Anda di halaman 1dari 149

PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG TERJADI PADA PASIEN

SEPSIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN SKOR SOFA


DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH :
dr. Sarah Hanna Nadya Giri
NIM : 157041077

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


SPESIALIS PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG TERJADI PADA PASIEN
SEPSIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN SKOR SOFA
DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang


Patologi Klinik/M.Ked (Clin-Path) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

dr. Sarah Hanna Nadya Giri


NIM : 157041077

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


SPESIALIS PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini sebagai pembimbing penelitian dari :

Nama : dr. Sarah Hanna Nadya Giri

Judul Penelitian : Perubahan Pemeriksaan Hemostasis Pada Pasien Sepsis

Dan Hubungannya Dengan Skor SOFA Di RSUP H.

Adam Malik Medan

Menyatakan bahwa Hasil Penelitian tersebut telah dikoreksi dan layak diajukan

untuk ujian seminar hasil.

Medan, Oktober 2018

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada

Tanggal : 22 Oktober 2018

Penguji :

ii

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan berkat dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini yang berjudul “Perubahan Hemostasis Yang Terjadi Pada

Pasien Sepsis dan Hubungannya Dengan Skor SOFA di RSUP. H. Adam

Malik Medan”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik/M.Ked

(Clin-Path) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian

karya tulis ini, penulis telah banyak menerima bimbingan, petunjuk, bantuan dan

pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak sehingga

penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang

membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenanlah penulis menyampaikan penghormatan

dan ucapan terimakasih yang tiada terhingga kepada :

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program Magister

Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

iii

Universitas Sumatera Utara


2. Yth, Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku

Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan di Program

Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

3. Yth. Prof. dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH sebagai pembimbing I

saya yang telah bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan

pikirannya setiap saat dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk,

pengarahan dan bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama

dilaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini. Saya memohon doa

semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

4. Yth. Prof. Dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An, KIC, KAO sebagai

pembimbing II dari Departemen Anastesiologi dan Terapi Intensif FK

USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan

waktu dan memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan

bantuan mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian

sampai selesainya tesis ini.

5. Yth. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin-Path), Sp.PK-K, sebagai Ketua

Departemen Patologi Klinik FK USU dimana beliau telah banyak

memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan, bantuan dan dorongan

selama dalam pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai

selesai.

iv

Universitas Sumatera Utara


6. Yth. Dr. Jelita Siregar, M.Ked (Clin Path) Sp.PK sebagai Ketua

Program Studi Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, yang memberikan kesempatan kepada saya

sebagai peserta Program Magister dan Pendidikan Dokter Spesialis

Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak membimbing, mengarahkan

dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai.

7. Yth, dr. Malayana Rahmita Nasution, M.Ked (Clin Path), Sp.PK,

sebagai Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK USU yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti

pendidikan.

8. Yth. Prof. Dr. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH, yang memberikan

kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister dan

Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak

membimbing, mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan

sampai selesai.

9. Yth, Prof. dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH, yang telah

memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti

pendidikan dan didalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Yth, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN,KGEH, yang telah

banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya

mengikuti pendidikan.

11. dr. Zulfikar Lubis, Sp.PK-K, dr. Muzahar DMM, Sp.PK, dr. Tapisari

Tambunan, Sp.PK-K, dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK-K, dr Ida

Universitas Sumatera Utara


Adhayanti, Sp.PK, dr. Ranti Permatasari, Sp.PK-K, dr. Nindia Sugih

Arto, M.Ked (Clin Path), Sp.PK, dr Dewi Indah Sari Siregar, M.Ked

(ClinPath), Sp.PK, dr. Almaycano Ginting, M. Kes, M. Ked (Clin

Path), Sp.PK dan semua guru-guru saya yang telah banyak memberikan,

nasehat, arahan dan dukungan selama saya mengikuti pendidikan.

12. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit

Umum Pusat H. Adam MalikMedan yang telah memberikan

kesempatan dan menerima saya untuk mengikuti Program Pendidikan

Magister Kedokteran Klinik di bidang Patologi Klinik dan Program

Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

13. Yth kepada PT. Setia Anugerah Medika, yang telah mendukung sarana

dan prasana selama penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana

dengan lancar.

14. Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada seluruh teman-teman sejawat

Pendidikan Magister Bidang Patologi Klinik pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, para analis, dan semua pihak yang tidak dapat

disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan kerjasama

yang baik selama saya menjalani pendidikan dan proses penyelesaian tesis

ini.

15. Kepada orang-orang terdekat saya, terimakasih banyak untuk dukungan

doa dan bantuannya, Tuhanlah yang membalas segala kebaikan.

16. Terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua saya Frederick

Eddie Giri dan Asianna Pakpahan atas cinta, pengorbanan dan

vi

Universitas Sumatera Utara


kesabaran mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan

memberikan dukungan moril maupun materil serta selalu tanpa bosan-

bosannya mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan

sampai saat ini.

Akhir kata sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan dan

kekhilafan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sudi

kiranya tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 25 September 2018


Penulis

dr. Sarah Hanna Nadya Giri

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

LembaranPengesahan .............................................................................. i

Daftar Isi.................................................................................................. iii

Daftar Gambar......................................................................................... vi

Daftar Tabel ............................................................................................ vii

Daftar Singkatan...................................................................................... ix

Abstrak ................................................................................................... xvi

Abstract ................................................................................................... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................ 4

1.3. Hipotesis Penelitian .............................................................. 5

1.4. Tujuan Penelitian.................................................................. 5

1.4.1. Tujuan Umum ............................................................ 5

1.4.2. Tujuan Khusus............................................................ 5

1.5. Manfaat Penelitian .................................................................... 6

1.5.1. Di BidangPenelitian ......................................................... 6

1.5.2. Di Bidang Ilmu Pengetahuan........................................... 6

1.5.3. Untuk Masyarakat............................................................ 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 7

2.1. SEPSIS............................................................................. 7

2.1.1. Definisi .................................................................. 7

viii

Universitas Sumatera Utara


2.1.2. Epidemiologi ......................................................... 8

2.1.3. Etiologi .................................................................. 10

2.1.4. Patofisiologi ........................................................... 12

2.1.5. Gejala Klinis .......................................................... 16

2.1.6. Diagnosis ............................................................... 17

2.1.6.a Uji Laboratorium ..................................... 18

2.1.7. Terapi ............................................................... 20

2.1.8. Komplikasi............................................................. 22

2.2. Hemostasis ....................................................................... 25

2.3. Pemeriksaan Penyaring Faktor Pembekuan .................... 45

2.4. Hemostasis Pada Sepsis ................................................... 51

2.4.1 Perubahan Hemostasis dan Alogaritme Terapi ...... 57

2.5. Skor SOFA ...................................................................... 59

2.5. Kerangka Teori ................................................................ 62

BAB III. METODE PENELITIAN .................................................... 63

3.1. Rancangan Penelitian ...................................................... 63

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ......................................... 63

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian....................................... 63

3.4. Kriteria Penelitian ............................................................. 63

3.4.1. Kriteria Inklusi ..................................................... 63

3.4.2. Kriteria Eksklusi .................................................. 64

3.5. Perkiraan Besar Sampel ................................................... 64

3.6. Ethical Clearance dan Informed Consent......................... 65

ix

Universitas Sumatera Utara


3.7. Bahan, Cara Kerja, dan Alur Penelitian ............................ 65

3.7.1.Bahan ...................................................................... 65

3.7.2.Cara Kerja ............................................................... 65

3.7.2.a Pemeriksaan Hematologi ..................................... 66

3.7.2.b Pemeriksaan BIlirubin Total................................ 68

3.7.2.c Pemeriksaan Kreatinin ......................................... 69

3.7.2.d Pemeriksaan Tekanan Oksigen Arteri ................. 69

3.7.2.e Pemeriksaan PT ................................................... 70

3.7.2.f Pemeriksaan APTT .............................................. 71

3.7.2.g Pemeriksaan TT ................................................... 72

3.7.2.h Pemeriksaan Fibrinogen ...................................... 78

3.7.2.i Pemeriksaan Fibrinogen ....................................... 79

3.8. Analisa Data .................................................................... 81

3.9. Identifikasi Variabel ........................................................ 81

3.10. Defenisi Operasional ........................................................ 82

3.11. Kerangka Operasional ...................................................... 85

BAB IV. HASIL PENELITIAN .......................................................... 86

BAB V. PEMBAHASAN .................................................................... 95

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................. 99

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 100

LAMPIRAN

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.Insidensi dan Mortalitas Sepsis ........................................... 10

Gambar 2.2. Pemeriksaan Laboratorium Pada Sepsis ............................ 20

Gambar 2.3. Faktor Koagulasi ................................................................ 33

Gambar 2.4. Pathogen Induced Modulation Blood Coagulation ........... 52

Gambar 2.5. Perubahan Kdar Hemostasis Pada Sepsis

dan Alogaritme Terapi ............................................................................ 57

Gambar 2.6.Skor SOFA .......................................................................... 61

Gambar 3.1. Grafik Kontrol Platelet ....................................................... 68

Gambar 3.2. Grafik Kontrol D-dimer ..................................................... 81

xi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kontrol PT.............................................................................. 73

Tabel 3.2. Kontrol APTT ........................................................................ 75

Tabel 3.3. Kontrol TT ............................................................................. 76

Tabel 4.1. Karakteristik Umum Pasien Sepsis ........................................ 86

Tabel 4.2. Rerata Nilai Prothrombin Time.............................................. 87

Tabel 4.3. Rerata Nilai Activated Partial Thromboplastin Time ............ 87

Tabel 4.4. Rerata Nilai Rerata Nilai Thrombin Time .............................. 88

Tabel 4.5. Rerata Nilai Fibrinogen .......................................................... 88

Tabel 4.6. Rerata Kadar D-Dimer ........................................................... 89

Tabel 4.7. Rerata Nilai Skor SOFA ....................................................... 89

Tabel 4.8. Hubungan antara PT dengan Skor SOFA ............................. 90

Tabel 4.9. Hubungan antara APTT dengan Skor SOFA ......................... 90

Tabel 4.10. Hubungan antara TT dengan Skor SOFA ............................ 91

Tabel 4.11. Hubungan antara Fibrinogen dengan Skor SOFA ............... 92

Tabel 4.12. Hubungan antara D-Dimer dengan Skor SOFA .................. 93

xii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

NCHS : National Centre Health Science

ICU : Intensive Care Unit

DIC : Dissaminated Intravascular Coagulation

MODS : Multiple Organ Dysfunction syndrome

SIRS : Systemic Inflamation Response Syndrome

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

LPS : Lipopolisakarida

LPB : Lipopolisakarida Binding Protein

TLR : Toll like Receptors

IL : Interleukin

TNF : Tumor Necrosis Factor

APC : Antigen Precenting Cell

MHC : Major Histocompatibility Complek

TCR : T Cell Receptor

Th : T helper

ICAM : Intracellular adhesion molecule

GM-CSF : Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor

NF-kB : Nuclear Factor-kB

NO : Nitrit Oksida

ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome

ALI : Acute Lung Injury

ACS : Acute Corronary Syndrome

xiii

Universitas Sumatera Utara


MCI : Myocard Infark

TX-A2 : Thromboxane A-2

FDP : Fibrinogen Degradation Product

vWF : von Willebrand Factor

PAF : Platelet Activating Factor

BFU-Mega : Megakaryocitic Burst-Forming Unit

CPU-Mega : Colony-Forming Unit Megakaryocyte

PDGF : Platelet-Derived Growth Factor

PF4 : Platelet Factor 4

bTG : Beta ThromboGlobulin

HMWK : High Mollecular Weight Kininogen

ADP : Adenosin Diphosphate

PIVKA : Protein-Induced in Vitamin K Absence

PT : Prothrombine Time

aPTT : Activated Partial Thromboplastin Time

TT : Thrombine Time

TF : Tissue Factor

TFPI : Tissue Factor Pathway Inhibitor

PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1

t-PA : Tissue Plasminogen Activator

HCF : Heparin Cofactor

LACI : Lipoprotein-associated Coagulation Inhibitor

EPCR : Endothelial Cell Protein C Receptor

xiv

Universitas Sumatera Utara


APC : Activated Protein C

u-PA : Urokinase-type Plasminogen Activator

scuPA : Single chain urokinase-type Plasminogen Activator

INR : International Normalized Ratio

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

PK : Prekallikrein

AT-III : Antitrombin III

WHO : World Health Organization

xv

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG TERJADI PADA PASIEN SEPSIS DAN


HUBUNGANNYA DENGAN SKOR SOFA DI RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
Sarah Hanna , Adi Koesoema Aman1 , Achsanuddin Hanafie2
1

1
Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik/ FK USU
1
Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik/ FK USU
2
Anastesiologi dan Terapi Intensif RSUP H. Adam Malik/ FK USU

Sepsis merupakan masalah kesehatan utama dan dilaporkan insidensinya terus


meningkat. Secara umum, sepsis terjadi pada sekitar 2% dari semua pasien rawat
inap di negara maju. Respon imunologik yang menyebabkan sepsis adalah respon
inflamasi sistemik yang menyebabkan teraktivasinya jalur inflamasi dan
koagulasi. Jika sepsis tidak segera ditangani dapat mengakibatkan kegagalan
fungsi organ yang dapat berujung pada kematian. Disfungsi organ dinyatakan
sebagai perubahan akut pada total skor SOFA >2 poin sebagai konsekuensi dari
infeksi.

Penelitian ini merupakan studi penelitian analitik, dengan design study Cohort
Prospective. PT, aPTT, TT, Fibrinogen, D-dimer dan skor SOFA diperiksa 3 kali
(hari pertama, kedua, ketiga) selanjutnya dinilai hubungannya dengan skor SOFA.
Sampel berjumlah 24 orang. Seubjek penelitian adalah pasien sepsis yang
memenuhi criteria inklusi dan eksklusi di RSUP H. Adam Malik Medan.

Terdapat perbedaan bermakna dari PT hari pertama, kedua, ketiga dengan p<0,05;
tidak terdapat perbedaan bermakna pada pemeriksaan aPTT, TT, Fibrinogen, D-
dimer pada hari pertama, kedua, ketiga. Tidak terdapat korelasi yang bermakna
pada pemeriksaan PT, aPTT, TT dan Fibrinogen pada hari pertama, kedua, ketiga
jika masing-masing dihubungkan dengan Skor SOFA hari pertama, kedua dan
ketiga. Terdapat korelasi positif dan bermakna pada pemeriksaan D-dimer hari
pertama, kedua, ketiga jika dibandingkan dengan skor SOFA hari pertama, kedua
dan ketiga (p<0,05)

Perubahan PT terjadi secara signifikan pada hari pertama, kedua, ketiga sepsis. D-
dimer dapat digunakan untuk melihat resiko kegagalan organ pada pasien sepsis.

Kata Kunci: Sepsis, PT, APTT, TT, Fibrinogen, Ddimer, Skor SOFA

xvi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Hemostasis Changing in Sepsis Patients And Their Related to SOFA Score in


RSUP H. Adam Malik Medan
Sarah Hanna1, Adi Koesoema Aman1, Achsanuddin Hanafie2
1
Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik/ FK USU
1
Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik/ FK USU
2
Anastesiologi &Terapi Intensif RSUP H. Adam Malik/ FK USU

Sepsis is a major health problem and the incidence is still increasing. Generally,
sepsis occurs in about 2% of all inpatients in developed countries. The
immunologic response that causes sepsis is a systemic inflammatory response that
causes activation of the inflammatory and coagulation pathways. If sepsis isn’t
treated immediately, it can lead to organ failure then death. Organ dysfunction is
expressed as an acute change from SOFA score >2 points as a consequence of
infection.

This is a cohort prospective’s design study. PT, aPTT, TT, Fibrinogen, D-dimer
were examined in 3 times (first, second, third day); and then assessed to see the
relation with SOFA score that also examined in 3 times. 24 subjects of the study
are patients who matched the inclusion and exclusion criteria in RSUP H. Adam
Malik Medan.

There is significant differences from PT on the first, second andthird day with p
<0.05; there aren’t significant differences in aPTT, TT, Fibrinogen, D-dimer on
the first, second, third day. There aren’t significant correlations of PT, aPTT, TT,
Fibrinogen on the first, second, third day, if each of them are linked to the SOFA
Score on the first, second and third day. There’s a significant correlation between
D-dimer and SOFA score in the first, second and third day of examinations (p
<0.05).

PT changes occurred significantly on the first, second, third day of sepsis. D-


dimers can be used to see the risk of organ failure in septic patients.

Key Word: Sepsis, PT, APTT, TT, Fibrinogen, Ddimer, SOFA Score

xvii

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

masyarakat. Sepsis menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian terbesar di

dunia. Diagnosis awal sepsis seringkali sulit ditegakkan, karena klinis sepsis yang

muncul sangat beragam. Jika sepsis tidak segera ditangani dapat mengakibatkan

kegagalan fungsi organ yang dapat berujung pada kematian.

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam nyawa akibat disregulasi atau

ketidak-seimbangan respon tubuh terhadap adanya infeksi. Sepsis merupakan

masalah kesehatan utama dan dilaporkan insidensinya terus meningkat. Meskipun

insidensi pastinya tidak diketahui beberapa studi membuktikan bahwa

sepsis merupakan penyebab utama kematian pasien kritis diseluruh dunia. (Singer

M, 2016).

The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock

tahun 2016 telah mengeluarkan definisi terbaru untuk sepsis yaitu suatu disfungsi

organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host

terhadap infeksi. Dalam definisi terbaru ini, istilah ―sepsis berat‖ telah

dihilangkan, hal ini bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi

penanganan yang tepat sesegera mungkin. Syok sepsis didefinisikan sebagai

kondisi lanjut dari sepsis dimana abnormalitas metabolisme seluler dan

sirkulatorik yang menyertai pasien cukup berat sehingga dapat meningkatkan

mortalitas. (Singer M, 2016 ).

Universitas Sumatera Utara


Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia

karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi.

Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor Sequential

Organ Failure Assessment (SOFA) >2 poin sebagai konsekuensi dari infeksi.

Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak diketahui memiliki

disfungsi organ. Sementara skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko kematian

kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya

infeksi.

Penelitian yang dilakukan di Inggris pada tahun 2001 sampai dengan tahun

2010 oleh Mc. Pherson et al. (2013) menyatakan bahwa 1 dari 20 kematian yang

terjadi di Inggris diakibatkan oleh sepsis (NIH, 2017). Sepsis terjadi sekitar

750.000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat, meningkat dari 2,1% menjadi

4,3% pada pasien rawat inap, dan 11% dari seluruh perawatan di ICU (Intensive

Care Unit). Dari tahun 1979 sampai tahun 2000, kasus sepsis meningkat setiap

tahunnya sekitar 8,7%, dari 164.000 kasus (82,7 kasus per 100.000 penduduk)

menjadi hampir 660.000 kasus (240,4 kasus per 100.000 penduduk).

Sepsis menyebabkan angka kematian yang tinggi, dengan mortalitas 22-

76%. Sepsis merupakan penyebab kematian ketiga dari 10 penyebab kematian

terbesar secara keseluruhan di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung dan

neoplasma ganas. Kejadian sepsis meningkat sesuai dengan bertambahnya usia,

kondisi ini menunjukkan bahwa jumlah kasus akan meningkat di masa

mendatang. (Cox, 2011)

Universitas Sumatera Utara


Secara umum, sepsis terjadi pada sekitar 2% dari semua pasien rawat inap

di negara maju. Sepsis dapat terjadi di antara 6-30% dari semua unit perawatan

intensif pasien, dengan variasi yang cukup besar karena heterogenitas antara ICU.

Di sebagian besar negara maju angka kejadian sepsis telah diidentifikasi antara

50-100 kasus per 100.000 orang dalam populasi. Sepertiga sampai setengah dari

semua pasien sepsis meninggal dunia. Di negara berkembang, sepsis

menyumbang 60-80% dari semua kematian. Ini membunuh lebih dari 6 juta bayi

dan anak kecil dan 100.000 ibu baru setiap tahunnya. Setiap 3-4 detik, seseorang

di dunia meninggal karena sepsis. 5-7 Penelitian yang dilakukan pada pasien

sepsis berat di 150 unit pelayanan intensif (ICU) di 16 negara Asia didapatkan

hasil angka mortalitas di rumah sakit mencapai 44,5%. Dalam penelitian di

sebuah rumah sakit pendidikan di Yogyakarta, Indonesia, ada 631 kasus sepsis

pada tahun 2007, dengan angka kematian sebesar 48,96%. (Danai PA 2010, Mc.

Pherson 2003, Khafazi, 2008)

Respon imunologik yang menyebabkan sepsis adalah respon inflamasi

sistemik yang menyebabkan teraktivasinya jalur inflamasi dan koagulasi.

Teraktivasinya jalur inflamasi pada sepsis diawali respon inflamasi yang

menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Aspek koagulasi dari sepsis adalah

terjadinya gangguan keseimbangan antara aktivasi koagulasi dan antikoagulasi,

yaitu meningkatnya faktor prokoagulasi dan menurunnya faktor antikoagulasi.

Secara umum respon pejamu dapat dikategorikan menjadi respon imun

nonspesifik dan respon imun spesifik (Russel J.A,2006). Aktivasi koagulasi

terjadi pada 50-70% pasien sepsis dan menyebabkan terjadinya komplikasi DIC

Universitas Sumatera Utara


(Levi M,1999). Dissaminated Intravascular Coagulation adalah kelainan sistemik

trombohemoragik dan merupakan kondisi klinis sekunder terhadap penyakit

dasarnya. DIC berhubungan erat dengan terjadinya kegagalan organ multiple, oleh

sebab itu sangat berhubungan dengan prognosis yang buruk pada pasien sepsis.

Martin GS dkk melaporkan angka kematian pasien sepsis dengan kegagalan organ

multipel/ multiple organ dysfunction syndrome (MODS) lebih tinggi yaitu 70%

dibandingkan pada sepsis tanpa MODS yaitu 15%. (Chelb, 2017)

Suliarni, mengemukakan bahwa adanya pemanjangan waktu protrombin

pada pasien – pasien sepsis, dan terdapat aktifitas faktor VII yang lebih rendah

pada sepsis dibanding kelompok non-sepsis. (Suliarni, 2003)

Berdasarkan latar belakang ini, peneliti tertarik untuk mengetahui

perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien-pasien sepsis yang di rawat di

RSUP H. Adam Malik Medan dan melihat bagaimanakah hubungan dari

perubahan hemostasis tersebut terhadap skor SOFA. Dalam melaksanakan

penelitian ini, penulis akan mengambil tempat penelitian di ICU RSUP H. Adam

Malik Medan, menimbang bahwa rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit

pusat rujukan daerah Sumatera Utara dan sekitarnya, dan merupakan rumah sakit

pendidikan yang juga merupakan wilayah kerja bagi penulis sebagai residen,

sehingga diharapkan penulis dapat memperlihatkan kejadian sebenarnya dalam

masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien – pasien

sepsis dan bagaimanakah hubungan perubahan tersebut terhadap skor SOFA?

Universitas Sumatera Utara


1.3. Hipotesis Penelitian

Terdapat perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien – pasien sepsis

dan terdapat hubungan dari perubahan hemostasis tersebut terhadap skor SOFA.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien – pasien

sepsis dan menilai hubungannya dengan skor SOFA.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui perubahan Prothrombin time pada pasien sepsis.

2. Mengetahui perubahan Activated partial thromboplastin time pada

pasien sepsis.

3. Mengetahui perubahan Trombin time pada pasien sepsis

4. Mengetahui perubahan Fibrinogen pada pasien sepsis.

5. Mengetahui perubahan D-Dimer pada pasien sepsis.

6. Mengetahui hubungan perubahan prothrombin time dengan skor

SOFA pada pasien sepsis.

7. Mengetahui hubungan perubahan activated partial thromboplastin

time dengan skor SOFA pada pasien sepsis.

8. Mengetahui hubungan perubahan thrombin time dengan skor SOFA

pada pasien sepsis.

9. Mengetahui hubungan perubahan fibrinogen dengan skor SOFA pada

pasien sepsis.

Universitas Sumatera Utara


10. Mengetahui hubungan perubahan D-dimer dengan skor SOFA pada

pasien sepsis.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Peneliti

Agar mampu untuk melaksanakan penelitian yang baik dan benar dengan

metode penelitian yang tepat dan menambah wawasan dalam bidang Ilmu Patologi

Klinik, khususnya tentang perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien – pasien

sepsis dan melihat hubungannya dengan skor SOFA.

1.5.2. Di bidang ilmu pengetahuan

Memberikan informasi bagi dunia pendidikan dan kesehatan tentang

perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien – pasien sepsis dan hubungannya

dengan skor SOFA, sehingga dapat membantu menambah kepustakaan tentang

hal tersebut.

1.5.3. Untuk masyarakat

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat, mengenai perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien – pasien

yang mengalami sepsis dan bagaimana hubungan dari perubahan tersebut

terhadap skor SOFA.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SEPSIS

2.1.1 Defenisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang

disebabkan oleh disregulasi respon host yang terhadap infeksi. Kriteria klinis

untuk sepsis jika dicurigai adanya infeksi dan peningkatan akut dua atau lebih

poin dari skor SOFA untuk penilaian adanya kegagalan organ. (Singer M, 2016;

SSC 2016 )

Kriteria Systemic Inflamatory Respon Syndrome adalah bila didapatkan 2

gejala atau lebih dari keadaan berikut ( Danai, 2018; Guntur, 2001) :

i. Suhu badan >38°C atau <36°C.

ii. Frekuensi pernafasan >20 nafas/menit.

iii. Frekuensi denyut jantung >90 kali/menit.

iv. Hitung Leukosit >12,000/μL, <4,000/μL, atau >10% sel darah

putih muda (bands).

Sedangkan definisi sepsis berat (severe sepsis) adalah sepsis dengan satu

atau lebih tanda disfungsi organ, yaitu (Rhodes et al, 2017) :

 Kardiovaskuler: tekanan darah sistolik arteri ≤90 mmHg atau

tekanan nadi rerata (mean arterial pressure) ≤70 mmHg yang tidak

respon terhadap pemberian cairan intravena.

 Ginjal: produksi urine <0.5 mL/kg per jam selama 1 jam meskipun

telah dilakukan resusitasi cairan dengan adekuat.

Universitas Sumatera Utara


 Pernafasan: PaO2/FIO2 ≤250 atau, bila paru-paru merupakan satu

satunya yang mengalami disfungsi organ PaO2/FIO2 ≤200.

 Hematologi: Hitung trombosit <80,000/L atau penurunan hitung

trombosit 50% dari nilai tertinggi yang tercatat dalam 3 hari

terakhir.

 Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan, dengan pH ≤ 7.30

atau kekurangan basa (base deficit) ≥ 5.0 mEq/L dan konsentrasi

laktat plasma >1.5 kali nilai batas atas normal.

 Resusitasi cairan yang adekuat: Pulmonary artery wedge pressure

≥12 mmHg atau tekanan vena sentral ≤ 8 mmHg.

Gambar 2.1 Kriteria Sepsis

Universitas Sumatera Utara


Syok septik ditentukan oleh kriteria klinis sepsis dan dibutuhkan terapi

vasopresor untuk mengangkat tekanan arterial rata-rata ≥ 65 mmHg dan laktat > 2

mmol/L (18 mg/dL) meskipun resusitasi cairan sudah adekuat (Napolitano, 2018).

Syok Sepsis Refrakter adalah syok sepsis yang telah berlangsung > 1 jam dan

tidak respon terhadap pemberian cairan atau vasopresor. Sindrom disfungsi organ

multipel (Multiple organ dysfunction syndrome/ MODS) adalah disfungsi lebih

dari 1 organ dan memerlukan intervensi untuk menjaga hemostasis (Rhodes et al,

2017).

2.1.2 Epidemiologi Sepsis

Dalam salah satu studi pertama epidemiologi besar terhadap sepsis, yang

diterbitkan pada tahun 2001, Angus dkk, memperkirakan kejadian sepsis

sebanyak 751.000 kasus (3 per 1.000 penduduk dan 2,26 per 100 pasien rumah

sakit). Dalam studi tersebut, lebih dari setengah pasien yang menerima perawatan

di ICU dan insiden sepsis pada orang dewasa meningkat secara substansial

terhadap usia (mulai dari 5,3/1.000 untuk usia 60 sampai 64 tahun menjadi

26,2/1.000 untuk usia ≥ 85 tahun). Secara keseluruhan, mortalitas yang terjadi

adalah 26,6% dan peningkatan substansial dalam kematian akibat sepsis

dikaitkan dengan usia. Studi berikutnya menunjukkan perkiraan yang konsisten

yaitu 0,51-2,4 kasus per 1.000 penduduk. Dalam penelitian lain, para peneliti

menguji hubungan antara umur dan sepsis dan menunjukkan bahwa pada usia 65

tahun, risiko relatif untuk sepsis bagi mereka lebih tua dari 65 tahun adalah 13,1

kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang lebih muda dari 65 tahun. (Danai, et

all, 2001)

Universitas Sumatera Utara


Secara keseluruhan, individu ≥ 65 tahun menyumbang 64,9% dari total

kasus sepsis. Menariknya, ada 215.000 kematian selama periode penelitian, yang

sebenarnya mewakili 9,3% dari semua kematian di Amerika Serikat. Sebuah

penelitian selanjutnya menggunakan data nasional di Amerika Serikat

menunjukkan bahwa kejadian sepsis meningkat dari tahun 1979 (0,83/1,000)

dengan tahun 2000 (2,4/1.000) tetapi ada sedikit penurunan angka kematian 27,8-

17,9 %. Insiden sepsis meningkat karena populasi umur tua, bertambahnya jumlah

pasien immunocompromised, dan meningkatnya tindakan invasive procedure, dan

antibiotik yang resisten terhadap kuman. Di Amerika Serikat, hampir 17 miliar

dolar dihabiskan untuk mengobati pasien sepsis. Meskipun terdapat kemajuan

dalam hal perawatan, lebih dari 210.000 pasien meninggal dengan sepsis berat

tiap tahunnya. Dan terdapat perbandingan insiden dan mortalitas sepsis berat

dengan penyakit lain. (Chelb, 2017, Gando, 2006)

Gambar 2.2 Insidensi dan Mortalitas Sepsis

Universitas Sumatera Utara


2.1.3 Etiologi Sepsis

Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat

disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).

Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah

Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies

Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. (Jonathan,

2009)

Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek

toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons

inflamasi normal dari host terhadap infeksi. Kultur darah positif pada 20-40%

kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur

darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies

bakteri gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau

mikroorganisme campuran lainnya. (Jonathan, 2009)

Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya

populasi dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat bertahan

hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-

pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika),

prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis. Sepsis

dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang

paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan

panggul.

Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:

Universitas Sumatera Utara


1. Infeksi paru-paru (pneumonia)

2. Flu (influenza)

3. Appendiksitis

4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus

urinarius)

6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau

kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit

7. Infeksi pasca operasi

8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.

Sekitar satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat

terdeteksi.

2.1.4 Patofisiologi Sepsis

Sepsis dan syok sepsis adalah proses kompleks yang meliputi keterlibatan

pro-inflamasi, anti-inflamasi, humoral, seluler dan peredaran darah yang

diakibatkan karena kegagalan respon imun tubuh terhadap infeksi. Patogenesis

sepsis melibatkan interaksi yang kompleks antara sistem kekebalan tubuh host dan

mikroorganisme. Bakteri dan produknya memicu kaskade respon seluler dalam

tubuh host yang melibatkan beberapa jenis sel (leukosit, sel mast, sel-sel endotel

dan trombosit), dan beberapa cellular pathways (pro-inflammatory, anti-

inflammatory, coagulation cascades, complement activation, adhesion and

apoptosis). (Mossie A, 2013 ).

Universitas Sumatera Utara


Pada bakteri gram negatif, lipopolisakarida (LPS, juga disebut sebagai

endotoksin) memainkan peranan penting. LPS tertanam pada membran luar, dan

bagian molekul yang disebut sebagai lipid A terkait pada dinding sel bakterial.

Pada bakteri gram positif tidak terdapat endotoksin, namun fitur penting pada

bakteri golongan ini adalah kemampuannya untuk memproduksi eksotoksin poten.

Eksotoksin gram positif menarik perhatian besar, oleh karena mereka

memperlihatkan sifat-sifat sebagai superantigen, yang dapat berikatan secara aktif

terhadap kompleks histokompatibilitas mayor kelas II. Sifat-sifat ini membuat

mereka dapat menyebabkan aktivasi sel T secara masif dan melepaskan sitokin-

sitokin pro-inflamasi. ( Laszlo, 2015, Rodiger A, 2008 ).

Utamanya, sepsis adalah hasil dari interaksi antara mikroorganisme

dan/atau produk mikroorganisme itu sendiri dan respon host akibat dikeluarkan

sitokin dan mediator lainnya. Komponen terpenting dari respon host adalah

berkembangnya mekanisme alami awal untuk memproteksi organisme dari

kerusakan. Akan tetapi pada sepsis, respon imun itu sendiri yang menimbulkan

respon kaskade sekunder dimana mencetuskan disfungsi organ bahkan kematian,

selain eradikasi dari invasi mikroorganisme. Konsep awal dari sepsis adalah

respon proinflamasi tak terkontrol juga gabungan dari disregulasi dari anti-

inflamasi, koagulasi dan jalur penyembuhan luka (Annane dkk. 2005)

Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sebuah reseptor lipopolisakarida

selama ini menjadi penghalang untuk memahami bagaimana bakteri gram negatif

dapat menginisiasi respons sepsis; aktivasi sel pejamu tergantung pada adanya

protein pengikat LPS (LPB, LPS binding protein) dan reseptor opsonik CD14.

Universitas Sumatera Utara


Meskipun CD14 awalnya diidentifikasi sebagai ko-reseptor esensial yang

memerantarai aktivasi monosit oleh LPS, perkembangan terbaru menunjukkan

bahwa sel ini juga berperana dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding

sel gram positif, seperti peptidoglikan, memperantarai apoptosis makrofag dan

penting dalam transfer lipopolisakarida antara protein-protein serum yang

mempunyai kemampuan mengikat lipopolisakarida seperti LBP dan lipoprotein

serum. ( Green, 2004).

Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi aktivasi

respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respon pertahanan, baik

komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear melepaskan sitokin-

sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα, namun juga beberapa

sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga beberapa molekul-

molekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1 merupakan sitokin inflamasi prototipik

yang memperantarai banyak fitur imunopatologis dari renjatan karena LPS.

Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS,

mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator lipid dan

spesies oksigen reaktif, serta juga meningkatkan produksi molekul-molekul adhesi

sel, yang kemudian menginisiasi migrasi sel inflamatorik ke dalam jaringan.

(Jonathan, 2009).

Eksotoksin, endotoksin, virus dan parasit yang dapat berperan sebagai

superantigen setelah di fagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai

Antigen Processing Cell dan kemudian di tampilkan sebagai Antigen Precenting

Cell ( APC ). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari

Universitas Sumatera Utara


Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida

MHC kelas II, akan berikatan dengan CD 4 (Limfosit Th1 dan Th2). Dengan

perantara TCR (T Cell Reseptor). (Green, 2014)

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan

mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imuno modulator yaitu

IFN ɤ, IL 2 dan M-CSF (Macropahge Colony Stimulating Factor). Limfosit Th2

akan mengepresikan IL 4, IL5. IL6. IL 10, IFN ɤ dan TNF α merupakan sitokin

pro inflamatori, sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan IL 1β dan TNF

α serum penderita. IL 1β sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek

pada sel endothelial termasuk di dalamnya pembentukan prostaglandin E2 (PGE2)

dan merangsang ekspresi intracellular adhesion molecule–1 (ICAM–1).

Menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte macrophage

colony stimulating factor (GM–CSF) akan mudah mengalami adhesi. (Pinheiro,

2009).

Neutrofil yang beradhesi dengan endothel akan mengeluarkan lisosim

yang akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka, akibat

proses ini terjadi kerusakan pembuluh darah . Kerusakan pembuluh darah ini akan

menyebabkan terjadinya gangguan vaskular (Vascular Leak) sehingga

menyebabkan kerusakan organ yang multipel. (Guntur H, 2008)

Salah satu konsep paling menarik mengenai pengenalan pejamu dan

amplifikasi sinyal setelah rangsangan dengan mikroba adalah toleransi. Paparan

makrofag terhadap lipopolisakarida atau stimulus proinflamatorik lainnya, seperti

sitokin TNF-α, dapat menginduksi keadaan toleransi yang akan menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


penurunan aktivasi setelah paparan dengan lipopolisakarida atau mediator

inflamasi berikutnya. Diantara mekanisme-mekanisme yang ada, penurunan

ekspresi TLR telah diduga sebagai penyebabnya. Temuan-temuan ini

menunjukkan bahwa regulasi menurun yang ditemukan pada pasien dengan sepsis

berat dan syok sepsis nampaknya terkait dengan jalur intraselular dan bukan oleh

karena ekspresi TLR. (Luchette, 1998)

Bakteri merupakan patogen yang sering dikaitkan dengan perkembangan

sepsis. Patofisiologi sepsis dapat dimulai oleh komponen membran luar organisme

gram negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin) atau organisme

gram positif. Umumnya, respons imun terhadap infeksi mengoptimalkan

kemampuan sel-sel imun (neutrofil, limfosit, dan makrofag) untuk meninggalkan

sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi melalui

sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like receptors. Dalam

monosit, nuclear factor-kB (NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi

sitokin pro-inflamasi, tumor necrosis factor α (TNF-α), dan IL-1. TNF-α dan IL-1

memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin,

leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak

lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu,

sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.

Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui

pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida

nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan

Universitas Sumatera Utara


cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi.yang

mengarah ke syok septik. (Hubert, 2015)

Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan

mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular. Peningkatan NO tampaknya

memberikan manfaat dalam arti meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi.

Meskipun tentu saja vasodilatasi di tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab

hipotensi yang membahayakan dan refrakter yang dapat mengakibatkan gangguan

fungsi organ dan kematian (Green, 2004).

2.1.5 Gejala Klinis

Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-

tanda penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan

gejala berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala

pada setiap pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan

sepsis adalah normo-atau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada

neonatus, pada pasien lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme

(Jonathan, 2009).

Tanda-tanda dari sepsis sangat bervariasi. Berdasarkan studi, demam

(70%), syok (40%), hipotermia (4%), Demam terjadi pada <60% dari bayi

dibawah 3 bulan dan pada orang dewasa diatas 65 tahun. Infeksi menjadi keluhan

utama pada pasien. Perubahan status mental yang tidak dapat dijelaskan juga

merupakan tanda dan gejala pada sepsis. Adanya tanda dan gejala disseminated

intravascular coagulation (DIC) meningkatkankan angka mortalitas (Hershey

2015, Gando 2006)

Universitas Sumatera Utara


Pada syok sepsis muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi

setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75

mmHg), peningkatan laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml/jam meskipun sudah

diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan

pernapasan akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70

mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg . (Cawcutt, 2014)

2.1.6 Diagnosis Sepsis

Diagnosis syok septik meliputi diagnosis klinis syok dengan konfirmasi

mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau hapusan gram dari

buffy coat serum atau lesi petekia menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah,

urin, dan cairan serebrospinal sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang

terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan

organisme. Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan

tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil

ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Anak yang menderita harus

dirawat di ruang rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan secara

intensif serta kontinu diukur tekanan vena sentral, tekanan darah, dan cardiac

output. (Jonathan, 2009)

Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk

mempertimbangkan sepsis dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau

hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda

vasodilatasi perifer, shock dan perubahan status mental yang tidak dapat

dijelaskan. Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah

Universitas Sumatera Utara


jantung meningkat, dengan resistensi vaskuler sistemik yang rendah.

Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor pembekuan, dan

reaktan fase akut mungkin mengindikasikan sepsis. (Jury, 2011)

2.1.6.a Uji Laboratorium

Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count, dengan hitung

diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, BUN, Kreatinin,

elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri. Biakan darah,

sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus di lakukan. Kultur darah harus

di lakukan untuk setiap pasien yang di curigai sepsis dan syok sepsis. Lakukan

pewarnaan gram di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular,

ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal di buat kultur darah sebanyak 2 set,

termasuk untuk kuman aerob dan aerob biakan darah harus di peroleh dalam

periode 24 jam (Blow 1999, Andre 2004).

Tergantung pada status klinis pasien dan resiko – resiko terkait,

penegakkan diagnosis juga dapat di bantu menggunakan foto ronsen abdomen, Ct

scan, MRI, ekokardiografi (Guntur, 2008). Pada sepsis awal di jumpai

leukositosis dengan shift to the left, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan

proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil mengandung granula toksik.

Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Hipoksemia dapat di koreksi

dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipid serum

meningkat. Neutropenia merupakan tanda kurang baik yang menandakan

perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil

dan bakteri. Pada stadium awal meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan

Universitas Sumatera Utara


serebrospinal sebelum terjadi suatu respons inflamasi.(Luchette, 1998, Jury,

2011).

Pada sepsis lanjut terjadi trombositopenia memburuk di sertai

perpanjangan waktu thrombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer

yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan.

Aminotransferase meningkat. Bila otot pernafasan lelah, terjadi akumulasi laktat

serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hipoksemia tidak

dapat di koreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat

menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. (Suliami, 2002)

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3 Pemeriksaan Laboratorium Pada Sepsis (Jonathan, 2009)

2.1.7 Terapi Sepsis

Berikut tata cara pengelolaan pasien secara terstruktur Surviving Sepsis

Campaign:

Universitas Sumatera Utara


International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock

2016:

 Terapi Cairan

Karena sepsis dan syok septik merupakan kondisi emergency yang di sertai

demam, Vasodilatasi, Capillary Diffuse Leakage, preload menjadi inadekuat,

sehingga terapi cairan merupakan tindakan utama. Pemberian cairan paling sedikit

30 mL/kg cairan kristaloid IV diberikan dalam 3 jam pertama. Setelah resusitasi

cairan awal dilanjutkan maintenance cairan. Nilai kembali status hemodinamik.

Reassessment harus menyeluruh mencakup pemeriksaan klinis dan variabel

evaluasi fisiologis yang tersedia (denyut jantung, tekanan darah, arterial saturasi

oksigen, laju pernapasan, suhu, output urin).

 Terapi Vasopresor

Bila cairan tidak dapat mengatasi Cardiac Output (Arterial Pressure dan Organ

Perfusi Adekuat). Vasopresor potensial nor epinephrine, dopamine, epinephrine,

phenylephrine.

 Terapi Inotropik

Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik mengalami

hiperdinamik, tetapi kontraklitas miokardium yang dinilai dari ejection fraction

mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami penurunan cardiac output,

sehingga diperlukan inotropic: dobutamine, dopamine, dan epinephrine.

 Terapi Antibiotik

Pemberian antibiotik IV sesegera mungkin setelah 1 jam penegakan sepsis dan

syok sepsis. Pemberian antibiotik di mulai dengan spektrum luas, baik secara

Universitas Sumatera Utara


tunggal maupun kombinasi untuk menutup semua kemungkinan bakteri, termasuk

jamur. Setelah hasil kultur dan uji sensitivitas di peroleh, maka pemberian

antibiotik dilakukan secara empirik sesuai hasil kultur dan sensitivity test.

Antibiotik biasanya di berikan 7 – 10 hari.

 Terapi Kortikosteroid

Kortikosteroid di berikan secara IV jika hemodinamik pasien telah berhasil di

stabilkan dengan pemberian cairan dan vasopresor.

 Terapi Transfusi Darah

Transfusi PRC di berikan jika hemoglobin < 7 g/dl di tambah dengan kondisi

yang memperberat kondisi pasien seperti miokard iskemia, perdarahan dan

hipoksia berat. Pemberian transfusi trombosit, jika trombosit < 10.000/mm3 tidak

dijumpai perdarahan, jika trombosit < 20.000 mm 3 dengan resiko perdarahan dan

jika trombosit > 50.000 mm3 dengan perdarahan yang aktif, tindakan invasif dan

tindakan operasi.

 Kontrol Gula Darah

Kadar gula darah pasien sepsis dan syok sepsis harus di kontrol. Dengan target

180 mg/dl. Jika kadar gula darah > 180 mg/dl maka harus di turunkan dengan

pemberian insulin.

 Terapi Bikarbonat

(Jonathan, 2009)

2.1.8 Komplikasi Sepsis

Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi

komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:

Universitas Sumatera Utara


1) Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi

respirasi akut (acute respiratory distress syndrome). Inflamasi dari sepsis

menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan

inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah

timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir

gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul

pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan

biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru

bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang sepsis yang pada

mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin

memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi

cairan.

2) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Pada DIC yang

disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai

bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang

normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan,

diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem

diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu

diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan dikonsumsi dalam bekuan

seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko mengalami komplikasi

akibat trombosis dan perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis

berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.

Universitas Sumatera Utara


3) Gagal jantung Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok

septik, dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah

kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri

koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang

dapat memicu sindrom koroner akut (ACS) atau infark miokard (MCI),

terutama pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropik dan

vasopressor (yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan

dengan berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak

dianjurkan.

4) Gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi hati biasanya bermanifestasi

sebagai ikterus kolestatik, dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase,

dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali

pasien mempunyai status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu

yang lama.

5) Gagal ginjal. Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama

terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai

oliguria, azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal

berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai,

maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis)

diindikasikan.

6) Sindroma disfungsi multiorgan. Disfungsi dua sistem organ atau lebih

sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan hemostasis.

Universitas Sumatera Utara


a. Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi

atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi

jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.

b. Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons

peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS

pada keadaan urosepsis. (Cawcutt 2014, Jonathan 2009)

2.2 Hemostasis

Hemostasis adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh yang amat penting

dalam menghentikan perdarahan pada pembuluh darah yang luka. Mekanisme

hemostasis mempunyai dua fungsi primer yaitu untuk menjamin bahwa sirkulasi

darah tetap cair ketika di dalam pembuluh darah, dan untuk menghentikan

perdarahan pada pembuluh darah yang luka. Hemostasis normal tergantung pada

keseimbangan yang baik dan interaksi yang kompleks, paling sedikit antara 5

komponen-komponen berikut :

1. Pembuluh darah

2. Trombosit

3. Faktor-faktor koagulasi

4. Inhibitor

5. Sistem fibrinolisis

2.2.1 Pembuluh Darah

Dinding pembuluh darah mempunyai 3 lapisan, yaitu : Tunika intima yang

terdiri dari jaring ikat endotelium dan subendotelium, tunika media dan tunika

adventisia. Konstriksi setelah trauma merupakan reaksi instrinsik dari pembuluh

Universitas Sumatera Utara


darah, terutama pada arteriol kecil dan kapiler. Vasokonstriksi setelah trauma

dapat mengurangi aliran darah ke daerah luka. Vasokonstriksi lokal yang di

induksi oleh serotonin (5-hydroxytriptamine) telah diteliti secara luas. Sejumlah

besar dari serotonin dilepas dari trombosit pada sumbat hemostasis primer.

Tromboksan A2 yang disintesis dan dilepaskan oleh trombosit yang teraktifasi

juga menginduksi kontraksi otot polos pada konsentrasi yang amat kecil, serta

efek yang dapat membentuk suatu mekanisme hemostasis yang penting. Berbagai

vasokontriktor lain dapat terbentuk pada sumbat hemostatik, seperti

fibronepeptide B, epinephrine dan norepinephrine. Fibrinogen Degradation

Product (FDP) menghambat kontraksi otot polos, sedangkan Prostaglandin E-2,

histamin, dan prostasiklin bekerja sebagai vasodilator. Endotelium merupakan

suatu regulator penting dalam proses hemostasis dan antitrombotik. Endotelium

merupakan sumber utama dari von Willebrand factor (vWF) yang lepas dari sel-

sel endotelium setelah terpapar fibrin, trauma, atau pemberian vasopressin. Sel-sel

endotel juga mengandung suatu inhibitor dari aktifasi plasminogen. Platelet

Activating Factor (PAF), fibronectin, dan tissue thromboplastin disintesis sel-sel

endotelium yang terstimulasi. (Delabranche, 2017)

2.2.2 Trombosit

Trombosit merupakan sel kecil yang berinti, berbentuk diskoid dengan

diameter rata-rata 1,5-3 mm. Trombosit dihasilkan dan dilepas dari megakariosit

yang ada di sumsum tulang dengan waktu maturasi 4-5 hari, dan masa hidup di

dalam sirkulasi kira-kira 9-10 hari. Jumlah trombosit dalam darah vena orang

dewasa normal rata-rata 250.000/mL (140-440.000/ mL) (Cox, 2011).

Universitas Sumatera Utara


Asal trombosit dari megakariosit telah diketahui sejak tahun 1910.

Megakariosit berasal dari pluripotential stem cell. Progenitor yang paling awal

adalah Megakaryocitic Burst-Forming Unit (BFU-Mega), dan progenitor

selanjutnya adalah Colony-Forming Unit Megakaryocyte (CPU-Mega) dengan

“ploidy” 2N. (Cox, 2011)

Prekursor pertama yang dapat dikenal secara morfologi adalah

megakarioblas. Sel ini berdiameter 15-50mm, berinti besar, oval atau berbentuk

ginjal dengan beberapa anak inti. Selanjutnya sel ini akan mengalami pematangan

menjadi promegakariosit (basophilic megakaryocyte). Sel ini berdiameter 20-

80mm, bentuk inti oval atau tidak teratur dan kandungan granula pada sitoplasma

bertambah banyak. Dari prekursor ini dibentuk megakariosit granular matang,

yang merupakan sel raksasa dengan diameter 30–160 mm, bentuk ini tidak teratur,

kromatin biru gelap, kaya akan sitoplasma yang berwarna biru terang

mengandung granula asidifilik. Dalam proses pematangan, megakarioblas

mengalami endoduplikasi (endomitosis), yaitu proses dimana terjadi penggandaan

inti tetapi tidak membelah, dan ini menghasilkan inti yang polipoid. Tiap-tiap

divisi menghasilkan sejumlah inti dua kali lipat, yang menjadi suatu seri sel-sel

yang mengandung 4,816,32 dan jarang 64 set kromoson, jumlah ini juga

dinyatakan sebagai inti (N), ―ploidy‖, atau class. Pematangan sitoplasma ditandai

dengan peningkatan progressif dalam banyaknya, granularity, dan hilangnya sifat

basofilik. Pematangan inti dan sitoplasma menghasilkan peningkatan volume sel.

Pada manusia, lamanya proses pematangan megakariosit kira-kira 5 hari. Jumlah

trombosit yang dapat dihasilkan megakariosit tidak diketahui, akan tetapi

Universitas Sumatera Utara


perkiraan berdasarkan pada bukti ultrastruktural dan perhitungan volume

sitoplasma dan massa megakariosit menunjukan bahwa setiap megakariosit

mungkin dapat menghasilkan 1000-5000 trombosit. Itu kira-kira perhari

dihasilkan 35.000 trombosit permikroliter darah. Pada waktu dibutuhkan,

produksi trombosit dapat meningkat delapan kali lipat. Trombosit yang baru

dibentuk akan disimpan dalam limpa selama 24-48 jam sebelum masuk ke

sirkulasi umum. Kira-kira dua pertiga dari massa trombosit total berada dalam

sirkulasi, dan sepertiga dalam limpa atau ekstravaskuler lain. (Cox, 2011)

2.2.2.aStruktur Trombosit

Membran trombosit, tebal kira-kira 7,5 nm terdiri dari trilaminar

lipoprotein dengan filamen-filamen kontraktil submembran, tiga tipe granul dan

suatu jaringan internal kanalikuli yang irreguler. Jenis-jenis granul tersebut

adalah: Dense granule, yang melepaskan adenosine diphosphate (ADP),

adenosine triphosphate (ATP), serotonin dan ion-ion kalsium; Alpha granule,

yang melepaskan unsur-unsur termasuk platelet-derived growth factor (PDGF),

platelet factor 4 (PF4), beta thromboglobulin (bTG), von Willebrand Factor

(vWF), faktor V, fibrinogen dan fibronektin; Lisosomal granul.

Membran trombosit terdiri dari fosfolipid, kolesterol, glikolipid dan paling

sedikit 9 glikoprotein (GP), GP I-IX. Glikoprotein adalah komponen yang penting

dari membran trombosit, yang memenuhi sejumlah fungsi spesifik dalam fisiologi

trombosit. Glikoprotein Ia (GP Ia) terlibat dalam interaksi trombosit dengan

kolagen selama adhesi trombosit ke subendotelium. GP Ib mengandung binding

site untuk vWF, quinidine-induced platelet autoantibodies dan ristosetin. Juga

Universitas Sumatera Utara


mengandung binding site untuk trombin. Defisiensi GP Ib dijumpai pada pasien

dengan Bernard Soulier sindrom. In vitro, vWF tidak berikatan ke trombosit

Bernard Soulier apabila ditambahkan ristosetin pada plasma kaya trombosit.

Kompleks GP Ib-IX adalah reseptor untuk vWF. Dilaboratorium klinik, ristosetin

akan menginduksi aglutinasi trombosit normal pada plasma dengan konsentrasi

vWF yang normal, dan tidak terjadi interaksi antara vWF dan GP Ib pada

trombosit jika tidak ada ristosetin. GP IIb dan IIIa membentuk kompleks atau

heterodimer, yang didapati pada trombosit yang aktif. Kompleks ini merupakan

reseptor untuk fibrinogen, yang penting untuk agregasi trombosit. Kompleks

glikoprotein ini juga mengikat vWF. Defisiensi GPIIa dan GP IIIa dalam

trombosit dijumpai pada pasien dengan Glanzman’s thrombasthemia.

2.2.2.b.Faktor-faktor Koagulasi Plasma Yang Berhubugan dengan

Trombosit.

Trombosit mengandung jumlah yang signifikan dari berbagai faktor

koagulasi yaitu fibrinogen, faktor V, von Willebrand faktor, faktor XI, faktor XIII

dan High Molekular Weight Kininogen (HMWK). Beberapa dari faktor-faktor ini

(fibrinogen, faktor V, vWF dan HMWK) disintesis dalam megakariosit, terdapat

dalam αgranul dan disekresi apabila trombosit teraktifasi. Fibrinogen trombosit

secara biokimia berbeda dengan fibrinogen plasma. Fibrinogen yang terikat

dipermukaan (surface-bound fibrinogen) penting untuk agregasi trombosit yang

diinduksi oleh ADP dan mungkin terlibat dalam fungsi trombosit yang lain. Von

Willebrand Factor, merupakan suatu subunit dari faktor VIII yang mempunyai

berat molekul besar, terdapat dalam megakariosit, pada membran trombosit, dan

Universitas Sumatera Utara


konsentrasi yang lebih besar pada a–granule. Bentuk plasma dan bentuk trombosit

dari vWF berikatan ke glikoprotein dan glikolipid pada membran trombosit,

walaupun hanya vWF plasma yang penting untul adhesi trombosit normal.

Pencucian trombosit dapat menghilangkan sejumlah molekul faktor VIII

proakogulen (VIIIc) tetapi vWF tidak. Sedangkan kebanyakan aktifasi faktor V

yang berhubungan dengan trombosit terletak dalam α–granul. Faktor V dan

bentuk faktor V yang diaktifasi trombin berikatan ke “resting” trombosit, dimana

merupakan binding site untuk faktor Xa yang diperlukan untuk membentuk

protrombinase. Dan banyak 50% faktor XIII dalam darah berhubungan dengan

trombosit dan disintesa oleh megakariosit. (Cox, 2011)

2.2.2.c.Fungsi trombosit.

Apabila pembuluh darah rusak, struktur subendotelium termasuk basement

membrane, kolagen dan mikrofibril terbuka. Trombosit akan menempel ke

permukaan yang rusak untuk membentuk sumbat (platelet plug). Dalam

mekanisme pembentukan plug tersebut, trombosit bekerja dengan:

 Adhesi trombosit

Adhesi trombosit adalah perlekatan trombosit ke permukaan non-

trombosit. Proses ini terjadi setelah trauma vaskuler, dimana trombosit

menempel (melekat) terutama pada serat kolagen di subendotelium.

Adhesi trombosit sangat bergantung pada vWF, suatu protein plasma yang

dihasilkan dan disekresi oleh sel-sel endotel dan terdapat pada matriks

subendotelium, dan juga disekresi oleh trombosit yang aktif. vWF dapat

berikatan ke membran trombosit dengan pertolongan 3 reseptor yang

Universitas Sumatera Utara


berbeda yaitu reseptor GP Ib dekat N-terminal, reseptor GP IIb-IIIa pada

C-terminal, dan binding site N-terminal ke tiga. Trombosit berikatan ke

kolagen melalui vWF dan GP Ib-vWF mula- mula melekat pada serat

kolagen, kemudian dengan ikatan trombosit ke vWF melalui GP Ib-IX

membran trombosit. vWF disekresi oleh endotelium pembuluh darah, dan

vWF plasma dan vWF yang ada subendotelium dapat memperantarai

adhesi trombosit. Yang menarik bahwa, trombosit sirkulasi normal tidak

berinteraksi dengan vWF yang ada dalam plasma walaupun ternyata

trombosit mempunyai GP Ib-IX pada permukaannya. Setelah adhesi,

trombosit mengalami perubahan bentuk dari bentuk disk menjadi bentuk

yang lebih sferis dengan membentuk pseudopodia. Pada waktu yang sama

terjadi proses sekresi dimana beberapa substansi yang aktif secara biologis

yang disimpan dalam granul trombosit secara aktif dikeluarkan dari sel-sel

yang melekat (reaksi pelepasan). Zat-zat yang dilepaskan termasuk ADP,

serotonin, b-TG, PF4, PDGF, TX-A2, dan vWF. Substansi-substansi yang

dilepaskan mempercepat pembentukan plug trombosit dan berperan dalam

proses perbaikan jaringan (Venkata, 2013).

 Agregasi Trombosit

ADP yang dilepaskan oleh trombosit merangsang perlekatan trombosit

dengan trombosit lain. Fenomena ini disebut agregasi trombosit, yang

akan meningkatkan ukuran plug pada tempat yang luka. Agregasi

trombosit diikuti dengan pelepasan isi granul yang merangsang trombosit

lain untuk beragregasi. Disamping ADP berbagai agent termasuk

Universitas Sumatera Utara


epinefrin, kolagen, trombin, kompleks imun dan faktor yang mengaktifasi

trombosit (platelet-activating factor) dapat menyebabkan agregasi dan

sekresi trombosit. Prostaglandin, berperan penting dalam memperantarai

reaksi pelepasan dan agregasi. Kolagen dan epinefrin mencetuskan aktifasi

dari satu atau lebih fosfolipase yang ada dalam membran trombosit.

Fosfolipase ini kemudian menghidrolisa fosfolipid membran, melepaskan

asam arakhidonat. Asam arakhidonat dimetabolisme oleh enzim

siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin endoperoksida yang tidak

stabil, dan ini kemudian dirubah menjadi tromboksan A2. Tromboksan A2

adalah suatu substansi yang sangat poten yang menginduksi agregasi dan

sekresi trombosit. Fibrinogen diperlukan untuk agregasi trombosit.

Fibrinogen berikatan dengan reseptor-reseptor spesifik pada permukaan

trombosit yaitu glikoprotein IIb/IIIa (GPIIb/IIIa), dan menghubungkan

trombosit dengan trombosit lainnya. Pasien-pasien dengan kelainan

kongenital dimana tidak terdapat fibrinogen (afibrinogenemia) atau

GPIIb/IIIa (Glanzmann’s Thrombasthemia), masa perdarahannya

memanjang oleh karena kegagalan agregasi trombosit. (Venkata, 2013)

2.2.3 Faktor Pembekuan Darah

Faktor-faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan di

produksi di hepar dan di sekresi ke sirkulasi darah. Tabel berikut ini menunjukan

daftar faktor-faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi,

serta sinonim dan beberapa sifat-sifatnya. Begitu juga faktor XI, XII, XIII, dan

faktor V. Sebagian besar faktor-faktor pembekuan darah ada dalam plasma, pada

Universitas Sumatera Utara


keadaan normal ada dalam bentuk inaktif dan nantinya akan dirubah menjadi

bentuk enzim yang aktif atau bentuk kofaktor selama koagulasi. (Delabranche,

2017)

Gambar 2.4 Faktor Koagulasi (Venkata, 2013)

Faktor-faktor pembekuan darah diklasifikasikan ke dalam beberapa

kelompok berdasarkan fungsinya. Faktor XII, faktor XI, prekallikrein, faktor X,

faktor IX, faktor VII, dan protrombin merupakan zimogen dari serine protease

akan dirubah menjadi enzim yang aktif selama pembekuan darah. Sedangkan

faktor V, faktor VIII, highmolecular-weight kininogen (HMWK), dan tissue factor

yang terdapat di ekstravaskuler dan harus kontak dengan darah untuk berfungsi,

bukan merupakan proenzim tetapi berfungsi sebagai kofaktor. Faktor V, faktor

VIII, dan HMWK harus diaktifasi agar berfungsi sebagai kofaktor.

Faktor X, faktor IX, faktor VII, dan protrombin disebut faktor-faktor yang

tergantung vitamin K (Vitamin K-dependent factor), karena untuk

Universitas Sumatera Utara


pembentukannya yang sempurna memerlukan vitamin K. Protein-protein ini

mengandung residu asam amino yang unik, g-carboxyglutamic acid (Gla).

Vitamin K terdapat dalam sayur-sayuran yang berwarna hijau dan juga disintesis

oleh bakteria di dalam usus. Vitamin K berfungsi sebagai suatu kofaktor yang

penting untuk sintesis faktor II, faktor VII, faktor IX, faktor X, protein C dan

protein S, dimana vitamin K merupakan kofaktor penting yang diperlukan untuk

menyelesaikan post-translational dari sintesis faktor-faktor pembekuan yang

tergantung vitamin K, yaitu untuk reaksi karboksilasi dari asam glutamat menjadi

residu g-carboxyglutamic acid. Residu Gla adalah tempat ikatan ke protein-

protein ini dan diperlukan untuk interaksinya dengan fosfolipid membran.

Kegagalan dalam karboksilasi yang terjadi pada defesiensi vitamin K atau

pada beberapa kelainan hati (sirosis, hepatoselular karsinoma), terjadi

penumpukan faktor-faktor pembekuan dengan tidak ada atau penurunan gamma-

carboxylation sites. Non des-carboxylated protein ini juga disebut protein-induced

in vitamin K absence (PIVKA). Obat-obatan antikoagulan oral (Coumarin,

Warfarin), tidak bekerja di dalam sirkulasi tetapi di hati, dimana obat-obatan

tersebut menghambat sintesis dari faktor-faktor pembekuan yang tergantung

vitamin K. (Delabranche, 2017)

2.2.4 Tissue Factor

Tissue factor (Tromboplastin, faktor III), adalah suatu lipoprotein yang

dalam jumlah besar terdapat dalam jaringan dan berfungsi dalam koagulasi

dengan berinteraksi dengan faktor VII pada jalur ekstrinsik. Selain itu tissue

factor juga terdapat pada dinding pembuluh darah, dimana aktifitas koagulasinya

Universitas Sumatera Utara


akan dimulai bila pembuluh darah mengalami kerusakan, dan TF dapat diinduksi

pada sel monosit dan sel-sel endothelium pembuluh darah oleh berbagai sitokin,

dimana TF yang dieksresikan oleh sel-sel ini dapat menimbulkan respons

koagulasi pada pembuluh darah yang intact. TF manusia terdiri dari 263 asam

amino, dan berat molekulnya bervariasi dari 53.000-425.000.

Tissue factor yang terdapat dalam jaringan otak, paru-paru dan plasenta,

menunjukan aktifitas spesifik yang lebih tinggi dibandingkan yang ada pada

jaringan ginjal dan limpa, dan beberapa dianggap tidak mempunyai aktifitas,

misalnya trombosit dan otot. Dan protein ini belakangan secara ekstensif

dimurnikan dari jaringan-jaringan tersebut untuk pembuatan reagen tromboplastin

yang digunakan untuk test koagulasi di klinik.

Tissue factor berfungsi sebagai kofaktor untuk faktor VIIa dalam

mengaktifasi faktor X dan juga faktor IX dalam proses pembekuan darah.

Aktivasi jalur ini pada dasarnya hasil dari dua keadaan, apabila kontinuitas lapisan

endotelium terganggu dan darah terpapar ke sel-sel ekstravaskuler atau apabila

endotel atau neutrofil dan monosit dipicu untuk expose TF pada membrannya.

2.2.5 Kaskade Koagulasi

Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat

diaktifasi untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid

fibrin dari soluble fibrinogen, memperkuat plak trombosit primer. Koagulasi

dimulai dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi kontak dan

kerja dari tissue factor. Aktifasi kontak mengawali suatu rangkaian dari reaksi-

reaksi yang melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, prekalikrein,

Universitas Sumatera Utara


High Molecular Weight Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF-3).

Reaksi-reaksi ini berperan untuk pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi

faktor X, dimana reaksi-reaksi tersebut dinamakan jalur instrinsik (intrinsic

pathway).

Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan tissue factor, dimana suatu

interaksi antara tissue factor ini dengan faktor VII, akan menghasilkan suatu

enzim yang juga mengaktifasi faktor X. Ini dinamakan jalur ekstrinsik. Langkah

selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan faktor X dan V, PF-3, protrombin,

dan fibrinogen. Reaksi-reaksi ini dinamakan jalur bersama (common pathway).

Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan darah ke jaringan yang luka.

Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan berasal dari luar darah.

Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk skrining jalur ini. Apabila

darah diambil secara hati-hati sehingga tidak terkontaminasi cairan jaringan, darah

tersebut masih membeku didalam tabung gelas. Jalur ini disebut jalur intrinsik,

karena substansi yang diperlukan untuk pembekuan ada dalam darah. Jalur

intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor XII dengan permukaan asing. Partial

thromboplastin time (PTT) dan activated PTT (aPTT) adalah monitor yang baik

untuk jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama -sama mengaktifasi faktor X, dan

disebut jalur bersama. Konsep dari dua jalur yang terpisah praktis untuk

memahami koagulasi darah in vitro. Hasil dari pemeriksaan PT dan PTT atau

aPTT biasanya menolong lokasi suatu kelainan dalam skema koagulasi untuk

diagnosis kelainan-kelainan koagulasi.

Universitas Sumatera Utara


 Jalur Intrinsik

Jalur intrinsik, memerlukan faktor VIII, faktor IX, faktor X, faktor XI, dan

faktor XII. Juga memerlukan prekalikrein dan HMWK, begitu juga ion

kalsium dan fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Mula- mula jalur

intrinsik terjadi apabila prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor XII

terpapar ke permukaan pembuluh darah adalah stimulus primer untuk fase

kontak.

Kumpulan komponen-komponen fase kontak merubah

prekallikrein menjadi kallikrein, yang selanjutnya mengaktifasi faktor XII

menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa kemudian dapat menghidrolisa

prekallikrein lagi menjadi kallikrein, membentuk kaskade yang saling

mengaktifasi. Faktor XIIa juga mengaktifasi faktor XI menjadi faktor XIa

dan menyebabkan pelepasan bradikinin, suatu vasodilator yang poten dari

HMWK. Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor IX menjadi

faktor IXa, dan faktor IXa mengaktifasi faktor X menjadi faktor Xa.

 Jalur ekstrinsik

Jalur ekstrinsik, dimulai pada tempat yang trauma dalam respons terhadap

pelepasan tissue factor (faktor III). Kaskade koagulasi diaktifasi apabila

tissue factor dieksresikan pada sel-sel yang rusak atau distimulasi (sel-sel

vaskuler atau monosit), sehingga kontak dengan faktor VIIa sirkulasi dan

membentuk kompleks dengan adanya ion kalsium. Tissue factor adalah

suatu kofaktor dalam aktifasi faktor X yang dikatalisa faktor VIIa. Faktor

VIIa, suatu residu Gla yang mengandung serine protease, memecah faktor

Universitas Sumatera Utara


X menjadi faktor Xa, identik dengan faktor IXa dari jalur instrinsik.

Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja trombin atau faktor Xa. Tissue

factor banyak terdapat dalam jaringan termasuk adventisia pembuluh

darah, epidermis, mukosa usus dan respiratori, korteks serebral,

miokardium dan glomerulus ginjal. Aktifasi tissue factor juga dijumpai

pada subendotelium. Sel-sel endotelium dan monosit juga dapat

menghasilkan dan mengekspresikan aktifitas tissue factor atas stimulasi

dengan interleukin-1 atau endotoksin, dimana menunjukan bahwa sitokin

dapat mengatur ekspresi tissue factor dan deposisi fibrin pada tempat

inflamasi. Kemampuan faktor Xa untuk mengaktifasi faktor VII

menciptakan suatu hubungan antara jalur instrinsik dan ekstrinsik. Selain

itu hubungan dua jalur itu ada melalui kemampuan dari tissue factor dan

faktor VIIa untuk mengaktifasi faktor IX menjadi IXa. Hal ini terbukti

bahwa ada pasien-pasien dengan defisiensi faktor VII tetapi tidak

defisiensi faktor XI, terjadi penurunan kadar dari aktifasi faktor IX,

sedangkan pasien-pasien dengan defisiensi faktor VIII atau faktor IX,

mempunyai kadar yang normal dari aktifasi faktor X dan prothrombin.

Dan pada infusion recombinant factor VIIa dengan dosis yang relatif kecil

(10-20 mg/kg BB) pada pasien-pasien dengan defisiensi faktor VII

menghasilkan suatu peningkatan yang besar pada konsentrasi aktifasi

faktor X. Faktor IXa yang baru dibentuk itu membentuk kompleks dengan

faktor VIIIa dengan adanya kalsium dan fosfolipid membrane, dan

selanjutnya juga mengaktifasi faktor X menjadi Xa. Kompleks ini disebut

Universitas Sumatera Utara


―tenase―. Dan ternyata bukti-bukti menunjukan bahwa jalur ekstrinsik

berperan utama dalam memulai pembekuan darah in vitro dan

pembentukan fibrin. Activated factor Xa adalah tempat dimana kaskade

koagulasi jalur intrinsik dan ekstrinsik bertemu. Faktor Xa berikatan

dengan faktor Va (diaktifasi oleh trombin), yang mana dengan kalsium

dan fosfolipid disebut kompleks ―prothrombinase―, yang secara cepat

merubah protrombin menjadi trombin. Studi-studi yang baru telah

merubah konsep jalur pembekuan darah dan sistim antikoagulasi. Tidak

seperti sistem lama, dimana berdasarkan jalur intrinsik dan ekstrinsik,

konsep baru pembekuan darah berfokus pada tissue factor. TF berikatan

dengan zymogen faktor VII (FVII) dan merubahnya menjadi bentuk aktif,

FVIIa dengan afinitas yang lebih tinggi dari pada F-VII. TF/FVIIa

memulai pembekuan dengan dua jalur : 1. TF/FVIIa mengaktifasi FIX

menjadi FIXa yang bersama -sama dengan kofaktor FVIIIa, merubah FX

menjadi FXa pada adanya Ca2+ dan fosfolipid. TF/FVIIa dapat langsung

mengaktifasi FX menjadi FXa FXa dan kofaktor FVa mengkatalisa

perubahan dari protrombin (FII) menjadi thrombin (FIIa). F-IIa kemudian

merubah fibrinogen menjadi fibrin. Faktor kontak (FXII, HMWK, dan

prekallikrein) yang merupakan bagian dari jalur instrinsik dari sistim lama

sekarang dinyatakan tidak berperan dalam pembekuan darah tetapi

malahan faktor-faktor tersebut jelas sebagai antitrombotik dan mempunyai

aktifitas fibrinolitik. Selain itu, trombin dan FXII dapat mengaktifasi FVII

tanpa adanya kofaktor, sedangkan faktor Xa dan faktor IXa memerlukan

Universitas Sumatera Utara


adanya fosfolipid dan kalsium. Mula-mula kompleks TF-VIIa diperbesar

oleh aktifasi feedback faktor VII oleh faktor Xa dan faktor IXa, akan tetapi

kompleks itu secara cepat dihambat oleh Tissue Factor Pathway Inhibitor

(TFPI). Pada waktu itu trombin yang dihasilkan mengaktifasi faktor XI,

begitu juga faktor V, faktor VIII, dan karena itu menambah pembentukan

tenase dan akhirnya menghasilkan lebih banyak trombin. Faktor XI dapat

juga diaktifasi oleh faktor XIIa, akan tetapi peranannya untuk fisiologi

hemostasis minimal, seperti ditunjukan oleh tidak adanya gejala

perdarahan pada individuindividu dengan defisiensi berat faktor XII,

prekallikrein, atau HMWK. Fungsi utama trombin (FIIa) adalah untuk

memecah fibrinogen menjadi fibrin dan mengaktifasi faktor XIII yang

menghasilkan cross-linked bekuan yang stabil.

2.2.6 INHIBITOR

Sejumlah protein plasma mampu menghambat serine protease terlibat

dalam koagulasi, fibrinolisis, dan pembentukan kinin. Ini termasuk antitrombin

III, heparin cofactor II, α2-macroglobulin, α1-antitrypsin, tissue factor pathway

inhibitor (TFPI), plasmin activator inhibitor-1 (PAI-1), dan C1 inhibitor.

Antitrombin III (AT-III) adalah suatu protein plasma dengan BM 58.000

dihasilkan di hepar, terdiri dari polipeptida rantai tunggal dengan 432 asam

amino. AT-III menetralisasi/menghambat trombin dengan membentuk kompleks

stabil 1:1 antara satu residu arginin dari AT-III dan active-site serine dari trombin.

AT-III juga menghambat faktor XIIa, faktor XIa, faktor Xa, faktor VII-TF,

kallikrein plasma dan plasmin. Kerjanya sangat dipercepat oleh heparin. AT-III

Universitas Sumatera Utara


sebagai antikoagulan dan heparin sebagai kofaktor. Heparin cofactor II (HCF-II),

secara selektif menghambat trombin dengan membentuk suatu kompleks. Seperti

AT-III, aktifitas inhibitor ini secara nyata distimulasi dengan adanya heparin.

Berbeda dengan AT-III, HCF-II tidak menghambat aktifitas faktor-faktor

koagulasi lainnya, dan HCF-II diaktifasi oleh dermatan sulfat, sedangkan AT-III

tidak. Maka HCF-II merupakan inhibitor penting dari trombin dengan adanya

dermatan sulfate. α2-Plasmin inhibitor (α2-antiplasmin), adalah inhibitor plasmin

yang bereaksi cepat, dimana menghambat plasmin dengan segera dengan

membentuk kompleks 1:1. Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), adalah

suatu protein plasma dengan BM 52.000, dihasilkan oleh berbagai sel, seperti sel-

sel endothelium, hepatosit, dan fibroblast. Konsentrasi didalam plasma sangat

rendah (0.005 mg/dl) dan juga disimpan dalam α-granul trombosit. PAI-1

menghambat tissue plasminogen activator (t-PA) dan urokinase dengan

membentuk suatu kompleks dengan enzim, dan PAI-1 berperan penting dalam

pengaturan aktifitas sistim fibrinolisis. α1-Proteinase Inhibitor, juga dikenal

sebagai α1-antitripsin, atau α1-antiproteinase, juga menginaktifasi plasmin dan

urokinase, tetapi sebagai inhibitor tripsin relatif lemah. α1-proteinase inhibitor

adalah α-globulin, dijumpai di dalam plasma dan pada membrane trombosit.

Mekanisme kerja anti-enzimnya belum diketahui.

Dengan membentuk kompleks dengan enzim ini. Protein ini juga dikenal

sebagai plasminogen activator inhibitor. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI),

juga disebut extrinsic pathway inhibitor (EPI) atau lipoprotein-associated

coagulation inhibitor (LACI), adalah protein plasma yang baru ditemukan (BM

Universitas Sumatera Utara


38.000) yang menghambat awal koagulasi darah dengan kompleks FVIIa-tissue

factor. Konsentrasi TFPI dalam plasma rendah, tetapi pool yang lebih besar dari

TFPI terdapat dalam endotelium pembuluh darah dan dapat dilepaskan ke dalam

darah oleh heparin. Kadar TFPI plasma meningkat dua minggu hingga empat kali

lipat dengan infus heparin. TFPI mengatur aktifasi FX melalui inhibisi kompleks

FVIIa -TF dan faktor Xa. Mekanisme kerjanya unik, mula- mula TFPI

berinteraksi dengan faktor Xa dengan membentuk kompleks Xa-TFPI, yang

kemudian membentuk kompleks quartenary Xa-TFPI-VIIa-tissue factor dengan

akibat hilangnya aktifitas kompleks VIIa- tissue factor. TFPI disintesis oleh sel-

sel endotelium pembuluh darah, juga oleh hepatosit.

2.2.7 Pengaturan Pembekuan Darah

Mekanisme antikoagulan alami mengatur dan melokalisir pembentukan

plak hemostasis atau trombus ke tempat pembuluh darah yang rusak. Inhibitor

faktor koagulasi utama atau antikoagulan alami yang berlangsung terhadap

pembentukan atau kerja trombin, termasuk sistim antitrombin dan protein C.

Antitrombin menginaktifasi trombin dari serine protease yang lain (F-VIIa, F-

XIIa, FXIa, F-IXa) dengan berikatan secara irreversibel melalui residu arginin ke

tempat serine aktif dari protease (serine protease inhibitor atau serpin). Dalam

keadaan tidak ada heparin, tingkat inaktifasinya relatif lambat, tetapi apabila

heparin atau heparan sulfat dinding pembuluh darah berikatan ke residu lysine

pada molekul AT, akan menghasilkan inaktifasi trombin seketika itu juga. Oleh

karena itu AT disebut heparin kofaktor 1. Heparin kofaktor II, dapat juga

diaktifasi oleh heparin (walaupun dibutuhkan jumlah yang lebih besar),

Universitas Sumatera Utara


glycosaminoglikan, dermatan sulfat untuk inaktifasi trombin. Trombin dapat juga

berikatan ke endotelium atau permukaan trombosit melalui reseptor

trombomodulin dan disingkirkan dari sirkulasi. Serpin- erpin lain seperti α-1

antitripsin dan α-2 makroglobulin berperan membantu inaktifasi trombin. Protein

Z (PZ), suatu protein yang tergantung protein yang disebut PZ-dependent

protease inhibitor (PZI). Jalur protein C merupakan mekanisme utama untuk

membatasi respons koagulasi terhadap trauma. Jalur ini dimulai apabila trombin

berikatan dengan trombomodulin (TM). Kompleks trombin-TM adalah suatu

aktifator poten dari protein C dan mempunyai sedikit kemampuan untuk aktifasi

trombosit atau bekuan fibrinogen. Activated PC (APC) diperbesar oleh endothelial

cell PC receptor (EPCR) yang meningkatkan afinitas kompleks trombin-TM

untuk PC. APC meninaktifasi secara proteolitik faktor Va dan faktor VIIIa dengan

bantuan kofaktor protein S (PS). Kompleks trombin-TM secara cepat diinaktifasi

oleh PC inhibitor (PCI) dan AT. Defisiensi herediter dari protein C, protein S, dan

resistensi terhadap activated protein C, kesemuanya berhubungan dengan

hypercogulable state, dan aktifasi koagulasi telah terbukti pada pasien-pasien

dengan defesiensi dari masing-masing protein antikoagulan ini (Delabranche,

2017).

2.2.8 Sistem Fibrinolisis

Sistem fibrinolisis penting untuk menyingkirkan deposit fibrin yang

berlebihan. Sistem fibrinolisis juga merupakan suatu sistim multikomponen yang

terdiri dari proenzim, aktifator plasminogen dan inhibitor-inhibitor. Plasminogen,

adalah suatu glikoprotein rantai tunggal dengan amino terminal glutamic acid

Universitas Sumatera Utara


glutamic acid yang mudah dipecah oleh proteolisis menjadi bentuk modifikasi

dengan suatu terminal lisin, valin atau methionin.

Pada tempat jaringan yang rusak (tissue injury), fibrinolisis dimulai

dengan perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin mempunyai banyak

fungsi seperti degradasi dari fibrin, inaktifasi faktor V dan faktor VIII dan aktifasi

dari metaloproteinase yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka dan

perbaikan jaringan.

Aktifator-aktifator plasminogen memecah peptide dari plasminogen dan

membentuk plasmin rantai dua. Aktifasi menjadi plasmin dapat terjadi melalui

tiga jalur yaitu :

1. Jalur intrinsik, melibatan aktifasi dari proaktifator sirkulasi melalui faktor

XIIa.

2. Jalur ekstrinsik, dimana aktifator-aktifator dilepaskan ke aliran darah dari

jaringan yang rusak, sel-sel atau dinding pembuluh darah (semua aktifator

juga protease).

3. Jalur eksogen, dimana plasminogen diaktifasi dengan adanya obat

trombolitik, seperti streptokinase. Dalam keadaan fisiologik, aktifasi

plasminogen terutama oleh tissue plasminogen aktifator yang disintesis

dan dilepas dari sel-sel endotelium pembuluh darah dalam respons

terhadap trombin dan pada kerusakan sel.

Setelah distimulasi t-PA release oleh exercise, statis, atau desmopressin

(DDAVP), masa paruhnya dalam sirkulasi sangat pendek (sekitar 5 menit),

berhubungan dengan inhibisi oleh PAI-1 dan clearance dihati. Aktifator lain,

Universitas Sumatera Utara


urokinase-type plasminogen avtivator (u-PA), diproduksi diginjal dan ditemukan

terutama dalam urine. Akan tetapi sejumlah kecil prourokinase plasma atau

single-chain u-PA (scuPA) dapat diubah menjadi bentuk aktif melalui sistem

kontak oleh kallikrein. Proses fibrinolitik diatur pada tiap-tiap tahap enzimatik

oleh inhibitor-inhibitor protease spesifik. Aktifitas plasminogen diatur oleh

inhibitor-inhibitor plasmin seperti α-2 antiplasmin, α-2 makroglobulin, dan juga

oleh plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), yang merupakan inhibitor

fisiologi dari tPA dan uPA. Plasmin mempunyai fibrinogen dan fibrin sebagai

substrat utamanya yang terpenting untuk produksi fragmen-fragmen spesifik yang

secara kolektif disebut fibrinogen-fibrin degradation product (FDP). Plasmin juga

memecah faktor V dan faktor VIII. Ledakan fibrinolisis dihambat oleh inhibitor

poten α-2 antiplasmin dan oleh α-2 makroglobulin. Plasmin bebas dalam plasma

segera diinaktifkan oleh α-2 antiplasmin, sedangkan plasmin yang terikat fibrin

dalam plug hemostasis lokal terlindungi dari α-2 antiplasmin dan dapat memecah

fibrin menjadi FDP. Inhibitor dari aktifator plasminogen juga memegang peranan

penting dalam mengatur fibrinolisis dan membatasinya pada bagian luka. (Ates,

2015, Delabranche, 2017)

2.3 . PEMERIKSAAN PENYARING FAKTOR PEMBEKUAN

Pemeriksaan penyaring faktor pembekuan yang rutin dikerjakan

dilaboratorium adalah pemeriksaan prothrombin time (PT), activator partial

thromboplastin (aPTT) dan thrombin (TT).

a. Prothrombin Time (masa protrombin)

Universitas Sumatera Utara


Prothrombin time (PT) mengukur faktor-faktor koagulasi yang

berperan di jalur ekstrinsik dan jalur bersama. Dibandingkan dengan

aPTT, PT lebih sensitif terhadap faktor-faktor koagulasi yang tergantung

pada vitamin K (F II, VII, IX, dan X). Pemeriksaan ini dilakukan dengan

menambahkan ion Kalsium dan tromboplastin/ faktor jaringan (murni atau

rekombinan) pada plasma sitrat. Penambahan ini akan menimbulkan

rangsangan yang kuat bagi aktivasi F VI atau jalur bersama.

Hasil PT dapat sangat bervariasi, tergantung pada jenis

tromboplastin yang digunakan. Tromboplastin murni biasanya

memberikan nilai normal antara 10-14 detik, yang relatif lebih rendah

dibandingkan dengan recombinant tissue factor. Ketika PT digunakan

untuk memantau pasien yang mendapat terapi warfarin (antikoagulan

oral), maka sensitivitas tromboplastin sangat penting dan bertanggung

jawab terhadap pemanjangan PT. Keadaan ini menyebabkan

berkembangnya standarisasi metode untuk menginterpretasi hasil PT, yaitu

Internasional Normalized Ratio (INR).

Sebagai skrining untuk defisiensi faktor koagulasi tunggal, PT

paling sensitif terhadap defisiensi F VII, Pada pasien dengan kelainan hati,

kadar faktor-faktor koagulasi yang tergantung pada vitamin K,

pemanjangan PT baru terjadi bila defisiensi mencapai 50-60%. Sebagai

panduan umum, bila PT memanjang 1,5-2 kali normal, maka kadar faktor

koagulasi akan menurun di bawah 30%.

Universitas Sumatera Utara


Prothrombin time (PT) juga akan memanjang bila terdapat heparin

dalam jumlah yang besar di sirkulasi, dan yang lebih jarang ditemukan

adalah adanya circulating inhibitor, penurunan kadar fibrinogen <100

mg/dL, atau adanya molekul fibrinogen abnormal atau fragmen di

sirkulasi. Terakhir, PT akan memanjang bila bahan pemeriksaan disimpan

terlalu lama sebelum diperiksa karena terjadi degradasi faktor-faktor

koagulasi.

Untuk melakukan pemeriksaan yang sering dilakukan ini,

tromboplastin jaringan dan plasma diinkubasi beberapa menit. Setelah itu

plasma direkalsifikasi dan diukur waktu yang dibutuhkan untuk

terbentuknya bekuan. Pemeriksaan ini mengukur protein koagulasi yang

terlibat dalam jalur ekstrinsik dan jalur bersama.

Pemeriksaan ini mengukur waktu yang diperlukan untuk terjadinya

bekuan pada plasma yang ditambahkan kalsium (recalcified plasma)

dengan adanya konsentrasi tromboplastin yang optimal. Tes ini terutama

bertujuan mengukur efisiensi jalur ekstrinsik dalam membentuk

protrombin, namun pemeriksaan ini juga tergantung pada keadaan Faktor

V, Faktor VII, Faktor X dan konsentrasi fibrinogen plasma. Pemanjangan

PT dapat ditemukan pada keadaan-keadaan:

- Pemberian obat antikoagulan oral (antagonis vitamin K).

- Penyakit hati, terutam obstructive jaundice.

- Defisiensi vitamin K.

- Koagulasi intravaskular diseminata (DIC).

Universitas Sumatera Utara


- Defisiensi atau defek F VII, F V, F X, protrombin , namun keadaan ini

jarang ditemukan.

Dilakukan dengan menambahkan suatu bahan yang berasal dari

jaringan (biasanya dari otak, plasenta dan paru-paru) pada plasma sitrat

dan dengan memberikan kelebihan Ca2+, kemudian diukur waktu

terbentuknya bekuan. Pemanjangan Masa Protrombin berhubungan

dengan defisiensi faktor-fakor koagulasi jalur ekstrinsik seperti faktor VII,

faktor X, faktor V, protrombin dan fibrinogen, kombinasi dari faktor-

faktor ini, atau oleh karena adanya suatu inhibitor.

b. Activated Partial Thromboplastin Time (masa tromboplastin parsial

teraktivasi).

Pemeriksaan ini memeriksa faktor-faktor koagulasi jalur intrinsik

dan jalur bersama (F XII, XI, IX, VIII, X, V dan II). Pada pemeriksaan ini,

plasma sitrat diaktivasi dengan bahan-bahan contact surface seperti

Kaolin, ditambah ion kalsium dan fosfolipid. Tergantung pada reagen

yang digunakan, nilai aPTT umumnya berkisar antara 25-38 detik. Klinisi

harus familiar dengan nilai normal pemeriksaan koagulasi di masing-

masing laboratorium.

Pemeriksaan aPTT dapat memanjang pada defisiensi faktor-faktor

koagulasi yang berperan dalam jalur intrinsik dan jalur bersama, adanya

circulating inhibitor atau kelainan fibrinogen. Biasanya defisiensi faktor

relatif berat, kadarnya di bawah 30-40% dari nilai normal, defisiensi

berbagai faktor sekaligus, akan menyebabkan aPTT sangat memanjang.

Universitas Sumatera Utara


Walaupun aPTT kurang sensitif terhadap faktor koagulasi yang

tergantung vitamin K dibanding dengan PT, aPTT lebih terhadap adanya

circulating anticoagulant, termasuk heparin dan lupus anticoagulant.

Untuk mengidentifikasi circulating anticoagulant, laboratorium dapat

mengurangi pemeriksaan aPTT dengan menggunakan plasma pasien yang

dicampur dengan plasma normal dengan perbandingan 1:1. Pada defisiensi

faktor koagulasi, maka aPTT dengan campuran ini akan kembali normal

(atau mendekati normal). Namun bila ada circulating anticoagulant, maka

aPTT ulangan tidak akan kembalinormal. Pada bahan pemeriksaan yang

mengandung heparin (karena terapi atau kontaminasi), plasma pasien

dapat dicampur dengan polybrene, yang akan menetralisir heparin

sehingga aPTT akan terkoreksi.

Pemeriksaan ini mengukur waktu yang diperlukan untuk terjadinya

bekuan pada plasma setelah aktivasi faktor kontak dengan penambahan

fosfolipid dan CaCl2, tanpa penambahan tromboplastin. Tes ini terutama

bertujuan mengukur efisiensi jalur intrinsik. Pemeriksaan ini tidak hanya

tergantung pada faktor kontak, F VIII dan F IX, namun juga dipengaruhi

oleh F X, F V, protrombin, dan fibrinogen. Pemeriksaan ini sensitif

terhadap adanya circulating anticoagulants (inhibitor) dan heparin.

Pemanjangan aPTT dapat ditemukan pada keadaan-keadaan:

- Koagulasi intravaskular diseminata (KID).

- Penyakit hati

- Transfusi masif dengan plasma depleted red blood cells

Universitas Sumatera Utara


- Pemberian atau kontaminasi dengan antikoagulan (heparin atau

antikoagulan lainnya).

- Adanya circulating anticoagulants (inhibitor)

- Defisiensi protein koagulasi selaian F VII.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan aktifator seperti

kaolin, ellegic acid atau celite dan juga fosfolipid standar untuk

mengaktifkan faktor kontak pada plasma sitrat. Lalu ditambahkan ion

kalsium dan diukur waktu sampai terbentuknya bekuan. Pemeriksaan ini

berguna untuk mendeteksi kelainan kadar dan fungsi faktor-faktor

koagulasi jalur intrinsik; prekallikrein, HMWK, faktor XII, faktor XI,

faktor IX, faktor VIII dan aktifitas jalur bersama; faktor X, faktor V,

protrombin dan fibrinogen, serta adanya inhibitor.

c. Thrombin Time (masa thrombin)

Pada pemeriksaan ini, trombin yang berlebihan ditambahkan pada

darah sitrat, dan waktu yang dibutuhkan untuk darah membeku diukur.

Normalnya tes ini sangat singkat.

Pemeriksaan TT mengukur tahap akhir jalur bersama, yaitu

perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Pemeriksaan ini dilakukan dengan

menambahkan larutan trombin bovin yang encer pada plasma sitrat.

Tergantung pada larutan trombin yang digunakan, nilai trombin TT dapat

berkisar antara 9-35 detik. Thrombin time akan memanjang pada pasien

dengan kadar fibrinogen yang rendah atau adanya kelainan molekul

fibrinogen atau adanya inhibitor FDP dengan konsentrasi yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara


Sehingga pemeriksaan TT ini merupakan indikator yang sensitif untuk

DIC dan kelainan hati. Sebagai tambahan, adanya heparin di sirkulasi,

walaupun dalam jumlah sangat sedikit, dapat membuat TT sangat

memanjang karena secara langsung akan menghambat trombin yang

ditambahkan. Bila terdapat heparin, heparin insensitive reptilase time ,

dapat menggantikan TT untuk menentukan kadar dan fungsi fibrinogen.

Pemeriksaan ini mengukur waktu yang diperlukan untuk terjadinya

bekuan pada plasma setelah penambahan trombin. Thrombin time akan

memanjang pada keadaan:

- Hipofibrinogenemia

- Peningkatan FDP

- Adanya unfractionated heparin

- Disfibrinogenemia

- Hipoalbuminemia

- Paraproteinemia

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan trombin eksogen

pada plasma sitrat, lalu dilakukan waktu terjadinya bekuan. Difesiensi atau

abnormalitas fibrinogen dan adanya heparin atau fibrinogen degradation

product (FDP) adalah yang paling sering menyebabkan perpanjangan TT.

(Saracco, 2011)

2.4 Hemostasis Pada Sepsis

Semua bakteri dapat menginduksi koagulasi dari polyP-dependent

pathway. Kininogen dengan berat molekul tinggi (HK) juga dapat mengikat

Universitas Sumatera Utara


permukaan bakteri yang memungkinkan aktivasi yang lebih baik oleh protease

host. Menariknya, beberapa bakteri menggunakan jalur khusus untuk menginduksi

pembentukan trombin dan fibrin.


Gambar 2.5 Pathogen Induced Modulation Blood Coagulation(Delabranche,2017)

Paradigma fisiologi sepsis berubah, dimana dahulu berfokus pada

inflamasi sebagai proses yang dominan dalam kaskade kejadian sepsis yang

menyebabkan terjadinya disfungsi organ. Sekarang telah berevolusi untuk

menguraikan suatu kompleks interaksi antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis.

Penelitian-penelitian terhadap perjalanan dan kelainan-kelainan koagulasi dan

fibrinolisis pada sepsis, hubungannya dengan disfungsi endotel, dan faktor-faktor

yang dapat memulai perubahan-perubahan ini telah memperlihatkan pentingnya

peranan dari mekanisme hemostatis yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini

Universitas Sumatera Utara


bermanifestasi sebagai disseminated intravascular coagulation (DIC) dan

trombosis intravaskuler dan mungkin pada akhirnya merupakan faktor primer

yang menimbulkan disfungsi organ dan kematian.

Proses-proses inflamasi dan koagulasi saling berhubungan. Bermacam-

macam mediator inflamasi yang dilepaskan untuk melawan infeksi juga

merangsang koagulasi. Lagi pula, agen infeksi dapat menyebabkan kerusakan

endotelium, yang juga merangsang koagulasi. Faktor-faktor koagulasi diaktifasi

apabila darah kontak dengan jaringan ikat subendotelium atau dengan permukaan

yang bermuatan negatif yang terpapar akibat kerusakan jaringan. Pada sepsis,

aktifasi koagulasi terutama diatur oleh jalur yang tergantung tissue factor (jalur

ekstrinsik). Berbagai cytokine seperti IL-1, dan TNF-α menginduksi ekspresi dari

tissue factor pada sel-sel endotelium dan monosit, mengawali proses koagulasi

jalur ekstrinsik. Jalur ekstrinsik merupakan mekanisme predominan yang

mengaktifasi sistim koagulasi pada sepsis. TF dieksresikan pada banyak jaringan,

termasuk otak, paru-paru, plasenta dan ginjal. Sel-sel yang menghasilkan TF

biasanya tidak kontak dengan darah, tetapi ditemukan pada jaringan perivaskuler

dan stroma. Sel-sel darah perifer dan endotelium secara normal tidak

menghasilkan TF. Akan tetapi aktifitas TF dalam sel-sel ini meningkat setelah

distimulasi dengan beberapa zat seperti endotoksin, tumor necrosis factor α

(TNF-α) atau vasculer endotelial growth factor (VEGF).

Pada sepsis, mikroorganisme gram- positive juga dapat mencetuskan

aktifitas TF hal ini ditunjukan oleh penemuan bahwa produk-produk bakteri selain

endotoksin dapat terlibat dalam pengaturan (up-regulation) aktifasi prokoagulan.

Universitas Sumatera Utara


Bakteri grampositive dapat menginduksi ini secara langsung, sebagaimana

berbagai eksotoksin dan peptidoglikan telah terbukti mencetuskan induksi dari

sitokin-sitokin proinflamatori, seperti interferonγ, interleukin 1β (IL-1β), dan

TNFα, merupakan induser yang kuat dari ekspresi TF. Jadi aktifitas TF meningkat

pada respons terhadap produk-produk dari bakteria gram positif, dan ini dapat

menjadi satu tahap awal untuk menginduksi kelainan-kelainan koagulasi pada

penyakit-penyakit infeksi. Berbagai sitokin seperti IL-1, dan TNF-α menginduksi

ekpresi dari TF pada sel-sel endotelium dan monosit, mengawali proses koagulasi

jalur ekstrinsik. Jalur ekstrinsik merupakan mekanisme predominan yang

mengaktifasi sistem koagulasi pada sepsis. TF merupakan mediator yang penting

antara sistem imun dan koagulasi, dan merupakan aktifator yang terpenting dari

koagulasi pada sepsis. TF berikatan dan mengaktifasi faktor pembekuan VII, dan

membentuk Faktor VIIa – tissue factor complex yang secara cepat dapat merubah

Faktor X menjadi faktor Xa, dan faktor IX menjadi trombin (faktor IIa). Trombin

memecah fibrinogen, menghasilkan fibrin monomer yang kemudian

berpolimerisasi untuk membentuk bekuan fibrin. Pada tahap akhir, sejumlah besar

trombin dibentuk. Benang-benang fibrin membentuk suatu gumpalan dengan

trombosit-trombosit yang teraktifasi pada endotelium yang rusak dan dibentuk

bekuan yang stabil.

Mekanisme TF dihambat oleh antikoagulan alamiah Tissue Factor

Pathway Inhibitor (TFPI). Dalam menghambat TF, TFPI membentuk suatu

kompleks inhibitor berjumlah empat (quarternary) dengan TF, faktor VIIa, dan

faktor Xa, dan menghambat pembentukan trombin dari protrombin. Pada studi

Universitas Sumatera Utara


yang dilakukan dengan injeksi endotoksin dan diikuti dengan injeksi TFPI kepada

orang sehat, ternyata injeksi endotoksin akan menginduksi aktifasi koagulasi. Dan

infus TFPI menginduksi penurunan pembentukan trombin (tergantung dosis), dan

dengan TFPI dosis tinggi hambatan lengkap (complete blockade) dari aktifasi

koagulasi.

Pada kebanyakan pasien-pasien dengan sepsis, sistem fibrinolisis tertekan

walaupun aktifasi sistem koagulasi terus berlanjut. Studi-studi klinik telah

membuktikan bahwa konsentrasi plasminogen pada pasien-pasien sepsis secara

signifikan menurun. Plasmin dibentuk apabila tissue plasminogen activator (t-PA)

mencetuskan perubahan plasminogen menjadi plasmin. Sejumlah zat alami

melindungi tubuh dari fibrinolisis yang berlebihan dengan menghambat aktivasi

plasminogen dan/atau aktifitas fibrinolitik dari plasmin. Dua inhibitor utama dari

fibrinolisis adalah plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin

activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). PAI-1 dihasilkan oleh sel-sel endotelium

dan trombosit, merupakan inhibitor utama dari t-PA yang bekerja cepat.

Endotoksin yang dilepaskan oleh patogen gram negatif meningkatkan aktifitas

PAI-1. Belakangan dilaporkan bahwa infus dari recombinant t-PA pada pasien-

pasien penderita meningococcal purpura fulminans menghasilkan perbaikan yang

dramatik pada hemodinamik dan meningkatkan perfusi kulit. Efek ini mungkin

dapat diterangkan dengan observasi bahwa kadar PAI-1 pada pasien-pasien sepsis

meningkat secara bermakna. Kelainan-kelainan fibrinolitik pada sepsis berupa;

peningkatan aktifitas PAI-1, penurunan aktifitas t-PA, penurunan kadar protein C,

dan penurunan kadar plasminogen.

Universitas Sumatera Utara


Akhirnya, terjadi penekanan fibrinolisis bersamaan dengan aktifasi

koagulasi dan menimbulkan koagulopati pada pasien-pasien sepsis. Pada sepsis,

antikoagulan alami yang paling penting peranannya adalah antitrombin, protein C,

dan Tissue Factor Pathway Inhibitor (TFPI).

Manifestasi klinik paling ekstrim, ketidakseimbangan antara inflamasi,

koagulasi dan fibrinolisis menghasilkan koagulopati yang meluas. Koagulopati,

yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat merupakan komplikasi

dari sepsis. DIC adalah suatu sindrom yang didapat, ditandai dengan aktifasi

koagulasi intravaskuler hingga pembentukan fibrin intravascular. Dalam satu studi

prospektif yang besar, insidens DIC pada sepsis adalah 16%, pada sepsis berat

18% dan pada septic shock 38%. Dalam tahun – tahun belakangan ini, mekanisme

dari kelainan sistemik penimbunan fibrin pada DIC menjadi semakin jelas.

Bertambahnya pembentukan fibrin disebabkan oleh pembentukan trombin yang

diperantarai TF dan secara bersamaan kadar Antithrombin-III, protein C, dan

protein S, menurun. Antithrombin-III (AT –III) merupakan inhibitor trombin yang

paling penting dan pada pasien-pasien sepsis jelas menurun. Penurunan ini

disebabkan oleh kombinasi dari konsumsi, degradasi oleh elastase yang dilepas

dari neutrofil yang aktif, dan kegagalan produksi. Kadar AT –III yang rendah

pada DIC berhubungan dengan peningkatan kematian, berhubungan dengan

keparahan penyakit dan menjadi marker prognosa yang jelek.

DIC, dengan penimbunan fibrin yang luas pada mikrovaskuler dari

berbagai organ, umumnya ditemukan pada syok sepsis. Hal ini sangat erat

Universitas Sumatera Utara


kaitannya dengan terjadinya multiple organ failure syndrome dan memberikan

prognosis yang jelek dari pasien-pasien dengan syok sepsis.

Sitokin merupakan soluble non-antibody regulatory protein yang dilepas

oleh berbagai sel immunoactive seperti limfosit, fagosit mononuklear dan

makrofag. Belakangan diperlihatkan bahwa perubahan sistem pembekuan dan

fibrinolisis pada plasma selama endotoksemia diperantarai oleh beberapa cytokine

proinflamatory, terutama tumor necrosis faktor alpha (TNF α), interleukin 1 (IL-

1), dan interleukin 6 (IL-6). Tumor necrosis faktor α (TNFα) kelihatanya

merupakan sitokin yang terpenting.

2.4.1 Perubahan Hemostasis dan Alogaritme Pengobatan Sepsis

Gambar 2.6 Perubahan Kadar Hemostasis Pada Sepsis dan Alogaritme Terapi

(Delabranche, 2017)

Jumlah trombosit meningkat dan produksi fibrinogen meningkat secara

dramatis (kurva merah). Pembentukan thrombin dimulai dengan sedikit

pemendekan PT dan aPTT (kurva biru tua) yang menghasilkan generasi monomer

Universitas Sumatera Utara


fibrin (kurva hijau). Antikoagulan alami, antitrombin dan protein C menurun oleh

consumption dan downregulation (kurva biru muda). Penghambatan fibrinolisis

oleh PAI-1 menghasilkan D-dimer rendah (kurva kuning). Hanya heparin dosis

rendah (berat molekul tidak berfrekuensi atau rendah) yang dapat

direkomendasikan untuk mencegah 59eucopenia (bagian inferior dari grafik).

Pengurangan antikoagulan dan pembentukan thrombin kontinyu

menghasilkan waktu penggumpalan yang berkepanjangan (PT dan aPTT) dan

konsumsi trombosit dan fibrinogen yang tetap dalam kisaran normal tinggi.

Monomer fibrin meningkat karena pembentukan fibrin berkelanjutan dan

polimerisasi yang cacat oleh FXIIIa. D-dimer sedang meningkat. Langkah ini

dapat disebut ―kegagalan thrombotic/multiple organ failure DIC‖ dan dapat

diobati dengan 59eucop antikoagulan alami (antitrombin atau trombomodulin

terlarut) atau plasma beku segar. Kemudian dalam evolusi alami koagulasi,

konsumsi semua 59eucop dan trombosit menghasilkan tingkat fibrinogen yang

sangat rendah, AT dan PC, PT dan aPTT yang lama dan fibrinolisis 59eucop

dengan D-dimer sangat tinggi.

Langkah ―fibrinolytic DIC‖ ini ditandai dengan perdarahan yang melar

dan 59eucop, dan terapi suportif menghubungkan plasma beku segar dan

59eucopeni trombosit, suplai fibrinogen dan asam traneksamat untuk mencegah

fibrinolisis. (Delabranche, 2017)

2.5 Skor SOFA

Skor SOFA adalah sistem Skor untuk menilai kegagalan organ terutama

dimaksudkan sebagai alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan

Universitas Sumatera Utara


status pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan mortalitas. Pada umumnya,

sistem skoring tersebut meliputi enam sistem organ utama, yakni kardiovaskuler,

respirasi,hematologi, sistem saraf pusat (SSP), ginjal, dan hepar. Skor berkisar

antara 0 yang merujuk pada fungsi normal , sampai 4 merujuk pada keadaan

sangat abnormal, berdasarkan keadaan terburuk dalam satu hari. Skor SOFA total

yang tinggi (SOFA maksimum) dan perubahan/perbedaan SOFA yang tinggi

(SOFA maksimum total dikurangi SOFA total saat masuk) berhubungan dengan

keluaran yang lebih buruk. Skor total tampak terus meningkat pada pasien yang

meninggal dibandingkan pasien yang selamat.

Sistem respirasi, kardiovaskuler, ginjal, hati, hematologi, dan neurologi

merupakan 6 sistem organ yang paling sering dievaluasi pada Sindrom disfungsi

organ 60eucopen. Disfungsi respirasi sering terjadi pada pasien SIRS. Kira –

kira35% pasien sepsis akan mengalami acute lung injury (ALI) ringan-sedang dan

25% mengalami komplikasi penuh menjadi Acute Respiratory Distress Syndrom

(ARDS). Disfungsi respirasi bermanifestasi sebagai takipnea, perubahan status

oksigenasi yang terlihat dari hipoksemia, penurunan rasio PaO2/FiO2 atau

kebutuhan suplementasi oksigen, hipokarbia, serta 60eucopenia bilateral pada foto

polos dada, setelah kemungkinan gagal jantung kiri disingkirkan. Disfungsi

respirasi juga ditunjukkan dengan jumlah positive end-expiratory pressure (PEEP)

dan/atau penggunaan ventilasi mekanik. Jika disfungsinya berat, dapat

berkembang menjadi acute lung injury (ALI) dengan komplikasi ARDS pada 60%

kasus syok sepsis. Diagnosis ARDS ditegakkan bila rasio PaO2/FiO2

<200mmHg. Diagnosis ALI ditegakkan bila rasio PaO2/FiO2 <300mmHg.

Universitas Sumatera Utara


NO (nitric oxide) berperan menyebabkan disfungsi kardiovaskuler. NO

berperan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik pada MODS dan,

bersama dengan TNF-α dan IL-1β, berperan mendepresi fungsi miokardium.

Buruknya perfusi dengan sendirinya akan berpengaruh pada sistem organ lain.

Selain itu, kerusakan endotel menyebabkan hilangnya fungsi barier endotel

sehingga terjadi edema dan redistribusi cairan. Disfungsi kardiovaskuler

memberikan manifestasi hipotensi, aritmia, perubahan frekuensi jantung, henti

jantung, perlunya dukungan inotropik atau vasopresor, serta meningkatnya

tekanan vena sentral atau tekanan baji kapiler pulmonal. Seperti jaringan lainnya,

ginjal rentan terhadap kerusakan jaringan yang diperantarai leukosit melalui

produksi protease dan ROS. Hipovolemia, curah jantung yang rendah, obat-obatan

nefrotoksik, peningkatan tekanan intraabdomen dan rabdomiolisis semuanya

berperan menyebabkan disfungsi ginjal. Peningkatan kreatinin serum, penurunan

volume urin (oliguria/anuria), atau adanya penggunaan terapi pengganti ginjal

(seperti 61eucopen) dapat digunakan untuk memantau adanya disfungsi ginjal.

Disfungsi hati didiagnosis dengan adanya ikterik atau hiperbilirubinemia,

peningkatan transaminase serum, laktat dehidrogenase, atau fosfatase alkali,

hipoalbuminemia, dan perpanjangan waktu protrombin. Trombositopenia,

leukositosis atau 61eucopenia, manifestasi koagulopati dengan perpanjangan

waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, produk degradasi fibrin, atau

tanda koagulasi intravaskuler diseminata lain, perdarahan yang banyak, serta

ekimosis merupakan petunjuk adanya disfungsi hematologi.

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan disfungsi neurologis terutama ditandai dengan gangguan

kesadaran dan fungsi serebral. Tanda perubahan fungsi sistem saraf pusat meliputi

penurunan Glasgow Coma Scale, koma, obtundasi, confusion, dan psikosis. EEG

secara umum memperlihatkan perlambatan difus, sementara CT-scan kepala dan

analisa carian serebrospinal memberikan hasil normal. Polineuropati dan

polimiopati dapat terjadi pada kondisi MODS. Patofisiologi polineuropati

melibatkan degenerasi aksonal primer akibat mediator proinflamasi. Dibutuhkan

3-6 bulan untuk perbaikan akson. Fakta ini dapat menjelaskan ketergantungan

ventilator yang lama pada pasien-pasien sakit berat. Pasien seperti ini

membutuhkan rehabilitasi setelah penyapihan dari ventilator, sebelum pasien

pulang.

Gambar 2.7 Skor SOFA

Universitas Sumatera Utara


2.6 Kerangka Teori

Infeksi ke Aliran Darah

Sepsis

Pro Inflamatori

TNF, IL-1, IL-6

Gangguan Hemostasis

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan studi penelitian analitik, dengan design studi

Cohort Prospektif, untuk melihat perubahan hemostasis yang terjadi pada pasien

sepsis yang diukur pada 3 kali perhitungan, dan selanjutnya menilai hubungan

dari perubahan hemostasis tersebut dengan skor SOFA yang dilakukan dengan 3

kali perhitungan.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK USU / RSUP H.

Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Anestesiologi & Terapi

Intensif FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, mulai bulan April 2018 -

Agustus 2018.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien penderita sepsis yang

dirawat di ruangan rawat inap dan ICU RSUP H. Adam Malik Medan mulai

bulan April 2018 - Agustus 2018. Subjek penelitian adalah pasien penderita sepsis

yang dirawat RSUP H. Adam Malik Medan, serta telah memenuhi kriteria inklusi.

Pengumpulan subjek penelitian dihentikan bila jumlah sampel telah tercapai.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria inklusi

1. Usia 18 tahun – 65 tahun

2. Penderita sepsis

Universitas Sumatera Utara


3. Bersedia mengikuti penelitian

3.4.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien yang telah mendapat terapi antikoagulan sebelum dilakukan

penelitian.

2. Pasien dengan penyakit hati kronis sebelum menderita sepsis.

3.5. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini dihitung berdasarkan rumus besar

sampel untuk uji hipotesis pada satu populasi. Perhitungan dilakukan dengan

menggunakan tingkat kepercayaan95% dan power 90%. (Lemeshow, 1997)

 2
 (n1  1 ) S1  (n 2 1 ) S 2
2


S 2 gab   
 ( n  n ) 

 11 2 1


 (32  1)(3.4)  (39  1)(36.3) 
2 2
S 2 gab   

 (32  1)(39  1) 

S²gab = 730.87

Maka,
2

 ( Z   / 2  Z1   ) 
n  2 2  1 

 ( 1   2 ) 2 

2
 (730.87)(1.96  1.64) 
n  2 
 (2.81) 2 

n= 23.9 = 24

Maka Subjek minimal untuk penelitian ini adalah sebanyak 24 orang (Lemeshow,

1997)

Keterangan:

Sσ² = Varians gabungan

n1 = 32 (Peter, 2006)

Universitas Sumatera Utara


n2 = 39 (Peter, 2006)

Zα: tingkat kepercayaan yang dikehendaki, ditetapkan 95% dengan, nilai dalam

rumus 1.96

Zβ : power, ditetapkan 90% dengan nilai dalam rumus 1.64

μ1 – μ2 = Selisih rerata agar bermakna signifikan

3.6. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera/RSUP H. Adam Malik

Informed Consent diminta secara tertulis dari orang tua/wali pasien yang

bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan

tujuan penelitian.

3.7. Bahan, Cara Kerja dan Alur Penelitian

3.7.1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah dengan

antikoagulan EDTA dan darah dengan antikoagulan Na-citrat 3,2% ( dengan

perbandingan 9:1 )

3.7.2. Cara Kerja

Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan.Sampel darah

diambil dari vena mediana cubiti. Tempat punksi vena terlebih dahulu dilakukan

tindakan aseptik dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering, kemudian dilakukan

punksi dengan menggunakan venoject. Pegambilan darah dilakukan tanpa statis

yang berlebihan. Sejumlah 3ml darah diambil dan dimasukkan ke dalam

Universitas Sumatera Utara


vacutainer sitrat 3 ml. Darah dengan antikoagulan sitrat disentrifugasi dengan

kecepatan 3500 rpm selama 15 menit dan diperiksa dengan Coatron A4.

3.7.2.a Pemeriksaan Prothrombin Time (PT)

PT dapat diukur secara manual (visual), foto-optik atau elektromekanik.

Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar sehingga tidak

dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen sangat rendah dan

tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih dapat digunakan.

Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar dengan

cepat dan teliti. Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila

ke dalam plasma yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin

jaringan dan ion kalsium. Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin,

yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan CaCl2. Beberapa jenis tromboplastin

yang dapat dipergunakan, misalnya :

- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru, atau otak

dan paru dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida

- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan

pengawet

3.7.2.b Pemeriksaan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)

Pemeriksaan APTT dapat dilakukan dengan cara manual (visual) atau

dengan alat otomatis (koagulometer), yang menggunakan metode foto-optik dan

elektro-mekanik. Teknik manual memiliki bias individu yang sangat besar

sehingga tidak dianjurkan lagi. Tetapi pada keadaan dimana kadar fibrinogen

sangat rendah dan tidak dapat dideteksi dengan alat otomatis, metode ini masih

Universitas Sumatera Utara


dapat digunakan. Metode otomatis dapat memeriksa sampel dalam jumlah besar

dengan cepat dan teliti. Prinsip dari pemeriksaan APTT adalah menginkubasikan

plasma sitrat yang mengandung semua faktor koagulasi intrinsik kecuali kalsium

dan trombosit dengan tromboplastin parsial (fosfolipid) dengan bahan pengaktif

(mis. kaolin, ellagic acid, mikronized silica atau celite koloidal). Penambahan

kalsium akan memulai proses pembekuan (bekuan fibrin) dan waktu yang

diperlukan untuk membentuk bekuan fibrin dicatat sebagai APTT.

Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah darah vena dengan

antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109 M) dengan perbandingan 9:1. Masa

Tromboplastin Parsial Teraktivasi Tromboplastin parsial adalah fosfolipid yang

berfungsi sebagai pengganti trombosit factor 3 (PF3), dapat berasal dari manusia,

tumbuhan dan hewan, dengan aktivator seperti kaolin, ellagic acid, micronized

silica atau celite. Reagen komersil yang dipakai misalnya CK Prest 2 yang berasal

dari jaringan otak kelinci dengan kaolin sebagai aktivator. Reagen Patrhrombin

SL menggunakan fosfolipid dari tumbuhan dengan aktivator micronized silica

3.7.2.c Pemeriksaan Thrombin Time (TT)

Thrombin time (TT) diperoleh dengan menambahkan reagen thrombin ke

plasma sitrate, mengukur waktu sejak ditambahkannya thrombin sampai

terbentuknya bekuan darah pada suhu 37ºC, digunakan untuk mengetahui jumlah

dan kualitas fibrinogen dan konversi fibrinogen (soluble protein) menjadi fibrin

(insoluble protein). Bila pasien dalam terapi Heparin, digunakan reptilase sebagai

pengganti thrombin (efek sama dengan thrombin tetapi tidak dihambat oleh

Universitas Sumatera Utara


Heparin). Reptilase digunakan untuk identifikasi Heparin sebagai penyebab

pemanjangan TT.

Sampel darah untuk pemeriksaan menggunakan darah sitrat (vacutainer

bertutup biru), dengan pengisian darah sesuai agar tercapai ratio antikoagulant

terhadap darah adalah satu bagian antikoagulan per sembilan bagian darah.

Pemantapan Kualitas Pemeriksaan PT, APTT, TT

Pemantapan kualitas dilakukan setiap kali pada saat awal dilakukan

pemeriksaan untuk menjamin ketetapan hasil pemeriksaan yang dikerjakan.

Sebelum dilakukan pemeriksaan harus dilakukan kalibrasi terhadap alat-alat yang

digunakan, agar penentuan kosentrasi zat yang belum diketahui dapat seakurat

mungkin. Kontrol kualitas pemeriksaan PT digunakan TEControl dengan lot No

10232592. Kontrol kualitas pemeriksaan APTT digunakan TEControl dengan lot

No 10322562. Kontrol kualitas pemeriksaan TT digunakan TEControl dengan lot

No 10402563. Bila nilai kontrol masuk dalam control range, maka sampel

penelitian dianggap terkontrol. Nilai range normal PT 11-18 detik, nilai range

normal APTT 27-42 detik dan nilai range normal TT 12-24 detik. (Coatron, 2014)

Tabel 3.1 Kontrol PT dengan LOT 10232592

NO Tanggal Jumlah Sampel Kontrol PT (detik) Nilai Target (detik)

1 25-05-2018 2 13.7 11 – 18

2 26-05-2018 2 14.1 11 – 18

3 27-05-2018 3 13.8 11 – 18

4 28-05-2018 1 13.5 11 – 18

5 29-05-2018 1 14.3 11 – 18

Universitas Sumatera Utara


6 30-05-2018 3 13.9 11 – 18

7 31-05-2018 4 14 11 – 18

8 01-06-2018 4 14.2 11 – 18

9 02-06-2018 1 14 11 – 18

10 06-06-2018 1 14.5 11 – 18

11 07-06-2018 1 14.9 11 – 18

12 08-06-2018 1 14.3 11 – 18

13 11-06-2018 4 13.9 11 – 18

14 12-06-2018 4 13.8 11 – 18

15 13-06-2018 5 13.5 11 – 18

16 14-06-2018 1 13.2 11 – 18

17 15-06-2018 1 13.6 11 – 18

18 18-06-2018 2 14 11 – 18

19 19-06-2018 2 14.2 11 – 18

20 20-06-2018 4 14.1 11 – 18

21 21-06-2018 2 14.5 11 – 18

22 22-06-2018 2 14.6 11 – 18

23 25-06-2018 3 14.3 11 – 18

24 26-06-2018 4 14.2 11 – 18

25 27-06-2018 4 14 11 – 18

26 28-06-2018 1 14.1 11 – 18

27 05-07-2018 1 14.5 11 – 18

Universitas Sumatera Utara


28 06-07-2018 1 14.3 11 – 18

29 07-07-2018 1 14.7 11 – 18

30 10-07-2018 1 14.2 11 – 18

31 11-07-2018 1 14.5 11 – 18

32 12-07-2018 1 14.7 11 – 18

33 17-07-2018 1 14.8 11 – 18

34 18-07-2018 1 14.9 11 – 18

35 19-07-2018 1 14.8 11 – 18

Tabel 3.2 Kontrol APTT dengan LOT No 10322562

NO Tanggal Jumlah Sampel Kontrol APTT (detik) Nilai Target (detik)

1 25-05-2018 2 33.4 27 – 42

2 26-05-2018 2 32.1 27 – 42

3 27-05-2018 3 33 27 – 42

4 28-05-2018 1 31.8 27 – 42

5 29-05-2018 1 32 27 – 42

6 30-05-2018 3 32.7 27 – 42

7 31-05-2018 4 32.5 27 – 42

8 01-06-2018 4 32.9 27 – 42

9 02-06-2018 1 32.5 27 – 42

10 06-06-2018 1 32.4 27 – 42

11 07-06-2018 1 33.3 27 – 42

Universitas Sumatera Utara


12 08-06-2018 1 31.7 27 – 42

13 11-06-2018 4 33.5 27 – 42

14 12-06-2018 4 34 27 – 42

15 13-06-2018 5 34.1 27 – 42

16 14-06-2018 1 34.7 27 – 42

17 15-06-2018 1 34.9 27 – 42

18 18-06-2018 2 35 27 – 42

19 19-06-2018 2 34.8 27 – 42

20 20-06-2018 4 35.1 27 – 42

21 21-06-2018 2 34.7 27 – 42

22 22-06-2018 2 34.6 27 – 42

23 25-06-2018 3 34.8 27 – 42

24 26-06-2018 4 34.5 27 – 42

25 27-06-2018 4 34.4 27 – 42

26 28-06-2018 1 34.2 27 – 42

27 05-07-2018 1 33.9 27 – 42

28 06-07-2018 1 33.6 27 – 42

29 07-07-2018 1 33.5 27 – 42

30 10-07-2018 1 33.2 27 – 42

31 11-07-2018 1 33.8 27 – 42

32 12-07-2018 1 33.5 27 – 42

33 17-07-2018 1 33 27 – 42

Universitas Sumatera Utara


34 18-07-2018 1 34.2 27 – 42

35 19-07-2018 1 34.4 27 – 42

Tabel 3.3 Kontrol TT dengan LOT No 10402563

NO Tanggal Jumlah Sampel Kontrol TT (detik) Nilai Target (detik)

1 25-05-2018 2 19 12 – 24

2 26-05-2018 2 18.5 12 – 24

3 27-05-2018 3 22.7 12 – 24

4 28-05-2018 1 21.8 12 – 24

5 29-05-2018 1 22 12 – 24

6 30-05-2018 3 22.1 12 – 24

7 31-05-2018 4 21.6 12 – 24

8 01-06-2018 4 20 12 – 24

9 02-06-2018 1 19.7 12 – 24

10 06-06-2018 1 19.5 12 – 24

11 07-06-2018 1 18.9 12 – 24

12 08-06-2018 1 18.5 12 – 24

13 11-06-2018 4 18.4 12 – 24

14 12-06-2018 4 17.9 12 – 24

15 13-06-2018 5 17.5 12 – 24

16 14-06-2018 1 17.4 12 – 24

17 15-06-2018 1 16 12 – 24

Universitas Sumatera Utara


18 18-06-2018 2 18.2 12 – 24

19 19-06-2018 2 19.1 12 – 24

20 20-06-2018 4 18.5 12 – 24

21 21-06-2018 2 16.8 12 – 24

22 22-06-2018 2 16.2 12 – 24

23 25-06-2018 3 15 12 – 24

24 26-06-2018 4 15.4 12 – 24

25 27-06-2018 4 15.8 12 – 24

26 28-06-2018 1 16 12 – 24

27 05-07-2018 1 16.2 12 – 24

28 06-07-2018 1 17 12 – 24

29 07-07-2018 1 17.5 12 – 24

30 10-07-2018 1 17.7 12 – 24

31 11-07-2018 1 17.8 12 – 24

32 12-07-2018 1 18 12 – 24

33 17-07-2018 1 18.2 12 – 24

34 18-07-2018 1 19 12 – 24

35 19-07-2018 1 19.3 12 – 24

3.7.2.d Pemeriksaan Fibrinogen


Metode : foto optikal (laser-LED optic)

Reagensia fibrinogen : - Thrombin reagen terdiri dari bovine thrombin

Universitas Sumatera Utara


- IBS Buffer terdiri dari barbital, sodium chloride dan

azide

Prinsip : alat akan menembakkan cahaya laser ke kuvet yang berisi plasma sitrat

dan reagen, dimana plasma sitrat dan reagen ini akan menyerap sebagian cahaya,

dan sisanya akan diteruskan ke detektor yang berupa fotometer. Hasil dari

fotometer ini akan diteruskan ke mikrokontroler untuk dihitung dan hasilnya

diteruskan ke LCD dan printer (Coatron, 2014).

Fibrinogen diperiksa menggunakan sampel darah yang diletakkan diwadah yang

mengandung anticoagulant citrate dan diperiksa menggunakan alat Coatron A4.

Kontrol Kualitas Pemeriksaan Fibrinogen

Pemantapan kualitas dilakukan setiap kali pada saat awal dilakukan

pemeriksaan untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan yang dikerjakan.

Sebelum dilakukan pemeriksaan harus dilakukan kalibrasi terhadap alat-alat yang

digunakan, agar penentuan konsentrasi zat yang belum diketahui dapat seakurat

mungkin.

Kontrol kualitas pemeriksaan fibrinogen digunakan TEControl A dengan

lot No 10512531. Bila nilai kontrol masuk dalam control range, maka sampel

penelitian dianggap terkontrol. Nilai range normal fibrinogen 180 – 450 mg/dL.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 3.1 Grafik Kalibrasi Fibrinogen

3.7.2.e Pemeriksaan D-dimer

Metode :immuno turbidimetric assay

Prinsip : sampel ditambah dengan Reagen R1 (buffer) kemudian ditambah

R2 (latex Antibodi D-dimer) dan dimulai reaksi dimana antibodi D-dimer yang

berikatan dengan mikropartikel latex akan bereaksi dengan antigen dalam sampel

untuk membentuk kompleks Ag-Ab. Aglutinasi dari kompleks Ag-Ab ini diukur

secara turbidimetrik dipanjang gelombang 400 nm.

Nilai cut off D-dimer adalah 500 ng/ml. Kadar nilai D-dimer yang lebih

tinggi dari nilai normal rujukan menunjukkan adanya produk degradasi fibrin

dalam kadar tinggi. Jika dijumpai konsentrasi yang sangat tinggi > 5000 ng/ml

Universitas Sumatera Utara


dari sampel maka dilakukan pengenceran dengan saline solution perbandingan

1:4 (Coatron, 2014)

Pemantapan Kualitas D-dimer

Pemantapan kualitas dilakukan setiap kali pada saat awal dilakukan

pemeriksaan untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan yaang dikerjakan.

Sebelum dilakukan pemeriksaan harus dilakukan kalibrasi terhadap alat-alat yang

digunakan, agar penentuan konsentrasi zat yang belum diketahui dapat seakurat

mungkin.

Gambar 3.2 Grafik Kalibrasi D-dimer

3.8 Analisa Data

Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package

for Social Sciences, Chicago, IL, USA) untuk Windows. Uji statistik yang

Universitas Sumatera Utara


digunakan adalah uji Repeated Anova untuk data berdistribusi normal dan uji

Friedman untuk data berdistribusi tidak normal, sedangkan untuk menilai

hubungan perubahan hemostasis terhadap skor sofa digunakan uji korelasi

Pearson untuk data berdistribusi normal dan uji korelasi spearman’s rho untuk

data berdistribusi tidak normal. Analisis dilakukan pada interval kepercayaan 95%

dengan nilai P <0.05 dianggap signifikan.

3.9 Identifikasi Variabel

Variabel bebas

 Sepsis

Variabel Tergantung

 Prothrombin Time (PT)

 Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT)

 Thrombin Time(TT)

 Fibrinogen

 D-dimer

 Skor SOFA

3.10 Defenisi Operasional

Sepsis Sepsis adalah Disfungsi organ yang

mengancam jiwa akibat dari disregulasi

respon host terhadap Infeksi. Sepsis

ditentukan dengan adanya peningkatan

dari skor SOFA ≥ 2

Prothrombin Time Pemeriksaan ini digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara


mengukur waktu yang diperlukan untuk

terjadinya bekuan pada plasma yang

ditambahkan Calsium (recalcified

plasma) dengan adanya kosentrasi

tromboplastin yang optimal.

Activated Prothrombin Time Pemeriksaan ini mengukur waktu yang

diperlukan untuk terjadinya bekuan pada

plasma setelah aktivasi faktor kontak

dengan penambahan fosfolipid dan

CaCl2, tanpa penambahan tromboplastin

Thrombin Time Pemeriksaan ini mengukur waktu yang

diperlukan untuk terjadinya bekuan pada

plasma setelah ditambahkan reagem

thrombin pada suhu 37ºC.

Fibrinogen Salah satu protein yang disintesis oleh

hati yang merupakan reaktan fase akut

berbentuk globulin beta. Protein ini

berguna untuk membantu proses

hemostasis dengan menstimulasi

pembentukan trombus.

D-dimer Produk degradasi fibrin, sebuah fragmen

protein kecil yang ditemukan pada darah

setelah bekuan darah mengalami

Universitas Sumatera Utara


fibrinolisis sehingga sering digunakan

sebagai marker adanya trombosis.

Konsentrasi D-dimer dalam plasma sitrat,

yang diukur dengan menggunakan

Coatron A4, dengan metoda latex

agglutination, prinsip

immunoturbidimetri dan menggunakan

reagen Reaction Buffer dan Mikropartikel

Latex . Satuan untuk kadar D-dimer

plasma adalah ng/ml.

Skor SOFA Adalah suatu skor yang digunakan untuk

menilai fungsi ataupun kegagaln suatu

organ pasien yang dirawat di ICU. Sistem

penilaian skor sofa meliputi 6 penilaian

sistem organ, yaitu sistem pernafasan,

kardiovaskuler, hepatik, koagulasi, fungsi

ginjal dan sistem saraf.

Universitas Sumatera Utara


3.11 Kerangka Operasional

Intensive Care Unit RSUP H. Adam Malik Medan

Pasien Sepsis
Kriteria Kriteria
Inklusi Eksklusi

PT
APTT Skor SOFA
TT Hari
Fibrinogen Sepsis Hari Pertama Pertama
D-Dimer

PT
APTT
TT Skor SOFA
Sepsis Hari Kedua
Fibrinogen Hari Kedua
D-Dimer

PT
APTT
Sepsis Hari Ketiga Skor SOFA
TT
Hari Ketiga
Fibrinogen
D-dimer
Analisa Data

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP H.

Adam Malik Medan bekerjasama dengan Departemen Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini melibatkan 24

pasien dengan diagnosa sepsis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan

terdapat 2 pasien yang mengalami drop out karena meninggal sebelum

pemeriksaan hari ke-3 (tiga). Terhadap sampel penelitian dilakukan pemeriksaan

PT, APTT, TT, Fibrinogen, D-dimer, dan beberapa parameter untuk perhitungan

skor SOFA. Data yang dikumpulkan disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 4.1. Karakteristik Umum Pasien Sepsis

Variabel Nilai (n=24)

Umur (Median Ranges) 53 (18 - 65 )

Jenis Kelamin

Pria 13 (54.2 %)

Wanita 11 (45.8 %)

Suku

Batak 16 (66.7 %)

Jawa 5 (20.8 %)

Padang 1 (4.2 %)

Melayu 1 (4.2 %)

Karo 1 (4.2 %)

Universitas Sumatera Utara


Pada tabel 4.1 menunjukkan karakteristik subjek penelitian berupa umur,

jenis kelamin, dan suku. Nilai tengah umur penderita sepsis adalah 53 tahun,

dengan usia paling tua adalah 65 tahun dan usia paling muda adalah 18 tahun.

Pada penelitian ini penderita sepsis berjumlah 24 orang yaitu 13 orang laki laki

(54.2 %), 11 orang perempuan (45.8 %). Pada penelitian ini didapati 16 orang

bersuku Batak (66.7 %), 5 orang bersuku Jawa (20.8 %), 1 orang bersuku Padang

(4.2 %), 1 orang bersuku Melayu (4.2 %), dan 1 orang bersuku Karo (4.2%).

Tabel 4.2 Rerata Nilai Prothrombin Time (PT)

Prothrombin Time

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga P

Mean ± SD* 20,68 ± 22,59 22,30 ± 22,36 21,18 ± 22,69 0,03**

* Uji Repeated Anova


** Signifikan Nilai-P < 0.05
Pada tabel 4.2 di atas dapat dilihat rerata PR dengan nilai mean ± SD hari pertama

adalah 20,68 ± 22,59, hari kedua 22,30 ± 22,36 dan hari ketiga 21,18 ± 22,69,

dengan nilai berdistribusi normal maka peneliti memakai Uji Repeated Anova dan

didapatkan nilai p = 0,03 artinya terdapat perbedaan bermakna dari PT hari

pertama, kedua, dan ketiga.

Tabel 4.3 Rerata Nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)

Activated Partial Thromboplastin Time

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga P


Median
27,9 (18,7-45,5) 31,1 (19,8-42,0) 27,1 (20,1-37,5) 0,76
(Ranges)*

* Uji Friedman
** Signifikan Nilai-P < 0.05

Universitas Sumatera Utara


Pada tabel 4.3 di atas rerata nilai APTT dengan nilai Median ranges hari pertama

adalah 27,9 (18,7-45,5), hari kedua 31,1 (19,8-42,0) dan hari ketiga adalah 27,1

(20,1-37,5), dengan nilai berdistribusi tidak normal maka peneliti memakai Uji

Friedman dan didapatkan nilai p = 0,76 artinya tidak terdapat perbedaan

bermakna dari nilai APTT pada hari pertama, kedua dan ketiga.

Tabel 4.4 Rerata Nilai Rerata Nilai Thrombin Time (TT)

Thrombin Time

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga P


Median
14,8 (9,6-25,2) 17,0 (13,5-27,6) 17,5 (12,4-28,1) 0,96
(Ranges)*

* Uji Friedman
** Signifikan Nilai-P < 0.05
Pada tabel 4.4 di atas rerata nilai TT dengan nilai median ranges hari pertama

adalah 14,8 (9,6-25,2), hari kedua 17,0 (13,5-27,6) dan hari ketiga adalah 17,5

(12,4-28,1), dengan nilai berdistribusi tidak normal maka peneliti memakai Uji

Friedman dan didapatkan nilai p = 0,96 artinya tidak terdapat perbedaan

bermakna dari nilai TT pada hari pertama, kedua dan ketiga.

Tabel 4.5 Rerata Nilai Fibrinogen

Fibrinogen

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga P


Median
426 (135-900) 351 (234-900) 330 (118-900) 0,74
(Ranges)*

* Uji Friedman
** Signifikan Nilai-P < 0.05
Pada tabel 4.5 di atas rerata kadar fibrinogen dengan nilai median ranges hari

pertama adalah 426 (135-900), hari kedua 351 (234-900) dan hari ketiga adalah

Universitas Sumatera Utara


330 (118-900), dengan nilai berdistribusi tidak normal maka peneliti memakai Uji

Friedman dan didapatkan nilai p = 0,74 artinya tidak terdapat perbedaan

bermakna dari kadar fibrinogen pada hari pertama dan ketiga.

Tabel 4.6 Rerata Kadar D-Dimer

D-Dimer

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga P


Median
1473 (89-5911) 1484 (100-5812) 1320 (119-4598) 0,10
(Ranges)*

* Uji Friedman
** Signifikan Nilai-P < 0.05
Pada tabel 4.6 di atas dapat dilihat rerata kadar D-dimer dengan nilai median

ranges hari pertama adalah 1473 (89-5911), hari kedua 1484 (100-5812) dan hari

ketiga 1320 (119-4598), dengan nilai berdistribusi tidak normal maka peneliti

memakai Uji Friedman dan didapatkan nilai p = 0,10 artinya tidak terdapat

perbedaan bermakna dari kadar D-dimer pada hari pertama, kedua, dan ketiga.

Tabel 4.7 Rerata Nilai Skor SOFA

Skor SOFA

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga P

Mean±SD* 5,04±2,53 4,38±2,68 4,29±3,26 0,60

* Uji Anova
**Signifikan Nilai-P < 0.05

Pada table 4.7 di atas dapat dilihat rerata nilai skor SOFA pada hari pertama,

kedua, dan ketiga. Dengan nilai berdistribusi normal, maka digunakan Uji

Universitas Sumatera Utara


Anova dan didapatkan nilai p = 0,60, artinya tidak terdapat perbedaan bermakna

pada nilai skor SOFA hari pertama, kedua, dan ketiga.

Tabel 4.8 Hubungan antara Prothrombin Time (PT) dengan Skor SOFA

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga

PT 20,68 ± 22,59 22,30 ± 22,36 21,18 ± 22,69

SOFA 5,04±2,53 4,38±2,68 4,29±3,26

r 0,41* 0,56* 0,46*

P 0,608 0,961 0,607

* Uji Pearson
** Signifikan Nilai-P < 0.05

Tabel 4.8 menunjukkan hubungan antara PT dengan skor SOFA. Data

berdistribusi normal, sehingga menggunakan analisa korelasi pearson. Tabel

tersebut menunjukkan hubungan antara PT hari pertama dibandingkan dengan

skor SOFA hari pertama, hasilnya berkorelasi positif namun tidak bermakna (p =

0,608). PT hari kedua jika dibandingkan dengan skor SOFA hari kedua, hasilnya

berkorelasi positif namun tidak bermakna (p = 0,961). PT hari ketiga jika

dibandingkan dengan skor SOFA hari ketiga, hasilnya berkorelasi positif namun

tidak bermakna (p = 0,607).

Tabel 4.9 Hubungan antara APTT dengan Skor SOFA

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga

APTT 27,9 (18,7-45,5) 31,1 (19,8-42,0) 27,1 (20,1-37,5)

SOFA 5,04±2,53 4,38±2,68 4,29±3,26

Universitas Sumatera Utara


r 0,38* -0,76* -0,25*

P 0,60 0,72 0,23

* Uji Spearman’s rho


** Signifikan Nilai-P < 0.05
Tabel 4.9 menunjukkan hubungan antara APTT dengan skor SOFA. Data

berdistribusi tidak normal, sehingga menggunakan analisa korelasi spearman’s

rho. Tabel tersebut menunjukkan hubungan antara APTT hari pertama

dibandingkan dengan skor SOFA hari pertama, hasilnya berkorelasi positif namun

tidak bermakna (p = 0,60). APTT hari kedua jika dibandingkan dengan skor

SOFA hari kedua, hasilnya berkorelasi negatif namun tidak bermakna (p = 0,72).

APTT hari ketiga jika dibandingkan dengan skor SOFA hari ketiga, hasilnya

berkorelasi negatif namun tidak bermakna (p = 0,23).

Tabel 4.10 Hubungan antara Thrombin Time (TT) dengan Skor SOFA

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga

TT 14,8 (9,6-25,2) 17,0 (13,5-27,6) 17,5 (12,4-28,1)

SOFA 5,04±2,53 4,38±2,68 4,29±3,26

r -0,23* -0,21* 0,12*

P 0,27 0,30 0,95

* Uji Pearson
** Signifikan Nilai-P < 0.05
Tabel 4.10 menunjukkan hubungan antara TT dengan skor SOFA. Data

berdistribusi normal, sehingga menggunakan analisa korelasi pearson. Tabel

tersebut menunjukkan hubungan antara TT hari pertama dibandingkan dengan

skor SOFA hari pertama, hasilnya berkorelasi negatif namun tidak bermakna (p =

Universitas Sumatera Utara


0,27). TT hari kedua jika dibandingkan dengan skor SOFA hari kedua, hasilnya

berkorelasi negatif namun tidak bermakna (p = 0,309). TT hari ketiga jika

dibandingkan dengan skor SOFA hari ketiga, hasilnya berkorelasi positif namun

tidak bermakna (p = 0,95).

Tabel 4.11 Hubungan antara Fibrinogen dengan Skor SOFA

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga

Fibrinogen 426 (135-900) 351 (234-900) 330 (118-900)

SOFA 5,04±2,53 4,38±2,68 4,29±3,26

r -0,28* -0,20* -0,27*

P 0,17 0,32 0,18

* Uji Pearson
** Signifikan Nilai-P < 0.05

Tabel 4.11 menunjukkan hubungan antara fibrinogen dengan skor SOFA.

Data berdistribusi normal, sehingga menggunakan analisa korelasi pearson. Tabel

tersebut menunjukkan hubungan antara fibrinogen hari pertama dibandingkan

dengan skor SOFA hari pertama, hasilnya berkorelasi negatif namun tidak

bermakna (p = 0,17). Fibrinogen hari kedua jika dibandingkan dengan skor SOFA

hari kedua, hasilnya berkorelasi negatif namun tidak bermakna (p = 0,32).

Fibrinogen hari ketiga jika dibandingkan dengan skor SOFA hari ketiga, hasilnya

berkorelasi negatif namun tidak bermakna (p = 0,18).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.12 Hubungan antara D-Dimer dengan Skor SOFA

Hari Pertama Hari Kedua Hari Ketiga

D-dimer 1473 (89-5911) 1484 (100-5812) 1320 (119-4598)

SOFA 5,04±2,53 4,38±2,68 4,29±3,26

r 0,41* 0,56* 0,46*

P 0,04** 0,004** 0,02**

* Uji Pearson
** Signifikan Nilai-P < 0.05
Pada tabel 4.11 menunjukkan hubungan antara D-dimer dengan skor SOFA.

Data berdistribusi normal, sehingga menggunakan analisa korelasi pearson. Tabel

tersebut menunjukkan hubungan antara D-dimer hari pertama dibandingkan

dengan skor SOFA hari pertama, hasilnya menunjukkan korelasi positif yang

bermakna (p = 0,04), yang artinya bila kadar D-dimer hari pertama meningkat

maka akan terjadi peningkatan juga pada skor SOFA hari pertama. Kadar D-dimer

hari kedua jika dibandingkan dengan skor SOFA hari kedua, menujukkan korelasi

yang positif dan bermakna (p = 0,004), yang artinya jika terjadi peningkatan kadar

D-dimer hari kedua, maka akan terjadi juga peningkatan pada skor SOFA hari

kedua. Kadar D-dimer hari ketiga jika dibandingkan dengan skor SOFA hari

ketiga, menujukkan korelasi yang positif dan bermakna (p = 0,02), yang artinya

jika terjadi peningkatan kadar D-dimer hari ketiga, maka akan terjadi juga

peningkatan pada skor SOFA hari ketiga.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di RSUP. H. Adam Malik Medan, dari bulan Juni

2018 – Agustus 2018. Proses pengumpulan sampel dilakukan dengan mengambil

sampel pasien dari intensive care unit. Pada penelitian ini penderita sepsis

berjumlah 24 orang yaitu 13 orang laki laki (54.2 %), 11 orang perempuan (45.8

%). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yessica Putri, dkk pada tahun 2014,

didapati bahwa jenis kelamin secara statistik memiliki hubungan bermakna

dengan kejadian sepsis (p < 0,05), dimana pasien dewasa dengan jenis kelamin

laki-laki lebih berisiko 2,562 kali menderita sepsis dibandingkan dengan pasien

dewasa yang berjenis kelamin perempuan (Yessica Putri, 2014). Hal ini sesuai

dengan penelitian Melamed A, dkk yang menyatakan bahwa perempuan kurang

mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengn sepsis

dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras/etnis (Melamed, 2009) Pada

penelitian Angele MK, dkk mengindikasikan bahwa female sex steroid

menghasilkan zat-zat yang bersifat imunoprotektif apabila terjadi trauma atau

perdarahan (Yessica Putri, 2014, Angele MK 2006). Rerata umur penderita sepsis

adalah 48 tahun, dengan usia paling tua adalah 65 tahun dan usia paling muda

adalah 18 tahun. Dari seluruh populasi sampel yang diteliti, penderita sepsis yang

berusia tua berjumlah 17 orang. Dimana angka kejadian sepsis lebih banyak

terjadi pada usia tua (> 40 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi terkini dari

Amerika utara menemukan bahwa sekitar 3 kasus sepsis per 1000 populasi, yang

Universitas Sumatera Utara


diartikan kedalam sebuah perkiraan angka tahunan sekitar 700.000 – 750.000

kasus per tahun, dimana insidens sepsis tersebut disebabkan oleh populasi yang

menua, peningkatan pasien usia lanjut dengan penyakit kronis. Angka kematian

keseluruhan sekitar 30%, dan 40% diataranya meningkat pada usia tua. Angka

kematian keseluruhan sekitar 30%, dan 40% diataranya meningkat pada usia tua.

Pada penelitian yang telah dilakukan di RSUP dr. Kariadi didapatkan data sebaran

umur pasien dengan sepsis rata-rata berusia 49,29 tahun dengan standar deviasi

±17.399, dan sebaran umur pasien (Yessica Puteri, 2014, Kazuhiro, 2004)). Pada

penelitian ini didapati 16 orang bersuku Batak (66.7 %), 5 orang bersuku Jawa

(20.8 %), 1 orang bersuku Padang (4.2 %), 1 orang bersuku Melayu (4.2 %), dan

1 orang bersuku Karo (4.2%).

Telah lama dikenal oleh para peneliti bahwa sepsis berhubungan erat

dengan terjadinya gangguan pembekuan darah. Beberapa kasus sepsis yang telah

memasuki tahap lanjut terlihat pada fase-fase timbulnya tendesi terjadinya

perdarahan. Telah banyak penelitian yang dilaporkan tentang kejadian kekacauan

sistem pembekuan masih terus dipelajari dan diperdebatkan (Suliarni, 2003)

Suliarni, pada penelitiannya tahun 2002, menunjukkan bahwa ternyata

jalur ekstrinsik sangat berperan dalam terjadinya gangguan sistem pembekuan

pada sepsis. Dan yang paling banyak dilaporkan memainkan peran yang penting

adalah tissue factor. Dari penelitian yang dilakukan oleh Suliarni, dalam

membandingkan kadar prothrombin time pada pasien sepsis dibandingkan dengan

pasien normal, menujukkan perbedaan yang bermakna, dimana terdapat

pemanjangan dari prothrombin time pada pasien sepsis bila dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara


pasien normal (Suliarni, 2002). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang telah

peneliti lakukan, dimana terdapat perubahan prothrombin time pada pasien sepsis

bila dihitung pada hari pertama, kedua, dan ketiga, dan bila dibandingkan dengan

nilai normal maka telah terjadi pemanjangan pada prothrombin time pasien sepsis

tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa faktor jaringan

merupakan aktivator koagulasi awal melalui jalur ekstrinsik, aktivator utama

terpenting dalam aptogeneis sepsis. Aktivator koagulasi jalur ekstrinsik dapat

diketahui dengan pemeriksaan PT (Fenny, 2011).

Penelitian yang mendalam akhir-akhir ini menujukan bahwa ternyata jalur

intrinsik tidak memegang peran yang terlalu dominan, akan tetapi yang sangat

berperan dalam terjadinya gangguan sistem pembekuan pada sepsis adalah jalur

entrinsik. Pemeriksaan TT mengukur tahap akhir jalur bersama, yaitu perubahan

fibrinogen menjadi fibrin (Suliarni, 2013). Pada penelitian ini didapatkan bahwa

tidak adanya peningkatan yang signifikan dari kadar fibrinogen pada hari pertama,

kedua dan ketiga saat terjadinya sepsis, walaupun jika dibandingkan dengan nilai

rujukan normal, telah terjadi peningkatan kadar fibrinogen pada pasien-pasien

sepsis yang diteliti saat ini. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa

kadar fibrinogen dapat meningkat pada awal sepsis karena sifat fibrinogen sebagai

reaktan fase akut dilepaskan pada saat terjadi infeksi dan kadarnya masih tetap

meningkat dalam waktu yang lama (Mammen, 1998).

Pada penelitian ini didapatkan bahwa tidak adanya perbedaan yang

signifikan antara D-dimer hari pertama, kedua dan ketiga pada pasien sepsis

walaupun memang jika dibandingkan dengan nilai normal, pada pasien-pasien

Universitas Sumatera Utara


sepsis yang diteliti ini memang telah mengalami kenaikan. Hal ini sesuai dengan

teori yang menyatakan bahwa kadar D-dimer meningkat pada sebagian besar

penderita sepsis yang disebabkan karena pada awal sepsis terjadi aktivasi

koagulasi yang akan segera diikuti dengan aktivasi fibrinolisis. Pada proses

fibrinolisis, cross-linked fibrin akan dipecah oleh plasmin menghasilkan D-dimer

sehingga kadar D-dimer akan meningkat dalam sirkulasi (Yu M, 2000)

Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya yang dilakukan oleh Yessy

dkk di RSUD Dr. Soetoemo Surabaya tahun 2016, diketahui bahwa kadar D-

dimer dapat digunakan sebagai prediktor untuk terjadinya gangguan fungsi organ

pada pasien-pasien sepsis. Terdapat korelasi positif yang bermakna (r = 0,580, p =

0,01) antara d-dimer dengan skor sofa (Yessy, 2016). D-dimer meningkat secara

bermakna sesuai dengan tingkat keparahan sepsis. Sebelumnya Philip dkk pada

tahun 2010 menggunakan kadar D-dimer pada 100 pasien sepsis untuk

mengevaluasi pasien mana yang akan memiliki skor sofa yang lebih besar dari 3

(tiga) saat 48 jam pertama dengan sesitivitas 93% (95% CI 72-99) dan spesifisitas

15% (95% CI 12-16), didapatkan (Goebel, 2010). Hal yang sama seperti dengan

hasil penelitian ini dimana kadar d-dimer memiliki korelasi positif dan bermakna

jika dihubungkan dengan skor SOFA, baik pada skor SOFA hari pertama maupun

skor SOFA hari kedua.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prothrombin time (PT) meningkat

secara signifikan pada hari pertama, kedua dan ketiga sepsis.

2. Tidak adanya perubahan yang signifikan dari activated partial thromboplastin

time, thrombin time dan peningkatan kadar dari fibrinogen dan D-dimer pada

hari pertama, kedua, dan ketiga sepsis, walaupun jika merujuk pada nilai

normal, sesungguhnya memang telah terjadi pemanjangan/ peningkatan dari

parameter-parameter tersebut.

3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap PT, APTT, TT dan

Fibrinogen jika dihubungkan dengan skor SOFA, baik pada hari pertama,

kedua dan ketiga.

4. D-dimer dapat digunakan sebagai prediktor severity dari sepsis selama hari

pertama sampai ketiga, tetapi hasil maksimal adalah pada hari kedua.

B. SARAN

1. Rentang waktu yang lebih lama dapat dilakukan untuk penelitian lebih lanjut,

sehingga diharapkan perubahan hemostasis dapat lebih terlihat. Penelitian ini

diharapkan bermanfaat untuk membantu klinisi dalam memberikan terapi

dan mencegah komplikasi disfungsi organ pada pasien-pasien sepsis.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Angus Derek C, Tom Van Der Poll. Severe sepsis and Septic Shock. the New

England Journal of Medicine. 2013;369:840-51.

Annane Djillali, Bellissant Eric, Cavaillon Jean-Marc. Septic shock. [book auth.]

The Lancet. The Lancet. s.l. : The Lancet, 2005, p. 365.

André Meregalli, Roselaine P Oliveira, and Gilberto Friedman. Occult

hypoperfusion is associated with increased mortality. [book auth.] Crit Care.

Crit Care. s.l. : Crit Care, 2004, pp. 8(2): R60–R65.

Angele MK, Frantz MC, Chaudry IH. Gender and Sex Hormones Influence the

Response to Trauma and Sepsis – Potetial Therapeutic Approaches. Clinics

vol.61 no.5 São Paulo Oct. 2006. Available from:

http://www.scielo.br/scielo.php?pid=s1807-

59322006000500017&script=sci_arttext&tlng=en

Ates , S., Oksuz, H., Birsen, D., et al., 2015. Can mean platelet volume and mean

platelet volume/platelet count ratio be used as a diagnostic marker for sepsis

and systematic inflammatory response syndrome? Saudi Medical Journal,

36(10): 1186–1190.

Blow O, Magliore L, Claridge JA, Butler K, Young JS. The golden hour and the

silver day: detection and correction of occult hypoperfusion within 24 hours

improves outcome from major trauma. [book auth.] J Trauma. J Trauma. s.l. :

J Trauma, 1999 Nov, pp. 47(5):964-9.

Universitas Sumatera Utara


Cawcutt, K.A. dan Peters, S.G., 2014. Severe Sepsis and Septic Shock: Clinical

Overview and Update on Management. Mayo Clinic Proceedings.

89(11):1572-1578.

Center for Disease Control and Prevention. Sepsis. National Center of Hospital

Statistics. Agustus 2016

Chelb et al. Serum Lactate is an independent predictor of hospital mortality in

critically ill patients in the emergency departemen: a retrospective study.

Journal of Trauma, Resusitation, and Emergency Medicine. 2017 (25):69

Coatron.2009. TEChrom Protein C. Germany: TECO GmbH

Coatron.2009. TEChrom Protein S. Germany: TECO GmbH

Coatron. 2014. Operation Manual. Germany; TECO GmbH

Cox, D., Kerrigan, S.W. dan Watson, S.P., 2011. Platelets and the innate immune

system: mechanisms of bacterial-induced platelet activation. Journal of

Thrombosis and Haemostasis, 9(6):1097-1107.

Danai PA, Moss M, Mannino DM, et al. The epidemiology of sepsis in patients

with malignancy. [book auth.] Chest. Chest . s.l. : Chest , 2006, pp.

129:1432-1440.

Dean E. Schraufnagel, MD. sepsis. Breathing in America:Diseases, Progress,and

Hope. USA : the American Thoracic Society, 2010, p. 227.

Delabranche, X. Imunohemostasis: A New View of Hemostasis During Sepsis.

2017, available in https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5712298/.

Universitas Sumatera Utara


Fenny, dkk. Prothrombin Time, Activated Partial Thromboplastin Time,

Fibrinogen, D-dimer Sebagai Prediktor Decompesated Disseminated

Intravascular Coagulation Disseminated Pada Sepsis. Bandung: Bagian

Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2011.

Dellinger, R.P., Levy, M.M., Rhodes, A., et al., 2013. Surviving Sepsis

Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and

Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine, 41(2):580-637.

Gando S, Iba T, Eguchi Y, Ohtomo Y, Okamoto K, Koseki K, et al. A

multicenter, prospective validation of disseminated intravascular

coagulation diagnostic criteria for critically ill patients: Comparing current

criteria. Crit Care Med. 2006;34(3):625-31

Goebel J Philip, Williams Justin B, Gerhardt Robert T. A Pilot Study of The

Performance Characteristics of The D-Dimer in Presumed Sepsis. Tersedia

di: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2908653/. 2010

(diunduh 29 September 2018)

Green DR, Kroemer G. The Pathophysiology of mitochondrial cell death. [book

auth.] Science. Science. s.l. : Science, 2004, pp. 305: 626-629.

Guntur HA. 2008. Sirs, Sepsis dan Syok Septik. Imunologi, Diagnosis dan

Penatalaksanaan. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Hershey TB, Kahn JM. State sepsis mandates—a new era for regulation of

hospital quality. N Engl J Med. June 2015

Universitas Sumatera Utara


Hubert, R.M.E., Rodrigues, M.V., Andreguetto, B.D., et al., 2015. Association of

the Immature Platelet Fraction with Sepsis Diagnosis and Severity.

Scientific Reports.

JA., Russel. Management of sepsis. [book auth.] N Engl. J. Med. N Engl. J. Med.

s.l. : N Engl. J. Med., 2006, pp. 1699-713., 355.

Jonathan M. Siner, MD. Sepsis: Definitions, Epidemiology, Etiology and

Pathogenesis. [book auth.] Chest. Chest. s.l. : Chest, 2009.

J.Rello, M.I.Restrpo. Sepsis : New Strategies for Management. [book auth.]

Springer. Springer. Berlin : Springer, 2008, pp. p : 1-2.

Jury, C., Nagai, Y. dan Tatsumi, N., 2011. Collection and handling of blood. In

Dacie and Lewis Practical Haematology. 11th ed. London: Churchill

Livingstone, 1-9

Khafaji A.H. et al. Multiple Organ dysfunction syndrome in sepsis. Medscape.

April 12, 2018

Laszlo, I., Trasy, D., Molnar, Z., et al., 2015. Sepsis: From Pathophysiology to

Individualized Patient Care. Journal of Immunology Research.Leli, C.,

Ferranti, M., Moretti, A., et al., 2015. Procalcitonin Levels in Gram-

Positive,

Lemeshow, S. and Lwanga, S.K., 1991. Sample Size Determination in Health

Studies. WHO. Geneva

Gram-Negative, and Fungal Bloodstream Infections. Hindawi Journal, 1-8.

Universitas Sumatera Utara


Leverve XM, Mustafa I. Lactate : a key metabolite in the intracellular metabolic

interplay. . [book auth.] Crit Care. Crit Care. s.l. : Crit Care, 2002, pp. 6:284-

5.

Luchette FA, Friend LA, Brown CC, Up Uturi RK, James JH. Increased skeletal

muscle Na+, K+, ATPase activity as a cause of increased lactate production

after hemorrargic shock. . [book auth.] J Trauma. J Trauma. s.l. : J Trauma,

1998, pp. 44: 796-801.

Mammen EF. The Haematological Manifestations of Sepsis. JAC. 1998;41

Suppl:A17-24

Mc. Pherson, et al. The epidemiology of sepsis in the United Kingdom. 2013

[book auth.] N Engl J Med. N Engl J Med. s.l. : N Engl J Med, 2003, pp.

348:1546-1554.

Medical Record RSUP Haji Adam Malik, 2001 – 2003

Melamed A, Sorvillo FJ. The Burden of Sepsis-aAssociated Mortality in the

United States From 1999 to 2005: an analysis of multiple-cause-of-death

data. Crit Care 2009, 13:R28

Meszaros K, Lang CH, Bagby GJ, Spitzer JJ. Contribution of different organs to

increased glucose consumption after endotoxin administration. [book auth.] J.

Biol. Chem. s.l. : J. Biol. Chem , 1987, pp. 262: 10965-70.

MS., Dahlan.Penelitian Diagnostik : Dasar-dasar Teoritis dan Aplikasi dengan

Program SPSS dan Stata. Jakarta : Salemba Medika, 2009.

Universitas Sumatera Utara


National Institute of General medical sciences. Sepsis. Tersedia dari:

https://www.nigms.nih.gov/Education/pages/factsheet_sepsis.aspx. 2018

(diunduh 1 April 2018)

Pinheiro Fabiano da Silva, Nizet Victor. Cell death during sepsis : Integration of

disintegration in the inflammatory response to overwhelming infection.

Apoptosis 2009 ; 14 : 509-59.

Putri Yessica, dkk. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa di RSUP Dr

Kariadi. Semarang: Jurnal Media Medika Muda Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro. 2014

Rhodes, A., Evans, L.A., Alhazzani, W., et al., 2016. Surviving Sepsis Campaign:

International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock:

2016. Intensive Care Medicine, 43:304–377.

Rivers E. et.al Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and

septic shock. [book auth.] N Engl J Med. N Engl J Med . s.l. : N Engl J Med ,

2001, pp. 345:1368-77.

Saracco, P., Vitale, P., Scolfaro, C., et al., 2011. The coagulopathy in sepsis:

significance and implications for treatment. Pediatric Reports, 3(4).

Singer, SSC. Tersedia di:

https://www.aacn.org/docs/EventPlanning/WB0037/comparison-of-ssc-

guidelines-ou3ymbvj.pdf. 2016 (diunduh 1 April 2018).

Suliarni. Aktivitas Faktor VII Pada Sepsis. Medan: USU Digital Library; 2003.

Sysmex Corporation., 2014. Automated Hematology Analyzer XN series (XN-

1000) Instructions for Use. Kobe: Sysmex Corporation

Universitas Sumatera Utara


Suliarni. Aktivitas Faktor VII Pada Sepsis di Rumah Sakit Hj. Adamalik Medan.

Majalah Kedokteran Klinik. 2002.

Venkata, , Kashyap, R., Farmer, J., et al. 2013. Thrombocytopenia in adult

patients with sepsis: incidence, risk factors, and its association with

clinical outcome. Journal of Intensive.

Yessy, dkk. Analisis Kadar D-Dimer Untuk Derajat Keparahan Berdasarkan Skor

APACHE II dan SOFA Pada Penderita Sepsis. Surabaya: Perpustakaan

Universitas Airlangga. Tersedia di:

http://repository.unair.ac.id/55496/1/ABSTRAK.pdf. 2016 (diunduh 9

September 2018)

Yu M, Jonge E, Poll TV. Screening Test of Disseminated Intravascular

Coagulation: Guidelines for Rapid And Specific Laboratory Diagnosis.

Crit Care Med. 2000:28:1777-80

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari Yth

Saya dr. Sarah saat ini sedang menjalani pendidikan Strata (S) 2 di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan saat ini sedang melakukan

penelitian yang berjudul: PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG TERJADI

PADA PASIEN SEPSIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN SKOR SOFA

DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kadar pada

parameter – parameter hemostasis pada pasien – pasien sepsis. Penelitian ini

dilakukan terhadap Bapak/Ibu dengan cara mengamati kadar PT, aPTT, TT,

Fibrinogem dan D-dimer. Saya akan mencatat identitas anak Bapak/Ibu, nomor

rekam medis, nama, umur, jenis kelamin, riwayat mengkonsumsi obat-obatan dan

alamat atau data lain yang diperlukan.Penelitian ini dilakukan dengan mengambil

darah Bapak/Ibu, yang dilakukan oleh seseorang yang ahli dibidangnya (saya dan

dibantu oleh analis), sehingga resiko yang mungkin timbul saat pengambilan

darah akan sangat kecil.

Penelitian ini tidak menimbulkan hal-hal yang berbahaya atau efek

samping bagi Bapak/Ibu sekalian. Namun bila terjadi hal-hal yang berbahaya/efek

samping selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan yang

dilakukan selama penelitian ini, saya akan bertanggung jawab untuk memberikan

Universitas Sumatera Utara


pertolongan/ biaya/ pengobatan/ membantu mengatasi masalah/ efek samping

tersebut.

Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam penelitian ini adalah sukarela. Bila

keterangan yang saya berikan masih belum jelas atau ada hal-hal yang belum

jelas, Bapak /Ibu dapat langsung bertanya kepada saya.

Kerahasiaan data Bapak/Ibu akan tetap saya jaga. Setelah Bapak/Ibu

memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Bapak/Ibu

yang telah terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar

persetujuan penelitian yang telah disediakan. Atas bantuan dan kerjasama

Bapak/Ibu, saya ucapkan terimakasih.

Nama : dr.Sarah Hanna

HP : 081285002729

Medan, 2018

Peneliti

(dr. Sarah Hanna)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 2

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Bapak/Ibu..................................................
Umur :....................................................................
Jenis Kelamin :....................................................................
Alamat :....................................................................
No. Telepon :....................................................................
Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dan resiko
penelitian yang berjudul “PERUBAHAN HEMOSTASIS YANG TERJADI
PADA PASIEN SEPSIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN SKOR SOFA DI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT H. ADAM MALIK MEDAN” dan
memahami bahwa subyek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat
mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, maka dengan ini saya secara sadar
dan tanpa paksaan setuju agar anak saya ikut serta dalam penelitian ini dan
bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang telah disepakati.

Medan,……………………2018
Mengetahui Yang Menyatakan
Penanggung Jawab Penelitian Peserta Uji Klinik

(dr.Sarah Hanna) (Nama Jelas:…………………)

Saksi Orang Tua/Wali Peserta Uji Klinik

(Nama Jelas:...........................) (Nama Jelas…………………….)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3
STATUS PASIEN
Data Pribadi
Nama :..........................................................................................
Umur : .......................tahun MR:................................................
Alamat :..........................................................................................
Suku Bangsa :.................................................................................
Pekerjaan :...............................................................................
Anamnesa
Keluhan Utama :.............................................................................
........................................................................................................
........................................................................................................
........................................................................................................
RPT :...............................................................................
RPO :...............................................................................
Vital Sign+Skor SOFA
No Jenis Pemeriksaan 0 jam 24 jam 48 jam
1 Kesadaran/ GCS
2 Tekanan Darah
3 Heart Rate
4 Respiratory Rate
5 Suhu
6 PaO2
7 FiO2
8 PaO2/FiO2
9 Trombosit
10 Bilirubin Total
11 Kreatinin
12 MAP/Vasopresor
13 Total Skor SOFA

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


No Jenis Sepsis 0 jam Sepsis < 24 jam Sepsis 48 jam
Pemeriksaan
1 PT
2 APTT
3 TT
4 Fibrinogem
5 D dimer

Universitas Sumatera Utara


General Linear Model
PT 0, PT 1, PT 2
Within-Subjects Factors
Measure:MEASURE_1
pengukur Dependent
an Variable
1 PT_H0
2 PT_H1
3 PT_H2

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


PT_H0 20.6875 22.59600 24
PT_H1 22.3000 22.36531 24
PT_H2 21.1833 22.69406 24

b
Multivariate Tests
Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
a
pengukuran Pillai's Trace .256 3.777 2.000 22.000 .039
a
Wilks' Lambda .744 3.777 2.000 22.000 .039
a
Hotelling's Trace .343 3.777 2.000 22.000 .039
a
Roy's Largest Root .343 3.777 2.000 22.000 .039
a. Exact statistic
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

b
Mauchly's Test of Sphericity
Measure:MEASURE_1
a
Epsilon
Within Subjects Approx. Chi- Greenhouse-
Effect Mauchly's W Square df Sig. Geisser Huynh-Feldt Lower-bound
pengukuran .754 6.204 2 .045 .803 .854 .500
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent
variables is proportional to an identity matrix.
a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests are
displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

Universitas Sumatera Utara


Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
pengukuran Sphericity Assumed 32.744 2 16.372 2.949 .062
Greenhouse-Geisser 32.744 1.605 20.395 2.949 .075
Huynh-Feldt 32.744 1.708 19.176 2.949 .072
Lower-bound 32.744 1.000 32.744 2.949 .099
Error(pengukuran) Sphericity Assumed 255.363 46 5.551
Greenhouse-Geisser 255.363 36.926 6.916
Huynh-Feldt 255.363 39.273 6.502
Lower-bound 255.363 23.000 11.103

Tests of Within-Subjects Contrasts


Measure:MEASURE_1
Type III Sum of
Source pengukuran Squares df Mean Square F Sig.
pengukuran Linear 2.950 1 2.950 .734 .401
Quadratic 29.793 1 29.793 4.207 .052
Error(pengukuran) Linear 92.475 23 4.021
Quadratic 162.888 23 7.082

Tests of Between-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Intercept 32943.167 1 32943.167 21.749 .000
Error 34838.197 23 1514.704

Universitas Sumatera Utara


Estimated Marginal Means
pengukuran

Estimates
Measure:MEASURE_1
95% Confidence Interval
pengukur
an Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 20.688 4.612 11.146 30.229
2 22.300 4.565 12.856 31.744
3 21.183 4.632 11.600 30.766

Pairwise Comparisons
Measure:MEASURE_1
a
(I) (J) 95% Confidence Interval for Difference
pengukur pengukur Mean Difference (I-
a
an an J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
*
1 2 -1.613 .601 .040 -3.165 -.060
3 -.496 .579 1.000 -1.990 .999
*
2 1 1.613 .601 .040 .060 3.165
3 1.117 .832 .577 -1.030 3.264
3 1 .496 .579 1.000 -.999 1.990
2 -1.117 .832 .577 -3.264 1.030
Based on estimated marginal means
*. The mean difference is significant at the ,05 level.
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Multivariate Tests

Value F Hypothesis df Error df Sig.


a
Pillai's trace .256 3.777 2.000 22.000 .039
a
Wilks' lambda .744 3.777 2.000 22.000 .039
a
Hotelling's trace .343 3.777 2.000 22.000 .039
a
Roy's largest root .343 3.777 2.000 22.000 .039
Each F tests the multivariate effect of pengukuran. These tests are based on the linearly
independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
a. Exact statistic

Universitas Sumatera Utara


General Linear Model
APTT 0-2

Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:45:43
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid
data for all variables in the model.
Syntax GLM APTT_H0 APTT_H1 APTT_H2
/WSFACTOR=pengukuran 3 Polynomial
/METHOD=SSTYPE(3)
/SAVE=ZRESID
/EMMEANS=TABLES(pengukuran)
COMPARE ADJ(BONFERRONI)
/PRINT=DESCRIPTIVE
/CRITERIA=ALPHA(.05)
/WSDESIGN=pengukuran.

Resources Processor Time 0:00:00.031


Elapsed Time 0:00:00.311
Variables Created or ZRE_4 Standardized Residual for APTT_H0
Modified ZRE_5 Standardized Residual for APTT_H1
ZRE_6 Standardized Residual for APTT_H2

Within-Subjects Factors
Measure:MEASURE_1
pengukur Dependent
an Variable
1 APTT_H0
2 APTT_H1
3 APTT_H2

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


APTT_H0 29.8833 7.13885 24
APTT_H1 30.5417 7.18736 24
APTT_H2 27.9875 5.68463 24

Universitas Sumatera Utara


b
Multivariate Tests
Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
a
pengukuran Pillai's Trace .202 2.777 2.000 22.000 .084
a
Wilks' Lambda .798 2.777 2.000 22.000 .084
a
Hotelling's Trace .252 2.777 2.000 22.000 .084
a
Roy's Largest Root .252 2.777 2.000 22.000 .084
a. Exact statistic
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

b
Mauchly's Test of Sphericity
Measure:MEASURE_1
a
Epsilon
Within Subjects Approx. Chi- Greenhouse- Huynh- Lower-
Effect Mauchly's W Square df Sig. Geisser Feldt bound
pengukuran .905 2.188 2 .335 .914 .988 .500
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed
dependent variables is proportional to an identity matrix.
a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected
tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

Tests of Within-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Type III Sum Mean
Source of Squares df Square F Sig.
pengukuran Sphericity Assumed 84.411 2 42.205 2.010 .146
Greenhouse-Geisser 84.411 1.827 46.200 2.010 .150
Huynh-Feldt 84.411 1.977 42.706 2.010 .146
Lower-bound 84.411 1.000 84.411 2.010 .170
Error(pengukuran) Sphericity Assumed 966.003 46 21.000
Greenhouse-Geisser 966.003 42.023 22.988
Huynh-Feldt 966.003 45.461 21.249
Lower-bound 966.003 23.000 42.000

Universitas Sumatera Utara


Tests of Within-Subjects Contrasts
Measure:MEASURE_1
Type III Sum of
Source pengukuran Squares df Mean Square F Sig.
pengukuran Linear 43.130 1 43.130 2.067 .164
Quadratic 41.281 1 41.281 1.953 .176
Error(pengukuran) Linear 479.885 23 20.865
Quadratic 486.118 23 21.136

Tests of Between-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Intercept 62534.161 1 62534.161 672.871 .000
Error 2137.535 23 92.936

Universitas Sumatera Utara


Estimated Marginal Means
APTT 0-2

pengukuran

Estimates
Measure:MEASURE_1
95% Confidence Interval
Penguku
ran Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 29.883 1.457 26.869 32.898
2 30.542 1.467 27.507 33.577
3 27.987 1.160 25.587 30.388

Pairwise Comparisons
Measure:MEASURE_1
a
95% Confidence Interval for Difference
(I) (J) Mean Difference
a
pengukuran pengukuran (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -.658 1.491 1.000 -4.507 3.190
3 1.896 1.319 .492 -1.509 5.300
2 1 .658 1.491 1.000 -3.190 4.507
3 2.554 1.136 .103 -.378 5.486
3 1 -1.896 1.319 .492 -5.300 1.509
2 -2.554 1.136 .103 -5.486 .378
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Multivariate Tests

Value F Hypothesis df Error df Sig.


a
Pillai's trace .202 2.777 2.000 22.000 .084
a
Wilks' lambda .798 2.777 2.000 22.000 .084
a
Hotelling's trace .252 2.777 2.000 22.000 .084
a
Roy's largest root .252 2.777 2.000 22.000 .084
Each F tests the multivariate effect of pengukuran. These tests are based on the linearly
independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
a. Exact statistic

Universitas Sumatera Utara


General Linear Model
TT 0 - 2

Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:46:01
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid
data for all variables in the model.
Syntax GLM TT_H0 TT_H1 TT_H2
/WSFACTOR=pengukuran 3 Polynomial
/METHOD=SSTYPE(3)
/SAVE=ZRESID
/EMMEANS=TABLES(pengukuran)
COMPARE ADJ(BONFERRONI)
/PRINT=DESCRIPTIVE
/CRITERIA=ALPHA(.05)
/WSDESIGN=pengukuran.

Resources Processor Time 0:00:00.047


Elapsed Time 0:00:00.062
Variables Created or ZRE_7 Standardized Residual for TT_H0
Modified ZRE_8 Standardized Residual for TT_H1
ZRE_9 Standardized Residual for TT_H2

Within-Subjects Factors
Measure:MEASURE_1
pengukur Dependent
an Variable
1 TT_H0
2 TT_H1
3 TT_H2

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


TT_H0 16.8875 4.40181 24
TT_H1 18.2625 4.89976 24
TT_H2 17.6417 4.52653 24

Universitas Sumatera Utara


b
Multivariate Tests
Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
a
pengukuran Pillai's Trace .126 1.582 2.000 22.000 .228
a
Wilks' Lambda .874 1.582 2.000 22.000 .228
a
Hotelling's Trace .144 1.582 2.000 22.000 .228
a
Roy's Largest Root .144 1.582 2.000 22.000 .228
a. Exact statistic
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

b
Mauchly's Test of Sphericity
Measure:MEASURE_1
a
Epsilon
Within Subjects Approx. Chi- Greenhouse- Huynh- Lower-
Effect Mauchly's W Square df Sig. Geisser Feldt bound
pengukuran .924 1.730 2 .421 .930 1.000 .500
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent
variables is proportional to an identity matrix.
a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests are
displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

Tests of Within-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
pengukuran Sphericity Assumed 22.759 2 11.379 1.214 .306
Greenhouse-Geisser 22.759 1.859 12.240 1.214 .305
Huynh-Feldt 22.759 2.000 11.379 1.214 .306
Lower-bound 22.759 1.000 22.759 1.214 .282
Error(pengukuran) Sphericity Assumed 431.335 46 9.377
Greenhouse-Geisser 431.335 42.766 10.086
Huynh-Feldt 431.335 46.000 9.377
Lower-bound 431.335 23.000 18.754

Universitas Sumatera Utara


Tests of Within-Subjects Contrasts
Measure:MEASURE_1
Type III Sum of Mean
Source pengukuran Squares df Square F Sig.
pengukuran Linear 6.825 1 6.825 .613 .442
Quadratic 15.933 1 15.933 2.089 .162
Error(pengukuran) Linear 255.930 23 11.127
Quadratic 175.405 23 7.626
tests of Between-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Intercept 22295.681 1 22295.681 494.148 .000
Error 1037.746 23 45.119

Universitas Sumatera Utara


Estimated Marginal Means

Estimates
Measure:MEASURE_1
95% Confidence Interval
pengukur
an Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 16.888 .899 15.029 18.746
2 18.263 1.000 16.194 20.331
3 17.642 .924 15.730 19.553

Pairwise Comparisons
Measure:MEASURE_1
a
95% Confidence Interval for Difference
(I) (J) Mean Difference
a
pengukuran pengukuran (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -1.375 .756 .246 -3.327 .577
3 -.754 .963 1.000 -3.241 1.732
2 1 1.375 .756 .246 -.577 3.327
3 .621 .919 1.000 -1.753 2.994
3 1 .754 .963 1.000 -1.732 3.241
2 -.621 .919 1.000 -2.994 1.753
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Multivariate Tests

Value F Hypothesis df Error df Sig.


a
Pillai's trace .126 1.582 2.000 22.000 .228
a
Wilks' lambda .874 1.582 2.000 22.000 .228
a
Hotelling's trace .144 1.582 2.000 22.000 .228
a
Roy's largest root .144 1.582 2.000 22.000 .228
Each F tests the multivariate effect of pengukuran. These tests are based on the linearly
independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
a. Exact statistic

Universitas Sumatera Utara


General Linear Model
FIBRINOGEN 0-2

Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:46:23
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid
data for all variables in the model.
Syntax GLM FIBRINOGEN_H0 FIBRINOGEN_H1
FIBRINOGEN_H2
/WSFACTOR=pengukuran 3 Polynomial
/METHOD=SSTYPE(3)
/SAVE=ZRESID
/EMMEANS=TABLES(pengukuran)
COMPARE ADJ(BONFERRONI)
/PRINT=DESCRIPTIVE
/CRITERIA=ALPHA(.05)
/WSDESIGN=pengukuran.

Resources Processor Time 0:00:00.078


Elapsed Time 0:00:00.125
Variables Created or ZRE_10 Standardized Residual for FIBRINOGEN_H0
Modified ZRE_11 Standardized Residual for FIBRINOGEN_H1
ZRE_12 Standardized Residual for FIBRINOGEN_H2
Within-Subjects Factors
Measure:MEASURE_1
pengukur Dependent
an Variable
1 FIBRINOGEN_H0
2 FIBRINOGEN_H1
3 FIBRINOGEN_H2

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


FIBRINOGEN_H0 464.6667 209.81704 24
FIBRINOGEN_H1 468.5000 239.11994 24
FIBRINOGEN_H2 423.2500 204.25160 24

Universitas Sumatera Utara


b
Multivariate Tests
Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
a
pengukuran Pillai's Trace .074 .880 2.000 22.000 .429
a
Wilks' Lambda .926 .880 2.000 22.000 .429
a
Hotelling's Trace .080 .880 2.000 22.000 .429
a
Roy's Largest Root .080 .880 2.000 22.000 .429
a. Exact statistic
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

b
Mauchly's Test of Sphericity
Measure:MEASURE_1
a
Epsilon
Within Subjects Mauchly's Approx. Chi- Greenhous Huynh-
Effect W Square df Sig. e-Geisser Feldt Lower-bound
pengukuran .936 1.449 2 .485 .940 1.000 .500
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed dependent
variables is proportional to an identity matrix.
a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected tests
are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

Tests of Within-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Type III Sum of Mean
Source Squares df Square F Sig.
pengukuran Sphericity Assumed 30220.778 2 15110.389 .845 .436
Greenhouse-Geisser 30220.778 1.880 16073.466 .845 .430
Huynh-Feldt 30220.778 2.000 15110.389 .845 .436
Lower-bound 30220.778 1.000 30220.778 .845 .367
Error(pengukuran) Sphericity Assumed 822180.556 46 17873.490
Greenhouse-Geisser 822180.556 43.244 19012.677
Huynh-Feldt 822180.556 46.000 17873.490
Lower-bound 822180.556 23.000 35746.981

Universitas Sumatera Utara


Tests of Within-Subjects Contrasts
Measure:MEASURE_1
Type III Sum of
Source pengukuran Squares df Mean Square F Sig.
pengukuran Linear 20584.083 1 20584.083 .938 .343
Quadratic 9636.694 1 9636.694 .698 .412
Error(pengukuran) Linear 504789.917 23 21947.388
Quadratic 317390.639 23 13799.593

Tests of Between-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Intercept 1.472E7 1 1.472E7 137.338 .000
Error 2464985.278 23 107173.273

Universitas Sumatera Utara


Estimated Marginal Means
pengukuran
Estimates
Measure:MEASURE_1
95% Confidence Interval
pengukur
an Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 464.667 42.829 376.069 553.265
2 468.500 48.810 367.529 569.471
3 423.250 41.693 337.002 509.498

Pairwise Comparisons
Measure:MEASURE_1
a
(I) (J) 95% Confidence Interval for Difference
pengukur pengukur Mean Difference (I-
a
an an J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -3.833 38.207 1.000 -102.483 94.817
3 41.417 42.766 1.000 -69.006 151.840
2 1 3.833 38.207 1.000 -94.817 102.483
3 45.250 34.347 .602 -43.433 133.933
3 1 -41.417 42.766 1.000 -151.840 69.006
2 -45.250 34.347 .602 -133.933 43.433
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Multivariate Tests

Value F Hypothesis df Error df Sig.


a
Pillai's trace .074 .880 2.000 22.000 .429
a
Wilks' lambda .926 .880 2.000 22.000 .429
a
Hotelling's trace .080 .880 2.000 22.000 .429
a
Roy's largest root .080 .880 2.000 22.000 .429
Each F tests the multivariate effect of pengukuran. These tests are based on the linearly
independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
a. Exact statistic

Universitas Sumatera Utara


General Linear Model
DDIMER 0-2

Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:46:44
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics are based on all cases with valid
data for all variables in the model.
Syntax GLM DDIMER_H0 DDIMER_H1
DDIMER_H2
/WSFACTOR=pengukuran 3 Polynomial
/METHOD=SSTYPE(3)
/SAVE=ZRESID
/EMMEANS=TABLES(pengukuran)
COMPARE ADJ(BONFERRONI)
/PRINT=DESCRIPTIVE
/CRITERIA=ALPHA(.05)
/WSDESIGN=pengukuran.

Resources Processor Time 0:00:00.031


Elapsed Time 0:00:00.079
Variables Created or ZRE_13 Standardized Residual for DDIMER_H0
Modified ZRE_14 Standardized Residual for DDIMER_H1
ZRE_15 Standardized Residual for DDIMER_H2

[DataSet1] D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav

Within-Subjects Factors
Measure:MEASURE_1
pengukur Dependent
an Variable
1 DDIMER_H0
2 DDIMER_H1
3 DDIMER_H2

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


DDIMER_H0 1731.4583 1671.48848 24
DDIMER_H1 2037.9583 1719.46732 24
DDIMER_H2 1965.2083 1636.55537 24

Universitas Sumatera Utara


b
Multivariate Tests
Effect Value F Hypothesis df Error df Sig.
a
pengukuran Pillai's Trace .152 1.975 2.000 22.000 .163
a
Wilks' Lambda .848 1.975 2.000 22.000 .163
a
Hotelling's Trace .180 1.975 2.000 22.000 .163
a
Roy's Largest Root .180 1.975 2.000 22.000 .163
a. Exact statistic
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

b
Mauchly's Test of Sphericity
Measure:MEASURE_1
a
Epsilon
Within Subjects Approx. Chi- Greenhouse- Huynh-
Effect Mauchly's W Square df Sig. Geisser Feldt Lower-bound
pengukuran .534 13.788 2 .001 .682 .711 .500
Tests the null hypothesis that the error covariance matrix of the orthonormalized transformed
dependent variables is proportional to an identity matrix.
a. May be used to adjust the degrees of freedom for the averaged tests of significance. Corrected
tests are displayed in the Tests of Within-Subjects Effects table.
b. Design: Intercept
Within Subjects Design: pengukuran

Tests of Within-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Type III Sum of Mean
Source Squares df Square F Sig.
pengukuran Sphericity Assumed 1230991.000 2 615495.500 1.967 .151
Greenhouse-Geisser 1230991.000 1.365 902103.798 1.967 .167
Huynh-Feldt 1230991.000 1.421 866117.741 1.967 .166
Lower-bound 1230991.000 1.000 1230991.000 1.967 .174
Error(pengukuran) Sphericity Assumed 1.439E7 46 312851.036
Greenhouse-Geisser 1.439E7 31.385 458531.554
Huynh-Feldt 1.439E7 32.689 440240.153
Lower-bound 1.439E7 23.000 625702.072

Universitas Sumatera Utara


Tests of Within-Subjects Contrasts
Measure:MEASURE_1
Type III Sum of
Source pengukuran Squares df Mean Square F Sig.
pengukuran Linear 655668.750 1 655668.750 1.352 .257
Quadratic 575322.250 1 575322.250 4.084 .055
Error(pengukuran) Linear 1.115E7 23 484847.054
Quadratic 3239665.417 23 140855.018

Tests of Between-Subjects Effects


Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Type III Sum of
Source Squares df Mean Square F Sig.
Intercept 2.631E8 1 2.631E8 33.716 .000
Error 1.795E8 23 7803053.009

Universitas Sumatera Utara


Estimated Marginal Means

Pengukuran

Estimates
Measure:MEASURE_1
95% Confidence Interval
pengukur
an Mean Std. Error Lower Bound Upper Bound
1 1731.458 341.191 1025.651 2437.266
2 2037.958 350.985 1311.891 2764.026
3 1965.208 334.060 1274.152 2656.265
Pairwise Comparisons
Measure:MEASURE_1
a
(I) (J) 95% Confidence Interval for Difference
pengukur pengukur Mean Difference (I-
a
an an J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 2 -306.500 167.426 .240 -738.796 125.796
3 -233.750 201.007 .770 -752.754 285.254
2 1 306.500 167.426 .240 -125.796 738.796
3 72.750 98.881 1.000 -182.563 328.063
3 1 233.750 201.007 .770 -285.254 752.754
2 -72.750 98.881 1.000 -328.063 182.563
Based on estimated marginal means
a. Adjustment for multiple comparisons: Bonferroni.

Multivariate Tests

Value F Hypothesis df Error df Sig.


a
Pillai's trace .152 1.975 2.000 22.000 .163
a
Wilks' lambda .848 1.975 2.000 22.000 .163
a
Hotelling's trace .180 1.975 2.000 22.000 .163
a
Roy's largest root .180 1.975 2.000 22.000 .163
Each F tests the multivariate effect of pengukuran. These tests are based on the linearly
independent pairwise comparisons among the estimated marginal means.
a. Exact statistic

Universitas Sumatera Utara


NPar Tests
Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:52:00
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Value Cases Used Statistics for all tests are based on cases with no
Handling missing data for any variables used.
Syntax NPAR TESTS
/FRIEDMAN=PT_H0 PT_H1 PT_H2
/STATISTICS DESCRIPTIVES QUARTILES
/MISSING LISTWISE.

Resources Processor Time 0:00:00.031


Elapsed Time 0:00:00.031
a
Number of Cases Allowed 98304
a. Based on availability of workspace memory.

Descriptive Statistics

Percentiles

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th


PT_H0 24 20.687 22.59600 12.50 120.00 13.300 14.3000 17.1000
5 0
PT_H1 24 22.300 22.36531 12.00 120.00 15.025 15.7500 18.3750
0 0
PT_H2 24 21.183 22.69406 11.50 120.00 13.500 15.2500 18.2750
3 0

Friedman Test
Ranks

Mean Rank
PT_H0 1.58
PT_H1 2.21
PT_H2 2.21

a
Test Statistics
N 24
Chi-Square 6.522
df 2
Asymp. Sig. .038
a. Friedman Test

Universitas Sumatera Utara


NPar Tests
Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:53:44
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Handling Cases Used Statistics for all tests are based on cases with no
missing data for any variables used.
Syntax NPAR TESTS
/FRIEDMAN=APTT_H0 APTT_H1 APTT_H2
/STATISTICS DESCRIPTIVES QUARTILES
/MISSING LISTWISE.

Resources Processor Time 0:00:00.000


Elapsed Time 0:00:00.000
a
Number of Cases Allowed 98304
a. Based on availability of workspace memory.

Descriptive Statistics

Percentiles
Std.
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
APTT_H0 24 29.8833 7.13885 18.70 45.50 25.6250 27.9000 31.5000
APTT_H1 24 30.5417 7.18736 19.80 42.00 22.5000 31.1000 35.6000
APTT_H2 24 27.9875 5.68463 20.10 37.50 22.3000 27.1500 32.7500

Friedman Test

Ranks

Mean Rank
APTT_H0 2.10
APTT_H1 2.00
APTT_H2 1.90
a
Test Statistics
N 24
Chi-Square .543
df 2
Asymp. Sig. .762
a. Friedman Test

Universitas Sumatera Utara


NPar Tests

Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:54:03
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Handling Cases Used Statistics for all tests are based on cases with no
missing data for any variables used.
Syntax NPAR TESTS
/FRIEDMAN=TT_H0 TT_H1 TT_H2
/STATISTICS DESCRIPTIVES QUARTILES
/MISSING LISTWISE.

Resources Processor Time 0:00:00.031


Elapsed Time 0:00:00.031
a
Number of Cases Allowed 98304
a. Based on availability of workspace memory.

Descriptive Statistics

Percentiles
Std.
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
TT_H0 24 16.8875 4.40181 9.60 25.20 13.5000 14.8500 20.3750
TT_H1 24 18.2625 4.89976 13.50 27.60 13.6000 17.0000 22.3750
TT_H2 24 17.6417 4.52653 12.40 28.10 14.0000 17.5000 21.1000

Friedman Test
Ranks

Mean Rank
TT_H0 1.98
TT_H1 2.04
TT_H2 1.98

a
Test Statistics
N 24
Chi-Square .067
df 2
Asymp. Sig. .967
a. Friedman Test

Universitas Sumatera Utara


NPar Tests
Notes
Output Created 20-Sep-2018 00:54:25
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Handling Cases Used Statistics for all tests are based on cases with no
missing data for any variables used.
Syntax NPAR TESTS
/FRIEDMAN=FIBRINOGEN_H0 FIBRINOGEN_H1
FIBRINOGEN_H2
/STATISTICS DESCRIPTIVES QUARTILES
/MISSING LISTWISE.

Resources Processor Time 0:00:00.016


Elapsed Time 0:00:00.015
a
Number of Cases Allowed 98304
a. Based on availability of workspace memory.

Descriptive Statistics

Percentiles
Std.
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
FIBRINOGEN_H0 24 464.6667 209.81704 135.00 900.00 321.2500 426.0000 592.2500
FIBRINOGEN_H1 24 468.5000 239.11994 234.00 900.00 289.0000 351.0000 660.7500
FIBRINOGEN_H2 24 423.2500 204.25160 118.00 900.00 300.0000 330.0000 576.0000

Friedman Test
ranks

Mean Rank
FIBRINOGEN_H0 2.06
FIBRINOGEN_H1 2.06
FIBRINOGEN_H2 1.88
a
Test Statistics
N 24
Chi-Square .593
df 2
Asymp. Sig. .743
a. Friedman Test

Universitas Sumatera Utara


NPar Tests
notes
Output Created 20-Sep-2018 00:54:54
Comments
Input Data D:\Sarah, Sp.PK\Master Data - aNOVA.sav
Active Dataset DataSet1
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 72
Missing Value Definition of Missing User-defined missing values are treated as missing.
Handling Cases Used Statistics for all tests are based on cases with no
missing data for any variables used.
Syntax NPAR TESTS
/FRIEDMAN=DDIMER_H0 DDIMER_H1
DDIMER_H2
/STATISTICS DESCRIPTIVES QUARTILES
/MISSING LISTWISE.

Resources Processor Time 0:00:00.016


Elapsed Time 0:00:00.015
a
Number of Cases Allowed 98304
a. Based on availability of workspace memory.

Descriptive Statistics

Percentiles
Std.
N Mean Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
DDIMER_H0 24 1731.4583 1671.48848 89.00 5911.00 324.0000 1473.5000 2150.0000
DDIMER_H1 24 2037.9583 1719.46732 100.00 5812.00 329.7500 1484.5000 3367.0000
DDIMER_H2 24 1965.2083 1636.55537 119.00 4598.00 339.5000 1320.0000 3124.0000
Friedman Test
Ranks

Mean Rank
DDIMER_H0 1.75
DDIMER_H1 2.33
DDIMER_H2 1.92
a
Test Statistics
N 24
Chi-Square 4.426
df 2
Asymp. Sig. .109
a. Friedman Test

Universitas Sumatera Utara


Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Standardized Residual for PT_H0 .445 24 .000 .368 24 .000
Standardized Residual for PT_H1 .387 24 .000 .417 24 .000
Standardized Residual for PT_H2 .446 24 .000 .394 24 .000
Standardized Residual for APTT_H0 .202 24 .012 .906 24 .029
Standardized Residual for APTT_H1 .160 24 .114 .926 24 .078
*
Standardized Residual for APTT_H2 .115 24 .200 .924 24 .073
Standardized Residual for TT_H0 .216 24 .005 .913 24 .041
Standardized Residual for TT_H1 .166 24 .088 .859 24 .003
Standardized Residual for TT_H2 .173 24 .062 .910 24 .035
Standardized Residual for FIBRINOGEN_H0 .183 24 .036 .923 24 .068
Standardized Residual for FIBRINOGEN_H1 .230 24 .002 .794 24 .000
Standardized Residual for FIBRINOGEN_H2 .218 24 .005 .885 24 .011
Standardized Residual for DDIMER_H0 .223 24 .003 .829 24 .001
Standardized Residual for DDIMER_H1 .159 24 .118 .898 24 .019
Standardized Residual for DDIMER_H2 .195 24 .019 .873 24 .006
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai