Anda di halaman 1dari 75

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Kedokteran Gigi Skripsi Sarjana

2019

Status Oral Higiene dan Pengalaman


Karies pada Tunagrahita dan
Tunadaksa di YPAC Medan

Rilinda, Nichy
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/20977
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
STATUS ORAL HIGIENE DAN PENGALAMAN
KARIES PADA TUNAGRAHITA DAN TUNADAKSA
DI YPAC MEDAN

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
Syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:
NICHY RILINDA
NIM : 140600047

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan


di hadapan tim penguji skripsi

Medan,

Pembimbing

Tanda tangan

Darmayanti Siregar, drg., MKM


NIP. 1983122320101 2 004

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji


pada tanggal 16 Juli 2019

TIM PENGUJI

KETUA : Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes

ANGGOTA : 1. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes

2. Darmayanti Siregar, drg., MKM

Universitas Sumatera Utara


Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Kesehatan Gigi
Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat
Tahun 2019

Nichy Rilinda
Status Oral Higiene dan Pengalaman Karies pada Anak Tunagrahita dan Anak
Tunadaksa di YPAC Medan.
xi+43 Halaman
Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di
bawah rata-rata dan cenderung memiliki keterbatasan dalam intelegensi, fisik,
emosional, serta sosial. Anak tunadaksa adalah anak yang memiliki bentuk kelainan
atau kecacatan pada sistem otot, tulang, persendian, dan saraf yang disebabkan oleh
penyakit, virus dan kecelakaan. Perbedaan keterbatasan yang mereka miliki,
mempengaruhi perilaku anak berkebutuhan khusus dalam menjaga kebersihan gigi
dan mulut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status oral higiene dan
karies pada anak tunagrahita dan anak tunadaksa di YPAC Medan. Jenis penelitian ini
adalah survei deskriptif dengan desain cross sectional. Teknik pengambilan sampel
secara total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan klinis, untuk
mengukur status oral higiene menggunakan Simplified Oral hygiene (OHIS) dan
untuk mengukur pengalaman karies menggunakan DMFT menurut WHO. Hasil
penelitian ini menunjukkan rata-rata skor OHIS pada anak tunagrahita adalah
1,551,09 dan anak tunadaksa 1,441,20. Status kebersihan rongga mulut terbanyak
pada tunagrahita dan tunadaksa adalah kategori sedang, yaitu sebesar 53,75% dan
53,84%. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan skor DMFT rata-rata pada
anak tunagrahita, yaitu 3,56 3,47 dan anak tunadaksa 2,53 2,21. Pengalaman karies
pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak adalah kategori sedang, yaitu sebesar 40%
dan 61,53. Hasil penelitian status oral higiene dan pengalaman karies anak
tunagrahita dan tunadaksa cenderung buruk dibanding anak normal. Untuk itu

Universitas Sumatera Utara


pemerintah dapat memerhatikan kesehatan gigi dan mulut sehingga dapat
memperbaiki status oral higiene dan mencegah karies khususnya anak tunagrahita
dan tunadaksa.
Daftar rujukan : 42 (2005-2019)

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta kemudahan yang diberikan sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,
pengarahan, motivasi, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sedalamnya kepada :
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp. RKG(K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing penulis menjalani pendidikan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Darmayanti Siregar, drg., MKM selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran
Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu, pikiran, tenaga, saran, dukungan, dan motivasi untuk
membimbing penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
3. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes dan Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes
selaku Tim Penguji skripsi yang telah banyak memberikan saran dan ide yang
bermanfaat kepada penulis agar dapat disusun skripsi dengan lebih baik.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, khususnya staf pengajar dan staf administrasi Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan kepada penulis.
5. Kepala sekolah Yayasan Anak Cacat Medan beserta guru-guru yang telah
bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian.

iv

Universitas Sumatera Utara


6. Teristimewa kepada orang tua tercinta, Chairil Anwar dan Hasnelly atas
segala kasih sayang, doa, motivasi serta dukungan moril dan materil yang senatiasa
diberikan kepada penulis selama ini.
7. Abang, Kakak penulis: Rilly Feranda dan Femy Rilinda yang senatiasa
memberikan doa serta dukungan moril dan materil kepada penulis.
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Najah, Icha, Siti, Tika, Adry, Fahrian,
Fariz, Makpir, Intan, Ute, Nurul, Windi, Fira, Bintang, Topan, Ririn, Risa, Biwa,
Yogi, Dita, Irsyad dan Daniel yang telah membantu dan memberikan semangat
kepada penulis.
9. Teman-teman skripsi di Departemen IKGP/KGM Desy, Alfath, Juli, Nabila,
Rahma, Tio, Yulenda, Fairuzatul, Alif, Icut, Asri, Martin, Widya, Helen, Sawindri,
taufan dan Sarmela yang telah saling membantu dan memberikan semangat.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan keterbatasan ilmu
dalam skripsi ini. Namun, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga
hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi
fakultas, pengembangan ilmu pengetahuan, dan masyarakat.

Medan, 09 Agustus 2019


Penulis,

Nichy Rilinda

NIM: 140600047

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .......................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................

HALAMAN TIM PENGUJI LAPORAN HASIL PENELITIAN ...................

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv

DAFTAR ISI .................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anak Berkebutuhan Khusus ........................................................... 6
2.1.1 Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus ........................................ 7
2.1.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ...................................... 7
2.2 Anak Tunagrahita ............................................................................. 9
2.3 Anak Tunadaksa ............................................................................... 12
2.4. Kondisi Oral Anak Tunagrahita dan Tunadaksa ............................ 15
2.4.1 Oral Higiene................................................................................... 15
2.4.2 Karies ........................................................................................... 20
2.5. Kerangka Konsep ............................................................................ 22

BAB 3 METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian ............................................................................... 23
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 23
3.3 Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian ..................................... 23
3.3.1 Populasi ........................................................................................ 23

vi

Universitas Sumatera Utara


3.3.2 Sampel .......................................................................................... 23
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .......................................................... 23
3.4.1 Kriteria Inklusi .............................................................................. 23
3.4.2 Kriteria Eksklusi ........................................................................... 24
3.5 Variabel Penelitian ......................................................................... 24
3.6 Definisi Operasional ....................................................................... 24
3.7 Prosedur Pengumpulan Data ........................................................... 25
3.8 Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 26
3.9 Etika Penelitian ............................................................................... 26
3.9.1 Kelayakan Etik .............................................................................. 26
3.9.2 Lembar Persetujuan ...................................................................... 27

BAB 4 HASIL PENELITIAN


4.1 Karakteristik Responden.................................................................. 28
4.2 Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut Responden ....... 28
4.3 Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut pada Responden ........ 29
4.4 Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut ABK
Berdasarkan Usia ........................................................................... 29
4.5 Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut Responden
Berdasarkan Usia ............................................................................. 30
4.6 Distribusi Nilai Rerata DMFT Pada Responden ............................. 31
4.7 Distribusi Status Karies Pada Responden ........................................ 31
4.8 Distribusi Rerata DMFT Pada Responden Berdasarkan Usia ......... 32
4.9 Distribusi Status Karies Pada Responden Berdasarkan Usia .......... 33

BAB 5 PEMBAHASAN ................................................................................. 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 38
6.2 Saran ................................................................................................ 38

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 40

LAMPIRAN

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Metode Skor Debris .................................................................................... 18
2. Metode Skor Kalkulus ................................................................................ 19

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

TABEL Halaman
1. Indeks Karies Menurut WHO ................................................................. 21
2. Karakteristik Responden ......................................................................... 28
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia di YPAC Medan ............... 28
4. Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut Responden .............. 29
5. Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut pada Responden ............... 29
6. Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut ABK Berdasarkan
Usia ....................................................................................................... 30
7. Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut Responden Berdasarkan
Usia ......................................................................................................... 31
8. Distribusi Nilai Rerata DMFT Pada Responden .................................... 31
9. Distribusi Status Karies Pada Responden ............................................... 32
10. Distribusi Rerata DMFT Pada Responden Berdasarkan Usia ................ 32
11. Distribusi Status Karies Pada Responden Berdasarkan Usia ................. 33

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
1. Lembar Pemeriksaan
2. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian
3. Lembar Informed Consent
4. Surat Ethical Clearance
5. Surat Keterangan dari YPAC
6. Hasil Analisis Data

Universitas Sumatera Utara


1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan gigi dan mulut adalah komponen yang sangat penting dari kesehatan
secara keseluruhan, yang berkontribusi terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup
setiap individu dengan secara positif mempengaruhi kesehatan fisik, mental,
penampilan dan hubungan interpersonal. Kesehatan gigi dan mulut yang baik
merupakan aspek yang penting bagi semua anak.1 Namun di Indonesia tidak banyak
orang tua yang peduli akan kesehatan gigi anak, terlebih pada anak berkebutuhan
khusus.2
Anak berkebutuhan khusus merupakan istilah lain untuk menggantikan kata anak
luar biasa yang menandakan adanya kelainan khusus dan mempunyai karakteristik
yang berbeda antara satu dan lainnya.3 Menurut The American Health Associations
anak penyandang cacat saat kecil, tidak dapat sepenuhnya menggunakan semua
kemampuan fisik, mental dan sosialnya dengan kata lain, anak yang tidak dapat
bermain, belajar, atau melakukan sesuatu yang berbeda dengan anak normal.4,5
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan populasi anak
berkebutuhan khusus di negara maju sebanyak 10% dan di negara berkembang
berkebutuhan khusus sebanyak 12%.5 Di Indonesia, anak berkebutuhan khusus
mempunyai ganguan perkembangan antara lain, tunanetra (kehilangan indera
penglihatan), tunarungu (keterbatasan pada pendengaran dan bicara), tunagrahita
(retradasi mental), tunadaksa (keterbatasan pada kondisi fisik atau motorik), tunalaras
(karakteristik anak yang sering membuat keonaran secara berlebihan), autisme (anak
dengan kelainan pada ketidakmampuan berbahasa), hiperaktif (suatu gejala yang
diakibatkan oleh faktor kerusakan pada otak, kelainan emosional dan kurang dengar),
anak dengan gangguan pada waktu belajar (siswa yang sering kali mempunyai
prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu seperti membaca, menulis, dan
berhitung), serta anak dengan kelainan perkembangan ganda (tunaganda).3 Anak

Universitas Sumatera Utara


2

tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan


perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata sehingga mengalami
kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi dan sosial.6 Anak tunadaksa
adalah anak yang memiliki kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang,
persendian dan saraf yang disebabkan oleh penyakit, virus, kecelakaan baik yang
terjadi sebelum lahir, saat lahir dan sesudah lahir.7
Anak berkebutuhan khusus memiliki tingkat kesehatan dan kebersihan mulut
yang lebih rendah dibandingkan anak normal.3 Penelitian yang dilakukan oleh
Sharma A dkk yang membandingkan oral higiene anak berkebutuhan khusus dengan
anak normal, indeks OHIS anak berkebutuhan lebih buruk yaitu berkisar 1,51±0,93
sedangkan anak normal yaitu 1,15±0,72.8 Penelitian Rao dkk. menunjukkan skor
rerata anak tunagrahita yaitu 2,87±1,07 dan anak tunadaksa 2,39±1,29.1
Penelitian di India, menunjukkan indeks OHIS pada anak tunagrahita yang paling
besar kategori sedang sebesar 60,9%, diikuti kategori buruk sebesar 17,4% lalu
kategori baik sebesar 6%.9 Penelitian di Saudi Arabia, menunjukkan indeks OHIS
anak tunagrahita yang paling besar kategori sedang sebesar 50%, diikuti kategori
buruk sebesar 46,9% lalu kategori baik sebesar 3,1%.10 Hal ini disebabkan rendahnya
kemampuan intelektual yang dimiliki membuat anak tunagrahita mengalami kesulitan
dalam merawat kebersihan mulut sehingga status oral hygiene belum optimal.9,11
Penelitian di kota manado, menunjukkan indeks OHIS pada anak tunadaksa yang
paling besar kategori sedang sebesar 62,5%, diikuti kategori baik sebesar 37,5% dan
tidak terdapat subjek tergolong buruk.3 Penelitian di Makasar, menunjukkan indeks
OHIS anak tunadaksa yang paling besar kategori sedang sebesar 55,7%, diikuti
kategori buruk sebesar 26,9% lalu kategori baik sebesar 17,29%.12
Anak tunadaksa memiliki oral higiene yang buruk dikarenakan adanya halangan
untuk bergerak dan kemampuan menjangkau pusat layanan kesehatan merupakan
faktor yang mempengaruhi mereka memperoleh perawatan gigi.3,9,12 Penelitian yang
dilakukan Kothari dkk. Anak tunagrahita rata-rata skor OHIS tertinggi diperoleh pada
kelompok usia 21-25 tahun sebesar 3,411,77, diikuti kelompok usia 26-30 tahun
yaitu

Universitas Sumatera Utara


3

3,300,00 lalu kelompok usia 16-20 tahun sebesar 2,991,34, kelompok usia 11-15
tahun sebesar 2,601,31 dan kelompok usia 5-10 tahun sebesar 1,481,11.11
Penelitian yang dilakukan penelitian Aastha dkk. pada anak tunadaksa rata-rata skor
OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,080,10, diikuti
kelompok usia 11-15 tahun sebesar 2,381,01 lalu kelompok usia 6-10 tahun yaitu
2,320.99.13 Penelitian yang dilakukan Hardiani AK dkk. status OHIS tertinggi pada
setiap kelompok usia tunagrahita yaitu kelompok usia 6-10 tahun yaitu sebesar
73,04% dengan kategori sedang, kelompok usia 11-15 tahun 21,74% dengan kategori
sedang, kelompok usia 16-20 tahun 43,48% dengan kategori sedang dan kelompok
usia 21-25 tahun 21,74% pada kategori buruk.14 Penelitian yang dilakukan Folakemi
A dkk. Status OHIS tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok
usia 6-10 tahun yaitu sebesar 54,5% dengan kategori baik, kelompok usia 11-15
tahun 41,2% dengan kategori sedang dan kelompok usia 16-20 tahun 50% dengan
kategori buruk.15
Jika oral higiene tidak dipelihara dengan baik, maka akan menimbulkan penyakit
di dalam rongga mulut, yaitu karies gigi yang merupakan penyakit rongga mulut yang
dapat menyebabkan hilangnya gigi secara patologis.16,17 Anak berkebutuhan khusus
juga memiliki tingkat karies yang lebih tinggi dibandingkan anak normal.14,15
Penelitian yang dilakukan oleh Purohit MB dkk yang membandingkan status karies
anak berkebutuhan khusus dengan anak normal, indeks DMFT anak berkebutuhan
khusus lebih tinggi yaitu berkisar 2,52±2,61 sedangkan anak normal yaitu
0,61±1,12.17 Kemudian penelitian di juga menunjukkan Afrika skor rerata DMFT
pada anak tunagrahita yaitu 1,86±2,86, dan anak tunadaksa 1,53±2,43.18 Skor DMFT
yang tinggi pada anak berkebutuhan khusus disebabkan oleh ketidakmampuan fisik
mereka dalam menyikat gigi dan kesulitan dalam komunikasi untuk menyampaikan
kondisi kesehatan mulut.19,20 Penelitian yang dilakukan oleh Tulangow dkk. status
karies pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak adalah kategori sedang, yaitu
sebesar 87,5% pada tunagrahita dan 50% pada tunadaksa.21 Penelitian dilakukan oleh
Jain skor DMFT rata-rata pada tunagrahita yang paling tinggi pada responden

Universitas Sumatera Utara


4

kelompok usia 26-30 tahun sebesar 2,751,86, diikuti kelompok usia 21-25 tahun
sebesar 2,632,16, lalu kelompok usia
16-20 tahun 2,612,40 dan kelompok usia 12-15 tahun sebesar 1,502,13.22
Penelitian dilakukan oleh Aastha skor DMFT rata-rata pada tunadaksa yang paling
tinggi pada responden kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,60,03 diikuti 11-15 tahun
sebesar 1,91,74 lalu kelompok usia 6-10 tahun sebesar 1,36±2,01.13
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada anak
tunagrahita dan anak tunadaksa tentang status kesehatan rongga mulut pada anak
berkebutuhan khusus.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan pertanyaan umum
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana status oral higiene anak tunagrahita dan tunadaksa di YPAC Kota
Medan?
2. Bagaimana pengalaman karies anak tunagrahita dan tunadaksa di YPAC Kota
Medan?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui skor rerata dan status OHIS anak tunagrahita dan
tunadaksa di YPAC Kota Medan.
2. Untuk mengetahui skor rerata dan status OHIS anak tunagrahita dan
tunadaksa berdasarkan usia di YPAC Kota Medan.
3. Untuk mengetahui skor rerata dan pengalaman karies anak tunagrahita dan
tunadaksa di YPAC Kota Medan.
4. Untuk mengetahui skor rerata dan pengalaman karies berdasarkan usia di
YPAC Kota Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Universitas Sumatera Utara


5

1. Memberikan informasi kepada orang tua atau pengasuh mengenai status


kesehatan rongga mulut pada anak mereka yang berkebutuhan khusus untuk
memotivasi, memperhatikan, menjaga dan meberikan pengarahan kepada anak sejak
dini untuk menjaga kesehatan rongga mulut dengan baik dan benar.
2. Hasil penelitian ini sebagai data masukan bagi yayasan pembina anak cacat
untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut pada anak berkebutuhan khusus
3. Hasil penelitian ini sebagai sumber data untuk melakukan penelitian lebih
lanjut.

Universitas Sumatera Utara


6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Anak dengan segala keistimewaan didunia merupakan titipan dari yang Maha
Kuasa untuk dapat menjalani kehidupan dimuka bumi ini, adapun anak yang
memiliki kebutuhan khusus bukanlah anak yang memiliki segala kekurangan dengan
dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus
memiliki resiko yang lebih tinggi akan masalah kesehatan gigi dan mulut. Itu karena
mereka memiliki kekurangan dan keterbatasan mental maupun fisik untuk melakukan
pembersihan gigi sendiri yang optimal.

2.1. Anak Berkebutuhan Khusus


Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan
istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan kelainan khusus. Anak
berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki keterbatasan mental, fisik dan
emosi yang berbeda dengan anak normal.23 Anak berkebutuhan khusus mengalami
gangguan dalam berkembang, baik dari segi fisik maupun mentalnya serta
memerlukan pelayanan yang spesifik. Berbeda dengan anak pada umumnya, mereka
mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan baik permanen maupun
temporer yang disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor dalam diri anak sendiri, atau
kombinasi keduanya.3
Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari berkebutuhan khusus,
seperti disability, impairment, dan handicap. Menurut World Health Organization,
definisi masing-masing istilah adalah sebagai berikut: Disability yaitu keterbatasan
atau kurangnya kemampuan untuk menampilkan aktivitas sesuai dengan aturannya
atau masih dalam baatas normal, biasanya digunakan dalam level individu.
Impairment yaitu kehilangan atau ketidaknormalan dalam hal psikologis atau struktur
anatomi dan fungsinya, biasana digunakan pada level organ. Handicap yaitu

Universitas Sumatera Utara


7

ketidakberuntungan individu yang dihasilkan dari impairment atau disability yang


membatasi atau menghambat pemenuhan peran normal dalam individu.6

2.1.1. Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus


Faktor-faktor penyebab anak menjadi berkebutuhan khusus, dilihat dari waktu
kejadiannya dapat dibedakan menjadi tiga klasifikasi, yaitu kejadian sebelum
kelahiran dan penyebab yang terjadi setelah lahir.6,24
1. Pre- Natal
Terjadinya kelainan anak semasa dalam kandungan atau sebelum proses
kelahiran. Kejadian tersebut disebabkan oleh faktor internal yaitu faktor genetik dan
keturunan, atau faktor eksternal yaitu berupa ibu yang mengalami pendarahan karena
terbentur kandungannya atau jatuh sewaktu hamil, obat yang mencederai janin dan
kurang asuapan makanan yang bergizi sehingga janin kekurangan gizi.
2. Peri- Natal
Sering juga disebut natal, waktu terjadinya kelainan pada saat proses kelahiran
dan menjelang serta sesaat setelah proses kelahiran. Misalnya kelahiran yang sulit,
pertolongan yang salah, persalinan yang tidak spontan, lahir prematur, berat badan
lahir rendah, infeksi karena ibu mengidap Sipilis.
3. Pasca- Natal
Terjadinya kelainan setelah anak dilahirkan sampai dengan sebelum usia
perkembangan selesai (kurang lebih usia 18 tahun). Ini dapat terjadi karena
kecelakaan, keracunan, tumor otak, kejang, diare semasa bayi.

2.1.2 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Menurut IDEA atau Individuals with Disabilities Education Act Amandements
yang dibuat pada tahun 1997 dan ditinjau kembali pada tahun 2004: secara umum,
klasifikasi dari anak berkebutuhan khusus adalah:6,24
a. Anak dengan Gangguan Intelektual

Universitas Sumatera Utara


8

1. Tunagrahita, yaitu anak yang secara nyata mengalami hambatan dan


keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh dibawah rata-rata sehingga
mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial.
2. Anak Lamban belajar (slow learner), yaitu anak yang memiliki potensi
intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita (biasanya
memiliki IQ sekitar 70-90).
3. Anak berkesulitan belajar khusus, yaitu anak yang secara nyata mengalami
kesulitan dalam tugas- tugas akademik khusus, terutama dalam hal kemampuan
membaca, menulis dan berhitung atau matematika.
4. Anak berbakat, adalah anak yang memiliki bakat atau kemampuan dan
kecerdasan luar biasa yaitu anak yang memiliki potensi kecerdasan, kreativitas, dan
tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) diatas anak-anak seusianya (anak
normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
5. Autisme, yaitu gangguan perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya
gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi
sosial, komunikasi dan perilaku.
6. Indigo adalah manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus yang
tidak dimiliki manusia pada umumnya.
b. Anak dengan Gangguan Fisik
1. Tunanetra, yaitu anak yang indera penglihatannya tidak berfungsi (blind/low
vision) sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang
awas.
2. Tunarungu, yaitu anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal.
3. Tunadaksa, yaitu anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap
pada alat gerak (tulang, sendi dan otot).
c. Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku
1. Tunalaras, yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan
bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Universitas Sumatera Utara


9

2. Anak dengan gangguan komunikasi bisa disebut tunawicara, yaitu anak yang
mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang
mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa atau fungsi bahasa.
3. Hiperaktif, secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang
tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu
mengendalikan gerakan dan memusatkan perhatian.

2.2. Anak Tunagrahita


Dalam bahasa asing anak tunagrahita disebut juga mental retardation, mentally
retarded, mental deficiency dan mental defective. The American Psychiatric
Association mendefinisikan tunagrahita yaitu seseorang yang dikategorikan
tunagrahita apabila kecerdasannya secara umum dibawah rata-rata dan mengalami
kesulitan penyesuaian social dalam setiap fase peekembangannya.6,9 Oleh karena itu,
anak tunagrahita ini sangat membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yaitu
dengan cara memberikan pelayanan pendidikan secara khusus, yaitu dengan cara
memberikan pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan anak tersebut.25
a. Aspek Perkembangan Anak Tunagrahita
Perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dapat
dicapai melalui kematangan dan belajar. Perkembangan anak terdapat suatu peristiwa
yang dialaminya yaitu masa percepatan dan perlambatan.24 Aspek perkembangan
anak tunagrahita adalah:
1. Perkembangan Fisik
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita (retardasi mental) ada yang
tertinggal jauh oleh anak normal. Ada pula yang sama atau hampir menyamai anak
normal. Di antara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak normal
ialah fungsi jasmani dan motorik. Perkembangan jasmani dan motorik anak
tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal sebagaimana banyak ditulis
orang.24
2. Perkembangan Kognitif

Universitas Sumatera Utara


10

Para ahli psikologi perkembangan umumnya beranggapan bahwa jika anak


tunagrahita dibandingkan dengan anak normal yang mempunyai MA (mental
age) sama secara teoretis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama. Hal
ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa individu secara aktif mengkontruksikan
struktur internalnya melalui interaksi dengan lingkungan. Pendapat seperti itu tidak
seluruhnya benar sebab ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa anak
tunagrahita yang memilik MA yang sama dengan anak normal tidak memiliki
keterampilan kognitif yang sama. Anak normal tetap memiliki keterampilan kognitif
yang lebih unggul daripada anak tunagrahita.24
3. Perkembangan Sosial
Dalam kemampuan bidang sosial juga mengalami kelambatan kalau dibandingkan
dengan anak normal sebaya. Hal ini ditunjukkan dengan pergaulan mereka tidak
dapat mengurus, memelihara, dan memimpin diri. Kemampuan sosial mereka
ditunjukkan dengan Social Age (SA) yang sangat kecil dibandingkan dengan
Cronological Age (CA), sehingga skor sosial Social Quotient (SQ)nya rendah.6,24,25
4. Perkembangan Emosi
Perkembangan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan
tingkat ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang berat dan sangat berat
ketunagrahitaannya hampir tidak memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan
diri, dalam keadaan haus dan lapar tidak menunjukkan tanda-tandanya, mendapat
perangsang yang menyakitkan tidak mampu menjauhkan diri dari perangsang
tersebut. Kehidupan emosinya lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi
penghayatannya terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci. Anak yang
tidak terlalu berat ketunagrahitaannya mempunyai kehidupan emosi yang hampir
sama dengan anak normal tetapi kurang kaya, kurang kuat, kurang beragam, kurang
mampu menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.24
5. Perkembangan Kepribadian
Kepribadian anak tunagrahita dari berbagai penelitian oleh Leahy, Balla, dan
Zigler bahwa anak yang merasa retarded tidak percaya terhadap kemampuannya,
tidak mampu mengontrol dan mengarahkan dirinya sehingga lebih banyak bergantung

10

Universitas Sumatera Utara


11

pada pihak luar (external locus of control). Mereka tidak mampu untuk mengarahkan
diri sehingga segala sesuatu yang terjadi pada dirinya bergantung pengarahan dari
luar.24
6. Perkembangan Bahasa
Kemampuan bahasa sangat terbatas perbendaraaan kata terutama kata yang
abstrak. Pada anak yang ketunagrahitaannnya semakin berat banyak yang mengalami
gangguan bicara disebabkan cacat artikulasi dan problem dalam pembentukan
bunyi.24
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Pengelompokkan pada umumnya didasarkan pada dasar taraf inteligensinya,
yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Kemampuan inteligensi
anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford dan Skala Weschler (WISC)
yaitu:
1. Anak Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ
antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WSC) memiliki IQ
69-55. Mereka masih bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan
bimbingan dan pendidikan yang baik, anak tunagrahita ringan pada saatnya akan
dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Pada umumnya anak
tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak
seperti anak normal pada umumnya.24
2. Anak Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 53-36
pada Skala Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WSC) memiliki IQ 54-40.6,24
Anak tunagrahita sedang bias mencapai perkembangan Mental Age sampai kurang
lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindung diri sendiri dari
bahaya seperti kebakaran, berjalan di jalan raya, terlindung dari hujan dan lain – lain.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik,
seperti belajar menulis, membaca dan berhitung walaupun mereka masih dapat
menulis secara social, misalnya menulis nama sendiri, alamat rumahnya dan

11

Universitas Sumatera Utara


12

sebagainya. Masih dapat dididik mengurus diri sendiri, seperti mandi, berpakaian,
makan, minum, mengerjakan perkerjaan rumah tangga dan sebagainya. Dalam
kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan terus-
menerus.24

3. Anak Tunagrahita Berat


Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. Kelompok ini memiliki IQ 32-20 pada
Skala Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WSC) memiliki IQ 39-25. Anak
tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berpakaian,
mandi, makan dan lain – lain. Bahkan mereka memerlukan perlindungan dan bahaya
sepanjang hidupnya.24

2.3. Anak Tunadaksa


Istilah tunadaksa berasal dari kata tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa
yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh dan cacat
fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat
pada indramya. Istilah tunadaksa maksudnya sama dengan istilah yang berkembang,
seperti cacat tubuh, tuna tubuh, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled dan
orthopedic handicapped.25
a. Aspek Perkembangan Anak Tunadaksa
Aspek-aspek perkembang anak tunadaksa adalah:
1. Perkembangan Fisik
Secara umum perkembangan fisik anak tunadaksa dapat dikatakan hampir sama
dengan anak normal kecuali bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau
bagian-bagian tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.24
2. Perkembangan Kognitif
Anak tunadaksa dengan kerusakan alat tubuh, tidak ada masalah secara fisiologis
dalam struktur kognitifnya. Masalah terjadi ketika anak tunadaksa mengalami
hambatan dan mobilitas. Anak mengalami hambatan dalam melakukan dan

12

Universitas Sumatera Utara


13

mengembangkan gerakan-gerakan, sehingga dapat mengakibatkan hambatan secara


keseluruhan pada perkembangan struktur kognitif anak tunadaksa. Dalam pengukuran
intelegensi anak tunadaksa, sering ditemukan angka intelegensi yang cukup tinggi.
Namun potensi kognitif yang cukup tinggi pada anak-anak tunadaksa ini seringkali
belum dapat difungsikan secara optimal. Hambatan mobilitas, masalah emosi,
kepribadian akan mempengaruhi anak tunadaksa dalam melakukan eksplorasi keluar.6
3. Perkembangan Sosial
Faktor utama terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga,
teman-teman dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin menjelaskan
bahwa sikap, perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tunadaksa dapat
mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi. Sikap-sikap positif
yang ditunjukkan orang tua maupun teman-temannya akan lebih membantu anak
dalam penerimaan diri terhadap kenyataan yang dihadapi, sehingga masalah-masalah
perkembangan sosial dapat diatasi.24
4. Perkembangan Emosi
Ketunaan yang ada pada anak tunadaksa secara khusus tidak akan menghambat
dalam perkembangan emosi pada anak tunadaksa. Hambatan ini dialami setelah anak
mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya
mengalami kegagalan, ditambah kurangnya dukungan dari orangtua, menyebabkan
anak tunadaksa sering nampak muram, sedih dan jarang menampakkan rasa senang.24
5. Perkembangan Kepribadian
Pada usia dini anak tunadaksa mengalami gangguan dalam fungsi mobilitas,
gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan berjalan. Kondisi ini apabila
didukung dengan sikap yang negatif dari keluarga maupun masyarakat akan
menjadikan pengalaman di usia dini yang sangat menyakitkan, dan dapat menjadikan
pengalaman- pengalaman yang traumatis pada anak. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Tin dengan menggunakan tes grafis, ternyata ditemukan sebagian besar anak
tunadaksa mempunyai perasaan rendah diri (minder), kurang percaya diri,
kematangan sosialnya kurang, memiliki kondisi emosional negatif, menentang
lingkungan, tertutup, mengalami kekecewaan hidup, dan kompensensi.24

13

Universitas Sumatera Utara


14

b. Keadaan Inteligensi Anak Tunadaksa


Telah banyak penelitian yang bertujuan untuk mengetahuitingkat inteligensi anak
tunadaksa. Lee telah melakukan penelitian terhadap 148 anak tunadaksa dengan
menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat inteligensi anak tunadaksa yang
berumur antara 3-16 tahun, hasilnya dapat dilihat sebagai berikut :24

- IQ mereka berkisar antara 35-138.


- Rata-rata IQ mereka adalah 57.
- Anak yang menderita polio mempunyai IQ 92.
- Anak yang menderita TBC tulang mempunyai IQ 88.
- Anak yang menderita Spatis Paralysis mempunyai IQ 69.
- Anak yang menderita Cogenital Deformitis mempunyai IQ 61.
- Anak yang gangguan pada susunan syaraf pusat mempunyai IQ 74.
c. Klasifikasi Anak Tunadaksa
Menurut Hallahan dan Kauffman, pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu anak tunadaksa ortopedi
(orthopedically handicapped) dan anak tunadaksa saraf (neurologically
handicapped).6,24
1. Anak Tunadaksa Ortopedi
Menurut Herward dan Orlansky , anak tunadaksa ortopedi adalah anak tunadaksa
yang mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot
tubuh, ataupun daerah persendian, baik dibawa sejak lahir maupun yang diperoleh
kemudian karena penyakit atau kecelakaan sehingga mengakibatkan terganggunya
fungsi tubuh secara normal.23 Contoh kelainan yang termasuk dalam kategori
tunadaksa ortopedi yaitu poliomyelitis, tuberculosis tulang, osteomyelitis, arthritis,
paraplegia, musle dystrophia, kelainan pertumbuhan anggota atau anggota badan
yang tidak sempurna, cacat punggung, amputasi tangan, lengan, kaki dan lain-lain.7,25
2. Anak Tunadaksa Saraf
Menurut Herward dan Orlansky, anak tunadaksa saraf adalah anak yang
mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak. Otak sebagai

14

Universitas Sumatera Utara


15

pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh
sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik,
emosi dan mental. Luka pada bagian otak tertentu, efeknya akan mengalami
gangguan dalam perkembangan dan mengakibatkan ketidakmampuan dalam
melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada
fungsi otak adalah cerebral palsy. Menurut The American Academic cerebal palsy
yaitu berbagai perubahan gerakan atau fungsi motorik tidak normal dan timbul akibat
kecelakaan, luka, atau penyakit pada susunan saraf yang terdapat pada rongga
tengkorak.24,25

2.4. Kondisi Oral Anak Tunagrahita dan Tunadaksa


2.4.1. Oral Higiene
Anak tunagrahita memiliki status kebersihan rongga mulut yang lebih buruk
dibandingkan anak tunadaksa.1,26 Hal ini disebabkan adanya keterbatasan kemampuan
kognitif dan mobilitas, gangguan perilaku dan otot, refleks muntah dan gerakan tubuh
tidak terkontrol. Selain itu, anak tunagrahita juga memiliki keterbatasan dalam
mengerti dan menuruti instruksi menjaga kebersihan rongga mulut serta memiliki
kelainan bentuk dan struktur gigi yang mengakibatkan kebersihan rongga mulut
mereka tidak dapat dijaga dengan baik.26,27 Tingkat kebersihan rongga mulut Anak
tunadaksa lebih baik dikarenakan mereka hanya mengalami cacat fisik sehingga
mereka dapat memahami perlunya mempraktikkan kebersihan mulut yang baik dan
mampu memahami instruksi yang diberikan.9
Tingkat kebersihan rongga mulut dilihat dari keberadaan plak dan kalkulus pada
gigi. Plak gigi adalah suatu lapisan lunak yang tidak berwarna terdiri dari kumpulan
mikroorganisme yang berkembang pada permukaan gigi, gusi dan restorasi. Plak
memegang peranan penting dalam pembentukan debris dan kalkulus.28
Debris merupakan sisa makanan yang tertinggal di dalam mulut pada permukaan
dan diantara gigi-gigi serta gingiva setelah makan. Debris makanan dengan cepat
dilarutkan oleh enzim bakteri dan tersingkirkan dari rongga mulut dalam waktu 5
menit setelah makan, namun sebagian ada yang tertinggal pada gigi dan mukosa.

15

Universitas Sumatera Utara


16

Pembersihan makanan dari rongga mulut dipengaruhi beberapa hal yaitu aliran saliva,
aksi mekanis dari lidah, pipi, bibir, dan bentuk serta susunan gigi. Pembersihan akan
meningkat pada waktu mengunyah makanan dan pada saliva yang viskositasnya
rendah. Meskipun mengandung bakteri, debris makanan berbeda dari deposit lainnya
(plak dan materi alba).29
Kalkulus merupakan suatu masa yang mengalami kalsifikasi yang terbentuk dan
melekat erat pada permukaan gigi, misalnya restorasi dan gigi-geligi tiruan.
Berdasarkan hubungannya terhadap margin gingiva, kalkulus dikelompokkan
menjadi supragingiva dan subgingiva. Kalkulus supragingiva adalah kalkulus yang
melekat pada permukaan mahkota gigi mulai puncak margin gingiva dan dapat
dilihat. Kalkulus ini berwarna putih kekuning-kuningan, konsentasinya keras seperti
batu tanah liat dan mudah dilepaskan dari permukaan gigi dengan skeler. Warna
kalkulus dapat dipengaruhi oleh pigmen sisa makanan atau dari merokok. Kalkulus
subgingiva adalah kalkulus yang berada dibawah batas margin gingiva, biasanya pada
daerah saku gusi dan tidak dapat terlihat pada waktu pemeriksaan. Untuk menentukan
lokasi dan perluasan yang harus dilakukan probing dengan eksplorer. Biasanya padat
dan keras, warnanya coklat tua atau hijau kehitam-hitaman, konsistensinya seperti
kepala korek api, dan melekat erat ke permukaan gigi.16 Kebersihan gigi dan mulut
yang rendah akan menimbulkan bakteri. Perawatan untuk menjaga oral higiene perlu
dilakukan, agar menghindari terjadinya karies dan penyakit periodontal.
Kebersihan gigi dan mulut dapat diukur dengan beberapa jenis indeks. Contoh
dari indeks – indeks tersebut yaitu oral hygiene index (OHI), simplified oral hygiene
index (OHI-S), modified patient hygiene performance index (PHP- M index), plaque
free score index, plaque control record, dan oral health status index. Oral Hygiene
Index digunakan karena dianggap sebagai metode yang simpel dan peka untuk
mengukur kebersihan gigi dan mulut secara individu atau pun kelompok, namun
mengharuskan penggunanya membuat keputusan untuk memilih gigi yang akan
diperiksa dan memerlukan waktu yang lebih untuk memeriksa 12 gigi – geligi.
Sebagai alternatif, maka metode OHI-S digunakan karena memerlukan waktu yang

16

Universitas Sumatera Utara


17

lebih sedikit walau pun tidak sepeka hasil yang didapat jika dibandingkan dengan
metode OHI.30
Oral hygiene index-simplified (OHI-S) merupakan salah satu indeks yang dapat
digunakan untuk menentukan apakah oral hygiene seseorang termasuk ke dalam
kategori baik, sedang, atau buruk. OHI-S pertama kali diperkenalkan oleh John C
Greene dan Jack R Vermillion tahun 1964.30,31 Pengunaan Oral hygiene index-
simplified memiliki kelebihan yaitu mudah digunakan, waktu pemeriksaan yang
diperlukan sedikit, dapat digunakan untuk penelitian lapangan dan epidemologi
penyakit periodontal, dapat menetukan status kebersihan mulut dan mulut suatu
kelompok dan berguna dalam evaluasi edukasi kebersihan gigi dan mulut. Sedangkan
kekurangannya adalah derajat kesensitifannya kurang disbanding sebelumnya,
penilaian skor debris dan kalkulus yang kurang tepat dapat terjadi dan tidak cocok
untuk penelaian status kebersihan gigi dan mulut secara individu.31 Syarat gigi yang
dapat diperiksa sebagai kriteria OHIS yaitu32
a. Gigi yang di restorasi full crown tidak di skoring.
b. Hilangnya tinggi permukaan gigi karena karies atau trauma tidak di skoring.
c. Pada gigi posterior, gigi yang pertama kali erupsi diperiksa, biasanya molar
pertama.
d. Pada gigi anterior, yang diperiksa adalah insisivus sentralis kanan atas dan
insisivus sentralis kiri bawah.
e. Jika gigi insisivus sentralis yang akan diperiksa tidak ada, dapat digantikan
dengan insisivus sentralis yang berlawanan sisi.
Skor OHI-S didapatkan dengan menjumlahkan indeks debris (debris index/DI)
dan indeks kalkulus (calculus index/CI). Pada pengukuran OHI-S, hanya 6 gigi dan
permukaan tertentu saja yang diperiksa (gigi indeks)31
a. Molar satu kanan atas bagian bukal.
b. Insisivus sentralis kanan atas bagian labial.
c. Molar satu kiri atas bagian bukal.
d. Molar satu kiri bawah bagian lingual.
e. Insisivus sentralis kiri bawah bagian labial.

17

Universitas Sumatera Utara


18

f. Molar satu kanan bawah bagian lingual.


Kriteria penilaian indeks debris dan kalkulus:
1. Pemeriksaan Skor Debris
Debris adalah bahan lunak di permukaan gigi yang dapat merupakan plak.
Kriteria skor debris yaitu sebagai berikut:

Gambar 12. Metode skor debris30

Keterangan:
0=tidak ada debris
1=debris menutup tidak lebih dari 1/3 permukaan servikal atau terdapat stain
ekstrinsik tanpa debris pada daerah tersebut.
2=debris menutupi lebih dari 1/3 tapi kurang dari 2/3 permukaan gigi.
3=debris menutupi lebih dari 2/3 dari permukaan gigi.
Cara pemeriksaan debris dapat dilakukan tanpa menggunakan larutan diskolosing
yaitu dengan menggunakan sonde biasa untuk pemeriksaan debris. Gerakan sonde
secara mendatar pada permukaan gigi, dengan demikian debris akan terbawa oleh
sonde. Pemeriksaan indeks dimulai dari sepertiga bagian insisal atau oklusal, jika

18

Universitas Sumatera Utara


19

pada bagian ini tidak ditemukan debris, lanjutkan pada dua pertiga bagian gigi, dan
jika dibagian ini tidak dijumpai maka teruskan sampai kesepertiga bagian
servikal.31,33

Indeks Debris = Jumlah angka tiap bagian

Jumlah bagian yang diberi angka (6)

2. Pemeriksaan Skor Kalkulus


Kalkulus adalah deposit keras yang melekat erat pada gigi dan berwarna kuning.
Kriteria skor kalkulus yaitu sebagai berikut:

Gambar 13. Metode skor kalkulus30

Keterangan:
0=tidak ada kalkulus
1=kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.
2=kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 tapi tidak lebih dari 2/3
permukaan gigi yang terkena adanya kalkulus subgingiva berupa flek disekeliling
leher gigi.
3=kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi yang terkena.
Adanya kalkulus subgingiva berupa pita yang tidak terputus disekeliling gigi.

19

Universitas Sumatera Utara


20

Indeks Kalkulus = Jumlah skor

Jumlah bagian yang diberi angka (6)

Skor indeks debris dan kalkulus memiliki rentang nilai 0-3 dengan tiga
kategori :
a. 0,0-0,6 : Baik
b. 0,7-1,8 : Sedang
c. 1,9-3,0 : Buruk

OHI-S = Indeks Debris + Indeks Kalkulus

Skor OHI-S memiliki rentang nilai 0-6 yang terbagi ke dalam tiga kategori:
a. 0,0-1,2 : OHI-S baik
b. 1,3-3,0 : OHI-S sedang
c. 3,1-6,0 : OHI-S buruk

2.4.2. Karies
Pengalaman karies anak tunagrahita dan tunadaksa keduanya lebih tinggi
daripada anak normal.10,12,21 Hal ini terjadi karena kurangnya menjaga kebersihan
rongga mulut dan kunjungan ke dokter gigi serta mengkonsumsi makanan manis.5
Pada anak tunagrahita memiliki pengalaman karies yang tinggi dikarenakan sulitnya
mereka untuk berkomunikasi meminta perawatan dan masalah keadaan dalam rongga
mulut karena keterbatasan intelektual.34 Pengalaman karies anak tunadaksa yang
tinggi disebabkan keterbatasan fisik mereka untuk mengakses perawatan.12
Untuk mengukur pengalaman karies dapat menggunakan indeks karies gigi.
Terdapat beberapa indeks karies gigi yaitu, DMFT/deft menurut WHO (1997),
DMFT/deft menurut Klein dan DMFT menurut Mohler.35 Pada penelitian ini akan
digunakan indeks WHO. Indeks WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman

20

Universitas Sumatera Utara


21

karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga
karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi.
Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanaen pada
orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak.Perhitungan skor DMFT
menurut WHO, diperoleh dari penjumlahan skor Decay, Missing, dan Filling.
Diagnosa Decay, Missing, dan Filling diperoleh berdasarkan kriteria sebagai
berikut:35

Tabel 1. Indeks Karies Menurut WHO


Kode Kondisi
0 Sehat
1 Lubang
2 Tumpatan dengan lubang (karies sekunder)
3 Tumpatan baik
4 Hilang karena karies
5 Hilang oleh sebab lain
6 Fissure silen
7 Gigi penyangga jembatan, crown atau implant
8 Tidak tumbuh
T Trauma
9 Tidak diperiksa

Skor Decay (D) = ∑ kode 1 dan atau kode 2


Skor Missing (M) = ∑ kode 4
Skor Filling (F) = ∑ kode 3
DMF-T = Decay (D) + Missing (M) + Filling (F)

Rata-rata DMFT = Jumlah DMFT

Jumlah yang diperiksa

21

Universitas Sumatera Utara


22

2.5. Kerangka Konsep

Anak tunagrahita dan


tunadaksa

- Status OHIS
- Pengalaman Karies

22

Universitas Sumatera Utara


23

23

Universitas Sumatera Utara


24

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian survey deskriptif dengan desain cross
sectional dimana setiap sampel diperiksa satu kali dan pada satu waktu.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian adalah YPAC Medan berada di jalan Adinegoro No. 2,
Kecamatan Medan timur. Penelitian ini dilakukan pada Januari-Februari.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian adalah seluruh anak berkebutuhan khusus usia 6-35
tahun di Yayasan Pendidikan Anak Cacat Medan.

3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total sampling,
yaitu mengambil seluruh anak sebanyak 109 anak tunagrahita dan 32 anak tunadaksa.
Pada saat penelitian jumlah sampel yang hadir sebanyak 80 anak tunagrahita dan 26
anak tunadaksa, 3 orang anak tidak hadir sehingga jumlah sampel seluruhnya 106
orang.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
Adapun kriteria inklusi pada penelitian ini, yaitu:
1. Anak berkebutuhan khusus yang dapat dilakukan pemeriksaan.
2. Disetujui oleh orang tua dengan pengisian informed consent.

24

Universitas Sumatera Utara


25

3.4.2 Kriteria Eklusi


Adapun kriteria eklusi pada penelitian ini, yaitu:
Anak berkebutuhan khusus yang tidak kooperatif

2.5 Variabel penelitian


1. Status oral higiene anak berkebutuhan khusus di YPAC Kota Medan.
2. Status karies anak berkebutuhan khusus di YPAC Kota Medan.

2.6 Definisi Operasional


Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
Status Oral Status oral Pemeriksaan OHIS 1. Baik: Ordinal
Higiene. higiene adalah dilakukan dengan 0,0-1,2
tingkat kebersihan cara mengukur indeks 2. Sedang:
gigi dan mulut debris dan indeks 1,3-3,0
yang dinilai dari kalkulus 3. Buruk:
banyaknya debris menggunakan kaca 3,1-6,0
dan karang gigi mulut dan sonde ke
(kalkulus), permukaan tertentu,
dengan yaitu bukal gigi 16
menggunakan dan 26, labial gigi 11
skor OHIS (Oral dan 31, lingual gigi
Hygiene Index 36 dan 46.
Simplified) oleh Pemeriksaan
Greene dan dilakukan dengan
Vermillion. cara meletakkan
sonde pada
permukaan gigi
daerah 1/3 insisal atau
oklusal lalu
digerakkan menuju
daerah 1/3 gingival
atau servikal.
Perhitungan skor
debris dan kalkulus
dimulai dari skor
tertinggi.
Skor pemeriksaan
dicatat pada lembar

25

Universitas Sumatera Utara


26

pemeriksaan.
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur

Pengalaman Batas ukur nilai Pemeriksaan DMFT Status karies Ordinal


karies DMFT/deft. dilakukan dengan berdasarkan
Indeks menggunakan senter, skor karies
DMFT/deft kaca mulut datar dan menurut
menurut WHO sonde. Pemeriksaan WHO:
dengan dilakukan dari bagian 1. Rendah:
menjumlahkan distal dari gigi paling 1-2
semua DMF/def belakang regio kanan 2. Sedang:
pada gigi atas pasien dengan 3-4
permanen dan menggunakan sonde 3. Tinggi:
gigi desidui -D/d : dan kaca mulut. Bila ≥5
kode 1/B dan 2/C terlihat gigi yang ada
-M/e : kode 4/E - karies, maka gigi
F/f : kode 3/D tersebut dibersihkan
Kriteria lalu dikeringkan
pemeriksaan dengan menggunakan
karies menurut kapas. Gigi tambalan
Indeks WHO- dan hilang juga
0/A: Permukaan diperiksa. Hasil
gigi sehat dicatat pada lembar
-1/B: Gigi karies pemeriksaan.
-2/C: Gigi dengan
tumpatan ada
karies
-3/D: Gigi dengan
tumpatan baik,
tidak ada karies -
4/E: Gigi yang
hilang karena
karies

3.7. Prosedur Pengumpulan Data

26

Universitas Sumatera Utara


27

1. Peneliti akan meminta izin dari Komisi Etik FK USU. Setelah itu peneliti
akan meminta izin kepada kepala yayasan anak cacat (YPAC) yang akan diteliti, lalu
memberikan informed consent kepada orang tua anak berkebutuhan khusus tersebut.
2. Pemeriksaan OHIS dilakukan dengan cara mengukur indeks debris dan indeks
kalkulus menggunakan kaca mulut dan sonde ke permukaan tertentu, yaitu bukal gigi
16 dan 26, labial gigi 11 dan 31, lingual gigi 36 dan 46. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara meletakkan sonde pada permukaan gigi daerah 1/3 insisal atau oklusal
lalu digerakkan menuju daerah 1/3 gingival atau servikal. Skor pemeriksaan dicatat
pada lembar pemeriksaan. Pada anak tunagrahita, dijumpai kesulitan dalam mengukur
OHIS oleh karena mereka takut terhadap alat yang dimasukkan ke dalam mulut
mereka sedangkan anak tunadaksa tidak ditemukan kesulitan yang berarti dalam
pemeriksaan OHISnya.
3. Sesudah pemeriksaan oral higiene, pemeriksaan gigi dilakukan dengan
menggunakan sonde, kaca mulut, dan eksavator. Kepala anak setengah mengadah dan
diminta untuk membuka mulut. Pemeriksaan dilakukan dari bagian distal dari gigi
paling belakang regio kanan atas pasien dengan menggunakan sonde dan kaca mulut.
Karies, tumpatan, dan pencabutan gigi dicatat dan dijumlahkan pada form yang telah
disediakan.

3.8. Pengolahan dan Analisis Data


Semua hasil pengisian kuisioner diperiksa untuk memastikan semua pertanyaan
telah dijawab sudah dijawab dan dilakukan penilaian sesuai skor. Hasil akhir setiap
kuesioner dihitung secara manual dan data diolah secara komputerisasi. Data
disajikan dalam bentuk presentase.

3.9. Etika Penelitian


3.9.1 Kelayakan Etik (Ethical Clearance)
Peneliti mengajukan surat permohonan atas kelayakan etik disertai dengan
proposal penelitian yang ditujukan kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK)
di Fakultas Kedokteran USU.

27

Universitas Sumatera Utara


28

3.9.2 Lembar Persetujuan (Surat Izin)


Peneliti meminta izin dan menjelaskan tujuan dari penelitian kepada orang tua
anak berkebutuhan khusus di YPAC Kota Medan yang termasuk dalam kriteria
inklusi untuk meminta agar berpartisipasi dalam penelitian. Bagi responden yang
setuju, dimohon untuk menandatangani persetujuan penelitian.

28

Universitas Sumatera Utara


29

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden di YPAC Medan


Berdasarkan jenis responden anak berkebutuhan khusus persentase anak
tunagrahita sebanyak 75,47% dan anak tunadaksa 24,52% (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik responden berdasarkan jenisnya di YPAC Medan (n=106)

Responden n %
Tunagrahita 80 75,47
Tunadaksa 26 24,52

Berdasarkan karakteristik usia diperoleh persentase tertinggi pada kelompok usia


17-25 tahun 36,79%, diikuti kelompok usia 12-16 tahun 30,18% lalu kelompok usia
5-11 tahun 23,58% dan kelompok usia 26-35 tahun 9,43% (Tabel 3).

Tunagrahita Tunadaksa
Usia (tahun) n
n % n %
5 -11 25 22 27,5 3 11,53
12-16 32 20 25 12 46,15
17-25 39 28 35 11 42,30
26-35 10 10 12,50 - -
Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan usia di YPAC Medan (n=106)

4.2 Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut Responden


Rata-rata skor debris pada tunagrahita adalah, yaitu 0,930,60 dan anak
tunadaksa 0,780,60. Rata-rata skor kalkulus pada tunagrahita yaitu 0,620,57 dan
tunadaksa 0,650,67. Secara keseluruhan, rata-rata skor oral higiene pada anak

29

Universitas Sumatera Utara


30

tunagrahita yaitu 1,551,09 dan anak tunadaksa 1,441,20 (Tabel 4).


Tabel 4. Distribusi nilai rerata kebersihan rongga mulut responden berdasakan
jenisnya (n=106).
DI CI OHIS
Responden N
̅  SD ̅  SD ̅  SD
Tunagrahita 80 0,930,60 0,62 0,57 1,551,09
Tunadaksa 26 0,780,60 0,65 0,67 1,441,20

4.3 Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut pada Responden.


Status kebersihan rongga mulut terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa adalah
kategori sedang, yaitu sebesar 50% pada tunagrahita dan 53,84% pada tunadaksa,
diikuti dengan kategori baik yaitu sebanyak 36,25% pada tunagrahita dan 42,30%
pada tunadaksa lalu kategori buruk yaitu sebanyak 13,75% pada tunagrahita dan
3,84% pada tunadaksa (Tabel 5).

Tabel 5. Distribusi status kebersihan rongga mulut pada responden (n=106).


OHIS
Responden n Baik Sedang Buruk
n % N % n %
Tunagrahita 80 29 36,25 40 50 11 13,75
Tunadaksa 26 11 42,30 14 53,84 1 3,84

4.4 Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut ABK Berdasakan


Usia
Pada tunagrahita, rata-rata skor debris tertinggi diperoleh pada kelompok usia
26-35 tahun 1,080,55, diikuti kelompok usia 17-25 tahun 1,020,69 lalu kelompok
usia 12-16 tahun 0,890,52 dan kelompok usia 5-11 tahun 0,780,56. Rata-rata skor
kalkulus tertinggi diperoleh pada kelompok usia 26-35 tahun 0,930,66, diikuti
kelompok usia 17-25 tahun 0,670,63 lalu kelompok usia 12-16 tahun 0,640,57 dan
kelompok usia 5-11 tahun 0,400,39. Rata-rata skor OHIS tertinggi diperoleh pada
kelompok usia 26-35 tahun 2,011,20, diikuti kelompok usia 17-25 tahun 1,721,23

30

Universitas Sumatera Utara


31

lalu kelompok usia 12-16 tahun 1,491,01 dan kelompok usia 5-11 tahun 1,110,82.
(Tabel 6).

Pada tunadaksa, rata-rata skor debris tertinggi diperoleh pada kelompok usia 5-11
tahun 1,200,72, diikuti kelompok usia 12-16 tahun 0,780,72 lalu kelompok usia17-
25 tahun 0,680,41. Rata-rata skor kalkulus tertinggi diperoleh pada kelompok usia
5-11 tahun 1,100,85, diikuti kelompok usia 12-16 tahun 0,750,78 lalu kelompok
usia17-25 tahun 0,420,44. Rata-rata skor OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok
usia 5-11 tahun 2,301,57, diikuti kelompok usia 7-17 tahun 1,541,40 dan
kelompok usia 17-25 tahun 1,100,77 (Tabel 6).

Tabel 6. Distribusi nilai rerata kebersihan rongga mulut responden berdasakan usia
(n=106).
Tunagrahita Tunadaksa
Usia
n DI CI OHIS DI CI OHIS
(tahun)
̅  SD ̅  SD ̅  SD ̅  SD ̅  SD ̅  SD
5 -11 25 0,780,56 0,400,39 1,110,82 1,200,72 1,100,85 2,301,57
12-16 32 0,890,52 0,640,57 1,491,01 0,780,72 0,750,78 1,541,40
17-25 39 1,020,69 0,670,63 1,721,23 0,680,41 0,420,44 1,100,77
26-35 10 1,080,55 0,930,66 2,011,20 - - -

4.5 Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut Responden Berdasarkan


Usia
Status kebersihan rongga mulut tertinggi pada setiap kelompok usia tunagrahita
yaitu kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 54,54% dengan kategori baik,
kelompok usia 12-16 tahun 50% dengan kategori sedang, kelompok usia 17-25 tahun
57,14% dengan kategori sedang dan kelompok usia 26-35 tahun 40% pada kategori
sedang.

Status kebersihan rongga mulut tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa
yaitu kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 66,66% dengan kategori sedang,

31

Universitas Sumatera Utara


32

kelompok usia 12-16 tahun 58,33% dengan kategori sedang dan kelompok usia 17-25
tahun 55,54% dengan kategori baik (Tabel 7).

Tabel 7. Distribusi status kebersihan rongga mulut responden berdasarkan usia


(n=106).
OHIS
Usia
n Baik Sedang Buruk
(Tahun)
n % n % n %
Tunagrahita
5 -11 22 12 54,54 10 45,45 0 0
12-16 20 8 40 10 50 2 10
17-25 28 7 25 16 57,14 5 17,85
26-35 10 2 20 4 40 4 40
Tunadaksa
5 -11 3 1 33,33 2 66,66 0 0
12-16 12 4 33,33 7 58,33 1 8,33
17-25 11 6 54,54 5 45,45 0 0

4.6 Distribusi Nilai Rerata DMFT Pada Responden


Decay (D) rata-rata pada anak tunagrahita adalah 2,47  2,47 dan anak tunadaksa
1,53  1,79. Secara keseluruhan skor DMFT rata-rata pada anak tunagrahita lebih
tinggi, yaitu 3,56 3,47 dan anak tunadaksa 2,53 2,21 (Tabel 8).

D M F DMFT
Jenis n
̅  SD ̅  SD ̅  SD ̅  SD
Tunagrahita 80 2,47  2,47 0,91 1,84 0,11 0,50 3,56 3,47
Tunadaksa 26 1,53  1,79 0,88  1,48 0,11  0,43 2,53 2,21
Tabel 8. Distribusi nilai rerata DMFT pada responden (n=106).

4.7 Distribusi Status Karies Pada Responden

32

Universitas Sumatera Utara


33

Status karies terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa adalah kategori sedang,
yaitu sebesar 40% pada tunagrahita dan 61,53% pada tunadaksa, diikuti dengan
kategori baik yaitu sebanyak 33,75% pada tunagrahita dan 30,76% pada tunadaksa
lalu kategori buruk yaitu sebanyak 26,25% pada tunagrahita dan 7,69% pada
tunadaksa (Tabel 9).

Tabel 9. Distribusi status kebersihan rongga mulut pada responden (n=106).


Status karies DMFT
Jenis n Rendah Sedang Tinggi
n % n % n %
Tunagrahita 80 27 33,75 32 40 21 26,25
Tunadaksa 26 8 30,76 16 61,53 2 7,69

4.8 Distribusi Rerata DMFT Pada Responden Berdasarkan Usia


Decay (D) rata-rata pada anak tunagrahita yang paling tinggi pada responden
kelompok usia 26-35 tahun yaitu 3,003,43 diikuti kelompok usia 17-25 tahun
2,922,58 lalu kelompok usia 12-16 tahun sebesar 2,401,93 dan kelompok usia 5-11
tahun 1,722,25 sedangkan Decay (D) rata-rata pada anak tunadaksa yang paling
tinggi pada kelompok usia 12-16 tahun 1,911,2 diikuti kelompok usia 17-25 tahun
1,272,00 lalu kelompok usia 5-11 tahun 1,00 1,73 (Tabel 10).
Secara keseluruhan skor DMFT rata-rata pada anak tunagrahita yang paling
tinggi pada responden kelompok usia 26-35 tahun yaitu 6,506,43 diikuti kelompok
usia 17-25 tahun 3,892,89 lalu kelompok usia 12-16 tahun sebesar 2,902,22 dan
kelompok usia 5-11 tahun 2,402,53 sedangkan skor DMFT rata-rata pada anak
tunadaksa yang paling tinggi pada kelompok usia 17-25 tahun 3,902,58 diikuti
kelompok usia 12-16 tahun 2,331,96 lalu kelompok usia 5-11 tahun 1,33 1,52
(Tabel 10).

Usia (Tahun) N D M F DMFT

33

Universitas Sumatera Utara


34

̅  SD ̅  SD ̅ SD ̅  SD
Tunagrahita
5 -11 22 1,722,25 0,681,21 0 2,40  2,53
12-16 20 2,401,93 0,250,55 0,501,31 2,90  2,22
17-25 28 2,922,58 0,891,13 0,070,37 3,89  2,89
26-35 10 3,003,43 3,303,83 0,200,63 6,50 6,43
Tunadaksa
5 -11 3 1,001,73 0,330,57 0 1,331,52
12-16 12 1,911,72 0,410,66 0 2,331,96
17-25 11 1,272,00 1,542,01 0,270,64 3,902,58
Tabel 10. Distribusi rerata DMFT pada responden berdasarkan usia.

4.9 Distribusi Status Karies Pada Responden Berdasarkan Usia


Status karies tertinggi pada setiap kelompok usia tunagrahita yaitu kelompok usia
5-11 tahun yaitu sebesar 50% dengan kategori sedang, kelompok usia 12-16 tahun
50% dengan kategori sedang, kelompok usia 17-25 tahun 39,28% dengan kategori
sedang dan kelompok usia 26-35 tahun 50% pada kategori tinggi.

Status karies tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok usia
5-11 tahun yaitu sebesar 66,66% dengan kategori sedang, kelompok usia 12-16 tahun
50% dengan kategori sedang dan kelompok usia 17-25 tahun 81,81% dengan kategori
sedang (Tabel 11).

Tabel 11.Distribusi status kebersihan rongga mulut pada responden berdasarkan


usia(n=106).
Status karies DMFT
Usia
N Rendah Sedang Tinggi
(Tahun)
n % n % n %
Tunagrahita
5 -11 22 9 40,90 11 50 2 9,09
12-16 20 6 30 10 50 4 20
17-25 28 8 28,57 11 39,28 9 32,14
26-35 10 2 20 3 30 5 50
Tunadaksa
5 -11 3 1 33,33 2 66,66 0 0
12-16 12 5 41,66 6 50 1 8,33
17-25 11 1 9,09 9 81,81 1 9,09

34

Universitas Sumatera Utara


35

35

Universitas Sumatera Utara


36

BAB 5
PEMBAHASAN

Berdasarkan tabel 4, rata-rata skor OHIS pada anak tunagrahita yaitu 1,551,09
dan anak tunadaksa 1,441,20. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma A dkk yang
menunjukkan indeks OHIS anak berkebutuhan khusus lebih buruk daripada anak
normal yaitu 1,51±0,93, sedangkan anak normal 1,15±0,72.8 Hasil penelitian ini
menujukkan bahwa skor rata-rata OHIS anak tunagrahita dan tunadaksa lebih tinggi
daripada anak normal. Hal ini disebabkan anak berkebutuhan khusus memiliki
kemampuan IQ dibawah anak normal sehingga lebih sulit memberikan arahan
mengenai kesehatan gigi dan mulut.
Berdasarkan tabel 5, status OHIS terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa
adalah kategori sedang, yaitu sebesar 53,75% pada tunagrahita dan 53,84% pada
tunadaksa. Hal ini sama dengan penelitian di Manado, menunjukkan status
kebersihan rongga mulut terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa adalah kategori
sedang, yaitu sebesar 81,3% pada tunagrahita dan 62,5% pada tunadaksa.3 Hal ini
disebabkan karena anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam menjaga
kebersihan rongga mulutnya, seperti kurangnya minat dan tidak efektifnya dalam
menggosok gigi dan memakai benang gigi sehingga dibutuhkan panduan, penjagaan,
dan observasi dari keluarga maupun pengasuh ketika membersihkan giginya.1,36
Berdasarkan tabel 6, rata-rata skor OHIS pada tunagrahita tertinggi diperoleh
pada kelompok usia 26-35 tahun 2,011,20, diikuti kelompok usia 17-25 tahun
1,721,23 lalu kelompok usia 12-16 tahun 1,491,01 dan kelompok usia 5-11 tahun
1,110,82. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Kothari dkk.
pada tunagrahita rata-rata skor OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok usia 26-30
tahun yaitu 3,300,00, diikuti kelompok usia 21-25 tahun sebesar 3,411,77 lalu
kelompok usia 16-20 tahun sebesar 2,991,34, kelompok usia 11-15 tahun sebesar
2,601,31 dan kelompok usia 5-10 tahun sebesar 1,481,11.11 Adanya peningkatan

36

Universitas Sumatera Utara


37

rerata skor dan status OHIS pada tunagrahita seiring bertambahnya usia. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan indeks kalkulus dari akumulasi plak yang meningkat
seiring bertambahnya usia dan memperburuk OHIS.11,37-8 Pada tunadaksa rata-rata
skor OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok usia 5-11 tahun 2,301,57, diikuti
kelompok usia 7-17 tahun 1,541,40 dan kelompok usia 17-25 tahun 1,100,77.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Aastha dkk. pada tunadaksa rata-rata skor OHIS
tertinggi diperoleh pada kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,080,10, diikuti
kelompok usia 11-15 tahun sebesar 2,381,01 lalu kelompok usia 6-10 tahun yaitu
2,320.99.13 Adanya penurunan rerata skor seiring bertambahnya usia pada tunadaksa
dikarenakan semakin bertambahnya usia semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola pikiran seseorang.
Berdasarkan tabel 7, Status OHIS tertinggi pada setiap kelompok usia tunagrahita
yaitu kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 54,54% dengan kategori baik,
kelompok usia 12-16 tahun 50% dengan kategori sedang, kelompok usia 17-25 tahun
57,14% dengan kategori sedang dan kelompok usia 26-35 tahun 40% pada kategori
sedang. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Hardiani AK dkk. status OHIS
tertinggi pada setiap kelompok usia tunagrahita yaitu kelompok usia 6-10 tahun yaitu
sebesar 73,04% dengan kategori sedang, kelompok usia 11-15 tahun 21,74% dengan
kategori sedang, kelompok usia 16-20 tahun 43,48% dengan kategori sedang dan
kelompok usia 21-25 tahun 21,74% pada kategori buruk.14 Status OHIS pada
tunagrahita, semakin bertambah usia semakin buruk status OHIS. Hal ini terjadi
karena rendahnya intelektualitas dan keterbatasan motorik tunagrahita yang
menyebabkan daya ingat dan daya tangkap menurun sehingga sering lupa dan
kesulitan dalam membersihkan gigi. Kesulitan dan jarang membersihkan gigi
menyebabkan terjadinya penumpukan kalkulus seiring bertambahnya usia.37 Status
OHIS tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok usia 5-11 tahun
yaitu sebesar 66,66% dengan kategori sedang, kelompok usia 12-16 tahun 58,33%
dengan kategori sedang dan kelompok usia 17-25 tahun 55,54% dengan kategori
baik. Hasil ini berbeda dengan penelitian Folakemi A dkk. Status OHIS tertinggi pada
setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok usia 6-10 tahun yaitu sebesar 54,5%

37

Universitas Sumatera Utara


38

dengan kategori baik, kelompok usia 11-15 tahun 41,2% dengan kategori sedang dan
kelompok usia 16-20 tahun 50% dengan kategori buruk.15 Status OHIS anak
tunadaksa, semakin bertambah usia semakin banyak kategori baik. Seiring
bertambahnya usia, maka pengetahuan yang akan didapat semakin banyak, diiringi
dengan perkembangan mental yang lebih baik sehingga motivasi untuk berprilaku
baik menjadi lebih besar.39
Berdasarkan tabel 8, skor DMFT rata-rata pada anak tunagrahita, yaitu 3,56
3,47 dan anak tunadaksa 2,53 2,21. Penelitian yang dilakukan oleh Purohit MB dkk
yang membandingkan status karies anak berkebutuhan khusus dengan anak normal,
indeks DMFT anak berkebutuhan khusus lebih tinggi yaitu berkisar 2,52±2,61
sedangkan anak normal yaitu 0,61-1,12.17 Skor DMFT anak berkebutuhan khusus
lebih tinggi terjadi karena anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam
menjaga kebersihan rongga mulut dan pola makan serta kurangnya perhatian orang
tua terhadap masalah gigi dan mulut anak.38
Berdasarkan tabel 9, status karies terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa
adalah kategori sedang, yaitu sebesar 40% pada tunagrahita dan 61,53% pada
tunadaksa. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Tulangow dkk.
status karies pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak adalah kategori sedang, yaitu
sebesar 87,5% pada tunagrahita dan 50% pada tunadaksa.21 Hal ini disebabkan
kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan gigi dan
mulut kurang memadai, kebiasaan makan yang tidak teratur dan kurangnya insiatif
untuk melakukan pencegahan.40-2
Berdasarkan tabel 10, skor DMFT rata-rata pada anak tunagrahita yang paling
tinggi pada responden kelompok usia 26-35 tahun yaitu 6,506,43 diikuti kelompok
usia 17-25 tahun 3,892,89 lalu kelompok usia 12-16 tahun sebesar 2,902,22 dan
kelompok usia 5-11 tahun 2,402,53 dan skor DMFT rata-rata pada anak tunadaksa
yang paling tinggi pada kelompok usia 17-25 tahun 3,902,58 diikuti kelompok usia
12-16 tahun 2,331,96 lalu kelompok usia 5-11 tahun 1,33 1,52. Pada peneliltian ini
menunjukkan skor rerata DMFT meningkat saat bertambahnya usia. Hal ini sesuai

38

Universitas Sumatera Utara


39

dengan penelitian dilakukan oleh Jain skor DMFT rata-rata pada tunagrahita yang
paling tinggi pada responden kelompok usia 26-30 tahun sebesar 2,751,86, diikuti
kelompok usia 21-25 tahun sebesar 2,632,16, lalu kelompok usia 16-20 tahun
2,612,40 dan kelompok usia 12-15 tahun sebesar 1,502,1322 dan penelitian
dilakukan oleh Aastha skor DMFT rata-rata pada tunadaksa yang paling tinggi pada
responden kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,60,03 diikuti 11-15 tahun sebesar
1,91,74 lalu kelompok usia 6-10 tahun sebesar 1,36 2,01.13 Rerata DMFT semakin
meningkat saat bertambahnya usia dikarenakan anak jarang dibawa ke dokter gigi
untuk melakukan perawatan gigi dikarenakan keterbatasan fisik dan ketakutan pergi
ke dokter gigi sehingga karies terus bertambah karena waktu yang lebih panjang
untuk proses terjadinya karies.21,22
Berdasarkan tabel 11, status karies gigi kategori tinggi tertinggi tunagrahita
diperoleh pada kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebesar 50% diikuti kelompok usia
17-25 tahun 32,14% lalu kelompok usia 12-16 tahun 20 % dan kelompok usia 5-11
tahun 9,09% dan status karies gigi kategori tinggi tertinggi tunadaksa diperoleh pada
kelompok usia 17-25 tahun 9,09% lalu kelompok usia 12-16 tahun 8,33 % dan
kelompok usia 5-11 tahun tidak ada. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin
bertambah usia semakin tinggi kategori karies gigi. Hal ini terjadi karena rendahnya
kesadaran tentang kunjungan dokter gigi dan anak mengkonsumsi makanan
kariogenik seperti coklat, permen yang sangat rentan terhadap karies.

39

Universitas Sumatera Utara


40

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Nilai rerata skor OHIS pada anak tunagrahita 1,551,09 sedangkan anak
tunadaksa 1,441,20 dan status kebersihan rongga mulut terbanyak pada tunagrahita
dan tunadaksa adalah kategori sedang, yaitu sebesar 53,75% pada tunagrahita dan
53,84% pada tunadaksa.
2. Rerata skor OHIS pada anak tunagrahita yang tertinggi pada kelompok usia
26-35 tahun yaitu 2,011,20 dan pada anak tunadaksa yang tertinggi pada kelompok
usia 5-11 tahun yaitu 2,301,57 dan status OHIS pada tunagrahita kategori baik
tertinggi pada kelompok usia kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 54,54% dan
tunadaksa pada kelompok 17-25 tahun yaitu sebesar 54,54%.
3. Nilai Rerata skor DMFT pada anak tunagrahita 3,563,47 sedangkan anak
tunadaksa 2,532,21 dan status karies pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak
adalah kategori sedang, yaitu sebesar 40% pada tunagrahita dan 61,53% pada
tunadaksa.
4. Rerata skor DMFT anak tunagrahita yang tertinggi pada kelompok usia 26-35
tahun yaitu 6,506,43 sedangkan anak tunadaksa yang tertinggi pada kelompok usia
17-25 tahun yaitu 3,902,58 dan status karies tinggi tertinggi pada tunagrahita pada
kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebesar 50% dan tunadaksa pada kelompok usia
17-25 tahun yaitu sebesar 90,9%.

6.2 Saran
1. Diharapkan pihak orang tua maupun pengasuh anak dapat lebih
memperhatikan rongga mulut karena seperti telah diketahui, bahwa rongga mulut
dapat menjadi tempat asal penyebaran infeksi dan berkumpulnya bakteri.

40

Universitas Sumatera Utara


41

2. Diharapkan kepada tunagrahita menggunakan metode pembelajaran dengan


video sangat tepat untuk mereka yang mengalami keterbatasan inteklektual agar
materi yang disampaikan dapat diterima secara efektif.
3. Diharapkan untuk tunadaksa lebih giat dan semangat dalam belajar terutama
pembelajaran yang menggunakan anggota gerak dan melakukan terapi agar melatih
gerak motorik dan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan mereka.
4. Diharapkan pihak sekolah lebih meningkatkan peran guru dalam memimpin
program sikat gigi massal dan memerhatikan kesehatan gigi serta mengajarkan cara
merawat gigi dan mulut anak berkebutuhan khusus di sekolah.
5. Diharapakan pihak pemerintah, tenaga medis, dan institusi kesehatan
mempunyai program dalam bidang kesehatan gigi dan mulut untuk melakukan
penyuluhan berkala ke sekolah luar biasa dan yayasan terapi berserta orang tua
maupun pengasuh anak sehingga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang
cara menjaga kesehatan gigi dan rongga mulut.
6. Dapat dilakukan penelitian status kebersihan gigi dan mulut pada siswa
berkebutuhan khusus di YPAC lainnya untuk menambah usaha promotif dan
preventif tentang kesehatan gigi dan mulut.

41

Universitas Sumatera Utara


42

DAFTAR PUSTAKA

1. Rao D, Amitha H, Munshi AK. Oral hygiene status of disabled children and
adolescents attending special schools of South Canara, India. Hong Kong
Dent J 2005; 2(2): 107-11.
2. Rampi D, Gunawan P, Pangemanan DHC. Gambaran kebersihan gigi dan
mulut pada anak penderita Down Syndrome di SLB YPAC Manado. Jurnal
Kedokteran Klinik 2017; 1(3): 35-40.
3. Motto CJ, Mintjelungan CN, Ticoalu SHR. Gambaran kebersihan gigi dan
mulut pada siswa berkebutuhan khusus di SLB YPAC manado. Jurnal e-GiGi
2017; 5(1): 105-108.
4. Lamba R, Rajvanshi H, Sheikh Z. Oral Hygiene Needs of Special Children
and the Effect of Supervised Tooth Brushing. International Journal of
Scientific Study 2015; 3: 30-34.
5. Altun C, Guven G, Akgun OM. Oral Health Status of Disabled Individuals
Attending Special Schools. European Journal of Dentistry 2010; 4: 361-5.
6. Desiningrum DR. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:
Psikosain, 2016: 1-2.
7. Effendi M. Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara
2006: 87-132.
8. Sharma A. Comparision of oral health status and DMFT score of special and
normal children in Burhanpur city. Internasional J of Applied Dental Sciences
2019; 5(1): 219-222
9. Kaur S, Malhotra R. Oral Hygiene status of mentally and physically
challenged individuals living in a specialized institution in Mohali, india.
Indian Journal of Oral Sciences 2018; 18-9.
10. Wyne AH, Qathani ZA. Caries Experience and Oral Hygiene Status of Blind,
Deaf and Mentally Retarded Female Children in Riyadh, Saudi Arabia.
Odonto-stomalogie tropicale: 37-40.

42

Universitas Sumatera Utara


43

11. Kothari S, Bhambal A. Impact Of Various Sociodemographic Factors On Oral


Hygiene Of Mentally Retarded Residing In Bhopal City, Madhya Pradesh: A
Cross Sectional Study. J Indian Assoc Public Health Dent 2016;14: 35-40.
12. Juliatri. Status Kebersihan Mulut dan Karies Gigi Pada Orang Cacat di Panti
Sosial Bina Daksa Wirawijaya Makassar. Jurnal Biomedik 2010 ;2 :112-4.
13. Aastha, Gautam KV. Oral Health Status of Children With Cerebral Palsy
Attending Center for Individuals with Special Health Care Needs. Int J. of
Preventive and Clinical Dental Research 2018:5(1):76-9.
14. Hardiani KA. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kebersihan Rongga
Mulut Anak Retradasi Mental di SLB-C Yayasan Taman Pendidikan dan
Asuhan Jember. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2012; 2-3.
15. Folakemi AO. Comparative oral health of children and adolescents with
erebral palsy and control. Journal of Disability and Oral Health 2011:81-7.
16. Putri DKT. Gambaran Indeks Kebersihan mulut berdasarkan tingkat
pendidikan masyarakat didesa guntung ujung kabupaten banjar. Dent. Jur.
Ked. Gigi 2014: 18.
17. Purohit BM, Singh A. Oral Health Status Of 12 Years Old Children With
Disabilities And Controls In Southern India. WHO South Asia Journal of
Public Health 2012; 1(3): 330-6.
18. Bhaskar BV, Janakiram C. Acess To Dental Care Among Differently Abled
Children In Kochi. J Indian Assoc Public Health Dent 2016; 14: 29-34.
19. Nqcobo CB, Rudolph MJ. Dental Caries Prevalance In Children Attending
Special Needs Schools In Johannesburg, Gauteng Province South Africa.
SADJ 2012; 308-13.
20. Indahwati V, Mantik MFJ, Gunawan PN. Perbandingan Status Kebersihan
Gigi dan Mulut Anak Berkebutuhan Khusus SLB-B dan SLB-C di Kota
Tomohon. Jurnal e-GiGi 2015; 3 :361-6.
21. Tulangow G. Gambaran Status Karies pada Anak Berkebutuhan Khusus di
SLB YPAC Manado. Jurnal e GIGI 2015; 610-14.

43

Universitas Sumatera Utara


44

22. Jain M, Mathur A. Oral health status of mentally disabled subject in India.
Journal of Oral Science 2009; 333-340.
23. Suparno, Puwarno H. Anak berkebutuhan khusus. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,2007; 4-13.
24. Somantri ST, Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama,
2007; 103-138.
25. Atmaja J R. Pendidikan Dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2018; 97-127.
26. Bhambal A, Jain M. Oral health preventive protocol for mentally disabled
subjects – A review. J. Adv Dental Research 2011; 20-4.
27. Rotman D. Oral Conditions in Children with Special Needs, 2016
28. Wills R. Efektifitas Mengkomsumsi Wortel (Daucus-Carota) Aceh Dan
Wortel Medan Terhadap Perubahan Debris Indeks Pada Anak Sekolah Dasar.
Jurnal Action 2017; 127
29. Rezki S. Pengaruh Ph Plak Terhadap Angka Kebersihan Dan Angka Karies
Gigi Anak Diklinik Pelayanan Asuhan Poltekkes Pontianak Tahun 2013;
Odonto Dent J.2014:16
30. Rao A. Principles and practice of pedodontics. 3rd ed. New Delhi: Jaypee,
2012; 459-60.
31. Marya, C.M. A Textbook of Public Health Dentistry, Jaypee Brothers Medical
Publishers, New Delhi 2011; 189-2.
32. Hiremath, S.S. Textbook of Preventive and Community Dentistry, Elsevier,
New Delhi. 2007; 202-3.
33. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat: pencegahan dan
pemeliharaan. Edisi ke-1. Medan:USU press, 2008; 17-88.
34. Acharya J. Dental Caries Status And Oral Health Needs among Disabled
Children Living In Care Centers In Kathmandu Valley, Nepal.
WebmedCentralDENTISTRY 2014; 5(2): 1-13.
35. World Health Organization. Oral Health Surveys - Basics Methods. 5 th ed.:
World Health Organization, Geneva, Switzerland: 2013; 47.

44

Universitas Sumatera Utara


45

36. Chandrasekaran S. Oral hygiene status of mentally challanged adolescents in


Chennai: A cross-sectional study. Int J Orofac Biol 2017; 39-41.
37. Ameer N, Palaparthi R. Oral Hygiene and Periodontal Status of Teenagers
With Special Needs In The District Of Nalgonda,India. Journal of Indian
Society of Periodontology 2018; 421-4.
38. Prasad M. Special Care With Special Child Oral Health Status of Differently
Abled Children Attending Special Schools in Delhi :A Cross Sectional Study.
J Indian Assoc Public Health Dent 2018; 16: 137-43.
39. Wulandari FK, Pangemanan D. Perilaku Pemeliharaan dan Status Kebersihan
Gigi dan Mulut Masyarakat di Kelurahan Paniki Kabupaten Sitaro. Journal e-
GIGI 2017; 5(2): 197-200.
40. Nouri S. Oral health in children with Cerebral Palsy. J Clin Pediatr Dent
2016; 375:87.
41. Al khadra TA. Prevalence of dental caries and oral hygiene status among
downs syndrome patients in riyadh saudi arabia. Pakistan Oral Dent J 2011;
31(1): 115-7.
42. Arieias et al. Caries in Portuguese children with Down Syndrome. Clinics
2011; 66 (7): 1183-6.

45

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1
Tanggal Pemeriksaan: ___/___/_____ No. Responden :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN GIGI PENCEGAHAN/
KESEHATAN GIGI MASYARAKAT

STATUS ORAL HIGIENE DAN PENGALAMAN KARIES PADA


TUNAGRAHITA DAN TUNADAKSA DI YPAC MEDAN

LEMBAR PEMERIKSAAN KLINIS INTRAORAL

Data Umum Responden


Nama Anak :
Jenis Kelamin : 1. Laki-Laki 2. Perempuan
Tanggal Lahir : ___/___/_____
Usia : Tahun
Alamat Rumah :
No. HP :
1. Pemeriksaan Oral Higiene
A. Indeks Debris

Skor Debris =
16 11 26
46 31 36

Universitas Sumatera Utara


B. Indeks Kalkulus

Skor Kalkulus =

16 11 26
46 31 36

Skor Kriteria Debris Skor Kriteria Kalkulus


0 Tidak ada debris 0 Tidak ada kalkulus
Debris menutupi tidak lebih
1/3 permukaan gigi atau
Kalkulus supragingival menutupi tidak lebih
1 adanya stein ekstrinsik 1
dari 1/3permukaan gigi yang terkena.
tanpa debris pada daerah
tersebut.
Kalkulus supragingival menutupi lebih dari 1/3
Debris menutupi lebih dari tapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi yang
2 1/3 tapi kurang dari 2/3 2 terkena. Adanya kalkulus subgingiva berupa
permukaan gigi. flek disekeliling leher gigi. Subgingival
mengelilingi leher berupa flek
Kalkulus supragingival menutupi lebih dari 2/3
Debris menutupi lebih dari permukaan gigi yang terkena. Adanya kalkulus
3 3
2/3 permukaan gigi. subgingiva berupa pita yang tidak terputus
disekeliling gigi.
C. Skor OHIS

OHI-S = Skor Debris + Skor Kalkulus = +

Kategori OHIS NILAI


BAIK 0,0-1,2
SEDANG 1,3-3,0
BURUK 3,0-6,0

Universitas Sumatera Utara


2. Pemeriksaan Karies

28 27 26 25 24 23 22 21 11 12 13 14 15 16 17 18

48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38

Indeks Karies Menurut WHO

Kode Kode Pemeriksa Kondisi


0 0 Sehat
1 D Lubang
2 D Tumpatan dengan lubang (karies sekunder)
3 F Tumpatan baik
4 M Hilang karena karies

Skor DMFT = (D) + (M) + (F) =

Kategori Karies NILAI


RENDAH 1-2
SEDANG 3-4
TINGGI 5

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

INFORMASI KEPADA ORANGTUA SUBJEK PENELITIAN

Kepada Yth.

Ibu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Orang Tua Ananda . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Alamat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Bersama ini, saya Nichy Rilinda mahasiswa yang sedang menjalani Pendidikan
Dokter Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, mohon
kesediaan Ibu untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya berjudul “Status
Oral Higiene dan Pengalaman Karies Anak Berkebutuhan Khusus di YPAC
Medan”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Oral Higiene dan Karies
(Gigi Berlubang) anak berkebutuhan khusus di YPAC Kota Medan dan tingkat
pengetahuan dan perilaku anak berkebutuhan khusus mengenai kesehatan gigi dan
mulut di YPAC Kota Medan.
Subjek penelitian saya adalah anak berkebutuhan khusus yang berada di
YPAC kota Medan. Dalam penelitian tersebut anak akan dilakukan pemeriksaan
rongga mulut anak. Adapun ketidaknyamanan yang dialami dalam prosedur
penelitian yaitu anak membuka mulut sedikit lebih lama untuk memeriksa keadaan
rongga mulut.
Pemeriksaan yang dilakukan tidak dikenakan biaya apapun dan partisipasi
anak bersifat suka rela. Diharapkan hasil penelitian ini secara keseluruhan dapat
membantu solusi pencegahan gigi berlubang pada anak-anak Indonesia dimasa yang
akan datang. Demikian penjelasan mengenai penelitian yang akan saya lakukan. Bila

Universitas Sumatera Utara


ada yang ingin ditanyakan atau hendak mendapatkan informasi silahkan
menghubungi saya.

Medan, ………………..2019
Peneliti

Nichy Rilinda
(082166345136)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Alamat :
No hp :
Selaku orang tua anak :
Nama :
Alamat :

Setelah mendapat penjelasan tentang penelitian yang berjudul “Status Oral


Higiene dan Pengalaman Karies Anak Berkebutuhan Khusus di YPAC Medan”,
maka dengan penuh kesadaran atau tanpa paksaan, menyatakan anak saya bersedia
berpartisipasi sebagai subjek dalam penelitian ini, dan dengan catatan apabila suatu
ketika merasa dirugikan dalam bentuk apapun berhak membatalkan persetujuan ini.

Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, 2019
Orang tua subjek

Universitas Sumatera Utara


( )

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4
8

Universitas Sumatera Utara


Lam
pira
n5

Universitas Sumatera Utara


10

Universitas Sumatera Utara


11

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 6

OHIS Berdasarkan Jenis Responden

Jenis Responden Mean N Std.Deviation


Tunagrahita 1,55 80 1,09

Tunadaksa 1,44 26 1,20

Total 1,52 106 1,11

Kategori OHIS berdasarkan Responden


Kategori OHIS
Baik Sedang Buruk
0,0-0,6 0,7-1,8 1,9-3,0 Total
Tunagrahita Count 29 40 11 80
% within Responden 36,25% 50% 13,75% 100%
% of Total 27,35% 37,73% 10,37% 75,47%
Tunadaksa Count 11 14 1 26
% within Responden 42,30% 53,84% 3,84% 100%
% of Total 10,37% 13,20% 0,94% 24,52%
Total Count 40 54 12 106
% within Responden 37,73% 50,94% 11,32% 100%
% of Total 37,73% 50,94% 11,32% 100%

OHIS Tunagrahita berdasarkan Usia

K.Usia Mean N Std.Deviation


5-11 1,11 22 0,82

12-16 1,49 20 1,01

17-25 1,72 28 1,23

26-35 2,01 10 1,20

Total 1,55 80 1,09

12

Universitas Sumatera Utara


OHIS Tunadaksa berdasarkan Usia

K.Usia Mean N Std.Deviation


5-11 2,30 3 1,57

12-16 1,54 12 1,40

17-25 1,10 11 0,77

Total 1,11 26 0,79

Kategori OHIS Tunagrahita berdasarkan Usia


Kategori OHIS
Baik Sedang Buruk
0,0-0,6 0,7-1,8 1,9-3,0 Total
5-11 Count 12 10 0 22
% within Responden 54,54% 45,45% 0% 100%
% of Total 15% 12,5% 0% 27,5%
12-16 Count 8 10 2 20
% within Responden 40% 50% 10% 100%
% of Total 10% 12,5% 2,5% 25%
17-25 Count 7 16 5 28
% within Responden 25% 57,14% 17,85% 100%
% of Total 8,75% 20% 6,25% 35%
26-35 Count 2 4 4 10
% within Responden 20% 40% 40% 100%
% of Total 2,5% 5% 5% 12,5%
Total Count 29 40 11 80
% within Responden 36,25% 50% 13,75% 100%
% of Total 36,25% 50% 13,75% 100%

13

Universitas Sumatera Utara


Kategori OHIS Tunadaksa berdasarkan Usia
Kategori OHIS
Baik Sedang Buruk
0,0-0,6 0,7-1,8 1,9-3,0 Total
5-11 Count 1 2 0 3
% within Responden 33,33% 66,66% 0% 100%
% of Total 3,84% 7,69% 0% 11,53%
12-16 Count 4 7 1 12
% within Responden 33,33% 58,33% 8,33% 100%
% of Total 15,38% 26,92% 3,84% 46,15%
17-25 Count 6 5 0 11
% within Responden 54,54% 45,45% 0% 100%
% of Total 23,07% 19,23% 0% 42,30
Total Count 11 14 1 26
% within Responden 42,30% 53,84% 3,84% 100%
% of Total 42,30% 53,84% 3,84% 100%

Rerata Karies berdasarkan Jenis Responden

Jenis Responden Mean N Std.Deviation


Tunagrahita 3,56 80 3,57

Tunadaksa 2,53 26 2,21

Total 3,31 106 3,23

Status Karies berdasarkan Jenis Responden


Status Karies
Rendah Sedang Tinggi
1,0-2,0 3,0-4,0 5 Total
Tunagrahita Count 27 32 21 80
% within Responden 33,75% 40% 26,25% 100%
% of Total 25,47% 30,18% 19,81% 75,47%
Tunadaksa Count 8 16 2 26
% within Responden 30,76% 61,53% 7,69% 100%
% of Total 7,54% 15,09% 1,88% 24,52%
Total Count 35 48 23 106
% within Responden 33,01% 45,28% 21,69% 100%
% of Total 33,01% 45,28% 21,69% 100%

14

Universitas Sumatera Utara


Rerata Karies Tunagrahita berdasarkan Usia

K.Usia Mean N Std.Deviation


5-11 2,40 22 2,40

12-16 2,90 20 2,90

17-25 3,89 28 3,89

26-35 6,50 10 6,50

Total 3,56 80 3,47

Rerata Karies Tunadaksa berdasarkan Usia

K.Usia Mean N Std.Deviation


5-11 1,33 3 1,52

12-16 2,33 12 1,96

17-25 3,90 11 2,58

Total 2,53 26 2,21

15

Universitas Sumatera Utara


Status Karies Tunagrahita berdasarkan Usia

Rendah Sedang Tinggi


1,0-2,0 3,0-4,0 5 Total
5-11 Count 9 11 2 22
% within Responden 40,90% 50% 9,09% 100%
% of Total 11,25% 13,75% 2,5% 27,5%
12-16 Count 6 10 4 20
% within Responden 30% 50% 20 100%
% of Total 7,5% 12,5% 5% 25%
17-25 Count 8 11 9 28
% within Responden 28,57% 39,28% 32,14% 100%
% of Total 10% 13,75% 11,25% 35%
26-35 Count 2 3 5 10
% within Responden 20% 30% 50% 100%
% of Total 2,5% 3,75% 6,25% 12,5%
Total Count 25 35 20 80
% within Responden 31,25% 43,75% 25% 100%
% of Total 31,25% 43,75% 25% 100%

Status Karies Tunadaksa berdasarkan Usia


Status Karies
Rendah Sedang Tinggi
1,0-2,0 3,0-4,0 5 Total
5-11 Count 1 2 0 3
% within Responden 33,33% 6,66% 0% 100%
% of Total 3,84% 7,69% 0% 11,53%
12-16 Count 5 6 1 12
% within Responden 41,66% 50% 8,33% 100%
% of Total 19,23% 23,07% 3,84% 46,15%
17-25 Count 1 9 1 11
% within Responden 9,09% 81,81% 9,09% 100%
% of Total 3,84% 34,61 3,84% 42,30
Total Count 7 17 2 26
% within Responden 26,92% 65,38% 7,69% 100%
% of Total 26,92% 65,38% 7,69% 100%

16

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai