Tesis
Oleh
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher
Oleh
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian penyusunan tesis yang berjudul “ Karakteristik Abses Leher Dalam di RSUP
Haji Adam Malik Medan Tahun 2013-2018” sebagai salah satu persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik dalam bidang Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam menjalani pendidikan magister dan penyelesaian tesis ini, berbagai pihak
telah turut berperan serta membantu memberikan saran, kritik yang membangun dan
memberikan dorongan kepada saya sehingga terlaksana seluruh rangkaian kegiatan
pendidikan ini. Oleh karena itu pada kesempatan yang berbahagia ini, saya sampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. T.H.T.K.L(K), selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah bersedia secara ikhlas meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga serta dengan
penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasihat, masukan, koreksi dan
motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini. Semoga Tuhan selalu
melimpahkan berkat dalam segala aspek kehidupan Beliau.
dr. Linda I. Adenin, Sp.T.H.T.K.L, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang juga
telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga selalu membimbing, memberikan
nasihat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis
ini. Semoga Tuhan selalu melimpahkan berkat dalam segala aspek kehidupan Beliau.
Dr. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku Konsultan Penelitian yang telah memberikan
waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing, memotivasi dan memberikan pengarahan,
memperluas keilmuan serta mengajari saya banyak hal mengenai metodologi penelitian
dan statistika, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Para Komisi Penguji tesis Dr. dr. HR Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS)
Sp.T.H.T.K.L(K) dan dr. Ashri Yudistira, M.Ked (ORL-HNS) Sp.T.H.T.K.L(K) dan yang
telah sangat baik bersedia memberikan penilaian, saran dan masukan yang sangat
berharga demi sempurnanya tesis ini.
ABSTRAK
Latar Belakang: Abses leher dalam dapat disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
infeksi pada gigi, mulut, tenggorok, hidung, dan struktur lain disekitarnya. Pembentukan
abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam tubuh. Flora normal dapat
tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun
melalui laserasi atau perforasi. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen
dan celah antar ruang leher dalam sehingga bila tidak mendapat terapi yang tepat dapat
menimbulkan berbagai komplikasi.
Tujuan: untuk mengetahui karakteristik abses leher dalam di RSUP H Adam Malik
Medan tahun 2013 – 2018.
Metode: Penelitian ini berjenis deskriptif dengan desain crossectional (potong lintang)
dimana sampel penelitian adalah seluruh data penderita abses leher dalam yang datang
ke RSUP. H. Adam Malik yaitu Januari 2013 - Desember 2018.
Hasil: Pada penelitian ini penderita abses leher dalam mayoritas dijumpai pada laki-laki
(68,3%), dimana mayoritas memiliki kelompok umur >50-60 tahun (26,8%). Selain itu,
mayoritas penderita abses leher dalam memiliki keterlibatan letak anatomi ruang
submandibula (63,4%) dan yang paling jarang terlibat adalah ruang parafaring (2,4%).
Mayoritas penderita abses leher dalam tanpa disertai penyakit penyerta (53,1%)
sedangkan penyakit penyerta yang paling banyak dijumpai adalah DM (26,8%). Dari hasil
penelitian ini didapatkan terapi abses leher dalam terbanyak adalah medikamentosa dan
operatif (43,9%). Penderita abses leher dalam mayoritas tanpa disertai komplikasi
(75,6%) sedangkan komplikasi yang terbanyak adalah sepsis (14,6%).
Kesimpulan: Kejadian abses leher dalam menjadi lebih sedikit kejadiannya setelah
ditemukan terapi antibiotik. Walaupun begitu, bila terjadi suatu abses leher dalam harus
segera waspada karena penganganan yang terlambat sering diikuti penyebaran inflamasi
bisa menyebabkan bermacam komplikasi.
ABSTRACT
Background: Deep neck abscesses can be caused by tissue damage due to infection of
the teeth, mouth, throat, nose, and other surrounding structures. Abscess formation is the
result of the development of the normal flora in the body. Normal flora can grow and reach
sterile areas of the body either by direct extension, or through lacerations or perforations.
Most deep neck abscesses are caused by a mixture of various germs, both aerobic,
anaerobic, and facultative anaerobes. The spread of deep neck abscesses can be done
in several ways, namely hematogenous, lymphogenous and gaps between the deep neck
spaces so that if there is no proper therapy it can cause various complications.
Results: In this study, the majority of patients with neck abscess were found in men
(68.3%), where the majority had the age group> 50-60 years (26.8%). In addition, the
majority of patients with deep neck abscesses had involvement of the anatomical location
of the submandibular space (63.4%) and the most rarely involved was the parapharynx
space (2.4%). The majority of patients with deep neck abscesses were not accompanied
by comorbidities (53.1%), while the most common comorbidities were DM (26.8%). The
results of this study showed that most deep neck abscess therapy was medical and
operative (43.9%). The majority of patients with neck abscesses were without
complications (75.6%), while the most complication was sepsis (14.6%).
Conclusion: The incidence of deep neck abscesses became less frequent after antibiotic
therapy was discovered. However, if a deep neck abscess occurs, caution should be
taken because late treatment is often followed by the spread of inflammation and can
cause various complications.
i
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian ................................................................... 34
3.2 Tempat dan waktu penelitian ............................................. 34
3.3 Populasi dan sampel penelitian .......................................... 34
3.3.1 Populasi ................................................................... 34
3.3.2 Sampel penelitian .................................................... 34
3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi................................................. 34
3.4.1 Kriteria inklusi........................................................... 34
3.4.2 Kriteria eksklusi ........................................................ 34
3.5 Teknik pengambilan data.................................................... 35
3.6 Pengolahan dan analisis data............................................. 35
3.7 Variabel penelitian .............................................................. 35
3.8 Definisi operasional ............................................................ 35
3.9 Pencatatan dan cara kerja .................................................. 37
3.9.1 Pencatatan data....................................................... 37
3.9.2 Cara kerja penelitian ................................................ 37
3.10 Kerangka Kerja ................................................................... 38
ii
LAMPIRAN .............................................................................................. 57
iii
iv
Halaman
Gambar 2.1 ............................................................................................. 6
Gambar 2.2 ............................................................................................. 9
Gambar 2.3 ............................................................................................ 10
Gambar 2.4 ............................................................................................ 10
Gambar 2.5 ............................................................................................ 11
Gambar 2.6 ............................................................................................ 13
Gambar 2.7 ............................................................................................ 20
Gambar 2.8 ............................................................................................ 24
Gambar 2.9 ............................................................................................ 26
Gambar 2.10 .......................................................................................... 27
Gambar 2.11 .......................................................................................... 29
Gambar 2.12 .......................................................................................... 30
Gambar 2.13 .......................................................................................... 33
Gambar 2.14 .......................................................................................... 33
Gambar 3.1 ............................................................................................ 38
vi
vii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
(Noviadi, 2010) Gejala dan tanda klinisnya dapat berupa nyeri dan
pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat (Fachruddin, 2007).
2.2. Etiologi
Pada era sebelum antibiotik, organisme penyebab abses leher dalam
terutama adalah Staphylococcus aureus. Setelah penggunaan antibiotik,
Streptococcus tipe aerob dan non-Streptococcal anaerob menjadi
penyebab utama. Masalah ini paling sering muncul dari infeksi
odontogenik. Namun hal ini dapat berbeda-beda dari berbagai penelitian
(Aynechi, 2014).
Penelitian oleh Adovica dan kawan-kawan di Latvia menunjukkan
bahwa Acinetobacter baumanii merupakan patogen yang paling sering
menyebabkan abses leher dalam, diana ceftazidim, gentamisin dan
cotrimoxazole merupakan antibiotika yang paling tinggi angka
resistensinya (Adovica, 2017).
Beka dan kawan-kawan di Larissa, Yunani melaporkan bahwa
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus merupakan kuman
yang paling banyak menyebabkan infeksi leher dalam. Area yang paling
sering terkena adalah peritonsilar (Beka, 2019).
Penelitian di Brazil juga menunjukkan bahwa penyebab paling
sering adalah Streptococcus pyogenes dimana tonsilitis dan infeksi
odontogenik merupakan penyebab utamanya (Brito, 2016).
Penelitian oleh Celakovsky dan kawan-kawan pada 634 pasien di
Republik Ceko juga menunjukkan bahwa bakteri aerobik merupakan
kuman penyebab tersering (246 kasus) dari abses leher dalam, dimana
yang paling sering adalah Streptococcus pyogenes (41 %),
4
2.3. Anatomi
Pengetahuan anatomi leher sangatlah penting dalam pemahaman
abses leher dalam baik dari segi tatalaksananya sampai antisipasi potensi
terjadinya komplikasi. Leher merupakan suatu tabung yang menjadi
penghubung antara kepala dan dada. Bagian tubuh ini berjalan dari batas
inferior mandibula secara anterior ke permukaan atas manubrium sternum
dan permukaan superior klavikula dan pada bagian posterior dari linea
nuchal superior dari tulang oksipital ke diskus intervertebral antara
vertebra servikal VII ke Torakal I (Drake, 2012).
Oleh karena itu, regio servikal dapat dibagi menjadi empat
kompartemen secara longitudinal yakni (Gambar 2.1) :
Kompartemen viseral yang terletak di bagian anterior dan terdiri dari
sistem digestif dan respirasi serta beberapa kelenjar endokrim
Kompartemen vertebral yang terletak di bagian posterior dan
mengandung vertebra servikal, korda spinalis, saraf servikal dan otot-
otot yang berkaitan dengan kolumna vertebralis
Dua kompartemen vaskular yang terletak lateral dan mengandung
pembuluh darah mayor dan nervus vagus. (Drake et al, 2012)
2.3.1 Fascia
Kompartemen-kompartemen pada leher dipisahkan oleh pelapis
fascia yang unik. Fascia pada leher ini dapat dibagi menjadi fascia
servikalis superfisial dan fascia servikalis profunda (Gambar 2.2)
(Standring et al, 2016).
a. Fascia servikalis
Fascia servikalis superfisial terletak dibawah kulit dari kepala dan leher,
terentang dari puncak kepala sampai ke pundak, aksila dan toraks. Fascia
ini melapisi jaringan lemak, saraf sensori, pembuluh darah superfisial,
limfe dan platisma. Platisma tidak ada pada garis tengah tubuh (Aynechi &
Har-El, 2014).
2.3.2 Rongga
Lapisan fascia leher menunjukkan adanya rongga potensial diatas
dan dibawah os hioid (Gambar 2.3; Gambar 2.4). Hal ini disebabkan
karena jaringan disekitar rongga potensial ini berhubungan sangat dekat
dengan pembatas jaringan ikat yang longgar. Rongga potensial leher
dapat dibagi menjadi :
a. Rongga yang melibatkan seluruh leher (rongga retrofaringeal, rongga
berbahaya, rongga prevertebral dan rongga karotis)
b. Rongga yang terletak diatas os hioid (rongga parafaringeal, rongga
submandibular, rongga sublingual, rongga parotid, rongga mastikator,
rongga peritonsilar dan rongga temporal)
c. Rongga yang terletak dibawah os hioid (rongga visceral anterior dan
rongga suprasternal) (Standring, 2016; Kitamura, 2016)
Gambar 2.3. Potongan midsagital dari leher yang menunjukkan fascia dan
rongga potensial pada leher (Aynechi, 2014)
\\\
Gambar 2.4. Potongan leher pada orofaring yang menunjukkan relasi anatomik
dari rongga-rongga yang terletak di leher dalam. 1. Rongga parafaring; 2.
Rongga karotid; 3. Rongga Retrofaring; 4. Rongga bahaya; 5. Rongga
prevertebral; AD = Divisi alar dari lapisan profunda; PD = divisi prevertebral dari
lapisan profunda (Aynechi, 2014)
Gambar 2.5. Potongan oblik dari leher yang menunjukkan rongga diatas os dan
rongga yan melibatkan seluruh leher (Aynechi, 2014)
Infeksi pada bagian ini dapat muncul dari perforasi dinding esofagus
anterior, benda asing dan instrumentasi endoskopik. (Aynechi , 2014)
2. Rongga suprastrenal
Rongga ini terletak tepat pada bagian atas sternal notch, diselubungi
oleh lapisan superfisial dari fascia servikalis profunda. (Christian et al,
2015; Aynechi , 2014)
2.4 Klasifikasi
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring,
abses parafaring, dan abses submandibula.
2.4.1.2 Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30
kasus per 100.000 orang per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per
tahun. Hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan pada anak-
anak. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76
tahun, dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35 tahun.
Selain itu, tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.
2.4.1.3 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya
kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan
kuman aerob dan anaerob (Fachruddin, 2008).
Biasanya, organisme gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi
melalui kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang
paling sering. Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphylococcus,
Pneumococcus, dan Haemophilus. Organisme lain yang dapat dikultur
adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp.,
Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak
bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering
menyebabkan abses tersebut (Repanos, 2009).
2.4.1.4 Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menampati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat melebar melibatkan
palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah.
Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian
inferior (Fachruddin, 2008).
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak permukaannya hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi
sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan
mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral (Dhingra PL, 2014).
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke
paru (Huang TT, 2006).
Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang
parafaring dan kelenjar limfa servikal superior, yang menjelaskan pola
limfadenopati secara klinis. Limfadenopati servikal superior ipsilateral
b. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut
dengan faring asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis,
Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat. Pemeriksaan rongga mulut
menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris, eksudasi tonsil,
dan uvula disposisi kontralateral.
2.4.1.6 Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil dapat ditegakkan melalui adanya
pembengkakan unilateral area peritonsil, pembengkakan unilateral
palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral, ataupun tonsilitis
yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten
(Boscolo, 2006)
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik
karena dapat menentukan lokasi akurat ruang abses. Cairan aspirasi
dapat dikultur, dan pada beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin
tidak perlu. Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok
berulang dan / atau kronik setelah insisi dan drainase, ini dapat menjadi
indikasi tonsilektomi (Buckley, 2019).
2.4.1.7 Terapi
a. Medikamentosa
Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena hinga
inflamasi hilang dan pasien dapat melanjutkan intake cairan oral adekuat.
Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa
tidak nyaman. Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh
dari abses. Penggunaan penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai
pilihan baik untuk terapi empiris untuk abses peritonsil. Sebagai pilihan
alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati kopatogen
dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan
pertama. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher (Cetin AC, 2017)
b. Bedah
1. Aspirasi jarum
Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena
bisa menentukan lokasi rongga abses secara akurat. Aspirasi jarum dapat
dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi sadar
dilakukan. Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa
kasus, dpat tidak dilanjutkan dengan insisi dan drainase (Cetin AC, 2017).
Gambar 2.7. Insisi dan drainase pada abses peritonsil (Cetin AC, 2017).
3. Tonsilektomi
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan
bersama-sama tindakan drainase abses disebut tonsilektomi “a’chaud”.
Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drainase abses, disebut
tonsilektomi “a’tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu setelah drainase
abses, disebut tonsilektomi “a’froid”. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu setelah drainase
abses (Aynehchi BB, 2014).
2.4.1.8 Komplikasi
Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi
paru atau piemia. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring,
sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke
mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke
daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus kavernosus,
meningitis, dan abses otak. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang
submandibular dan sublingual di dasar mulut (Angina Ludovici).
Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna
atau cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau
periode awal pascaoperasi (Brito, 2017)
2.4.1.9 Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase
adekuat sembuh dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami
abses kembali, membutuhkan tonsilektomi. Jika pasien berlanjut
melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis setelah insisi dan
drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan (Fachruddin, 2007).
2.4.2.2 Epidemiologi
Abses retrofaringeal relatif berkurang frekuensinya dibanding dulu
karena penggunaan antibiotik. Namun pada beberapa studi di Amerika
Serikat yang merupakan negara maju juga didapatkan peningkatan
frekuensi dalam 12 tahun sebanyak 4,5 kali (Abdel, 2008).
Abses retrofaringeal lebih sering terjadi pada laki-laki daripada
perempuan, dengan frekuensi 50-67% pada laki-laki dan 33-50% pada
perempuan, dari hasil beberapa studi (Ridder, 2005).
Abses retrofaringeal dulu merupakan penyakit yang biasa terjadi
pada anak, namun sekarang frekuensi pada dewasa meningkat (Abdel,
2008).
2.4.2.3 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang
retrofaring ialah (1) infeksi saluran napas atas yang menyebabkan
limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding belakang faring oleh benda
asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi,
intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised
atau penyakit kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS
memiliki resiko yang meningkat terhadap abses retrofaringeal
(Fachruddin, 2007).
2.4.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran
napas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan
penunjang foto Rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen
akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan
dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat
berkurangnya lordosis vertebra servikal (Kauffmann, 2017).
2.4.2.6 Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan
tindakan bedah. Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis
tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.
Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung
dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap,
agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal
atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda
infeksi reda (Jain A, 2018)
2.4.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi penjalaran ke ruang
parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas
sampai asfiksia, dan bila pecah spontan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi dan abses paru (Pascual MP, 2017)
2.4.2.8 Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi
segera, ditangani secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat
kematian bisa setinggi 40-50% jika pasien mengalami komplikasi serius
(Ridder GJ, 2005)
2.4.3.2 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan berbagai cara
seperti: secara langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan
tonsilektomi dengan analgetik sehingga peradangan terjadi karena ujung
jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis
(m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dan
fosa tonsilaris. Selain itu melalui proses supurasi kelenjar limfa leher
bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid, dan
vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses
ruang parafaring. Dapat juga melalui penjalaran infeksi dari ruang
peritonsil, retrofaring, atau submandibula (Salih, 2012).
2.4.3.3 Patofisiologi
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan
sekitar dan membentuk abses sublingual, submental, submandibula,
mastikator atau parafaring. Dari gigi anterior sampai M1 bawah biasanya
yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental. Bila
infeksi dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah
submandibula (Gambar 2.9). Hal ini disebakan posisi akar gigi M2 dan M3
berada di bawah garis perlekatan m. milohiod pada mandibula sedang gigi
anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut (Repanos C,
2009)
2.4.3.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa foto Rontgen jaringan lunak AP atau CT scan (Marioni, 2019)
2.4.3.6 Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral
terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera
dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam
dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar
dan inttra oral (Sittitrai P, 2018).
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar
mandibula. Secara tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior
2.4.3.7 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen,
atau langsung (per kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke
atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum (Sharma K, 2017).
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau septikemia (Motahari, 2015).
2.4.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur,
atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan
infeksi ruang leher dalam lain. Sebagian besar abses leher dalam
disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah
Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus influenza, Streptococcus
Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman
anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah kelompok
batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium (Salih, 2012).
2.4.4.3 Patofisiologi
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh
dan lokasi anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor
kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat
langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke
daerah potensial lainnya. (Gambar 2.11) Penyebaran abses leher dalam
dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang
leher dalam dan trauma tembus. (Repanos C, 2009)
Gambar 2.11. Skema perluasan infeksi pada ruang potensial leher. (PMS; ruang
faringo maksila, VVS; ruang vaskuler viseral). (Repanos C, 2009)
2.4.4.6 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Dhingra, 2014).
2.4.4.7 Terapi
Terapi pada abses submandibula dapat diberikan berdasarkan
algoritma (Gambar 2.12). Bila abses belum terbentuk maka terapi dapat
berupa antibiotic (parenteral). Bila abses telah terbentuk maka evakuasi
abses dapat dilakukan. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi
lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam
narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang
paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
trakeostomi perlu dipertimbangkan (Ridder, 2005).
2.4.4.8 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen
atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari
submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas
antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara langsung atau
melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial kemudian
ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial
lainnya (Maharaj, 2019)
2.4.4.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat
didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi
tidak terjadi.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai
40-50% walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis
mempunyai angka mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis
mempunyai angka mortalitas 60% (Russel MD, 2018)
Komplikasi
Komplikasi
Pola kuman
BAB III
METODE PENELITIAN
34
5. > 40 – 50 tahun
6. > 50 – 60 tahun
7. > 60 tahun
7. Jenis kelamin yaitu ciri biologis yang membedakan orang yang satu
dengan lainnya, terdiri atas laki-laki dan perempuan
8. Penyakit penyerta adalah faktor penyakit yang memungkinkan
terjadinya abses, dapat dikelompokkan menjadi :
1. Diabetes mellitus
2. HIV/AIDS
3. Tuberkulosis paru
4. Sirosis Hepatis
5. Tanpa Penyakit Penyerta
9. Tatalaksana merupakan pengobatan dan tindakan yang dilakukan
untuk penyembuhan penyakit, dikelompokkan menjadi
1 .Medikamentosa dan operatif
2. Medikamentosa
10. Komplikasi adalah proses patologis lain disebabkan oleh penyakit
penderita, dikelompokkan menjadi :
1. Sumbatan jalan nafas
2. Sepsis
3. komplikasi
11. Pola kuman adalah hasil kultur/biakan kuman dari sekret yang diambil
dari tempat drainase abses, dapat dikelompokkan menjadi :
1. Klebsiella ozaenae
2. Staphylococcus aureus
3. Klebsiella pneumonia
4. Pseudomonas aeruginosa
5. Clostridium perfringes
6. Eschericia coli
7. Streptococcus viridans
8. Streptococcus α-hemolyticus
9. Streptococcus ß-hemolyticus
10. Tidak dijumpai pertumbuhan kuman
Data rekam medis pasien abses leher dalam di RSUP HAM tahun 2013 –
2018 di Poliklinik THT-KL yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Pencarian data:
Umur
Lokasi abses
Jenis kelamin
Penyakit penyerta
Tatalaksana & Hasil tatalaksana
Komplikasi
Pola kuman
BAB IV
HASIL PENELITIAN
39
BAB V
PEMBAHASAN
yang biasanya berasal dari faring, tonsil dan gigi. Komplikasi dapat terjadi
apabila diagnosis terlambat ditegakkan, ataupun terdapat faktor
predisposisi seperti diabetes mellitus, penyakit imunokompromise dan
lain-lainnya (Raharjo SP, 2013).
Pada penelitian ini didapatkan kuman penyebab abses leher dalam
mayoritas adalah adalah Streptococcus ß haemolyticus (24,4%)
sedangkan kuman yang paling jarang adalah Escheria coli dan Klebsiella
ozaenae masing-masing 2,4%. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Yang dkk dimana kuman terbanyak yang ditemukan pada penderita
abses leher dalam adalah Streptococcus viridans sebanyak 48,31%
kemudian Klebsiella pneumoniae sebanyak 29,21% dan Staphylococcus
aureus sebanyak 14,60% (Yang, 2015). Pada penelitian yang dilakukan
oleh Huang dkk kuman terbanyak yang ditemukan adalah Streptococcus
viridans dan Klebsiella pneumoniae dalam jumlah yang sama banyak yaitu
33,9% (Huang, 2006). Suebara dkk menemukan kuman terbanyak pada
abses leher dalam adalah Staphylococcus aureus yaitu 30 (37,50%),
Streptococcus group G 20 (2,5%), Steptococcus viridan 10 (12,5%),
Steptococcus pyogenes 2 (2,5%), tidak ada pertumbuhan 13 (16.25%)
dan sisanya Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella sp., masin-masing 1
(1,25%) (Suebara et al., 2006).
Kebanyakan kasus abses leher dalam mengandung bakteri
campuran atau gabungan kuman aerob dan anaerob. Adanya gejala-
gejala seperti sekret yang berbau dalah tanda adanya infeksi anaerob.
Pada kasus abses odontogenik kebanyakan melibatkan bakteri anaerob.
Tidak dijumpai pertumbuhan kuman, diduga karena penderita abses leher
dalam telah mendapatkan terapi medikamentosa sebelum dilakukan
pemeriksaan mikrobiologi (Meher Ravi et al., 2005 ; Raharjo SP, 2013).
Pada penelitian ini didapatkan dari 19 penderita abses leher dalam
yang mendapat terapi medikamentosa diijumpai 15 penderita yang
sembuh dan 4 penderita yang meninggal, sedangkan dari 4 penderita
yang mendapat terapi kombinasi dijumpai 2 penderita yang sembuh dan 2
penderita yang meninggal. Hal yang sama dijumpai pada penilitian
Savitha terhadap 30 penderita abses leher dalam , 29 penderita sembuh
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Telah dilakukan penelitian mengenai karakteristik pasien abses leher
dalam di RSUP H. Adam Malik Medan periode 1 Januari 2013- 31
Desember 2018 dengan kesimpulan sebagai berikut:
6.1.1 Jumlah penderita abses leher dalam di RSUP H. Adam Malik Medan
adalah sebanyak 41 orang
6.1.2 Kelompok umur mayoritas adalah >50-60 tahun yaitu 26,8% dan
diantaranya berjenis kelamin laki-laki (68,3%).
6.1.3 Letak anatomi yang terlibat mayoritas pada submandibula (63,4%).
6.1.4 Penderita abses leher dalam mayoritas memiliki penyakit penyerta
diabetes melitus (26,8%).
6.1.5 Penderita abses leher dalam mayoritas mendapatkan tatalaksana
berupa medikametosa (26,8%).
6.1.6 Penderita abses leher dalam mayoritas mengalami komplikasi sepsis
(14,6%).
6.1.7 Kuman yang dijumpai pada abses leher dalam mayoritas berupa
Streptococcus ß haemoliticus (24,4%)
6.1.8 Penderita abses leher dalam yang mendapat terapi medikamentosa
mayoritas sembuh sebagai hasil penatalaksanaan (78%).
6.2 Saran
1. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dalam penunjang
diagnosis dan terapi abses leher dalam sehingga perlu untuk dilakukan
dan dalam cara pengambilan dan pengiriman spesimen pus perlu
diperhatikan lebih seksama agar tidak mempengaruhi hasil dari biakan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Yang SW, Lee MH, See LC, Huang SH, Chen TM, Chen TA. Deep neck
abscess-an analysis of microbial etiology and the effectiveness
of antibiotics (serial online) 2008. Diunduh dari url:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3108716. Diakses
tanggal 6 Oktober 2015
Yellon RF. Deep Head and Neck Space Infections. In: Snow Jr. JB &
Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolarygology – Head aand Neck
Surgery. 17th Ed. USA: People’s Medical Publishing House.
2009. p. 783-6.
LAMPIRAN 1
Hasil Penyakit
No Nama Umur JK Letak Anatomi Pola Kuman Tatalaksana Komplikasi
Tatalaksana penyerta
1 Klebsiella
Tri W 34 Wanita Parafaring pneumonia Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
2 Hullop Insisi &
CP 30 Pria retrofaring E coli medikamentosa Sepsis Meninggal TB paru
3 Asi H 65 Pria Parafaring Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
4 Bornando
S 36 Pria Peritonsil Staph aureus Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
5 Masian M 35 Wanita Parafaring Tidak ada kuman Medikamentosa Tidak ada Sembuh TB paru
6 Candra R 21 Pria Peritonsil Tidak ada kuman Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
7 Suryono 35 Pria Peritonsil Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
8 Minar Klebsiella
Butar 62 Wanita Submandibula pneumonia Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
9 Don
Jonson 14 Pria Peritonsil Pseudomonas Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
10 Syahnan 41 Pria Peritonsil Strep viridans Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
11 Marihat Klebsiella
Purba 42 Pria Submandibula ozaenae Medikamentosa Tidak ada Meninggal Tidak ada
12 Misman Insisi &
Lubis 55 Pria Submandibula Tidak ada kuman medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
13 Siti Klebsiella Insisi, trakeostomi Obstruksi
Kodijah 58 Wanita Submandibula pneumonia & medikamentosa jalan Sembuh DM
14 Leli Insisi &
Daulay 30 Wanita Submandibula Staph aureus medikamentosa Sepsis Sembuh DM
15 Imran 30 Pria Submandibula Pseudomonas Insisi & Tidak ada Sembuh Tidak ada
Ahmadi medikamentosa
16 Multi
Marimal 50 Pria Submandibula Strep beta Medikamentosa Sepsis Meninggal HIV
17 Janety
Manik 25 Wanita Submandibula Strep alfa Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
18 Mualim M 50 Pria Submandibula Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
19 Syaiful A 61 Pria Submandibula Strep alfa Medikamentosa Sepsis Meninggal TB paru
20 Seri U 48 Wanita Submandibula Pseudomonas Medikamentosa Tidak ada Meninggal Hipertensi
21 Insisi, trakeostomi Sepsis &
Freddy 62 Pria Submandibula Staph aureus & medikamentosa obstruksi Meninggal DM
22 Insisi & DM & TB
Bersih 58 Wanita Submandibula Strep beta medikamentosa Tidak ada Sembuh paru
23 Insisi &
Sayianto 61 Pria Submandibula Pseudomonas medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
24 Miller P 25 Pria Peritonsil Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
25 Insisi &
Tegar 38 Pria Submandibula Staph aureus medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
26 Klebsiella Insisi &
Liliany 58 Wanita Submandibula pneumonia medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
27 Insisi &
Habibah 55 Pria Submandibula Staph aureus medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
28 Insisi, trakeostomi Obstruksi
Surtini 54 Pria Submandibula Strep beta & medikamentosa jalan Sembuh TB paru
29 Insisi &
Liawaty 60 Pria Submandibula Tidak ada kuman medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
30 Insisi &
Rizal 23 Wanita Peritonsil Strep beta medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
31 Rahmat Insisi, trakeostomi Sepsis &
Sadi 57 Pria Submandibula Pseudomonas & medikamentosa obstruksi Meninggal DM
32 Insisi &
Yunita 28 Pria Peritonsil Staph aureus medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
33 Klebsiella Insisi &
Bernard 62 Pria Submandibula pneumonia medikamentosa Sepsis Meninggal DM
34 Insisi &
Sumiyati 55 Wanita Submandibula Strep alfa medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
35 Klebsiella Insisi &
Rio 23 Pria Peritonsil pneumonia medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
36 Insisi &
Agus 49 Pria Submandibula Pseudomonas medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
37 Siti 35 Wanita Peritonsil Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
38 Insisi &
Rizki 62 Pria Submandibula Tidak ada kuman medikamentosa Sepsis Meninggal Tidak ada
39 Klebsiella Insisi &
Martua 57 Pria Submandibula pneumonia medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
40 Desi T 32 Wanita Peritonsil Strep viridans Medikamentosa Tidak ada Sembuh Tidak ada
41 Rustam 58 Pria Submandibula Strep beta Medikamentosa Tidak ada Sembuh DM
LAMPIRAN 2
Jenis Kelamin
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid Pria 28 68.3 68.3 68.3
Wanita 13 31.7 31.7 100.0
Total 41 100.0 100.0
Kel usia
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid >10-20 3 7.3 7.3 7.3
>20-30 7 17.1 17.1 24.4
>30-40 7 17.1 17.1 41.5
>40-50 6 14.6 14.6 56.1
>50-60 11 26.8 26.8 82.9
>60 7 17.1 17.1 100.0
Total 41 100.0 100.0
Letak Anatomi
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid Parafaring 3 7.3 7.3 7.3
Peritonsil 11 26.8 26.8 34.1
Submandibul 26 63.4 63.4 97.6
a
retrofaring 1 2.4 2.4 100.0
Total 41 100.0 100.0
Penyakit penyerta
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid DM 11 26.8 26.8 26.8
TB paru 4 9.8 9.8 36.6
HIV 1 2.4 2.4 39.0
Hipertensi 1 2.4 2.4 41.5
DM & TB 1 2.4 2.4 43.9
paru
Tidak ada 23 56.1 56.1 100.0
Total 41 100.0 100.0
Komplikasi
Frequenc Valid Cumulative
y Percent Percent Percent
Valid Sepsis 6 14.6 14.6 14.6
Obstruksi jalan 2 4.9 4.9 19.5
Sepsis & 2 4.9 4.9 24.4
obstruksi
Tidak ada 31 75.6 75.6 100.0
Total 41 100.0 100.0