2019
Rilinda, Nichy
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/20977
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
STATUS ORAL HIGIENE DAN PENGALAMAN
KARIES PADA TUNAGRAHITA DAN TUNADAKSA
DI YPAC MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
Syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
NICHY RILINDA
NIM : 140600047
Medan,
Pembimbing
Tanda tangan
TIM PENGUJI
Nichy Rilinda
Status Oral Higiene dan Pengalaman Karies pada Anak Tunagrahita dan Anak
Tunadaksa di YPAC Medan.
xi+43 Halaman
Anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kemampuan intelektual di
bawah rata-rata dan cenderung memiliki keterbatasan dalam intelegensi, fisik,
emosional, serta sosial. Anak tunadaksa adalah anak yang memiliki bentuk kelainan
atau kecacatan pada sistem otot, tulang, persendian, dan saraf yang disebabkan oleh
penyakit, virus dan kecelakaan. Perbedaan keterbatasan yang mereka miliki,
mempengaruhi perilaku anak berkebutuhan khusus dalam menjaga kebersihan gigi
dan mulut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status oral higiene dan
karies pada anak tunagrahita dan anak tunadaksa di YPAC Medan. Jenis penelitian ini
adalah survei deskriptif dengan desain cross sectional. Teknik pengambilan sampel
secara total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan klinis, untuk
mengukur status oral higiene menggunakan Simplified Oral hygiene (OHIS) dan
untuk mengukur pengalaman karies menggunakan DMFT menurut WHO. Hasil
penelitian ini menunjukkan rata-rata skor OHIS pada anak tunagrahita adalah
1,551,09 dan anak tunadaksa 1,441,20. Status kebersihan rongga mulut terbanyak
pada tunagrahita dan tunadaksa adalah kategori sedang, yaitu sebesar 53,75% dan
53,84%. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan skor DMFT rata-rata pada
anak tunagrahita, yaitu 3,56 3,47 dan anak tunadaksa 2,53 2,21. Pengalaman karies
pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak adalah kategori sedang, yaitu sebesar 40%
dan 61,53. Hasil penelitian status oral higiene dan pengalaman karies anak
tunagrahita dan tunadaksa cenderung buruk dibanding anak normal. Untuk itu
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta kemudahan yang diberikan sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,
pengarahan, motivasi, dukungan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sedalamnya kepada :
1. Dr. Trelia Boel, drg., M.Kes., Sp. RKG(K), selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing
akademik yang telah membimbing penulis menjalani pendidikan di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Darmayanti Siregar, drg., MKM selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran
Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu, pikiran, tenaga, saran, dukungan, dan motivasi untuk
membimbing penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
3. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes dan Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes
selaku Tim Penguji skripsi yang telah banyak memberikan saran dan ide yang
bermanfaat kepada penulis agar dapat disusun skripsi dengan lebih baik.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, khususnya staf pengajar dan staf administrasi Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan kepada penulis.
5. Kepala sekolah Yayasan Anak Cacat Medan beserta guru-guru yang telah
bersedia membantu penulis dalam melakukan penelitian.
iv
Nichy Rilinda
NIM: 140600047
Halaman
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 4
vi
LAMPIRAN
vii
Gambar Halaman
1. Metode Skor Debris .................................................................................... 18
2. Metode Skor Kalkulus ................................................................................ 19
viii
TABEL Halaman
1. Indeks Karies Menurut WHO ................................................................. 21
2. Karakteristik Responden ......................................................................... 28
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia di YPAC Medan ............... 28
4. Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut Responden .............. 29
5. Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut pada Responden ............... 29
6. Distribusi Nilai Rerata Kebersihan Rongga Mulut ABK Berdasarkan
Usia ....................................................................................................... 30
7. Distribusi Status Kebersihan Rongga Mulut Responden Berdasarkan
Usia ......................................................................................................... 31
8. Distribusi Nilai Rerata DMFT Pada Responden .................................... 31
9. Distribusi Status Karies Pada Responden ............................................... 32
10. Distribusi Rerata DMFT Pada Responden Berdasarkan Usia ................ 32
11. Distribusi Status Karies Pada Responden Berdasarkan Usia ................. 33
ix
Lampiran
1. Lembar Pemeriksaan
2. Lembar Penjelasan Kepada Subjek Penelitian
3. Lembar Informed Consent
4. Surat Ethical Clearance
5. Surat Keterangan dari YPAC
6. Hasil Analisis Data
BAB 1
PENDAHULUAN
3,300,00 lalu kelompok usia 16-20 tahun sebesar 2,991,34, kelompok usia 11-15
tahun sebesar 2,601,31 dan kelompok usia 5-10 tahun sebesar 1,481,11.11
Penelitian yang dilakukan penelitian Aastha dkk. pada anak tunadaksa rata-rata skor
OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,080,10, diikuti
kelompok usia 11-15 tahun sebesar 2,381,01 lalu kelompok usia 6-10 tahun yaitu
2,320.99.13 Penelitian yang dilakukan Hardiani AK dkk. status OHIS tertinggi pada
setiap kelompok usia tunagrahita yaitu kelompok usia 6-10 tahun yaitu sebesar
73,04% dengan kategori sedang, kelompok usia 11-15 tahun 21,74% dengan kategori
sedang, kelompok usia 16-20 tahun 43,48% dengan kategori sedang dan kelompok
usia 21-25 tahun 21,74% pada kategori buruk.14 Penelitian yang dilakukan Folakemi
A dkk. Status OHIS tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok
usia 6-10 tahun yaitu sebesar 54,5% dengan kategori baik, kelompok usia 11-15
tahun 41,2% dengan kategori sedang dan kelompok usia 16-20 tahun 50% dengan
kategori buruk.15
Jika oral higiene tidak dipelihara dengan baik, maka akan menimbulkan penyakit
di dalam rongga mulut, yaitu karies gigi yang merupakan penyakit rongga mulut yang
dapat menyebabkan hilangnya gigi secara patologis.16,17 Anak berkebutuhan khusus
juga memiliki tingkat karies yang lebih tinggi dibandingkan anak normal.14,15
Penelitian yang dilakukan oleh Purohit MB dkk yang membandingkan status karies
anak berkebutuhan khusus dengan anak normal, indeks DMFT anak berkebutuhan
khusus lebih tinggi yaitu berkisar 2,52±2,61 sedangkan anak normal yaitu
0,61±1,12.17 Kemudian penelitian di juga menunjukkan Afrika skor rerata DMFT
pada anak tunagrahita yaitu 1,86±2,86, dan anak tunadaksa 1,53±2,43.18 Skor DMFT
yang tinggi pada anak berkebutuhan khusus disebabkan oleh ketidakmampuan fisik
mereka dalam menyikat gigi dan kesulitan dalam komunikasi untuk menyampaikan
kondisi kesehatan mulut.19,20 Penelitian yang dilakukan oleh Tulangow dkk. status
karies pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak adalah kategori sedang, yaitu
sebesar 87,5% pada tunagrahita dan 50% pada tunadaksa.21 Penelitian dilakukan oleh
Jain skor DMFT rata-rata pada tunagrahita yang paling tinggi pada responden
kelompok usia 26-30 tahun sebesar 2,751,86, diikuti kelompok usia 21-25 tahun
sebesar 2,632,16, lalu kelompok usia
16-20 tahun 2,612,40 dan kelompok usia 12-15 tahun sebesar 1,502,13.22
Penelitian dilakukan oleh Aastha skor DMFT rata-rata pada tunadaksa yang paling
tinggi pada responden kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,60,03 diikuti 11-15 tahun
sebesar 1,91,74 lalu kelompok usia 6-10 tahun sebesar 1,36±2,01.13
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada anak
tunagrahita dan anak tunadaksa tentang status kesehatan rongga mulut pada anak
berkebutuhan khusus.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Anak dengan segala keistimewaan didunia merupakan titipan dari yang Maha
Kuasa untuk dapat menjalani kehidupan dimuka bumi ini, adapun anak yang
memiliki kebutuhan khusus bukanlah anak yang memiliki segala kekurangan dengan
dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus
memiliki resiko yang lebih tinggi akan masalah kesehatan gigi dan mulut. Itu karena
mereka memiliki kekurangan dan keterbatasan mental maupun fisik untuk melakukan
pembersihan gigi sendiri yang optimal.
2. Anak dengan gangguan komunikasi bisa disebut tunawicara, yaitu anak yang
mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran bicara, yang
mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa atau fungsi bahasa.
3. Hiperaktif, secara psikologis hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang
tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan gejala utama tidak mampu
mengendalikan gerakan dan memusatkan perhatian.
10
pada pihak luar (external locus of control). Mereka tidak mampu untuk mengarahkan
diri sehingga segala sesuatu yang terjadi pada dirinya bergantung pengarahan dari
luar.24
6. Perkembangan Bahasa
Kemampuan bahasa sangat terbatas perbendaraaan kata terutama kata yang
abstrak. Pada anak yang ketunagrahitaannnya semakin berat banyak yang mengalami
gangguan bicara disebabkan cacat artikulasi dan problem dalam pembentukan
bunyi.24
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Pengelompokkan pada umumnya didasarkan pada dasar taraf inteligensinya,
yang terdiri dari keterbelakangan ringan, sedang, dan berat. Kemampuan inteligensi
anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford dan Skala Weschler (WISC)
yaitu:
1. Anak Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ
antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WSC) memiliki IQ
69-55. Mereka masih bisa membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan
bimbingan dan pendidikan yang baik, anak tunagrahita ringan pada saatnya akan
dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Pada umumnya anak
tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak
seperti anak normal pada umumnya.24
2. Anak Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 53-36
pada Skala Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WSC) memiliki IQ 54-40.6,24
Anak tunagrahita sedang bias mencapai perkembangan Mental Age sampai kurang
lebih 7 tahun. Mereka dapat dididik mengurus diri sendiri, melindung diri sendiri dari
bahaya seperti kebakaran, berjalan di jalan raya, terlindung dari hujan dan lain – lain.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik,
seperti belajar menulis, membaca dan berhitung walaupun mereka masih dapat
menulis secara social, misalnya menulis nama sendiri, alamat rumahnya dan
11
sebagainya. Masih dapat dididik mengurus diri sendiri, seperti mandi, berpakaian,
makan, minum, mengerjakan perkerjaan rumah tangga dan sebagainya. Dalam
kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan terus-
menerus.24
12
13
14
pengontrol tubuh memiliki sejumlah saraf yang menjadi pengendali mekanisme tubuh
sehingga jika otak mengalami kelainan, sesuatu akan terjadi pada organisme fisik,
emosi dan mental. Luka pada bagian otak tertentu, efeknya akan mengalami
gangguan dalam perkembangan dan mengakibatkan ketidakmampuan dalam
melaksanakan berbagai bentuk kegiatan. Salah satu bentuk kelainan yang terjadi pada
fungsi otak adalah cerebral palsy. Menurut The American Academic cerebal palsy
yaitu berbagai perubahan gerakan atau fungsi motorik tidak normal dan timbul akibat
kecelakaan, luka, atau penyakit pada susunan saraf yang terdapat pada rongga
tengkorak.24,25
15
Pembersihan makanan dari rongga mulut dipengaruhi beberapa hal yaitu aliran saliva,
aksi mekanis dari lidah, pipi, bibir, dan bentuk serta susunan gigi. Pembersihan akan
meningkat pada waktu mengunyah makanan dan pada saliva yang viskositasnya
rendah. Meskipun mengandung bakteri, debris makanan berbeda dari deposit lainnya
(plak dan materi alba).29
Kalkulus merupakan suatu masa yang mengalami kalsifikasi yang terbentuk dan
melekat erat pada permukaan gigi, misalnya restorasi dan gigi-geligi tiruan.
Berdasarkan hubungannya terhadap margin gingiva, kalkulus dikelompokkan
menjadi supragingiva dan subgingiva. Kalkulus supragingiva adalah kalkulus yang
melekat pada permukaan mahkota gigi mulai puncak margin gingiva dan dapat
dilihat. Kalkulus ini berwarna putih kekuning-kuningan, konsentasinya keras seperti
batu tanah liat dan mudah dilepaskan dari permukaan gigi dengan skeler. Warna
kalkulus dapat dipengaruhi oleh pigmen sisa makanan atau dari merokok. Kalkulus
subgingiva adalah kalkulus yang berada dibawah batas margin gingiva, biasanya pada
daerah saku gusi dan tidak dapat terlihat pada waktu pemeriksaan. Untuk menentukan
lokasi dan perluasan yang harus dilakukan probing dengan eksplorer. Biasanya padat
dan keras, warnanya coklat tua atau hijau kehitam-hitaman, konsistensinya seperti
kepala korek api, dan melekat erat ke permukaan gigi.16 Kebersihan gigi dan mulut
yang rendah akan menimbulkan bakteri. Perawatan untuk menjaga oral higiene perlu
dilakukan, agar menghindari terjadinya karies dan penyakit periodontal.
Kebersihan gigi dan mulut dapat diukur dengan beberapa jenis indeks. Contoh
dari indeks – indeks tersebut yaitu oral hygiene index (OHI), simplified oral hygiene
index (OHI-S), modified patient hygiene performance index (PHP- M index), plaque
free score index, plaque control record, dan oral health status index. Oral Hygiene
Index digunakan karena dianggap sebagai metode yang simpel dan peka untuk
mengukur kebersihan gigi dan mulut secara individu atau pun kelompok, namun
mengharuskan penggunanya membuat keputusan untuk memilih gigi yang akan
diperiksa dan memerlukan waktu yang lebih untuk memeriksa 12 gigi – geligi.
Sebagai alternatif, maka metode OHI-S digunakan karena memerlukan waktu yang
16
lebih sedikit walau pun tidak sepeka hasil yang didapat jika dibandingkan dengan
metode OHI.30
Oral hygiene index-simplified (OHI-S) merupakan salah satu indeks yang dapat
digunakan untuk menentukan apakah oral hygiene seseorang termasuk ke dalam
kategori baik, sedang, atau buruk. OHI-S pertama kali diperkenalkan oleh John C
Greene dan Jack R Vermillion tahun 1964.30,31 Pengunaan Oral hygiene index-
simplified memiliki kelebihan yaitu mudah digunakan, waktu pemeriksaan yang
diperlukan sedikit, dapat digunakan untuk penelitian lapangan dan epidemologi
penyakit periodontal, dapat menetukan status kebersihan mulut dan mulut suatu
kelompok dan berguna dalam evaluasi edukasi kebersihan gigi dan mulut. Sedangkan
kekurangannya adalah derajat kesensitifannya kurang disbanding sebelumnya,
penilaian skor debris dan kalkulus yang kurang tepat dapat terjadi dan tidak cocok
untuk penelaian status kebersihan gigi dan mulut secara individu.31 Syarat gigi yang
dapat diperiksa sebagai kriteria OHIS yaitu32
a. Gigi yang di restorasi full crown tidak di skoring.
b. Hilangnya tinggi permukaan gigi karena karies atau trauma tidak di skoring.
c. Pada gigi posterior, gigi yang pertama kali erupsi diperiksa, biasanya molar
pertama.
d. Pada gigi anterior, yang diperiksa adalah insisivus sentralis kanan atas dan
insisivus sentralis kiri bawah.
e. Jika gigi insisivus sentralis yang akan diperiksa tidak ada, dapat digantikan
dengan insisivus sentralis yang berlawanan sisi.
Skor OHI-S didapatkan dengan menjumlahkan indeks debris (debris index/DI)
dan indeks kalkulus (calculus index/CI). Pada pengukuran OHI-S, hanya 6 gigi dan
permukaan tertentu saja yang diperiksa (gigi indeks)31
a. Molar satu kanan atas bagian bukal.
b. Insisivus sentralis kanan atas bagian labial.
c. Molar satu kiri atas bagian bukal.
d. Molar satu kiri bawah bagian lingual.
e. Insisivus sentralis kiri bawah bagian labial.
17
Keterangan:
0=tidak ada debris
1=debris menutup tidak lebih dari 1/3 permukaan servikal atau terdapat stain
ekstrinsik tanpa debris pada daerah tersebut.
2=debris menutupi lebih dari 1/3 tapi kurang dari 2/3 permukaan gigi.
3=debris menutupi lebih dari 2/3 dari permukaan gigi.
Cara pemeriksaan debris dapat dilakukan tanpa menggunakan larutan diskolosing
yaitu dengan menggunakan sonde biasa untuk pemeriksaan debris. Gerakan sonde
secara mendatar pada permukaan gigi, dengan demikian debris akan terbawa oleh
sonde. Pemeriksaan indeks dimulai dari sepertiga bagian insisal atau oklusal, jika
18
pada bagian ini tidak ditemukan debris, lanjutkan pada dua pertiga bagian gigi, dan
jika dibagian ini tidak dijumpai maka teruskan sampai kesepertiga bagian
servikal.31,33
Keterangan:
0=tidak ada kalkulus
1=kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.
2=kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 tapi tidak lebih dari 2/3
permukaan gigi yang terkena adanya kalkulus subgingiva berupa flek disekeliling
leher gigi.
3=kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi yang terkena.
Adanya kalkulus subgingiva berupa pita yang tidak terputus disekeliling gigi.
19
Skor indeks debris dan kalkulus memiliki rentang nilai 0-3 dengan tiga
kategori :
a. 0,0-0,6 : Baik
b. 0,7-1,8 : Sedang
c. 1,9-3,0 : Buruk
Skor OHI-S memiliki rentang nilai 0-6 yang terbagi ke dalam tiga kategori:
a. 0,0-1,2 : OHI-S baik
b. 1,3-3,0 : OHI-S sedang
c. 3,1-6,0 : OHI-S buruk
2.4.2. Karies
Pengalaman karies anak tunagrahita dan tunadaksa keduanya lebih tinggi
daripada anak normal.10,12,21 Hal ini terjadi karena kurangnya menjaga kebersihan
rongga mulut dan kunjungan ke dokter gigi serta mengkonsumsi makanan manis.5
Pada anak tunagrahita memiliki pengalaman karies yang tinggi dikarenakan sulitnya
mereka untuk berkomunikasi meminta perawatan dan masalah keadaan dalam rongga
mulut karena keterbatasan intelektual.34 Pengalaman karies anak tunadaksa yang
tinggi disebabkan keterbatasan fisik mereka untuk mengakses perawatan.12
Untuk mengukur pengalaman karies dapat menggunakan indeks karies gigi.
Terdapat beberapa indeks karies gigi yaitu, DMFT/deft menurut WHO (1997),
DMFT/deft menurut Klein dan DMFT menurut Mohler.35 Pada penelitian ini akan
digunakan indeks WHO. Indeks WHO bertujuan untuk menggambarkan pengalaman
20
karies seseorang atau suatu populasi. Semua gigi diperiksa kecuali gigi molar tiga
karena biasanya gigi tersebut sudah dicabut dan kadang-kadang tidak berfungsi.
Indeks ini dibedakan atas indeks DMFT yang digunakan untuk gigi permanaen pada
orang dewasa dan deft untuk gigi sulung pada anak-anak.Perhitungan skor DMFT
menurut WHO, diperoleh dari penjumlahan skor Decay, Missing, dan Filling.
Diagnosa Decay, Missing, dan Filling diperoleh berdasarkan kriteria sebagai
berikut:35
21
- Status OHIS
- Pengalaman Karies
22
23
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik total sampling,
yaitu mengambil seluruh anak sebanyak 109 anak tunagrahita dan 32 anak tunadaksa.
Pada saat penelitian jumlah sampel yang hadir sebanyak 80 anak tunagrahita dan 26
anak tunadaksa, 3 orang anak tidak hadir sehingga jumlah sampel seluruhnya 106
orang.
24
25
pemeriksaan.
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
26
1. Peneliti akan meminta izin dari Komisi Etik FK USU. Setelah itu peneliti
akan meminta izin kepada kepala yayasan anak cacat (YPAC) yang akan diteliti, lalu
memberikan informed consent kepada orang tua anak berkebutuhan khusus tersebut.
2. Pemeriksaan OHIS dilakukan dengan cara mengukur indeks debris dan indeks
kalkulus menggunakan kaca mulut dan sonde ke permukaan tertentu, yaitu bukal gigi
16 dan 26, labial gigi 11 dan 31, lingual gigi 36 dan 46. Pemeriksaan dilakukan
dengan cara meletakkan sonde pada permukaan gigi daerah 1/3 insisal atau oklusal
lalu digerakkan menuju daerah 1/3 gingival atau servikal. Skor pemeriksaan dicatat
pada lembar pemeriksaan. Pada anak tunagrahita, dijumpai kesulitan dalam mengukur
OHIS oleh karena mereka takut terhadap alat yang dimasukkan ke dalam mulut
mereka sedangkan anak tunadaksa tidak ditemukan kesulitan yang berarti dalam
pemeriksaan OHISnya.
3. Sesudah pemeriksaan oral higiene, pemeriksaan gigi dilakukan dengan
menggunakan sonde, kaca mulut, dan eksavator. Kepala anak setengah mengadah dan
diminta untuk membuka mulut. Pemeriksaan dilakukan dari bagian distal dari gigi
paling belakang regio kanan atas pasien dengan menggunakan sonde dan kaca mulut.
Karies, tumpatan, dan pencabutan gigi dicatat dan dijumlahkan pada form yang telah
disediakan.
27
28
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Responden n %
Tunagrahita 80 75,47
Tunadaksa 26 24,52
Tunagrahita Tunadaksa
Usia (tahun) n
n % n %
5 -11 25 22 27,5 3 11,53
12-16 32 20 25 12 46,15
17-25 39 28 35 11 42,30
26-35 10 10 12,50 - -
Tabel 3. Karakteristik responden berdasarkan usia di YPAC Medan (n=106)
29
30
lalu kelompok usia 12-16 tahun 1,491,01 dan kelompok usia 5-11 tahun 1,110,82.
(Tabel 6).
Pada tunadaksa, rata-rata skor debris tertinggi diperoleh pada kelompok usia 5-11
tahun 1,200,72, diikuti kelompok usia 12-16 tahun 0,780,72 lalu kelompok usia17-
25 tahun 0,680,41. Rata-rata skor kalkulus tertinggi diperoleh pada kelompok usia
5-11 tahun 1,100,85, diikuti kelompok usia 12-16 tahun 0,750,78 lalu kelompok
usia17-25 tahun 0,420,44. Rata-rata skor OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok
usia 5-11 tahun 2,301,57, diikuti kelompok usia 7-17 tahun 1,541,40 dan
kelompok usia 17-25 tahun 1,100,77 (Tabel 6).
Tabel 6. Distribusi nilai rerata kebersihan rongga mulut responden berdasakan usia
(n=106).
Tunagrahita Tunadaksa
Usia
n DI CI OHIS DI CI OHIS
(tahun)
̅ SD ̅ SD ̅ SD ̅ SD ̅ SD ̅ SD
5 -11 25 0,780,56 0,400,39 1,110,82 1,200,72 1,100,85 2,301,57
12-16 32 0,890,52 0,640,57 1,491,01 0,780,72 0,750,78 1,541,40
17-25 39 1,020,69 0,670,63 1,721,23 0,680,41 0,420,44 1,100,77
26-35 10 1,080,55 0,930,66 2,011,20 - - -
Status kebersihan rongga mulut tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa
yaitu kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 66,66% dengan kategori sedang,
31
kelompok usia 12-16 tahun 58,33% dengan kategori sedang dan kelompok usia 17-25
tahun 55,54% dengan kategori baik (Tabel 7).
D M F DMFT
Jenis n
̅ SD ̅ SD ̅ SD ̅ SD
Tunagrahita 80 2,47 2,47 0,91 1,84 0,11 0,50 3,56 3,47
Tunadaksa 26 1,53 1,79 0,88 1,48 0,11 0,43 2,53 2,21
Tabel 8. Distribusi nilai rerata DMFT pada responden (n=106).
32
Status karies terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa adalah kategori sedang,
yaitu sebesar 40% pada tunagrahita dan 61,53% pada tunadaksa, diikuti dengan
kategori baik yaitu sebanyak 33,75% pada tunagrahita dan 30,76% pada tunadaksa
lalu kategori buruk yaitu sebanyak 26,25% pada tunagrahita dan 7,69% pada
tunadaksa (Tabel 9).
33
̅ SD ̅ SD ̅ SD ̅ SD
Tunagrahita
5 -11 22 1,722,25 0,681,21 0 2,40 2,53
12-16 20 2,401,93 0,250,55 0,501,31 2,90 2,22
17-25 28 2,922,58 0,891,13 0,070,37 3,89 2,89
26-35 10 3,003,43 3,303,83 0,200,63 6,50 6,43
Tunadaksa
5 -11 3 1,001,73 0,330,57 0 1,331,52
12-16 12 1,911,72 0,410,66 0 2,331,96
17-25 11 1,272,00 1,542,01 0,270,64 3,902,58
Tabel 10. Distribusi rerata DMFT pada responden berdasarkan usia.
Status karies tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok usia
5-11 tahun yaitu sebesar 66,66% dengan kategori sedang, kelompok usia 12-16 tahun
50% dengan kategori sedang dan kelompok usia 17-25 tahun 81,81% dengan kategori
sedang (Tabel 11).
34
35
BAB 5
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 4, rata-rata skor OHIS pada anak tunagrahita yaitu 1,551,09
dan anak tunadaksa 1,441,20. Penelitian yang dilakukan oleh Sharma A dkk yang
menunjukkan indeks OHIS anak berkebutuhan khusus lebih buruk daripada anak
normal yaitu 1,51±0,93, sedangkan anak normal 1,15±0,72.8 Hasil penelitian ini
menujukkan bahwa skor rata-rata OHIS anak tunagrahita dan tunadaksa lebih tinggi
daripada anak normal. Hal ini disebabkan anak berkebutuhan khusus memiliki
kemampuan IQ dibawah anak normal sehingga lebih sulit memberikan arahan
mengenai kesehatan gigi dan mulut.
Berdasarkan tabel 5, status OHIS terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa
adalah kategori sedang, yaitu sebesar 53,75% pada tunagrahita dan 53,84% pada
tunadaksa. Hal ini sama dengan penelitian di Manado, menunjukkan status
kebersihan rongga mulut terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa adalah kategori
sedang, yaitu sebesar 81,3% pada tunagrahita dan 62,5% pada tunadaksa.3 Hal ini
disebabkan karena anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam menjaga
kebersihan rongga mulutnya, seperti kurangnya minat dan tidak efektifnya dalam
menggosok gigi dan memakai benang gigi sehingga dibutuhkan panduan, penjagaan,
dan observasi dari keluarga maupun pengasuh ketika membersihkan giginya.1,36
Berdasarkan tabel 6, rata-rata skor OHIS pada tunagrahita tertinggi diperoleh
pada kelompok usia 26-35 tahun 2,011,20, diikuti kelompok usia 17-25 tahun
1,721,23 lalu kelompok usia 12-16 tahun 1,491,01 dan kelompok usia 5-11 tahun
1,110,82. Hasil ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Kothari dkk.
pada tunagrahita rata-rata skor OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok usia 26-30
tahun yaitu 3,300,00, diikuti kelompok usia 21-25 tahun sebesar 3,411,77 lalu
kelompok usia 16-20 tahun sebesar 2,991,34, kelompok usia 11-15 tahun sebesar
2,601,31 dan kelompok usia 5-10 tahun sebesar 1,481,11.11 Adanya peningkatan
36
rerata skor dan status OHIS pada tunagrahita seiring bertambahnya usia. Hal ini dapat
disebabkan oleh peningkatan indeks kalkulus dari akumulasi plak yang meningkat
seiring bertambahnya usia dan memperburuk OHIS.11,37-8 Pada tunadaksa rata-rata
skor OHIS tertinggi diperoleh pada kelompok usia 5-11 tahun 2,301,57, diikuti
kelompok usia 7-17 tahun 1,541,40 dan kelompok usia 17-25 tahun 1,100,77.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Aastha dkk. pada tunadaksa rata-rata skor OHIS
tertinggi diperoleh pada kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,080,10, diikuti
kelompok usia 11-15 tahun sebesar 2,381,01 lalu kelompok usia 6-10 tahun yaitu
2,320.99.13 Adanya penurunan rerata skor seiring bertambahnya usia pada tunadaksa
dikarenakan semakin bertambahnya usia semakin berkembang pula daya tangkap dan
pola pikiran seseorang.
Berdasarkan tabel 7, Status OHIS tertinggi pada setiap kelompok usia tunagrahita
yaitu kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 54,54% dengan kategori baik,
kelompok usia 12-16 tahun 50% dengan kategori sedang, kelompok usia 17-25 tahun
57,14% dengan kategori sedang dan kelompok usia 26-35 tahun 40% pada kategori
sedang. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Hardiani AK dkk. status OHIS
tertinggi pada setiap kelompok usia tunagrahita yaitu kelompok usia 6-10 tahun yaitu
sebesar 73,04% dengan kategori sedang, kelompok usia 11-15 tahun 21,74% dengan
kategori sedang, kelompok usia 16-20 tahun 43,48% dengan kategori sedang dan
kelompok usia 21-25 tahun 21,74% pada kategori buruk.14 Status OHIS pada
tunagrahita, semakin bertambah usia semakin buruk status OHIS. Hal ini terjadi
karena rendahnya intelektualitas dan keterbatasan motorik tunagrahita yang
menyebabkan daya ingat dan daya tangkap menurun sehingga sering lupa dan
kesulitan dalam membersihkan gigi. Kesulitan dan jarang membersihkan gigi
menyebabkan terjadinya penumpukan kalkulus seiring bertambahnya usia.37 Status
OHIS tertinggi pada setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok usia 5-11 tahun
yaitu sebesar 66,66% dengan kategori sedang, kelompok usia 12-16 tahun 58,33%
dengan kategori sedang dan kelompok usia 17-25 tahun 55,54% dengan kategori
baik. Hasil ini berbeda dengan penelitian Folakemi A dkk. Status OHIS tertinggi pada
setiap kelompok usia tunadaksa yaitu kelompok usia 6-10 tahun yaitu sebesar 54,5%
37
dengan kategori baik, kelompok usia 11-15 tahun 41,2% dengan kategori sedang dan
kelompok usia 16-20 tahun 50% dengan kategori buruk.15 Status OHIS anak
tunadaksa, semakin bertambah usia semakin banyak kategori baik. Seiring
bertambahnya usia, maka pengetahuan yang akan didapat semakin banyak, diiringi
dengan perkembangan mental yang lebih baik sehingga motivasi untuk berprilaku
baik menjadi lebih besar.39
Berdasarkan tabel 8, skor DMFT rata-rata pada anak tunagrahita, yaitu 3,56
3,47 dan anak tunadaksa 2,53 2,21. Penelitian yang dilakukan oleh Purohit MB dkk
yang membandingkan status karies anak berkebutuhan khusus dengan anak normal,
indeks DMFT anak berkebutuhan khusus lebih tinggi yaitu berkisar 2,52±2,61
sedangkan anak normal yaitu 0,61-1,12.17 Skor DMFT anak berkebutuhan khusus
lebih tinggi terjadi karena anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam
menjaga kebersihan rongga mulut dan pola makan serta kurangnya perhatian orang
tua terhadap masalah gigi dan mulut anak.38
Berdasarkan tabel 9, status karies terbanyak pada tunagrahita dan tunadaksa
adalah kategori sedang, yaitu sebesar 40% pada tunagrahita dan 61,53% pada
tunadaksa. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Tulangow dkk.
status karies pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak adalah kategori sedang, yaitu
sebesar 87,5% pada tunagrahita dan 50% pada tunadaksa.21 Hal ini disebabkan
kurangnya kesadaran tentang kunjungan ke dokter gigi, tindakan kesehatan gigi dan
mulut kurang memadai, kebiasaan makan yang tidak teratur dan kurangnya insiatif
untuk melakukan pencegahan.40-2
Berdasarkan tabel 10, skor DMFT rata-rata pada anak tunagrahita yang paling
tinggi pada responden kelompok usia 26-35 tahun yaitu 6,506,43 diikuti kelompok
usia 17-25 tahun 3,892,89 lalu kelompok usia 12-16 tahun sebesar 2,902,22 dan
kelompok usia 5-11 tahun 2,402,53 dan skor DMFT rata-rata pada anak tunadaksa
yang paling tinggi pada kelompok usia 17-25 tahun 3,902,58 diikuti kelompok usia
12-16 tahun 2,331,96 lalu kelompok usia 5-11 tahun 1,33 1,52. Pada peneliltian ini
menunjukkan skor rerata DMFT meningkat saat bertambahnya usia. Hal ini sesuai
38
dengan penelitian dilakukan oleh Jain skor DMFT rata-rata pada tunagrahita yang
paling tinggi pada responden kelompok usia 26-30 tahun sebesar 2,751,86, diikuti
kelompok usia 21-25 tahun sebesar 2,632,16, lalu kelompok usia 16-20 tahun
2,612,40 dan kelompok usia 12-15 tahun sebesar 1,502,1322 dan penelitian
dilakukan oleh Aastha skor DMFT rata-rata pada tunadaksa yang paling tinggi pada
responden kelompok usia 16-20 tahun yaitu 3,60,03 diikuti 11-15 tahun sebesar
1,91,74 lalu kelompok usia 6-10 tahun sebesar 1,36 2,01.13 Rerata DMFT semakin
meningkat saat bertambahnya usia dikarenakan anak jarang dibawa ke dokter gigi
untuk melakukan perawatan gigi dikarenakan keterbatasan fisik dan ketakutan pergi
ke dokter gigi sehingga karies terus bertambah karena waktu yang lebih panjang
untuk proses terjadinya karies.21,22
Berdasarkan tabel 11, status karies gigi kategori tinggi tertinggi tunagrahita
diperoleh pada kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebesar 50% diikuti kelompok usia
17-25 tahun 32,14% lalu kelompok usia 12-16 tahun 20 % dan kelompok usia 5-11
tahun 9,09% dan status karies gigi kategori tinggi tertinggi tunadaksa diperoleh pada
kelompok usia 17-25 tahun 9,09% lalu kelompok usia 12-16 tahun 8,33 % dan
kelompok usia 5-11 tahun tidak ada. Hasil penelitian ini menunjukkan semakin
bertambah usia semakin tinggi kategori karies gigi. Hal ini terjadi karena rendahnya
kesadaran tentang kunjungan dokter gigi dan anak mengkonsumsi makanan
kariogenik seperti coklat, permen yang sangat rentan terhadap karies.
39
BAB 6
6.1 Kesimpulan
1. Nilai rerata skor OHIS pada anak tunagrahita 1,551,09 sedangkan anak
tunadaksa 1,441,20 dan status kebersihan rongga mulut terbanyak pada tunagrahita
dan tunadaksa adalah kategori sedang, yaitu sebesar 53,75% pada tunagrahita dan
53,84% pada tunadaksa.
2. Rerata skor OHIS pada anak tunagrahita yang tertinggi pada kelompok usia
26-35 tahun yaitu 2,011,20 dan pada anak tunadaksa yang tertinggi pada kelompok
usia 5-11 tahun yaitu 2,301,57 dan status OHIS pada tunagrahita kategori baik
tertinggi pada kelompok usia kelompok usia 5-11 tahun yaitu sebesar 54,54% dan
tunadaksa pada kelompok 17-25 tahun yaitu sebesar 54,54%.
3. Nilai Rerata skor DMFT pada anak tunagrahita 3,563,47 sedangkan anak
tunadaksa 2,532,21 dan status karies pada tunagrahita dan tunadaksa terbanyak
adalah kategori sedang, yaitu sebesar 40% pada tunagrahita dan 61,53% pada
tunadaksa.
4. Rerata skor DMFT anak tunagrahita yang tertinggi pada kelompok usia 26-35
tahun yaitu 6,506,43 sedangkan anak tunadaksa yang tertinggi pada kelompok usia
17-25 tahun yaitu 3,902,58 dan status karies tinggi tertinggi pada tunagrahita pada
kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebesar 50% dan tunadaksa pada kelompok usia
17-25 tahun yaitu sebesar 90,9%.
6.2 Saran
1. Diharapkan pihak orang tua maupun pengasuh anak dapat lebih
memperhatikan rongga mulut karena seperti telah diketahui, bahwa rongga mulut
dapat menjadi tempat asal penyebaran infeksi dan berkumpulnya bakteri.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Rao D, Amitha H, Munshi AK. Oral hygiene status of disabled children and
adolescents attending special schools of South Canara, India. Hong Kong
Dent J 2005; 2(2): 107-11.
2. Rampi D, Gunawan P, Pangemanan DHC. Gambaran kebersihan gigi dan
mulut pada anak penderita Down Syndrome di SLB YPAC Manado. Jurnal
Kedokteran Klinik 2017; 1(3): 35-40.
3. Motto CJ, Mintjelungan CN, Ticoalu SHR. Gambaran kebersihan gigi dan
mulut pada siswa berkebutuhan khusus di SLB YPAC manado. Jurnal e-GiGi
2017; 5(1): 105-108.
4. Lamba R, Rajvanshi H, Sheikh Z. Oral Hygiene Needs of Special Children
and the Effect of Supervised Tooth Brushing. International Journal of
Scientific Study 2015; 3: 30-34.
5. Altun C, Guven G, Akgun OM. Oral Health Status of Disabled Individuals
Attending Special Schools. European Journal of Dentistry 2010; 4: 361-5.
6. Desiningrum DR. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta:
Psikosain, 2016: 1-2.
7. Effendi M. Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara
2006: 87-132.
8. Sharma A. Comparision of oral health status and DMFT score of special and
normal children in Burhanpur city. Internasional J of Applied Dental Sciences
2019; 5(1): 219-222
9. Kaur S, Malhotra R. Oral Hygiene status of mentally and physically
challenged individuals living in a specialized institution in Mohali, india.
Indian Journal of Oral Sciences 2018; 18-9.
10. Wyne AH, Qathani ZA. Caries Experience and Oral Hygiene Status of Blind,
Deaf and Mentally Retarded Female Children in Riyadh, Saudi Arabia.
Odonto-stomalogie tropicale: 37-40.
42
43
22. Jain M, Mathur A. Oral health status of mentally disabled subject in India.
Journal of Oral Science 2009; 333-340.
23. Suparno, Puwarno H. Anak berkebutuhan khusus. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,2007; 4-13.
24. Somantri ST, Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama,
2007; 103-138.
25. Atmaja J R. Pendidikan Dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2018; 97-127.
26. Bhambal A, Jain M. Oral health preventive protocol for mentally disabled
subjects – A review. J. Adv Dental Research 2011; 20-4.
27. Rotman D. Oral Conditions in Children with Special Needs, 2016
28. Wills R. Efektifitas Mengkomsumsi Wortel (Daucus-Carota) Aceh Dan
Wortel Medan Terhadap Perubahan Debris Indeks Pada Anak Sekolah Dasar.
Jurnal Action 2017; 127
29. Rezki S. Pengaruh Ph Plak Terhadap Angka Kebersihan Dan Angka Karies
Gigi Anak Diklinik Pelayanan Asuhan Poltekkes Pontianak Tahun 2013;
Odonto Dent J.2014:16
30. Rao A. Principles and practice of pedodontics. 3rd ed. New Delhi: Jaypee,
2012; 459-60.
31. Marya, C.M. A Textbook of Public Health Dentistry, Jaypee Brothers Medical
Publishers, New Delhi 2011; 189-2.
32. Hiremath, S.S. Textbook of Preventive and Community Dentistry, Elsevier,
New Delhi. 2007; 202-3.
33. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat: pencegahan dan
pemeliharaan. Edisi ke-1. Medan:USU press, 2008; 17-88.
34. Acharya J. Dental Caries Status And Oral Health Needs among Disabled
Children Living In Care Centers In Kathmandu Valley, Nepal.
WebmedCentralDENTISTRY 2014; 5(2): 1-13.
35. World Health Organization. Oral Health Surveys - Basics Methods. 5 th ed.:
World Health Organization, Geneva, Switzerland: 2013; 47.
44
45
Skor Debris =
16 11 26
46 31 36
Skor Kalkulus =
16 11 26
46 31 36
28 27 26 25 24 23 22 21 11 12 13 14 15 16 17 18
48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38
Kepada Yth.
Ibu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Alamat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bersama ini, saya Nichy Rilinda mahasiswa yang sedang menjalani Pendidikan
Dokter Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, mohon
kesediaan Ibu untuk berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya berjudul “Status
Oral Higiene dan Pengalaman Karies Anak Berkebutuhan Khusus di YPAC
Medan”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Oral Higiene dan Karies
(Gigi Berlubang) anak berkebutuhan khusus di YPAC Kota Medan dan tingkat
pengetahuan dan perilaku anak berkebutuhan khusus mengenai kesehatan gigi dan
mulut di YPAC Kota Medan.
Subjek penelitian saya adalah anak berkebutuhan khusus yang berada di
YPAC kota Medan. Dalam penelitian tersebut anak akan dilakukan pemeriksaan
rongga mulut anak. Adapun ketidaknyamanan yang dialami dalam prosedur
penelitian yaitu anak membuka mulut sedikit lebih lama untuk memeriksa keadaan
rongga mulut.
Pemeriksaan yang dilakukan tidak dikenakan biaya apapun dan partisipasi
anak bersifat suka rela. Diharapkan hasil penelitian ini secara keseluruhan dapat
membantu solusi pencegahan gigi berlubang pada anak-anak Indonesia dimasa yang
akan datang. Demikian penjelasan mengenai penelitian yang akan saya lakukan. Bila
Medan, ………………..2019
Peneliti
Nichy Rilinda
(082166345136)
Medan, 2019
Orang tua subjek
12
13
14
15
16