Anda di halaman 1dari 81

PERBANDINGAN EFEK PROTEKTIF

ATORVASTATIN DAN ROSUVASTATIN


TERHADAP KEJADIAN FIBRILASI ATRIUM PASKA BEDAH
PINTAS KORONER

TESIS MAGISTER

Oleh

dr. Sheila Dhiene Putri


NIM: 137041106

PEMBIMBING :
1. dr. Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP (K)
2. dr. Andika Sitepu, Sp.JP (K)

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


PERBANDINGAN EFEK PROTEKTIF
ATORVASTATIN DAN ROSUVASTATIN
TERHADAP KEJADIAN FIBRILASI ATRIUM PASKA BEDAH PINTAS
KORONER

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinik
dalam Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

SHEILA DHIENE PUTRI


NIM: 137041106

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

PERBANDINGAN EFEK PROTEKTIF


ATORVASTATIN DAN ROSUVASTATIN
TERHADAP KEJADIAN FIBRILASI ATRIUM
PASKA BEDAH PINTAS KORONER

TESIS MAGISTER

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya
tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain,
kecuali yang digunakan sebagai acuan referensi dan telah disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2018

Sheila Dhiene Putri

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMA KASIH

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah
memberikan berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini
dibuat untuk memenuhi syarat kelulusan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan


terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
2. Prof. dr. Harris Hasan, Sp.PD, SP.JP(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam
Malik Medan dan sekaligus selaku pembimbing I yang telah memberikan penulis
kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, serta dengan penuh
kesabaran telah membimbing, memberikan masukan, kritik serta arahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
3. dr. Cut Aryfa Andra, M.Ked (Cardio), SpJP(K) selaku Sekretaris Departemen Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan saran-saran selama proses
pendidikan.
4. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) selaku Ketua Program Studi
Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Magister
Kedokteran Klinik Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
5. dr. Ali Nafiah Nasution, M.Ked (Cardio), SpJP(K) dan dr. Yuke Sarastri, M.Ked (Cardio),
SpJP selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh

Universitas Sumatera Utara


Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan
yang telah memberikan arahan dan saran yang berharga.
6. dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP(K) sebagai pembimbing satu penulis dalam penyusunan tesis
ini yang telah membimbing dan memberikan saran yang begitu berharga sehingga akhirnya
tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
7. dr. Andika Sitepu, SpJP(K) sebagai pembimbing dua penulis dalam penyusunan tesis ini
yang telah membimbing dan memberikan masukan yang begitu berharga sehingga tesis ini
dapat diselesaikan dengan baik.
8. Guru-guru penulis : Prof.Dr.T.Bahri Anwar, SpJP(K); Prof.Dr.Sutomo Kasiman, SpPD,
SpJP(K); Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SpA(K), SpJP(K); Prof.Dr.Harris Hasan, SpPD,
SpJP(K); Alm. Dr. Maruli T Simanjuntak SpJP(K); Dr.Nora C Hutajulu SpJP(K); DR. Dr.
Zulfikri Mukhtar SpJP(K); Alm Dr.Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP(K); Dr.P.Manik, SpJP(K);
Dr.Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr.Amran Lubis, SpJP(K); Dr.Nizam Akbar, SpJP(K);
Dr.Zainal Safri, SpPD, SpJP; Dr.Andre Ketaren, SpJP(K); Dr.Andika Sitepu SpJP(K);
Dr.Anggia Chairuddin Lubis SpJP; Dr.Ali Nafiah Nasution, SpJP; Dr.Cut Aryfa Andra,
SpJP, Dr. Hilfan Ade Putra Lubis SpJP, Dr. Andi Khairul SpJP, Dr. Abdul Halim Raynaldo
SpJP, Dr. Yuke Sarastri, SpJP, serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingan selama mengikuti program
pendidikan profesi ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan
kesempatan sehingga penulis dapat menjalani Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah.
10. Rekan-rekan sejawat sesama peserta PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah,
FK USU yang tergabung dalam KELAKAR atas dukungan, saran, dan kritik dalam
menyelesaikan tesis ini. Dan terutama kepada dr. Aris, dr. Arief, dr. Zulbahri, dr. Thoriq,
dr. Mirna yang telah banyak membantu dalam pengumpulan data tesis ini.
11. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan sayangi, yaitu Kolonel (Purn) dr. Ahadin
AR, MARS dan Hafni Hasan, SH yang selama ini telah memberikan kasih sayang dan doa
yang tak pernah putus, dukungan baik moril dan materi, serta motivasi dan nasihat dalam
mengikuti pendidikan hingga tesis ini dapat selesai.

Universitas Sumatera Utara


12. Suami tercinta, Farouq Moehammad, SE, untuk segala doa, pengertian, semangat,
dukungan, dan kesabaran selama penulis menjalani proses pendidikan. Jazakallah khairan.
13. Kakak kandung penulis, drg. Getta Prima Putri, Sp.Ort dan dr. Ninong Ade Putri, Sp.OG
yang selalu memberikan doa dan semangat selama pendidikan.
14. Kelima sahabat seperjuangan penulis “The Heavy Garsa”, dr. Mariyetty Kemuning Sari
Nasution, dr. Dicky Yulianda, dr. Herman William P, dr. Akhmad Hidayat, dan dr. Andrico
Napolin L. Tobing yang telah menjadi teman berbagi, belajar, bekerjasama dan membuat
proses pendidikan ini terasa lebih menyenangkan.
15. Rekan-rekan Glowing 2018, dr. Marisa Khairani Hazrina, dr. Rizki Astria, dr. Yusrina
Saragih, dr. Yasmine F Siregar, dan dr. Nenny Sitohang, yang telah banyak membantu dan
memberi masukan serta dukungan selama proses pendidikan.
16. Para perawat dan staf administrasi Pusat Jantung Terpadu RSUPHAM yang telah
membantu penulis selama pendidikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kebaikan yang banyak atas semua jasa dan
budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Akhirnya
penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Juli 2018

Sheila Dhiene Putri

Universitas Sumatera Utara


Abstrak

Latar Belakang: Fibrilasi atrium paska pembedahan jantung berhubungan dengan


meningkatnya resiko komplikasi, lama rawatan, dan biaya perawatan. Beberapa studi
menunjukkan bahwa efek pleiotropik statin berperan sebagai anti-inflamasi dan pencegahan
fibrilasi atrium. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas atorvastatin dan
rosuvastatin dalam mencegah kejadian FA paska bedah pintas koroner.

Metode : Terdapat 53 pasien yang menjalani bedah pintas koroner di RSUP Haji Adam Malik
mulai Februari hingga Agustus 2018. Pasien dirandomisasi ke dalam dua kelompok untuk
menilai efek statin, yaitu kelompok yang mendapatkan atorvastatin 20 mg/hari (n=26) dan
kelompok yang mendapatkan rosuvastatin 10 mg/hari (n=27). Kejadian FA paska bedah pintas
koroner selama rawatan dinilai dari EKG. Data subyek dikumpulkan dan dilakukan analisa
statistik untuk menilai efek protektif statin terhadap FA paska bedah pintas koroner.

Hasil : Angka kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner adalah 11,3%, dimana tidak
dijumpai perbedaan bermakna antara kelompok atorvastatin dan rosuvastatin (7,7% vs 14,8%; p
= 0,669). Lama rawatan di ICU dan total lama rawatan di rumah sakit lebih panjang pada
kelompok pasien yang mengalami FA paska bedah pintas koroner (82,4 vs 32,2 jam, p=0,027;
10,7 vs 7,5 hari, p=0,003).

Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa efek protektif atorvastatin 20 mg/hari


sebanding dengan rosuvastatin 10 mg/hari dalam mencegah kejadian fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner.

Kata Kunci: Statin, fibrilasi atrium post operatif.

Universitas Sumatera Utara


Abstract

Background: Atrial fibrillation (AF) after cardiac surgery is associated with increased risk of
complications, length of stay, and cost of care. Recent studies have demonstrated that statins
have pleiotropic effects, including anti-inflammatory effects and atrial fibrillation (AF)
preventive effects. The objective of this study was to assess the efficacy of preoperative statin
therapy in preventing AF after coronary artery bypass grafting (CABG).

Methods: 53 patients underwent CABG in our hospital from February to August 2018. Patients
were randomized into two groups to examine the influence of statins: those with atorvastatin 20
mg/day during preoperative period (Atorvastatin group, n = 26) and those with rosuvastatin 10
mg/day (Rosuvastatin group, n = 27). Patient data were collected and analyzed to determine the
protective effect of statins on post operative atrial fibrillation.

Results: The primary end-point is postoperative AF with overall incidence of postoperative AF


was 11,3%. Postoperative AF incidence was insignificantly different between atorvastatin and
rosuvastatin group (7,7% vs 14,8%; p = 0,669). The secondary end-points are length of stay in
ICU and total hospital stay. Accordingly, both ICU and hospital length of stay were longer in
the POAF group compared to non POAF group (82,4 hours vs 32,2 hours, p=0,027; 10,7 vs 7,5
days, p=0,003).

Conclusion: Our study indicated that atorvastatin had similar protective effect to rosuvastatin in
term of post-operative AF prevention.

Keywords: Statin, post-operative AF.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
Lembar Pengesahan ...................................................................................................... i
Lembar Pernyataan Orisinalitas .................................................................................. ii
Ucapan Terima Kasih .................................................................................................. iii
Abstrak..........................................................................................................................vi
Abstract ....................................................................................................................... vii
Daftar Isi .................................................................................................................... viii
Daftar Gambar .............................................................................................................. x
Daftar Tabel ................................................................................................................ xii
Daftar Singkatan dan Lambang................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2. Pertanyaan Penelitian .................................................................................... 4
1.3. Hipotesis Penelitian ....................................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4
1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 6


2.1. Fibrilasi Atrium ........................................................................................... 6
2.1.1. Definisi ............................................................................................... 6
2.1.2. Epidemiologi ...................................................................................... 6
2.1.3. Klasifikasi .......................................................................................... 7
2.2. Fibrilasi Atrium Paska Bedah ......................................................................8
2.2.1. Patofisiologi dan Mekanisme FA Paska Bedah.................................... 8
2.2.2. Pencegahan FA Paska Bedah ............................................................ 19
2.3.Statin .......................................................................................................... 21
2.3.1. Efek Penurunan Kadar Kolesterol ..................................................... 24
2.3.2. Efek Pleiotropik ................................................................................ 24
2.3. Penggunaan statin untuk mencegah kejadian FA paska bedah pintas
koroner ...................................................................................................... 25
2.4. Kerangka Teori.......................................................................................... 29
2.5. Kerangka Konsep ...................................................................................... 30

BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 31


3.1. Desain Penelitian ...................................................................................... 31
3.2. Tempat dan Waktu ................................................................................... 31
3.3. Populasi dan Sampel................................................................................. 31
3.4. Besar Sampel............................................................................................ 31
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................... 32
3.5.1. Kriteria inklusi ................................................................................. 32

Universitas Sumatera Utara


3.5.2. Kriteria eksklusi ............................................................................... 32
3.6. Etika penelitian......................................................................................... 32
3.7. Alur Penelitian ......................................................................................... 33
3.8. Definisi Operasional ................................................................................. 34
3.9. Pengolahan dan Analisis Data................................................................... 36
3.10. Rincian Biaya Penelitian ......................................................................... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................................... 37


4.1. Karakteristik Penelitian ........................................................................... 37
4.2. Karakteristik Subyek Penelitian ............................................................... 37
4.3. Efek penggunaan statin terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner ........................................................................................... 41
4.4. Karakteristik fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner berdasarkan
jenis statin ................................................................................................ 43
4.5. Karakteristik penanda inflamasi post operatif ........................................... 44
4.5. Karakteristik lama rawatan berdasarkan kejadian POAF ........................... 44

BAB V PEMBAHASAN .............................................................................................. 46

BAB VI PENUTUP ...................................................................................................... 50


6.1. Kesimpulan .............................................................................................. 50
6.2. Keterbatasan Penelitian dan Saran ............................................................ 50

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 51

LAMPIRAN ................................................................................................................. 59
1. Lembar Kerja Profil Peserta Penelitian ..................................................................... 59
2. Riwayat Hidup Peneliti ............................................................................................ 60
3. Persetujuan Komite Etik Penelitian Kesehatan ......................................................... 61

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1 Mekanisme fibrilasi atrium yang bersifat multifaktorial ....................................... 9
2.2 Teori mekanisme fibrilasi atrium .......................................................................... 10
2.3 Patogenesis fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner ....................................... 11
2.4 Perjalanan waktu insiden FA setelah operasi ........................................................ 13
2.5 Perjalanan waktu terbentuknya substrat atrium ..................................................... 14

2.6 Mekanisme kerja statin ........................................................................................ 20


2.7 Diagram kerangka teori ........................................................................................ 27
2.8 Diagram kerangka konsep .................................................................................... 28
3.1 Diagram alur penelitian ........................................................................................ 32
4.1 Kurva Kaplan-Meier berdasarkan kejadian bebas POAF dan statin. ....................... 42
4.2 Distribusi waktu kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner .................... 43

4.3 Perbandingan jumlah leukosit post operatif ............................................................ 45

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman


2.1 Tabel perbandingan jenis statin ............................................................................ 22
2.2 Tabel Rekomendasi Pencegahan FA Paska Pembedahan ...................................... 24

4.1 Karakteristik Subyek Penelitian Berdasarkan Jenis Statin ..................................... 38


4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan parameter ekokardiografi ................. 40
4.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan parameter perioperatif...................... 41
4.4 Uji Fisher antara jenis statin dan kejadian POAF .................................................. 42
4.5 Karakteristik POAF berdasarkan jenis statin ........................................................ 44
4.6 Lama rawatan berdasarkan kejadian POAF .......................................................... 45

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN NAMA

ADHERE : The Acute Decompensated Heart Failure National


Registry
ACE-I : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

ADHF : Acute Decompensated Heart Failure

AHA : American Heart Association

AHF : Acute Heart Failure

ARB : Angiotensin Receptor Blocker

ARMYDA-3 : Atorvastatin for Reduction of MYocardial Dysrhythmia After

cardiac surgery

CABG : Coronary Artery Bypass

CARE : Cholesterol and Recurrent Events Trial

DM : Diabetes Mellitus

EKG : Elektrokardiografi

ESC : European Society Cardiology

FA : Fibrilasi Atrium

GGK : Gagal Ginjal Kronis

HMGCR : HMG-CoA Reductase

IL : Interleukin

Universitas Sumatera Utara


ICAM : Intercellular Cell Adhesion Molecule

Kg : Kilogram

LDL-C : Low Density Lipoprotein-Cholesterol

LDL-R : Low Density Lipoprotein-Remnant

MONICA : Multinational ONItoring of trend and determinant in

Cardiovascular disease)

mRNA : messenger Ribo Nucleic Acid

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate-oxidase

NO : Nitric Oxide

PAC : Premature Atrial Contraction

PERKI : Perhimpunan Ahli Kardiologi Indonesia

POAF : Post Operative Atrial Fibrillation

PJK : Penyakit Jantung Koroner

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik

ROS : Reactive Oxygen Species

RSHAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik

SERBP : Sterol Regulatory Element-Binding Protein

SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase

SGPT : Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

SVT : Supra Ventricular Tachycardia

TD : Tekanan Darah

Universitas Sumatera Utara


TNF-α : Tumor Necrotizing Factor- α

WHO : World Health Organization

Universitas Sumatera Utara


1

LAMBANG

d : presisi
n : Besar Sampel
p : Tingkat Kemaknaan
sen : sensitivitas
β : Beta

κ : Kappa
< : Lebih Kecil
> : Lebih Besar
Zα : Nilai Baku Alpha = 1,96

% : Persentase
S : Simpangan Baku Gabungan

SD : Standar Deviasi

Universitas Sumatera Utara


2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fibrilasi atrium (FA) saat ini merupakan gangguan irama jantung yang
paling sering dijumpai, yaitu sekitar 1-2% dari populasi umum. Sekitar 2,5 juta
orang di Amerika Serikat mengalami fibrilasi atrium dan angka tersebut semakin
meningkat pada usia tua serta dengan adanya gangguan struktural jantung (Bhave
dkk, 2012). Data dari studi observasional MONICA (Multinational ONItoring of
trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menunjukkan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2.4 Selain itu, akibat peningkatan persentase populasi usia lanjut di
Indonesia dari 7,74% pada tahun 2000-2005 menjadi 28,68% pada tahun 2045-
2050 berdasarkan estimasi WHO, maka angka kejadian FA juga akan meningkat
secara signifikan. Data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu
meningkat setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0%
pada tahun 2011, 9,3% pada tahun 2012 dan 9,8% pada tahun 2013 (PERKI,
2014).
Pada kondisi paska pembedahan, baik pembedahan jantung maupun
pembedahan lainnya, fibrilasi atrium juga masih menjadi komplikasi yang paling
sering dijumpai. Insidensi fibrilasi atrium bervariasi antara 10-60% pada populasi
pasien paska bedah jantung (Kuorliourus dkk, 2008; Maesen dkk, 2011). Pada
umumnya fibrilasi atrium terjadi di antara 24 jam dan 96 jam paska bedah, dengan
insiden puncak pada hari kedua dan ketiga paska bedah. Insiden ini tidak
menunjukkan penurunan walaupun dengan perbaikan teknik anestesi dan operasi
(Echahidi dkk, 2008; Maessen dkk, 2011; Maisel dkk, 2001).
Walaupun sebagian kasus bersifat sementara dan dapat ditoleransi dengan
baik, fibrilasi atrium paska bedah dapat mengancam jiwa, khususnya pada pasien
usia lanjut dengan gangguan fungsi ventrikel kiri dan berhubungan dengan
mortalitas dan morbiditas yang signifikan. Fibrilasi atrium menjadi penyebab
morbiditas pasien paska bedah yang dihubungkan dengan meningkatnya resiko

Universitas Sumatera Utara


3

tromboemboli dan stroke paska bedah, gangguan hemodinamik, infark miokard


peri-operatif, gagal jantung kongesti, gangguan fungsi ginjal, gangguan irama
ventrikel dan komplikasi iatrogenik karena dilakukan intervensi terapeutik. Resiko
stroke perioperatif tiga kali lebih tinggi pada pasien dengan fibrilasi atrium.
Dalam suatu meta-analisis 11 studi, bahwa fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner berhubungan dengan peningkatan mortalitas jangka pendek (3,6% vs
1,9%). Mereka juga menemukan adanya peningkatan mortalitas pada tahun
pertama dan keempat dengan resiko mortalitas masing-masing 2,56 dan 2,19.
(Kaw dkk, 2011)
Kondisi kronik fibrilasi atrium tersebut juga dianggap sebagai kontributor
utama meningkatnya biaya kesehatan. Ditinjau dari segi biaya perawatan, pasien
dengan fibrilasi atrium paska bedah jantung memiliki masa rawatan 4,9 hari lebih
lama. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh American Heart Association pada
tahun 2004 dengan beranggapan bahwa insiden fibrilasi atrium paska bedah
jantung adalah 30%, biaya tambahan yang dikeluarkan untuk pasien paska bedah
jantung dengan komplikasi fibrilasi atrium mencapai $ 2 milyar/tahun (Echahidi,
2008). Meningkatnya morbiditas, mortalitas, serta biaya tersebut menunjukkan
perlunya strategi efektif untuk menurunkan insidensi fibrilasi atrium.
Walaupun penyebab pasti fibrilasi atrium ini belum diketahui, terdapat
beberapa teori yang telah berkembang. Fibrosis atrium, remodeling sistem
elektrofisiologis, dan proses inflamasi merupakan sejumlah faktor yang diduga
berperan menginisiasi dan memicu terjadinya fibrilasi atrium. Khususnya pada
pasien yang menjalani operasi, respon metabolik dan otonomik terhadap trauma,
iskemik miokardium sementara, serta respon inflamasi merupakan beberapa faktor
yang dapat memicu timbulnya FA paska bedah jantung.
Berdasarkan teori patofisiologi tersebut, penggunaan obat-obatan
antiinflamasi seperti kortikosteroid dan ketorolac dapat menurunkan insidensi
fibrilasi atrium paska bedah. Akan tetapi golongan obat-obatan tersebut dapat
memperlambat proses penyembuhan luka dan meningkatkan resiko terjadinya
perdarahan. Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh ESC, untuk pencegahan
FA paska operasi dapat diberikan obat-obatan anti aritmia seperti peyekat beta dan

Universitas Sumatera Utara


4

amiodaron. Tetapi strategi pencegahan FA tersebut menimbulkan efek samping


lain yang dapat memperburuk luaran pasien paska bedah jantung seperti hipotensi,
bradikardia, dan blok jantung. Terlebih lagi, pada pasien yang sudah diberikan
antiaritmia perioperatif, angka kejadian FA paska bedah jantung juga ternyata
masih cukup tinggi, yaitu sekitar 25-40% (Lertsburapa dkk, 2008; Kailasam dkk,
2005). Selain obat-obatan tersebut, golongan statin (3-hydroxy-
methylglutarylcoenzyme A reductase inhibitor) juga diduga dapat menurunkan
insiden fibrilasi atrium melalui efek pleiotropik yang dimilikinya, yaitu sebagai
anti-inflamasi. Statin juga memiliki efek anti-aritmia yang bekerja langsung pada
jaringan vena pulmonal (Bhave dkk, 2012).
Studi yang dilakukan oleh Bhave, dkk pada tahun 2012 menunjukkan
adanya penurunan insidensi FA paska pembedahan nonkardiak yang diberikan
statin. Pada populasi pasien yang menjalani pembedahan jantung, dijumpai
penurunan insidensi FA paska bedah sebesar 11-36 %. Beberapa studi retrospektif
yang dilakukan oleh Kourliouros, dkk dan Mithani, dkk dijumpai adanya
perbedaan efek protektif statin terhadap FA paska bedah berdasarkan jenis dan
dosis yang digunakan. Studi ARMYDA-3 yang merupakan salah satu studi
pertama yang meneliti tentang efek statin terhadap kejadian FA paska bedah
pintas koroner, menunjukkan penurunan insidensi FA paska bedah pintas koroner
dengan penggunaan atorvastatin 40 mg (Patti dkk, 2006). Sedangkan dalam studi
prospektif yang dilakukan Song, dkk dan Ji, dkk menunjukkan efek statin yang
signifikan pada dosis atorvastatin 20 mg yaitu dijumpai penurunan resiko FA
sebanyak 66%. Dalam studi retrospektif lainnya, kejadian FA paska bedah jantung
juga dapat diturunkan dengan penggunaan statin jenis lain seperti simvastatin,
pravastatin, dan rosuvastatin (Kourliourus dkk, 2008; Mithani dkk, 2008; Ozaydin
dkk, 2010; Mariscalco dkk, 2007). Dosis yang digunakan dalam penelitian
tersebut bervariasi mulai dari low intensity, moderate intensity, hingga high
intensity dose. Kejadian FA paska bedah jantung dapat diturunkan hingga 36%
dengan simvastatin 40 mg, begitu pula dengan simvastatin 20 mg (OR, 2.32; 95%
CI; p = 0.004), tetapi tidak dengan simvastatin 10 mg (Mithani dkk, 2009;
Kuorlioros dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara


5

Berdasarkan hasil berbagai studi sebelumnya, masih ditemukan perbedaan


mengenai efek protektif statin berdasarkan jenis dan dosis statin yang digunakan.
Penggunaan atorvastatin sebagai upaya pencegahan FA paska bedah pintas
koroner masih sulit untuk diterapkan mengingat keterbatasan penyediaan jenis
statin yang ditanggung oleh asuransi kesehatan, khususnya di RSUP Haji Adam
Malik Medan. Saat ini, studi prospektif yang membandingkan efek protektif yang
dimiliki oleh jenis statin berbeda pada populasi pasien paska bedah pintas koroner
masih belum dijumpai. Oleh karena itu, diperlukan studi lebih lanjut mengenai
perbandingan efek protektif statin terhadap kejadian FA untuk mengetahui jenis
dan dosis yang tepat untuk pencegahan FA paska bedah pintas koroner.

1.2 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka penelitian
ini diperlukan untuk mengetahui :
Apakah terdapat perbedaan efek protektif antara atorvastatin dan
rosuvastatin terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner?

1.3 Hipotesis Penelitian


Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan efek protektif antara
atorvastatin dan rosuvastatin terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan efek protektif antara atorvastatin dan
rosuvastatin pre-operatif terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner.

1.4.2 Tujuan Khusus


- Untuk membandingkan efek fibrilasi atrium paska operasi terhadap
lama rawatan pasien yang menjalani tindakan bedah pintas koroner di
Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara


6

- Untuk mengetahui insidensi dan waktu kejadian FA paska bedah


pintas koroner di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Kepentingan Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang
efek protektif statin dengan jenis dan dosis yang efektif sebagai upaya pencegahan
fibrilasi atrium pada pasien bedah pintas koroner.

1.5.2 Kepentingan Masyarakat


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam tatalaksana
peroperatif yaitu penggunaan statin sebagai upaya pencegahan kejadian fibrilasi
atrium paska bedah pintas koroner, sehingga dapat mengurangi angka morbiditas
dan mortalitas, serta lama dan biaya rawatan pada pasien yang menjalani tindakan
pembedahan jantung

Universitas Sumatera Utara


7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fibrilasi Atrium

2.1.1 Definisi
Fibrilasi atrium adalah takiaritmia supraventrikular yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi
mekanis atrium. Pada elektrokardiogram (EKG), ciri dari FA adalah tidak adanya
konsistensi gelombang P, yang digantikan oleh gelombang getar (fibrilasi) yang
bervariasi amplitudo, bentuk dan durasinya. Pada fungsi nodus AV yang normal,
FA biasanya disusul oleh respons ventrikel yang juga ireguler, dan seringkali
cepat (PERKI, 2014).
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:
1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG. Kadang-kadang dapat
terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling sering
pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/ menit.

2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil studi The Global Burden of Diseases tahun 2010,
dijumpai peningkatan prevalensi dan insidensi FA di seluruh dunia apabila
dibandingkan dengan studi sebelumnya di tahun 1990. Prevalensi FA di dunia
adalah 596,2 per 100.000 populasi pada laki-laki dan 373,1 per 100.000
perempuan (Chugh dkk, 2014). Studi tersebut juga menunjukkan angka kejadian
FA di wilayah Asia Tenggara adalah 0,6% pada laki-laki dan 0,4% pada
perempuan. (Wong dkk, 2014)
Data dari studi observasional MONICA pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2% dengan rasio laki-laki dan
perempuan 3:2. Selain itu, karena terjadi peningkatan signifikan persentase
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun 2000-2005) menjadi

Universitas Sumatera Utara


8

28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050),5 maka angka kejadian FA juga akan
meningkat secara signifikan. Dalam skala yang lebih kecil, hal ini juga tercermin
pada data di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang
menunjukkan bahwa persentase kejadian FA pada pasien rawat selalu meningkat
setiap tahunnya, yaitu 7,1% pada tahun 2010, meningkat menjadi 9,0% (2011),
9,3% (2012) dan 9,8% (2013) (PERKI, 2014).
Hampir seluruh episode fibrilasi atrium terjadi pada 6 hari pertama setelah
operasi jantung, dengan insiden tertinggi pada hari kedua dan ketiga paska bedah,
yang merupakan saat terjadinya puncak proses inflamasi sistemik yang
disebabkan proses pembedahan dan peningkatan regangan atrium, yang mungkin
disebabkan peningkatan volume intravascular (Echahidi dkk, 2008; Maessen dkk,
2011).

2.1.3 Klasifikasi
Secara klinis FA dapat dibedakan menjadi lima jenis menurut waktu
presentasi dan durasinya, yaitu:
1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Jenis ini berlaku untuk pasien yang pertama
kali datang dengan manifestasi klinis FA, tanpa memandang durasi atau berat
ringannya gejala yang muncul.
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari.
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik.
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga
≥1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan.
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
(dan pasien) sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi. Apabila
strategi kendali irama masih digunakan maka FA masuk ke kategori FA persisten
lama. (PERKI, 2014; Kirchoff dkk, 2016)
Klasifikasi FA seperti di atas tidaklah selalu eksklusif satu sama lain.
Artinya, seorang pasien mungkin dapat mengalami beberapa episode FA
paroksismal, dan pada waktu lain kadang-kadang FA persisten, atau sebaliknya.

Universitas Sumatera Utara


9

Untuk FA paska bedah sendiri, biasanya termasuk ke dalam FA yang pertama kali
terdiagnosis atau FA paroksismal.

2.2 Fibrilasi Atrium Paska Bedah


Definisi fibrilasi atrium paska bedah jantung sendiri berbeda-beda pada
beberapa studi. Menurut The Society of Thoracic Surgeons Adult Cardiac Surgery
Database, fibrilasi atrium paska bedah (Post Operative Atrial Fibrillation/POAF)
adalah onset baru fibrilasi/kepak atrium yang terjadi paska bedah yang
memerlukan terapi dengan penyekat beta, penyekat kanal kalsium, amiodaron,
antikoagulan dan kardioversi (Maisel dkk, 2001).
Sedangkan Patti dkk dalam studi ARMYDA-3 dan Song dkk
mendefinisikan FA paska bedah sebagai episode FA yang berlangsung selama ≥ 5
menit yang didapati pada monitor EKG ataupun EKG 12 sadapan, atau setiap
episode FA yang memerlukan intervensi akibat efek angina atau gangguan
hemodinamik yang timbul tanpa memperhatikan lama durasinya (Patti dkk, 2006;
Song dkk, 2008). Dalam studi yang dilakukan oleh Ji dkk dan Sun dkk, POAF
didefinisikan sebagai setiap episode FA yang timbul setelah tindakan bedah pintas
koroner off pump yang dideteksi pada rekaman EKG 12 sadapan atau EKG
monitor selama > 5 menit dengan ataupun tanpa gejala (Ji dkk, 2009; Sun dkk,
2010).

2.2.1 Patofisiologi dan Mekanisme FA Paska Bedah


Patogenesis terjadinya FA dianggap bersifat multifaktorial dan sampai saat
ini belum sepenuhnya dimengerti (Issa dkk, 2012; Maessen dkk, 2011;
PERKI,2014). Konsep dasar mekanisme timbulnya FA yang saat ini diketahui
adalah FA memerlukan faktor yang menginisiasi (triggering factor) dan faktor
yang mempertahankan irama tersebut (perpetuating factor). Apabila faktor yang
menginisiasi lebih dominan maka FA yang muncul biasanya bersifat sementara
dan dapat hilang secara spontan. Sebaliknya, jika faktor yang mempertahankan
lebih dominan maka FA akan berlangsung lebih lama hingga seterusnya akan
menetap.

Universitas Sumatera Utara


10

Gambar 2.1. Mekanisme FA yang bersifat multifaktorial (Kirchoff dkk, 2016)

Faktor yang dapat menginisiasi timbulnya FA antara lain stimulasi sistem


simpatis dan parasimpatis, bradikardia, kompleks atrial prematur (PAC,
Premature Atrial Complex), atrial flutter, SVT, dan regangan atrium yang akut.
Pada pasien yang mengalami FA paroksismal, suatu impuls yang diinisiasi oleh
fokal ektopik dilanjutkan ke atrium kiri hingga mencapai jaringan atrium yang
mengalami pemulihan secara heterogen.
Berdasarkan lokasinya, faktor yang menginisiasi FA dapat dibagi menjadi
2 bagian yaitu faktor vena pulmonalis dan faktor non-vena pulmonalis. Sekitar
90% kasus, faktor yang menginisiasi FA berasal dari vena pulmonalis. Fokus
ektopik tersebut mengeluarkan impuls dari lengan miosit atrium hingga ke vena
pulmonalis. Sedangkan fokus non-vena pulmonalis biasanya berasal dari vena
kava superior, ligamen Marshall, dan muskularis dari sinus koronarius. (Issa dkk,
2012)

Universitas Sumatera Utara


11

Setelah suatu FA diinisiasi, irama tersebut dapat menetap atau berlangsung


terus menerus apabila terdapat faktor yang dapat mempertahankannya
(perpetuating factor). Faktor tersebut selanjutnya akan menimbulkan focal driver
berperan sebagai “mesin” yang akan memberikan impuls terus menerus. Tanpa
adanya focal driver, FA bisa tetap dipertahankan apabila ada proses remodeling
atrium yang mengubah fungsi struktural dan elektrikal atrium.
Beberapa teori elektrofisiologis yang menjelaskan terjadinya FA yang saat
ini sudah berkembang antara lain, teori gelombang multipel (multiple wavelet
theory), teori re-entri sirkuit tunggal (single circuit reentry theory), dan teori fokus
pengatur yang disertai konduksi fibrilasi (focal drivers with fibrillatory
conduction). Adanya suatu perbedaan periode refrakter yang luas dan perlambatan
konduksi atrium merupakan penyebab terjadinya re-entry tersebut. Suatu substrat
struktural dan elektrofisiologis pada atrium diperlukan untuk terjadinya fibrilasi
atrium (Narayan dkk, 1997; Issa dkk, 2012).

Gambar 2.2: Teori mekanisme fibrilasi atrium. a) Adanya suatu fokus ektopik
yang menimbulkan impuls dan membentuk sirkuit tunggal. b) Fokus ektopik
berasal dari atrium kanan. c) Terdapat gelombang multipel yang membentuk
reentri. (Nattel, 2002)

Teori yang paling banyak berkembang adalah teori gelombang multipel.


Hipotesis yang dikemukakan oleh Moe menduga gelombang elektrofisiologis
yang timbul dari fokus ektopik akan menghasilkan “anak gelombang” atau
wavelet lain di atrium (Narayan dkk, 1997). Anak gelombang yang jumlahnya
banyak tersebut dapat saling bertabrakan sehingga hilang ataupun dapat
membentuk anak gelombang lainnya. Jumlah gelombang yang timbul tergantung

Universitas Sumatera Utara


12

masa refrakter, massa atrium dan kecepatan konduksi pada berbagai tempat di
atrium.
Seperti halnya FA secara umum, mekanisme fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner juga belum sepenuhnya dimengerti dan bersifat multifaktorial.
Faktor – faktor tersebut meliputi faktor predisposisi (faktor pre-operatif) , faktor
intraoperatif, faktor post-operatif, dan faktor proses akut paska bedah (inflamasi,
stres oksidatif, aktifasi sistem simpatis) yang menyebabkan terbentuknya substrat
atrial, baik struktural maupun elektrofisiologis (Maisel dkk, 2001; Maessen dkk,
2011; Echahidi dkk, 2008). Substrat atrial merupakan perubahan-perubahan
struktural atau elektrofisiologis pada atrium yang menyebabkan terjadinya
fibrilasi atrium. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada gambar
2.3. (Echahidi dkk, 2008)

Faktor predisposisi (pre-operatif) Faktor intraoperatif Faktor postoperatif


- Usia lanjut - Kanulasi vena - Abnormalitas elektrolit
- Hipertensi - Lama klem silang aorta - Pemakaian obat inotropik dan
- Dilatasi atrium kiri - Hisapan vena pulmonalis pressor
- Obesitas - Lama pintas kardiopulmonal - Komplikasi non kardiak
- Gagal jantung
- PPOK
Faktor Akut
- Inflamasi
Substrat struktural atrium
- Aktivasi simpatis
- Stres oksidatif

Pemendekan dan ketidakseragaman waktu refrakter atrium,


Perlambatan konduksi atrium

Gelombang re-entri multiple

Substrat elektrofisiologis atrium

FIBRILASI ATRIUM PASKA BEDAH PINTAS KORONER

Gambar 2.3. Patogenesis Fibrilasi Atrium Paska Bedah Pintas Koroner

Universitas Sumatera Utara


13

2.2.1.1 Faktor proses akut paska bedah


Faktor proses akut yang berperan dalam timbulnya FA paska bedah
meliputi proses inflamasi, aktivasi sistem saraf simpatis, dan stress oksidatif
(Maesen dkk, 2011; Echahidi dkk, 2008).

Inflamasi
Proses inflamasi pada operasi jantung terjadi oleh karena penggunaan
pintas kardiopulmonal, akibat interaksi darah dengan permukaan sirkulasi
ekstrakorporal. Interaksi ini mengaktifkan sitokin-sitokin proinflamasi melalui
jalur alternatif, seperti tumor necrosis factor α (TNF-α), aktivasi sistem
komplemen, C-reactive protein (CRP), Interleukin-2 dan interleukin-6 (Kuo dkk,
2011). Selain reaksi inflamasi sistemik yang diakibatkan oleh penggunaan pintas
kardiopulmonal, insisi pembedahan dapat menyebabkan inflamasi lokal pada
atrium yang dapat menjadi faktor timbulnya fibrilasi atrium paska bedah. Dan
perlu diketahui, bahkan perikardiotomi sendiri (tanpa insisi atrium) dapat
menyebabkan inflamasi pada atrium. Adanya kesamaan waktu antara proses
inflamasi dan timbulnya fibrilasi atrium (hari ke 2 – 3 paska bedah) menunjukkan
terdapatnya hubungan antara proses inflamasi paska bedah dengan terjadinya
fibrilasi atrium.
Beberapa studi eksperimental dan klinik telah dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara kedua proses tersebut. Frustaci dkk, menemukan adanya infiltrat
limfomononuklear pada otot atrium pada pasien dengan fibrilasi atrium. Chen dkk
juga menemukan sel CD45-Positif yang meningkat pada atrium pada pasien
dengan fibrilasi atrium dibandingkan pasien dengan sinus ritme (Maesen dkk,
2011). Page dkk, pada hewan percobaan, menemukan adanya proliferasi dan
aktivasi fibroblas epikardial atrium sebagai respon dari pericarditis. Proses-proses
tersebut menyebabkan perlambatan dan ketidakseragaman konduksi yang dapat
mencetuskan terjadinya fibrilasi atrium. Ishii dkk menemukan adanya hubungan
derajat inflamasi dengan peningkatan heterogenitas konduksi atrium setelah
operasi jantung dan peningkatan insiden dan durasi fibrilasi atrium.

Universitas Sumatera Utara


14

Gambar 2.4. Perjalanan waktu insiden fibrilasi atrium setelah operasi jantung dan
operasi selain jantung (Maesen dkk, 2001). Insiden Fibrilasi atrium meningkat
pada hari ke-2 paska bedah dan menurun menjadi 6% pada hari ke-6. C-reactive
protein, sebagai marker inflamasi, secara mengejutkan juga memiliki perjalanan
waktu yang sama, sehingga mendukung peranan inflamasi dalam mekanisme
terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner.

Aktivasi Sistem Saraf Simpatis


Pada jantung, stimulasi simpatis diperantarai oleh reseptor β yang
menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas. Aktivasi simpatis
juga dilaporkan memperpendek masa refrakter efektif atrium secara tidak
seragam, sehingga mempermudah terjadinya aritmia. Beberapa studi mendukung
peranan aktivasi simpatis dalam patogenesis aritmia atrium setelah operasi
jantung. Usia lanjut, faktor resiko terpenting fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner, juga dihubungkan dengan meningkatnya kadar norepinefrin dalam darah.
Pasien dengan fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner memiliki
peningkatan kadar norefinefrin post-operatif yang signifikan dibandingkan dengan
pasien tanpa fibrilasi atrium. Hubungan ini diperkuat oleh fakta bahwa onset
terjadinga fibrilasi atrium didahului oleh peningkatan denyut jantung dan ektopik
atrium. Namun terdapat sedikit perbedaan antara waktu puncak aktivasi simpatis,
yang terjadi 24 jam paska bedah dengan onset terjadinya fibrilasi atrium, yang
terjadi 48 dan 72 jam setelah operasi. Obat-obat yang mengaktivasi sistem
simpatis juga bersifat pro-aritmia. Agen inotropik seperti Milrinon, dobutamin,

Universitas Sumatera Utara


15

dan dopamin telah diketahui menyebabkan ketidakseragaman masa refrakter


atrium dan peningkatan aktivitas ektopik dan berhubungan dengan meningkatnya
insiden fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner. Sebaliknya, pasien yang
menggunakan penyekat beta paska bedah memiliki episode fibrilasi atrium lebih
rendah dibandingkan dengan pasien yang menggunakan plasebo. Penghentian
terapi penyekat beta pada pasien paska operasi yang sebelumnya mendapat terapi
penyekat beta juga berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner.
Stres Oksidatif
Penggunaan pintas kardiopulmonal pada bedah pintas koroner melibatkan
iskemik jantung yang terkontrol yang diikuti oleh perfusi pada jantung (reperfusi).
Selama reperfusi, terjadi peningkatan ROS yang dapat menyebabkan kerusakan
miokard. Selain itu, proses inflamasi juga dapat menstimulasi produksi NADPH
oksidase atrium. Atrial Peroxynitrite adalah salah satu radikal bebas yang
diproduksi, yang dapat mengoksidasi lipid sel, protein, dan DNA yang
menyebabkan kematian miokard melalui proses apoptosis. Oksidasi ini
mengakibatkan hilangnya protein kontraktil miokard dan gangguan fungsi
kontraksi atrium. Pada pasien dengan fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner
dibandingkan dengan pasien tanpa aritmia mempunyai tingkat stres oksidatif lebih
tinggi pada level sistemik dan miokard. Kim dkk, mengukur tingkat aktifitas
NADPH oxidase pada pasien paska bedah pintas koroner dan menemukan bahwa
NADPH oxidase merupakan salah satu prediktor independen terjadinya fibrilasi
atrium paska bedah pintas koroner (Ramlawi dkk, 2007).
Gambar 2.5 menunjukkan sebuah ilustrasi bagaimana perkembangan
substrat atrium dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pembedahan dapat
menyebabkan timbulnya fibrilasi atrium pada pasien yang berbeda. Pasien
pertama tidak memiliki riwayat kardiovaskular yang relevan, hanya hipertensi saat
usia tua. Pasien kedua sudah menderita hipertensi pada usia muda, diikuti dengan
diabetes melitus, regurgitasi mitral, dan PPOK saat usia lanjut. Kedua pasien tidak
memiliki riwayat fibrilasi atrium sebelumnya dan akan menjalani bedah pintas
koroner dengan pintas kardiopulmonal pada pada saat usia yang sama. Faktor akut

Universitas Sumatera Utara


16

paska bedah yang sama dialami oleh kedua pasien, tetapi berbeda dengan pasien
pertama, pasien kedua sudah memiliki substrat atrium sebelum pembedahan.
Hasilnya pada pasien kedua terjadi fibrilasi atrium, sementara pasien pertama
tetap sinus ritme.

Gambar 2.5. Perjalanan waktu terbentuknya substrat atrium (Maesen dkk, 2001).

2.2.1.2 Faktor Predisposisi (pre-operatif)


Usia
Usia adalah faktor penting terjadinya fibrilasi atrium. Usia lanjut
meningkatkan resiko terjadinya fibrilasi atrium pada populasi umum. Oleh karena
itu tidak mengherankan bila insiden fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner
juga meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Mathew dkk telah
mendokumentasikan bahwa untuk setiap dekade, terjadi peningkatan 75 % insiden
fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner dan menyimpulkan usia > 70 tahun
merupakan resiko tinggi untuk terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner (Mathew dkk, 1996).
Faktor usia dihubungkan dengan terjadinya fibrosis dan dilatasi atrium
yang menyebabkan perlambatan konduksi impuls, ketidakseragaman kecepatan
konduksi pada serat otot atrium dan pemendekan masa refrakter efektif (effective
refractory period). Kondisi ini memungkinkan terjadinya re-entri multiple

Universitas Sumatera Utara


17

merupakan suatu substrat potensial untuk terjadinya fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner (Maisel dkk, 2001; Maessen dkk, 2011).

Dilatasi Atrium Kiri


Dilatasi atrium menyebabkan perubahan struktur atrium kiri. Faktor
perubahan struktural ini memiliki peran yang lebih besar terhadap kecenderungan
terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner dibandingkan dengan faktor
perubahan pada kanal ion. Roberts Thomson, dkk menemukan bahwa dilatasi
atrium menyebabkan garis konduksi blok vertikal pada dinding posterior atrium
kiri di antara vena pulmonalis. Analisis histopatologi menyimpulkan adanya
proses inflamasi kronis dan fibrosis interstisial pada atrium yang mengalami
dilatasi (Roberts-Thomson dkk, 2009; Echahidi dkk, 2008; Issa dkk, 2012).

Hipertensi
Peningkatan tekanan darah menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi
atrium kiri, gangguan fungsi diastolik dan modifikasi fungsi mekanik atrium,
yang semuanya dapat mencetuskan fibrilasi atrium. Meskipun demikian, pada
beberapa studi, pemberian ACE-I (Angiotensin converting enzyme-inhibitor) atau
ARB (Angiotensin receptor blockers) pre-operatif, yang memiliki efek
antiremodeling, antifibrosis, dan antiinflamasi, tidak terbukti menurunkan insiden
fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner. Bahkan pada beberapa studi,
dilaporkan peningkatan kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner pada
pasien yang menggunakan ACEI atau ARB (Miceli dkk, 2009). Alasan terhadap
peningkatan insiden tersebut adalah prevalensi hipertensi dan hipertrofi ventrikel
kiri yang tinggi pada pasien tersebut.

Obesitas
Obesitas dihubungkan dengan kebutuhan curah jantung yang lebih tinggi,
massa ventrikel kiri yang lebih besar, dan ukuran atrium kiri yang lebih besar.
Faktor ini merupakan predisposisi untuk timbulnya fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner (Zacharias dkk, 2005).

Universitas Sumatera Utara


18

Riwayat Fibrilasi Atrium


Tingginya insiden fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner pada pasien
dengan riwayat fibrilasi atrium sebelumnya tentu tidak mengherankan. Fakta
bahwa pasien sebelumnya mengalami fibrilasi atrium mengindikasikan bahwa
mekanisme pro-aritmia pada pasien tersebut telah melampaui batas ambang
fibrilasi atrium. Paparan lebih lanjut terhadap faktor intraoperatif akan
memfasilitasi timbulnya fibrilasi atrium onset baru. Fibrilasi atrium itu sendiri
memiliki kontribusi yang besar terbentuknya substrat atrium (Maessen dkk, 2011).

Gagal Jantung Kongesti


Hubungan antara riwayat gagal jantung kongesti dan fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner masih kontroversial. Dalam studi MSCPI (Multicenter Study
of Perioperative Ischemia Cardiac Surgery), gagal jantung kongesti berhubungan
dengan terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner dengan OR 1,31
(95% CI:1,04-1,64) (Mathew dkk, 1996). Gagal jantung kongesti telah diketahui
menyebabkan dilatasi atrium kiri oleh karena meningkatnya tekanan pengisian
atrium karena menurunnya fungsi ventrikel, meningkatnya fibrosis atrium, dan
abnormalitas konduksi. Perubahan-perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya
perlambatan dan ketidakseragaman konduksi dan repolarisasi atrium.

PPOK
PPOK merupakan salah satu faktor resiko terjadinya fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner. Patogenesis fibrilasi atrium pada pasien PPOK masih belum
jelas. Namun hipertensi pulmonal, inflamasi, dilatasi atrium kanan dan ventrikel
kanan, hipoksia dan asidosis mungkin berperan dalam pembentukan substrat
atrium pada pasien tersebut.
Faktor pre-operatif lain yang mendukung timbulnya POAF adalah adanya
substrat FA yang menyertai sebelum tindakan pembedahan dilakukan.
Perkembangan substrat FA meliputi dua cara, yaitu perubahan kanal ion yang
menyebabkan pemendekan dan/atau meningkatkan dispersi refrakter atrium; serta

Universitas Sumatera Utara


19

heterogenitas konduksi akibat perubahan interstisial seperti akumulasi serat


kolagen, infiltrasi inflamasi, atau amiloidosis (Maesen dkk, 2011).

2.2.1.3 Faktor Intraoperatif


Teknik-teknik kanulasi vena untuk melakukan pintas kardiopulmonal
sangat potensial menyebabkan barier konduksi yang dapat mencetuskan fibrilasi
atrium. Studi MCSPI melaporkan 38% pasien dengan bicaval cannulation,
dibandingkan dengan 25 % pasien dengan single catheter cannulation, mengalami
fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner (p<0,01).
Lama klem silang aorta menggambarkan berapa lama miokard terpapar
oleh keadaan iskemia. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa lama Klem
Silang Aorta secara independen berhubungan dengan kejadian fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner, kemungkinan berhubungan dengan terjadinya
iskemik atrium. Studi MCSPI melaporkan peningkatan 6% insiden fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner setiap penambahan 15 menit waktu Klem Silang
Aorta.
Beberapa teknik hisapan (venting) telah dilakukan selama operasi jantung
untuk mengurangi volume darah ventrikel kiri. Hisapan dapat dilakukan pada
arteri pulmonalis, pangkal aorta, atau pada apeks ventrikel kiri. Mathew dkk telah
menunjukkan bahwa terdapat serat otot atrium diantara dan disekeliling orifisium
vena pulmonalis, dan teknik hisapan vena pulmonalis dapat menyebabkan trauma
pada daerah tersebut. Beberapa studi melaporkan bahwa teknik hisapan vena
pulmonalis merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner.
Penggunaan pintas kardiopulmonal menyebabkan peningkatan aktivasi
sistem komplemen dan pelepasan sitokin pro-inflamasi dan dihubungkan dengan
meningkatnya insiden fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner. Studi MCSPI
melaporkan perbedaan yang kecil tetapi signifikan antara pasien yang mengalami
fibrilasi atrium dan tidak (rata-rata waktu: 108 vs 99 menit; p<0,01). Namun pada
analisis multivariat, faktor ini tidak merupakan prediktor independen terjadinya
fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner (Mathew dkk, 1996).

Universitas Sumatera Utara


20

2.2.1.4 Faktor Post operatif


Perubahan elektrolit serum dapat terjadi dalam periode yang singkat paska
bedah oleh karena faktor hormonal atau farmakologi. Sebagai contoh, setelah
pemberian kardioplegi pada pintas kardiopulmonal, terjadi perubahan yang
signifikan kadar elektrolit serum, terutama kalium. Kalium memiliki peran besar
untuk terjadinya aritmia, mengingat fungsinya dalam depolarisasi dan repolarisasi
sel. Chew dkk melaporkan bahwa hipokalemia berhubungan dengan fibrilasi
atrium paska bedah. Studi ini melaporkan dari 400 pasien, 57 pasien fibrilasi
atrium memiliki kadar kalium 3,6±0,2 mEq/L dan 343 pasien sinus ritme dengan
kadar kalium 4,2±0,3 mEq/L (p<0,001) (Chew dkk, 1993).
Walaupun masih kontroversial, hipomagnesemia sering terjadi paska
bedah jantung dan dihubungkan dengan terjadinya fibrilasi atrium post operasi.
Magnesium adalah ko-faktor untuk enzym Na-K adenosin triphosphatase, yang
mengatur konsentrasi ion sodium dan potassium transmembran. Defisiensi
magnesium dapat mencetuskan terjadinya aritmia dengan merubah potensial
membran dan repolarisasi melalui enzim tersebut. Studi meta-analisis
menyimpulkan pemberian magnesium efektif mengurangi fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner dengan efek yang hampir sama dengan obat antiaritmia.
Penggunaan agen pressor dan inotropik menstimulasi miokardium dan
dapat mencetuskan terjadinya fibrilasi atrium. Almassi dkk melaporkan , 66,17%
pasien yang mengalami fibrilasi atrium paska bedah menggunakan pressor >30
menit dibandingkan hanya 56% pasien tanpa fibrilasi atrium. Pada analisis
multivariat, pemggunaan pressor > 30 menit merupakan prediktor independen
fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner dengan OR 1,36 (1,16-1,59). Hasil
yang sama juga ditunjukkan pasien-pasien yang menggunakan agen inotropik >
60 menit (Maessen dkk, 2011).

2.2.2 Pencegahan Fibrilasi Atrium Paska Bedah


Beberapa studi telah melaporkan penurunan namun signifikan dari
penggunaan penyekat beta, amiodaron, magnesium, atau pacu atrium terhadap
lama rawatan. Hal ini mungkin diakibatkan oleh efek samping dari beberapa

Universitas Sumatera Utara


21

intervensi tersebut seimbang atau melebihi benefit dari supresi terhadap fibrilasi
atrium paska bedah pintas koroner (Maisel dkk, 2001; Cardona dkk, 2003).
Karena aktivasi sistem simpatis dapat mempermudah terjadinya fibrilasi
atrium paska bedah pintas koroner dan meningkatnya tonus simpatis pada pasien
paska bedah pintas koroner, banyak studi-studi yang meneliti penggunaan agen
beta-blocker untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas
koroner. Meta analisis dari 28 studi (4.074 pasien) yang dilakukan oleh Crystal
dkk, menemukan bahwa pencegahan dengan beta-blocker menurunkan insiden
terjadinya fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner secara signifikan dengan
OR:0,35 (Crystal dkk, 2004).
Amiodaron yang juga memiliki efek negatif terhadap alfa dan beta
adrenergik, yang mungkin dapat menurunkan efek stimulasi simpatis yang
berlebihan pada pasien yang menjalani operasi jantung. Dalam satu studi yang
melibatkan 124 pasien operasi jantung, pemberian amiodaron oral selama 1
minggu sebelum operasi secara signifikan mengurangi insiden terjadinya fibrilasi
atrium setelah operasi, dari 53% pasien yang mendapat plasebo menjadi 25%
pasien yang mendapat terapi (p=0,003). Sebuah meta-analisis terhadap 18 studi
menemukan bahwa amiodaron berhubungan terhadap peningktan resiko
bradikardi dan hipotensi terutama bila diberikan secara intravena, dan digunakan
melebihi dosis 1 g per hari. Penggunaan bersama beta-blocker juga memperkuat
efek samping ini (Fuster dkk, 2006; Kailasam dkk, 2005).
Manfaat pacu atrium dalam mencegah fibrilasi atrium paska bedah jantung
berdasarkan fakta bahwa pacu dapat mencegah dispersi repolarisasi atrium yang
disebabkan oleh bradikardi. Efek profilaksis pacu telah diteliti beberapa studi.
Mata-analisis dari studi-studi tersebut telah konsisten menunjukkan bahwa pacu
atrium secara signifikan mengurangi resiko onset baru fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner. Namun jumlah pasien yang diikutsertakan dalam penelitian
tersebut sedikit dan efek samping terbesar dari penggunaan atrial pacu adalah efek
aritmia yang potensial, yang dapat disebabkan oleh loss of pacing pada
penggunaan pacu temporer. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk

Universitas Sumatera Utara


22

menentukan manfaat metode ini sebagai pencegahan terjadinya fibrilasi atrium


paska bedah pintas koroner (Cardona dkk, 2003).

2.3 Statin
Statin bekerja menurunkan kadar kolesterol dengan menghambat kerja
HMGCR di hepatosit. HMGCR merupakan enzim yang membatasi jalur sintesis
kolesterol hepatik dan mengkonversi 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme A
(HMG-CoA) menjadi asam mevalonat, suatu prekursor dalam jalur biosintesis
kolesterol de novo. Statin berkompetisi secara reversibel dengan substrat endogen
HMG CoA, untuk menduduki bagian aktif dalam reduktase. Statin yang berikatan
dengan bagian aktif dari enzim reduktase akan menimbulkan perubahan bentuk
yang menurunkan fungsi enzim. Statin dengan afinitas tinggi akan berperan
sebagai kompetitor antagonis sehingga mencegah substrat endogen HMG-CoA
yang memiliki afinitas lebih rendah untuk berikatan dengan bagian aktif enzim.
Akibat perubahan bentuk dan inhibisi HMGCR, produksi kolesterol dan
penyimpanan kolesterol dalam hepatosit akan berkurang. Sebagai upaya untuk
mempertahankan homeostasis dan melawan penurunan kolesterol intraseluler,
sejenis protease akan dipicu agar terjadi pembelahan sterol regulatory element-
binding protein (SREBP) dari prekursor dalam retikulum endoplasma. SREBP
yang tidak berikatan akan mengalami translokasi ke dalam nukleus. Di dalam
nukleus, SREBP berikatan dengan elemen regulator sterol (sterol regulatory
element/SRE) yang berada dalam elemen promotor gen yang mengkode LDL-R.
Transkipsi gen LDL-R yang meningkat akan menyebabkan peningkatan ekspresi
mRNA gen LDL-Rdan meningkatakn sintesis protein LDL-R. Protein LDL-R
hepatik akan mengalami proses pematangan dan eksositosis pada permukaan
hepatosit. LDL-C yang bebas akan berikatan dengan LDL-R yang tersintesis
sehingga menyebabkan terjadinya proses endositosis dan dilanjutkan dengan
degradasi lisosom LDL-C dalam hepatosit. Internalisasi LDL-C meningkatkan
kadar kolesterol intraseluler dan mengembalikan kondisi homeostasis LDL-C.
Hasil akhir dari proses tersebut adalah penurunan kadar LDL-C dalam sirkulasi,
seperti yang diuraikan dalam gambar 2.6

Universitas Sumatera Utara


23

2.3.1 Jenis statin dan perbedaannya


Sampai saat ini terdapat 7 jenis statin yang beredar, yaitu atorvastatin,
rosuvastatin, simvastatin, pravastatin, fluvastatin, pitavastatin, dan lovastatin
(Davies dkk, 2016). Berdasarkan farmakokinetiknya, terdapat perbedaan antara
jenis statin. Bioavailibilitas statin bervariasi antara 5% pada simvastatin hingga
sekitar 60% pada fluvastatin. Absorpsi lovastatin adalah 30% sedangkan
fluvastatin mencapai 98%. Hampir semua jenis statin melalui metabolisme
pertama oleh sitokrom P450, kecuali pravastatin. Statin berikatan kuat dengan
protein plasma yaitu albumin sebanyak 90%, kecuali pravastatin yang hanya
berikatan dengan albumin sebanyak 50%.

Gambar 2.6. Mekanisme kerja statin (Davies dkk, 2016) (A) Statin menurunkan
aktivitas enzim HMG-CoA reduktase. (B) Penurunan kolesterol intraseluler. (C)
Pembelahan dan translokasi sterol regulatory element-binding protein (SREBP).
(D) SREBP mengekspresikan gen LDL-R. (E) Transkipsi dan translasi gen LDL-
R. (F) Peningkatan densitas LDL-R pada permukaan sel. (G) Pengikatan,
endosistosis, dan degradasi LDL. (H) Peningkatan kolesterol intraseluler
dibandingkan kadar awal seluler. (I) Penurunan kadar LDL dalam plasma.

Universitas Sumatera Utara


24

Simvastatin, atorvastatin, lovastatin bersifat lipofilik; sedangkan


pravastatin dan fluvastatin bersifat hidrofilik. Rosuvastatin memiliki sifat lipofilik
dan hidrofilik. Akibat sifat hidrofilik yang tidak dapat melewati sawar darah otak,
efek samping insomnia lebih banyak ditemukan pada statin yang bersifat lipofilik,
walaupun insidensinya di bawah 3%.
Sebagian besar metabolit statin sudah aktif secara farmakologis, kecuali
pravastatin dan fluvastatin. (Sirtori dkk, 2014; Chong dkk, 2001). Simvastatin dan
lovastatin merupakan prodrug yang harus diubah menjadi metabolit aktif.
Sedangkan atorvastatin aktif secara farmakologi dan juga memiliki metabolit yang
berperan dalam penurunan kadar lipid. Perbedaan bentuk obat ini tetapi tidak
mempengaruhi efektivitas masing-masing obat tersebut. Waktu paruh eliminasi
statin cukup bervariasi, yaitu mulai dari di bawah satu jam hingga 14 jam.
Walaupun waktu paruh jenis statin berbeda-beda, tetapi dijumpai bahwa waktu
efek maksimumnya terhadap lipid tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 4-6
minggu. Oleh karena itu, efek klinis statin tidak dapat dikatakan berbeda karena
variasi waktu paruhnya. Penyesuaian dosis statin juga tidak direkomendasikan
apabila durasi pengobatan masih di bawah 1 bulan.
Semua jenis statin diekskresikan melalui urin dan feses walaupun terdapat
sedikit perbedaan proporsi seperti dalam Tabel 2.1. Penyesuaian dosis pravastatin
perlu dilakukan pada pasien dengan gangguan ginjal derajat sedang. Sedangkan
simvastatin memerlukan penyesuaian dosis apabila digunakan pada pasien dengan
gangguan ginjal derajat berat, yaitu dimulai dengan separuh dosis awal dan
dinaikkan secara bertahap. Sedangkan atorvastatin tidak memerlukan penyesuaian
dosis (Chong dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara


25

Tabel 2.1. Perbandingan karakteristik farmakokinetik jenis statin (Shannon dkk,


2012).

2.3.2 Efek Penurunan Kadar Kolesterol


Semua jenis statin menurunkan kadar kolesterol dengan cara menghambat
secara reversibel kerja enzim HMG-CoA reduktase yang berperan dalam
biosintesis kolesterol dan sterol lainnya. Mekanisme kerja dan efek statin terhadap
lipid yaitu menurunkan kadar LDL dan trigliserida sudah terbukti dan banyak
diteliti. Baik statin yang alami seperti simvastatin, lovastatin, dan pravastatin
maupun statin yang sintetis seperti atorvastatin dan fluvastatin terbukti sama-sama
efektif dalam hal menurunkan kadar lipid. (Chong dkk, 2001)

2.3.3 Efek Pleiotropik


Selain memiliki efek dalam menurunkan kadar LDL untuk pencegahan
PJK dan stroke, statin juga memiliki efek lain melalui mekanisme tertentu seperti
efek antiproliferatif terhadap sel otot polos, mengembalikan aktivitas endotel, efek
antitrombotik, efek antioksidan, efek antiinflamasi, stabilisasi plak (Davignon
dkk, 2004; Marzilli dkk, 2010; LaRosa dkk, 2001; Tjokroprawiro dkk, 2009).
Berbagai efek non-lipid dari statin ini disebut dengan efek pleiotropik. Efek
tersebut dapat berupa aktivitas langsung statin ataupun sebagai konsekuensi dari
dihambatnya biosintesis kolesterol atau penurunan kadar kolesterol dalam plasma
(Sirtori dkk, 2014).
Dalam beberapa dekade terakhir, proses inflamasi memegang peranan
penting dalam patogenesis aterosklerosis. Peningkatan kadar penanda inflamasi

Universitas Sumatera Utara


26

dalam darah, seperti CRP, interleukin-6, intercellular adhesion molecule-1


(ICAM-1), dan serum amyloid A (SAA) terbukti berkorelasi dengan
meningkatnya resiko kejadian kardiovaskular, baik onset baru maupun berulang.
Kadar CRP merupakan prediktor terkuat untuk terjadinya kejadian kardiovaskular.
(Davignon dkk, 2004)
Terapi statin sudah terbukti mengurangi efek inflamasi yang muncul akibat
kejadian kardiovaskular. Dalam Cholesterol and Recurrent Events (CARE) trial,
subyek dengan peningkatan kadar CRP dan SAA beresiko lebih tinggi
dibandingkan sampel dengan kadar CRP normal. Subyek tersebut juga terbukti
memperoleh manfaat dari penggunaan statin, yaitu jenis pravastatin dengan dosis
40 mg/hari (Tamura dkk, 2010). Penggunaan statin jenis rosuvastatin 20 mg juga
dilaporkan dapat menurunkan kejadian FA paska bedah pintas koroner (Mannacio
dkk, 2008).
Dalam hal menurunkan kadar LDL, berbagai jenis statin memiliki dosis
yang berbeda untuk mencapai efek maksimal. Sedangkan untuk efek pleiotropik
statin, belum dijumpai pola tertentu mengenai hubungan antara dosis statin dan
efek yang timbul. Masing-masing jenis statin memberikan efek yang berbeda
untuk setiap efek pleiotropik yang ada. Jika efek pleiotropik hanya didasari oleh
mekanisme inhibisi jalur mevalonat, maka semua jenis statin akan menghasilkan
efek pleiotropik yang sama pula. (LaRosa dkk, 2001; Faggiotto dkk, 2000).

2.4 Penggunaan statin untuk mencegah kejadian FA paska bedah pintas


koroner
Banyak studi yang mengevaluasi efektifitas farmakologis dan non-
farmakologis dalam mencegah atau menurunkan insiden terjadinya fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner. Panduan dalam pencegahan dan managemen fibrilasi
atrium paska bedah telah diterbitkan pada tahun 2010 oleh European Society of
Cardiology seperti dalam Tabel 2.2, pada tahun 2014 oleh American Association
of Thoracic Surgery, dan pada tahun 2014 oleh American College of Cardiology,
AHA (Camm dkk, 2010; Frendl dkk, 2014; January dkk, 2014).
Obat golongan statin yang selama ini rutin diberikan sebagai penurun
kadar kolesterol LDL, ternyata terbukti memiliki efek dalam menurunkan

Universitas Sumatera Utara


27

kejadian kardiovaskular termasuk FA paska bedah. Efek tersebut berhubungan


dengan kemampuan statin dalam memperbaiki profil kolesterol dan efek
pleiotropiknya. Efek pleiotropik yang dimaksud antara lain efek antiinflamasi,
antioksidan, efek kardioprotektif, modulasi neurohumoral, dan efek stabilisasi
plak. Kombinasi berbagai efek tersebut dapat menurunkan mortalitas perioperatif,
30 hari, dan jangka panjang; serta menurunkan kejadian kardiovaskular pada
pasien yang menjalani tindakan pembedahan baik pembedahan jantung ataupun
operasi lainnya (Turagam dkk, 2015).

Tabel 2.2. Panduan dalam pencegahan fibrilasi atrium oleh European Society of
Cardiology (Camm dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara


28

Meta-analisis yang melibatkan 17.643 pasien, menyimpulkan bahwa


penggunaan statin sebelum operasi secara signifikan menurunkan insiden fibrilasi
atrium paska bedah jantung (Liakopoulos dkk, 2009). Mekanisme bagaimana
statin dapat menurunkan insiden fibrilasi atrium sepertinya berhubungan dengan
efek pleiotropik statin. Selain efek penurun lipid, terapi statin pre-operatif telah
diketahui menurunkan penanda inflamasi paska bedah jantung seperti TNF-α,
aktivasi sistem komplemen, C-reactive protein (CRP), IL-2 dan IL-6 yang
berperan dalam terjadinya FA paska bedah jantung.
ARMYDA-3 telah menunjukkan bahwa terapi dengan atorvastatin 40
mg/hari selama 7 hari sebelum operasi jantung elektif dengan pintas
kardiopulmonal dan dilanjutkan setelah operasi menurunkan insiden fibrilasi
atrium sebanyak 61 % setelah operasi (35 vs 57%; p = 0.003) dan mempersingkat
lama rawatan (6.3 ± 1.2 vs 6.9 ± 1.4 hari; p = 0.001) .
Sampai saat ini masih dijumpai kontroversi mengenai efektivitas statin
dalam mencegah kejadian aritmia. Berdasarkan studi oleh Fauchier dkk, terdapat
penurunan kejadian FA yang signifikan dengan penggunaan statin preoperatif.
Sedangkan pada trial PROVE-IT TIMI 22 menunjukkan hasil yang tidak
signifikan, tetapi studi ini menggunakan populasi SKA sebagai sampel penelitian
(Marzilli dkk, 2010; McLean dkk, 2008). Pemberian statin perioperatif juga tidak
menunjukkan penurunan angka kejadian FA yang signifikan dalam studi
retrospektif dengan populasi pasien yang menjalani tindakan pembedahan katup
(Bolesta dkk, 2015).
Dalam suatu metaanalisis yang dilakukan Chopra dkk pada tahun 2012,
kelompok yang diberikan statin perioperatif mengalami penurunan resiko FA
paska operasi (RR: 0.56; 95% CI: 0.45–0.69) dan juga resiko infark miokard (RR:
0.53; 95% CI: 0.38–0.74). Selain itu, lama rawatan di rumah sakit juga lebih
singkat pada kelompok yang diberikan statin. (Chopra dkk, 2012; Turagam dkk,
2015; Zheng dkk, 2014). Manfaat penggunaan statin perioperatif dalam
menurunkan insidensi FA paska bedah (24.9 vs 29.3%; OR: 0.67; 95% CI: 0.51–
0.88; p < 0.001) dan lama rawatan juga dibuktikan dalam studi lain (Kuorliouros
dkk, 2008; Mithani dkk, 2009; Kuhn dkk, 2013). Atorvastatin dilaporkan dapat

Universitas Sumatera Utara


29

menurunkan kejadian FA paska bedah pintas koroner sebanyak 14-22%


dibandingkan dengan placebo atau dosis standar (Ji dkk, 2009; Song dkk, 2008).
Suatu studi retrospektif yang melibatkan 680 pasien menunjukkan
penggunaan simvastatin dan atorvastatin 40 mg menunjukkan efek yang
signifikan dalam menurunkan kejadian FA paska bedah, jika dibandingkan
dengan kelompok tanpa statin (15.6 %, OR: 3.89, p < 0.0001) atau kelompok
statin dosis rendah (21.2%, OR: 2.76, p = 0.012). Hasil yang sama juga
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan Mithani dkk, dimana pasien yang diberikan
simvastatin dengan dosis ≥ 20 mg/hari memiliki penurunan resiko FA paska
bedah jantung sebanyak 36% (OR: 0.64: 95% CI:0.43–0.6; p = 0.03)
dibandingkan dengan kelompok yang diberikan simvastatin dosis rendah (10 mg).
Kombinasi atorvastatin dan penyekat beta dikatakan lebih efektif dibandingkan
dengan hanya satu obat saja, yaitu dengan penurunan resiko FA sebesar 90% (OR:
0.10; 95% CI: 0.02–0.25) dalam ARMYDA-3 (Patti dkk, 2006).
Penurunan kejadian FA dengan pemberian statin peri-operatif tidak selalu
menunjukkan hasil yang signifikan. Dalam beberapa studi observasional, tidak
dijelaskan secara rinci waktu dimulainya pemberian statin, dosis, serta durasi
pemberiannya (Zheng dkk, 2014; Bolesta dkk, 2015). Walaupun data RCT
melibatkan jumlah pasien yang tidak terlalu besar, hampir seluruh data
menyimpulkan adanya efek protektif pemberian statin terhadap komplikasi
kardiovaskular setelah pembedahan jantung maupun pembedahan lainnya.

Universitas Sumatera Utara


30

2.5 Kerangka Teori


Faktor intraoperatif Faktor Post Operatif
Faktor Pre-operatif  Kanulasi vena  Abnormalitas
 Gangguan struktural  Lama klem silang aorta elektrolit
jantung  Hisapan vena  Pemakaian inotropik
 Penyakit penyerta pulmonalis  Komplikasi non
 Lama pintas kardiak
kardiopulmonal

Aktivasi sistem simpatis


Stress Oksidatif
Inflamasi

X
Statin

Substrat struktural atrium

Pemendekan dan ketidakseragaman


waktu refrakter atrium, perlambatan
konduksi atrium

Gelombang re-entri multiple

Substrat elektrofisiologis atrium

Fibrilasi atrium paska bedah

Universitas Sumatera Utara


31

2.6 Kerangka Konsep

Pasien yang akan menjalani bedah pintas


koroner
Kriteria
eksklusi

Statin pre-operatif

Rosuvastatin 10 mg Atorvastatin 20 mg

FA (+) FA (-) FA (+) FA (-)

Universitas Sumatera Utara


32

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain
Penelitian ini merupakan suatu studi kohort prospektif terhadap pasien
yang menjalani tindakan bedah pintas koroner di Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan.

3.2 Tempat dan waktu


Penelitian dilakukan pada pasien yang menjalani tindakan bedah pintas
koroner di RSHAM Medan mulai Februari 2018 sampai Agustus 2018.

3.3 Populasi dan Sampel


Populasi target adalah penderita penyakit jantung koroner yang menjalani
tindakan bedah pintas koroner. Populasi terjangkau adalah penderita penyakit
jantung koroner yang menjalani tindakan bedah pintas koroner di RSHAM.
Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.4 Besar Sampel


2
𝑍𝛼√2𝑃𝑄 + 𝑍𝛽√𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2
𝑛1 = 𝑛2 = ( )
𝑃1 − 𝑃2

Keterangan :
n = Besar sampel
Zα = Deviat baku alfa = 1.96
Zβ = Deviat baku beta = 0.84
P2 = proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya = 0.34
Q2 = 1-P2
P1 = proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan keputusan
peneliti
Q1 = 1-P1
P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P = proporsi total = (P1+P2)/2
Q = 1-P

Universitas Sumatera Utara


33

𝑛1 = 𝑛2
2
1.96√2(0.34)(0.66) + 0.84√(0.64)(0.36) + (0.20)(0.66)
=( )
0.3

Dari perhitungan di atas, besar sampel minimal masing masing


kelompok adalah 26 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah teknik randomisasi.

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.5.1 Kriteria Inklusi


1. Subyek yang didiagnosa dengan penyakit jantung koroner
berdasarkan angiografi koroner dan menjalani operasi bedah pintas
koroner.
2. Subyek bersedia menjadi sampel penelitian.

3.5.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien dengan riwayat fibrilasi atrium sebelum operasi.
2. Pasien yang mengkonsumsi obat-obatan antiaritmia selain
penyekat beta.
3. Pasien yang menggunakan pacu jantung permanen.
4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
5. Pasien dengan gangguan fungsi hati.
6. Pasien yang memiliki reaksi hipersensitivitas terhadap statin.
7. Pasien yang menjalani tindakan pembedahan jantung darurat.
8. Pasien dengan penyakit penyerta keganasan.

3.6 Etika Penelitian


Penelitian ini mendapatkan persetujuan Komite Etik Kesehatan dari
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


34

3.7 Cara Kerja dan Alur Penelitian


Semua sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis
penyakit jantung koroner dengan lesi signifikan berdasarkan hasil angiografi
koroner yang menjalani operasi bedah pintas koroner. Peneliti memeriksa rekam
medis pasien untuk melihat anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiografi
(EKG), ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium sebelum dilakukan operasi.
Elektrokardiogram direkam dengan menggunakan alat Bionet Cardiotouch 3000
kecepatan 25 mm/s dan skala 10 mV/mm diperiksa saat pasien dirawat inap
sebelum dilakukan operasi.
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dilakukan
randomisasi blok tidak tersamar sehingga sampel penelitian akan terbagi menjadi
2 kelompok, kelompok pertama adalah pasien yang diberikan rosuvastatin 10
mg/hari dan kelompok kedua adalah pasien yang diberikan atorvastatin 20
mg/hari. Masing-masing kelompok diberikan statin minimal tujuh hari sebelum
tindakan operasi.
Untuk menilai kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner,
dilakukan pengamatan selama rawatan, baik di ruang rawat paska bedah jantung
maupun saat di bangsal. Pemantauan irama jantung dilakukan secara kontinu
melalui catatan rekam medik dan observasi secara langsung melalui monitor serta
EKG 12 sandapan yang direkam setiap hari..
Data-data yang diperoleh akan dianalisa dengan SPSS versi 18.0, sehingga
akan diketahui peranan penggunaan statin dalam mencegah fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner. Perjalanan klinis pasien diikuti sejak dari unit rawat jalan,
rawat inap serta perawatan di ruang paska bedah jantung.

Universitas Sumatera Utara


35

Alur penelitian

Pasien yang akan menjalani bedah pintas koroner yang memenuhi


kriteria inklusi

Dilakukan pengambilan data berupa anamnesis, pemeriksaan fisik,


laboratorium,EKG, foto toraks, ekokardiografi

Dilakukan randomisasi

Rosuvastatin 10 mg/hari Atorvastatin 20 mg/hari

FA (+) FA (-) FA (+) FA (-)

Dilakukan analisa statistik untuk melihat efek penggunaan


statin terhadap kejadian FA paska bedah jantung

3.8 Definisi Operasional


1. Fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner adalah kejadian fibrilasi atrium
setelah pembedahan jantung yang terdokumentasi sebanyak minimal satu
kali (dengan ataupun tanpa gejala) dengan durasi > 5 menit atau

Universitas Sumatera Utara


36

membutuhkan tindakan intervensi akibat timbulnya angina atau gangguan


hemodinamik.
2. Bedah pintas koroner terdiri dari tindakan pembedahan jantung berupa
bedah pintas koroner (baik on pump maupun off pump)
3. Terapi statin pre-operatif adalah penggunaan statin selama minimal 7 hari
sebelum dilakukan tindakan pembedahan.
4. Penyakit jantung koroner merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan
plak pembuluh darah koroner dengan derajat stenosis yang signifikan
>60% berdasarkan hasil angiografi koroner.
5. Terapi antiaritmia adalah penggunaan obat-obatan anti aritmia dari
berbagai kelas yang digunakan dalam satu bulan terakhir, kecuali
golongan penyekat beta.
6. Gangguan fungsi ginjal kronis lebih dikenal dengan gagal ginjal kronis
(GGK) adalah kerusakan ginjal sehingga tidak mampu bekerja dalam hal
penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan
dan kimia tubuh, yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan
kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal, maka ditegakkan dengan nilai laju filtrasi
glomerulus < 60 ml/menit/L.
7. Gangguan fungsi hati adalah kondisi insufisiensi hati dengan penyakit hati
aktif atau adanya peningkatan parameter fungsi hati yaitu SGOT dan
SGPT lebih dari dua kali lipat batas atas nilai normal atau abnormalitas
jaringan hepar berdasarkan hasil USG.
8. Reaksi hipersensitivitas terhadap statin adalah efek samping yang timbul
setelah pemberian statin, berupa myalgia, myositis, rhabdomyolisis
dengan/tanpa disertai peningkatan kreatinin kinase, atau peningkatan
parameter fungsi hati (SGOT/SGPT) > 3 kali lipat batas atas nilai normal.
9. Penyakit keganasan adalah penyakit keganasan yang ditegakkan
berdasarkan hasil biopsi dan/atau pemeriksaan penunjang lain yang
dilakukan oleh spesialis yang berkaitan.

Universitas Sumatera Utara


37

10. Pacu jantung adalah penggunaan pacu jantung permanen single maupun
dual chamber, sebelum dilakukan tindakan pembedahan.
11. Bedah pintas koroner darurat merupakan tindakan pembedahan jantung
bedah pintas koroner non-elektif yang dilakukan segera sesuai indikasi
berdasarkan ESC/EACST Guidelines on Myocardial Revascularization
tahun 2017 (Windecker dkk, 2014; Patel dkk, 2017).

3.9 Pengolahan dan Analisis Data


Data disajikan secara deskriptif dengan menampilkan distribusi frekuensi
dan presentase untuk data yang bersifat kategorik. Sedangkan data numerik
disajikan dengan menampilkan data dengan nilai mean (rata-rata) dan standar
deviasi untuk data yang berdistribusi normal, sedangkan data numerik yang tidak
berdistribusi normal menggunakan median (nilai tengah). Uji normalitas variabel
numerik pada seluruh subjek penelitian akan menggunakan Kolmogorov Smirnov
(n>50) atau Shapiro Wilk (n<50). Analisis bivariat dilakukan dengan Chi-square
atau Fisher test untuk variabel kategorik. Analisa data statistik menggunakan
software SPSS versi 18.0, nilai p<0,05 dikatakan bermakna secara statistik.

3.10. Rincian Biaya Penelitian


Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp 2.000.000
Pengadaan obat Rp 2.500.000
Pengurusan izin penelitian Rp 250.000
Total Rp 4.750.000

Universitas Sumatera Utara


38

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Penelitian


Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif yang dilakukan pada
penderita penyakit jantung koroner yang menjalani bedah pintas koroner di RS
Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan sampel penelitian ini dilakukan mulai
bulan Februari 2018 sampai dengan bulan Agustus 2018. Seluruh sampel yang
diikutkan dalam penelitian ini dibagi ke dalam 2 kelompok secara acak dengan
metode randomisasi blok tidak tersamar. Kelompok pertama adalah pasien yang
diberikan atorvastatin dengan dosis 20 mg/hari. Sedangkan kelompok kedua
adalah pasien yang diberikan rosuvastatin dengan dosis 10 mg/hari. Statin, baik
jenis atorvastatin maupun rosuvastatin, diberikan minimal selama 7 hari sebelum
pembedahan dan dilanjutkan hingga maksimal 3 hari setelah pembedahan
dilakukan.
Dari keseluruhan sampel yang dilibatkan dalam penelitian, dilakukan
pengumpulan data berupa data klinis, laboratorium, EKG, dan ekokardiografi.
Kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner (POAF) akan diamati selama
masa rawatan melalui monitor ataupun rekaman EKG 12 sandapan. Pasien
dikatakan mengalami POAF apabila dijumpai kejadian fibrilasi atrium paska
bedah pintas koroner yang terdokumentasi selama > 5 menit.

4.2 Karakteristik Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini, didapatkan 53 orang penderita sebagai subyek


penelitian yang terdiri dari kelompok atorvastatin sebanyak 26 orang dan
kelompok rosuvastatin sebanyak 27 orang. Tabel 4.1 menunjukkan karakteristik
dasar subyek penelitian berdasarkan jenis statin yang digunakan.
Karakteristik yang dibandingkan antara lain karakteristik demografis,
faktor resiko, hemodinamik, serta riwayat pengobatan yang digunakan subyek
penelitian. Dari 53 subyek penelitian, didapati penderita berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 50 orang (94,3%), lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penderita

Universitas Sumatera Utara


39

perempuan yaitu sebanyak 3 orang (5,6%). Rerata usia subyek penelitian ini
adalah 54,9 tahun pada kelompok atorvastatin dan 58,7 tahun pada kelompok
rosuvastatin (p=0,066). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna rerata indeks
massa tubuh pada kedua kelompok, yaitu sebesar 27,6 kg/m2 pada kelompok
atorvastatin dan 26,9 kg/m2 pada kelompok rosuvastatin.

Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis statin


Variabel Atorvastatin Rosuvastatin Nilai p
(n= 26) (n=27)
Umur (tahun±SD) 54,9 ± 7,3 58,7 ± 7,3 0,066
Jenis Kelamin (n,%) 0,610
Laki-laki 24 (92,3) 26 (96,3)
BMI (kg/m2±SD) 27,6± 5,1 26,9± 3,4 0,929
DM (n, %) 8 (30,8) 14 (51,9) 0,166
Dislipidemia (n, %) 16 (61,5) 17 (63) 0,915
Hipertensi (n, %) 21 (80,8) 18 (66,7) 0,244
PPOK (n, %) 5 (19,2) 5(18,2) 0,940
Gagal Jantung (n, %) 17 (65,4) 18(66,7) 0,920
Medikamentosa (n,%)
Penyekat beta 23 (88,5) 25 (92,6) 0,669
ACE-I/ARB 20 (34,6) 23 (100) 0,039
CCB 15 (75) 44 (70,9) 0,727
ARB 6 (23,1) 9 (33,3) 0,407
Denyut jantung 70,4±12,1 68,1±10,7 0,466

EKG (ms, min-maks)


Durasi Gelombang P 8 (6-12) 8 (6-12) 1,000
Interval PR 16 (10-20) 18 (12-20) 0,129
Fungsi hati
SGOT 21,4±9 19,6±8,2 0,150

Universitas Sumatera Utara


40

SGPT 25,9±12,7 21,3±11,5 0,117

Berdasarkan adanya penyakit penyerta, didapatkan bahwa subyek yang


memiliki riwayat diabetes melitus lebih banyak dijumpai pada kelompok
rosuvastatin yaitu sebanyak 14 orang (51,9%), dibandingkan dengan kelompok
atorvastatin sebanyak 8 orang (30,8%). Akan tetapi perbedaan tersebut tidak
bermakna secara statistik, dimana nilai p yang diperoleh sebesar 0,166. Begitu
juga dengan penyakit penyerta lain seperti hipertensi, dislipidemia, dan penyakit
paru obstruktif kronik, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna di antara kedua
kelompok tersebut.
Obat yang banyak digunakan oleh subyek penelitian ini antara lain
penyekat beta, penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin, dan penyekat
kanal kalsium. Tidak didapati adanya perbedaan yang bermakna dalam hal
pengunaan obat-obatan tersebut antara kedua kelompok statin.
Pada kelompok atorvastatin dijumpai 17 orang (65,4%) pasien mengalami
gagal jantung, sedangkan pada kelompok rosuvastatin terdapat 18 orang (66,7%).
Rerata denyut jantung pada kedua kelompok juga tidak berbeda secara statistik,
dimana rerata denyut jantung pada kelompok atorvastatin adalah 70,4 kali/menit
dan pada kelompok rosuvastatin adalah 68,1 kali/menit.
Dari pemeriksaan elektrokardiografi, tidak didapati adanya perbedaan
yang signifikan antara durasi gelombang P dan interval PR pada kedua kelompok.
Begitu juga dengan hasil laboratorium sebagai parameter fungsi hati, nilai SGOT
dan SGPT antara kedua kelompok dalam penelitian ini tidak berbeda bermakna.
Tabel 4.2 menunjukkan karakteristik parameter ekokardiografi dalam
penelitian ini. Berdasarkan hasil ekokardiografi, didapati rerata nilai FEVK pada
kelompok atorvastatin adalah 50,4%, sedangkan pada kelompok rosuvastatin
sebesar 53%. Rerata diameter atrium kiri pada kelompok atorvastatin adalah 35,3
mm, sedangkan pada kelompok rosuvastatin adalah 35,7 mm. Dimensi ventrikel
kiri yang dinilai dengan LVEDD adalah sebesar 49,1 mm pada kelompok
atorvastatin dan 47 mm pada kelompok rosuvastatin. Dari ketiga parameter

Universitas Sumatera Utara


41

ekokardiografi tersebut tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua


kelompok penelitian ini.

Tabel 4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan parameter ekokardiografi


Variabel Atorvastatin Rosuvastatin Nilai p
(n=26) (n=27)
FEVK (%±SD) 50,4 ± 8,4 53,0 ± 10,8 0,173
Diameter LA (mm±SD) 35,3 ± 4,8 35,7 ± 4,7 0,784
LVEDD (mm±SD) 49,2 ± 9,1 47 ± 6,1 0,307

Berdasarkan karakteristik perioperatif, sebagian besar subyek dilakukan


bedah pintas koroner menggunakan mesin pintas jantung paru, yaitu sebanyak 23
orang (88,5%) pada kelompok atorvastatin dan 22 orang (81,5%) pada kelompok
rosuvastatin. Rerata waktu penggunaan mesin pintas jantung paru pada kedua
kelompok tidak berbeda bermakna, yaitu selama 129 menit pada kelompok
atorvastatin dan 137 menit pada kelompok rosuvastatin. Begitu juga dengan lama
klem silang aorta yaitu selama 93,2 menit pada kelompok atorvastatin dan 92,8
menit pada kelompok rosuvastatin. Rerata total lamanya operasi adalah 4,8 jam
pada kelompok atorvastatin dan 4,9 jam pada kelompok rosuvastatin, dimana
tidak terdapat perbedaan bermakna antara keduanya.
Pada kelompok atorvastatin, sebanyak 17 orang (65,4%) subyek dilakukan
bedah pintas koroner dengan jumlah graft ≥ 4 dan hanya 9 orang (34,6%) dengan
jumlah graft <4. Sedangkan pada kelompok rosuvastatin, hanya terdapat 13 orang
(48,1%) yang dilakukan bedah pintas koroner dengan jumlah graft ≥4. Tetapi
perbedaan ini tidak bermakna berdasarkan statistik dengan nilai p=0,206.
Tabel 4.3 juga menunjukkan parameter yang didapat dari pemeriksaan
laboratorium dalam 24 jam pertama setelah operasi dilakukan. Pada kedua
kelompok penelitian, tidak dijumpai perbedaan bermakna dalam parameter Hb,
kalium, dan magnesium. Rerata nilai leukosit pada kedua kelompok mengalami
peningkatan, walaupun secara statistik juga tidak berbeda bermakna antara

Universitas Sumatera Utara


42

keduanya, yaitu 18.394 /µl pada kelompok atorvastatin dan 17.972/µl pada
kelompok rosuvastatin (p=0,704).

Tabel 4.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan parameter perioperatif


Variabel Atorvastatin Rosuvastatin Nilai
(n=26) (n=27) p
On pump (n, %) 23 (88,5) 22 (81,5) 0,704

Waktu CPB (menit±SD) 129±18,3 137,8±40,9 0,355

Waktu klem silang aorta (menit±SD) 93,2±14,7 92,4±17,6 0,875

Lama operasi (jam±SD) 4,8±0,7 4,9±1 0,384

Jumlah graft (n, %) 0,206


<4 9 (34,6) 14 (51,9)

≥4 17 (65,4) 13 (48,1)

Laboratorium
Hb <9 (n, %) 4(15,4) 3(11,1) 0,704

Leukosit (/µl±SD) 18394±3845 17972±4164 0,704

KGD sewaktu (mg/dl±SD) 218±48,4 226±56 0,542

Kalium < 3,5 (n, %) 3(11,5) 3 (11,1) 0,980


Magnesium <1,5 (n, %) 1(3,8) 1(3,7) 0,987

4.3 Efek penggunaan statin terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner
Untuk menilai hubungan antara penggunaan atorvastatin dan rosuvastatin
terhadap kejadian fibrilasi atrium dilakukan analisis statistik uji Fisher. Hasil dari
uji statistik tersebut ditampilkan dalam tabel 4.4. Dari total 53 orang subyek
penelitian, terdapat 6 orang (11,3%) yang mengalami fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner. Dari 6 subyek yang mengalami POAF tersebut, sebanyak 4 orang
(66,7%) yang menggunakan rosuvastatin, sedangkan 2 orang (33,3%) lainnya

Universitas Sumatera Utara


43

menggunakan atorvastatin. Sedangkan pada kelompok yang tidak mengalami


POAF, terdapat 24 orang (51,1%) yang berasal dari kelompok atorvastatin dan 23
orang (48,9%) berasal dari kelompok rosuvastatin. Hasil uji Fisher tersebut
menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tidak dijumpai perbedaan bermakna
antara jenis statin yang digunakan dengan kejadian fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner dengan nilai p=0,669.

Tabel 4.4 Uji Fisher antara jenis statin dan kejadian POAF
POAF
Ya Tidak Nilai p
Statin (n,%) 0,669
Atorvastatin 2 (33,3) 24 (51,1)
Rosuvastatin 4 (66,7) 23 (48,9)
Total 6 (11,3) 47 (88,7)

Universitas Sumatera Utara


44

Gambar 4.1 Kurva Kaplan-Meier berdasarkan kejadian bebas POAF dan statin
Hubungan penggunaan statin dan kejadian fibrilasi atrium paska bedah
pintas koroner juga ditunjukkan dalam kurva Kaplan-Meier pada gambar 4.1.
Terlihat bahwa angka bebas POAF selama masa rawatan di rumah sakit lebih
tinggi pada kelompok atorvastatin dibandingkan dengan rosuvastatin, tetapi
perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan nilai p yang diperoleh
sebesar 0,408. Penurunan angka sintasan terutama terjadi pada hari pertama
hingga hari kedua paska pembedahan.

4.4 Karakteristik fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner berdasarkan


jenis statin
Dari total 6 subyek penelitian yang mengalami POAF, 2 orang (33,3,%)
berasal dari kelompok yang menggunakan atorvastatin dan 4 orang (66,6%)
berasal dari kelompok rosuvastatin dimana diperoleh nilai p=0,669. Rerata durasi
fibrilasi atrium dalam penelitian ini lebih lama pada kelompok rosuvastatin yaitu
selama 1515 menit, sedangkan pada kelompok atorvastatin selama 135 menit
(p=0,165).

Universitas Sumatera Utara


45

Gambar 4.2 Distribusi waktu kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner.
Kejadian POAF dalam penelitian ini timbul dalam beberapa hari paska
bedah pintas koroner seperti pada gambar 4.2. Rerata waktu timbulnya POAF
adalah pada hari kedua dalam kelompok atorvastatin dan 1,3 pada kelompok
rosuvastatin, dimana tidak didapati adanya perbedaan yang bermakna secara
statistik seperti yang ditampilkan pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Karakteristik POAF berdasarkan jenis statin


Variabel Atorvastatin Rosuvastatin Nilai p
POAF (n,%) 2 (33,3%) 4 (66,6%) 0,669
Durasi POAF (menit±SD) 135 ± 63,6 1515 ± 176 0,165
Waktu timbulnya POAF 2 ± 1,4 1,3 ± 0,5 0,588
(hari±SD)

4.5 Karakteristik penanda inflamasi post operatif


Gambar 4.3 menunjukkan nilai parameter inflamasi yaitu leukosit paska
dilakukan bedah pintas koroner berdasarkan kejadian POAF. Pada pasien yang
mengalami POAF, didapati jumlah leukosit yang lebih tinggi pada kedua jenis
statin, yaitu 20.035/µl pada kelompok atorvastatin dan 22.190/µl pada kelompok
atorvastatin. Jumlah leukosit yang lebih rendah didapati pada 47 subyek yang
tidak mengalami POAF, yaitu 18.340/µl pada kelompok atorvastatin dan
17.239/µl pada kelompok rosuvastatin. Perbandingan jumlah leukosit post operatif
tersebut berbeda bermakna dengan nilai p=0,032.

4.6 Karakteristik lama rawatan berdasarkan kejadian POAF


Dari total 53 subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini, terdapat 3 orang
pasien yang meninggal. Ketiga pasien tersebut juga terdokumentasi mengalami
POAF. Penyebab kematian adalah stroke iskemik pada 1 pasien, perdarahan pada
1 pasien, dan infeksi pada 1 pasien. Oleh karena itu, total subyek yang
dimasukkan dalam analisis lama rawatan adalah sebanyak 50 orang.

Universitas Sumatera Utara


46

25000
22190
20035
20000 18340
17239
Leukosit Post Operatif

15000
Atorvastatin

10000 Rosuvastatin

5000

0
POAF Tanpa POAF

Gambar 4.3 Perbandingan jumlah leukosit berdasarkan jenis statin

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara lama rawatan,


baik di ICU maupun total rawatan di RS paska bedah pintas koroner. Rerata lama
rawatan di ICU paska bedah lebih panjang pada kelompok yang mengalami POAF
yaitu selama 82,4 jam, sedangkan kelompok pasien yang tidak mengalami POAF
rata-rata hanya dirawat di ICU selama 32,2 jam (p=0,027). Begitu juga dengan
total lama rawatan di rumah sakit yang lebih lama pada kelompok pasien yang
mengalami POAF yaitu 10,7 hari, dibandingkan dengan kelompok pasien yang
tidak mengalami POAF yaitu 7,5 hari (p=0,003).

Tabel 4.6 Lama rawatan berdasarkan kejadian POAF


Variabel POAF Tanpa POAF Nilai p
(n=6) (n=47)
Lama rawatan ICU (jam±SD) 82,4±33,1 32,2±11,5 0,027
Lama rawatan RS (hari±SD) 10,7±0,6 7,5±0,9 0,003

Universitas Sumatera Utara


47

BAB V
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan suatu studi kohort prospektif yang bertujuan


untuk membandingkan efek protektif atorvastatin dan rosuvastatin terhadap
kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner. Selain itu, penelitian ini
bertujuan untuk menilai lama rawatan di ruang intensif dan total lama rawatan di
rumah sakit pada pasien dengan POAF. Penelitian ini merupakan penelitian
pertama di Indonesia yang membandingkan efek atorvastatin dan rosuvastatin
terhadap kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner. Dampak terjadinya
fibrilasi atrium terhadap morbiditas, mortalitas, dan biaya perawatan yang lebih
tinggi merupakan salah satu aspek penting yang menjadi latar belakang penelitian
ini.
Berdasarkan karakteristik subyek penelitian, didapatkan hasil bahwa
sebagian besar sampel adalah pria yaitu sebanyak 50 orang (94,3%), walaupun
tidak berbeda bermakna antara kelompok atorvastatin dan rosuvastatin. Jenis
kelamin laki-laki diketahui merupakan salah satu faktor resiko penyakit
kardiovaskular. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gaya hidup yang kurang sehat
seperti merokok, konsumsi makanan berlemak, dan kebiasaan meminum
minuman beralkohol. Hasil ini sejalan dengan beberapa studi yang telah dilakukan
sebelumnya, dimana mayoritas subyek adalah pria. Dalam suatu meta-analisis
terhadap 12 studi, diperoleh persentase subyek yang berjenis kelamin laki-laki
adalah 78-80% (Zheng dkk, 2014).
Faktor resiko penyakit kardiovaskular lain seperti hipertensi dan
dislipidemia juga dijumpai pada sebagian besar subyek yang dilibatkan dalam
penelitian ini. Sebanyak 33 orang (62,3%) pasien menderita dislipidemia dan
sebanyak 39 orang (73,6%) dari total 53 subyek penelitian memiliki riwayat
hipertensi. Jumlah subyek yang menderita diabetes melitus lebih banyak dijumpai
pada kelompok rosuvastatin yaitu sebanyak 14 orang, sedangkan pada kelompok
atorvastatin hanya 8 orang (30,8%). Akan tetapi, perbedaan ketiga faktor resiko
tersebut juga tidak bermakna secara statistik antara kedua kelompok statin.

Universitas Sumatera Utara


48

Dalam penelitian ini dijumpai 6 orang (11,3%) pasien yang mengalami


POAF, dimana 2 pasien menggunakan atorvastatin dan 4 pasien lain
menggunakan rosuvastatin. Angka kejadian POAF pada penelitian ini tergolong
lebih rendah apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dengan
insidensi POAF berkisar antara 17-33% (Ji dkk, 2009; Kinoshita dkk, 2010; Patti
dkk, 2006). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh rata-rata usia pasien dalam
penelitian ini adalah 56,8 tahun, dimana angka tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan rerata usia pasien pada studi sebelumnya yaitu 65-67 tahun (Patti
dkk,2006; Sakamoto dkk, 2011). Pasien dengan usia lebih tua memiliki resiko
lebih tinggi untuk mengalami fibrilasi atrium. Selain itu, PPOK sebagai salah satu
penyakit penyerta yang menjadi faktor resiko terjadinya FA hanya dijumpai pada
sebagian kecil subyek penelitian ini, yaitu sebanyak 10 orang (19%).
Untuk menilai efek protektif masing-masing jenis statin terhadap kejadian
POAF, dilakukan uji Fisher dengan hasil tidak dijumpai adanya perbedaan
bermakna antara kedua kelompok statin dengan nilai p=0,669. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa penggunaan rosuvastatin 10 mg/hari tidak lebih superior dari
penggunaan atorvastatin 20 mg/hari dalam mencegah kejadian fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner. Studi sebelumnya yang menggunakan beberapa
jenis statin pada 213 pasien yang menjalani bedah pintas koroner menunjukkan
hasil yang sama, dimana jenis statin tidak berhubungan dengan kejadian POAF
(Sakamoto dkk, 2011).
Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan placebo atau perlakuan standar,
dijumpai adanya penurunan resiko POAF pada kelompok yang diberikan statin
perioperatif dengan nilai OR antara 0,33-0,74 (Ji dkk, 2009; Karimi dkk, 2012;
Mariscalco dkk, 2007; Tamura dkk, 2010). Data sebelumnya menunjukkan angka
kejadian POAF pada pasien yang menjalani bedah pintas koroner di RSUP Haji
Adam Malik selama 1 tahun sebesar 24,7%, dimana jenis statin yang digunakan
adalah simvastatin dengan dosis 10-20 mg (Tarigan dkk, 2018). Angka kejadian
POAF tersebut lebih tinggi 2 kali lipat dibandingkan dengan hasil penelitian ini,
yaitu hanya 11,3%. Adanya penurunan kejadian POAF pada penelitian ini
mungkin berhubungan dengan penggunaan jenis statin yang berbeda.

Universitas Sumatera Utara


49

Mekanisme protektif statin terhadap kejadian POAF sampai saat ini belum
diketahui secara rinci. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa statin memiliki
sejumlah efek pleiotropik antara lain sebagai antiinflamasi dan antioksidan,
memodifikasi remodelling matriks ekstraselular, proteksi miokardium dari
iskemia, efek anti-aritmia secara tidak langsung melalui modulasi sistem otonom,
dan secara langsung melalui efek stabilisasi ion pada kanal transmembran (Song
dkk, 2008; Sun dkk, 2010). Peran inflamasi dalam mekanisme POAF dibuktikan
dengan kadar CRP sebagai salah satu penanda inflamasi mengalami peningkatan
yang signifikan pada kelompok yang mengalami POAF (Sun dkk, 2010). Dalam
penelitian ini didapati bahwa nilai leukosit paska pembedahan lebih tinggi pada
kelompok pasien yang mengalami POAF yaitu yaitu 20.035/µl pada kelompok
atorvastatin dan 22.190/µl pada kelompok rosuvastatin (p=0,032). Hal ini turut
mendukung hipotesis bahwa proses inflamasi merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam timbulnya POAF.
Dalam penelitian ini, seluruh kejadian POAF muncul sebelum hari
keempat rawatan paska pembedahan, dimana paling banyak timbul pada rawatan
hari pertama. Hal ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya, dimana
umumnya POAF terjadi sebelum hari ke-6 dengan puncak timbulnya POAF
adalah pada hari kedua (Echahidi dkk, 2008).
Dampak yang ditimbulkan oleh POAF adalah meningkatnya morbiditas,
mortalitas serta lama rawatan yang berkaitan dengan biaya rawatan. Dalam
penelitian ini diperoleh hasil bahwa lama rawatan pasien yang mengalami POAF
lebih panjang, baik rawatan di ruang intensif paska bedah ataupun total lama
rawatan di rumah sakit. Rata-rata pasien yang mengalami POAF dirawat selama
82,4 jam di ICU, sedangkan pasien tanpa POAF hanya 32,2 jam (p=0,027) . Total
lama rawatan di rumah sakit pada pasien dengan POAF adalah 10,7 hari,
dibandingkan dengan pasien tanpa POAF yang hanya 7,5 hari (p=0,003). Studi
sebelumnya menunjukkan hal yang sama, dimana pada pasien yang mengalami
POAF akan mengalami penambahan masa rawatan sebanyak 3-4 hari (Aranki
dkk, 1996; Zheng dkk, 2014). Waktu rawatan yang lebih lama juga akan
berdampak pada bertambahnya biaya perawatan.

Universitas Sumatera Utara


50

Penggunaan suatu obat sebagai upaya pencegahan penyakit tetap harus


mempertimbangkan kerugian yang mungkin akan timbul, seperti adanya efek
samping. Dalam penelitian ini tidak dijumpai adanya efek samping akibat
penggunaan statin seperti rhabdomiolisis. Pemeriksaan laboratorium berupa
SGOT dan SGPT untuk mendeteksi gangguan pada hati juga menunjukkan hasil
yang baik, dimana tidak dijumpai perbedaan yang bermakna antara kelompok
atorvastatin dan rosuvastatin (21,4 vs 19,6 p=0,150; 25,9 vs 21,3 p=0,117). Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan statin perioperatif, baik atorvastatin maupun
rosuvastatin aman untuk diterapkan secara rutin pada pasien yang akan menjalani
prosedur bedah pintas koroner.

Universitas Sumatera Utara


51

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa:

1. Penggunaan atorvastatin 20 mg/hari menunjukkan efek protektif yang setara


dengan rosuvastatin 10 mg/hari dalam mencegah kejadian fibrilasi atrium
paska bedah pintas koroner.
2. Kejadian fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner berhubungan dengan
lama rawatan ICU dan total rawatan di rumah sakit yang lebih panjang.
3. Insidensi fibrilasi atrium paska bedah pintas koroner di RSUP Haji Adam
Malik Medan adalah sebesar 11,3% dimana episode fibrilasi atrium muncul
dalam tiga hari pertama paska pembedahan.

6.2 Keterbatasan Penelitian dan Saran

1. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu tempat dengan jumlah sampel yang
lebih kecil sehingga diharapkan selanjutnya dapat dilakukan penelitian pada
beberapa tempat dengan jumlah sampel lebih banyak agar dapat
meningkatkan reliabilitas hasil penelitian.
2. Dalam penelitian ini pemantauan irama jantung berdasarkan EKG monitor
selama di ruang intensif dan EKG 12 sandapan sehingga masih mungkin
terdapat episode FA yang tidak terdokumentasi. Diharapkan selanjutnya dapat
dilakukan penelitian yang menggunakan Holter 24 jam sehingga dapat
mengidentifikasi kejadian POAF dengan lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


52

DAFTAR PUSTAKA

Almassi GH, Schowalter T, Nicolosi AC, et al. Atrial fibrillation after


cardiac surgery: a major morbid event?. Ann Surg. 1997;226:501-513.

Aranki SF, Shaw DP, Adams DH, et al. Predictors of atrial fibrillation after
coronary artery surgery. Current trends and impact on hospital
resources. Circulation. 1996;94:390–397

Bhave PD, Goldman LE, Vittinghoff E, et al. Statin use and postoperative
atrial fibrillation after major noncardiac surgery. Heart
Rhythm.2012;2:163-9

Bolesta S, Kong F. Effect of Statins on the Incidence of Postoperative Atrial


Fibrillation after Cardiac Valve Surgery. Pharmacotherapy. 2015:
35(11):998–1006

Camm AJ, Kirchhof P, Lip GYH, et al. Guidelines for the management of
atrial fibrillation: The Task Force for the Management of Atrial
Fibrillation of the European Society of Cardiology (ESC). Europace.
2010;12, 1360–1420.

Cardona F, Seide H, Cox RA. Effect of right atrial pacing, intravenous


amoidaron and beta blockers for suppression of atrial fibrillation after
coronary artery bypass surgery : A pilot study. PRHSJ 2003;vol.22
no.2:119-123.

Chew JT, Ong KK. Atrial arrhythmias post coronary bypass grafting.
Singapore Med J. 1993;34:430-4.

Chong PH, Seeger JD, Franklin C. Clinically Relevant Differences between


the Statins: Implications for Therapeutic Selection. Am J Med.
2001;111:390–400

Universitas Sumatera Utara


53

Chopra V, Wesorick DH, Sussman JB, et al. Effect of perioperative statins


on death, myocardial infarction, atrial fibrillation, and length of stay: a
systematic review and meta-analysis. Arch Surg 2012;147(2):181-9

Chugh SS, Havmoeller R, Narayanan K, et al. Worldwide Epidemiology of


Atrial Fibrillation: A Global Burden of Disease 2010 Study.
Circulation. 2014;129:837-847

Crystal E, Garfinkle MS, Connolly SS, Ginger TT, Sleik K, Yusuf SS.
Interventions for preventing post-operative atrial Fibrillation in
patients undergoing heart surgery. Cochrane Database Syst Rev
2004;CD003611.

Davies JT, Delfino SF, Feinberg CE, et al. Current and Emerging Uses of
Statins in Clinical Therapeutics: A Review. Lipid Insights. 2016;9:13–
29.

Davignon J. Beneficial Cardiovascular Pleiotropic Effects of Statins.


Circulation. 2004;109[suppl III]:III-39 –III-43.

Echahidi N, Pibarot P, O’Hara G, Mathieu P. Mechanism, prevention, and


treatment of atrial fibrillation after cardiac surgery. J Am Coll Cardiol.
2008;51:793-801.

Faggiotto A, Paoletti R. Do Pleiotropic Effects of Statins Beyond Lipid


Alterations Exist In Vivo? What Are They and How Do They Differ
Between Statins? Current Atherosclerosis Reports. 2000; 2:20–25

Farmer JA. Pleiotropic Effects of Statins. Current Atherosclerosis Reports.


2000; 2:208–217

Fauchier L, Pierre B, Labriolle A, et al. Antiarrhythmic Effect of Statin


Therapy and Atrial Fibrillation: A Meta-Analysis of Randomized
Controlled Trials. J Am Coll Cardiol 2008;51:828–35

Universitas Sumatera Utara


54

Frendl G, Sodickson AC, Chung MK, et al. 2014 AATS Guidelines for the
Prevention and Management of Peri-Operative Atrial Fibrillation and
Flutter (POAF) for Thoracic Surgical Procedures. J Thorac
Cardiovasc Surg. 2014; 148(3): e153–e193

Harada M, Van Wagoner DR, Nattel S. Role of Inflammation in Atrial


Fibrillation: Pathophysiology and Management. Circ J 2015; 79: 495
– 502.

Issa ZF. Atrial Fibrillation. In: Miller JM, Zipes DP, eds. Clinical
arrhythmology and electrophysiology: a companion to Braunwald’s
heart disease. 2nd ed. Saunders. 2012;

January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, et al. 2014 AHA/ACC/HRS
guideline for the management of patients with atrial fibrillation: A
Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines and the Heart Rhythm
Society. Circulation 2014;129:3–124

Ji Q, Mei Y, Wang Xi, et al. Effect of Preoperative Atorvastatin Therapy on


Atrial Fibrillation Following Off-Pump Coronary Artery Bypass
Grafting. Circ J 2009; 73: 2244 – 2249

Kailasam R, Palin CA, Hogue CW, et al. Atrial Fibrillation After Cardiac
Surgery: An Evidence-Based Approach to Prevention. Semin
Cardiothorac Vasc Anest. 2005; 9: 77

Kinoshita T, Asai T, Nishimura O, et al. Statin for Prevention of Atrial


Fibrillation After Off-Pump Coronary Artery Bypass Grafting in
Japanese Patients. Circ J. 2010; 74: 1846 – 1851

Kourliouros A, De Souza A, Roberts N, et al. Dose-Related Effect of Statins


on Atrial Fibrillation After Cardiac Surgery. Ann Thorac Surg.
2008;85:1515–20

Universitas Sumatera Utara


55

Kuhn EW, Liakopoulos OJ, Stange S, et al. Preoperative statin therapy in


cardiac surgery: a meta-analysisof 90 000 patients. European Journal
of Cardio-Thoracic Surgery. 2013;1–10

Kuo CD. Statins, Inflammation, Oxidative Stress, and Atrial Fibrillation. J


Cardiovasc Electrophysiol. 2011;22: 420-421

LaRosa, John C. Pleiotropic effects of statins and their clinical significance.


American Journal of Cardiology. 2001; 88:291-3

Lertsburapa K, White M, Kluger J, et al. Preoperative statins for the


prevention of atrial fibrillation after cardiothoracic surgery. J Thorac
Cardiovasc Surg. 2008;135:405-11

Liakopoulos OJ, Choi YH, Kuhn EW, et al. Statins for prevention of atrial
fibrillation after cardiac surgery: A systematic literature review. J
Thorac Cardiovasc Surg. 2009;138:678-86

Maesen B, Nijs J, Maessen J, et al. Post-operative atrial fibrillation: a maze


of mechanisms. Europace. 2011;

Maisel WH, Rawn JD, Stevenson WG. Atrial fibrillation after cardiac
surgery. Ann Intern Med. 2001;135:1061-73.

Mannacio VA, Iorio D, De Amicis V, et al. Effect of rosuvastatin


pretreatment on myocardial damage after coronary surgery: A
randomized trial. J Thorac Cardiovasc Surg 2008;136:1541-8

Mathew JP, Parks R, Savino JS. Atrial fibrillation following coronary artery
bypass graft surgery: predictors, outcomes, and resource utilization.
MultiCenter Study of Perioperative Ischemia Research Group. JAMA.
1996;276:300-6.

Mariscalco G, Lorusso R, Klersy C, et al. Observational Study on the


Beneficial Effect of Preoperative Statins in Reducing Atrial

Universitas Sumatera Utara


56

Fibrillation After Coronary Surgery. Ann Thorac Surg. 2007;84:1158–


65.

Marzilli M. Pleiotropic Effects of Statins: Evidence for Benefits Beyond


LDL-Cholesterol Lowering. Am J Cardiovasc Drugs. 2010;10(1):3-9

McLean DS, Ravid S, Blazing M, et al. Effect of statin dose on incidence of


atrial fibrillation: Data from the Pravastatin or Atorvastatin Evaluation
and Infection Therapy–Thrombolysis in Myocardial Infarction 22
(PROVE IT–TIMI 22) and Aggrastat to Zocor (A to Z) trials. Am
Heart J. 2008;155:298-302

Miceli A, Fino C, Fiorani B, et al. Effects of Preoperative Statin Treatment


on the Incidence of Postoperative Atrial Fibrillation in Patients
Undergoing Coronary Artery Bypass Grafting. Ann Thorac Surg.
2009;87:1853– 8.

Mithani S, Akbar MS, Johnson DJ, et al. Dose dependent effect of statins on
postoperative atrial fibrillation after cardiac surgery among patients
treated with beta blockers. Journal of Cardiothoracic Surgery. 2009,
4:61

Narayan SM, Cain ME, Smith JM, et al. Atrial Fibrillation. Lancet. 1997;
350: 943–50

Nattel S. New ideas about atrial fibrillation 50 years on. Nature.


2012;4:218-26.

Ozaydin M. Atrial fibrillation and inflammation. World J Cardiol. 2010;


2(8): 243-250.

Patel MR, Calhoon JH, Dehmer GJ, et al.


ACC/AATS/AHA/ASE/ASNC/SCAI /SCCT/STS 2017 Appropriate
Use Criteria for Coronary Revascularization in Patients With Stable
Ischemic Heart Disease. J Am Coll Cardiol 2017;69

Universitas Sumatera Utara


57

Patti G, Chello M, Candura D. Randomized trial of atorvastatin for


reduction of post-operative atrial fibrillation in patients undergoing
cardiac surgery: results of the ARMYDA-3 (Atorvastatin for
Reduction of MYocardial Dysrhythmia After cardiac surgery) study.
Circulation. 2006;114:1455–61.

PERKI. Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. 1st ed. Jakarta: Centra
Communications. 2014;99.

Rahimi K, Martin J, Emberson J, et al. Effect of statins on atrial fibrillation:


collaborative metaanalysis of published and unpublished evidence
from randomised controlled trials. BMJ 2011;342:d1250

Ramlawi B, Otu H, Mieno S, et al. Oxidative stress and atrial fibrillation


after cardiac surgery: a case-control study. Ann Thorac Surg.
2007;84:1166–73.

Roberts-Thomson KC, Stevenson I, Kistler PM, et al. The role of chronic


atrial stretch and atrial fibrillation on posterior left atrial wall
conduction. Heart Rhythm. 2009;6:1109 –1117

Sakamoto H, Watanabe Y, Satou M. Do Preoperative Statins Reduce Atrial


Fibrillation after Coronary Artery Bypass Grafting?. Ann Thorac
Cardiovasc Surg. 2011; 17(4):376-82

Sirtori CR. The pharmacology of statins. Pharmacol Res. 2014:1-9

Shannon J, John S, Ferrara J, et al. Statin-Associated Myopathy. US Pharm.


2012;37(2):55-59

Shishehbor MH, Brennan ML, Aviles RJ, et al. Statins Promote Potent
Systemic Antioxidant Effects Through Specific Inflammatory
Pathways. Circulation. 2003;108:426-431

Universitas Sumatera Utara


58

Song YB, On YK, Kim JH, et al. The effects of atorvastatin on the
occurrence of postoperative atrial fibrillation after off-pump coronary
artery bypass grafting surgery. Am Heart J .2008;156:373.e9-16.

Sun Y, Ji Q, Mei Y, et al. Role of Preoperative Atorvastatin Administration


in Protection Against Postoperative Atrial Fibrillation Following
Conventional Coronary Artery Bypass Grafting. Int Heart J. 2011;
52:7-11.

Tamura K, Arai H, Ito F, et al. Pravastatin treatment before coronary artery


bypass grafting for reduction of postoperative atrial fibrillation. Gen
Thorac Cardiovasc Surg. 2010; 58:120–125

Tarigan RA, Akbar NA, Siregar AA, et al. Nilai total waktu konduksi
interatrium memprediksi kejadian fibrilasi atrium paska operasi bedah
pintas koroner. 2018.

Tjokroprawiro A. The 22 pleiotropic properties of statin and cardiovascular


diseases: The Roles of Atorvastatin with Its PPECCAT-
GOMMESAAB Effects. Folia Medica Indonesiana. 2009; 45: 315-
323

Turagam MK, Downey FX, Kress DC, et al. Pharmacological strategies for
prevention of postoperative atrial fibrillation. Expert Rev. Clin.
Pharmacol. 2015;8(2), 233–250.

Wang CY, Liu PY, Liao JK, et al. Pleiotropic effects of statin therapy:
molecular mechanisms and clinical results. J Mol Med. 2007;14;37-45

Windecker S, Kolh P, Alfonso F, et al. 2014 ESC/EACTS Guidelines on


myocardial revascularization. European Heart Journal .2014;35:
2541–619.

Universitas Sumatera Utara


59

Wong CX, Brown A, Tse HF, et al. Epidemiology of Atrial Fibrillation: The
Australian and Asia-Pacific Perspective. Heart, Lung and Circulation.
2017;1-36.

Zacharias A, Schwann TA, Riordan CJ. Obesity and risk of new-onset atrial
fibrillation after cardiac surgery. Circulation. 2005;112:3247-3255.

Zheng H, Jayaram R, Jiang L, et al. Perioperative Rosuvastatin in Cardiac


Surgery. N Engl J Med. 2016;374:1744-53

Zheng H, Xue S, Hu ZL, et al. The Use of Statins to Prevent Postoperative


Atrial Fibrillation After Coronary Artery Bypass Grafting: A Meta-
analysis of 12 Studies. J Cardiovasc Pharmacol. 2014;64:285–292

Universitas Sumatera Utara


60

LEMBAR KERJA PENELITIAN

Kelompok:

Data Pasien
Nama : BSA :
MR : BMI :
Umur : Tgl. Masuk :
JK : Tgl. Keluar :
BB : Lama Rawatan ICU/RS:
TB : Diagnosa :

EKG Pre-Op
Fx. Risiko/ Ya Tidak Irama :
Riw. P wave dur :
Penyakit PR int :
Diabetes QRS rate :
Mellitus
Hipertensi
Dislipidemia
COPD
CHF

Foto Toraks:

Hasil Lab Pre-op


Hb : Na:
Leu : K:
Ur : Cl:
Cr : Mg:
KGD: Ca:

Echo Pre-Op
EF (Simpsons) : IVSD (mm):
LVEDD (mm) : IVSS (mm):
LVESD (mm): LA D (mm):
TAPSE (mm): Ao D (mm):

Universitas Sumatera Utara


61

Durante Op

Tgl Operasi:
Lokasi Graft : Jumlah graft:

CPB time : Cross Clamp Ao :


Lama Operasi : Jumlah perdarahan :
Komplikasi: Pacemaker:
Obat-obatan preoperasi :

EKG Post Op
Irama:
HR:
Onset AF (hari ke-):
Durasi AF (menit):
Terapi:

Hasil Lab Post-op


Hb : Na:
Leu : K:
Ur : Cl:
Cr : Mg:
KGD: Ca:

Universitas Sumatera Utara


62

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. KETERANGAN PERORANGAN
a. Nama Lengkap : dr. Sheila Dhiene Putri
b. NIM : 137115004
c. Tempat/Tanggal Lahir : Palembang/ 28 Oktober 1988
d. Jenis kelamin : Perempuan
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Status Perkawinan : Menikah
h. Tempat Tinggal : Jl. Mesjid Perumahan Taman Kyoto No A9
Medan
i. Email/No.HP : sheiladputri@gmail.com / 082273281028

II. PENDIDIKAN
a. SD Kartika II-5 Persit Bandar Lampung, Tamat tahun 2000.
b. SLTP Negeri 2 Bandar Lampung, Tamat tahun 2003.
c. SMA Negeri 1 Medan, Tamat tahun 2006.
d. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Tamat tahun
2011.
e. PPDS Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara mulai Januari 2014 – hingga saat ini.

III. KARYA ILMIAH


Pengarang (Author) Abstrak/Laporan Kasus
1. A 21 Years Old Male With Tuberculosis Constrictive Pericarditis: A Case
Report. (Poster Presentation 7nd InaEcho 2016).
2. Abnormal Heart Rate Recovery as a Predictor of Diastolic Dysfunction in
Patients with Stable Angina Pectoris (Poster Presentation 26th ASMIHA
2017)

Universitas Sumatera Utara


63

3. Peran Nilai Interval QT Terkoreksi dari Elektrokardiografi sebagai Penanda


Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri Pada Penderita Hipertensi

Universitas Sumatera Utara


64

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai