Anda di halaman 1dari 112

i

KARYA AKHIR

PERBANDINGAN STATUS TELINGA TENGAH DAN


PENDENGARAN PADA PENDERITA CELAH BIBIR DAN
ATAU PALATUM, SEBELUM DAN SETELAH OPERASI
LABIOPALATOPLASTI

A COMPARATIVE STUDY OF MIDDLE EAR AND HEARING


IMPAIRMENT ON CLEFT LIP AND/OR PALATE PATIENTS,
PRE AND POST LABIOPALATOPLASTY SURGERY

ASMAWATI
C035172001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1 (Sp.1)


ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
ii

PERBANDINGAN STATUS TELINGA TENGAH DAN


PENDENGARAN PADA PENDERITA CELAH BIBIR DAN ATAU
PALATUM, SEBELUM DAN SETELAH OPERASI
LABIOPALATOPLASTI

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Dokter


Spesialis-1 (Sp-1)

Program Studi
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher

Disusun dan diajukan oleh

ASMAWATI

Kepada

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1 (Sp.1)


ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
iii
iv
v

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-

Nya sehingga karya akhir ini dapat saya selesaikan. Karya akhir ini disusun

sebagai salah satu persyaratan dalam rangkaian penyelesaian Program

Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Saya menyadari bahwa karya akhir ini tidak akan terselesaikan tanpa

bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bantuan moril maupun materil. Untuk

itu saya menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus dan sedalam-dalamnya

kepada pembimbing saya Dr.dr.Masyita Gaffar, Sp.T.H.T.B.K.L (K), dr.

Rafidawaty Alwi, Sp.T.H.T.B.K.L(K) dan Dr.dr Burhanuddin, MS yang telah

membimbing, memberi dukungan dan arahan kepada saya sejak penyusunan

proposal, pelaksanaan penelitian hingga selesainya karya akhir ini. Terima kasih

pula saya sampaikan kepada penguji saya Prof.Dr.dr.Eka Savitri Sp.

T.H.T.B.K.L(K) dan dr.Aminuddin Aziz, Sp.T.H.T.B.K.L, M.Kes dan Dr.dr

Sachraswaty Rachman Laidding, Sp.B, Sp.BP-RE (K) yang telah meluangkan

waktu dan bersedia memberikan saran dan masukan dalam penulisan karya

akhir ini.
vi

Terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada seluruh

staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL : Prof. dr. R. Sedjawidada,

Sp.T.H.T.B.K.L(K) (Alm.), Prof. Dr. dr. Abdul Qadar Punagi,

Sp.T.H.T.B.K.L(K),FICS., Prof. Dr. dr. Sutji Pratiwi Rahardjo, Sp.T.H.T.B.K.L(K).,

Prof. dr. Abdul Kadir.Ph.D, Sp.T.H.T.B.K.L(K), MARS., dr. Andi Baso Sulaiman,

Sp.T.H.T.B.K.L(K). Dr. dr. Nani I Djufri, Sp.T.H.T.K.L(K) FICS, Dr. dr. Riskiana

Djamin, Sp.T.H.T.B.K.L(K)., Dr. dr. Muh. Fadjar Perkasa, Sp.T.H.T.K.L(K)., Dr.

dr. Nova Pieter, Sp. T.H.T.B.K.L(K), FICS., dr. Mahdi Umar Sp.T.H.T.K.L, dr.

Trining Dyah, Sp.T.H.T.B.K.L(K) M, Kes, Dr.dr. Azmi Mir’ah Zakiah,

Sp.T.H.T.B.K.L(K), dr. Amira T. Raihanah, Sp.T.H.T.B.K.L (K), dr. Yami Alimah,

Sp.T.H.T.B.K.L, Dr.dr. Syahrijuita, Sp.T.H.T.B.K.L, M.Kes, dr. Sri Wartati,

Sp.T.H.T.B.K.L (K), dan dr. Khaeruddin H.A, Sp.T.H.T.B.K.L (K), M.Kes atas

segala bimbingan dan dukungan yang diberikan selama menjalani pendidikan

sampai pada penelitian dan penulisan karya akhir ini.

Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan Manajer Program

Pendidikan Dokter Spesialis yang telah memberi kesempatan kepada saya

untuk mengikuti pendidikan. 

2. Kepala Bagian dan Staf Pengajar Bagian Anatomi, Radiologi,

Gastroenterohepatologi, Pulmonologi, dan Anestesiologi yang telah

membimbing dan mendidik saya selama mengikuti Pendidikan terintegrasi.

3. Kepada seluruh rekan PPDS di Departemen Ilmu Kesehatan T.H.T.B.K.L

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin angkatan juli 2017 khususnya t

eman seangkatan saya dr. Mila Habibasari, dr. M Anwar, dr. Edward S.P

Sembiring, dr. Helta Tandi Sarira, dr. Subari Mokoagow, dan dr. Mahfuzah,
vii

Sp.T.H.T.B.K.L, dr Matra, dr Yanne, dr Rizke,dr Ratih, dr Foppy, dr Oemar, dr

Tami, dr stanley, dr Dina, dr Agri, dr Nuni, dr Raja, dr anggi, dr dr Habibi, dr

Michelia, dr Efsan, dr Vitha, dr Yunia, dr Herbert, dr Emil, dr Rezka, dr Asria,

dr Sukma, dr Dewi, dr Selvi, dr Fauzan, dr Fachri, dr Rio, dr Ferry,dr Sinta, dr

Cita, dr Rizal, dr Kiwa, dr Kiko, dr Janna, dr Tuti, dr Akhir, dr Aan,dr Dhiga, dr

Merry, dr Miciko, dr Tia, dr Christin, dr Gadis, dr Yudi, dr Ihsan, dr Syahreza,

dr Maro, dr Cakra, dr Riza, dr Andika, dr Arief, dr Ardian, dr Ilham, dr Tian, dr

Nay, dr Rita, dr Ina atas bantuan, kerjasama dan dukungan moril selama

menjalani pendidikan hingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

4. Kepada rekan saya dr. Ratna Delima Hutapea, SP.PK, dr. Wilhelmina B

Madjar, dr Helena Sembai,dr Roland J Nussy, dan teman-teman PPDS

Papua yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan moril

kepada saya selama saya menjalani pendidikan.

5. Direktur RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, RSP Universitas

Hasanuddin, RSUD Labuang Baji Makassar, RS Pelamonia Makassar, RSUD

Haji Makassar, RS Ibnu Sina Makassar, RSI Faisal Makassar, dan RS Mitra

Husada Makassar.

6. Seluruh karyawan dan perawat Unit Rawat Jalan T.H.T.B.K.L dan Bedah

Plastik, perawat ruang rawat inap T.H.T.B.K.L dan Bedah Plastik, karyawan

dan staf non-medis T.H.T.B.K.L dan Bedah Plastik khususnya kepada Hayati

Pide, ST dan Nurlaela, S.Hut, Vindi Juniar G, S.Sos atas segala bantuan dan

kerjasama yang telah diberikan kepada penulis dalam melaksanakan tugas

sehari-hari selama masa pendidikan.


viii

7. Kepada semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan satu persatu dan

telah membantu saya selama menjalani pendidikan hingga selesainya karya

akhir ini.

Karya akhir ini penulis persembahkan untuk keluarga tercinta, terima

kasih dan rasa sayang yang tiada terhingga untuk Ibunda terkasih Isahi dan

Ayahanda Mappe yang telah membesarkan penulis dengan cinta dan mendidik d

engan penuh rasa kasih sayang, senantiasa mendoakan, memberikan semangat

dan dorongan selama menjalani pendidikan. Terima kasih yang tak terhingga

juga kepada suami tercinta Muhammad Jamil Manilet, S.Fil.i, M.ud atas cinta,

dorongan serta dukungan moril dan materil selama menjalani pendidikan dan

juga terima kasih yang tak terhingga kepada ananda tercinta Arina Manasikana

Manilet dan Awwaliyah Ramadhani Manilet atas cinta, kesabaran dan

memberikan semangat selama menjalani pendidikan.

Terima kasih yang tak terhingga juga kepada saudara-saudara penulis

Arifuddin, Agus S.Ip, Asnih, S.Pd, Adi Jaya, S.Pt, Anita, S.Pi, Abdullah Rahman,

S.kom, Ahmad Akbar Firdaus, SE atas dukungan doa yang tiada henti dan kasih

sayang yang begitu berarti selama mengikuti pendidikan.

Saya menyadari sepenuhnya atas segala keterbatasan dan kekurangan

dalam penulisan karya akhir ini, olehnya saran dan kritik yang menyempurnakan

karya akhir ini penulis terima dengan segala kerendahan hati. Semoga Allah

SWT memberikan rahmat kepada kita semua, Aamiin.

Makassar, Juni 2022

Asmawati
ix
x
xi

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….....i
HALAMAN PENGAJUAN………………………………………………………….ii
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………….iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……………………………iv
PRAKATA……………………………………………………………………………v
ABSTRAK……………………………………………………………………………ix
ABSTRACT………………………………………………………………………….x
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………iv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………v
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………vi
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………….vii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah............................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................4
C. Tujuan Penelitian......................................................................4
D. Manfaat Penelitian....................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................6


A. Definisi.....................................................................................6
B. Anatomi....................................................................................6
C. Fisiologi Pendengaran…………………………………………......19
D. Epidemiologi.............................................................................20
E. Etiologi dan faktor Risiko…………………………………............22
F. Patofisiologi…………………………………………………….......23
G. Klasifikasi Celah Bibir dan palatum...........................................30
H. Penatalaksanaan……………………………………………………32
I. Dampak celah bibir dan palatum………………………………. . .37
J. Pemeriksaan telinga dan gangguan pendengaran..............….38
K. Prognosis.................................................................................43
L. Kerangka Teori.........................................................................44
M. Kerangka Konsep.....................................................................45
N. Alur Penelitian...........................................................................46
O. Definisi Operasional..................................................................47
P. Hipotesis Penelitian..................................................................49

BAB III METODE PENELITIAN......................................................................50


A. Desain Penelitian.....................................................................50
B. Tempat dan Waktu Penelitian..................................................50
C. Subjek Penelitian......................................................................50
D. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel...................................50
E. Besar Sampel...........................................................................51
F. Identifikasi Variabel..................................................................51
G. Instrumen Penelitian.................................................................51
H. Prosedur Penelitian...................................................................52
xii

I. Pengolahan dan Analisis Data.................................................53


J. Izin dan Etika Penelitian...........................................................54

BAB. IV . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.....................................55


A. Hasil Penelitian .......................................................................55
B. Pembahasan............................................................................62
C. Keterbatasan Penelitian ..........................................................69

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................70


A. Kesimpulan..............................................................................70
B. Saran.......................................................................................70
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................71
LAMPIRAN....................................................................................................78
xiii

DAFTAR TABEL

Nomor
Halaman
Tabel 1. Tatalaksana Pembedahan untuk Celah Bibir dan Palatum ..........33
Tabel 1.1 Karakteristik umum subjek penelitian............................................56
Tabel 1.2. Diagnosis sampel penelitian.........................................................57
Tabel 1.3. Karakteristik Nasoendoskopi.........................................................57
Tabel 2.1. Karakteristik membran timpani pada pemeriksaan otoendoskopi
kelompok labioplasti......................................................................58
Tabel2.2. Karakteristik membran timpani pada pemeriksaan otoendoskopi
kelompok palatoplasti....................................................................58
Tabel 2.3.Karakteristik membran timpani pada pemeriksaan otoendoskopi
kelompok labiopalatoplasti.............................................................59
Tabel 3.1.Karakteristik gambaran timpanometri kelompok labioplasti............59
Tabel 3.2.Karakteristik gambaran timpanometri kelompok palatoplasti..........60
Tabel 3.3.Karakteristik gambaran timpanometri kelompok labiopalatoplasti. .60
Tabel 4.1.Karakteristik FFT kelompok labioplasti...........................................61
Tabel 4.2.Karakteristik FFT kelompok palatoplasti........................................61
Tabel 4.3.Karakteristik FFT kelompok labiopalatoplasti.................................62
xiv

DAFTAR GAMBAR

Nomor
Halaman
Gambar1.Anatomi bibir..................................................................................9
Gambar2. Anatomi bibir unilateral..................................................................10
Gambar3.Anatomi bibir bilateral ....................................................................11
Gambar4.Anatomi Palatum durum dan palatum molle ………………………..12
Gambar 5.Struktur Telinga Tengah ...............................................................14
Gambar 6.Tuba Eustachius pada potongan tranversal .................................15
Gambar 7.Fungsi tuba Eustachius ................................................................16
Gambar 8.Anatomi topografi tuba Eustachius ...............................................17
Gambar 9.Otot-otot pada tuba Eustachius ....................................................18
Gambar 10.Struktur palatum dan tuba Eustachius .......................................19
Gambar 11.Tekanan tuba Eustachius …………………………………………...27
Gambar 12.Retraksi membran timpani klasifikasi sade dan berco ................28
Gambar 13.Klasifikasi celah bibir dan langit-langit menurut Veau's ..............31
Gambar 14.Klasifikasi Kernahan Celah Bibir dan Palatum ...........................32
Gambar 15.Perbaikan deformitas celah bibir bilateral ...................................34
Gambar 16.Foto otoendoskopi membrane timpani .......................................39
Gambar 17. Timpanometri …………………………………………………….....42
Gambar 18. Kerangka Teori ……………………………………………………. .44
Gambar 19. Kerangka konsep …………………………………………………...45
Gambar 20. Alur Penelitian ...........................................................................46
xv

DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

1. Lembar informed consent......................................................................78


2. Persetujuan responden.........................................................................79
3. Lembar case report...............................................................................80
4. Rekomendasi persetujuan etik..............................................................86
5. Foto alat FFT dan audiogram banana speech.......................................87
6. Dokumentasi pemeriksaan pasien........................................................88
7. Data-data hasil penelitian......................................................................89
xvi

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti dan Keterangan

Cl Cleft lip
CP Cleft palate
CLP Cleft lip palate
CB Celah bibir
CP Celah palatum
CBP Celah bibir dan palatum
MT Membran timpani
AC Air Conduction
BC Bone Conduction
dB Desibel
TVP Tensor veli palatini
LVP Levator veli palatini
THTBKL Telinga hidung tenggorok bedah kepala leher
BOA Behavioral observation audiometry
VRA Visual reinforcment audiometry
CPA Conditioned play audiometry
OMA Otitis media akut
OME Otitis media efusi
OMSK Otitis Media Supuratif Kronik
RS Rumah sakit
RSPTN Rumah sakit perguruan tinggi negeri
RSUP Rumah sakit umum pusat
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Celah bibir dan atau celah palatum merupakan suatu kondisi defek lahir di
mana terbentuknya pembukaan atau belahan yang tidak wajar pada bibir atau
palatum. Terdapat tiga jenis utama defek celah bibir dan palatum yaitu terjadi
belahan hanya pada bibir, celah palatum di mana terjadi belahan pada daerah
palatum, dan celah bibir dan palatum di mana belahan terjadi menyeluruh dari
palatum sampai bibir (Tolarova, 2020)
Angka kejadian celah bibir dan celah palatum bervariasi, tergantung pada
etnis. Pada etnis Asia terjadi sebanyak 2,1:1000 kelahiran, pada etnis Kaukasia
1:1000 kelahiran, dan pada etnis Afrika-Amerika 0,41:1000 kelahiran. Di
Indonesia, jumlah penderita bibir dan celah palatum terjadi 3000-6000 kelahiran
per tahunnya atau 1 bayi tiap 1000 kelahiran. Kasus paling umum yaitu celah
bibir dan palatum sebanyak 46%, celah palatum (isolated cleft palate) sebanyak
33%, dan celah bibir saja 21%. Celah bibir pada satu sisi 9 kali lebih banyak
dibandingkan celah bibir pada dua sisi, dan celah bibir pada sisi kiri 2 kali lebih
banyak daripada sisi kanan. Laki-laki lebih dominan mengalami celah bibir dan
palatum, sedangkan wanita lebih sering mengalami celah palatum (Fortuna,
2020)
Adanya hubungan antara masalah pendengaran dan celah bibir dan palatum
pertama kali dikemukakan oleh Alt pada tahun 1878. Berbagai penelitian secara
konsisten mencatat tingginya risiko gangguan pendengaran konduktif pada
penderita celah bibir dan palatum. Penelitian menemukan 50 % atau lebih
penderita celah bibir dan palatum penderita gangguan pendengaran di Amerika,
Croatia, Australia, Barcelona dan menemukan 50 % atau lebih penderita celah
bibir dan palatum menderita gangguan pendengaran. (Vaquero et al, 2018)
Celah bibir dan palatum perlu dibedakan dengan ada atau tidaknya
malformasi dan atau sindrom penyerta. Celah bibir dan atau palatum defek
tunggal (non sindromik) atau bisa dengan sekuensi yaitu Pierre Robin
sequence, celah dengan anomali kongenital multiple seperti anomali di jantung,
otak, kulit celah pada sindrom monogenic (Sticklers syndrom) yang lebih sering
2

terjadi gangguan pendengaran sensorineural jika dibandingkan dengan celah


palatum lain, dan celah penyimpangan kromosom termasuk sindrom Delesi
22q11 atau Velocardiofacial . (Kalarasi et al, 2018).
Sehingga kebutuhan akan pemeriksaan telinga penderita celah bibir dan
palatum ditekankan oleh Brunck. Sejak 1906 banyak laporan yang berhubungan
dengan insiden, keadaan dan derajat gangguan pendengaran pada penderita
celah bibir dan palatum. Celah bibir dan palatum juga berpengaruh pada fungsi
mengunyah, bicara dan menelan. Penelitian di Jerman menemukan 417 anak
dengan celah palatum mengalami gangguan berbahasa dan berbicara, 80 %
disebabkan oleh otitis media efusi. (Tengroth, 2020)
Malformasi yang mempengaruhi palatum durum dan molle mempengaruhi
fungsionalitas tuba Eustachius, mengganggu ventilasi telinga dan drainase dari
telinga. Oleh karena itu, disfungsi tuba Eustachius dapat menyebabkan efusi
telinga tengah dan rekurensi otitis media, sehingga mempengaruhi fungsi
pendengaran. Tingkat pemulihan fungsi tuba Eustachius setelah operasi palatal
berkisar 40 hingga 86%. Meskipun pembedahan penutupan palatum dengan
integritas otot pterygoid dan tensor palatum mole dapat memperbaiki status
telinga tengah, penutupan palatum secara sederhana tidak akan cukup kecuali
jika sphincter velar telah terbentuk dengan baik. Tatalaksana koreksi
pembedahan pada patologi telinga tengah didasarkan pada evaluasi otologis dan
audiometri sampai saat ini masih kurang bukti yang menunjukkan bahwa
peningkatan derajat perubahan palatum berhubungan dengan peningkatan
disfungsi velopalatal dan tuba Eustachius. Sebagian besar anak-anak dengan
celah bibir dan palatum menunjukkan otitis media akut dalam perkembangan
mereka. Insidensi otitis media akut pada anak-anak ini tidak sebanding dengan
populasi umum hingga remaja. (Vaquero et al, 2018)
Di India penelitian dari 75 penderita, mayoritas (68%) usia kelompok usia
1 tahun <3 tahun. Studi tersebut menunjukkan dominasi laki-laki 69% laki-laki
dan 31% perempuan. Sebagian besar (52%) memiliki celah palatum unilateral.
Pemeriksaan audiometri menemukan bahwa di antara 75 penderita, 6 memiliki
pendengaran normal, 9 memiliki gangguan pendengaran unilateral dan 60
memiliki gangguan pendengaran bilateral. Jumlah telinga maksimal
menunjukkan respon ringan diikuti oleh sedang, berat, respons normal dan
mendalam sebelum palatoplasti. Perbandingan temuan audiometri pra operasi
dengan temuan pasca operasi 1 bulan tidak menunjukkan perbedaan yang
3

bermakna secara statistik jika dibandingkan dengan temuan 6 bulan pasca


operasi, itu menunjukkan secara statistik peningkatan yang signifikan (Jain et al,
2017).
Di Kaduna Nigeria sejak September 2013-Maret 2014 dari 160 penderita
celah bibir dan palatum, Pure tone audiometri menunjukkan 130 (40,6%) telinga
dengan ambang pendengaran normal (0-25 dB) dan 190 (59,4%) telinga dengan
berbagai derajat gangguan pendengaran (46,9% ringan, 10,6% sedang dan
1,9% sedang-berat). Prevalensi gangguan pendengaran sebanyak 59,4% pada
pasien dengan celah bibir dan palatum. Terdapat gangguan pendengaran
konduktif yang tinggi pada penderita dengan kelainan celah bibir dan palatum.
(Musa et al, 2017)
Di Indonesia, penelitian dilakukan pada pasien celah palatum yaitu
penelitian di Bandung Dari 30 subjek penelitian, didapatkan sebanyak 20% pada
derajat 3 dan 66,7% pada derajat 4 memiliki timpanogram tipe B di telinga
kanan, sedangkan pada telinga kiri, didapatkan 6,7% pada derajat 2 memiliki
timpanogram tipe As, 20% pada derajat 3 dan 66,7% pada derajat 4 memiliki
timpanogram tipe B (Boesoirie et al, 2021) dan penelitian di Jakarta dilakukan
pada pasien celah bibir dan atau palatum dengan pemeriksaan auditory brain
stem respon (ABR) dari 86 ( 60,6 % ) memberikan hasil ambang sebesar 40
dB, 4,2 % tidak memberi respons pada pemeriksaan ABR hingga 90 dB . Hanya
1,4 % memberi respons pada 30 dB, sedangkan 60 dB, 14,1 % dan 50 dB, 19,7
%. Pada pemeriksaan timpanometri seluruh pasien hasilnya adalah tipe B yang
menggambarkan otitis media efusi (Mabun,2016)
Kelainan celah bibir dan palatum merupakan kelainan yang kompleks dan
membutuhkan perawatan dan koreksi dengan kerjasama tim dari berbagai
macam disiplin ilmu. Pendekatan manajemen multidisiplin dapat dicapai dengan
membentuk tim celah bibir dan palatum yang khusus menangani celah bibir dan
palatum serta mampu menyediakan follow up jangka panjang pada penderita
celah bibir palatum. (Thorne,2015)
Berdasarkan uraian di atas maka hal tersebut mendorong penulis untuk
melakukan penelitian mengenai Perbandingan status telinga tengah dan
pendengaran pada penderita celah bibir dan palatum sebelum dan setelah
operasi labiopalatoplasti.
4

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana status telinga tengah dan derajat pendengaran pada
penderita celah bibir dan atau palatum .
2. Bagaimana kondisi telinga tengah dan pendengaran pada penderita celah
bibir dan atau palatum yang telah menjalani operasi labioplasti,
palatoplasti,dan atau labiopalatoplasti.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui perbandingan status telinga tengah dan pendengaran
pada penderita celah bibir palatum sebelum dan setelah tindakan operasi
labioplasti dan atau palatoplasti.
2. Tujuan Khusus
2.1 Menilai gambaran membran timpani dengan pemeriksaaan
otoendoskopi sebelum labioplasti dan atau palatoplasti pada
penderita celah bibir dan atau palatum
2.2 Menilai status telinga tengah dengan pemeriksaaan timpanometri
sebelum labioplasti dan atau palatoplasti pada penderita celah bibir
dan atau palatum.
2.3 Menilai status pendengaran dengan pemeriksaan free field test pada
penderita celah bibir dan atau palatum sebelum labioplasti dan atau
palatoplasti
2.4 Menilai gambaran membran timpani dengan pemeriksaaan
otoendoskopi setelah labioplasti dan atau palatoplasti pada penderita
celah bibir dan atau palatum.
2.5 Menilai status telinga tengah dengan pemeriksaaan timpanometri
setelah labioplasti dan atau palatoplasti pada penderita celah bibir
dan atau palatum.
2.6 Menilai status pendengaran dengan pemeriksaaan free field test
setelah labioplasti dan atau palatoplasti pada penderita celah bibir
dan atau palatum
5

2.7 Membandingkan gambaran membran timpani dengan pemeriksaaan


otoendoskopi sebelum dan setelah labioplasti dan atau palatoplasti
pada penderita celah bibir dan atau palatum.
2.8 Membandingkan status telinga tengah dengan pemeriksaaan
timpanometri sebelum dan setelah labioplasti dan atau palatoplasti
pada penderita celah bibir dan atau palatum.
2.9 Membandingkan status pendengaran dengan pemeriksaan free field
test sebelum dan setelah labioplasti dan atau palatoplasti pada
penderita celah bibir dan atau palatum

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi ilmiah tentang status


telinga tengah dan pendengaran pada penderita celah bibir dan atau
palatum.
2. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi status telinga tengah dan
pendengaran pada pasien yang telah menjalani operasi rekontruksi
labioplasti dan atau palatoplasti
3. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi terkait intervensi dini yang
perlu dilakukan pada penderita celah bibir palatum.
4. Hasil penelitian ini dapat merubah kebijakan terkait tatalaksana
pemeriksaan yang perlu dilengkapi dalam penanganan penderita celah
bibir dan palatum.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Celah bibir dan palatum adalah suatu kondisi di mana terdapat celah
abnormal di bibir atas dan atap mulut yang terjadi ketika beberapa bagian gagal
bergabung bersama selama awal kehamilan. Bibir dan palatum berkembang
secara terpisah, sehingga memungkin bagi bayi untuk dilahirkan hanya dengan
celah bibir, hanya celah pada palatum atau kombinasi keduanya (Thorner, 2015)

B. Anatomi
1. Bibir dan Palatum
Bagian kranial embrio manusia berkembang lebih awal, dengan tiga
lapisan germinal (ektoderm, mesoderm, dan endoderm) terbentuk pada awal
hingga pertengahan minggu ketiga kehamilan. Lapisan ektoderm menghasilkan
sistem kulit dan Nervus, dengan diferensiasi yang dimulai pada 20 hari. Interaksi
antara komponen-komponen turunan ektoderm di puncak dari lipatan neural
menimbulkan populasi sel yang unik yakni sel-sel krista neuralis (neural crest
cells/NCC). Sel-sel krista neuralis memiliki kemampuan unik untuk tetap
pluripotent meskipun berasal dari lapisan germinal tunggal. Sel-sel krista neuralis
bermigrasi di sepanjang bidang pembelahan antara lapisan germinal dan di
dalam mesoderm untuk membedakan tujuan akhirnya menjadi jaringan ikat, otot,
Nervus atau endokrin, serta sel pigmen (Thorner, 2015).
Sel-sel krista neuralis yang bermigrasi ventro-kaudal dari krista berlekatan
dengan inti endoderm dan mesoderm faring yang mengelilingi enam branchial
arch aorta. Hal ini menghasilkan serangkaian perkembangan mesenkimal
branchial arch pada minggu keempat. Keenam pasang branchial arch semakin
berkurang ukurannya dari tengkorak ke ekor. Branchial arch yang pertama dan
yang terbesar yaitu branchial arch mandibula untuk perkembangan anatomi yang
meliputi bibir dan palatum, branchial arch bertanggung jawab untuk otot
konstriktor faring, otot levator veli palatini, dan otot palatoglossus, yang berperan
dalam masalah dan tatalaksana terkait dengan celah palatum. Setiap branchial
arch menghasilkan serabut Nervus yang berjalan bersama dengan otot-otot
terkait. Hubungan otot-Nervus ini dipertahankan terlepas dari interaksi
7

fungsional dari struktur yang berdiferensiasi. Meskipun otot tensor veli palatini
dan otot levator veli palatine
bekerja dalam koordinasi yang erat di palatum normal dewasa dan secara
patologis ditambatkan melalui aponeurosis tendon tensor pada penderita dengan
celah palatum. Otot levator veli palatini, sebagai otot dari branchial arch keempat
oleh cabang laring superior dari Vagus (Nervus kranial X). Otot Palatoglossus
dan otot Konstriktor faring memiliki Nervus yang serupa. Tetapi otot tensor veli
palatini sebagai bagian dari branchial arch yang dipersarafi oleh Nervus
Trigeminal (Nervus kranial V). (Thorne, 2015)
Branchial arch pertama dan mesenkim di ventral dari otak bagian depan
yang sedang berkembang untuk tiga tonjolan pertama yang menghasilkan wajah,
mulut, leher, laring, faring, dan rongga hidung. Branchial arch pertama
berkontribusi pada sepasang tonjolan maksila dan mandibula yang bergabung
untuk membentuk komponen lateral dan kaudal dari stomodeum atau mulut
primitif. Prosesus sentral yang dibentuk oleh proliferasi mesenkim di ventral otak
bagian depan menciptakan tonjolan frontonasal (frontonasal prominence/FNP),
yang membentuk bagian kranial stomodeum. FNP dan bagiannya tidak dibentuk
oleh branchial arch, melainkan berasal dari mesenkim yang berbeda di ventral
dari branchial arch. Kelima tonjolan wajah ini (dua berpasangan dan satu tidak
berpasangan) dipisahkan oleh external groove, tetapi mesenkim dari kelimanya
berlanjutan, sehingga migrasi sel mesenkimal yang tidak terhalangi dapat terjadi
di sekitar stomodeum. Fusi dan komunikasi yang terkoordinasi antara lima
tonjolan ini sangat penting untuk perkembangan bibir dan palatum yang normal.
(Smarius et al, 2017)
Perkembangan wajah manusia terjadi antara minggu keempat dan
kesepuluh melibatkan serangkaian koordinasi pada daerah frontonasal, maksila
dan penonjolan wajah mandibula. Pada minggu keempat masa embriogenesis,
penonjolan medial dan lateral hidung menjadi nasal plakoda, dan bagian yang
lebih dalam menjadi lubang. Tonjolan hidung medial membentuk philtrum dan
regio cupid’s bow di bibir atas, ujung dan septum nasal, dan premaksila ke
belakang sampai foramen insisivum. Tonjolan hidung lateral membentuk ala
nasi. Tonjolan maksila membentuk elemen bibir lateral yang normalnya menyatu
dengan philtrum yang berasal dari tonjolan hidung medial. Kegagalan penyatuan
elemen bibir lateral (tonjolan maksila) dengan philtrum (tonjolan hidung medial
dari FNP) menimbulkan celah bibir unilateral. Jika kedua maksila gagal menyatu,
8

celah bibir bilateral akan muncul. Karena kegagalan penggabungan dengan


maksila, perkembangan elemen medial plakoda (prolabium, premaksila, dan
septum) tidak seimbang, menghasilkan penonjolan sentral yang terlihat pada
penderita celah palatum. (Thorner, 2015)
Bibir memiliki ketebalan yang bervariasi dan memilih 2 lapisan yaitu
lapisan dalam dan superfisial. Lapisan superfisial terdiri dari kulit bibir (cutaneous
lip) dan selaput lendir (vermilion). Transisi antara dua zona ini ditandai oleh
mucocutaneus ridge yang memanjang dari sudut bibir ke sudut bibir lain, ditandai
dengan bow V atau U (philtrum) dibagian tengah yang biasa disebut bow cupid’s.
Philtrum terletak di atas bow cupids dibatasi oleh bagian atas bibir atas
membentuk alur vertikal. Phillar ridge yang konvergen menuju titik tengah alur
tranversal kolumella atau menuju pangkal kolumella. Bibir memiliki ketebalan
yang bervariasi dan memiliki dua permukaan, superfisial dan dalam. Permukaan
superfisial terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu bibir subkutan dan membran
mukosa atau vermilion. Transisi antara kedua zona ini ditandai oleh
mucocutaneous ridge atau white roll, yang memanjang dari satu ujung mulut ke
ujung lainnya. Mucocutaneous ridge ini ditandai oleh lekukan berbentuk huruf V
atau U di tengah yang disebut sebagai “cupid’s bow”. (Moore et al, 2019)
Berada tepat di atas cupids bow, bibir atas membentuk semacam alur
cekungan yang disebut philtrum. Philtrum ini dibatasi oleh dua bagian vertikal
dengan penonjolan yang bervariasi, dikenal sebagai philtral ridge, yang menyatu
menuju titik tengah dari transverse columellar groove jika ada dan jika tidak ada
menuju pusat basis columella. (Brennan et al, 2016)
9

Gambar 1. Anatomi bibir (Brennan et al, 2016)


1.Sub-alar furrow. 2. Nasal sill. 3. Columellar base lifted by mesial crura 4. Transverse
groove of the columella. 5. Alar base. 6. Nasolabial triangle. 7. Philtralridges. 8. Philtrum.
9. Nasolabial fold. 10. Cupid’s bow. 11. Tubercle of the upper lip.12.White
roll/mucocutaneous ridge. 13. Vertical creases of the vermilion. 14. Mattzone of the
vermilion

Otot-otot yang tergabung adalah m. orbicularis oris, m. levator labii


superioris, m.depressor septum nasi. m. orbicularis oris merupakan serat yang
melintang di garis tengah yang terbentuk di seberang philtrum dan berfungsi
sebagai spingter (serat dalam) dan untuk bicara (serat luar). M. levator labii
superior masuk di dalam dermis pada vermilion border dan pada tepi bawah
philtrum yang berfungsi elevasi bibir atas. (Brennan et al, 2016)
Tiga cincin otot yang saling terhubung memanjang dari infraorbital rim
dan hidung berjalan ke bawah menuju dagu. Cincin-cincin ini membentuk bagian
dari pembungkus fascia dalam satu kontinuitas dengan superficial
musculopaoneurotic system (SMAS) Beberapa observasi umum dari perspektif
perbaikan celah bibir adalah sebagai berikut: (Brennan et al, 2016)
a. Konvergensi nasalis transversal menuju spina nasalis anterior dan
septum nasalis
b. Otot transverse nasalis bercampur dengan otot levator labii superior dan
otot levator labii superior aleque nasi untuk membentuk sebuah modiolus
yang menyebar untuk insersi ke dalam nasal sill. Otot ini mempengaruhi
bentuk dan posisi kartilago ala dan ketinggian nasal sill.
c. Signifikansi dari orientasi yang hampir vertikal untuk pars eksternal atau
otot orbicularis oris superficial dan hubungannya dengan otot-otot ring
atas dan ring bawah melalui modiolus.
10

Gambar 2. Anatomi celah bibir unilateral


(Brennan et al, 2016)

Anatomi otot nasolabial dalam celah bibir unilateral komplit. (a) normal. (b) satu
sisi dari celah bibir bilateral. Otot-otot: 1. Otot levator labii superioris. 2. Otot
levator labii superioris alaeque nasi. 3 Otot transverse nasalis. 4.Jaras eksternal
dari orbicularis labii superioris dalam celah bibir unilateral membentuk insersi ke
ANS, septum dan permukaan anterior premaksilla, berkumpul di batas celah.
Fungsi otot yang abnormal menghasilkan karakteristik abnormalitas nasal dan
mukokutan yang harus ditangani pada waktu perbaikan bibir primer. Celah bibir
unilateral terjadi karena kulit di sekitar deformitas celah bibir menunjukkan
retraksi dan pergeseran kulit lantai hidung tipis dan tidak berambut, dan berbeda
dari kulit bibir. Kulit ini tertarik ke bawah ke dalam bagian atas bibir. Otot di sisi
celah bibir tidak memiliki insersi ke spina nasalis anterior dan septum menarik
elemen bibir lateral dan basis alar dari hidung ke arah lateral. Kartilago alar juga
mengalami deformasi tetapi tidak hipoplastik. Crus lateral kartilago alar tertarik ke
arah lateral dan memanjang sehingga mengurangi crus medial, membuat dome
menjadi semakin landai. Batas inferiornya juga mengalami rotasi ke inferior
membentuk sebuah jaringan di bawa nostril. Septum nasalis anterior dan
kolumella membentuk deviasi ke sisi noncleft. Pertumbuhan segmen minor
kompleks maksillofasial sepertinya berkurang kemungkinan akibat tidak adanya
stimulasi dari otot nasolabial. Cincin-cincin otot nasolabial mengalami distrupsi
dalam celah bibir bilateral, dan insersi yang abnormal menyebabkan pergeseran
elemen-elemen nasolabial lateral ke arah lateral. (Moore et al, 2019)
11

Gambar 3. Celah bibir bilateral


(Brennan et al, 2016)

Prolabium terisolasi karena tidak memiliki otot dan vermillion normal,


menonjol ke arah anterior dan berotasi ke atas karena hipoplasia sekunder dan
incisor lateral yang sering kali tidak ada. Terjadi retraksi dan displacement, akibat
tidak adanya fungsi otot yang normal. Bagian paling penting dari celah bibir
bilateral adalah kolumella yang pendek yang disebabkan karena tarikan elemen-
elemen di lateral celah oleh otot tahap awal perkembangan. (Brennan et al,
2016)
Palatum durum tersusun dari premaksilla, maksilla dan os palatina.
Foramen incisivus berjalan ke arah belakang miring ke dalam hidung dari tepat di
belakang gigi incisor di dalam midline. Foramen palatina mayor muncul di antara
os palatina dan maksilla. Suplai vaskular utama menuju palatum durum adalah
melalui percabangan descending dari arteri palatina mayor, yang berjalan ke
arah anterior dari foramen palatina mayor dan akhirnya membentuk anastomosis
dengan percabangan terminal arteri sphenopalatina ketika muncul dari foramen
incisivus. Arteri palatina mayor juga memberikan percabangan ke arah posterior
menuju velum, tetapi suplai vaskuler utama ke palatum molle adalah dari
percabangan arteri palatina ascending dan, juga percabangan dari arteri
pharyngeal ascending yang masuk ke velum dengan otot levator palatini dan otot
palatopharyngeus. Permukaan oral palatum durum dilapisi oleh mukoperiosteum
yang membentuk tranverse ridge atau rugae ke arah anterior. Di dalam bidang
koronal mukoperiosteum palatum durum bisa dibagi menjadi tiga zona, zona
intermediate menebal dengan jaringan ikat yang meneruskan jaras
neuromuskular dari foramen palatina mayor. Di posterior, mukosa yang menutupi
os palatina dipisahkan dari periosteum dibawahnya oleh kelenjar mukosa.
Palatum molle (velum) berisi otot-otot yang melibatkan penutupan velofaringeal,
12

diantaranya adalah otot levator veli palatini, tendon tensor veli palatini, otot
palatofaringeus, otot palatoglossus, dan uvula.(Moore et al, 2019)

Gambar 4. Palatum durum dan Palatum molle


(Moore et al, 2019)

2. Anatomi Telinga Tengah, Nasofaring dan Tuba Eustachius


Telinga luar terbentuk dari branchial arch cabang pertama dan kedua.
Terbentuk enam bukit terbentuk untuk memberi bentuk pada daun telinga.
Jaringan menebal dan menjadi tulang rawan. Saluran pendengaran eksternal
berasal dari yang pertama alur branchial arch dan dimulai selama minggu
keempat hingga kelima. Antara kedelapan dan minggu kesembilan, sepertiga
bagian luar dari saluran pendengaran eksternal terbentuk dan terdiri dari tulang
rawan. Anatomi ini tidak sepenuhnya tumbuh sampai usia 9 tahun. Telinga
tengah terbentuk dari branchial arch cabang pertama dan kedua dan dimulai
untuk berkembang selama minggu ketiga. Pada minggu kedelapan, bagian
bawah telinga tengah terbentuk, sementara bagian atas masih diisi dengan
mesenkim. Dari osikel, maleus dan inkus mulai terbentuk, tetapi masih dalam
bentuk tulang rawan. Pada minggu kesembilan, tiga lapisan timpani membran
mulai dikembangkan. Stapes terbentuk selama minggu kelima belas di tulang
rawan sedangkan inkus dan maleus mengeras di minggu keenam belas. Stapes
mengeras pada minggu kedelapan belas dan tengah rongga telinga
dipneumatisasi selama minggu ketiga puluh. Telinga bagian dalam memulai
perkembangannya dari lubang pendengaran pada minggu ketiga. Pada minggu
13

ketujuh perkembangan, satu koil koklea dan sel sensorik di utricle dan saccule
terbentuk.
Terdapat dua setengah putaran koklea minggu kesebelas dan sel
sensorik hadir di koklea pada minggu kedua belas. Koklea mencapai ukuran
dewasa pada minggu kesembilan belas. (Flynn, 2013)
Telinga tengah yang disebut juga kavum timpani adalah ruang berisi
udara di dalam pars petrosa os temporalis. Batas sebelah lateral ruang telinga
tengah adalah membran timpani, batas medialnya promontorium, batas
superiornya adalah tegmen timpani, batas inferiornya adalah bulbus jugularis dan
Nervus Fasialis, batas posterior pada bagian atasnya terdapat pintu (aditus) yang
menunjuk ke antrum mastoid dan di anterior berbatasan dengan arteri karotis
dan muara tuba Eustachius. Kavum timpani dihubungkan dengan nasofaring
oleh tuba Eustachius. (Dhingra, 2018)
Kavum timpani merupakan rongga yang sebelah lateralnya dibatasi oleh
membran timpani, di sebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh
tegmen timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan Nervus Fasialis. Kavum
timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui
tuba Eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan inferior medial timpani,
kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu epitimpanum yang merupakan
bagian kavum timpani yang lebih tinggi dari batas superior membran timpani,
mesotimpanum yaitu ruangan dibatas atas dengan batas bawah membran
timpani dan hipotimpanum yaitu bagian kavum timpani yang terletak lebih rendah
dari batas bawah membran timpani. Di dalam kavum timpani terdapat 3 buah
tulang pendengaran (osikel) dari luar ke dalam maleus, inkus,stapes. Selain itu
terdapat juga korda timpani, muskulus tensor timpani dan ligamentum muskulus
stapedius. (Helmi et al, 2018}
14

Gambar 5 . Struktur Telinga Tengah


(Standring, 2020)

Nasofaring terletak di belakang rongga hidung dan di atas palatum


mole, tidak seperti palatum mole bagian ini paten tidak bergerak.
Berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Oleh velofaringeal
nasofaring berhubungan dengan rongga mulut yang akan menutup dengan
terangkatnya palatum mole. (Mabun erna, 2015)
Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian yaitu pars oseus dan pars
kartilaginus. Pars oseus bermuara ke kavum timpani dan pars kartilaginus
bermuara ke nasofaring. Lumen dari kedua bagian tuba Eustachius ini
berbentuk kerucut, kedua puncaknya bertemu pada suatu bagian yang sempit
disebut istmus. Lumen pars oseus berbentuk segitiga dengan tinggi 2-3 mm
dan dasar 3-4 mm, pada istmus tinggi 2 mm dan leber 1 mm, kemudian pada
pars kartilaginus melebar di mana pada orifisium faringeal berukuran tinggi 8-
10 mm dan lebar 1-2 mm. Pars osseus (protimpanum) merupakan sepertiga
posterior panjang tuba Eustachius (11-14mm) yang bermuara ke kavum
timpani di dinding anterior, dan bagian ini selalu terbuka. Secara histologis
sebagian ujung pars kartilaginus masuk ke dalam pars osseus, sehingga
hubungan kedua bagian tersebut tidak membentuk mekanisme persendian.
Orifisium timpani terletak lebih tinggi dari hipotimpanum, keadaan ini
mengakibatkan tuba Eustachius tidak dapat melakukan drainase secara pasif
dari telinga tengah jika terjadi efusi sewaktu kepala berdiri tegak. Pars
kartilaginus bagian ini merupakan dua pertiga anterior panjang tuba
15

Eustachius yang terdiri dari membran dan kartilago, berbentuk terompet


dengan panjang 20-25 mm. Bagian latero inferior berupa membran di mana
melekat otot tensor veli palatini.
Bagian medial berupa tulang rawan terdiri dari 3 sampai 4 segmen
yang dapat menggeser satu sama lain sehingga dapat bergerak melingkar
mengikuti gerakan menelan. Pars kartilaginus lebih banyak dalam keadaan
tertutup akibat tekanan otot dan jaringan lemak (Ostman fatty pad’s) di lateral
membran dan baru terbuka jika membran tertarik ke lateral oleh kontraksi otot
tensor veli palatini pada waktu mengunyah atau menelan. (Szymansi dan
Agarwal, 2020)

Gambar 6.Tuba Eustachius pada potongan tranversal


(Job et al, 2011)

Mukosa kavum timpani dan tuba Eustachius memiliki sel-sel yang yang
menghasilkan sekret. Tuba Eustachius mengalirkan sekret ini dari kavum timpani
kearah nasofaring dengan suatu transpor mukosiliar. Fungsi drainase sekret oleh
tuba Eustachius dipengaruhi oleh aktifitas sel-sel bersilia, gravitasi, gradasi
tekanan udara sepanjang tuba Eustachius dan viskositas sekret itu sendiri. Pada
keadaan normal tuba Eustachius selalu dalam keadaan tertutup sewaktu
istirahat. Dengan demikian dapat menghalangi sekret dan kuman dari nasofaring
masuk kedalam kavum timpani. Bluestone menganalogikan fungsi proteksi dari
tuba Eustachius, kavum timpani dan sel-sel mastoid sebagai labu Erlenmeyer
dengan leher yang panjang dan sempit. Mulut labu diumpamakan sebagai
orifisium nasofaring, leher labu sebagai istmus tuba Eustachius, dan bulbus labu
sebagai kavum timpani dan mastoid. Bila sedikit cairan dimasukkan di leher labu
maka cairan tersebut akan terhenti di leher labu sebagai akibat adanya tekanan
positif dalam bejana tersebut.(Dhingra, 2018)
16

Jalannya tuba Eustachius dari telinga tengah menuju nasofaring berada


di anterior, inferior, dan medial. Tuba Eustachius terbuka di nasofaring tepat di
posterior konka nasi inferior. Bagian dalam tuba adalah lapisan mukosa yang
dikelilingi oleh tulang rawan, dengan sepertiga lateral tuba dikelilingi
eksoskeleton . Selubung besar jaringan lunak menutupi tulang rawan dan otot-
otot paratubal (yaitu, otot tensor veli palatini, otot levator veli palatini, otot
salpingopharyngeus, otot tensor timpani, dan otot pterigoideus medial).
(Heidsieck et al, 2016)
Tulang rawan tuba berbentuk C dalam penampang melintang dengan sisi
cekung di lateral, inferior, dan anteriornya dan dapat dibagi menjadi bagian
medial dan lateral yang disebut lamina medial dan lateral. Hanya bagian superior
dari lumen lateral yang dikelilingi oleh tulang rawan sedangkan bagian
membranosa inferior yang lebih besar. (Heidsieck et al, 2016)
Cairan nasofaring dapat masuk ke tuba Eustachius bila diberi suatu
tekanan positif kuat. Bersin sewaktu hidung buntu, menangis, menelan sambil
menutup hidung, menyelam atau lepas landasnya pesawat terbang dapat
meningkatkan tekanan nasofaring yang dapat menyebabkan kegagalan dari
fungsi proteksi tuba Eustachius. Sedangkan pada anak-anak, model labu
tersebut sedikit berbeda. Model labu pada anak-anak mempunyai leher labu
yang lebih pendek. Hal ini dianalogikan dengan lebih pendeknya tuba Eustachius
pada anak-anak dibanding orang dewasa. Karena leher labu yang lebih
pendek tersebut maka kemungkinan terjadinya refluks sekresi nasofaring ke

telinga tengah pada anak-anak lebih besar dibanding dewasa.(Ars dirckx, 2016)

Gambar 7.Fungsi tuba Eustachius


17

(Ars b dan Dirckx j. 2016)

Elastin hinge, tulang rawan, di persimpangan medial, dan lamina lateral di


atap, kaya serat elastin yang membentuk engsel. Dengan recoil-nya
membantu untuk menjaga agar tube tetap tertutup ketika tidak lagi bekerja
dengan dilator tubae. Otmann’s pad of fat, ini adalah massa jaringan lemak
yang terkait secara lateral ke bagian membran tuba tulang rawan. Ini juga
membantu menjaga agar tuba tetap tertutup dan dengan demikian
melindunginya dari refluks sekresi nasofaring. (Dhingra, 2018)

Gambar 8 Anatomi topografi tuba Eustachius


(Alzahrani J et al, 2020 )

Secara histologis mukosa menunjukkan epitel kolumnar bersilia semu


yang diselingi dengan sel goblet yang mensekresi mukosa. Submukosa,
terutama di bagian tulang rawan tuba, kaya akan kelenjar seromusin. Silia
berdenyut ke arah nasofaring dan dengan demikian membantu mengalirkan
sekresi dan cairan dari telinga tengah ke dalam nasofaring. Cabang timpani
Nervus kranial (CN) IX memasok serabut sekretomotorik sensorik dan
parasimpatis ke mukosa tuba. Otot tensor veli palatini disuplai oleh Nervus
Trigeminal (V3) cabang mandibula. Otot levator veli palatini dan
salpingopharyngeus menerima suplai Nervus motorik melalui pleksus faring
(bagian kranial CN XI melalui Vagus). (Dhingra, 2018)
Tuba Eustachius bayi lebih lebar, lebih pendek dan lebih horizontal;
sehingga infeksi dari nasofaring dapat dengan mudah mencapai telinga
18

tengah. Bahkan ASI bisa masuk ke telinga tengah jika bayi tidak disusui
dengan posisi kepala menghadap ke atas. Tuba Eustachius tidak hanya
merupakan sebuah tuba namun sebuah organ yang merupakan bagian dari
sistem organ. Rongga hidung, palatum dan faring merupakan bagian ujung
proksimal dari tuba Eustachius dan telinga tengah serta sistem sel-sel gas
mastoid merupakan ujung bagian distal dari tuba Eustachius. Oleh karena itu
fungsi dari tuba Eustachius pasti berhubungan dengan sistem ini. (Casale dan
Hatcher, 2020)
Tuba Eustachius tertutup saat beristirahat tetapi berinteraksi dengan
dua otot utama yang membantu memfasilitasi pembukaannya saat
berkontraksi. Otot-otot ini termasuk, terutama yaitu otot tensor veli palatini,
tetapi juga otot levator veli palatini. Otot tensor veli palatine berkontraksi
dengan dinding anterolateral menyebabkan dilatasi dan terbukanya tuba
Eustachius bagian distal. (Smith, et al, 2016)

Gambar 9 otot-otot pada tuba Eusthachius


(R. Riffart, 2018)
19

Gambar 10 Struktur palatum dan tuba Eusthachius


(Moore et al, 2019)

C. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang. Setelah memasuki meatus eksterna, bunyi
akan menggetarkan membran timpani selanjutnya dirambatkan melalui osikula
auditiva. Setelah melalui osikula, akhirnya getaran yang telah diperkuat daya
dorongnya diteruskan ke dalam perilimfa, utamanya yang terdapat dalam koklea.
Bila frekuensi getaran yang masuk sangat rendah (frekuensi subsonik), maka
lintasan gelombangnya adalah Fenestra ovalis menuju skala vestibuli ke
helikotrema dan skala timpani kemudian ke fenestra rotundum. Lintasan ini tidak
berlaku jika frekuensi bunyi lebih tinggi. Untuk frekuensi bunyi sonik (16-20.000
Hz), masuk ke fenestra ovalis ke skala vestibuli menuju duktus koklearis
kemudian skala timpani ke fenestra rotundum. Duktus koklearis yang merupakan
bagian dari labirin membran berdinding lunak, yaitu membrana reissner dan
membrana basilaris. (Kolegium THT, 2015)
20

Bila pintasan gelombang bunyi menggerakkan membrana basilaris


maka akan terjadi efek gesekan membrana tektoria terhadap rambut-rambut sel
sensorik dari organ korti. Pergerakan rambut sel tersebut akan menimbulkan
reaksi biokimiawi di dalam sel sensorik sehingga timbul muatan listrik negatif
pada dinding sel. Ujung-ujung Nervus kedelapan yang menempel pada dasar
sel-sel sensorik akan menampung impuls yang terbentuk. Lintasan impuls
auditorik selanjutnya adalah ganglion spiralis corti ke nervus VIII dan nukleus
koklearis di medula oblongata ke folikulus inferior dan korpus genikulatum medial
serta korteks auditori (area 39-40) di lobus temporalis serebrum. Proses
perkembangan berbicara melibatkan banyak fungsi khusus yang terintegrasi.
(Maretic, 2015)
Diperlukan fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari luar,
fungsi Nervus perifer untuk penghantaran, Nervus pusat untuk pengolahan
informasi, fungsi luhur, komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya
bekerja dengan baik. Yang bertanggung jawab untuk kemampuan berbicara
adalah daerah Broca yang terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat
dengan daerah motorik korteks yag mengontrol otot-otot penting untuk artikulasi.
Sedangkan daerah yang bertanggung jawab untuk pemahaman bahasa baik
tertulis maupun lisan adalah daerah wernicke yang terletak di korteks kiri pada
pertemuan lobus parietalis, temporalis dan oksipitalis. Selain itu daerah Wernicke
bertanggung jawab untuk memformulasikan pola pembicaraan koheren yang
disalurkan melalui seberkas serat ke daerah Broca yang kemudian mengontrol
artikulasi pembicaraan. Daerah Wernicke menerima masukan dari korteks
auditorius di lobus temporalis yang merupakan suatu jalur yang penting untuk
memahami bahasa lisan. (Kolegium tht, 2015)

D. Epidemiologi
Celah bibir dan palatum adalah malformasi kongenital, defek ini umum
terjadi di antara defek yang mempengaruhi wajah manusia, dengan prevalensi
rata-rata 1-2 individu per 100 kelahiran. Di Brazil angka ini berkisar 1:650 di
mana sesuai data epidemiologis dari populasi kulit putih Eropa dan Amerika
masing-masing 1:500 dan 1:768 kelahiran. (Oliveira et al, 2015)
Insiden celah bibir dan palatum pada populasi kulit putih adalah sekitar
1 dari 1000 kelahiran hidup. Insiden di populasi Asia dua kali lebih besar,
sedangkan pada populasi kulit hitam kurang dari setengah. Anak laki-laki lebih
21

sering terkena dari pada anak perempuan dengan rasio 2:1. Celah bibir masih
menjadi masalah cukup serius di Indonesia. Masih belum ada data yang pasti.
Kasus celah bibir dan palatum 1:600 kelahiran, sedangkan kasus pada palatum
saja 1:1000 kelahiran. Tahun 2012 pusat pelatihan celah bibir dan palatum
Internasional mencatat jumlah penderita kelainan celah bibir di Indonesia
mencapai 7500 orang pertahun. Hal ini menunjukan kasus celah bibir dan
palatum merupakan masalah di kalangan masyarakat Indonesia. Angka kejadian
terus meningkat dari tahun ke tahun harus membutuhkan perhatian lebih dari
berbagai kalangan. (Kambarn L, 2015)
Penelitian di Bandung tahun 2011-2015 menunjukkan dari 1596
penderita, ditemukan 50.53% penderita dengan celah bibir dan palatum, 25.05%
celah palatum, dan 24.42% celah bibir, di mana 20.08% dari keseluruhan
penderita memiliki riwayat keluarga dengan celah bibir dan palatum. (Syamsudin
dan Maifara, 2017)
Di Sumatra Utara penelitian menunjukkan dari 61 kasus penderita celah
bibir dan palatum dari tahun 2012-2015 didapatkan, terdapat 47,54% penderita
berjenis kelamin laki-laki dan 52,46% berjenis kelamin perempuan. Distribusi
kasus berdasarkan berdasarkan jenis kelamin yaitu celah bibir pada laki-laki
6,56% pada perempuan 3,28 % celah palatum pada laki-laki 14,75% dan
perempuan 24,59%, kombinasi celah bibir dan palatum pada laki-laki 26,23%
dan pada perempuan 24, 59%. (Rajagukguk, 2016)
Penelitian di Bunda Harapan Kita Jakarta pada tahun Maret--Juni 2008
dari 142 penderita, didapatkan 54,2% jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga
dengan kelainan yang sama ditemukan pada celah palatum lebih banyak dari
pada celah bibir dan palatum, kelainan penyerta ditemukan pada 10 penderita.
Sebesar 55 penderita (38,7%) celah terdapat di sisi kiri (labiognatopalatoskisis
unilateral kiri). Pemeriksaan ABR, 86 (60,6%) memberikan hasil ambang
sebesar 40 dB, 4,2% tidak memberi respons pada pemeriksaan ABR hingga 90
dB. Hanya 1,4% memberi respons pada 30 dB, sedangkan 60 dB, 14,1% dan 50
dB, 19,7%. Pada pemeriksaan timpanometri seluruh penderita hasilnya adalah
tipe B yang menggambarkan otitis media efusi. (Mabun, 2015)
Berdasarkan penelitian oleh Zulkarnain Muin yang dilakukan di Rumah
Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar pada periode Januari 2011--Desember
2012 dengan total sampel yang diperoleh sebanyak 73 rekam medik. Dari
seluruh sampel, mayoritas penderita memiliki jenis celah bibir palatum sebanyak
22

82%, dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (57,53%). Pada penelitian
ini sebanyak 76,7% subyek menjalani tindakan operasi sebagai tindakan
pengobatannya. (Muin, 2013)

E. Etiologi dan Faktor Risiko Celah Bibir Palatum dan Gangguan Telinga
Tengah
1. Etiologi celah bibir dan palatum adalah penyakit yang disebabkan oleh
kontribusi dari faktor lingkungan serta faktor genetik. Penyebab dari sebagian
besar kejadian celah bibir dan palatum masih belum diketahui hingga sekarang.
Faktor Resiko dan penyebab pasti terjadinya celah bibir dan palatum masih
belum diketahui sepenuhnya. (Xuan Z et al, 2016).
Banyak ahli berpendapat terdapat banyak faktor, baik faktor endogen
maupun eksogen, berkontribusi dalam terjadinya kelainan ini. memiliki pendapat
faktor endogennya ada dua yaitu mutasi gen dan aberasi kromosom sedangkan
untuk faktor eksogennya antara lain asap rokok, minuman alkohol, obat-obatan,
vitamin, keseimbangan diet, stres. (Tobing, 2017)
2. Etiologi dan faktor risiko gangguan telinga tengah
Secara umum tuba Eustachius pada anak masih belum berkembang
sepenuhnya dengan pembukaan ke nasofaring yang lebih sempit. Oleh karena
itu, pembukaan tuba Eustachius yang sempit mudah tersumbat ketika infeksi
saluran napas atas menyebabkan pembengkakan dan inflamasi mukosa
respiratorik. Ini akan menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah.
Secara khusus pada penderita celah palatum, defek anatomis dan struktural
dapat berdampak negatif pada fungsi velofaringeal. Karena insufisiensi
velofaringeal, refluks abnormal makanan dan cairan ke dalam kavitas nasal
dapat menyebabkan perubahan inflamatorik kronis di sekitar orifisium Eustachius
dengan edema dan hipertrofi di bantalan adenoid. Ini berakibat pada obstruksi
tuba Eustachius dan penyakit telinga tengah sekunder. (Flynn, 2013 dan Peipe,
2018)
Anomali pada otot tensor veli palatini, tuba Eustachius, atau struktur
sekitarnya berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi tuba Eustachius dan
masalah telinga tengah pada penderita dengan celah palatum. Pada awal 1960-
an, beberapa faktor diusulkan sebagai faktor kausal yang berperan dalam
disfungsi tuba Eustachius dan sering terjadinya patologi telinga tengah pada
penderita dengan celah palatum. Hal ini termasuk perkembangan otot tensor veli
23

palatini yang buruk dan tidak adanya perlekatan yang kuat dari otot tensor veli
palatini ke tuba Eustachius. Dalam penelitian selanjutnya, obstruksi tuba
Eustachius fungsional masih dianggap sebagai penyebab paling mungkin dari
otitis media efusi pada penderita dengan celah palatum dan diduga sebagai
akibat dari mekanisme pembukaan tuba Eustachius yang abnormal, peningkatan
komplians tuba, atau keduanya. (Heidseick et al, 2016)
a. Faktor anatomis dan mekanis
Ketiadaan barrier mekanis yang normal antara kavitas oral dan nasal
mengubah flora bakterial di area tersebut. Bakteri patogenik mungkin bisa
tumbuh besar dan dengan mudah masuk ke kavitas telinga tengah yang
menyebabkan infeksi telinga tengah dengan efusi. (Peipe, 2018)
b. Faktor dinamik
Faktor dinamik dalam fisiologi telinga tengah tergantung pada anatomi
tuba Eustachius yang utuh dan otot ekstrinsiknya. Pembukaan tuba
dihasilkan oleh efek sinergistik antara otot tensor veli palatini dan otot levator
veli palatini. Beberapa penelitian menunjukkan peran penting otot tensor veli
palatini sebagai pembuka utama tuba Eustachius. Oleh karena itu otot ini
memiliki peran kunci dalam ventilasi telinga tengah dan drainase tuba
Eustachius. Otot levoator veli palatini juga terlibat dalam pembukaan tuba
tetapi pada tahap yang berbeda yang mendahului pembukaan sebenarnya.
Otot tensor veli palatini dan otot levator veli palatini tidak dalam bentuk yang
utuh pada anak dengan celah palatum. Serat otot tidak memiliki arah yang
normal dan insersi palatal midline, menyebabkan tambatan yang kurang kuat
dan tidak adanya perlekatan kuat otot pada tuba Eustachius penderita
dengan celah palatum. Oleh karena itu fungsi pembukaan tuba Eustachius
secara rutin menjadi terganggu. (Flynn, 2013)

F. Patofisiologi Gangguan telinga Tengah Pada Celah Bibir dan


Palatum
Dalam kondisi normal, tuba Eustachius ditutup dan hanya dibuka pada
waktu menelan atau autoinflation. Biasanya, penutupan tuba Eustachius dikelola
oleh faktor luminal dan ekstraluminal, yang meliputi elastisitas intrinsik tuba,
tegangan permukaan lembab luminal, dan tekanan jaringan ekstraluminal. Tonus
otot tensor veli palatini melebarkan lumen jadinya kerusakan pada tensor veli
palatini setelah operasi celah bibir dapat mengakibatkan tuba terbuka abnormal.
24

Pasien dengan celah palatum mengalami gangguan perkembangan wajah,


inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan
gangguan fungsi tuba Eustachius. Adanya hubungan antara rongga mulut dan
hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren
telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara
pada pasien dengan palatoschisis. (Patel, 2013)
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara inflamasi intrisik
( intraluminal, periluminal) seperti infeksi atau alergi. Dapat juga terjadi obstruksi
secara ekstrinsik (peritubal) yaitu pembesaran adenoid, massa nasofaring.
Otot-otot sistem tuba eustachius membantu membuka dan menutup tuba,
sehingga memungkinkannya menjalankan fungsinya. Otot-otot ini adalah tensor
veli palatini, levator veli palatini, salpingopharyngeus, dan tensor tympani. Otot
tensor veli palatini berasal dari dinding tulang fossa skafoid dan dari seluruh
panjang sayap tulang rawan pendek yang membentuk bagian atas dinding depan
tuba tulang rawan. Otot bergerak ke bawah, menyatu menjadi tendon pendek
yang berputar secara medial di sekitar hamulus pterigoid. Kemudian menyebar di
palatum molle dan bercampur dengan serat dari sisi berlawanan di garis tengah
raphe. Otot tensor veli palatini memisahkan tuba Eustachius dari ganglion otik,
saraf mandibula dan cabang-cabangnya, korda timpani, dan arteri meningeal
media. Salpingopharyngeus adalah otot halus yang melekat pada ujung faring
tuba Eustachius dan menyatu dengan otot palatofaring ke bawah. Levator veli
palatini memiliki 2 asal yaitu permukaan bawah dari tubatuba tulang rawan dan
permukaan bawah dari tulang petrous. Pada awalnya, levator lebih rendah dari
tubatuba; kemudian menyilang ke sisi medial dan menyatu dengan palatum
molle. (Tewfix, 2020)
Malformasi yang memengaruhi palatum durum dan molle
mempengaruhi fungsionalitas tuba Eustachius, mengganggu ventilasi telinga dan
drainase dari telinga. Oleh karena itu, disfungsi tuba Eustachius dapat
menyebabkan efusi telinga tengah dan rekurensi otitis media, sehingga
mempengaruhi fungsi pendengaran. Tingkat pemulihan fungsi tuba Eustachius
setelah operasi palatum berkisar 40 hingga 86%. Meskipun penutupan palatum
surgikal dengan integritas otot pterygoid dan tensor palatum molle dapat
memperbaiki status telinga tengah, penutupan palatum secara sederhana tidak
25

akan cukup kecuali jika sphincter velar telah terbentuk dengan baik. (Heidseick
et al, 2016)
Kontraksi pada otot levator veli palatine menyebabkan elevasi palatum
mulut dan rotasi medial dari lamina tulang rawan. Ketika otot-otot ini berkontraksi
secara bersamaan melalui menelan atau menguap, udara dapat melewati tuba
untuk menyeimbangkan tekanan di telinga tengah dengan tekanan atmosfer.
Perbedaan tekanan antara telinga tengah dan atmosfer disebabkan oleh difusi
gas atmosfer melalui membran sel kapiler vena di telinga tengah. Karbon
dioksida dan oksigen dengan mudah melewati membran kapiler vena,
menciptakan vakum tekanan bersih sehubungan dengan tekanan atmosfer. Ini
menjelaskan mengapa pelebaran tubaEustachius memungkinkan udara pada
tekanan atmosfer menyeimbangkan dengan tekanan parsial gas yang lebih
rendah di telinga tengah yang berkembang. (Tarabichi dan Najmi, 2015)
Mekanisme ini juga menjelaskan mengapa disfungsi tuba Eustachius
yang berlebihan mengakibatkan gangguan pendengaran jika tekanan di telinga
tengah mempengaruhi membran timpani untuk menariknya lebih kencang karena
defisit pertukaran gas. Dua otot lain yang terkait dengan tuba Eustachius yang
belum terbukti memiliki peran penting dalam membuka lumen adalah otot tensor
tympani dan salpingopharyngeus. Telah diketahui ada 3 fungsi dari tuba
Eustachius dalam memelihara fungsi telinga tengah yaitu fungsi ventilasi, fungsi
drainase dan fungsi proteksi. (Peipe, 2018)
Fungsi ini adalah di mana tuba Eustachius mempertahankan tekanan
udara di dalam cavum timpani sama dengan tekanan udara luar atau sama
dengan tekanan atmosfir. Dalam keadaan normal, telinga tengah merupakan
suatu ruang tertutup dan penuh berisi udara. Mukosa telinga tengah secara
perlahan-lahan akan mengabsorbsi udara dan nitrogen dari telinga tengah
sehingga akhirnya tekanan udara dalam telinga tengah akan menurun. aktif dan
pasif. (Schilder et al, 2015)
Pembukaan secara aktif terjadi oleh kontraksi otot tensor veli palatine
pada saat menelan, menguap atau mengunyah. Pada orang dewasa gerakan
menelan dapat terjadi beberapa kali dalam 1 menit dan dalam keadaan tidur
terjadi sekali dalam 5 menit. Pembukaan tuba Eustachius pada bayi dan anak-
anak frekwensinya terjadi lebih sering dibanding dewasa, sehingga bayi dan
anak-anak mendapatkan kesulitan dalam mempertahankan tekanan udara di
26

telinga tengah. Pembukaan secara pasif terjadi jika tekanan didalam kavum
timpani lebih tinggi dari pada tekanan atmosfir. (Schilder et al, 2015)
Otot tensor veli palatini berasal dari dasar tengkorak dan sisi lateral tuba
auditiva Kedua lokasi asal otot ini memunculkan dua lapisan otot yang mudah
dipisahkan karena jalur paralel serat otot mereka. Pada dasar tengkorak, otot ini
membentang dari anterior di fossa scaphoid ala mayor tulang sphenoid ke
posterior di spina sphenoidalis. Tuba Eustachius menutup saat istirahat karena
komplians jaringan ikat elastis di dinding tuba, tekanan ekstramural dari struktur
yang didekatnya, dan tonus otot paratubal. Mekanisme dasar yang bertanggung
jawab atas pembukaan tuba, yang terjadi selama menguap dan menelan, masih
membutuhkan klarifikasi. Meskipun dalam literatur sebelumnya dilatasi tuba
hanya dianggap berasal dari kontraksi otot tensor veli palatini kebanyakan
peneliti menganggapnya sebagai hasil dari tindakan sinergis antara otot tensor
veli palatini dan otot levator veli palatini. Aksi otot tensor veli palatini diasumsikan
sebagai kontraksi isotonik yang menghasilkan peningkatan ukuran lumen dan
traksi ke bawah pada kartilago lateral yang menghasilkan gaya rotasi pada
kartilago medial . Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otot levator veli
palatini berpartisipasi dalam pembukaan bagian paling anterior tuba Eustachius
di orifisium faring. (Heidseick et al, 2016)
Anomali pada otot tensor veli palatini, tuba Eustachius, atau struktur
sekitarnya berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi tuba Eustachius dan
masalah telinga tengah pada penderita dengan celah palatum. Pada awal 1960,
beberapa faktor diusulkan sebagai faktor kausal yang berperan dalam disfungsi
tuba Eustachius dan sering terjadinya patologi telinga tengah pada penderita
dengan celah palatum. Hal ini termasuk perkembangan otot tensor veli palatini
yang buruk dan tidak adanya perlekatan yang kuat dari otot tensor veli palatini ke
tuba Eustachius. Dalam penelitian selanjutnya, obstruksi tuba Eustachius
fungsional masih dianggap sebagai penyebab paling mungkin dari otitis media
efusi pada penderita dengan celah palatum dan diduga sebagai akibat dari
mekanisme pembukaan tuba Eustachius yang abnormal, peningkatan tekanan
tuba, atau keduanya. (Heidseick et al, 2016)
Dengan menggunakan media kontras radioopak pada penderita dengan
celah bibir dan palatum, ditunjukkan bahwa setelah menelan, tuba Eustachius
gagal untuk membuka orifisium nasofaringealnya. Selain itu, nasofaringoskopi
menunjukkan adanya kelainan pada orifisium nasofaringeal tuba Eustachius
27

yakni letaknya yang sedikit berbeda, ukurannya yang lebih kecil, dan frekuensi
hipoplasia torus tubarius (bagian kartilaginosa orifisium) yang tinggi. Selain itu,
tulang rawan tuba pada penderita dengan celah palatum tidak menunjukkan
gerakan selama menelan, sedangkan normalnya, gerakan ke atas dari tulang
rawan tuba diharapkan menghasilkan peningkatan patensi lumen tuba
Eustachius (Heidsieck et al, 2016)
Tuba Eustachius bekerja paling efisien bila dalam posisi tegak. Efisiensi tuba
Eustachius akan menurun seiring dengan semakin rebahnya tubuh. Menurut
Ingelstedt dkk (1967), yang dikutip dari bluestone, volume udara yang melewati
tuba Eustachius akan berkurang 1/3 bila tubuh kita membentuk sudut 20 derajat
terhadap bidang horizontal dan berkurang 2/3 bila kita berbaring. (Schilder et al,
2015)
Fungsi tuba Eustachius sebagai ventilasi dari telinga tengah dan mastoid,
jika tuba Eustachius terbuka maka akan terjadi pertukaran gas dan persamaan
tekanan udara di atmosfer dan telinga tengah. Gas di telinga tengah juga
berputar dengan mukosa telinga tengah. Difusi dari telinga tengah ke darah
membuat komposisi gas ditelinga tengah mempresentasikan darah vena. Jika
terjadi atelektasis mengakibatkan terjadi retraksi ke arah promontorium dan
osikel sepenuhnya. Tidak ada permukaan mukosa. Retraksi membran timpani
lama mengakibatkan erosi malleus, inkus dan stapes mengakibatkan otitis media
berulang membuat membran timpani semakin tipis dan lemah karena dekstruksi
lapisan fibrosa yang mengandung kolagen dapat menyebaban atelektasis dan
timpanosklerotik. (Peipe , 2018)

Gambar 11. Tekanan tuba Eustachius


(Peipe , 2018)
28

Pada pasien dengan celah bibir dan palatum sering terjadi tekanan
negative pada telinga tengah yang dapat menjadi kronik sehingga membuat
membrane timpani pars tensa dan pars flaccida retraksi. (Parkes et al, 2018)
Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah terganggu, biasanya disebabkan
karena fungsi tuba Eustachius yang terganggu. Terbagi atas otitis media
supuratif yaitu otitis media supuratif akut dan otitis media supuratif kronik. otitis
media non supuratif atau otitis media serosa yaitu otitis media serosa akut
(barotrauma atau aerotitis) dan otitis media serosa kronik (glue ear). Otitis media
spesifik seperti otitis media sifilitika atau otitis media tuberkulosa, dan otitis
media adhesiva. Otitis media akut adalah terdiri atas beberapa stadium stadium
oklusi tuba, stadium hiperemi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi. (Rettig dan Tunkel, 2014)
Otitis media supuratif akut (OMSA) merupakan inflamasi akut telinga
tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu. dengan telinga tengah
merupakan ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan
telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius.
Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring dan faring, secara alamiah terdapat
mekanisme pencegahan penjalaran bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim
pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba Eustachius. (Rettig dan
Tunkel, 2014)
Staging retraksi pars flacida menurut Tos dan Poulsen (Kim Woo et
al, 2020)
1. Tipe 1, Retraksi ke arah leher maleus tetapi ruang udara masih terlihat
di belakang membran retraksi pocket.
2. Tipe 2, Retraksi ke leher maleus, tidak ada ruang udara terlihat di
belakang membran retraksi pocket.
3. Tipe 3, Retraksi meluas melampaui maleus, tetapi batas penuh dari
pocket masih terlihat.
4. Tipe 4, terdapat erosi pada dinding attic luar.

Klasifikasi retraksi membran timpani berdasarkan kriteria Sade dan


Berco (Chole R A, Sudhoff, 2017)
1. Retraksi ringan pada membran timpani proses lateral maleus menjadi lebih
signifikan
2. Membran timpani kontak dengan inkus dan stapes
29

3. Membran timpani kontak dengan promontorium


4. Adesive otitis media
5. Perforasi spontan atelektasis dari membran timpani

Gambar 12. Retraksi membran timpani klasifikasi Sade dan Berco (Chole R A, Sudhoff,
2017)

Apabila tidak mengalami penyembuhan secara sempurna maka penyakit


ini dapat menjadi otitis media efusi atau otitis media supuratif kronik yang terdiri
dari 2 tipe yaitu otitis media supuratif kronik tanpa kolesteatoma (tipe mukosa/tipe
aman) dan otitis media supuratif kronik dengan kolesteatoma (tipe tulang/tipe
bahaya) (Kolegium THTKL, 2015).
Karena tuba Eustachius tidak membuka untuk menyamakan tekanan, ada
tekanan rendah di rongga telinga tengah. Hasil tekanan negatif dalam timpani
yang ditarik membran dan sekresi mukosa dari jaringan melalui osmosis ke
dalam rongga telinga tengah. Tekanan yang lebih rendah ini dapat disebabkan
oleh OMSA, disfungsi tuba Eustachius, dan atau anomali struktural Kerusakan
pada sistem kekebalan, infeksi saluran pernapasan atas, dan alergi mungkin
menyebabkan pembengkakan di tuba Eustachius atau selaput di sekitar tuba.
Pembengkakan juga bisa menutup atau menghalangi pembukaan tuba
Eustachius. Ini bisa menyebabkan cairan terperangkap di rongga telinga tengah.
Namun, jika tidak ada cairan, obstruksi dapat menyebabkan rongga telinga
tengah menyerap gas dan menghasilkan tekanan negatif. Pada anak-anak,
cairan dapat terperangkap lebih mudah seperti tuba Eustachius lebih pendek,
lebih horizontal, dan terdiri dari lebih banyak tulang rawan daripada tuba dewasa.
30

Kelembutan dan penempatan tuba Eustachius ini memungkinkan peningkatan


risiko sekresi nasofaringeal memasuki rongga telinga tengah dari retrograde
refluks sehingga membentuk otitis media efusi (Flyinn, 2013).

Otitis Media Supuratif Kronik terdiri atas :


a. Tipe tubotimpanal (tipe mukosa = tipe aman = tanpa kolesteatoma). Secara
klinis penyakit tipe tubotimpanal terbagi atas: penyakit aktif dan tidak aktif.
Stabunekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi
bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa.
Jarang di temukan polip yang besar pada liang telinga luar. Sedangkan
yang tidak aktif, pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi yang kering
dengan mukosa telinga tengah yang pucat. (Bailey, 2014)
b. Tipe atikoantral (tipe epitelial = tipe bahaya = dengan kolesteatoma). Pada
tipe atikoantral ditemukan adanya kolesteatom yang berbahaya.
Perforasinya terletak di atik atau marginal. Penyakit atikoantral lebih sering
mengenai pars flaksida dan khasnya dengan menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel
(keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga
kolesteatoma bertambah besar. Istilah kolesteatoma pertama kali
diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena disangka
kolesteatoma merupakan suatu tumor yang ternyata bukan (Bailey, 2014).

G. Klasifikasi Celah Bibir dan Palatum


Celah orofacial sangat bervariasi dalam bentuk dan struktur yang
terkena. Terdapat beberapa klasifikasi celah orofacial dengan tujuan
memudahkan tatalaksana dan penelitian lebih lanjut. Adapun kalsifikasi tersebut.
(Cholid, 2015)
1. Klasifikasi Veau
Klasifikasi celah palatum menurut Veau: (Tewfix, 2019)
a. Tipe 1 : Celah hanya terdapat pada palatum saja (gambar a)
b. Tipe 2 : Celah terdapat pada palatum lunak dan keras di belakang
foramen insisivum (gambar b).
c. Tipe 3 : Celah pada palatum lunak dan keras mengenai tulang alveolar
pada satu sisi (gambar c).
31

d. Tipe 4 : Celah pada palatum lunak dan keras mengenai tulang alveolar
pada dua sisi (gambar d).

Gambar.13 Klasifikasi menurut Veau's


(Tewfix, 2019)

2. Klasifikasi Strip Y kernahan


Klasifikasi Kernahan klasifikasi kernahan berdasarkan pada
embriologi yang pakai foramen incisivum sebagai batas yang
memisahkan celah pada palatum primer dari palatum sekunder.
Palatum primer terdiri dari bibir atas, tulang alveolar dan palatum
yang terletak di anterior foramen incisivum. Celah komplit pada
palatum primer akan melibatkan struktur ini, palatum sekunder terdiri
dari palatum durum dan palatum molle dibelakang foramen
incisivum. (Cholid, 2015)
Klasifikasi celah bibir dan palatum menurut Kernahan dan
Stark yaitu
a. Grup I : Celah palatum primer, meliputi celah bibir dan kombinasi
celah bibir dengan celah pada tulang alveolar. Celah
biasanya terdapat pada foramen insisivum (gambar a).
32

b. Grup II : Celah palatum sekunder atau celah yang terdapat di


belakang foramen insisivum, meliputi celah palatum lunak dan
keras dengan variasinya (gambar b dan c)
c. Grup III: Kombinasi celah palatum primer dan sekunder (gambar 1
d).

Gambar 14. Klasifikasi Kernahan


(Tewfix, 2019)

H. Penatalaksanaan Celah Bibir dan Palatum


Penderita yang lahir dengan celah bibir dan atau palatum
memerlukan tatalaksana terkoordinasi dari berbagai spesialisasi untuk
mengoptimalkan hasil perawatan. Pada standar nasional, perlu ada pusat
pendidikan dengan cleft team multidisiplin, yang didedikasikan untuk menangani
masalah terkait cleft sejak lahir hingga dewasa. Anggota tipikal dari cleft team
termasuk audiolog, dokter gigi, ahli genetika, perawat, ahli gizi, ahli bedah mulut,
ortodontis, ahli THT, dokter anak, ahli bedah plastik, psikolog, pekerja sosial, dan
ahli patologi wicara. Perawatan tim yang penuh perhatian dalam beberapa bulan
pertama kehidupan akan meningkatkan keberhasilan operasi primer dengan
mempersiapkan bayi dan keluarga secara medis, fisik, dan psikologis. (Dochy et
al, 2019)
Penanganan komprehensif dapat dimulai sejak hamil (prenatal) dengan
pelayanan ultrasonography (USG), diagnosis dan konseling. Pada bayi lahir
33

dilakukan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh, manajemen nutrisi,


perencanaan langkah-langkah penanganan secara komprehensif, konsultasi
dokter THT untuk kemungkinan infeksi telinga. (Thorne, 2015)

Tabel 1. Tatalaksana Pembedahan untuk Celah Bibir dan Palatum Berdasarkan Umur
(Thorne, 2015)
Umur Tatalaksana Anggota Cleft team

Prenatal Pencitraan , diagnosis, Multidisiplin


konseling

Neonatala Penilaian feeding, kondisi medis, Multidisiplin


konseling genetik, informasi
tatalaksana
0-3 bulan Presurgical orthopedics Ortodontis, ahli bedah
Plastik
3 bulan (atau setelah Perbaikan celah bibir primer dan Ahli bedah plastik
Persurgical rinoplasti ujung hidung +
orthopedics) Gingivoperiosteoplasti
12 bulan (ditunda jika Perbaikan celah palatum primer Ahli bedah plastik, dokter
Ada permasalahan dengan veloplasti intravelar + THT
jalan nafas atau medis bilateral myringotomy and tubes

lainnya)a
Diagnosis insufisiensi Pemanjangan palatum sekunder Ahli patologi wicara,
Velofaringeal (3-4 atau faringoplasti, speech ahli bedah plastik, dokter
tahun) obturator THT, ortodontis
Usia masuk sekolah Tatalaksana sekunder Ahli bedah plastik
deformitas bibir dan hidung
7-9 tahun (mixed Cangkok tulang alveolar Ortodontis, ahli

dentition)b sekunder bedah plastik, ahli bedah


34

Mulut

Pubertasa Presurgical orthodontics Ortodontis


Pubertas Open rhinoplasty definitif Ahli bedah plastik
Maturitas Le Fort I + operasi ortognatik Ahli bedah plasti,
Tulang mandibula ahli bedah mulut

a
Tatalaksana utama untuk deformitas celah bibir dan palatum
b
Diperlukan jika gingivoperiosteoplasti tidak dilakukan atau tidak berhasil

1. Operasi Primer
Operasi adalah untuk menutup celah, memperbaiki simetri atau dimensi
dari bibir akibat deformitas geometri dan mengembalikan struktur dan fungsi
anatomi dari jaringan yang terlibat. Operasi primer seperti labioplasti dan
palatoplasti, sebelum operasi perlu diperhatikan syarat untuk dilakukan operasi.
1.1 Labioplasti
Secara normal, anak mulai berlatih bicara pada usia 5-6 bulan dan terus
berkembang sampai usia 2 tahun saat kemampuan bicara anak akan lengkap
dan berhenti. Atas pertimbangan itu, operasi bibir (labioplasti) ideal bila dilakukan
Penderita celah bibir yang telah dilakukan operasi labioplasti. Penderita celah
palatum yang akan dilakukan operasi palatoplasti pada usia 3-6 bulan sampai 2
tahun. Jika koreksi anatomi bibir sudah sempurna pada usia 6 bulan,
pengucapan huruf bibir (B, F, M, P, V, W) tidak terganggu. Bila koreksi anatomi
bibir dilakukan lewat dari usia 2 tahun maka ada risiko pengucapan huruf bibir tak
sempurna dan menetap. Tujuan utama labioplasti adalah menciptakan bibir dan
hidung yang seimbang dan simetris dengan jaringan parut minimal dan
menciptakan bibir yang berfungsi baik dengan mengurangi pengaruh operasi
terhadap pertumbuhan dan perkembangan branchial arch maxilla (attahirah,
pamungkas, mursali, 2015)
Beberapa tehnik labioplasti yang sering digunakan meliputi penutupan
garis lurus (operasi Veau III) - adaptasi dari perbaikan celah bibir unilateral
Tennison, perbaikan celah komplit dan inkomplit bilateral oleh Millard. Tehnik
lainnya yaitu teknik Skoog, metode Manchester, Barsky (veau II), flap primer
Abbe. (Dewi, 2018).
35

Gambar 15. Perbaikan deformitas celah bibir bilateral. A. Marking dan landmark B. Celah
bibir bilateral komplit sebelum operasi. C. Hasil pasca operasi. D. post operasi(Thorne,
2015)

1.2. Palatoplasti
Jika ada celah palatum, celah ini diklasifikasikan secara pembedahan
sebagai unilateral, bilateral, atau submukosa. Celah submukosa dihasilkan dari
adanya fusi epitel palatum mole, tetapi tidak ada fusi mesenkimal yang
terprogram seperti yang dijelaskan pada bagian embriologi. Lebar celah harus
dicatat karena mempengaruhi kesulitan penutupan. Konsensus saat ini,
berdasarkan peningkatan pemahaman tentang perkembangan bicara, adalah
bahwa perbaikan celah palatum harus diselesaikan sebelum usia 18 bulan.
(Thorne, 2015)
Waktu optimal perbaikan celah palatum menyeimbangkan manfaat fungsi
velofaringeal normal untuk mengoptimalkan pengembangan kemampuan bicara
terhadap kemungkinan kerugian dari gangguan pertumbuhan wajah sekunder
36

akibat trauma bedah dini. Deskripsi Graber pada akhir 1940-an mengenai
pertumbuhan maksila terbatas setelah penutupan palatum dini, disertai dengan
rekomendasi untuk menunda operasi hingga usia 4 hingga 6 tahun. Karena
implikasi yang merusak dari rekomendasi ini pada perkembangan kemampuan
bicara, waktu konvensional untuk perbaikan celah palatum ditetapkan pada 18
hingga 24 bulan sehingga dapat meningkatkan kemampuan bicara dan
pertumbuhan wajah. (Thorne, 2015)
Penderita dengan kombinasi kelainan celah bibir dan palatum juga dapat
dilakukan tindakan palatoplasti. Perlekatan otot-otot palatum yang tidak normal
pada celah palatum mengubah tekanan pada drainase faring dari kanalis
Eustachius, sehingga meningkatkan insidensi infeksi telinga. (Heidsieck et al,
2016)
Beberapa teknik palatoplasti yang sering digunakan adalah teknik Von
Langenbeck, teknik Veau-Wardill-Kliner atau VY-pushback, Teknik dua flap
palatoplasti, Furlow double opposing z-plasty. Teknik bedah yang digunakan
saat ini dalam perbaikan celah palatum terutama difokuskan untuk
mengembalikan lapisan pemisah antara rongga mulut dan hidung serta
mengonstruksi sling otot levator veli palatini. Dengan memaksimalkan fungsi
sling tersebut dalam penutupan velopharyngeal, kemungkinan terjadinya suara
hipernasal akan berkurang. Otot tensor veli palatini yang berdekatan dengan
telinga tengah diketahui terlibat dalam mekanisme ventilasinya, namun bukti
tentang fungsi dan anatomi sebenarnya tetap belum diketahui secara pasti.
Beberapa ahli bedah lebih memilih untuk melakukan transeksi pada muskulus
tensor veli palatini (tenotomi) untuk membantu mobilisasi dan penutupan jaringan
palatal selama perbaikan celah. Ahli bedah lain lebih suka melakukan tenopeksi
atau melepaskan otot tersebut dengan mematahkan hamulus pterigoideus
disekitar lokasi yang dilewati tendonnya. Kontroversi mengenai efek dari
prosedur ini pada fungsi tuba Eustachius dan ventilasi telinga tengah tetap ada.
Sebuah studi yang lebih baru tentang efek preservasi atau mempertahankan otot
tensor veli palatini pada fungsi tuba Eustachius akan memperbaiki fungsi telinga
(Luo Q et al, 2018)
Terapi definitif di Indonesia pada penderita celah palatum adalah operasi
rekonstruksi untuk menutup celah dengan menyambungkan jaringan yang ada
(palatoplasti) Operasi dapat dilakukan dalam 1 ataupun 2 tahap dan dengan
mempertimbangkan usia anak, kondisi umum dan adanya penyakit penyerta.
37

Keterlambatan koreksi anatomi palatum menyebabkan anak akan sengau secara


permanen. Keberhasilan operasi palatoplasti dinilai dari kemampuan wicara
penderita, kemampuan pendengaran, pertumbuhan maxilla dan kemampuan
menelan makanan. (Attahirah et al, 2015)

2. Operasi Sekunder
Perawatan pada anak-anak dengan celah bibir atau celah palatum
bervariasi. Tidak ada dua anak yang memiliki kebutuhan yang sama. Beberapa
mungkin hanya membutuhkan dua operasi, dan anak lainnya mungkin butuh
lebih dari dua operasi. Tujuan dari perawatan adalah untuk mencapai
penampilan sebaik mungkin, cara bicara yang terbaik dan gigi terbaik serta
sehat. Di bawah ini merupakan beberapa operasi tambahan yang dapat
direkomendasikan untuk anak seperti penutupan fistula diikuti perbaikan celah
palatum. Operasi untuk faringoplasti didesain untuk mengurangi dimensi dari
pembukaan velofaring untuk memfasilitasi atau sekedar meningkatkan resistansi
saluran nafas untuk meminimalkan lolosnya udara nasal. (Thorne, 2015).
Operasi tambahan pada bibir dapat disarankan untuk meningkatkan
fungsi atau penampilan dari operasi graft tulang celah alvelar adalah celah atau
pembukaan pada tulang rahang atas di bawah gusi. Dynamic sphincter
pharyngoplasty, VPI atau velopharyngeal incompetence atau insufficiency,
rhinoplasty (Thorne, 2015).

I. Dampak celah bibir dan palatum


A. Psiko Sosial
Perkembangan komunikasi dan pertumbuhan sosial-emosi sudah terjadi
sejak tahap awal masa anak-anak. Anak dengan celah bibir dan palatum
kemungkinan besar akan mengalami kesulitan berkomunikasi dan
membaca, akibat gangguan mekanisme bicara. Kesulitan ini sering kali
disertai dengan gangguan pendengaran karena adanya infeksi yang
berulang, sehingga kebanyakan dari mereka memiliki kemampuan
membaca rendah. (Alawiyah dan Sianita, 2011).
B. Gangguan Pendengaran
Bayi dengan celah bibir dan celah palatum sangat rentang terhadap
infeksi telinga karena tuba Eustachius sering kali terganggu oleh celah
tersebut sehingga tidak dapat mengalirkan cairan yang berasal dari
38

telinga bagian tengah dengan baik. Insidensi otitis media dengan


gangguan pendengaran sangat tinggi. Menurut penelitian Hudson hampir
100% anak dengan celah palatum mengalami infeksi pada telinga tengah
dan kira-kira 50% berkembang menjadi kehilangan pendengaran
permanen. (Arwani, 2019)
C. Gangguan Fungsi Bicara
Terdapat dua perbedaan utama dalam gangguan proses produksi suara
ini, yaitu adanya ketidakmampuan untuk mengarahkan aliran udara
melalui mulut dan hidung dan adanya ketidakmampuan untuk
menempatkan lidah, gigi dan bibir dalam posisi yang tepat untuk
menghasilkan suara. (Alawiyah dan Sianita, 2011).
D. Disharmonis Wajah
Celah bibir dan palatum mempengaruhi jumlah gigi, ukuran, bentuk dan
posisi baik gigi susu maupun gigi tetap Gigi tersebut biasanya
dipengaruhi oleh proses celah terutama lateral incisive. Celah terjadi
antara caninus (eye tooth) dan lateral incisive dalam sejumlah kasus
dapat terjadi, lateral incisive dapat tidak terbentuk tapi dalam beberapa
kasus lainnya dapat terjadi tumbuh dua atau kembar lateral incisive
(twinning tooth) yang terdapat pada masing-masing sisi dan celah.
mempunyai banyak manifestasi keadaan mulut dan gigi yang
mempengaruhi ketepatan waktu dan konsekuensi intervensi tindakan
bedah. (Tobing, 2017)

J. Pemeriksaan Telinga dan Gangguan Pendengaran


a. Otoendoskopi
Kemunculan endoskopi telah merevolusi diagnosis dan
pengobatan berbagai gangguan termasuk pemeriksaan telinga.
Otoendoskopi adalah endoskopi kaku yang telah digunakan untuk
diagnostik tujuan di bidang otology. Prosedur otoendoskopi ini pertama
kali dijelaskan oleh Mer et al . (Balasubramanian, 2012)
Keuntungan menggunakan endoskopi kaku untuk melakukan
pemeriksaan otologis meliputi :
1. Seluruh membran timpani dapat divisualisasikan dengan jelas dengan
sedikit manipulasi.
39

2. Gambar yang dihasilkan memiliki resolusi yang sangat baik sehingga


memotret gambar ini memberikan yang sangat baik.
3. Kadar cairan di rongga telinga tengah akibat otitis media dengan efusi
terlihat jelas di otoendoskopi dibandingkan dengan otoskopi rutin.
4. Perforasi membran yang ada dapat dengan mudah diperiksa dengan
manipulasi minimal endoskop
5. Sebagai alat penuntun untuk membersihkan telinga.
40

a b c

d. e. f.

Gambar 16. Foto otoendoskopi membran timpani


. a. Normal membran timpani, b. Otitis Media Efusi c. Akut otitis media, d Retraksi
Atik/Atelektasis, e Perforasi ( Cha et al, 2019), f. kolesteatoma (Patel, 2020)

Kelainan telinga yang ditemukan dengan menggunakan otoendoskopi


adalah otitis media akut atau kronis baik dengan membran timpani yang utuh
atau perforatif, kemunculan kolesteatoma, deep attic retraction pocket, perforasi
membran persisten (> 3 bulan), atelektasis, otitis media efusi, myringosclerosis.
(Behiery et al, 2019)

b. Nasoendoskopi
Nasoendoskopi adalah endoskopi dengan menggunakan endoskopi kaku
atau fleksibel yang digunakan untuk diagnostik tujuan di bidang rinologi. Dengan
mengevaluasi evaluasi kavum nasi dari anterior mulai bentuk konka inferior
(atrofi, eutrofi, hipertrofi), septum nasi sekret di dasar hidung, apakah sekret
serosa, mukoid atau mukopurulen, bentuk konka inferior, bentuk konka inferior
bagian posterior dan perlekatannya dengan dinding lateral.muara tuba
eustachius, mukosa nasofaring, fossa rosenmuller, sisa adenoid, massa, post
nasal drip. (Ramadhan, 2020)
41

c. Free Field Test (FFT)


Free field test (FFT) atau uji perilaku adalah pemeriksaan
pendengaran yang mencakup behavioral visual reinforcement audiometry
(VRA) dan conditioned play audiometry (CPA). Tujuan dari FFT adalah
untuk menilai perkembangan proses mendengar anak dan menilai
kemampuan persepsi suara terutama pada keadaan bunyi terkecil.
(Madel Jane et al, 2019)
Selain itu pemeriksaan free field test dapat menggunakan
metode pemeriksaan tanpa alat bantu dengar (unaided) dan dengan
menggunakan alat bantu dengar (aided) (Corrigan dan Horsfall, 2019)
Meskipun ada beberapa pendapat tentang penilaian FFT
penderita bisa dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan free field test
<30 dB HL, 30-70 dB HL, dan > 70 dB HL, masing-masing sesuai
dengan normal, ringan atau sedang dan penurunan berat. (Browning,
2019)

e. Audiometri Impedans
Timpanometri bertujuan menilai fungsi telinga tengah yang aman
dan cepat pada anak-anak maupun orang dewasa, di mana tekanan
udara di dalam liang telinga luar diubah untuk mengukur nilai imitans
akustik pada permukaan lateral membran timpani. Fungsi tuba
Eustachius (Eustachius tube function) untuk mengetahui tuba eustachius
terbuka atau tertutup. Rekleks stapedius pada telinga normal, rekleks
stapedius muncul pada rangsangan 70-90 dB diatas ambang dengar.
Pada lesi koklea ambang dengar reflex stapedius menurun, sedangkan
pada lesi retrokoklea ambang itu naik. (Lee KJ, 2016)
Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian
pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif
fungsi telinga dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter
dari isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh.
Keadaan tekanan pada telinga tengah, integritas membran timpani serta
mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan pemeriksaan ini.
(Laurent C et al, 2014)
Istilah akustik imitans digunakan untuk merujuk kepada baik
masuknya akustik (kemudahan dengan yang mana energi mengalir
42

melalui suatu sistem) atau impedansi akustik (perlawanan total terhadap


aliran energi udara). Pengukuran akustik imitans digunakan secara klinis
baik sebagai alat screening dan diagnostik untuk identifikasi dan
klasifikasi gangguan perifer (khususnya telinga tengah) dan sentral dan
dapat digunakan sebagai alat untuk memperkirakan sensitivitas
pendengaran secara obyektif. Pengukuran akustik imitans yang paling
sering digunakan secara klinis termasuk timpanometri dan pengukuran
refleks stapedial. Timpanometri mengukur akustik imitans di dalam kanal
telinga sebagai fungsi dari variasi dalam tekanan udara.(Mikolai et al,
2016)
Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut ;
1. Tipe A
Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal. Mempunyai
bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan
penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif.
Kelenturan maksimal terjadi pada
atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan udara telinga
tengah yang normal. Dengan tekanan -100 sampai +100 daPa. (Lee KJ,
2016)
2. Tipe As
Fiksasi atau kekakuan sistem osikular (otoskerosis, jaringan parut,
fiksasi maleus).Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana
puncak berada dekat titik 0 daPa atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan
ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang. Huruf s di
belakang A berarti stiffness atau shallowness. Kelenturan maksimal
terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi kelenturan lebih
rendah daripada tipe A, seringkali dihubungkan dengan tipe As. (Lee
KJ, 2016)
3. Tipe Ad.
Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau
diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang
pendengaran. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi
dengan puncak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan normal. Huruf
d di belakang A berarti deep atau discontinuity. Kelenturan maksimum
yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara sekitar, dengan
43

peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan diturunkan


mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan dengan
diskontinuitas sistem osikular atau suatu membran timpani monometrik.
Mungkin ada sedikit atau tidak ada gangguan pendengaran saat terjadi
disartikulasi; ada gangguan pendengaran konduktif yang substansial,
yang mungkin terjadi, tidak seperti kebanyakan gangguan pendengaran
konduktif, lebih buruk pada frekuensi tinggi. (Amir et al, 2016)
4. Tipe B
Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung
mendatar atau sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan
cairan di telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada otitis media
efusi. Ear canal volume (ECV) dalam batas normal, terdapat sedikit
atau tidak ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak
tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran
timpani atau probe mungkin tertancap atau menyentuh liang telinga.
(Lee KJ, 2016)
5. Tipe C
Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan
malfungsi dari tuba Eustachius.Tekanan telinga tengah dengan
puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar -150 mm H2O indikatif
ventilasi telinga tengah menurun karena disfungsi tuba Eustachius. Pola
timpanometri, dalam kombinasi dengan pola audiogram, diferensiasi
antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah. Temuan dapat
konsisten dengan membran timpani retraksi dan tuba Eustachius yang
tidak berfungsi. Timpanogram dengan tekanan negatif ekstrim dapat
digambar ulang pada skala tekanan yang diperluas. Selain itu
timpanometri dapat menilai fungsi tuba dan reflex sttapedial (Lee KJ,
2016) .
44

Gambar 17 Timpanometri
(Nakayama, 2013)

K. Prognosis

Pada umumnya prognosis celah bibir dan palatum adalah baik jika diberi
perawatan pembedahan dan evaluasi keberhasilan labioplasti dan atau
palatoplasti. Penderita celah bibir dan palatum membutuhkan perawatan rutin
sedini mungkin meliputi pemeriksaan klinis audiologi dan otologis untuk
memastikan perbaikan status telinga tengah abnormal yang lebih tinggi,
meningkat ambang pendengaran ketika ada otitis media dan gangguan
pendengaran, serta gangguan bicara (Flynn, 2013)
.
45

L. Kerangka teori

Stress Diet

Alkohol Asap rokok

Mutasi Obat-obatan

Defisiensi vitamin Aberasi kromosom

Celah bibir palatum

Ketiadaan barrier mekanis normal kavum oral atau


nasalKelainan otot tensor veli palatini

 Gangguan aerasi
 OMSA
 Otitis Media Efusi Disfungsi tuba eustachius persisten
 OMSK dengan atau
tanpa kolesteatoma

Gangguan pendengaran

Gambar 18. Kerangka Teori


46

M. Kerangka Konsep

Penderita Celah bibir dan Palatum

Pra operasi OME


Otoendoscopi OMSK
Free field test OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma
Timpanometri Retraksi I, II, III, bombans, perforasi
Tipe A, As, Ad, B, C
Gangguan pendengaran normal, ringan,
Operasi rekonstruksi sedang, berat

Post operasi
Otoendoscopi
Performa Telinga Tengah lebih baik
Free field test

Keterangan :

Variabel Antara= Otoendoscopi, free field test,


timpanometri, sebelum dan
sesudah operas

Variabel Bebas= Operasi rekonstruksi

Variabel Terikat= OME


OMSK
OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma
Retraksi I, II, III, bombans, perforasi
Tipe A, As, Ad, B, C
Gangguan pendengaran normal, ringan,
sedang, berat

Gambar 19. Kerangka konsep


47

N. Alur Penelitian

Penderita celah bibir dan atau palatum yang akan menjalani


tindakan pengobatan dengan intervensi pembedahan rekonstruksi
Gambar. 25 Alur Penelitian

Ethical clearance

Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi

Subyek Penelitian

Toilet telinga dan perawatan konservatif

Otoendoskopi, nasoendoskopi, free field test dan timpanometri


(Pre-Operasi)

Tindakan pembedahan oleh Tim SMF Bedah


Plastik

Otoendoskopi, free field test dan timpanometri


(Post-Operasi) setelah 4 bulan dan 6 bulan

Hasil Penelitian

Bagan. 20 Alur Penelitian


O. Defenisi Operasional

1. Penderita celah bibir adalah suatu kondisi dimana terdapat defek yang
bersifat kongenital pada bibir (labioschisis) dan atau bibir gigi
(labiognatoschisis) komplit atau inkomplit, unilateral atau bilateral yang
didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis oleh dokter
spesialis bedah plastik dan dokter THTBKL.
2. Penderita celah palatum adalah suatu kondisi di mana terdapat defek yang
bersifat kongenital pada palatum durum dan atau palatum molle komplit atau
inkomplit (palatoschisis) yang didiagnosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis oleh dokter spesialis bedah plastik dan dokter THTBKL
3. Penderita celah bibir palatum adalah suatu kondisi di mana terdapat defek
yang bersifat kongenital pada bibir dan palatum komplit atau inkomplit
(labiopalatoschis) yang didiagnosis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis oleh dokter spesialis bedah plastik dan dokter THTBKL
4. Otitis media efusi adalah pengumpulan cairan pada telinga tengah cairan
tanpa disertai tanda infeksi dengan ditemukan gambaran berupa gelembung
udara atau air fluid level pada pemeriksaan otoendoskop dan pada
pemeriksaan timpanometri didapatkan gambaran tipe B. Diagnosis di
tegakkan berdasarkan pemeriksaan otoendoskopi dan timpanometri. Skala
pengukuran adalah kategorik.
5. Otitis media akut adalah peradangan telinga tengah yang merupakan
inflamasi akut telinga tengah yang pada pemeriksaan otoendoskopi
ditemukan gambaran retraksi, hiperemis, bulging, perforasi dan resolusi.
Skala pengukuran kategorik
6. Otitis media supuratif kronik terbagi menjadi
a. Otitis media supuratif kronis tanpa kolesteatoma adalah peradangan
mukosa telinga tengah yang didiagnosa berdasarkan anamnesis
keluarnya cairan atau sekret (otore) secara terus menerus maupun hilang
timbul yang lebih dari 2 bulan, pada pemeriksaan fisis otoendoskopi
ditemukan adanya perforasi membran timpani dengan adanya sekret dari
telinga tengah. Skala pengukuran kategorik
b. Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma adalah peradangan
mukosa telinga tengah yang didiagnosa berdasarkan anamnesis
keluarnya cairan atau sekret (otore) secara terus menerus maupun hilang
49

timbul lebih dari 2 bulan, pada pemeriksaan otoendoskopi ditemukan


adanya perforasi membran timpani disertai adanya sekret berbau busuk
dan atau keratin putih dari telinga tengah. Skala pengukuran kategorik
8. Status telinga tengah adalah kondisi telinga tengah yang ditemukan pada
pemeriksaan otoendoskopi (berupa gambaran membran timpani intak,
hiperemis, retraksi, timpanosklerosis, perforasi, gambaran gelembung udara,
air fluid level, kolesteatoma) dan timpanometri (berupa gelompang tipe A, B,
C, Ad, As). Skala pengukuran adalah kategorik. Kriteria objektif adalah
a. Retraksi ringan adalah cone of light memendek, membran timpani
suram
b. Retraksi sedang adalah membran timpani suram, cone of light hilang,
osikula (umbo dan processus lateralis ) menonjol
c. Retraksi berat adalah membran timpani tumpul (dull), cone of light
hilang, osikula sangat menonjol
d. Bombans adalah gambran inflamasi pada membran timpani berupa
hiperemis dengan atau tanpa disertai adanya cairan/supurasi ditelinga
tengah yang ditegakkan berdasarkan otoendoskopi dan ataau
mikroskopi.
e. Perforasi adalah adanya defek membran timpani baik pars tensa/pars
flacid, sentral/marginal yang didiagnosis oleh dokter THTBKL/residen
THTBKL dengan pemeriksaan otoendoskopi dan atau mikroskopi.
Dengan kriteria objektif sebagai berikut
1. Perforasi sentral
2. Perforasi marginal
3. Perforasi atik/kombinasi
10. Timpanometri adalah prosedur yang dilakukan dengan cara mengukur
gerakan membrane timpani sebagai respon terhadap perubahan tekanan
fungsi dan pergerakan membran telinga (membran timpani) dan telinga
bagian tengah. Hasil uji timpanometri dalam bentuk grafik disebut
tympanogram. Interprestasi hasil pengukuran skala kategorik dengan kriteria
objektif
a. Tipe A: Timpanogram normal
b. Tipe B: Timpanogram abnormal karena adanya cairan di telinga atau
adanya perforasi pada gendang telinga.
50

c. Tipe C: Timpanogram abnormal karena terjadinya efusi telinga atau


disfungsi tuba Eustachius (memungkinkan berhubungan dengan
gangguan sinus).
d. Tipe As: Timpanogram abnormal karena kondisi sclerosis atau
otosklerosis.
e. Tipe Ad: Timpanogram abnormal karena dislokasi tulang tengah.
11. Free Field Test ada pengukuran untuk menentukan tingkat atau derajat
pendengaran pada anak dengan cara pengamatan respon terhadap bunyi
diruang kedap, untuk anak yang bisa bermain, diamati respon stimulus bunyi
saat bermain dan untuk anak yang belum dapat diamati saat bermain dilakukan
pengamatan respon stimulus bunyi berupa mencari arah bunyi.
12. Derajat pendengaran adalah kemampuan mendengar yang diukur dengan
free field test pada penderita anak. Skala pengukuran adalah nominal dan
akan di bedakan menjadi derajat gangguan pendengaran dan dianalisis
dalam skala pengukuran kategorik.
Dalam skala pengukuran kategorik dengan kriteria objektif
a. Pendengaran normal ambang dengar ≤ 30 dB
b. Gangguan pendengaran ringan atau sedang : ambang dengar 30-70 dB
c. Gangguan pendengaran berat: ambang dengar > 70 dB

13. Otoendoskopi adalah pemeriksaan telinga dengan menggunakan endoskop


rigid. Hasil yang didapatkan berupa penjabaran kelainan pada subyek
penelitian berupa gambaran canalis acusticus externus dan membran
timpani. Skala pengukuran adalah kategorik. Dengan kriteria objektif
membran timpani normal, retraksi ringan, retraksi sedang, retraksi berat,
bombans dan perforasi
14. Nasoendoskopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan endoskop rigid.
Hasil yang didapatkan berupa penjabaran kelainan pada subyek penelitian
berupa pembesaran adenoid dan massa nasofaring. Skala pengukuran
adalah kategorik.
15. Labiopalatoplasti adalah operasi rekontruksi atau revisi labioplasti atau
palatoplasti dan atau kombinasi labioplasti dan palatoplasti
51

P. Hipotesis Penelitian

Terdapat perbaikan status telinga tengah dan pendengaran setelah tindakan


labiopalatoplasti pada penderita celah bibir dan atau palatum.
52

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah studi yang mempelajari
peristiwa, kejadian dan temuan di masa depan yaitu dengan metode prospektif
dengan desain one grup pre dan post-test intervention, untuk menilai pengaruh
labioplasti dan atau palatoplasti terhadap derajat pendengaran dengan penilaian
pure tone audiometry atau free field test, timpanometri dan otoendoskopi dan
nasoendoskopi.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, RSPTN
Universitas Hasanuddin, RS Siloam dan RS Primaya dan RS Akademis dimulai
setelah terbit ethical clereance.

C. Subyek penelitian
Subyek yang mengikuti penelitian ini adalah penderita celah bibir dan
celah palatum yang akan menjalani labioplasti dan palatopasti di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo, RSPTN Universitas Hasanuddin, RS Siloam dan RS
Primaya.
Subyek penelitian adalah penderita pada populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.

D. Sampel dan Cara pengambilan Sampel


Sampel adalah semua populasi yang terjangkau yang memenuhi kriteria
inklusi penelitian dan telah menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam
penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling yaitu
semua penderita celah bibir dan palatum yang memenuhi kriteria inklusi.
53

a. Kriteria inklusi:
1. Penderita celah bibir dan atau palatum usia lebih dari 3 bulan yang akan
menjalani tindakan operatif (labioplasti dan atau palatoplasti) di RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo, RS Universitas Hasanuddin, RS Siloam, RS Primaya.
2. Penderita dapat dilakukan otoendoskopi, nasoendoskopi, dan timpanometri
free field test sebelum dan setelah operasi
b. Kriteria eksklusi:
1. Penderita dengan massa nasofaring, hipertrofi adenoid

E. Besar Sampel
Besar sampel penelitian ditentukan berdasakan rumus yang akan dipakai
untuk analisis antar kelompok yaitu mengacu Tabel kruskal wallis dengan besar
sampel minimum masing-masing kelompok adalah 5.

F. Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini beberapa variabel dapat diidentifikasi berdasarkan
peran dan skalanya:
1. Variabel bebas adalah penderita celah bibir dan palatum yang menjalani
tindakan operatif.
2. Variabel terikat: otoendoskopi telinga, pure tone audiometry dan free field
test dan timpanometri, otitis media efusi (OME), otitis media supuratif kronik
(OMSK) dengan atau tanpa kolesteatoma.
3. Variabel antara : operasi rekonstruksi labioplasti dan atau palatoplasti

G. Instrumen Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian yang digunakan antara lain:
1. Lembar Informed consent
2. Status penderita
3. Alat diagnostik THTBKL
4. Alat Audiometri Nada Murni merek Interacoustic Audio Traveler AA222
5. Ruangan kedap suara
6. Alat Timpanometri dengan merek interacoustic A/S DK-5610-Assens
54

7. Alat Endoskopi merek teslong atau storz


8. Dekongestan dan analgetik topikal (efedrin dan lidokain nasal spray),
Natrium docusate, Burowi, kasa dan kapas

H. Prosedur Penelitian

a. Dilakukan anamnesis
b. Dilakukan pemeriksaan THTBKL: otoskopi, rinoskopi anterior, faringoskopi,
dan laringoskopi indirek
c. Bagi yang memenuhi kriteria inklusi, di masukkan sebagai sampel
penelitian
b. Subyek atau keluarga menandatangani lembaran informed consent setelah
mendapatkan penjelasan
c. Setiap subyek penelitian menjalani pemeriksaan endoskopi telinga,
nasoendoskopi dan audiologi free field test, timpanometri sebelum dan
setelah 4-6 bulan operasi labioplasti dan atau palatoplasti dilakukan.

Prosedur Otoendoskopi dan Nasoendoskopi


Pemeriksaan dilakukan diruang yang tenang, dengan menggunakan
endoskop dilakukan pada kedua telinga dan hasil pemeriksaan yang di
dapat dibuat dalam bentuk foto dan untuk telinga diinterpretasikan dalam
bentuk kategori stadium retraksi sedangkan hidung diinterpretasikan dengan
ada tidaknya massa nasofaring atau hipertrofi adenoid.

Prosedur Free Field Test


Pemeriksaan dilakukan dalam ruangan khusus yang kedap suara.
Pemeriksaan audiometri dilakukan dengan menggunakan audiometer
interacoustic audio traveller AA222. Pemeriksaan dilakukan pada frekuensi
125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 6000 Hz pada kedua telinga secara
bersamaan. Pemeriksaan ini mencakup behavioral visual reinforcement
audiometry (VRA) dan conditioned play audiometry (CPA). Hasil
pemeriksaan yang di dapat dibuat dalam bentuk audiogram dan di
interpretasikan derajat ketulian dalam speech banana audiogram.
55

Prosedur Timpanometri
Permeriksaan dilakukan di dalam ruangan yang tenang Pemeriksaan
dilakukan dengan memilih probe yang sesuai dengan ukuran telinga, posisi
probe mengarah ke membran timpani. Hasil pemeriksaan berupa respon
dari telinga tengah akan ditangkap oleh mikrofon mini yang terdapat didalam
probe yang berhubungan langsung dengan komputer untuk mencatat respon
yang timbul dari telinga tengah, hasil dicatat dalam bentuk grafik dengan
hasil tipe A, tipe As, tipe Ad, Tipe B dan tipe C.

Prosedur Tindakan operasi


Prosedur tindakan operasi merupakan prosedut tindakan yang
dilakukan oleh teman sejawat dokter spesialis Bedah Plastik dan tercantum
pada catatan rekam medik penderita.

I. Pengolahan dan Analisis Data

Data demografis dan klinis disajikan dalam bentuk proporsi dan


persentase dengan uji chi-square atau Fisher test untuk data kategorik,
sedangkan untuk data numerik dalam bentuk rata-rata (simpang baku) dengan
uji T tidak berpasangan atau median (nilai minimal dan maksimal) dengan uji
mann-whitney. Uji statistik bivariat dianalisa dengan uji chi-square atau Fisher
test, sedangkan untuk uji multivariate dilakukan pada variacel bivariate dengan
nilai p <0,25. Data diolah dengan menggunakan aplikasi Statistical Package for
Social Sciences (SPSS) versi 22.0. Kemaknaan statistik jika p < 0,05.

Perubahan otoendoskopi free field test dan timpanometri sebelum dan


sesudah intervensi akan dianalisis menggunakan Paired t-test (distribusi data
normal) atau Wilcoxon apabila data tidak terdistribusi dengan normal. Untuk
mengetahui besar perbedaan perubahan sebelum dan sesudah intervensi pada
kelompok dengan gangguan pendengaran dan yang tidak terdapat gangguan
pendengaran dilakukan penilaian independent t-test bila data terdistribusi normal
dan mann-whitney bila data tidak terdistribusi normal.
56

J. Ijin dan Etika Penelitian


Dalam pelaksanaan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan atas ijin
penderita/orang tua penderita/wali penderita melalui lembar informed consent
dan dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk dilaksanakan dari Komisi Etik
Penelitian Biomedik pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
57

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Telah dilakukan penelitian studi kasus, menggunakan metode prospektif
dengan desain “one grup pre” dan “post test intervention” di mana penderita
dilakukan pemeriksaan otoendoskopi, nasoendoskopi, timpanometri dan free
field test sebelum dan setelah operasi labioplasti dan atau palatoplasti.
Penelitian ini melibatkan total 11 sampel dengan 22 telinga, yang terbagi
menjadi 5 sampel celah bibir yang menjalani operasi labioplasti, 4 sampel celah
palatum yang menjalani operasi palatoplasti dan 2 sampel celah bibir dengan
celah palatum yang menjalani operasi labioplasti pada usia 7 bulan dan
palatoplasti pada usia 13 bulan. Kami mengevaluasi keadaan membran timpani,
tekanan telinga tengah dengan timpanometri dan derajat pendengaran dengan
free field test sebelum operasi dan setelah operasi ≥ 4 bulan. Data pada hasil
penelitian ini meliputi karakteristik sampel penelitian baik karakteristik umum
maupun karakteristik klinis. Secara deskriptif pemeriksaan otoendoskopi,
nasoendoskopi, timpanometri dan free filed test sebelum operasi dan setelah
operasi.
Perbedaan hasil sebelum dan sesudah operasi dari ketiga kelompok
sampel penelitian yang dilakukan, disajikan dalam bentuk tabel silang.
58

1. Karakteristik umum sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia,


waktu evaluasi dan diagnosis

Tabel 1.1 Karakteristik umum subjek penelitian


Kelompok

Celah Palatum Celah bibir Total


Variabel Celah bibir P
dan palatum
N %
N % n % n %
Jenis kelamin
Laki-laki 4 80 % 1 25% 1 50 % 6 54,55% 0,255*
Perempuan 1 20 % 3 75% 1 50 % 5 45,45%
Usia
5-10 Bulan 2 40 % 0 0% 2 100 % 4 36,36
11-16 Bulan 2 40 % 1 25 % 0 0 3 27,27
17-22 Bulan 1 20 % 0 0% 0 0% 1 9,09 0,088*
>23 Bulan 0 0% 3 75% 0 0% 3 27,27

Mean SD 11,406,025 31,7520,271 7,000,000

Waktu
7,27
Evaluasi
Standart
2,49
Deviasi
Keterangan: *Chi Square Test (CI 95%)

Pada tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin terbanyak pada


penelitian ini laki-laki yaitu sebanyak 6 sampel (54,55%) sedangkan perempuan
5 sampel (45,55%). Pada kelompok celah bibir lebih banyak subjek berjenis
kelamin laki-laki yakni sebesar 80 %, pada kelompok celah palatum lebih banyak
kelompok berjenis kelamin perempuan 75% dan pada kelompok celah bibir dan
palatum sebanding antara laki-laki dan perempuan yaitu masing-masing 50 %.
Kemudian dilakukan uji Chi Square (CI 95%) dengan hasil p=0,255 (p>0,05)
yang artinya tidak terdapat perbedaan bermakna antara ketiga kelompok
tersebut.
Karakteristik usia terbanyak ketika dilakukan tindakan atau ketika
berkunjung ke Rumah Sakit adalah 5-10 bulan sebanyak 4 sampel (36,36%).
Pada kelompok labioplasti usia terbanyak pada kelompok 5-10 bulan dan 11-16
59

bulan yaitu sebanding dengan nilai masing-masing 2 sampel (40%) dan


kelompok usia paling rendah pada kelompok usia 17-22 bulan sebanyak 1
sampel (20%) dengan rata-rata usia kelompok labioplasti adalah 11,40 bulan.
Pada kelompok palatoplasti dengan usia terbanyak pada kelompok usia > 23
bulan sebanyak 3 sampel (75%) dan kelompok usia paling sedikit pada kelompok
11-16 bulan dengan jumlah 1 sampel (25%) dan usia rata-rata pada kelompok
celah palatum adalah 31,75 bulan. Sedangkan pada kelompok celah bibir dan
palatum dengan jumlah total pada usia 5-10 bulan yaitu sebanyak 2 sampel
(100%). Rata-rata usia kelompok yang menjalankan Labioplasti saat usia 7 bulan
kemudian dilanjutkan Palatoplasti dengan rata-rata usia 13 bulan. Waktu evaluasi
rata-rata 7,27 bulan dengan standart deviasi 2,49. Kemudian dilakukan uji Chi
Square (Cl 95%) dengan hasil p=0,088 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat
perbedaan usia pada ke tiga kelompok

Tabel 1.2. Diagnosis sampel penelitian


Diagnosis N %
Celah Bibir 5 45,46
Celah Palatum 4 36,36
Celah Bibir dan
2 18,18
Palatum
Jumlah 11 100%

Jumlah diagnosis terbanyak dari pasien penelitian adalah pada kelompok


celah bibir sebanyak 5 pasien (45,46%), sedangkan pada kelompok celah
palatum berjumlah 4 pasien (36,36%) dan kelompok celah bibir dan palatum
berjumlah 2 pasien (18,18%).

Tabel 1.3 karakteristik nasendoskopi


Nasoendoskopi N %
Normal 11 100%
Massa Nasofaring 0 0
Hipertrofi adenoid 0 0
Jumlah 11 100%

Dari hasil nasoendoskopi sebelum dilakukan tindakan labioplasti dan atau


palatoplasti didapatkan hasil 11 pasien normal (100 %).
60

2. Karakteristik otoendoskopi

Tabel 2.1 Karakteristik membran timpani pada pemeriksaan otoendoskopi kelompok


Labioplasti

Otoendoskopi Post Intervensi Kelompok labioplasti


Pre Intervensi Normal Retraksi Retraksi Retraksi Bombans Perforasi Jumlah p
ringan sedang berat
Normal 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Retraksi ringan 0 (0,0%) 1 (14,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (10,0%)
Retraksi sedang 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Retraksi Berat 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0,014
Bombans 0 (0,0%) 6 (85,7%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (100%) 0 (0,0%) 9 (90,0%)
Perforasi 0 (0,0%) 0 (0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0(0,0%)
Jumlah 0 (0,0%) 7 (70,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (30,0%) 0 (0,0%) 10 (100%)
Wilcoxon Test (cl 95%)

Dari hasil pada kelompok labioplasti sebelum dilakukan tindakan,


ditemukan membran timpani bombans pada telinga kanan 9 telinga (90 %) dan
retraksi ringan sebanyak 1 pasien (10%) setelah dilakukan tindakan labioplasti
didapatkan hasil retraksi ringan 7 telinga (70%) dan membran timpani bombans 3
telinga (30%). Dengan hasil uji wilcoxon test 0,014 (p<0,05)yang artinya
bermakna antara otoendoskopi sebelum dan setelah operasi pada kelompok
labioplasti.

Tabel 2.2. karateristik membran timpani pada pemeriksaan otoendoskopi kelompok


Palatoplasti
Otoendoskopi Post Intervensi Kelompok Palatoplasti
Jumlah p
Pre Intervensi Normal Retraksi Retraksi Retraksi Bombans Perforasi
ringan Sedang Berat
Normal 1 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (12,5%)
(33,3%)
Retraksi ringan 2 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 3 (37,5%)
(66,7%)
Retraksi sedang 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
0,683
Retraksi Berat 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (12,5%)
Bombans 0 (0,0%) 0 (0,0%) 2 (100%) 0 (0,0%) 1 (50,0%) 0 (0,0%) 3 (37,5%)
Perforasi 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 3 1 (12,5%) 2 (25,0%) 0 (0,0%) 2 (25,0%) 0 (0,0%) 8 (100%)
(37,5%)
Wilcoxon (Ci 95%)
61

Dari hasil pada kelompok palatoplasti sebelum dilakukan tindakan,


ditemukan membran timpani bombans pada 3 telinga (37,5%), membran timpani
retraksi ringan pada 3 telinga (37,5%) membran timpani normal dan retraksi berat
masing-masing 1 telinga (12,5%) setelah dilakukan tindakan palatoplasti
didapatkan hasil membran timpani normal 3 telinga (37,5%), membran timpani
retraksi sedang dan bombans masing-masing pada 2 telinga (25,0%) dan retraksi
ringan 1 telinga (12,5%) Dengan hasil uji wilcoxon test 0,683 (p>0,05) yang
artinya tidak terdapat perbedaan hasil otoendoskopi sebelum dan setelah
dilakukan palatoplasti.

Tabel 2.3. Karakteristik pemeriksaan membran timpani otoendoskopi kelompok


Labiopalatoplasti
Otoendoskopi Post Intervensi Kelompok Labiopalatoplasti
Pre Intervensi Normal Retraksi Retraksi Retraksi Bombans Perforasi Jumlah p
ringan sedang berat
Normal 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Retraksi ringan 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Retraksi 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
sedang 0,630
Retraksi Berat 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Bombans 2 (100%) 2 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 4 (100%)
Perforasi 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 2 (50,0%) 2 (50,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 4 (100%)
Wilcoxon Test (CI 95%)

Hasil pemeriksaan membran timpani pada kelompok labiopalatoplasti


sebelum dilakukan tindakan, ditemukan membran timpani bombans pada 4
telinga (100%) dan setelah dilakukan tindakan labiopalatoplasti didapatkan
membran timpani normal sebanyak 2 telinga (50%) dan retraksi ringan pada 2
telinga (50%) Dengan hasil uji wilcoxon test 0,630 (p>0,05) yang artinya tidak
terdapat perbedaan hasil otoendoskopi sebelum dan setelah dilakukan
labiopalatoplasti.

3. Karakteristik Timpanometri

Tabel 3.1. Karakteristik gambaran timpanometri kelompok Labioplasti


Timpanometri Post Intervensi
Jumlah p
Pre Intervensi A B As
A 1 (25,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (10,0%) 0,655
62

B 3 (75,0%) 4 (100%) 2 (100%) 9 (90,0%)


As 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 4 (40%) 4 (40%) 2 (20%) 10 (100%)
Wilcoxon Test (CI 95%)

Berdasarkan Hasil timpanometri sebelum dilakukan labioplasti


didapatkan tipe B sebanyak 9 telinga (90%) dan tipe A sebanyak 1 telinga (10%)
setelah dilakukan tindakan hasil timpanometri didapatkan hasil tipe A dan tipe B
sebanyak masing-masing 4 telinga (40 %) dan tipe As sebanyak 2 telinga (20%)
Hasil analisis wilcoxon diperoleh p=0,655 (p>0,05) yang artinya tidak terdapat
perbedaan hasil timpanometri sebelum dan setelah dilakukan tindakan
labioplasti.

Tabel 3.2 Karakteristik gambaran timpanometri kelompok palatoplasti

Timpanometri Post Intervensi


Jumlah p
Pre Intervensi A B As
A 2 (33,3%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 2 (25%)
B 4 (66,7%) 2 (100%) 0 (0,0%) 6 (75%) 0,046
As 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Jumlah 6 (75,0%) 2 (25,0%) 0 (0,0%) 8 (100%)
Wilcoxon Test (CI 95%)

Berdasarkan Hasil timpanometri sebelum dilakukan palatoplasti


didapatkan tipe B sebanyak 6 telinga (75%) dan tipe A sebanyak 2 telinga (25%)
setelah dilakukan tindakan palatoplasti didapatkan hasil timpanometri tipe A
sebanyak 6 telinga (75%) dan tipe B sebanyak 2 telinga (25%). Hasil analisis
wilcoxon diperoleh p=0,046 (p<0,05) yang artinya terdapat perbedaan bermakna
hasil timpanometri sebelum dan setelah dilakukan tindakan palatoplasti

Tabel 3.3 Karakteristik gambaran timpanometri kelompok Labiopalatoplasti


Timpanometri Post Intervensi
Jumlah p
Pre Intervensi A B As
A 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
B 3 (100%) 1 (100%) 0 (0,0%) 4 (100%) 0,083
As 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
63

Jumlah 3 (75,0%) 1 (25,0%) 0 (0,0%) 4 (100%)


Wilcoxon Test (CI 95%)

Berdasarkan Hasil timpanometri sebelum dilakukan dilakukan tindakan


labiopalatoplasti didapatkan tipe B sebanyak 4 telinga (100%) dan setelah
dilakukan tindakan didapatkan tipe A sebanyak 3 telinga (75%) dan tipe B
sebanyak 1 telinga (25%) dari hasil analisis wilcoxon diperoleh p=0,083 (p>0,05)
yang artinya tidak terdapat perbedaan bermakna hasil timpanometri sebelum dan
setelah dilakukan tindakan labiopalatoplasti.

4. Karakteristik Free field test

Tabel 4.1 karakteristik Free field test kelompok labioplasti


FFT Post Intervensi

Total p
Pre Intervensi Normal Ringan- Berat
Sedang
Normal 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Ringan-Sedang 2 (100%) 3 (100%) 0 (0,0%) 5 (100%) 0,178
Berat 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Total 2 (40%) 3 (60%) 0 (0,0%) 5 (100%)
Wilcoxon Test (CI 95%)

Hasil FFT sebelum dilakukan tindakan pada kelompok labioplasti


diperoleh FFT ringan-sedang sebanyak 5 (100%) namun setelah dilakukan
tindakan hasil FFT berubah menjadi normal 2 (40%) dan ringan-sedang
sebanyak 3 (60%). Hasil analisis diperoleh nilai p=0,178 (p>0,05) yang artinya
tidak terdapat perbedaan yang bermakna sebelum dan setelah dilakukan
tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan FFT.

Tabel 4.2 karakteristik Free field test palatoplasti

FFT Post Intervensi


Pre Intervensi Normal Ringan- Berat Total p
Sedang
Normal 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0,083
64

Ringan-Sedang 2 (100%) 1 (50,0%) 0 (0,0%) 3 (75,0%)


Berat 0 (0,0%) 1 (50,0%) 0 (0,0%) 1 (25,0%)
Total 2 (50%) 2 (50%) 0 (0,0%) 4 (100%)
Wilcoxon Test (CI 95%)

Hasil FFT sebelum dilakukan tindakan pada kelompok palatoplasti


diperoleh FFT ringan-sedang sebanyak 3 (75,0%) dan berat sebanyak 1 (25%)
namun setelah dilakukan tindakan hasil FFT berubah menjadi normal 2 (100%)
dan ringan-sedang sebanyak 2 (100%). Hasil analisis diperoleh nilai p=0,083
(p>0,05) yang artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna sebelum dan
setelah dilakukan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan FFT.

Tabel 4.3 Karakteristik Free field test pada kelompok labiopalatoplasti


FFT Post Intervensi
Pre Intervensi Normal Ringan- Berat Total p
Sedang
Normal 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 0 (0,0%)
Ringan-Sedang 0 (0,0%) 1 (100%) 0 (0,0%) 1 (50%) 0,317
Berat 1 (100%) 0 (0,0%) 0 (0,0%) 1 (50%)
Total 1 (50%) 1 (50%) 0 (0,0%) 2 (100%)
Wilcoxon Test (CI 95%)

Hasil FFT sebelum dilakukan tindakan pada kelompok labioplatoplasti


diperoleh FFT ringan-sedang sebanyak 1 (50%) dan berat sebanyak 1 (50%)
namun setelah dilakukan tindakan hasil FFT berubah menjadi normal 1 (50%)
dan ringan-sedang sebanyak 1 (50%). Hasil analisis diperoleh nilai p=0,317
(p>0,05) yang artinya tidak terdapat perbedaan yang bermakna sebelum dan
setelah dilakukan tindakan berdasarkan hasil pemeriksaan FFT.

B. PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada 11 penderita celah bibir dan atau celah
palatum yang telah memenuhi kriteria inklusi . 5 penderita celah bibir, 4 penderita
65

celah palatum dan 2 penderita celah bibir dan palatum, pasien telah
mendapatkan tindakan labioplasti dan atau palatoplasti.
1. Karakteristik umum subjek penelitian
Pada penelitian ini sampel terbanyak terdiri dari laki-laki sebanyak 6
sampel (54,5%) dan perempuan sebanyak 5 sampel (45,5%). Penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang ditulis oleh Yow et al, 2021 mengenai prevalensi
celah bibir dan atau palatum multietnik dengan hasil laki-laki 312 sampel lebih
banyak dibandingkan dengan perempuan dengan 296 sampel dan sesuai
dengan penelitian Martelli et al, 2012 penelitian celah bibir dan atau palatum di
Brazil dengan prevalensi terbanyak terdapat pada laki-laki 2,78 lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan 2,19. Berbanding terbalik dengan penelitian
Hlongwa et al, 2019 mengenai prevalensi celah bibir dan atau celah palatum di
Afrika Selatan disebutkan bahwa perempuan lebih tinggi 52,5 % dibandingkan
dengan laki-laki 47,5%.
Karakteristik usia terbanyak ketika dilakukan tindakan atau ketika
berkunjung ke Rumah Sakit adalah 5-10 bulan sebanyak sampel (36,36%). Pada
kelompok labioplasti usia terbanyak pada kelompok 5-10 bulan dan 11-16 bulan
yaitu sebanding dengan nilai masing-masing 2 sampel (40%) dan kelompok usia
paling sedikit pada kelompok usia 17-22 bulan sebanyak 1 sampel (20%) dengan
rata-rata usia kelompok labioplasti adalah 11 bulan. Pada kelompok palatoplasti
dengan usia terbanyak pada kelompok usia > 23 bulan sebanyak 3 sampel
(75%) dan kelompok usia paling sedikit pada kelompok 11-16 bulan dengan
jumlah 1 sampel (25%) dan usia rata-rata pada kelompok celah palatum adalah
32 bulan. Sedangkan pada kelompok celah bibir dan palatum dengan jumlah
total pada usia 5-10 bulan yaitu sebanyak 2 sampel (100%). Rata-rata usia
kelompok yang menjalankan labioplasti saat usia 7 bulan kemudian dilanjutkan
palatoplasti dengan rata-rata usia 13 bulan. Pada penelitian Unkkanont et al,
2018 mengenai insiden otitis media efusi pada pasien celah palatum didapatkan
sampel <6 bulan sebanyak 22 pasien (23,2%) dan pada usia 6-12 bulan
didapatkan 29 pasien (30,5%). Pada penelitian Thanawirattananith, 2012 dengan
usia terbanyak 0-3 tahun sebanyak 113 sampel (58,29%) dari 234 sampel
dengan rerata usia 4 bulan-36 bulan dengan rerata usia 3,11 tahun , median 1,9
tahun dan mode 1,3 tahun. Berbeda dengan Penelitian Alrasheedi et al, 2021
yang meneliti prevalensi dan faktor risiko celah bibir dan atau palatum di Saudi
66

arabia ditemukan usia pasien terbanyak pada pasien labioschisis dan atau
palatoschisis pada usia 2-3 tahun dengan jumlah sampel sebesar 33 sampel
(33,3%) dari 99 sampel. Penelitian Acharya et al, 2021 yang meneliti tentang
evaluasi sebelum dan setelah operasi labioplasti dan atau palatoplasti dengan
hasil usia terbanyak pada usia 1-2 tahun dengan jumlah 38 sampel (65,52%) dari
58 sampel dengan rata-rata usia sampel adalah 1,96 tahun.
Pada penelitian kami didapatkan diagnosis terbanyak dari pasien
penelitian adalah pada kelompok celah bibir sebanyak 5 pasien (45,46%),
sedangkan pada kelompok celah palatum berjumlah 4 pasien (36,36%) dan
kelompok celah bibir dan palatum berjumlah 2 pasien (18,18%). Serupa dengan
penelitian Loho, 2012 di mana kasus terbanyak adalah celah bibir unilateral
28%dan celah bibir unilateral dengan palatum 28%. Berbeda dengan penelitian
Paepe justine, 2017 meneliti tentang evaluasi telinga dan pendengaran dengan
kualitas hidup pasien celah bibir dan atau celah palatum di Belgia dengan hasil
dari 71 sampel penderita celah bibir dan atau palatum didapatkan diagnosis
terbanyak yaitu celah palatum 16 sampel (22,5%) dan celah bibir kiri dengan
celah palatum 16 sampel (22,5%). Kianifar et al, 2015 epidemiologi celah bibir
dan palatum selama 30 tahun di Iran bagian timur laut dengan hasil kasus celah
bibir dan palatum 27 sampel (50%) dengan hasil berikut celah bibir sebanyak 19
sampel (35,2%), celah palatum sebanyak 8 sampel (14,8%).
Dari hasil pemeriksaan otoendoskopi membran timpani pada kelompok
labioplasti sebelum dilakukan tindakan, ditemukan membran timpani bombans
pada telinga kanan 9 telinga (90 %) dan retraksi ringan sebanyak 1 pasien (10%)
setelah dilakukan tindakan labioplasti didapatkan hasil retraksi ringan 7 telinga
(70%) dan membran timpani bombans 3 telinga (30%). Pada kelompok
palatoplasti sebelum dilakukan tindakan, ditemukan membran timpani bombans
pada 3 telinga (37,5%), membran timpani retraksi ringan pada 3 telinga (37,5%)
membran timpani normal dan retraksi berat masing-masing 1 telinga (12,5%)
setelah dilakukan tindakan palatoplasti didapatkan hasil membran timpani normal
3 telinga (37,5%), membran timpani retraksi sedang dan bombans masing-
masing pada 2 telinga (25,0%) dan retraksi ringan 1 telinga (12,5%).
Otoendoskopi kelompok labiopalatoplasti sebelum dilakukan tindakan, ditemukan
membran timpani bombans pada 4 telinga (100%) dan setelah dilakukan
67

tindakan labiopalatoplasti didapatkan membran timpani normal sebanyak 2


telinga (50%) dan retraksi ringan pada 2 telinga (50%).
Hal ini sebanding dengan penelitian Ramkumar et al, 2018 yang meneliti
tentang pasien celah bibir dan atau palatum didapatkan hasil dari 82 pasien yang
bisa diidentifikasi telinga didapatkan 52 telinga dengan otitis media efusi, 20
telinga dengan sikatriks, sklerosis dan hemotimpanum pada membran timpani,
10 telinga dengan perforasi membran timpani. Chen et al, 2012 yang meneliti
celah palatum dari 319 pasien di dapatkan 71,92% pasien dengan otitits media
efusi di mana cairan OME tersebut serous 47,8 %, mukoid 33,1% dan
mukuopurulent 19,1 %. Berbeda dengan penelitian Acharya et al, 2021 tentang
evaluasi telinga pre operasi pada pasien celah bibir dan palatum didapatkan
membran timpani retraksi pocket grade 1 kanan 14 telinga (24,14%), retraksi
pocket grade 1 kiri 23 telinga (39,66%) retraksi pocket grade 1 bilateral 11
sampel (18,97 %), serumen 36 sampel (62,07%), otitis media serous dextra 5
sampel (8,62%), otitis media serous sinistra 7 sampel (12,07%), otitis media
serous bilateral 3 (5,17%). Pada penelitian Bariar et al, 2002 meneliti pasien
celah bibir dan atau palatum di India dari tahun 1998-2000 dengan hasil dari 32
sampel dengan celah bibir dan atau celah palatum dengan 64 telinga (tanpa
membedakan kanan dan kiri), membran timpani retraksi 28 (43,8%) normal 16
sampel (25%), dan membran timpani dengan refleks cahaya yang difusi 14
(21,9%) dan bombans 6 (9,3%) telinga. Berbeda dengan penelitian Vaquero et
al, 2018 di dapatkan hasil dari 242 telinga didapatkan 58% membran timpani
normal dan 42 % memiliki kelainan adesif (18,20%), perforasi (3,30%), membran
timpani yang sudah dipasang pipa ventilasi (3,30%) kolesteatoma (2,10%) dan
lainnya (15 %).
Pada penelitian kami didapatkan hasil timpanometri pada kelompok
labioplasti sebelum dilakukan tindakan didapatkan tipe B sebanyak 9 telinga
(90%) dan tipe A sebanyak 1 telinga (10%) setelah dilakukan tindakan hasil
timpanometri didapatkan hasil tipe A dan tipe B sebanyak masing-masing 4
telinga (40 %) dan tipe As sebanyak 2 telinga (20%) Hasil timpanometri sebelum
dilakukan palatoplasti didapatkan tipe B sebanyak 6 telinga (75%) dan tipe A
sebanyak 2 telinga (25%) setelah dilakukan tindakan palatoplasti didapatkan
hasil timpanometri tipe A sebanyak 6 telinga (75%) dan tipe B sebanyak 2 telinga
(25%). Pada kelompok labiopalatoplasti sebelum dilakukan tindakan didapatkan
68

tipe B sebanyak 4 telinga (100%) dan setelah dilakukan tindakan didapatkan tipe
A sebanyak 3 telinga (75%) dan tipe B sebanyak 1 telinga (25%)
Penelitian ini mirip dengan penelitian Boesorie et al, 2021 meneliti tentang
celah palatum dengan hasil ada telinga kanan tipe B sebanyak 26 sampel
(86,7%), tipe A sebanyak 4 sampel (13,3%) dan pada telinga kiri didapatkan tipe
B sebanyak 26 sampel (86,7%), tipe A 2 sampel (6,7%) dan tipe As 2 sampel
(6,7%). Acharya et al, 2021 di dapatkan timpanometri dengan penelitian dari 30
subjek penelitian sebelum tindakan palatoplasti, didapatkan hasil sebanyak 20%
pada derajat 3 dan 66,7% pada derajat 4 memiliki timpanogram tipe B di telinga
kanan, sedangkan pada telinga kiri, didapatkan 6,7% pada derajat 2 memiliki
timpanogram tipe As, 20% pada derajat 3 dan 66,7% pada derajat 4 memiliki
timpanogram tipe B. Imbery et al, 2015 di dapatkan tipe B dengan rata-rata
87,3%-94,1% dan tipe C dengan rata-rata 78%-85% dan tipe A rata-rata 15,0-
28,55, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Smallridge et al, 2015
dengan hasil pada telinga kanan didapatkan tipe A dengan nilai 41 (18%), tipe C
11 (5%) dan tipe B 9 (4%) sedangkan telinga kiri didapatkan tipe A 41 (18%), tipe
C 16 (7%) dan tipe B 12 (5%).
Penelitian Eshgi et al, 2019 yang meneliti kosa kata setelah koreksi celah
bibir dan palatum pada 3 kelompok yang berbeda dengan membandingkan
kelompok celah bibir palatum, kelompok otitis media dan kelompok todler.hasil
pada kelompok celah bibir dan palatum yaitu kelompok 1 celah bibir palatum
dengan hasil dari 40 sampel didapatkan tipe A 28 sampel (70%) dan tipe B dan
C sebanyak 11 sampel (27,5%), evaluasi berkesinambungan status telinga
tengah pada setiap kelompok dengan timpanometri pada usia 12, 14, 18 dan 24
bulan dan evaluasi pendengaran setelah usia 12 bulan.anak-anak dengan celah
palatum yang sudah dikoreksi atau tanpa dikoreksi celah palatum memberikan
hasil signifikan jumlah kata pada usia 24 bulan dan penambahan kosa kata lebih
lambat pada usia 18-24 bulan jika dibandingkan dengan anak pada usia todler
meskupun status telinga tengah antar ke tiga kelompok menghasilkan hasil
timpanogram yang bermakna dengan nilai p<0,05. Pada pasien dengan celah
palatum memiliki kejadian tingkat otitis media lebih tinggi jika dibandingkan
kempok yang lain sehingga terjadi gangguan perkembangan bicara dan bahasa.
Hasil pada penelitian ini tidak membahas tentang celah bibir, tetapi gabungan
dari celah palatum dengan atau tanpa celah bibir. Penelitian ini sejalan dengan
69

penelitian Luo et al, 2018 yang meneliti tentang efek umur terhadap pasien yang
menjalani palatolasti terhadap keadaan telinga tengah dan level pendengaran di
Beijing dengan hasil setelah dilakukan palatoplasti lebih dari 1 tahun dari 252
sampel didapatkan tipe A 159 sampel (63,1%) dan tipe B dan C sebanyak 93
sampel (36,9%).
Hasil penelitian kami pada derajat pendengaran didapatkan FFT sebelum
dilakukan tindakan pada kelompok Labioplasti diperoleh FFT ringan-sedang
sebanyak 5 (100%) setelah dilakukan tindakan hasil FFT berubah menjadi
normal 2 (40%) dan ringan-sedang sebanyak 3 (60%). Hasil FFT sebelum
dilakukan tindakan pada kelompok Palatoplasti diperoleh FFT ringan-sedang
sebanyak 3 (75,0%) dan berat sebanyak 1 (25%) setelah dilakukan tindakan
hasil FFT berubah menjadi normal 2 (100%) dan ringan-sedang sebanyak 2
(100%). Hasil FFT sebelum dilakukan tindakan pada kelompok Labio platoplasti
diperoleh FFT ringan-sedang sebanyak 1 (50%) dan berat sebanyak 1 (50%)
setelah dilakukan tindakan hasil FFT berubah menjadi normal 1 (50%) dan
ringan-sedang sebanyak 1 (50%). Tetapi secara klinis terdapat perbaikan
pendengaran 10-50dB
Penelitian Flyn et al 2009 dengan hasil derajat pendengaran pada
penelitian celah palatum dan aatau celah bibir dibandingkan dengan kelompok
normal di mana pada kelompok 1 dari 35 sampel 6 sampel (17,1%) dilakukan
pemeriksaan BOA, 24 sampel dilakukan pemeriksaan VRA (68,6%) dan 5
sampel dengan metode CPA (14,3%) dengan rata-rata 21,67-47,5dB dan pada
kelompok kontrol berjumlah 14 sampel dengan menggunakan metode VRA 7
sampel (50%) CPA 7 sampel (50%) dengan hasil rata-rata 21,25dB-31,25dB.
Dan pada penelitian Broen et al, 1996 yang melakukan penelitian terhadap 28
anak dengan celah palatum dengan atau tanpa celah bibir (kelompok 1) dan 29
sampel dengan anak yang tidak memiliki celah palatum dengan atau tanpa celah
bibir, didapatkan hasil dengan cara skrining pendengaran dengan metode VRA
dengan level 30 dB untuk usia 9 bulan, 25 dB untuk usia 12 bulan dan 20 dB
untuk usia di atas 12 bulan dengan hasil untuk kelompok pertama didapatkan
kelompok 1 dengan hasil 92,3% yang dapat mendengarkan 3 fekuensi dan pada
kelompok kedua dengan hasil 96,8% dapat mendengarkan ke tiga frekuensi 500,
1000, 2000.
70

Dari hasil free field test sesudah operasi dilakukan tindakan labioplasti
dan atau palatoplasti didapatkan hasil terbanyak adalah gangguan derajat
pendengaran ringan-sedang sebanyak 6 sampel (54,55%). Pada penelitian
Carrol et al,2013 yang meniliti tentang efek tehnik palatoplasti terhadap
pendengaran anak, palatoplasti dari 69 penderita, setelah 3 tahun terdapat
perbaikan di mana terdapat abnormal (lebih dari 20dB) telinga kiri 30,4 % dan
telinga kanan 31,9 % .Kemudian dilakukan observasi pada tahun ke 6 dengan
hasil abnormal telinga kiri 13,0 % dan telinga kanan 15,9%. Pada penelitian
barriar et al, 2001 didapatkan gangguan pendengaran pada pasien didapatkan
perbaikan pendengaran pada telinga kiri dan kanan 5-10 dB.
Keadaan telinga dan gangguan pendengaran pada celah bibir dengan
hasil lebih kecil, dengan hanya beberapa penelitian sebelumnya melaporkan
hasil yang kontradiktif.  Sheahan et al. (2003) dan Kwan dkk. (2011) menemukan
sedikit bukti peningkatan risiko masalah telinga tengah pada kasus celah
bibir. Sebaliknya Firdaus dkk. (1969) melaporkan bahwa 22% kasus celah bibir
memiliki membran timpani abnormal, sementara 33% memiliki otitis
media. Vallino dkk. (2008) melaporkan bahwa 33% dari sampel celah bibir
mereka menunjukkan OM, sementara 13% menunjukkan bukti gangguan
pendengaran ringan. Sampel celah bibir dan atau palatum yang cukup besar
dan hampir sama ini melaporkan defisit artikulasi dan resonansi. (Ruegg et al
2021)
Individu yang lahir dengan celah bibir dan atau palatum memerlukan
tatalaksana terkoordinasi dari berbagai spesialisasi untuk mengoptimalkan hasil
perawatan. Pada standar nasional, perlu ada senter dengan cleft team
multidisiplin, yang didedikasikan untuk menangani masalah terkait celah sejak
lahir hingga dewasa. Cleft team termasuk audiolog, dokter gigi, ahli genetika,
perawat, ahli gizi, ahli bedah mulut, ortodontis, ahli THT, dokter anak, ahli bedah
plastik, psikolog, pekerja sosial, dan ahli patologi wicara. Perawatan yang baik
dalam bulan pertama kehidupan akan meningkatkan keberhasilan operasi primer
dengan mempersiapkan bayi dan keluarga secara medis, fisik, dan psikologis.
Perbaikan celah bibir dapat dilakukan pada usia lebih dari 3 bulan, perbaikan
celah palatum pada usia 12 bulan meliputi perbaikan celah palatum primer
dengan veloplasti intravelar + miringitomi bilateral dan pemasangan pipa .
Perlekatan otot-otot palatum yang tidak normal pada celah palatum mengubah
71

tekanan pada drainase faring dari kanalis Eustachius, sehingga meningkatkan


insidensi infeksi telinga. (Thorne, 2015 )
Perbaikan celah bibir adalah teknik artistik fleksibel, yang disesuaikan
dengan anatomi tiga dimensi yang unik dari setiap anak, sedangkan perbaikan
palatum adalah resep teknis, keberhasilannya tergantung pada eksekusi yang
tepat dan atraumatik. Keberhasilan perbaikan celah bibir dapat diprediksi pada
akhir operasi; hasil penyembuhan fisiologis palatum membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk menilai dan tidak dapat dievaluasi secara definitif sampai
dimulainya kemampuan berbicara pada anak dan selesainya pertumbuhan
wajah. Tindakan operasi tetap memperhatikan rule of ten usia 10 minggu, berat
10 pon dan sedikitnya 10 gram Hb. (Thorne, 2015) Waktu operasi yang
diperlukan pada tindakan labioplasti berkisar antara 1-2 jam, waktu operasi yang
diperlukan palatoplasti berkisar antara 1-2 jam sedangkan jarak antara tindakan
labioplasti pada usia lebih dari 3 bulan dan palatoplasti setelah usia 9 bulan.
Dari hasil yang ditemukan pada penelitian ini, timpanometri baik pre
tindakan yaitu tipe A 3 sampel,tipe B 19 telinga, dan setelah dilakukan tindakan
didapatkan tipe A 13 telinga, tipe B 7 telinga, tipe As 2 telinga. Karena itu
sebagai dokter THTBKL ini merupakan informasi penting gambaran tentang
impak yang terjadi pada penderita celah bibir dan atau palatum baik itu sebelum
operasi maupun setelah operasi yang memberikan perbedaan yang tidak
signifikan. Untuk dilakukan pemeriksaan tersebut pada anak-anak dengan celah
bibir dan atau celah palatum untuk antisipasi gangguan bicara dan bahasa pada
pasien celah bibir dan atau palatum.
Sehingga kami bersepakat dengan beberapa studi untuk dilakukan
penatalaksanaan protokol celah bibir dan atau palatum sesuai umur agar dapat
mengoreksi kelainan penderita sedini mungkin. Dan pada pasien yang telah
dilakukan operasi rekontruksi tetap diperlukan follow up terkait fungsi
pendengaran sehingga dapat dilakukan pemasangan pipa ventilasi jika belum
ada perbaikan telinga tengah dan derajat pendengaran dalam 6 bulan.
Dari hasil penelitian ini ditemukan perbaikan status telinga tengah dan
derajat pendengaran setelah tindakan rekontruksi bibir dan atau palatum tidak
bermakna. Tetapi secara klinik terdapat perbaikan otoendoskopi, timpanometri
dan free field test. Implikasi klinik yang penting dibidang THTBKL adalah
perlunya dilakukan follow up kasus-kasus celah bibir dan atau palatum untuk
72

mengantisipasi terjadinya keterlambatan bicara akibat gangguan telinga tengah


dan pendengaran pada penderita celah bibir dan atau palatum.

C. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat keterbatasan dalam jumlah sampel dan
follow up status telinga dan derajat pendengaran pada penderita oleh karena
banyak yang berdomisili di luar kota Makassar.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada hasil penelitian status telinga tengah dan derajat pendengaran
celah bibir dan atau palatum setelah menjalani rekontruksi tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna,tetapi secara klinis terdapat perbaikan otoendoskopi,
timpanometri dan free filed test. ini merupakan informasi penting terkait
pentingnya pemeriksaan status telinga tengah dan derajat pendengaran pada
celah bibir dan taua palatum untuk mengantisipasi keterlambatan bicara dan
bahasa yang diakibatkan oleh gangguan pendengaran.

B. Saran
1. Pada pasien paska operasi labioplasti dan atau palatoplasti untuk evaluasi
status pendengaran jangka panjang perlu dilakukan secara rutin
pemeriksaan pendengaran dalam jangka waktu tertentu.
2. Untuk pasien dengan otitis media efusi menetap lebih dari 6 bulan
disarankan untuk pemasangan pipa ventilasi gromet.
3. Agar dapat dilakukan tatalaksana habilitasi pendengaran dan terapi wicara
dini secara terpadu.
73

4. Melakukan edukasi kepada masyarakat supaya segera memeriksakan


kelainan tersebut agar dapat dilakukan pemeriksaan dan tatalaksana lebih
dini untuk hasil yang lebih baik.
74

DAFTAR PUSTAKA

Alzahrani J Hanan, et al. 2020. “Topographical anatomy and morphometrical


analysis of the pharyngeal orifice of the Eustachian tube: A cadaveric
study”. International research journal of medicine and me. Vo.8(3, pp-97-
108). Doi:10.30918/IRIMMS.83.20.039. Saudi Arabia

Alawiyah dan Sianita. 2011. Kelainan Celah Bibir Serta Langit-langit Dan
Permasalahannya Dalam Kaitan Dengan Interaksi Sosial Dan Perilaku.
Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM (B). 8(2) :42-46

Ars B, Dirckx J. 2016 Eustachian tube function.. Otolaryngol Clin North


Am.;49(5):1121-1133. doi:10.1016/j.otc.2016.05.003
Arwani. 2019. Cleft lip and palate. Bedah plastik rekontruksi dan estetik
airlangga. http://spesialis1.bpre.fk.unair.ac.id/cleft-lip-palate.html.
Surabaya

Atthahirah A.I. Pamungkas K.A. Mursali L.B. 2015. Angka kejadian fistula
palatum pada penderita post-palatoplasty di rs awal bros sudirman
pekanbaru periode januari 2011-desember 2013. Jom Fk Volume 2 No.
2. Hal.1-11 16.

Bailey, B. J, Johnson, J. T. 2014. Head and neck urgery otolaryngology. Fifth


Edition. J P Lippincot : Philadelphia.

Bailey, B. J and Johnson, J. T. 2014. Head and Neck Surgery Fifth


Edition. J P Lippincot : Philadelphia.

Bariar L, Ahamd I, Sharma C. 2002. An otorhinological study of patient with cleft


lip and palate. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. doi:
10.1007/BF03028569
Balasubramanian T. 2012 Otoendoscopy. Indiawww.jorl.net Otolaringology on
line journal vol 2 supplement 1

Behiery E.A, Shafy I.A, Hussein H.A, et al. 2019. Assesment of the role of
otoendoscopy in evaluating eustachian tube and middle ear status
during myrongoplasty. DOI: 10.4103/ejo.ejo_48_19 The Egypstian
Journal of Otolaringology Vol 13.page 347-351. Kairo.

Benjamin C Paul. 2019. Cleft Lip.


https://emedicine.medscape.com/article/877970-overview#a7

Berkowitz, S. 2008. Orthotamine cleft Lip and palate diagnosis and


management. 2nd Edition. Doi : 10.1007/s00405-007-0435-5 Springer
Berlin Heidelberg New York. Arch Otorhinolaryngol 265 : 271-278
75

Browning George. 2019. Clinical assessment of hearing: free field voice testing
& tuning forks. https://vula.uct.ac.za/. Scotland

Broen P, Moller K, Carlstrom J, Doyle S, Keenan K. 1996. Comparison of the


hearing histories of children with and without Cleft palate. Cleft palate
craniofacial journal vol 33.2

Boesoirie S, Aroeman N, Nursyafri D, Gatera V.2021. Hubungan Derajat Celah


Langit-Langit dengan Keadaan Telinga Tengah Berdasarkan
Timpanogram pada Pasien Celah Langit-Langit. DOI:
10.15416/ijcp.2021.10.2.110

Bille C, Olsen J, Vach W, et al. Oral clefts and life style factors — a case-cohort
study based on prospective danish data. European journal of
epidemiology 2007;22(3):173

Brennnan AP, Mahadevan V, Evans TB. 2016 . Clinical head and neck anatomy
for surgeons. Taylor & Francis. New York. Page 99-108

Casale J, Hatcher JD. 2020. Physiology, eustachian tube function.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555908/ PMID: 32310368 In:
StatPearls. Treasure Island (FL)

Cha Don chul, Pae Chon won, Seong Si Baek, et al. 2019. Automated diagnosis
of ear disease using ensemble deep learning with a big otoendoscopy
image database. https://doi.org/10.1016/j.3niom.2019.06.050 .Korea.
Elsevier

Chen YW, Chen KT, Chang PH, Su JL, Huang CC, Lee TJ. 2012. Is otitis media
with effusion almost always accompanying cleft palate in children? The
experience of 319 Asian patients. Laryngoscope. 122:220–224. PubMed:
22183637
Cholid Zainul. 2015. Celah Palatum (Palatoscizis). Jurnal kedokteran gigi VOL 10
NO 2 (2013) . Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember.

Chole R A, Sudhoff. 2017. Chronic otitis media, mastoiditis, and petrositis.


https://clinicalgate.com /chronic-otitis-media-mastoiditis-and-petrositis/

Corrigon Donna, Horsfall Andrew .2019. Guidelines on the acoustics of sound


field audiometry in clinical audiological applications. British Society of
Audiology www.thebsa.org.uk

Dahlan, Ms. 2016. Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan
edisi 4. Jakarta . Penerbit Epidemiologi Indonesia
76

.DHINGRA P. 2018. Anatomy of ear. In: diseases of ear, nose and throat & head
and neck surgery. 4th ed. Reed Elsevier;:3-14

Dewi Putu Sulistiawati. 2018. Management of cleft lip and palate (literature
review). Department of Oral and Maxillofacial Surgery Faculty of
Dentistry, University of Mahasaraswati. Denpasar Bali

Dochy F, Vanhaule E, Leenh, et al. 2019. Middle ear in children with cleft palate :
A cross-sectional study. Archives of Otolaryngology. Belgium. Doi:
http://doi.org/10.17352/2455-1759.000203

Eshghi M, Adatowovor R, Preisser J, Crais J, Crais Elizabeth, Zajac D. 2019.


Vocabulary Growth From 18 to 24 Months of age in children with and
without repaired cleft palate. Journal of speech, Language and Hearing.
Doi.org/10.1044/2019_JSLHR-L_18-0207

Fortuna Fory. 2020. Cleft lip and palate. https rsp.unand/ac.id/artikel/cleft-lip-and-


palate-celah-bibir-dan-palatum-palatum . RS Universitas Andalas.
Padang.

Flyn Traci. 2013. Hearing and middle status in children and young adult with cleft
palate.https://gupea.ub.gu.se/bitstream/2077/31719/2/gupea_2077_317
19_2 .Universitu Gothenburg Sweden

Hafiz A, Irfandy D, Rahman S, et al. 2017. Labioplasti dengan tehnik millard dan
Tennison Randall. Jurnal Kesehatan andalas. Padang.
https://jurnal.fk.unand.ac.id

Helmi A,Susana F, Sakina Umar. 2018 .Bedah otologi dan bedah neurotologi
dasar. Indonesia. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 29-204

Heidsieck DSP, Smarius BJA, Oomen KRP., et al. 2016.The role of the tensor
veli palatine muscle in the development of cleft palate-associated middle
ear problems. Journal Clinical Oral Investigation. DOI. 10.1007/s00784-
016-1868-x. Netherlands.

Imbery ET, Sobin LB, Commesso E, et al. 2017 Long-term otologi and
audiometric out comes in patient with cleft. American academy of
otolaryngology – Head and Neck Surgery.. DOI :
10.1177/0194599817707514.

Jain anuj, Yadav Abhilasha, Bhola nitin et al. 2017. Effect of palatoplasty on
hearing ability of nonsyndromic cleft palate patients : A prospective
clinical study. Doi : 10.413/jclpca.jclpca_24_17. India

Jane R Madel et al. 2019. Pediatric Audiology Third Edition: 2019;, New York:
Thieme Medical Publishers ISBN: 978-1-62623-401-786
77

Job A, Paucod JC, Obeirne G, et al. 2011. Cortical representation of tympanic


membrane movements due to pressure variation : an fMRI study.
Doi:10.1002/hbm.21063

Kambarn L. 2015 .Penderita bibir sumbing Tambah 7500 per tahun, Jurnal
Nasioanl, Kuta, 2012 hal 11 http://www.ibi.or.id/media/IndoAgri
%20Web.

Kim woo geon et al. 2020. A tiny retraction of the pars flaccida may conceal an
attic cholesteatoma. European archives of oto-rhino-laryngology.
Doi:10.1007/s00405-019-05751-8

Kolegium Ilmu kesehatan THT Bedah Kepala Leher. 2015. Modul Neurootologi
Gangguan Pendengaran . Kolegium Ilmu kesehatan THT Bedah
Kepala Leher : Jakarta.

Kuo CL, Lien CF, Chu CH, et al. 2018. Otitis media with effusion in children with
cleft lip and palate: a narrative review. Int J Pediatr Otorhi. DOI.
10.24983/scitemed.cmt.2018.00062

Laurent C., et al. 2014. open access guide to audiology and hearing aids for
otolaryngologist: tympanometry, 2nd edition. Department of clinical
science University of Umea. Sweden

Lee KJ, Chan Y, Goddard John C. 2016 In; Essentials Otolaryngology Head and
Neck Surgery. 11th edition. New York. Mc Graw Hill Education. 2016.
p.247-49, 265-68.

Lou Q et al. 2018.The Effects of Age at Cleft Palate Repair on


Middle Ear Function and Hearing Level. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/?
term=Lou+Q&cauthor_id=29570384

Mabun Erna. 2015. Gambaran pemeriksaan ABR dan timpanometri pada


penderita celah bibir dan palatum serta faktor yang mempengaruhinya
di RS anak dan bunda harpan kita . Jakarta

Maretic Petra. 2015. Optimizing Stimulation Strategius in Cochlear Implans.


http://lup.lub.lu.se/luur/download?
func=downloadFile&recordOId=8146876&fi leOId=8146884

Martell D, Machado R, Oliveira S, Mendes L, Aquino N, Martell H. 2021.Non


sindromic cleft lip and palate: relationship between sex and clinical
extension. https://www.sciencedirect.com/science/journal/18088694

Maximino PL, Zambonato FDCT, Pereira P, et al. 2018. Develepment and


evaluation of a blog about cleft lip and cleft palate and hearing.
Otorhinolaryngol 22-60-Brazil. Doi : https://doi.org/10.1055/s-0037-
1603494.
78

Mikolai, Tricia. Duffey, Jenifer., et al. 2016. A guide to tympanometry for hearing
screening. Maico Dignostics.1st edition. Plural Publishing, Inc. San
Diego. P.78-100.

Muin Zulkarnain. 2013. Karakteristik penderita labiopalatoskisis di RSUP Dr.


Wahidin Sudirohusodo Makassar periode 1 Januari 2011 – 31
Desember 2012. ilmu kesehatan masyarakat skripsi dan ilmu
kedokteran komunitas. Makassar

Musa e, Kodiya m, kirfi am, et al. 2017. Pure tone hearing threshold pf patient
with cleft palate anomaly in Kaduna, Nigeria.DOI:
http://dx.doi.org/10.18203/issn.2454-5929.ijohns20180695

Mogontan L, Lasminingrum L, Mahdiani S. 2019.Evaluasi Pascaimplantasi


Koklea di Bandung . Jurnal sistem kesehatan vol 5 No. 2.
http://jurnal.unpad.ac.id/jsk_ikm/article/view/25665/12347

Moore Keith L; et all. 2019 Essential Clinical Anatomy 5th Edition. Wolters
Kluwer Health.

Nakayama, J. R., & Ramsey, M. J. (2013). Tympanometry. Encyclopedia of


Otolaryngology, Head and Neck Surgery, 2905–2909. doi:10.1007/978-3-
642-23499-6_742

Oliveira MH , Rezende AL , Cássio, et al. 2015. Hearing impairment in children


with cleft lip and cleft palate. Medical School of UFMG Belo Horizonte,
MG – Brazil. DOI: 10.5935/2238-3182.20150080

Patel Vijay. 2020. Cholesteatoma.


Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/860080.64
Parker William et al. 2018. Natural History of tympanic membrane retraction in
children with cleft palate. The journal of international advanced otology.
DOI:10.5152/lao.2018.5609

Peipe JD, Leenherr ED, Hoecke HV, et al. 2018. The impact of ear and hearing
problems on quality of life in patient with –li[ and or palate. Ghent
University. Belgia

Prabhu S, Jose M, Krishnapillai R, Prabhu V. 2012; Etiopathogenesis of orofacial


clefting revisited. Journal of Oral and Maxillofacial Pathology. 16(2):228.

Radhika Chigurupati, Andrew Heggie, Krishnamurthy Bonanthaya.2016. Cleft Lip


and Palate:An Overview.
https://www.researchgate.net/publication/312125407_Cleft_Lip_and_P
alate_ An_Overview. Oral and Maxillofacial Surgery (pp.3 - 30) chapter
45.

Rahayuningrum, Debby Fatmala., Zulfikar Naftali, et al. 2016.Faktor-Faktor


Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Sensorineural Hearing Loss (Snhl)
Pada Penderita Speech Delay : Studi Di Rumah Sakit Umum Pusat
Dokter Kariadi Semarang. Vol 5.
79

Rajagukguk, Septarika M. 2016. Distribusi kasus celah bibir, celah palatum serta
kombinasi celah bibir dan palatum berdasarkan usia, jenis kelamin dan
daerah tempat tinggal penderita di RSUP H. Adam Malik Periode 2012-
2015. http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/17801.Sumatra
Utara. Indonesia.

Ramadhan Hassan. 2020. What is the role of nasal endoscopy in the diagnosis of
pediatric sinusitis. https://www.medscape.com/answers/873149-
117133/what-is-the-role-of-nasal-endoscopy-in-the-diagnosis-of-
pediatric-sinusitis

Ramkumar V, Rajendran A, Nagarajan R, Balasubramaniyan S, Suresh D. 2018.


Identification and Management of Middle Ear Disorders in a Rural Cleft
Care Program: A Telemedicine Approach. doi: 10.1044/2018_AJA-IMIA3-
18-0015

Rettig E, Tunkel DE. 2014.Contemporary concepts in management of acute otitis


media in children. Otolaryngol Clin North Am. 2014 Oct;47(5):651-72. doi:
10.1016/j.otc.2014.06.006. Epub 2014 Aug 1.

Ruegg T, Cooper M, Leslie E, Ford M, Wehby G, Deleyiannis F,et al.2017. Ear


Infection in Isolated Cleft Lip: Etiological Implications.
https://www.sciencedirect.com/science/journal/18088694

R. Riffart. 2018. Anatomy communication Disorder 473 with Paula


Horner.

https://id.pinterest.com/pin/394346511119987136/. California

Samllridge J, Hall A.J, Chorbachi R, et al. 2015. Functional outcome in the cleft
care UK study – Part 3 : oral health and audiology. Ortodhentic and
Craniofacial Research.. London. DOI: 10.1111/ocr.12110

Schilder AGM, Bhutta MF, Butler CC, et al. 2015. Eustachian tube dysfunction:
consensus statement on definition, types, clinical presentation and
diagnosis. Clin Otolaryngol.;40(5):407-411. doi:10.1111/coa.12475

Scholin SJ, Jonasson A, Axelsson J, et al. 2019. surgical, speech, and hearing
outcomes at five years of age in internationally adopted childrean and
swedish – born children with cleft lip and/or palate. Journal Of Plastic
Surgery and Hand Surgery..Swedish.
https://doi.org/10.1080/2000656x.2019.1650056

Sjamsudin, E., & Maifara, D. 2017. Epidemiology and characteristics of cleft lip
and palate and the influence of consanguinity and socioeconomic in
West Java, Indonesia: a five-year retrospective study. International
Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, 46, 69.
doi:10.1016/j.ijom.2017.02.251
80

Smarius, B. et al., 2017. Accurate diagnosis of prenatal cleft lip/palate by


understanding the embryology. World Journal of Methodology, pp. 94-
95.

Smith ME, Scoffings DJ, Tysome JR. 2016 Imaging of the Eustachian tube and
its function: a systematic review. Neuroradiology. Jun;58(6):543-556

Standring, S. 2020. Gray’s Anatomy, 40th edition. Elsevier : Spain. p.621.

Stone C. 2013 Cleft Lip and Palate: Etiology, Epidemiology, Preventive and
Intervention Strategies. Anatomy & Physiology 04(03)

Szymansi a, Agarwal amit. 2020. Anatomy, head and neck, ear Eustachian tube.
https. ncbi.nlm.nih.gov. Treasure Island. Statpearls

Tarabichi M, Najmi M. 2015 Site of eustachian tube obstruction in chronic ear


disease. Laryngoscope.;125(11):2572-5.

Tengroth birgitta. 2020. Hearing in children with cleft palate.


https://openarchive.ki.se/xmlui/bitstream/. Stockholm

Tewfik TL. 2019. Cleft lip and palate and mouth and pharynx deformities.
http://emedicine.medscape.com/article/837347-overview

Thorne CH. 2015. Grabb and smith’s plastic surgery. 7th Edition.
Philadelphia:
Lippincott Williams & Willkins. Page 173-199

Tolarova M. 2020. Pediatric cleft lip and palate: background, pathophysiology,


etiology https://emedicine.medscape.com/article/995535- overview#a2
Vaquero CG, Mir Christina, Graterol D. 2018. Otologic, audiometric and speech
findings in patients undergoing surgery for cleft palate. BMC Pediatrics..
https://doi.org/10.1186/s1288-018-1312-7

Xuan Z, Zhongpeng Y, Yanjun G, et al. 2016 Maternal active smoking and risk of
oral clefts: A meta-analysis. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology
and Oral Radiology;122(6):680-90.

Yow m, Jin A, George Y. 2021. Epidemiologic trends of infants with orofacial clefts
in a multiethnic country: a retrospective population-based study. |
https://doi.org/10.1038/s41598-021-87229-4
81

LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar informed consent


Lembar Penjelasan Penelitian
Nama Peneliti : Asmawati
NIM : C035172001
Alamat : Residen Dyandara No B2 Wesabbe Tamalanrea,
Makassar, Sulawesi Selatan
Judul Penelitian : Evaluasi telinga tengah dan derajat pendengaran pada
pasien celah bibir dan atau celah palatum , sebelum dan
setelah operasi labiopalatoplast

Peneliti adalah mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Fakultas


Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Bapak/Ibu telah diminta ikut
berpartisipasi dalam penelitian ini. Keikutsertaan anak Bapak/Ibu dalam
penelitian ini bersifat sukarela sesuai dengan persetujuan bapak/ibu. Bapak/Ibu
berhak untuk menolak berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan
dengan cara melihat rekam medis anak Bapak/ibu, melakukan pemeriksaan
telinga dan tekanan telinga tengah sebelum dan setelah operasi , pemeriksaan
hidung sebelum operasi, dan pemeriksaan pendengaran sebelum dan setelah
operasi. Segala informasi yang Bapak/ibu berikan dan data rekam medis anak
Bapak/ibu akan digunakan sepenuhnya hanya dalam penelitian ini. Peneliti
sepenuhnya akan menjaga kerahasiaan identitas dan isi rekam medis anak
Bapak/ibu serta tidak dipublikasikan dalam bentuk apapun. Jika ada yang belum
jelas, Bapak/ibu boleh bertanya pada peneliti. Jika Bapak/ibu sudah memahami
penjelasan ini dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, silahkan
Bapak/ibu menandatangani lembar persetujuan yang akan dilampirkan.
Peneliti
82

Asmawati
83

Lampiran 2. Persetujuan Responden (Informed Consent)


Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
Menyatakan bahwa anak saya
Nama :
Umur :
Alamat :

Bersedia menjadi responden pada penelitian yang di lakukan oleh :


Nama Peneliti : Asmawati
NIM : C035172001
Alamat : Residen Dyandara No B2 Wesabbe, Tamalanrea,
Makassar, Sulawesi Selatan
Judul Penelitian : Evaluasi telinga tengah dan derajat pendengaran pada
pasien celah bibir dan atau celah palatum sebelum dan
setelah operasi labiopalatoplasty

Saya bersedia untuk dilakukan pemeriksaan dan memberikan ijin peneliti untuk
melihat rekam medis anak saya, demi kepentingan penelitian. Dengan ketentuan,
hasil pemeriksaan dan isi rekam medis anak saya akan dirahasiakan dan
digunakan hanya semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Demikian surat peryataan ini saya sampaikan, agar dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Makassar,…………………2020
Responden

(……………….............................)
84

Lampiran 3 Case Report

CASE REPORT FORM

Identitas Penderita
Nama :
Jenis kelamin/Umur : L/P
Agama :
Suku :
Pendidikan :
Alamat :

Anamnesis
Gejala pada telinga : Apakah anda mengalami keluhan berupa?
1. Apakah terdapat gangguan pendengaran?Jika ya, sejak berapa lama?
2. Apakah ada keluhan keluar cairan dari telinga, jika ya sudah berapa lama?
3. Apakah ada keluhan telinga sering berdengung?
4. Apakah ada keluhan nyeri pada telinga?

Gejala THT lainnya :


1. Apakah ada riwayat bersin berseri?
2. Apakah ada nyeri pada tenggorok?
3. Apakah ada rasa mengganjal pada tenggorok?
4. Apakah ada rasa nyeri pada saat menelan?
5. Apakah kesulitan bila menelan makanan?
6. Apakah sering merasa ada banyak lendir pada tenggorok?
7. Apakah ada batuk?
8. Apakah ada ngorok saat tidur?
9. Apakah ada keluhan keluar darah bercampur ingus?
10. Bila ada keluhan keluar darah bercampur ingus, keluhan sejak berapa lama?
11. Apakah ada keluhan hidung tersumbat berbau atau tidak?
12. Apakah ada keluhan sakit kepala?

Pemeriksaan Fisis Umum


Keadaan Umum
Tekanan Darah : Suhu :
Denyut nadi : Pernapasan :

Pemeriksaan Fisis THT


Pemeriksaan Telinga Kanan Kiri
1. Daun telinga :
 Bentuk :
85

 Ukuran :
 Sikatrik :
 Infeksi :
 Tumor :
2. Depan telinga
Abses/fistel :
Sikatriks :
Nyeri tekan :
3. Belakang telinga
Abses/fistel :
Nyeri tekan :
Tumor :
4. Liang telinga luar
Warna :
Edema :
` Sekret :
Serumen :
5. Selaput gendang
Permukaan :
Warna :
Perforasi :
Pantulan cahaya :
6. Telinga tengah (bila ada perforasi)
Mukosa :
Sekret (sifat) :

Pemeriksaan Hidung
1. Bagian luar hidung
Bentuk :
Kelainan kulit :
Kolumella :
Nares anterior :
Fossa kanina :
Dinding media/atap orbita
2. Bagian dalam hidung (rinoskopi anterior)
1. Vestibulum :
2. Dasar rongga hidung
Sekret :
Edema/polip :

3. Dinding lateral
Meatus ansi inferior
Polip :
Edema :
Sekret :
Konka inferior
Warna :
Sekret (sifat) :
Permukaan :
Ukuran :
86

Meatus nasi media


Edema :
Sekret (sifat) :
Polip :
Konka media
Permukaan :
Warna :
Sekret :
Ukuran :

4. Dinding medial rongga hidung


Warna :
Permukaan (deviasi)
Edema :
Ekskoriasi :
Perforasi :

5. Dinding belakang (rinoskopi posterior)


Koana :
Palatum molle :
Ujung post. Konka inferior
Ujung post. Konka media
Meatus nasi media
Ostium tuba
Torus tubarius :
Fossa Rosssenmuller
Adenoid :
Tonsila tubaria:
6. Sinus paranasalis :
7. Transiluminasi :

Pemeriksaan Gigi, Mulut, Kerongkongan dan Tenggorok


1. Gigi-geligi
Karies :
Abses :
Gusi :
2. Mulut
Bibir :
Lidah :
Mukosa bukal :
Palatum durum
Uvula :
Palatum molle :

3. Kerongkongan
Orofaring
Dinding dorsal
Mukosa :
Granula :
Deformitas :
Post nasal drips
87

Dinding lateral
Lateral band
Deformitas
Isthmus faucium
Arkus anterior :
Arkus posterior
Tonsila Palatina
Warna :
Pembesaran :
Detritus :
Kripte :
Perlekatan :
Hipofaring
Fossa piriformis
Vallekula :
Radiks lingua :
Dinding dorsal :

4. Tenggorok (laringoskopi direk dengan nasoendoskopi fleksibel)


Epiglotis :
Aritaenoid :
Plika ventrikularis
Plika vokalis :
Subglotis :
Trakea :
Kelainan motorik

Pemeriksaan pembesaran kelenjar leher :


Letak :
Ukuran :
Warna :
Konsistensi :
Mobilitas :
Nyeri tekan : ada / tidak ada

Pemeriksaan Tambahan:
Laboratorium : ada/ tidak ada
CT Scan : ada/tidak ada
Foto Thoraks : ada / tidak ada

Pemeriksaan lainnya :

otoendoskopi

nasoendoskopi
88

HASIL PEMERIKSAAN

IV. Diagnosa :

V. Penatalaksanaan :

VI. Catatan :
89

Lampiran 4. Persetujuan etik


90
91

Lampiran 5. Alat Free Field Test dan Banana Speech Audiogram


92

Lampiran 6. Dokumentasi pemeriksaan pasien


93

Lampiran 6. Data-data hasil penelitian

A. Kelompok Labioplasti
PRA OPERASI POST OPERASI
timpanomet nasoendosko Waktu timpanometr
NO Nama JK Usia tipe penyakit otoendoskopi FFT otoendoskopi FFT
ri pi Evaluasi i
Ringan Ringan
Labiognatoschisis
1 AS L 5 bulan Bombans Bombans B B Normal Sedang 45- 8 bulan retraksi1 retraksi1 A A Sedang (30-
Unilateral S
60dB 40dB)
Ringan Ringan
14 Labiognatoschisis Bomban Bomban
2 AD P Bombans Bombans B B Normal Sedang 35- 5 bulan B B Sedang (30-
bulan Unilateral S s s
50dB 40dB)
Ringan
15 Normal 20-
3 HA L Labioschisis Unilateral D Bombans Bombans B B Normal Sedang 30- 7 bulan retraksi1 retraksi1 As As
bulan 30dB
50dB
Ringan
Normal 15-
4 AF L 5 bulan Labioschisis Unilateral S Bombans retraksi1 B A Normal Sedang 40- 5 bulan normal retraksi1 A A
30dB
45dB
Ringan Ringan
18 Labiochisis Bilateral Ka Retraksi Bomban
5 AN L Bombans Bombans B B Normal Sedang 40- 5 bulan B B Sedang (30-
bulan inkomplet, Ki Komplit) 1 s
45dB 45dB)
94

B. Kelompok Palatoplasti
PRA OPERASI POST OPERASI
timpanomet nasoendosko Waktu timpanometr
NO Nama JK Usia tipe penyakit otoendoskopi FFT otoendoskopi FFT
ri pi Evaluasi i
L P kanan kiri kanan kiri kanan kiri kanan kiri

Ringan
58 Normal 20-
1 LI P palatoschisis inkomplit Normal retraksi1 A A Normal Sedang 30- 7 bulan normal normal A A
bulan 30dB
40dB
Ringan
35 retraksi Normal 10-
2 IN P palatoschisis inkomplit retraksi 1 retraksi1 B B Normal Sedang 30- 7 bulan normal A A
bulan 1 25dB
40dB
Ringan Ringan
24 retraksi retraksi
3 WI L palatoschisis komplit Bombans Bombans B B Normal Sedang 30- 8 bulan A A Sedang (30-
bulan 2 2
50dB 35dB)
Sedang- Ringan
10 Bomban Bomban
4 SH P palatoschisis komplit retraksi3 Bombans B B Normal Berat (40- 14 bulan B B Sedang (50-
bulan s s
75dB) 65dB)
95

C. Kelompok Labiopalatoplasti
PRA OPERASI POST OPERASI
timpanomet nasoendosko Waktu timpanometr
NO Nama JK Usia tipe penyakit otoendoskopi FFT otoendoskopi FFT
ri pi Evaluasi i
Sedang-
13 labiopalatoschisis Normal 15-
1 MF L Bombans Bombans B B Normal Berat (50- 7 bulan normal retraksi1 A A
bulan komplit 30dB
80dB)
Ringan Ringan
13 labiopalatoschisis
2 NA P Bombans Bombans B B Normal Sedang 50- 7 bulan retraksi1 normal B A Sedang (30-
bulan komplit
60dB 35)
96

Anda mungkin juga menyukai