Anda di halaman 1dari 111

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PSIKOLOGIS

DENGAN KEPARAHAN ULKUS STOMATITIS


AFTOSA REKUREN

SKRIPSI
Oleh:
INTASARI
17/409177/KG/10876

KEMENTERIAN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
YOGYAKARTA
2021
HALAMAN

PERSYARATAN

HUBUNGAN ANTARA FAKTOR PSIKOLOGIS


DENGAN KEPARAHAN ULKUS STOMATITIS
AFTOSA REKUREN

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna


memperoleh derajat Sarjana Higiene Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada

Oleh:

i
INTASARI
17/409177/KG/10876

KEMENTERIAN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
YOGYAKARTA
2021

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
PENDIDIKAN STRATA 1

BERITA ACARA

SEMINAR
PROPOSAL SKRIPSI

ii
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
PENDIDIKAN STRATA 1

BERITA ACARA

iii
SEMINAR
HASIL SKRIPSI

iv
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
PENDIDIKAN STRATA 1

BERITA ACARA
UJIAN SKRIPSI

v
HALAMAN

PERSETUJUAN

vi
vii
viii
HALAMAN

PENGESAHAN

ix
HALAMAN
x
PERSEMBAHAN

َ ُ‫ٓا َأ ْم ُر ٓۥهُ ِإ َذٓا َأ َرا َد َش ْيـًٔا َأن يَق‬


ُ ‫ول لَهۥُ ُكن فَيَ ُك‬
‫ون‬
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata

kepadanya: “jadilah!” maka terjadilah ia”

Dengan penuh rasa syukur karya ini ku persembahkan kepada

Allah SWT, yang telah menuntun dan memberikan segala kemudahan dalam setiap

langkah terbaik yang pernah kuambil.

Bapak, Ibu, Kakek dan Alm. Nenek tersayang yang berdiri kukuh sebagai

penopang dalam hidup.

xi
PERNYATAAN BEBAS

PLAGIASI

Nama : Intasari

NIM : 17/409177/KG/10876

Tahun terdaftar : 2017

Program Studi : Higiene Gigi

Fakultas / Sekolah : Fakultas Kedokteran Gigi

Menyatakan bahwa dalam dokumen ilmiah sripsi ini tidak terdapat bagian dari

xii
karya ilmiah lain yang telah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu
lembaga Pendidikan Tinggi, dan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang/lembaga lain, kecuali yang secara tertulis disitasi
dalam dokumen ini dan disebutkan sumbernya secara lengkap dalam daftar pustaka.
Dengan demikian saya menyatakan bahwa dokumen ilmiah ini bebas dari
unsur-unsur plagiasi dan apabila dokumen ilmiah skripsi ini di kemudian hari terbukti
merupakan plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan
karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi akademik dan/ atau sanksi hukum yang berlaku.

Yogyakarta, 28 Desember 2021

Intasari

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,

kekuatan dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi

yang berjudul “Hubungan Antara Faktor Psikologis Dengan Keparahan Ulkus

Stomatitis Aftosa Rekuren”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi sebagian

persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Higiene Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Karya ini dapat terwujud dengan tidak terlepas

xiii
dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada periode tahun 2016-2021.

2. drg. Suryono, S.H., M.M., Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada periode tahun 2021-2026.

3. Prof. Dr. drg. Regina Titi Christinawati Tandelilin, M.Sc., selaku Ketua

Program Studi Higiene Gigi Universitas Gadjah Mada dan selaku Dosen

Pembimbing Akademik yang telah memberikan perhatian dan bimbingan

akademik kepada penulis.

4. Dr. drg. Dewi Agustina, M.D.Sc selaku Ketua Departemen Oral Medicine

Fakultas Kedokteran Gigi dan sebagai Dosen pembimbing pertama yang telah

senantiasa bersedia meluangkan waktu dalam memberikan motivasi,

bimbingan dan masukan serta ilmu yang bermanfaat hingga akhir proses

penulisan skripsi.

5. drg. Fimma Naritasari, M.D.Sc selaku Dosen pembimbing pendamping yang

telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan ilmu

yang bermanfaat serta membantu dalam proses penelitian yang dilakukan oleh

peneliti.

6. drg. Hendri Susanto, M.Kes, PhD., Sp. P.M selaku Dosen penguji yang telah

meluangkan waktu serta memberikan masukan yang sangat bermanfaat bagi

penulis.

xiv
7. Prof. drg. Supriatno, M.Kes., MDSc., Ph.D., selaku Koordinator Skripsi

Departemen Oral Medicine Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah

Mada yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

8. Rekan-rekan yang telah bersedia membantu menjadi subjek dalam penelitian

ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.

9. Kedua orang tua, Bapak Sahminan dan Ibu Irziyanti yang telah senantiasa

mencurahkan segala kekuatan, do’a dan dukungan baik mental maupun materi

untuk keberhasilan penulis, serta kasih sayang yang tiada henti.

10. Keluarga besar di pulau Belitung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Ucapan terimakasih telah memberikan do’a dan dukungan baik mental

maupun materi.

11. Dori Subrilyandri sebagai partner yang telah menemani dalam setiap proses

suka dan duka, serta memberikan dukungan dan do’a untuk penulis.

12. Teman-teman 4 sekawan Sheila, Isti, Heni yang selalu membersamai dan

saling menguatkan dalam setiap proses di Fakultas Kedokteran Gigi UGM.

13. Teman-teman sepermainan Katrina, Diaz, Ellida, Lisa, Trita, Nenes, Mega,

dan Alm. Dwi. yang selalu saling menguatkan.

14. Teman-teman Program Studi Higiene Gigi Angkatan 2017, khususnya

Andang, Katon, Ani, Sasha, Delia, Dania, Zahra.

15. Teman-teman seperjuangan skripsi Departemen Oral Medicine yang telah

saling menguatkan.

xv
16. Teman-teman Kos C 50A, terutama kak Alfiah, kak Nurlaili, kak Izzah dan

kak Ummi yang telah memberikan bantuan, motivasi dan pengetahuan yang

bermanfaat bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi

ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar karya

tulis ini menjadi lebih bermanfaat bagi masyarakat serta perkembangan ilmu

pengetahuan.

DAFTAR ISI

JUDUL SKRIPSI...........................................................................................................1
HALAMAN PERSYARATAN......................................................................................i
BERITA ACARA SEMINAR PROPOSAL SKRIPSI..................................................ii
BERITA ACARA SEMINAR HASIL SKRIPSI..........................................................iii
BERITA ACARA UJIAN SKRIPSI.............................................................................iv
HALAMAN PERSETUJUAN.....................................................................................vi
HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................................vii

xvi
HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................................viii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI..........................................................................ix
KATA PENGANTAR...................................................................................................x
DAFTAR ISI..............................................................................................................xiii
DAFTAR TABEL.......................................................................................................xv
INTISARI...................................................................................................................xvi
ABSTRACT................................................................................................................xvii
I. PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................3
C. Keaslian Penelitian............................................................................................4
D. Tujuan Penelitian...............................................................................................6
E. Manfaat Penelitian.............................................................................................6
II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................7
A. Telaah Pustaka...................................................................................................7
1. Stomatitis Aftosa Rekuren................................................................................7
2. Faktor Psikologis............................................................................................12
3. Depression Anxiety Stress Scale-21................................................................17
4. Ulcer Severity Scale........................................................................................19
B. Landasan Teori................................................................................................22
C. Hipotesis..........................................................................................................23
III. METODE PENELITIAN.................................................................................24
A. Jenis Penelitian................................................................................................24
B. Identifikasi Variabel........................................................................................24
C. Definisi Operasional........................................................................................25
D. Subjek Penelitian.............................................................................................25
E. Alat dan Bahan................................................................................................28
F. Alat Ukur Penelitian........................................................................................28
G. Jalannya Penelitian..........................................................................................31
H. Analisis Data....................................................................................................33
I. Protokol Kesehatan..........................................................................................33
J. Alur Penelitian.................................................................................................36

xvii
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................................37
A. Hasil Penelitian................................................................................................37
B. Pembahasan.....................................................................................................44
V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................56
A. Kesimpulan......................................................................................................56
B. Saran................................................................................................................56
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................59
LAMPIRAN..............................................................................................................66

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data demografik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia..................38
Tabel 2. Data subjek berdasarkan skoring kuesioner DASS-21.............................................39
Tabel 3. Data subjek berdasarkan skoring kuesioner USS.....................................................40
Tabel 4. Data hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas Levene........41
Tabel 5. Data hasil uji korelasi Pearson antara variabel depresi, ansietas dan stres dengan
keparahan ulkus SAR..............................................................................................42

xix
INTISARI

Stomatitis aftosa rekuren atau SAR merupakan suatu peradangan berulang


berbentuk ulkus yang terjadi pada mukosa mulut. Salah satu faktor predisposisi yang
berperan dalam kemunculan dan rekurensi SAR ialah faktor psikologis depresi,
ansietas dan stres. Kondisi psikologis yang tidak stabil dapat meningkatkan sekresi
sitokin proinflamasi yang berperan pada patogenesis SAR. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara faktor psikologis dengan
keparahan SAR.
Jenis penelitian ini merupakan analitik cross-sectional. Metode penelitian
dilakukan dalam 2 tahap berupa pengisian kuesioner DASS-21 dan pemeriksaan
klinis berdasarkan kriteria instrumen USS dengan subjek penelitian sebanyak 51
orang. Instrumen DASS-21 digunakan untuk mengukur variabel depresi, ansietas dan
stres, sedangkan USS digunakan untuk mengukur keparahan SAR. Analisis data
menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara faktor
psikologis dengan keparahan SAR.
Hasil uji korelasi Pearson antara skor stres dengan skor USS menunjukkan nilai
p=0,01 (p<0,05) dengan ‘r’ = 0,359. Hasil uji korelasi Pearson antara skor depresi
dan ansietas dengan skor USS menunjukkan nilai p=0,342 (‘r’= 0,136) dan p=0,067
(‘r’=0,258), keduanya dengan p>0,05. Kesimpulan dari penelitian ini ialah terdapat
hubungan positif yang bermakna dengan kekuatan sedang antara stres dengan
keparahan SAR, namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dan
ansietas dengan keparahan SAR.

Kata Kunci : ansietas, depresi, keparahan, stomatitis aftosa rekuren, stres.

xx
ABSTRACT

Recurrent aphthous stomatitis or RAS is a recurrent inflammation in the form


of ulcer that occurs in the oral mucosa. One of predisposing factors that plays a role
in emergence and recurrence of RAS is psychological factor such as depression,
anxiety, and stress. An unstable psychological condition can increase secretion of
proinflammatory cytokines that play a role in pathogenesis of RAS. This study aimed
to determine whether there was a relationship between psychological factors with
severity of RAS. This study was analytical cross-sectional study.
The methodology was carried out in two stages, namely filling in DASS-21
questionnaire and clinical examination based on criteria of USS instrument for 51
subjects. The DASS-21 instrument was used to measure variables of depression,
anxiety, and stress. Meanwhile, the USS was used to measure severity of RAS. Data
were analysed using Pearson correlation test to determine relationship between
psychological factors and severity of RAS.
Result of Pearson correlation test between stress score with the USS score
showed p=0.01 (p<0.05) with ‘r’ = 0.359. Meanwhile, results of Pearson correlation
test between depression and anxiety scores with the USS score showed p=0.342 (‘r’=
0.136) and p=0.067 (‘r’=0.258), respectively, both with p>0.05. From the results of
this study can be concluded that there is a moderate significant positive relationship
between stress and severity of RAS, however there is no significant relationship

xxi
between depression and anxiety with severity of RAS.

Keywords: anxiety, depression, recurrent aphthous stomatitis, severity, stress

xxii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan peradangan berulang yang

terjadi pada mukosa mulut, berbentuk ulkus tunggal atau multipel dangkal

berwarna putih kekuningan yang dikelilingi oleh lingkaran eritematosa. Ulkus

ini dapat berkembang di rongga mulut nonkeratin seperti mukosa lidah, bukal,

labial, bagian lateral atau ventral lidah, mukosa dasar mulut, palatum lunak

dan orofaring. Kondisi tersebut akan menyulitkan seseorang untuk melakukan

aktivitas seperti pengunyahan, penelanan dan berbicara, sehingga akan

mempengaruhi status gizi serta akan berdampak pada kualitas hidup seseorang.

Prevalensi SAR mencapai sekitar 15-25% dari populasi. Etiologi SAR masih

belum diketahui secara pasti tetapi secara tentatif dikaitkan dengan beberapa

faktor predisposisi seperti defisiensi nutrisi, trauma kimia atau fisik, infeksi,

penyakit sistemik, dan stres (Yuliana, dkk., 2019).

Menurut Porter, dkk. (1998) kondisi psikologis seseorang yang tidak sehat

dapat menginisiasi kemunculan SAR. Faktor psikologis yang berperan dalam

perkembangan SAR antara lain depresi, ansietas dan stres (Gavic dkk., 2014).

Stres merupakan bentuk respon tubuh terhadap suatu hal yang berhubungan

dengan proses psikologis individu, sedangkan depresi merupakan gangguan

1
mental yang umum ditandai dengan suasana hati tertekan, kehilangan minat

atau

2
3

penurunan energi, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur atau nafsu makan

terganggu, dan kurang konsentrasi. Terkadang depresi juga datang dengan

gejala ansietas (WHO, 2012). Ansietas adalah suatu perasaan takut atau cemas

yang sering disertai gejala fisiologis (Pieter, dkk., 2011). Tingginya ansietas

memberikan kontribusi terhadap inisiasi atau rekurensi penyakit (Hernawati,

2013). Faktor-faktor psikologis tersebut jika dialami oleh individu akan

menimbulkan dampak bagi tubuh termasuk pada rongga mulut. Salah satu

manifestasi stres pada rongga mulut ialah munculnya stomatitis aftosa rekuren.

Faktor psikologis berupa depresi, ansietas dan stres seseorang dapat diukur

tingkat keparahannya menggunakan beberapa skala diantaranya skala Perceived

Stress Scale (PSS), Beck Depression and Anxiety Inventory (BDAI),

Depression Anxiety Stress Scales (DASS) dan lain sebagainya. Depression

Anxiety Stress Scales merupakan instrumen yang valid untuk digunakan dalam

bidang kesehatan (Nieuwenhuijsen, dkk., 2013). Skala DASS terbagi

menjadi 2 versi yaitu DASS-21 dan DASS-42. Kuesioner DASS-21 merupakan

versi pendek dari DASS-42. Jika dibandingkan dengan DASS-42, DASS-21

memiliki beberapa keunggulan salah satunya adalah jumlah butir yang lebih

sedikit sehingga memudahkan proses penilaian (Lovibond & Lovibond, 1995).

Penilaian untuk SAR biasanya dilakukan dengan mengenali penampakan

luar dari ulkus. Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai

karakteristik dari keparahan ulkus ialah Ulcer Severity Scale. Parameter ini
4

dirancang khusus untuk penilaian pada tingkat keparahan penyakit dan bukan

untuk menetapkan diagnosis. Ulcer Severity Scale dapat mencakup semua

penampakan klinis dari ulkus dan dapat dengan mudah digunakan dalam praktik

klinik rutin. Pada era berbasis bukti kedokteran gigi adanya metode untuk

mengevaluasi keparahan penyakit akan sangat membantu dalam manajemen

SAR serta dapat membantu dalam penelitian dan uji klinis. Karakteristik yang

diamati meliputi jumlah rata-rata ulkus, ukuran ulkus, durasi ulkus, periode

bebas ulkus, bagian mukosa yang mengalami ulkus dan rasa nyeri yang

ditimbulkan oleh ulkus (Tappuni, dkk., 2013). Karakteristik ulkus diubah

menjadi skor numerik untuk memfasilitasi perbandingan objektif dari tingkat

keparahan kondisi terutama sebelum dan sesudah perawatan.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait hubungan faktor

psikologis terhadap keparahan pada ulkus stomatitis aftosa rekuren atau SAR

dengan menggunakan skala ukur DASS-21 dan USS. Penelitian ini diharapkan

dapat menambah wawasan higienis gigi dalam melakukan edukasi terkait

hubungan faktor psikologis dengan keparahan stomatitis aftosa rekuren.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan, dapat

dirumuskan suatu permasalahan penelitian yaitu, apakah terdapat hubungan

antara faktor psikologis (depresi, ansietas dan stres) dengan keparahan ulkus

stomatitis aftosa rekuren.


5

C. Keaslian Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya adalah penelitian oleh

Mulyaningsih (2015) yang berjudul “Hubungan Antara Skor Depresi Melalui

Kuesioner BDI (Beck Depression Inventory) Dengan Keparahan Stomatitis

Aftosa Rekuren”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

depresi dengan keparahan SAR pada mahasiswa S1 FKG UGM. Metode yang

digunakan ialah dengan menggunakan BDI untuk mengukur skor depresi dan

kuesioner USS (Ulcer Severity Scale) untuk mengukur keparahan ulkus.

Kesimpulan yang didapat berupa depresi tidak berhubungan dengan keparahan

SAR pada mahasiswa S1 FKG UGM.

Penelitian lain yang pernah dilakukan sebelumnya adalah penelitian oleh

Gavic, dkk. (2014) yang berjudul “The Role of anxiety, depression and

psychological stress on the clinical status of recurrent aphtous stomatitis and

oral lichen planus”. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara

ansietas, depresi dan stres terhadap kemunculan stomatitis aftosa rekuren dan

oral lichen planus. Penelitian ini menggunakan metode kuesioner BDI (Beck

Depression Index), STAI (Inventaris State-Trait Anxiety), dan WCQ (Ways of

Coping Questionnaire), dengan kesimpulan berupa terdapat hubungan yang erat

antara depresi, ansietas dan stres terhadap stomatitis aftosa rekuren dan oral

lichen planus.
6

Penelitian selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ajmal, dkk.

(2018) dengan judul “Prevalence And Psychologi Stress In Recurrent

Aphthous Stomatitis Among Female Dental Students In Saudi Arabia”.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan antara SAR dan

stres psikologis, serta efektivitas skala HAD. Metode yang digunakan berupa

responden sebanyak 112 mahasiswi kedokteran gigi dari kelompok usia 17-25

tahun dengan instrumen skala HAD. Kesimpulan yang didapat ialah terdapat

hubungan erat antara stres psikologis dengan terjadinya SAR. Skala HAD dapat

digunakan untuk mendeteksi faktor psikologis dalam SAR.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nadendla, dkk.

(2015) yang berjudul “Relationship of Salivary Cortisol and Anxiety in

Recurrent Apthous Stomatitis”. Tujuan dari penelitian ini ialah menilai tingkat

kecemasan dan kadar kortisol saliva pada pasien stomatitis aftosa rekuren serta

untuk mengetahui hubungan kadar kortisol saliva dengan variasi stres. Metode

yang digunakan yaitu skala kecemasan Hamilton untuk mengukur tingkat

kecemasan dan uji imunosorben yang digunakan untuk mengukur kadar kortisol

saliva. Kesimpulan dari penelitian ini berupa kecemasan mungkin terlibat dalam

patogenesis SAR dan diperlukannya dukungan psikologis terhadap pasien SAR.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan

Antara Faktor Psikologis Dengan Keparahan Ulkus Stomatitis Aftosa Rekuren”.

Pembeda antara penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dengan penelitian

sebelumnya terletak pada subjek penelitian, dan skala ukur yang digunakan
7

untuk mengukur kondisi psikologis. Peneliti menggunakan skala ukur DASS-

21 untuk mengukur faktor psikologis dan skala USS untuk mengukur tingkat

keparahan pada ulkus. Subjek yang digunakan oleh peneliti ialah individu yang

tinggal di provinsi D.I Yogyakarta dan sedang mengalami SAR serta memiliki

riwayat pernah mengalami SAR minimal 2 kali dalam setahun.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan antara faktor psikologis (depresi, ansietas dan stres) dengan

keparahan ulkus stomatitis aftosa rekuren.

E. Manfaat Penelitian

1. Menambah pengetahuan bagi pembaca terkait hubungan antara faktor

psikologis (depresi, ansietas dan stres) dengan keparahan ulkus stomatitis

aftosa rekuren.

2. Menambah wawasan bagi seorang higienis gigi dalam melakukan tindakan

preventif dan promotif terkait hubungan antara faktor psikologis (depresi,

ansietas dan stres) dengan keparahan ulkus stomatitis aftosa rekuren.

3. Menambah bukti ilmiah serta sebagai sumber acuan bagi peneliti selanjutnya

dalam perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang terkait

hubungan antara faktor psikologis (depresi, ansietas dan stres) dengan

keparahan ulkus stomatitis aftosa rekuren.


8

II. TINJAUAN

PUSTAKA
A. Telaah Pustaka

1. Stomatitis Aftosa Rekuren

a. Definisi

Kata "aphthous" berasal dari sebuah kata yang berasal dari Yunani

"aphtha" yang memiliki arti ulserasi atau biasa disebut juga ulkus.

Stomatitis aftosa rekuren merupakan sebuah ulkus yang menunjukkan

penampakan berupa ulkus tunggal atau multipel, kecil, berbentuk bulat atau

oval dengan dasar berwarna kuning keabuan dikelilingi oleh eritema halo

dan bersifat rekuren atau berulang (Preeti, dkk., 2011). Ciri utama dari

ulkus ini adanya kekambuhan yang episodik. Frekuensi kekambuhan

bervariasi pada tiap tipe SAR. Ulkus terjadi pada mukosa rongga mulut

seperti mukosa bibir, mukosa bukal, dasar mulut, bagian langit-langit

yang lunak, dan permukaan lidah yang halus (Warnakulasuriya dan

Tilakaratne, 2013).

b. Epidemiologi
9

Prevalensi SAR pada tahun 2008 di Jordan mencapai 70%, tahun

2010 hingga 2012 mencapai 21,7% di India dan mencapai angka 27,17% di

China (Rivera, 2019). Indonesia sendiri dilaporkan pada sebuah penelitian

yang dilakukan oleh Fitri dan Afriza (2014) di sebuah Panti Asuhan di kota

Padang mendapatkan hasil prevalensi stomatitis aftosa rekuren sebesar 15

orang atau 10,41% dengan insidensi tertinggi dijumpai pada anak

perempuan sebanyak 12 orang atau 8.33% diikuti anak laki-laki sebanyak

3 orang atau 2.08%.

Analisis data NHANES III melaporkan prevalensi tahunan dari data

sebanyak 17.235 orang dewasa terjadi lebih tinggi pada orang kulit putih

dan Meksiko Amerika. Stomatitis aftosa rekuren lebih sering terjadi pada

individu berusia 17 hingga 39 tahun yang bukan perokok. Menurut

masriadi (2019) SAR terjadi pada dekade kedua kehidupan. Prevalensi

terjadi sekitar dua kali lipat pada kelompok usia dibawah 40 tahun

dibandingkan dengan kelompok usia 40 tahun keatas. Hernawati, dkk.

(2017) menyatakan SAR paling banyak terjadi pada individu yang berusia

20-24 tahun yang mencapai 54%. Menurut Abdullah (2013) penderita

terbanyak pada usia 20-29 tahun yaitu sebesar 36,28%, sedangkan menurut

Okoh dan Ikechukwu (2019) penderita SAR paling banyak ditemukan

pada rentang usia 21-30 tahun yaitu sebesar 41%. Stomatitis aftosa rekuren

dilaporkan menurun selama kehamilan dan meningkat secara signifikan

selama kejadian stres (Delong dan Burkhart, 2019).


10
11

c. Klasifikasi

Menurut Warnakulasurya dan Tilakaratne (2013) karakteritik stomatitis

aftosa rekuren dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu SAR tipe minor,

tipe mayor dan herpetiform. Klasifikasi ini didasarkan pada penampakan

klinis dari ulkus tersebut yang meliputi variasi ukuran, jumlah, lokalisasi

dan durasi ulkus.

Stomatitis aftosa rekuren minor merupakan tipe yang paling banyak

ditemui pada individu yaitu sekitar 80% dari semua kejadian SAR. Tipe

SAR minor paling banyak terjadi pada kelompok usia 10 hingga 40 tahun

dan ditemui pada mukosa nonkeratin seperti pada mukosa bukal dan labial

(Matute dan Alonso, 2011). Karakteristik dari SAR tipe minor ialah

memiliki penampakan bentuk bulat kecil atau lonjong dengan diameter

2 mm hingga 4 mm (Scully, dkk., 2010). Ulkus ditutupi oleh

pseudomembran berwarna kuning keabuan yang dikelilingi oleh eritema

halo (Edgar, dkk., 2017). Ulkus ini didahului dengan rasa terbakar, gatal

dan rasa pedih (Warnakulasurya dan Tilakaratne, 2013). Lama

penyembuhan ulkus antara 7 hari hingga 10 hari dengan interval rekurensi

terjadi antara 1 bulan hingga 4 bulan tanpa menimbulkan bekas luka

(Scully, dkk., 2010).

Stomatitis aftosa rekuren tipe mayor merupakan tipe yang jarang terjadi

(Warnakulasurya dan Tilakaratne, 2013). Lokasi distribusi meliputi area

bibir, palatum lunak dan faring. Ulkus ini memiliki penampakan yang
12

ditutupi oleh pseudomembran berwarna kuning keabuan yang dikelilingi

oleh eritema halo dan memiliki diameter > 10 mm (Edgar, dkk., 2017).

Ulkus akan terjadi selama 1 minggu hingga 6 minggu atau lebih dengan

menimbulkan bekas luka serta interval rekurensi sering (Scully, dkk.,

2010).

Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiform cenderung dialami oleh

wanita dan kelompok usia yang sedikit lebih tua dari SAR lainnya (Scully,

dkk., 2010). Istilah herpetiform menggambarkan ulkus-ulkus kecil yang

mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer (Rathee, dkk., 2014). Ulkus

tipe herpetiform memiliki ukuran diameter sekitar 2 mm hingga 3 mm serta

penampakan klinik berupa ulkus kecil yang dalam (Edgar, dkk., 2017).

Ketika ulkus kecil tersebut bergabung maka akan membentuk ulkus besar

dengan kontur yang tidak beraturan (Warnakulasurya dan Tilakaratne,

2013). Distribusi stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiform meliputi area

mukosa bibir, mukosa bukal, lidah dan gingiva. Ulkus tipe herpetiform

jarang menimbulkan bekas luka (Edgar, dkk., 2017). Lama penyembuhan

10 hari atau lebih dengan rekurensi berulang begitu sering sehingga

ulserasi bisa terjadi terus-menerus (Scully dkk, 2010).

d. Faktor Predisposisi

Etiologi stomatitis aftosa rekuren belum diketahui secara pasti. Ulkus

ini merupakan ulkus yang bersifat multifaktorial. Beberapa faktor yang

ditetapkan sebagai faktor predisposisi antara lain trauma, faktor psikologis,


13

alergi, obat-obatan, hormonal, gangguan immunologi, defisiensi nutrisi,

penyakit sistemik, genetik, dan infeksi mikrobial. Natah, dkk. (2000)

menyebutkan bahwa ulkus SAR terjadi akibat aksi sitokin yang abnormal

dalam mukosa mulut yang dapat meningkatkan respon imun tubuh.

Guimaraes, dkk. (2007) menyatakan bahwa orang yang menderita SAR

akan mengalami peningkatan sel mast, makrofag, genotip Th1, level TNF-

α, VCAM-1 (vascular adhesion molecule) dan sitokin (IL-2, IL-6, IL-10,

IL-1β).

e. Diagnosis

Menurut Guallar, dkk. (2014) tidak ada tes diagnosis khusus untuk

kasus stomatitis aftosa rekuren. Diagnosis hanya didasarkan pada

anamnesis pasien serta manifestasi klinis. Apabila pasien memiliki

penyakit sistemik yang berkaitan dengan SAR maka diperlukan

pemeriksaan penunjang seperti evaluasi terhadap zat besi dan asam

folat serta pemeriksaan darah lengkap meliputi pemeriksaan eritrosit,

haemoglobin, penampakan sel darah, indeks sel darah merah, uji folat sel

darah merah dan jumlah sel darah putih. Dapat juga dilakukan pemeriksaan

serum yang meliputi kadar ferritin, vitamin B12, dan uji transglutaminase

(Scully, dkk., 2010). Kasus SAR tidak diindikasikan untuk melakukan

pemeriksaan biopsi. Pemeriksaan biopsi hanya dianjurkan untuk kasus lesi

dengan ketidakpastian diagnosis (Scully, dkk., 2010).

Menurut Tarakji, dkk. (2015) beberapa hal penting yang harus


14

diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan anamnesis kepada pasien

yang menderita SAR meliputi jumlah ulkus, lokasi ulkus, ukuran dan

bentuk ulkus, tepi ulkus, dasar ulkus, jaringan yang mengelilingi ulkus,

frekuensi terjadinya ulkus, riwayat keluarga, kondisi sistemik, gangguan

gastrointestinal, riwayat penggunaan obat, serta masalah kulit.

f. Perawatan

Perawatan stomatitis aftosa rekuren bisa berbeda misal pada pasien

penderita SAR dengan penyakit sistemik disarankan untuk menangani

penyakit utama terlebih dahulu. Manajemen SAR nonfarmakologis juga

dapat berupa dukungan mental (Edgar, dkk., 2017). Untuk pengobatan

farmakologis biasanya digunakan antibiotik topikal berupa doksisiklin

atau minosiklin. Menurut Cawson dan Odell (2008) perawatan SAR dapat

menggunakan kortikosteroid, pasta gigi triamcinolone, obat kumur

tetrasiklin, berkumur dengan klorheksidine 0,2%, dan topikal salitisat.

2. Faktor Psikologis

Psikologis adalah studi ilmiah tentang pikiran (proses mental) dan perilaku.

Kata "Psikologi" berasal dari kata Yunani "psyche", yang berarti hidup dan

"logos," yang berarti pemikiran. Faktor psikologis merupakan faktor yang

mempengaruhi proses mental dan perilaku individu. Komponen psikologis

mengacu terhadap pengaruh yang datang dari individu seperti pola berpikir

negatif dan respon stres. Gangguan psikologis secara klinis merupakan


15

serangkaian gejala atau perilaku yang dapat dikenali yang berhubungan dengan

masalah atau gangguan fungsi pribadi (Lally dan Suzanne, 2018). Kondisi

psikologis seseorang yang mengalami gangguan dapat mempengaruhi kondisi

fisiologis tubuh. Faktor psikologis mempunyai peranan dalam patogenitas

stomatitis aftosa rekuren. Menurut Mayanti, dkk. (2019) SAR merupakan

penyakit pada mukosa rongga mulut yang dapat di pengaruhi oleh faktor

psikologis. Faktor psikologis yang berperan dalam perkembangan SAR antara

lain depresi, ansietas dan stres (Gavic, dkk., 2014). Al-Omiri, dkk. (2012)

melaporkan bahwa ansietas atau kecemasan sering dialami oleh penderita

SAR.

Istilah stres berasal dari sebuah bahasa latin yaitu “stringere” yang memiliki

arti ketegangan dan tekanan. Dalam ilmu kedokteran stres dapat diartikan

sebagai respon fisik atau psikis terhadap suatu rangsangan yang muncul dan

dianggap sebagai sebuah ancaman atau tekanan. Respon psikis yang muncul

meliputi kecemasan, keputusasaan, depresi, perasaan gampang marah, perasaan

tidak mampu mengahadapi hidup dan memungkinkan seseorang akan memiliki

ketergantungan tehadap alkohol serta obat-obatan. Respon fisik yang muncul

dapat berupa penyakit jantung, tekanan darah tinggi, bumilio, anoreksia nervosa,

migrain, kanker, gangguan pencernaan, asma, diabetes, alergi, gangguan kulit,

kolesterol dan penurunan daya tahan tubuh.

Stres dapat menyebabkan pelepasan hormon adrenalin, nonadenalin,

adrenokortikotropik, kortisol, aldosterone, vasopressin, dan tiroid yang akan


16

berdampak pada peningkatan denyut jantung, vasokontriksi pembuluh

darah, dan penggumpalan sel-sel darah (Wijoyo, 2011). Menurut Kumar, dkk.

(2014) respon fisiologis yang ditimbulkan oleh tubuh terhadap kemunculan stres

ialah meningkatnya produksi ACTH (Adrenocorticotrophic hormone) dan kadar

kortisol.

Penelitian yang dilakukan oleh Hernawati (2013) menunjukkan bahwa SAR

tidak hanya disebabkan mikroorganisme tetapi juga disebabkan oleh sistem

psiko- neuroimunologis termasuk stres. Respon stres menyebabkan hipotalamus

memproduksi CRH kemudian CRH menstimulasi kelenjar pituitary untuk

melepaskan ACTH lalu ACTH akan menstimulasi korteks adrenal untuk

memproduksi kortisol. Glukokortikoid termasuk kortisol akan bekerja dengan

menekan fungsi imun seperti fungsi SIgA, IgG dan fungsi neutrofil. Penurunan

fungsi IgA akan mempermudah perlekatan mikroorganisme ke mukosa sehingga

mikroorganisme mudah invasi ke mukosa. Mikroorganisme akan sulit terfagosit

hingga kemudian akan terjadi infeksi sedangkan penurunan fungsi IgG akan

mempermudah terjadinya kondisi patologis karena adanya penurunan fagositosis,

sehingga toksin dan virus tidak bisa dinetralisir. Respon dari stres juga

menyebabkan glukokortikoid termasuk kortisol akan menimbulkan efek terhadap

sistem imun yaitu imunosupresi dan efek anti inflamasi. Kortisol yang menekan

fungsi SigA, IgG dan sel neutrofil akan menyebabkan mudah terjadi infeksi.

Menurut Widarti, dkk. (2012) dalam kondisi stres kadar kortisol di darah menjadi

tinggi karena semua leukosit termasuk limfosit mempunyai reseptor untuk


17

kortisol maka kortisol dapat memodulasi sistem imun, sehingga stres memiliki

kemungkinan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan SAR.

Depresi dalam bahasa psikologis klinis memiliki arti kumpulan beberapa

gejala emosional, fisik dan perilaku yang ditandai dengan adanya kesedihan,

perasaan rendah diri, tidak bahagia dan kesulitan dalam berkonsentrasi (Pinsky,

2010). Menurut WHO (2017) prevalensi depresi secara global pada tahun 2015

mencapai 4,4%. Prevalensi bervariasi menurut WHO, berdasarkan wilayah

prevalensi terendah depresi pada laki-laki di Pasifik Barat mencapai 2,6%

sedangkan prevalensi tertinggi pada wanita di Afrika mencapai 5,9%.

Patogenitas yang ditimbulkan depresi hingga menyebabkan SAR ialah adanya

IL-1β yang meningkat dalam darah dan cairan serebrospinal pada pasien depresi

sehingga genotip inflamasi Th1 yang telah diidentifikasikan akan membentuk IL-

1β (Rosa dkk., 2004). Menurut Bazrafshani, dkk. (2012) peningkatan jumlah IL-

1β, TNF-α dan genotip inflamasi Th1 berhubungan dengan perkembangan SAR.

Meskipun banyak sitokin yang diduga kuat berperan dalam etioimunologi SAR,

namun TNF- α dianggap berperan penting pada patogenesis penyakit SAR

sehingga dijadikan sebagai target terapi SAR. Hal ini terbukti dengan

penggunaan talidomid dan pentoxifyline yang diketahui efektif dalam mereduksi

aktivitas TNF- α dengan mengakselerasi RNA-messenger serta menghambat

produksi TNF-α (Yusran, dkk., 2011).

Menurut Azzahra, dkk. (2012) ansietas atau kecemasan merupakan perasaan


18

difus yang sangat tidak menyenangkan dan tidak menentu tentang sesuatu yang

akan terjadi. Prevalensi global ansietas menurut WHO (2017) pada tahun 2015

diperkirakan sekitar 3,6%. Sebanyak 7,7% dari populasi wanita diperkirakan

menderita gangguan kecemasan sedangkan pada laki-laki mencapai 3,6% di

Amerika. Kecemasan dan stres secara signifikan dikaitkan dengan SAR

karena dianggap mengarah pada peningkatan kortisol saliva yang akan memicu

aktivitas imunoregulasi (Mayanti, dkk., 2019).

Penelitian yang dilakukan oleh Widarti, dkk. (2012) menunjukkan bahwa

variabel psikologis (kecemasan dan depresi) memiliki hubungan yang

signifikan dengan kortisol, IFN-γ, TNF-α. Pada uji korelasi Pearson untuk

variabel kecemasan dengan kadar kortisol menghasilkan nilai signifikansi

sebesar 0,038, nilai tersebut kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa

kecemasan berkorelasi dengan kadar kortisol, selain itu uji korelasi Pearson

ansietas dengan TNF-α juga menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,006 yang

berarti kecemasan berkorelasi dengan kadar TNF-α. Uji korelasi Pearson depresi

dengan kadar kortisol menghasilkan nilai signifikan sebesar 0,033 yang

menunjukkan bahwa depresi berkorelasi dengan kadar kortisol. Uji korelasi

Pearson depresi dengan TNF-α juga menghasilkan nilai signifikan sebesar 0,010

sehingga dapat disimpulkan bahwa depresi berkorelasi dengan kadar TNF-α.

Terkait dengan stres psikologis terjadi sekresi sitokin proinflamasi (IL-1β, IFNγ,

TNF-α). Maes, dkk. (1998) juga menyatakan bahwa stres psikologis secara

signifikan meningkatkan produksi TNF-α, IFN-ℽ, IL-6, IL-10 dan IL-1Ra.


19

Menurut Widarti, dkk. (2012) sitokin proinflamasi tersebut akan memengaruhi

paraventriculer nucleus (PVN) di hipotalamus kemudian memproduksi

molekuler signal berupa Corticotropin Releasing Factors (CRF). Terkait hal ini

pasien yang mengalami (kecemasan dan depresi) dianggap memiliki hubungan

dengan respons biologis. Guimaraes, dkk. (2007) meneliti gen polimorfisme IL-

1β, IL-6, IL- 10, dan TNF-α dengan menggunakan hapusan lesi SAR. Gen

polimorfisme adalah genotipe sel yang membawa pola warisan sebelumnya. Gen

polimorfisme ini berkaitan dengan genetik khususnya DNA dan RNA suatu alel.

Hasilnya adalah peningkatan signifikan IL-1β dan TNF-α heterozigot pada

kelompok SAR.

3. Depression Anxiety Stress Scale-21

Depression Anxiety Stress Scale-42 dan Depression Anxiety Stress Scale-21

telah popular di kalangan peneliti dan praktisi dalam 20 tahun terakhir. Menurut

Lovibond & Lovibond (1995) skala DASS-21 merupakan bentuk versi pendek

dari skala DASS-42 sehingga dianggap lebih singkat dan mudah untuk

diimplementasikan. Kuesioner DASS-21 digunakan untuk menilai serta

mengetahui tingkat depresi, ansietas dan stres yang terdiri dari 21 pertanyaan

yang mengindikasikan gejala emosional negatif seseorang. Penelitian yang

dilakukan oleh Pezirkianidi, dkk. (2018) tentang skala DASS-21 yang dilakukan

pada populasi Yunani menunjukkan bahwa skala DASS-21 dapat dianggap

sebagai alat ukur depresi, ansietas dan stres yang handal dan valid.

Menurut Sukantarat, dkk. (2007) DASS-21 memiliki dua keunggulan jika


20

dibandingkan dengan skala ukur HAD, yaitu DASS-21 mampu menilai dimensi

tambahan dari stres yang tidak tercakup oleh skala HAD serta DASS-21

memiliki kemampuan konsistensi internal yang unggul. Tingkat konsistensi dari

DASS-21 sangat baik walaupun tidak setinggi DASS-42. Elemen depresi DASS-

21 memiliki tingkat konsistensi sebesar 0,81 pada elemen ansietas sebesar 0,73

dan pada elemen stres sebesar 0,81 Pelling dan Lorelle ( 2017). Validitas dari

DASS-21 sudah teruji secara internasional. Kuesioner DASS-21 memiliki nilai

reliabilitas yang baik yakni berkisar antara 0,82 sampai 0,97 dalam sampel klinik

dan non klinik (Henry & Crawford, 2005 ; Lovibond & Lovibond, 1995).

Skala DASS melakukan penilaian dalam 3 elemen yaitu tingkat depresi,

ansietas dan stres. Dalam DASS-21 masing-masing elemen memiliki 7

pertanyaan. Elemen depresi terdapat 7 domain yang dinilai dalam DASS-21 yaitu

dysphoria, anhedonia, inersia, keputusasaan, devaluasi kehidupan, devaluasi diri,

dan kurangnya pengembangan dengan 1 pertanyaan untuk masing-masing

domain. Elemen ansietas memiliki 4 domain yang dinilai yaitu, gairah otonom

sebanyak 3 pertanyaan, efek otot sebanyak 1 pertanyaan, kecemasan situasional

sebanyak 1 pertanyaan, dan pengalaman cemas sebanyak 2 pertanyaan. Elemen

stres memiliki 5 domain yang harus dinilai, yaitu kondisi wind down sebanyak 2

pertanyaan, gugup sebanyak 1 pertanyaan, perasaan mudah marah sebanyak 1

pertanyaan, terlalu sensitif sebanyak 2 pertanyaan, dan tidak sabar sebanyak 1

pertanyaan. Skoring dilakukan dengan menjumlahkan masing-masing skor dari


21

ketiga elemen. Skor total DASS-21 diperoleh dengan mengalikan dua untuk skor

setiap domainnya (Pelling dan Lorelle, 2017).

Rentang skor DASS dapat dilihat pada tabel.

Tingkat Depresi Kecemasan Stres


keparahan
Normal 0-9 0-7 0-14
Ringan 10-13 8-9 15-18
Sedang 14-20 10-14 19-25
Tinggi 21-27 15-19 26-33
Sangat Tinggi 28+ 20+ 34+

Klien akan diberi skor sesuai dengan keterangan :


0 = tidak pernah mengalami keluhan

1 = pernah mengalami

2 = beberapa kali pernah mengalami

3 = sering mengalami

(Pelling dan Lorelle, 2017).

4. Ulcer Severity Scale

Ulcer Severity Scale diperkenalkan oleh Tappuni, dkk. pada tahun 2013

sebagai suatu metode standar penilaian untuk mengukur perkembangan suatu

proses ulserasi pada stomatitis aftosa rekuren. Ulcer Severity Scale bertujuan

untuk melakukan penilaian terhadap keparahan penyakit bukan dirancang

untuk menetapkan suatu diagnosis Tappuni, dkk. (2013). Menurut


22

Challacombe, dkk. (2015) USS dapat membantu dalam proses pemantauan

perkembangan kondisi dari suatu ulkus, membantu dalam menilai efektivitas

dari suatu perawatan dan manajemen terhadap ulkus serta mudah untuk

digunakan. Parameter ini menilai perkembangan suatu ulkus dengan

mengukur penampakan klinis dari ulkus tersebut. Terdapat 6 karakteristik

ulkus yang diamati yaitu jumlah ulkus, ukuran ulkus, durasi, periode bebas

ulkus, lokasi dan nyeri yang ditimbulkan oleh ulkus. Skor total adalah

penjumlahan dari enam parameter skor (Tappuni dkk., 2013).

Penetapan skor dari masing-masing karakter terdiri dari ulkus yang <20,

diameter <20 mm, bertahan selama <5 minggu dan berulang dalam <10 minggu

dengan perhitungan skor sebagai berikut:

1. Jumlah : Skor disesuaikan dengan rata-rata jumlah ulkus per kemunculan

ulkus yang dialami pasien dalam 3 bulan terakhir dengan acuan jika pasien

mengalami rerata 4 ulkus akan mendapat skor 4. Skor maksimum ialah 20

diberikan kepada pasien dengan rerata lebih dari 10 ulkus.

2. Ukuran : Skor ukuran ulkus disesuaikan dengan ukuran rerata dalam satuan

milimeter. Apabila pasien menderita ulkus dengan ukuran rerata 5 mm maka

pasien tersebut akan mendapat nilai 5. Skor ulkus maksimum ialah 20

diberikan kepada pasien dengan ukuran rerata lebih dari 10 mm.

3. Durasi : Skor durasi disesuaikan dengan rerata durasi ulkus, yang dihitung

dalam unit ½ minggu yaitu ulkus yang berlangsung 10–11 hari (1½ minggu)

akan mendapat skor 3 dan ulkus yang berlangsung selama 5 minggu atau
23

lebih akan mendapat skor maksimal 10.

4. Periode bebas ulkus : Skor untuk parameter ini adalah 10 dikurangi rerata

periode bebas ulkus dalam beberapa minggu yaitu pasien yang tidak pernah

bebas dari ulkus akan mendapatkan skor maksimal 10. Pasien yang bebas

ulkus selama 4 minggu berturut-turut akan mendapat skor 6.

5. Lokasi : Skor untuk lokasi didasarkan pada letak ulkus. Kategori lokasi

ulkus dibedakan menjadi 2 yaitu mukosa yang berkeratin dan tidak

berkeratin. Mukosa yang tidak berkeratin seperti mukosa labial, bukal,

sulkus bukal, langit-langit lunak, permukaan ventral lidah, batas lateral lidah

dan dasar mulut akan diberikan skor 1 sedangkan bagian mukosa yang

berkeratin dan mukosa spesial seperti mukosa langit-langit keras, gingiva

cekat, alveolar ridge, dorsum lidah, tonsil, pilar fauces, uvula dan

oropharynx akan diberikan skor 2.

6. Nyeri : Rasa sakit yang terkait dengan munculnya ulkus akan diperkirakan

secara subjektif oleh pasien dengan skala 0 sampai 10. Skor 1 akan

diberikan jika ulkus menyebabkan sedikit ketidaknyamanan saja. Skor 10

akan diberikan jika rasa sakit menyiksa, mengganggu tidur, makan dan

berbicara (Tappuni, dkk., 2013).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tappuni, dkk. (2013) USS

menunjukkan penurunan yang signifikan dalam skor rerata perbandingan

sebelum dan sesudah pengobatan, hal ini membuktikan bahwa metode ini

cukup sensitif untuk mencerminkan perubahan tingkat keparahan penyakit dan


24

dapat berperan dalam menentukan kemanjuran suatu terapi.

B. Landasan Teori

Stomatitis aftosa rekuren merupakan ulkus yang terjadi pada rongga mulut

dengan ciri khas adanya rekurensi. Faktor predisposisi terjadinya stomatitis aftosa

rekuren diantaranya seperti defisiensi nutrisi misalnya zink, folat dan vitamin B12,

alergi makanan misalnya coklat, kopi, kacang tanah, sereal, almond, dan keju serta

faktor lain seperti faktor lingkungan dan genetik, trauma kimia atau fisik, hormonal,

infeksi, penyakit sistemik, dan faktor psikologis. Faktor psikologis yang dapat

berperan dalam kemunculan SAR ialah depresi, ansietas dan stres.

Depresi merupakan gejala emosional, fisik, dan perilaku. Patogenitas yang

ditimbulkan depresi hingga menyebabkan SAR ialah adanya IL-1β yang meningkat

dalam darah dan cairan serebrospinal pada pasien depresi. Ansietas merupakan

sebuah perasaan tidak menyenangkan dan tidak menentu tentang sesuatu atau

disebut dengan kecemasan. Patogenitas yang ditimbulkan oleh ansietas disebabkan

oleh peningkatan kortisol saliva yang akan memicu aktivitas imunoregulasi

sedangkan stres dapat menimbulkan trauma lokal yang dapat menyebabkan SAR.

Hal ini disebabkan oleh kebiasaan seseorang menggigit area mukosa ketika ia
25

mengalami stres, seperti mukosa bibir dan mukosa bukal karena tidak mampu

mengatasi stresor yang kemudian berdampak negatif terhadap kondisi fisik atau

mentalnya. Mekanisme lain yang ditimbulkan oleh stres berupa terjadi penurunan

sistem kekebalan tubuh yang akan menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi virus

atau bakteri yang dapat menimbulkan terjadinya SAR. Hal ini disebabkan oleh

respon stres yang menyebabkan hipotalamus memproduksi CRH, kemudian CRH

menstimulasi kelenjar pituitary untuk melepaskan ACTH, lalu ACTH akan

menstimulasi korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Kadar kortisol yang

lebih tinggi dan lebih lama dalam aliran darah telah terbukti memiliki efek negatif

bagi tubuh salah satunya berdampak pada proses penyembuhan luka yang akan

tertunda. Proses penyembukan luka yang tertunda berpotensi menjadi salah satu

faktor yang dapat menyebabkan keparahan ulkus. Glukokortikoid termasuk kortisol

yang akan menekan fungsi imun seperti fungsi SIgA, IgG dan fungsi neutrofil yang

berbeperan dalam proses fagositosis. Dalam kondisi stres psikologis secara

signifikan meningkatkan produksi TNF-α, IFN-ℽ,IL-6, IL-10 dan IL-1Ra. Pada

pasien SAR ditemukan adanya peningkatan IL-1β dan TNF-α terkait faktor

psikologis, neurologi akan menjadi aktif memproduksi dan mensekresi sitokin

proinflamasi (IL-1β,IFNγ, TNF-α). TNF-α diduga memiliki peran penting pada

patogenesis penyakit SAR.

Jika dilihat dari teori tersebut dapat diketahui bahwa faktor psikologis berupa

depresi, ansietas dan stres memiliki pengaruh terhadap proses penyembuhan luka

yang disertai penurunan sistem imun sehingga dapat mempengaruhi keparahan


26

SAR.

C. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis bahwa terdapat

hubungan antara faktor psikologis (depresi, ansietas dan stres) dengan keparahan

ulkus stomatitis aftosa rekuren.


III. METODE

PENELITIAN
A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik cross sectional.

Penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional merupakan penelitian untuk

mempelajari hubungan antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh dengan

pengukuran yang dilakukan dalam satu waktu yang sama (Notoatmojo, 2014).

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel Pengaruh : Faktor psikologis

2. Variabel Terpengaruh : Keparahan SAR

3. Variabel terkendali :

a. Memiliki riwayat SAR minimal 2 kali dalam setahun terakhir

b. Berusia 15-30 tahun

c. Pemakaian alat ortodontik

d. Pemakaian alat prostodontik

4. Variabel tidak terkendali :

a. Jenis kelamin

27
b. Genetik

c. Kondisi sistemik pasien

d. Status imunologi

e. Kondisi hormonal

28
29

C. Definisi Operasional

1. Faktor psikologis merupakan faktor yang mempengaruhi proses mental dan

perilaku individu meliputi depresi, ansietas dan stres. Alat ukur yang digunakan

ialah DASS-21. Prinsip skoring dengan cara menjumlahkan masing-masing skor

dari ketiga elemen. Skor total diperoleh dengan mengalikan dua untuk skor setiap

domain. Skor yang didapatkan akan dikategorikan berdasarkan rentang skor, maka

skala hasil pengukuran yang dihasilkan berupa skala interval.

2. Stomatitis aftosa rekuren adalah ulkus tunggal atau multipel, berukuran kecil,

berbentuk bulat atau oval, dengan dasar berwarna kuning keabuan, dikelilingi oleh

eritema halo yang biasanya terdapat pada area mukosa bibir, mukosa bukal, dasar

mulut, bagian langit-langit yang lunak, dan permukaan lidah yang halus, bersifat

kambuhan dan memiliki karakteristik terasa sakit. Tingkat keparahan SAR diukur

dengan menggunakan alat ukur USS. Prinsip skoring USS ialah dengan

menghitung skor berdasarkan karakteristik ulkus yang terdiri dari enam

karakteristik kemudian nilai masing-masing ulkus dijumlahkan untuk skor total

dengan rentang 0-60. Skala hasil pengukuran yang dihasilkan berupa skala

interval.

D. Subjek Penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian adalah individu yang tinggal di Provinsi D.I Yogyakarta

yang sedang mengalami SAR dan memiliki riwayat SAR minimal 2 kali dalam
30

satu tahun terakhir.

2. Teknik Sampling

Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel yaitu purposive sampling.

Teknik pengambilan sampel purposive sampling ialah teknik yang dilakukan

berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti sendiri yang sesuai dengan

tujuan penelitian (Notoatmojo, 2014).

3. Kriteria Inklusi

a. Usia 15-30 tahun

b. Memiliki riwayat SAR minimal 2 kali dalam satu tahun terakhir

c. Sedang mengalami SAR

d. Bersedia menjadi subjek penelitian

4. Kriteria Eksklusi

a. Menderita penyakit sistemik

b. Wanita hamil

c. Penggunaan kawat gigi (orthodontik)

d. Penggunaan Gigi Tiruan (Prostodontik)

5. Jumlah subjek penelitian

Perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus besar sampel dari Isaac dan

Michael (Sugiyono, 2007).


31

S = λ.N.P.Q

d2. (N – 1) + λ2 . P. Q

Ket :
S = Jumlah sampel yang dibutuhkan
λ2 = Dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%
P = Q = 0,5
D = 0,05
S = 1 . 100. 0,5 . 0,5

(0,05)2. (100 – 1) + (1)2 . 0,5 . 0,5

S = 100 . 0,25

0,0025 . (99) + 0,25

S = 25

0,2475 + 0,25

S = 25
0,4975

S = 50,25 = 51 orang.

Jumlah sampel penelitian minimal sebanyak 51 orang.


32

E. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

1. Lembar Informed Consent dan identitas responden

2. Lembar kuesioner RASDX

3. Lembar kuesioner DASS-21

4. Lembar kuesioner USS

5. Alat tulis

6. Diagnostik set

F. Alat Ukur Penelitian

1. Kuesioner RASDX

Kuesioner RASDX adalah kuesioner yang digunakan untuk mendeteksi SAR

pada individu. Penelitian oleh Baccaglini, dkk. (2013) menyatakan bahwa

RASDX memiliki kinerja yang sangat baik dalam medeteksi SAR. Seseorang

akan diklasifikasikan ke dalam RASDX positif apabila menjawab “YA” pada Q2,

menjawab “YA” pada lima pertanyaan di bagian 2 (kriteria mayor), dan

menjawab “YA” minimal tujuh dari 12 pertanyaan di bagian 3 (kriteria minor).

Peserta juga harus mengenali setidaknya satu dari 4 foto SAR yang disediakan.

2. Kuesioner DASS-21

Faktor psikologis pada subjek diukur dengan menggunakan kuesioner DASS-

21 yang terdiri dari 21 pertanyaan. Menilai 3 elemen emosional yaitu tingkat


33

depresi, ansietas dan stres. Masing-masing elemen memiliki 7 pertanyaan. Pada

elemen depresi terdapat 7 domain yang dinilai. Tujuh domain tersebut ialah

dysphoria, anhedonia, inersia, keputusasaan, devaluasi kehidupan, devaluasi diri,

dan kurangnya pengembangan, dengan 1 pertanyaan untuk masing-masing

domain.

Pada elemen ansietas terdapat 4 domain yang dinilai yaitu, gairah otonom

sebanyak 3 pertanyaan, efek otot sebanyak 1 pertanyaan, kecemasan situasional

sebanyak 1 pertanyaan, dan pengalaman cemas sebanyak 2 pertanyaan. Pada

elemen stres terdapat 5 domain yang harus dinilai yaitu, kondisi wind down

sebanyak 2 pertanyaan, gugup sebanyak 1 pertanyaan, perasaan mudah marah

sebanyak 1 pertanyaan, terlalu sensitif sebanyak 2 pertanyaan, dan tidak sabar

sebanyak 1 pertanyaan Pelling dan Lorelle (2017). Skoring dilakukan dengan

menjumlahkan masing-masing skor dari ketiga elemen. Skor total diperoleh

dengan mengalikan dua dari skor setiap domainnya. Klien akan diberi skor sesuai

dengan keterangan :

0 = tidak pernah mengalami keluhan.

1 = pernah mengalami.

2 = beberapa kali pernah mengalami.

3 = sering mengalami.
34

Rentang skor DASS dapat dilihat pada tabel.

Tingkat Depresi Kecemasan Stres


keparahan
Normal 0-9 0-7 0-14
Ringan 10-13 8-9 15-18
Sedang 14-20 10-14 19-25
Tinggi 21-27 15-19 26-33
Sangat Tinggi 28+ 20+ 34+

3. Kuesioner USS

Keparahan SAR diukur dengan menggunakan kuesioner USS. Kuesioner ini

menilai SAR dengan mengamati 6 aspek berikut ini :

1. Jumlah : Skor disesuaikan dengan rata-rata jumlah ulkus per kemunculan

ulkus yang dialami pasien dalam 3 bulan terakhir dengan acuan jika pasien

mengalami rerata 4 ulkus akan mendapat skor 4. Skor maksimum ialah 20

diberikan kepada pasien dengan rerata lebih dari 10 ulkus.

2. Ukuran : Skor ukuran ulkus disesuaikan dengan ukuran ulkus rerata dalam

satuan milimeter. Apabila pasien menderita ulkus dengan ukuran rerata 5

mm maka pasien tersebut akan mendapat nilai 5. Skor maksimum ialah 20

diberikan kepada pasien dengan ukuran rerata lebih dari 10 mm.

3. Durasi : Skor durasi disesuaikan dengan rerata durasi ulkus, yang dihitung

dalam unit ½ minggu yaitu ulkus yang berlangsung 10–11 hari (1½ minggu)
35

akan mendapat skor 3 dan ulkus yang berlangsung selama 5 minggu atau

lebih akan mendapat skor maksimal 10.

4. Periode bebas ulkus : Skor untuk parameter ini adalah 10 dikurangi rerata

periode bebas ulkus dalam beberapa minggu yaitu pasien yang tidak pernah

bebas dari ulkus akan mendapatkan skor maksimal 10 tetapi pasien yang

bebas ulkus selama 4 minggu berturut-turut akan mendapat skor 6.

5. Lokasi : Skor untuk lokasi didasarkan pada letak ulkus. Kategori lokasi

ulkus dibedakan menjadi 2 yaitu mukosa yang berkeratin dan tidak

berkeratin. Mukosa yang tidak berkeratin seperti mukosa labial, bukal,

sulkus bukal, langit-langit lunak, permukaan ventral lidah, batas lateral lidah

dan dasar mulut akan diberikan skor 1 sedangkan bagian mukosa yang

berkeratin dan mukosa spesial seperti mukosa langit-langit keras, gingiva

cekat, alveolar ridge, dorsum lidah, tonsil, pilar fauces, uvula dan

oropharynx akan diberikan skor 2.

6. Nyeri : Rasa sakit yang terkait dengan munculnya ulkus akan diperkirakan

secara subjektif oleh pasien dengan skala 0 sampai 10. Skor 1 akan

diberikan jika ulkus menyebabkan sedikit ketidaknyamanan saja dan skor

10 akan diberikan jika rasa sakit itu menyiksa, mengganggu tidur, makan

dan berbicara (Tappuni, dkk., 2013).

G. Jalannya Penelitian

1. Ethical clearance
36

Ethical clearance dikeluarkan oleh bagian Etika dan Advokasi Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada untuk menentukan bahwa penelitian

yang akan dilakukan telah sesuai dengan etika penelitian.

2. Waktu dan tempat penelitian.

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober tahun 2021 di

Praktek Dokter Gigi Swasta di wilayah kota Yogyakarta.

3. Perijinan tempat penelitian

Surat perijinan tempat penelitian dikeluarkan oleh pemilik Praktek Dokter

Gigi Swasta.

4. Kuesioner penelitian

Kuesioner yang harus disiapkan dalam penelitian ini ialah:

a. Kuisioner penjaringan SAR (kuesioner RASDX)

b. Kuesioner DASS-21

c. Kuesioner USS

5. Subjek menjalankan prosedur skrining terkait Covid-19.

Prosedur skrining terkait Covid-19 meliputi pengisian formulir skrining dan

pengecekan suhu tubuh menggunakan termometer.

6. Penjelasan mengenai tujuan, manfaat dan jalannya penelitian kepada subjek.

Penjelasan ini akan dilakukan secara lisan oleh peneliti kepada subjek.

7. Pemberian kuesioner penjaringan RASDX

Tujuan diberikannya kuisioner penjaringan RASDX ialah untuk membantu

dalam penetapan subjek.


37

8. Pengisian Informed Consent oleh subjek penelitian.

9. Asesmen subjek menggunakan DASS-21 dan USS oleh penelitian.

Pasien diminta mengisi kuesioner DASS-21 dan akan dilakukan pemeriksaan

klinis menggunakan instrumen USS. Interaksi dengan subjek dilakukan secara

langsung dengan pembatasan waktu kontak maksimal 45 menit untuk wawancara

dan pengisian kuesioner, lalu 15 menit untuk pemeriksaan klinis.

10. Pengumpulan data dan analisis data

Data diambil dengan cara melakukan wawancara sesuai dengan kuesioner

yang dipakai serta pemeriksaan klinis untuk mengukur 6 karakteristik ulkus. Data

yang diperoleh berupa nilai skoring dari kuesioner DASS-21 dan USS. Data

kemudian diolah dengan menggunakan komputer dan dilakukan uji statistik.

H. Analisis Data

Data dari hasil penelitian ini adalah data kuantitatif yang diolah melalui

komputer dengan menggunakan software. Dilakukan uji normalitas menggunakan

Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas dengan Levene. Apabila data

terdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan uji korelasi parametrik

Pearson untuk menguji korelasi antara masing-masing faktor psikologis (depresi,

ansietas dan stres) dengan keparahan SAR. Apabila data tidak terdistribusi normal

atau tidak homogen maka akan dilakukan transformasi data.

I. Protokol Kesehatan

1. Prosedur desinfeksi alat kerja


38

Prosedur desinfeksi alat kerja dilakukan oleh peneliti di klinik sesuai dengan

prosedur desinfeksi alat yang meliputi cleaning dan dekontaminasi, sterilisasi

menggunakan autoclave, dan prosedur akhir packaging.

2. Prosedur desinfeksi area kerja

Prosedur desinfeksi area kerja dengan rutin menyemprotkan cairan

desinfeksi pada area kerja yang meliputi unit dental chair setiap akan memulai

prosedur pemeriksaan dan setelah selesai pemeriksaan klinis.

3. Pengaturan jarak fisik

Dikarenakan penelitian berupa pemeriksaan klinis dan wawancara maka

jarak fisik tidak dapat ditentukan secara pasti. Kami telah mengupayakan usaha

pencegahan penyebaran infeksi Covid-19 dengan tetap mematuhi protokol

kesehatan sesuai standar operasional yang berlaku serta melakukan pembatasan

waktu kontak maksimal waktu penelitian 1 jam per orang.

4. Tindakan kebersihan

Tetap menjaga tindakan kebersihan diawali dengan penerapan konsep cuci

tangan bagi peserta dan peneliti yang akan melakukan kegiatan penelitian.

Mencuci tangan dilakukan di wastafel. Setelah memegang benda ataupun

permukaan peserta dan peneliti dianjurkan untuk menggunakan handsanitizer atau

handrub yang tersedia di klinik. Peserta dan peneliti tetap menggunakan masker

selama prosedur wawancara dan hanya melepas masker ketika dilakukan

pemeriksaan klinis.

5. Alat Pelindung Diri


39

Alat pelindung diri yang digunakan oleh peneliti meliputi : gown, masker

medis, headcap, faceshield, glove, dan sepatu boots. Perlengkapan disiapkan

secara mandiri. Perlengkapan seperti gown, masker medis, glove dan headcap

merupakan APD jenis sekali pakai, sehingga setelah digunakan APD langsung

dibuang pada tempat yang telah disediakan atau dimasukkan ke tempat sampah

medis.

6. Transportasi peserta

Peserta datang ke klinik menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan

umum yang jumlah penumpangnya dibatasi seperti ojek online. Setelah peserta

sampai di klinik kemudian peserta akan dipandu oleh peneliti untuk mengikuti

prosedur yaitu melakukan prosedur cuci tangan, pengecekan suhu, penjelasan

prosedur, manfaat dan tujuan penelitian, pengisian kuesioner RASDX dan

pengisian informed consent, kemudian melakukan prosedur wawancara, dan

dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis.


40

J. Alur Penelitian

Melakukan prosedur skrining Covid-19

Penjelasan tujuan, manfaat dan jalannya penelitian

Pengisian kuesioner RASDX dan informed consent

Asesmen subjek menggunakan DASS-21 dan USS

Pengumpulan data

Analisis data
41

IV. HASIL PENELITIAN

DAN

PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian

Penelitian ini menggunakan subjek laki-laki atau perempuan yang

berusia 15-30 tahun dan memiliki riwayat stomatitis aftosa rekuren yang

berulang serta memenuhi kriteria berdasarkan kuesioner RASDX.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dengan

pengisian kuesioner untuk menggali riwayat SAR dan tahap kedua dengan

melakukan pemeriksaan klinis pada subjek. Asesmen yang dilakukan tidak

hanya menggali riwayat SAR pada subjek, riwayat SAR keluarga dan terkait

menstruasi pada subjek perempuan, namun juga data demografik seperti jenis

kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan terakhir, status perkawinan, dan jumlah


42

anak. Penelitian menunjukkan sebanyak 18 (35,29%) subjek memiliki riwayat

keluarga penderita SAR dari ayah, ibu, kakak, adik atau adik dari ayah.

Beberapa subjek perempuan merasakan SAR berkaitan dengan masa

menstruasi mereka. Sebanyak 12 (23,52%) subjek perempuan tersebut

mengalami SAR pada saat menjelang menstruasi, sesudah menstruasi dan saat

mengalami menstruasi.

Tabel 1. Data demografik subjek penelitian

Data Demografik n = 51 subjek Persentase

Jenis Kelamin
Perempuan 36 70,59%
Laki-laki 15 29,42%
Usia
15-19 tahun 8 15,69%
20-24 tahun 36 70,59%
25-30 tahun 7 13,72%
Pendidikan Terakhir
SMP 2 3,92%
SMA 31 60,78%
D3 2 3,92%
D4 1 1,96%
S1 13 25,49%
S2 2 3,92%
Pekerjaan
43

Siswa 2 3,92%
Mahasiswa 28 54,90%
Mahasiswa Profesi 8 15,69%
Karyawan swasta 7 13,73%
Staf Rumah sakit 2 3,92%
PNS (Guru, Dosen) 2 3,92%
Psikolog 1 1,96%
UMKM (Usaha Mikro Kecil dan 1 1,96%
Menengah)
Status Pernikahan
Menikah 3 5,88%
Belum menikah 48 94,11%
Anak / Jumlah anak
Memiliki 2 (1 orang anak) 3,92%
Tidak memiliki 49 96,08%

Faktor psikologis diukur menggunakan kuesioner DASS-21 yang terdiri dari 3

elemen yaitu depresi, ansietas dan stres. Skor yang diperoleh setiap subjek

pada masing-masing elemen dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data subjek berdasarkan skoring kuesioner DASS-21

Depresi Ansietas Stres


Tingkat
Skor N % Skor n % Skor n %
Keparahan
Normal 0-9 25 49 0-7 13 25,5 0-4 31 60,78

Ringan 10-13 12 23,53 8-9 3 5,58 15-18 13 25,49

Sedang 14-20 14 27,46 10-14 17 33,3 19-25 7 13,72


44

Berat 21-27 0 0 15-19 10 15,7 26-33 0 0

Sangat 28+ 0 0 20+ 8 0 34+ 0 0


Berat

Berdasarkan tabel diatas sebanyak 26 (50,98%) subjek mengalami

depresi ringan dan sedang, sebanyak 38 (74,50%) subjek mengalami ansietas

ringan hingga sangat berat, dan 20 (39,21%) subjek mengalami stres ringan

dan sedang.

Tingkat keparahan SAR diukur dengan parameter kuesioner USS.

Parameter meliputi rerata jumlah ulkus, ukuran ulkus, durasi ulkus, periode

bebas ulkus, lokasi ulkus dan persepsi nyeri. Data subjek berdasarkan

kuesioner USS dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data subjek berdasarkan skoring kuesioner USS

No. Kriteria Hasil


Keparahan
Jumlah ulkus pada 1x episode :
1. Jumlah Terbanyak : 9 ulkus
Tersedikit : 1 ulkus
Rerata jumlah ulkus : 2,17 (2-3 ulkus)
Ukuran ulkus pada 1x episode :
2. Ukuran Terbesar : 10 mm
Terkecil : 1 mm
Rerata ukuran ulkus : 4,4 mm
45

3. Durasi Durasi ulkus pada 1x episode :


Paling cepat : ½ minggu
Paling lama : 4-5 minggu
Rata-rata : 1 ½ minggu
4. Free disease Periode bebas ulkus pada 1x episode :
Periode bebas ulkus terpendek : skor 10
(hampir tidak pernah bebas dari ulkus)
Periode bebas ulkus terpanjang : skor 0 (bebas
dari ulkus lebih dari 3 bulan terakhir)
5. Nyeri Persepsi nyeri pada 1x episode :
Nyeri maksimal : 10/10
Nyeri minimal : 0/10
Rata-rata nyeri : 5,71
6. Lokasi Kategori lokasi mukosa nonkeratin
Mukosa bukal : 16 kasus
Mukosa labial : 24 kasus
Dasar mulut : 2 kasus
Lateral lidah : 5 kasus
Trigonum retromolar : 1 kasus
Kategori lokasi mukosa keratin
Mukosa gingiva : 9 kasus
Dorsum lidah : 6 kasus
Tipe SAR
 minor 47 orang (92,16%)
 mayor 4 orang (7,84%)
 herpetiform 0

Untuk memastikan data terdistribusi normal dan homogen, dilakukan uji

normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas Levene pada data

masing-masing faktor psikologis, yaitu skor total faktor depresi, ansietas dan

stres dengan skor total keparahan ulkus. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Data hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dan uji


homogenitas Levene

Uji Kolmogorov-Smirnov Uji Levene


(p-value) (p-value)
46

Faktor Depresi 0,881 0,120

Faktor Ansietas 0,967 0,385

Faktor Stres 0,905 0,949

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pada hasil uji normalitas

Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas Levene menunjukkan nilai

p>0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal dan

homogen.

Setelah semua data terdistribusi normal dan homogen, maka dilanjutkan

dengan uji korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara faktor

psikologis depresi, ansietas dan stres dengan keparahan ulkus stomatitis aftosa

rekuren. Hasil masing-masing uji korelasi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Data hasil uji korelasi Pearson antara variabel depresi,


ansietas dan stres dengan keparahan ulkus SAR

Koefisien
Korelasi P-value (Sig) Kesimpulan
Pearson (r)
0,136 0,342 Tidak ada
Depresi
korelasi
0,258 0,067 Tidak ada
Ansietas
korelasi
Stres 0,359 0,010*) Korelasi
47

sedang positif

Sebaran skor USS dengan depresi, ansietas dan stres berdasarkan rerata

dan standar deviasi dapat dilihat pada diagram berikut.

Depresi Ansietas Stres

23.38

22.57
22.33

22.8
21.93

21.5
20.61

22
20.31

19.77
19
Skor rerata

0
No r m al Ri n gan Sed an g B er at S an gat B er at

Kategori

Gambar 1. Diagram rerata skor USS pada berbagai kondisi depresi, ansietas dan
stres

Berdasarkan diagram di atas dapat dilihat bahwa rerata keparahan ulkus

terendah terjadi pada tingkat keparahan depresi normal. Terjadi peningkatan

nilai rerata keparahan ulkus yang signifikan dari tingkat keparahan depresi

normal, ringan, hingga sedang. Skor rerata keparahan ulkus terendah pada

ansietas terjadi pada individu dengan tingkat ansietas normal atau tidak

mengalami ansitas dibandingkan dengan tingkat ansietas lainnya. Rerata


48

keparahan ulkus terendah pada stres terjadi pada individu dengan tingkat stres

normal atau tidak mengalami stres dibandingkan dengan tingkat stres ringan

dan sedang.

B. Pembahasan

Penelitian dilakukan pada penderita SAR yang berdomisili di D.I

Yogyakarta sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditetapkan.

Hasil penelitian menunjukkan dari 51 subjek yang menderita SAR, 36 subjek

merupakan perempuan dan 15 subjek merupakan laki-laki yang berarti SAR


49

lebih banyak dialami oleh perempuan dari pada laki-laki. Sesuai dengan teori

yang dikemukakan oleh Tarakji, dkk. (2015) bahwa SAR lebih banyak terjadi

pada perempuan. Sulistiani, dkk. (2017) juga melaporkan SAR terjadi paling

banyak pada perempuan mulai dari usia 12-24 tahun yang merupakan usia

pubertas. Perubahan mencolok akan terjadi ketika individu memasuki usia

pubertas yang meliputi perubahan fisiologis maupun perubahan psikologis.

Berdasarkan data kuesioner DASS-21 pada subjek perempuan terdapat

sebanyak 19 (37,25%) orang menderita depresi ringan hingga sedang dengan

rentang skor 10-16, sebanyak 28 (54,90%) orang menderita ansietas ringan

hingga sangat berat dengan rentang skor ansietas 8-22 dan sebanyak 14

(27,45%) orang menderita stres ringan hingga sedang dengan skor stres antara

16-24. Perubahan fisiologis yang terjadi pada perempuan saat memasuki fase

pubertas salah satunya ialah perubahan hormon tubuh. Menurut Balan, dkk.

(2012) SAR sering terjadi pada perempuan karena perempuan mengalami

perubahan hormon saat menstruasi yang menjadikan mukosa mulut lebih

rentan mengalami kerusakan. Menurut Porter, dkk. (1998) pada fase luteal

menstruasi wanita terjadi penurunan kadar hormon progesteron. Teori yang

dikemukakan oleh (Utami, dkk. 2018) menyebutkan bahwa kadar progesteron

yang rendah dapat merangsang prostaglandin yang merupakan mediator

inflamasi. Kondisi ini dapat mengakibatkan penurunan fungsi anti inflamasi

sehingga rentan terjadi SAR. Pada penelitian ini sebanyak 12 subjek

perempuan merasakan bahwa kejadian SAR yang mereka alami terkait dengan
50

siklus menstruasi yang mereka yaitu baik sebelum, saat menstruasi atau

sesudah menstruasi.

Rentang usia pada 51 subjek yaitu 17-29 tahun. Hasil ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Nurdiana dan Jusri (2011) bahwa SAR

terjadi sekitar 80% pada usia kurang dari 30 tahun. Abdulllah (2013)

menyatakan bahwa tingkat kejadian SAR tertinggi terjadi pada rentang usia

20-29 tahun. Chavan, dkk. (2012) mengemukakan munculnya SAR mencapai

puncaknya saat usia 20 tahun dan frekuensinya menurun seiring dengan

pertambahan usia. Menurut Masriadi (2019) episode pertama SAR sering

dimulai pada usia dewasa muda atau dekade kedua kehidupan. Hal ini

kemungkinan dikarenakan pada rentang usia tersebut individu mengalami fase

peralihan kehidupan. Fase baru kehidupan yang harus dihadapi seperti tingkat

pendidikan dan adanya tuntutan pekerjaan. Sebanyak 51 subjek yang

mengikuti penelitian ini, 26 (50,98%%) subjek mengalami depresi ringan dan

sedang, 38 (74,50%) subjek mengalami ansietas ringan hingga sangat berat,

dan 20 (39,21%) subjek mengalami stres ringan dan sedang. Faktor yang

berpengaruh pada kondisi tersebut dapat berasal dari pekerjaan dan

pendidikan subjek. Berdasarkan penelitian ini seluruh subjek menempuh

Pendidikan formal dengan 2 subjek merupakan lulusan SMP, 31 subjek

lulusan SMA, dan 18 subjek hingga Pendidikan tinggi. Jika dilihat

berdasarkan data pekerjaan mayoritas subjek berstatus siswa/mahasiswa

sebanyak 38 subjek, kemudian sebanyak 13 subjek merupakan pekerja dengan


51

latar belakang profesi yang berbeda. Berdasarkan data dapat dilihat bahwa

tingkat pendidikan kemungkinan berpengaruh terhadap kondisi psikologis,

serta rekurensi SAR kemungkinan berhubungan dengan kondisi psikologis

pada berbagai tingkat pendidikan dan tekanan pekerjaan. Hasil ini didukung

oleh teori Soesilowati dan Annisa (2016) menyebutkan bahwa usia dewasa

muda merupakan fase peralihan yang paling sulit untuk dilalui oleh individu.

Masa ini dikenal sebagai fase yang paling kritis bagi perkembangan tahap

selanjutnya, sehingga individu memiliki tekanan hidup yang dapat

mempengaruhi keseimbangan psikologis.

Hasil penelitian dengan menggunakan instrumen USS menunjukkan

subjek memiliki karakteristik dari SAR. Menurut Thantawi, dkk. (2014)

karakteristik SAR meliputi ulkus yang berbentuk bulat dengan pinggiran

dikelilingi eritematousa dengan dasar lesi berwarna kuning keabuan dan

adanya ketidaknyaman atau rasa sakit bahkan dapat mengganggu fungsi oral.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan tipe SAR yang paling banyak

dialami yaitu SAR tipe minor sebanyak 47 orang (92,16%), tipe mayor

sebanyak 4 orang (7,84%) dan tidak ditemukan SAR tipe herpetiform. Jumlah

ulkus minimal yang ditemukan pada subjek selama satu kali episode

kekambuhan ialah 1 ulkus dan jumlah ulkus maksimal ialah 9 ulkus. Nilai

rerata yang diperoleh untuk jumlah ulkus adalah 2,71 atau sekitar 2-3 ulkus

dengan rerata ukuran ulkus 4,4 mm. Karakteristik SAR yang ditemukan pada

penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa SAR minor
52

memiliki rentang jumlah 1 hingga 5 ulkus pada satu kali episode kekambuhan

serta ukuran diameter <10 mm, sedangkan SAR mayor memiliki ukuran

diameter >10 mm (Tarakji, dkk. 2014 ; Edgar, dkk. 2017). Hasil ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Warnakulasuriya dan Tilakaratne (2013)

bahwa jenis SAR yang paling banyak terjadi ialah SAR minor. Hal ini

kemungkinan berkaitan dengan karakteristik lokasi predileksi SAR minor

yang memiliki lokasi predileksi pada mukosa nonkeratin. Menurut Barath

(2019) mukosa nonkeratin tidak memiliki lapisan granula dan lapisan stratum

korneum yang berfungsi sebagai lapisan pelindung, sehingga akan lebih

rentan terjadi SAR. Berbeda dengan mukosa mulut yang berkeratin, menurut

Groeger, dkk. (2019) bahwa mukosa mulut berkeratin memiliki 4 lapisan yaitu

stratum basale, stratum spinosum, stratum granulosum dan stratum korneum

yang merupakan lapisan terluar. Karakteristik SAR lainnya yang ditemukan

pada subjek ialah adanya persepsi nyeri. Pada penelitian ini didapatkan skor

terendah untuk persepsi nyeri ialah 0 dan skor tertinggi ialah 10 dengan skor

rerata nyeri ialah 5,71 yang berarti nyeri berada dalam rentang skor 5-6.

Berdasarkan teori oleh Pakpahan dan Elly (2021) apabila skor tersebut

dikategorikan berdasarkan skor Numeric Rating Scale (NRS), maka skor nyeri

termasuk kedalam kategori nyeri sedang yang tidak sampai mengganggu

kegiatan individu, namun individu merasakan nyeri. Periode bebas ulkus

terlama mendapat skor 0 yang berarti subjek tidak mengalami SAR >4

minggu, sedangkan periode terpendek bebas ulkus mendapat skor 10 yang


53

berarti subjek hampir tidak pernah terbebas dari ulkus. Hasil ini kemungkinan

dikarenakan terdapat faktor predisposisi seperti faktor psikologis dan herediter

yang dapat meningkatkan rekurensi SAR pada subjek. Berdasarkan data

kuesioner DASS-21 subjek dengan skor periode bebas ulkus 10 memiliki

rentang skor stres sebesar 24 yang termasuk dalam kategori stres sedang, skor

ansietas 20 termasuk dalam kategori ansietas sangat berat dan skor depresi

sebesar 16 yang termasuk dalam kategori depresi sedang. Hal ini

menunjukkan bahwa subjek memiliki faktor psikologis yang kemungkinan

berhubungan dengan keparahan SAR yang dialami subjek tersebut. Sebanyak

18 (35,29%) subjek menyatakan memiliki riwayat keluarga yang menderita

SAR, hal ini menjukkan bahwa faktor herediter kemungkinan memiliki peran

dalam keparahan SAR. Penelitian yang dilakukan oleh Huling, dkk. (2013)

menunjukkan bahwa faktor stres memiliki pengaruh terhadap episode dan

durasi kemunculan SAR. Teori yang dikemukakan oleh Akintoye (2014)

menyebutkan bahwa faktor herediter dapat menimbulkan SAR dengan gejala

yang lebih parah dan frekuensi kekambuhan yang lebih tinggi. Durasi rerata

ulkus pada penelitian ini ialah pada skor 3 atau sekitar 1½ minggu sesuai

dengan teori yang dinyatakan oleh Matute dan Alonso (2011) bahwa durasi

SAR minor ialah 1-2 minggu. Menurut Scully, dkk. (2010) lama

penyembuhan ulkus antara 7 hingga 10 hari dengan interval rekurensi terjadi

antara 1 hingga 4 bulan. Lama durasi SAR berkaitan dengan turnover mukosa

mulut yang merupakan perbandingan antara sel basal-parabasal, sel


54

intermediet, dan sel superfisial. Sel basalis yang matur akan berdiferensiasi

menjadi sel intermediet pada saat terjadi proses turnover, kemudian sel

intermediet akan berdiferensiasi menjadi sel superfisial. Sel superfisial

merupakan lapisan terluar dari epitel (Roland, dkk., 2002). Menurut Santoso,

dkk. (2013) turnover mukosa mulut terjadi selama 14 hari atau sekitar 2

minggu. Teori yang dimukakan oleh Margaret, dkk. (2019) menyebutkan

bahwa secara keseluruhan turnover mukosa mulut berkisar antara 4 hingga 24

hari, namun pada mukosa nonkeratinisasi turnover terjadi 1,5 kali lebih cepat

atau sekitar 4 hingga 16 hari. Lokasi ulkus yang paling sering dijumpai pada

penelitian ini ialah pada mukosa labial dan mukosa bukal yang merupakan

mukosa nonkeratinisasi. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Bernal, dkk. (2020) bahwa lokasi predileksi SAR minor ialah pada mukosa

nonkeratinisasi seperti pada mukosa labial, mukosa bukal, ventral lidah dan

dasar mulut. Menurut Bharath (2019) pada mukosa nonkeratinisasi tidak

terdapat lapisan stratum korneum yang berfungsi sebagai lapisan pelindung

yang melindungi lapisan yang lebih dalam. Terdapat dua komponen stratum

korneum yang berperan dalam fungsi proteksi yaitu matriks lipid ekstraseluler

dan korneosit. Matriks lipid ekstraselular berfungsi mengatur permeabilitas,

memiliki aktivitas peptida antimikroba dan mengeluarkan racun. Korneosit

berfungsi mempertahankan hidrasi, memberikan penguatan mekanis,

melindungi sel-sel yang aktif dari kerusakan, mengatur inisiasi peradangan

yang diperantarai oleh sitokin (Egawa, dkk, 2018; Goleva, dkk., 2019; Bosko,
55

dkk., 2019; Maarouf, dkk., 2019).

Hasil uji korelasi Pearson antara skor depresi dengan skor USS

menunjukkan nilai signifikansi yaitu (p>0,05) yang berarti secara statistik

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara skor depresi dengan skor

keparahan ulkus SAR. Meskipun demikian, diagram hubungan antara tingkat

depresi dengan keparahan SAR menunjukkan skor USS terendah pada subjek

dengan depresi normal dibandingkan subjek dengan tingkat depresi ringan

maupun sedang. Hasil ini menunjukkan meskipun hubungan secara statistik

kurang bermakna, namun terdapat hubungan antara depresi dengan keparahan

SAR. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Gavic, dkk. (2014) bahwa

depresi mempengaruhi keparahan SAR terutama pada durasi dan frekuensi.

Temuan dalam penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Dhopte, dkk.

(2018) yang menunjukkan tingkat depresi pada pasien SAR tinggi, namun

tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara depresi

dan SAR.. Webb dkk. (2013) melaporkan bahwa SAR tidak berhubungan

dengan depresi, namun penderita SAR mengalami gejala depresi seperti

gangguan tidur, hilang nafsu makan, merasa cepat lelah, namun jarang yang

mengalami tanda depresi berat seperti perasaan sedih, pemikiran untuk bunuh

diri, serta susah konsentrasi. Hasil uji statistik ini kemungkinan terkait dengan

rentang usia subjek. Menurut WHO (2017) depresi mencapai puncak dan

lebih sering terjadi pada rentang usia 55-74 tahun, sedangkan subjek pada

penelitian ini memiliki rentang usia 15-30 tahun.


56

Pada penelitian ini hasil uji korelasi Pearson ansietas dengan

keparahan SAR menunjukkan nilai signifikansi (p>0,05) yang berarti secara

statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan antara anseitas dengan

keparahan SAR. Temuan lainnya berdasarkan diagram menunjukkan subjek

dengan tingkat ansietas normal memiliki nilai rerata yang paling rendah

dibandingkan pada subjek dengan tingkat ansietas lainnya. Diagram juga

menunjukkan bahwa rerata keparahan SAR pada masing-masing tingkat

ansietas berbeda. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara ansietas dengan

keparahan SAR. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh

Dhopte, dkk. (2018) yang menunjukkan tingkat ansietas pada pasien SAR

tinggi, namun tidak menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik

antara ansietas dengan keparahan SAR. Vassandracoumara dan Daniel (2017)

menyatakan bahwa ansietas berperan dalam patogenesis SAR. Penelitian oleh

Nadendla, dkk. (2015) menunjukkan bahwa uji korelasi Pearson antara

kecemasan dan kortisol memiliki korelasi yang sangat positif, sehingga

ansietas kemungkinan berperan pada patogenesis SAR. Penelitian oleh

Cartan, dkk. (1996) menunjukkan hasil kadar kortisol dan ansietas memiliki

hubungan negatif. Menurut Cartan, dkk. (1996) perbedaan ini kemungkinkan

dikarenakan tingkat kecemasan yang berbeda pada setiap individu. Hasil ini

juga kemungkinan dipengaruhi oleh rentang usia subjek. WHO (2017)

menyebutkan tingkat ansietas mengalami penurunan pada rentan usia 15-29

tahun, lalu mengalami peningkatan pada rentang usia 30-49 tahun dan
57

kemudian mengalami penurunan kembali pada usia 50 tahun keatas.

Uji korelasi Pearson skor stres dengan skor USS menunjukkan nilai

signifikansi (p<0,05) yang berarti secara statistik terdapat hubungan yang

bermakna antara stres dengan keparahan SAR. Nilai korelasi Pearson yang

diperoleh sebesar 0,359. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sharma

(2005) nilai tersebut termasuk kedalam kategori korelasi derajat sedang

positif. Temuan lain terdapat pada diagram yang menunjukan nilai rerata

keparahan SAR lebih rendah pada tingkat stres normal dari pada tingkat stres

lainnya. Hal ini memperkuat bukti bahwa stres memiliki hubungan dengan

keparahan SAR. Hasil ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ajmal,

dkk. (2018) bahwa stres memiliki hubungan yang erat dengan SAR. Huling,

dkk. (2012) melaporkan stres berperan penting dalam perkembangan SAR.

Hubungan antara stres dengan keparahan SAR kemungkinan berkaitan dengan

adanya perubahan respon imun mukosa mulut dikarenakan kondisi stres

dianggap dapat menginduksi pelepasan kortisol. Natah, dkk. (2000)

menyebutkan bahwa ulkus SAR terjadi akibat aksi sitokin proinflamasi dalam

mukosa mulut yang dapat meningkatkan respon imun tubuh. Sleibioda, dkk.

(2014) menyatakan bahwa respon imun yang terjadi pada kondisi SAR

meliputi penurunan jumlah limfosit CD4, penurunan ekspresi sitokin anti

inflamasi yang dihasilkan oleh Th2 dan TGFβ, peningkatan ekspresi sitokin

proinflamasi, peningkatan Th-1, IL-2, IL-4, IL-5, IL-12, IFN-ℽ dan TNF-α.

Terkait stres menurut Sari, dkk. (2019) dalam kondisi stres korteks adrenal
58

akan mensekresi kortisol IL-4 yang akan memicu terjadinya perubahan

keseimbangan sitokin. Menurut Maes, dkk. (1998) stres psikologis secara

signifikan meningkatkan produksi TNF-α, IFN-ℽ, IL-6, IL-10 dan IL-1Ra.

Teori lain oleh Jensen, dkk. (2019) yang menyebutkan bahwa TNF-α

ditemukan pada kondisi stres akut dan dapat menimbulkan efek sistemik.

Bazrafshani, dkk. (2012) menyebutkan bahwa jumlah IL-1β, TNF-α dan

genotip inflamasi Th1 berhubungan dengan perkembangan SAR. Beberapa

teori tersebut mendukung bukti bahwa faktor stres memiliki hubungan dengan

keparahan ulkus SAR. Teori lain yang dapat mendukung hasil tersebut ialah

berkaitan dengan rentang usia subjek, menurut American Psychological

Association (APA) (2012) stres mencapai puncak dan lebih dominan terjadi

pada individu dengan rentang usia 18-33 tahun. Faktor lain kemungkinan

berkaitan status pernikahan seseorang. Berdasarkan data penelitian ini

sebanyak 3 subjek yang telah menikah memiliki skor DASS-21 dengan

rentang skor depresi 6-16 yang termasuk ke dalam kategori ringan hingga

sedang, skor ansietas 12-16 termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi dan

rentang skor stres 12-16 termasuk kategori ringan. Hal ini menunjukkan

bahwa rekurensi SAR kemungkinan berhubungan dengan status pernikahan

seseorang.

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan hanya ada satu faktor

psikologis yang berkorelasi dengan keparahan SAR, artinya hipotesis

penelitian tidak terjawab. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah


59

terdapat hubungan antara faktor psikologis dengan keparahan ulkus SAR,

sehingga dapat disusun rencana perawatan non farmakaologis bagi penderita

SAR dengan etiologi faktor psikologis. Menurut Edgar, dkk. (2017)

manajemen SAR nonfarmakologis dapat berupa kegiatan konseling yang

diharapkan dapat meringankan beban psikologis pasien. Menurut Pinski

(2010) tindakan komunikasi yang efektif mampu merubah pandangan negatif

serta persepsi hidup yang dijalani pasien depresi. Menganjurkan beberapa cara

yang dapat dilakukan oleh pasien agar dapat mengurangi tekanan psikologis

seperti lebih banyak berolahraga, melakukan pendekatan religius untuk

menambah ketenangan jiwa, mengatur pola tidur, serta mengkonsumsi buah,

sayur dan makanan sehat yang dapat memberi nutrisi pada tubuh.

Menganjurkan pasien tetap menjaga kebersihan rongga mulut serta memilih

pasta gigi dan obat kumur yang tepat. Mengajarkan teknik menyikat gigi yang

tepat sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya trauma pada mukosa

mulut. Menurut Guallar, dkk. (2014) pengelolaan SAR dapat juga dilakukan

dengan meminimalisir terjadinya trauma yang merupakan salah satu faktor

predisposisi terjadinya SAR. Salah satunya dengan cara mengatur tekanan

saat menyikat gigi. Seorang higiene gigi dapat menganjurkan pasien untuk

berkonsultasi dengan psikiatri untuk mendapatkan perawatan yang lebih tepat

dan memadai apabila kondisi stres pasien tampak amat berat. Prosedur

penelitian dimulai dengan melakukan pengisian kuesioner RASDX dan

DASS-21. Metode pengisian kuesioner dilakukan secara mandiri oleh subjek


60

dan sebelumnya telah diberikan penjelasan mengenai kuesioner oleh peneliti.

Menurut peneliti hal ini merupakan kelemahan dalam penelitian. Pengisian

kuesioner yang dilakukan dengan cara ini kemungkinan dapat menimbulkan

perbedaan persepsi atau kurangnya pemahaman oleh subjek pada butir

pertanyaan kuesioner serta kemungkinan adanya kesalahan dari subjek yang

disengaja seperti subjek yang menuliskan angka skoring kuesioner dengan

sembarang, sehingga skor yang dituliskan oleh subjek bukan merupakan skor

yang sebenarnya.
V. KESIMPULAN DAN

SARAN

A. Kesimpulan

Bedasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara stres dengan keparahan ulkus stomatitis aftosa rekuren, namun tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dan ansietas dengan keparahan

ulkus stomatitis aftosa rekuren.

B. Saran

Mengacu pada hasil dan kelemahan dalam penelitian, maka peneliti dapat

memberikan saran berupa perlu dilakukan prosedur dengan metode wawancara

langsung oleh peneliti dalam proses pengisian kuesioner.

61
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,M.J., 2013., Prevalence of Reccurent Aphthous Ulceration Experience in
Patients Attending Piramird Dental Speciality in Sulaimani City, J Clin Exp
Dent, Vol : 5 (2): e90.

Ajmal,M., Lujain,B., Nada,M., Heba,A., 2018., Prevalence and Psychological Stress


in Recurrent Apthous Stomatitis Among Female Dental Students in Saudi
Arabia, Clujul Medical, Vol 91(2), 216-221.

Akintoye,S.O., Martin,S.G., 2014., Recurrent Aphthous Stomatitis, Dent Clin North


Am, Vol 58 (2) : 281-297.

Al-Omiri,M.K., Karanesh,J., Lynch,E., 2012, Psychological Profiles in Patients with


Recureent Apthous Ulcers, J. Oral Maxillofac Surg, 41: 384-388.

American Psychological Association (APA)., 2012., Stress By Generation, USA, hal


19-21.

Azzahra,F., Oktarlina,R., Hutasoit,H.B., 2020., Farmakoterapi Gangguan Ansietas


dan Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Efikasi Antiansietas, JIMKI: Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia, Vol 8(1), 96-103.

Balan,U., Nitin,G., Maji,J., K.L.G., Symtomatic Changes of Oral Mucosa During


Normal Hormonal Turnover in Healthy Young Menstruating Woman, J.
Contemp Dent Pract, Vol 13(2):178-81V.

Bazrafshani,M., Hajeer,A., Ollier,W., Thornhill,M., 2002., IL-1b and IL-6 Gene


Polymorphisms Encode Significant Risk for The Development of Recurrent
Aphthous Stomatitis (RAS), Genes Immun, 3: 302–305.

Bernal,S.J., Conejero,C., Conejero,R., 2020., Recurrent Aphthous Stomatitis, Actas


Dermosifiliogr (Engl Ed), Vol 111(6):471-480.

Bosko,C.A., 2019., Skin Barrier Insights : From Bricks and Mortar to Molecules and
Microbes, J Drugs Dematol, Vol 1(18) : 63-67.

62
Challacombe,S.J., Alsahaf,S., Tappuni,A., 2015., Recurrent Aphthous Stomatitis:
Towards Evidence-Based Treatment?, Curr Oral Health Rep. 2:158-67.

Chavan,M., Jain,H., Diwan,N., Khedkar,S., Shete,A, Durkar,S., 2012., Recurrent


Apthous Stomatitis, A Review, J Oral Pathol Med, 41 : 577-583.

Cowson,R.A., Odell,E.W., 2008., Cowson’s Essential Of Oral Pathology And Oral


Medicine, Eight Edition, Churchill Livingstone Elsevier, London.

Delong,L., Nancy,W.B., 2019., General and Oral Pathology for the Dental
Hygienist, Jones & Bartlett Learning, Burlington.

Dhopte,A., Giridhar,N., Ramanpal,S.M., Ravleen,N., Hiroj,B., Supreet,J., 2018.,


Psychometric analysis of stress, anxiety and depression in patients with
recurrent aphthous Stomatitis-A cross-sectional survey based study, J Clin
Exp Dent, Vol 10(11): 1109-14.
Edgar,N.R., Dahlia,S., Richard,A.M., 2017., Recurrent Aphthous Stomatitis: A
Review, Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology, Vol 10(3) : 26-36.

Egawa,G., 2018., Pathomecanism of ‘skin-originated’ allergic disease, Immunol


Med, Vol 41(4) : 170-176.

Fitri,H., Dhona A., 2014., Prevalensi Stomatitis Aftosa Rekuren di Panti Asuhan
Kota Padang, Jurnal B-Dent, Vol 1(1) : 24-29.

Gavic,L., Cigic,L., Leukenda,D.B., Gruden,V., Pokupec,J.S., 2014., The Role of


Anxiety, Depression, and Psychological Stress on The Clinical Status of
Recurrent Apthous Stomatitis and Oral Lichen Planus, J. Oral Pathol Med,
43: 410-417.

Guallar,I.B., Soriano,Y.J., Lozano,A.C., 2014., Treatment of recurrent aphthous


stomatitis A literature review., J Clin Exp Dent, Vol.6(2):168-74.

Guimaraes,A.L, Victoria,J.M., Correia-Silva,J.F., Rosa,D.S.A., Oliveira, C.F., Diniz,


M.G., Gomez, R.S., 2007., Investigation of Functional 48 Gene
Polymorphisms IL-1b, IL-6, IL-10 and TNF-A in Individuals with Recurrent
Aphthous Stomatitis, Arch of Oral Biol, 52: 268-272.

Goleva,E., Berdyshev,E., Leung,D.Y., 2019., Ephitelial barrier repair and prevention


of gallery, J Clin Invest, 129(4) : 1463-1474.

63
Huling,L.B., Baccaglini,L., Choquette,L., Feinn,R.S., Valla,R.V., 2012., Effect of
Stressful Life Event on The Onset and Duration of Recurrent Apthous
Stomatitis, J Oral Pathol Med, 41: 149-152.

Jensen,A.E., Brenda,N., Rebecca,J., Joseph,M.D., Lorraine,P,T., Karen,R.K., 2019.,


TNF-α Stress Respons is Reduce Following Load Carriage Training, Military
Medicine, Vo (184) :e256-e260.

Junhar,G.M., Pieter,L.S., Aurelia,S.R.S., 2015., Gambaran Stomatitis Aftosa


Rekuren Dan Stress Pada Narapidana Di Lembaga Permasyarakatan Kelas II
B Bitung, Jurnal e-Gigi (eG), Vol 3 (1) : 100-107.

Kumar,A., Ananthakrishnan,V., Goturu,J., 2014., Etiology and pathophysiology of


recurrent aphthous stomatitis: a review., Int J Cur Res Rev., Vol. 6(10): 16-
22.

Lally,M., Suzanne,V.F., 2018., Introducing to Psychology, Collage Lake Country,


USA.

Lovibond,P.F., Lovibond,.S.H., 1995., The Structure of Negative Emotional States :


Comparison of the Depression Anxiety Stress Scales (DASS) With The Back
Depression and Anxiety Inventories, Behav. Res. Ther, Vol. 33(3) pp. 335-
343.

Maarof,M., Maarouf,C.L., Yosipovitch,G., Shi,V.Y., 2019., The impact of stress on


epidermal barrier function : an evidance-based review, Br J Dermatol,
181(6) : 1129-1137.

Maes,M., Song,C., Lin,A., Jongh,R.D., Gastel,A.V., Kenis,G., Bosmans, E., Meester,
I.D.,  Benoy,I., Neels,H., Demedts,P., Janca,A., Scharpé,S., Smith,R.S., 1998.,
The Effect of Psychological Stress on Human : Increased Production Pro-
inflammatory Cytokines and A Th-1 Likes Response in Stress- Induced
Anxiety, Cytokine, Vol 10(4) : 313-318.
Margareth,J., Fehrenbach., Tracy,P., 2019., Illustrated Dental Embryology,
Histology, and Anatomy, Elsevier.

Masriadi, 2019., Epidemiology of recurrent aphthous stomatitis on the students of


University of East Indonesia Makassar., Makassar Dent J ., Vol 8(3): 154-
159.

64
Matute,G.R., dan Elena,R.A., 2011., Recurrent Aphtous Stomatitis in Reumathology,
Reumatol Clin, Vol 7(5) :323-328.

Mayanti,W., Rahmayanti,F., Pradono,S.A., 2019., Anxiety and Clenching as


Contributing Factors of Recurrent Aphtous Stomatitis, Sci Dent J, Vol (3) :
61-5.

McCartan,B.E., Lamey,P.J., Wallace,A.M., 1996., Salivary cortisol and anxiety iti


recurrent aphthous stotnatitis, J Oral Pathol Med, Vol ; 25: 357-59.

Mulyaningsih,S., 2015., Hubungan Antara Skor Depresi Melalui Kuesioner BDI


(Beck Depression Inventory) Dengan Keparahan Stomatitis Aftosa Rekuren
(Kajian Pada Mahasiswa Strata Satu Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada), Skripsi, Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.

Nadendla,L.K., Meduri,V., Paramkusam,G., Pachava,K.R., 2015., Relationship of


salivary cortisol and anxiety in recurrent aphthous stomatitis, Indian Journal
of Endocrinology and Metabolism, Vol 19 (1), Hal : 56-59.

Natah,S.S., Hayrinen-Immonen,R., Hietanen,J., Malmstro,M., Konttinen,Y.T.,


2000., Immunolocalization of Tumor Necrosis Factor-Alpha Expressing Cells
in Recurrent Aphthous Ulcer Lesions (RAU), J Oral Pathol Med, 29: 19–25.

Nieuwenhuijsen,K., A.G.E.M.D.B., J.H.A.M.V., R.W.B.B., F.J.H.V.D., 2003., The


Depression Anxiety Stress Scale (DASS) : Detecting Anxiety Disorder and
Depression in Employees Absent From Work Because of Mental Health
Problem, Occup Environ Med, 60 : i77-i82.

Notoatmojo,S., 2014., Metode Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. Hal :


37-38.

Nurdiana, Jusri,M., 2011., Penatalaksanaan Stomatitis Aftosa Rekuren Mayor


Dengan Infeksi Sekunder (Management of Major Recurrent Aphtous
Stomatitis Accoumpanied by Secondary Infection, Dentofasial, Vol
10(1) :42-46.

Okoh,M., Ikechukwu,O., 2019., Presentation of recurrent aphthous among patients


in a tertiary hospital., African Journal of Oral Health, Vol 8(2).

65
Pelling,N., dan Lorelle.J.B., 2017., The Elements od Applied Psychological Practice
in Autralia : Preparing for the National Psychology Examination.,
Psychology Press, Australia.

Pezirkianidis,C., Eirini,K., Agathi,L., Anastassios,S., Michael,G.P.U., Athens,


Grecee., 2018., Psychometric Properties of the Depression, Anxiety, Stress
Scale-21 (DASS-21) in a Greek Sample., Psychology, Vol 9, 2933- 2950.

Pieter,H.Z., Bethsaida,J., Marti,S., 2011., Pengantar Psikopatologi Untuk


Keperawatan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Pinsky,L., 2010., Depression and Medication, Columbia University Counseling and


Psychological Service, hal. 1.

Porter,S.R., Scully,C., Pederson,A., 1998., Recurrent Apthous Stomatitis, Crit Rev


Oral Biol Med, 9 (3): 306-321.

Preeti,L., Magesh,K.T., Rajkumar,K., Karthik,R., 2011., Recurrent aphthous


stomatitis. J Oral Maxillofac Pathol, Vol : 15(3): 252-6.

Rathee,M., Bhoria,M., Boora,P., 2014., Recurrent Aphthous Stomatitis: An


Overview.The Internet J of Family Practice, Vol, 13(1): 1-6.

Rivera,C., 2019., Essentials of recurrent aphthous stomatitis (Review), Biomedical


Reports, 11: 47-50.

Rosa,A., Peralta,V., Papiol,S., 2004., Interleukin-1 beta (IL-1 beta) gene and
increased risk for the depressive symptomdimension in schizophrenia
spectrum disorders, Am J Med Genet B Neuropsychiatr Genet, 124: 10–14.

Santoso,D., Indah,T., Putri,K.W.M., 2013., Pengaruh Pemakaian Breket Terhadap


Maturasi Sel Epitel Mukosa Bukal Pada Pasien Anak Periode Gigi Bercampur
(Kajian pada Tahap Leveling 2 Minggu), J Ked Gi, Vol (4)4 : 248-253.

Sari,R.K., Diah,S.E., Bagus,S., 2019., Recurrent Aphtous Stomatitis Related To


Psychological Stress, Food Allergy and Gerd, ODONTO Dental Journal, Vol
6 (1) : 45-51.

Scully,C., Stephen,F., Kursheed,M., Jose,B., 2010., Oral and Maxillofacial


Diseases Fourth Edition, CRC Press, US.

66
Sharma,A.K., 2005., Text Book Of Correlations And Regression, Discovery
Publishing House, New Delhi.

Sleibioda,Z., Elzbieta,S., Anna,K., 2014., Etiphatogenesis of Recurrent Aphtous


Stomatitis and The Role pf Immunologic Aspects : Literature Review, Arch.
Immunol. Ther. Vol 62 : 205-215.

Soesilowati,R., Yunia,A., 2016., Pengaruh Usia Menarche terhadap Terjadinya


Disminore Primer pada Siswi MTS Maarif NU Al Hidayah Banyumas,
MEDISAINS: Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Kesehatan, Vol (8) 3: 8-14.

Sulistiani,A., Sri,H., Ayu,M.P., 2017., Prevalensi dan Distribusi Penderita Stomatitis


Aftosa Rekuren (SAR) di Klinik Penyakit Mulut RSGM FKG Universitas
Jember Tahun 2014 (Prevalence and Distibution of Patient Recurrent Apthous
Stomatitis (RAS) in Oral Medicine Departemen of Dental Hospital, Dentistry
Faculty, Yniversitas of Jember in 2014), e-Jurnal Pustaka Kesehatan, Vol 5
(1) :169-176.

Sugiyono., 2007., Statistik Untuk Penelitian., Bandung : CV. Alfabeta, Hal. 69.
Tappuni, A.R., Tatjana, K., Penelope, J.S., Stephen, J.C., 2013, Clinical
Assessment of Disease Severity in Recurrent Aphthous Stomatitis, J Oral
Pathol Med.

Tarakji,B., Giath,G., Sadeq,A.A., Saleh,N.A., Nader,A., 2015., Guideline For The


Diagnosis and Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis for dental
practitioners., J of Int Oral Health., Vol. 7(5): 74-80.

Thantawi,A., Khairiati., Mela,M.N., Sri,M., Abu,B., 2014., Stomatitis Apthosa


Rekuren (Sar) Minor Multiple Pre Menstruasi (Laporan Kasus), ODONTO
Dental Journal, Vol 1(4) : 57-62.

Utami,S., Rahardjo,T.W.B., Baziad,A., Alwadris,T.T., Auerkari,E.I., (2018), Effect


of Blood Estrogen and Progesterone on Severity of Minor RAS, Journal of
Physics, Cont. Series 1025.

Pakpahan,S., Elly,S., 2021., Efektifitas Larutan Daun Bangun-Bangun (Coleus


anboinicius) Terhadap Pengurangan Nyeri dan Penyembuhan Laserasi
Perineum, Media Sains Indonesia, Hal 32.

67
Warnakulsuriya,S., dan Tilakaratne,W.M., 2014., Oral Medicine and Pathology : A
Guide to Diagnosis and Management., Jaypee Brothers Medical Publishers,
New Delhi.

Vassandracoumara,V., Jonathan,M.D., 2017., Correlation between salivary cortisol


levels and Hospital Anxiety and Depression scores in oral lichen planus and
recurrent aphthous stomatitis, Stomatological Dis Sci, vol 1.

WHO., 2017., Common Mental Disorders Global Health Estimates, Switzerland,


hal 1-4.

WHO., 2012, Department Of Mental Health, And Substance Abuse, Depression, A


Global Public Health Concern, USA, hal. 6-9.

Wijoyo,P.M., 2011., Cara Mudah Mencegah dan Mengatasi Stres., Bee Media
Pustaka, Jakarta.

Yuliana,Y., Winias,S., Hening,T.H., Bagus,S., 2019, Recurrent Trauma-Induced


Apthous Stomatitis in Adjustment Disorder Patient., Dental Journal, Vol
52(3) : 163-167.

Yusran,A., Marlina,E., Sumintarti, 2011, Adanya Korelasi Kadar TNF-α Antara


Pemeriksaan Hapusan Lesi Dengan Pemeriksaan Darah Perifer Pasien
Stomatitis Aftosa Rekuren, Dentofasial, Vol 10(2):71-75.

68
LAMPIRAN

69
Lampiran 1. Ethical Clearance

70
Lampiran 2. Lembar skrining Covid-19

71
Lampiran 3. Lembar penjelasan kepada subjek

72
73
74
Lampiran 4. Lembar informed consent

75
Lampiran 5. Lembar kuesioner RASDX

76
77
Lampiran 6. Kuesioner DASS-21

78
Lampiran 7. Kuesioner USS

79
Lampiran 8. Data hasil skoring DASS-21

80
81
Lampiran 9. Data hasil skoring USS

82
83
Lampiran 10. Hasil uji normalitas Kolmogorov-smirnov

a. Depresi dengan keparahan SAR

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 51
Mean .0000000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation 6.96789993
Absolute .082
Most Extreme Differences Positive .082
Negative -.045
Kolmogorov-Smirnov Z .587
Asymp. Sig. (2-tailed) .881

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

b. Ansietas dengan keparahan SAR

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 51
Mean .0000000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation 6.79431007
Absolute .069
Most Extreme Differences Positive .069
Negative -.057
Kolmogorov-Smirnov Z .495
Asymp. Sig. (2-tailed) .967

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

84
c. Stres dengan keparahan SAR

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 51
Mean .0000000
Normal Parametersa,b
Std. Deviation 6.56407152
Absolute .079
Most Extreme Differences Positive .079
Negative -.061
Kolmogorov-Smirnov Z .567
Asymp. Sig. (2-tailed) .905

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

Lampiran 10. Hasil uji homogenitas Levene

a. Depresi dengan keparahan SAR

Test of Homogeneity of Variances


total_USS

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.770 7 41 .120

b. Ansietas dengan keparahan SAR

Test of Homogeneity of Variances


total_USS

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.101 9 39 .385

85
c. Stres dengan keparahan SAR

Test of Homogeneity of Variances


total_USS

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.379 10 39 .949

Lampiran 11. Hasil uji korelasi Pearson

a. Uji korelasi depresi dengan keparahan SAR

Correlations

depresi total_USS

Pearson Correlation 1 .136

depresi Sig. (2-tailed) .342

N 51 51
Pearson Correlation .136 1

total_USS Sig. (2-tailed) .342

N 51 51

b. Uji korelasi ansietas dengan keparahan SAR

Correlations

anxiety total_USS

Pearson Correlation 1 .258

anxiety Sig. (2-tailed) .067

N 51 51
Pearson Correlation .258 1

total_USS Sig. (2-tailed) .067

N 51 51

86
c. Uji korelasi stres dengan keparahan SAR

Correlations

stres total_USS

Pearson Correlation 1 .359**

Stress Sig. (2-tailed) .010

N 51 51
Pearson Correlation .359 **
1

total_USS Sig. (2-tailed) .010

N 51 51

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

87

Anda mungkin juga menyukai