TONSILEKTOMI
Tesis
Oleh
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat
untuk Mencapai Gelar Magister Kedokteran dalam Bidang Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala Leher
Oleh
ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita tonsilitis kronis/ berulang sebagian besar
menjalani tonsilektomi. Nyeri tenggorok pasca operasi merupakan salah
satu masalah utama yang sering dijumpai setelah tonsilektomi. Nyeri berat
dapat mengarahkan asupan oral yang buruk dan dehidrasi, sehingga
mnyebabkan morbiditas dan keterlambatan penyembuhan. Madu diketahui
memiliki efek yang bermanfaat terhadap penyembuhan luka. Telah
diobservasi melalui studi klinis dan eksperimental bahwa madu selain
mencegah infeksi, tetapi juga mengurangi inflamasi dan mempercepat
proses penyembuhan jaringan serta epitelisasi, sehingga dapat membantu
mengurangi nyeri.
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui efek madu terhadap nyeri pasca
tonsilektomi
Metode Penelitian: Penelitian analitik dengan rancangan eksperimental,
jumlah sampel sebanyak 24 orang pasien yang menjalani tonsilektomi dan
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok madu, plasebo dan kelompok
kontrol. Obat – obatan analgesia dan antibiotik standar diberikan pada
seluruh pasien, tambahan madu pada kelompok madu atau plasebo pada
kelompok plasebo. Madu atau plasebo digunakan dengan berkumur 6 jam
setelah operasi dan setiap 6 jam selama 10 hari. Nyeri dinilai selama 10
hari dengan menggunakan kuesioner Visual Analogue Scale dan
pencatatan frekuensi penggunaan analgetik.
Hasil: Madu secara signifikan memiliki efek menurunkan nyeri yang lebih
baik jika dibandingkan dengan kelompok plasebo dan kontrol dengan nilai
p <0,005 pada hari ke-1, 2, 4, 7, dan 10. Madu signifikan menurunkan
frekuensi penggunaan analgetik pada hari ke-2, 4, dan 7 bila dibandingkan
dengan kelompok plasebo dan kontrol dengan nilai p <0,005.
Kesimpulan: Madu signifikan menurunkan skala nyeri (p <0,005) dan
frekuensi penggunaan analgetik (p <0,005) pada pasien pasca
tonsilektomi.
Kata Kunci: Tonsilektomi, Madu, Nyeri, Analgetik
ABSTRACT
Background: Most of chronic/ recurrent tonsillitis sufferers undergo
tonsillectomy procedure. Postoperative pain is one of the most commonly
encountered problems following tonsillectomy. Severe pain may lead to
poor oral intake and dehydration, causing morbidity and delayed recovery.
Honey has been known to have beneficial effects on wound healing. It has
been observed in clinical and experimental studies that honey not only
prevents infections, but also decreases inflammation and provides more
rapid tissue healing and epithelization, so that it can help reduce pain.
Objective: The aim of this study was to evaluate the effects of honey on the
incidence of postoperative pain in patients undergoing tonsillectomy
Result: Honey was significantly had better effects for pain reduction when
compared to the placebo and control groups with p value <0,005 on days 1,
2, 4, 7 and 10. Honey also significantly decreased the frequency of
analgesic use on days 2, 4 and 7 when compared with the placebo and
control groups with p value <0,005.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
ABSTRAK……………………………………………………………. vi
ABSTRACT…………………………………………………………. vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………... viii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………... xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………… xii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………. xii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang Masalah……………………….……… 1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………. 4
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………. 4
1.3.1. Tujuan Umum…………………………………. 4
1.3.2. Tujuan Khusus………………………………… 5
1.4. Manfaat Penelitian………………………………………. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………… ………….. 6
2.1. Anatomi Tonsil Palatina………………………………… 6
2.1.1. Perdarahan……………………………………. 7
2.1.2. Aliran Getah Bening…………………………… 8
2.1.3. Persarafan……………………………………… 9
2.1.4 Fungsi Tonsil…………………………………… 9
2.2. Tonsilitis………………………………………………… 10
2.2.1. Tonsilitis Akut………………………………… 10
2.2.2. Tonsilitis Kronis………………………………… 12
A. Defenisi………………………………………… 11
B. Etiologi…………………………………………. 12
C. Patogenesis…………………………………… 13
D. Gejala dan Tanda Klinis……………………… 14
E. Pemeriksaan Penunjang……………………… 16
F. Penatalaksanaan……………………………… 16
G. Komplikasi……………………………………… 17
2.3. Tonsilektomi………………………………………………. 19
2.3.1. Epidemiologi Tonsilektomi……………………. 20
2.3.2. Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi…… 21
2.3.3. Prosedur Tonsilektomi………………………… 26
2.3.4. Komplikasi Pasca Tonsilektomi………………… 31
2.3.5. Perawatan Pasca Tonsilektomi……………… 33
2.4. Nyeri Pasca Tonsilektomi…………………………….... 33
2.4.1. Mekanisme Nyeri……………………………… 34
2.4.2. Pengukuran Nyeri……………………………. 36
2.5. Madu……………………………………………............ 37
2.5.1. Komposisi Madu……………………………… 38
2.5.2. Manfaat Madu terhadap Luka………………. 41
2.6. Kerangka Teori…………………………………………. 47
2.7. Kerangka Konsep………………………………………. 48
2.8. Hipotesis…………………………………………………. 48
BAB 3 METODE PENELITIAN……………………………………... 49
3.1. Jenis Penelitian…………………………………………... 49
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian……………………… 49
3.3. Kriteria Inklusi…………………………………………… 49
3.4. Kriteria Ekslusi……………………………….…………. 50
3.5. Perkiraan Besar Sampel………………………………. 50
3.6. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………. 51
3.7. Variabel Penelitian……………………………………… 51
3.8. Definisi Operasional……………………………………. 51
3.9. Alat dan Bahan Penelitian……………………………… 52
3.10. Prosedur Penelitian……………………………………. 53
3.11. Kerangka Operasional………………………………… 55
3.12. Jadwal Penelitian………………………………………. 56
BAB 4 HASIL PENELITIAN…………………………………………. 57
4.1. Karakteristik Subjek Penelitian………………………… 57
4.2. Perbandingan Skala Nyeri dan Frekuensi Penggunaan
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
2.1. Anatomi tonsil palatina tampak dari orofaring………. 6
2.2. Aliran pembuluh darah tonsil…………………………. 8
2.3. Derajat Pembesaran Tonsil…………………………... 15
2.4. Teknik Tonsilektomi Guillotine………………………… 27
2.5. Teknik Tonsilektomi secara diseksi……………………. 28
2.6. Mekanisme nyeri………………………………………… 35
2.7. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana…………… 37
2.8. Kerangka Teori…………………………………………… 47
2.9. Kerangka Konsep………………………….……………... 48
3.1. Visual Analogue Scale……….…………………………... 52
3.2. Kerangka Operasional…………………………………… 55
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
2.1. Indikasi tonsilektomi dari beberapa sumber…………… 22
2.2. Kandungan zat pada madu randu…………………………. 40
2.3. Mutu madu berdasarkan SNI-01-3545-2013…………. 41
2.4. Efek madu terhadap penyembuhan luka…………….. 42
3.1. Jadwal Penelitian………………………………………… 56
4.1. Distribusi Pasien berdasarkan Usia……………………. 57
4.2. Perbandingan Skala Nyeri Hari ke- 1, 2, 4, 7, dan 10
pada Kelompok Madu, Plasebo dan Kontrol…………… 58
4.3. Perbandingan frekuensi penggunaan analgetik Hari
ke- 1, 2, 4, 7, dan 10 pada Kelompok Madu, Plasebo
dan Kontrol………………………………………………… 59
4.4. Efek madu terhadap skala nyeri…………………………. 61
4.5. Efek plasebo terhadap skala nyeri………………………. 62
4.6 Kelompok kontrol terhadap skala nyeri…………………. 63
4.7. Efek madu terhadap frekuensi penggunaan analgetik… 64
4.8. Efek plasebo terhadap frekuensi penggunaan analgetik. 65
4.9. Kelompok kontrol terhadap frekuensi penggunaan
analgetik……………………………………………………. 66
DAFTAR SINGKATAN
PENDAHULUAN
sedangkan pada pasien yang tidak diberi madu, terdapat 0% yang tidak
mengkonsumsi obat pereda nyeri tambahan, yakni secara keseluruhan
mendapatkan analgetik tambahan selain acetaminophen pada pasien yang
tidak diberikan terapi madu. Kemudian, menurut Mohebbi (2014), madu
terbukti secara signifikan dapat mengurangi nyeri dimana jika dibandingkan
pada kelompok percobaan nyeri pasca operasi menghilang dalam waktu 5
– 6 hari, sedangkan pada kelompok kontrol nyeri pasca operasi baru
menghilang selama 7-8 hari. Selain itu, menurut Lazim (2013), luka post
tonsilektomi secara signifikan lebih cepat mengalami proses epitelisasi
pada pemberian madu (p Value <0.001).
Cedera mekanis dan termal dapat terjadi pada fosa tonsil selama
tonsilektomi,dan pasca operasi lokasi ini menyisakan luka terbuka, oleh
karena itu pasien mengeluhkan nyeri tenggorok, khususnya saat menelan
(Letchumanan, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek
analgetik pada pemberian madu terhadap luka pasca operasi tonsilektomi
yakni dengan pemberian madu kumur terhadap pasien pasca operasi
tonsilektomi.
Gambar 2.1. Anatomi tonsil palatina tampak dari orofaring (Pearson, 2013)
6
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.1. Perdarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan
eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Dhingra, 2018;
HTA, 2013).
2.1.3. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus (Bailey,
2014).
2.2. Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), dan tonsil tuba
eustachius (lateral band dinding faring) (Soepardi et al., 2009).
B. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau
kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).
Bakteri penyebab tonsilitis kronik pada umumnya sama dengan
tonsilitis akut, yang tersering adalah kuman gram positif (Farokah, 2003).
Beberapa penelitian terdahulu mendapatkan kuman grup A Beta
Haemolytic Streptococcus adalah kuman penyebab tonsilitis kronik yang
paling sering, tetapi sekarang ini telah terjadi pergeseran pola kuman
dimana bakteri aerob dan anaerob banyak diteliti sebagai penyebab
tonsilitis kronik (Bista, 2006). Bakteri anaerob merupakan bagian flora
normal di faring dan dapat menjadi patogen seperti bakteri patogen
potensial lainnya. Beberapa bakteri anaerob dapat ditemukan dalam inti
tonsil seperti Bacteroides fragilis, Fusobacterium spp, Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium dan Actinomyces spp (Brook 2005).
Penelitian Abdulrachman et al. (2008) di Mesir mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphylococcus aureus, Group A Beta
Haemolytic Streptococcus, Escherichia coli dan Klebsiella. Hammouda et
C. Patogenesis
Patologi penyakit ini disebabkan oleh adanya infeksi berulang pada
tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun (Farokah, 2007).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Usapan tenggorok.
Usapan tenggorok masih digunakan sebagai pemeriksaan
utama untuk mengkonfirmasi organisme penyebab infeksi di
sebagian negara berkembang. Namun, beberapa penelitian
menunjukkan perbedaan flora patogen di permukaan tonsil dengan di
dalam inti tonsil (Kurien et al, 2000; Mc Kerrow, 2008). Kultur yang
dilakukan dari usapan tenggorok dapat menghasilkan kultur yang
positip terhadap Group A Beta Haemolytic Streptococcus, tapi hal ini
tidak dapat menjadi bukti yang meyakinkan bahwa organisme ini yang
menjadi penyebab. Insiden kultur positif dapat mencapai 40% pada
penderita yang asimptomatik (Mckerrow, 2008).
F. Penatalaksanaan
Pada tonsilitis kronis penggunaan antibiotik yang efektif untuk
melawan beta laktamase yang dihasilkan mikroorganisme (seperti
amoksisilin klavulanat atau klindamisin) selama 3-6 minggu dapat
G. Komplikasi
a. Abses peritonsil
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan
jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak
palatum mole bengkak. Pada stadium permulaan, selain
pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses
berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
b. Abses parafaring
Gejala utamanya adalah trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan
pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah
medial (Fachruddin, 2007).
c. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi
tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada tonsiitis
folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna.
Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan;
selanjutnya dilakukan tonsilektomi (Dhingra, 2018).
e. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai
pembengkakan berwarna kekuningan diatas tonsil. Sangat sering
terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainase
(Dhingra, 2018).
2.3. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatina (Hermani, 2004). Tonsilektomi merupakan prosedur operasi
yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan
operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di
B. Relatif
• Karier Dipteri yang tidak respon
terhadap antibiotik.
• Karier Streptococcus yang dapat
menjadi fokal infeksi.
• Tonsilitis kronis dengan halitosis
yang tidak respon terhadap
pengobatan medis.
• Tonsilitis Streptococcus Beta
Hemolitikus yang berulang pada
pasien dengan kelainan katup
jantung
6. Paradise Criteria • Frekuensi minimal serangan nyeri
(Baugh, 2011) orofaring: a) Tujuh kali atau lebih
serangan dalam satu tahun terakhir,
atau b) Lima kali atau lebih
a. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk
mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai
modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang
dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang
untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
b. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah
mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose
yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih
banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga
banyak digunakan pada pasien anak.
yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC)
dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).
Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan
memotong dan hemostase dalam satu prosedur.
- Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung
ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada
medium penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi
pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah
ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah
(40 0C - 70 0C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.
- Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Sistim skalpel harmonik terdiri
atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung,
pisau bedah dan pedal kaki.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding
teknik bedah lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena
- Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru
melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Efikasi teknik
coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini
bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan.
- Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau PTP
(Potassium Titanyl Phospate) untuk menguapkan dan mengangkat
jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan ‘recesses’ pada tonsil yang meyebabkan infeksi
kronik dan rekuren. LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat
dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri
pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan
analgesia pascaoperasi berkurang. Teknik ini direkomendasikan
untuk tonsilitis kronik dan rekuren nyeri tenggorok kronik, halitosis
berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran
tonsil.
- Microdebrider
Merupakan alat pemotong berputar bertenaga dengan
penyedot kontinu, terdiri dari tabung, dihubungkan dengan
handpiece yang selanjutnya terhubung mesin dengan kontrol kaki
dan suction. Tonsilektomi parsial dapat diselesaikan sekitar 90 –
95% tonsil dengan tetap menjaga kapsulnya.
b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan serta inflamasi
pada mukosa dan serabut saraf glossofaringeus serta saraf
trigeminal, selain itu terjadi inflamasi dan spasme otot faringeus
sehingga siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok
muncul pada hampir semua pasien pasca tonsilektomi. Nyeri pasca
bedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien
mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam
asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal
ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk
pemberian cairan intravena dibutuhkan (Kurnia, 2018).
2) Berdasarkan Etiologi
a) Nyeri nosiseptik: rangsangan timbul oleh mediator nyeri, seperti
pada paska trauma operasi dan luka bakar.
b) Nyeri neuropatik: rangsangan oleh kerusakan saraf dan disfungsi
saraf, seperti pada diabetes mellitus (DM), herpes zooster.
Metode VAS dan WBFS dapat digunakan sebagai alat ukur nyeri yang
valid karena telah diakui dan dipergunakan secara luas untuk menilai nyeri.
Penderita dapat memberikan tanda pada garis tersebut di titik yang
menurutnya mewakili persepsi nyeri yang sedang dialami (Gould, 2001).
2.5. Madu
Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari
kantung madu. Oleh lebah nektar tersebut diolah sebelum akhirnya
a. Gula
Komposisi terbesar madu berupa gula fruktosa dan glukosa (85-95%
dari total gula). Tingginya kandungan gula sederhana dan
persentase fruktosa menciptakan karakteristik nutrisi yang khas
untuk madu.
b. Air
Komposisi terbesar kedua setelah gula adalah air. Keberadaan air
dalam madu merupakan hal penting terutama pada proses
penyimpanan. Hanaya madu yang mengandung kadar air kurang
dari 18% yang dapat disimpan tanpa khawatir terjadi fermentasi.
c. Kalori
Madu merupakan salah satu nutrisi alami sumber energi. Satu
kilogram madu mengandung 3.280 kalori atau setara dengan 50 butir
telur ayam, 5,7 liter susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4 kg
kentang dan 1,68 kg daging.
d. Enzim
Enzim yang terkandung dalam madu adalah invertase, diastase,
katalase, oksidasi, peroksidase dan protese. Guna enzim ini adalah
memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Enzim diastase
berfungsi mengubah zat tepung menjadi dekstrin dan maltosa.
Kemampuan enzim mengubah zat tepung ini dipengaruhi suhu.
Enzim ini akan rusak bila madu dipanaskan pada suhu 60-80ºC,
enzim katalase mengubah hidrogen peroksidase yang menimbulkan
efek antibakteria.
e. Hormon
Madu mengandung hormon gonadotropin yang berfungsi
menstimulasi kelenjar seksual.
f. Asam Amino
Madu mengandung asam amino esensial yang penting untuk tubuh
seperti proline, tirosine, fenilalanine, glutamine, dan asam aspartate.
Namun, kandungannya sangat bervariasi dari 0,6 hingga 500 mg
dalam 100 gram madu.
g. Vitamin dan Mineral
Madu kaya akan vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks,
vitamin C, D, E dan K. Penelitian di Universitas Florida Departemen
Ilmu Makanan dan Nutrisi Manusia menyimpulkan bahwa madu
mengandung banyak nutrisi penting seperti vitamin B6, riboflavin,
thiamin dan asam pantotenat. Madu mengandung mineral cukup
lengkap namun bervariasi antara 0,01%-0,64%. D. Jarvis meneliti
kandungan mineral madu dan memastikan dari 100% sampel
terdapat zat besi, kalium, kalsium, magnesium, tembaga, mangan,
natrium, dan fosfor. Zat lainnya adalah barium, seng, sulfur, klorin,
yodium, zirkonium, galium, vanadium, cobalt, dan molybdenum.
Sebagian kecil madu ada yang mengandung bismuth, germanium,
lithium, dan emas.
Zat Antioksidan: Flavonoid 0,04% B/B, Asam Askorbat 0,4 Mg; Asam
Panthotetic 0,20 mg; dan -Karoten 0,05 mg/ Kg.
biofilm, yaitu zat dari kuman yang bersifat resisten terhadap antimikroba
(Blair et al, 2009; Cooper et al, 2010). Penelitian Blair et al, 2009; Cooper
et al, 2010, menunjukkan bahwa konsentrasi sub-inhibitory dari madu
meningkatkan aktivitas bakterisida pada biofilm vancomysin S. aureus, dan
madu memiliki interaksi aditif dengan biofilm gentamisin P. aeruginosa.
Madu
Tonsilektomi Nyeri
Variabel Variabel
Independent Dependent
Skala Nyeri
Madu
Frekuensi Penggunaan
Analgetik
2.8. Hipotesis
Madu dapat menurunkan rasa nyeri pasca tonsilektomi.
3.2.2. Sampel
Sampel penelitian adalah penderita yang menjalani operasi
tonsilektomi dan memenuhi kriteria inklusi.
49
Universitas Sumatera Utara
50
Inklusi :
Eksklusi :
- Laki - laki, usia 18-50th
- Diabetes Mellitus
-Tonsilektomi dengan
- Alergi Madu
metode diseksi
- Gangguan perdarahan
- Sadar pasca operasi
- Perdarahan / Infeksi
- Kooperatif dan bersedia ikut
akut pasca operasi
serta dalam penelitian
- Perlengketan tonsil
saat operasi
Tonsilektomi
- Ketergantungan alkohol
/obat - obatan
Kelompok Kelompok Kelompok
Madu Plasebo Kontrol - Dalam Pengobatan
Intervensi Intervensi Tanpa jangka panjang
madu selama Plasebo intervensi
10 hari pasca selama 10 hari selama 10 hari
operasi pasca operasi pasca operasi
57
Universitas Sumatera Utara
58
terutama jika dibandingkan dengan plasebo dan kontrol pada hari ke-1, 2,
4, 7 & 10.
8
7 Derajat Berat
Derajat Berat
6 Derajat Sedang Derajat Sedang Derajat Sedang
5
Derajat Sedang Derajat Sedang Derajat Sedang
4 Derajat Sedang
Derajat Sedang
3 Derajat Ringan Derajat Ringan
2 Derajat Ringan
Derajat Ringan
1 Tidak Nyeri
0
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
Madu 2,88 (0,83) 2,38 (0,92) 1,63 (0,74) 0,88 (0,64) 0,50 (0,53)
Plasebo 3,38 (0,52) 3,13 (0,64) 2,50 (0,53) 2,13 (0,64) 1,13 (0,83)
Kontrol 3,63 (0,52) 3,50 (0,53) 3,25 (0,46) 2,38 (0,74) 1,38 (0,74)
p value 0,122a 0,028a 0,001a 0,003a 0,069a
4
3,63
3,5 3,5
3,38
3,13
3
2,88
2,5 2,5
2,38 2,38
2,13 2,13
2
1,63
1,5
1,38
1,13
1
0,88
0,5 0,5
0
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.2. dapat di lihat bahwa terjadi
penurunan frekuensi penggunaan analgetik dari hari ke-1 hingga hari ke-
10. Dimana rerata penggunaan analgetik pada kelompok madu di hari ke-1
yaitu 2,88 dan pada hari ke-10 menjadi 0,50. Kelompok plasebo hari ke-1
yaitu 3,38 menjadi 1,13 pada hari ke-10. Kelompok kontrol pada hari ke-1
yaitu 3,63 dan hari ke-10 menjadi 1,38.
4,75 (1,28) 4,13 (1,36) 3,13 (0,99) 2,00 (1,07) 0,88 (0,64)
P value <0,001e
Hari 1 0,096f 0,010f 0,010f 0,011f
Hari 2 0,011f 0,007f 0,008f
Hari 4 0,007f 0,010f
Hari 7 0,011f
Hari 10
e
Friedman f Wilcoxon
B. Kelompok Plasebo
Pada kelompok placebo terdapat penurunan skala nyeri
yang signifikan mulai hari ke-1 dengan rerata skala nyeri 5,88 hingga
hari ke 10 dengan rerata skala nyeri 2,38 dan nilai p <0,001.
C. Kelompok Kontrol
Berdasarkan tabel 4.6. ini terdapat penurunan skala nyeri
yang signifikan pada kelompok kontrol dimana rerata skala nyeri hari
ke-1 adalah 6,50 dan pada hari ke-10 menjadi 2,88, dengan nilai p
value <0,001.
ANALGETIK (kali)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
MADU
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
2,88 (0,83) 2,38 (0,92) 1,63 (0,74) 0,88 (0,64) 0,50 (0,53)
P value <0,001e
Hari 1 0,046f 0,008f 0,011f 0,009f
Hari 2 0,034f 0,010f 0,011f
Hari 4 0,014f 0,007f
Hari 7 0,083f
Hari 10
e
Friedman f Wilcoxon
B. Kelompok Plasebo
Berdasarkan tabel 4.8. didapati penurunan frekuensi
penggunaan analgetik yang signifikan, Hal ini diketahui karena nilai
p <0,001, dan terdapat penurunan nilai rerata dari hari ke-1 hingga
hari ke-10. Kelompok plasebo memiliki rerata frekuensi penggunaan
analgetik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok madu
dan lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.
C. Kelompok Kontrol
Didapati penurunan frekuensi penggunaan analgetik yang
signifikan menurut tabel dibawah ini. Hal ini diketahui karena nilai p
<0,001, dan terdapat penurunan nilai rerata dari hari ke-1 hingga
hari ke-10. Namun masing – masing rerata frekuensi penggunaan
analgetik pada kelompok kontrol memiliki nilai tertinggi jika
dibandingkan dengan rerata pada kelompok madu dan kelompok
plasebo.
ANALGETIK (kali)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
KONTROL
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
3,25
3,63 (0,52) 3,50 (0,53) 2,38 (0,74) 1,38 (0,74)
(0,46)
p value <0,001e
Hari 1 0,569f 0,180f 0,014f 0,011f
Hari 2 0,414f 0,041f 0,011f
Hari 4 0,020f 0,011f
Hari 7 0,038f
Hari 10
e
friedman f Wilcoxon
Berdasarkan tabel 4.9. penggunaan analgetik pada kelompok
kontrol mengalami penurunan secara signifikan pada hari ke 7 dan
10.
67
Universitas Sumatera Utara
68
manuka. Pada penelitian ini, madu yang digunakan adalah madu lokal
Indonesia yaitu Madu Nusantara Murni, karena madu tersebut memiliki
efektivitas terhadap luka yang sebanding dengan khasiat madu manuka
sesuai dengan penelitian Diah (2012). Selain itu madu ini juga sesuai
standar BPOM RI dan mudah didapatkan. Madu Nusantara Murni memiliki
komposisi utama berupa madu randu murni, tanpa campuran zat lain..
Madu Nusantara murni sudah digunakan dalam beberapa uji coba klinis,
salah satunya di bagian Bedah Plastik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Indonesia pada tahun 2012, diperoleh data bahwa penggantian balut madu
setiap 2 hari memberikan hasil cukup baik dalam hal penurunan rerata area
luka non-epitelisasi. Meskipun demikian, penggantian balut madu setiap
hari tetap lebih direkomendasikan karena didapatkan penurunan rerata
area luka non-epitelisasi yang lebih cepat bila dibandingkan dengan
penggantian balut madu setiap 2 hari (Raymond, 2012).
Menurut Mohebbi (2014) dan Lazim (2017), madu tidak dapat
digunakan untuk kontak langsung fossa tonsil secara konstan, karena tidak
ada balutan yang digunakan di wilayah ini. Penelitian Mohebbi (2014),
madu diaplikasikan dengan mengkonsumsi secara peroral, mengingat tidak
memungkinkan diaplikasikan secara langsung dan terus menerus, oleh
karena itu penggunaan madu harus dilakukan sesering mungkin. Pada
penelitian ini, madu sejumlah 15 cc dilarutkan dengan air 5 cc kemudian
digunakan dengan administrasi langsung secara berkumur selama 2 menit
kemudian ditelan setiap 6 jam, hal ini dilakukan agar madu dapat mencapai
seluruh daerah yang mengalami trauma pasca operasi. Sesuai dengan
penelitian Raoufian (2020), dimana subjek penelitian menggunakan madu
dengan berkumur setiap 6 jam, namun pelarut yang digunakan adalah
normal saline.
Pada penelitian ini, semua kelompok subjek penelitian diberi
antibiotik dan analgesia yang sama, khusus analgesia diminum jika nyeri
saja dan frekuensi analgesia yang dikonsumsi dicatat. Nyeri dinilai
menggunakan skala VAS (Visual Analogue Score) dari 0 – 10. Sesuai
bahwa kelompok madu secara signifikan menurunkan skala nyeri sejak hari
pertama, sementara pada penelitian Ozlugedik (2006) yang menunjukkan
bahwa skala nyeri mengalami penurunan secara signifikan pada kelompok
madu mulai hari ke-2, sementara, sedangkan Mohebbi (2014) meneliti
bahwa madu terbukti secara signifikan dapat mengurangi nyeri jika
dibandingkan pada kelompok percobaan nyeri pasca operasi mulai
menghilang dalam waktu 5 – 6 hari, sedangkan pada kelompok kontrol nyeri
pasca operasi baru menghilang selama 7-8 hari. Sangat berbeda dengan
penelitian Akbas et al (2004) bahwa nyeri berkurang secara signifikan pada
hari ke -10 dan 14 dan pada penelitian Letchumanan (2012) tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kelompok madu dan plasebo terhadap
penurunan skala nyeri.
Menurut penelitian Ozlugedik (2006) dan Boroundman (2013), madu
secara signifkan membantu mengurangi frekuensi penggunaan analgesia.
Hal ini sejalan dengan penelitian ini, dimana rerata konsumsi analgesia
pada kelompok madu adalah yang terendah dengan nilai p < 0,001 serta
memiliki skala perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan grup
plasebo dan grup kontrol. Penurunan frekuensi analgetik paling efektif
terlihat pada kelompok madu dibandingkan dengan plasebo dan kontrol.
Secara signifikan juga terlihat bahwa ada pengaruh pada penurunan
penggunaan analgetik mulai dari hari 1 hingga hari 10. Pada penelitian ini
tidak dijumpai perbedaan yang signifikan baik skala nyeri maupun frekuensi
penggunaan analgetik antara kelompok plasebo dengan kelompok kontrol,
namun efek kelompok plasebo terhadap skala nyeri dan frekuensi
penggunaan analgetik lebih rendah jika dibandingkan kelompok kontrol.
Nanda et al (2016) memaparkan bahwa madu mempercepat
pemulihan tanda dan gejala sakit tenggorokan. Tanda-tanda dan gejala
nyeri, demam, dan kongesti orofaringeal pulih lebih cepat bila madu
ditambahkan ke terapi. Tidak ada efek samping atau resistensi pada
penggunaan madu sehingga madu dianggap sebagai obat yang aman.
Oleh karena itu, asupan madu sebagai terapi adjuvan akan bermanfaat bagi
6.1. Kesimpulan
a. Pada penelitian ini dijumpai usia subjek terbanyak berada antara 18
hingga 25 tahun. Jenis kelamin keseluruhannya adalah laki – laki.
b. Berdasarkan penelitian ini, madu dapat menurunkan nyeri pasca
tonsilektomi.
c. Efektivitas penggunaan madu terhadap skala nyeri menunjukkan
hasil yang signifikan terutama pada hari ke-2, 4, 7 dan 10 jika
dibandingkan antara kelompok madu dengan kedua kelompok
lainnya.
d. Penggunaan madu terhadap frekuensi penggunaan analgetik
menunjukkan hasil yang signifikan terutama pada hari ke-4, 7 dan
10 pasca tonsilektomi jika dibandingkan antara kelompok madu
dengan kedua kelompok lainnya.
6.2. Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian jenis madu
lain atau kombinasi antara madu dengan bahan lainnya untuk
mengembangkan penelitian madu terhadap efek nyeri pasca
tonsilektomi
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan variasi
kelompok ataupun kriteria sampel lainnya untuk mengembangkan
penelitian madu terhadap efek nyeri pasca tonsilektomi
c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas madu
terhadap proses penyembuhan, anti inflamasi, dan anti bakteri pada
penyakit T.H.T.K.L lainnya
d. Agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar
penggunaan madu dalam mengurangi nyeri pasca tonsilektomi yang
efektif sejak hari pertama
73
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
74
Universitas Sumatera Utara
75
12. Chadwick, P., Edmonds, M., Mc Cardle, J., & Armstrong, D.2013.
Interntional best practice guidlines: wound management in diabetic
foot ulcers. Wound international, 2013.
www.woundsinternational.com
13. Chai Shi, Hua. 2014. Prevalensi Tonsilitis di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Tahun 2014. Repository Universitas
Sumatera Utara, Medan. URL:
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/17678
75
Universitas Sumatera Utara
76
76
Universitas Sumatera Utara
77
31. Kamaruddin MY, Zainabe SA, Anwar S, Mohd Razif MA, Mohd
Yassim MY. 2012. The efficacy of honey dressing on chronic wounds
and ulcers. In: Juraj M, editor. Honey: Current Research and Clinical
Uses. New York: Nova Science Publishers: p185–96.
32. Kassim M, Achoui M, Mustafa MR, Mohd MA, Yusoff KM. 2010.
Ellagic acid, phenolic acids, and flavonoids in Malaysian honey
extracts demonstrate in vitro anti- inflammatory activity. Nutr Res.;
30(9): p650-659.
33. Kassim M, Achouin M, Mansor M, Yusoff KM. 2010. The inhibitory
effects of Gelam honey and its extracts on nitric oxide and
prostaglandin E2 in inflammatory tissues. Fitoterapia; 81(8): p1196-
1201.
34. Katharina et al. 2020. The effect of adjuvant oral application of honey
in the management of postoperative pain after tonsillectomy in
adults: A pilot study. Switzerland: PLoS ONE 15 (2). URL:
https://doi.org/10.1371/journal. pone.0228481.
35. Khan, I., Ahmad, S., Chawala, J. 2012. Comparison of FNA vs
Surface Swab Culture In Isolating Core Flora in Recurrent Tonsilitis.
J Ayub Med Coll Abbottabad ;24 (3-4).
36. Kurien, M., Stanis, A., Job, A., Brahmadathan, Thomas, K. 2000.
Throat Swab in the Chronic Tonsillitis: How Reliable and Valid is it?
Singapore Med J. Vol.41(7):p324-326
37. Kurnia, Dedy. 2018. Penggunaan Blok Peritonsil untuk mengurangi
nyeri Pasca Tonsilektomi. Jurnal Kesehatan Andalas. URL:
https://doi.org/10.25077/jka.v7i2.815
38. Lal et al. Role of Honey after tonsillectomy. 2017. Clinical
Otolaryngology Vol.42, Issue 3; P651 – 660. URL:
https://doi.org/10.1111/coa.12792.
39. Letchumanan et al. 2013. Post tonsillectomy pain relief and
ephitelization with honey. Kuala Lumpur: Turkish Journal of Medical
Sciences.
77
Universitas Sumatera Utara
78
40. Majtan et al. 2013, Fir honeydew honey flavonoids inhibit TNF-α
induced MMP-9 expression in human keratinocytes: a new action of
honey in wound healing. Archives of Dermatological Research. p619
– 27.
41. Marwoto, Primatika AD. 2010. Anestesi Lokal/ Regional. Dalam:
Soenarjo, Jatmiko HD, editor. Anestesiologi. Semarang; IDSAI
Cabang Jawa Tengah;p309-23
42. Messner, Anna. 2005. Feature Articles Tonsillectomy. Operative
Techniques in Otolaryngology. California: Elsevier Inc.
43. Michelle et al. 2014. Safety of Adult Tonsillectomy: A Population-
Level Analysis of 5968 Patients. JAMA Otolaryngol Head Neck
Surg;p197 – 202.
44. Mohebbi et al. 2014. Efficacy of honey in reduction of post
tonsillectomy pain, randomized clinical trial. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology Vol 78. Elsevier Inc; p1886-1889.
URL: https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2014.08.018
45. Molan P. 2001. Why honey is effective as a medicine. 2. The
scientific explanation of its effects. Bee World.;82: p22-40.
46. Molan PC. 2006. The evidence supporting the use of honey as a
wound dressing. International Journal of Lower Extremity
Wounds.;5(1): p40-54.
47. Molan, P.C. 1998. A Brief Review of the use of honey as a clinical
dressing" the evidence for honey promoting wound healing". the
australian journal of wound management 6 (4) 148-158 (1998)
48. Molan, P.C. 2011. The evidence and the rationale for the use of
honey as wound healing. Wound practice and research vol 19.
49. Molan P, Rhodes T. 2015. Honey: A biologic wound dressing.
Wounds [Internet]. [cited 2016 Aug 25];27(6):141–51. URL:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
84931064613&partnerID=tZOtx3y1
50. Mukarramah DA, Sudjatmiko G. 2012. Comparison of Wound-bed
Preparation Time in Chronic Traumatic Wound Using Topical Honey
78
Universitas Sumatera Utara
79
79
Universitas Sumatera Utara
80
80
Universitas Sumatera Utara
81
81
Universitas Sumatera Utara
82
82
Universitas Sumatera Utara
83
Lampiran 1
83
Universitas Sumatera Utara
84
penelitian ini, Anda berhak mundur secara bebas dari penelitian ini kapan
saja. Jika Anda menolak berpartisipasi atau mundur dari penelitian ini,
keputusan tersebut tidak mempengaruhi hubungan Anda dengan peneliti
dan tidak berdampak pada pelayanan yang berlaku di Rumah Sakit.
Jika ada pernyataan yang kurang dalam formulir ini, Anda berhak
bertanya kepada peneliti.
Prosedur Penelitian
84
Universitas Sumatera Utara
85
85
Universitas Sumatera Utara
86
Nama :
Umur : thn
Alamat :
No Telp/Hp :
Telah mendapat penjelasan mengenai risiko, manfaat dan efek samping dari
pemeriksaan yang akan dilakukan, maka saya dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan bersedia ikut berpartisipasi menjadi responden pada penelitian yang akan
dilakukan oleh dr. Azmeilia Syafitri L, Peserta Program Pendidikan Spesialis
Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Bila sewaktu-waktu saya ingin
mengundurkan diri, maka saya tidak akan dituntut apapun. Demikian pernyataan
ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari manapun.
Medan , 2020
86
Universitas Sumatera Utara
87
1. Hari ke -1 :
2. Hari ke-2 :
3. Hari ke –4 :
4. Hari ke – 7 :
5. Hari ke – 10 :
87
Universitas Sumatera Utara
88
88
Universitas Sumatera Utara
89
Lampiran 2
Kelompok Madu
Kelompok Plasebo
Kelompok Kontrol
89
Universitas Sumatera Utara
90
Lampiran 3
Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 18-25 16 66.7 66.7 66.7
26-30 4 16.7 16.7 83.3
>30 4 16.7 16.7 100.0
Total 24 100.0 100.0
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.
VAS1 Madu .221 8 .200* .938 8 .592
Plasebo .250 8 .150 .860 8 .120
Kontrol .399 8 .000 .777 8 .016
VAS2 Madu .287 8 .052 .809 8 .036
Plasebo .220 8 .200* .917 8 .408
Kontrol .228 8 .200* .835 8 .067
VAS4 Madu .300 8 .032 .872 8 .156
Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
Kontrol .361 8 .003 .826 8 .054
VAS7 Madu .250 8 .150 .860 8 .120
Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
Kontrol .371 8 .002 .724 8 .004
VAS10 Madu .327 8 .012 .810 8 .037
Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
Kontrol .327 8 .012 .810 8 .037
Analgetik1 Madu .228 8 .200* .835 8 .067
Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
Kontrol .391 8 .001 .641 8 .000
Analgetik2 Madu .284 8 .057 .906 8 .324
Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Kontrol .325 8 .013 .665 8 .001
Analgetik4 Madu .300 8 .033 .798 8 .027
Plasebo .325 8 .013 .665 8 .001
Kontrol .455 8 .000 .566 8 .000
90
Universitas Sumatera Utara
91
Descriptives
VAS4
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Madu 8 3.13 .991 .350 2.30 3.95 2 5
Plasebo 8 4.75 .707 .250 4.16 5.34 4 6
Kontrol 8 5.75 .886 .313 5.01 6.49 4 7
Total 24 4.54 1.382 .282 3.96 5.13 2 7
ANOVA
VAS4
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 28.083 2 14.042 18.575 .000
Within Groups 15.875 21 .756
Total 43.958 23
Multiple Comparisons
Dependent Variable: VAS4
Bonferroni
Mean Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Madu Plasebo -1.625* .435 .004 -2.76 -.49
Kontrol -2.625* .435 .000 -3.76 -1.49
Plasebo Madu 1.625* .435 .004 .49 2.76
Kontrol -1.000 .435 .095 -2.13 .13
Kontrol Madu 2.625* .435 .000 1.49 3.76
Plasebo 1.000 .435 .095 -.13 2.13
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
91
Universitas Sumatera Utara
92
Test Statisticsa,b
VAS VAS1 Analgetik Analgetik Analgetik Analgetik Analgetik1
1 VAS2 VAS7 0 1 2 4 7 0
Chi- 6.75 11.77 14.67 14.94 4.202 7.185 13.717 11.913 5.339
Squar 1 0 3 5
e
df 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Asymp .034 .003 .001 .001 .122 .028 .001 .003 .069
. Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
Test Statisticsa
VAS1 VAS4 VAS7 VAS10
Mann-Whitney U 14.000 6.500 9.000 5.500
Wilcoxon W 50.000 42.500 45.000 41.500
Z -1.941 -2.763 -2.516 -2.915
Asymp. Sig. (2-tailed) .052 .006 .012 .004
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065b .005b .015b .003b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
VAS1 Madu 8 6.25 50.00
Plasebo 8 10.75 86.00
92
Universitas Sumatera Utara
93
Total 16
VAS7 Madu 8 5.63 45.00
Plasebo 8 11.38 91.00
Total 16
VAS10 Madu 8 5.19 41.50
Plasebo 8 11.81 94.50
Total 16
VAS2 Madu 8 5.81 46.50
Plasebo 8 11.19 89.50
Total 16
Test Statisticsa
VAS1 VAS7 VAS10 VAS2
Mann-Whitney U 14.000 9.000 5.500 10.500
Wilcoxon W 50.000 45.000 41.500 46.500
Z -1.941 -2.516 -2.915 -2.302
Asymp. Sig. (2-tailed) .052 .012 .004 .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065b .015b .003b .021b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
VAS1 Madu 8 5.81 46.50
Kontrol 8 11.19 89.50
Total 16
VAS7 Madu 8 4.81 38.50
Kontrol 8 12.19 97.50
Total 16
VAS10 Madu 8 4.63 37.00
Kontrol 8 12.38 99.00
Total 16
VAS2 Madu 8 5.06 40.50
Kontrol 8 11.94 95.50
Total 16
93
Universitas Sumatera Utara
94
Test Statisticsa
VAS1 VAS7 VAS10 VAS2
Mann-Whitney U 10.500 2.500 1.000 4.500
Wilcoxon W 46.500 38.500 37.000 40.500
Z -2.333 -3.176 -3.369 -2.938
Asymp. Sig. (2-tailed) .020 .001 .001 .003
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .021b .001b .000b .002b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
VAS1 Plasebo 8 7.56 60.50
Kontrol 8 9.44 75.50
Total 16
VAS7 Plasebo 8 5.56 44.50
Kontrol 8 11.44 91.50
Total 16
VAS10 Plasebo 8 6.69 53.50
Kontrol 8 10.31 82.50
Total 16
VAS2 Plasebo 8 6.19 49.50
Kontrol 8 10.81 86.50
Total 16
Test Statisticsa
VAS1 VAS7 VAS10 VAS2
Mann-Whitney U 24.500 8.500 17.500 13.500
Wilcoxon W 60.500 44.500 53.500 49.500
Z -.849 -2.617 -1.677 -2.030
Asymp. Sig. (2-tailed) .396 .009 .094 .042
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .442b .010b .130b .050b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Analgetik1 Madu 8 7.06 56.50
94
Universitas Sumatera Utara
95
Test Statisticsa
Analgetik1 Analgetik2 Analgetik4 Analgetik7 Analgetik10
Mann-Whitney U 20.500 16.000 12.000 6.000 18.000
Wilcoxon W 56.500 52.000 48.000 42.000 54.000
Z -1.317 -1.789 -2.247 -2.888 -1.585
Asymp. Sig. (2-tailed) .188 .074 .025 .004 .113
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .234b .105b .038b .005b .161b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Analgetik1 Madu 8 6.44 51.50
Kontrol 8 10.56 84.50
Total 16
Analgetik2 Madu 8 5.75 46.00
Kontrol 8 11.25 90.00
Total 16
Analgetik4 Madu 8 4.88 39.00
Kontrol 8 12.13 97.00
Total 16
Analgetik7 Madu 8 5.13 41.00
95
Universitas Sumatera Utara
96
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
VAS1 24 5.75 1.391 3 9
VAS2 24 5.58 1.558 3 8
VAS7 24 3.29 1.301 1 5
VAS10 24 2.00 1.063 0 4
Analgetik1 24 3.29 .690 2 4
Analgetik2 24 3.00 .834 1 4
Analgetik4 24 2.46 .884 1 4
Analgetik7 24 1.79 .932 0 3
Analgetik10 24 1.00 .780 0 2
Kelompok 24 2.00 .834 1 3
Ranks
Kelompok N Mean Rank
VAS1 Plasebo 8 7.56
Kontrol 8 9.44
Total 16
VAS2 Plasebo 8 6.19
Kontrol 8 10.81
Total 16
VAS7 Plasebo 8 5.56
Kontrol 8 11.44
Total 16
VAS10 Plasebo 8 6.69
Kontrol 8 10.31
Total 16
Analgetik1 Plasebo 8 7.50
Kontrol 8 9.50
Total 16
Analgetik2 Plasebo 8 7.25
96
Universitas Sumatera Utara
97
Kontrol 8 9.75
Total 16
Analgetik4 Plasebo 8 6.00
Kontrol 8 11.00
Total 16
Analgetik7 Plasebo 8 7.63
Kontrol 8 9.38
Total 16
Analgetik10 Plasebo 8 7.81
Kontrol 8 9.19
Total 16
Test Statisticsa,b
VAS1 VAS2 VAS7 VAS10 Analgetik1 Analgetik2 Analgetik4 An
Chi-Square .721 4.120 6.846 2.811 .938 1.429 5.952
df 1 1 1 1 1 1 1
Asymp. Sig. .396 .042 .009 .094 .333 .232 .015
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Analgetik1 Plasebo 8 7.50 60.00
Kontrol 8 9.50 76.00
Total 16
Analgetik2 Plasebo 8 7.25 58.00
Kontrol 8 9.75 78.00
Total 16
Analgetik4 Plasebo 8 6.00 48.00
Kontrol 8 11.00 88.00
Total 16
Analgetik7 Plasebo 8 7.63 61.00
Kontrol 8 9.38 75.00
Total 16
Analgetik10 Plasebo 8 7.81 62.50
Kontrol 8 9.19 73.50
Total 16
97
Universitas Sumatera Utara
98
Test Statisticsa
Analgetik1 Analgetik2 Analgetik4 Analgetik7 Analgetik10
Mann-Whitney U 24.000 22.000 12.000 25.000 26.500
Wilcoxon W 60.000 58.000 48.000 61.000 62.500
Z -.968 -1.195 -2.440 -.810 -.623
Asymp. Sig. (2-tailed) .333 .232 .015 .418 .533
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .442b .328b .038b .505b .574b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
Descriptive Statistics
Percentiles
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
VAS1 8 4.75 1.282 3 7 4.00 4.50 5.75
VAS2 8 4.13 1.356 3 7 3.00 4.00 4.75
VAS4 8 3.13 .991 2 5 2.25 3.00 3.75
VAS7 8 2.00 1.069 1 4 1.00 2.00 2.75
VAS10 8 .88 .641 0 2 .25 1.00 1.00
Analgetik1 8 2.88 .835 2 4 2.00 3.00 3.75
Analgetik2 8 2.38 .916 1 4 2.00 2.00 3.00
Analgetik4 8 1.63 .744 1 3 1.00 1.50 2.00
Analgetik7 8 .88 .641 0 2 .25 1.00 1.00
Analgetik10 8 .50 .535 0 1 .00 .50 1.00
Test Statisticsa
N 8
Chi-Square 67.278
df 9
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test
Test Statisticsa
VAS2 VAS4 VAS7 VAS4 VAS7 VAS7
- - - VAS10 - - VAS10 - VAS10 VAS10
VAS1 VAS1 VAS1 - VAS1 VAS2 VAS2 - VAS2 VAS4 - VAS4 - VAS7
98
Universitas Sumatera Utara
99
Test Statisticsa
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik2 - tik4 - tik7 - ik10 - tik4 - tik7 - ik10 - tik7 - ik10 - ik10 -
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik1 tik1 tik1 ik1 tik2 tik2 ik2 tik4 ik4 ik7
Z - - - -2.598b - - -2.549b - -2.714b -1.732b
2.000b 2.640b 2.558b 2.121b 2.588b 2.449b
Asy .046 .008 .011 .009 .034 .010 .011 .014 .007 .083
mp.
Sig.
(2-
taile
d)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.
VAS1 Plasebo .250 8 .150 .860 8 .120
VAS2 Plasebo .220 8 .200* .917 8 .408
VAS4 Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
VAS7 Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
VAS10 Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
Analgetik1 Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
Analgetik2 Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Analgetik4 Plasebo .325 8 .013 .665 8 .001
Analgetik7 Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Analgetik10 Plasebo .228 8 .200* .835 8 .067
*. This is a lower bound of the true significance.
99
Universitas Sumatera Utara
100
Test Statisticsa
N 8
Chi-Square 65.819
df 9
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test
Test Statisticsa
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik2 - tik4 - tik7 - ik10 - tik4 - tik7 - ik10 - tik7 - ik10 - ik10 -
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik1 tik1 tik1 ik1 tik2 tik2 ik2 tik4 ik4 ik7
Z -.816b - - -2.539b - - -2.588b - -2.428b -2.271b
2.070b 2.456b 1.890b 2.530b 1.732b
Asy .414 .038 .014 .011 .059 .011 .010 .083 .015 .023
mp.
Sig.
(2-
taile
d)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Test Statisticsa
VAS2 VAS4 VAS7 VAS4 VAS7 VAS7
- - - VAS10 - - VAS10 - VAS10 VAS10
VAS1 VAS1 VAS1 - VAS1 VAS2 VAS2 - VAS2 VAS4 - VAS4 - VAS7
Z -.707b - - -2.555b - - -2.555b - -2.585b -2.714b
2.041b 2.552b 2.070b 2.555b 2.598b
Asymp. .480 .041 .011 .011 .038 .011 .011 .009 .010 .007
Sig. (2-
tailed)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Test Statisticsa
100
Universitas Sumatera Utara
101
Test Statisticsa
N 8 N 8
df 9 df 4
Test Statisticsa
N 8
Chi-Square 23.884
df 4
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test
Test Statisticsa
VAS2 VAS4 VAS7 VAS4 VAS7 VAS7
- - - VAS10 - - VAS10 - VAS10 VAS10
VAS1 VAS1 VAS1 - VAS1 VAS2 VAS2 - VAS2 VAS4 - VAS4 - VAS7
Z - - - -2.530c - - -2.558c - -2.565c -2.565c
1.134b 1.382c 2.555c 2.165c 2.565c 2.640c
Asymp. .257 .167 .011 .011 .030 .010 .011 .008 .010 .010
Sig. (2-
tailed)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
c. Based on positive ranks.
Test Statisticsa
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik2 - tik4 - tik7 - ik10 - tik4 - tik7 - ik10 - tik7 - ik10 - ik10 -
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik1 tik1 tik1 ik1 tik2 tik2 ik2 tik4 ik4 ik7
Z -.577b - - -2.539b -.816b - -2.555b - -2.549b -2.070b
1.342b 2.456b 2.041b 2.333b
Asy .564 .180 .014 .011 .414 .041 .011 .020 .011 .038
mp.
Sig.
(2-
taile
d)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
101
Universitas Sumatera Utara
102
Lampiran 4
102
Universitas Sumatera Utara
103
Lampiran 5
103
Universitas Sumatera Utara
104
Lampiran 6
PERSONALIA PENELITIAN
1. Peneliti Utama
Nama : dr. Azmeilia Syafitri Lubis
NIM : 167041096
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L
Waktu disediakan : 12 jam/ minggu
104
Universitas Sumatera Utara
105
105
Universitas Sumatera Utara
106
Lampiran 7
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
Nama : dr. Azmeilia Syafitri Lubis
Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 15 Mei 1991
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Abdul Hakim Komplek Classic 3 No.55B,
Medan
No. HP : 081233930019
Alamat Email : azmeilialubis@gmail.com
Instansi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Nama Orang tua : 1. Ayah : dr. H. Azwarto Lubis, Sp.B, FINACS
2 Ibu : Hj. Nurbaiti Piliang
Pendidikan Formal
1996 – 2002 : SD Negeri 028288 Binjai
2002 – 2005 : SMP Negeri 1 Binjai
2005 – 2008 : SMA Negeri 3 Binjai
2008 – 2014 : S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
2017 – Sekarang : S – 2 Magister Kedokteran Klinis dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis T.H.T.K.L
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Riwayat Pekerjaan : 2015 – 2016 Dokter Internship di RS PMI dan
Puskesmas Poasia Kendari, Sulawesi
Tenggara
2016 – 2017 Dokter Umum di RS Sari Mutiara
Keanggotaan Profesi :
1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tahun 2014 – Sekarang
106
Universitas Sumatera Utara
107
107
Universitas Sumatera Utara