
Nama dan Tanda Tangan Peneliti

Ket : Tanda Tangan saksi/wali diperlukan bila subyek tidak bisa baca tulis, penurunan
kesadaran, mengalami gangguan jiwa dan berusia dibawah 18 tahun.
Inisial subyek

79

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI PASIEN

Identitas Pasien

No, Sampel :
…………………………………………………………………

Kelompok :
…………………………………………………………………

Nama :
…………………………………………………………………

No. RM :
…………………………………………………………………

Umur :
…………………………………………………………………

Jenis Kelamin :
…………………………………………………………………

Alamat :
…………………………………………………………………

Pendidikan :
…………………………………………………………………

Suku/Agama :
…………………………………………………………………

Berat Badan : ………kg Tinggi Badan :………cm

Diagnosa :………………………………………….

Tindakan :………………………………………….

PS ASA : I / II

80

Universitas Sumatera Utara


Jenis Anestesi : Anestesi Spinal

Mulai Anestesi : …………………… Selesai Anestesi


:………………………

Mulai Operasi : …………………… Selesai Operasi


:………………………

Pemberian Obat Penelitian :


…………………………………………………………………

Masuk PACU : …………………… Keluar :………………………

Keadaan Pre Operasi

Tekanan darah : mmHG Laju Nadi : x/i

Laju Nafas : x/I Nilai VAS :

Keadaan Pasien

Penilaian Waktu V TD HR RR Rescue Mual- Ponv


A Analgetik Muntah Score
S

Jam ke 0
(T0)

Jam ke 6
(T1)

Jam ke 12
(T2)

Jam ke 18

81

Universitas Sumatera Utara


(T3)

Jam ke 24
(T4)

82

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6

ANGGARAN PENELITIAN

Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian

No Uraian Kegiatan Biaya


01. Fase persiapan :
a. Pengadaan literatur Rp. 500.000
b. Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp. 2.000.000
02. Seminar Proposal Rp. 1.000.000
03. Fase Pengumpulan Data :
a. Deksametason 2 ml (10 mg)
Rp. 4.000/@ x 36 subjek Rp. 144.000
b. Spuit 3 cc
Rp. 5.000/@ x 72 subjek (2 grup) Rp. 360.000
c. Normal Saline 25cc (0.9%)
Rp. 10.000/@ x 50 Rp.
500.000
04. Penulisan laporan Rp. 800.000
05. Seminar penelitian Rp. 2.000.000
06. Penggandaan tulisan Rp. 2.000.000
07. Ethical clearance Rp. 1.000.000
08. Biaya tak terduga Rp. 1.000.000

Total biaya Rp. 11.304.000

83

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7

TABEL RANDOMISASI SAMPEL

NOMOR SEKUENS
00 – 04 AAABBB
05 – 09 AABABB
10 – 14 AABBAB
15 - 19 AABBBA
20 - 24 ABAABB
25 - 29 ABABAB
30 - 34 ABABBA
35 - 39 ABBAAB
40 - 44 ABBAAB
45 - 49 ABBBAA
50 - 54 BAAABB
55 - 59 BAABAB
60 - 64 BAABBA
65 - 69 BABAAB
70 - 74 BABABA
75 - 79 BABBAA
80 - 84 BBAAAB
85 - 89 BBAABA
90 - 94 BBABAA
95 - 99 BBBAAA

Kelompok A : Deksametason 2ml(10mg) Intravena

84
Kelompok B : Normal Saline 0.9% 2ml Intravena

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 8

85

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai