TESIS MAGISTER
Oleh
PEMBIMBING :
1. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP (K)
2. dr. Andika Sitepu, Sp.JP (K)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik
dalam Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Oleh
TESIS MAGISTER
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini
dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kebaikan yang banyak atas semua jasa dan
budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya
penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Metode : Terdapat 53 pasien yang menjalani bedah pintas koroner di RSUP Haji Adam Malik
mulai Februari hingga Agustus 2018. Pasien dirandomisasi ke dalam dua kelompok untuk
menilai efek statin, yaitu kelompok yang mendapatkan atorvastatin 20 mg/hari (n=26) dan
kelompok yang mendapatkan rosuvastatin 10 mg/hari (n=27). Kejadian FA paska bedah pintas
koroner selama rawatan dinilai dari EKG. Data subyek dikumpulkan dan dilakukan analisa
statistik untuk menilai efek protektif statin terhadap FA paska bedah pintas koroner.
Hasil : Angka kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner adalah 11,3%, dimana tidak
dijumpai perbedaan bermakna antara kelompok atorvastatin dan rosuvastatin (7,7% vs 14,8%; p
= 0,669). Lama rawatan di ICU dan total lama rawatan di rumah sakit lebih panjang pada
kelompok pasien yang mengalami FA paska bedah pintas koroner (82,4 vs 32,2 jam, p=0,027;
10,7 vs 7,5 hari, p=0,003).
Background: Atrial fibrillation (AF) after cardiac surgery is associated with increased risk of
complications, length of stay, and cost of care. Recent studies have demonstrated that statins
have pleiotropic effects, including anti-inflammatory effects and atrial fibrillation (AF)
preventive effects. The objective of this study was to assess the efficacy of preoperative statin
therapy in preventing AF after coronary artery bypass grafting (CABG).
Methods: 53 patients underwent CABG in our hospital from February to August 2018. Patients
were randomized into two groups to examine the influence of statins: those with atorvastatin 20
mg/day during preoperative period (Atorvastatin group, n = 26) and those with rosuvastatin 10
mg/day (Rosuvastatin group, n = 27). Patient data were collected and analyzed to determine the
protective effect of statins on post operative atrial fibrillation.
Conclusion: Our study indicated that atorvastatin had similar protective effect to rosuvastatin in
term of post-operative AF prevention.
Halaman
Lembar Pengesahan ...................................................................................................... i
Lembar Pernyataan Orisinalitas .................................................................................. ii
Ucapan Terima Kasih .................................................................................................. iii
Abstrak..........................................................................................................................vi
Abstract ....................................................................................................................... vii
Daftar Isi .................................................................................................................... viii
Daftar Gambar .............................................................................................................. x
Daftar Tabel ................................................................................................................ xii
Daftar Singkatan dan Lambang................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2. Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 4
1.3. Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 51
LAMPIRAN ................................................................................................................. 59
1. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian ..................................................................... 59
2. Riwayat Hidup Peneliti ............................................................................................ 60
3. Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan ......................................................... 61
SINGKATAN NAMA
cardiac surgery
DM : Diabetes Mellitus
EKG : Elektrokardiografi
FA : Fibrilasi Atrium
IL : Interleukin
Kg : Kilogram
Cardiovascular disease)
NO : Nitric Oxide
TD : Tekanan Darah
LAMBANG
d : presisi
n : Besar Sampel
p : Tingkat Kemaknaan
sen : sensitivitas
β : Beta
κ : Kappa
< : Lebih Kecil
> : Lebih Besar
Zα : Nilai Baku Alpha = 1,96
% : Persentase
S : Simpangan Baku Gabungan
SD : Standar Deviasi
BAB I
PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) saat ini merupakan gangguan irama jantung yang
paling sering dijumpai, yaitu sekitar 1-2% dari populasi umum. Sekitar 2,5 juta
orang di Amerika Serikat mengalami fibrilasi atrium dan angka tersebut semakin
meningkat pada usia tua serta dengan adanya gangguan struktural jantung (Bhave
dkk, 2012). Data dari studi observasional MONICA (Multinational ONItoring of
trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menunjukkan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2.4 Selain itu, akibat peningkatan persentase populasi usia lanjut di
Indonesia dari 7,74% pada tahun 2000-2005 menjadi 28,68% pada tahun 2045-
2050 berdasarkan estimasi WHO, maka angka kejadian FA juga akan meningkat
secara signifikan. Data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu
meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0%
pada tahun 2011, 9,3% pada tahun 2012 dan 9,8% pada tahun 2013 (PERKI,
2014).
Pada kondisi paska pembedahan, baik pembedahan jantung maupun
pembedahan lainnya, fibrilasi atrium juga masih menjadi komplikasi yang paling
sering dijumpai. Insidensi fibrilasi atrium bervariasi antara 10-60% pada populasi
pasien paska bedah jantung (Kuorliourus dkk, 2008; Maesen dkk, 2011). Pada
umumnya fibrilasi atrium terjadi di antara 24 jam dan 96 jam paska bedah, dengan
insiden puncak pada hari kedua dan ketiga paska bedah. Insiden ini tidak
menunjukkan penurunan walaupun dengan perbaikan teknik anestesi dan operasi
(Echahidi dkk, 2008; Maessen dkk, 2011; Maisel dkk, 2001).
Walaupun sebagian kasus bersifat sementara dan dapat ditoleransi dengan
baik, fibrilasi atrium paska bedah dapat mengancam jiwa, khususnya pada pasien
usia lanjut dengan gangguan fungsi ventrikel kiri dan berhubungan dengan
mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Fibrilasi atrium menjadi penyebab
morbiditas pasien paska bedah yang dihubungkan dengan meningkatnya resiko
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tidak adanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi nodus AV yang normal,
FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali
cepat (PERKI, 2014).
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG. Kadang-kadang dapat
terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling sering
pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.
2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil studi The Global Burden of Diseases tahun 2010,
dijumpai peningkatan prevalensi dan insidensi FA di seluruh dunia apabila
dibandingkan dengan studi sebelumnya di tahun 1990. Prevalensi FA di dunia
adalah 596,2 per 100.000 populasi pada laki-laki dan 373,1 per 100.000
perempuan (Chugh dkk, 2014). Studi tersebut juga menunjukkan angka kejadian
FA di wilayah Asia Tenggara adalah 0,6% pada laki-laki dan 0,4% pada
perempuan. (Wong dkk, 2014)
Data dari studi observasional MONICA pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi
28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),5 maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin
pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang
menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat
setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011),
9,3% (2012) dan 9,8% (2013) (PERKI, 2014).
Hampir seluruh episode fibrilasi atrium terjadi pada 6 hari pertama setelah
operasi jantung, dengan insiden tertinggi pada hari kedua dan ketiga paska bedah,
yang merupakan saat terjadinya puncak proses inflamasi sistemik yang
disebabkan proses pembedahan dan peningkatan regangan atrium, yang mungkin
disebabkan peningkatan volume intravascular (Echahidi dkk, 2008; Maessen dkk,
2011).
2.1.3 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama
kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga
≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila
strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten
lama. (PERKI, 2014; Kirchoff dkk, 2016)
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain.
Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA
paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya.
Untuk FA paska bedah sendiri, biasanya termasuk ke dalam FA yang pertama kali
terdiagnosis atau FA paroksismal.
Gambar 2.2: Teori mekanisme fibrilasi atrium. a) Adanya suatu fokus ektopik
yang menimbulkan impuls dan membentuk sirkuit tunggal. b) Fokus ektopik
berasal dari atrium kanan. c) Terdapat gelombang multipel yang membentuk
reentri. (Nattel, 2002)
masa refrakter, massa atrium dan kecepatan konduksi pada berbagai tempat di
atrium.
Seperti halnya FA secara umum, mekanisme fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner juga belum sepenuhnya dimengerti dan bersifat multifaktorial.
Faktor – faktor tersebut meliputi faktor predisposisi (faktor pre-operatif) , faktor
intraoperatif, faktor post-operatif, dan faktor proses akut paska bedah (inflamasi,
stres oksidatif, aktifasi sistem simpatis) yang menyebabkan terbentuknya substrat
atrial, baik struktural maupun elektrofisiologis (Maisel dkk, 2001; Maessen dkk,
2011; Echahidi dkk, 2008). Substrat atrial merupakan perubahan-perubahan
struktural atau elektrofisiologis pada atrium yang menyebabkan terjadinya
fibrilasi atrium. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar
2.3. (Echahidi dkk, 2008)
Inflamasi
Proses inflamasi pada operasi jantung terjadi oleh karena penggunaan
pintas kardiopulmonal, akibat interaksi darah dengan permukaan sirkulasi
ekstrakorporal. Interaksi ini mengaktifkan sitokin-sitokin proinflamasi melalui
jalur alternatif, seperti tumor necrosis factor α (TNF-α), aktivasi sistem
komplemen, C-reactive protein (CRP), Interleukin-2 dan interleukin-6 (Kuo dkk,
2011). Selain reaksi inflamasi sistemik yang diakibatkan oleh penggunaan pintas
kardiopulmonal, insisi pembedahan dapat menyebabkan inflamasi lokal pada
atrium yang dapat menjadi faktor timbulnya fibrilasi atrium paska bedah. Dan
perlu diketahui, bahkan perikardiotomi sendiri (tanpa insisi atrium) dapat
menyebabkan inflamasi pada atrium. Adanya kesamaan waktu antara proses
inflamasi dan timbulnya fibrilasi atrium (hari ke 2 – 3 paska bedah) menunjukkan
terdapatnya hubungan antara proses inflamasi paska bedah dengan terjadinya
fibrilasi atrium.
Beberapa studi eksperimental dan klinik telah dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara kedua proses tersebut. Frustaci dkk, menemukan adanya infiltrat
limfomononuklear pada otot atrium pada pasien dengan fibrilasi atrium. Chen dkk
juga menemukan sel CD45-Positif yang meningkat pada atrium pada pasien
dengan fibrilasi atrium dibandingkan pasien dengan sinus ritme (Maesen dkk,
2011). Page dkk, pada hewan percobaan, menemukan adanya proliferasi dan
aktivasi fibroblas epikardial atrium sebagai respon dari pericarditis. Proses-proses
tersebut menyebabkan perlambatan dan ketidakseragaman konduksi yang dapat
mencetuskan terjadinya fibrilasi atrium. Ishii dkk menemukan adanya hubungan
derajat inflamasi dengan peningkatan heterogenitas konduksi atrium setelah
operasi jantung dan peningkatan insiden dan durasi fibrilasi atrium.
Gambar 2.4. Perjalanan waktu insiden fibrilasi atrium setelah operasi jantung dan
operasi selain jantung (Maesen dkk, 2001). Insiden Fibrilasi atrium meningkat
pada hari ke-2 paska bedah dan menurun menjadi 6% pada hari ke-6. C-reactive
protein, sebagai marker inflamasi, secara mengejutkan juga memiliki perjalanan
waktu yang sama, sehingga mendukung peranan inflamasi dalam mekanisme
terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner.
paska bedah yang sama dialami oleh kedua pasien, tetapi berbeda dengan pasien
pertama, pasien kedua sudah memiliki substrat atrium sebelum pembedahan.
Hasilnya pada pasien kedua terjadi fibrilasi atrium, sementara pasien pertama
tetap sinus ritme.
Gambar 2.5. Perjalanan waktu terbentuknya substrat atrium (Maesen dkk, 2001).
merupakan suatu substrat potensial untuk terjadinya fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner (Maisel dkk, 2001; Maessen dkk, 2011).
Hipertensi
Peningkatan tekanan darah menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi
atrium kiri, gangguan fungsi diastolik dan modifikasi fungsi mekanik atrium,
yang semuanya dapat mencetuskan fibrilasi atrium. Meskipun demikian, pada
beberapa studi, pemberian ACE-I (Angiotensin converting enzyme-inhibitor) atau
ARB (Angiotensin receptor blockers) pre-operatif, yang memiliki efek
antiremodeling, antifibrosis, dan antiinflamasi, tidak terbukti menurunkan insiden
fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner. Bahkan pada beberapa studi,
dilaporkan peningkatan kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner pada
pasien yang menggunakan ACEI atau ARB (Miceli dkk, 2009). Alasan terhadap
peningkatan insiden tersebut adalah prevalensi hipertensi dan hipertrofi ventrikel
kiri yang tinggi pada pasien tersebut.
Obesitas
Obesitas dihubungkan dengan kebutuhan curah jantung yang lebih tinggi,
massa ventrikel kiri yang lebih besar, dan ukuran atrium kiri yang lebih besar.
Faktor ini merupakan predisposisi untuk timbulnya fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner (Zacharias dkk, 2005).
PPOK
PPOK merupakan salah satu faktor resiko terjadinya fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner. Patogenesis fibrilasi atrium pada pasien PPOK masih belum
jelas. Namun hipertensi pulmonal, inflamasi, dilatasi atrium kanan dan ventrikel
kanan, hipoksia dan asidosis mungkin berperan dalam pembentukan substrat
atrium pada pasien tersebut.
Faktor pre-operatif lain yang mendukung timbulnya POAF adalah adanya
substrat FA yang menyertai sebelum tindakan pembedahan dilakukan.
Perkembangan substrat FA meliputi dua cara, yaitu perubahan kanal ion yang
menyebabkan pemendekan dan/atau meningkatkan dispersi refrakter atrium; serta
intervensi tersebut seimbang atau melebihi benefit dari supresi terhadap fibrilasi
atrium paska bedah pintas koroner (Maisel dkk, 2001; Cardona dkk, 2003).
Karena aktivasi sistem simpatis dapat mempermudah terjadinya fibrilasi
atrium paska bedah pintas koroner dan meningkatnya tonus simpatis pada pasien
paska bedah pintas koroner, banyak studi-studi yang meneliti penggunaan agen
beta-blocker untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner. Meta analisis dari 28 studi (4.074 pasien) yang dilakukan oleh Crystal
dkk, menemukan bahwa pencegahan dengan beta-blocker menurunkan insiden
terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner secara signifikan dengan
OR:0,35 (Crystal dkk, 2004).
Amiodaron yang juga memiliki efek negatif terhadap alfa dan beta
adrenergik, yang mungkin dapat menurunkan efek stimulasi simpatis yang
berlebihan pada pasien yang menjalani operasi jantung. Dalam satu studi yang
melibatkan 124 pasien operasi jantung, pemberian amiodaron oral selama 1
minggu sebelum operasi secara signifikan mengurangi insiden terjadinya fibrilasi
atrium setelah operasi, dari 53% pasien yang mendapat plasebo menjadi 25%
pasien yang mendapat terapi (p=0,003). Sebuah meta-analisis terhadap 18 studi
menemukan bahwa amiodaron berhubungan terhadap peningktan resiko
bradikardi dan hipotensi terutama bila diberikan secara intravena, dan digunakan
melebihi dosis 1 g per hari. Penggunaan bersama beta-blocker juga memperkuat
efek samping ini (Fuster dkk, 2006; Kailasam dkk, 2005).
Manfaat pacu atrium dalam mencegah fibrilasi atrium paska bedah jantung
berdasarkan fakta bahwa pacu dapat mencegah dispersi repolarisasi atrium yang
disebabkan oleh bradikardi. Efek profilaksis pacu telah diteliti beberapa studi.
Mata-analisis dari studi-studi tersebut telah konsisten menunjukkan bahwa pacu
atrium secara signifikan mengurangi resiko onset baru fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner. Namun jumlah pasien yang diikutsertakan dalam penelitian
tersebut sedikit dan efek samping terbesar dari penggunaan atrial pacu adalah efek
aritmia yang potensial, yang dapat disebabkan oleh loss of pacing pada
penggunaan pacu temporer. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk
2.3 Statin
Statin bekerja menurunkan kadar kolesterol dengan menghambat kerja
HMGCR di hepatosit. HMGCR merupakan enzim yang membatasi jalur sintesis
kolesterol hepatik dan mengkonversi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A
(HMG-CoA) menjadi asam mevalonat, suatu prekursor dalam jalur biosintesis
kolesterol de novo. Statin berkompetisi secara reversibel dengan substrat endogen
HMG CoA, untuk menduduki bagian aktif dalam reduktase. Statin yang berikatan
dengan bagian aktif dari enzim reduktase akan menimbulkan perubahan bentuk
yang menurunkan fungsi enzim. Statin dengan afinitas tinggi akan berperan
sebagai kompetitor antagonis sehingga mencegah substrat endogen HMG-CoA
yang memiliki afinitas lebih rendah untuk berikatan dengan bagian aktif enzim.
Akibat perubahan bentuk dan inhibisi HMGCR, produksi kolesterol dan
penyimpanan kolesterol dalam hepatosit akan berkurang. Sebagai upaya untuk
mempertahankan homeostasis dan melawan penurunan kolesterol intraseluler,
sejenis protease akan dipicu agar terjadi pembelahan sterol regulatory element-
binding protein (SREBP) dari prekursor dalam retikulum endoplasma. SREBP
yang tidak berikatan akan mengalami translokasi ke dalam nukleus. Di dalam
nukleus, SREBP berikatan dengan elemen regulator sterol (sterol regulatory
element/SRE) yang berada dalam elemen promotor gen yang mengkode LDL-R.
Transkipsi gen LDL-R yang meningkat akan menyebabkan peningkatan ekspresi
mRNA gen LDL-Rdan meningkatakn sintesis protein LDL-R. Protein LDL-R
hepatik akan mengalami proses pematangan dan eksositosis pada permukaan
hepatosit. LDL-C yang bebas akan berikatan dengan LDL-R yang tersintesis
sehingga menyebabkan terjadinya proses endositosis dan dilanjutkan dengan
degradasi lisosom LDL-C dalam hepatosit. Internalisasi LDL-C meningkatkan
kadar kolesterol intraseluler dan mengembalikan kondisi homeostasis LDL-C.
Hasil akhir dari proses tersebut adalah penurunan kadar LDL-C dalam sirkulasi,
seperti yang diuraikan dalam gambar 2.6
Gambar 2.6. Mekanisme kerja statin (Davies dkk, 2016) (A) Statin menurunkan
aktivitas enzim HMG-CoA reduktase. (B) Penurunan kolesterol intraseluler. (C)
Pembelahan dan translokasi sterol regulatory element-binding protein (SREBP).
(D) SREBP mengekspresikan gen LDL-R. (E) Transkipsi dan translasi gen LDL-
R. (F) Peningkatan densitas LDL-R pada permukaan sel. (G) Pengikatan,
endosistosis, dan degradasi LDL. (H) Peningkatan kolesterol intraseluler
dibandingkan kadar awal seluler. (I) Penurunan kadar LDL dalam plasma.
Tabel 2.2. Panduan dalam pencegahan fibrilasi atrium oleh European Society of
Cardiology (Camm dkk, 2010).
X
Statin
Statin pre-operatif
Rosuvastatin 10 mg Atorvastatin 20 mg
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain
Penelitian ini merupakan suatu studi kohort prospektif terhadap pasien
yang menjalani tindakan bedah pintas koroner di Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan.
Keterangan :
n = Besar sampel
Zα = Deviat baku alfa = 1.96
Zβ = Deviat baku beta = 0.84
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya = 0.34
Q2 = 1-P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan keputusan
peneliti
Q1 = 1-P1
P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total = (P1+P2)/2
Q = 1-P
𝑛1 = 𝑛2
2
1.96√2(0.34)(0.66) + 0.84√(0.64)(0.36) + (0.20)(0.66)
=( )
0.3
Alur penelitian
Dilakukan randomisasi
10. Pacu jantung adalah penggunaan pacu jantung permanen single maupun
dual chamber, sebelum dilakukan tindakan pembedahan.
11. Bedah pintas koroner darurat merupakan tindakan pembedahan jantung
bedah pintas koroner non-elektif yang dilakukan segera sesuai indikasi
berdasarkan ESC/EACST Guidelines on Myocardial Revascularization
tahun 2017 (Windecker dkk, 2014; Patel dkk, 2017).
BAB IV
HASIL PENELITIAN
perempuan yaitu sebanyak 3 orang (5,6%). Rerata usia subyek penelitian ini
adalah 54,9 tahun pada kelompok atorvastatin dan 58,7 tahun pada kelompok
rosuvastatin (p=0,066). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata indeks
massa tubuh pada kedua kelompok, yaitu sebesar 27,6 kg/m2 pada kelompok
atorvastatin dan 26,9 kg/m2 pada kelompok rosuvastatin.
keduanya, yaitu 18.394 /µl pada kelompok atorvastatin dan 17.972/µl pada
kelompok rosuvastatin (p=0,704).
≥4 17 (65,4) 13 (48,1)
Laboratorium
Hb <9 (n, %) 4(15,4) 3(11,1) 0,704
4.3 Efek penggunaan statin terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner
Untuk menilai hubungan antara penggunaan atorvastatin dan rosuvastatin
terhadap kejadian fibrilasi atrium dilakukan analisis statistik uji Fisher. Hasil dari
uji statistik tersebut ditampilkan dalam tabel 4.4. Dari total 53 orang subyek
penelitian, terdapat 6 orang (11,3%) yang mengalami fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner. Dari 6 subyek yang mengalami POAF tersebut, sebanyak 4 orang
(66,7%) yang menggunakan rosuvastatin, sedangkan 2 orang (33,3%) lainnya
Tabel 4.4 Uji Fisher antara jenis statin dan kejadian POAF
POAF
Ya Tidak Nilai p
Statin (n,%) 0,669
Atorvastatin 2 (33,3) 24 (51,1)
Rosuvastatin 4 (66,7) 23 (48,9)
Total 6 (11,3) 47 (88,7)
Gambar 4.1 Kurva Kaplan-Meier berdasarkan kejadian bebas POAF dan statin
Hubungan penggunaan statin dan kejadian fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner juga ditunjukkan dalam kurva Kaplan-Meier pada gambar 4.1.
Terlihat bahwa angka bebas POAF selama masa rawatan di rumah sakit lebih
tinggi pada kelompok atorvastatin dibandingkan dengan rosuvastatin, tetapi
perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan nilai p yang diperoleh
sebesar 0,408. Penurunan angka sintasan terutama terjadi pada hari pertama
hingga hari kedua paska pembedahan.
Gambar 4.2 Distribusi waktu kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner.
Kejadian POAF dalam penelitian ini timbul dalam beberapa hari paska
bedah pintas koroner seperti pada gambar 4.2. Rerata waktu timbulnya POAF
adalah pada hari kedua dalam kelompok atorvastatin dan 1,3 pada kelompok
rosuvastatin, dimana tidak didapati adanya perbedaan yang bermakna secara
statistik seperti yang ditampilkan pada tabel 4.5.
25000
22190
20035
20000 18340
17239
Leukosit Post Operatif
15000
Atorvastatin
10000 Rosuvastatin
5000
0
POAF Tanpa POAF
BAB V
PEMBAHASAN
Mekanisme protektif statin terhadap kejadian POAF sampai saat ini belum
diketahui secara rinci. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa statin memiliki
sejumlah efek pleiotropik antara lain sebagai antiinflamasi dan antioksidan,
memodifikasi remodelling matriks ekstraselular, proteksi miokardium dari
iskemia, efek anti-aritmia secara tidak langsung melalui modulasi sistem otonom,
dan secara langsung melalui efek stabilisasi ion pada kanal transmembran (Song
dkk, 2008; Sun dkk, 2010). Peran inflamasi dalam mekanisme POAF dibuktikan
dengan kadar CRP sebagai salah satu penanda inflamasi mengalami peningkatan
yang signifikan pada kelompok yang mengalami POAF (Sun dkk, 2010). Dalam
penelitian ini didapati bahwa nilai leukosit paska pembedahan lebih tinggi pada
kelompok pasien yang mengalami POAF yaitu yaitu 20.035/µl pada kelompok
atorvastatin dan 22.190/µl pada kelompok rosuvastatin (p=0,032). Hal ini turut
mendukung hipotesis bahwa proses inflamasi merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam timbulnya POAF.
Dalam penelitian ini, seluruh kejadian POAF muncul sebelum hari
keempat rawatan paska pembedahan, dimana paling banyak timbul pada rawatan
hari pertama. Hal ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana
umumnya POAF terjadi sebelum hari ke-6 dengan puncak timbulnya POAF
adalah pada hari kedua (Echahidi dkk, 2008).
Dampak yang ditimbulkan oleh POAF adalah meningkatnya morbiditas,
mortalitas serta lama rawatan yang berkaitan dengan biaya rawatan. Dalam
penelitian ini diperoleh hasil bahwa lama rawatan pasien yang mengalami POAF
lebih panjang, baik rawatan di ruang intensif paska bedah ataupun total lama
rawatan di rumah sakit. Rata-rata pasien yang mengalami POAF dirawat selama
82,4 jam di ICU, sedangkan pasien tanpa POAF hanya 32,2 jam (p=0,027) . Total
lama rawatan di rumah sakit pada pasien dengan POAF adalah 10,7 hari,
dibandingkan dengan pasien tanpa POAF yang hanya 7,5 hari (p=0,003). Studi
sebelumnya menunjukkan hal yang sama, dimana pada pasien yang mengalami
POAF akan mengalami penambahan masa rawatan sebanyak 3-4 hari (Aranki
dkk, 1996; Zheng dkk, 2014). Waktu rawatan yang lebih lama juga akan
berdampak pada bertambahnya biaya perawatan.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa:
1. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu tempat dengan jumlah sampel yang
lebih kecil sehingga diharapkan selanjutnya dapat dilakukan penelitian pada
beberapa tempat dengan jumlah sampel lebih banyak agar dapat
meningkatkan reliabilitas hasil penelitian.
2. Dalam penelitian ini pemantauan irama jantung berdasarkan EKG monitor
selama di ruang intensif dan EKG 12 sandapan sehingga masih mungkin
terdapat episode FA yang tidak terdokumentasi. Diharapkan selanjutnya dapat
dilakukan penelitian yang menggunakan Holter 24 jam sehingga dapat
mengidentifikasi kejadian POAF dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aranki SF, Shaw DP, Adams DH, et al. Predictors of atrial fibrillation after
coronary artery surgery. Current trends and impact on hospital
resources. Circulation. 1996;94:390–397
Bhave PD, Goldman LE, Vittinghoff E, et al. Statin use and postoperative
atrial fibrillation after major noncardiac surgery. Heart
Rhythm.2012;2:163-9
Camm AJ, Kirchhof P, Lip GYH, et al. Guidelines for the management of
atrial fibrillation: The Task Force for the Management of Atrial
Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Europace.
2010;12, 1360–1420.
Chew JT, Ong KK. Atrial arrhythmias post coronary bypass grafting.
Singapore Med J. 1993;34:430-4.
Crystal E, Garfinkle MS, Connolly SS, Ginger TT, Sleik K, Yusuf SS.
Interventions for preventing post-operative atrial Fibrillation in
patients undergoing heart surgery. Cochrane Database Syst Rev
2004;CD003611.
Davies JT, Delfino SF, Feinberg CE, et al. Current and Emerging Uses of
Statins in Clinical Therapeutics: A Review. Lipid Insights. 2016;9:13–
29.
Frendl G, Sodickson AC, Chung MK, et al. 2014 AATS Guidelines for the
Prevention and Management of Peri-Operative Atrial Fibrillation and
Flutter (POAF) for Thoracic Surgical Procedures. J Thorac
Cardiovasc Surg. 2014; 148(3): e153–e193
Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical
arrhythmology and electrophysiology: a companion to Braunwald’s
heart disease. 2nd ed. Saunders. 2012;
January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, et al. 2014 AHA/ACC/HRS
guideline for the management of patients with atrial fibrillation: A
Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines and the Heart Rhythm
Society. Circulation 2014;129:3–124
Kailasam R, Palin CA, Hogue CW, et al. Atrial Fibrillation After Cardiac
Surgery: An Evidence-Based Approach to Prevention. Semin
Cardiothorac Vasc Anest. 2005; 9: 77
Liakopoulos OJ, Choi YH, Kuhn EW, et al. Statins for prevention of atrial
fibrillation after cardiac surgery: A systematic literature review. J
Thorac Cardiovasc Surg. 2009;138:678-86
Maisel WH, Rawn JD, Stevenson WG. Atrial fibrillation after cardiac
surgery. Ann Intern Med. 2001;135:1061-73.
Mathew JP, Parks R, Savino JS. Atrial fibrillation following coronary artery
bypass graft surgery: predictors, outcomes, and resource utilization.
MultiCenter Study of Perioperative Ischemia Research Group. JAMA.
1996;276:300-6.
Mithani S, Akbar MS, Johnson DJ, et al. Dose dependent effect of statins on
postoperative atrial fibrillation after cardiac surgery among patients
treated with beta blockers. Journal of Cardiothoracic Surgery. 2009,
4:61
Narayan SM, Cain ME, Smith JM, et al. Atrial Fibrillation. Lancet. 1997;
350: 943–50
PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 1st ed. Jakarta: Centra
Communications. 2014;99.
Shishehbor MH, Brennan ML, Aviles RJ, et al. Statins Promote Potent
Systemic Antioxidant Effects Through Specific Inflammatory
Pathways. Circulation. 2003;108:426-431
Song YB, On YK, Kim JH, et al. The effects of atorvastatin on the
occurrence of postoperative atrial fibrillation after off-pump coronary
artery bypass grafting surgery. Am Heart J .2008;156:373.e9-16.
Tarigan RA, Akbar NA, Siregar AA, et al. Nilai total waktu konduksi
interatrium memprediksi kejadian fibrilasi atrium paska operasi bedah
pintas koroner. 2018.
Turagam MK, Downey FX, Kress DC, et al. Pharmacological strategies for
prevention of postoperative atrial fibrillation. Expert Rev. Clin.
Pharmacol. 2015;8(2), 233–250.
Wang CY, Liu PY, Liao JK, et al. Pleiotropic effects of statin therapy:
molecular mechanisms and clinical results. J Mol Med. 2007;14;37-45
Wong CX, Brown A, Tse HF, et al. Epidemiology of Atrial Fibrillation: The
Australian and Asia-Pacific Perspective. Heart, Lung and Circulation.
2017;1-36.
Zacharias A, Schwann TA, Riordan CJ. Obesity and risk of new-onset atrial
fibrillation after cardiac surgery. Circulation. 2005;112:3247-3255.
Kelompok:
Data Pasien
Nama : BSA :
MR : BMI :
Umur : Tgl. Masuk :
JK : Tgl. Keluar :
BB : Lama Rawatan ICU/RS:
TB : Diagnosa :
EKG Pre-Op
Fx. Risiko/ Ya Tidak Irama :
Riw. P wave dur :
Penyakit PR int :
Diabetes QRS rate :
Mellitus
Hipertensi
Dislipidemia
COPD
CHF
Foto Toraks:
Echo Pre-Op
EF (Simpsons) : IVSD (mm):
LVEDD (mm) : IVSS (mm):
LVESD (mm): LA D (mm):
TAPSE (mm): Ao D (mm):
Durante Op
Tgl Operasi:
Lokasi Graft : Jumlah graft:
EKG Post Op
Irama:
HR:
Onset AF (hari ke-):
Durasi AF (menit):
Terapi:
I. KETERANGAN PERORANGAN
a. Nama Lengkap : dr. Sheila Dhiene Putri
b. NIM : 137115004
c. Tempat/Tanggal Lahir : Palembang/ 28 Oktober 1988
d. Jenis kelamin : Perempuan
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Status Perkawinan : Menikah
h. Tempat Tinggal : Jl. Mesjid Perumahan Taman Kyoto No A9
Medan
i. Email/No.HP : sheiladputri@gmail.com / 082273281028
II. PENDIDIKAN
a. SD Kartika II-5 Persit Bandar Lampung, Tamat tahun 2000.
b. SLTP Negeri 2 Bandar Lampung, Tamat tahun 2003.
c. SMA Negeri 1 Medan, Tamat tahun 2006.
d. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Tamat tahun
2011.
e. PPDS Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara mulai Januari 2014 – hingga saat ini.