Anda di halaman 1dari 125

66

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS


LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN
OMEPRAZOLE DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Oleh:

dr. RIKA FEBRIYANTI

NIM : 080144002

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEDOKTERAN


ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
67

PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA REFLUKS


LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN
OMEPRAZOLE DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk
Mencapai Gelar Spesialis dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher

Oleh:

dr. RIKA FEBRIYANTI

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEDOKTERAN


ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
68
69

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T.


yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Salawat beserta salam atas
junjungan kita nabi besar Muhammad S.A.W, keluarga dan sahabatnya.
Hanya dengan segala rahmat dan karunia Allah yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang, sehingga tesis ini dapat saya selesaikan.
Tesis dengan judul PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PADA
PENDERITA REFLUKS LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH
PEMBERIAN OMEPRAZOLE DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN ini
diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
untuk memperoleh gelar spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini
masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun
demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan
ilmu bagi kita semua. Untuk itu perkenankanlah saya menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
yang terhormat:
Ketua Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Dr. dr.
Abd. Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) yang telah memberikan
kesempatan, bimbingan, pengarahan dan nasehat baik sebagai Ketua
Departemen, guru bahkan orang tua selama saya mengikuti pendidikan di
Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen THT-
KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, Dr. dr. Tengku Siti Hajar
Haryuna, Sp. THT-KL atas bimbingan dan dorongan semangat yang
diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang
keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.
70

Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua
pembimbing tesis saya yang telah banyak memberikan petunjuk,
perhatian serta bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga saya dapat
menyelesaikan tesis spesialis ini. Saya mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang
telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.
dr. Aliandri, Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang
telah meluangkan banyak waktunya memberikan petunjuk, bimbingan
serta motivasi dengan penuh kesabaran sehingga tesis ini dapat selesai.
Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian
dan penulisan tesis ini.
dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL sebagai anggota
pembimbing tesis saya yang telah banyak memberi bimbingan, motivasi
sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan
bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan
tesis ini.
dr. Taufik Ashar, MKM yg telah banyak memberi bimbingan dan
memberi bantuan dibidang statistik penelitian di tengah kesibukannya.
Saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian
dan penulisan tesis ini.
Pada kesempatan ini perkenankanlah saya juga menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr.
Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di
Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran
ii Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas
71

kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program


Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang
telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang
beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk
menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.
Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr.
dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. Tengku Siti Hajar
Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu
kepada saya dalam mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik sampai
selesai.
Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan,
Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Askaroellah
Aboet, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-
KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan,
SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir,
SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni,Sp.THT-
KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr. Adlin Adnan,
Sp.THT-KL, dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-
KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M. Ked
(ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K),
Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr.
Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto,
M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-
KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL, serta para supervisor di
rumah sakit jejaring. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan
bimbingannya selama ini.
72

Sembah sujud dan ucapan terima kasih saya kepada orang tua saya
tercinta Ayahanda Ramlan dan Ibunda Hj Rosfanidar, S.Sos yang selalu
berdoa, memberi semangat dan telah memberikan tuntunan kepada saya
untuk mengisi kehidupan ini dengan penuh ikhlas. Terima kasih telah
mengasuh, membesarkan, mendidik, mengajar, dan membimbing saya
sejak kecil dengan penuh kasih sayang dan kesabaran yang begitu tulus.
Doa ananda semoga Allah SWT menghapuskan segala dosa dan
melipatgandakan segala amal kebaikan ayahanda dan ibunda.
Kepada kedua mertua saya Rahimar Sikumbang dan Jasmaniar
Chaniago, yang selalu mendorong saya untuk tetap bersemangat dalam
menyelesaikan pendidikan ini. Atas segala pengertian dari Ayahanda dan
Ibunda semoga Allah SWT memberi balasan, kebaikan berlipat ganda,
dan diampunkan segala dosa.
Dengan rasa cinta, penuh hormat dan tulus, saya ucapkan terima kasih
yang tidak terhingga kepada suami tercinta Erin Chaniago, ST, M.Sc,
tempat segala kesulitan, hambatan dan keluh kesah dapat terbagi. Terima
kasih atas segala pengertian, dukungan, kesabaran, dan kasih sayang
yang telah diberikan selama ini. Semoga Allah terus menerus mempererat
hubungan batin kita dan memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat
kepada kita. Juga untuk buah hatiku tercinta Faiza Hanif, yang telah
menjadi semangat dalam menjalani pendidikan, semoga Faiza menjadi
anak berguna bagi keluarga, agama dan masyarakat. Amin
Kepada saudara-saudara saya tercinta, Adinda M. Hirdansyah, Amd,
Denny Prasutyo, S.Kom, M. Indra Syahputra, SP, M. Arif Munandar dan
M. Afif Munandar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih
sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada
penulis.
Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya
sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
73

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas


segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini,
semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya
selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat
ganda dari Allah SWT. Amin.

Medan, April 2014


Penulis

Rika Febriyanti
74

ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit refluks laringofaring sangat penting untuk


dikenali dimana jika tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup
dan menjadi penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus
aerodigestif yang dapat mengancam nyawa.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks
laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole
Metode: Penelitian ini menggunakan pre and post test design dari Mei
2013 hingga Maret 2014, terdapat 36 subjek penelitian yang dinilai skor
kualitas hidup, RSI dan RFS pada 5 kali pengamatan. Setiap subjek
diberikan omeprazole 20 mg dua kali sehari sebelum makan selama 12
minggu.
Hasil: Dari 36 subjek penelitian ditemukan wanita sebanyak 24 subjek
(66,7%) dan pria 12 subjek (33,3%). Kelompok umur yang terbanyak
adalah kelompok umur 45-64 tahun (50%) serta lebih banyak penderita
dengan pendidikan tinggi (52,5%). Penderita dengan gejala refluks
laringofaring pada penelitian ini kebanyakan dengan berat badan normal
sebesar 55,6%, dengan rerata BMI 26,1±4,6. Keluhan utama yang paling
banyak ditemukan adalah rasa menganjal ditenggorokan sebesar 50%.
Mendehem atau throat clearing merupakan gejala yang paling banyak
ditemukan sebesar 97,2%. Ventikular obliterasi dan hipertrofi komisura
posterior merupakan tanda patologis laring yang paling sering ditemukan
yaitu 97,2%. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RSI
sebelum terapi 18,47±4,35 dan rerata RSI sesudah terapi selama 3 bulan
yaitu 2,75±2,36 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata yang signifikan juga
dijumpai pada skor RSI setiap pengamatan. Terdapat perbedaan yang
signifikan antara rerata skor RFS sebelum terapi 10,81±2,73 menjadi
3,31±1,31 setelah pengobatan selama 3 bulan (p=0,0001, p<0,05).
Perbedaan rerata skor RFS yang signifikan juga ditemui pada setiap
pengamatan. Terdapat perbaikan kualitas hidup setelah pengobatan
dengan omeprazole selama 3 bulan dimana terdapat perbedaan yang
signifikan antara nilai kualitas hidup sebelum terapi 47,57±8,93 menjadi
83,17±6,16 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan kualitas hidup yang signifikan
ini juga terlihat pada setiap pengamatan kualitas hidup.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup penderita refluks
laringofaring dengan peningkatan nilai kualitas hidup pasien setelah
pemberian omeprazole.

Kata kunci: Reflux Symptom Index, Reflux Finding Score, penyakit refluks
laringofaring, kualitas hidup, omeprazole
75

ABSTRACT

Background: Laryngopharyngeal reflux disease has a negative impact on


quality of life. The treatment of laryngopharyngeal reflux disease with PPIs
may take up to 6 months. Omeprazole is one of the most commonly used
PPIs.
Objective: To find out the differences in quality of life of patients with
laryngopharyngeal reflux before and after the administration of
omeprazole.
Methods: This study used a pre- and post-test design from May 2013 until
March 2014 in which 36 samples were assessed for quality of life scores,
RFI and RFS at 5 times of observations. Each subject was given
omeprazole 20 mg twice daily before meals for 12 weeks.
Results: 24 women (66.7%) and 12 men (33.3%) were obtained from 36
samples. The largest age groups were between 45-64 years old (50%)
and most of them possessed higher education (52.5%). Patients with
laryngopharyngeal reflux symptoms in this study mostly had normal weight
(55.6%) with mean BMI = 26.1 ± 4.6. The most main complaint found was
the sensation of mountainous lump within the throat (50%). The most
common symptom was throat clearing (97.5 %). Ventricular obliteration
and posterior commissure hypertrophy were the most common
pathological signs of the larynx found (97.2%). There were significant
differences between the mean RSI scores before treatment = 18.47 ± 4.35
and 3 months after treatment = 2.75 ± 2.36 (p=0.0001; p<0.05). Significant
differences in the mean RSI scores were also obtained in each
observation. There were significant differences between the mean RFS
scores before treatment = 10.81 ± 2.73 and 3 months after treatment =
3.31 ± 1.31 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the mean RFS
scores were also obtained in each observation. The improvement of
quality of life after treatment with omeprazole for 3 months were obtained
as there were significant differences between the values of quality of life
before treatment = 47.57 ± 8.93 and 3 months after treatment = 83.17 ±
6.16 (p=0.0001; p<0.05). Significant differences in the quality of life were
also obtained in each observation.
Conclusion : There were significant differences in the quality of life of
patients with laryngopharyngeal reflux regarding the increased values of
quality of life of patients after the administration of omeprazole.

Keywords : Reflux Symptom Index, Reflux Finding Score,


laryngopharyngeal reflux disease, quality of life, omeprazole
76

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
ABSTRAK ………………………………………………………………………… vi
ABSTRACT ………………………………………………………………………. vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. viii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………. x
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………… xi
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………… xii
BAB 1. Pendahuluan ………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………… 1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………. 4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………. 4
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………... 6
BAB 2. Tinjauan Pustaka……………………………………………………… 7
2.1 Penyakit Refluks Laringofaring……………………………… 7
2.1.1 Komponen refluks………………………………………. 7
2.1.2 Mekanisme proteksi………………………………………. 8
2.1.3 Kekerapan………………………………………………. 12
2.1.4 Patofisiologi…………………………………………….. 12
2.1.5 Diagnosis …………….. ………………………………. 13
2.1.6 Penatalaksanaan……………………………………….. 19
2.2 Kualitas hidup pasien penyakit refluks laringofaring…….. 22
2.3 Kerangka Teori………………………………………………… 26
2.4 Kerangka Konsep……………………………………………… 27
2.5 Hipotesis Penelitian…………………………………………… 27
BAB 3. Metodologi Penelitian………………………………………………… 28
3.1 Jenis Penelitian………………………………………………. 28
3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian……………………………… 28
3.3 Populasi, Subjek Penelitian Dan Besar Subjek
Penelitian………………………………………………………. 28
77

3.3.1 Populasi………………………………………………… 28
3.3.2 Subjek penelitian………………………………………. 28
3.3.3 Besar subjek penelitian……………………………………… 29
3.3.4Teknik pengambilan subjek penelitian…………………… 30
3.4 Variabel Penelitian……………………………………………. 30
3.5 Definisi Operasional………………………………………….. 30
3.6 Alat dan Bahan Penelitian…………………………………… 32
3.7 Cara Kerja……………………………………………………… 33
3.8 Teknik Pengumpulan Data…………………………………… 34
3.9 Analisis Data…………………………………………………… 34
3.10 Kerangka Kerja………………………………………………… 35
BAB 4. Hasil Penelitian……………………………………………………….. 36
BAB 5. Pembahasan…………………………………………………………… 45
BAB 6 Kesimpulan dan Saran………………………………………………. 57
6.1 Kesimpulan……………………………………………………... 57
6.2 Saran …………………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….. 59
PERSONALIA PENELITIAN……………………………………………………. 64
LAMPIRAN………………………………………………………………………... 66
78

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Indeks Gejala Refluks (RSI)……………………………………... 14


Tabel 2.2 Skor Refluks (RFS) ………………………………………………. 15
Tabel 2.3 Profil farmakokinetik proton pump inhibitor………………………. 21
Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian ……………………………………. 37
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks
laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)……………… 37
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit refluks
laringoaring berdasrkan keluhan utama …………………………. 38
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks
laringofaring berdasarkan keluhan yang dirasakan…………… 38
Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala refluks
laringofaring berdasarkan tanda patologis laring yang didapat.. 39
Tabel 4.6 Perbedaan rerata RSI penderita penyakit refluks laringofaring 40
dari pengamatan pertama sampai kelima………………………...
Tabel 4.7 Perbedaan rerata RFS penderita penyakit refluks laringofaring
dari pengamatan pertama sampai kelima………………………... 41
Tabel 4.8 Perbedaan rerata skor kualitas hidup penderita penyakit refluks 43
laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima………
79

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pseudosulcus vokalis…………………………………. 16


Gambar 2.2 Ventrikular obliterasi…………………………………… 16
Gambar 2.3 Eritemia/ hyperemia…………………………………… 16
Gambar 2.4 Edema pita suara……………………………………… 17
Gambar 2.5 Edema laring…………………………………………… 17
Gambar 2.6 Hipertrofi komisura posterior…………………………. 17
Gambar 2.7 Granuloma……………………………………………… 18
Gambar 2.8 Mukus kental endolaring……………………………… 18
Gambar 2.9 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit
refluks laringofaring berdasarkan American Medical
Assosciation…………………………………………….. 22
Gambar 2.10 Kerangka Teori………………………………………… 26
Gambar 2.11 Kerangka Konsep……………………………………… 27
Gambar 3.1 Kerangka Kerja………………………………………… 35
Gambar 4.1 Grafik garis RSI dari pengamatan pertama sampai 41
kelima………………………………
Gambar 4.2 Grafik garis RFS dari pengamatan pertama sampai 42
kelima……………………………….
Gambar 4.3 Grafik garis peningkatan skor kualitas hidup dari 44
pengamatan pertama sampai kelima…………………..
80

DAFTAR SINGKATAN

BMI : Body Mass Index


GERD : Gastroesophageal Reflux Disease
HRQOL : Health Related Quality Of Life
LES : Lower Esophageal Sphincter
PND : Post Nasal Drip
PPI : Proton Pump Inhibitor
RFS : Reflux Finding Score
RQS : Reflux Qual Short
RSI : Reflux Symptom Index
TLESR : Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation
UES : Upper Esophageal Sphincter

BAB 1

PENDAHULUAN
81

1.1 Latar Belakang


Penyakit refluks laringofaring merupakan varian ekstraesofageal dari
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) yang sedang meningkat pada
4 dekade terakhir (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006). Refluks
laringofaring merupakan aliran balik dari cairan lambung ke daerah
laringofaring yang menyebabkan keluhan seperti suara serak, batuk,
sensasi globus, throat clearing ataupun post nasal drip (Cheung et al.
2009).

Refluks laringofaring berhubungan dengan banyak gejala dan


diagnosis kelainan di kepala dan leher. Sangat penting untuk dapat
mengenali penyakit refluks laringofaring dimana jika tidak terdiagnosa
dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien dan menjadi
penyebab perkembangan penyakit-penyakit di traktus aerodigestif yang
dapat mengancam nyawa (Cohen et al. 2002; Ford 2005). Beberapa studi
menunjukkan bahwa refluks asam terdapat pada 50-80% pasien asma,
10-20% pasien dengan batuk kronis, 80% pasien dengan suara serak,
dan 20-50% pasien dengan sensasi globus (Carrau et al. 2005).

Refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan


fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke
daerah laringofaring yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik
esofagus, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford
2005). Tingkat keasaman serta frekuensi paparan asam juga berpengaruh
terhadap terjadinya penyakit refluks laringofaring, dimana PH 0-4
dianggap yang paling berbahaya, serta 3 kali refluks ke daerah
laringofaring dalam 1 minggu dapat menyebabkan kerusakan mukosa
laring yang berat, dibandingkan dengan 50 kali refluks di daerah esofagus
per hari yang masih dianggap normal. Hal ini disebabkan karena epitel
laring lebih sensitif daripada mukosa esofagus (Koufman 2002; Vardar et
al. 2012).
82

Penilaian gejala klinis penyakit refluks laringofaring menggunakan RSI


(Reflux Symptom Index), terdiri dari 9 komponen gejala yang dikenalkan
oleh Belafsky (2002), dimana RSI > 13 diduga penyakit refluks
laringofaring. Pemeriksaan gambaran kelainan laring dengan
menggunakan RFS (Reflux Finding Score) yang juga diperkenalkan oleh
Belafsky (2001), dimana RFS > 7 menunjukkan dugaan penyakit refluks
laringofaring.

Lenderking et al. (2003), melakukan penelitian penyakit refluks


laringofaring terhadap kualitas hidup pasien dibandingkan dengan pasien
GERD (Gastroesophageal Reflux Disease ) berdasarkan systematic
literature review dan memperoleh hasil bahwa penyakit refluks
laringofaring memberikan dampak negatif terhadap kualitas hidup
terutama fungsi fisik dan emosi. Sedangkan Carrau et al. (2004)
mendapatkan hasil penderita penyakit refluks laringofaring mempunyai
dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien pada
semua fungsi yang menggambarkan kualitas hidup. Siupsienskiene,
Adamonis & Tohill (2007) menyimpukan bahwa penurunan kualitas hidup
pada penderita refluks laringofaring lebih berhubungan dengan gejala
yang dirasakan dibandingkan dengan tanda patologis laring yang
ditemukan.

Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks


laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang dan sering
mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering
menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem
psikologi, emosi dan sosial (Lenderking et al. 2003).

Penatalaksanaan penyakit refluks laringofaring dapat berupa modifikasi


diet dan perubahan gaya hidup serta dengan intervensi farmakologik.
Terdapat 4 kategori obat yang dapat digunakan untuk penatalaksanaan
penyakit refluks laringofaring yaitu Proton Pump Inhibitor (PPI) yaitu
83

omeprazole, esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole,


antagonis reseptor H2 seperti ranitidin, cimetidin, nizatidine, famotidine
yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung, agen prokinetik seperti
cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat pembersihan
esofagus serta meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus serta
mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi melindungi
mukosa dari asam dan pepsin (Ford 2005).

PPI merupakan obat anti refluks paling efektif yang berfungsi menekan
produksi asam lambung dibandingkan dengan antagonis reseptor H 2
dengan cara menghalangi kerja H+/K + ATP ase di jalur akhir produksi
asam dari sel parietal lambung (Amin et al. 2001). Omeprazole bersifat
lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat dengan mudah penetrasi ke
membran sel serta terkonsentrasi dalam keadaan asam, mempunyai
waktu paruh yang relatif pendek (kira-kira 1-2 jam) dan mempunyai masa
durasi yang panjang (Olbe et al. 2003). Sekitar 85,7% kasus penyakit
refluks laringofaring sensitif terhadap pengobatan PPI (Siupsinskiene et
al. 2008).

Tamin (2008) melakukan penelitian di RS. Cipto Mangunkusumo


Jakarta mendapatkan peningkatan kualitas hidup penderita refluks
laringofaring setelah terapi 6 bulan dengan PPI ( lansoprazole 30mg dua
kali sehari), dan juga terdapat peningkatan kualitas hidup yang signifikan
setiap pasien datang untuk follow up. Siupsinskiene, Adamonis & Tohill (
2007) pada penelitiannya mendapatkan peningkatan skor kualitas hidup
pasien penyakit refluks laringofaring setelah pemberian terapi omeprazole
20 mg dua kali sehari selama 3 bulan.

Ford (2005) menyatakan berdasarkan survey American


Bronchoesophageal Association pengobatan penyakit refluks laringofaring
dengan PPI 2 kali sehari dalam jangka waktu 3-6 bulan. Dengan jangka
pengobatan yang lama tersebut akan berdampak terhadap besarnya
84

biaya yang akan di keluarkan oleh pasien. Omeprazole merupakan PPI


yang paling murah diantara obat PPI lain yang beredar di Indonesia
berdasarkan KEPMENKES RI No. 92 Tahun 2012 tentang Harga Eceran
Tertinggi Obat Generik tahun 2012.

Berdasarkan latar belakang di atas, dengan adanya dampak negatif


yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien penderita penyakit refluks
laringofaring serta peran omeprazole yang dapat mengurangi gejala pada
penderita refluks laringofaring dan perannya pada kualitas hidup sehingga
peneliti tertarik ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan kualitas
hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan sesudah
pemberian omeprazole di RSUP. H. Adam Malik Medan.

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan suatu masalah yaitu apakah terdapat perbedaan kualitas
hidup pasien penderita penyakit refluks laringofaring sebelum dan
sesudah pemberian omeprazole di RSUP.H.Adam Malik Medan.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui perbedaan kualitas hidup pasien penyakit refluks


laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP.H.
Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus


85

a. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks


laringofaring berdasarkan jenis kelamin di poliklinik THT-KL RSUP.
H. Adam Malik Medan.
b. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks
laringofaring berdasarkan umur di poliklinik THT-KL RSUP. H.
Adam Malik Medan.
c. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks
laringofaring berdasarkan tingkat pendidikan di poliklinik THT-KL
RSUP. H. Adam Malik Medan.
d. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks
laringofaring berdasarkan keluhan utama di poliklinik THT-KL
RSUP. H. Adam Malik Medan.
e. Mengetahui distribusi frekuensi penderita penyakit refluks
laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI) di poliklinik THT-
KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
f. Mengetahui distribusi frekuensi keluhan yang ditemukan pada
penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP.
H. Adam Malik Medan.
g. Mengetahui distribusi frekuensi tanda patologis laring yang
ditemukan pada penderita penyakit refluks laringofaring di poliklinik
THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
h. Mengetahui perbedaan rerata skor kualitas hidup pada penderita
penyakit refluks laringofaring di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam
Malik Medan pada setiap pengamatan.
i. Mengetahui perbedaan rerata skor RSI pada penderita penyakit
refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole
di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
j. Mengetahui perbedaan rerata skor RSI pada penderita penyakit
refluks laringofaring pada setiap pengamatan di poliklinik THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan
86

k. Mengetahui perbedaan rerata skor RFS pada penderita penyakit


refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole
di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.
l. Mengetahui perbedaan rerata skor RFS pada penderita penyakit
refluks laringofaring pada setiap pengamatan di poliklinik THT-KL
RSUP H. Adam Malik Medan

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini bermanfaat antara lain :

a. Dengan diketahui perbedaan kualitas hidup sebelum dan sesudah


pemberian omeprazole sehingga omeprazole dapat dijadikan terapi
standar penyakit refluks laringofaring untuk perbaikan kualitas
hidup pasien.
b. Dengan diketahuinya dampak penyakit refluks laringofaring
terhadap kualitas hidup pasien pada penelitian ini diharapkan
peningkatan kewaspadaan dokter dan pasien terhadap penyakit
refluks laringofaring.
c. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan
penyakit refluks laringofaring.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
87

2.1 Penyakit Refluks Laringofaring


Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring,
faring, trakea dan bronkus (Pribuisine et al. 2002). Istilah refluks
laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh majalah Otolaryngology
pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh Alberto
(2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada
laring akibat adanya paparan cairan asam lambung.

Refluks laringofaring disebut juga extraesophageal reflux,


supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal reflux, reflux
laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease (Belafsky et al. 2007).

Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan


positif intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun
laringofaring. Refluks fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan
karena adanya Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation
(TLESR). TLESR dirangsang oleh distensi lambung, terutama pada masa
postprandial dan diaktivasi oleh stretch reseptor pada dinding lambung.
Lengkung refleks terdiri dari impuls yang dimediasi oleh nervus vagus ke
nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen vagal ke sfingter
bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory interneuron
yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara yang
tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses
menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter
bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial
dan posisi upright (Andersson 2009).

2.1.1 Komponen refluks


Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di
daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin
dengan asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya
yang berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada
88

percobaan pada hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif


dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. (Andersson
2009)
Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan.
Mayoritas dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan
sama pada orang normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk
campuran gas dan cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan
penurunan pH yang signifikan lebih sering pada penderita penyakit refluks
laringofaring (Andersson 2009).

2.1.2 Mekanisme proteksi.


Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter
bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya
gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford
2005).

Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan


baik antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu
memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi
serta mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan,
sfingter bawah esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari
sistem saraf pusat. Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot
polos, saraf dan hormon. Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk
menutup secara primer disebabkan karena adanya aktifitas otot polos
intrinsik (Kahrilas 2003).

Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan


sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain
dapat membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta
bloker dalam meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan
blokade alfa adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan
tekanan sfingter bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya
89

berperan dalam menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus.


Peranan hormon dalam mempertahankan tekanan sfingter bawah
esofagus masih menjadi perdebatan yang menarik. Gastrin diduga
berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter bawah esofagus,
sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar 80%
pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi
oleh bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan
yang mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah
esofagus, sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan
sfingter bawah esofagus (Kahrilas 2003).

Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR


merupakan mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks.
TLESR terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter
esofagus bagian bawah yang tidak berhubungan dengan proses menelan
atau peristaltik. Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen
yang normal, frekuensi episode refluks meningkat karena insufisiensi
tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang
abnormal. Refleks vasovagal disusun oleh mekanoreseptor aferen
dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan dibatang otak dan
eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR. Distensi
abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang
abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR.
Posisi yang menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah
permukaan batas air dan udara di lambung juga diduga menyebabkan
terjadinya refluks. Faktor lain yang mempengaruhi dinamika tekanan dan
volume lambung adalah gerakan, ketegangan, obesitas, volume yang
berlebihan atau makanan yang hiperosmolar dan peningkatan usaha
pernafasan saat batuk maupun wheezing ( Lipan, Reidenberg & Laitmann
2006; Andersson 2009).
90

Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter


bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang
rendah, (2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun
tidak menelan dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di
lambung atau kombinasi antara (1) dan (2) (Lipan, Reidenberg & Laitmann
2006).

Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized


yang terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan
germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks
asam adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan.
Resistensi jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3
bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel
berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan lapisan
cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana
menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah
dibandingkan pada lambung maupun duodenum. Lapisan epitel berada di
apical dari membran dan kompleks junction. Berfungsi untuk
mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke intercelluler space. Pada
keadaan esofagitis, kompleks junction akan mengalami kerusakan, saat
itulah terjadi peningkatan ion H+ sehingga menyebabkan dilatasi dari
intercelluler space. Pertahanan pada post epitel berupa asam yang
berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3 - didalam sel dan intercelluler
space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion HCO3-. Ion Na+ yang
berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar tempat di basolateral
dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel cytosol.
Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki melalui
2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh hormon
epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit
setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Orlando 2006).
91

Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa


carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra
dan ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian
esofagus akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel
untuk menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka
karbonik anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11
jenis katalisator isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak
maupun lokasi di jarigan serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi
didalam epitel esofagus. Ekspresi dari karbonik anhidrase secara fisiologis
sangat penting, sebab akan merangsang sekresi dari ion bikarbonat untuk
meningkatkan pH refluks dari asam lambung sebesar 2,5 poin mendekati
nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan normal tidak ditemukan
pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik anhidrase III dengan
kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada keadaan refluks
laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang signifikan di
epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel
komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis
dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam
lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada
komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan
epitel (Koufman et al. 2006; Ford 2005).

Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian


kecil serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan
pertahanan utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan,
Reidenberg & Laitman, 2006).

Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi


faring, distensi esofagus dan intraesophageal infusion melalui jalur vagal
eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas
esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan
saat melakukan valsava ( Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).
92

Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat


deglutisi, ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat
terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang
mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi
laring kearah anterosuperior (Lipan, Reidenberg & Laitman 2006).

2.1.3 Kekerapan
Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer
et al. ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks
laringofaring antar 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari
pasien yang mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari
refluks laringofaring ( Qadeer et al. 2005).
Dari penelitian Belafsky et al. (2001) didapatkan rata-rata umur dari
pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita,
nilai rata-rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3±8,9. Carrau et al.
(2004) mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring
48 tahun dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002)
mendapatkan rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun,
dimana 56% adalah pria, rata-rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.

2.1.4 Patofisiologi

Patofisiologi refluks gastro-esofago-laringofaring terjadi karena


rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya
cairan asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter
bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa
esofagus dan sfingter atas esofagus (Ford 2005).

Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung


dapat memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal.
Yang pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan
93

jaringan sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus


menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi
bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing)
dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal
ini mungkin saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa
langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan
berdehem (chronic throat clearing) dan batuk ( Andersson 2009).

Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling


berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi
pada cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati
esofagus tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa
laring yang sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih
sensitif terhadap asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari
pada mukosa esofagus (Andersson 2009).

Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit


refluks laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002)
menyatakan satu kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal
ini berdasarkan penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan
pepsin selama 1 minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa
laring.

2.1.5 Diagnosis

a. Anamnesis

Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip


oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari hasil
94

anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing (98%),


batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok
(95%) dan suara parau (95%).

b.Gejala Klinis

Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit refluks


laringofaring, Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008) membuat
sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks gejala
refluks ( Reflux Symptom Index = RSI). RSI mudah dilaksanakan ,
mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan
dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen
bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5
(keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13
dicurigai penyakit refluks laringofaring (Belafsky et al. 2002; Tamin 2008).

Tabel 2.1. Indeks Gejala Refluks (RSI)

Reflux Symptom Index (RSI)


Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita 0 = tidak,
95

5 = sangat berat
1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5
2 Clearing your throat (sering mengeluarkan 0 1 2 3 4 5
lender tenggorok/ mendehem)
3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, regurgitasi asam
Sumber : Belafsky et al. ( 2002)

Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring


adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding
posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara,
contact ulcer, stenosis subglottis (Andersson 2009).

Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks


laringofaring. Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang
dikutip oleh Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS) yang
merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya
gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan
nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi dari nilai 0
(tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang
terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan
penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and
intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen
bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian
yang dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks
(Belafsky et al. 2001; Tamin 2008).
96

Tabel 2.2. Skor Refluks (RFS)

Reflux Finding Score (RFS)


Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada
2 = ada
Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4 = komplit
Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid
4 = difus
Edema pita suara 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
Edema laring difus 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2 = ada
Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2 = ada
Sumber : Belafsky et al. ( 2001)

Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi


laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al
(2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan
pseudosulkus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga
ke daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar 2.1.
97

Gambar. 2.1 : Pseudosulcus vocalis (Pham 2009).

Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang
terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria.
Keadaan lain seperti ventricular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat
terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti
tampak pada gambar.

Gambar 2.2 : Ventrikular obliterasi (Pham 2009).


98

Gambar 2.3 : Eritemia/ hiperemia (Pham 2009).

Gambar 2.4: Edema pita suara (Pham 2009).

Gambar 2.5 : Edema laring (Pham 2009).

Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit


nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya
mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring
skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema
tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus
atau polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4.
99

Gambar 2.6 : Hipertrofi komisura posterior (Pham 2009).

Gambar 2.7: Granuloma (Pham 2009).

Gambar 2.8 : Mukus kental endolaring (Pham 2009).

Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura


posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang
jelas dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan
menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah
100

menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada


tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka
skor 2 (Belafsky et al. 2002).

c. Pemeriksaan pH

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling


dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah
elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas
sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus
(Merati et al. 2005; Andersson 2009).

Walaupun dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis


refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes yang ideal
dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari tes
ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat
bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi
diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH.
Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas (Knight 2005).

d. Tes PPI

Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai


tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara
diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek
terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14
hari mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan
pemeriksaan pH metri 24 jam (Tamin 2008).

2.1.6 Penatalaksanaan
101

Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:

a. Perubahan Pola Hidup


Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk
mendiagnosis keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera
disarankan untuk mengubah pola hidup dan pola makan,
diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok dan minum-
minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih,
membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak,
citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu
makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur (Ford 2005).

b. Medikamentosa
Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI seperti
omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan
rabeprazole. Obat lain yang sering digunakan dalam pengobatan
refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor seperti
cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang berfungsi
mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik agen seperti
cisapride, metoclopramide yang berfungsi mempercepat
pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan sfingter bawah
esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi
melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida juga dapat
diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium hidroksida
atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi mengurangi gejala
refluks (Ford 2005).

Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling efektif


yang berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan
dengan antagonis reseptor H2, dengan cara menghalangi kerja H+/
K+ ATP ase dijalur akhir produksi asam dari sel parietal.
102

Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan enzim dari


tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis sekretorius.
Proses ini sangat erat hubungannya dengan transport K +/ Cl-
terhadap pergerakan ion potassium ke permukaan luminal dari
enzim. Perpindahan asam dari kanalikulus ke dalam lumen kelenjar
dimulai pada mukosa lambung. Proses pengasaman ini dibentuk
diantara sel sitoplasma parietal dan kanalikulus. Tingginya kadar
pH terjadi pada proses diantara sel parietal dan kanalikulus,
sehingga kerja PPI pada daerah ini dapat mengurangi tingginya
kadar pH lambung (Olbe et al. 2003; Ford 2005).

Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat


dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi
dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif
pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai masa durasi yang
panjang (Olbe et al. 2003).

Tabel 2.3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor (Vanderhoff &


Tahboub 2002)

Profil farmakokinetik PPI


Omeprazol Lansoprazol Pantoprazol
Rabeprazole
e e e
Bioavaibility (%) 30-40 80-85 52 77
Waktu 0,5-3,5 1,7 1,0-2,0 1,1-3,1
103

konsentrasi
puncak plasma
(jam)
Waktu paruh
eliminasi plasma 0,5-1,0 1,3-1,7 1,0-2,0 1,0-1,9
(jam)
Protein binding
95 97 96 98
(%)
Ekskresi urin (%) 77 14-23 30-35 71-80

c. Pembedahan
Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila dalam
pemberian terapi tidak memberikan respon yang signifikan.
Pendekatan yang biasa digunakan seperti partial atau complete
fundoplication (Ford 2005).

Menurut survey American Bronchoesophageal Association, penderita


dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan menggunakan
instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, segera penderita diberi
tes terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) disertai perubahan
pola hidup dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3
bulan. Bila keadaan umum penderita membaik, maka pemberian PPI
dapat dikurangi secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita
mengalami perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi
dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan,
namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka pemeriksaan
multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan transnasal
esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan
kontras barium dapat segera dilakukan (Ford, 2005).
104

Penilaian Awal Pasien dengan LPR

Reflux Symptom Index (Riwayat Gejala) > 13


dan
Reflux Finding Score (Laringoskopi) > 7

Uji Terapeutik Empiris


Pola Hidup
Diet

Terapi PPI
Penilaian selama 3 bulan

Gejala Teratasi Gejala Membaik


Gejala Tetap atau Memburuk

Terapi PPI Titrat Peningkatan dosis PPI


Lanjutkan Modifikasi Pola
Hidup dan Diet

Penilaian selama 6 bulan

Gejala Gejala Tidak


Teratasi Teratasi

Terapi PPI Penilaian Definitif


Titrat Monitoring pH (Penilaian Reflux)
TNE atau EGD (Dokumentasi Patologis)
Manometry (Penilaian Etiologi)

Barium Swallow
Gambar 2.9. Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks
laringofaring berdasarkan American Medical Association(Ford, 2005).

2.2 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Refluks Laringofaring

Evaluasi kualitas hidup sangat penting pada penilaian keberhasilan


terapi medis. Kualitas hidup digunakan untuk mendeskripsikan
kemampuan menjalani kehidupan yang produktif secara ekonomi dan
sosial, tidak semata-mata menyangkut masalah kesehatan saja. Kualitas
hidup yang terkait dengan kesehatan (Health related quality of life)
105

mengacu kepada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas


hidup, bersifat individual dan dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan,
harapan serta persepsi seseorang (Shaw & Crawley 2003).

Penilaian mengenai kualitas hidup banyak dilakukan dengan


menggunakan penilaian yang sudah menjadi standar Health Related
Quality of Life (HRQL) seperti kuesioner kualitas hidup secara umum
berupa The Short Form Nottingham Health Profile (SF 36). SF 36
berisikan 8 domain, antara lain fungsi fisik (physical function),
keterbatasan fisik (role limitation, physical), rasa nyeri (bodily pain),
persepsi kesehatan secara umum (general health perception), vitalitas
(vitality), fungsi sosial (social function), keterbatasan mental (mental
health) yang dapat menggambarkan kesehatan penderita secara
keseluruhan (Tamin, 2008). Pengukuran kualitas hidup dengan SF 36
pada penderita penyakit refluks laringofaring hanya menggambarkan
kesehatan penderita secara keseluruhan, yang merupakan kelemahan SF
36 (Tamin, 2008).

Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks


laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang, dan sering
mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering
menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem
psikologi, emosi dan sosial (Lenderking et al. 2003). Amouretti membuat
suatu instrument penilaian kualitas hidup spesifik terhadap GERD yang
disebut RQS (Reflux Qual Short Form) dan merupakan cara penilaian
kualitas hidup yang singkat, dipercaya, mempunyai nilai validitas dan
reabilitas yang baik serta sensitif terhadap perbedaan intra dan ,inter
subyek (Amouretti 2005). Reflux Qual Short Form menilai kualitas hidup
di 5 domain yaitu kehidupan sehari hari (daily life), kenyamanan (well
being) , gangguan psikologis (psychological impact), tidur (sleep) dan
makan (eating). Skor RQS di hitung dengan rata-rata jumlah skor dari 8
item dikalikan dengan 25. Hasilnya dari 0 yang berarti kualitas hidup yang
106

paling rendah sampai 100 yang merupakan kualitas hidup yang paling
tinggi (Amouretti, 2005).

LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT (RQS)


FORM

1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan


anda ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?
o 4 Tidak sama sekali
o 3 sedikit
o 2 kadang
o 1 cukup terganggu
o 0 sangat terganggu
2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi
pekerjaan karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu
3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan
kehidupan anda walaupun anda mengalami keluhan ini?
o 0 Tidak sama sekali
o 1 sedikit
o 2 kadang
o 3 cukup nyaman
o 4 sangat nyaman
4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda
dapat menikmati makanan anda?
o 0 Tidak pernah
107

o 1 jarang
o 2 kadang
o 3 sering
o 4 setiap waktu

5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena


keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu
6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena
keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu
7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari
karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
108

o 0 setiap waktu

8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanan


tertentu karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

2.3 Kerangka Teori


Cairan Lambung

Sfingter atas dan bawah esofagus


Resistensi mukosa esofagus
Fungsi motorik mukosa esofagus
Refluks laringofaring
-umur
-jenis kelamin Pola Hidup
- BMI

Gejala Klinis (RSI): Tanda patologis laring (RFS)


Suara serak Edema subglotik/ pseudosulcus vocalis
Throat clearing Ventricular obliterasi
Mucus berlebihan / post nasal drip Eritemia / hyperemia
Kesukaran menelan Edema pita suara
Batuk setelah makan/ berbaring Edema laring difus
109

Kualitas Hidup

 pH metri
 Tes PPI (+)

Penyakit Refluks laringofaring

Perubahan pola hidup


Diet
Terapi PPI

Gambar 2.10 Kerangka Teori

2.4 Kerangka Konsep

RSI > 13
-Umur
-Jenis kelamin
-Keluhan utama PPI Kualitas Hidup II
LPR
-Tingkat RSI
Pendidikan RFS
- BMI
RFS > 7
110

Kualitas Hidup I

Gambar 2.11. Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan kualitas hidup pada penderita refluks laringofaring


sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di poliklinik THT-KL RSUP.
H. Adam Malik Medan

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan
menggunakan pre-post test design.

3.2 Waktu dan Tempat penelitian


111

Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2013 sampai Februari 2014


di Poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan.

3.3 Populasi,Subjek Penelitian dan Besar Subjek Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh penderita dengan penyakit refluks
laringofaring dengan RSI>13 dan RFS >7 yang datang ke poliklinik
THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan sejak Mei 2013 sampai
dengan Februari 2014.

3.3.2 Subjek penelitian


Subjek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari
populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.
a. Kriteria inklusi
 Usia ≥ 18 tahun.
 Bersedia ikut dalam seluruh proses penelitian dan
memberikan persetujuan secara tertulis setelah
mendapat penjelasan ( informed consent).

b. Kriteria eksklusi
 Subjek dengan diagnosis kelainan paru kronis seperti
penyakit asma, tuberkulosis paru, penyakit paru
obstruktif kronis
 Subjek perokok dan peminum alkohol
 Subjek yang mengalami disfagia dengan kelainan
neurologi
 Subjek yang didiagnosa dengan penyakit psikiatri.
112

 Subjek dengan penyakit laring seperti polip, nodul,


paralisa pita suara, karsinoma.
 Subjek yang pernah mendapat radioterapi atau
operasi di daerah leher.
 Subjek yang sedang mendapat pengobatan dengan
PPI.

3.3.3 Besar subjek penelitian


Penentuan jumlah besar sampel dengan menggunakan rumus:
(𝒁𝜶+𝒁𝜷)𝐒 𝟐
n=[ ]
𝒙𝟏 −𝒙𝟐

Keterangan :
n = jumlah minimal sampel
α = kesalahan tipe I ditetapkan 5%, maka Zα = 1, 96
β = kesalahan tipe II ditetapkan 20%, maka Zβ = 0,842
S = standar deviasi kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi
berdasarkan kepustakaan ( Friedman et al.2007) = 34,8
x1-x2 = selisih rerata minimal kualitas hidup sebelum dan sesudah
terapi berdasarkan kepustakaan ( Friedman et al.
2007)=16,05
Dengan rumus diatas di dapat jumlah minimal subjek penelitian sebanyak
36 orang.
3.3.4 Teknik pengambilan subjek penelitian
Pengambilan subjek penelitian diambil secara non probability
consecutive sampling dimana setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi
di masukkan dalam penelitian sehingga jumlah sampel minimal yang di
perlukan terpenuhi.

3.4 Variabel Penelitian


113

Variabel pada penelitian ini adalah RSI, RFS, umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, keluhan utama, BMI, kualitas hidup.

3.5 Definisi Operasional


1. Reflux Symptom Index (RSI) adalah penilaian tingkat gejala klinis
refluks laringofaring dengan cara memberikan skor 0-5 terhadap
gejala klinis yang dialami oleh penderita.
Alat ukur : kuesioner dan penilaian reflux symptom index.
Skala ukur : nominal
Hasil ukur : LPR (+) jika RSI > 13
LPR (-) jika RSI ≤ 13
2. Reflux Finding Score (RFS) adalah skor penilaian keadaan
patologis di laring yang dinilai melalui pemeriksaan
nasofaringolaringoskopi optik serat lentur. Penilaian meliputi 8
keadaan patologis laring. Skor penilaian berkisar antara 0 (tidak
didapatkan keadaan abnormal) hingga 26 ( nilai maksimum
pada keadaan yang sangat parah).
Alat ukur : pemeriksaan nasofaringolaringoskopi optik serat
lentur
Skala ukur : nominal
Hasil ukur : Tanda refluks laringofaring (+) jika RFS > 7.
Tanda refluks laringofaring (-) jika RFS ≤ 7.

3. Jenis kelamin
Definisi : sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis
Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : nominal
Hasil Ukur :
a. Laki-laki.
b. Perempuan.
114

4. Keluhan utama
Definisi : keluhan yang paling mengganggu pasien sehingga
datang berobat ke poliklinik THT-KL RSUP H. Adam Malik
Medan.
Alat ukur :kuesioner
Skala ukur : nominal
Hasil Ukur : ya = dijumpai keluhan

5. Umur
Definisi : usia yang dihitung dalam tahun dan dihitung pada saat
pemeriksaan menurut tanggal lahir yang tercatat pada rekam
medis, apabila > 6 bulan di bulatkan ke atas, dan apabila kurang
dari 6 bulan dibulatkan ke bawah.
Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : ordinal
Hasil ukur :
a. 18 - 45 tahun
b. 45 - 64 tahun
c. > 64 tahun

6. Tingkat pendidikan
Definisi : jenjang pendidikan terakhir pasien.
Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : ordinal
Hasil ukur : Rendah : jenjang pendidikan terakhir SD/ SMP
Menengah : jenjang pendidikan terakhir SMU
Tinggi: jenjang pendidikan terakhir akademi/ universitas
7. Body Mass Index (BMI)
115

Definisi : indeks massa tubuh berupa rasio yang dinyatakan


sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat
tinggi badan (dalam meter) .
Alat ukur : kuesioner
Skala ukur : ordinal
Hasil ukur : BMI < 18,5 = Underweight
BMI 18,5–24,9= Normoweight
BMI 25,0–29,9 = Overweight
BMI ≥ 30.0 = Obesitas
8. Kualitas hidup
Definisi : penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Reflux
Qual Short form (RQS)
Alat ukur : Reflux Qual Short form (RQS) dengan skor RQS =
nilai mean dari 8 item x 25
Skala ukur : nominal
Hasil ukur : 0 ( kualitas hidup paling rendah ) s/d 100 ( kualitas
hidup tertinggi)

3.6 Alat dan Bahan Penelitian


Alat penelitian adalah sebagai berikut :
a. Catatan medis penderita
b. Formulir persetujuan ikut penelitian
c. Alat-alat diagnostik THT, seperti lampu kepala, spatel lidah,
spekulum hidung, kaca laring
d. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Olympus evis
Exera II CV-180. Olympus PSD -30.
e. Light source merk Olympus evis exera II CLV – 180
f. Nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek Karl Storz REF
11101VP Serial No. 110000166.
g. TELEPACK PAL 20043020 Karl Storz
h. Xylocain jelly
116

i. Status penelitian

3.7 Cara Kerja


Cara kerja penelitian adalah sebagai berikut:
- Kepada penderita dengan gejala refluks laringofaring ditanyakan
identitas, kemudian dilakukan anamnesis dan penilaian gejala klinis
berdasarkan RSI dan dicatat dalam status penelitian.
- Pemeriksaan fisik THT.
- Jika RSI > 13 , maka pasien akan dilanjutkan dengan pemeriksaan
nasofaringolaringoskopi optik serat lentur di kamar bedah poli THT
untuk menilai apakah RFS >7 oleh dokter spesialis THT yang ahli
dibidangnya.
- Pasien dengan RSI > 13 dan RFS > 7 akan diberikan pengobatan
dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3 bulan.
- Pemberian omeprazole diberikan secara bertahap selama 3 bulan,
pemberian pertama selama 2 minggu, pemberian kedua selama 2
minggu, pemberian ke tiga selama 4 minggu dan pemberian ke
empat selama 4 minggu.
- Penilaian kualitas hidup, RSI dan RFS dilakukan sebanyak 5 kali
pengamatan. Pengamatan pertama dilakukan pada saat pertama
kali pasien didiagnosa penyakit refluks laringofaring. Sebelum
diberikan pengobatan dengan omeprazole. Pengamatan kedua
dilakukan setelah 2 minggu pengobatan dengan omeprazole.
Pengamatan ketiga dilakukan setelah 4 minggu (1 bulan)
pengobatan dengan omeprazole. Pengamatan keempat dilakukan
setelah 8 minggu (2 bulan) pengobatan dengan omeprazole dan
pengamatan kelima dilakukan setelah pengobatan selama 12
minggu (3 bulan).
- Pemberian penjelasan kepada pasien dan pengisian informed
consent.
117

3.8 Teknik Pengumpulan Data


- Data skor RSI didapatkan dari anamnesis terhadap pasien
berdasarkan RSI yang kemudian dicatat di status penelitian.
- Data skor RFS didapatkan dari hasil pemeriksaan
nasofaringolaringoskopi optik serat lentur.
- Data skor penilaian kualitas hidup di dapatkan dari pengisian
kuesioner kualitas hidup yang dicatat di status penelitian.`

3.9 Analisis Data


Analisis data dalam penelitian ini mencakup
1. Analisis univariat, yaitu analisis yang menggambarkan secara tunggal
setiap variabel dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.
2. Untuk menilai perbedaan rerata skor kualitas hidup sebelum dan
sesudah terapi dari pengamatan pertama sampai pengamatan kelima di
gunakan uji Friedman.
3. Untuk menilai perbedaan rerata skor kualitas hidup setiap pengamatan
digunakan uji Wilcoxon.
4. Untuk menilai perbedaan rerata skor RSI dan RFS sebelum dan
sesudah terapi dari pengamatan pertama sampai pengamatankelima
digunakan uji Friedman.
5. Untuk menilai perbedaan rerata skor RSI dan RFS setiap pengamatan
digunakan uji Wilcoxon.

3.10 Kerangka Kerja

Penderita dengan keluhan yang diduga


refluks laringofaring

Anamnesa dan pemeriksaan THT rutin serta pemeriksaan


nasofaringolaringoskopi optik serat lentur (RSI>13. RSI>7)
118

Penilaian kualitas hidup, RSI, RFS ( pengamatan pertama)

Pemberian Omeprazole selama 2 minggu

Penilaian kualitas hidup, RSI, RFS ( Pengamatan kedua)

Pemberian Omeprazole selama 2 minggu

Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan ketiga)

Pemberian Omeprazole selama 4 minggu

Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan keempat)

Pemberian Omeprazole selama 4 minggu

Penilaian Kualitas Hidup, RSI, RFS ( Pengamatan kelima)

Gambar 3.1. Kerangka kerja

BAB 4
HASIL PENELITIAN
119

Penelitian ini menggunakan pre-post test design yaitu untuk menilai


perbedaan kualitas hidup pada penderita penyakit refluks laringofaring
sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di RSUP. H. Adam Malik
Medan. Subjek penelitian pada penelitian ini adalah bagian dari populasi
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi.
Pada saat dimulai, penelitian diikuti oleh 44 subjek penelitian yang
bersedia untuk mengikuti penelitian dengan terapi omeprazole 20 mg dua
kali sehari sebelum makan. Setelah follow up terdapat 8 subjek penelitian
yang drop out, 1 subjek tidak bersedia melanjutkan pengobatan karena
tidak toleran dengan omeprazole, 5 subjek tidak dapat melanjutkan follow
up karena tempat tinggal yang jauh dari tempat penelitian dan 2 subjek
tidak melanjutkan follow up dengan alasan yang tidak jelas. Terdapat 36
subjek penelitian yang menyelesaikan penelitian sesuai dengan jumlah
minimal subjek penelitian.
Penilaian kualitas hidup, skor RSI dan skor RFS dilakukan sebanyak
lima kali pengamatan. Pengamatan pertama dilakukan pada awal pasien
datang sebelum diterapi dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari
sebelum makan. Pengamatan kedua dilakukan setelah 2 minggu terapi
dengan omeprazole. Pengamatan ketiga dilakukan setelah 4 minggu (1
bulan) terapi dengan omeprazole. Pengamatan keempat dilakukan setelah
8 minggu (2 bulan) terapi dengan omeprazole. Pengamatan kelima
dilakukan setelah 12 minggu (3 bulan) terapi dengan omeprazole.

Tabel 4.1. Karakteristik subjek penelitian


Karakteristik N %
Jenis Kelamin
Laki-Laki 12 33,3
120

Perempuan 24 66,7
Umur
18 - 45 tahun 13 36,1
45-64 tahun 18 50,0
>64 tahun 5 13,9
Tingkat Pendidikan
Rendah 9 25
Menengah 8 22,2
Tinggi 19 52,8
Total 36 100

Dari tabel 4.1 terlihat dari 36 subjek penelitian terdapat 24 (66,7%)


wanita dan 12 (33,3%) pria. Dijumpai lebih banyak subjek penelitian yang
berumur 45-64 tahun yaitu sebanyak 18 (50%). Kelompok umur 18-45
tahun sebanyak 13 subjek (36,1%) dan kelompok umur > 64 tahun
sebanyak 5 subjek (13,9%). Dilihat dari tingkat pendidikan, yang
terbanyak adalah subjek penelitian berpendidikan tinggi (akademi dan
universitas) sebanyak 19 subjek penelitian (52,8%) diikuti dengan tingkat
pendidikan rendah ( SD dan SMP) sebanyak 9 subjek (25%) dan tingkat
pendidikan menengah sebanyak 8 subjek (22,2%).

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita dengan gejala penyakit reluks


laringofaring berdasarkan Body Mass Index (BMI)
Karakteristik BMI Jumlah Presentase
18,5 - 24,9 (normoweight) 20 55,6
25,0 - 29,9 (overweight) 8 22,2
> 30 (obesitas) 8 22,2
Rerata Body Mass Index (BMI)± (SB) 26,1±4,6
Terlihat dari tabel 4.2 bahwa subjek penelitian lebih banyak dengan
berat badan normal (BMI 18,5-24,9) sebanyak 20 subjek
penelitian(55,6%), diikuti dengan overweight (BMI 25,0 -29,9) sebanyak 8
121

subjek penelitian (22,2%) serta obesitas sebanyak 8 subjek penelitian


(22,2%). Rerata BMI pada penelitian ini adalah 26,1±4,51.

Tabel 4.3 . Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring


berdasarkan keluhan utama

Karateristik Keluhan Utama Jumlah Presentase


Banyak dahak di tenggorokan (PND) 9 25,0
Rasa mengganjal di tenggorokan 18 50,0
Sering mengeluarkan lendir tenggorok 3 8,3
Suara serak 1 2,8
Sukar menelan 5 13,9
TOTAL 36 100

Penilaian keluhan utama adalah keluhan yang paling mengganggu


pasien sehingga mencari pengobatan. Dari tabel 4.3 terlihat keluhan
utama terbanyak yang dirasakan adalah rasa mengganjal di tenggorokan
sebanyak 18 (50%) subjek penelitian. Diikuti dengan keluhan banyak
dahak di tenggorokan (PND) sebanyak 9 subjek penelitian (25%). Sering
mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem dan sukar
menelan sebanyak 8,3% , sukar menelan sebanyak 2,8% serta suara
serak sebanyak 2,5%.

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks larigofaring


berdasarkan keluhan yang dirasakan (n=36)
Karakteristik keluhan Jumlah (%)
Mendehem (throat clearing) 35 (97,2)
122

Rasa mengganjal 34 (94,4)


Batuk yang menganggu 29 (80,6)
PND/ mukus berlebih 29 (80,6)
Heartburn 26 (72,2)
Suara serak 26 (72,2)
Sukar menelan 21 (58,3)
Batuk setelah makan/berbaring 19 (52,8)
Sukar nafas/ chocking 17 (47,2)

Dari tabel 4.4 dapat dilihat keluhan yang paling sering ditemukan pada
penderita dengan gejala refluks laringofaring pada penelitian ini adalah
sering mendehem/ throat clearing, terdapat pada 35 subjek penelitian
(97,2%), diikuti dengan rasa yang mengganjal ditenggorokan terdapat
pada 34 subjek (94,4%), batuk yang mengganggu dan post nasal drip
(PND) di temukan 29 subjek penelitian (80,6%), heartburn dan suara
serak pada 26 subjek penelitian (72,2%). Sukar menelan ditemukan pada
21 subjek penelitian (58,3%). Batuk setelah makan atau berbaring
terdapat pada 19 subjek penelitian (52,8%) dan keluhan yang paling
jarang adalah sukar bernafas/ chocking, yaitu terdapat pada 17 subjek
penelitian(47,2%).

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita penyakit refluks laringofaring


berdasarkan tanda patologis laring yang didapat (n=36)
Karakteristik tanda patologis laring Jumlah (%)
Ventrikular obliterasi 35 (97,2)
Hipertrofi komisura posterior 35(97,2)
Edema difus 28(77,8)
123

Eritema 26(72,2)
Mukus kental endolaring 25(69,4)
Edema glotis 25(69,4)
Edema subglotik/ pseudosulkus vokalis 21(58,3)
Granuloma 0(0)

Pada tabel 4.5 terlihat tanda patologis laring yang paling sering
ditemukan adalah ventrikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior
terdapat pada 35 subjek penelitian (97,2%). Edema difus dijumpai pada
28 subjek (77,8%). Eritema ditemukan pada 26 (72,2%). Mukus kental
endolaring ditemukan pada 25 subjek (69,4%). Edema glotis ditemukan
pada 24 subjek (66,7%). Tanda patologis laring granuloma tidak dijumpai
pada penelitian ini.

Tabel 4.6 Perbedaan Rerata RSI Penderita Penyakit Refluks


Laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima

Waktu RSI
p value
Pengamatan Rerata ± SB p value
Pertama 18,47 ± 4,35 0,0001a 0,0001b
Kedua 10,94 ± 3,90 0,0001c
Ketiga 7,47 ± 3,01 0,001d
Keempat 4,75 ± 2,83 0,0001e
Kelima 2,75 ± 2,36
a= p value antara pengamatan pertama ( sebelum terapi) sampai
pengamatan ke lima(setelah terapi 12 minggu)
b = p value antara pengamatan pertama dan kedua
c = p value antara pengamatan kedua dan ketiga
d = p value antara pengamatan ketiga dan keempat
e = p value antara pengamatan keempat dan kelima
124

Dari tabel 4.6, dengan menggunakan uji friedman diperoleh


perbedaan yang signifikan rerata RSI setelah pemberian omeprazole
antara pengamatan pertama (sebelum terapi) sampai pengamatan kelima
(setelah terapi 12 minggu) dengan p=0,0001, p<0,05.
Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang
signifikan rerata RSI antara pengamatan pertama dan pengamatan kedua
(p=0,0001, p<0,05). Terdapat perbedaan yang signifikan rerata RSI antara
pengamatan kedua dan pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05). Antara
pengamatan ketiga dan keempat juga terdapat perbedaan yang signifikan
(p=0,001, p<0,05). Perbedaan yang signifikan rerata RSI juga didapat
antara pengamatan keempat dan pengamatan kelima (p=0,0001, p<0,05).

20

15
RSI

10
RSI
5

0
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima
Waktu Pengamatan

Gambar 4.1 Grafik garis RSI dari pengamatan pertama sampai kelima

Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.1 terlihat adanya tren


penurunan RSI dari pengamatan pertama sampai kelima dimana RSI
tertinggi terlihat pada pengamatan pertama yaitu 18,47±4,35 dan RSI
terendah pada pengamatan kelima yaitu 2,75 ±2,36.

Tabel 4.7 Perbedaan Rerata RFS Penderita Penyakit Refluks


Laringofaring dari pengamatan pertama sampai kelima
125

Waktu RFS P value


P value
Pengamatan Rerata ±SB
Pertama 10,81 ±2,73 0,0001a 0,0001b
Kedua 9,25 ±2,62 0,0001c
Ketiga 6,25 ±2,18 0,001d
Keempat 4,92 ±1,73 0,0001e
Kelima 3,31 ±1,31
a = p value antara pengamatan pertama ( sebelum terapi) sampai
pengamatan ke lima(setelah terapi 12 minggu)
b = p value antara pengamatan pertama dan kedua
c= p value antara pengamatan kedua dan ketiga
d= p value antara pengamatan ketiga dan keempat
e= p value antara pengamatan keempat dan kelima

Dari tabel 4.7 terlihat dengan menggunakan uji friedman diperoleh


perbedaan yang signifikan rerata skor RFS setelah pemberian omeprazole
antara pengamatan pertama sampai pengamatan kelima (p=0,0001,
p<0,05).
Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang
signifikan rerata RFS antara pengamatan pertama dan pengamatan kedua
(p=0,0001, p<0,05). Diperoleh perbedaan yang signifikan rerata RFS
antara pengamatan kedua dan pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05).
Pengamatan ketiga dan keempat juga diperoleh perbedaan yang
signifikan rerata RFS (p=0,001, p<0,05). Diperoleh perbedaan yang
signifikan rerata RFS antara pengamatan keempat dan pengamatan
kelima (p=0,0001, p<0,05).
126

12
10
8
RFS

6
4 RFS

2
0
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima
Waktu Pengamatan

Gambar 4.2. Grafik garis RFS dari pengamatan pertama sampai kelima

Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.2 terlihat adanya tren


penurunan RFS dari pengamatan pertama sampai kelima dimana RFS
tertinggi terlihat pada pengamatan pertama yaitu 10,81±2,73 dan RFS
terendah pada pengamtan kelima yaitu 3,31±1,31.
Tabel 4.8 Perbedaan rerata skor kualitas hidup penderita penyakit
refluks laringofaring dari pengamatan pertama sampai
kelima

Skor P value
Waktu Kualitas
P value
Pengamatan Hidup
Rerata ±SB
Pertama 47,57 ±8,93 0,0001a 0,0001b
Kedua 57,8 ±10,88 0,0001c
Ketiga 70,08 ±7,67 0,0001d
Keempat 78,07 ±6,03 0,0001e
Kelima 83,17 ±6,16
a= p value antara pengamatan pertama ( sebelum terapi) sampai
pengamatan ke lima(setelah terapi 12 minggu)
b = p value antara pengamatan pertama dan kedua
c = p value antara pengamatan kedua dan ketiga
127

d = p value antara pengamatan ketiga dan keempat


e = p value antara pengamatan keempat dan kelima

Dari tabel 4.8 terlihat dengan menggunakan uji repeated anova


diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas hidup setelah
pemberian omeprazole antara pengamatan pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima (p=0,0001, p<0,05).
Dengan menggunakan uji paired t test diperoleh perbedaan yang
signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan pertama dan
pengamatan kedua (p=0,0001, p<0,05). Diperoleh perbedaan yang
signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan kedua dan
pengamatan ketiga (p=0,0001, p<0,05). Terdapat perbedaan yang
signifikan rerata skor kualitas hidup antara pengamatan ketiga dan
pengamatan keempat (p=0,0001, p<0,05). Dengan menggunakan uji
paired t test diperoleh perbedaan yang signifikan rerata skor kualitas
hidup antara pengamatan keempat dan pengamatan kelima (p=0,0001,
p<0,05).
90
80
Rerata Skor KualitasHidup

70
60
50
40 Rerata Skor Kualitas
30 Hidup
20
10
0
Pertama Kedua Ketiga Keempat Kelima
Waktu Pengamatan

Gambar 4.3. Grafik garis peningkatan skor kualitas hidup dari


pengamatan pertama sampai kelima
128

Berdasarkan hasil analisis dan gambar 4.3 terhadap perbedaan rerata


skor kualitas hidup maka terlihat adanya tren peningkatan kualitas hidup
sejak pengamatan pertama sampai kelima, dimana rerata skor terendah
pada pengamatan pertama adalah 47,57±8,93 dan skor tertinggi pada
pengamatan kelima yaitu sebesar 83,17±6,16.

BAB 5
PEMBAHASAN
129

Pada penelitian ini dari 36 subjek penelitian didapatkan lebih banyak


wanita, yaitu 24 (66,7%) dan 12 (33,3%) pria. Hal ini sesuai dengan
penelitian Belafsky et al (2001) dari 40 subjek penelitian yang didiagnosis
klinis dengan penyakit refluks laringofaring terdapat 73% wanita. Carrau et
al. (2004) mendapatkan dari 117 pasien dengan penyakit refluks
laringofaring 66,7% adalah wanita. Sebuah penelitian meta-analisis
pengukuran pH metri pada pasien dengan penyakit refluks laringofaring
dari tahun 1991 dan 2003 oleh Merati et al. (2005) didapatkan dari 291
pasien dengan penyakit refluks laringofaring terdapat 169 wanita (58%).
Penelitian yang dilakukan oleh Siupsinskene, Adamonis & Tohill
(2007) mendapatkan dari 136 pasien yang diduga penyakit refluks
laringofaring terdapat 74,7% wanita dan 25,3% pria. Mesallam et al.
(2007) juga mendapatkan lebih banyak wanita (65%) dengan keluhan
refluks laringofaring pada penelitiannya. Walaupun wanita lebih banyak
didiagnosis dengan penyakit refluks laringofaring tetapi pada penelitian-
penelitian tersebut tidak terdapat perbedaan bermakna antara jenis
kelamin dan penyakit refluks laringofaring.
Anderson et al. (2010) melakukan penelitian pada kelompok penyakit
refluks laringofaring dengan kelompok yang bukan penyakit refluks
laringofaring dan mendapatkan hasil perempuan lebih banyak ditemukan
pada grup penyakit refluks laringofaring dengan p=0,004, tetapi tidak
terdapat penjelasan terhadap dominasi wanita pada penelitian ini.
Penelitian oleh Xu et al. (2005) menyatakan bahwa stres mempunyai
peran penting pada patogenesis dari refluks gastroesofageal. Beberapa
studi menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengalami stres dari pada
pria (Mumford et al. 2000; Wamala et al. 2007). Wanita juga dilaporkan
memiliki ambang nyeri yang lebih rendah dibandingkan pria (Hunter, Smith
& Tanner 2011).
Wanita khususnya usia diatas 35 tahun akan mengalami masa
perimenopause, yaitu masa dimana mulai terjadi perubahan pada regulasi
hormon khususnya penurunan hormon estrogen dan progesteron.
130

Penurunan hormon estrogen dan progesteron mengurangi sekresi mukus


yang berfungsi untuk melindungi mukosa dari refluks (Infantino 2008).
Kelompok umur yang terbanyak ditemukan pada penelitian ini adalah
kelompok umur 45-64 tahun yaitu sebanyak 18 (50%) subjek penelitian.
Pada penelitian ini, kelompok umur dibagi atas 3 kelompok yaitu 18-45
tahun, 45-64 tahun dan diatas 64 tahun berdasarkan pada penelitian oleh
Adachi et al (2010) yang meneliti tentang esophageal clearance pada
3 kelompok umur yaitu <45 tahun, 45-64 tahun dan > 64 tahun, dimana
didapatkan insiden abnormal esophageal clearance dan refluks pada
kelompok umur 45-64 tahun pada pasien dengan sensasi globus lebih
tinggi dari kontrol (p<0,005). Abnormal esophageal clearance merupakan
salah satu mekanisme penyebab refluks laringofaring. Hal ini bisa
menjelaskan mengapa kelompok umur 45 -64 tahun lebih banyak
ditemukan pada penelitian ini. Penelitian Koufman et al (2001) juga
mendapatkan kasus terbanyak yang menderita refluks laringofaring diatas
40 tahun. Walaupun demikian, banyak penelitian yang mengungkapkan
bahwa umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
kejadian penyakit refluks laringofaring (Carrau et al. 2004; Andersson et
al. 2010; Marcum et al. 2011; Saruc et al. 2012).
Mumford et al. (2000) mendapatkan tingkat stres bertambah sesuai
dengan bertambahnya usia. Song, Jung & Jung (2013) juga mendapatkan
pertambahan usia berhubungan dengan tingkat stres yang tinggi. Stres
dapat menyebabkan perubahan fungsi traktus gastrointestinal dan
persepsi pasien terhadap gejala gastrointestinal (Xu e al. 2005; Song,
Jung&Jung, 2013). Mekanisme potensial yang mendasari terjadinya gejala
refluks karena rangsangan stres ini adalah paparan asam yang berlebih di
esofagus, inhibisi waktu pengosongan lambung, atau stres yang memicu
hipersensitifitas (Naliboff et al. 2004). Tingkat stres yang tinggi akan
meningkatkan produksi asam lambung dengan cara sistem saraf otonom
yang akan menstimulasi saraf vagus melalui persarafan simpatis di
hipotalamus akan menghasilkan asetilkolin, kemudian asetikolin akan
131

merangsang histamin untuk menstimulasi sel parietal dalam mensekresi


asam (Koufman, Belafsky & Postma 2001)
Tingkat pendidikan pada penelitian di temukan lebih banyak pada yang
pendidikan tinggi sebesar 52,5%. Penelitian oleh Andersson et al. (2010)
pada pasien refluks laringofaring, didapatkan rata rata pendidikan 12
tahun±4tahun, tetapi hasil ini tidak bermakna secara statistika.
Ross & Wu (1995) menyatakan individu dengan tingkat pendidikan
yang tinggi memiliki daya kendali yang lebih besar terhadap kesehatan
mereka dan juga memiliki dukungan sosial yang tinggi. Dengan dukungan
sosial yang tinggi memungkinkan individu dengan pendidikan tinggi lebih
banyak mendapat informasi tentang kesehatan sehingga cenderung untuk
mengetahui penyakit yang di deritanya dan mencari pengobatan. Hal ini
sesuai dengan penelitian ini dimana lebih banyak ditemukan sampel
dengan pendidikan tinggi.
Dari penelitian ini didapatkan bahwa subjek penelitian dengan berat
badan normal (BMI 18,5-24,9) sebanyak 20 subjek penelitian (55,6%)
diikuti dengan overweight (BMI 25,0-29,9) sebanyak 8 subjek penelitian
(22,5%) dan obesitas sebanyak 8 subjek penelitian (22,5%). Rerata BMI
pada penelitian ini adalah 26,1±4,6. Halum et al. (2005) mendapatkan
rerata BMI 27,9±6,42. Wang et al. (2011) menemukan BMI rata rata
22.9±3,2. Lai, Wang & Lin (2008) mendapatkan rerata BMI pada pasien
penyakit refluks laringofaring 23,4±3,2. Andersson (2010) mendapatkan
rerata BMI 26,1±5,2. Dari beberapa hasil penelitian ini menunjukkan
kebanyakan penderita refluks laringofaring tidak mengalami obesitas.
Walaupun hasil dari banyak studi menyatakan obesitas merupakan faktor
risiko terjadinya refluks khususnya pada GERD, tetapi tampaknya tidak
dengan refluks yang terjadi pada penyakit refluks laringofaring. Penelitian
Halum et al (2005) mendapatkan bahwa refluks faringeal tidak
berhubungan dengan kenaikan BMI ataupun obesitas.
Pada tabel 4.3. terlihat keluhan utama terbanyak yang dirasakan
adalah rasa mengganjal di tenggorokan sebanyak 18 (50%) subjek
132

penelitian. Diikuti dengan keluhan banyak dahak di tenggorokan (PND)


sebanyak 9 subjek penelitian (25%), sukar menelan sebanyak 12,5% ,
sering mengeluarkan lendir tenggorok sebesar 8,3% serta suara serak
sebanyak 2,5%. Penilaian keluhan utama adalah keluhan yang paling
mengganggu pasien sehingga mencari pengobatan.
Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Mesallam et al
(2007) dimana keluhan yang terbanyak adalah sensasi rasa mengganjal di
tenggorokan (37,5%), suara serak (27,5%), heartburn (17,5%), sering
mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing/ mendehem (17,5%).
Wang et al (2012) mendapatkan keluhan utama adalah rasa menganjal
ditenggorokan (29,6%) diikuti dengan throat clearing/ mendehem
(27,6%).
Penyakit refluks laringofaring sering tidak terdiagnosis dengan baik,
karena gejala yang hampir sama dengan keluhan infeksi laring yang lain.
Pasien sering mengabaikan adanya gejala-gejala ini atau tidak merasakan
gejala dan pemeriksa sering tidak mendiagnosis penyakit ini. Padahal
penyakit refluks laringofaring berhubungan dengan penyakit penyakit
seperti stenosis subglotik, karsinoma laring, contact ulcer, granuloma,
nodul pita suara (Koufman, Amin & Panetti 2000). Dari sebuah studi
dengan 100 subjek penelitian diatas umur 40 tahun tanpa keluhan suara
dan tanpa keluhan menelan atau gejala yang berhubungan dengan GERD
didapatkan 64% mempunyai penemuan klinis refluks laringofaring pada
pemeriksaan laring (Zucato & Behlau 2012). Hal ini menunjukkan
kemungkinan tingginya angka kejadian penyakit refluks laringofaring tetapi
sering tidak terdiagnosis.
Sensasi rasa mengganjal di tenggorokan merupakan keluhan utama
yang paling banyak karena keluhan ini yang paling mengkhawatirkan yang
menyebabkan pasien datang mencari pengobatan. Keluhan ini sering
dianggap sebagai gejala awal dari tumor ataupun suatu keganasan.
Sebuah studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan sensasi
rasa mengganjal ditenggorokan lebih depresi dan memiliki tingkat
133

kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Mitchell et al.


2012).
Keluhan utama banyak dahak di tenggorokan serta sering
mengeluarkan lendir tenggorok/ throat clearing dapat mempengaruhi
komunikasi sehingga dapat mengganggu interaksi dalam lingkungan
pekerjaan dan sosial (Tamin 2008).
Subjek penelitian yang datang dengan keluhan utama suara serak
hanya 1 subjek (2,5%). Berbeda dengan pernyataan Koufman (2000)
yang menyatakan setidaknya 50% pasien dengan keluhan saat datang
suara serak kemungkinan menderita penyakit refluks laringofaring. Hal ini
dikarenakan karena suara serak pada pasien penyakit refluks laringofaring
bersifat hilang timbul (Ford 2005), sehingga keluhan suara serak ini tidak
menjadi keluhan utama pasien datang mencari pengobatan. Walaupun
begitu pada penelitian ini keluhan suara serak ditemukan pada 26(72,2%)
subjek penelitian (Tabel 4.4).
Sementara keluhan lain pada instrumen RSI seperti batuk setelah
makan atau berbaring, kesukaran bernafas atau chocking, batuk yang
mengganggu serta heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan
dan regurgitasi asam tidak ada menjadi keluhan utama dikarenakan
keluhan ini tidak spesifik untuk datang ke bagian Telinga, Hidung dan
Tenggorok.
Pada penelitian ini didapat keluhan yang paling banyak ditemukan
throat clearing/ mendehem (97,2%), rasa mengganjal di tenggorokan
(94,4%), batuk menganggu (80,6%), PND (80,6%), heartburn (72,2%),
suara serak (72,2%), sukar menelan (58,3%), batuk setelah makan atau
berbaring (52,8%), sukar bernafas (47,2%). Hal ini sesuai dengan
American Bronchoesophageal Assosciation seperti yang dikutip oleh Ford
(2005), keluhan yang tersering ditemukan oleh pasien dengan penyakit
refluks laringofaring adalah throat clearing/ mendehem (98%), suara serak
(98%), batuk kronis (97%), rasa mengganjal di tenggorokan (95%), PND
(57%).
134

Refluks gastrik menyebabkan berkurangnya mekanosensitivitas dan


kemosensitivitas dari mukosa laring karena iritasi asam kronis
menyebabkan peningkatan kumpulan bahan-bahan iritan di daerah laring,
refleks batuk merupakan mekanisme adaptif untuk membersihkan laring
sehingga menyebabkan pasien mendehem/ throat clearing (Rees &
Belafsky,2008)
Heartburn merupakan gejala klinis yang khas pada GERD. Koufman et
al, seperti yang dikutip oleh Korkmaz et al (2007) menyatakan perbedaan
utama antara pasien penyakit refluks laringofaring dan GERD adalah
pasien penyakit refluks laringofaring lebih jarang mengeluhkan heartburn
dibandingkan pada pasien GERD. Koufman seperti yang dikutip oleh
Oridate et al (2008) melaporkan hanya 20% dari 899 pasien penyakit
refluks laringofaring yang berpartisispasi pada penelitiannya menderita
heartburn. Koufman yang dikutip oleh Ford (2005) menemukan gejala
heartburn pada pasien penyakit refluks laringofaring hanya 43%, tetapi
pada penelitian ini ditemukan 72,2% subjek penelitian dengan keluhan
heartburn. Hasil yang didapat sama dengan penelitian oleh Masaany et al
(2011), Zucato et al (2011), dimana > 70 % pasien mengalami heartburn.
Kondisi ini sangat dimungkinkan berhubungan dengan kelainan yang
mungkin juga terjadi di esofagus.
Pada penelitian ini tanda patologis laring yang paling sering di temukan
ventrikular obliterasi (97,2%) dan hipertrofi komisura posterior (97,2%),
edema difus (77,8%), eritema (72,2%), edema glottis (66,7%), mukus
kental endolaring (69,4%), edema subglotik (58,3%). Hasil ini sama
dengan penelitian oleh Tezer & Kockar seperti yang dikutip oleh Patigaroo
(2011) mendapatkan tanda patologis laring yang sering didapat adalah
ventrikular obliterasi sebesar 97,8%. Belafsky & Postma (2001) juga
mendapatkan hipertrofi komisura posterior sebagai tanda patologis laring
yang paling sering di temukan.
Berbeda dengan penelitian oleh Mesallam et al. (2007) yang
mendapatkan eritema yang paling banyak ditemukan yaitu sebesar 85%.
135

Ahmed et al. (2005) mendapatkan eritema dan edema laring merupakan


tanda yang paling sering digunakan ahli THT untuk mendiagnosa penyakit
refluks laringofaring. Belafsky (2003) juga mendapatkan eritema
merupakan tanda patologis laring yang sering didapatkan pada penderita
refluks laringofaring. Perbedaan ini disebabkan karena distribusi dari
episode refluks laringofaring yang berbeda beda pada setiap individu
sehingga menyebabkan variasi dari tanda patologis laring yang di dapat
(Ormseth&Wong 1999).
Penggunaan alat nasofaringolaringoskop serat optik lentur transnasal
lebih dianjurkan untuk menilai RFS karena lebih sensitif untuk
mengidentifikasi iritasi mukosa laring khususnya bagian posterior
dibandingkan dengan larigoskop kaku. Pada penelitian ini pada awalnya
kami menggunakan nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek
Olympus evis Exera II CV-180. Olympus PSD -30 & Light source merk
Olympus evis exera II CLV – 180, kemudian karena adanya kerusakan
alat ,kami menggunakan nasofaringolaringoskop optik serat lentur merek
Karl Storz REF 11101VP Serial No. 110000166 dan TELEPACK PAL
20043020 Karl Storz.
Pada penelitian ini nilai rerata RSI sebelum terapi adalah 18,47±4,35.
Setelah terapi 12 minggu (3 bulan) terdapat penurunan yang signifikan
terhadap rerata RSI menjadi 2,75±2,36 dengan p=0,0001. Penurunan
yang signifikan ini dapat dilihat dari perbedaan rerata yang signifikan
setelah 2 minggu terapi dengan omeprazole 20 mg dua kali sehari
sebelum makan yaitu 10,94±3,90 (p=0,0001, p<0,05). Setelah 4 minggu (1
bulan) terapi dengan omeprazole, didapatkan penurunan rerata RSI yang
signifikan yaitu 7,47±3,01(p=0,0001, p<0,05). Rerata RSI setelah 8
minggu (2 bulan) terapi menjadi 4,75±2,83 (p=0,001, p<0,05) dan rerata
RSI setelah 12 minggu (3 bulan) terapi menjadi 2,75±2,36 (p=0,0001,
p<0,05).
Hasil ini sama dengan Masaany et al (2011) mendapatkan rerata RSI
sebelum pengobatan dengan PPI (pantoprazole) adalah 19,87±7,196.
136

Setelah 2 bulan pengobatan terdapat penurunan yang signifikan yaitu


10,87±7,331 (p<0,001). Perbaikan RSI yang signifikan juga didapat
setelah pengobatan 3 bulan (6,78±6,037, p<0,001) dan 4 bulan
(4,27±4,294, p<0,001).
Penelitian oleh Shin et al (2012) juga mendapatkan perbaikan setelah
pengobatan dengan PPI (rabeprazole) yaitu rerata skor RSI sebelum
pengobatan 15,13±8,19 dan menurun menjadi 10,77±7,19 pada minggu
ke 4, 8,00±6,67 pada minggu ke 8 serta 5,83±6,03 setelah 12 minggu.
Penelitian Tamin (2008) yang melakukan penelitian terhadap penderita
penyakit refluks laringofaring dengan memberikan pengobatan dengan
lansoprazole 30 mg dua kali sehari selama 6 bulan mendapatkan nilai
rerata RSI sebelum terapi adalah 21,76±6,71, didapat perbaikan yang
bermakna pada nilai RSI pada pengobatan setelah 2 bulan pengobatan
(7,52±5,8, p<0,05) dan 4 bulan pengobatan (3,44±2,1, p<0,05), tetapi
tidak didapat perbaikan yang bermakna setelah terapi 6 bulan (2,60±2,5,
p>0,05).
Penelitian Belafsky (2001) mendapatkan nilai rerata RSI sebelum
pengobatan 19,3±8,9. Perbaikan yang bermakna pada nilai RSI didapat
pada terapi 2 bulan (13,9±8,8, p<0,05) tetapi perbaikan tidak bermakna
setelah terapi 4 bulan (13,1±9,8, >0,05) dan 6 bulan (12,2±8,1, p>0,05).
Dari beberapa penelitian tersebut didapatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian ini, walaupun jenis PPI yang digunakan
tidak sama. Penelitian oleh Bytzer (2006) didapatkan rabeprazole lebih
cepat dalam menghilangkan gejala dibandingkan dengan omeprazole,
tetapi setelah 2 sampai 8 minggu terapi, tingkat keberhasilan
menghilangkan gejala hampir sama. Hal ini juga ditegaskan oleh
penelitian Park et al (2013) yang mendapatkan hasil bahwa omeprazole
memiliki efikasi yang sama dengan rabeprazole untuk mengurangi gejala.
Secara umum omeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan rabeprazole
memiliki efikasi yang sama untuk pengobatan penyakit yang disebabkan
oleh asam (Shin & Kim 2013). Hal ini bisa menjelaskan mengapa hasil
137

yang didapat pada penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian yang
menggunakan PPI yang berbeda.
Pada penelitian ini nilai rerata RFS sebelum terapi adalah 10,81±2,73.
Setelah terapi 12 minggu (3 bulan) terdapat penurunan yang signifikan
terhadap rerata RFS menjadi 3,31±1,31 dengan p=0,0001. Penurunan
yang signifikan ini dapat dilihat dari perbedaan rerata yang signifikan
setelah 2 minggu pengobatan yaitu 9,25±2,62 (p=0,0001, p<0,05). Setelah
4 minggu (1 bulan) terapi dengan omeprazole, didapatkan penurunan
rerata RFS yang signifikan yaitu 6,25±2,18(p=0,0001, p<0,05). Rerata
RSI setelah 8 minggu (2 bulan) terapi menjadi 4,92±1,73 (p=0,001,
p<0,05) dan rerata RSI 12 minggu ( 3 bulan ) terapi menjadi 3,31±1,31
(p=0,0001, p<0,05).
Hasil yang hampir sama juga terdapat pada penelitian Masaany et al
(2011) dengan terapi pantoprazole mendapatkan rerata RFS sebelum
pengobatan 12,79±3827. Perbaikan yang signifikan dijumpai setelah 2
bulan pengobatan (7,61±4,552), 3 bulan pengobatan (4,09±3,292) dan 4
bulan (2,77±2,631) dengan p <0,001.
Tamin (2008) mendapatkan nilai rerata RFS sebelum terapi adalah
10,8±2,2 dan terdapat perbaikan bermakna setelah terapi 2 bulan menjadi
7,40±2,3 (p<0,05). Perbaikan juga terjadi setelah 4 bulan terapi menjadi
6,6±2,4 (p<0,05) dan setelah terapi 6 bulan juga terjadi penurunan skor
RFS yang signifikan menjadi 4,64±1,9 (p<0,05)
Rerata RFS sebelum terapi pada penelitian Belafsky (2001) adalah
10,80±2,2. Setelah 2 bulan pengobatan menjadi 7,40±2,3 dengan p<0,005
. Rerata RFS setelah 4 bulan 6,6±2,4, p<0,05, tetapi dalam 6 bulan tidak
terdapat perbedaan yang bermakna 4,64±1,9, dengan p<0,05.
Nilai rerata RFS pada penelitian Aviv (2000) sebelum terapi 10,98±2,5.
Perbaikan yang bermakna didapat setelah terapi selama 2 bulan
(7,96±2,40) 4 bulan (6,54±2,1) dan 6 bulan(4,73±1,9) dengan p<0,05.
William et al (2004) mendapatkan hasil 63% pasien respon dengan
omeprazole selama 3 bulan terhadap tanda patologis laring (p=0,0001).
138

Penatalaksaan penyakit refluks laringofaring meliputi modifikasi diet


dan gaya hidup disertai dengan medikamentosa. Selain Proton Pump
Inhibitor juga terdapat obat yang lain seperti prokinetic agent seperti
cisapride, metoclopramide, antagonis reseptor H2 seperti ranitidine,
Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate serta antasida seperti alumunium
hidroksida, magnesium hidroksida atau sodium bikarbonat (Ford 2005).
Rekomendasi terbaru untuk pengobatan penyakit refluks laringofaring
adalah menggabungkan modifikasi diet dan perubahan gaya hidup
dengan intervensi farmakologi menggunakan PPI (Fass et al. 2010).
Pengobatan dengan PPI di rekomendasikan selama 3 – 6 bulan (Ford
2005). PPI bekerja secara langsung menginhibisi H+/K+ -ATPase yang
merupakan enzim utama pada jalur produksi asam di sel parietal. Pompa
proton H+/K+-ATP ase juga ditemukan pada sel-sel serosa dan duktus
kelenjar sub mukosa di laring sehingga memungkinkan terapi PPI untuk
refluks laringofaring (Karkos & Wilson 2006). Efektifitas PPI pada gejala
gejala refluks laringofaring karena PPI diduga mempunyai efek anti
inflamasi serta mempengaruhi motilitas esofagus, secara langsung atau
tidak langsung dengan menekan sekresi asam (Oda et al. 2005).
Dari penelitian ini terlihat bahwa terdapat perbaikan pada penderita
refluks laringofaring setelah pemberian terapi omeprazole 20 mg dua kali
sehari sebelum makan selama 12 minggu (3 bulan) menunjukkan adanya
perbaikan dengan terdapatnya penurunan yang signifikan rerata skor RSI
dan RFS sesudah terapi. Pada penelitian ini terdapat penurunan signifikan
terhadap RSI yang menggambarkan perbaikan dari keluhan subjek
penelitian.
Beberapa studi menunjukkan bahwa penyakit refluks laringofaring
mempunyai pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien (Carrau et
al.2004; Suipsinskene, Adamonis & Tohill 2007). Tamin (2008)
mendapatkan bahwa pasien penyakit refluks laringofaring lebih banyak
mengalami gangguan pada domain keterbatasan emosi (89,5%),
139

gangguan mental health (81,4%) serta gangguan fungsi fisik (74,4%) dan
keterbatasan fungsi fisik (62,7%).
Pada penelitian ini menggunakan Reflux Qual Short Form yang terdiri
dari 8 pertanyaan, dimana mewakili 5 domain yaitu kehidupan sehari hari
(daily life), kenyamanan (well being) , gangguan psikologis (psychological
impact), tidur (sleep) dan makan (eating). Reflux Qual Short Form
merupakan penilaian kualitas hidup yang memang dirancang untuk praktik
sehari- hari (Mouli & Ahuja, 2011). Terlihat bahwa terdapat peningkatan
yang signifikan nilai rerata kualitas hidup setelah pemberian omeprazole
selama 3 bulan pengobatan jika dibandingkan dengan nilai rerata kualitas
hidup sebelum pengobatan yaitu dari 47,57±8,93 menjadi 83,17±6,16
(p=0,0001). Peningkatan skor kualitas hidup yang signifikan ini juga
terlihat pada setiap pengamatan dengan menggunakan uji wilcoxon.
Hasil ini sama dengan Tamin (2008) yang juga menggunakan Reflux
Qual Short Form mendapatkan perbaikan nilai rerata kualitas hidup 6
bulan pasca terapi dengan PPI (lansoprazole) dari 44,83±19,11 menjadi
83,37±11,51(p<0,001). Penelitian oleh Siupsienskiene, Adamonis & Tohill
(2007) yang menggunakan omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3
bulan pada penderita refluks laringofaring mendapatkan hasil peningkatan
skor kualitas hidup pada semua instrument kualitas hidup yang di gunakan
yaitu VHI (Voice Handicap Index), HAD scale ( Hospital Anxiety &
Depression) , Dissability in Social Activities Well Being in General
(W-BVAS). Peningkatan nilai kualitas hidup ini disebabkan karena pasien
mendapatkan informasi tentang penyakit yang dideritanya serta terdapat
perbaikan dari gejala yang dirasakan.
Penelitian oleh Siupsienskiene dan Adamonis (2003) mendapatkan
bahwa terdapat perbaikan yang signifikan pada pasien laringitis posterior
kronis yang diterapi dengan omeprazole dibandingkan dengan pasien
yang hanya mendapat terapi dengan modifikasi diet dan gaya hidup
setelah 2 minggu terapi berdasarkan parameter Total Symptom Index,
Posterior Laryngitis Score, Well Being in General (W-BVAS), dan Vocal
140

Dysfunction Degree. Hal ini menunjukkan bahwa omeprazole memang


memberikan efek terapi terhadap penyakit refluks laringofaring
dibandingkan dengan hanya terapi modifikasi diet dan gaya hidup.
Dengan ditemukannya perbedaan kualitas hidup pada penderita gejala
refluks laringofaring sebelum dan sesudah pemberian omeprazole di
RSUP. H. Adam Malik Medan dengan demikian hipotesis penelitian di
terima. Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dinilainya faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup.

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan

Terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai kualitas hidup sebelum


terapi 47,57±8,93 menjadi 83,17±6,16 (p=0,0001, p<0,05) sesudah terapi
3 bulan dengan omeprazole yang menunjukkan perbaikan kualitas hidup
setelah pengobatan. Perbedaan kualitas hidup yang signifikan ini juga
141

terlihat pada setiap pengamatan kualitas hidup. Pengobatan dengan


omeprazole 20 mg dua kali sehari selama 3 bulan terbukti dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien penderita refluks laringofaring di
RSUP. H. Adam Malik Medan. Omeprazole dapat dijadikan terapi standar
penyakit refluks laringofaring untuk perbaikan kualitas hidup pasien.
Pada penelitian ini ditemukan lebih banyak wanita yaitu sebanyak 24
subjek penelitian (66,7%) dibandingkan pria sebanyak 12 subjek
penelitian (33,3%). Kelompok umur yang terbanyak adalah kelompok
umur 45-64 tahun (50%) serta lebih banyak penderita dengan pendidikan
tinggi (52,5%). Penderita dengan gejala refluks laringofaring pada
penelitian ini kebanyakan dengan berat badan normal sebesar 55,6%,
dengan rerata BMI 26,1±4,6.
Keluhan utama yang paling banyak ditemukan adalah rasa menganjal
ditenggorokan sebesar 50% dari subjek penelitian. Mendehem atau throat
clearing merupakan gejala yang paling banyak ditemukan sebesar 97,2%.
Ventikular obliterasi dan hipertrofi komisura posterior merupakan tanda
patologis laring yang paling sering ditemukan yaitu 97,2%.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor RSI sebelum
terapi 18,47±4,35 dan rerata RSI sesudah terapi selama 3 bulan yaitu
2,75±2,36 (p=0,0001, p<0,05). Perbedaan rerata yang signifikan juga
dijumpai pada skor RSI setiap pengamatan. Terdapat perbedaan yang
signifikan antara rerata skor RFS sebelum terapi 10,81±2,73 menjadi
3,31±1,31 setelah pengobatan selama 3 bulan (p=0,0001, p<0,05).
Perbedaan rerata skor RFS yang signifikan juga ditemui pada setiap
pengamatan.

6.2 Saran
d. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang perbandingan efektifitas
omeprazole dan jenis PPI yang lain pada penderita penyakit
refluks laringofaring di RSUP. H. Adam Malik Medan.
142

e. Diperlukan penelitian lebih lanjut pada penderita refluks


laringofaring dengan menggunakan kombinasi obat anti reflux
untuk pengobatan penyakit refluks laringofaring di RSUP. H. Adam
Malik Medan

DAFTAR PUSTAKA

Adachi, J, Ohmare, Y, Karaho,T, Tanabe, T, Mizokami, D, Hirota, K,


Tomifuji, M, Kurita, A, Matsunobu, T 2010,’Relationship between
globus sensation and esophageal clearance’, Acta Oto Laryngologica,
vol.130, pp. 138-144
143

Alberto,L 2008, ‘Videolaryngoscopy and pepsin activity in salive of


volunteers with laryngopharyngeal reflux symptoms’, International
Archives of otolaryngology, vol. 12, no. 1, pp. 89-94.
Amin, MR, Postma, GN, Johnson, P, Digges, N, Koufman, JA 2001,
‘Proton pump inhibitor resistance in the treatment of laryngopharyngeal
reflux’, Otolaryngol Head Neck Surg, vol.125, pp. 374-8.
Andersson, O 2009, ‘Laryngopharyngeal reflux development and
refinement of diagnostik tools’, Thesis Institute of Clinical Sciences at
the Sahlgrenska Academy University of Gothenburg
Belafsky, PC, Postma, GN, Koufman, JA 2001, ‘The Validity and Reliability
of The Reflux Finding Score’, Laryngoscopy, vol. 111, pp. 1313-7.
Belafsky, PC, Postma, GN, Koufman, JA 2002, ‘Validity and Reliability of
the Reflux Symptom Index (RSI)’, Journal of Voice, vol. 16, no.2, pp.
274-7.
Belafsky, PC, Postma, GN, Amin, MR, Koufman, JA 2002, ‘Symptoms and
findings of Laryngopharyngeal Reflux’, Ear, Nose & Throat Journal,
vol.81, no.9, pp.10-3
Belafsky, PC, Rees, CJ 2007, ‘Identifying and managing
Laryngopharyngeal Reflux’, Hospital Physician, pp.15-20.
Bercin, S, Kutluhan, A, Yuretas, V, Yalcmer, G, Bozdemir, K, Sari, N 2008,
‘Evaluation of Laryngopharyngeal Reflux in Patients with suspected
Laryngopharyngeal Reflux, Chronic Otitis Media and Laryngeal
Disorders’, Eur Arch Otorhinolaryngol, pp. 1539-43
Carrau, RL, Khidr, A, Crawley, JA, Hillson, EM, Davis, JK, Pashos, CL
2004, ‘The Impact of laryngopharyngeal reflux on patient reported
quality of life’, Laryngoscope , vol. 114, pp. 670-4.
Cohen, JT, Bach, KK, Postma, GN, Koufman, JA 2002, ‘Clinical
manifestations of Laryngopharyngeal Reflux’, Ear, Nose and Throat
Journal. Vol.81, no.9, pp.19-23
Fass,R, Noelck, N, Willis, RM, Rodriguez, TN, Wilson, K. Powers, J 2010,
‘The effect of esomeprazole 20 mg twice daily on acoustic and
144

perception parameters of the voice in laryngopharyngeal reflux’,


Neurogastroenterol Motil, vol. 22, pp.134-45
Ford, CN 2005, ‘Evaluation and management of Laryngopharyngeal
Reflux”, JAMA , vol. 294, no.12, pp.1534-40.
Friedman, M, Gurpinar, B, Lin, HC, Schalch, P, Joseph, NJ 2007, ‘Impact
of treatment of Gastroesophageal reflux on Obstructive Sleep Apnea
Hypopnea Syndrome’, Annals of Otology, Rhinology & Laryngology,
vol. 116, no.11, pp. 805-11
Iglesia, FV, Gonzales, SF, Gomez, MC 2007, ‘Laryngopharyngeal Reflux:
Correlation Between Symptoms and Signs by Means of Clinical
Assassment Questionnares and Fibroendoscopy. Is This Sufficient for
Diagnosis?’, Acta Otorinolaringol Esp, vol. 58, no.9, pp. 421-5.
Kahrilas, PJ 2003, ‘GERD Pathogenesis, Pathophysiology and Clinical
Manifestations’, Clin J Med, vol. 70, pp. 4-17
Karkos, PD, Wilson, JA 2006, ‘Empiric treatment of laryngopharyngeal
reflux with proton pump inhibitors: a systematic review’, The
Laryngoscope, vol. 116, pp. 144-8
Knight, J, Lively, MO, Johnston, N, Dettmar, PW, Koufmann, JA 2005,
‘Sensitif Pepsin Immunoassay for Detection of Laryngopharyngeal
Reflux’, The Laryngoscope, vol. 115, pp. 1473-8.
Korkmaz, M, Tarhan, E, Unal, H, Selcuk, H. Yilmaz, U, Ozluoglu, L 2007,
‘Esophageal Mucosal Sensitivity : Possible Links with Clinical
Presentations in Patients with Erosive Esophagitis and
Laryngopharyngeal Reflux’, Dig Dis Sci, vol. 52, pp. 451-6.
Kotby, MN, Hasan, O, El Makhzangy, AM, Farahat, M, Shadi, M 2010,
‘Gastroesophageal reflux/ Laryngopharyngeal Reflux Disease : a
critical analysis of the literature’, Eur Arch Otorhinolaryngol, vol. 267,
pp. 171-9.
Koufman, JA 2002, ‘Layngopharyngeal Reflux is Different from Classic
Gastroesophageal Reflux’, Ear, Nose & throat Journal , vol. 81, pp. 7-9.
145

Lenderking, WR, Hilson, E, Crawley, JA, Moore, D, Berzon, R, Pashos, CL


2003, ‘The Clinical Characteristics and Impact of Laryngopharyngeal
Reflux Disease on Healyh Related Quality of Life’, Value In Health,
vol.6, no.5, pp. 560-5.
Lipan, MJ, Reidenberg, JS, Laitman, JT 2006, ‘Anatomy of Reflux : A
Growing Health Problem Affecting Structures of The Head and Neck’,
The Anatomical Record, vol. 289 B, pp. 261-70.
Masaany, M, Marina, MB, Ezat, WPS, Sani, A 2011, ‘Empirical treatment
with pantoprazole as a diagnostic tool for symptomatic adult
laryngopharyngeal reflux’, The Journal of Laryngology & Otology, vol.
125, pp.502-8.
Merati, AL, Lim, HJ, Uluaip, SO, Toohill, RJ 2005, ‘Meta analysis of upper
probe measurements in normal subjects and patients with
laryngopharyngeal reflux’, The Annals of Otology, Rhinology,
Laryngology, vol. 114, no. 3, pp. 177-82.
Mouli, VP, Ahuja, V 2011, ‘Questionnaire based gastroesophageal reflux
disease (GERD) assessment scales’, Indian J Gastroenterol, vol. 30,
no 3, pp. 108-17.
Oda, K, Iwakiri, R, Hara, M, Watanabe, K, Danjo, A, Shimoda, R, Kikkawa,
A, Ootani, A, Sakata, H, Tsunada, S, Fujimoto, K 2005, ‘Dysphagia
associated with Gastroesophageal reflux disease is improved by proton
pump inhibitor’, Digestive Diseases and Sciences, vol. 50, no. 10,
pp.1921-6.
Olbe, L, Carlsson, E, Lindberg, B 2003, ‘A proton pump inhibitor
expedition : the case histories of omeprazole and esomeprazole’
Nature Reviews, vol. 2, pp.132-9
Oridate, N, Takeda, H, Asaka, M, Nishizawa, N, Mesuda, Y, Mori, M,
Furuta, Y, Fukuda, S 2008,’Acid suppression therapy offers varied
laryngopharyngeal and esophageal symptom relief in
laryngopharyngeal reflux patients’, Dig Dis Sci, vol. 53, pp.2033-8
146

Orlando, RC 2006, “Esophageal Mucosal Defense Mechanism”, GI Motility


Online, Published May 16 2006. Available from
www.nature.com/gimo/contentes/pt/full/gimo 15.html
Patigaroo, SA, Hashmi, SF, Hasan, SA, Ajmal, MR, Mehfooz, N 2011,
‘Clinical manifestation and role of proton pump inhibitors in the
management of laryngopharyngeal reflux’, Indian J otolaryngol Head
Neck Surg,vol. 63, no.2, pp. 182-9
Pribuisine, R, Uloza, V, Jonaitis, L 2002, ‘Typical and Atypical Symptoms
of Laryngopharyngeal Reflux Disease’, Medicina, vol. 38, pp. 699-705
Shaw, MJ, Crawley, JA 2003, ‘Improving health–related quality of life in
gastro-oesophageal reflux disease’, Drugs, vol. 63, no. 21, pp. 2307-
16.
Shin, MJ, Kim, N 2013, ‘Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of the
proton pump inhibitor’, J neurogastroenterol Motil,vol. 19, no. 1, pp.25-
35
Siupsienskiene N, Adamonis 2003,’ Diagnostic test with omeprazole in
patients with posterior laryngitis’, Medicina, vol. 39, pp. 47-55
Siupsinskiene, N, Adamonis, K, Tohill, RJ 2007, ’Quality of life in
laryngopharyngeal reflux patients’, The Laryngoscope, vol. 117, pp.
480-4
Siupsinskiene, N, Adamonis, K, Toohill, RJ, Sereika, R 2008, ‘Predictors of
response to short-term proton pump inhibitor treatment in
laryngopharyngeal reflux’, The Journal of Laryngology & Otology, vol
122, pp. 1206-1212
Tamin, S 2008, ”Hubungan Hipertrofi Tonsil Lingual Pada Pasien Disfagia
Dengan Human Papilloma Virus dan Refluks Laringofaring : Kajian
Respon Terapi Proton Pump Inhibitor”, Disertasi, Program Doktor Ilmu
Kedokteran Universitas Indonesia.
Vardar, R, Varis, A, Bayrakci, B, Akyildiz, S, Kirazli, T. Bor, S 2012,
‘Relationship between history, laryngoscopy and
esophagogastroduodenoscopy for diagnosis of laryngopharyngeal
147

reflux in patients with typical GERD’, Eur Arch Otorhinolaryngol , vol.


269, pp. 187-191
William, RBH, Szczesniak, MM, Maclean, JC, Brake, HM, Cole, IE, Cook,
IJ 2004,’ predictors of outcome in an open label, therapeutic trial of
high dose omeprazole in laryngitis’, American Journal of
Gastroenterology, pp. 777-85.
Zucato, B, Behlau, MS 2012,’ Laryngopharyngeal reflux symptom index:
relation with the main symptoms of gastroesophageal reflux, voice
usage level and voice screening’, Rev. CEFAC, vol. 14, no. 6, pp.
1197- 203

PERSONALIA PENELITIAN
1. Peneliti Utama
a. Nama Lengkap : dr. Rika Febriyanti
b. Pangkat / Gol : Penata / III c
c. NIP : 19820206 200604 2 005
d. Jabatan : PPDS THT-KL FK USU
e. Fakultas : Kedokteran
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
148

g. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL


h. Waktu yang disediakan : 11 jam / minggu
2. Anggota Peneliti / Pembimbing
a. Nama lengkap : Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih,
Sp.THT-KL(K)
b. Pangkat / Gol : Pembina Utama Madya / IV d
c. NIP : 19471130 198003 1 002
d. Jabatan : Guru Besar Fakultas
Kedokteran USU
e. Jabatan Struktural : Ka. Dept. THT-KL FK USU /
RSUP H. Adam Malik, Medan
f. Fakultas : Kedokteran
g. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
h. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL
i. Waktu yang disediakan : 5 jam / minggu
3. Anggota Peneliti / Pembimbing
a. Nama lengkap : dr. Aliandri, Sp.THT-KL
b. Pangkat / Gol : Penata / III c
c. NIP : 19660309 200012 1 007
d. Jabatan : Staf Divisi Faring
Laring/ Bronkoesofagologi
THT- KL FK USU
RSUP. H. Adam Malik
Medan
e. Fakultas : Kedokteran
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
g. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL
h. Waktu yang disediakan : 5 jam / minggu
4. Anggota Peneliti / Pembimbing
a. Nama lengkap : dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-
HNS),Sp.THT-KL
149

b. Pangkat / Gol : Penata / III c


c. NIP : 19781207 200801 2 013
d. Jabatan : Staf Divisi Otologi/ Neurootologi
THT-KL FK USU/
RSUP H. Adam Malik Medan
e. Fakultas : Kedokteran
f. Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
g. Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan THT-KL
h. Waktu yang disediakan : 5 jam / minggu

5. Konsultan Metodologi Penelitian : dr. Taufik Ashar, MKM


150

LAMPIRAN 1

LEMBAR PENGUMPUL DATA PASIEN PENYAKIT REFLUKS


LARINGOFARING
Identitas :
Nama :
Jenis kelamin:
Usia :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Alamat :
Telp/HP :

BB : TB : BMI :

Tanggal Pemeriksaan:

Reflux Symptom Index (RSI)

Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita Skor Penilaian

1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5


2 Clearing your throat (sering mengeluarkan 0 1 2 3 4 5
lender tenggorok/ mendehem)
3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, regurgitasi asam
TOTAL

Skor penilaian :
0 : tidak ada keluhan
1 : ringan, keluhan bisa diabaikan 1x dalam 1 bulan
2 : sedang, keluhan tidak dapat diabaikan , 1 x dalam 1 minggu
3 : berat, keluhan mempengaruhi gaya hidup, beberapa kali dalam 1
minggu
4 : sangat berat, keluhan sangat mempengaruhi gaya hidup, setiap hari
5 : keluhan yang sangat berat dan menetap sepanjang hari
151

Reflux Finding Score (RFS)


Keadaan Patologis Laring Skor Penilaian
Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada
2 = ada
Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4 = komplit
Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid
4 = difus
Edema pita suara 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
Edema laring difus 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2 = ada
Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2 = ada
TOTAL
152

LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT (RQS)


FORM
1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan
anda ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?
o 4 Tidak sama sekali
o 3 sedikit
o 2 kadang
o 1 cukup terganggu
o 0 sangat terganggu

2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi


pekerjaan karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan kehidupan


anda walaupun anda mengalami keluhan ini?
o 0 Tidak sama sekali
o 1 sedikit
o 2 kadang
o 3 cukup nyaman
o 4 sangat nyaman

4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda dapat
menikmati makanan anda?
o 0 Tidak pernah
o 1 jarang
o 2 kadang
o 3 sering
o 4 setiap waktu

5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena keluhan


anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu
6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena
keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
153

o 1 sering
o 0 setiap waktu

7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari karena
keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanan tertentu


karena keluhan anda?
o 4 Tidak pernah
o 3 jarang
o 2 kadang
o 1 sering
o 0 setiap waktu

Total skor =
Rata- rata =
Nilai kualitas hidup : rata- rata skor x25 =
154

LEMBARAN PENJELASAN
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT REFLUKS
LARINGOFARING SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN
OMEPRAZOLE DI RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

Selamat pagi/ siang Bapak/ Ibu/ Saudara/ Saudari


Bapak/Ibu yang terhormat, nama saya dr. Rika Febriyanti, Peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya
sedang melakukan penelitian untuk tesis saya yang berjudul Perbedaan
Kualitas Hidup Penderita Penyakit Refluks Laringofaring sebelum dan
sesudah pemberian Omeprazole di RSUP. H. Adam Malik Medan, atau
dengan istilah lain apakah ditemukan perbedaan kualitas hidup pada
penyakit refluks laringofaring yaitu penyakit yang disebabkan asam
lambung yang masuk ke daerah tenggorokan sebelum dan sesudah
diberikan dengan pengobatan obat omeprazole yaitu obat anti asam
lambung. Penyakit yang disebabkan asam lambung yang masuk ke
daerah tenggorokan banyak menyebabkan rasa tidak nyaman seperti rasa
yang mengganjal di tenggorokan, sering batuk batuk, suara serak, banyak
dahak di tenggorokan dan lain sebagainya. Pengobatan untuk penyakit ini
memerlukan waktu yang lama yaitu 3 sampai 6 bulan.
Dalam penelitian ini Bapak/Ibu akan menjalani pemeriksaan fisik
THT, kemudian Bapak/ Ibu akan mengisi lembar pertanyaan untuk
menentukan tingkat keluhan Bapak/ Ibu dan lembar pertanyaan tentang
kualitas hidup Bapak/Ibu yaitu untuk menanyakan seberapa khawatirnya
Bapak/Ibu tentang keluhan atau penyakit yang Bapak/ Ibu rasakan,
setelah itu Bapak/Ibu akan diperiksa kerongkongannya dengan
menggunakan alat nasofaringolaringoskopi serat optik lentur.
Pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur pada beberapa
penderita yang sensitif akan merasa sedikit tidak nyaman, namun hal ini
dapat diatasi dengan pemberian obat bius lokal sebelum dilakukan
tindakan.
155

Setelah bapak didiagnosa dengan penyakit refluks laringofaring


berdasarkan pemeriksaan tersebut maka Bapak / Ibu akan saya berikan
obat Omeprazole atau obat anti asam lambung yang akan diminum dua
kali sehari atau setiap 12 jam yang diminum setengah jam sebelum
makan. Obat Omeprazole ini akan saya berikan secara cuma-cuma
kepada Bapak/ Ibu selama 3 bulan secara bertahap. Tahap pertama saat
Bapak/ Ibu datang pertama kali akan saya berikan untuk 2 minggu.
Kemudian Bapak/Ibu harus datang untuk kontrol setelah obat yang saya
berikan habis diminum dengan membawa bungkus obat yang telah habis
diminum. Pada saat kontrol saya akan memeriksa kembali seperti yang
saya lakukan pada saat kedatangan Bapak/ Ibu yang pertama untuk
menilai perubahan terhadap penyakit Bapak/ Ibu.. Tahap ke 2 saya akan
berikan obat untuk 2 minggu lagi, setelah habis obat Bapak/ Ibu harus
datang kembali untuk kontrol dan melakukan pemeriksaan kembali. Tahap
ke 3 saya akan memberikan obat untuk 1 bulan, setelah habis obat
Bapak/ Ibu akan kontrol kembali dan melakukan pemeriksaan kembali,
dan tahap 4 saya akan memberikan obat untuk 1 bulan, setelah obat
habis Bapak/ Ibu akan kontrol kembali dan melakukan pemeriksaan. Hal
ini dilakukan untuk menilai perubahan terhadap penyakit yang Bapak/Ibu
rasakan. Jika terjadi efek samping obat seperti sakit kepala, mual, sakit
perut, susah buang air besar, perut kembung dan diare, pada saat Bapak/
Ibu sedang dalam pengobatan maka Bapak/ Ibu dapat menghentikan
minum obat.
Untuk melengkapi penelitian saya maka saya harus mewawancarai
Bapak/Ibu. Sebelum memulai wawancara, saya mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu atas kesediaannya menjadi
Responden. Perlu saya jelaskan bahwa penelitian ini akan saya gunakan
untuk mengetahui diagnosa dan perjalanan penyakit Bapak/Ibu serta
pengobatannya untuk penyusunan penelitian tesis saya dan tidak untuk
keperluan yang lain.
156

Dengan mengikuti penelitian ini, Bapak/Ibu akan mendapat


informasi tentang penyakit yang Bapak/Ibu derita. Hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai panduan untuk memberikan pengobatan
terhadap penyakit refluks laringofaring dengan omeprazole untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien. Hal ini membantu karena pengobatan
penyakit refluks laringofaring membutuhkan waktu yang lama sehingga
mempengaruhi besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pasien.
Omeprazole merupakan obat yang paling murah dan mudah didapat
dibandingkan jenis yang lain untuk mengobati penyakit ini.
Untuk keakuratan data dan informasi yang saya kumpulkan maka
saya sangat berharap agar bapak/ibu bersedia memberikan jawaban yang
sejelas-jelasnya sesuai dengan apa yang bapak/ibu ketahui, alami dan
rasakan sehubungan dengan judul penelitian saya.
Pada penelitian ini identitas Anda disamarkan. Hanya dokter
peneliti, anggota peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data
Anda. Kerahasiaan data Anda akan dijamin sepenuhnya. Bila data Anda
dipublikasi kerahasiaannya tetap dijaga.
Partisipasi Anda dalam penelitian ini bersifat sukarela. Tidak terjadi
perubahan mutu pelayanan dari dokter Anda bila Anda tidak bersedia
mengikuti penelitian ini. Anda akan tetap mendapatkan pelayanan
kesehatan standar rutin sesuai dengan prosedur pelayanan. Sebagai
tanda terima kasih kami akan memberikan makan siang dan biaya ganti
transportasi kepada Anda.
Mudah-mudahan informasi yang saya sampaikan sudah cukup
jelas. Bila demikian saya harapkan bapak/ibu dapat membubuhkan
tandatangan pada bagian bawah lembaran ini sebagai tanda persetujuan
dan wawancara akan segera kita mulai.
Bila ada keluhan setelah dilakukannya tindakan dan pengobatan,
maka Bapak/Ibu dapat menghubungi saya di nomor 081264510880.
Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan Anda.
157

LEMBAR PERSETUJUAN SUBJEK

Dengan ini saya menyatakan sudah memahami tujuan penelitian ini


dan bersedia menjadi responden dan akan memberikan jawaban yang
sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya.
Nama Responden : ………………………………………
Tandatangan : ………………………
Tanggal : …………………20…
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170

OUTPUT ANALISIS

Frequencies

Statistics
UMUR 2
Jenis Kelamin Pendidikan BMI Keluhan Utama KELOMPOK
N Valid 36 36 36 36 36
Missing 0 0 0 0 0

Frequency Table
Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 12 33.3 33.3 33.3
perempuan 24 66.7 66.7 100.0
Total 36 100.0 100.0

BMI
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid
n 20 55.6 55.6 55.6
nt 8 22.2 22.2 77.8
o 8 22.2 22.2 100.0
Total 36 100.0 100.0

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


BMI 36 17.00 36.30 26.1583 4.59287
Valid N (listwise) 36
171

Keluhan Utama
Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent
Valid banyak dahak di tenggorokan 7 19.4 19.4 19.4
(PND)
rasa mengganjal di tenggorokan 18 50.0 50.0 69.4
sering mengeluarkan lendir 4 11.1 11.1 80.6
tenggorok
sering mengeluarkan lendir 1 2.8 2.8 83.3
tenggorok (mendehem)
suara serak 1 2.8 2.8 86.1
sukar menelan 5 13.9 13.9 100.0
Total 36 100.0 100.0

UMUR 3 KELOMPOK
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 18-45 TAHUN 13 36.1 36.1 36.1
45 - 64 TAHUN 18 50.0 50.0 86.1
> 64 THUN 5 13.9 13.9 100.0
Total 36 100.0 100.0

Descriptives

Statistic Std. Error


KUALITAS HIDUP Mean 47.5694 1.48869
Pengamatan Ke 1
95% Confidence Interval for Lower Bound 44.5472
Mean
Upper Bound 50.5916

5% Trimmed Mean 47.2798

Median 48.4400

Variance 79.783

Std. Deviation 8.93212

Minimum 34.38

Maximum 68.75

Range 34.37
172

Interquartile Range 12.50

Skewness .415 .393


Kurtosis -.565 .768
KUALITAS HIDUP Mean 57.80 1.813
Pengamatan Ke 2 95% Confidence Interval for Lower Bound 54.12
Mean
Upper Bound 61.48

5% Trimmed Mean 57.88

Median 60.94

Variance 118.320

Std. Deviation 10.878

Minimum 41

Maximum 75

Range 34

Interquartile Range 20

Skewness -.275 .393


Kurtosis -1.274 .768
KUALITAS HIDUP Mean 70.0789 1.27808
Pengamatan Ke 3 95% Confidence Interval for Lower Bound 67.4843
Mean
Upper Bound 72.6735

5% Trimmed Mean 70.2184

Median 71.8800

Variance 58.805

Std. Deviation 7.66846

Minimum 50.38

Maximum 84.88

Range 34.50

Interquartile Range 9.37

Skewness -.448 .393


Kurtosis .301 .768
KUALITAS HIDUP Mean 78.0686 1.00516
Pengamatan Ke 4 95% Confidence Interval for Lower Bound 76.0280
Mean
Upper Bound 80.1092

5% Trimmed Mean 78.1267

Median 78.1300
173

Variance 36.372

Std. Deviation 6.03096

Minimum 65.63

Maximum 90.63

Range 25.00

Interquartile Range 9.38

Skewness -.208 .393


Kurtosis -.710 .768
KUALITAS HIDUP Mean 83.1772 1.02717
Pengamatan Ke 5 95% Confidence Interval for Lower Bound 81.0920
Mean
Upper Bound 85.2625

5% Trimmed Mean 83.5647

Median 84.3800

Variance 37.983

Std. Deviation 6.16300

Minimum 68.75

Maximum 90.63

Range 21.88

Interquartile Range 7.82

Skewness -.723 .393


Kurtosis .141 .768

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


KUALITAS HIDUP .170 36 .010 .948 36 .089
Pengamatan Ke 1
KUALITAS HIDUP .167 36 .012 .919 36 .012
Pengamatan Ke 2
KUALITAS HIDUP .153 36 .032 .965 36 .303
Pengamatan Ke 3
KUALITAS HIDUP .146 36 .052 .948 36 .088
Pengamatan Ke 4
KUALITAS HIDUP .216 36 .000 .880 36 .001
Pengamatan Ke 5
a. Lilliefors Significance Correction
174

NPar Tests

Friedman Test

Ranks

Mean Rank
KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 1 1.08
KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2 1.97
KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3 3.08
KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4 4.01
KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 5 4.85

Test Statisticsa
N 36
Chi-Square 136.120
df 4
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


KUALITAS HIDUP Negative Ranks 1a 6.50 6.50
Pengamatan Ke 2 -
Positive Ranks 31b 16.82 521.50
KUALITAS HIDUP
Pengamatan Ke 1 Ties 4c

Total 36

a. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2 < KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 1


b. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2 > KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 1
c. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2 = KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 1
175

Test Statisticsb
KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
2 - KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
1
Z -4.826a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


KUALITAS HIDUP Negative Ranks 1a 16.00 16.00
Pengamatan Ke 3 -
Positive Ranks 33b 17.55 579.00
KUALITAS HIDUP
Pengamatan Ke 2 Ties 2c

Total 36

a. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3 < KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2


b. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3 > KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2
c. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3 = KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 2

Test Statisticsb
KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
3 - KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
2
Z -4.820a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
176

a. Based on negative ranks.


b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


KUALITAS HIDUP Negative Ranks 0a .00 .00
Pengamatan Ke 4 -
Positive Ranks 29b 15.00 435.00
KUALITAS HIDUP
Pengamatan Ke 3 Ties 7c

Total 36

a. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4 < KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3


b. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4 > KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3
c. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4 = KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 3

Test Statisticsb
KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
4 - KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
3
Z -4.719a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


KUALITAS HIDUP Negative Ranks 1a 27.50 27.50
177

Pengamatan Ke 5 - Positive Ranks 29b 15.09 437.50


KUALITAS HIDUP
Ties 6c
Pengamatan Ke 4
Total 36

a. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 5 < KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4


b. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 5 > KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4
c. KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 5 = KUALITAS HIDUP Pengamatan Ke 4

Test Statisticsb
KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
5 - KUALITAS
HIDUP
Pengamatan Ke
4
Z -4.231a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on negative ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Descriptives
Std.
Statistic Error
RSI Pengamatan Ke 1 Mean 18.47 .724
95% Confidence Interval for Lower Bound 17.00
Mean
Upper Bound 19.94

5% Trimmed Mean 18.22

Median 17.50

Variance 18.885

Std. Deviation 4.346

Minimum 14

Maximum 28

Range 14

Interquartile Range 7

Skewness .675 .393


Kurtosis -.869 .768
178

RSI Pengamatan Ke 2 Mean 10.94 .650


95% Confidence Interval for Lower Bound 9.63
Mean
Upper Bound 12.26

5% Trimmed Mean 10.74

Median 9.00

Variance 15.197

Std. Deviation 3.898

Minimum 4

Maximum 22

Range 18

Interquartile Range 6

Skewness .838 .393


Kurtosis .586 .768
RSI Pengamatan Ke 3 Mean 7.47 .502
95% Confidence Interval for Lower Bound 6.45
Mean
Upper Bound 8.49

5% Trimmed Mean 7.35

Median 7.00

Variance 9.056

Std. Deviation 3.009

Minimum 3

Maximum 15

Range 12

Interquartile Range 5

Skewness .555 .393


Kurtosis -.264 .768
RSI Pengamatan Ke 4 Mean 4.75 .472
95% Confidence Interval for Lower Bound 3.79
Mean
Upper Bound 5.71

5% Trimmed Mean 4.49

Median 4.00

Variance 8.021

Std. Deviation 2.832

Minimum 1
179

Maximum 14

Range 13

Interquartile Range 3

Skewness 1.492 .393


Kurtosis 2.362 .768
RSI Pengamatan ke 5 Mean 2.75 .393
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.95
Mean
Upper Bound 3.55

5% Trimmed Mean 2.45

Median 2.00

Variance 5.564

Std. Deviation 2.359

Minimum 1

Maximum 13

Range 12

Interquartile Range 2

Skewness 2.682 .393


Kurtosis 9.454 .768

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


RSI Pengamatan Ke 1 .205 36 .001 .871 36 .001
RSI Pengamatan Ke 2 .219 36 .000 .934 36 .033
RSI Pengamatan Ke 3 .146 36 .051 .955 36 .153
RSI Pengamatan Ke 4 .215 36 .000 .860 36 .000
RSI Pengamatan ke 5 .264 36 .000 .690 36 .000
a. Lilliefors Significance Correction

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


180

RSI Pengamatan Ke 2 - RSI Negative Ranks 36a 18.50 666.00


Pengamatan Ke 1
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 0c

Total 36

a. RSI Pengamatan Ke 2 < RSI Pengamatan Ke 1


b. RSI Pengamatan Ke 2 > RSI Pengamatan Ke 1
c. RSI Pengamatan Ke 2 = RSI Pengamatan Ke 1

Test Statisticsb
RSI Pengamatan
Ke 2 - RSI
Pengamatan Ke
1
Z -5.248a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RSI Pengamatan Ke 3 - RSI Negative Ranks 32a 17.47 559.00
Pengamatan Ke 2
Positive Ranks 1b 2.00 2.00
Ties 3c

Total 36

a. RSI Pengamatan Ke 3 < RSI Pengamatan Ke 2


b. RSI Pengamatan Ke 3 > RSI Pengamatan Ke 2
c. RSI Pengamatan Ke 3 = RSI Pengamatan Ke 2

Test Statisticsb
RSI Pengamatan
Ke 3 - RSI
Pengamatan Ke
2
Z -4.996a
181

Asymp. Sig. (2-tailed) .000


a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RSI Pengamatan Ke 4 - RSI Negative Ranks 33a 17.00 561.00
Pengamatan Ke 3
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 3c

Total 36

a. RSI Pengamatan Ke 4 < RSI Pengamatan Ke 3


b. RSI Pengamatan Ke 4 > RSI Pengamatan Ke 3
c. RSI Pengamatan Ke 4 = RSI Pengamatan Ke 3

Test Statisticsb
RSI Pengamatan
Ke 4 - RSI
Pengamatan Ke
3
Z -5.037a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RSI Pengamatan ke 5 - RSI Negative Ranks 31a 16.77 520.00
Pengamatan Ke 4
Positive Ranks 1b 8.00 8.00
Ties 4c

Total 36
182

a. RSI Pengamatan ke 5 < RSI Pengamatan Ke 4


b. RSI Pengamatan ke 5 > RSI Pengamatan Ke 4
c. RSI Pengamatan ke 5 = RSI Pengamatan Ke 4

Test Statisticsb
RSI Pengamatan
ke 5 - RSI
Pengamatan Ke
4
Z -4.852a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Descriptives
Std.
Statistic Error
RFS Pengamatan Ke 1 Mean 10.81 .452
95% Confidence Interval for Lower Bound 9.89
Mean
Upper Bound 11.72

5% Trimmed Mean 10.64

Median 10.00

Variance 7.361

Std. Deviation 2.713

Minimum 8

Maximum 17

Range 9

Interquartile Range 5

Skewness .799 .393


Kurtosis -.700 .768
RFS Pengamatan Ke 2 Mean 9.25 .437
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.36
Mean
Upper Bound 10.14

5% Trimmed Mean 9.17

Median 9.00

Variance 6.879

Std. Deviation 2.623


183

Minimum 4

Maximum 16

Range 12

Interquartile Range 2

Skewness .466 .393


Kurtosis .618 .768
RFS Pengamatan Ke 3 Mean 6.25 .364
95% Confidence Interval for Lower Bound 5.51
Mean
Upper Bound 6.99

5% Trimmed Mean 6.19

Median 6.00

Variance 4.764

Std. Deviation 2.183

Minimum 3

Maximum 11

Range 8

Interquartile Range 4

Skewness .376 .393


Kurtosis -.746 .768
RFS Pengamatan Ke 4 Mean 4.92 .288
95% Confidence Interval for Lower Bound 4.33
Mean
Upper Bound 5.50

5% Trimmed Mean 4.85

Median 5.00

Variance 2.993

Std. Deviation 1.730

Minimum 2

Maximum 9

Range 7

Interquartile Range 2

Skewness .521 .393


Kurtosis .354 .768
RFS Pengamatan Ke 5 Mean 3.31 .218
95% Confidence Interval for Lower Bound 2.86
184

Mean Upper Bound 3.75

5% Trimmed Mean 3.26

Median 3.00

Variance 1.704

Std. Deviation 1.305

Minimum 1

Maximum 6

Range 5

Interquartile Range 2

Skewness .535 .393


Kurtosis -.410 .768

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


RFS Pengamatan Ke 1 .228 36 .000 .857 36 .000
RFS Pengamatan Ke 2 .165 36 .014 .957 36 .169
RFS Pengamatan Ke 3 .184 36 .003 .939 36 .048
RFS Pengamatan Ke 4 .147 36 .046 .940 36 .050
RFS Pengamatan Ke 5 .176 36 .006 .905 36 .005
a. Lilliefors Significance Correction

NPar Tests

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RFS Pengamatan Ke 2 - RFS Negative Ranks 25a 13.98 349.50
Pengamatan Ke 1
Positive Ranks 2b 14.25 28.50
Ties 9c

Total 36
185

a. RFS Pengamatan Ke 2 < RFS Pengamatan Ke 1


b. RFS Pengamatan Ke 2 > RFS Pengamatan Ke 1
c. RFS Pengamatan Ke 2 = RFS Pengamatan Ke 1

Test Statisticsb
RFS Pengamatan
Ke 2 - RFS
Pengamatan Ke 1
Z -3.897a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RFS Pengamatan Ke 3 - Negative Ranks 31a 16.00 496.00
RFS Pengamatan Ke 2
Positive Ranks 0b .00 .00
Ties 5c

Total 36

a. RFS Pengamatan Ke 3 < RFS Pengamatan Ke 2


b. RFS Pengamatan Ke 3 > RFS Pengamatan Ke 2
c. RFS Pengamatan Ke 3 = RFS Pengamatan Ke 2

Test Statisticsb
RFS
Pengamatan Ke
3 - RFS
Pengamatan Ke
2
Z -4.898a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
186

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RFS Pengamatan Ke 4 - Negative Ranks 20a 11.60 232.00
RFS Pengamatan Ke 3
Positive Ranks 2b 10.50 21.00
Ties 14c

Total 36

a. RFS Pengamatan Ke 4 < RFS Pengamatan Ke 3


b. RFS Pengamatan Ke 4 > RFS Pengamatan Ke 3
c. RFS Pengamatan Ke 4 = RFS Pengamatan Ke 3

Test Statisticsb
RFS
Pengamatan Ke
4 - RFS
Pengamatan Ke
3
Z -3.456a
Asymp. Sig. (2-tailed) .001
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


RFS Pengamatan Ke 5 - Negative Ranks 23a 13.83 318.00
RFS Pengamatan Ke 4
Positive Ranks 2b 3.50 7.00
Ties 11c

Total 36

a. RFS Pengamatan Ke 5 < RFS Pengamatan Ke 4


b. RFS Pengamatan Ke 5 > RFS Pengamatan Ke 4
c. RFS Pengamatan Ke 5 = RFS Pengamatan Ke 4
187

Test Statisticsb
RFS
Pengamatan Ke
5 - RFS
Pengamatan Ke
4
Z -4.221a
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Based on positive ranks.
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
188

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1. Pasien JP, skor RSI 20, skor RFS 15 ( Pengamatan I)


Ventrikular obliterasi skor 4
Eritema skor 4
Edema difus skor 2
Hipertrofi komisura posterior skor 3
Mukus kental endolaring skor 2

Gambar 2. Pasien JP, skor RSI 9, skor RFS 12 ( Pengamatan II)


Ventrikular obliterasi skor 4
Eritema skor 2
Edema difus skor 1
Hipertrofi komisura posterior skor 3
Mukus kental endolaring skor 2
189

Gambar 3. Pasien JP, skor RSI 7, skor RFS 7 ( Pengamatan III)


Ventrikular obliterasi skor 2
Eritema skor 2
Hipertrofi komisura posterior skor 3

Gambar 4. Pasien JP, skor RSI 3, skor RFS 5 ( Pengamatan IV)


Ventrikular obliterasi skor 2
Hipertrofi komisura posterior skor 3

Gambar 5. Pasien JP, skor RSI 3, skor RFS 2 (Pengamatan V)


Hipertrofi komisura posterior skor 2.
190

CURICULUM VITAE

I. IDENTITAS
1. Nama : dr. Rika Febriyanti
2. Tempat/ Tanggal lahir : Binjai / 06 Februari 1982
3. Alamat : Jl. Bambuan no 15 Stabat
4. No Telp/ HP : 061-8910219/081264510880

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


1. 1987 - 1993 : SD No. 058904 Stabat
2. 1993 - 1996 : SMP N 1 Binjai
3. 1996 - 1999 : SMUN 1 Stabat
4. 1999 - 2004 : Fakultas Kedokteran USU Medan
5. 2009 - Sekarang : PPDS I. Kes THT-KL FK USU Medan

III. KEANGGOTAAN PROFESI


1. 2004 - 2009 : Anggota IDI Cabang Langkat,
Sumatera Utara
2. 2009 - sekarang : Anggota Muda PERHATI-KL
Cabang SUMUT

(dr.Rika Febriyanti)

Anda mungkin juga menyukai