Anda di halaman 1dari 80

PERBANDINGAN EFEK PENCEGAHAN MENGGIGIL

TRAMADOL 0,5 MG/KGBB DAN KETAMIN 0,25


MG/KGBB PADA ANESTESI SPINAL

Oleh:

dr. R. Andika Dwi Cahyadi

Pembimbing :
dr. Akhyar Hamonangan Nasution, Sp. An, KAKV
dr. Asmin Lubis, DAF, Sp. An, KAP, KMN

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, saya memanjatkan puji syukur serta doa saya
sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah
memberikan kepada saya akal budi, hikmat dan pemikiran sehingga saya dapat
menyelesaikan tesis penelitian sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
pendidikan Spesialis dalam bidang Ilmu Anestesiologi danTerapi Intensif di Fakultas
kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis / hasil penelitian ini masih
banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun
demikian, saya berharap dan besar keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat
memberi manfaat dan menambah khasanah serta perbendaharaan dalam penelitian di
bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang “Perbandingan Efek
Pencegahan Menggigil Tramadol 0,5 mg/Kgbb Dan Ketamin 0,25 mg/Kgbb Pada
Anestesi Spinal”
Dengan penulisan tesis/ hasil penelitian ini, maka pada kesempatan ini pula
dengan diiringi rasa tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terimakasih kepada
kedua orang tua saya T. Syawaluddin SH, MM. dan Sutrisni yang tidak bosan – bosan
mendoakan dan mendukung saya sejak kecil hingga sekarang. Dan juga ucapan
terimakasih dan penghargaan kepada yang terhormat: dr. Akhyar H. Nst,
Sp.An.KAKV dan dr.Asmin Lubis DAF, Sp.An. KAP KMN atas kesediaannya
sebagai pembimbing penelitian saya ini, yang walaupun di tengah kesibukannya
masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta kesabaran,
memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya
dalam menyelesaikan tulisan ini. Tidak lupa ucapan terimakasih saya berikan kepada
Dr. dr. Isti Ismiati F. M. Sc. CM. M.Pd. Ked. sebagai pembimbing statistik yang juga
telah banyak meluangkan waktu dan kesibukannya untuk berdiskusi menganai
statistik penelitian ini.
Dan dengan berakhirnya pula masa pendidikan saya di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang berbahagia ini
perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar –
besarnya kepada:
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dr. dr.

Universitas Sumatera Utara


Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya
untuk mengikuti program pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
USU / RSUP H. Adam Malik Medan, dr. Akhyar H. Nasution, Sp. An, KAKV dan
Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp. An. KIC. KAO sebagai Ketua Program Studi
Anestesiologi dan Terapi Intensif, Dr. dr. Rodhiah Rahmawaty Lubis, M. Ked (Oph)
Sp. M (K) sebagai Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinis, dr. Tasrif
Hamdi, M.Ked (An), Sp. An sebagai Plt. Sekretaris Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif, dr. Cut Meliza Zainumi, M. Ked (An), Sp. An sebagai Plt. Sekretaris
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif, dan Dr. M. dr. Rhiza Z. Tala, M.
Ked (OG), Sp. OG (K) sebagai Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Klinis
terimakasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya
kepada saya dalam mengikuti pendidikan Magister Kedokteran Klinis di bidang
Anestesiologi dan Terapi Intensif hingga selesai.
Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution,
Sp. An. KIC; Alm. dr. Chairul M. Mursin, Sp. An, KAO; Prof. dr. Achsanuddin
Hanafie, Sp. An. KIC. KAO; dr. Akhyar H. Nasution, Sp. An. KAKV; dr. Asmin
Lubis, DAF, Sp. An. KAP.KMN; dr. Qodri F. Tanjung, Sp. An. KAKV; dr. Hasanul
Arifin Sp. An. KAP. KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar, Sp. An. KNA; dr. Ade Veronica
HY, Sp. An. KIC; dr. Yutu Solihat, Sp. An. KAKV; dr. Soejat Harto, Sp. An. KAP;
dr. Syamsul Bahri Siregar, Sp. An; dr Tumbur, Sp. An; dr. Walman Sitohang, Sp.
An; dr. Tjahaya, Sp. An; Dr. dr. Dadik W. Wijaya, Sp. An; dr. M. Ihsan, Sp. An.
KMN; dr. Guido M. Solihin, Sp. An. KAKV; dr. Andriamuri P. Lubis, M. Ked (An),
Sp. An; dr. Ade Winata, Sp. An, KIC; dr. Rommy F Nadeak, Sp. An, KIC; dr. Rr.
Sinta Irina, Sp. An; dr. Fadli Armi Lubis, M. Ked (An), Sp. An; dr. Raka Jati P. M.
Ked (An) Sp. An; dr. Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An; dr. Wulan Fadine M.
Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafiz Hasbi M.Ked (An) Sp.An; dr. Tasrif Hamdi M. Ked
(An) Sp.An, dr. Luwih Bisono, Sp. An, KAR, saya ucapkan terima kasih atas segala
ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini dalam bidang ilmu pengetahuan di
bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa
percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang

Universitas Sumatera Utara


keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi
saya di kemudian hari.
Yang terhormat Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur
RSUD dr. Pirngadi Medan, Karumkit TK II Putri Hijau Medan,Direktur yang telah
mengizinkan dan memberikan bimbingan serta kesempatan kepada saya untuk belajar
menambah ketrampilan dan dapat menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang
beliau pimpin, tak lupa saya haturkan terimakasih.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada ibu saya Andjas Ismuwardhani yang
telah bersedia meluangkan waktu, perasaan dan tenaga untuk mendukung dan
mendoakan selama masa pendidikan saya dimulai hingga saat ini.
Yang tercinta teman – teman sejawat peserta pendidikan keahlian
Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Riandika Putra Ritonga, dr. Faisal Borneo, dr.
Prastia, dr. T. Fadil Azman, dan dr. Galdy Wafie yang telah bersama-sama baik duka
maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat dengan
harapan teman – teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
Kepada seluruh teman – teman, rekan – rekan dan kerabat, handaitaulan,
keluarga besar, pasien – pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu
yang senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil kepada saya
selama menjalani pendidikan, dari lubuk hati saya yang terdalam saya ucapkan
terimakasih.
Kepada paramedis dan karyawan Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, RS USU, RSUD Pirngadi Medan,
dan Rumkit Tk II Putri Hijau yang telah banyak membantu dan bekerjasama selama
saya menjalani pendidikan dan penelitian ini saya juga ucapkan terima kasih.
Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini
memohon maaf atas segala kekurangan saya selama mengikuti masa pendidikan di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang saya cintai.

Universitas Sumatera Utara


Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan
kerjasama yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya
mendapat berkah serta balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Medan, April 2019
Penulis

(dr. R. Andika Dwi Cahyadi)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vi
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................ viii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ............................................................................. 3
1.3 HIPOTESA .................................................................................................. 4
1.4 TUJUAN PENELITIAN ............................................................................. 4
1.4.1 TujuanUmum..................................................................................... 4
1.4.2 TujuanKhusus .................................................................................... 4
1.5 MANFAAT PENELITIAN.............................................................. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5


2.1 Ketamin .............................................................................................. 5
2.1.1 Struktur Kimia .......................................................................... 5
2.1.2 Hubungan Struktur Kimia ........................................................ 5
2.1.3 Farmakokinetik.......................................................................... 6
2.1.4 Mekanisme Kerja ...................................................................... 6
2.1.5 Efek Ketamin Pada Berbagai Organ ......................................... 7
2.1.5.1 EfekPadaSistemSarafPusat.................................................... 7
2.1.5.2 Efek Pada Sistem Kardiovaskular ................................. 7
2.1.5.3 Efek Pada Sistem Pernafasan ........................................ 8
2.1.5.4 Efek Pada Kejadian Menggigil ..................................... 8
2.2 Tramadol ............................................................................................ 8
2.2.1 Farmakokinetik.......................................................................... 9
2.2.2 Farmakodinamik........................................................................ 10
2.2.3 Efek Samping Obat ................................................................... 10
2.2.4 Interaksi Obat ............................................................................ 10

Universitas Sumatera Utara


2.2.5 Tramadol Sebagai Anti Menggigil ............................................ 11
2.3 SpinalAnestesi .................................................................................... 11
2.3.1 Indikasi Spinal Anestesi ............................................................ 12
2.3.2 KontraIndikasi Absolut ............................................................. 12
2.3.3 Kontra Indikasi Relatif .............................................................. 13
2.3.4 Anatomi ..................................................................................... 13
2.3.5 Teknik Spinal Anestesi.............................................................. 13
2.3.6 Komplikasi/Masalah Anestesi Spinal........................................ 14
2.4 PAS (Post Anesthetic Shivering) ....................................................... 17
2.4.1 Fisiologis ................................................................................... 18
2.4.2 Patofisiologis ............................................................................. 19
2.4.3 Etiologi ...................................................................................... 22
2.4.4 Derajat Menggigil ..................................................................... 23
2.4.5 Cara-cara untuk mengurangi menggigil .................................... 23
2.5 KerangkaTeori .................................................................................. 29
2.6 KerangkaKonsep ............................................................................... 30

BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 31


3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 31
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 31
3.2.1 Tempat ................................................................................... 31
3.2.2 Waktu ..................................................................................... 31
3.3 Populasidan Sampel Penelitian ....................................................... 31
3.3.1 Populasi .................................................................................. 31
3.3.2 Sampel ................................................................................... 31
3.4 Kriteria Inklusidan Eksklusi ........................................................... 31
3.4.1 Kriteria Inklusi ......................................................................... 31
3.4.2 Kriteria Eksklusi ....................................................................... 32
3.4.3 Kriteria PutusUji (Drop Out).................................................... 32
3.5 Besar Sampel .................................................................................... 32
3.6 Informed Consent .............................................................................. 33
3.7 Alat, Bahandan Cara Kerja ............................................................. 34

Universitas Sumatera Utara


3.7.1 Alat ............................................................................................ 33
3.7.2 Bahan ......................................................................................... 33
3.7.3Cara Kerja .................................................................................. 34
3.8 Identifikasi Variabel ......................................................................... 36
3.8.1 VariabelBebas ........................................................................... 36
3.8.2 VariabelTergantung ................................................................... 36
3.9 Rencana Manajemen dan Analisis Data ....................................... 36
3.10 DefenisiOperasional ........................................................................ 37
3.11 Masalah Etika .................................................................................. 38
3.12 Alur Penelitian ................................................................................. 40

BAB 4 HASIL ...................................................................................................... 41


4.1 Hasil ................................................................................................... 41
4.1.1 Karakteristik Sampel.............................................................. 41
4.1.2 Gambaran kejadian menggigil setelah pemberian
tramadol 0.5mg/kgBB pasca anestesi spinal ......................... 44
4.1.3 Gambaran kejadian menggigil setelah pemberian
Ketamin 0,25 mg/kgBB pasca anestesi spinal ...................... 45

BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................... 46

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 50


LAMPIRAN ......................................................................................................... 54

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar2.1. Rumus Bangun Ketamin ........................................................................ 5


Gambar 2.2. Isomer Ketamin ..................................................................................... 5
Gambar 2.3. Struktur Molekul Tramadol ................................................................... 9
Gambar 2.4. Ambang termoregulator pada manusia normal ................................... 20
Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia teranestesi.............................. 20
Gambar 2.6. Kerangka Teori .................................................................................... 29
Gambar 2.7. Kerangka Konsep ................................................................................ 30
Gambar 3.1. Alur Penelitian..................................................................................... 40
Gambar 4.1 Gambaran rerata usia pada kelompok A dan kelompok B ................... 43

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Table 4.1 Karakteristik Sampel .................................................................................... 41


Tabel 4.2 Karaketeristik Umur,onset, dan durasi operasi ............................................ 42
Tabel 4.3 Gambaran Karakteristik Hemodinamik Kelompok Obat A dan Obat B ..... 43
Tabel 4.4 Gambaran kejadian menggigil pada kelompok ketamine 0.25 mg/kgBB
dan tramadol 0.5 mg/kgBB pasca anestesi spinal ........................................ 44
Tabel 4.5 Perbedaan rerata suhu sampel saat menggigil diantara 2 kelompok ............ 44
Tabel 4.6 Perbandingan onset menggigil setelah pemberian tramadol 0.5mg/kgBB
dan ketamin 0.25 mg/kgBB pasca anestesi spinal ........................................ 45

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

BB : Berat Badan
BVM : Bag Valve Mask
CMRO2 : Cerebral Metabolic Rate Oxygen
CSF : Cerebro Spinal Fluid
EKG : Elektrokardiogram
FJ : Frekuensi Denyut Jantung
G : Gauge
GABA : Gamma Amino Butyric Acid
i.m : intra muscular
i.v : intra vena
Kg : kilogram
KgBB : Kilogram Berat Badan
L : Liter
MAO : Mono aminoksidase
Mg : miligram
mg : milligram
ml : milliliter
mmHg : millimeter air raksa
NaCl : Natrium Chlorida
NMDA : N-Methyl-D-Aspartate
PAS : Post Anesthetic Shivering
PONV : Post Operastive Nausea and Vomitting
PS ASA : Physical Status American Society of Anesthesiologist
PSH : Post Spinal Headache
TDD : Tekanan Darah Diastolik
TDS : Tekanan Darah Sistolik
Th : Thorakal

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Pendahuluan: Menggigil merupakan salah satu kompensasi otonom untuk
mempertahankan suhu sentral dalam keadaan normal. Menurut penelitian
sebelumnya dosis rendah ketamin dan tramadol efektif dalam mencegah mengigil
setelah anestesi spinal.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas
pemberian Tramadol 0.5 mg/kgBB/IV dan Ketamin 0.25 mg/kgBB/IV sebagai
pencegahan menggigil pasca anestesi spinal.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian double blind randomised controlled
clinical trial. Penelitian dilaksanakan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan,
Rumah Sakit Tk.II Putri Hijau Medan, dan Rumah Sakit Universitas Sumatera
Utara dari Februari-Maret 2019. Total sampel yang diperoleh adalah 30 untuk
kelompok pemberian Tramadol 0.5 mg/kgBB/IV dan 30 sampel untuk kelompok
Ketamin 0.25 mg/kgBB/IV.
Hasil: Dari 60 sampel penelitian diperoleh bahwa jenis kelamin laki-laki lebih
banyak pada kelompok B sebanyak 23 responden (76.7%) sedangkan jenis kelamin
perempuan lebih banyak pada kelompok A sebanyak 14 responden (46.7%).
Penelitian ini juga membandingkan durasi operasi pada kedua kelompok, dengan
durasi operasi terlama diperoleh pada kelompok A sekitar 104.07±54.93 menit.
Selain itu, kejadian menggigil setelah pemberian Ketamin 0,25 mg/kgBB pasca
anestesi spinal lebih cenderung tinggi terjadi pada menggigil derajat 1 (33,30%)
dibandingkan dengan mengigil derajat 2 (23.3%), sedangkan pada kelompok
tramadol 0.5mg/kgBB didapatkan kejadian tidak mengigil dengan derjat 0 lebih
banyak dibandingkan kejadian menggigil. Perbedaan proporsi menggigil antara
kelompok A (Ketamin 0,25 mg/kgBB/intravena) dan kelompok B (tramadol 0,5
mg/kgBB intravena) tidak bermakna secara statistik dengan p (0.942)>0.05.
Kesimpulan: Kejadian menggigil pada kelompok Ketamin 0,25 mg/KgBB sebesar
56,7% dan pada kelompok tramadol 0,5 mg/KgBB sebesar 56,7%. Tidak terdapat
perbedaan proporsi menggigil antara kelompok A (Ketamin 0,25
mg/kgBB/intravena) dan kelompok B (tramadol 0,5 mg/kgBB intravena) terhadap
efek menggigil pada pasien dengan spinal anestesi.

Kata Kunci: Tramadol, Ketamin, Menggigil, Spinal Anestesi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Introduction: Shivering is one of autonom compensation mechanism to defend


central temperature keep in normal limit. Based on previous studies, low dose
ketamine and tramadol effectively preventing shivering after spinal anesthesia.

Purpose : This study is purposed to acknowledge the difference between tramadol


0.5 mg/BW/IV and ketamine 0.25 mg/BW/IV for prevent shivering after spinal
anesthesia.

Method: This study is conducted using double blind randomized controlled trial in
Haji Adam Malik Hospital, Sumatera Utara University Hospital, and Tk.II Putri
Hijau Medan Hospital, from february to march 2019, with 30 patient as sample for
each group for being given Tramadol 0.5 mg/BW/IV and Ketamine 0.25
mg/BW/IV.

Result : From 60 patients of this study, acknowledge that more male patient is being
subjectin group B as 23 patients (76.7%) and more female for group A as 14 patients
(46,7%). This study has compared the length of surgery between two groups as
group A with the longest duration about 104.07±54.93 minutes. Besides that,
shivering after ketamine 0.25 mg/BW after spinal anesthesia is higher with
shivering grade 1 (33.30%) than grade 2 (23.3%), as tramadol 0.5mg/BW has more
with no shivering or grade 0 than shivering. The shivering proportion difference
between group A (Ketamine 0.25mg/BW/IV) and group B (tramadol 0.5
mg/BW/IV) is not statistically accepted as p (0.942)>0.05.

Conclusion : The incidence of shivering in the Ketamine group was 0.25 mg/
KgBW was 56.7% and in the tramadol group of 0.5 mg / KgBW was 56.7%. There
is no difference of shivering proportion between group A (Ketamine 0.25
mg/BW/IV) and group B (Tramadol 0.5 mg/BW/IV) after spinal anesthesia.

Keyword : Tramadol, Ketamine, Shivering, Spinal Anesthesia

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

Pada spesies homeothermik, sistem termoregulasi mengkoordinasikan


pertahanan terhadap dingin dan panas untuk mempertahankan suhu tubuh internal,
dengan demikian dapat mengopan datimalkan fungsi fisiologis dan metabolisme
yang normal. Kombinasi dari termoregulasi yang diinduksi anestetik dan kerusakan
oleh paparan lingkungan yang dingin membuat pasien pembedahan yang
mengalami hipotermia (Webb et al,1981).
Menggigil (shivering) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi
pada pasien pasca operasi. Dengan angka kejadian 45% dapat terjadi setelah
pemberian anestesi walaupun pasien selalu terjaga kehangatannya selama operasi.
Menggigil sesaat setelah tindakan anestesidapat terjadi karena obat – obat anestesi
dapat menginhibisi pusat termoregulasi sehingga terjadi perubahan mekanisme
termoregulasi tubuh terhadap penurunan suhu inti tubuh berupa menggigil (English
W., 2002).
Angka kejadian menggigil perioperative meningkat pada umur yang
ekstrim. Terpaparnya tubuh terhadap ruang operasi dengan lingkungan yang dingin,
memberikan cairan infus atau tranfusi darah dengan suhu lingkungan ruang operasi
yang dingin atau tidak dihangatkan sebelumnya, selama dan setelah tindakan
anestesi regional sekitar 40-60% kasus yang telah dilaporkan (English W., 2002).
Menggigil menyebabkan efek fisiologi yang merugikan, seperti
vasokonstriksi perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5
kali, meningkatkan fungsi carbon dioksida, menurunkan saturasi oksigenarteri,
metabolisme obat yang menurun, mengganggu terbentuknya fakto-faktor
pembekuan, menurunnya respom imun, gangguan penyembuhan, menurunnya
respon imun, gangguan penyembuhan luka. Meningkatnya pemecahan protein dan
iskemik jantung (English W., 2002)
Hipotermi yang terjadi setelah anestesi spinal adalah karena efek
vasodilatasi di bawah daerah blok dan redistribusi panas tubuh dari inti ke perifer
dan restriksi dari menggigil ke massa otot diatas daerah blok. Ketinggian blok
spinal yang tercapai berhubungan langsung dengan ambang menggigil pasien

Universitas Sumatera Utara


sehingga semakin tinggi blok yang dihasilkan maka ambang menggigil pasien akan
semakin rendah. Hipotermia perioperatif didefinisikan sebagai suhu inti, 33°C
hingga 35°C, sedangkan ambang menggigil pada pasien yang tidak dibius adalah
35,5°C (English, 2002)
Menggigil merupakan salah satu kompensasi otonom untuk
mempertahankan suhu sentral dalam keadaan normal. Pada saat menggigil, di tubuh
terjadi peningkatan rangsangan simpatis sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
katekolamin dalam sirkulasi plasma. Peningkatan katekolamin sendiri akan
meningkatkan tekanan darah, laju nadi dan curah jantung. Risiko utama yang terjadi
pada pasien menggigil adalah peningkatan proses metabolisme (sampai 400%) dan
memperberat rasa nyeri pasca operasi. Aktifitas otot yang meningkat juga akan
meningkatkan kebutuhan oksigen dan produksi karbondioksida. Hal ini akan
berbahaya bagi pasien dengan premorbid penyakit kardiovaskular dan sistem
respirasi yang sudah ada sebelumnya (Talakoub, 2006)
Post Anesthetic Shivering (PAS) atau menggigil pasca-anestesi terjadi pada
40-60% setelah anestesi inhalasi, 5-65% pasien yang menjalani anestesi umum dan
lebih kurang 33-56,7% pasien dengan anestesia regional.Penelitian yang dilakukan
oleh Yimer dkk dari 203 pasien yang menjalani anestesi umum dan anestesi spinal
yang mengalami shivering sebanyak 26%, dimana 25 orang pasien mengalami
shivering tingkat II dan 6 pasien mengalami shivering tingkat III. Beberapa
penelitian tentang obat-obat untuk mencegah terjadinya menggigil pada pasien
postoperative telah dilakukan seperti pemberian tramadol, fentanyl, ketamin,
ondasentron, pethidine (Yimer, 2015).

Nazma dalam penelitiannya mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang


signifikan antara umur (p=0,057), jenis kelamin (p=0,427), BMI (0,257) dan
ketinggian blok spinal anestesi (p=0,535) antara Tramadol HCl 0,5 mg/kgBB iv
dibandingkan dengan Tramadol HCl 1 mg/kgBB iv. Tekanan sistolik dan diastolik
setelah pemberian dari kedua obat tersebut didapatkan berbeda secara signifikan.
Menggigil, temperatur inti, mual dan muntah pada kedua kelompok tidak didapati
adanya perbedaan yang bermakna (Nazma, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Lema dkk mengatakan pada penelitiannya bahwa terdapat perbedaan pada
kejadian menggigil yang berhubungan dengan tinggi sensorik yang di blok.
Semakin tinggi level sensoris yang diblok semakin besar tubuh kehilangan panas
(Lema et al, 2017). Anestesi spinal secara signifikan berhubungan dengan sistem
termoregulasi dengan cara vasokonstriksi yang memegang peranan penting pada
regulasi temperature. Anestesi spinal juga menyebabkan redistribusi dari suhu
tubuh pusat hingga ke perifer. Dua efek tersebut yang mempengaruhi kejadian
hipotermi dan menggigil. Rata – rata pasien yang menggigil dengan anestesi spinal
diobservasi 55% dalam 21 studi (Usta, 2011)
Penelitian pemakaian tramadol juga dilakukan oleh Seifi dkk yang
membandingkan tramadol 1 mg/kg dan pethidine 0.5 mg/kg terhadap 60 pasien
yang menjalani operasi, hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
dimana 16 dari 30 pasien yang diberi petidin (53,3%) tidak mengalami menggigil
pasca operasi dan 20 dari 30 pasien yang diberi tramadol (66,66%) tidak mengalami
menggigil pasca operasi (Seifi, 2007)
Penelitian mengenai ketamin juga dilakukan yaitu oleh Lakhe dkk yang
membandingkan Tramadol, Ketamin dan Ondasentron terhadap 120 pasien yang
diberi Ondasentron 4 mg, Ketamin 0.25 mg/Kg dan Tramadol 0.5 mg/kg. Hasilnya
menunjukkan dosis rendah ketamin dan tramadol efektif dalam mencegah mengigil
setelah anestesi spinal (Lakhe, 2017).Penelitian tentang perbandingan tramadol dan
ketamin sudah pernah dilakukan oleh Lema dkk yang membandingkan tramadol
0.5 mg/kg dan ketamin 0.2 mg/kg terhadap 123 pasien, didapati hasil yang tidak
terlalu berbeda pada pemberian tramadol 9 orang pasien mengalami shivering
(22%) dan pada pemberian ketamin 8 orang pasien mengalami shivering (19.5)
(Lema, 2017).
Banyaknya efek samping yang ditimbulkan akibat menggigil pasca anestesi
spinal serta masih terbatasnya penelitian mengenai efektifitas Tramadol dan
Ketamin dalam mencegah menggigil pasca anestesi spinal, membuat peneliti ingin
menggunakan Tramadol dosis 0.5 mg/kgBB/IV dan Ketamin dosis 0.25
mg/kgBB/IV.

Universitas Sumatera Utara


1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat disusun suatu rumusan masalah, yaitu, apakah
terdapat perbedaan Tramadol 0.5 mg/kgBB/IV dan Ketamin 0.25 mg/kgBB/IV
sebagai pencegahan menggigil pasca anestesi spinal?

1.3 Hipotesa
Ketamin 0,25 mg/KgBB/ IV lebih baik dalam mencegah menggigil pasca
anestesi spinal dibandingkan tramadol 0,5 mg/KgBB/IV.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbandingan efektivitas pemberian Tramadol 0.5
mg/kgBB/IV dan Ketamin 0.25 mg/kgBB/IV sebagai pencegahan menggigil
pasca anestesi spinal.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui efekpencegahan menggigil setelah pemberian Tramadol
0.5mg/kgBB pasca anestesi spinal.
2. Untuk mengetahui efek pencegahan menggigil setelah pemberian Ketamin
0.25 mg/kgBB pasca anestesi spinal.

1.5 Manfaat Penelitian


a. Sebagai bahan acuan penelitian dengan menggunakan jumlah kasus yang
lebih besar.
b. Sebagai bahan acuan penelitian dengan menggunakan jenis obat yang lain.
c. Memberikan informasi mengenai potensi obat yang lebih efektif dalam
mengatasi menggigil pasca anestesi spinal.
d. Sebagai bahan acuan untuk alternatif terapi pelayanan pada pasien yang
menjalani operasi dengan anestesi spinal.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketamin
2.1.1 Struktur Kimia
Ketamin adalah suatu arylcyclohexylamine yang merupakan derifat
phencyclidine. Ketamin dapat menimbulkan anestesia dissosiatif yang ditandai
dengankatatonia, analgesia, amnesia analgesia. Obat ini terbukti aman digunakan
dalam praktek anesthesia (Adnyana, 2008).

Gambar 2.1. Rumus bangun Ketamin

2.1.2. Hubungan stuktur kimia


Ketamin merupakan molekul yang larut dalam air dengan pKa 7,5. Ketamin
tersedia dalam larutan cair dengan konsentrasi 1%, 5% dan 10% dan mengandung
pengawet benzetonium klorida. Molekul ketamin mengandung atom karbon
asimetrik sehingga mengakibatkan adanya 2 isomer optikal yaitu S(+) dan R(-)
isomer dalam jumlah yang seimbang dan saling berhubungan dengan rangsangan
yang spesifik. Isometri yang S(+) menghasilkan analgesia yang 2 – 3 kali lebih
poten, kesadaran lebih cepat, dan lebih rendahnya insiden reaksi terbangun
dibandingkan isomer R(-). Kedua isometri ketamin mampu menghalangi
pengambilan kembali katekolamin ke saraf simpatik postganglion (Adnyana,
2008).

R-(-)- ketamine S-(-)- ketamine


Gambar 2.2 Isomer Ketamin
2.1.3. Farmakokinetik

Universitas Sumatera Utara


Pada pemberian intravena, mulai masa kerja adalah dilihat dalam 30 detik,
1- 5 menit jika disuntikkan intramuskuler, 5 – 10 menit per nasal dan 10 – 15 menit
per oral. Masa kerja ketamin biasanya berlangsung 30 – 45 menit bila diberi
intravena, per nasal 45 – 60 menit, dan 1 – 2 jam akibat pemberian peroral. Ikatan
ketamin dengan protein plasma tidak bermakna dan dengan cepat meninggalkan
darah untuk didistribusikan ke jaringan. Pada awalnya ketamin didistribusikan ke
jaringan dengan perfusi yang tinggi seperti otak, dengan konsentrasi puncaknya
sekitar 4 – 5kali konsentrasi dalam darah. Ketamin diredistribusi dari otak dan
jaringan dengan tingkat perfusi tinggi ke jaringan dengan perfusi yang rendah
seperti otot dan lemak. Metabolisme ketamin di hepar secara ekstensif oleh enzim
sitokrom P-450 melalui proses demetilasi membentuk norketamin. Metabolit ini
mempunyai potensi 1/3-1/5 ketamin dan dapat menyebabkan pemanjangan efek
ketamin terutama bila diberikan secara dosis bolus berulang atau infus kontinu.
Ketamin mempunyai rasio pengambilan obat oleh hepar yang tinggi 1 L/menit dan
volume distribusi yang besar 3 L/kgBB yang menyebabkan waktu paruh yang
singkat 2 – 3 jam, sehingga perubahan aliran darah hepar dapat mempengaruhi
kecepatan bersihan ketamin. Produk hidroksinorketamin terkonjugasi dengan
derivat glukoroid menjadi senyawa yang tidak aktif dan larut dalam air selanjutnya
diekskresikan melalui ginjal (Kulsum, 2011).
2.1.4 Mekanisme Kerja
Ketamin berinteraksi dengan reseptorN-methyl-D-aspartate ( NMDA ),
menghambat aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat sehingga terjadi penurunan
pengeluaran glutamat di presinaptik. Ketamin berpotensiasi dengan efekdari
neurotransmitter inhibisi GABA (Kulsum, 2011).
Ketamin juga dilaporkan dapat berinteraksi dengan reseptor opioid yakni
antagonis pada reseptor mu, delta dan agonis pada reseptor kappa. Toleransi silang
antara ketamin dan opioids suatu reseptor umum untuk induksi analgesia ketamin.
Efek antinosiseptif mungkin juga akibat penghambatan jalur monoaminergik. Fakta
bahwa ketamin menghasilkan gejala antikolinergik (delirium, bronkodilatasi,
reaksi simpatomimetik) menunjukan bahwa ketamin menyebabkan efek antagonis
pada reseptor muskarinik. Ketamin pada konsentrasi subanestetik merupakan

Universitas Sumatera Utara


analgetik poten. Efek anestesia ketamin secara parsial dapat dihilangkan oleh obat-
obat antikolinesterase (Kulsum, 2011).
Ketamin adalah NMDA antagonis reseptor non kompetitif dan mempunyai
efek sentral simpatomimetik dengan menghambat kebutuhan postganglionic
norepinefrin. Salah satu efeknya adalah mengurangi panas dari sumbu tubuh ke
perifer (Lopez, 2018)

2.1.5. Efek Ketamin pada Berbagai Organ


2.1.5.1 Efek pada sistem saraf pusat
Efek pada Sistem Saraf Pusat yaitu ketamin dapat menimbulkan anestesia
disosiatif yang ditandai dengan katatonia, amnesia dan analgesia. Pasien yang
mendapat ketamin tampaknya berada pada status kataleptik, dimana pasien akan
mendapatkan analgesia yang kuat namun matanya tetap terbuka dan refleks kornea,
batuk dan menelan yang masih positif. Efek amnesianya tidak sekuat
benzodiazepin. Kelarutan lemak yang sangat tinggi membuatnya dapat melewati
sawar darah otak dengan cepat. Ditambah lagi dengan peningkatan aliran darah otak
yang disebabkan oleh ketamin dapat memfasilitasi penghantaran obat dan
meningkatkan kecepatan tercapainya konsentrasi dalam otak yang tinggi. Ketamin
meningkatkan konsumsi oksigen serebral (CMRO2), aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Namun pada penelitian-penelitian terbaru dilaporkan adanya efek
neuroprotektif dari ketamine (Kulsum, 2011).

2.1.5.2 Efek pada sistem kardiovaskular


Efek ketamin pada sistem kardiovaskular yaitu ketamin memperlihatkan
stimulasi kardiovaskular akibat sekunder dan perangsangan langsung dari sistem
saraf simpatis, pelepasan katekolamin dan hambatan pengambilan kembali
norepinefrin. Induksi anestesia dengan ketamin memperlihatkan peningkatan
tekanan darah, denyut jantung dan curah jantung. Perubahan variabel hemodinamik
ini menyebabkan kerja jantung dan konsumsi oksigen jantung meningkat.
Pemberian obat golongan benzodiazepin sebagai premedikasi dapat mengurangi
efek ketamin pada sistem kardiovaskular (Kulsum, 2011).
2.1.5.3 Efek pada sistem pernafasan

Universitas Sumatera Utara


Efek ketamin pada sistem respirasi yaitu ketamin mempunyai efek yang
minimal terhadap pusat pernapasan. Ketamin adalah bronkodilator poten,
menjadikannya sebagai agen induksi yang baik untuk pasien asma bronkial.
Ketamin untuk induksi dan pemeliharaan anestesia yaitu pasien dengan resiko
tinggi dengan gangguan respirasi (gangguan jalan napas bronkospastik) dan
kardiovaskular (gangguan hemodinamik baik akibat hipovolemia atau
kardiomiopati, bukan penyakit arteri koroner), merupakan sebagian besar kandidat
untuk induksi cepat ketamine (Kulsum, 2011)
2.1.5.4 Efek pada Kejadian Menggigil
Ketamin mengontrol thermogenesis pada regulator di hipotalamus atau efek
beta adrenergik oleh karena norepinefrin.Reseptor NMDA memodulasi syaraf
noradrenergik dan serotonergik pada locus coeruleus yang mempengaruhi dalam
meregulasisuhu tubuh.Ketamin menurunkan redistribusi panas inti ke perifer
dengan mencegah vasodilatasi yang terjadi dengan agen anestesi lainnya. Selain itu,
dihipotesiskan bahwa ketamin dapat mencegah menggigil dengan mengganggu
mekanisme kontrol termoregulasi di otak. Karena sifatnya yang unik, biaya rendah,
dan ketersediaan luas, ketamin harus dievaluasi kemanjurannya dalam mencegah
menggigil (Lakhe et al, 2017).
2.2. Tramadol
Tramadol hidroklorid (tramadol) adalah suatu obat analgesik opioid yang
bekerja secara sentral. Rumus kimia dari tramadol adalah (+)cis-2-
[{dimethylamino}methyl]-1-(3-methoxyphenyl)-cyclohexanol hydrochloride, yang
digambarkan sebagai racemic mixture dari dua enansiomer. Efek utama dari obat
ini adalah pada reseptor µ dari reseptor opioid dengan afinitas yang rendah, dengan
efek minimal pada reseptor κ dan reseptor δ. Dalam mempengaruhi reseptor opioid-
µ, tramadol menghambat pengambilan kembali dari norepinefrin dan 5-
hidroksitriptamin (5-HT) pada serabut saraf, bersama dengan itu memfasilitasi
pelepasan 5-hidroksitriptamin pada persinap, dan mempengaruhi reseptor δ atau κ
(Witte et al, 1997).
Selain itu, tramadol juga bekerja pada descending monoaminergic
pathways. Sebagai analgesik, tramadol mempunyai potensi yang setara dengan

Universitas Sumatera Utara


meperidin. Berdasar efek pada reseptor µ, tramadol dapat dipakai untuk mencegah
menggigil pasca anestesi (Budd & Langford, 1999)
S. Mathews dkk yang melakukan penelitian menggunakan tramadol dosis 1
mg/kgBB dan 2 mg/kgBB yang diberikan pada saat mulai penutupan luka operasi
pada pasien yang dilakukan anestesia umum menyimpulkan bahwa tramadol efektif
dan aman untuk mencegah terjadinya menggigil pasca anestesi.Hal yang sama juga
ditunjukkan oleh hasil penelitian De Witte dkk., tapi dengan dosis 3 mg/kgBB
(Pausawasdi et al, 1990).
Tsai YC dkk. melakukan penelitian dengan menggunakan tramadol dosis
0,5 mg/kgBB intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi epidural. Hasil
yang didapatkan ternyata tramadol mempunyai efektifitas yang sama dengan
meperidin dosis 0,5 mg/kgBB intravena dalam mencegah menggigil pasca anestesi
epidural (Tsai & Chu, 2001). Sedangkan Chan AMG dkk. menyimpulkan tramadol
dosis 0,25 mg/kgBB intraven efektif mengatasi menggigil pada pasien sectio
caesarea yang dilakukan regional anestesi dengan efek samping yang minimal
(Chan et al, 1999) Bhatnagar dkk. menggunakan dosis 1 mg/kgBB intra vena untuk
mengobati kejadian menggigil pasca anestesi dan mendapatkan hasil 80% pasien
berhenti menggigil dalam rentang waktu 10 menit setelah obat diberikan
(Aitkenhead et al, 2013).
OC

H
.HC H CH
CH N
CH

Gambar 2.3 Struktur Molekul Tramadol (Sessler, 1998).

2.2.1 Farmakokinetik
Tramadol dapat diberikan secara oral, rektal, intramuskuler atau intravena.11
Pada pemberian secara oral tramadol dengan cepat diabsorbsi, dan jika diberikan
secara dosis tunggal mempunyai biovailabilitas 68% dan 90% - 100% jika diberikan
secara multiple dosis. Tramadol akan mulai nampak dalam plasma setelah 15 – 45
menit dan mencapai kadar puncak setelah 2 – 4 jam. Sebanyak 20% tramadol akan

Universitas Sumatera Utara


terikat dalam protein plasma dengan waktu paruh eliminasinya adalah 5,1 jam. 1%
dari jumlah tramadol yang diberikan akan dapat melewati barier plasenta (Nazir et
al, 2014).
Tramadol dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 dan dipecah
menjadi 11 metabolit, melalui proses glukoronidasi atau subsequent sulphation.11
Metabolit M1 (O-desmethyltramadol) adalah metabolit yang mempunyhai afinitas
lebih tinggi terhadap reseptor opioid dibandingkan dengan bentuk aslinya.11 Pada
pemberian secara oral, 90% akan dikeluarkan melalui ginjal dan juga feses(Nazir
et al, 2014).
2.2.2. Farmakodinamik
Pernah dilaporkan terjadinya kasus pusing, mual, sedasi, mulut kering dan
berkeringat setelah pemberian tramadol.11 Pada sistem pernafasan, tramadol lebih
kecil menyebabkan depresi pernafasan dibandingkan dengan opioid yang lain.
Frekuensi nafas sedikit dipengaruhi tanpa penurunan end-tidal volume. Selain itu,
tramadol tidak memicu untuk timbulnya asma. Meskipun secara substansial sistem
kardiovaskuler tidak dipengaruhi secara bermakna, namun terdapat kenaikan
tekanan darah setelah pemberian secara intravena. Selama tindakan anestesi,
pemberian tramadol akan menyebabkan tekanan darah sistolik meningkat 14 – 16
mmHg dan diastolik meningkat 10 – 12 mmHg dalam 4 – 6 menit pertama setelah
pemberian.Tahanan vaskuler perifer meningkat hingga 23% pada 2 – 10 menit
pertama setelah pemberian, dan kerja jantung meningkat hingga 15 – 20% pada
periode yang sama. Pada sistem gastrointestinal, tramadol dapat menyebabkan
mual, muntah dan konstipasi, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan opioid
yang lain, jarang menyebabkan kerusakan mukosa gastrointestinal (Nazir et al,
2014).
2.2.3. Efek Samping Obat
Meskipun dalam derajat ringan, efek samping yang mungkin dapat timbul
karena pemakaian tramadol adalah nyeri kepala, mual, muntah, pusing, konstipasi,
mulut kering, berkeringat, sedasi dan somnolen (Nazir et al, 2014).
2.2.4. Intraksi Obat
Pada pasien yang mendapatkan terapi dengan obat penghambat monoamin
oksidase (MAO inhibitors), maka pemberian tramadol adalah dikontraindikasikan

Universitas Sumatera Utara


atau harus dengan perhatian khusus. Selain itu juga perlu perhatian khusus
penggunaannya pada pasien yang menderita epilepsi (Nazir et al, 2014).
2.2.5. Tramadol sebagai Anti Menggigil
Tramadol merupakan obat anagetik yang secara farmakologis sangat
kompleks dan mengandung enentiomer (+) dan (-). Peranan tramadol untuk
mengatasi menggigil adalah dengan cara inhibisi re-uptak enorepinefrin oleh
enantiomer (-) sedangkan enantiomer (+) menghambat re-upteke5-HT, sehingga
memfasilitasi pelepasan 5HT dan mengaktivasi reseptor µ opioid. Norepinefrin
adalah mediator terbesar pada sistem termoregulasi. Sebagai contoh, penyuntikan
norepinefrin intraventrikuler dapat menurunkan temperatur inti dan metabolisme
tubuh pada hewan primata. Pengaruh 5 HT masih kontroversi, akan tetapi banyak
para ahli percaya bahwa 5 HT bekerja menghambat sistem kontrol termoregulasi
tubuh. Peranan respetor µ opioid adalah menurunkan ambang vasokonstriksi dan
menggigil, pengaruh ini sama seperti pada anestesi volatile atau anastesi intravena
(Nazir et al, 2014).
2.3. Spinal Anestesi
Disebut juga sebagai spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi
karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid. Terjadi blok
saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris
dan otonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya
temperatur, sakit, aktivitas otonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi
motoris dan propioseptif. Secara umum fungsi-fungsi tersebut dibawah oleh serabut
saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat anestesi lokal. Oleh sebab
itu ada obat anestesi lokal yang lebih mempengaruhi sensoris daripada motoris.
Blokade dari medulla spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sephalad.
Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motoris dan propioseptif) paling resisten
dan kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi
obat anestesi lokal untuk memblokade saraf tersebut. Level blokade otonom 2 atau
lebih dermatom ke arah sephalik daripada level analgesi kulit, sedangkan blokade
motoris 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesi (Morgan et al, 2006).
2.3.1. Indikasi Spinal Anestesi

Universitas Sumatera Utara


Beberapa indikasi dari pemberian anestesi spinal (Morgan et al, 2006):
1. Operasi ekstrimitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau
pembuluh darah.
2. Operasi di daerah perineal : Anal, rectum bagian bawah, vaginal dan
urologi.
3. Abdomen bagian bawah : Hernia, usus halus bagian distal, appendik,
rectosigmoid, kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis.
4. Abdomen bagian atas : Kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum.
Tetapi spinal anestesi untuk abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan
pada semua pasien sebab dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang
hebat.
5. Section Caesarea
6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi dan sistoskopi.
2.3.2. Kontra Indikasi Absolut
Beberapa kontraindikasi absolut dari pemberian anestesi spinal (Morgan et
al, 2006):
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk
pembuluh darah, terjadi perdarahan hebat dan darah akan menekan
medulla spinalis.
2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran
otak bila terjadi kehilangan cairan serebrospinal.
4. Bila pasien menolak
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk
jarum spinal.
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia
pernisiosa, neurosyphilys, dan porphiria.
7. Hipotensi.
2.3.3. Kontra Indikasi Relatif
Beberapa kontraindikasi relatif dalam pemberian anestesi spinal (Morgan et
al, 2006):
1. Pasien dengan perdarahan

Universitas Sumatera Utara


2. Problem di tulang belakang
3. Anak-anak
4. Pasien tidak kooperatif, psikosis
2.3.4. Anatomi
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5
sakral dan 4 coccygeal. Medulla spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan
menusuk medulla spinalis saat penyuntikan, maka spinal anestesi umumnya
dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan epidural berakhir di vertebra
S2.6. Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi
medulla spinalis, dari luar ke dalam adalah sebagai berikut (Bernards et al,2006):
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinale poterior.
5. Ligamentum longitudinale anterior.
2.3.5. Teknik Spinal Anestesi
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor yang
sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan nafas dan
resusitasi telah tersedia. Sebelum memposisikan pasien, seluruh peralatan untuk
blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh, anestesi lokal telah
dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan terbuka, cairan preloading
sudah disiapkan. Persiapan alat akan meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk
anestesi blok dan kemudian meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards et
al,2006).
Adapun teknik dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan et al,
2006).
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak
perlu dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2. Posisi pasien :
a) Posisi Lateral

Universitas Sumatera Utara


Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5 – 10 cm, lutut dan
paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk
Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi
pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan
pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien
supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan
sadle block.
c) posisi Prone
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan
posisi Jack Knife atau prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4. Cara penusukan. Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Mkin
besar noor jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk
mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal headache),
dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal
analgesi dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah,
masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan
obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan tempat tusukan.
Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat
anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing
(Mesingismus).
2.3.6. Komplikasi/Masalah Anestesi Spinal
Beberapa komplikasi terkait pemberian anestesi spinal (Birnbach et al,
2009):
1. Sistim Kardiovaskuler
a) Penurunan resistensi perifer :

Universitas Sumatera Utara


1) Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang
diblokade akibat penurunan tonus vasokonstriksi simfatis.
2) Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan
venous return.
3) Proksimal dari daerh yang diblokade akan terjadi mekanisme
kompensasi, yakni terjadinya vasokonstriksi.
b) Penurunan Tekanan Sistolik
Tekanan Arteri Rerata Penurunn Tekanan Daerah tergantung
dari tingginya blokade simfatis. Bila tekanan darah turun rendah
sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi
iskemia medulla oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah.
Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari tekanan darah asal.
Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan
atau obat vasokonstriktor. Dua puluh menit sebelum dilakukan
spinal anestesi diberikan cairan RL atau NaCl 10-15 ml/kg/kgBB.
Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin
25-50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerjanya 2-4 menit pada
pemberian intravena, dan 10-20 menit pada pemberian
intramuskuler. Lama kerjanya 1 jam.
c) Penurunan denyut jantung
Bradikardi umumnya terjadi karena penurunan pengisian
jantung yang akan mempengaruhi myocardial chronotropic stretch
receptor, blokade anestesi pada serabut saraf cardiac accelerator
simfatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan
denyut jantung dan mungkin juga tekanan darah.
2. Sistem Respirasi
Bila terjadi apnoe yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang
berat sehingga terjadi iskemia medula oblongata. Terapinya : berikan
ventilasi, cairan dan vasopressor. Jarang disebabkan karena terjadi
blokade motoris yang tinggi (pada radix n.phrenicus C3-5). Kadang-
kadang bisa terjadi batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.

Universitas Sumatera Utara


3. Sistem Gastrointestinal.
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan
karena hipotensi, hipoksia, pasien sangat cemas, pemberian narkotik,
over-aktivitas parasimfatis dan traction reflex (misalnya dokter bedah
manipulasi traktus gastrointestinal).
4. Nyeri Kepala(PSH=Post Spinal Headache)
Sakit kepala pasca spinal anestesi mungkin disebabkan karena
adanya kebocoran likuor serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang
dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesi. Bila
duramater terbuka bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-
2 minggu. Kehilangan CSF sebanyak 20 ml dapat menimbulkan
terjadinya sakit kepala. Post spinal headache (PSH) ini pada 90% pasien
terlihat dalam 3 hari post spinal, dan pada 80% kasus akan menghilang
dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi post spinal headache dapat dilakukan
pencegahan dengan :
1. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25, 27, 29).
2. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater
sehingga jarum tidak merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
3. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3 lt/hari selama 3
hari, hal ini akan menambah produksi CSF sebagai pengganti yang
hilang. Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :
a) Memakai abdominal binder.
b) Epidural blood patch : suntikkan 10 ml darah pasien itu sendiri
di ruang epidural tempat kebocoran.
c) Berikan hidrasi dengan minum sampai 4 lt/hari. Kejadian post
spinal headache 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila
dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah); 9% bila dipakai jarum
no. 22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala
daripada laki-laki.

Universitas Sumatera Utara


5. Backache
Sakit punggung merupakan masalah setelah suntikan di daerah
lumbal untuk spinal anestesi.
6. Retensio Urinae
Penyebab retensio urine mungkin karena hal-hal sebagai berikut :
operasi di daerah perineum pada struktur genitourinaria, pemberian
narkotik di ruang subarachnoid, setelah anestesi fungsi vesica urinaria
merupakan yang terakhir pulih.
7. Komplikasi Neurologis Permanen
Jarang sekali terjadi komplikasi neurologis permanen. Hal-hal
yang menurunkan kejadiannya adalah karena : dilakukan sterilisasi
panas pada ampul gelas, memakai syringe dan jarum yang disposible,
spinal anestesi dihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta
penerapan teknik antiseptik.
8. Chronic Adhesive Arachnoiditis
Suatu reaksi proliferasi arachnoid yang akan menyebabkan
fibrosis, distorsi serta obliterasi dari ruangan subarachnoid. Biasanya
terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarachnoid.
2.4. PAS (Post Anesthetic Shivering)
PAS (Post Anesthetic Shivering) terjadi pada 5-65% pasien yang menjalani
anestesi umum dan lebih kurang 33% pasien dengan anestesia regional. Ciri khas
menggigil berupa tremor ritmik dan merupakan respon termoregulator yang normal
terhadap hipotermia selama anestesi regional dan pembedahan. Gerakan mirip
menggigil yang berasal dari non termoregulator dan bersifat involunter juga bisa
muncul pada periode pasca pembedahan. Menggigil non termoregulator dapat
berhubungan dengan pengendalian nyeri yang tidak adekuat pada saat pulih sadar
atau berhubungan dengan etiologi lain. Kontraksi otot tonik pada waktu pulih sadar
dari agen halogen dapat terlihat seperti menggigil demikian juga gerakan klonik
spontan yang menyerupai menggigil juga dapat terlihat (Morgan et al,2006).
Menggigil merupakan suatu mekanisme tubuh yang terjadi untuk
meningkatkan pembentukan panas. Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan

Universitas Sumatera Utara


temperatur tubuh mengadakan prosedur untuk meningkatkan suhu tubuh yaitu
dengan cara (Stoelting et al,2006).
a. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh yang merupakan rangsangan pusat
simpatis hipotalamus posterior.
b. Piloereksi yaitu berdirinya rambut pada akarnya. Hal ini tidak terlalu
penting pada manusia.
c. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara
menggigil, rangsangan simpatis pembentukan panas dan sekresi
tiroksin.
Beberapa faktor risiko lain yang memungkinkan timbulnya menggigil
pascaoperasi antara lain hipotermia intraoperatif, refleks spinal, berkurangnya
akivitas simpatis, supresi adrenal, pengeluaran pirogen, nyeri dan alkalosis
metabolik. Diantara semua faktor risiko tersebut hipotermia merupakan penyebab
menggigil yang paling sering dijumpai (Sessler, 1997)
2.4.1. Fisiologi
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5 – 37,50C pada
suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan
homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh
internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat
menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme
fisiologis fungsi termoregulasi (Whitte & Sessler, 2002).
Kombinasi antara gangguan termoregulasi yang disebabkan oleh tindakan
anestesi dan eksposur suhu lingkungan yang rendah, akan mengakibatkan
terjadinya hipotermia pada pasien yang mengalami pembedahan. Menggigil
merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat
berpotensi untuk terjadinya sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen
dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningktan cardiac
output, takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokuler. Definisi
hipotermia adalah temperatur inti 10oC lebih rendah di bawah standar deviasi rata-
rata temperatur inti manusia pada keadaan istirahat dengan suhu lingkungan yang
normal (28-35oC). Kerugian paska operasi yang disebabka oleh gangguan fungsi
termoregulasi adalah infeksi pada loka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi

Universitas Sumatera Utara


jantung yang juga berhubungan dengan terjdinya hipotermia perioperative (Whitte
& Sessler, 2002).
2.4.2. Patofisiologi
Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari
termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem
respon eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di
sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah
kutaneus, menggigil dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada
peningkatan produksi panas (Whitte & Sessler, 2002).
Secara historis, traktus spinotalamikus lateralis diketahui sebagai satu-
satunya jalur termoaferen menuju pusat termoregulasi di hipotalamus. Seluruh jalur
serabut saraf asendens ini terpusat pada formatio retikularis dan neuron
termosensitif berada pada daerah di luar preoptik anterior hipotalamus, termasuk
ventromedial hipotalamus mid brain, medula oblongata, dan korda spinalis. Input
multiple yang berasal dari berbagai termosensitif, diintegrasikan pada beberapa
tingkat di korda spinalis dan otak untuk koordinasi bentuk respon pertahanan tubuh
(Whitte & Sessler, 2002).
Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen : termosensor
dan jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem
saraf otonom (Whitte & Sessler, 2002).
Fungsi termoregulasi mengalami perubahan selama dilakukan tindakan
anestasi dan mekanisme kontrol terhadap temperatur setelah dilakukan tindakan
anestesi baik umum maupun regional akan hilang. Seorang anestesiologist harus
mengetahui manajemen kontrol termoregulasi pasien. Tindakan anestesi
menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan peningkatan
ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin
(Alfonsi, 2003).
Hampir semua obat-obat anestesi mengganggu respon termoregulasi.
Temperatur inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0-1,50C
selama satu jam pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan
pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang vasokonstriksi dan

Universitas Sumatera Utara


menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi ukurannya kurang dari 0,60C
dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok.
Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung
berinteraksi dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal
anestesi intravena pada dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak
berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi
selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem
termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal
aferen (Alfonsi, 2003).

Vasoconstriction Sweatin
Nonshivering
thermogenesis Vasodilation
Normal
Shivering

33 35 37 39 41
Gambar 2.4. Ambang termoregulator pada manusia normal (tidak teranestesi)
(Alfonsi, 2003).

Pemberian obat anestesi lokal yang dingin seperti es, akan meningkatkan
kejadian menggigil dibandingkan bila obat dihangatkan sebelumnya pada suhu
300C, tetapi penghangatan ini tidak berlaku pada pasien yang tidak hamil karena
tidak ada perbedaan jika diberikan dalam keadaan dingin atau hangat. Menggigil
selama anestesi regional anestesi dapat dicegah dengan mempertahankan suhu
ruangan yang optimal, pemberian selimut dan lampu penghangat atau dengan
pemberian obat yang efektifitasnya sama untuk mengatasi menggigil paska anestesi
umum (Alfonsi, 2003).

Vasoconstriction

Nonshivering Sweatin

Anaesthesia thermogenesis
Vasodilation
Shivering

33 35 37 39 41

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.5. Ambang termoregulator pada manusia yang teranestesi (Alfonsi,
2003).

Terjadinya hipotermia selama regional anestesi tidak dipicu oleh sensasi


terhadap dingin. Hal ini menggambarkan suatu kenyataan bahwa persepsi dingin
secara subjektif tergantung pada input aferen suhu pada kulit dan vasodilatasi
perifer yang disebabkan oleh regional anestesi. Setelah terjadi redistribusi panas
tubuh ke perifer pada induksi anestesi umum dan regional, hipotermia selanjutnya
tergantung pada keseimbangan antara pelepasan panas pada kulit dan metabolisme
panas yang akan melepas panas tubuh (Alfonsi, 2003).
Menggigil merupakan mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila
mekanisme kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam
batas normal. Rangsangan dingin akan diterima efektor diteruskan ke hipothalamus
anterior dan memerintahkan bagian efektor untuk merespon berupa kontraksi otot
tonik dan klonik secara teratur dan bersifat involunter serta dapat menghasilkan
panas sampai dengan 600% di atas basal. Mekanisme ini akan dihambat oleh
tindakan anestesia dan pemaparan pada lingkungan yang dingin dan dapat
meningkat pada saat penghentian anesthesia (Alfonsi, 2003).
Penurunan laju metabolisme yang disebabkan oleh hipotermia dapat
memperpanjang efek anestesi sedangkan menggigil yang menyertainya akan
meningkatkan konsumsi oksigen 100% - 600%, dan meningkatkan resiko angina
dan aritmia pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Morbiditas yang mungkin
terjadi dan telah dilaporkan cukup bermakna adalah peningkatan kebutuhan
metabolik (hal ini dapat membahayakan pada pasien dengan cadangan hidup yang
terbatas dan yang berada pada resiko kejadian koroner), menimbulkan nyeri pada
luka, meningkatkan produksi CO2, denyut jantung, memicu vasokonstriksi dan
dengan demikian meningkatkan resistensi vaskular, tekanan darah, dan volume
jantung sekuncup sehingga terjadi peningkatan tekanan intraokuler dan intrakranial.
Sebagai tambahan, resiko perdarahan dan infeksi luka bedah akan meningkat pada

Universitas Sumatera Utara


pasien hipotermik. Karena alasan-alasan itulah, mempertahankan pasien pada suhu
normal merupakan baku perawatan (Alfonsi, 2003).
2.4.3. Etiologi
Post Anesthetic Shivering (PAS) didefinisikan sebagai suatu fasikulasi otot
rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang berlangsung
lebih dari 15 detik (Witte et al,1997). Kontraksi halus pada otot wajah khususnya
otot masseter akan meluas ke leher, badan dan ekstremitas secara cepat namun tidak
berlanjut menjadi kejang (Nanda, 2004).
Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti.
Menggigil pasca anestesi diduga penting sedikit disebabkan oleh tiga hal, yaitu
(Tsai & Chu, 2001).
1. Hipotermi dan penurunancore temperature selama anestesi yang
disebabkan oleh karena kehilangan panas yang bermakna selama
tindakan pembedahan. Panas yang hilang dapat melalui permukaan kulit
dan melalui ventilasi. Kehilangan panas yang lebih besar dapat terjadi
bila kita menggunakan obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi
kutaneus.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau
jenis pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari
produk-produk tersebut.
3. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di
hipotalamus. Setiap pasien yang menjalani pembedahan berada dalam
resiko untuk mengalami hipotermia. Ahli anestesi menempatkan
menggigil pada posisi ke-8 yang sering terjadi dan ke-21 sebagai
komplikasi yang perlu dicegah. Pada manusia suhu inti tubuh
dipertahankan dalam batas 36,5 – 37,50C. Walaupun literatur yang ada
saat ini tidak memberikan definisi yang jelas tentang normotermia
ataupun hipotermia tetapi para ahli menyatakan bahwa normotermia
berada pada temperatur inti yang berkisar antara 360C – 380C (96,80F –
100,40F). Hipotermia terjadi bila temperatur inti kurang dari 360C
(96,80F). Hipotermia dapat terjadi diluar temperatur tersebut jika pasien

Universitas Sumatera Utara


mengeluh merasa kedinginan atau menampilkan gejala hipotermia
seperti menggigil, vasokonstriksi perifer, dan piloereksi (English, 2002)
2.4.4. Derajat Menggigil
Adapun derajat berat ringannya menggigil secara klinis dapat dinilai dengan
Modified Crossley and Mahajan Scale dalam skala 0-4 yaitu (Paul & Paul, 2017):
0 : Tidak ada menggigil
1 : Tremor intermitten dan ringan pada rahang dan otot-otot leher.
2 : Tremor yang nyata pada otot-otot dada
3 : Tremor intermitten seluruh tubuh
4 : Aktifitas otot-otot seluruh tubuh yang sangat kuat terus menerus.
Menggigil suatu keadaan yang tidak nyaman bagi pasien. Keadaan ini
harus segera diatasi oleh karena dapat menimbulkan berbagai risiko
(Witte et al, 1998)
Menggigil dapat menimbulkan efek yang berbahaya. Aktifitas otot
yang meningkat akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi
karbon dioksida. Kebutuhan oksigen otot jantung juga akan meningkat
dapat mencapai 200% hingga 400%. Hal ini tentunya akan berbahaya
bagi pasien, dengan kondisi fisik yang jelek seperti pada pasien dengan
gangguan kerja jantung, atau anemi berat, serta pada pasien dengan
penyakit obstruktif menahun yang berat (Stoelting et al, 2006).
2.4.5. Cara-cara untuk mengurangi menggigil
Menggigil paska anestesi dapat dikurangi dengan berbagai cara, diantaranya
meminimalkan kehilangan panas selama operasi dan mencegah kehilangan panas
karena lingkungan tubuh (Dgimar et al, 2007).
Cara-cara untuk mengurangi menggigil paska anestesi adalah sebagai
berikut (Dgimar et al, 2007):
1. Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 220C.
2. Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 240C.
3. Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau
pasien resiko tinggi.
4. Penggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan :
a. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena.

Universitas Sumatera Utara


b. Larutan untuk irigasi luka pembedahan.
c. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi.
5. Menghindari genangan air/larutan di meja operasi.
6. Penggunaan larutan irigasi yang dingatkan pada luka pembedahan atau
prosedur sistokopi urologi.
7. Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan
kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.

Efektifitas kerja suatu obat antishiverring terpusat pada analgesik


(tramadol), opioid agonis reseptor (meperidine, fentanyl), cholinesterase inhibitor
(physostigmine), dan antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate (ketamin,
magnesium sulfat). Sementara itu, α2agonis -central (clonidine, dexmede-
tomidina), dan antiserotonergic (ondansetron) dan obat anti-inflamasi
(deksametason) tergolong memiliki efektifitas yang relative kurang efektif.
Dukungan data ini memberikan gambaran obat tersebut bekerja pada tingkat yang
berbeda. Loop termoregulasi memiliki efektifitas yang lebih (agonis opioid, NMDA
antagonis) dibandingkan dengan hanya satu fungsi (α2-reseptor agonis, agen
antiserotonergic) atau hanya di tingkat perifer (antiinflam nonsteroid agen -matory)
(Lopez, 2018).
Parket al. dalam meta-analisis terbaru secara random, double blind, control
placebo antishivering dalam obat percobaan mengidentifikasi bahwa clonidine,
meperidine, tramadol, nefopam (bertindak terpusat pada nonopioid anal-gesic) dan
ketamin adalah pilihan obat yang terbaik (Park et al., 2012) Namun, beberapa dari
mereka yang direkomendasikan untuk pencegahan PS juga memiliki berbagai efek
samping. Misalnya, clonidine, adalah senyawa α parsial2adrenergik agonis, yang
berhubungan dengan terjadinya bradikardia, hipotensi dan sedasi. Ondansetron, 5-
TH3antagonis reseptor, secara luas digunakan untuk mencegah mual dan muntah
pasca operasi.
a. Agonis reseptor opioid
Meperidine memiliki efek terapi pada PS, dan mekanismenya
kemungkinan akan terkait dengan aktivasi κ dan μ-opioid reseptor, bertindak
terutama pada sistem saraf pusat. Petidin adalah satu-satunya opioid yang

Universitas Sumatera Utara


merupakan agonis baik di μ dan reseptor κ terkait erat dengan patogenesis
menggigil dengan mengurangi ambang menggigil dan memicu penurunan suhu
inti, yang merupakan efek dari anti-menggigil. Meperidine adalah obat
intravena yang paling umum digunakan untuk mengobati dan mencegah
menggigil, sebagai dosis equi-anal-gesic yang jauh lebih efisien daripada opioid
lain seperti fentanil, alfentanil, sufentanil atau morfin dalam mencegah
menggigil. Melihat dari efek sampingnya dapat menjadi pertimbangan, studi
menunjukkan bahwa mepe-ridine bisa meningkatkan kejadian mual dan muntah
dan menginduksi depresi pernafasan (Lopez, 2018).
Tramadol adalah opioid sintetik yang bertindak di beberapa tempat.
Merupakan μ-opioid reseptor agonis yang lemah dan memiliki aktivitas
minimal di κ- atau σ-reseptor. Ini juga merupakan inhibitor parsial norepinefrin
dan 5-hidroksitriptamin (5HT). Tramadol juga dilaporkan menghambat N-
methyl-D-aspartat asam (NMDA) reseptor pada konsentrasi klinis yang
relevan. Seifi et al. juga melaporkan bahwa petidin 0,5 mg / kg seefektif
tramadol 1 mg / kg untuk PS selama 15 menit pertama setelah injeksi, sementara
tramadol dikaitkan dengan efek samping yang sedikit (Seifi, 2007).
Heid et al. melaporkan bahwa pemberian 2 mg / kg tramadol
mengurangi kejadian dan tingkat PS setelah operasi lumbar disc di bawah
remifentanil anestesi umum isoflurane (Heid et. al., 2008). Mohta et al. juga
melaporkan bahwa tramadol 2 mg / kg memberikan kombinasi yang efektif dari
aktivitas anti-PS dan analgesia tanpa sedasi berlebihan (Mohta et al., 2009).
Nakagawa et al. menunjukkan bahwa pemberian tramadol (3 mg / kg) pada
induksi anestesi secara signifikan mengurangi kejadian PS independen
konsentrasi remifentanil digunakan pada intra-operatif. Ketamine merupakan
antagonis kompetitif pada reseptor NMDA, menunjukkan bahwa efek anti-
menggigil tramadol mungkin dimediasi oleh reseptor NMDA (Nakagawa et al.,
2017)
b. Agen Antiserotonergic
Opioid dan non-opioid merupakan obat yang sering digunakan untuk
mengobati menggigil pasca operasi, tetapi mereka memiliki potensi efek samping,
termasuk hipotensi, hipertensi, obat penenang, depresi pernafasan, mual dan

Universitas Sumatera Utara


muntah. Baru-baru ini, 5-HT3antagonis reseptor telah muncul sebagai sarana untuk
mencegah menggigil pasca operasi. Menurut meta-analisis oleh Zhou C, 5-HT3
reseptor anta-gonists muncul untuk mencegah menggigil pasca operasi, dengan
khasiat luas sebanding dengan meperidine (Zhou et. al., 2016)
Daerah preoptik dari hipotalamus melepaskan 5-HT3 untuk mengaktifkan
jalur produksi panas, dan dengan demikian meningkatkan suhu tubuh. antagonis 5-
HT3 dapat mencegah menggigil pasca operasi dengan menghambat reuptake dari
5-HT di daerah preoptic. 5-HT3 antagonis efektif mencegah menggigil pasca
operasi setelah anestesi umum dan anestesi spinal (Lopez, 2018).
Ondansetron, antagonis 5-HT3(Serotonin), umumnya digunakan sebagai
antiemetik tetapi efisiensi dan keselamatan dalam pencegahan PS masih
kontroversial. sistem serotonin memainkan peran penting dalam termoregulasi
tersebut. Mekanisme ondansetron pada PS mungkin terkait dengan penghambatan
mekanisme sentral dari zona reuptake 5-HT pada daerah anterior hipo-thalamic
preoptic. Kedua pemberian ondansentron 4 mg dan 8 mg pada akhir operasi bisa
mengurangi risiko PS signifikan. Palonosetron adalah generasi baru dari 5-HT3
anta-gonist yang tidak mempengaruhi perioperatif hypother-mia atau PAS (Lopez,
2018).
c. N-methyl-D-aspartate antagonis reseptor
Ketamine adalah reseptor NMDA antagonis nonkompetitif dan memiliki
efek simpatomimetik pusat dengan menghambat penyerapan NE postganglionik.
Salah satu dampaknya adalah untuk mengurangi distribusi panas dari inti ke
perifer.Nakasuji et al. menunjukkan bahwa dosis rendah ketamin infus (konsentrasi
darah sekitar 100 ng/mL) selama operasi dapat mengurangi kejadian menggigil
pasca operasi setelah anestesi berbasis remifentanil. Mereka menyimpulkan bahwa
efek pencegahan ketamin adalah melalui antagonisme reseptor NMDA selama
anaesthesi. Namun demikian, mekanisme tepat yang mendasari untuk temuan ini
masih harus ditentukan.
Magnesium sulfat merupakan antagonis kalsium alami dan antagonis non-
kompetitif (NMDA) reseptor N-methyl-D-aspartat. Obat tidak hanya memberikan
sebuah efek sentral tetapi juga merupakan relaksan otot ringan dan dengan

Universitas Sumatera Utara


demikian secara bersamaan dapat mengurangi keuntungan dari menggigil (Lopez,
2018).
d. α2-reseptor agonis
Alfa2reseptor agonis adrenergik, obat yang dapat menyebabkan penurunan
aktivitas simpatis dan regulasi pusat pada vasokonstriktor, merupakan kelompok
obat yang telah digunakan untuk mencegah menggigil pasca operasi. Menurut
Cochrane review, ada bukti bahwa clonidine dan dexmedetomidine dapat
mengurangi menggigil pasca operasi, tetapi pasien yang diberi dexmedetomidine
mungkin dapat lebih tersedasi. Namun, kualitas bukti yang ada sangat rendah.
Dosis, metode dan waktu pemberian memiliki berbagai kemungkinan: oral atau
intravena, intraoperatif atau sebelum operasi. Administrasi profilaksis
dexmedetomidine secara intravena dapat mengurangi kejadian menggigil pada
pasien yang menjalani anestesi umum (Lopez, 2018).
Efek menguntungkan dapat dicapai melalui suntikan secara intravena dan
epidural. Namun demikian, interval waktu antara pemberian obat terakhir dan akhir
dari operasi harus kurang dari dua jam, yaitu sekitar setengah waktu paruh dari
dexmedetomidine. Sehubungan dengan dosis 1 mg / kg bolus adalah yang paling
umum digunakan, 0,5 mg / kg iv mungkin cukup untuk efek pencegahan (Lopez,
2018).
Dexmedetomidine menekan laju pembakaran spontan neuron, mengurangi
pusat thermosen-sensitifitas, dan akhirnya mengurangi vasokonstriksi dan ambang
menggigil. efek yang tidak diinginkan adalah sedasi, bradikardi, hipotensi dan
mulut kering.Namun demikian, karena harga yang relatif tinggi dan potensi efek
samping, penggunaan dexmedetomidine tidak dianjurkan semata-mata untuk tujuan
mencegah pasca operasi menggigil (Lopez, 2018).
e. obat lain
Obat lain yang ditujukan untuk pengobatan dan profilaksis PS telah
ditemukan. Physostigmine menghambat PAS melalui sistem kolinergik, tetapi juga
dapat menyebabkan mual dan muntah, peningkatan denyut jantung dan tekanan
darah. Doxapram, digunakan sebagai stimulan dalam kegagalan pernapasan, telah
terbukti efektif pada PS, tetapi disertai dengan efek samping yang berbeda pada
hemodinamik. Hidro-kortison (1-2 mgkg-1 iv) memiliki efek profilaksis terhadap

Universitas Sumatera Utara


menggigil pasca operasi pada pasien yang menjalani arthroscopy lutut di bawah
anestesi umum (Lopez, 2018).
Nefopam, merupakan analgetik yang bekerja di pusat, menghambat
reuptake synaptosomal beberapa neurotransmitter: dopamin, NE dan serotonin,
adalah salah satu obat antishivering paling sering dipelajari. Pemberian profilaksis
parecoxib menghasilkan efek ganda pada antishivering dan analgetikpasca operasi.
Kemungkinan disebabkan oleh keterlibatan jalur siklooksigenase 2-prostaglandin
E2 dalam regulasi shivering (Lopez, 2018).
Asam amino (AA) infus kadang-kadang dipilih untuk menghindari
hipotermia selama anestesi umum. Aoki Y et al. menunjukkan bahwa infus AA
diberikan dalam periode perioperatif menyebabkan peningkatan kecil dalam suhu
tubuh pasien, penurunan frekuensi shvering, penurunan waktu untuk ekstubasi, dan
penurunan durasi rawat inap (Lopez, 2018).
Singkatnya, kesimpulan akhir tentang obat antishivering yang optimal sulit
untuk dicapai. Sejumlah penelitian telah menguji keampuhan berbagai macam
intervensi yang diduga dapat digunakan untuk mencegah menggigil pada pasien
bedah normothermic atau hipotermia. Khasiat relatif intervensi ini, bagaimanapun,
masih belum jelas. Clonidine, meperidine, tramadol dan ketamin adalah yang paling
banyak dipelajari dan merupakan obat berkhasiat. Taman SM et al. tidak
merekomendasikan baik kombinasi obat yang diberikan, karena kurangnya data
yang tersedia (ketamin + mida-zolam atau ketamin + nalokson). Di samping ini,
ada heterogenitas lebar mengenai dosis, melalui dan waktu administrasi.
Potensi aditif atau efek sinergis dari farmakoterapi dan nonfarmakologi
metode dipelajari oleh Kimberger et al., Yang menemukan efek aditif antara
pemanasan kulit aktif dan iv meperidine (Kimberger et. al., 2007)

Universitas Sumatera Utara


2.6. Kerangka Teori

Obat Anestesi
Suhu Spinal
Lingkungan
Infus

Vasodilatasi

Inhibisi
reuptake 5
HT, Pusat pengaturan Redistribusi panas
Blok suhu tubuh, tubuh dari inti ke
norephine
sentral Hipotalamus perifer
prine,
mengaktivas
i reseptor

µ opioid
Ketamin

Tramadol
Core temperature

Blok
NMDA

Oxygen Consumption
Menggigil
Rate

Gambar 2.6. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


2.7. Kerangka Konsep

Ketamin

Menggigil

Tramadol

= Variabel bebas

= Variabel terikat

Gambar 2.7. Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan double blindrandomised controlledclinical trial
untuk mengetahui perbandingan Ketamin 0,25 mg/KgBB intravena dan Tramadol
0,5 mg/kgBB intravena sebagai pencegahan menggigil pasca anestesi spinal.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1. Tempat
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan, RS. USU dan RS Tk II
Putri Hijau Medan.
3.2.2. Waktu
Penelitian dilakukan dimulai bulan Februari 2019 sampai Maret 2019
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian adalah pasien dengan anestesi spinal di Rumah Sakit
Umum Pusat H. Adam Malik, Medan, RS. USU dan RS Tk II Putri Hijau Medan.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian adalah pasien dengan anestesi spinal dan pembedahan
operasi Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan, RS. USU dan RS Tk II
Putri Hijau Medan yang memenuhi kriteria penelitian. Teknik mendapatkan sampel
dengan cara konsekutif sampling yaitu mencari penderita yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi sampai dipenuhi jumlah sampel yang diperlukan. Setelah
dihitung secara statistik, seluruh sampel di bagi menjadi 2 kelompok yaitu :
a. Kelompok Ketamin 0,25 mg/kgBB/intravena.
b. Kelompok Tramadol 0,5 mg/kgBB intravena.
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1. Kriteria Inklusi
a. Usia 18-64 tahun
b. PS ASA 1-2
c. Tinggi blok Th 8

Universitas Sumatera Utara


3.4.2. Kriteria Eksklusi
a. Mempunyai riwayat hipersensitivitas terhadap ketamin dan tramadol
b. Pasien yang mengalami hipotemia atau hipertermia pre operasi
c. Pasien sedang mendapatkan pengobatan ketamin dan tramadol dalam 24
jam terakhir.
d. Menderita epilepsi, hipertensi, penyakit pembuluh darah otak,
peningkatan tekanan intra kranial, gagal ginjal dan kelainan psikiatri.
e. Pasien dengan riwayat penyakit tiroid
f. Pasien dengan riwayat penyakit cardiopulmonary
3.4.3. Kriteria Putus Uji (Drop Out)
a. Operasi berlangsung lebih dari 2 jam
b. Anestesi Spinal gagal atau berubah menjadi anestesi umum
c. Pasien yang memerlukan transfusi.
3.5. Besar Sampel
Sesuai dengan hipotesis penelitian besar sampel dihitung dengan rumus
besars ampel untuk uji hipotesis proporsi 2 atau lebih populasi. Kejadian menggigil
pasca operasi pada kelompok Tramadol adalah sebesar 65% (P1 = 0,65) sedangkan
pada kelompok yang mendapat Ketamin 0,25/KgBB diperkirakan 15% (P2=0,15),
maka q1=1-0,65=0,35 dan Q2=1,0, 15=0,85, nilai Zα=1,96 (Kesalahan tipe I atau
α=0,05) dan Zβ=0,842 (kesalahan tipe II atau β=0,2, power penelitian 95%) maka
besar sampel adalah :

1 2
(𝑍𝑍𝑍𝑍�2𝑃𝑃𝑃𝑃 + 𝑍𝑍𝑍𝑍 �𝑃𝑃1 𝑄𝑄1 + 𝑃𝑃2 𝑄𝑄2 )2
𝑛𝑛 = 𝑛𝑛 =
(𝑃𝑃1 − 𝑃𝑃2 )2
• n1 = jumlah subyek yang diberikan ketamin
• n2 = jumlah subjek yang diberikan tramadol
• α = kesalahan tipe 1, ditetapkan sebesar 5%
• β = kesalahan tipe 2, ditetapkan sebesar 20%
• P2 = proporsi menggigil pada obat tramadol berdasarkan kepustakaan
adalah sebesar 16 %
• Q2 = 1 – P2 = 1 – 16% = 84%

Universitas Sumatera Utara


• P1 – P2 = Selisih minimal proporsi kejadian yang diangap bermakna antara
obat ketamin dan obat tramadol, ditetapkan sebesar 5%
• P1 = Proporsi kejadian pada ketamin, ditetapkan  (P1-P2) + P2  10%
• Q1 = 1-P = 90%
• P = (P1+ P2)/2 = 13%
• Q = 1-P  87%
(1,96 √2𝑥𝑥0,13𝑥𝑥 0,87 +0,84 √0,1 𝑥𝑥 0,9+ 0,16 𝑥𝑥 0,84)2 (0,9159+0,3864 )2
• 0,05
= 0,05
= 26 / Kelompok

Untuk mengantisipasi drop out ditambah 10% dari jumlah sampel yang dibutuhkan.
Sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan menjadi 29 sampel per grup

3.6. Informed Consent


Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik, pasien mendapatkan
penjelasan tentang prosedur yang akan dijalani serta menyatakan secara tertulis
kesediaannya dalam lembar informed consent.

3.7. Alat, Bahan dan Cara Kerja


3.7.1. Alat dan Bahan
3.7.1.1.Alat
a. Alat monitor non invasif otomatik (tekanan darah, denyut jantung,
frekuensi nafas, EKG, saturasi oksigen) (Infinity).
b. Spuit 3 ml dan 20 ml(B-Braun)
c. Spinocain 25 G (B-Braun)
d. Doek steril
e. Kanul vena 18G, infus set, threeway (B-Braun)
f. Alat tulis dan formulir penelitian
g. Thermometer
3.7.1.2.Bahan
a. Obat-obatan anestesi spinal : obat Bupivacain heavy 0,5% 12,5 mg
(Regivell)
b. Cairan : Ringer laktat (Widatra)
c. Obat-obatan emergensi : Efedrin (Vasodrin) 5 mg/ml dan Sulfas Atropin
(Atropin Sulfate) 0,25 mg/ml yang sudah teraplus.

Universitas Sumatera Utara


d. Obat yang diteliti : Kelompok yang menerima Ketamin 0,25
mg/kgBB/intravena. Kelompok yang menerima tramadol 0,5 mg/kgBB
intravena.
e. Cairan pelarut obat penelitian infus NaCl 0,9% (Widatra)
f. Obat rescue : Pethidine 25 mg intravena. (Pethidine HCL)
g. Obat anti PONV : Ondansentron4 mg intravena. (Ondansentron HCL)
3.7.2. Cara Kerja
Persiapan Pasien dan Obat
Seleksi penderita dilakukan pada penderita yang akan menjalani operasi
elektif dengan anestesi spinal, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Penderita diberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan,
serta bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi informed consent.
1. Semua penderita diberikan cairan Ringer Laktat 10 ml/kgBB/jam yang disimpan
di suhu ruangan 20 menit sebelum operasi.
2. Pada saat masuk kamar operasi tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah
diastolik (TDD), Mean Arterial Pressure (MAP), Frekuensi Denyut Jantung
(FJ), saturasi oksigen (SpO2) dan suhu tubuh diukur 5 menit sebelum dilakukan
anestesi spinal.
3. Peneliti mengambil amplop yang sudah disiapkan oleh relawan tanpa
mengetahui isi dari amplop tersebut.
4. Pada kelompok Ketamin diberikan Ketamin 0,25 mg/KgBB intravena yang
encerkan dengan NaCl 0,9% hingga volume 10 ml setelah pemberian anestesi
spinal. Pada kelompok Tramadol diberikan Tramadol 0,5 mg/KgBB intravena
yang encerkan dengan NaCl 0,9% hingga volume 10 ml setelah pemberian
anestesi spinal dan tinggi blok tercapai.
5. Selama operasi diberikan rumatan cairan memakai cairan Ringer Laktat 2
ml/kgBB/jam suhu ruangan dipertahankan antara 22 – 25 derajat celcius selama
operasi sesaui dengan literature (Dgimar, 2007) dan pemulihan setiap 5 menit
selama operasi berlangsung dilakukan pencatatan kejadian menggigil dan diukur
tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), rata – rata tekanan
arteri, frekuensi denyut jantung (FJ), saturasi oksigen (SpO2) dan suhu tubuh.

Universitas Sumatera Utara


6. Jika kejadian menggigil muncul maka perlakuan dianggap tidak efektif dan
pasien diberikan obat petidin 25 mg intravena, jika obat tidak tersedia maka
pasien akan diselimuti dan diberikan cairan yang telah dihangatkan melalui
intravena Penurunan tekanan arteri rata-rata lebih dari 20% nilai awal diterapi
dengan menggunakan efedrin 5 – 10 mg intravena. Jika terjadi bradikardi laju
jantung < 50 x/menit diberikan atropin 0,5 mg iv. Jika terjadi efek mual dan
muntah diberikan obat rescue Ondansentron 4 mg.
7. Pada saat akhir operasi larutan rumatan dihentikan. Pasca operasi pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan diberikan oksigen nasal kanul 3 lpm.
8. Setiap 10 menit di ruang pemulihan dilakukan pencatatan kejadian, menggigil,
tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), frekuensi denyut
jantung (FJ), dan suhu tubuh. Jika menggigil muncul maka perlakuan dianggap
tidak efektif dan dilakukan pemberian petidin 25 mg intravena, jika obat tidak
tersedia, maka pasien akan diselimuti dan diberikan cairan yang dihangatkan
melalui intravena Efek samping hipotensi, sedasi, bradikardi, mual muntah dan
alergi. Penurunan tekanan arteri rata-rata lebih dari 20% nilai awal diterapi
dengan menggunakan efedrin 5 – 10 mg intravena dan 200 ml cairan kristaloid
intravena. Jika terjadi bradikardi laju jantung < 50 x/menit diberikan atropin 0,5
mg iv. Jika terjadi mual dan muntah diberikan ondansentron 4 mg intravena.
Pasien dipantau hingga 2 jam pasca operasi sampai efek obat spinal habis.
9. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara statistika menggunakan
program statistical product and service solution (SPSS) windows. Untuk data
numerik disajikan dalam rata-rata ± simpang baku dan uji statistika untuk
membandingkan antara signifikan atau bermakna secara statistik.
a. Setelah mendapat informed consent dan disetujui komite etik semua
sampel yang akan menjalani operasi dimasukkan dalam kriteria inklusi
dan eksklusi.
b. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan
randomisasi tersamar ganda oleh relawan yang sudah dilatih.
c. Obat dimasukkan kedalam amplop yang bertuliskan obat A atau B dan
diberikan kepada relawan yang melakukan pemberian obat. Obat A dan

Universitas Sumatera Utara


B hanya diketahui oleh relawan, sehingga tercipta penelitian Double
Blind.

3.8. Identifikasi Variabel


3.8.1. Variabel Bebas
1. Ketamin
2. Tramadol
3.8.2. Variabel Tergantung
1. Kejadian Menggigil

3.9. Rencana Manajemen Dan Analisis Data


a. Data yang akan terkumpul dianalisa dengan program software SPSS.
b. Analisa data menggigil yang sudah dikelompokkan, temperatur axilla,
mual dan muntah bila distribusinya normal dengan uji t-tidak
berpasangan, sedangkan bila distribusinya tidak normal dengan uji chi-
square.
c. Batas kemaknaan yang ditetapkan 5%.
d. Interval kepercayaan yang dipakai 95%.

Universitas Sumatera Utara


3.10. Definisi Operasional
Ketamin Definisi : Obat intervensi yang diberikan kepada sampel sebagai obat
perlakuan yang dibandingkan dengan obat perlakuan lainnya
Jenis : Intravena
Merk : KTM 100
Alat Ukur : Dosis
Cara Ukur : Perhitungan dosis
Hasil Ukur : -
Data Ukur : Numerik

Tramadol Definisi : Obat intervensi yang diberikan kepada sampel sebagai obat
perlakuan yang dibandingkan dengan obat perlakuan lainnya
Jenis : Intravena
Merk : Tramadol HCL
Alat Ukur : Dosis
Cara Ukur : Perhitungan dosis
Hasil Ukur : -
Data Ukur : Numerik

Menggigil Definisi : Kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan bersifat
involunter yang dinilai setelah obat anestesi spinal dimasukkan
Alat Ukur : Mahajaan Score
Cara Ukur : Observasi
Hasil Ukur : Skala
Data Ukur : Skala

Lama Operasi Definisi : Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk operasi yang dijalankan
pada penelitian ini (<120 Menit)
Alat ukur : Jam dan Stop Watch
Cara Ukur : Observasi
Data Ukur : Numerik
Hasil Ukur : Numerik

Universitas Sumatera Utara


Hemodinamik Definisi : Tekanan darah, rata – rata tekanan arteri denyut jantung, laju
pernafasan, suhu tubuh pasien yang dinilai saat pasien mulai menjalani
operasi sampai 2 jam pasca operasi
Alat Ukur : Monitor Hemodinamik (Infinity)
Cara Ukur : Observasi
Data Ukur : Numerik

a. Tramadol : Tramadol merupakan obat analgetik yang secara


farmakologis sangat kompleks dan mengandung enentiomer (+) dan (-).
Peranan tramadol untuk mengatasi menggigil adalah dengan cara
inhibisi re-uptake norepinefrin oleh enantiomer (-) sedangkan pelepasan
5-HT dan mengaktivasi reseptor µ opioid. Penggunaan tramadol dosis
0,5 mg/kgBB intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi
epidural.
b. Menggigil mekanisme pertahanan terakhir yang timbul bila mekanisme
kompensasi yang lain tidak mampu mempertahankan suhu tubuh dalam
batas normal. Rangsangan dingin akan diterima afektor diteruskan ke
hipothalamus anterior dan memerintahkan bagian efektor untuk
merespon berupa kontraksi otot tonik dan klonik secara teratur dan
berisfat involunter.
c. Anestesi spinal : spinal analgesia atau subarachnoid nerve block, terjadi
karena deposit obat anestesi lokal di dalam ruangan subarachnoid.
Terjadi blok saraf yang spinalis yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris dan otonom. Dosis yang digunakan 15 mg.
3.11. Masalah Etika
a. Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari komisi etik penelitian
bidang kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas, Rumah Sakit Umum
Pusat H.Adam Malik Medan, Rumah Sakit Tk.II Putri Hijau Medan, dan
Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.
b. Pasien sebelumnya diberi penjelasan tentang tujuan, manfaat serta
resiko dan hal yang terkait dengan penelitian. Kemudian diminta

Universitas Sumatera Utara


mengisi formulis kesediaan menjadi subjek penelitian (informed
consent).
c. Tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tindakan yang
sudah lazim dikerjakan terhadap pasien dan sebelum anestesi dan proses
penelitian dimulai, telah dipersiapkan alat-alat kegawatdaruratan
(oro/nasopharyngeal airway, ambu bag, sumber oksigen, laringoskop,
endotracheal tube ukuran pasien, suction set), monitor (pulse oximetry,
tekanan darah, EKG, Frekuensi denyut jantung), obat emergensi
(efedrin, adrenalin, sulfas atropin, lidokain, aminofilin, deksametason,
nalaxone).
d. Bila terjadi kegawatdaruratan jalan nafas, jantung, paru dan otak selama
proses penelitian berlangsung, maka langsung dilakukan antisipasi dan
penanganan sesuai dengan teknik, alat dan obat standar seperti yang
sudah dipersiapkan sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


3.12. Alur Penelitian

Pasien yang mendapat pembedahan


dengan anestesi spinal

Kriteria inklusi Kriteria inklusi

Sampel Penelitian

Randomisasi Pemberian Obat

Spinal Anestesi

Ketamin 0,25 mg/KgBB Tramadol 0,5 mg/KgBB


diencerkan menjadi 10cc diencerkan menjadi 10cc

Durante operasi, Pasca operasi

Menggigil

Analisa Data dan Laporan


Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL

4.1 Hasil
4.1.1 Karakteristik Sampel
Penelitian ini dilaksanakan selama 6 minggu di Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan, Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara, dan Rumah Sakit Tk-II
Putri Hijau Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efektivitas
pemberian Tramadol 0.5 mg/kgBB/IV dan Ketamin 0.25 mg/kgBB/IV sebagai
pencegahan menggigil pasca anestesi spinal.
Tabel 4.1 Karakteristik sampel
Observasi
Karakteristik Kelompok Kelompok Jumlah Nilai p
ketamin tramadol
n 16 23 39
Laki-laki
Jenis % 53.3% 76.7% 65.0%
0.104
Kelamin n 14 7 21
Perempuan
% 46.7% 23.3% 35.0%
n 1 4 5
Bedah
% 3.3% 13.3% 8.3%
n 3 4 7
Digestif
% 10.0% 13.3% 11.7%
n 6 2 8
Kasus Obgin 0.235
% 20.0% 6.7% 13.3%
n 11 7 18
Ortopedi
% 36.7% 23.3% 30.0%
n 9 13 22
Urologi
% 30.0% 43.3% 36.7%
n 14 15 29
I
% 46.7% 50.0% 48.3%
ASA 1.000
n 16 15 31
II
% 53.3% 50.0% 51.7%
n 30 30 60
Jumlah
% 100.0% 100.0% 100.0%

Sampel yang diperoleh pada penelitian ini berjumlah 60 sampel yang sesuai
dengan kriteria inklusi dan eksklusi, dengan 30 sampel kelompok perlakuan
Ketamin 0,25 mg/kgBB/intravena dan 30 sampel kelompok perlakuan tramadol 0,5

Universitas Sumatera Utara


mg/kgBB intravena. Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa distribusi
responden berdasarkan karakteristik. Jenis kelamin laki-laki pada kelompok
ketamin sebanyak 16 responden (53.3%) dan pada kelompok tramadol sebanyak 23
responden (76.7%) sedangkan jenis kelamin perempuan, pada kelompok ketamin
sebanyak 14 responden (46.7%) dan pada kelompok tramadol sebanyak 7
responden (23.3%). Selain itu, sampel pada penelitian ini paling banyak berasal dari
kasus urologi 22 sampel (36,7%). Dan berdasarkan kelompok PS ASA paling
banyak didapatkan kelompok sampel dengan PS ASA II yaitu 31 sampel (51,7%).
Secara statistik data penelitian berdasarkan karakteristik demografi data bersifat
homogen dengan nilai p > 0,05.
Tabel 4.2 Karaketeristik Umur dan Durasi Operasi
Kelompok ketamin Kelompok tramadol
Nilai p
Observasi Mean SD Mean SD
Usia 46.43 15.40 47.27 16.65 0.841
Durasi 104.07 54.93 99.33 47.48 0.728

Berdasarkan Table 4.2 karakteristik umur didapatkan bahwa rerata usia


pada penelitian ini lebih tinggi pada pasien kelompok tramadol dengan rerata usia
47,27±16.65 tahun meskipun secara statistik tidak terdapat perbedaan data secara
signifikan dengan nilai p>0.05 (0.841). Penelitian ini juga membandingkan durasi
operasi pada kedua kelompok, dengan durasi operasi terlama diperoleh pada
kelompok ketamin sekitar 104.07±54.93 menit.
Gambaran persentase usia pada kelompok penelitian ini juga disajikan
dalam bentuk grafik (Gambar 4.1).

Universitas Sumatera Utara


Usia
47,40

47,20 47,27

47,00

46,80

46,60 46,43

46,40

46,20

46,00
PASIEN A PASIEN B

Gambar 4.1 Gambaran rerata usia pada kelompok ketamin dan kelompok
tramadol
Berdasarkan gambar tersebut didapatkan bahwa kelompok pasien
tramadol memiliki rerata usia lebih tinggi dibandingkan kelompok ketamin.
Tabel 4.3 Gambaran karakteristik rerata tekanan arteri Kelompok ketamin
dan tramadol
Monit Mulai Operasi Intra Operasi Akhir Operasi
oring (Mean) (Mean) (Mean)
Kelo Kelo P Kelo Kelo P Kelo Kelo P
mpok mpok Value mpok mpok Value mpok mpok Value
Keta Trama Keta Trama Keta Trama
min dol min dol min dol
MAP 89,89 94,1 0,092 82,68 87,2 0,139 84,17 91,4 0,287
HR 79,24 80,0 0,504 79,93 76,5 0,371 76,14 74,8 0,089
RR 18,1 18,0 0,591 17,76 18 0,528 18,14 18 0,538
Suhu 35,54 36,7 0,339 35,51 36,7 0,061 35,59 36,6 0,077

Dari tabel 4.3 dapat dilihat perbandingan hemodinamik saat mulai operasi,
selama operasi dan akhir operasi yaitu rata – rata Mean Arterial Pressure (MAP),
Frekuensi jantung, frekuensi nafas, dan suhu tubuh. Yang secara statistik dijumpai
tidak ada perbedaan yang bermakna diantara kedua kelompok (p> 0,05).

Universitas Sumatera Utara


4.1.2 Gambaran kejadian menggigil pada kelompok ketamin 0.25mg/kgBB
pasca anestesi spinal
Gambaran kejadian menggigil pada kelompok ketamin 0.25mg/kgBB
pasca anestesi spinal ditampilkan pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Gambaran kejadian menggigil pada kedua kelompok ketamin
0.25mg/kgBB dan tramadol 0,5 mg/KgBB pasca anestesi spinal

Observasi
Menggigil Kelompok Kelompok Jumlah Nilai p
ketamin tramadol
N 13 13 26
0
% 43.3 43.3 43.3
N 10 9 19
1 0.942
% 33.3 30.0 31.7
N 7 8 15
2
% 23.3 26.7 25.0

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa kejadian menggigil pada


kelompok Ketamin 0,25 mg/kgBB pasca anestesi spinal lebih cenderung tinggi
terjadi pada menggigil derajat 1 (33,30%) dibandingkan dengan mengigil derajat 2
(23.3%). Berdasarkan Tabel diatas juga didapatkan bahwa kejadian menggigil
setelah pemberian tramadol 0.5mg/kgBB pasca anestesi spinal lebih cenderung
tinggi terjadi pada menggigil derajat 1 (30.0%) dibandingkan dengan mengigil
derajat 2 (26.7%). Namun pada keseluruhan sampel didapatkan kejadian tidak
mengigil dengan derjat 0 lebih banyak dibandingkan kejadian menggigil (derajat 1
dan 2).
Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan perbedaan proporsi menggigil antara
kelompok ketamin dan kelompok tramadol. Pada kelompok ketamin, proporsi
tertinggi adalah dengan skor 0 sebanyak 13 responden (43.3%) dan proporsi
terendah pada skor 2 sebanyak 7 responden (23.3%). Sedangkan pada kelompok
tramadol, proporsi tertinggi pada skor 0 sebanyak 13 responden (43.3%) dan
terendah pada skor 2 sebanyak 8 responden (26.7%). Dari hasil uji statistik

Universitas Sumatera Utara


diperoleh nilai p (0.942) > 0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan proporsi
menggigil antara kelompok ketamin dan kelompok tramadol.

Tabel 4.5 Perbedaan rerata suhu sampel saat menggigil di antara 2 kelompok
Kelompok Kelompok P Value
ketamin tramadol
35,83 35,71 0,313

Dari tabel diatas dapat dilihat perbandingan rerata suhu sampel saat
menggigil pada kedua kelompok didapatkan perbedaan yang tidak bermakna
dengan nilai p > 0,05.
4.1.3 Perbandingan onset kejadian menggigil pada kelompok ketamin dan
kelompok tramadol
Perbandingan kejadian menggigil setelah pemberian tramadol
0.5mg/kgBB dan ketamin 0.25 mg/kgBB pasca anestesi spinal ditampilkan pada
Table 4.6
4.1.4 Tabel 4.6. Perbandingan onset kejadian menggigil pada kelompok ketamin
dan kelompok tramadol
Kelompok Mean SD Nilai p
Kelompok ketamin 26.44 19.708
Kelompok 0.839
25.33 13.425
tramadol
* Uji Mann Whitney

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa rerata waktu onset menggigil,


pada kelompok Ketamin adalah pada menit ke 26.44 dan pada kelompok Tramadol
nilai rerata pada menit ke 25.33, dari hasil uji statistik diperoleh nilai p (0.839) >
0.05 yang berarti tidak terdapat perbedaan onset menggigil antara kelompok
Ketamin dan kelompok Tramadol.

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efektivitas
pemberian tramadol 0.5 mg/kgBB/IV dan ketamin 0.25 mg/kgBB/IV sebagai
pencegahan menggigil pasca anestesi spinal. Pada penelitian double blind
randomised controlled clinical trial. Penelitian ini menggunakan data yang
diperoleh secara langsung dari pasien yang menjalani anestesi spinal di Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan. Pemeriksaan menggigil dilakukan selama setelah
tindakan spinal sampai 2 jam setelah operasi selasai. Penelitian ini merupakan
penelitian analitik dengan 60 sampel penelitian.
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan bahwa rerata usia pada kelompok
tramadol memiliki usia yang lebih tua meskipun tidak ada perbedaan data secara
signifikan. Perbedaan kelompok ketamin dan kelompok tramadol juga dinilai dari
lamanya onset obat tramadol dan ketamin, dimana pada penelitian ini kelompok
ketamin memiliki onset yang lebih panjang dibandingan kelompok tramadol namun
perbedaan tersebut tidak signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Lema et. al (2017).
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa hemodinamik pada kedua
kelompok secara rata-rata stabil. Untuk suhu bila dibandingkan nilai rata-ratanya
hampir dari awal, intra, dan akhir operasi. Untuk hasil pengukuran suhu bila dilihat
secara teori bahwa penghambatan yang diinduksi anestesi neuraxial dari
mekanisme termoregulasi akan mengakibatkan hipotermia perioperatif. Menggigil
perioperatif terjadi sebagai respons termoregulasi terhadap hipotermia (Ameta et.
al, 2018).
Menggigil adalah fenomena yang tidak menyenangkan yang dapat terjadi
selama periode perioperatif. Menggigil memiliki beberapa efek fisiologis yang
merusak, seperti meningkatkan SVR, pergeseran kiri kurva saturasi Oksigen Hb,
mengubah status mental, gangguan fungsi ginjal, keterlambatan metabolisme obat
dan gangguan penyembuhan luka, meningkatkan risiko infeksi. Menggigil
perioperatif dapat meningkatkan konsumsi Oksigen sebanyak lima kali lipat dan
dapat menurunkan saturasi oksigen arteri dan mungkin berhubungan dengan
peningkatan iskemia miokard (Azam et. al., 2018). Penelitian Azam et. al (2018)

Universitas Sumatera Utara


menyimpulkan bahwa penggunaan profilaksis intravena dosis rendah 0,5mg/kg
Ketamine secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan intravena tramadol
dalam pencegahan menggigil intraoperatif selama anestesi spinal pada wanita yang
menjalani operasi caesar.
Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan bahwa kejadian menggigil setelah
pemberian Ketamin 0,25 mg/kgBB pasca anestesi spinal lebih banyak tinggi terjadi
pada menggigil derajat 1, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Hussain et. al. (2017) bahwa bahwa ketamin menunjukkan efek anti menggigil pada
penelitian komparatif dengan sampel sebanyak 120 orang (Husein et. al., 2017).
Secara teoritis, ketamine, antagonis reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA) yang
kompetitif, berperan dalam termoregulasi pada berbagai tingkat proses. Reseptor
NMDA memodulasi neuron noradrenergik dan serotoninergik di lokus coeruleus.
Hal ini digunakan sebagai agen antishivering pada kisaran dosis intravena 0,5 - 0,75
mg/kg; Namun, bahkan pada dosis ini, itu menyebabkan efek samping termasuk
kantuk, halusinasi, dan delirium (Hasannasab et. al., 2016).
Berdasarkan Tabel 4.5 didapatkan bahwa kejadian menggigil setelah
pemberian tramadol 0.5mg/kgBB pasca anestesi spinal juga lebih cenderung tinggi
terjadi pada menggigil derajat 1, namun pada keseluruhan sampel didapatkan
kejadian tidak mengigil dengan derjat 0 lebih banyak dibandingkan kejadian
menggigil (derajat 1 dan 2). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ku et. al. (2012) bahwa derajat menggigil pada pasien yang diberikan perlakuan
tramadol paling banyak pada menggigil derajat 1 (12,9%) sedangkan pada
menggigil derajat 2 tidak pada kelompok yang diberikan tramadol tidak ditemukan.
Ku et. al. mendapatkan bahwa insiden menggigil secara keseluruhan dalam
penelitian ini rendah (15%) dibandingkan dengan insiden yang dilaporkan dalam
12 studi lainnya yaitu 40-60% dalam (Ku et. al., 2012).
Berdasarkan tabel 4.5. didapatkan juga bahwa kejadian menggigil dari
kedua kelompok sebesar 56,7% (34 sampel). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Crowley dan Buggy yang mengatakan bahwa 55% sampel
mengalami tetap mengalami menggigil setelah diberikan obat pencegahan
menggigil. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya penjagaan suhu ruangan,
pemberian cairan yang tidak cukup hangat, perhitungan luas tubuh yang tidak

Universitas Sumatera Utara


sesuai sehingga pemberian dosis tidak sesuai terutama pada pasien yang masuk
kedalam kategori obesitas dan berbagai faktor lingkungan lainnya (Crowley &
Buggy, 2008)
Menurut penelitian Lema et. al. (2017) didapatkan ketamin sebagai efek
anti menggigil menunjukkan paling banyak memiliki persentase terbesar pada
mengigil derajat 2. Hasil penelitian ini berbeda, karena pada penelitian ini paling
banyak tergolong mengigil derajat 1 (Lema et. al., 2017). Namun bila dilihat dari
onset kerja tramadol sebagai anti menggigil menunjukkan hasil yang berbeda di
mana onset mengigil pada penelitian ini lebih panjang dari onset mengigil yang
dipaparkan oleh Azam et. al. (2018) bahwa tramadol berlangsung dalam semua
kasus menggigil selama 15-20 menit. Pada 30 menit, sebagian besar episode
menggigil telah diselamatkan dengan dosis rescue tramadol. Tidak ada kasus
berulangnya menggigil setelah pemberian tramadol.
Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan perbedaan proporsi menggigil antara
kelompok ketamin dan kelompok tramadol. Pada kelompok ketamin, proporsi
tertinggi adalah dengan derajat menggigil 0 sebanyak 13 responden (43.3%) dan
proporsi terendah pada derajat menggigil 2 sebanyak 7 responden (23.3%).
Sedangkan pada kelompok tramadol, proporsi tertinggi pada derajat menggigil 0
sebanyak 13 responden (43.3%) dan terendah pada derajat mengigil 2 sebanyak 8
responden (26.7%). Dari hasil uji statistik diperoleh nilai p (0.942) > 0.05 yang
berarti tidak terdapat perbedaan proporsi menggigil antara kelompok ketamin dan
kelompok tramadol. Hal ini menunjukkan bahwa dari persentase kelompok
tramadol lebih baik dari pada kelompok ketamin. Hal ini sesuai dengan teori
sebelumnya bahwa berbagai perawatan seperti pemanasan cairan intravena, aplikasi
panas radiasi, mengendalikan suhu ruang operasi atau agen farmakologis seperti
ketamin dan tramodol telah digunakan untuk mengontrol menggigil intraoperatif
untuk menghindari konsekuensi buruk dari menggigil.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lema et. al. (2017) didapatkan
banyak terdapat pasien dengan menggigil derajat 3 pada kelompok yang diberikan
ketamin sebesar 19,5%. Namun insiden menggigil cenderung rendah pada ibu yang
melahirkan pada kelompok yang diberikan tramadol. Hal ini dikarenakan
pengaturan tinggi blok juga mempengaruhi intensitas kejadian menggigil.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Kejadian menggigil pada kelompok ketamin 0,25 mg/KgBB pasca anestesi
spinal terjadi pada 56,7% sampel
2. Kejadian menggigil pada kelompok tramadol 0,5mg/KgBB pasca anestesi
spinal terjadi pada 56,7% sampel
3. Kejadian menggigil pada kelompok ketamin 0,25 mg/kgBB pasca anestesi
spinal lebih tinggi terjadi pada menggigil derajat 1
4. Kejadian menggigil pada kelompok tramadol 0.5mg/kgBB pasca anestesi
spinal lebih tinggi terjadi pada menggigil derajat 1
5. Tidak didapati perbedaan proporsi menggigil antara kelompok ketamin 0,25
mg/kgBB/intravena dan kelompok tramadol 0,5 mg/kgBB intravena dengan
nilai p (0.942) >0.05.
6. Pada penelitian ini pemberian ketamin 0,25 mg/KgBB dan tramadol 0,5
mg/KgBB tidak cukup efektif dalam mencegah kejadian menggigil pasca
anestesi spinal.
6.2 Saran
1. Diharapkan dapat dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang
lebih besar
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan teori dalam menilai efek
ketamin dan tramadol sebagai anti menggigil.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi alternatif terapi pada pelayanan terhadap
pasien yang menjalani operasi dengan anestesi spinal.
4. Diharapkan dilakukan penelitian dengan menggunakan pembanding
kelompok kontrol atau plasebo.
5. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan pada subjek penelitian yang
menjalani operasi yang sama dan dapat menggunakan dosis yang lebih
tinggi.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA
Abdelrahman, R. S. (2012) ‘Prevention of shivering during regional anaesthesia:
Comparison of Midazolam, Midazolam plus ketamine,Tramadol, and
Tramadol plus Ketamine’, Life Science Journal, 9(2), pp. 132–139.
Alfonsi P. Postanaesthetic Shivering, Epidemilogy, Pathophysiology and
Approaches to Prevention and Management. Minerva anestesiology. 2003;
69:438-41.

Azam, M. et al. (no date) Efficacy of Prophylactic Intravenous Ketamine Vs


Tramadol for Prevention of Intraoperative Shivering in Spinal Anesthesia for
Patient undergoing cesarean section.

Bernards, Vhristopher M, 2006. Epidural and Spinal Anesthesia dalam : Barash,


Paul G., Cullen, Bruce F., Stoelting, Robert K. Clinical Anesthesia 5th edition.
USA: Lippincott William & Wilkins.

Birnbach, David J., Browne, Inggrid M. 2009. Anesthesia for Obstetrics dalam :
Miller, Ronald D. Miller Anesthesia 7th edition. USA : Churchill Livingstone.

Budd K, Langford R. Tramadol revisited. Br.J.Anaesth. 1999; 82:493 – 5.

Chan AMH, Ng KFJ, Tong EWN, Jan GSK. Control of shivering under regional
anesthesia in obstetric patiens with tramadol. Can J Anesth 1999/46/253 – 8.

Crowley, L. and Buggy, D. (2008) ‘Shivering and Neuraxial Anesthesia’, Regional


Anesthesia and Pain Medicine, 33(3), pp. 241–252. doi:
10.1016/j.rapm.2007.11.006.
Cystoscopy: Background, Indications and Contraindications, Technical
Considerations (no date).
De Witte J., Deloof T., De Veylder J., Housmans PR. Tramadol in the treatment of
postanaesthetic shivering. Acta Anaesthesiologica Scandinavia 1997 ; 41 :
506 – 10.

Dgimar, A. A.; Patel, M.G.; Swadia, V.N., 2007. Tramadol for control shivering
(comparison with petidine). Indian J. Anaesth. 51(1) : 28-31.

Dhawan, I. et al. (2014) ‘Use of oral tramadol to prevent perianesthetic shivering


in patients undergoing transurethral resection of prostate under subarachnoid

Universitas Sumatera Utara


blockade’, Saudi Journal of Anaesthesia, 8(1), p. 11. doi: 10.4103/1658-
354X.125898.

El Bakry, A. E. A. and Ibrahim, E. (2016) ‘Prophylactic dexamethasone or


pethidine for the prevention of postoperative shivering during transurethral
resection of the prostate under spinal anesthesia’, Ain-Shams Journal of
Anaesthesiology. Medknow Publications and Media Pvt. Ltd., 9(3), p. 349.
doi: 10.4103/1687-7934.189102.
English W. Post-Operative Shivering, Causes, Prevention and Treatment. World
Federation of Societies of Anasthesiologist.www.implementation by the
NDA Web Team. 2002; Issue 1.5; Article 3.

Hussain, T., Afridi, K. and Mir, A. (2017) ‘Ondansetron versus Ketamine to control
intra-op and post-op shivering caused by subarachnoid block: a comparative
phase study’, Medicine Science | International Medical Journal, p. 1. doi:
10.5455/medscience.2017.06.8658.

Lakhe, G. et al. (no date) ‘Prevention of Shivering during Spinal Anesthesia:


Comparison between Tramadol, Ketamine and Ondansetron.’, JNMA;
journal of the Nepal Medical Association, 56(208), pp. 395–400.
Lee, Y. S. et al. (2018) ‘Evaluation of the efficacy of the National Early Warning
Score in predicting in-hospital mortality via the risk stratification’, Journal
of Critical Care, 47, pp. 222–226. doi: 10.1016/j.jcrc.2018.07.011.
Leslie, K. and Sessler, D. I. (1996) ‘Reduction in the shivering threshold is
proportional to spinal block height.’, Anesthesiology, 84(6), pp. 1327–31.
Luggya, T. S. et al. (2016) ‘Prevalence, associated factors and treatment of post
spinal shivering in a Sub-Saharan tertiary hospital: a prospective
observational study.’, BMC anesthesiology. BioMed Central, 16(1), p.
100. doi: 10.1186/s12871-016-0268-0.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Patient Monitors. In : Morgan
GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology 4th ed.
New York: Lange Medical Books/Mc.Graw-Hill Medical Publishing
Edition, 2006:1008-1011.
Mohta, M. et al. (2009) ‘Tramadol for prevention of postanaesthetic shivering: a
randomised double-blind comparison with pethidine’, Anaesthesia, 64(2),
pp. 141–146. doi: 10.1111/j.1365-2044.2008.05711.x.
Nazir, A., Dar, A. and Javed, T. (no date) American Journal of Advanced Drug
Delivery A Comparative Study; Prophylactive Intravenous Ketamine and
Tramodol in Preventing Intraoperative Shivering in Patients Undergoing

Universitas Sumatera Utara


Elective Lower Limb Surgery Under Spinal Anaesthesia Address for
Correspondence D.
Panduwaty, L., Suwarman and Sitanggang, R. H. (2015) ‘Perbandingan Klonidin
0,5 mg/kgBB Intravena dengan Tramadol 0,5 mg/kgBB Intravena Sebagai
Profilaksis Kejadian Menggigil Pascaanestesia Spinal pada Seksio
Sesarea’, Jurnal Anestesi Perioperatif, 3(1), pp. 38–46. doi:
10.15851/jap.v3n1.378.

Ranjan, S. D. and Neethika, M. (2017) ‘Post Operative Shivering: Prophylactic


Effects of Ketamine and Pethidine, A Comparative Study in Tertiary Care
Hospital’, IOSR Journal of Dental and Medical Sciences (IOSR-JDMS) e-
ISSN, 16(3), pp. 12–15. doi: 10.9790/0853-1603041215.

Sessler D.I., Mild Perioperative Hypothermia. New England Journal of Medicine.


1997; 336(24): 1730-37.

Stoelting RK, Hiller SC. Thermoregulation. Pharmacology & Phisiology in


Anesthetic Practice 4th ed. Philadelphia. Lipincott Williams and Wilkins.
2006:689.

Stoelting, R.K.; Hillier, S.C., 2006. Alpha and beta adrenergic receptor antagonists.
In : Stoelting, R.K. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th
ed. Philadelphia : JB Lippincott Company. P: 321-37.

Talakoub R. Noorimeshkan S. Tramadol HCl versus Meperidine in the Treatment


of Shivering During Spinal Anesthesia in Cesarean Section. Journal of
Research in Medical Science. 2006;11(3) : 151-155.

Tobi, K., Imarengiaye, C. and Edomwonyi, N. (2012) ‘Tramadol effects on


perioperative shivering in lower limb orthopaedic surgeries under spinal
anaesthesia.’, Journal of the West African College of Surgeons, 2(2), pp.
63–79.
Tsai YC, Chu KS A comparison of tramadol, amitriptyline, and meperidine for
postepidural anesthetic shivering in parturients. Anesth Analg 2001 ; 93:1288
– 1292.

Universitas Sumatera Utara


Webb PJ, James FM III, Wheeler AS. Shivering during epidural analgesia in
women in labor, Anesthesiology 1981; 55 : 7-6-7.

Whitte JD, Sessler DI. Perioperative shiverig: Physiology and Pharmacology.


Anaesthesiology 2002; 96(2): 467-84.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran1

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : dr. R. Andika Dwi Cahyadi


Tempat/Lahir : Medan/ 8 November 1988
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sukaria No. 7Medan
Nama Ayah : (Alm) Ir. R. Satmoko Wicaksono
Nama Ibu : Andjas Ismuwardhani
Status : Belum Menikah

Riwayat Pendidikan
1994- 2000 : SD Harapan 2 Medan
2000 - 2004 : SLTP Harapan 2 Medan
2004 - 2006 : SMU Negeri 1 Medan
2006 -2011 : Kedokteran Umum FK USU
2014 - Sekarang : PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FKUSU

Riwayat Pekerjaan
2012-2013 : Dokter Internship RS Bhayangkara Medan
2013–2014 : Dokter Umum RS Tanjung Selamat PTPN2 Langkat

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

JADWAL TAHAPAN PELAKSANAAN PENELITIAN


NO Tahapan Penelitian Rencana

1 Bimbingan Proposal Oktober - November 2018

2 Seminar Proposal Desember 2018

3 Perbaikan Proposal Desember 2018

4 Komisi Etik Penelitian Januari 2019

5 Pengumpulan Data Januari – Februari 2019

6 Pengolahan dan Analisa Data Maret 2019

7 Bimbingan Penyusunan laporan Akhir April 2019

8 Seminar Akhir Penelitian April 2019

9 Perbaikan Laporan Akhir Penelitian Mei 2019

Tahapan 2018 2019


Penelitian Oktober November Desember Januari Februari Maret April
Bimbingan
proposal
Seminar
Proposal
Perbaikan
Proposal
Komisi etik
penelitian
Pengumpulan
data
Pengolahan
dan analisa
data
Bimbingan
penyusunan
laporan akhir
Seminar akhir
penelitian
Perbaikan
laporan akhir
penelitian

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

LEMBAR PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN


Bapak/Ibu/Saudara/i Yth.
Saya, dr. R. Andika Dwi Cahyadi saat ini sedang menjalani program
pendidikan dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran
USU dan akan melaksanakan penelitian sebagai syarat ujian akhir. Adapun
penelitian saya berjudul:
PERBANDINGAN PENCEGAHAN MENGGIGIL TRAMADOL 0,5 MG/KGBB
DAN KETAMIN 0,25 MG/KGBB PADA ANESTESI SPINAL

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efek pencegahan


menggigil tramadol 0,5 mg/KgBB dengan ketamin 0,25 mg/KgBB pada anestesi
spinal.

Keluarga Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian akan diambil sebagai subjek/pelaku


penelitian ini, berdasarkan kriteria yang sudah disepakati sebelumnya. Bila anda
setuju untuk diikutsertakan dalam penelitian ini, maka saya sangat mengharapkan
kerjasama yang baik dan berkenan untuk menandatangani surat persetujuan ini.
Namun apabila anda tidak bersedia, kami akan tetap memberikan pelayanan
sebagaimana mestinya.
Untuk lebih jelasnya, saat turut serta sebagai sukarelawan pada penelitian
ini, keluarga Bapak/Ibu/Saudara/i akan menjalani prosedur penelitian sebagai
berikut:
1. Semua penderita diberikan cairan Ringer Laktat 10 ml/kgBB/jam yang disimpan
di suhu ruangan 20 menit sebelum operasi.
2. Pada saat masuk kamar operasi tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah
diastolik (TDD), Frekuensi Denyut Jantung (FJ) dan suhu tubuh diukur 5 menit
sebelum dilakukan anestesi spinal.
3. Peneliti mengambil amplop yang sudah disiapkan oleh relawan tanpa
mengetahui isi dari amplop tersebut.
4. Pada kelompok Ketamin diberikan Ketamin 0,25 mg/KgBB intravena setelah
pemberian anestesi spinal. Pada kelompok Tramadol diberikan Tramadol 0,5
mg/KgBB intravena setelah pemberian anestesi spinal.

Universitas Sumatera Utara


5. Selama operasi diberikan rumatan cairan memakai cairan Ringer Laktat 2
ml/kgBB/jam suhu ruangan dipertahankan antara 23 – 25 derajat celcius selama
operasi dan pemulihan setiap 5 menit selama operasi berlangsung dilakukan
pencatatan kejadian menggigil dan diukur tekanan darah sistolik (TDS), tekanan
darah diastolik (TDD), frekuensi denyut jantung (FJ), saturasi oksigen (SaO2)
dan suhu tubuh.
6. Jika kejadian menggigil muncul maka perlakuan dianggap tidak efektif dan
pasien diberikan obat petidin 25 mg intravena, Penurunan tekanan arteri rata-
rata lebih dari 20% nilai awal diterapi dengan menggunakan efedrin 5 – 10 mg
intravena. Jika terjadi bradikardi laju jantung < 50 x/menit diberikan atropin 0,5
mg iv. Jika terjadi efek mual dan muntah diberikan obat rescue Ondansentron 4
mg.
7. Pada saat akhir operasi larutan rumatan dihentikan. Pasca operasi pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan dan diberikan oksigen nasal kanul 3 lpm.
8. Setiap 10 menit di ruang pemulihan dilakukan pencatatan kejadian, menggigil,
tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolik (TDD), frekuensi denyut
jantung (FJ), saturasi oksigen (SaO2) dan suhu tubuh. Jika menggigil muncul
maka perlakuan dianggap tidak efektif dan dilakukan pemberian petidin 25 mg
intravena. Efek samping hipotensi, sedasi, bradikardi, mual muntah dan alergi.
Penurunan tekanan arteri rata-rata lebih dari 20% nilai awal diterapi dengan
menggunakan efedrin 5 – 10 mg intravena. Jika terjadi bradikardi laju jantung <
50 x/menit diberikan atropin 0,5 mg iv. Jika terjadi mual dan muntah diberikan
ondansentron 4 mg intravena. Pasien dipantau hingga 2 jam pasca operasi.
9. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara statistika menggunakan
program statistical product and service solution (SPSS) windows. Untuk data
numerik disajikan dalam rata-rata ± simpang baku dan uji statistika untuk
membandingkan antara signifikan atau bermakna secara statistik.
a. Setelah mendapat informed consent dan disetujui komite etik semua
sampel yang akan menjalani operasi dimasukkan dalam kriteria inklusi
dan eksklusi.
b. Sampel dibagi secara random menjadi 2 kelompok dan dilakukan
randomisasi tersamar ganda oleh relawan yang sudah dilatih.

Universitas Sumatera Utara


c. Obat dimasukkan kedalam amplop yang bertuliskan obat A atau B dan
diberikan kepada relawan yang melakukan pemberian obat. Obat A dan
B hanya diketahui oleh relawan, sehingga tercipta penelitian Double
Blind.
Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang
berbahaya bagi Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian. Akan tetapi, apabila terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh
perlakuan yang dilakukan selama penelitian ini, maka Bapak/Ibu/Saudara/i dapat
menghubungi dr. R. Andika Dwi Cahyadi (Hp.082274084357) untuk mendapatkan
pertolongan dan konsultasi. Selain dari itu, penelitian ini juga diawasi konsultan-
konsultan di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, sehingga bila terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan peneliti dapat berkonsultasi dalam hal penanganan kejadian
tersebut.
Kerja sama Bapak/Ibu/Saudara/i sangat diharapkan dalam penelitian ini.
Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat
ditanyakan pada peneliti, dr R. Andika Dwi Cahyadi.
Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,
diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/i yang telah terpilih pada penelitian ini, dapat
mengisi lembaran persetujuan turut serta dalam penelitian yang telah dijelaskan
sebelumnya.

Medan, ………………… 2019


Peneliti

(dr. _____________)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ...........................................................................
Umur : ……………. tahun
Alamat : ...........................................................................
Pekerjaan : ...........................................................................
Pendidikan : ...........................................................................
Hubungan keluarga : ...........................................................................
Nama Pasien : ...........................................................................
Umur Pasien : ……………. tahun
No. Rekam Medis : ............................................................................

Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta memahami


tentang tujuan, manfaat, dan resiko yang mungkin timbul dalam penelitian berjudul:
PERBANDINGAN PENCEGAHAN MENGGIGIL TRAMADOL 0,5 MG/KGBB
DAN KETAMIN 0,25 MG/KGBB PADA ANESTESI SPINAL

Dan mengetahui serta memahami bahwa subjek dalam penelitian ini sewaktu-
waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, dengan ini menyatakan
ikut serta dalam penelitian dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua
ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati dalam penjelasan mengenai
penelitian tersebut di atas.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila diperlukan.

Universitas Sumatera Utara


Medan, ……………………. 2019
Mengetahui, Yang Menyatakan,
Penanggung Jawab Penelitian Keluarga Peserta Uji Klinik

(dr._____________) (____________________)

Saksi,

(_____________________)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI PASIEN


PERBANDINGAN PENCEGAHAN MENGGIGIL TRAMADOL 0,5 MG/KGBB
DAN KETAMIN 0,25 MG/KGBB PADA ANESTESI SPINAL

DATA DASAR
Nama : ...........................................................................
No. Rekam Medis : ............................................................................
Umur : ……………. tahun
Jenis Kelamin : Pria / Wanita
Suku Bangsa : ...........................................................................
Diagnosis Masuk RS : ............................................................................
Modified Crossley and Mahajan Scale dalam skala 0-4 yaitu (Paul & Paul, 2017):

0 : Tidak ada menggigil

1 : Tremor intermitten dan ringan pada rahang dan otot-otot leher.

2 : Tremor yang nyata pada otot-otot dada

3 : Tremor intermitten seluruh tubuh

4 : Aktifitas otot-otot seluruh tubuh yang sangat kuat terus menerus.

DATA PENILAIAN

Derajat Mengigil Waktu Kejadian Efek Samping


0
1
2
3
4

Universitas Sumatera Utara


Waktu Tekanan Denyut Frekuensi Suhu SpO2 Menggigil
Darah Jantung Pernafasan
Mulai
Operasi
10 Menit
20 Menit
30 Menit
40 Menit
50 Menit
60 Menit
70 Menit
80 Menit
90 Menit
100 Menit
110 Menit
120 Menit
130 Menit
140 Menit
150 Menit
160 Menit
170 Menit
180 Menit
190 Menit
200 Menit
210 Menit
220 Menit
230 Menit
240 Menit

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6

ANGGARAN PENELITIAN

Taksasi dana yang diperlukan selama penelitian

Sterilized Water (Otsu 100) 60 x Rp. 11.500,-


= Rp. 690.000,-
Spinal needle 25 G (KTM® 100) 60 x Rp. 50.000,-
= Rp. 3.000.000,-
Ketamine (KTM® 100) 1 x Rp. 250.000,-
= Rp. 250.000,-
Tramadol (Hexapharm) 30 x Rp. 8.500,-
= Rp. 255.000,-
Bupivacain (Regivell) 60 x Rp. 21.000
= Rp.1.260.000,-
Sulfas Atrophine 0,25mg 60 x RP. 5.000,-
= Rp.300.000,-
Efedrin (Vasodrin® 50mg/ml) 60 x Rp. 42.000,- = Rp.
2.520.000,-
Ondansetron (Ondansetron HCl® 4mg/ml) 60 x Rp. 7.000,- = Rp.
420.000,-
Spuit 3 cc (Terumo®) 60 x Rp. 3.000,- = Rp.
180.000,-
Spuit 5 cc (Terumo®) 60 x Rp. 3.000,- = Rp.
180.000,-
Spuit 10 cc (Terumo®) 60 x Rp. 3.000,- = Rp.
180.000,-
Pengadaan literature = Rp.1.000.000,-
Pengadaan bahan seminar usulan penelitian = Rp. 750.000,-
Cetak Usulan & hasil penelitian 20 x Rp. 50.000,- = Rp.
1.000.000,-
Konsumsi proposal dan seminar = Rp.1.000.000,-
Biaya Komisi Etik Penelitian = Rp.1.200.000,-

Universitas Sumatera Utara


Pengadaan bahan seminar tesis penelitian = Rp. 750.000,-
Cetak hasil penelitian 20 x Rp. 50.000,- = Rp.
1.000.000,-
Konsumsi seminar tesis = Rp.1.000.000,-

Total biaya penelitian = Rp. 17.035.000,-

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai