SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
Syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
DINI MAGHFIRA
NIM: 150600154
Pembimbing:
Sayuti Hasibuan, drg., Sp. PM
Tahun 2019
Dini Maghfira,
Hubungan antara indeks Coated Tongue dengan Halitosis pada pasien yang
berkunjung ke RSGM USU
xi + 41 Halaman.
Coated tongue adalah suatu lapisan pada dorsum lidah berwarna putih atau
warna lain sesuai dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi. Lapisan ini
terdiri dari sisa-sisa makanan, sel-sel deskuamasi dan bakteri. Lapisan ini dapat
dikerok dan jika dikerok tidak meninggalkan daerah eritema. Coated tongue yang
dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan terjadinya penumpukan bakteri, halitosis,
dan berkurangnya sensasi rasa pada lidah. Bahkan beberapa penelitian telah
menyatakan coated tongue sangat erat dikaitkan sebagai penyebab dari halitosis.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara coated tongue dengan
halitosis berdasarkan indeks coated tongue dan skor halitosis. Jenis penelitian ini
merupakan survei analitik dengan pendekatan cross sectional dengan melibatkan 32
pasien coated tongue yang berkunjung ke RSGM USU. Pemilihan sampel pada
penelitian ini dengan teknik non probability purposive sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan klinis. Analisis data pada penelitian ini
menggunakan uji Chi Square dan uji Fisher Exact. Hasil penelitian ini menunjukkan
pasien coated tongue dengan halitosis yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak
daripada laki-laki dan pasien coated tongue mayoritas usia 20-24 tahun. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini adalah pasien coated tongue yang mengalami halitosis
ada 14 orang (43,8%) dan yang tidak mengalami halitosis 18 orang (56,3%). Hasil uji
statistik menunjukkan nilai p=0,001 untuk hubungan antara indeks coated tongue
dengan halitosis, nilai p=0,001 untuk hubungan indeks coated tongue dengan skor
halitosis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
TIM PENGUJI
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia- Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima
kasih yang setulus-tulusnya kepada ayahanda Alm. H. Drs. Chairil Fahmi Murad dan
ibunda tercinta Hj. Gadis Suryani atas segala kasih sayang, doa, dan dukungan serta
segala bantuan baik berupa moril ataupun materil yang tidak akan terbalas oleh
penulis. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada abanganda Zikri
Akbar, S. Sos, M.A.P dan Aidil Hamdi, S.H yang telah memberi dukungan dan
semangat kepada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr. Trelia Boel, drg., M. Kes., Sp. RKG(K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM., dosen pembimbing dan selaku Ketua
Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing
penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Ervina Sofyanti, drg., Sp. Ort(K) selaku dosen penasihat akademik yang
telah memberikan nasihat selama penulis menjalankan pendidikan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Tim dosen penguji saya Nurdiana, drg., Sp. PM dan Indri Lubis, drg. dan staf
pengajar Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara atas segala masukan dan saran yang telah diberikan sehingga skripsi
ini dapat menjadi lebih baik.
iv
Universitas Sumatera Utara
5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalani
masa pendidikan.
6. Direktur Utama Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara beserta staf yang telah memberikan izin, bantuan dan
saran kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian.
7. Kepada kakak/abang yang sedang menjalani koas yang telah memberikan
izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
8. Kepada sepupuku tersayang Fildza, Farah, Saadah, Shofwan, Fadil, yang
telah banyak memberikan dukungan, motivasi dan membantu sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik.
9. Kepada sahabat terbaik saya Tari, Sasa, Isa, Tasya, Diki, Indah, Nelly,
Dhana, Fira, Angga, Rida, Rina, Farah, Yasmin, Adel, Isti, Lili, Risa, Bianca, Silva,
Debo, Anggi, Dela, yang selalu memberikan dukungan moril, meluangkan waktu,
pikiran, masukan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Seluruh teman seperjuangan skripsi di Departemen Ilmu Penyakit Mulut,
Kelompok Pemicu 5 dan teman-teman stambuk 2015 yang telah memberikan
semangat kepada penulis.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam pengantar ini.
Akhir kata dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga hasil karya atau
skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas,
pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Akhirnya tiada lagi yang dapat penulis ucapkan selain ucapan syukur sedalam-
dalamnya, semoga Allah SWT memberi ridho-Nya kepada kita semua.
Dini Maghfira
NIM: 150600154
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... iv
HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI .......................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL…...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 3
1.4 Hipotesis Penelitian........................................................................ 3
1.5 Manfaat Penelitian................................................................... ...... 3
1.5.1 Manfaat Teoritis .......................................................................... 3
1.5.2 Manfaat Praktis ...................................................................... .... 4
vii
viii
Tabel Halaman
ix
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSC) ............................................. 10
2. Produksi Volatile Sulphur Compounds (VSC) ............................................. 11
3. Metode Organoleptik .................................................................................... 14
4. Oral Chroma................................................................................................. 14
5. Halimeter....................................................................................................... 15
6. Penggunaan Breath Checker......................................................................... 16
7. Skala pengukuran Breath Checker................................................................ 16
x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian
2. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
3. Rekam Medik
4. Ethical Clearence
5. Foto Subjek Penelitian
6. Surat Izin Penelitian RSGM USU
BAB 1
PENDAHULUAN
sebagian besar ditemukan berasal dari rongga mulut sebanyak 75,8%, dengan coated
tongue menjadi penyebab utama sebanyak 43,3%.11 Penelitian lainnya oleh Patil, dkk.,
pada tahun 2013 menunjukkan prevalensi kasus halitosis pada subjek dengan coated
tongue sebesar 45,6% sedangkan kasus halitosis tanpa coated tongue sebesar 31,3%.
Hasilnya menunjukkan peningkatan prevalensi halitosis pada subjek dengan coated
tongue.12
Penelitian berikutnya oleh Allaker, dkk., pada tahun 2008 menjelaskan
pemetaan terperinci dari permukaan lidah dalam kaitannya dengan bakteri yang
berhubungan dengan halitosis. Hasilnya menunjukkan bahwa populasi bakteri yang
berkontribusi terhadap halitosis melalui produksi senyawa gas Volatile Sulfur
Compounds (VSC) meningkat pada daerah posterior dorsal lidah.13 Penelitian
selanjutnya dikemukakan oleh Amou, dkk., pada tahun 2013 menyatakan adanya
korelasi positif yang signifikan antara indeks coated tongue, nilai organoleptik dan
konsentrasi Volatile Sulfur Compounds (VSC) terkait lapisan pada lidah membentuk
lapisan mikroba yang terlibat dalam pemecahan protein (aktivitas proteolitik) pada
produksi gas VSC yang berkontribusi pada kasus halitosis. 14,15
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya diketahui bahwa coated tongue
merupakan salah satu penyebab dari halitosis, namun dari penelitian tersebut belum
menjelaskan mengenai hubungan coated tongue dilihat dari indeksnya terhadap
halitosis. Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan diatas, penulis merasa perlu
melakukan penelitian mengenai hubungan antara indeks coated tongue dengan
halitosis pada pasien yang berkunjung di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas
Sumatera Utara.
3. Apakah ada hubungan antara indeks coated tongue dengan skor halitosis
pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Beberapa faktor etiologi coated tongue diantaranya adalah kebersihan mulut
yang buruk, usia, dan diet.15,16 Coated tongue juga dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan sistemik seperti gangguan saluran pernapasan, pencernaan dan
xerostomia.1,15,17
Usia individu mempengaruhi ketebalan coated tongue. Pada lansia, coated
tongue cenderung menjadi lebih tebal dan lebih gelap daripada coated tongue yang
dialami orang lebih muda. Hal ini terjadi terkait dengan ketidakmampuan fisik untuk
membersihkan rongga mulut, peningkatan asupan makanan lunak, dan kurangnya
fungsi pembersihan alami lidah oleh saliva (perubahan sifat saliva atau berkurangnya
laju alir saliva). Selanjutnya, ditemukannya peningkatan papila filiform yang berperan
dalam pembentukan coated tongue bertambahnya usia.15
Diet sebagai salah satu faktor resiko coated tongue. Hal ini tekait diet lunak
yang dapat menyebabkan gerakan lidah berkurang sehingga sekresi saliva berkurang,
akibatnya ketebalan coated tongue dapat meningkat. Faktor diet lainnya yang
berpengaruh terhadap pembentukan coated tongue terkait dengan kebiasaan seperti
merokok dan minum-minuman beralkohol.1,15,16,17
2.1.3 Patogenesis
Tidak ada bukti substansial untuk menjelaskan penyebab pasti pembentukan
coated tongue.15 Patogenesis coated tongue terkait papila lidah, terutama papila
filiform sebagai struktur spesifik yang terlibat dalam pembentukan coated tongue.
Coated tongue berkaitan erat dengan adanya epitel keratinisasi yang terdeskuamasi
yang berasal dari papila filiform. Epitel yang terdeskuamasi ini mengalami
degenerasi. Sebuah studi mikroskopis pada ultrastruktur lidah menunjukkan bahwa
pembentukan coated tongue berkaitan dengan tingkat multiplikasi sel epitel dan
produksi granula lapisan-membran.15,18,19 Terjebaknya partikel makanan, saliva, dan
bakteri di antara papila filiform ini yang menghasilkan pembentukan coated tongue.15
2.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan coated tongue diawali dengan penyingkiran faktor
predisposisi.17 Penatalaksanaan coated tongue secara mekanis dengan tongue scraper
efektif mengurangi ketebalan coated tongue. Penggunaan tongue scraper
membuktikan perbedaan yang signifikan terhadap jumlah koloni bakteri anaerob
sebelum dan sesudah penggunaan tongue scraper.19 Pengunaan tongue scraper
dilakukan menyeluruh pada dorsal lidah minimal satu kali sehari. 15
2.2 Halitosis
2.2.1 Definisi
Halitosis yang berasal dari bahasa Latin, halitus (nafas) dan osis (keadaan)
adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan bau nafas tidak sedap
yang berasal dari dalam rongga mulut maupun luar rongga mulut serta dapat
melibatkan kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Halitosis juga dikenal dengan
beberapa nama lain, seperti mouth odor, bad breath, oral malodour, fetor ex ore atau
fetor oris.23,24
2.2.2 Etiologi
Etiologi halitosis itu terbagi atas berdasarkan asalnya yaitu fisiologis intraoral,
patologis intraoral dan ekstraoral.25
2.2.2.2 Patologis
2.2.2.2.1 Intra Oral
a. Kebersihan mulut yang buruk
Kebersihan mulut yang buruk terkait akumulasi bakteri dalam rongga mulut.
Bakteri ini memberi proteolisis pada sulfur yang mengandung asam amino dari
protein dalam saliva, epitelium, sisa makanan dan cairan sulkus gingiva sehingga
melepaskan senyawa Volatile Sulfur Compounds (VSC).26,27
b. Coated tongue
Coated tongue membentuk lapisan mikroba yang terlibat dalam pemecahan
protein (aktivitas proteolitik) dan juga terlibat dalam produksi VSC yang
berkontribusi pada kasus halitosis. Lapisan mikroba yang terlibat terutama bakteri
lidah gram negatif mendegradasi substrat yang mengandung sulfur, seperti sistein dan
metionin, yang ditemukan di rongga mulut. Substrat ini terdegradasi menjadi
hidrogen sulfida (H2S) dan metil mercaptan (CH3SH), yang merupakan senyawa
VSC.15
c. Laju Alir Saliva Rendah
Saliva mempunyai banyak fungsi di rongga mulut, salah satunya sifat pelindung
dan anti-bakteri sebagai fungsi utama. Fungsi pelindungnya bertindak sebagai
pembersih dan penghilangan bakteri dan sisa makanan secara konstan, dan sifat anti-
bakteri yang dikaitkan dengan keberadaan Ig saliva, lisozim, laktoferin, dan beberapa
glikoprotein. Selanjutnya, pH saliva normal sedikit bersifat asam (pH – 6,5)
membantu dalam menekan pertumbuhan dan proliferasi bakteri gram negatif dan
anaerobik. Dengan demikian, aktivasi enzim yang diperlukan untuk pembusukan
asam amino seperti sistin, sistein, dan metionin terhalang, mencegah produksi
senyawa mengandung sulfur yang berbau busuk.27
d. Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal sebagai etiologi halitosis terkait kehadiran
mikroorganisme gingivitis/periodontitis yang mampu menghasilkan VSC. Hal
tersebut menyangkut kemampuan patogen periodontal putatif menghasilkan senyawa
bau yang mudah menguap. Oleh karena itu, keberadaan penyakit periodontal perlu
dipertimbangkan dalam penanganan halitosis.4
2.2.3 Patofisiologi
Teori yang paling sering berkaitan dengan halitosis adalah VSC. VSC
merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut
berupa senyawa berbau tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau
yang mudah tercium oleh orang di sekitarnya.23
Terdapat tiga asam amino utama yang membentuk VSC, yaitu: cysteine yang
menghasilkan hidrogen sulfida (H2S), methionine yang menghasilkan metil
mercaptan (CH3SH) dan cystine yang menghasilkan dimethil sulfida (CH3SCH3).
VSC terutama dihasilkan dari pembusukan bakteri yang ada dalam saliva, celah
gingiva, permukaan lidah dan pada bagian lainnya. Substrat yang mengandung sulfur
asam amino seperti cysteine, cystine dan methionine yang ditemukan bebas dalam
sisa-sisa makanan, saliva, darah, sel epitel, cairan sulkus gingiva atau hasil degradasi
proteolisis oleh mikroorganisme rongga mulut gram negatif anaerob anorganik dari
substrat protein (Gambar 1) (Gambar 2).23
Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal pada permukaan
lidah dan dalam kerongkongan. Bakteri tersebut secara normal ada di permukaan
2.2.4 Klasifikasi
2.2.4.1 Genuine Halitosis
Genuine halitosis atau halitosis sebenarnya adalah halitosis yang disebabkan
oleh faktor fisiologis dan patologis. Halitosis yang disebabkan oleh faktor fisiologis
bersifat sementara seperti „morning bad breath’.8 Selain itu, genuine halitosis juga
disebabkan oleh faktor patologis merupakan halitosis bersifat permanen, dan tidak
bisa hilang hanya dengan metode pembersihan yang biasa sehingga menyebabkan
penderita harus menghindar dari kehidupan normalnya. Halitosis dapat bersumber
dari intra oral dan ekstra oral.28
2.2.4.3 Halitopobia
Apabila setelah melakukan perawatan baik untuk genuine halitosis ataupun
pseudo halitosis, tetapi pasien masih mengeluhkan adanya halitosis, maka pasien
tersebut dikategorikan sebagai halitophobia.25,30
2.2.5 Diagnosis
Halitosis mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang secara negatif,
sebagian besar orang yang mengeluh tentang halitosis merujuk ke klinik untuk
pengobatan tetapi pada beberapa orang yang dapat sembuh dari halitosis tanpa
melakukan pengobatan. Untuk alasan ini, diagnosis halitosis, dan penilaian tingkat
keparahannya mencakup kondisi yang dialami pasien, apakah itu genuie halitosis,
pseudo halitosis atau halitophobia itu sangat penting. 31
Penegakkan diagnosis halitosis dapat dilakukan melalui anamnesis. Anemnesis
pasien harus berisi riwayat keluhan utama, medis, gigi, informasi tentang diet,
kebiasaan, dan konfirmasi riwayat-riwayat tersebut secara objektif untuk menegaskan
keluhan. Pertanyaan seperti frekuensi, durasi, waktu, dan apakah orang lain
merasakan bau mulut tersebut guna untuk mengidentifikasi jenis halitosis, daftar obat
yang dikonsumsi, kebiasaan seperti merokok, konsumsi alkohol dan gejala lainnya
harus dicatat dengan cermat, serta dilakukannya pemeriksaan fisik dari intraoral
maupun ekstraoral.32 Selain melalui anamnesis, diagnosis halitosis dapat dilakukan
metode langsung dan tidak langsung.29,30
sulfide, metil merkaptan dan dimetil sulfide serta menampilkan konsentrasi pada
panel display atau layar (Gambar 4).29,30
Gambar 5. Halimeter23
B. Breath Checker
Breath Cheaker ialah alat monitor inovatif yang menggunakan sensor gas semi-
konduktor untuk mengukur jumlah senyawa VSC yang dilepaskan oleh bakteri pada
rongga mulut.35 Monitor akan menampilkan tingkat bau dalam lima tingkatan
tergantung pada jumlah VSC yang diukur dalam rongga mulut. 36
Tata cara pemakaian Breath Cheaker yaitu sebagai berikut.
1. Tarik penutup ke atas dan sensor akan menyala. Nomor pada layar akan
menghitung mundur 5 sampai 1. Kocok alat perlahan 4 sampai 5 kali untuk
menghapus bau atau uap air yang tersisa di alat tersebut
2. Sensor harus sekitar 1 cm dari mulut pasien. Ibu jari menyentuh ke dagu
pasien sehingga sensor tepat berada di depan mulut pasien. Ketika “start” di
tampilkan, pasien mulai menghembuskan nafas ke arah sensor sampai terdengar
bunyi “bip” atau sekitar 4 detik.
3. Jika pasien berhenti menghembuskan nafas sebelum terdengar bunyi “bip”
atau tidak menghembuskan nafas selama 6 detik, maka alat akan mati secara otomatis
(Gambar 6).
4. Tingkat pengukuran akan muncul pada monitor (Gambar 7). Setelah selesai
sensor ditutup kembali, maka alat tersebut akan mati secara otomatis.
Pada layar monitor Breath Checker akan menunjukkan skor 0 sampai 5, yang
berarti 0 (tidak ada bau mulut), 1 (adanya sedikit bau mulut), 2 (adanya bau mulut
terdeteksi sedang), 3 (adanya bau mulut yang terdeteksi sangat jelas), 4 (adanya bau
mulut yang terdeteksi kuat) dan 5 (adanya bau mulut yang sangat tajam).36
Pengukuran halitosis menggunakan Breath Checker menunjukkan seseorang benar
memiliki halitosis apabila pada monitor Breath Checker menunjukkan skor ≥ 2, yang
berarti orang tersebut memiliki halitosis yang terdeteksi jelas.36
2.2.5.2 Metode Tidak Langsung
2.2.5.2.1 Tes BANA
Tes BANA (N-benzoyl-DL-arginine naphthylamide) adalah menilai aktivitas
proteolitik bakteri anaerob.29,31 Tes BANA adalah strip uji yang terdiri dari benzoyl-
DL-arginine-anaphthylamide dan mendeteksi asam lemak rantai pendek dan anaerob
gram negatif yang bersifat proteolitik, yang menghidrolisis substrat tripsin sintetis
dan menyebabkan halitosis.31
Tes untuk mendeteksi bau tak sedap, lidah atau daerah gigi diusap dengan
kapas. Sampel ditempatkan pada strip tes BANA, yang kemudian dimasukkan ke
dalam slot pada inkubator berukuran kecil. Jika strip tes berubah menjadi biru,
semakin biru maka semakin tinggi konsentrasi dan semakin besar jumlah
organisme.29,31
2.2.6 Penatalaksanaan
Pengelolaan halitosis memerlukan empat langkah:
merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah
dan permukaan mukosa lainnya.4,34 Bakteri gram negatif di lidah mendegradasi
substrat yang mengandung sulfur, seperti cysteine, cystine dan methionine, yang
ditemukan di rongga mulut. Substrat ini terdegradasi menjadi hidrogen sulfida (H 2S),
dimetil sulfida (CH3SCH3) dan metil mercaptan (CH3SH), yang merupakan VSC
(Volatile Sulfur Compounds) sebagai penyebab halitosis.15,38,39
Coated Tongue
VSC
Halitosis
Tidak Langsung
Test BANA
Genuine Pseudo Halitopobia
Langsung
Organoleptik
Gas
Halimeter Chromatography
Sulphide Monitor
Breath Checker
Indeks Skor
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah pasien coated tongue di Rumah Sakit Gigi dan
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang memenuhi kriteria
penelitian. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah non probability
purposive sampling yaitu subjek dalam populasi tidak mempunyai kesempatan yang
sama untuk dapat terpilih yang didasari oleh kriteria yang ditentukan oleh
peneliti.40,41
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis satu
proporsi populasi: 40,41
√ √
N = Besar sampel
P0 = Proporsi pasien coated tongue yang mengalami halitosis (0,239)
Pa = Proporsi pasien coated tongue yang mengalami halitosis yang
diharapkan (0,039)
Z1-α = Nilai Z derajat kemaknaan yang dikehendaki adalah 95% (1,96)
Z1-β = Nilai Z derajat kekuatan uji yang dikehendaki adalah 90% (1,28)
Pa-P0 = Selisih proporsi halitosis yang diduga (20%)
√ √
n = 29
Nilai yang dipakai pada rumus di atas berdasarkan penelitian Patil, diketahui
nilai proporsi pasien coated tongue yang mengalami halitosis adalah 0,239 dan nilai
proporsi pasien coated tongue yang mengalami halitosis yang diharapkan 0,039.12
Dari hasil perhitungan besar sampel 29 orang. Untuk menghindari terjadinya drop-out
maka jumlah sampel di tambah 10%, maka jumlah sampel menjadi 32 orang.
pasien diminta untuk menghembuskan nafas tepat didepan sensor Breath Checker
selama kurang lebih 4 detik sampai muncul skor halitosis pada alat tersebut.
Selanjutnya, dilakukan pengukuran skor halitosis dengan menggunakan Breath
Checker.
2. Hubungan antara indeks coated tongue dengan skor halitosis pada pasien
yang berkunjung ke RSGM USU dengan menggunakan uji Fisher's Exact.
Berdasarkan uji statistik tersebut dapat diputuskan:
Menolak H0, jika diperoleh nilai p α (0,05).
Menerima H0, jika diperoleh nilai p > α (0,05).
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Tabel 6. Distribusi dan Frekuensi Pasien Coated Tongue Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (n) %
Laki-laki 8 25
Perempuan 24 75
Total 32 100
Tabel 8. Prevalensi Halitosis Pasien Coated Tongue yang Berkunjung ke RSGM USU
Halitosis Jumlah (n) Total (%)
Ya 14 43,8
Tidak 18 56,3
Total 32 100
Pada tabel 9 terihat pasien coated tongue yang memiliki indeks 1 yang
mengalami halitosis 1 orang (5,9%) dan yang tidak mengalami halitosis 16 orang
(94,1%). Pasien coated tongue yang memiliki indeks 2 yang mengalami halitosis 8
orang (80%) dan yang tidak mengalami halitosis 2 orang (20%). Pasien coated tongue
yang memiliki indeks 3 yang mengalami halitosis 5 orang (100%) dan tidak ada yang
tidak mengalami halitosis.
Tabel 9. Distribusi dan Frekuensi Halitosis pada Pasien Coated Tongue yang
Berkunjung ke RSGM USU Berdasarkan Indeks Coated Tongue
Coated Tongue Halitosis Total (%)
Ya (%) Tidak (%)
Indeks 1 1 (5,9) 16 (94,1) 17 (100)
Indeks 2 8 (80) 2 (20) 10 (100)
Indeks 3 5 (100) 0 (0) 5 (100)
Tabel 10 menunjukkan pada uji Fisher Exact, nilai p yang diperoleh adalah
0,000. Nilai p < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan yang
bermakna antara indeks coated tongue dan halitosis.
Tabel 10. Hubungan Antara Indeks Coated Tongue dengan Halitosis pada Pasien
yang Berkunjung ke RSGM USU
Coated Tongue Halitosis Total (%)
Ya Tidak P
(%) (%)
Indeks 1 1 (5,9) 16 (94,1) 17 (100)
Indeks 2 8 (80) 2 (20) 10 (100) 0,000
Indeks 3 5 (100) 0 (0) 5 (100)
Total 14 (43,8) 18 (56,3) 32 (100)
Tabel 11. Distribusi Halitosis Berdasarkan Skor dengan Indeks Coated Tongue
Coated Halitosis Total
Tongue Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 (%)
(%) (%) (%) (%) (%)
Indeks 1 8 (47,1) 8 (47,1) 1 (5,9) 0 (0) 0 (0) 17 (100)
Indeks 2 1 (10) 1 (10) 3 (30) 5 (50) 0 (0) 10 (100)
Indeks 3 0 (0) 0 (0) 0 (0) 3 (60) 2 (40) 5 (100)
Total 9 (28,1) 9 (28,1) 4 (12,5) 8 (25) 2 (6,3) 32 (100)
Tabel 12 menunjukkan pada uji Fisher Exact, nilai p yang diperoleh adalah
0,000. Nilai p < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya ada hubungan yang
bermakna antara indeks coated tongue dan skor halitosis.
Tabel 12. Hubungan Antara Indeks Coated Tongue dengan Skor Halitosis pada
Pasien yang Berkunjung ke RSGM USU
Coated Halitosis Total P
Tongue Skor 0 Skor 1 Skor 2 Skor 3 Skor 4 (%)
(%) (%) (%) (%) (%)
Indeks 1 8 (47,1) 8 (47,1) 1 (5,9) 0 (0) 0 (0) 17 (100)
Indeks 2 1 (10) 1 (10) 3 (30) 5 (50) 0 (0) 10 (100) 0,000
Indeks 3 0 (0) 0 (0) 0 (0) 3 (60) 2 (40) 5 (100)
Total 9 (28,1) 9 (28,1) 4 (12,5) 8 (25) 2 (6,3) 32 (100)
BAB 5
PEMBAHASAN
Coated tongue adalah suatu lapisan pada dorsum lidah berwarna putih atau
warna lain sesuai dengan jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi. Lapisan ini
terdiri dari sisa-sisa makanan, sel-sel deskuamasi dan bakteri.1-4 Lapisan ini dapat
dikerok dan jika dikerok tidak meninggalkan daerah eritema.1 Coated tongue yang
dibiarkan terus-menerus akan menyebabkan terjadinya penumpukan bakteri, halitosis,
dan berkurangnya sensasi rasa pada lidah.3 Bahkan beberapa penelitian telah
menyatakan coated tongue sangat erat dikaitkan sebagai penyebab dari halitosis.4,8
Penelitian mengenai hubungan indeks coated tongue dengan halitosis ini dilakukan di
RSGM USU yang terdiri dari 32 pasien pengunjung yang dijadikan sebagai subjek
penelitian.
Pada penelitian ini menunjukkan data jumlah pasien coated tongue berjenis
kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan pasien coated tongue berjenis
kelamin laki-laki (Tabel 6). Hasil ini berbeda dibandingkan penelitian yang dilakukan
oleh Motallebnejad, dkk., pada tahun 2008 yang menemukan pasien coated tongue
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan pasien coated tongue
penelitian berjenis kelamin laki-laki yaitu 16,7% dan berjenis kelamin perempuan
11,2%. Hal ini terkait karena kurangnya kesadaran laki-laki dalam memelihara
kebersihan rongga mulut.2 Hasil penelitian ini yang menunjukan pasien lebih banyak
perempuan dibanding laki-laki terkait dengan distribusi dan frekuensi perempuan
yang lebih banyak berkunjung ke RSGM USU. Perempuan lebih sering mencari
layanan kesehatan dan lebih sadar akan kesehatan gigi dan mulutnya.43 Penelitian
lainnya oleh Fithri, dkk., pada tahun 2017 menjelaskan perempuan memiliki faktor
resiko masalah gigi dan mulut yang tidak dimiliki oleh laki-laki, yaitu faktor
hormonal.44
Hasil penelitian ini menunjukkan persentase pasien coated tongue lebih tinggi
pada subjek dengan kelompok usia 20-24 tahun yaitu sebanyak 17 orang (53,1%)
(Tabel 7). Hal ini berbeda dengan penelitian Motallebnejad, dkk., pada tahun 2008
menunjukkan bahwa pasien coated tongue paling tinggi pada kelompok usia > 40
tahun yaitu sebanyak 36,7%. Hal ini terkait lansia yang kurang bisa menjaga
kebersihan rongga mulut dan berkurangnya laju alir saliva. 2 Hasil penelitian ini yang
menunjukan tingginya pasien dengan kelompok usia 20-24 tahun terkait dengan
kunjungan pasien ke RSGM USU. Penelitian Enabulele, dkk., pada tahun 2018
menjelaskan bahwa orang tua lebih puas dengan penampilan gigi mereka daripada
orang yang lebih muda. Hal ini menunjukkan bahwa penampilan gigi tidak begitu
penting bagi orang yang lebih tua dibandingkan dengan orang yang lebih muda,
sehingga kunjungan ke layanan kesehatan gigi dan mulut mayoritas orang yang lebih
muda.45 Seseorang yang memasuki masa remaja akhir berada dalam masa usia
produktif sehingga memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencari pelayanan
kesehatan ketika mereka membutuhkannya.46
Prevalensi menunjukkan bahwa pasien coated tongue yang tidak mengalami
halitosis lebih tinggi yaitu sebanyak 18 orang (56,3%) (Tabel 8). Hal ini sejalan
dengan penelitian Kamaraj, dkk., pada tahun 2014 menyatakan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara coated tongue dan halitosis. Hal ini terkait tidak ada
hubungan yang jelas antara halitosis dan bakteri spesifik yang terdapat dalam coated
tongue. Meningkatnya keanekaragaman spesies yang ditemukan dalam halitosis
merupakan hasil interaksi yang kompleks antara beberapa spesies bakteri. Bakteri
yang menyebabkan halitosis yang terdapat pada coated tongue mempunyai sifat yang
sama dengan bakteri pada penyakit periodontal. 47 Hal ini sejalan juga dengan
penelitian Jumpei, dkk., pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa hanya terdapat
hubunga yang lemah antara coated tongue dan halitosis. Hubungan coated tongue dan
halitosis tidak sepenuhnya akibat coated tongue, melainkan berkaitan juga dengan
penyakit periodontal. Coated tongue tidak hanya terdiri dari mikroorganisme tetapi
juga dari sel-sel epitel yang terdekuamasi dan leukosit dari jaringan peridontal. 48
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien coated tongue yang memiliki
indeks 1 tidak menderita halitosis mendapat persentase lebih tinggi dari pada
menderita halitosis, berbanding terbalik dengan pasien coated tongue yang memiliki
indeks 3 seluruhnya mengalami halitosis (Tabel 9). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Evigen, dkk., pada tahun 2013 menunjukkan bahwa pasien coated tongue
yang memiliki indeks 1 tidak menderita halitosis mendapat persentase lebih tinggi
yaitu dengan presentase 43% daripada yang mengalami halitosis 32%. Pasien coated
tongue dengan indeks 3 lebih rentan mengalami halitosis 29% dan tidak mengalami
halitosis 9%. Pemeriksaan klinis halitosis menggunakan organoleptik dengan coated
tongue dan menyimpulkan bahwa coated tongue sebagai faktor utama peningkatan
VSC.49 Penelitian Takeshi, dkk., juga menjelaskan bahwa pasien coated tongue
dengan indeks 1 tidak menderita halitosis mendapat persentase lebih tinggi yaitu
63,6% daripada yang mengalami halitosis 29,2%. Peningkatan indeks coated tongue
merupakan faktor utama yang menginduksi halitosis. Coated tongue menciptakan
area yang memungkinkan pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob, yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan komponen VSC.50
Penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara indeks coated tongue
dengan halitosis (p=0,000) (Tabel 10). Seerangaiyan, dkk., pada tahun 2017
menyatakan bakteri gram negatif di lidah mendegradasi substrat yang mengandung
sulfur, seperti cysteine, cystine dan methionine, yang ditemukan di rongga mulut.
Substrat ini terdegradasi menjadi hidrogen sulfida (H2S) dan metil mercaptan
(CH3SH), yang merupakan VSC sebagai penyebab halitosis.15
Hasil penelitian ini menunjukkan pasien coated tongue pada indeks 1 lebih
banyak memiliki skor 0 dan 1, pasien coated tongue pada indeks 2 lebih banyak
memiliki skor 2 dan pasien coated tongue pada indeks 3 lebih banyak memiliki skor 4
(Tabel 11). Hasil ini sejalan dengan penelitian Takeshita, dkk., pada tahun 2010
pasien coated tongue dengan indeks 2 lebih banyak memiliki skor 2 berjumlah 38
orang (48,1%) dan pasien coated tongue dengan indeks 3 lebih banyak memiliki skor
4 sejumlah 15 orang (53,6%). Nilai signifikan anatara indeks coated tongue dan skor
halitosis ini berkaitan dengan coated tongue dinilai sebagai area pertumbuhan bakteri
anaerob yang paling berperan dalam menghasilkan VSC.50
Terdapat hubungan yang signifikan antara indeks coated tongue dengan skor
halitosis (p=0,000) (Tabel 12). Penelitian dikemukakan oleh Amou, dkk., pada tahun
2013 menyatakan adanya korelasi positif yang signifikan antara indeks coated
tongue, nilai organoleptic dan konsentrasi VSC. Amou, dkk., juga menjelaskan
bahwa membersihkan lidah sangat berpengaruh pada pengurangan halitosis. 14,15
Pada penelitian ini hubungan yang signifikan antara indeks coated tongue
dengan skor halitosis terkait keanekaragaman bentuk morfologi dorsum lidah yang
memiliki ketidakteraturan seperti fisur, papila dan daerah depapillated yang dapat
berfungsi sebagai daerah retensi untuk menampung bakteri.9 Spesies bakteri yang
terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan
karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik,
yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber utamanya.
Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat
asakarolitik atau proteolitik. Pada halitosis bakteri yang berperan adalah bakteri
anaerob gram negatif dan juga termasuk bakteri porphyromonas gingivalis,
provotella intermedia, fusobacterium nucleatum, bacteroides (tannerella)
forsythensis dan treponema denticola. Bakteri gram negatif merupakan penghuni
utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi lidah dan permukaan mukosa
lainnya.4,34 Bakteri gram negatif di lidah mendegradasi substrat yang mengandung
sulfur, seperti cysteine, cystine dan methionine, yang ditemukan di rongga mulut.
Substrat ini terdegradasi menjadi hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida (CH3SCH3)
dan metil mercaptan (CH3SH), yang merupakan VSC (Volatile Sulfur Compounds)
sebagai penyebab halitosis.15,38,39
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan:
1. Prevalensi halitosis pasien coated tongue yang berkunjung ke RSGM USU
adalah 43,8%
2. Ada hubungan antara indeks coated tongue dengan halitosis pada pasien
yang berkunjung ke RSGM USU
3. Ada hubungan antara indeks coated tongue dengan skor halitosis pada pasien
yang berkunjung ke RSGM USU
6.2 Saran
1. Dokter gigi memberi edukasi kepada pasien coated tongue mengenai
pentingnya menjaga kebersihan rongga mulut bukan hanya kebersihan gigi saja
melainkan juga kebersihan lidah serta mengenai dampak yang dapat ditimbulkan oleh
coated tongue.
2. Penelitian ini pemeriksaan coated tongue masih dilakukan dengan
pemreiksaan sehingga disarankan pada penelitian selanjutnya dianjurkan
menggunakan digital tongue imaging system (DTIS) untuk pengukuran indeks coated
tongue yang lebih terperinci.
3. Pada penelitian ini hanya melihat hubungan antara indeks coated tongue
dengan halitosis, oleh karena itu diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk
melakukan evaluasi lebih lanjut antara halitosis dengan faktor predisposisi lainnya
seperti nilai OHIS (Oral Hygiene Index Simplified) dan xerostomia.
DAFTAR PUSTAKA
12. Patil PS, Pujar P, Poornima S, Subbareddy VV. Prevalence of oral malodour
and its relationship with oral parameters in Indian children aged 7–15 years.
European archives of paediatric dentistry: official journal of the European
Academy of Paediatric Dentistry. 2014; 15: 251–258.
13. Allaker RP. Topographic distribution of bacteria associated with oral
malodour on the tongue. Archives of oral biology. 2008; 53: 8-12.
14. Amou T, Hinode D, Yoshioka M, Grenier D. Relationship between halitosis
and periodontal disease - associated oral bacteria in tongue coatings.
International journal of dent hygiene. 2014; 12: 145–151.
15. Seerangaiyan K. Tongue coating: its characteistics and role in intra-oral
halitosis and general health: A Review. J of Breath Research. 2017; 1-29.
16. Laskaris G. Pocket Atlas of Oral Disease; Clinical sciences. 2nd edition.
Thieme: Stuttgart – New York. 2006: 26.
17. Scully C. Handbook of Oral Disease: Diagnosis and management. Thieme:
Stuttgart – New York. 1999: 364.
18. Kim J, Jung Y, Park JW. A digital tongue imaging system for tongue coating
evalution in patients with oral malodour. Oral Dis. 2009; 15(18): 565-569.
19. Hamdini H, Aulia R, Samad R. Efetivitas penggunaan tongue scrapper
terhadap penurunan indeks tongue coating dan jumlah bakteri anaerob lidah.
Dentofasial. 2011; 10(1): 32-35.
20. Nur‟aeny N, Hidayat W, Dewi TS, Herawati E, Wahyuni SI. Profil oral
candidiasis di bagian ilmu penyakut mulut RSHS Bandung periode 2010-
2014. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 2015; 3(1): 23-28.
21. AAOMP. Coated tongue. Available at www.aaomp.org. 2005. diakses
tanggal: 03 November 2018.
22. Gopal KS, Kumar SH. Case study hairy tongue: a case report and review of
literature. International Journal of Current Research. 2016; 8: 35022-35024.
23. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan
pemeriksaan. USU Press 2012; 49-61.
24. Senjaya AA. Perawatan halitosis. Jurnal Skala Husada. 2011; 8: 126-131.
39. Anastasi JK, Currie LM, Kim GH. Understanding diagnostic reasoning in
TCM practice: tongue diagnosis. Altern Ther Health Med. 2009; 15: 18–28.
40. Noor J. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana. 2011: 95-152.
41. Syofian S. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Prenada Media. 2013. 31-
417.
42. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan RD. Bandung:
Alfabeta. 2015. 149-151.
43. Dogenski CL, Farina AP, Linden MS, Linden MS, Trentin MS, Miyagaki
DC, Carli JP. Oral lesions found in a dental school in Southern Brazil. J of
Contemporary Dent Practice. 2018; 19(9): 1037-1041.
44. Fithri, dkk. Distribusi pencabutan gigi berdasarkan karakteristik
sosiodemografi pada pasien RSG Unviversitas Jember periode Januari-
Desember 2014. E-Journal Pustaka Kesehatan. 2017; 5(1): 177-184.
45. Enabulele JE, Omo J. Socio-demographic distribution of patients with fixed
dental prosthesis in developing economy. iMedPub Journals. 2018; 4(1): 1-5.
46. Nadya T, Andriany P, Herwanda. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut (RSGM) Universitas Syiah
Kuala Banda Aceh. J Caninus Dent. 2016; 1(4): 54-62.
47. Kamaraj D, Bhushan K, Vandana KL. An evaluation of microbial profile in
halitosis with tongue coating using PCR (Polymerase Chain Reaction)- a
clinical and microbiaological study. J of Clin and Diagnostic Research.
2014; 8(1): 263-267.
48. Jumpei W, Sato T, Koseki T, Takashi N. Hydrogen sulfide-producing
bacteria in tongue biofilm and their relationship with oral malodour. J of
Medic Microbiology. 2005; 54: 889-895.
49. Evirgen S, Kamburoglu K. Effects of tongue caoting and oral health on
halitosis among dental students. Oral Health and Preventive Dentistry. 2013;
11(2): 169-173.
50. Takeshita T, Suzuku N, Nakano Y, Shimazaki Y, Yoneda M, Hirofuji T, et
al., Relationship between oral malodor and the global composition of
Selamat Sejahtera,
Saya Dini Maghfira yang sedang menjalani pendidikan dokter gigi di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara ingin melakukan penelitian. Bersama ini
saya mohon kesediaan Saudara/i untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian dalam
skripsi saya yang berjudul “Hubungan antara indeks coated tongue dengan
halitosis pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU”
Coated tongue atau lapisan lidah adalah suatu lapisan pada dorsum lidah
berwarna putih atau warna lain sesuai dengan jenis makanan dan minuman yang
dikonsumsi. Lapisan ini dapat diusap dan terdiri dari sisa-sisa makanan dan bakteri.
Lapisan pada lidah dapat mengakibatkan halitosis atau bau mulut. Bau mulut
merupakan masalah umum yang dapat membawa penderitanya terkadang mengalami
masalah sosial seperti timbul rasa malu dan tidak percaya diri.
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan antara indeks
lapisan pada lidah dengan bau mulut pada pasien yang berkunjung ke RSGM USU.
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
dokter gigi, mahasiswa kedokteran gigi, masyarakat mengenai hubungan indeks
lapisan pada lidah terhadap bau mulut. Manfaat penelitian ini bagi Saudara/i yaitu
sebagai pengetahuan dan menimbulkan kesadaran kepada pasien yang memiliki
lapisan pada lidahnya untuk rajin membersihkan lidahnya untuk mencegah
timbulnyabau mulut.
Penelitian yang akan saya lakukan dengan melakukan pemeriksaan langsung
pada rongga mulut. Saya awali penelitian ini dengan mencatat identitas saudara
(nama, usia, dan jenis kelamin) pada formulir rekam medis. Saudara/i akan diminta
untuk berkumur dengan air putih untuk menetralkan kondisi rongga mulut. Setelah itu
Saudara/i akan diminta menjulurkan lidah untuk memeriksa indeks lapisan pada
lidah. Pengukuran indeks lapisan pada lidah dengan menggunakan alat penekan lidah.
(Dini Maghfira)
Hubungan Antara indeks Coated Tongue dengan halitosis pada pasien yang
berkunjung ke RSGM USU
Maka dengan ini menyatakan setuju menjadi subjek pada penelitian ini secara sadar
tanpa paksaan.
Medan,
2019 Saksi Subjek
Penelitian
( ) ( )
Mahasiswa Peneliti
Dini Maghfira
Nomor :
Tanggal :
REKAM MEDIS
DATA DEMOGRAFI
A. Nama :
B. Umur :
C. Jenis Kelamin : a. Laki-laki
b. Perempuan
D. Indeks Coated Tongue : Ya/Tidak
Indeks.........
E. Halitosis : Ya/Tidak
Skor…….
Lampiran 6
2. Pasien diintruksikan
1. Sampel diberi penjelasan
menjulurkan lidah,kemudian
mengenai penelitian
operator mencatat indeks
coated tongue
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
kelompok umur
skor_halitosis
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
skor_halitosis
Non
Halitosis Halitosis Total
Indeks_CT 1 Count 16 1 17
2 Count 2 8 10
3 Count 0 5 5
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. Exact Sig. Point
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided) Probability
a
Pearson Chi-Square 21,674 2 ,000 ,000
Likelihood Ratio 26,246 2 ,000 ,000
Fisher's Exact Test 22,512 ,000
Linear-by-Linear b
19,247 1 ,000 ,000 ,000 ,000
Association
N of Valid Cases 32
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,19.
b. The standardized statistic is 4,387.
halitosis
0 1 2 3 4 Total
Indeks_CT 1 Count 8 8 1 0 0 17
% of Total 53,1
25,0% 25,0% 3,1% 0,0% 0,0%
%
2 Count 1 1 3 5 0 10
% of Total 31,3
3,1% 3,1% 9,4% 15,6% 0,0%
%
3 Count 0 0 0 3 2 5
% of Total 15,6
0,0% 0,0% 0,0% 9,4% 6,3%
%
Total Count 9 9 4 8 2 32
% of Total 100,0
28,1% 28,1% 12,5% 25,0% 6,3%
%
Chi-Square Tests
Asymptotic
Significance Exact Sig. Exact Sig. Point
Value df (2-sided) (2-sided) (1-sided) Probability
a
Pearson Chi-Square 33,153 8 ,000 ,000
Likelihood Ratio 35,690 8 ,000 ,000
Fisher's Exact Test 26,439 ,000
b
Linear-by-Linear Association 21,135 1 ,000 ,000 ,000 ,000
N of Valid Cases 32
a. 15 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,31.
b. The standardized statistic is 4,597.