Anda di halaman 1dari 71

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN POLITERAPI

OBAT ANTIEPILEPSI (OAE) PADA ANAK PENDERITA EPILEPSI

TESIS

JOVITA SILVIA WIJAYA


147041021 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN POLITERAPI
OBAT ANTIEPILEPSI (OAE) PADA ANAK PENDERITA EPILEPSI

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu


Kesehatan Anak / M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara

JOVITA SILVIA WIJAYA


147041021 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Politerapi Obat Anti

Epilepsi (OAE) pada Anak Penderita Epilepsi

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain,

kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam

daftar pustaka.

Medan, Juni 2019

Jovita Silvia Wijaya

ii

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada

Tanggal : 16 Mei 2019

Penguji

Penguji I Penguji 11

;i.'±-
(dr. Datten Bangun, MSc, SpFK) (dr. Hj. Tiangsa Sembiring, M.Ked(Ped), Sp.A(K))
NIP.130349092 NIP.196201041989112 001

Mengetahui,

Ketua Departeme esehatan Anak


FK-USU/RSUP . Adam Malik Medan

(dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), Sp.A(K))


NIP.196508211991011001

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang

merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan magister

kedokteran di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, saya ingin menyampaikan

terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum sebagai rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) sebagai dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) sebagai ketua

program studi magister kedokteran klinik Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. dr. Mohd Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), Sp.OG(K) sebagai sekretaris

program studi magister kedokteran klinik Universitas Sumatera Utara.

5. dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua Departemen Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. dr. Selvi Nafianti, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua program studi Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara.

iv

Universitas Sumatera Utara


7. dr. Johannes Harlan Saing, M.Ked(Ped), Sp.A(K) sebagai pembimbing

utama, Dr. Bugis Mardina Lubis, M.Ked(Ped), Sp.A(K) sebagai

pembimbing serta Dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K), Dr. Fereza

Amalia, M.Ked(Ped), Sp.A(K), Dr. Cynthea Prima Destarini, M.Ked(Ped),

Sp.A yang telah memberikan bimbingan,bantuan serta saran-saran yang

sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis

ini.

8. dr. Hj. Tiangsa Sembiring, M.Ked(Ped), Sp.A(K), dr. Lily Irsa, Sp.A(K),

dan dr. Datten Bangun, MSc,SpFK, selaku penguji tesis yang telah

memberikan bimbingan dan saran-saran yang berharga dalam

penyelesaian tesis ini.

9. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU /

RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran

dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

10. Ayahanda dr. Basri Wijaya dan ibunda Ting Siu Jung yang sangat saya

cintai dan hormati yang telah memberikan dukungan moril dan materil

yang sangat besar selama pendidikan ini. Semoga budi baik yang telah

diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

11. Suami saya Surya Andrias dan anak-anak saya Sophie Allison dan

Sophian Alessandro atas dorongan, kesabaran dan pengertian yang

diberikan selama saya mengikuti pendidikan ini.

Universitas Sumatera Utara


12. Teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU, serta semua pihak

yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan, oleh

karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk

penyempurnaannya. Akhir kata, saya berharap semoga tesis ini dapat

memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya.

Medan, Mei 2019

Penulis

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing ........................................................ i


Pernyataan .......................................................................................... ii
Telah Diuji ............................................................................................ iii
Ucapan Terima Kasih .......................................................................... iv
Daftar Isi .............................................................................................. vii
Daftar Tabel ......................................................................................... ix
Daftar Gambar ..................................................................................... x
Daftar Singkatan .................................................................................. xi
Abstrak ................................................................................................. xii
Abstract ................................................................................................ xiii

Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................... 3
1.3. Hipotesis .......................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................. 3
1.4.1. Tujuan umum ...................................................... 3
1.4.2. Tujuan khusus .................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................... 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka


2.1. Definisi Epilepsi................................................................ 6
2.2. Epidemiologi Epilepsi ....................................................... 7
2.3. Etiologi Epilepsi ................................................................ 8
2.4. Klasifikasi Epilepsi ............................................................ 8
2.5. Manifestasi Klinis Epilepsi ................................................ 10
2.6. Faktor Resiko Epilepsi...................................................... 11
2.7. Diagnosis Epilepsi ............................................................ 11
2.8. Tatalaksana Epilepsi ........................................................ 13
2.8.1. Tatalaksana Medikamentosa ................................ 13
2.8.2. Tatalaksana Bedah ............................................... 21
2.9. Kerangka Konsep ............................................................. 22

Bab 3. Metodologi Penelitian


3.1. Desain Penelitian ............................................................ 23
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................... 23
3.3. Populasi dan Sampel ...................................................... 23
3.4. Perkiraan Besar Sampel ................................................. 23
3.5. Kriteria Inklusi ................................................................. 24

vii

Universitas Sumatera Utara


3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent ...... 24
3.7. Etika Penelitian................................................................ 25
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian ........................................ 25
3.9. Identifikasi Variabel ........................................................ 26
3.10. Definisi Operasional ....................................................... 26
3.11. Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 28

Bab 4. Hasil Penelitian ........................................................................ 30

Bab 5. Pembahasan ........................................................................... 34

Bab 6. Kesimpulan dan Saran ............................................................ 39

Bab 7. Ringkasan................................................................................ 40

Daftar Pustaka ..................................................................................... 41

Lampiran:
Personil Penelitian, Biaya Penelitian, Jadwal Penelitian

Penjelasan Penelitian

Formulir Persetujuan Ikut serta dalam Penelitian

Formulir Isian Penelitian dan Kuesioner

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Faktor resiko terjadinya epilepsi................................................ 11

Tabel 2.2. Pilihan OAE lini pertama dan kedua........................................... 15

Tabel 2.3. Profil Farmakologi OAE........................................................... 16

Tabel 2.4. Kombinasi OAE yang digunakan pada epilesi intraktabel........ 17

Tabel 2.5. Pembagian dosis OAE............................................................. 20

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian…………………………………. … 31

Tabel 4.2 Karakteristik OAE politerapi……………………………………. … 32

Tabel 4.3 Faktor resiko pemberian politerapi pada anak epilepsi……….. 33

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi ILAE 2016............................. 9

Gambar 2.2. Kerangka Klasifikasi Epilepsi................................................ 10

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual........................................................... 22

Gambar 3.1. Alur Penelitian...................................................................... 25

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

OAE : Obat anti epilepsi

HAM : Haji Adam Malik

GABA : Gamma aminobutyric acid

NMDA : N-methyl-Daspartate

AMPA : Amino-3-hydroxy- 5-methyl-isoxasole propionic acid

EPSP : Excitatory postsinaptic potential

IPSP : inhibitory postsinaptic potential

FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

RSCM : Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo

ILAE : The International League Against Epilepsy

EEG : Elektroensefalografi

SSP : Sistem Saraf Pusat

MRI : Magnetic Resonance Imaging

CT Scan : Computed Tomography Scan

PR : Prevalence ratio

CI : Convidence interval

CP : Cerebral palsy

xi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERIAN POLITERAPI OBAT ANTI


EPIELPSI (OAE) PADA ANAK PENDERITA EPILEPSI
Jovita Silvia Wijaya, Cynthea Prima Destariani, Yazid Dimyati, Bugis Mardina Lubis,
Johannes Harlan Saing
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,
Medan, Sumatera Utara, Indonesia

Latar Belakang. Insiden epilepsi di negara berkembang tinggi, setidaknya 700,000 kasus di Indonesia
dengan 70,000 kasus baru setiap tahun. Penatalaksanaan yang komprehensif juga
diperlukan untuk menurunkan angka sakit penderita. Pemberian monoterapi lebih
dianjurkan untuk menurunkan risiko efek samping dan menghindari timbulnya interaksi obat. Ada
beberapa faktor risiko yang menyebabkan kegagalan monoterapi seperti frekuensi kejang yang sering,
status epileptikus, defisit neurologis, dan keterlambatan pemberian terapi epilepsi. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor risiko pemberian politerapi obat anti epilepsi pada anak
penserita epilepsi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di poli neurologi Rumah
Sakit Haji Adam Malik Medan antara bulan November 2017 sampai Oktober 2018. Terdapat 80
sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi. Penelitian ini telah disetujui komite etik Fakultas
Kedokteran Universitas Utara dan Rumah Sakit Haji Adam Malik. Data penelitian dianalisis dengan
menggunakan SPSS versi 22.0
Hasil. Dari 80 sampel, mayoritas pasien dengan onset usia diatas 1 tahun (76.25%). Epilepsi tipe
umum merupakan yang terbanyak dalam penelitian ini (80%). Kebanyakan pasien (97.5%) patuh
terhadap pengobatan mereka. Terdapat beberapa faktor risiko yang dievaluasi dalam penelitian ini
seperti onset usia terjadinya epilepsi, tipe epilepsi, defisit neurologis, riwayat keluarga menderita
epilepsi, kepatuhan pengobatan, dan frekuensi kejang setelah pemberian terapi. Faktor risiko
pemberian politerapi yang bermakna secara signifikan dalam penelitian ini adalah frekuensi kejang
setelah pemberian terapi dengan PR 0,231 (CI 95% 0,140-0,379).
Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi kejang yang sering setelah pemberian terapi
merupakan faktor risiko pemberian politerapi.
Kata Kunci : Epilepsi, faktor risiko, politerapi

xii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

FACTORS THAT INFLUENCE POLYTHERAPY EPILEPTIC DRUG IN CHILDHOOD


EPILEPSY
Jovita Silvia Wijaya, Cynthea Prima Destariani, Yazid Dimyati, Bugis Mardina Lubis,
Johannes Harlan Saing
Faculty of Medicine, University of Sumatera Utara,
Medan, Sumatera Utara, Indonesia

Background. The incidence of epilepsy in developed countries was high, at least 700,000 cases in
Indonesia with 70,000 new cases annually. This encouraged comprehensive epilepsy treatment to
reduce its morbidity. Monotherapy is preferred for its lack of side effect and interaction with other
medication. There were several risk factors of failed monotherapy such as frequency of frequent
seizure, epilepticus status, neurological deficit, and delayed epilepsy treatment. The purpose of this
study was to identify the risk factors of polytherapy epileptic drug in childhood epilepsy.
Methods. A cross-sectional study was conducted in outpatient clinic of Haji Adam Malik Hospital
from November 2017 to October 2018. There were 80 samples with inclusion criteria. This study was
approved by ethic committee of Medical Faculty of University of Sumatera Utara and Haji Adam
Malik Hospital. The data was analysed using SPSS version 22.0.
Results. Of 80 samples, the majority had onset of epilepsy more than 1 year (76.25%). General
epilepsy was the most common type in this study (80%). Most patients (97.5%) complied to follow up
their medication. There were several risk factors of polytherapy that were being evaluated in this study
such as onset of epilepsy, type of epilepsy, neurological deficit, history of epilepsy in family,
compliance in the treatment, and the frequency of seizure after being treated. The significant risk factor
of polytherapy in this study was frequent seizure after being treated with PR 0,231 (CI 95% 0,140-
0,379).
Conclusion. The result shows that the frequency of frequent seizure after treatment was the risk factor
of polytherapy.
Key Words : Epilepsy, risk factors, and polytherapy

xiii

Universitas Sumatera Utara


1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insiden epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan

variasi yang luas, sekitar 4 sampai 6 per 1000 anak.1 Kasus epilepsi di

Indonesia terdapat paling sedikit 700 000 sampai 1 400 000 kasus

dengan pertambahan sebesar 70 000 kasus baru setiap tahun dan

diperkirakan 40% sampai 50% terjadi pada anak-anak.2 Pada penelitian

di Bali, insiden epilepsi selama 4 tahun adalah 5.3% dari semua kasus

yang berobat ke poliklinik anak dan ruang rawat inap RSUP Sanglah

Denpasar dengan insidens terbanyak pada kelompok umur 1 sampai 5

tahun.3 Tingginya insidensi epilepsi di negara-negara berkembang

dikarenakan banyaknya penyakit infeksi susunan saraf pusat, trauma

kepala dan morbiditas perinatal.4

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di

bidang saraf anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain

kesulitan belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas

hidup anak. Penatalaksanaan yang komprehensif juga diperlukan karena

bangkitan yang berulang akan menurunkan kualitas hidup penderita. 5

Penatalaksanaan epilepsi adalah dengan pemberian obat anti

epilepsi.6 Pemberian obat tunggal (monoterapi) akan menurunkan risiko

Universitas Sumatera Utara


2

timbulnya efek samping, dan menghindari timbulnya interaksi obat.

Terapi monoterapi yang efektif dapat menghentikan 80% kejang pada

pasien epilepsi.7 Kegagalan terapi epilepsi pada anak dengan monoterapi

adalah karena masih adanya kejang pada anak dengan epilepsi yang

sudah diterapi satu macam obat anti epilepsi (OAE) sampai dengan dosis

maksimal, yang kemudian akan dilanjutkan dengan pemberian

politerapi.8 Pada penelitian di Kanada pada tahun 2009, ditemukan

bahwa kegagalan pada pengobatan dengan obat anti epilepsi lini

pertama sebanyak 31.6% pada anak dan didapati juga onset usia di

bawah 1 tahun lebih banyak dijumpai kegagalan terapi dibandingkan

anak dengan onset usia di atas 1 tahun.6

Pada penelitian di Yogyakarta, adapun variabel yang menyebabkan

kegagalan monoterapi, yaitu frekuensi kejang lebih dari 10 kali sebelum

terapi, status epileptikus, adanya defisit kelainan neurologi penyerta dan

pemberian obat anti epilepsi yang tidak segera. 9 Kegagalan fase awal

terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan

prognosis epilepsi, sehingga identifikasi sedini mungkin sangat penting

bagi anak yang mempunyai risiko tinggi mengalami kegagalan

monoterapi yang akhirnya akan menjadi epilepsi intraktabel dan

mendapatkan politerapi. Tingginya angka kejadian hubungan kegagalan

Universitas Sumatera Utara


3

monoterapi dengan kejadian epilepsi intraktabel cukup tinggi yaitu

33,3%.10

1.2 Rumusan Masalah

Faktor – faktor apa yang mempengaruhi pemberian politerapi OAE pada

anak dengan epilepsi?

1.3 Hipotesis

Faktor onset usia, jenis kejang, jumlah dan frekuensi kejang, gangguan

neurologis penyerta, riwayat keluarga menderita epilepsi, kepatuhan

terapi akan mempengaruhi pemberian politerapi OAE pada anak dengan

epilepsi.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pemberian politerapi

OAE pada anak dengan epilepsi.

2. Tujuan Khusus

• Mengetahui karakteristik demografi pasien epilepsi di RSUP

HAM.

Universitas Sumatera Utara


4

• Mengetahui jumlah pemberian politerapi OAE pada anak

dengan epilepsi di RSUP HAM.

• Mengetahui jenis OAE pada anak epilepsi yang mendapat

politerapi

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bidang akademik

Mengetahui faktor-faktor pemberian politerapi OAE pada pasien anak

dengan epilepsi yang dapat membantu tenaga medis untuk

mengurangi jumlah pemberian politerapi OAE pada anak dengan

epilepsi.

2. Manfaat bidang Pelayanan

• Membantu para klinisi untuk mengetahui faktor-faktor pemberian

politerapi OAE pada anak dengan epilepsi, sehingga dapat

mengurangi efek samping pemberian politerapi OAE pada anak

dengan epilepsi.

• Memberikan penatalaksanaan epilepsi pada anak secara tepat

dan adekuat.

Universitas Sumatera Utara


5

3. Manfaat bidang pengembangan penelitian

• Memberikan masukan terhadap penelitian selanjutnya di Divisi

Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara mengenai faktor-faktor

lain yang mempengaruhi pemberian politerapi OAE pada anak

penderita epilepsi.

• Memberikan kontribusi ilmiah mengenai faktor-faktor pemberian

politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

Universitas Sumatera Utara


6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kejang berulang dan

tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih

dari 24 jam.11 Kejang atau bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis

disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari

sekelompok neuron di otak yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan

tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksimal pada satu atau

beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik,

sensorik, dan psikis), bermanifestasi negatif (hilangnya kesadaran, gangguan

tonus otot dan gangguan bicara), atau gabungan keduanya. Manifestasi

bangkitan ditentukan oleh lokasi dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan

luasnya penyebaran. Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba

dan menyebar dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan

sebagian besar berlangsung singkat.12

Dalam sistem saraf pusat terdapat neurotransmiter yang bersifat

eksitasi dan inhibisi. Neurotransmiter eksitasi utama di otak adalah glutamat,

sedangkan neurotransmiter inhibisi utama adalah gamma aminobutyric acid

(GABA). Aktivitas kejang sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas

sel-sel saraf dan hubungan antar sel-sel saraf. Kejang dapat dipicu oleh

Universitas Sumatera Utara


7

eksitasi ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari

terminal presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut

reseptor inotropik glutamat yang memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA (N-

methyl-Daspartate) dan non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy- 5-methyl-

isoxasole propionic acid atau AMPA). Ikatan glutamat dengan reseptor non-

NMDA akan menghasilkan neurotransmisi eksitasi yang disebut excitatory

postsynaptic potential (EPSP) tipe cepat. Sementara itu, ikatan glutamat

dengan reseptor NMDA akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat.

GABA yang dilepaskan akan berikatan dengan reseptor GABA A dan

menyebabkan masuknya ion Cl- ke dalam sel neuron. Masuknya ion Cl ini

akan meningkatkan muatan negatif dalam neuron postsinaps dan

mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada potensial membran ini

disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP). Reseptor GABAB terletak

pada terminal presinaptik dan membran postsinaptik. Jika diaktifkan oleh

GABA presinaptik maupun postsinaptik maka reseptor GABA B akan

menyebabkan IPSP. IPSP berperan dalam menurunkan cetusan elektrik sel

saraf. Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan

eksitasi dan mencetuskan epilepsi.13

2.2 Epidemiologi Epilepsi

Prevalensi epilepsi di negara maju 30 sampai 50 kasus per 100 000

penduduk, sedangkan prevalensi ini meningkat dua kali di negara miskin dan

Universitas Sumatera Utara


8

berkembang.14 Data yang dapat diperoleh dari rekam medik Departemen

Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM selama 5 tahun terakhir tercatat pasien

epilepsi yang dirujuk 526 kasus baru.15

2.3 Etiologi Epilepsi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60% dari kasus

epilepsi tidak ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita

sebut sebagai kelainan idiopatik. Etiologi epilepsi dapat dibagi dalam tiga

kategori, sebagai berikut:

a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.

Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya

berhubungan dengan usia.

b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui,

termasuk sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.

Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi

struktural pada otak, misalnya: cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat,

kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,

toksik (alkohol dan obat), metabolik, dan kelainan neuro degeneratif.16

2.4 Klasifikasi Epilepsi

Klasifikasi epilepsi merupakan hal penting dalam mengetahui proses yang

mendasari terjadinya bangkitan epilepsi, sebagai sarana komunikasi untuk

Universitas Sumatera Utara


9

membandingkan dan mengevaluasi penelitian ilmiah, dan sebagai salah satu

dasar pemilihan terapi. Pada tahun 1981 The International League Against

Epilepsy (ILAE) membuat klasifikasi bangkitan epilepsi berdasarkan jenis

bangkitan epilepsi dan gambaran elektroensefalografi (EEG) iktal dan

interiktal.16-18 Klasifikasi baru epilepsi menurut ILAE 2016 tidak merubah

dasar pemikiran klasifikasi sebelumnya, tetapi klasifikasi yang baru lebih

fleksibel dan memudahkan dalam menentukan jenis bangkitan. 19

Fokal Umum Onset yang tidak


diketahui

Motor Motor
Motor Tonik-klonik Tonik-klonik
Tonik Tonik Tonik
Atonik Atonik Atonik
Mioklonik Mioklonik Spasme epilepsi
Klonik Mioklonik-atonik Non-Motor
Spasme epilepsi Klonik
Hipermotor Klonik-tonik-
Non-Motor klonik
Sensorik Sadar Penurunan Kesadaran
Spasme epilepsi
Kognitif Absans kesadaran tidak jelas
Emosional Tipikal
Otonomik Atipikal
Mioklonik Tidak dapat diklasifikasi
Mioklonik kelopak
mata

Sadar Penurunan Kesadaran


kesadaran tidak jelas

Menjadi bilateral tonik-klonik

Gambar 2.1. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi ILAE 2016 19

Universitas Sumatera Utara


10

Gambar 2.2. Kerangka Klasifikasi epilepsi.20

Disebut bangkitan fokal (parsial) apabila lepasnya muatan listrik

berlebihan berasal dari sekelompok neuron abnormal pada 1 lokasi tertentu

hemisfer (fokus epileptik) yang bisa juga menyebar ke lokasi lain, sedangkan

pada bangkitan multiparsial berasal dari beberapa lokasi. Pada bangkitan

parsial sederhana tidak dijumpai gangguan kesadaran, sedangkan pada

parsial kompleks disertai gangguan kesadaran seperti halnya bangkitan

umum.12,21 Bangkitan parsial dan multiparsial merupakan 60% dari kasus

epilepsi pada anak. Pada bangkitan umum, lepasnya muatan listrik

berlebihan berasal dari neuron di kedua hemisfer secara serentak. 13

2.5 Manifestasi Klinis Epilepsi

Manifestasi klinis epilepsi bervariasi tergantung dari neuron hemisfer mana

yang melepaskan muatan listrik, dapat berupa gerak motorik,

Universitas Sumatera Utara


11

somatosensorik, psikis, perubahan perilaku, perubahan kesadaran, perasaan

panca indra, dan lain-lain.17,19

2.6 Faktor Risiko Epilepsi

Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu

stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal

ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam

timbulnya gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat

menyebabkan epilepsi.

Tabel 2.1. Faktor risiko terjadinya epilepsi16

Prenatal Natal Postnatal


a. Umur ibu saat hamil a. Asfiksia a. Kejang demam
terlalu muda (<20 tahun) b. Bayi dengan b. Trauma kepala
atau terlalu tua (>35 berat badan lahir c. Infeksi SSP
tahun) rendah (<2500 d. Gangguan
b. Kehamilan dengan gram) metabolik
eklamsia dan hipertensi c. Kelahiran
c. Kehamilan primipara atau prematur atau
multipara postmatur
d. Pemakaian bahan toksik d. Partus lama
e. Persalinan dengan alat

2.7 Diagnosis Epilepsi

Diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis (keluhan,

riwayat keluarga, riwayat kehamilan, riwayat kelahiran, dan riwayat

Universitas Sumatera Utara


12

perkembangan), pemeriksaan fisik (pemeriksaan neurologis) dan

pemeriksaan penunjang, seperti: 22,23

a. Elektroensefalografi ( EEG )

Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun

menyingkirkan diagnosis epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa

epilepsi mempunyai kelainan EEG berupa aktivitas epilepsi pada

rekaman EEG, dan hanya 50% pasien dengan epilepsi memiliki

aktivitas epileptiform pada rekaman EEG pertamanya. EEG sangat

berperan dalam menegakkan diagnosis epilepsi dan memberikan

informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi, serta dalam menentukan

lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-kasus kejang fokal.13

b. Magnetic Resonance Imaging ( MRI )

MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting pada

kasus-kasus epilepsi karena MRI dapat memperlihatkan struktur otak

dengan sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang dihasilkan oleh MRI

dapat digunakan untuk membedakan kelainan pada otak, seperti

gangguan perkembangan otak (sklerosis hipokampus, disgenesis

kortikal), tumor otak, kelainan pembuluh darah otak (hemangioma

kavernosa) serta abnormalitas lainnya yang dapat menyebabkan

epilepsi.. Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan, pemeriksaan

dengan MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi. Pemeriksaan

Universitas Sumatera Utara


13

MRI tidak dianjurkan pada sindrom epilepsi dengan kejang umum

karena jenis epilepsi ini biasanya bukan disebabkan oleh gangguan

struktural.13

c. Computed Tomography Scan ( CT Scan )

Walaupun CT Scan kepala sering memberikan hasil yang normal pada

kebanyakan kasus epilepsi, namun merupakan pemeriksaan

penunjang yang cukup penting karena dapat menunjukkan kelainan

pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan

kelainan pada pembuluh darah otak.13.

Dengan menganalisis faktor-faktor tersebut terutama dengan adanya

riwayat bangkitan yang terjadi secara berulang dan tiba-tiba (unprovoked),

serta tidak disebabkan oleh suatu proses yang akut, maka diagnosis epilepsi

ditegakkan.20

2.8 Tatalaksana Epilepsi

2.8.1 Tatalaksana Medikamentosa

Pengobatan epilepsi merupakan pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu,

untuk menjamin keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara

dokter, pasien dan keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.

Pemberian obat anti epilepsi (OAE) harus mempertimbangkan risiko dan

manfaat. Faktor akseptabilitas OAE sangat menentukan kepatuhan berobat.

Universitas Sumatera Utara


14

Selain itu, ketersediaan obat secara konsisten dan kontinu juga menjamin

keberhasilan terapi.12

Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita

epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya dengan efek samping yang

minimal. Serangan kejang yang berlangsung lama mengakibatkan kerusakan

sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus-menerus

maka kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan

menurunnya kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik

untuk mengatasi kejang harus dilakukan terapi sedini mungkin. Pengobatan

epilepsi dikatakan berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila

serangan epilepsi dapat dicegah atau dikontrol dengan obat-obatan sampai

pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.24

Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini

pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan. Pemberian obat dimulai

dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau

timbul efek samping.16,25

Bila kejang tidak dapat dihentikan dengan OAE lini pertama dosis

maksimal, mulai pemberian monoterapi lini kedua, apabila monoterapi lini

kedua berhasil menghentikan kejang, maka OAE lini pertama diturunkan

bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE line

pertama maka kedua OAE tetap diberikan.16,25

Universitas Sumatera Utara


15

Tabel 2.2. Pilihan OAE lini pertama dan kedua.12

Nama Obat Indikasi Dosis


Lini Pertama
Fenobarbital Epilepsi umum 4-6 mg/kg/hari dibagi 2
Epilepsi parsial dosis
Fenitoin Epilepsi umum 5-7 mg/kg/hari dibagi 2
Epilepsi parsial dosis
Asam valproat Epilepsi umum 15-40 mg/kg/hari dibagi 2
Epilepsi parsial dosis
Absans
Mioklonik
Karbamazepin Epilepsi parsial 10-30 mg/kg/hari dibagi
2-3 dosis
Lini Kedua
Topiramat Epilepsi umum 5-9 mg/kg/hari dibagi 2-
Epilepsi parsial 3 dosis
Levetiracetam Epilepsi umum 20-60 mg/kg/hari dibagi
Epilepsi parsial 2-3 dosis
Absans
Mioklonik
Oxcarbazepine Epilepsi parsial 10-30 mg/kg/hari dibagi
Benign Rolandic 2-3 dosis
epilepsy
Lamotrigine Epilepsi umum 0,5-5 mg/kg/hari dibagi
Epilepsi parsial 2-3 dosis
Absence
Mioklonik

Universitas Sumatera Utara


16

Sekitar 70% epilepsi pada anak akan memberikan respon yang baik

terhadap OAE lini pertama atau kedua. Terapi OAE lini kedua harus memiliki

mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE lini pertama.2,16

Tabel 2.3. Profil Farmakologi OAE16

Obat Mekanisme Kerja Absorpsi (%) Rute Eliminasi


Karbamazepin Menghambat Lambat Metabolisme aktif
kanal sodium (75-80) di hati
Fenobarbital Bersifat GABA- Lambat Metabolisme di
ergik (membuka (95-100) hati 25%
kanal klorida) diekskresikan
dalam bentuk asli
Fenitoin Menghambat Lambat Metabolisme di
kanal sodium (85-90) hati
Valproat Mekanisme Cepat (100) Metabolisme aktif
bervariasi di hati
Topiramat Mekanisme Lambat (80) Metabolisme di
bervariasi hati
Ekskresi di ginjal
Levetiracetam Berikatan dengan Cepat Hidrolisis non
reseptor SV2A (95-100) hepatic
Ekskresi di ginjal
Okskarbazepine Menghambat Cepat Konversi di hati
kanal sodium (95-100) menjadi metabolit
(inaktivasi cepat) yang aktif
Lamotrigin Menghambat Cepat Glukordinasi
kanal sodium (95-100)

Universitas Sumatera Utara


17

Jika OAE lini pertama dan kedua gagal sebagai monoterapi, peluang

untuk mencoba monoterapi lain dalam memberantas kejang sangat kecil,

sehingga terapi OAE kombinasi patut dipertimbangkan. Sebelum memulai

terapi kombinasi (politerapi), ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan

yaitu, apakah diagnosis sudah tepat, kepatuhan minum obat sudah baik, dan

pilihan dan dosis OAE sudah tepat.2

Apabila kejang tidak dapat dihentikan dengan monoterapi lini kedua

pertimbangkan untuk pemberian politerapi (kombinasi 2-3 OAE). Politerapi

seharusnya dihindari sebisa mungkin.26 Kegagalan pada penggunaan

monoterapi akan menyebabkan penderita jatuh pada epilepsi intraktabel yaitu

kegagalan mengontrol kejang dengan lebih dari dua OAE lini pertama

dengan rata-rata serangan kejang lebih dari satu kali perbulan selama 18

bulan dan interval bebas kejang tidak lebih dari tiga bulan. Penderita yang

mengalami epilepsi intraktabel mempunyai risiko yang lebih besar untuk

mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. 26

Tabel 2.4. Kombinasi OAE yang digunakan pada epilepsi intraktabel 16

Kombinasi OAE Indikasi

Valproat + Etosuksimid Bangkitan absence

Karbamazepin + Valproat Bangkitan parsial/ kompleks

Valproat + Lamotrigin Bangkitan parsial/ bangkitan umum

Topiramat + Lamotrigin Bangkitan parsial/ bangkitan umum

Universitas Sumatera Utara


18

Penelitian yang dilakukan sebelumnya di Yogyakarta, mendapatkan

kaitan antara kejang yang tidak segera terkontrol di awal terapi dengan

kemungkinan refrakter terhadap pengobatan. Pada 6 bulan pertama

pengobatan, epilepsi dengan kejang sama atau lebih dari 3 kali 31.1% remisi.

Sementara itu, dalam 6 bulan kedua pengobatan, epilepsi dengan kejang

sama atau lebih dari 3 kali 18.9% yang akan remisi. Hal tersebut

memperlihatkan bahwa kegagalan di fase awal terapi sangat mempengaruhi

keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi. 10 Pada hasil penelitian

sebelumnya, didapatkan beberapa faktor yang bisa dijadikan sebagai faktor

kemungkinan kegagalan monoterapi, antara lain :

1. Frekuensi kejang yang sering

Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan berikutnya

melalui fenomena fasilitasi. Konsep pembentukan epileptogenesis (fokus

epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang disebut sebagai

kindling hypothesis. Bangkitan elektrik pada sebuah fokus primer akan

dapat menginduksi daerah sekitarnya sehingga mencetuskan bangkitan

paroksismal yang abnormal.9

2. Status epileptikus

Status epileptikus adalah faktor prognostik kegagalan monoterapi. Kejang

berkepanjangan dan berulang dapat menyebabkan kerusakan otak akibat

pacuan asam amino eksitatorik yang toksik. Model eksperimental

Universitas Sumatera Utara


19

memperlihatkan bahwa kejang buatan yang berkepanjangan dan

berulang akan menyebabkan perubahan yang menetap pada neuron di

sekitar fokus epileptogenik.9

3. Gangguan neurologis penyerta

Kelainan fungsi neurologis yang menyertai epilepsi, meliputi mikrosefal,

makrosefal, gambaran dismorfik dan kondisi yang ditemukan bersamaan

dengan onset epilepsi, meliputi gangguan perkembangan, serebral palsi,

retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian, dan hiperaktivitas dan

gangguan belajar. Patofisiologi kelainan neurologis penyerta dalam

menyebabkan kegagalan monoterapi melalui adanya lesi struktural pada

otak yang menyebabkan farmakoresisten.9

4. Ketidakpatuhan dalam meminum obat.

Kepatuhan merupakan masalah utama karena terapi pada penyakit

epilepsi memerlukan waktu yang lama dan kedisiplinan dalam menjalani

pengobatan.27 Kejadian ketidakpatuhan pada pengobatan epilepsi telah

dilaporkan terjadi pada 58% pasien anak-anak yang baru terdiagnosis

epilepsi dan hanya 42% pasien mendekati kepatuhan yang sempurna. 28

5. Onset usia

Pada penelitian yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2008,

ditemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara onset usia

kejang dengan terjadinya epilepsi intraktabel, dimana usia yang lebih

Universitas Sumatera Utara


20

muda mempunyai angka kejadian yang lebih besar yaitu 36,2% pada

anak dengan usia di bawah 5 tahun dibandingkan dengan anak usia di

atas 5 tahun sebanyak 21,3%.10

6. Dosis yang tidak sesuai

Pemberian obat dengan dosis yang tidak sesuai juga dapat

menyebabkan kegagalan dalam terapi. Pemberian dengan dosis kurang

dapat menyebabkan obat dalam keadaan subterapetik sehingga obat

tidak dapat memberikan efek terapi. Pembagian dosis OAE untuk terapi

pasien anak dapat dilihat pada tabel berikut.29

Tabel 2.5. Pembagian dosis OAE29

Obat Dosis maintenance Frekuensi pemberian


(mg/kg/hari) (kali/hari)
Fenitoin 5-15 1-2
Karbamazepin 10-25 2-4
Okskarbazepin 10-50 2-3
Lamotrigin 2-8 1-2
Topiramat 5-9 2
Fenobarbital 4-8 1-2
Valproat 15-40 2-3
Levetiracetam 20-60 2

Selain tatalaksana diatas, ada tatalaksana non-medikamentosa, yaitu diet

ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi, rendah

karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut menghasilkan energi untuk otak

bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun dari keton sebagai hasil

Universitas Sumatera Utara


21

oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvant

pada epilepsi refrakter dan dapat menurunkan frekuensi kejang, namun perlu

diingat, diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan

pertumbuhan yang lambat, batu ginjal dan fraktur.12

2.8.2 Tatalaksana Bedah

Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang dan

meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter dengan

membuang atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa

mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya. Pasien

epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap meskipun telah diterapi

selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE atau jika terapi medikamentosa

menghasilkan efek samping yang tidak dapat diterima.25

Universitas Sumatera Utara


22

2.9 Kerangka konseptual

USIA ONSET

JENIS KEJANG

GANGGUAN NEUROLOGIS
PENYERTA

EPILEPSI RIWAYAT KELUARGA POLITERAPI


EPILEPSI

KEPATUHAN TERAPI

FREKUENSI KEJANG
SETELAH MENDAPAT OAE

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual

Universitas Sumatera Utara


23

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui faktor-

faktor pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

3.2. Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rawat Jalan Divisi Neurologi Anak RSUP Haji Adam

Malik antara bulan November 2017 sampai Oktober 2018.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak dengan epilepsi yang berobat di RSUP Haji

Adam Malik. Populasi terjangkau adalah anak dengan epilepsi yang berobat

di RSUP Haji Adam Malik dan mendapat OAE pada bulan November 2017

sampai Oktober 2018. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan

menggunakan teknik consecutive sampling.

3.4 Perkiraan besar sampel

Perhitungan besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai

berikut :30

23

Universitas Sumatera Utara


24

n = besar sampel minimum

P1 = perkiraaan proporsi epilepsi yang mendapat politerapi = 52%31

P2 = perkiraan proporsi epilepsi yang mendapat monoterapi = 78,4%6

P = ½(P1+P2) = odds ratio based on clinical judgement = 0,82 10

Zα = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu

Zß = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada ß tertentu

Berdasarkan perhitungan besar sample yang akan diteliti, maka besar

sampel penelitian ini adalah 38,5 orang = 40 orang untuk masing-masing

kelompok.

3.5 Kriteria Inklusi

1. Anak penderita epilepsi usia <18 tahun

2. Mendapat terapi OAE minimal 1 macam obat

3. Mendapat izin dari orang tua atau wali untuk ikut dalam penelitian

3.6 Persetujuan setelah penjelasan / informed consent

Semua subyek penelitian diberi penjelasan mengenai hal yang akan

dilakukan dan telah disetujui orangtua sebelum dilakukan wawancara.

Universitas Sumatera Utara


25

3.7 Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara dan RSUP Haji Adam Malik.

3.8 Cara Kerja dan Alur Penelitian

3.8.1 Cara Kerja

Anak penderita epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi serta bersedia ikut

serta dalam penelitian mengisi formulir penelitan. Kemudian dilakukan

pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang memuat

pertanyaan sesuai dengan variabel penelitian.

3.8.2 Alur Penelitian


Anak penderita epilepsi di Poliklinik Neurologi anak
RSUP Haji Adam malik

Inklusi

Penggunaan OAE

Pengumpulan data dengan menggunakan


kuesioner dan rekam medis

Faktor Risiko:
- Usia onset
- Jenis kejang
- Gangguan neurologis penyerta
- Riwayat keluarga menderita epilepsi
- Kepatuhan terapi
- Frekuensi kejang setelah mendapat OAE
Gambar 3.1 Alur Penelitian

Universitas Sumatera Utara


26

3.9 Identifikasi variabel

Variabel bebas Skala

Usia onset kategorik

Jenis kejang kategorik

Gangguan neurologis penyerta kategorik

Riwayat keluarga menderita epilepsi kategorik

Kepatuhan terapi kategorik

Frekuensi kejang setelah OAE monoterapi kategorik

Variabel tergantung Skala

Terapi OAE kategorik

3.10 Definisi operasional

1. Epilepsi

Kejang berulang dan tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih

dengan interval waktu lebih dari 24 jam.12 Diagnosis epilepsi ditegakkan

oleh dokter spesialis anak subdivisi neurologi Ilmu Kesehatan Anak RSUP

Haji Adam Malik. Diagnosis secara klinis dikonfirmasi dengan EEG yang

diinterpretasi oleh seorang dokter neurologi anak.

2. Terapi OAE

Terapi OAE dibagi menjadi monoterapi dan politerapi.

Universitas Sumatera Utara


27

- Monoterapi OAE adalah penggunaan obat epilepsi yang diberikan

kepada subjek penelitian menggunakan satu jenis obat.

- Politerapi OAE adalah penggunaan obat epilepsi yang diberikan

kepada subjek penelitian menggunakan lebih dari satu jenis obat.

3. Usia onset kejang

Usia saat kejang tanpa provokasi pertama kali terjadi.

- Usia saat pertama kali kejang kurang dari 1 tahun

- Usia saat pertama kali kejang lebih dari 1 tahun.

4. Jenis epilepsi

Karakteristik epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy

(ILAE) 2016 sesuai dengan hasil EEG berupa epilepsi fokal dan epilepsi

umum.

5. Gangguan neurologis penyerta

Kelainan fungsi neurologis yang menyertai epilepsi meliputi mikrosefal,

makrosefal, gambaran dismorfik, dan kelainan refleks neurologis serta

kondisi yang ditemukan bersamaan dengan onset epilepsi, meliputi

gangguan perkembangan, serebral palsi, retardasi mental, gangguan

pemusatan perhatian dan hiperaktifitas dan gangguan belajar. Kelainan ini

diukur dengan melakukan anamnese, pemeriksaan fisik dan dari rekam

medis.

6. Riwayat keluarga menderita epilepsi

Universitas Sumatera Utara


28

Anggota keluarga yang menderita epilepsi, meliputi ayah, ibu, saudara

kandung, kakek, nenek, paman, bibi dan sepupu.

7. Kepatuhan terapi

Kepatuhan pasien untuk mendapat pengobatan secara rutin,

mengkonsumsi OAE sesuai dosis dan minum obat sesuai anjuran dokter.

Dibagi atas dua kelompok yaitu patuh dan tidak patuh.

8. Frekuensi kejang setelah mendapat OAE monoterapi

Frekuensi serangan kejang setelah pasien mendapat terapi OAE yang

pertama.

- Dikatakan sering bila mengalami bangkitan ≥ 5 kali/ bulan setelah

mendapat OAE pertama

- Dikatakan jarang bila mengalami bangkitan < 5 kali/ bulan setelah

mendapat OAE pertama.

3.11 Pengolahan dan analisa data

Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan perangkat

lunak statistik. Variabel tergantung yaitu penggunaan politerapi OAE dan

variabel bebas yaitu onset usia, jenis kejang, jumlah dan frekuensi kejang,

gangguan neurologis penyerta, riwayat keluarga menderita epilepsi,

kepatuhan terapi dan frekuensi kejang setelah mendapat OAE dalam skala

Universitas Sumatera Utara


29

kategorik akan dianalisis untuk melihat proporsi dan ditampilkan dalam

bentuk persentase.

Untuk melihat hubungan masing-masing variabel bebas terhadap

variabel tergantungnya dilakukan uji bivariat yaitu uji kai kuadrat, kemudian

dilakukan uji analisis regresi logistik ganda untuk melihat hubungan ke enam

variabel bebas terhadap varibel tergantung bila hasil uji bivariat bermakna.

Pada analisis ini akan ditentukan prevalence ratio (PR). Nilai PR akan disertai

dengan nilai convidence interval 95% (CI 95%). Hasil dinyatakan bermakna

dengan nilai p<0.05.

Universitas Sumatera Utara


30

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di poli Neurologi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Haji Adam

Malik. Terdapat 80 anak penderita epilepsi yang memenuhi kriteria inklusi.

Dari hasil penelitian yang didapatkan dari analisa bivariat, didapatkan satu

variabel yang memiliki nilai p<0,05 yang mempengaruhi pemberian politerapi

OAE pada anak dengan epilepsi di poli Neurologi SMF Ilmu Kesehatan Anak

RSUP Haji Adam Malik sehingga tidak dilakukan anlisa multivariat. Data

karakteristik dasar seluruh pasien epilepsi tertera pada Tabel 4.1. Dalam

penelitian ini diperoleh jumlah sampel masing-masing 40 anak untuk

monoterapi dan politerapi Berdasarkan onset usia kejang, usia ≥ 1 tahun

dijumpai sebanyak 61 (76,25%). Jenis epilepsi umum dijumpai lebih banyak

dibandingkan epilepsi fokal yaitu sebanyak 64 (80%). Riwayat keluarga

menderita epilepsi tidak ada dijumpai sebanyak 72 (90%). Dan kepatuhan

konsumsi obat sebanyak 78 (97,5%) dan sebanyak 2 (2,5%) yang tidak

patuh. Frekuensi kejang yang berkurang dijumpai lebih banyak yaitu

sebanyak 52 (65%).

30

Universitas Sumatera Utara


31

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian

Jumlah, n (%)
Pendidikan orang tua, n (%)
SD 14 (17,5)
SMP 34 (42,5)
SMA 27 (33,75)
Sarjana 5 (6,25)
Onset usia, n (%)
< 1 tahun 19 (23,75)
≥ 1 tahun 61 (76,25)
Jenis epilepsi, n (%)
Umum 64 (80)
Fokal 16 (20)
Terapi, n (%)
Monoterapi 40 (50)
Politerapi 40 (50)
Gangguan neurologis penyerta n (%)
Ada
CP 11 (13,75)
Mikrosefali 17 (21,25)
Makrosefali 7 (8,75)
Tidak ada 44 (55)
Riwayat keluarga epilepsi, n (%)
Ada 8 (10)
Tidak ada 72 (90)
Kepatuhan konsumsi obat, n (%)
Patuh 78 (97,5)
Tidak patuh 2 (2,5
Frekuensi kejang setelah OAE, n (%)
Sering 28 (35)
Jarang 52 (65)
Jenis obat, n (%)
Generik 46 (57,5)
Original 34 (42,5)

Kombinasi OAE diberikan pada pasien yang masih dijumpai kejang

setelah mendapatkan OAE monoterapi, dimana asam valproat + topiramat

dan asam valproat + carbamazepin merupakan obat politerapi yang paling

Universitas Sumatera Utara


32

banyak digunakan yaitu sebanyak 45% dan 37,5%. Lama pemberian

monoterapi sebelum menjadi politerapi selama ≤ 6 bulan sebanyak 62,5%.

Tabel 4.2. Karakteristik OAE politerapi

Karakteristik N %
Kombinasi OAE Asam valproat+phenobarbital 4 10
Asam valproat+carbamazepine 15 37,5
Asam valproat+topiramat 18 45
Phenobarbital+carbamazepine 2 5
Phenobarbital+topiramat 1 2,5
Lama pengobatan ≤6 bulan 25 62,5
monoterapi >6 bulan 15 37,5

Analisis bivariat dilakukan untuk mencari faktor yang berkaitan dengan luaran

epilepsi. Hasil analisis univariat masing-masing variabel tertera pada tabel

4.3. Keenam variabel tersebut adalah usia onset > 1 tahun (PR 0,495; IK

0.172-1.428; p=0,189), jenis epilepsi umum (PR 1,889; IK 0.613-5.818;

p=0,264), adanya gangguan neurologis (PR 0,441; IK 0.179-1.084; p=0,072),

tidak adanya riwayat keluarga (PR 1,000; IK 0.232-4.310; p=0,644),

kepatuhan konsumsi obat (PR 0,487; IK 0.388-0.6128; p=0,494) dan

frekuensi kejang setelah mendapat OAE (PR 0,231; IK 0.14-0.379; p=0,000)

Universitas Sumatera Utara


33

Tabel 4.3 Faktor risiko pemberian politerapi pada anak penderita epilepsi

Karakteristik Monoterapi Politerapi


P PR 95%IK
n (%) n (%)
Usia Onset
≤ 1 tahun 7 (17,5) 12 (30,0)
0,189 0,495 0,172-1,428
> 1 tahun 33 (82,5) 28 (70,0)
Jenis epilepsi,
Umum 34 (85,0) 30 (75,0)
0,264 1,889 0,613-5,818
Fokal 6 (15,0) 10 (25,0)
Gangguan
neurologis
Ada 14(35) 22(55) 0,072 0,441 0,179-1,084
Tidak ada 26 (65,0) 18 (45,0)
Riwayat keluarga
Ada 4 (10,0) 4 (10,0)
0,644 1,000 0,232-4,310
Tidak ada 36 (90,0) 36 (90,0)
Kepatuhan
konsumsi obat
Patuh 40 (100,0) 38 (95,0)
0,494 0,487 0,388-0,612
Tidak patuh 0 (0,0) 2 (5,0)
Frekuensi kejang
setelah OAE
Sering 0 (0,0) 28 (70,0)
0,000 0,231 0,140-0,379
Jarang 40 (100,0) 12 (30,0)

Faktor risiko yang mempengaruhi pemberian politerapi adalah usia onset,

jenis epilepsi, gangguan neurologis, riwayat eluarga, kepatuhan konsumsi

obat dan frekuensi kejang setelah mendapa OAE. Dari faktor tersebut yang

bermakna adalah frekuensi kejang setelah OAE dengan p < 0,005 dan PR

0,231 (95% IK).

Universitas Sumatera Utara


34

BAB 5

PEMBAHASAN

Semua pasien yang telah didiagnosa dengan penyakit epilepsi akan

mendapatkan obat antiepilepsi yang dipilih secara tepat dengan

mempertimbangkan jenis kejang, efektifitas obat, efek samping obat, dan

interaksi dari obat yang tersedia.32 Sekitar 50-70% pasien dengan epilepsi

yang baru didiagnosis mencapai remisi setelah memulai obat antiepilepsi

sebagai pengobatan monoterapi. Bila masih dijumpai kejang, dapat diberikan

dua pilihan yaitu monoterapi alternatif (substitusi) atau terapi kombinasi

(tambahan), yang umumnya melibatkan penambahan obat kedua ke

monoterapi saat ini.31 Sehingga diperlukan identifikasi sedini mungkin bagi

anak yang mempunyai risiko tinggi mengalami kegagalan monoterapi.9

Pada hasil penelitian ini didapatkan satu faktor yang bisa dijadikan

sebagai faktor risiko pemberian politerapi OAE pada anak dengan epilepsi.

Variabel tersebut adalah frekuensi kejang ≥ 5 kali/ bulan setelah pemberian

OAE monoterapi. Penelitian yang dilakukan di Finlandia, menunjukkan

respon awal yang baik terhadap terapi merupakan petanda prognosis yang

baik. Jika kejang tidak terkontrol di tahun pertama pengobatan setelah

didiagnosis, hanya 60% pasien yang mencapai remisi. Kegagalan fase awal

34

Universitas Sumatera Utara


35

terapi sangat mempengaruhi keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis

epilepsi.33

Pada penelitian ini, subjek dengan frekuensi kejang ≥ 5 kali/ bulan

setelah pemberian OAE monoterapi dalam penelitian ini berpeluang menjadi

politerapi sebesar 0,231 kali dengan nilai p = 0,000. Hal ini diduga penyebab

kegagalan monoterapi melalui mekanisme pembentukan fokus epileptogenik

baru. Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan

berikutnya melalui fenomena fasilitasi. Konsep pembentukan epileptogenesis

(fokus epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang disebut sebagai

kindling hypothesis.9

Penelitian di India dan studi prospektif tentang prognosis kejang yang

terjadi pada tahun pertama kehidupan.34 Penelitian di Kanada menemukan

bahwa 38% dari 40 anak dengan serangan kejang pada tahun pertama

kehidupan memiliki kejang yang sulit terkontrol pada pemantauan

selanjutnya. Prognosis pada anak yang datang dengan kejang tanpa demam

pada tahun pertama kehidupan sering buruk karena dalam banyak kasus,

kejang mencerminkan kelainan otak serius yang mendasarinya. 35 Penelitian

yang dilakukan di Bali mendapatkan hasil kejadian epilepsi paling banyak

ditemukan pada anak dengan onset usia di bawah 1 tahun. 3 Hasil ini berbeda

dengan hasil pada penelitian ini, dimana pada penelitian ini didapatkan hasil

dengan onset usia yang paling banyak adalah > 1 tahun. Hasil serupa

Universitas Sumatera Utara


36

dijumpai pada penelitian di Surabaya36, hal ini disebabkan oleh karena

populasi yang digunakan pada penelitian kami adalah kasus rumah sakit

bukan populasi komunitas.

Pada bayi dengan kejang, perkembangan saraf yang abnormal

dapat terjadi oleh karena kelainan struktural otak, bukan karena serangan

kejang berulang seperti pada kebanyakan pasien, namun dapat juga terjadi

secara bersamaan dengan penyebab gejala kejang akut, seperti infeksi

sistem saraf pusat, trauma, atau gangguan pembuluh darah. Cedera otak

akibat kejang berulang diyakini sangat jarang terjadi, bahkan dengan status

epileptikus yang berkepanjangan.35

Pada penelitian ini, gangguan neurologis penyerta tidak menjadi

faktor risiko pemberian politerapi OAE. Hasil penelitian ini tidak sesuai

dengan penelitian yang dilakukan di Yogyakarta9 menemukan bahwa adanya

kelainan penyerta menyebabkan kegagalan monoterapi melalui adanya lesi

struktural pada otak yang menyebabkan farmakoresisten. Namun hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian di Yogyakarta yang melaporkan

adanya kelainan penyerta tidak merupakan prediktor kuat untuk terjadinya

epilepsi refrakter.10 Hal ini mungkin disebabkan adanya kelainan penyerta

yang variasinya sangat luas, seperti gangguan perkembangan, retardasi

mental, gangguan pemusatan perhatian, hiperaktifitas, gangguan belajar, dan

Universitas Sumatera Utara


37

lain – lain. Dan setiap kelainan penyerta tersebut tidak harus disertai dengan

adanya kelainan struktural pada otak.

Peran keluarga sangat penting dalam proses penyesuaian diri anak

maupun keluarga terhadap penyakit kronis. Pemahaman pasien dan

orangtua tentang manfaat dan pentingnya obat – obat yang diberikan serta

tingkat pendidikan merupakan hal penting yang mempengaruhi kepatuhan

berobat. Oleh karena itu dokter anak perlu mengetahui tingkat pengetahuan

pasien dan orangtua serta menentukan apakah ada kesalahan informasi atau

perbedaan sudut pandang.

Pada penelitian yang dilakukan di Medan, ditemukan hasil dengan

skor tingkat pengetahuan orang tua yang rendah yaitu dengan rerata 6,73 (±

2,31) dimana paling banyak merupakan tamatan SMU sebesar 47,7%.

Sebanyak 79.4% menyatakan rutin/ selalu membawa anaknya berobat ke

dokter.37 Hasil ini serupa dengan hasil penelitian ini dimana tingkat kepatuhan

pasien sebesar 97,5% dengan pendidikan orang tua yang paling banyak

adalah SMP sebesar 42,5% dan SMA sebesar 33,75%.

Pada hasil penelitian ini, riwayat keluarga menderita epilepsi tidak

menjadi faktor risiko dalam pemberian politerapi pada anak yang menderita

epilepsi. Hasil ini sesuai dengan penelitian terbaru dalam analisis genetik

mengungkapkan bahwa sebagian besar bentuk epilepsi dihasilkan dari

kombinasi faktor genetik dan faktor yang didapat, dimana hanya sebagian

Universitas Sumatera Utara


38

kecil dari semua gangguan kejang disebabkan oleh epilepsi genetik. Pada

penelitian oleh Arab Saudi menemukan bahwa adanya riwayat keluarga yang

menderita epilepsi mempunyai dampak yang signifikan pada klasifikasi

epilepsi dan etiologi yang mendasarinya.38 Pada riwayat keluarga yang

menderita epilepsi, pelepasan gelombang epileptiform di daerah temporal

menjadi prediktor terbaik yang mungkin menunjukkan adanya epilepsi lobus

temporal. Hasil akhir pengamatan jangka panjang pada epilepsi lobus

temporal dipengaruhi oleh etiologi yang mendasarinya dan dari hasil

penelitian yang dilakukan di Australia39 menemukan bahwa lebih dari

sebagian anak-anak dengan epilepsi lobus temporal dijumpai etiologi

kriptogenik. Pada penelitian jangka panjang berbasis populasi baru-baru ini

tentang hasil epilepsi fokal nonidiopatik pada anak-anak dengan etiologi

kriptogenik mempunyai prognosa yang lebih baik daripada kelompok

simtomatik, dengan angka kejadian epilepsi intraktabel yang lebih rendah. 40

Universitas Sumatera Utara


39

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi kejang setelah pemberian

OAE merupakan faktor risiko bermakna yang memengaruhi pemberian

politerapi OAE, yaitu sebesar 0,23 kali. Dari 40 sampel yang mendapatkan

politerapi, OAE yang paling banyak digunakan adalah kombinasi asam

valproat dengan topiramat.

6.2 Saran

Dari penelitian ini hanya didapatkan frekuensi kejang setelah pemberian OAE

yang memiliki hasil bermakna yang memengaruhi pemberian politerapi

sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut menggunakan desain penelitian

kohort agar dapat menilai hubungan yang lebih akurat terhadap faktor risiko

lainnya.

39

Universitas Sumatera Utara


40

BAB 7

RINGKASAN

Epilepsi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kejang berulang dan

tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih

dari 24 jam. Prevalensi epilepsi meningkat dua kali di negara miskin dan

berkembang dibandingkan negara maju dengan data yang diperoleh dari

rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM selama 5 tahun

terakhir tercatat pasien epilepsi yang dirujuk 526 kasus baru. Pengobatan

epilepsi merupakan pengobatan jangka panjang yang bertujuan membuat

penderita epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya dengan efek samping

yang minimal. Serangan kejang yang berlangsung lama mengakibatkan

kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Faktor risiko kegagalan

monoterapi pada penelitian lain adalah frekuensi kejang yang sering, status

epileptikus, gangguan neurologis penyerta, ketidakpatuhan dalam meminum

obat, onset usia dan dosis yang tidak sesuai.

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat faktor risiko yang

memengaruhi pemberian politerapi OAE pada anak penderita epilepsi. Faktor

risiko tersebut berupa frekuensi kejang setelah pemberian OAE (p < 0,001).

Kombinasi politerapi yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah

40

Universitas Sumatera Utara


41

kombinasi asam valproat dan topiramat. Masih diperlukan penelitian lanjutan

untuk menilai hubungan yang lebih akurat terhadap faktor risiko lainnya.

Universitas Sumatera Utara


42

DAFTAR PUSTAKA

1. Aydin A, Ergor A, Ergor G, Dirik E. The prevalence of epilepsy amongst

school children in Izmir, Turkey. Seizure 2002;11:392-6.

2. Harsono, Endang K, Suryani G. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi Ke-3.

Perdossi.2006;62:1-43.

3. Suwarba, I Gusti Ngurah Made. Insiden dan Karakteristik Epilepsi pada

Anak. Bagian / SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Sari Pediatri, Agustus

2011.

4. World Health Organization (WHO). Epilepsy in the WHO Eastern

Mediterranean Region.Kairo: WHO Library. 2010: 10-21.

5. Major P, Thiele EA. Seizure in children: laboratory, diagnosis, and

management. Pediatr Rev 2007;28:405-14.

6. Dudley RW, Penney SJ, Buckley DJ. First-drug treatment failures in children

newly diagnosed with epilepsy. Pediatr Neurol 2009;40:71–7.

7. Cavazos JE, Lum F, Spitz M. Seizure and epilepsy : Overview and

classification. 2003. Diakses tanggal 18 Januari 2014.

8. Kwan P, Brodie MJ. Potential role of drugs transporters in the pathogenesis

of medically intractable epilepsy. Epilepsia 2005;46:224-35.

42

Universitas Sumatera Utara


43

9. Triono A, Herini ES. Faktor prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak

dengan Monoterapi. Universitas Gadjah Mada (Tesis). Yogyakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2014.

10. Ramzi, Soenarto Y, Sunartini, Hakimi M. Prognostic factors of refractory

epilepsy in children. Pediatrica Indonesiana; 2008(48) 269-73.

11. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure. Syndrome and

Management.London. Blondom Medical Publishing; 2005;1- 26.

12. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA, Epilepsi pada anak. Ikatan

Dokter Anak Indonesia.2016;1:5-6.

13. Vera R, Dewi MAR, Nursiah. Sindrom Epilepsi Pada Anak. Palembang.

Rumah sakit Moehammad Hoesin.2014.

14. Ngugi AK, Bottomley C, Kleinschimdt I, Sander JW, Newton CR. Estimation

of the burden of active and life-time epilepsy. J Pediatr Child Health

2010;51:883-90.

15. Wishwadewa WN, Mangunatmadja I, Said M, Firmansyah A, Soedjatmiko,

Tridjaja B. Kualitas Hidup Anak Epilepsi dan Faktor–Faktor yang

Mempengaruhi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta.

Sari Pediatri 2008;10(4):272-9.

16. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman Tatalaksana

Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga

University Press; 2014.

Universitas Sumatera Utara


44

17. Stafstrom CE. The pathophysiology of epileptic seizure: a primer for

pediatricians. Pediatrics in Review. 1998;19(10):342-51.

18. Hendry TR. Seizures and epilepsy: pathophysiology and principles of

diagnosis. American board of pyschiatry and neurology. 2012;1(1):1-26.

19. Fisher RS, Cros JH, French JA, Higurashi N, Hirsch E, Jansen FE, et al.

Operational classification of seizure types by international league againts

epilepsy. Stanford Department of Neurology & Neurological Sciences.

2016:1-26.

20. Scheffer IE, French J, hirsch E, Jain S, Mathern GW, Mosche SL, et al.

Classification of the epilepsies: New concepts for discussion and debate-

Special report of the ILAE Classification Task Force of the Commission for

Classification and Terminology. Epilepsia open. 2016;2(1):1-8.

21. Nordli DR. Focal and multifocal seizures. Dalam: Swaiman KH, Ashwal S,

Ferreiro DM, Schor NF. Pediatric neurology “principles and practice”. Edisi

ke-5. Inggris; 2012.h.751-66.

22. Lazuardi S. Pengobatan epilepsi. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S,

penyunting. Buku ajar neurologi anak. Edisi ked-2. Jakarta; 2000. h. 226-41.

23. Benbadis SR, Tatum WO. Advances in the treatment of epilepsy. American

Family Phisician. 2000;64(1):91-8.

24. Wibowo, S., Gofir, A. Penggunaan obat anti epilepsi dalam klinik, IP Saraf FK

UGM, Yogyakarta.2008.

Universitas Sumatera Utara


45

25. Mani J. Combination Therapy in Epilepsy : What, When, How and What Not!.

Supplement to Journal of the association of physicians of india.2013.

26. Camfield P, Camfield C, and Pohlmann-Eden B. Transition From Pediatric to

Adult Epilepsy Care: A Difficult Process Marked by Medical and Social Crisis.

American Epilepsy Society. 2012;12(4):13–21.

27. Andarini, I.Hubungan Kepatuhan Pengobatan dengan Remisi Epilepsi pada

Anak, Laporan Penelitian Akhir, IP Saraf FK UGM, Yogyakarta. 2007.

28. Modi, A.C., Rausch, J.R., & Glauser, T.A.Patterns of nonadherence to

antiepileptic drug therapy in children with newly diagnosed epilepsy, JAMA,

2011: 305 (16).

29. Brodie, M.J., Schachter, M.J., Kwa, P. Fast Fact : Epilepsy. Health Press

Oxford, UK. 2005:24-6.

30. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta: Penerbit

Salemba Medika; 2016;4:93-7.

31. Millul Andrea, Iudice A, Adami M, Porzio R, Mattana F, Beghi E. Alternative

monotherapy or add-on therapy in seizures do not respond to the first

monotherapy: An Italian multicenter prospective observasional study.

Epilepsy & Behavior; 2013(28) 494-500.

32. Kwan P, Brodie MJ. Early identification of refractory epilepsy. N Engl J Med

2000;342:314-9.

Universitas Sumatera Utara


46

33. Sillanpaa M, Jalava M, Kaleva O, Shinnar S. Long-term prognosis of seizures

with onset in chilhood. N Engl J Med 1998;338:1715-22.

34. Chawla S, Aneja S, Kashyap R, Mallika V. Etiology and clinical predictors of

intractable epilepsy.Pediatr Neurol.2002;27:186-91.

35. Datta AN, Wirrell EC. Prognosis of seizures occurring in the first year. Pediatr

Neurol 2000;22:386-91

36. Andrianti PT. Gunawan PI, Hoesin F. Profil Epilepsi Anak dan Keberhasilan

Pengobatannya di RSUD Dr. Soetomo Tahun 2013. Sari Pediatri.

2016;18(1):34-9.

37. Saing J.H. Tingkat pengetahuan, perilaku dan kepatuhan berobat orang tua

dari pasien epilepsi anak di Medan. Sari pediatric. 2010: 12(2):103-7

38. Babtain FA. Impact of a FHE on the diagnosis of epilepsy in Southern Saudi

Arabia. Seizure 2013;22:542-47

39. Simon Harvey A, Berkovic SF, Wrennall JA, Hopkins LJ. Temporal lobe

epilepsy in childhood: clinical, EEG, and neuroimaging findings and syndrome

classification in a cohort with new-onset

seizures. Neurology. 1997;49(4):960–68.

40. Wirrell EC, Grossardt BR, So EL, Nickels KC. A population-based study of

long-term outcomes of cryptogenic focal epilepsy in childhood: cryptogenic

epilepsy is probably not symptomatic epilepsy. Epilepsia. 2011;52(4):738–45.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

1. Personil Penelitian

1. Ketua Penelitian

Nama : dr. Jovita Silvia Wijaya

Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSHAM

2. Anggota Penelitian

1. dr. Johannes H. Saing, M.Ked(Ped), SpA(K)

2. dr. Bugis Mardina Lubis, M.Ked(Ped), SpA(K)

3. dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), SpA(K)

4. dr. Cynthea Prima Destarini, M.Ked(Ped), SpA

5. dr. Scorpicanrus Tumpal Andreas

6. dr. Ratna Suwita Batubara

2. Biaya Penelitian

1. Penyusunan / Penggandaan : Rp. 2.500.000

2. Seminar hasil penelitian : Rp. 3.000.000

Jumlah : Rp. 5.500.000

Universitas Sumatera Utara


3. Jadwal Penelitian

Kegiatan / November – Desember 2017 Desember –


waktu Desember 2017 - November Februari 2019
2018
Persiapan

Pelaksanaan

Penyusunan
Hasil Penelitian
Penggadaan
Laporan

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

PENJELASAN PENELITIAN

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian politerapi

obat anti epilepsi pada anak penderita epilepsi

di RSUP H. Adam Malik Medan

Bagian Neurologi Anak FK USU/ RSUP H. Adam Malik saat ini sedang

melakukan penelitian faktor – faktor yang mempengaruhi pemberian

politerapi obat anti epilepsi pada anak penderita epilepsi.

Latar belakang dilakukannya penelitian ini adalah karena tingginya

angka kejadian hubungan kegagalan monoterapi ( 1 macam OAE ) dengan

kejadian epilepsi intraktabel ( kegagalan mengontrol kejang dengan lebih

dari 2 macam OAE ). Kegagalan fase awal terapi sangat mempengaruhi

keberhasilan terapi berikutnya dan prognosis epilepsi. Karenanya identifikasi

sedini mungkin sangat penting bagi anak yang mempunyai resiko tinggi

mengalami kegagalan monoterapi, yang akhirnya akan menjadi epilepsi

intraktabel.

Pada penelitian ini akan diberikan pertanyaan – pertanyaan mengenai

beberapa faktor yang bisa mempengaruhi pemberian politerapi pada anak

penderita epilepsi. Untuk pemeriksaan ini, kami tidak memungut biaya dari

Universitas Sumatera Utara


Bapak/ Ibu. Semua data yang diperoleh akan dirahasiakan sehingga tidak

diketahui orang lain.

Besar harapan kami Bapak/ Ibu memberi izin anak Bapak/ Ibu ikut

berpartisipasi dalam penelitian ini karena kami berharap dapat memberi

manfaat bagi anak Bapak/ Ibu. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas

mengenai penelitian ini, Bapak/ Ibu dapat menghubungi kami, dr. Jovita

Silvia Wijaya di Bagian Anak RSUP H. Adam Malik Medan, atau menelpon

kami dengan nomor HP 082162889999.

Demikian penjelasan kami buat dan terima kasih atas partisipasi dan

kepercayaan yang diberikan kepada kami.

Hormat kami,

dr. Jovita Silvia Wijaya

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3

FORMULIR PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENEITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : ...........................................................................................
Umur : ...........................................................................................
Jenis Kelamin : L / P
Alamat : ...........................................................................................
No telp : ...........................................................................................
Pekerjaan : ...........................................................................................
Adalah orang tua / wali dari :
Nama : ...........................................................................................
Umur : ...........................................................................................
Jenis Kelamin : L / P

Menerangkan bahwa setelah mendapat keterangan yang jelas dan lengkap


tentang tujuan penelitian, menyatakan tidak keberatan anak/ cucu/
keponakan ( coret yang tidak benar) untuk ikut serta dalam penelitian.
Medan, ..........................20...

Yang memberi penjelasan/ peneliti Orang tua peserta penelitian

dr. Jovita Silvia Wijaya ..........................................

Saksi

..........................................

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4
FORMULIR ISIAN PENELITIAN DAN KUESIONER
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian politerapi
obat anti epilepsi pada anak penderita epilepsi
di RSUP H. Adam Malik Medan

I. Identitas subjek
Tanggal pemeriksaan : ...............................................................
No. Urut penelitian : ...............................................................
No. MR : ...............................................................
Nama : ...............................................................
Umur : ...............................................................
Alamat : ...............................................................
Pendidikan terakhir Bapak/ Ibu : ...............................................................

II. Faktor risiko politerapi OAE


1. Berapa umur anak ketika pertama kali mengalami serangan kejang :
< 1 tahun > 1 tahun
2. Bagaimana jenis serangan :
1. Kaku seluruh ekstremitas ( kedua tungkai dan lengan ) :
1. Ya 2. Tidak
2. Kaku sebagian ekstremitas :
1. Ya 2. Tidak
3. Sisi kanan :
1. Ya 2. Tidak
4. Sisi kiri :
1. Ya 2. Tidak

Universitas Sumatera Utara


3. Berapa kali serangan dalam 1 bulan sebelum mendapat terapi OAE:
< 5 kali/ bulan > 5 kali/ bulan

4. Apakah ada gangguan neurologis penyerta :


1. Cerebral palsy
2. Mikrosefali
3. Makrosefali
4. Gambaran dimorfik
5. Kelainan refleks neurologis
6. Sindroma
7. Tidak ada
5. Apakah ada riwayat keluarga menderita epilepsi :
1. Ada 2. Tidak ada
Jika ada, sebutkan : ......................................................................

6. Apakah pasien kontrol teratur :


1. Ya 2. Tidak
7. Apakah pasien minum obat tepat waktu dan tepat dosis sesuai anjuran
dokter :
1. Ya 2. Tidak
8. Jenis OAE yang digunakan :
1. Generik 2. Original
9. Jenis OAE monoterapi yang digunakan :
1. Asam valproat
2. Depakene
3. Carbamazepine
4. Topiramat
10. Jenis OAE politerapi yang digunakan :
1. Asam valproat + Phenobarbital
2. Asam valporat + Carbamazepine

Universitas Sumatera Utara


3. Asam valproat + Topiramat
4. Phenobarbital + Carbamazepine
5. Phenobarbital + Topiramat
6. Depakene + Carbamazepine + Topiramat
7. Asam valproat + Carbamazepine + Topiramat
11. Intrepretasi pemeriksaan EEG :
1. Normal
2. Fokal
3. Multifokal
4. Hipofungsi
5. Campuran
6. Sindroma

Universitas Sumatera Utara


HEALTH RESEARCH ETHICAL COMMITTEE
Nediealfaeultyofuniversitassiimaterautara/H.AlanMalikGeneralllospinfi
JI. Dr. Mansyur No 5 Medan, 20155 - Indonesia
Tel: +62J61€211045; 8210555 Fax: +6261-8216264 E-mail:
komisietikfkusu@yahaoo.com

PERSETUJUAN KONISI ETIK TENTANG


PELAKSANAAN PENELITIAN KE SEIIATAN
No: (oC / TGL/KEPK FK usu-Rsur IIAM/2oi8

Yang bertanda tangan di bawch ini, Ketua Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fckultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, setelah dilaksanakan
pembahasan den pehilaian usulan penelitian berdasarkan kaldeh Neuremberg Code dan Deklarasi
Helsinki, dengan ini memutuskan protokol penelitian yang bejudul :

"Faktor-Faktor Yang Mempengarmhi Pemberiazi Politerapi Ohat


Antiepilepsi (OAE) Pada Anak Penderita Epilepsi"

Yang mengg`malan manusia din howan sebngal sutiek penelitian dengrn kefua
Pelaksana/Peneliti Utama: Jovita Silvia Wijaya
Dari Institusi : Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU

Dapat disetujui pelaksanaannya dengan syarat :


Tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan den kode etik penelitian biomedik,
Melapockan jika ada amandemen protokol penelitian
Melaporiran penyimpangan/pelanggaran teinadap protokol penelitian
Melaporkan secara periodik perkembangan penelitian dan laporan akhir
Melaporkan Kdyadian yang tidak diingickan

Persetujuan ini berlaku sejck tanggal ditetapkan sanpal dengan batas walchi pelaksanaan
penehtian sepchi tertera dalani protokol dengan nasa berlaku maksimu]n selama 1 (satu) tahun.

Medan,(qMaret2018
Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/
RSUP H. Adan Malik Medan

Universitas Sumatera Utara


RSUP H.ADAM MALIK
DIREKTORAT SDM DAN PENDIDIKAN
INSTALASI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Jl. Bunga Lau No.17 Medan Tuntungan Kin.12 Kotak Pos 247 Aiaphone 142
MEDAN -20136
Nomor. : LB.02.03/.Il.4/ 436 /2019. /a Maret 2019
Perihal : lzin penelitian

Yth. ke_`.!yiste=te!Q_slp_:PeEenMeot,.I
RSUP H Adam Malik
Medan

Menghunjuk Surat Ka Dept. Ilmu Kesehatan Anak FK USU Medan Nomor :


/UN5.2.1.1.1.11/KRK/2019, tanggal 22 Maret 2019, perihal: ljin Penelitian, maka

bersama ini kami hadapkan Peneliti tersebut untuk dibantu dalam pelaksanaannya.
Adapun nama Peneliti yang akan melaksanakan penelitian adalah sebagai berikut :
N a in a :dr.Jovitasilviawijaya
NIM

lnstitusi : Dept. Ilmu Kesehatan Anak FK USU

JuduI : "Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi pemberian politerapi obat


Anti Epilepsi (OAE) Pada Anak Penderita Epilepsi."

Perlu kami informasikan surat ljin Penelitian jnj berlaku sampai dengan peneljfjan
ini selesai dilaksanakan.

Demikian kami sampaikan, atas perhatiannya diucapkan terimakasih.

Ka. Instalasi Litbang,

SKM.M.Kes
NIP.197106181995012001

Tembusan :
1.Ka.Bidang Diklit RSUP H Adam Malik Medan

2.Pertinggal Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai