Anda di halaman 1dari 79

KARAKTERISTIK ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN TAHUN 2013-2018

Tesis

Oleh

RALPH LUKAS SUDARTO SITORUS


NIM 147041045

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


KARAKTERISTIK ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN TAHUN 2013-2018

Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher

Oleh

RALPH LUKAS SUDARTO SITORUS


NIM 147041045

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
1

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian penyusunan tesis yang berjudul “ Karakteristik Abses Leher Dalam di RSUP
Haji Adam Malik Medan Tahun 2013-2018” sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam bidang Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam menjalani pendidikan magister dan penyelesaian tesis ini, berbagai pihak
telah turut berperan serta membantu memberikan saran, kritik yang membangun dan
memberikan dorongan kepada saya sehingga terlaksana seluruh rangkaian kegiatan
pendidikan ini. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini, saya sampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. T.H.T.K.L(K), selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah bersedia secara ikhlas meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga serta dengan
penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasihat, masukan, koreksi dan
motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini. Semoga Tuhan selalu
melimpahkan berkat dalam segala aspek kehidupan Beliau.
dr. Linda I. Adenin, Sp.T.H.T.K.L, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang juga
telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga selalu membimbing, memberikan
nasihat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis
ini. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dalam segala aspek kehidupan Beliau.
Dr. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku Konsultan Penelitian yang telah memberikan
waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing, memotivasi dan memberikan pengarahan,
memperluas keilmuan serta mengajari saya banyak hal mengenai metodologi penelitian
dan statistika, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Para Komisi Penguji tesis Dr. dr. HR Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS)
Sp.T.H.T.K.L(K) dan dr. Ashri Yudistira, M.Ked (ORL-HNS) Sp.T.H.T.K.L(K) dan yang
telah sangat baik bersedia memberikan penilaian, saran dan masukan yang sangat
berharga demi sempurnanya tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


Kepala Departemen T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran USU, Prof. Dr. dr. Tengku
Siti Hajar Haryuna Sp.T.H.T.K.L(K) dan Ketua Program Studi T.H.T.K.L Fakultas
Kedokteran USU, dr. Adlin Adnan, Sp. T.H.T.K.L (K), yang telah memberikan izin,
kesempatan dan ilmu dengan penuh pengertian serta kesabaran kepada saya dalam
mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai selesai. Ditengah kesibukan
keduanya, selalu mengajarkan begitu banyak hal mengenai ilmu pengetahuan maupun
memotivasi untuk menjadi dokter spesialis yang handal.
Seluruh supervisor di jajaran Departemen T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran
USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.T.H.T.K.L(K), iii dr.
Yuritna Haryono, Sp.T.H.T.K.L (K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.T.H.T.K.L(K), dr.
Mangain Hasibuan, Sp.T.H.T.K.L., dr. Tengku Sofia Hanum, Sp.T.H.T.K.L.(K), , dr. Ida
Sjailandrawati Harahap, Sp.T.H.T.K.L., Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K), dr.
Linda I. Adenin, Sp.T.H.T.K.L, dr. Adlin Adnan, Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Rizalina A. Asnir,
Sp.T.H.T.K.L(K) FICS, dr. Siti Nursiah, Sp.T.H.T.K.L(K), Dr. dr. Andrina Y. M. Rambe,
Sp.T.H.T.K.L (K), dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked, Sp.T.H.T.K.L, Prof. Dr. dr. Farhat,
M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L(K) FICS, Prof. Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna,
Sp.T.H.T.K.L (K), dr. Aliandri, Sp.T.H.T.K.L (K), dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS)
Sp.T.H.T.K.L (K) FICS, Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L (K), Dr.
dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L(K), dr. M. Pahala Hanafi
Harahap, M.Ked (ORL-HNS) Sp. T.H.T.K.L (K), dr. Ferryan Sofyan, M.Kes,
Sp.T.H.T.K.L (K), Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp.T.H.T.K.L, dr. Indri Adriztina, M.Ked (ORL-
HNS), Sp.T.H.T.K.L, dr. Vive Kananda, Sp. T.H.T.K.L, dr. Lia Restimulia, Sp. T.H.T.K.L.
dan dr Carlo Maulana Akbar, M.Ked (ORL-HNS)Sp. T.H.T.K.L.serta seluruh supervisor
T.H.T.K.L di rumah sakit jejaring. Terima kasih banyak atas segala ilmu, pengalaman,
keterampilan dan bimbingannya yang sangat begitu berharga selama ini.
Yang terhormat Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) sebagai
Ketua Program Studi Magister Kedokteran Klinik yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen
T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran USU.
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung Sitepu,
SH, M.Hum atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya, untuk mengikuti

Universitas Sumatera Utara


dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen
T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof.
Dr.dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada saya, untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister
Kedokteran Klinik di Departemen T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di
Rumah Sakit ini.
Terima kasih dan hormat tidak terhingga serta cinta yang tak terukur saya
kepada kedua orang tua Ir. Midian Sitorus dan Gloria Simanjuntak, Sp.N yang dengan
penuh kasih sayang membesarkan dan memberikan pendidikan serta senantiasa
memanjatkan doa yang tulus bagi keberhasilan anak-anaknya. Tanpa kalian berdua,
saya sama sekali bukanlah apa-apa dan tidak akan mampu menjadi layaknya
seseorang seperti saat ini. Kalian selalu menjadi motivasi utama dalam kehidupan saya.
Semoga saya akan selalu berusaha memberikan kebahagiaan dan membalas semua
kebaikan serta menjadi sosok orang yang dapat kalian banggakan.
Terima kasih dan hormat tak terhingga saya ucapkan kepada papa mertua L. L.
Toruan dan mama mertua Bintang Sibarani yang selalu memberikan doa, dukungan
dan motivasi demi terselesaikannya tesis ini.
Istri terkasih dr Erty Witalaya L.Toruan, M.Ked (DV), Sp.DV serta anak-anak
saya tercinta Ranery Lamria Benedicti Sitorus dan Russel Yohanes Guerral Sitorus
yang menjadi sumber semangat terselesaikannya tesis ini, Tiada kata yang lebih indah
yang dapat saya ucapkan selain terima kasih atas pengorbanan tiada tara, kesabaran
dan tak henti-hentinya memberikan semangat dan doa kepada saya.
Abang dan adik-adik saya, Rylan Abdega L.Toruan, Rachel Sheila Sitorus, Anto
Manurung, dan Riris Sitorus yang telah memberikan dorongan, doa dan cinta kasih
serta persaudaraan yang erat selama ini.

Universitas Sumatera Utara


Para abang dan kakak senior serta para adik junior selama masa pendidikan
spesialis T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran USU yang telah membantu dan memberikan
masukan dalam terselesaikan tesis ini.
Terima kasih juga ditujukan kepada sahabat-sahabat saya dr. Elvien M. Saleh,
M.Ked (ORLHNS), Sp. T.H.T.K.L., dr. Kasman Habib, M.Ked (ORL-HNS), Sp.
T.H.T.K.L., dr. Andika Zayani, M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L., dan dr. M. Husni atas
segala kerjasama, kekompakan, serta saling mendukung dalam segala hal yang dilalui.
Semua pihak yang telah banyak membantu, baik langsung maupun tidak
langsung, seluruh kerabat, handai taulan dan para sejawat yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, hanya Tuhan yang mampu memberikan balasan terbaik.
Kepada semua pihak yang telah banyak membantu, seluruh kerabat, handai
taulan, hanya untaian kata ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya yang dapat
penulis sampaikan.
Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala
kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini. Mudah-mudahan
tesis ini dapat memberi sumbangan berharga bagi perkembangan dunia ilmu dan
bermanfaat bagi orang banyak. Semoga Tuhan senantiasa memberi kasih dan
berkatNya kepada kita semua. Amin.

Medan, 20 November 2020

Ralph Lukas S Sitorus

Universitas Sumatera Utara


Karakteristik Abses Leher Dalam
Di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013-2018
Ralph Lukas S. Sitorus, Delfitri Munir, Linda I. Adenin
Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan – Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang: Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
infeksi pada gigi, mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya. Pembentukan
abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat
tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun
melalui laserasi atau perforasi. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen
dan celah antar ruang leher dalam sehingga bila tidak mendapat terapi yang tepat dapat
menimbulkan berbagai komplikasi.

Tujuan: untuk mengetahui karakteristik abses leher dalam di RSUP H Adam Malik
Medan tahun 2013 – 2018.

Metode: Penelitian ini berjenis deskriptif dengan desain crossectional (potong lintang)
dimana sampel penelitian adalah seluruh data penderita abses leher dalam yang datang
ke RSUP. H. Adam Malik yaitu Januari 2013 - Desember 2018.

Hasil: Pada penelitian ini penderita abses leher dalam mayoritas dijumpai pada laki-laki
(68,3%), dimana mayoritas memiliki kelompok umur >50-60 tahun (26,8%). Selain itu,
mayoritas penderita abses leher dalam memiliki keterlibatan letak anatomi ruang
submandibula (63,4%) dan yang paling jarang terlibat adalah ruang parafaring (2,4%).
Mayoritas penderita abses leher dalam tanpa disertai penyakit penyerta (53,1%)
sedangkan penyakit penyerta yang paling banyak dijumpai adalah DM (26,8%). Dari hasil
penelitian ini didapatkan terapi abses leher dalam terbanyak adalah medikamentosa dan
operatif (43,9%). Penderita abses leher dalam mayoritas tanpa disertai komplikasi
(75,6%) sedangkan komplikasi yang terbanyak adalah sepsis (14,6%).

Kesimpulan: Kejadian abses leher dalam menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah
ditemukan terapi antibiotik. Walaupun begitu, bila terjadi suatu abses leher dalam harus
segera waspada karena penganganan yang terlambat sering diikuti penyebaran inflamasi
bisa menyebabkan bermacam komplikasi.

Kata kunci: karakteristik, abses leher dalam, 2013-2018

Universitas Sumatera Utara


Characteristics of a Deep Neck Abscess
In RSUP Haji Adam Malik Medan 2013-2018
Ralph Lukas S. Sitorus, Delfitri Munir, Linda I. Adenin
Department of Ear Nose Throat Head and Neck Surgery
Faculty of Medicine, Universitas Sumatera Utara, Medan – Indonesia

ABSTRACT

Background: Deep neck abscesses can be caused by tissue damage due to infection of
the teeth, mouth, throat, nose, and other surrounding structures. Abscess formation is the
result of the development of the normal flora in the body. Normal flora can grow and reach
sterile areas of the body either by direct extension, or through lacerations or perforations.
Most deep neck abscesses are caused by a mixture of various germs, both aerobic,
anaerobic, and facultative anaerobes. The spread of deep neck abscesses can be done
in several ways, namely hematogenous, lymphogenous and gaps between the deep neck
spaces so that if there is no proper therapy it can cause various complications.

Objective: to determine the characteristics of a deep neck abscess at RSUP H Adam


Malik Medan in 2013 - 2018.

Methods: This research is a descriptive type with a cross-sectional design (cross-


sectional) where the research sample is all data on deep neck abscess patients who
come to the hospital. H. Adam Malik, namely January 2013 - December 2018.

Results: In this study, the majority of patients with neck abscess were found in men
(68.3%), where the majority had the age group> 50-60 years (26.8%). In addition, the
majority of patients with deep neck abscesses had involvement of the anatomical location
of the submandibular space (63.4%) and the most rarely involved was the parapharynx
space (2.4%). The majority of patients with deep neck abscesses were not accompanied
by comorbidities (53.1%), while the most common comorbidities were DM (26.8%). The
results of this study showed that most deep neck abscess therapy was medical and
operative (43.9%). The majority of patients with neck abscesses were without
complications (75.6%), while the most complication was sepsis (14.6%).

Conclusion: The incidence of deep neck abscesses became less frequent after antibiotic
therapy was discovered. However, if a deep neck abscess occurs, caution should be
taken because late treatment is often followed by the spread of inflammation and can
cause various complications.

Keywords: characteristics, deep neck abscess, 2013-2018

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... v
DAFTAR TABEL ...................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah................................................................ 2
1.3 Tujuan penelitian .................................................................. 2
1.3.1 Tujuan umum ............................................................. 2
1.3.2 Tujuan khusus ........................................................... 2
1.4 Manfaat penelitian ............................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi .................................................................................. 4
2.2 Etiologi .................................................................................. 4
2.3 Anatomi ................................................................................ 5
2.3.1 Fascia ........................................................................ 6
2.3.2 Rongga ...................................................................... 9
2.4 Klasifikasi............................................................................ 15
2.4.1 Abses peritonsil (Quinsy) ......................................... 15
2.4.2 Abses retrofaring...................................................... 21
2.4.3 Abses parafaring ...................................................... 25
2.4.4 Abses submandibula................................................ 28
2.5 Penyakit Penyerta .............................................................. 32
2.6 Kerangka Teori ................................................................... 33
2.7 Kerangka Konsep ............................................................... 33

i
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian ................................................................... 34
3.2 Tempat dan waktu penelitian ............................................. 34
3.3 Populasi dan sampel penelitian .......................................... 34
3.3.1 Populasi ................................................................... 34
3.3.2 Sampel penelitian .................................................... 34
3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi................................................. 34
3.4.1 Kriteria inklusi........................................................... 34
3.4.2 Kriteria eksklusi ........................................................ 34
3.5 Teknik pengambilan data.................................................... 35
3.6 Pengolahan dan analisis data............................................. 35
3.7 Variabel penelitian .............................................................. 35
3.8 Definisi operasional ............................................................ 35
3.9 Pencatatan dan cara kerja .................................................. 37
3.9.1 Pencatatan data....................................................... 37
3.9.2 Cara kerja penelitian ................................................ 37
3.10 Kerangka Kerja ................................................................... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN


4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin ................... 39
4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan usia ................................. 39
4.3 Distribusi frekuensi berdasarkan letak anatomi .................. 40
4.4 Distribusi frekuensi berdasarkan penyakit penyerta ........... 40
4.5 Distribusi frekuensi berdasarkan tatalaksana dan hasil ...... 41
4.6 Distribusi frekuensi berdasarkan komplikasi ....................... 42
4.7 Distribusi frekuensi berdasarkan pola kuman ..................... 42

BAB V PEMBAHASAN ........................................................................... 44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 50


6.1 Kesimpulan ......................................................................... 50

ii

Universitas Sumatera Utara


6.1 Saran .................................................................................. 50

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 52

LAMPIRAN .............................................................................................. 57

iii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome


AP : Antero Posterior
HIV : Human Immunodeficiency Virus
THT-KL : Telinga Hidung Tenggorokan – Kepala Leher
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

iv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 ............................................................................................. 6
Gambar 2.2 ............................................................................................. 9
Gambar 2.3 ............................................................................................ 10
Gambar 2.4 ............................................................................................ 10
Gambar 2.5 ............................................................................................ 11
Gambar 2.6 ............................................................................................ 13
Gambar 2.7 ............................................................................................ 20
Gambar 2.8 ............................................................................................ 24
Gambar 2.9 ............................................................................................ 26
Gambar 2.10 .......................................................................................... 27
Gambar 2.11 .......................................................................................... 29
Gambar 2.12 .......................................................................................... 30
Gambar 2.13 .......................................................................................... 33
Gambar 2.14 .......................................................................................... 33
Gambar 3.1 ............................................................................................ 38

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 ............................................................................................... 39
Tabel 4.2 ............................................................................................... 39
Tabel 4.3 ............................................................................................... 40
Tabel 4.4 ............................................................................................... 40
Tabel 4.5 ............................................................................................... 41
Tabel 4.6 ............................................................................................... 42
Tabel 4.7 ............................................................................................... 42

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 ............................................................................................... 57
Lampiran 2 ............................................................................................... 61

vii

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
infeksi pada gigi, mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya.
Kejadian abses leher dalam menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah
ditemukan terapi antibiotik. Walaupun begitu, bila terjadi suatu abses leher
dalam harus segera waspada karena penganganan yang terlambat sering
diikuti penyebaran inflamasi bisa menyebabkan bermacam komplikasi
seperti mediastinitis, sepsis dan edema laring (Lee, 2011).
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora
normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah
steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi
atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian
tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi
berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif
anaerob. (Fachruddin D, 2007)
Angka kejadian abses leher dalam mulai menurun secara bermakna
sejak era pemakaian antibiotik. Selain itu, kesehatan rongga mulut yang
meningkat juga turut berperan dalam hal tersebut. Sebelum era antibiotik,
sebanyak 70% infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi di
faring serta tonsil ke parafaring. Yang et al, melaporkan dari 100 kasus
abses leher dalam yang diteliti mulai April 2001 hingga Oktober 2006
didapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3:2.(Yang SW,
2008) Di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta selama tahun 2014, ditemukan 17
penderita abses leher dalam dengan lokasi abses tersering pada ruang
submandibula yaitu 64,70%, dengan patogenesis tersering adalah
odontogenik 29,41% (Renny, 2016).

Universitas Sumatera Utara


2

Menurut penelitian M. Arvin, di RSUP dr. M. Hoesin Palembang, dari


26 kasus yang diteliti dari tahun 2012 hingga 2015 pasien abses leher
dalam dengan hasil kultur paling banyak adalah Klabsiella pneumoniae
(75%), dan 23,1% kasus disertai penyakit diabetes melitus dan tidak ada
yang memiliki penyakit immunodefisiensi (M.Arvin, 2017). Berdasarkan
penelitian Syaiful Rizal pada tahun 2014 hingga 2017 di RSUP Dr
Soetomo Surabaya didapatkan bahwa meropenem merupakan antibiotik
yang memiliki sensitivitas terbaik (Rijal, 2017). Sedangkan di RSUP H.
Adam Malik Medan, dari 40 kasus yang diteliti dari tahun 2006 hingga
2012, 85% dijumpai abses leher dalam tanpa komplikasi, dan 60% kasus
diterapi dengan medikamentosa dan operatif, serta 10% dari hasil
penatalaksanaan dinyatakan meninggal (Sari, 2013).
Abses leher dalam terjadi oleh karena bermacam penyebab dan
dalam karakteristik pasien tertentu angka kejadian abses leher dalam
lebih tinggi. Maka dari itu, penelitian mengenai prevalensi abses leher
dalam akan dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari
2013 – 31 Desember 2018 berdasarkan berbagai karakteristik pasien.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana karakteristik abses leher dalam di Departemen THT-KL
FK USU/SMF THT-KL RSUP H Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik abses leher
dalam di RSUP H Adam Malik Medan tahun 2013 – 2018.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan kelompok
jenis kelamin.

Universitas Sumatera Utara


3

2. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.


Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan kelompok
umur.
3. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan lokasi anatomi
yang terlibat.
4. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan penyakit
penyerta.
5. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan tatalaksana
dan hasil tatalaksana.
6. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan komplikasi.
7. Mengetahui distribusi frekuensi abses leher dalam di RSUP. H.
Adam Malik Medan tahun 2013 - 2018 berdasarkan tipe kuman
penyebab.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Dapat memberikan informasi untuk melengkapi data-data penderita
abses leher dalam di RSUP. H. Adam Malik Medan.
2. Untuk evaluasi penatalaksanaan abses leher dalam selama ini
sehingga jika ada kekurangan dapat dilakukan perbaikan.
3. Untuk pengembangan keilmuan secara khusus di bidang ilmu
kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher.
4. Dapat bermanfaat sebagai bahan penyuluhan bagi masyarakat
untuk mengetahui pencegahan, gejala dan penatalaksanaan
penderita abses leher dalam.
5. Rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan penyakit
abses leher dalam.

Universitas Sumatera Utara


4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
(Noviadi, 2010) Gejala dan tanda klinisnya dapat berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat (Fachruddin, 2007).

2.2. Etiologi
Pada era sebelum antibiotik, organisme penyebab abses leher dalam
terutama adalah Staphylococcus aureus. Setelah penggunaan antibiotik,
Streptococcus tipe aerob dan non-Streptococcal anaerob menjadi
penyebab utama. Masalah ini paling sering muncul dari infeksi
odontogenik. Namun hal ini dapat berbeda-beda dari berbagai penelitian
(Aynechi, 2014).
Penelitian oleh Adovica dan kawan-kawan di Latvia menunjukkan
bahwa Acinetobacter baumanii merupakan patogen yang paling sering
menyebabkan abses leher dalam, diana ceftazidim, gentamisin dan
cotrimoxazole merupakan antibiotika yang paling tinggi angka
resistensinya (Adovica, 2017).
Beka dan kawan-kawan di Larissa, Yunani melaporkan bahwa
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus merupakan kuman
yang paling banyak menyebabkan infeksi leher dalam. Area yang paling
sering terkena adalah peritonsilar (Beka, 2019).
Penelitian di Brazil juga menunjukkan bahwa penyebab paling
sering adalah Streptococcus pyogenes dimana tonsilitis dan infeksi
odontogenik merupakan penyebab utamanya (Brito, 2016).
Penelitian oleh Celakovsky dan kawan-kawan pada 634 pasien di
Republik Ceko juga menunjukkan bahwa bakteri aerobik merupakan
kuman penyebab tersering (246 kasus) dari abses leher dalam, dimana
yang paling sering adalah Streptococcus pyogenes (41 %),
4

Universitas Sumatera Utara


5

Staphyloccocus aureus (32 %) Sedangkan bakteri anaerob yang paling


sering menjadi penyebab adalah Peptostreptococcus sp. (28%) dan
Proprionibacterium sp. (7%) (Celakovsky, 2015).

2.3. Anatomi
Pengetahuan anatomi leher sangatlah penting dalam pemahaman
abses leher dalam baik dari segi tatalaksananya sampai antisipasi potensi
terjadinya komplikasi. Leher merupakan suatu tabung yang menjadi
penghubung antara kepala dan dada. Bagian tubuh ini berjalan dari batas
inferior mandibula secara anterior ke permukaan atas manubrium sternum
dan permukaan superior klavikula dan pada bagian posterior dari linea
nuchal superior dari tulang oksipital ke diskus intervertebral antara
vertebra servikal VII ke Torakal I (Drake, 2012).
Oleh karena itu, regio servikal dapat dibagi menjadi empat
kompartemen secara longitudinal yakni (Gambar 2.1) :
 Kompartemen viseral yang terletak di bagian anterior dan terdiri dari
sistem digestif dan respirasi serta beberapa kelenjar endokrim
 Kompartemen vertebral yang terletak di bagian posterior dan
mengandung vertebra servikal, korda spinalis, saraf servikal dan otot-
otot yang berkaitan dengan kolumna vertebralis
 Dua kompartemen vaskular yang terletak lateral dan mengandung
pembuluh darah mayor dan nervus vagus. (Drake et al, 2012)

Universitas Sumatera Utara


6

Gambar 2.1. Kompartemen Leher (Drake, 2012)

2.3.1 Fascia
Kompartemen-kompartemen pada leher dipisahkan oleh pelapis
fascia yang unik. Fascia pada leher ini dapat dibagi menjadi fascia
servikalis superfisial dan fascia servikalis profunda (Gambar 2.2)
(Standring et al, 2016).
a. Fascia servikalis
Fascia servikalis superfisial terletak dibawah kulit dari kepala dan leher,
terentang dari puncak kepala sampai ke pundak, aksila dan toraks. Fascia
ini melapisi jaringan lemak, saraf sensori, pembuluh darah superfisial,
limfe dan platisma. Platisma tidak ada pada garis tengah tubuh (Aynechi &
Har-El, 2014).

b. Fascia servikalis profunda


Fascia servikalis profunda, untuk kepentingan pembedahan dapat
dibagi menjadi :
 Lapisan superfisial
 Lapisan Media yang terbagi lagi menjadi lapisan muskular dan visceral
 Lapisan profunda yang terbagi menjadi fascia alar dan fascia
prevertebral

Universitas Sumatera Utara


7

 Carotid sheath yang dibentuk oleh lapisan superfisial, media dan


profunda dari fascia servikalis profunda. (Aynechi , 2014; Standring,
2016)
Fascia ini merupakan jaringan ikat fibrosa. Lapisan yang melapisi
komponen non ekspansil seperti otot sternokleidomastoideus merupakan
lapisan yang berkembang dengan baik serta dapat dijahit; sedangkan
lapisan yang melapisi komponen ekspansil tidak dapat dijahit.

c. Lapisan superfisial fascia servikalis profunda


Lapisan ini melekat pada linea nuchal posterior, ligamen nuchae
vertebra servikal serta prosesus mastoid. Lapisan ini membelah untuk
menyelimuti otot sternokleidomastoid dan trapezius di bagian anterior.
Perlekatan pada arah anterosuperior dibentuk pada bagian inferior arkus
zigomatikus. Kelenjar parotis dilapisi oleh lapisan ini pada bagian inferior.
Bagian dalam lapisaan ini melebar mengikuti kanal karotid dari tulang
temporal. Ligamen stilomandibular yang memisahkan kelenjar parotid dan
kelenjar submandibula terbentuk ketika fascia ini berjalan ke anterior
untuk menutupi kelenjar submandibula dan otot-otot mastikasi. Lapisan ini
melekat ke inferior pada tulang hioid, akromion, klavikula dan scapular
spine. Spatium suprasternal Burns dibentuk ketika fascia melapisi bagian
intermedia tendon muskulus omohioid. Isi dari lapisan ini dapat diingat
dengan “rule of 2” dimana 2 otot terletak diatas tulang hioid (masseter dan
bagian anterior musculus digastricus), 2 otot yang meyeberangi leher
(trapezius dan sternokleidomastoid), 2 glandula salivaris (parotid dan
submandibula) serta 2 kompartemen fascial (parotid dan mastikator)
(Aynechi, 2014; Lee , 2012)

d. Lapisan Media fascia servikalis profunda (fascia visceral)


Lapisan dapat dibagi menjadi divisi muskular dan divisi viseral. Divisi
muskular menyelubungi otot sternohyoid, sternothyroid, thyrohyoid,&
omohyoid. Sedangkan divisi visceral mengandung kelenjar paratiroid,
tiroid, esofaguus, trakea, laring, muskulus konstriktor faringeal serta
muskulus businator. Divisi visceral turut membentuk fascia pretrakeal dan

Universitas Sumatera Utara


8

fascia buccofaringeal. Fascia buccofaringeal terletak posterior dan


memisahkan esofagus dari lapisan profunda fascia servikalis profunda,
serta menjadi penanda dari bagian anterior spatium retrofaringeal.
Muskulus businator, konstriktor faringeal dan esofagus terletak diantara
fascia faringobasilar di sebelah anterior dan fasciar buccofaringeal di
sebelah posterior. Bagian tengah dari lapisan media fascia servikalis
profunda bersatu dengan perikardium fibrosa pada mediastinum superior,
sehingga menunjukkan kemungkinan terjadinya penyebaran infeksi.
(Aynechi, 2014)

e. Lapisan profunda fascia servikalis profunda (fascia prevertebral)


Lapisan terdiri dari 2 divisi yakni divisi prevertebral dan alar. Divisi
prevertebral membungkus vertebra servikal, nervus frenikus serta
muskulus paraspinosus. Lapisan ini berjalan dari basis kranii ke tulang
koksigeus dimana ia membentuk bdinding anterior spatium prevertebra
dengan perlekatan ke sebelah lateral dan posterior pada bagian
transversal prosesus spinosus. Divisi alar terletak diantara divisi
prevertebral di sebelah posterior dan fascia bucofaringeal dari divisi
visceral pada lapisan tengah fascia servikalis profunda di sebelah anterior.
Divisi alar juga berjalan dari basis kranii ke vertebra torasik II. Pada divisi
ini didapati adanya trunkus simpatetik servikal carotid sheath dibentuk
oleh ketiga lapisan dari fascia servikalis profunda dan berisi arteri karotis
komunis, vena jugularis interna, nervus vagus dan ansa servikalis.
(Aynechi, 2014; Standring, 2016)

Universitas Sumatera Utara


9

Gambar 2.2. Potongan yang menunjukkan rongga potensial pada leher


(Standring, 2016)

2.3.2 Rongga
Lapisan fascia leher menunjukkan adanya rongga potensial diatas
dan dibawah os hioid (Gambar 2.3; Gambar 2.4). Hal ini disebabkan
karena jaringan disekitar rongga potensial ini berhubungan sangat dekat
dengan pembatas jaringan ikat yang longgar. Rongga potensial leher
dapat dibagi menjadi :
a. Rongga yang melibatkan seluruh leher (rongga retrofaringeal, rongga
berbahaya, rongga prevertebral dan rongga karotis)
b. Rongga yang terletak diatas os hioid (rongga parafaringeal, rongga
submandibular, rongga sublingual, rongga parotid, rongga mastikator,
rongga peritonsilar dan rongga temporal)
c. Rongga yang terletak dibawah os hioid (rongga visceral anterior dan
rongga suprasternal) (Standring, 2016; Kitamura, 2016)

Universitas Sumatera Utara


10

Gambar 2.3. Potongan midsagital dari leher yang menunjukkan fascia dan
rongga potensial pada leher (Aynechi, 2014)

\\\

Gambar 2.4. Potongan leher pada orofaring yang menunjukkan relasi anatomik
dari rongga-rongga yang terletak di leher dalam. 1. Rongga parafaring; 2.
Rongga karotid; 3. Rongga Retrofaring; 4. Rongga bahaya; 5. Rongga
prevertebral; AD = Divisi alar dari lapisan profunda; PD = divisi prevertebral dari
lapisan profunda (Aynechi, 2014)

Universitas Sumatera Utara


11

Gambar 2.5. Potongan oblik dari leher yang menunjukkan rongga diatas os dan
rongga yan melibatkan seluruh leher (Aynechi, 2014)

a. Rongga yang melibatkan seluruh leher (Gambar 2.5) (Aynechi , 2014)


1. Rongga retrofaring
Rongga ini berjalan dari basis kranii ke bifurkasio trakea pada
mediastinum superior. Rongga ini terletak medial dari carotid sheath,
anterior dari rongga bahaya dan posterior dari fascia buccofaringeal dari
divisi visceral dari lapisan medial dari fascia servikalis profunda. Nodus
rouviere terletak pada rongga ini.
2. Rongga berbahaya
Rongga ini diapit oleh rongga prevertebral dan rongga retrofaringeal,
berjalan dari basis kranii ke setentang diafragma dengan resistensi
minimal. Rongga ini dibatasi pada bagian lateral oleh prosesus
transversus vertebra. Pada rongga ini terdapat trunkus simpatetik servikal.
Infeksi dapat berasal dari rongga retrofaringeal, parafaringeal dan
prevertebra.
3. Rongga prevertebra
Ruang ini berjalan dari basis kranii sampai ke koksigeus dan dibatasi
oleh korpus vertebra di sebelah posterior, rongga bahaya di sebelah
anterior dan prosesus transversus di sebelah lateral. Pada rongga ini

Universitas Sumatera Utara


12

terdapat jaringan areolar padat pada rongga bahaya. Pembuluh darah


vertebralis, nervus frenikus dan pleksus brakialis terdapat pada rongga ini.
Infeksi dapat menyebar dari vertebra atau luka tusuk.
4. Rongga karotid (ronga vaskular visceral)
Ruang ini merupakan rongga potensial yang dilapisi oleh carotidsheath
yang berjalan dari basis kranii ke toraks. Pada rongga ini terdapat arteri
karotid, vena jugularis intera, nervus vagus dan pleksus simpatetik. Infeksi
dapat menjalar dari rongga parafaring, luka tusuk atau penggunaan obat
suntik terlarang.

b. Rongga diatas os hioid


1. Rongga parafaring
Rongga potensial ini dikenal juga sebagai rongga faringeal lateral,
perifaringeal atau faringomaksilaris (Gambar 2.6). Rongga ini
dideskripsikan sebagai piramida terbalik dengan basis kranii disebelah
superior dan apeks pada kornu mayor os hioid di sebelah inferior. Sebelah
lateral terduru dari muskulus pterigoid lateral, mandibula dan glandula
parotid. Batas medialnya mencakup muskulus konstriktor superior dan
levator serta tensor veli palatini. Rongga ini berbatasan dengan muskulus
pterigoid pada sebelah posterior (dimana bila terlibat akan menyebabkan
trismus). Rongga ini dipisahkan menjadi kompartemen pre-styloid dan
post-styloid oleh prosesus styloideus. Kompartemen post-styloid
membungkus struktur neurovaskular yakni nervus kranial IX, X, XI, XII,
rantai simpatetik, arteri karotis serta vena jugularis interna. Kompartemen
pre-styloid mengandung jaringan lemak, muskulus styloglossus dan
stylofaringeus, lobus profunda dari glandula parotid serta nodus limfe.
Rongga ini berperan sebagai tempat transit dari infeksi yang melibatkan
beberapa lapisan dari rongga leher dalam. Sebagai contoh, rongga karotis
berjalan melalui rongga ini menuju mediastinum. Infeksi yang menyebar
dari lateral akan kontak dengan rongga mastikator serta penyebaran
posteromedial. (Aynechi , 2014)

Universitas Sumatera Utara


13

Gambar 2.6. Rongga parafaringeal pada tampilan aksial setentang


servikal 2 (Aynechi, 2014)

2. Rongga Submandibular dan sublingual.


Kedua rongga ini terhubung secara langsung. Batas superior dari
rongga ini adalah mukosa dari dasar mulut dan dibatasi oleh os hioid
disebelah posteroinferior, mandibula di sebelah anterior dan lateral dasar
lidah di sebelah posterior. Rongga submandibula dan sublingual
dipisahkan oleh muskulus mylohyoid, dan terhubung pada bagian
posterior muskulus mylohyoid. Karena inilah angina Ludwig akan
menyebabkan pembengkakan pada area submandibula dengan elevasi
dari dasar mulut. Rongga submandibular juga dipisahkan dan juga
berhubungan dengan rongga submental oleh anterior belly dari muskulus
digastrik. Pada rongga sublingual terdapat nervus hipoglosus, glandula
saliva sublingual dan duktus Wharton. Glandula submandibular terletak
diantara rongga sublingual dan submandibula pada sisi posterior
muskulus mylohioid (Kitamura S, 2017).

3. Rongga Parotid (Rongga Parotidomasseteric)


Rongga ini dibentuk ketika lapisan superfisial dari fascia servikalis
profunda melapisi kelenjar parotid, nodus limfatik periparotid, nervus
facial, vena facialis posterior dan arteri karotid eksterna. Adanya defisiensi

Universitas Sumatera Utara


14

dari fasia sepanjang batas medial menyebabkan terjadinya hubungan dari


glandula parotid dengan rongga parafaringeal prestyloid (Kitamura S,
2017).
4. Rongga Mastikator
Rongga ini dibentuk oleh perselubungan lapisan superfisial dari fascia
servikalis profunda. Rongga ini berisi otot masseter, pterygoid lateral dan
medial, korpus dan ramus mandibula, saraf dan pembuluh darah alveolar
inferior, buccal fat pad, dan tendon temporalis. Rongga ini dapat dibagi
lagi menjadi rongga masseter, yang terletak diantara ramus mandibula
dan muskulus masseter dan rongga pterygoid yang berada diantara
ramus mandibula dan muskulus pterygoid. Rongga mastikator terletak
anterolateral dari rongga parafaringeal dan profunda dari rongga temporal.
(Aynechi, 2014)
5. Rongga peritonsilar
Rongga ini diapit oleh kapsul tonsil palatin di sisi medial dan muskulus
konstriktor faringeal superior di sebelah lateral. Batas anterior dan
posterior dibentuk oleh muskulus palatoglosus dan palatofaringeus.
Sedangkan batas inferiornya dibatasi oleh 1/3 posterior dari lidah. Jika
infeksi dari area ini terlambat didrainase dapat terjadi ekstensi pada
rongga parafaringeal (Kitamura S, 2017).
6. Rongga temporal
Rongga ini dilapisi oleh tulang skuamosa temporal di sisi medial dan
fascia temporalis superfisial di sebelah lateral. Rongga ini membelah
menjadi komponen superfisial dan profunda oleh muskulus temporalis.
Rongga ini berisi arteri maksilaris interna dan divisi ketiga dari nervus
trigemial. (Aynechi, 2014)

c. Rongga di bawah os hioid


1. Rongga visceral anterior
Rongga ini berjalan secara inferior dari kartilago tiroid menuju vertebra
torasik IV. Didalam rongga ini terdapat faring, esofagus, trakea, kelenjar
tiroid dan paratiroid, yang dibungkus oleh fascia servikalis profunda.

Universitas Sumatera Utara


15

Infeksi pada bagian ini dapat muncul dari perforasi dinding esofagus
anterior, benda asing dan instrumentasi endoskopik. (Aynechi , 2014)
2. Rongga suprastrenal
Rongga ini terletak tepat pada bagian atas sternal notch, diselubungi
oleh lapisan superfisial dari fascia servikalis profunda. (Christian et al,
2015; Aynechi , 2014)

2.4 Klasifikasi
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring,
abses parafaring, dan abses submandibula.

2.4.1 Abses Peritonsil (Quinsy)


2.4.1.1 Definisi
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan
peritonsil yang terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain
adalah abses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di kelompok
kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai kelenjar Weber.
Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus
konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior),
dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial.
Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa
secara cepat membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi
progresif bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding
lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah (Fachruddin, 2008).

2.4.1.2 Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30
kasus per 100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per
tahun. Hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan pada anak-
anak. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76
tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35 tahun.
Selain itu, tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.

Universitas Sumatera Utara


16

2.4.1.3 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob (Fachruddin, 2008).
Biasanya, organisme gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi
melalui kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang
paling sering. Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphylococcus,
Pneumococcus, dan Haemophilus. Organisme lain yang dapat dikultur
adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp.,
Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak
bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering
menyebabkan abses tersebut (Repanos, 2009).

2.4.1.4 Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menampati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat melebar melibatkan
palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah.
Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian
inferior (Fachruddin, 2008).
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi
sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral (Dhingra PL, 2014).
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru (Huang TT, 2006).
Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang
parafaring dan kelenjar limfa servikal superior, yang menjelaskan pola
limfadenopati secara klinis. Limfadenopati servikal superior ipsilateral

Universitas Sumatera Utara


17

adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar limfa regional. Kadang-


kadang, keparahan proses supuratif dapat menuju abses servikal,
khususnya pada kasus yang sangat fulminan atau progresif cepat
(Fachruddin, 2008).

2.4.1.5 Gejala dan Tanda


a. Anamnesis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri
telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau
(foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot potato
voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta
pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Pasien
biasanya memiliki riwayat faringitis akut ditemani dengan tonsilitis dan
rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin memburuk. Pasien mungkin
mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering mengalami
demam dan rasa tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena
limfadenopati dan inflamasi otot servikal, pasien sering mengalami nyeri
leher dan bahkan keterbatasan gerak leher. Dokter harus memikirkan
diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala faring persisten
meskipun sudah diberikan rejimen antibiotik yang adekuat.
Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar
mulut, ruang parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut
mengkhawatirkan karena obstruksi jalan napas; dokter harus sadar
dengan gawat darurat yang mungkin terjadi (Gorjon, 2011).

b. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut
dengan faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis,
Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut
menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris, eksudasi tonsil,
dan uvula disposisi kontralateral.

Universitas Sumatera Utara


18

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring akibat trismus.


Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba
fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil
bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil
yang terkena, pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil,
mukosa dapat tampak pucat dan mungkin menunjukkan bintil-bintil kecil.
Palpasi pada palatum mole sering menunjukkan fluktuasi.
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien
dengan airway distress. Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan
epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita suara (Fachruddin, 2007)
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral.
Penemuan limfadenopati servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih
kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar limfa yang terkena mungkin agak padat.
Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang signifikan, tortikolis dan
keterbatasan mobilitas mungkin dialami (Dhingra PL, 2014)

2.4.1.6 Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil dapat ditegakkan melalui adanya
pembengkakan unilateral area peritonsil, pembengkakan unilateral
palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral, ataupun tonsilitis
yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten
(Boscolo, 2006)
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik
karena dapat menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi
dapat dikultur, dan pada beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin
tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok
berulang dan / atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi
indikasi tonsilektomi (Buckley, 2019).

Universitas Sumatera Utara


19

2.4.1.7 Terapi
a. Medikamentosa
Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena hinga
inflamasi hilang dan pasien dapat melanjutkan intake cairan oral adekuat.
Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa
tidak nyaman. Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh
dari abses. Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai
pilihan baik untuk terapi empiris untuk abses peritonsil. Sebagai pilihan
alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati kopatogen
dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan
pertama. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher (Cetin AC, 2017)

b. Bedah
1. Aspirasi jarum
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena
bisa menentukan lokasi rongga abses secara akurat. Aspirasi jarum dapat
dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi sadar
dilakukan. Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa
kasus, dpat tidak dilanjutkan dengan insisi dan drainase (Cetin AC, 2017).

2. Insisi dan drainase


Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di
atas abses, biasanya terletak di lipatan supratonsil. Setelah abses terlihat
lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan lokulisasi.
Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk
berkumur dengan larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar
dari rongga abses. Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke
perbaikan segera gejala-gejala pasien. (Gambar 2.7). Pada pasien sangat
muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat tidak biasa,
sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum (Cetin AC, 2017).

Universitas Sumatera Utara


20

Gambar 2.7. Insisi dan drainase pada abses peritonsil (Cetin AC, 2017).

3. Tonsilektomi
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan
bersama-sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”.
Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase
abses, disebut tonsilektomi “a’froid”. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu setelah drainase
abses (Aynehchi BB, 2014).

2.4.1.8 Komplikasi
Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru atau piemia. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring,
sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke
mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke
daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus,
meningitis, dan abses otak. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang
submandibular dan sublingual di dasar mulut (Angina Ludovici).
Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna
atau cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau
periode awal pascaoperasi (Brito, 2017)

Universitas Sumatera Utara


21

2.4.1.9 Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase
adekuat sembuh dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami
abses kembali, membutuhkan tonsilektomi. Jika pasien berlanjut
melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis setelah insisi dan
drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan (Fachruddin, 2007).

2.4.2 Abses Retrofaring


2.4.2.1 Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah
satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses
infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus paranasal, yang
menyebar ke kelenjar limfe retrofaring (Dhingra, 2007).
Penyakit ini ditemukan biasanya pada anak yang berusia di bawah
5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri.
Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia di atas
6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi (Abdel Haq, 2006).
Abses retrofaringeal menghasilkan gejala nyeri tenggorok, demam,
kaku leher, dan stridor. Abses retrofaringeal terjadi lebih sedikit daripada
jaman dahulu karena penggunaan antibiotik meluas pada infeksi saluran
napas atas supuratif. Abses retrofaringeal, dulu secara eksklusif
merupakan penyakit anak, sekarang meningkat frekuensinya pada orang
dewasa. Abses retrofaringeal menunjukan tantangan diagnostik pada
dokter gawat darurat karena kejadiannya yang tidak frekuen dan
presentasi yang bervariasi (Buckley, 2019).
Pengenalan segera dan penanganan agresif terhadap abses
retrofaringeal penting karena penyakit ini masih memiliki mortalitas dan
morbiditas yang signifikan (Fachruddin, 2007).

Universitas Sumatera Utara


22

2.4.2.2 Epidemiologi
Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu
karena penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika
Serikat yang merupakan negara maju juga didapatkan peningkatan
frekuensi dalam 12 tahun sebanyak 4,5 kali (Abdel, 2008).
Abses retrofaringeal lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan, dengan frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada
perempuan, dari hasil beberapa studi (Ridder, 2005).
Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi
pada anak, namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat (Abdel,
2008).

2.4.2.3 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang
retrofaring ialah (1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan
limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang faring oleh benda
asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised
atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS
memiliki resiko yang meningkat terhadap abses retrofaringeal
(Fachruddin, 2007).

2.4.2.4 Gejala dan tanda


Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar
menelan. Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus
(rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher
kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan, terutama di
hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring
dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu
resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada bayi, nyeri

Universitas Sumatera Utara


23

tenggorok dan/atau pembengkakan leher dapat menyebabkan asupan gizi


yang kurang disertai letargi (Das R, 2017).
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral.
Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis. Kelenjar getah bening leher juga
dapat membengkak. Pada anak dapat ditemukan gejala dan tanda
tonsilitis, faringitis, dan juga otitis media (Hirasawa, 2016).

2.4.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran
napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan
penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen
akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan
dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat
berkurangnya lordosis vertebra servikal (Kauffmann, 2017).

2.4.2.6 Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan
tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis
tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.
Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung
dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap,
agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal
atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda
infeksi reda (Jain A, 2018)

Universitas Sumatera Utara


24

Gambar 2.8.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B)


Insisi pada abses peritonsil (Dhingra, 2014)

2.4.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi penjalaran ke ruang
parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas
sampai asfiksia, dan bila pecah spontan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi dan abses paru (Pascual MP, 2017)
2.4.2.8 Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi
segera, ditangani secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat
kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien mengalami komplikasi serius
(Ridder GJ, 2005)

2.4.3 Abses Parafaring


2.4.3.1 Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus
pada ruang parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara
langsung akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen (Lee
KJ, 2012).

Universitas Sumatera Utara


25

2.4.3.2 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan berbagai cara
seperti: secara langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgetik sehingga peradangan terjadi karena ujung
jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis
(m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dan
fosa tonsilaris. Selain itu melalui proses supurasi kelenjar limfa leher
bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan
vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses
ruang parafaring. Dapat juga melalui penjalaran infeksi dari ruang
peritonsil, retrofaring, atau submandibula (Salih, 2012).

2.4.3.3 Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan
sekitar dan membentuk abses sublingual, submental, submandibula,
mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya
yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental. Bila
infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah
submandibula (Gambar 2.9). Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3
berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi
anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut (Repanos C,
2009)

Universitas Sumatera Utara


26

Gambar 2.9. Jalur infeksi dari gigi (Repanos C, 2009)

2.4.3.4 Gejala dan Tanda


Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus submandibula, demam tinggi dan
pembengkakan diniding lateral faring, sehingga menonjol ke arah medial
(Maharaj, 2019)

2.4.3.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan (Marioni, 2019)

2.4.3.6 Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral
terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera
dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam
dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar
dan inttra oral (Sittitrai P, 2018).
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior

Universitas Sumatera Utara


27

m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian


medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang parafaring
dengan terabanya prosesus stiloid. Pada Gambar 2. 10, Bila nanah
terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari
pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher) (Yellon RF, 2009).

Gambar 2.10. Insisi Mosher (Yellon RF, 2009).

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan


memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus
m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi
intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda (Sari
J, 2013).

2.4.3.7 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen,
atau langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke
atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum (Sharma K, 2017).
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia (Motahari, 2015).

Universitas Sumatera Utara


28

2.4.4 Abses Submandibula


2.4.4.1 Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan
salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neck infection). Pada
umumnya sumber infeksi pada ruang submandibula berasal dari proses
infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula. Mungkin
juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain (Rizzo, 2009).

2.4.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur,
atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan
infeksi ruang leher dalam lain. Sebagian besar abses leher dalam
disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah
Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus
Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman
anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok
batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium (Salih, 2012).
2.4.4.3 Patofisiologi
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh
dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor
kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat
langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke
daerah potensial lainnya. (Gambar 2.11) Penyebaran abses leher dalam
dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang
leher dalam dan trauma tembus. (Repanos C, 2009)

Universitas Sumatera Utara


29

Gambar 2.11. Skema perluasan infeksi pada ruang potensial leher. (PMS; ruang
faringo maksila, VVS; ruang vaskuler viseral). (Repanos C, 2009)

2.4.4.5 Gejala dan Tanda


Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan
mengeluhkan air liur yang banyak, trismus akibat keterlibatan muskulus
pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh
lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material
yang bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula
dapat diraba. Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang (Lee KJ,
2012)

2.4.4.6 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Dhingra, 2014).

Universitas Sumatera Utara


30

2.4.4.7 Terapi
Terapi pada abses submandibula dapat diberikan berdasarkan
algoritma (Gambar 2.12). Bila abses belum terbentuk maka terapi dapat
berupa antibiotic (parenteral). Bila abses telah terbentuk maka evakuasi
abses dapat dilakukan. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi
lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam
narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan (Ridder, 2005).

Gambar 2.12. Algoritme terapi abses submandibular (Ridder, 2005).

2.4.4.8 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen
atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari
submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas
antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara langsung atau
melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian
ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial
lainnya (Maharaj, 2019)

Universitas Sumatera Utara


31

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial,


ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum
menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan
dinding pembuluh darah (Ridder GJ, 2005).

2.4.4.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat
didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi
tidak terjadi.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai
40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis
mempunyai angka mortalitas 60% (Russel MD, 2018)

2.5 Penyakit Penyerta


Suebara dkk melaporkan bahwa sebanyak 23,75% pasien abses
leher dalam dengan penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, 17,5%
pasien dengan hipertensi, 11,25% dengan penyakit jantung, 8,75%
dengan penyakit kanker, 5% dengan penyakit paru, dan 3,75% dengan
infeksi HIV. Sedangkan Huang dkk pada penelitiannya menemukan
bahwa sebanyak 34,1% pasien abses leher dalam dengan penyakit
sistemik diantaranya 88,8% dengan diabetes mellitus, 9,5% dengan
uremia atau gagal ginjal kronis, 4,8% pasien dengan sirosis hati, 2,4%
pasien dengan sindrom mielodisplastik dan sebanyak 1,2% pasien
dengan keganasan pada lambung yang sedang menjalani kemoterapi
(Suebara, 2009).
Pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol dianggap berstatus
imunosupresi akibat efek negatif dari peningkatan gula darah pada sistem
imunitas tubuh. Kadar glukosa yang tinggi membatasi dan menderegulasi
sintesis neutrofil yang sangat penting dalam sistem kekebalan tubuh untuk
menyerang benda asing. Kalsium sitosol pada leukosit polimorfonuklear
(PMN) meningkat dengan adanya hiperglikemia dan berbanding terbalik
dengan terjadinya fagositosis pada pasien dengan diabetes tipe II. Kadar
sitosolik kalsium yang tinggi menghambat sintesis adenosin trifosfat (ATP)

Universitas Sumatera Utara


32

yang penting untuk fagositosis. Kemampuan PMN untuk mobilisasi ke


tempat infeksi dan merangsang apoptosis juga berdampak negatif.
Hiperglikemia menyebabkan perubahan fungsi sistem kekebalan yang
tidak diinginkan lainnya seperti penurunan respons komplemen,
kepatuhan leukosit dan aktivitas bakterisid (Sharma, 2017).
Kemampuan bakteri untuk berkembang dengan adanya gula darah
tinggi mengaktifkan respons kekebalan untuk memerangi infeksi tersebut.
Selain itu, keadaan hiperglikemik secara negatif memengaruhi
kemampuan tubuh untuk merespons terapi antimikroba. Infeksi bakteri
umum termasuk organisme gram negatif seperti Pseudomonas
aeruginosa, Klebsiella pneumonia, dan E. coli. Organisme Gram-positif,
seperti Staphylococcus & Streptococcus juga umum ditemukan.
Organisme anaerob dapat hadir juga karena penurunan perfusi darah dan
oksigen di seluruh pembuluh darah untuk sintesis leukosit (Yellon RF,
2009).

Universitas Sumatera Utara


33

2.6 Kerangka Teori

Staph. aures, Streptococcus, non streptococcal, Acinetobacter baumaii

di peritonsil, retrofaring, parafaring, submandibula

Kumpulan pus di dalam ruang potensial antara fasia leher


akibat penjalaran berbagai sumber infeksi

Abses leher dalam

Nyeri, demam, nyeri menelan, disfagia, trismus, bengkak, distress


pernafasan, stridor, dll

Laboratorium dan kultur darah

Antibiotik dan bedah (drainase)

Komplikasi

Gambar 2.13. Kerangka teori

2.7 Kerangka Konsep


Usia
Jenis kelamin
Lokasi abses
Pasien abses leher
Penyakit penyerta
dalam
Tatalaksana dan hasil tatalaksana

Komplikasi
Pola kuman

Gambar 2.14. Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara


34

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini berjenis deskriptif dengan desain crossectional (potong
lintang.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Departemen THT-KL FK. USU / SMF THT-
KL RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Januari 2013 – Desember 2018

3.3. Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi
Seluruh data penderita dengan diagnosa abses leher dalam yang
datang ke Departemen THT-KL FK. USU / SMF THT-KL RSUP. H. Adam
Malik Medan.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh data penderita abses leher dalam
yang datang ke RSUP. H. Adam Malik yaitu Januari 2013 - Desember
2018.

3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi


3.4.1 Kriteria inklusi
Data rekam medis semua pasien abses leher dalam poliklinik THT-
KL RSUP Haji Adam Malik Medan periode 1 Januari 2013-31 Desember
2018
3.4.2 Kriteria eksklusi
Data rekam medis pasien abses leher dalam poliklinik THT-KL
RSUP Haji Adam Malik Medan yang tidak lengkap (tidak ditemukan salah
satu usia, jenis kelamin, lokasi abses, tipe kuman, dan hasil
penatalaksanaan)

34

Universitas Sumatera Utara


35

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Data dikumpulkan dari rekam medik pasien abses leher dalam
poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik Medan periode tahun 2013-2018

3.6 Pengolahan dan Analisis Data


Data yang telah dikumpulkan akan disajikan secara deskriptif dengan
bentuk frekuensi dan persentase.

3.7 Variabel Penelitian


Variabel yang diteliti adalah umur, lokasi abses, jenis kelamin,
penyakit penyerta, pola kuman, dan hasil tatalaksana.

3.8 Definisi Operasional


1. Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai
sumber infeksi. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil,
abses retrofaring, abses parafaring dan abses submandibula.
2. Abses peritonsil adalah kumpulan nanah yang terbentuk dalam ruang
peritonsil, diantara kapsul fibrosa dri tonsil dan muskulus konstriktor
faringeal superior.
3. Abses retrofaring adalah kumpulan pus di ruang retrofaring.
4. Abses parafaring adalah kumpulan pus di ruang parafaring.
5. Abses submandibula adalah terbentuknya abses pada rongga
submandibula.
6. Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungan
berdasarkan kalender masehi, dihitung sejak penderita dilahirkan
sampai ulang tahun terakhir pada saat pasien berobat ke RSUP. H.
Adam Malik Medan, dikelompokkan atas:
1. 0 – 10 tahun
2. > 10 – 20 tahun
3. > 20 – 30 tahun
4. > 30 – 40 tahun

Universitas Sumatera Utara


36

5. > 40 – 50 tahun
6. > 50 – 60 tahun
7. > 60 tahun
7. Jenis kelamin yaitu ciri biologis yang membedakan orang yang satu
dengan lainnya, terdiri atas laki-laki dan perempuan
8. Penyakit penyerta adalah faktor penyakit yang memungkinkan
terjadinya abses, dapat dikelompokkan menjadi :
1. Diabetes mellitus
2. HIV/AIDS
3. Tuberkulosis paru
4. Sirosis Hepatis
5. Tanpa Penyakit Penyerta
9. Tatalaksana merupakan pengobatan dan tindakan yang dilakukan
untuk penyembuhan penyakit, dikelompokkan menjadi
1 .Medikamentosa dan operatif
2. Medikamentosa
10. Komplikasi adalah proses patologis lain disebabkan oleh penyakit
penderita, dikelompokkan menjadi :
1. Sumbatan jalan nafas
2. Sepsis
3. komplikasi
11. Pola kuman adalah hasil kultur/biakan kuman dari sekret yang diambil
dari tempat drainase abses, dapat dikelompokkan menjadi :
1. Klebsiella ozaenae
2. Staphylococcus aureus
3. Klebsiella pneumonia
4. Pseudomonas aeruginosa
5. Clostridium perfringes
6. Eschericia coli
7. Streptococcus viridans
8. Streptococcus α-hemolyticus
9. Streptococcus ß-hemolyticus
10. Tidak dijumpai pertumbuhan kuman

Universitas Sumatera Utara


37

12. Hasil tatalaksana adalah keberhasilan penatalaksanaan yang


dilakukan untuk penyembuhan penyakit, dikelompokkan menjadi:
1. Sembuh
2. Meninggal

3.9 Pencatatan dan cara kerja penelitian


3.9.1 Pencatatan data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari data rekam medis
RSUP Haji Adam Malik. Pencatatan data dasar yang dilakukan oleh
peneliti adalah:
1. Identitas pasien :
a. Umur
b. Jenis kelamin
2. Lokasi abses
3. Penyakit penyerta
4. Tatalaksana
5. Komplikasi
6. Pola kuman
7. Hasil tatalaksana

3.9.2 Cara kerja penelitian


1. Penelitian menggunakan data rekam medis pasien abses leher
dalam yang datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam
Malik Medan
2. Subyek penelitian dipilih yaitu rekam medis abses leher dalam
poliklinik THT-KL RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi
kriteria inklusi
3. Subyek penelitian yang dipilih dicatat dan didata

Universitas Sumatera Utara


38

3.10 Kerangka Kerja

Data rekam medis pasien abses leher dalam di RSUP HAM tahun 2013 –
2018 di Poliklinik THT-KL yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Pencarian data:
 Umur
 Lokasi abses
 Jenis kelamin
 Penyakit penyerta
 Tatalaksana & Hasil tatalaksana
 Komplikasi
 Pola kuman

Data yang telah terkumpul selanjutnya ditabulasi dan


ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

Analisis karakteristik pasien dengan analisis deskriptif dan


hasil penelitian menggunakan sistem komputer

Gambar 3.1. Kerangka Kerja Penelitian

Universitas Sumatera Utara


39

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif dimana menggunakan data


sekunder dari 41 orang penderita abses leher dalam yang datang dan
mendapatkan pengobatan di Departemen THT-KL FK USU / SMF THT-KL
RSUP H. Adam malik Medan tahun 2013– 2018.
4.1 Distribusi frekuesi berdasarkan jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 28 68,3
Perempuan 13 31,7
Total 41 100

Berdasarkan tabel 4.1, dari 41 penderita abses leher dalam


mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu 28 orang (68,3%) sedangkan
perempuan sebanyak 13 orang (31,7%). Perbandingan penderita abses
leher dalam antara laki-laki dan perempuan adalah 2,15 : 1.
4.2 Distribusi frekuesi berdasarkan usia
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi berdasarkan usia
Umur n %
>10-20 tahun 3 7,3
>20-30 tahun 7 17,1
>30-40 tahun 7 17,1
>40-50 tahun 6 14,6
>50-60 tahun 11 26,8
>60 tahun 7 17,1
Total 41 100

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan penderita abses leher dalam


terbanyak yaitu pada usia >50-60 tahun sebanyak 11 orang (26,8%)

39

Universitas Sumatera Utara


40

sedangkan persentase terendah pada umur >10-20 tahun sebanyak 3


orang (7,3%).
4.3 Distribusi frekuesi berdasarkan letak anatomi
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi berdasarkan letak anatomi
Umur n %
Abses Peritonsil 11 26,8
Abses Retrofaring 1 2,4
Abses Parafaring 3 7,3
Abses Submandibula 26 63,4
Total 41 100

Berdasarkan tabel 4.3 keterlibatan letak anatomi mayoritas pada


submandibula sebanyak 26 orang (63,4%) sedangkan yang paling jarang
terlibat adalah retrofaring yaitu 1 orang (2,4%).
4.4 Distribusi frekuesi berdasarkan penyakit penyerta
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi berdasarkan penyakit penyerta
Penyakit Penyerta n %
DM 11 26,8
DM + TB Paru 1 2,4
TB. Paru 4 9,8
HIV / AIDS 1 2,4
Hipertensi 1 2,4
Tanpa penyakit penyerta 23 53,1
Total 41 100

Berdasarkan tabel 4.4, dari 41 orang penderita abses leher dalam


mayoritas tidak memiliki penyakit penyerta sebanyak 23 orang (53,1%).
Sedangkan penyakit penyerta yang paling sedikit adalah DM disertai TB
paru, kemudian HIV/AIDS, dan hipertensi masing-masing 1 orang (2,4%).

Universitas Sumatera Utara


41

4.5 Distribusi frekuesi berdasarkan tatalaksana dan hasil tatalaksana


Tabel 4.5 Distribusi frekuensi berdasarkan tatalaksana dan hasil
tatalaksana
Hasil Tatalaksana
Sembuh Meninggal Total
Tatalaksana Medikamentosa N 15 4 19
% Tatalaksana 78.9 21.1 100.0
% Hasil T. 46.9 44.4 46.3
Insisi & n 15 3 18
medikamentosa % Tatalaksana 83.3 16.7 100.0
% Hasil T. 46.9 33.3 43.9
Insisi, trakeostomi n 2 2 4
& medikamentosa % Tatalaksana 50.0 50.0 100.0
% Hasil T. 6.3 22.2 9.8
Total Jumlah 32 9 41
% Tatalaksana 78.0 22.0 100.0
% Hasil T. 100.0 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.8, dari 19 penderita abses leher dalam yang


mendapat terapi medikamentosa diijumpai 15 penderita yang sembuh dan
4 penderita yang meninggal, sedangkan dari 4 penderita yang mendapat
terapi kombinasi dijumpai 2 penderita yang sembuh dan 2 penderita yang
meninggal.

Universitas Sumatera Utara


42

4.6 Distribusi frekuesi berdasarkan komplikasi


Tabel 4.6 Distribusi frekuensi berdasarkan komplikasi
Komplikasi n %
Sepsis 6 14,6
Obstruksi jalan nafas atas 2 4,9
Sepsis + obstruksi jalan nafas atas 2 4,9
Tanpa komplikasi 31 75,6
Total 41 100

Berdasarkan tabel 4.6 dari 41 orang penderita abses leher dalam


mayoritas tanpa disertai komplikasi yaitu 31 orang (75,6%) sedangkan
komplikasi abses leher dalam yang paling jarang adalah sepsis dan
obstruksi jalan nafas sebanyak 2 orang (4,9%)

4.7 Distribusi frekuesi berdasarkan pola kuman


Tabel 4.7 Distribusi frekuensi berdasarkan pola kuman
Pola Kuman n %
Klebsiella pneumonia 7 17,1
Pseudomonas aeruginosa 6 14,6
Staphylococcus aureus 6 14,6
Streptococcus viridans 2 4,9
Streptococcus α-haemolyticus 3 7,3
Streptococcus β-haemolyticus 10 24,4
Escherecia coli 1 2,4
Klebsiella ozaenae 1 2,4
Tidak ada pertumbuhan kuman 5 12,2
Total 41 100

Berdasarkan tabel 4.7 dari 41 penderita abses leher dalam


mayoritas memiliki pola kuman berupa Streptococcus β -haemolyticus
yaitu pada 10 orang (24,4 %) sedangkan pola kuman yang paling jarang

Universitas Sumatera Utara


43

adalah Escherecia coli dan Klebsiella ozaenae yang masing-masing


dijumpai pada 1 orang (2,4%).

Universitas Sumatera Utara


44

BAB V
PEMBAHASAN

Pada penelitian ini penderita abses leher dalam mayoritas dijumpai


pada laki-laki (68,3%) dibandingkan dengan perempuan (31,7%). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sheilesh dan kawan-kawan pada
298 kasus abses leher dalam dimana dijumpai 182 penderita laki-laki dan
116 penderita wanita dengan perbandingan 1,57 : 1 (R. Sheilesh, 2013).
Hal ini mirip dengan hasil penelitian oleh Gorjon, dkk (2011) mengenai
abses leher dalam selama periode 11 tahun (2000-2010) dengan 286
kasus yang menyatakan bahwa pasien abses leher dalam lebih banyak
pada laki-laki dengan rasio pasien laki-laki dibandingkan perempuan
1,2:1. Juga pada penelitian yang dilakukan oleh Bakir (2012) mengenai
abses leher dalam selama periode 2003-2010 di Dicle University Hospital
dengan 174 kasus yaang di dalamnya dilaporkan jumlah pasien abses
leher dalam berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan dengan rasio 1,2:1 (Salih, 2012). Dalam penelitian mengenai
jenis kelamin pada penderita gangguan periodontal yang dilakukan oleh
Desvarieux (2004) dilaporkan bahwa wanita lebih sering menderita infeksi
periodontal dibandingkan laki-laki, namun faktor jenis kelamin tidak
bermakna sebagai faktor resiko hal ini karena faktor kesadaran terhadap
kesehatan gigi, kebiasaan merokok, dan hormonal lebih bermakna dalam
menjadi faktor resiko (Boscolo, 2006).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa penderita abses leher dalam
mayoritas memiliki kelompok umur >50-60 tahun (26,8%) sedangkan
kelompok umur paling sedikit adalah >10-20 tahun (7,3%). Hal ini sejalan
dengan penelitian Jun dan kawan-kawan yang dilakukan sejak Januari
1998 sampai agustus 2007 dimana dijumpai 56 penderita abses leher
dalam dengan umur rerata 50 dan 53 tahun (Hasegawa, 2010).
Pada sejumlah penelitian lain yang telah dilakukan mengenai abses
leher dalam, paling banyak ditemukan pasien pada usia 20-an dan 30-an.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Meher (2005) mengenai studi
44

Universitas Sumatera Utara


45

prospektif 54 kasus abses leher dalam, kelompok usia pasien paling


banyak adalah 20-29 tahun yaitu 29 (Meher, 2005). Kemudian pada
penelitian retrospektif mengenai abses leher dalam yang dilakukan oleh
Bakir (2010), kelompok usia pasien abses leher dalam paling banyak
adalah 30-39 tahun dengan persentase 20,9% (Bakir, 2010). Adapun
menurut Boscolo-Rizzo (2006), kelompok usia terbanyak ditemukan abses
leher dalam adalah usia dewasa muda, dengan 80,9% kasus terjadi pada
usia dibawah 40 tahun. Usia dewasa muda dan pertengahan merupakan
kelompok usia tebanyak ditemukan infeksi gigi dan tonsil dan infeksi gigi
yang menjadi penyebab terbanyak dari abses leher dalam (Boscolo,
2006).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa mayoritas penderita abses
leher dalam memiliki keterlibatan letak anatomi ruang submandibula yaitu
(63,4%) dan yang paling jarang terlibat adalah ruang parafaring (2,4%).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gorjon dkk
didapatkan 50,6% pasien dengan abses peritonsiler, 58% dengan abses
submandibula, 23% dengan abses parotis, 17% pasien dengan abses
parafaring, 16% pasien dengan abses retrofaring, 11% pasien dengan
abses maseter, 9% pasien dengan abses pterigomaksilari dan 7% pasien
dengan pseudoangina Ludovici (Gorjon, 2011). Penelitian Meher dkk juga
mendapatkan hal serupa yaitu pada 54 kasus abses leher dalam yang
terlibat adalah submandibula yaitu 20 penderita. Ruang lain yang terlibat
adalah submental 10 penderita, parafaring 6 penderita, retrofaring 4
penderita dan peritonsil 3 penderita (Meher Ravi et al, 2005). Begitu juga
dengan penelitian yang dilakukan di Rumah sakit Juan Canalejo Spanyol
pada 77 kasus abses leher dalam, dijumpai abses submandibula adalah
ruang yang paling banyak terlibat yaitu 23 penderita (29%) (Regiero et al.,
2006).
Menurut Warshafsky tentang gambaran anatomis leher dalam,
terdapat ruang-ruang leher dalam yang memiliki hubungan langsung
secara anatomis. Seperti pada ruang submandibula yang berbatasan
langsung tanpa pembatas dengan bagian inferior ruang parafaring, dan
ruang parafaring juga berhubungan langsung dengan bagian anterolateral

Universitas Sumatera Utara


46

ruang retrofaring. Sedangkan ruang submandibula dan ruang peritonsil


tidak berhubungan secara langsung. Sehingga kemungkinan kasus abses
pada ruang submandibula dan ruang peritonsil terjadi karena infeksi yang
lebih dari satu lokasi. Abses leher dalam dalam berbagai penelitian
disebabkan oleh bermacam penyebab seperti infeksi odontogenik,
tonsilitis, infeksi saluran napas atas, penggunaan injeksi narkoba ke vena
jugularis, dan infeksi akibat benda asing. Abses akibat infeksi odontogenik
biasanya berupa abses di submandibula, sublingual, atau submental yang
selanjutnya dapat berlanjut menjadi abses multipel (Aynehchi, 2014).
Pada penelitian ini didapatkan mayoritas penderita abses leher
dalam tanpa disertai penyakit penyerta yaitu 23 penderita atau 53,1%.
Sedangkan penyakit penyerta yang paling banyak dijumpai adalah DM
(26,8%). Hal ini sedikit berbeda dengan penilitian yang dilakukan Meher
dan kawan-kawan pada 54 kasus abses leher dalam dijumpai penyakit
penyerta yang paling banyak adalah diabetes mellitus yaitu 8 penderita
dan HIV 1 penderita (Meher et al., 2005) pada penelitian Lin dan kawan-
kawan pada 131 kasus abses leher dalam dijumpai 40 penderita dengan
penyakit penyerta diabetes mellitus (Lin et al., 2006)
Diabetes melitus kerapkali menjadi faktor pemberat yang sering
membuat suatu infeksi berlanjut menjadi pembentukan abses dan menjadi
abses yang multipel atau ekstensif. Angka prevalensi diabetes melitus di
Kota Medan cukup tinggi yaitu 27 orang dari 1000 penduduk (Riskesdas,
2014). Pada penelitian tentang perbandingan gambaran klinis pasien
dengan diabetes melitus dan tanpa diabetes melitus yang dilakukan oleh
Huang (2005), persentase kasus abses leher dalam dengan diabetes
melitus adalah 39,7% (Huang, 2006). Pasien abses leher dalam dengan
diabetes melitus angkanya cukup tinggi karena pada suatu penelitian
diabetes melitus yang dilakukan pada hewan dan secara in vitro, fungsi
imun pejamu terganggu akibat dari hiperglikemi jangka pendek maupun
jangka panjang, termasuk fungsi bakterisidal neutrofil, imunitas seluler,
dan aktivasi komplemen. Pelemahan sistem imun inilah yang diyakini
menyebabkan infeksi menjadi piogenik atau membentuk purulen dan
berprogresi dengan cepat hingga terjadi abses yang luas (Huang, 2006).

Universitas Sumatera Utara


47

Penyakit yang dapat menjadikan kondisi immunodefisiensi antara lain


penyakit diabetes, infeksi HIV, AIDS, penyakit-penyakit hematologi dan
penyakit onkologi. Penyakit immunodefisiensi dengan mekanismenya
yang bermacam-macam akan berakibat rendahnya kemampuan untuk
melawan mikroorganisme sehingga infeksi berlanjut menjadi abses.
Dari hasil penelitian ini didapati terapi abses leher dalam adalah
medikamentosa dan operatif yaitu 18 penderita (43,9%) sedangkan terapi
medikamentosa adalah 19 penderita (46,3%).
Pada penelitian ini penderita abses leher dalam mayoritas
mendapatkan terapi berupa medikamentosa (46,3%) dan yang paling
jarang adalah kombinasi insisi, trakeostomi, dan medikamentosa (9,8%).
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Coelho dan kawan-
kawan pada 150 kasus abses leher dalam yang dijumpai 109 penderita
(73%) yang diterapi dengan medikamentosa dan operatif. Sedangkan 41
(27%) penderita abses leher dalam lainnya terapi medikamentosa (Coelbo
MS et al., 2009).
Terapi medikamentosa dengan menggunakan antibiotik dosis tinggi
adalah merupakan terapi pertama pada penanganan kasus abses leher
dalam. Penanganan abses leher dalam dengan menggunakan terapi
secara medikamentosa dan operatif sangat baik digunakan pada kasus
yang dijumpai adanya tanda fluktuasi. Adapun tindakan operatif yang
dapat dilakukan untuk mengevakuasi abses yaitu dengan cara aspirasi,
insisi dan drainase. Namun pemberian medikamentosa bersamaan
dengan tindakan insisi dan drainase sangat penting dilakukan (Raharjo
SP, 2013).
Pada penelitian ini didapatkan penderita abses leher dalam
mayoritas tanpa disertai komplikasi yaitu 31 penderita (75,6%), sedangkan
komplikasi yang paling banyak dijumpai adalah sepsis yaitu pada 6
penderita (14,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rharjo
Sutji pada 42 penderita abses leher dalam di Makassar dimana tanpa
komplikasi dijumpai 27 (64,3%) penderita (Raharjo SP, 2013).
Komplikasi abses leher dalam sudah jarang terjadi, hal ini mungkin
disebabkan penggunaan antibiotik yang sesuai dengan infeksi leher dalam

Universitas Sumatera Utara


48

yang biasanya berasal dari faring, tonsil dan gigi. Komplikasi dapat terjadi
apabila diagnosis terlambat ditegakkan, ataupun terdapat faktor
predisposisi seperti diabetes mellitus, penyakit imunokompromise dan
lain-lainnya (Raharjo SP, 2013).
Pada penelitian ini didapatkan kuman penyebab abses leher dalam
mayoritas adalah adalah Streptococcus ß haemolyticus (24,4%)
sedangkan kuman yang paling jarang adalah Escheria coli dan Klebsiella
ozaenae masing-masing 2,4%. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Yang dkk dimana kuman terbanyak yang ditemukan pada penderita
abses leher dalam adalah Streptococcus viridans sebanyak 48,31%
kemudian Klebsiella pneumoniae sebanyak 29,21% dan Staphylococcus
aureus sebanyak 14,60% (Yang, 2015). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Huang dkk kuman terbanyak yang ditemukan adalah Streptococcus
viridans dan Klebsiella pneumoniae dalam jumlah yang sama banyak yaitu
33,9% (Huang, 2006). Suebara dkk menemukan kuman terbanyak pada
abses leher dalam adalah Staphylococcus aureus yaitu 30 (37,50%),
Streptococcus group G 20 (2,5%), Steptococcus viridan 10 (12,5%),
Steptococcus pyogenes 2 (2,5%), tidak ada pertumbuhan 13 (16.25%)
dan sisanya Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella sp., masin-masing 1
(1,25%) (Suebara et al., 2006).
Kebanyakan kasus abses leher dalam mengandung bakteri
campuran atau gabungan kuman aerob dan anaerob. Adanya gejala-
gejala seperti sekret yang berbau dalah tanda adanya infeksi anaerob.
Pada kasus abses odontogenik kebanyakan melibatkan bakteri anaerob.
Tidak dijumpai pertumbuhan kuman, diduga karena penderita abses leher
dalam telah mendapatkan terapi medikamentosa sebelum dilakukan
pemeriksaan mikrobiologi (Meher Ravi et al., 2005 ; Raharjo SP, 2013).
Pada penelitian ini didapatkan dari 19 penderita abses leher dalam
yang mendapat terapi medikamentosa diijumpai 15 penderita yang
sembuh dan 4 penderita yang meninggal, sedangkan dari 4 penderita
yang mendapat terapi kombinasi dijumpai 2 penderita yang sembuh dan 2
penderita yang meninggal. Hal yang sama dijumpai pada penilitian
Savitha terhadap 30 penderita abses leher dalam , 29 penderita sembuh

Universitas Sumatera Utara


49

dan meninggal pada 1 penderita yang dengan gangguan sistem


kekebalan tubuh akibat HIV (Savitha, 2011). Begitu juga penelitian
Raharjo pada 42 penderita abses leher dalam, dijumpai 40 penderita
sembuh dan 2 penderita meninggal.
Pesatnya perkembangan antibiotik berdampak pada penurunan
insiden dan mortalitas abses leher dalam sehingga angka kematian dapat
ditekan menjadi rendah. Penderita abses leher dalam dapat sembuh
dengan sempurna jika mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.
Ada beberapa tantangan yang menyulitkan pada abses leher dalam yaitu
bila lokasi abses yang cukup kompleks dan adanya hubungan antara
ruang-ruang didalam leher. Hal ini lah yang sering mengakibatkan
timbulnya komplikasi dan penyembuhan yang lama apabila terlambat
ditangani serta adanya penyakit penyerta (Raharjo SP, 2013).

Universitas Sumatera Utara


50

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian mengenai karakteristik pasien abses leher
dalam di RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2013- 31
Desember 2018 dengan kesimpulan sebagai berikut:
6.1.1 Jumlah penderita abses leher dalam di RSUP H. Adam Malik Medan
adalah sebanyak 41 orang
6.1.2 Kelompok umur mayoritas adalah >50-60 tahun yaitu 26,8% dan
diantaranya berjenis kelamin laki-laki (68,3%).
6.1.3 Letak anatomi yang terlibat mayoritas pada submandibula (63,4%).
6.1.4 Penderita abses leher dalam mayoritas memiliki penyakit penyerta
diabetes melitus (26,8%).
6.1.5 Penderita abses leher dalam mayoritas mendapatkan tatalaksana
berupa medikametosa (26,8%).
6.1.6 Penderita abses leher dalam mayoritas mengalami komplikasi sepsis
(14,6%).
6.1.7 Kuman yang dijumpai pada abses leher dalam mayoritas berupa
Streptococcus ß haemoliticus (24,4%)
6.1.8 Penderita abses leher dalam yang mendapat terapi medikamentosa
mayoritas sembuh sebagai hasil penatalaksanaan (78%).

6.2 Saran
1. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dalam penunjang
diagnosis dan terapi abses leher dalam sehingga perlu untuk dilakukan
dan dalam cara pengambilan dan pengiriman spesimen pus perlu
diperhatikan lebih seksama agar tidak mempengaruhi hasil dari biakan
tersebut.

Universitas Sumatera Utara


51

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Haq NM, Harahsheh A, Asmar BL. Retropharyngeal abscess in


children: the emerging role of group A beta hemolytic
streptococcus. South Med J. Sep 2006;99(9):927-31.
Adoviča A, Veidere L, Ronis M & Sumeraga G. Deep neck infections:
review of 263 cases. Otolaryngol Pol. 2017; 71 (5): 39-45.
Aynehchi BB & Har-El G. Deep Neck Infections. In: Johnson, JT & Rosen
CA. Bailey's Head and Neck Surgery – Otolaryngology. 5th Ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2014. p. 794-811.
Ban MJ, Jung JY, Kim JW, Park KN, Lee SW, Koh YW, Park JH, A clinical
prediction score to determine surgical drainage of deep neck
infection: A retrospective case-control study, International
Journal of Surgery. 2018.
Beka D, Lachanas VA, Dourmas, et al. Microorganisms involved in deep
neck infection (DNIs) in Greece: detection, identification and
susceptibility to antimicrobials. BMC Infectious Diseases. 2019;
19:850.
Boscolo-Rizzo, P., Marchiori,C., Montolli F., et al. 2006. Deep Neck
Infections; a Constant Challenge. ORL J Otorhinolaryngol Relat
Spec. 68 (2006): 259–265
Brito TP, Hazboun IM, Fernandes FL, Bento LR, Zappelini CE, Chone CT,
et al. Deep neck abscesses: study of 101 cases. Braz J
Otorhinolaryngol. 2017;83:341-8.
Buckley J, Harris AS, Addams-Williams J. Ten years of deep neck space
abscesses. J Laryngol Otol. 2019;1–5.
Celakovsky P, Kalfert D, Smatanova K, et al. Bacteriology of deep neck
infections: analysis of 634 patients. Australian Dental Journal
2015; 60: 212–5.
Çetin AÇ, Olgun Y, Özses A & Erdağ TK. A New Trend in the
Management of Pediatric Deep Neck Abscess: Achievement of

Universitas Sumatera Utara


52

the Medical Treatment Alone. Turk Arch Otorhinolaryngol. 2017;


55: 57-63
Chandra HJ, Rao BHS, Manzoor APM, Arun AB. Characterization and
Antibiotic Sensitivity Profile of Bacteria in Orofacial Abscesses of
Odontogenic Origin. J. Maxillofac. Oral Surg. 2016.
Cheepcharoenrat C. The Result of Treatment of Deep Neck Infection in
Patients Referred According to Public Health System. Ear, Nose
& Throat Journal. 2019.
Christian JM, Goddard AC & Gillespie MB. Deep Neck and Odontogenic
Infection. In: Flint PW, Haughey BH, Lund V, et al. Cummings
Otolaryngology – Head and Neck Surgery. 6th Ed. Philadelphia:
Elsevier. 2015. p. 164-75.
Das R, Nath G & Mishra A. Clinico-Pathological Profile of Deep Neck
Space Infection: A Prospective Study. Indian J Otolaryngol Head
Neck Surg . 2017.
Dhingra PL, Dhingra S & Dhingra D. Head and Neck Space Infections. In:
Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery. 6th
Ed. India: Elsevier. 2014. P. 263-8.
Drake RL, Vogl AW & Mitchell AWM, et al. Head and Neck. In: Gray’s
Basic Anatomy. Philadelphia: Elsevier. 2012. p. 415 – 592.
Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi ke 4.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007. H. 226-29.
Gorjon PS, Perez PB, Martin ACM, Dios JCP, Alonso SE, Cabanillas MIC.
Deep neck infection: review of 286 cases. Elsevier Espana 2011
Jun:h.32-41.
Gujrathi AB, Ambulgekar V & Kathait P. Deep neck space infection : A
retrospective study of 270 cases at tertiary care center. World
Journal of Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery. 2016. 2,
208-13.

Universitas Sumatera Utara


53

Hidaka H, Yamaguchi T, Hasegawa J, et al. Clinical and bacteriological


influence of diabetes mellitus on deep neck infection: Systematic
review and meta-analysis. Head & Neck. 2014.
Hirasawa K, Tsukahara K, Motohashi R, Endo M, Sato H, Ueda Y&
Nakamura K. Deep neck cellulitis: limitations of conservative
treatment with antibiotics, Acta Oto-Laryngologica. 2016.
Huang TT, Tseng FY, Yeh TH, Hsu CJ & Chen YS. Factors affecting the
bacteriology of deep neck infection: a retrospective study of 128
patients. Acta Oto-Laryngologica, 2006; 126: 396 - 401.
Indrayani LW & Putra IDAE. Pola Kuman Dan Sensitifitas Antibiotika Pada
Pasien Abses Leher Dalam Di RSUP Sanglah Denpasar Periode
1 Januari-31 Desember 2014. Medicina. 2019. 50; 1: 143-7.
Jain A, Singh I, Meher R, et al. Deep neck space abscesses in children
below 5 years of age and their complications. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. 109. 2018. 40–3.
Kauffmann P, Cordesmeyer R, Tröltzsch M, Sömmer C, Laskawi R. Deep
neck infections: A single-center analysis of 63 cases. Med Oral
Patol Oral Cir Bucal. 2017. 536-41.
Kitamura S. Anatomy of the fasciae and fascial spaces of the maxillofacial
and the anterior neck regions. Anat Sci Int: Springer. 2017.
Lee KJ, Chan Y & Das S. Neck Spaces and Fascial Planes. In: Essential
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 10th Ed. USA: Mc-Graw
Hill. 2012. P. 557 – 73.
Lee YQ & Kanalingam J. Bacteriology of deep neck abscesses: a
retrospective review of 96 consecutive cases. Singapore Med J
2011; 52(5) 352.
Li RM & Kiemeney M. Infections of the Neck. Emerg Med Clin N Am 37.
2019. 95–107.
Maharaj S, Ahmed S & Pillay P. Deep Neck Space Infections: A Case
Series and Review of the Literature. Clinical Medicine Insights:
Ear, Nose and Throat. 2019.

Universitas Sumatera Utara


54

Marioni G, Fasanaro E, Favaretto N, Trento G, Giacomelli L, Stramare R,


Ottaviano G & Filippis CD. Are panels of clinical, laboratory,
radiological, and microbiological variables of prognostic value in
deep neck infection? An analysis of 301 consecutive cases.
2019. Acta Oto-Laryngologica. 139:2. 214-8
Meher R. Deep neck abcess: a prospective study of 54 cases. The jpurnal
of laryngology and otology. 2005; 299-302.
Mejzlik J, Celakovsky P, Tucek L, et al. Univariate and multivariate models
for the prediction of life-threatening complications in 586 cases of
deep neck space infections: retrospective multi-institutional
study. The Journal of Laryngology & Otology. 2017.
Motahari SJ, Poormoosa R, Nikkhah M, et al. Treatment and Prognosis of
Deep Neck Infections. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2015.
Mungul S & Maharaj S. Microbiology of paediatric deep neck space
infection. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology
123. 2019. 116–122.
Novialdi, Pulungan MR. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2010.
Pascual MP, Martinez PP, Friedlander E, Oviedo CM, Yurrita BS.
Peritonsillar and deep neck infections: a review of 330 cases.
Braz J Otorhinolaryngol. 2017.
Prabarini PW, Surarso B. Abses Parafaring (Laporan 6 Kasus di bagian
THT-KL RSUD Dr. Soetomo Surabaya). Jurnal THT-
KL.Vol.2,No.1, Januari – April 2009, hal. 7 – 22.
Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in
management of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug
2009;123(8):877-9.
Ridder GJ, Technau-Ihling K, Sander A, Boedeker CC. Spectrum and
management of deep neck space infections: an 8-year

Universitas Sumatera Utara


55

experience of 234 cases. Otolaryngol Head Neck Surg. Nov


2005;133(5):709-14.
Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal
infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-
33.
Russel MD & Russel MS. Urgent Infections of the Head and Neck. Med
Clin N Am. 2018.
Salih, Bakir., et al. 2012. Deep Neck Space Infections: A Retrospective
Review of 173 Cases. American Journal of Otolaryngology–Head
and Neck Medicine and Surgery. 33 (2012): 56–63
Sari J. Karakteristik Infeksi Leher Dalam di SMF THT-KL RSUP H. Adam
Malik Medan Tahun 2006 -2012. Fakultas Kedokteran Univrsitas
Sumatera Utara. 2013.
Sharma K, Das D, Joshi M, et al. Deep Neck Space Infections-A Study in
Diabetic Population in a Tertiary Care Centre. Indian J
Otolaryngol Head Neck Surg. 2017.
Shimizu Y, Hidaka H, Ozawa D, et al. Clinical and bacteriological
differences of deep neck infection in pediatric and adult patients:
Review of 123 cases. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology. 2017. 95-99.
Sittitrai P, Srivanitchapoom C & reunmakkaew. Deep neck infection in
patients with and without human immunodeficiency virus: a
comparison of clinical features, complications, and outcomes. Br
J Oral Maxillofac Surg. 2018.
Standring S, Anand E, Birch R, et al. Neck. In: Gray's Anatomy - The
Anatomical Basis of Clinical Practice. 41st Ed. Philadelphia:
Elsevier. 2016. p. 442-74.
Tsai MS, Chang GH, CHen WM, et al. The Association Between
Decompensated Liver Cirrhosis and Deep Neck Infection: Real-
World Evidence. Int. J. Environ. Res. Public Health. 2019.

Universitas Sumatera Utara


56

Yang SW, Lee MH, See LC, Huang SH, Chen TM, Chen TA. Deep neck
abscess-an analysis of microbial etiology and the effectiveness
of antibiotics (serial online) 2008. Diunduh dari url:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108716. Diakses
tanggal 6 Oktober 2015
Yellon RF. Deep Head and Neck Space Infections. In: Snow Jr. JB &
Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolarygology – Head aand Neck
Surgery. 17th Ed. USA: People’s Medical Publishing House.
2009. p. 783-6.

Universitas Sumatera Utara


57

LAMPIRAN 1

Hasil Penyakit
No Nama Umur JK Letak Anatomi Pola Kuman Tatalaksana Komplikasi
Tatalaksana penyerta
1 Klebsiella
Tri W 34 Wanita Parafaring pneumonia Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
2 Hullop Insisi &
CP 30 Pria retrofaring E coli medikamentosa Sepsis Meninggal TB paru
3 Asi H 65 Pria Parafaring Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
4 Bornando
S 36 Pria Peritonsil Staph aureus Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
5 Masian M 35 Wanita Parafaring Tidak ada kuman Medikamentosa Tidak ada Sembuh TB paru
6 Candra R 21 Pria Peritonsil Tidak ada kuman Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
7 Suryono 35 Pria Peritonsil Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
8 Minar Klebsiella
Butar 62 Wanita Submandibula pneumonia Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
9 Don
Jonson 14 Pria Peritonsil Pseudomonas Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
10 Syahnan 41 Pria Peritonsil Strep viridans Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
11 Marihat Klebsiella
Purba 42 Pria Submandibula ozaenae Medikamentosa Tidak ada Meninggal Tidak ada
12 Misman Insisi &
Lubis 55 Pria Submandibula Tidak ada kuman medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
13 Siti Klebsiella Insisi, trakeostomi Obstruksi
Kodijah 58 Wanita Submandibula pneumonia & medikamentosa jalan Sembuh DM
14 Leli Insisi &
Daulay 30 Wanita Submandibula Staph aureus medikamentosa Sepsis Sembuh DM
15 Imran 30 Pria Submandibula Pseudomonas Insisi & Tidak ada Sembuh Tidak ada

Universitas Sumatera Utara


58

Ahmadi medikamentosa
16 Multi
Marimal 50 Pria Submandibula Strep beta Medikamentosa Sepsis Meninggal HIV
17 Janety
Manik 25 Wanita Submandibula Strep alfa Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
18 Mualim M 50 Pria Submandibula Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
19 Syaiful A 61 Pria Submandibula Strep alfa Medikamentosa Sepsis Meninggal TB paru
20 Seri U 48 Wanita Submandibula Pseudomonas Medikamentosa Tidak ada Meninggal Hipertensi
21 Insisi, trakeostomi Sepsis &
Freddy 62 Pria Submandibula Staph aureus & medikamentosa obstruksi Meninggal DM
22 Insisi & DM & TB
Bersih 58 Wanita Submandibula Strep beta medikamentosa Tidak ada Sembuh paru
23 Insisi &
Sayianto 61 Pria Submandibula Pseudomonas medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
24 Miller P 25 Pria Peritonsil Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
25 Insisi &
Tegar 38 Pria Submandibula Staph aureus medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
26 Klebsiella Insisi &
Liliany 58 Wanita Submandibula pneumonia medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
27 Insisi &
Habibah 55 Pria Submandibula Staph aureus medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
28 Insisi, trakeostomi Obstruksi
Surtini 54 Pria Submandibula Strep beta & medikamentosa jalan Sembuh TB paru
29 Insisi &
Liawaty 60 Pria Submandibula Tidak ada kuman medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
30 Insisi &
Rizal 23 Wanita Peritonsil Strep beta medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
31 Rahmat Insisi, trakeostomi Sepsis &
Sadi 57 Pria Submandibula Pseudomonas & medikamentosa obstruksi Meninggal DM

Universitas Sumatera Utara


59

32 Insisi &
Yunita 28 Pria Peritonsil Staph aureus medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
33 Klebsiella Insisi &
Bernard 62 Pria Submandibula pneumonia medikamentosa Sepsis Meninggal DM
34 Insisi &
Sumiyati 55 Wanita Submandibula Strep alfa medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
35 Klebsiella Insisi &
Rio 23 Pria Peritonsil pneumonia medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
36 Insisi &
Agus 49 Pria Submandibula Pseudomonas medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
37 Siti 35 Wanita Peritonsil Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
38 Insisi &
Rizki 62 Pria Submandibula Tidak ada kuman medikamentosa Sepsis Meninggal Tidak ada
39 Klebsiella Insisi &
Martua 57 Pria Submandibula pneumonia medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
40 Desi T 32 Wanita Peritonsil Strep viridans Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
41 Rustam 58 Pria Submandibula Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh DM

Universitas Sumatera Utara


61

LAMPIRAN 2
Jenis Kelamin
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid Pria 28 68.3 68.3 68.3
Wanita 13 31.7 31.7 100.0
Total 41 100.0 100.0

Kel usia
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid >10-20 3 7.3 7.3 7.3
>20-30 7 17.1 17.1 24.4
>30-40 7 17.1 17.1 41.5
>40-50 6 14.6 14.6 56.1
>50-60 11 26.8 26.8 82.9
>60 7 17.1 17.1 100.0
Total 41 100.0 100.0

Letak Anatomi
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid Parafaring 3 7.3 7.3 7.3
Peritonsil 11 26.8 26.8 34.1
Submandibul 26 63.4 63.4 97.6
a
retrofaring 1 2.4 2.4 100.0
Total 41 100.0 100.0

Universitas Sumatera Utara


62

Penyakit penyerta
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid DM 11 26.8 26.8 26.8
TB paru 4 9.8 9.8 36.6
HIV 1 2.4 2.4 39.0
Hipertensi 1 2.4 2.4 41.5
DM & TB 1 2.4 2.4 43.9
paru
Tidak ada 23 56.1 56.1 100.0
Total 41 100.0 100.0

Komplikasi
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid Sepsis 6 14.6 14.6 14.6
Obstruksi jalan 2 4.9 4.9 19.5
Sepsis & 2 4.9 4.9 24.4
obstruksi
Tidak ada 31 75.6 75.6 100.0
Total 41 100.0 100.0

Tatalaksana * Keluaran Crosstabulation


Keluaran
Sembuh Meninggal Total
Tatalaksan Medikamentosa Count 15 4 19
a % within 78.9% 21.1% 100.0%
Tatalaksana
% within Keluaran 46.9% 44.4% 46.3%
Insisi & medikamentosa Count 15 3 18
% within 83.3% 16.7% 100.0%
Tatalaksana
% within Keluaran 46.9% 33.3% 43.9%
Insisi, trakeostomi & Count 2 2 4
medikamentosa % within 50.0% 50.0% 100.0%
Tatalaksana

Universitas Sumatera Utara


63

% within Keluaran 6.3% 22.2% 9.8%


Total Count 32 9 41
% within 78.0% 22.0% 100.0%
Tatalaksana
% within Keluaran 100.0% 100.0% 100.0%

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai