SKRIPSI
Oleh:
MUNIFAH ZAINI
NIM: 150600236
Pembimbing:
Sayuti Hasibuan,drg., Sp. PM
Munifah Zaini
Pengaruh Pola Tidur Terhadap Terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Pada
Mahasiswa Kedokteran Gigi USU
x + 42 halaman
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah salah satu penyakit yang sering
menyerang rongga mulut. Terdapat literatur yang menyebutkan bahwa pola tidur
merupakan salah satu dari faktor predisposisi SAR. Gangguan pola tidur dapat
mengakibatkan perubahan tingkat molekul pada berbagai sel imunokompeten sehingga
keadaan patologis pada sel epitel mukosa rongga mulut lebih peka terhadap rangsangan
dan inflamasi sehingga menyebabkan SAR terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh pola tidur terhadap terjadinya SAR. Penelitian ini merupakan
penelitian survei analitik dengan pendekatan cross-sectional yang menggunakan
pemilihan sampel secara purposive sampling dengan jumlah sampel 41 mahasiswa
kedokteran gigi USU yang merupakan penderita SAR Penelitian ini dilaksanakan
dengan melakukan pemeriksaan rongga mulut dan pengisian kuesioner Pittsburgh
Sleep Quality Index (PSQI) oleh responden. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan uji Chi-square (X2) untuk mengetahui pengaruh pola tidur terhadap
terjadinya SAR. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan 65,9%
penderita SAR memiliki pola tidur yang buruk dan didapatkan 34,1% penderita SAR
memiliki pola tidur yang baik. Analisis hubungan pola tidur terhadap terjadinya SAR
pada subjek penelitian dengan uji statistik chi-square menunjukkan nilai p = 0,042 atau
p < sig α (0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh pola tidur
terhadap terjadinya SAR, hal ini dapat membantu dokter gigi dalam memberikan
TIM PENGUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Pengaruh Pola Tidur Terhadap
Terjadinya Stomatitis Aftosa Rekuren Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Gigi USU” dapat selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Gigi.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan,
dan saran-saran dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tercinta Zaini Sulaiman dan
Morney Harun, serta kepada kakak dan adik tersayang Munirah Zaini dan Muhammad
Adam Harith Zaini yang telah mendoakan serta memberikan kesabaran, perhatian,
bantuan, motivasi, pengorbanan dan juga materil yang tak ternilai kepada penulis.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp.RKG(K) selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan
saran dan masukan dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
3. Ika Andryas, drg., MDSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Wilda Hafni Lubis, drg., M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan saran dan masukan untuk penulis.
5. Aida Fadhillah Darwis, drg., MDSc selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan saran dan masukan untuk penulis.
Munifah Zaini
NIM: 150600236
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL......................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 3
1.2.1 Masalah Umum .......................................................................... 3
1.2.2 Masalah Khusus ......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 3
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 3
1.4 Hipotesis Penelitian .................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................... 4
1.5.1 Manfaat Teoritis ......................................................................... 4
1.5.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 4
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
DAFTAR LAMPIRAN
2. Informed Consent
3. Lembar Kuesioner
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Restoratif
Tidur mempunyai fungsi restoratif yaitu fungsi pemulihan kembali bagian-
bagian tubuh yang lelah, merangsang pertumbuhan, serta pemeliharaan kesehatan
tubuh. Menurut hipotesis Benington dan Heller, banyak gen yang terlibat dalam
mengatur metabolisme mengalami peningkatan selama tidur dibandingkan selama
kondisi terjaga.26 Tidur membantu dalam pengisian glikogen yang merupakan hasil
akhir dari formasi glukosa dalam tubuh yang tersimpan dalam sel
sebagai cadangan energi.24,26 Menurut teori Schdmidt, siklus tidur-bangun berevolusi
untuk melakukan proses biologis yang unik dan penting sebagai cara untuk mengurangi
kebutuhan energi dan mengurangi total pengeluaran energi harian.25
2. Kognitif
Tidur mempunyai fungsi kognitif, banyak bukti menunjukkan kekurangan tidur
dapat mempengaruhi performa dari berpikir dan motorik.23,26 Salah satu penelitian
menunjukkan bahwa orang yang tetap terjaga dalam waktu 19 jam mempunyai
performa dan kesadaran yang menurun.27 Tidur turut berperan sebagai faktor penting
dalam penyimpanan memori jangka panjang.22 Penelitian lain menemukan bahwa
setelah kekurangan tidur satu malam, skor dari subjek mengalami penurunan dalam tes
judgment, simple reaction time, memory explicit, dan membaca kata secara terbalik.28
4. Imunitas
Bukti terbaik untuk fungsi pada sistem kekebalan tubuh berasal dari sebuah
penelitian terbaru menunjukan bahwa efektifitas vaksinasi flu sangat tertunda pada
individu yang kurang tidur.25 Vaksin flu diberikan kepada orang yang tidur malamnya
dibatasi terus menerus dan kepada orang yang tidurnya normal. Beberapa hari setelah
vaksinasi, mereka yang kekurangan tidur secara substansial memiliki respon imun yang
rendah dibandingkan mereka yang tidurnya cukup.25
5. Psikologis
Bukti-bukti medis menghubungkan fungsi tidur dengan kondisi psikologis
seseorang. Peneliti Universitas Pennsylvania menemukan bahwa ketika subjek
penelitian hanya diperbolehkan tidur 4,5 jam setiap malam dalam satu minggu, mereka
melaporkan merasa lebih stress, marah, sedih, dan kelelahan pikiran, dengan skor mood
dan semangat menurun sejalan dengan waktu tes. Ketika subjek penelitian diberikan
waktu tidur yang cukup, skor mood mereka meningkat secara dramatis.31
1. Stadium Tidur
Stadium satu memainkan peran transisi dalam siklus tidur. Tahap ini biasanya
berlangsung 1 hingga 7 menit di siklus awal, yang merupakan 2% hingga 5% dari total
tidur.32,33 Selama tahap pertama tidur, didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot
berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri.22 Pada tahap ini
seseorang akan mengalami tidur yang dangkal dan dapat terbangun dengan mudah oleh
karena suara atau gangguan lain.32,33
Stadium dua biasanya berlangsung sekitar 10 hingga 25 menit.25,32,33 Tahap ini
merupakan antara 45% hingga 55% dari total episode tidur.32,33 Selama tahap kedua
tidur, bola mata berhenti bergerak dan tonus otot masih berkurang. Pada tahap ini,
seseorang akan mengalami tidur yang lebih dalam sehingga membutuhkan rangsangan
yang lebih intens daripada di tahap satu untuk bangun.14,32
Stadium tiga hanya merupakan antara 3% hingga 8% dari total episode tidur.33
Selama tahap ketiga tidur, keadaan fisik pada seseorang dicirikan lemah lunglai karena
fungsi tonus muskular menurun.22 Kondisi tidur lebih dalam dari tahap sebelumnya.
Pada tahap ini individu sulit untuk dibangunkan, dan jika terbangun, individu tersebut
tidak dapat segera menyesuaikan diri dan sering merasa bingung selama beberapa
menit.22
Tahap NREM terakhir adalah tahap empat, yang berlangsung sekitar 20 hingga
40 menit di siklus pertama, yang merupakan 10% hingga 15% dari total tidur.32,33
Dalam tahap tidur keempat badan lemah seperti pada tahap tidur ketiga. Tahap ini
merupakan tahap tidur yang paling dalam.
Tahap tiga dan empat dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep. Fase tidur
NREM ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan
masuk ke fase REM.22 Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih
cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun.
2. Sistem Kardiovaskular
Tekanan darah menurun selama tidur NREM dan tidur REM tonik tetapi dapat
meningkat di atas nilai bangun selama tidur REM fasik. Output kardiak umumnya
menurun selama semua fase tidur.22 Resistensi vaskular sistemik (SVR) dan denyut
jantung keduanya berkurang selama tidur NREM dan tidur REM tonik dan meningkat
selama tidur REM fase dasar.32 Kekurangan tidur telah dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah pada malam hari yang berlangsung hingga hari
selanjutnya.22
3. Sistem Nervus Sentral
Aliran darah cerebral meningkat sebesar 50-100% di atas tingkat istirahat
selama tidur REM tonik dan bahkan lebih besar selama tidur REM phasic. Tingkat
metabolisme serebral, konsumsi oksigen dan laju pelepasan neuronal berkurang selama
tidur NREM tetapi meningkat di atas nilai istirahat selama tidur REM. Sistem saraf
otonom menunjukkan penurunan umum nada simpatis dan peningkatan nada
parasimpatis, kecuali pada tidur REM fase fasik.22
4. Sistem Renal
Tingkat filtrasi glomerulus dan fraksi filtrasi berkurang dan sekresi ADH
meningkat sehingga volume urin selama tidur terkonsentrasi rendah.32
5. Sistem Endokrin
Fungsi endokrin seperti hormon pertumbuhan, hormon tiroid, dan sekresi
melatonin dipengaruhi oleh tidur. Sekresi hormon pertumbuhan biasanya terjadi
selama beberapa jam pertama setelah onset tidur dan umumnya terjadi selama SWS,
sementara sekresi hormon tiroid berlangsung di malam hari.22 Melatonin menginduksi
proses ngantuk dengan mengurangi efek peringatan dari nukleus suprakiasmatik dan
dipengaruhi oleh siklus terang-gelap dan ditekan oleh cahaya.
6. Sistem Imun
Sistem kekebalan tubuh berubah sepanjang hari seiring dengan siklus tidur-
bangun. Sel-sel imun dalam darah berada pada tingkat tertinggi di sore hari dan kadar
darah terendah mereka di pagi hari.24,25 Tingkat sitokin, molekul yang berfungsi
sebagai pembawa pesan kimiawi untuk menarik dan mengarahkan komponen lain dari
sistem kekebalan tubuh, juga di area yang paling tinggi.13 Gangguan siklus tidur dapat
secara signifikan mempengaruhi fungsi kekebalan pada manusia.25
2.2.1 Definisi
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) adalah salah satu penyakit yang sering
menyerang rongga mulut dengan ciri khas ulkus single atau multiple, bulat atau oval,
dikelilingi halo merah dengan dasar abu-abu atau kuning dan terjadi secara
kambuhan.1-4
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti, namun ada
beberapa faktor yang berhubung dengan SAR seperti genetik, gangguan immunologi,
trauma, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal dan penyakit sistemik.
1. Genetik
Lebih dari 42% pasien dengan SAR memiliki saudara kandung yang juga
menderita SAR. Menurut Ship, kemungkinan untuk seseorang itu menderita SAR
adalah 90% apabila kedua orang tuanya menderita SAR, sedangkan hanya 20% apabila
orang tuanya tidak pernah mempunyai riwayat SAR.35 Faktor genetik SAR diduga
berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA).35- 37 HLA
menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel
2. Gangguan Imunologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor autoimun dan reaksi
hipersensitivitas pada mikroflora rongga mulut merupakan faktor etiologi terjadinya
SAR.39 Selama 30 tahun terakhir, penelitian telah menunjukkan bahwa
limfositotoksisitas, sitotoksisitas oleh antibody-dependent cell-mediated dan
kerusakan pada sel limfosit merupakan beberapa faktor etiologi terjadinya SAR.35
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa TNF α memegang peranan penting dalam
terjadinya SAR.8 TNF α menginduksi inflamasi dengan memberi efek pada adhesi sel
endothelial dan khemotaksis sel netrofil. Gangguan pola tidur dapat mengakibatkan
perubahan immunologi dimana terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Perubahan pada
sitokin, seperti interleukin-2 (IL-2) dan interleukin-10 (IL10) dan penurunan aktivitas
sel NK, memegang peranan terjadinya SAR.8,15
3. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat
trauma. Beberapa insiden yang dapat menimbulkan trauma pada rongga mulut seperti
menyikat gigi, flossing, mengonsumsi makanan, maloklusi, dan beberapa perawatan
dental telah dibuktikan menjadi faktor predisposisi terjadinya SAR.8,35
penderita SAR, menunjukkan ada perbaikan klinis sebesar 50% apabila makanan
tersebut tidak dikonsumsi dalam diet mereka.8,36
5. Stres
Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak
langsung terhadap SAR.35,39 Menurut Kozier & Erb’s, stres memberikan dampak yang
besar terhadap seseorang untuk bisa tertidur yang sesuai dengan kebiasaannya.
Individu yang stres sering mempunyai kebiasaan tidur lewat dan durasi tidur yang tidak
mencukupi. Pada kondisi stres, hipotalamus memicu aktivitas sepanjang aksis HPA
(hypothalamus-pituitary-adrenal cortex). Aderenal korteks mengeluarkan kortisol
yang menghambat komponen dari respon imun. Kortisol ini akan melepaskan
glukokortikoid dan katekolamin yang akan menyebabkan penurunan produksi INF-γ
(sitokin tipe 1) dan meningkatkan produksi IL-10 dan IL-4 (sitokin tipe 2) yang akan
memicu terjadinya perubahan keseimbangan sitokin tipe 1 atau tipe 2. Berbagai
perubahan tersebut dapat mengakibatkan keadaan patologis pada sel epitel mukosa
rongga mulut, sehingga sel epitel lebih peka terhadap rangsangan.38
6. Defisiensi Nutrisi
Defisiensi vitamin B12, asam folat, dan zat besi yang diukur dalam serum telah
ditemukan dalam persentase kecil pasien SAR.35,36,38 Vitamin B12 bertindak sebagai
ko-enzim untuk metabolisme lemak dan karbohidrat, sintesis protein dan
hematopoiesis. Vitamin B9 (asam folat) juga terlibat dalam pembentukan ko-enzim
untuk sintesis protein dan eritropoiesis.40 Telah dibuktikan baru-baru ini bahwa
perubahan pada mukosa mulut termasuk glositis dan stomatitis merupakan tanda klinis
awal kekurangan vitamin B12 atau asam folat.35
Wray meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita
defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat,
13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat
dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi,
vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90%
dari pasien tersebut mengalami perbaikan.40
7. Hormonal
Pada wanita, SAR sering terjadi pada masa menstruasi.8,35 Ini berhubungan
dengan fase luteal yang menekan pada siklus menstruasi.38,39 Penurunan estrogen pada
siklus menstruasi mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk
sel epitel oral dan memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi
yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga
mudah terjadi SAR.38
Hormon pertumbuhan berperan dalam proliferasi fibroblast. Hormon
pertumbuhan berperan dalam mempromosikan penyembuhan dan perbaikan luka,
sebuah proses kompleks di mana proliferasi bersama, migrasi, dan reorganisasi
fibroblast memainkan peran penting dalam penyembuhan SAR.
8. Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan SAR adalah penyakit Behcet’s
syndrome, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS serta
Sweet’s syndrome.8,39
Penyakit sistemik yang sering menunjukkan SAR sebagai salah satu
manifestasi penyakitnya adalah Behcet’s syndrome. Manifestasi penyakit ini ditandai
dengan ulkus oral dan genital berulang, dan lesi mata.8 Behcet’s syndrome adalah
gangguan multisistem yang dihasilkan dari vaskulitis pembuluh kecil dan menengah
dan peradangan epitel. Respon inflamasi abnormal pada Behcet’s syndrome
disebabkan oleh kompleks imun yang disebabkan oleh limfosit T dan sel plasma.
tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa rekuren tipe
herpetiformis.2,8,35,36,39
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.8
Tanda khas yang utama merupakan satu atau lebih ulser yang rekuren, sakit, dengan
interval beberapa hari atau berbulan.36,38 Gambaran klinis berguna untuk menentukan
klasifikasi SAR. Riwayat kesehatan digunakan untuk mengetahui apakah ada keadaan
2.2.5 Perawatan
Disebabkan etiologi dari SAR yang belum diketahui secara pasti hingga saat
ini, perawatan terhadap SAR masih belum dapat ditentukan secara pasti. Perawatan
terhadap SAR bertujuan untuk:
1. Mengurangi gejala-gejala SAR8
2. Mengurangi jumlah dan ukuran ulser8
3. Meningkatkan periode bebas SAR8
Perawatan SAR bersifat simtomatik yaitu dengan menghilangkan faktor
predisposisi dan melalui pemberian obat. Edukasi tindakan pencegahan timbulnya
SAR dapat dilakukan diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut serta
mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat
besi. Dalam pengobatan SAR, obat yang dapat digunakan antara lain anestetikum
(benzocaine 4% dalam borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine
gluconate 0,2%, larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi (sodium hyaluronat), dan
kortikosteroid topikal (triamcinolone in orabase).8,35,36,39
aktivitas bangun yang terjadi selama kondisi terjaga berkepanjangan dapat memodulasi
sistem kekebalan tubuh. Buktinya, status tidur seekor hewan dapat mempengaruhi
kemampuan respon hewan tersebut dalam melawan infeksi dan penyembuhan luka.24
Kehilangan tidur mempengaruhi mekanisme seluler dan genom yang
berkontribusi terhadap aktivitas sitokin inflamasi.13,25 Menurut penelitian Irwin, setelah
satu malam dengan kehilangan tidur, produksi monosit IL-6 dan TNF α pada 30 orang
dewasa yang sehat meningkat lebih banyak daripada setelah tidur tanpa gangguan.
Kehilangan tidur memicu peningkatan lebih dari 3 kali lipat dalam transkripsi IL-6
asam ribonukleat pembawa (mRNA) dan peningkatan 2 kali lipat dalam TNF α
messenger RNA.44
Pola tidur yang tidak cukup dan tidak teratur dapat menginduksi atau
memperparah SAR, yang mungkin dapat dikaitkan dengan gangguan dalam siklus
sekresi hormon harian seperti hormon pertumbuhan dan kortisol.10 Puncak sekresi
hormon pertumbuhan adalah pada waktu malam dan berlangsung selama beberapa jam,
dimana hal ini mempengaruhi proliferasi fibroblas, migrasi keratinosit dan juga
diferensiasi sel T. Penurunan sekresi hormon pertumbuhan meningkatkan terjadinya
SAR dan menghambat penyembuhan.43
Perubahan dari pola tidur dapat mengakibatkan perubahan tingkat molekul pada
berbagai sel imunokompeten.13 Berbagai perubahan tersebut dapat mengakibatkan
keadaan patologis pada sel epitel mukosa rongga mulut, sehingga sel epitel lebih peka
terhadap rangsangan. Oleh karena itu, pola tidur berpotensi meningkatkan reaksi
inflamasi sehingga meningkatkan kejadian SAR.
Pola Tidur
Fungsi
Respon
Perubahan
pada
Rongga
Mulut
Stomatitis Aftosa
Rekuren
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.3.1 Populasi
3.3.2 Sampel
mengambil subjek didasarkan atas adanya pertimbangan tertentu berdasarkan ciri dari
populasi.
Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus uji hipotesis pada
sampel tunggal untuk data proporsi yaitu45:
[𝑍𝛼 √𝑃0 ( 1− 𝑃0) +𝑍𝛽 √𝑃𝑎 ( 1−𝑃𝑎 )] 2
n =
( 𝑃𝑎 − 𝑃0 )2
Keterangan :
= 41,1 41 orang
Kriteria Inklusi:
Kriteria Eksklusi:
- Waktu tidur
- Durasi tidur
- Kualitas tidur
berulang dengan
diameter kurang
dari 10 mm bagi
SAR minor dan
diameter lebih dari
10 mm bagi SAR
mayor. 1-4
1. Kaca Mulut
2. Alat tulis
1. Masker
2. Sarung tangan
3. Desinfektan
4. Kapas
keikutsertaan dalam penelitian kepada subjek peneliti. Apabila subjek bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian, maka subjek diminta untuk menandatangani lembar
informed consent.
Peneliti melakukan pemeriksaan rongga mulut untuk mengetahui ada tidaknya
SAR pada rongga mulut mahasiswa. Proses pengumpulan data pada penelitian ini
dilakukan dari sumber data primer dengan cara pengisian kuesioner oleh responden.
Pada saat pengisian kuesioner, peneliti ikut mendampingi responden untuk menjaga
adanya kesalahan dalam memahami pertanyaan atau ada pertanyaan yang kurang jelas.
Kuesioner yang telah selesai dikumpul selanjutnya diolah dan dianalisis oleh peneliti.
Data Bivariat
Analisis bivariat adalah analisis yang melibatkan dua variabel yaitu variabel
bebas dan variabel terikat yang diduga berhubungan atau berkolerasi.43 Data bivariat
disajikan dalam bentuk tabel yang meliputi tabulasi silang antara pola tidur dengan
SAR.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan uji chi-square (X2) untuk
mengetahui pengaruh pola tidur dengan terjadinya SAR. Berdasarkan uji statistik
tersebut dapat diputuskan:
Menolak Ho, jika diperoleh nilai p ≤ 𝛼 ( 0.05)
1. Ethical Clearance
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiannya oleh peneliti,
karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data pribadi subjek.
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Tabel 2. Distribusi dan frekuensi penderita SAR di FKG USU berdasarkan jenis
kelamin.
Total 41 100
Tabel 3. Distribusi dan frekuensi penderita SAR di FKG USU berdasarkan waktu tidur.
Total 41 100
Tabel 4. Distribusi dan frekuensi penderita SAR di FKG USU berdasarkan durasi tidur.
Tabel 5. Distribusi dan frekuensi penderita SAR di FKG USU berdasarkan kualitas
tidur.
Total 41 100
Berdasarkan hasil skor kuesioner PSQI, pada penelitian ini didapatkan sebagian
besar subjek memiliki pola tidur yang buruk yaitu sebanyak 27 orang (65,9%).
Seterusnya, didapatkan 14 orang (34,1%) memiliki pola tidur yang baik. (Tabel 6).
Tabel 6. Distribusi dan frekuensi penderta SAR di FKG USU berdasarkan pola tidur.
Baik 14 34,1
Buruk 27 65,9
Total 41 100
Tabel 9 menunjukkan pengaruh kualitas tidur dengan terjadinya SAR. Hasil uji
statistik menggunakan chi-square memperlihatkan bahwa nilai p < 0,05 yaitu 0,039
maka Ho ditolak. Oleh karena itu, pada penelitian ini menunjukkan ada pengaruh yang
bermakna antara kualitas tidur dengan terjadinya SAR.
Berdasarkan pola tidur dengan terjadinya SAR, hasil uji statistik menggunakan
chi-square diperoleh nilai signifikasi p = 0,042 atau p = < α 0,05. Dengan demikian,
Ho ditolak atau Ha diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara pola tidur dengan terjadinya SAR pada subjek penelitian.(Tabel 10).
Tabel 10. Pengaruh pola tidur terhadap penderita SAR di FKG USU.
BAB 5
PEMBAHASAN
juga sebagian mahasiswa yang mempunyai jam tidur larut akibat lama penggunaan
gadget sebelum tidur. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Lee dan Low pada tahun 2016, yang menyatakan ada hubungan antara intensitas
penggunaan situs jejaring sosial dan online games dengan waktu tidur pada
mahasiswa.49
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara
waktu tidur terhadap kejadian SAR dengan nilai p = 0,008 dari hasil uji statistik.
Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Du dkk pada tahun 2017 dan
Ma dkk pada tahun 2015, yang menyatakan bahwa ada pengaruh waktu tidur terhadap
terjadinya SAR.21,43 Hasil penelitian Ma dkk menunjukkan bahwa 86,2% subjek yang
menderita SAR mempunyai waktu tidur setelah jam 11 malam.21 Sekresi hormon
seperti hormon pertumbuhan, kortisol dan hormon andrenorkortikotropik dipengaruhi
oleh pola tidur. Jumlah kortisol dan adrenokortikotropik kadarnya rendah selama
beberapa jam awal pada orang yang tidur pada jam 11 malam.43 Hasil penelitian
Manisha pada tahun 2017 mengatakan bahwa jam 11 malam sampai 3 pagi merupakan
waktu seseorang itu memiliki lebih banyak fase tidur NREM dimana selama tidur
NREM, tubuh memperbaiki dan meregenerasi jaringan dan memperkuat sistem
kekebalan tubuh.50 Penelitian selama beberapa tahun terakhir telah membuktikan
bahwa tidur larut mempengaruhi berbagai fungsi kekebalan tubuh, termasuk jumlah
himpunan bagian spesifik leukosit dalam sirkulasi darah, produksi sitokin spesifik sel,
dan fungsi sel imun lebih lanjut dimana berpotensi meningkatkan reaksi inflamasi,
sehingga meningkatkan kejadian SAR.38,44
Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa 34,1 % penderita SAR mempunyai
durasi tidur kurang dari 5 jam. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Panduranga dkk
pada tahun 2013, yang mendapatkan hasil bahwa faktor kekurangan durasi tidur pada
penderita SAR adalah sebesar 30%.19 Namun hasil dari uji statistik pada penelitian ini
tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara durasi tidur terhadap kejadian SAR
dengan nilai p = 0,363. Hal ini karena dengan hanya menggunakan pengukuran durasi
tidur, tidak selalu dapat dihubungkan dengan gangguan tidur.47 Pada penelitian ini tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok durasi tidur pada
penderita SAR, namun jumlah penderita SAR yang tertinggi adalah pada durasi tidur
kurang dari 5 jam diikuti dengan durasi tidur selama 5-6 jam.Teori menyatakan bahwa
jumlah kebutuhan jam tidur yang diperlukan seseorang bervariasi, tetapi umumnya
kebanyakan orang dewasa muda memerlukan tidur sekitar 7 sampai 8 jam.25,42
Kekurangan durasi tidur yang dikeluhkan penderita SAR berhubungan dengan hasil
dari periode terbangun yang semakin panjang atau menurunnya waktu tidur setiap
harinya. Kehilangan tidur memicu peningkatan lebih dari 3 kali lipat dalam transkripsi
IL-6 asam ribonukleat pembawa (mRNA) dan peningkatan 2 kali lipat dalam TNF α
messenger RNA. Penelitian Chen dkk pada tahun 2019 mengatakan bahwa kekurangan
jam tidur dapat meningkatkan derajat keparahan dan menunda penyembuhan ulkus
akibat dari perubahan sistem kekebalan tubuh yang dibuktikan dengan produksi sitokin
proinflamasi dan IgM yang berlebihan.51
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebanyakan penderita SAR
mempunyai kualitas tidur yang cukup buruk. Menurut analisis uji statistik penelitian
ini berdasarkan kualitas tidur, diperoleh nilai p = 0,039 yang berarti adanya pengaruh
signifikan kualitas tidur terhadap terjadinya SAR. Hasil distribusi frekuensi variabel
kualitas tidur di dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Putra dkk dimana didapatkan hasil bahwa mahasiswa lebih dominan memiliki
kualitas tidur buruk daripada kualitas tidur baik.51 Beberapa penelitian tersebut
termasuk penelitian ini membuktikan bahwa kualitas tidur pada masa perkuliahan
cenderung lebih buruk disebabkan oleh berbagai faktor eksternal yang dapat
menyebabkan supresi dari pengeluaran melatonin yang pada akhirnya akan dapat
menyebabkan gangguan tidur.52
Penelitian ini mendapatkan hasil bahawa mayoritas penderita SAR mempunyai
pola tidur yang buruk. Analisis hubungan pola tidur terhadap terjadinya SAR pada
subjek penelitian dengan uji statistik chi-square menunjukkan nilai p = 0,042 yang
berarti adanya pengaruh pola tidur terhadap kejadian SAR. Pola tidur dinilai dengan
melakukan penilaian yang terdiri dari tujuh komponen meliputi jumlah jam tidur,
waktu yang diperlukan untuk dapat memulai tidur, persentase antara waktu tidur
dengan waktu yang dihabiskan diatas tempat tidur, gangguan tidur, kebiasaan
pengunaan obat tidur, aktivitas sehari-hari yang terkait dengan tidur, dan kedalaman
tidur secara subyektif.47 Perubahan dari pola tidur dapat mengakibatkan perubahan
tingkat molekul pada berbagai sel imunokompeten sehingga meningkatkan resiko
seseorang itu terkena penyakit termasuklah penyakit SAR.13 Hal ini sesuai dengan
pembahasan L Ge pada tahun 2017 tentang gaya hidup sehat berperan dalam tingkat
rekuren SAR dan ulserasi tipe SAR, di mana salah satu daripada gaya hidup sehat yang
ditekankan adalah pola tidur yang baik.10
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan dan penelitian yang telah dilakukan, dapat
diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Ada pengaruh waktu tidur terhadap terjadinya SAR.
2. Tidak ada pengaruh durasi tidur terhadap terjadinya SAR.
3. Ada pengaruh kualitas tidur terhadap terjadinya SAR.
4. Ada pengaruh pola tidur terhadap terjadinya SAR.
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Junhar MG, Suling PL, Supit SR. Gambaran stomatitis aftosa rekuren dan stress
pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bitung. Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi. J e-gigi Unsrat 2015; 3(1): 101-2.
2. Edgar NR, Saleh D, Miller RA. Recurrent aphthous stomatitis. J Clin Aesthet
Dermatol 2017; 10(3): 26-36.
3. Sulistiani A, Hernawati S, Ayu MP. Prevalensi dan distribusi penderita stomatitis
aftosa rekuren di klinik penyakit mulut RSGM FKG Universitas Jember pada
tahun 2014. E- J Pustaka Kesehatan 2017; 5(1): 169-74.
4. Esma KG, Merve OE, Cakir O, Uysal O. Quality of life in patients with recurrent
aphthous stomatitis treated with a mucoadhesive patch containing citrus essential
oil. Patient Preference and Adherence 2016; 10: 967-71.
5. Hudson J. Recurrent aphthous stomatitis: diagnosis and management in primary
care. J Patient Cent Res Rev 2014;1: 197-200.
6. A.Hapa et al. Does recurrent aphthous stomatitis affect quality of life? A
prospective study with 128 patients evaluating different treatment modalities. J
Dermatological Treatment 2011; 22: 215-7.
7. Patil S, Reddy SN, Maheshwari S, Khandelwal S, Shruthi D, Doni B. Prevalence
of recurrent aphtous ulceration in Indian population. J Clint Exp Dent 2014; 6(1):
36-41.
8. Scully C. The diagnosis and management of recurrent aphthous stomatitis. JADA
2003; 134: 200-4.
9. Akbar R et al. Prevalence of recurrent aphthous stomatitits ulcers in Gulf Medical
University students. GMJ. ASM 2016; 5(S1): 115-120.
10. L.Ge. Healthy lifestyle habits benefit remission of recurrent aphthous stomatitis
and RAS type ulceration. British Dent J 2018; 224(2): 70-1.
11. Widyastutik O, Permadi A. Faktor yang berhubungan dengan stomatitis aftosa
rekuren pada mahasiswa di Pontianak. JKMK 2017; 4(3): 222-5.
26. Benington JH, Heller C. Restoration of brain energy metabolism as the function of
sleep. rogress in Neurobiology 2002; 45: 347-50.
27. Kuo AA. Does sleep deprivation impair cognitive and motor performance as much
as alcohol intoxication? West J Med 2001; 174(3). 180.
28. Drosopoulos S, Wagner U, Born J. Sleep enhances explicit recollection in
recognition memory. Learn Mem 2005; 12(1): 44-9.
29. Rubin RT, Kales, Odell W. Secretion of LH and FSH during sleep.
https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-1-4684-2007-4_52 (20 Desember
2018)
30. Leproult R, Cauter EV. Role of sleep and sleep loss in hormonal release and
metabolism. Endocr Dev 2010; 17: 11-8.
31. Baum KT et al. Sleep restriction worsens mood and emotion regulation in
adolescents. J Child Psychology and Psychiatry 2014; 55(2): 184–7.
32. Insitute of Medicine (US) Comitee on Sleep Medicine and Research; Colten HR,
Allevgot BM editors. Sleep Disorders and Sleep Deprivation: An Unmet Public
Health Problem. Washington: National Academics Press (US); 2006.
33. James W, Donald A, Craig SM, Nelson L. Dental management of the medically
compromised patient. 8 th ed., Minnesota: Elsevier, 2009: 128-31.
34. Carskadon MA, Dement W. Normal Human Sleep; an overview. 15-7.
35. Glick M. Burket’s oral medicine. 12 th ed., New York: People’s Medical
Publishing House-USA. 2015: 73-6.
36. Regezi, Sciubba, Jordan. Oral pathology clinical pathology correlations. 6 th ed.,
Califotnia: Elsevier. 2012: 38-41.
37. Albanidou-Farmaki E, Deligiannidis A, Markopoulos k, Katares V. HLA
haplotypes in recurrent aphtous stomatitis: a mode or inheritance?
International J of Immunogenetics 2008; 35: 430-2.
38. Slebioda Z, Szponar E, Kowalska A. Etiopathogenesis of recurrent aphthous
stomatitis and the role of immunologic aspects: literature review. Arch
Immunol Ther Exp (Warsz) 2014; 62(3): 4-8.
39. Cawson RA, Odell EW. Cawson’s essentials of pathology and oral medicine. 8 th
ed., London: Elsevier, 2008: 220-3.
40. Kozlak ST, Walsh SJ, Lalla RV. Reduced dietary intake of vitamin B12 and folate
in patients with recurrent aphthous stomatitis. J Oral Pathol Med 2010; 39(5):
420–3.
41. Preeti L, Magesh KT, Rajkumar K, Karthik R. Recurrent aphthous stomatitis. J
Oral Maxillofac Pathol 2011; 15(3): 252–256.
42. Ferrie JE et.al. A prospective study of change in sleep duration: associations with
mortality in the whitehall II cohort. J Sleep 2007 1; 30(12): 1659.
43. Ma R et.al. Effect of bedtime on recurrent aphthous stomatitis in college students.
Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol 2015; 119(2); 196-201.
44. Irwin M, Wang M, Capella O, Alicia CH. Sleep deprivation and activation of
morning levels of cellular and genomic markers of inflammation. Arch Intern Med
2006; 166: 1756- 61.
45. Metodologi Penelitian Komprehensif.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/Metodolo
gi-Penelitian-Komprehensif.pdf (5 Januari 2019)
46. Tahan H. Prevalensi terjadinya stomatitis aftosa rekuren pada mahasiswa
USU yang berpengalaman sar. Skripsi. Medan: FKG USU, 2009: 33-4.
47. InstrumenPSQI.http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/15631/7.
%20BAB%20III.pdf?sequence=7&isAllowed=y (6 Desember 2018)
48. Kania. The relationship between gender differences and stress. Huron University
College Journal of Learning and Motivation 2014; 52(1): 96-8.
49. Lee, Y.S.,Low B.S. Sleep pattern among electronic device users and its
relationship with users’ practice in Malaysia University Community.Journal of
Sleep and Biological Rhythms July 2016; 14(3): 271-4.
50. Manisha. Managing sleep deprivation in older adults: A role for occupational
Therapy. AOTACEU 2017; 5-7.
51. Putra PB. Hubungan antara kualitas tidur dengan inteligensia pada siswa kelas X
SMA Santo Thomas 2. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara;
2011.
52. Angelika A, Anja F,Merle C. Sleep problems in university students – an
intervention. Neuropsychiatric Disease and Treatment 2017; 13: 1994-8.
Dengan hormat,
Saya Munifah Zaini, mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan dokter gigi
di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Saya akan mengadakan
penelitian dengan judul “Pengaruh Pola Tidur Terhadap Terjadinya Stomatitis Aftosa
Rekuren Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi USU”. Saya mengikut sertakan
Saudara/Saudari dalam penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada
pengaruh pola tidur terhadap terjadinya SAR. Penelitian ini melibatkan 41 subjek
penelitian. Dalam penelitian ini, saya akan melakukan pemeriksaan langsung pada
rongga mulut Saudara/Saudari. Saya awali penelitian ini dengan mencatatkan data
demografi Saudara/Saudari. Setelah itu, Saudara/Saudari diminta untuk mengisi
kuesioner dengan memilih jawaban yang disediakan. Setelah pengisian kuesioner
selesai, dapat dikembalikan kepada saya, untuk hal tersebut saya akan menggunakan
waktu Saudara/Saudari sekitar ± 10 menit.
Pada saat proses penelitian, risiko yang kemungkinan terjadi adalah
ketidaknyamanan sewaktu melakukan pemeriksaan rongga mulut dan pada saat
pengisian kuesioner, tetapi saya akan berusaha melakukan prosedur ini sebaik
mungkin. Manfaat dari penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada
Saudara/Saudari mengenai pola tidur yang dapat menyebabkan SAR terjadi. Manfaat
lainnya adalah Saudara/Saudari dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap
terjadinya SAR dengan mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik.
Partisipasi Saudara/Saudari dalam penelitian ini bersifat sukarela. Pada
penelitian ini, identitas Saudara/Saudari akan disamarkan. Hanya dokter gigi peneliti
dan anggota peneliti yang bisa melihat datanya. Kerahsiaan data Saudara/Saudari akan
dijamin sepenuhnya.
Peneliti
(Munifah Zaini)
Medan, 2019
( ) ( )
Lampiran 3
No :
Tanggal :
A. IDENTITAS RESPONDEN
Nama :
Umur :
No Pertanyaan
1 Sekitar pukul berapa anda biasanya tidur di malam hari? ...................
2 Berapa menit anda membutuhkan waktu untuk dapat tertidur di malam hari?
........................
3 Sekitar pukul berapa anda biasanya bangun tidur di pagi hari? .................
4 Berapa jam lamanya waktu tidur anda dapatkan di malam hari? ...................
h. Mengalami mimpi
buruk
i. Mengalami nyeri
j. Alasan lain: ______
____________________
Durasi SAR
Chi-Square 3.195a 3.195a
df 3 3
Asymp. Sig. .363 .363
a. 0 cells (,0%) have expected
frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 10,3.
Kualitas SAR
Chi-Square 6.512a 6.488b
df 3 2
Asymp. Sig. .089 .039
a. 0 cells (,0%) have expected
frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 10,3.
b. 0 cells (,0%) have expected
frequencies less than 5. The minimum
expected cell frequency is 13,7.
PolaTidur SAR
Chi-Square 4.122a 4.122a
df 1 1
Asymp. Sig. .042 .042
a. 0 cells (,0%) have expected frequencies
less than 5. The minimum expected cell
frequency is 20,5.