2017
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/3732
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
HUBUNGAN POLA AKTIFITAS SISWA DENGAN
KELAINAN REFRAKSI PADA SISWA SD
DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL
SKRIPSI
Oleh :
FATHI AZWAR S
140100021
SKRIPSI
Oleh :
FATHI AZWAR S
140100021
Latar Belakang. Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang paling sering
terjadi dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, termasuk pada anak.
Kelainan refraksi tersebut dapat berupa miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. Sebanyak 51%
dari jumlah populasi di Amerika Serikat menggunakan alat bantu kelainan refraksi. Di Indonesia
hampir 25% dari populasi atau sekitar 55 juta jiwa.Tujuan. Tujuan penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan pola aktifitas dengan kejadian kelainan refraksi di SD di Kecamatan
Medan Sunggal. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross
sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara multistage random sampling dan
didapatkan sampel sebanyak 51 orang. Data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan
kuesioner dan visus mata. Hasil. Distribusi frekuensi penurunan ketajaman penglihatan akibat
kelainan refraksi pada siswa-siswi sekolah dasar di Kecamatan Medan Sunggal tahun 2017
adalah senilai 39,2% yaitu sekitar 20 orang dari jumlah sampel sebanyak 51 orang. Distribusi
frekuensi pola aktifitas adalah sebanyak 45 orang (88,2%) membaca buku, 38 orang (74,5%)
menggunakan alat elektronik, 47 orang (92,2%) menonton TV, 31 orang (60,8%) menggunakan
komputer, dan 44 orang (86,3%) beraktifitas di luar ruangan. Berdasarkan uji statistik korelasi
Eta tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada aktifitas diluar ruangan (p-value 0,279)
dengan kejadian kelainan refraksi. Dan ditemukan hubungan antara membaca buku (p-value
0,543), menggunakan alat elektronik (p-value 0,505) menonton TV (p-value 0,576) dan
menggunakan komputer (p-value 0,594) dengan kejadian kelainan refraksi. Kesimpulan. Tidak
ditemukan hubungan yang signifikan pada aktifitas diluar ruangan dengan kejadian kelainan
refraksi. Dan ditemukan hubungan antara membaca buku, menggunakan alat elektronik,
menonton TV dan menggunakan komputer dengan kejadian kelainan refraksi.
Kata kunci : Kelainan refraksi, Pola Aktifitas, sekolah dasar, anak, mata
ii
Background. Refractive disorder is one of the most common eye disorders and become a public
health problem worldwide, including children. Refractive disorders may include myopia,
hypermethropia, and astigmatism. As many as 51% of total population in United States using tools
for their refractive disorders. In Indonesia almost 25% of the population or about 55 million
people. Objective. The aim of this study is to determine the relationship between pattern of activity
with the incidence of refractive disorders in elementary school students in Medan Sunggal sub-
district. Method. This research is an analytic research with cross sectional research design.
Sampling was done by multistage random sampling and got 51 samples. Data collected through
interviews with questionnaires and eye visus examination. Results. The frequency distribution of
decreased visual acuity due to refractive abnormalities in elementary school students in Medan
Sunggal sub-district in 2017 is worth 39.2% which is about 20 people from the total sample of 51.
Frequency distribution of activity pattern is 45 people (88,2%) that reading book, 38 people
(74,5%) using electronic appliance, 47 people (92,2%) watching TV, 31 people (60,8%) use
computer, and 44 people (86.3%) that do outdoor activities. Based on Eta correlation test, there
was no significant relationship between outdoor activity (p-value 0,279) with the incidence of
refractive error. And there was a significant relationship between reading book (p-value 0.543),
using electronic devices (p-value 0,505), watching TV (p-value 0,576) and using computer (p-
value 0.594) with the incidence of refractive error. Conclusion. There was no significant
association between outdoor activity with refractive error. And found the relationship between
reading books, using electronic devices, watching TV and using computers with the incidence of
refractive error.
iii
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan
petunjuk dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Aktifitas
Siswa Dengan Kelainan Refraksi Pada Siswa SD Di Kecamatan Medan
Sunggal”. Shalawat dan salam tak lupa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
beserta para keluarga dan sahabatnya.
Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
pembelajaran semester VII di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara
sekaligus untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran.
Penyusunan skripsi ini terselesaikan tidak terlepas dari dukungan dan bantuan
berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara.
2. dr. Aryani Atiyatul Amra, Mked (Oph), Sp. M (K) selaku dosen pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan
petunjuk, saran, dan bimbingan kepada penulis sehingga penulisan Skripsi ini
dapat diselesaikan.
3. dr. Mustafa M Amin, M.Ked., Sp.KJ (K), selaku ketua penguji dan dr. Ariyati
Yosi, M.Ked (KK)., Sp.KK, selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan masukkan yang membangun untuk penelitian ini .
4. Yang terhormat dr. Cut Adeya Adella, M.Ked(OG), SpOG (K.Onk) selaku
dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama
menempuh pendidikan.
iv
7. Terima kasih kepada beberapa pihak Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Medan
Sunggal termasuk Kepala Sekolah yang telah memberikan izin untuk
dilaksanakannya penelitian, juga kepada guru-guru yang telah membantu pada
saat penelitian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini berguna bagi kita
semua.
Halaman
Halaman Pengesahan ................................................................................. i
Abstrak ....................................................................................................... ii
Abstract ...................................................................................................... iii
Kata Pengantar ........................................................................................... iv
Daftar Isi ..................................................................................................... vi
Daftar Gambar ............................................................................................ viii
Daftar Tabel ............................................................................................... ix
Daftar Singkatan ......................................................................................... x
Daftar Lampiran ......................................................................................... xi
vi
vii
viii
ix
D : Dioptri
SD : Sekolah Dasar
TV : Televisi
Lampiran Judul
1 Biodata Penulis
2 Lembar Orisinalitas
3 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian
4 Lembar Persetujuan Subjek Penelitian
5 Lembar Kuisioner
6 Ethical Clearance
7 Surat Izin Penelitian
8 Surat Keterangan Selesai Penelitian
9 Data Induk Penelitian
10 Data Statistik SPSS
xi
Kelainan refraksi merupakan salah satu kelainan mata yang paling sering
terjadi dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
termasuk pada anak (Rumondor, 2014). Kelainan refraksi adalah penyebab
utama anak mengeluhkan kesulitan dalam penglihatan. Kelainan refraksi
tersebut dapat berupa miopia, hipermetropia, dan astigmatisma (Gilbert dan
Foster, 2001).
Penglihatan juga merupakan jalur informasi utama, oleh karena itu gangguan
penglihatan pada anak menyebabkan terganggunya proses belajar dan aktivitas
anak di sekolah. Hal itu dapat menyebabkan menurunnya kemampuan anak
untuk menyerap materi pembelajaran dan berkurangnya potensi untuk
meningkatkan kecerdasan (Ratanna, 2014).
Kelainan refraksi merupakan penyebab low vision atau penglihatan terbatas
terbanyak kedua setelah katarak (Ratanna, 2014). Sebanyak 51% dari jumlah
populasi di Amerika Serikat menggunakan alat bantu kelainan refraksi.
Sementara di Asia seperti Jepang, Singapura, dan Taiwan, presentasinya
mencapai 44%. Di Australia, prevalensi kelainan refraksi sebesar 17% dan di
Brazil 6,4% pada usia antara 12-59 tahun (Patu, 2010). Di Indonesia, prevalensi
kelainan refraksi sebesar 25% dari total populasi atau sekitar 55 juta jiwa
masyarakat Indonesia (Handayani dan Supradnya, 2012).
Jenis kelainan refraksi paling sering terjadi yaitu miopia. Prevalensi miopia
mencapai 26,1% pada semua umur di Sumatera (Saw. et al, 2006). Insiden
miopia meningkat seiring pertambahan usia. Dalam perkembangannya, miopia
pertama kali terjadi pada usia 5-10 tahun dan meningkat pada usia sebelum 18-
20 tahun (Khurana, 2007 ; American Optometric Association, 2012).
Kelainan refraksi yang lainnya adalah hipermetropia bisa terjadi secara
fisiologis pada saat kelahiran, namun akan mengalami penurunan dalam satu
tahun pertama karena perubahan kekuatan kornea dan lensa sesuai dengan
pertambahan panjang bola mata (American Academy of Ophtalmology, 2012 ;
Vaughan dan Asbury, 2012).
Kelainan refraksi lainnya adalah astigmatisma. Astigmatisma terjadi ketika
bentuk kornea mata tidak bulat tetapi oval. Sebagian dari gambar mungkin
terfokus pada retina sedangkan sebagian gambar lainnya tidak sehingga
menyebabkan penglihatan buram dan berbayang (Singapore National Eye
Center, 2013).
Faktor pola aktifitas seperti kebiasaan membaca, menggunakan komputer,
dan bermain video game jarak dekat memiliki peranan yang besar terhadap
terjadinya kelainan refraksi. Beberapa penelitian menyebutkan faktor pola
aktivitas memiliki peran yang lebih besar terhadap miopia dibandingkan
hipermetropia dan astigmatisma (Jones. et al, 2008).
Meskipun fungsinya bagi aktifitas sehari-hari sangat penting, namun sering
kali kesehatan mata kurang terperhatikan, sehingga penanganan dini akan sangat
membantu mengurangi gangguan yang terjadi terutama pada anak (Ratanna,
2014).
Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian mengenai hubungan pola
aktivitas siswa dengan kelainan refraksi pada siswa SD di Kecamatan Medan
Sunggal.
Membahas apakah ada hubungan pola aktifitas siswa dengan kelainan refraksi
pada siswa SD di Kecamatan Medan Sunggal?
gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan
makula okluden ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
3) Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel
berasal dari ektoderm permukaan
b. Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma.
c. Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri
atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian
perifer serta kolagen ini bercabang.
d. Membran Descemet
Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
e. Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan
tebalnya 20-40 µm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan
deturgesensi stroma kornea (Ilyas, 2004).
2. Aqueous humor
Aqueous humor mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya
tidak memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini
akan mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor. Aqueous humor dibentuk
dengan kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan kapiler di dalam korpus siliaris,
turunan khusus lapisan koroid di sebelah anterior. Cairan ini mengalir ke suatu
saluran di tepi kornea dan akhirnya masuk ke darah. Jika aqueous humor tidak
Agar bayangan dapat jatuh tepat di retina, cahaya yang masuk harus
mengalamai refraksi melalui media-media tersebut. Jika terdapat kelainan pada
media refrakta, cahaya mungkin tidak jatuh tepat pada retina (Ganong, 2013 ;
Sherwood, 2014).
Selain faktor media refrakta, faktor panjangnya sumbu optik bola mata juga
berpengaruh terhadap jatuh tepat atau tidaknya cahaya pada retina. Contohnya,
pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih
panjang (Ganong, 2013 ; Sherwood, 2014).
Lensa mempunyai kemampuan untuk meningkatkan daya biasnya untuk
memfokuskan bayangan dari objek yang dekat. Kemampuan ini disebut dengan
daya akomodasi. Akomodasi dipengaruhi oleh persarafan simpatis, di mana
persarafan ini akan menyebabkan otot polos pada badan siliar yang merupakan
perlekatan ligamen penggantung lensa (zonula Zinii) berkontraksi. Kontraksi dari
badan siliar yang berbentuk melingkar seperti sfingter menyebabkan jarak antara
pangkal kedua ligamen tersebut mendekat. Hal ini akan menyebabkan ketegangan
dari ligamen tersebut berkurang sehingga regangan ligamen terhadap lensa pun
juga berkurang. Bentuk lensa kemudian akan menjadi lebih cembung atau
konveks (Sherwood, 2014).
Kelainan refraksi adalah kejadian yang dapat terjadi apabila bayangan tegas
tidak dapat dibentuk pada retina. Pada kelainan refraksi terjadi ketidak
seimbangan sistem optik pada mata sehingga bayangan kabur dihasilkan. Pada
mata yang normal, kornea dan lensa akan membelokkan sinar pada titik fokus
yang berada tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea
dan lensa yang sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi, sinar
tidak dapat dibias tepat pada bintik kuning tetapi dibias pada depan atau belakang
bintik kuning bahkan tidak terletak pada satu titik yang tajam (Ilyas dan Yulianti,
2011).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueos humor, lensa, vitreous humor, dan panjangnya bola
mata. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia memiliki susunan
pembiasan oleh media refraksi dengan panjang bola mata yang seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah
makula lutea. Hal ini memungkingkan bayangan benda setelah melalui media
tersebut tepat dibiaskan di retina pada mata yang tidak mengalami akomodasi atau
istirahat untuk melihat jauh, sehingga memliki tajam penglihatan 6/6 (Ilyas,
2004).
Semakin bertambah usia maka status refraksi secara bertahap menjadi
ametropia. Ametropia adalah satu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana
mata yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan
sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina (Ilyas, 2004).
2.2.1 KLASIFIKASI
1. Miopia
2. Hipermetropia
3. Astigmatsima
2.2.1.1 MIOPIA
Miopia atau rabun jauh adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan
pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di
depan retina (Perdami, 2014). Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan
di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi, mata tersebut mengalami
miopia, atau rabun jauh (Vaughan dan Asbury, 2012).
Simple myopia status refraksinya disebabkan oleh dimensi bola mata yang
terlalu panjang, atau indeks bias kornea maupun lensa kristalin yang terlalu
tinggi. Mata dengan simple myopia adalah mata normal yang memiliki panjang
aksial yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya, atau kekuatan optiknya
terlalu besar untuk panjang aksialnya. Simple myopia, yang merupakan tipe yang
paling sering terjadi daripada tipe lainnya, biasanya kurang dari 6 dioptri (D).
Pada banyak pasien biasanya kurang dari 4 atau 5 D (Ilyas, 2013).
Nokturnal myopia adalah miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di
sekitar kurang cahaya atau gelap. Hal ini dikarenakan fokus titik jauh mata
seseorang bervariasi terhadap level pencahayaan yang ada. Miopia ini
disebabkan oleh pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih
banyak cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia
(Ilyas, 2013).
Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular
akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar.
Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia oleh karena
respon akomodasi yang tidak sesuai (Ilyas, 2013).
Degenerative myopia disebut juga malignant, pathological, atau progressive
myopia. Perubahan malignant dapat terjadi karena gangguan fungsi penglihatan,
seperti perubahan lapangan pandang (Ilyas, 2013).
Induced myopia merupakan miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat–
obatan, kadar gula darah yang bervariasi maupun terjadinya sklerosis pada
nukleus lensa. Induced myopia bersifat sementara dan reversibel (Ilyas, 2013).
Gejala klinis miopia adalah sebagai berikut:
1. Gejala utamanya kabur melihat jauh.
2. Sakit kepala (jarang).
3.
Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh (untuk mendapatkan efek
pinhole), dan selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda pada mata
(American Optometric Association, 2006).
Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi
sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman pengelihatan maksimal. Pada
saat ini telah terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia seperti keratotomi
radial (radial keratotomy-RK), keratektomi fotorefraktif (Photorefraktive
Keratectomy-PRK), dan laservasisted in situ interlamelar keratomilieusis
(Lasik) (Perdami, 2014).
2.2.1.2 HIPERMETROPIA
Hipermetropia (farsightedness) adalah keadaan mata tak berakomodasi yang
memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh
berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada
kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya indeks refraksi (hiperopia
refraktif) (Yani, 2008).
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan di
belakang retina (Perdami, 2014).
Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas:
1. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola
mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata (Perdami, 2014).
2.2.1.3 ASTIGMASTISMA
tidak nyaman, iritasi, radang atau mata lelah, distorsi lapangan pandang, dan
kesulitan mengemudi di malam hari (Dieudonne, 2012).
Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina, astigmatisme dibagi sebagai
berikut (Ilyas, 2010) :
1. Astigmatisme reguler
Astigmatisme yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau
berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian
berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisme reguler dengan bentuk
yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran,
2. Astigmatisme ireguler
Astigmatisme ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada
meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi ireguler.
Astigmatisme ireguler terjadi akibat infeksi kornea, trauma, dan distrofi atau
akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda.
Berdasarkan letak titik vertikal dan horizontal pada retina, astigmatisma dibagi
sebagai berikut (Dieudonne, 2012) :
1. Astigmatisme Miopia Simpleks: Satu fokus cahaya berada pada meridian di
depan retina, yang lainnya tepat pada retina.
2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks: Satu fokus cahaya berada pada meridian
tepat di retina, yang lainnya secara teori berada di belakang retina.
3. Astigmatisme Miopia Kompositus: Kedua fokus cahaya meridian tepat di
retina.
4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus: Kedua fokus cahaya secara teori berada
pada meridian di belakang retina.
5. Astigmatisme Mixtus: Satu fokus cahaya berada pada meridian di depan
retina, yang lainnya berada di belakang retina.
Astigmatisma sering terjadi bersamaan dengan miopia atau hipermetropia.
Penyebab astigmatisma sering kali tidak diketahui. Astigmatisma biasanya ada
sejak lahir. Tahap astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak
Aktifitas jarak dekat seperti membaca yang dilakukan secara terus menerus
setiap hari dalam jangka waktu lama, lebih dari 2 jam, dapat memicu terjadinya
ametropia (Goh. et al, 2008). Efek dari aktifitas ini merupakan suatu kumulatif.
Hubungan ini dapat disebabkan baik oleh alasan bahwa aktivitas membaca dekat
dapat menyebabkan ametropia atau kenyataan bahwa seseorang yang mengalami
ametropia cenderung untuk membaca pada jarak yang lebih dekat pada saat
mereka tidak menggunakan kaca mata koreksi (Gopalakrishnan. et al, 2011).
Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang mengalami
ametropia melakukan aktifitas di depan komputer dengan waktu setiap kalinya
adalah > 4 jam. Anak-anak yang menderita ametropia lebih banyak
menggunakan waktunya untuk belajar, main komputer, dan bermain video game.
Dengan aktifitas visual dengan waktu lama seperti ini akan meningkatkan risiko
untuk terjadinya kelainan refraksi berupa miopia. Sinar biru yang dihasilkan
oleh layar komputer bersifat miopigenik. Sinar biru adalah sinar dengan panjang
gelombang 400-500 nm (nanometer). Sumber terdekatnya yakni lampu neon,
layar televisi serta komputer. Efek sampingnya pada mata tergantung dari
panjang cahaya, intensitas serta durasi paparan (Mallen. et al, 2005).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh M Dirani dkk, peserta penelitian yang
menghabiskan waktu beraktifitas di luar ruangan lebih lama akan lebih sedikit
kemungkinan mengalami miopia. Demikian, aktifitas di luar ruangan dapat
menjadi faktor pencegahan dari perkembangan miopia pada anak-anak (Dirani,
2010).
Pinhole berada di depan mata yang sedang diuji kemudian pasien membaca
huruf terakhir yang masih dapat dibaca sebelumnya, bila tidak terjadi perbaikan
penglihatan maka mata tidak dapat dikoreksi lebih lanjut karena media
penglihatan keruh atau terdapat kelainan pada retina atau saraf optik, bila terjadi
perbaikan penglihatan maka ini berarti terdapat astigmatisme atau silinder pada
mata tersebut yang belum dapat koreksi mata (Ilyas, 2015).
Pemeriksaan objektif dapat dilakukan dengan refraksionometer merupakan
alat pengukur anomali refraksi mata atau refraktor automatik yang dikenal
masyarakat alat komputer pemeriksaan kelainan refraksi. Alat ini diharapkan
dapat mengukur dengan tepat kelainan refraksi mata. Retinoskopi adalah
pemeriksaan yang sangat diperlukan pada pasien yang tidak kooperatif untuk
pemeriksaan refraksi biasa. Retinoskopi merupakan alat guna menentukan
kelainan refraksi seseorang secara objektif. Retinoskopi dimasukkan ke dalam
mata atau pupil pasien. Pada keadaan ini terlihat pantulan sinar dari dalam mata,
dan dikenal 2 cara retinoskopi yaitu spot retinoskopi dengan memakai berkas
sinar yang dapat difokuskan dan streak retinoskopi dengan memakai berkas
sinar dengan bentuk celah atau slit (Ilyas, 2015).
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka teori dalam penelitian ini
adalah:
Faktor Risiko:
1. Aktifitas penggunaan alat
elektronik
2. Membaca buku
3. Menonton TV
4. Menggunakan Komputer
Faktor Pencegah:
1. Aktifitas diluar ruangan
Kelainan Refraksi :
1. Miopia
2. Hipermetropi
3. Astigmatisma
Terdapat hubungan antara pola aktifitas dengan kelainan refraksi pada siswa
SD di Kecamatan Medan Sunggal.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian analitik
dengan desain cross sectional yang bertujuan menilai hubungan pola aktifitas dan
kelainan refraksi pada siswa Sekolah Dasar Kecamatan Medan Sunggal.
Populasi target pada penelitian ini adalah semua siswa/i kelas 6 sekolah dasar
di Kecamatan Medan Sunggal.
Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subjek yang ingin diteliti
dan memiliki karakteristik tertentu. Oleh karena itu, populasi yang peneliti
tetapkan adalah siswa/i kelas 6 sekolah dasar yang terdaftar di Sekolah Dasar di
Kecamatan Medan Sunggal, yaitu:
19
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
Alpha (ɑ) = Kesalahan tipe satu
Zɑ = Nilai standar alpha
Beta (β) = Kesalahan tipe dua
Zβ = Nilai standar beta
r = Koefisien korelasi minimal yang dianggap bermakna
Berdasarkan rumus tersebut maka didapatkan jumlah sampel sebanyak (n=51)
siswa–siswi yang ada di beberapa Sekolah Dasar Kecamatan Medan Sunggal.
Jenis data yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari data primer, yaitu
data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian. Data primer diperoleh dari
daftar pertanyaan dan pemeriksaan visus mata.
Dalam penelitian ini ditetapkan variabel bebas dan variabel terikat sebagi
berikut:
Variabel bebas : Pola aktifitas
Variabel tergantung : Kelainan refraksi
1. Kelainan refraksi adalah kejadian yang dapat terjadi apabila bayangan tegas
tidak dapat dibentuk pada retina.
a. Cara Ukur : Pemeriksaan visus
b. Alat Ukur : Optotype Snellen (kartu Snellen), uji pinhole,
hitung jari
c. Hasil Ukur : Kelainan refraksi (+)
: Kelainan refraksi (-)
d. Skala Pengukuran : Nominal
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan alat berupa komputer. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan program statistik di komputer. Analisis data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis data univariat dan analisis data bivariat.
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik responden
dan karakteristik masing-masing variabel dalam penelitian. Variabel yang
berbentuk kategorik (frekuensi distribusi kelainan refraksi) disajikan dalam
bentuk proporsi atau persentase. Penyajian masing-masing variabel dilakukan
dengan menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang
diperoleh.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
korelasi antara variabel independen (independent variable) dengan variabel
dependen/terikat (dependent variable). Kelompok data yang akan dianalisis
yaitu pola aktifitas sebagai variabel independen dan kelainan refraksi sebagai
variabel dependen. Setelah data dikumpulkan, maka dilakukan pengolahan
Keterangan :
n = Jumlah Sampel
k = Jumlah subkelas pada variabel normal
Karakteristik N %
Jenis Kelamin
Laki-laki 21 41,2
Perempuan 30 58,8
Jumlah 51 100
Umur
11 41 80,4
12 10 19,6
13 0 0
25
Jumlah 51 100
Lanjutan Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Sekolah
Sekolah Dasar Swasta Shafiyyatul 9 17,6
Amaliyyah
Sekolah Dasar Swasta Sultan Iskandar Muda 9 17,6
Sekolah Dasar Swasta Brigjend Katamso 9 17,6
Sekolah Dasar Negeri 060831 8 15,7
Sekolah Dasar Negeri 060917 8 15,7
Sekolah Dasar Negeri 060922 8 15,7
Jumlah 51 100
Pola Aktifitas
Membaca Buku 45 88,2
Menggunakan Elektronik 38 74,5
Nonton TV 47 92,2
Komputer 31 60,8
Aktifitas Luar Ruangan 44 86,3
Kelainan Refraksi
Ada 20 39,2
Tidak 31 60,8
Jumlah 51 100
Dari data tabel 4.1 terlihat bahwa perempuan sebanyak 30 orang (58,8%)
sedangkan laki-laki 21 orang (41,2%). Berdasarkan usia terlihat distribusi
frekuensi usia 11 tahun sebanyak 41 orang (80,4%), sedangkan usia 12 tahun
sebanyak 10 orang (19,6%). Berdasarkan distribusi sampel yang diambil dari 6
sekolah terlihat bahwa Sekolah Dasar Swasta Shafiyyatul Amaliyyah, Sekolah
Dasar Swasta Sultan Iskandar Muda dan Sekolah Dasar Swasta Brigjend
Katamso masing-masing sebanyak 9 orang (17,6%), sedangkan Sekolah Dasar
Negeri 060831, Sekolah Dasar Negeri 060917 dan Sekolah Dasar Negeri
060922 masing-masing sebanyak 8 orang (15,7%). Berdasarkan pola aktifitas
terlihat bahwa membaca buku sebanyak 45 orang (88,2%), menggunakan
elektronik sebanyak 38 orang (74,5%), nonton tv sebanyak 47 orang (92,2%),
menggunakan komputer sebanyak 31 orang (60,8%), beraktifitas diluar ruangan
sebanyak 44 orang (86,3%). Berdasarkan kelainan refraksi terlihat bahwa yang
Pada tabel 4.2 berdasarkan durasi terlihat bahwa yang membaca buku selama
dibawah 90 menit sebanyak 34 orang dan diatas 90 menit sebanyak 11 orang.
Pada tabel 4.2 berdasarkan durasi terlihat bahwa yang menggunakan alat
elektronik selama dibawah 90 menit sebanyak 20 orang dan diatas 90 menit
sebanyak 18 orang.
Pada tabel 4.2 berdasarkan durasi terlihat bahwa yang menonton TV selama
dibawah 90 menit sebanyak 30 orang dan diatas 90 menit sebanyak 17 orang.
Pada tabel 4.2 berdasarkan durasi terlihat bahwa yang menggunakan komputer
selama dibawah 90 menit sebanyak 15 orang dan diatas 90 menit sebanyak 16
orang.
Pada tabel 4.2 berdasarkan durasi terlihat bahwa yang beraktifitas diluar
ruangan selama dibawah 90 menit sebanyak 21 orang dan diatas 90 menit sebanyak
23 orang.
Tabel 4.3. Lama Durasi Waktu Membaca Buku Dengan Kelainan Refraksi
Pada tabel 4.3 dari lama durasi waktu membaca buku selama dibawah 90 menit
ditemukan 13 orang mengalami kelainan refraksi, selama dibawah 90 menit
ditemukan 21 orang tidak mengalami kelainan refraksi sedangkan yang membaca
buku diatas 90 menit ditemukan 5 orang mengalami kelainan refraksi dan diatas 90
menit ditemukan 6 orang mengalami kelainan refraksi.
Tabel 4.4. Lama Durasi Waktu Menggunakan Alat Elektronik Dengan Kelainan Refraksi
Durasi Kelainan Refraksi
Menggunakan Total
Ada Tidak
Alat Elektronik
< 90 Menit 6 14 20
> 90 Menit 11 7 18
Total 17 21 38
Pada tabel 4.4 dari lama durasi waktu menggunakan alat elektronik selama
dibawah 90 menit ditemukan 6 orang mengalami kelainan refraksi, selama dibawah
90 menit ditemukan 14 orang tidak mengalami kelainan refraksi sedangkan yang
menggunakan alat elektronik diatas 90 menit ditemukan 11 orang mengalami
kelainan refraksi dan diatas 90 menit ditemukan 7 orang mengalami kelainan refraksi.
Pada tabel 4.5 dari lama durasi waktu menonton TV selama dibawah 90
menit ditemukan 13 orang mengalami kelainan refraksi, selama dibawah 90 menit
ditemukan 21 orang tidak mengalami kelainan refraksi sedangkan yang membaca
buku diatas 90 menit ditemukan 5 orang mengalami kelainan refraksi dan diatas 90
menit ditemukan 6 orang mengalami kelainan refraksi.
Tabel 4.6. Lama Durasi Waktu Menggunakan Komputer Dengan Kelainan Refraksi
Pada tabel 4.6 dari lama durasi waktu menggunakan komputer selama dibawah
90 menit ditemukan 3 orang mengalami kelainan refraksi, selama dibawah 90 menit
ditemukan 12 orang tidak mengalami kelainan refraksi sedangkan yang membaca
buku diatas 90 menit ditemukan 11 orang mengalami kelainan refraksi dan diatas 90
menit ditemukan 5 orang mengalami kelainan refraksi.
Tabel 4.7. Lama Durasi Waktu Beraktifitas Diluar Ruangan Dengan Kelainan Refraksi
Pada tabel 4.7 dari lama durasi waktu beraktifitas diluar ruangan selama
dibawah 90 menit ditemukan 8 orang mengalami kelainan refraksi, selama dibawah
90 menit ditemukan 13 orang tidak mengalami kelainan refraksi sedangkan yang
membaca buku diatas 90 menit ditemukan 6 orang mengalami kelainan refraksi dan
diatas 90 menit ditemukan 17 orang mengalami kelainan refraksi.
Visus Visus
Mata
N % Mata Kanan N %
Kiri
6/6 31 60.8 6/6 31 60.8
6/8 3 5.9 6/8 1 2.0
6/9 2 3.9 6/9 3 5.9
6/10 1 2.0 6/10 2 3.9
6/12 6 11.8 6/12 4 7.8
6/18 2 3.9 6/18 2 3.9
6/36 6 11.8 6/24 1 2.0
- - - 6/36 6 11.8
- - - 6/60 1 2.0
Total 51 100 Total 51 100
Berdasarkan tabel 4.8 visus 6/6 pada mata kiri dan kanan ditemukan
sebanyak 31 orang (60,8%), ditemukan penurunan visus mulai dari visus 6/8
pada mata kiri ditemukan 3 orang (5,9%) dan visus 6/8 pada mata kanan
ditemukan 1 orang (2%), visus 6/9 pada mata kiri ditemukan 2 orang (3,9%) dan
visus 6/9 pada mata kanan ditemukan 3 orang (5,9%), visus 6/10 pada mata kiri
ditemukan 1 orang (2%) dan visus 6/10 pada mata kanan ditemukan 2 orang
(3,9%), visus 6/12 pada mata kiri ditemukan 6 orang (11,8%) dan visus 6/12
pada mata kanan ditemukan 4 orang (7,8%), visus 6/18 pada mata kiri dan kanan
ditemukan sebanyak 2 orang (3,9%), visus 6/24 pada mata kanan ditemukan
hanya 1 orang (2%), visus 6/36 pada mata kiri dan kanan ditemukan sebanyak 6
orang (11,8%), visus 6/60 pada mata kanan ditemukan hanya 1 orang (2%).
Pada tabel 4.9 dari hasil analisis menggunakan uji eta didapat hasil membaca
buku dengan nilai p sebesar 0,543 (sedang), menggunakan alat elektronik
dengan hasil nilai p 0,505 (sedang), menonton tv dengan hasil nilai p 0,576
(sedang), menggunakan komputer dengan hasil nilai p 0,594 (sedang) dan
aktifitas diluar ruangan dengan hasil nilai p 0,279 (tidak terdapat hubungan).
Berdasarkan nilai p, maka nilai p membaca buku, menggunakan alat
elektronik, menonton TV dan menggunakan komputer terdapat hubungan
dengan kelainan refraksi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan visus pada 51 orang
siswa SD di Kecamatan Medan Sunggal ditemukan 20 orang (39,2%) yang
mengalami kelainan refraksi dan 31 orang (60,8%) yang tidak mengalami
kelainan refraksi. Dari tabel 4.1 terlihat lebih banyak siswa SD yang tidak
mengalami kelainan refraksi daripada yang mengalami kelainan refraksi.
Hasil penelitian ini juga menunjukan hubungan pola aktifitas dengan
kelainan refraksi pada tabel 4.9 yaitu membaca buku dengan nilai p 0,543
menunjukan hubungan yang sedang berarti terdapat hubungan antara aktifitas
membaca buku dengan kelainan refraksi. Pada tabel 4.9 juga menunjukan
aktifitas menggunakan alat elektronik dengan nilai p 0,505 menunjukan
hubungan yang sedang berarti terdapat hubungan antara aktifitas menggunakan
alat elektronik dengan kelainan refraksi. Pada aktifitas menonton TV dengan
nilai p 0,576 menunjukan hubungan yang sedang antara menonton TV dengan
kelainan refraksi berarti terdapat hubungan antara aktifitas menonton TV dengan
kelainan refraksi. Pada aktifitas menggunakan komputer dengan nilai p 0,594
menunjukan hubungan yang sedang antara aktifitas menggunakan komputer
dengan kelainan refraksi berarti terdapat hubungan antara aktifitas menggunakan
komputer dengan kelainan refraksi. Pada aktifitas di luar ruangan dengan nilai p
0,279 tidak terdapat hubungan antara aktifitas di luar ruangan dengan kelainan
refraksi.
Hasil analisis bivariat di temukan pola aktifitas yang mempunyai hubungan
dengan kelainan refraksi yaitu aktifitas membaca buku, menggunakan
elektronik, menonton TV dan bermain komputer. Dan aktifitas yang tidak
mempunyai hubungan dengan kelainan refraksi yaitu aktifitas di luar ruangan.
Hasil ini memiliki kesamaan dengan Sabirin dan Rina (2014). Menurut Sabirin
dan Rina (2014) hubungan gaya hidup dengan kelainan refraksi diperoleh nilai
p = 0,028 (p<0,05) berarti Ha diterima yaitu ada hubungan antara gaya hidup
seperti kebiasaan membaca yang salah, kurang terkena sinar matahari, terlalu
banyak menonton televisi, memakai komputer dapat menyebabkan kelainan
refraksi pada anak usia sekolah di Puskesmas Gulai Bancah Bukittinggi Tahun
2014 (Sabirin dan Rina, 2014). Sedangkan pada aktifitas di luar ruangan tidak
terdapat hubungan, hal ini memiliki kesamaan dengan penelitian Witantra dan
Putu (2014) Sebanyak 30 subjek (39,5%) yang memiliki kebiasaan bermain di
luar ruangan lebih dari 2 jam memiliki tajam penglihatan normal (Witantra dan
Putu, 2014).
5.1 KESIMPULAN
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Distribusi frekuensi penurunan ketajaman penglihatan akibat kelainan
refraksi pada siswa-siswi sekolah dasar di Kecamatan Medan Sunggal tahun
2017 adalah senilai 39,2% yaitu sekitar 20 orang dari jumlah sampel yang
diteliti sebanyak 51 orang.
2. Distribusi frekuensi pola aktifitas pada siswa-siswi Sekolah Dasar di
Kecamatan Medan Sunggal tahun 2017 adalah sebanyak 45 orang (88,2%)
membaca buku, 38 orang (74,5%) menggunakan alat elektronik, 47 orang
(92,2%) menonton TV, 31 orang (60,8%) menggunakan komputer, dan 44
orang (86,3%) beraktifitas di luar ruangan.
3. Dari uraian yang sudah di paparkan ditemukan penurunan visus sebanyak 20
orang mengalami kelainan refraksi dari total 51 orang.
4. Distribusi frekuensi durasi membaca buku rata-rata 60 menit, menggunakan
elektronik rata-rata 120 menit, menonton TV rata-rata 60 menit, bermain
komputer rata-rata 120 menit, dan aktifitas luar ruangan rata-rata 120 menit.
5. Berdasarkan uji statistik korelasi Eta tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara aktifitas diluar ruangan (nilai p 0,279) dengan kejadian
kelainan refraksi, namun ditemukan hubungan antara membaca buku (nilai p
0,543), menggunakan alat elektronik (nilai p 0,505), menonton TV (nilai p
0,576) dan menggunakan komputer (nilai p 0,594) dengan kejadian kelainan
refraksi.
32
5.2 SARAN
Dari hasil penelitian yang didapat, maka peneliti ingin memberikan beberapa
saran, yaitu :
1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya, agar dapat melakukan penelitian
dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan umur yang lebih bervariasi dan
pemilihan sekolah yang lebih menyeluruh.
2. Disarankan kepada anak-anak yang mengalami kelainan refraksi, agar dapat
memperhatikan faktor resiko seperti gaya hidup membaca, menggunakan
elektronik, menggunakan komputer dan menonton tv yang terlalu dekat.
Untuk memperhatikan dampak yang dapat terjadi jika anak dibiarkan
mengalami kelainan refraksi untuk segera dikoreksi.
3. Disarankan kepada orang tua dan guru di sekolah untuk membantu menjaga
kesehatan mata anak dengan mengajarkan kepada anak-anaknya dengan cara
20-20-20 yaitu, sempatkan 20 detik waktu anak anda untuk melihat sejauh 20
meter setiap 20 menit anak anda menggunakan alat elektronik, membaca
buku, menggunakan komputer.
Gilbert, C., Foster A., (2001). Childhood blindness in the context of VISION
2020- -the right to sight. Bull World Health Organ. 79 (3), pp509-512
Goh PP, Abqariyah Y, Pokharel GP, and Ellwein LB. (2008) Refractive Error and
Visual Impairment in School-age Children in Gombak District, Malaysia.
Ophthalmology. ; 112(4): 678-685.
34
Ilyas, S., (2004). Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna.
Dalam: Ilyas, S., Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 64-83.
Ilyas, S., (2006). Kelainan Refraksi dan Kacamata Edisi Kedua. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilyas, S. (2015) Ilmu Penyakit Mata, Edisi kelima, Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.p.64-68
Jones LA, Sinnott LT, Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML, and Zadnik
K. (2007) Parental Hystory of Myopia, Sports and Outdoor Activities, and
Future Myopia. Investigative Ophthalmology and Visual Science ; 48 (8):
3524-3532
Perdami.(2014).KelainanRefraksi.Available:
http://perdami.or.id/new/?page_id=41
Ratanna, R.S, Rares, L.M, Saerang ,J.S.M. (2014), 'Kelainan Refraksi Pada Anak
di BLU RSU Prof. DR. R.D. Kandou'. Jurnal e-Clinic, vol 2 ,no 2 pp.
1-2.
Riordan-Eva, P., Whitcher, JP., (2012). Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). pp30-34.
Riordan-Eva, P., Whitcher, JP., (2012). Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sidarta Ilyas, H., (2013). Ilmu Penyakit Mata. 4th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. pp64-88
Sobirin Cecep.,Rina (2012) Hubungan Gaya Hidup dengan Gangguan Mata Miopi
pada Anak Usia Sekolah di Puskesmas Gulai Bancah Bukittinggi.
William F. (2013) Ganong’s Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22: The
McGraw-Hill Companies, Inc;
Riwayat Pendidikan :
1. TK Miki Mini English School (2000-2002)
2. SD Harapan 1 (2002-2008)
3. SMP Shafiyyatul Amaliyyah (2008-2011)
4. SMA Negeri 1 Medan (2011-2014)
5. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (2014-Sekarang)
Riwayat Pelatihan :
1. Penerimaan Mahasiswa Baru( PMB ) FK USU 2014
2. Manajemen Mahasiswa Baru( MMB) FK USU 2014
Riwayat Organisasi : -
PERNYATAAN
FATHI AZWAR S
140100021
Medan, 2017
( )
Lembar Penjelasan
Medan, 2017
Peneliti,
ETHICAL CLEARANCE
DATA INDUK
Pola Aktifitas Visus
Jenis Aktivitas Kelainan
Nama Sekolah Umur Kelas Membaca Menggunakan Nonton
Kelamin Komputer luar Refraksi Kanan Kiri
Buku Elektronik TV
Ruangan
MCl SD Sultan 11 1 180 120 120 6/12 6/12
6A
Iskandar Muda Ya
SHN SD Sultan 12 1 6A 30 120 60 60 60 6/12 6/12
Iskandar Muda Ya
JSC SD Sultan 11 2 6C 60 60 60 90 90 6/9 6/9
Iskandar Muda Ya
SH SD Sultan 11 2 6D 60 180 45 150 6/36 6/36
Isakndar Muda Ya
AP SD Sultan 11 1 6D 30 120 180 300 6/36 6/36
Iskandar Muda Ya
AN SD Sultan 11 2 6D 60 60 60 120 6/6 6/6
Iskandar Muda Tidak
STL SD Sultan 11 2 6D 180 360 180 90 6/18 6/12
Iskandar Muda Ya
DS SD Sultan 11 2 6D 60 180 120 6/6 6/6
Iskandar Muda Tidak
AJ SD Sultan 11 1 6C 15 180 180 120 120 6/6 6/6
Iskandar Muda Tidak
MR YPSA 11 1 6B 60 120 180 Tidak 6/6 6/6
TA YPSA 11 2 6B 25 90 120 60 90 Tidak 6/6 6/6
MASH YPSA 11 1 6B 30 120 60 Tidak 6/6 6/6
Statistics
Jenis_Kelamin
N Valid 51
Missing 0
Jenis_Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 21 41.2 41.2 41.2
Perempuan 30 58.8 58.8 100.0
Total 51 100.0 100.0
Statistics
Umur
N Valid 51
Missing 0
Umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 11 41 80.4 80.4 80.4
12 10 19.6 19.6 100.0
Total 51 100.0 100.0
Statistics
Sekolah
N Valid 51
Missing 0
Statistics
Membaca_Buk Menggunakan_ Aktivitas_Luar
u Elektronik Nonton_TV Komputer _Ruangan
N Valid 45 38 47 31 44
Missing 6 13 4 20 7
Statistics
Kelainan_Refraksi
N Valid 51
Missing 0
Kelainan_Refraksi
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid ya 20 39.2 39.2 39.2
tidak 31 60.8 60.8 100.0
Total 51 100.0 100.0
Membaca_Buku
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 15 4 7.8 8.9 8.9
25 1 2.0 2.2 11.1
30 6 11.8 13.3 24.4
45 2 3.9 4.4 28.9
60 18 35.3 40.0 68.9
90 3 5.9 6.7 75.6
120 9 17.6 20.0 95.6
180 2 3.9 4.4 100.0
Total 45 88.2 100.0
Missing System 6 11.8
Total 51 100.0
Statistics
Menggunakan_
Elektronik Nonton_TV Komputer
N Valid 38 47 31
Missing 13 4 20
Menggunakan_Elektronik
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 15 1 2.0 2.6 2.6
20 1 2.0 2.6 5.3
30 6 11.8 15.8 21.1
45 2 3.9 5.3 26.3
60 5 9.8 13.2 39.5
90 5 9.8 13.2 52.6
Nonton_TV
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 10 1 2.0 2.1 2.1
15 1 2.0 2.1 4.3
20 1 2.0 2.1 6.4
30 3 5.9 6.4 12.8
45 1 2.0 2.1 14.9
60 16 31.4 34.0 48.9
90 7 13.7 14.9 63.8
120 9 17.6 19.1 83.0
150 2 3.9 4.3 87.2
180 6 11.8 12.8 100.0
Total 47 92.2 100.0
Missing System 4 7.8
Total 51 100.0
Komputer
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 15 2 3.9 6.5 6.5
30 4 7.8 12.9 19.4
60 4 7.8 12.9 32.3
90 5 9.8 16.1 48.4
120 9 17.6 29.0 77.4
150 1 2.0 3.2 80.6
180 5 9.8 16.1 96.8
300 1 2.0 3.2 100.0
Total 31 60.8 100.0
Missing System 20 39.2
Total 51 100.0
Aktivitas_Luar_Ruangan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 20 1 2.0 2.3 2.3
30 6 11.8 13.6 15.9
60 9 17.6 20.5 36.4
90 5 9.8 11.4 47.7
120 15 29.4 34.1 81.8
150 3 5.9 6.8 88.6
180 3 5.9 6.8 95.5
240 2 3.9 4.5 100.0
Total 44 86.3 100.0
Missing System 7 13.7
Total 51 100.0
Crosstab
Count
Kelainan_Refraksi
ya tidak Total
buku <90 menit 13 21 34
>90 menit 5 6 11
Total 18 27 45
Directional Measures
Value
Nominal by Interval Eta Membaca_Buku .153
Dependent
Kelainan_Refraksi .543
Dependent
Crosstab
Count
Kelainan_Refraksi
ya tidak Total
elek <90 menit 6 14 20
>90 menit 11 7 18
Total 17 21 38
Directional Measures
Value
Nominal by Interval Eta Menggunakan_Elektronik .413
Dependent
Kelainan_Refraksi .505
Dependent
Crosstab
Count
Kelainan_Refraksi
ya tidak Total
nonton <90 menit 14 16 30
>90 menit 6 11 17
Total 20 27 47
Directional Measures
Value
Nominal by Interval Eta Nonton_TV Dependent .148
Kelainan_Refraksi .576
Dependent
Crosstab
Count
Kelainan_Refraksi
ya tidak Total
compute <90 menit 3 12 15
>90 menit 11 5 16
Total 14 17 31
Directional Measures
Value
Nominal by Interval Eta Komputer Dependent .560
Kelainan_Refraksi .594
Dependent
Crosstab
Count
Kelainan_Refraksi
ya tidak Total
outactivity <90 menit 8 13 21
>90 menit 6 17 23
Total 14 30 44
Directional Measures
Value
Nominal by Interval Eta Aktivitas_Luar_Ruangan .092
Dependent
Kelainan_Refraksi .279
Dependent
Statistics
kanan kiri
N Valid 51 51
Missing 0 0
kanan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 6/6 31 60.8 60.8 60.8
6/8 1 2.0 2.0 62.7
6/9 3 5.9 5.9 68.6
6/10 2 3.9 3.9 72.5
6/12 4 7.8 7.8 80.4
6/18 2 3.9 3.9 84.3
6/24 1 2.0 2.0 86.3
6/36 6 11.8 11.8 98.0
6/60 1 2.0 2.0 100.0
Total 51 100.0 100.0
kiri
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 6/6 31 60.8 60.8 60.8
6/8 3 5.9 5.9 66.7
6/9 2 3.9 3.9 70.6
6/10 1 2.0 2.0 72.5
6/12 6 11.8 11.8 84.3
6/18 2 3.9 3.9 88.2
6/36 6 11.8 11.8 100.0
Total 51 100.0 100.0