Anda di halaman 1dari 124

EFEK PEMBERIAN MADU TERHADAP NYERI PASCA

TONSILEKTOMI

Tesis

Oleh

AZMEILIA SYAFITRI LUBIS


NIM 167041096

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


EFEK PEMBERIAN MADU TERHADAP NYERI PASCA
TONSILEKTOMI

TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat
untuk Mencapai Gelar Magister Kedokteran dalam Bidang Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala Leher

Oleh

AZMEILIA SYAFITRI LUBIS


NIM 167041096

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, saya panjatkan puji dan


syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat dan
karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul
“Efek Pemberian Madu terhadap Nyeri Pasca Tonsilektomi” sebagai salah
satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar
Magister Kedokteran Klinik, konsentrasi Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan telah selesainya tesis ini, maka dengan hati yang tulus dan
penuh rasa syukur, terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang
setinggi-tingginya saya ucapkan kepada:
Yang terhormat Dr. dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked (ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L (K) sebagai Ketua Pembimbing saya yang telah banyak
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dengan penuh
kesabaran dan perhatian, memperluas wawasan dan pengetahuan,
sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Yang terhormat Dr. dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.T.H.T.K.L(K), atas
kesediaannya menjadi Anggota Pembimbing yang telah memberikan
waktu, tenaga, pikiran untuk memotivasi dan memberikan pengarahan,
memperluas keilmuan serta memberikan dukungan moril, sehingga tesis ini
dapat terselesaikan dengan baik.
Terima kasih kepada para pembimbing yang telah banyak
memberikan kesempatan, dukungan dan selalu memotivasi secara terus-
menerus, tidak hanya pada bidang keilmuan, tapi pada semua aspek
kehidupan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya.
Yang terhormat Dr. dr. Taufik Ashar, MKM serta Prof. dr. Aznan
Lelo, PhD, Sp.FK sebagai Pembimbing Ahli yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan banyak bantuan, bimbingan dan masukan dalam bidang

Universitas Sumatera Utara


ii

metodologi penelitian dan statistik serta masukan lainnya demi


kesempurnaan tesis ini.
Yang terhormat para penguji saya, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir,
Sp.T.H.T.K.L(K) dan Dr. dr. Harry A. Asroel, M.Ked, Sp.T.H.T.K.L (K) yang
telah bersedia memberikan penilaian dan masukan demi kesempurnaan
tesis ini.
Yang terhormat supervisor Rumah Sakit jejaring khususnya dr. Darma
Malem, Sp.T.H.T.K.L, dr. Amran Simanjuntak Sp.T.H.T.K.L (K), dr.Rehulina
Surbakti, Sp.T.H.T.K.L, dr. Indriyadevi Indra, Sp.T.H.T.K.L, dr. Beresman
Sianipar, Sp.T.H.T.K.L dr. M. Taufiq Ishak, Sp.T.H.T.K.L dr. Zulkifli,
Sp.T.H.T.K.L serta dr. Dena yang telah berkenan membantu dalam proses
pengambilan sampel pada penelitian ini.
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan magister saya, pada
kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan
penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Magister Kedokteran Klinik, konsentrasi Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik, konsentrasi Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.
Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan dan memberikan kesempatan
kepada saya untuk belajar dan bekerja di lingkungan Rumah Sakit ini.
Yang terhormat Ketua Departemen Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof.
Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L. dan yang terhormat
Pelaksana tugas Ketua Program Studi Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Universitas Sumatera Utara


iii

dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dr. Adlin


Adnan, Sp.T.H.T.K.L(K) yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu
kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Magister, konsentrasi
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher di Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara sampai selesai.
Yang terhormat seluruh supervisor di jajaran Departemen Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Yuritna
Haryono, Sp.T.H.T.K.L(K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.T.H.T.K.L(K),
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Mangain
Hasibuan, Sp.T.H.T.K.L, , dr. Linda Irwani Adenin, Sp.T.H.T.K.L, dr. Adlin
Adnan, Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Rizalina Arwinati Asnir, Sp.T.H.T.K.L(K), FICS,
dr. Siti Nursiah, Sp.T.H.T.K.L(K), Dr. dr. Andrina Yunita Murni Rambe,
Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Harry Agustaf Asroel, M.Ked (ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L(K), Prof. Dr. dr. Farhat, M.ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L(K),
FICS, Prof. Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp.T.H.T.K.L (K), dr.
Aliandri, Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L (K), FICS, Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked(ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L(K), dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.T.H.T.K.L(K), dr.
Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.T.H.T.K.L (K), dr. Ramlan Sitompul,
Sp.T.H.T.K.L, dr. Indri Adriztina, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L, Dr. dr.
Yuliani Mardiati Lubis, Sp.T.H.T.K.L, dr. Vive Kananda, Sp.T.H.T.K.L , dr.
M. Arfiza Putra S, Sp.T.H.T.K.L dan dr. Lia Restimulia, Sp.T.H.T.K.L
beserta yang terhormat seluruh supervisor rumah sakit jejaring yang telah
membantu serta banyak memberikan bimbingan dalam ilmu dan
pengetahuan, baik secara teori maupun keterampilan, yang kiranya sangat
bermanfaat bagi saya dikemudian hari kelak.
Sembah sujud, terima kasih dan hormat tidak terhingga serta cinta
yang tak terukur saya kepada kedua orang tua Ayahanda dr. H. Azwarto
Lubis, Sp.B dan Ibunda Hj. Nurbaiti AR Piliang yang dengan penuh kasih
sayang membesarkan dan dengan penuh perjuangan memberikan

Universitas Sumatera Utara


iv

pendidikan serta senantiasa memanjatkan doa yang tulus bagi


keberhasilan saya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka.
Yang terhormat kedua mertua saya Ir. Mahyuddin dan Heriyani
yang telah mendoakan serta memberikan dorongan semangat kepada saya
sehingga pendidikan ini dapat selesai.
Kepada suami tercinta Kurniawan Pratama, ST tiada kata yang
lebih indah yang dapat diucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-
tulusnya atas pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih sayang, kesabaran,
ketabahan, pengertian, dorongan moril maupun materil, dorongan
semangat serta doa yang tiada henti-hentinya dipanjatkan selama penulis
menjalani masa pendidikan. Yang tercinta Ananda Sheza Shaqueena yang
menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini hingga
akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.
Kepada adinda Nurul Khairunnisa dan Hanifa Syaviqa, ipar saya
Runni, Farid, dan Dani. Saya mengucapkan terima kasih atas limpahan
kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa.
Terima kasih pada teman-teman terbaik, keluarga disaat senang
dan susah, serta berjuang bersama dalam mencapai cita-cita, dr. Disya, dr.
Maya, dr. Diana, dr. Indah, dr. Vidya, dr. Rizky Amalia, dr. Nico dan seluruh
teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, terima kasih atas kebersamaan, persahabatan, bantuan, nasihat,
saran dan Kerjasama selama masa pendidikan. Tak lupa saya ucapkan
terima kasih kepada dr. Ismaily Fasyah, M.Ked (ORL-HNS), SP.T.H.T.K.L,
dr. M. Fiza Fadly, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L dr. M. Budi Caecarian,
M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L, dr Sari Anggraini, M.Ked (ORL-HNS),
Sp.T.H.T.K.L dan,dr. Daniel Ginting, M.Ked (ORL-HNS), Sp.T.H.T.K.L yang
telah memberikan masukan serta arahan dalam proses pembuatan tesis
ini.

Universitas Sumatera Utara


v

Terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu,


baik langsung maupun tidak langsung, handai taulan dan para sejawat
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, hanya Allah Subhanahu Wa
Ta’ala yang mampu memberikan balasan terbaik.
Akhir kata, izinkanlah penulis memohon maaf yang setulus – tulusnya
atas segala kesalahan dan kekurangan penulis selama mengikuti
pendidikan ini. Semoga tesis ini dapat memberi sumbangan yang berharga
bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang
banyak. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberi rahmat
dan hidayahNya kepada kita semua. Aamiin ya rabbal ‘alamin. Wabillahi
taufiq walhidayah, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Medan, Maret 2021


Penulis

Azmeilia Syafitri Lubis

Universitas Sumatera Utara


vi

ABSTRAK
Latar Belakang: Penderita tonsilitis kronis/ berulang sebagian besar
menjalani tonsilektomi. Nyeri tenggorok pasca operasi merupakan salah
satu masalah utama yang sering dijumpai setelah tonsilektomi. Nyeri berat
dapat mengarahkan asupan oral yang buruk dan dehidrasi, sehingga
mnyebabkan morbiditas dan keterlambatan penyembuhan. Madu diketahui
memiliki efek yang bermanfaat terhadap penyembuhan luka. Telah
diobservasi melalui studi klinis dan eksperimental bahwa madu selain
mencegah infeksi, tetapi juga mengurangi inflamasi dan mempercepat
proses penyembuhan jaringan serta epitelisasi, sehingga dapat membantu
mengurangi nyeri.
Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui efek madu terhadap nyeri pasca
tonsilektomi
Metode Penelitian: Penelitian analitik dengan rancangan eksperimental,
jumlah sampel sebanyak 24 orang pasien yang menjalani tonsilektomi dan
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok madu, plasebo dan kelompok
kontrol. Obat – obatan analgesia dan antibiotik standar diberikan pada
seluruh pasien, tambahan madu pada kelompok madu atau plasebo pada
kelompok plasebo. Madu atau plasebo digunakan dengan berkumur 6 jam
setelah operasi dan setiap 6 jam selama 10 hari. Nyeri dinilai selama 10
hari dengan menggunakan kuesioner Visual Analogue Scale dan
pencatatan frekuensi penggunaan analgetik.
Hasil: Madu secara signifikan memiliki efek menurunkan nyeri yang lebih
baik jika dibandingkan dengan kelompok plasebo dan kontrol dengan nilai
p <0,005 pada hari ke-1, 2, 4, 7, dan 10. Madu signifikan menurunkan
frekuensi penggunaan analgetik pada hari ke-2, 4, dan 7 bila dibandingkan
dengan kelompok plasebo dan kontrol dengan nilai p <0,005.
Kesimpulan: Madu signifikan menurunkan skala nyeri (p <0,005) dan
frekuensi penggunaan analgetik (p <0,005) pada pasien pasca
tonsilektomi.
Kata Kunci: Tonsilektomi, Madu, Nyeri, Analgetik

Universitas Sumatera Utara


vii

ABSTRACT
Background: Most of chronic/ recurrent tonsillitis sufferers undergo
tonsillectomy procedure. Postoperative pain is one of the most commonly
encountered problems following tonsillectomy. Severe pain may lead to
poor oral intake and dehydration, causing morbidity and delayed recovery.
Honey has been known to have beneficial effects on wound healing. It has
been observed in clinical and experimental studies that honey not only
prevents infections, but also decreases inflammation and provides more
rapid tissue healing and epithelization, so that it can help reduce pain.

Objective: The aim of this study was to evaluate the effects of honey on the
incidence of postoperative pain in patients undergoing tonsillectomy

Methods: An analytical study with experimental study design, the number


of samples was 24 patients undergoing tonsillectomy and divided into three
groups which is honey group, placebo group and control group.
Standardized postoperative usual analgesic and antibiotic regimen were
administrated for all patients, plus honey for honey group or plus placebo
for placebo group. Honey or placebo were used by gargling after six hours
postoperative and every six hours for 10 days. Pain was assessed for 10
days using the Visual Analogue Scale questionnaire and the frequency of
analgesic drugs was recorded.

Result: Honey was significantly had better effects for pain reduction when
compared to the placebo and control groups with p value <0,005 on days 1,
2, 4, 7 and 10. Honey also significantly decreased the frequency of
analgesic use on days 2, 4 and 7 when compared with the placebo and
control groups with p value <0,005.

Conclusion: Honey was significantly reducing pain scale (p <0,005) and


analgesic requirements (p<0,005) in patients after tonsillectomy.

Keywords: Tonsillectomy, Honey, Pain, Analgetic

Universitas Sumatera Utara


viii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
ABSTRAK……………………………………………………………. vi
ABSTRACT…………………………………………………………. vii
DAFTAR ISI…………………………………………………………... viii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………... xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………… xii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………………. xii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang Masalah……………………….……… 1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………. 4
1.3. Tujuan Penelitian………………………………………. 4
1.3.1. Tujuan Umum…………………………………. 4
1.3.2. Tujuan Khusus………………………………… 5
1.4. Manfaat Penelitian………………………………………. 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………… ………….. 6
2.1. Anatomi Tonsil Palatina………………………………… 6
2.1.1. Perdarahan……………………………………. 7
2.1.2. Aliran Getah Bening…………………………… 8
2.1.3. Persarafan……………………………………… 9
2.1.4 Fungsi Tonsil…………………………………… 9
2.2. Tonsilitis………………………………………………… 10
2.2.1. Tonsilitis Akut………………………………… 10
2.2.2. Tonsilitis Kronis………………………………… 12
A. Defenisi………………………………………… 11
B. Etiologi…………………………………………. 12
C. Patogenesis…………………………………… 13
D. Gejala dan Tanda Klinis……………………… 14
E. Pemeriksaan Penunjang……………………… 16
F. Penatalaksanaan……………………………… 16
G. Komplikasi……………………………………… 17

Universitas Sumatera Utara


ix

2.3. Tonsilektomi………………………………………………. 19
2.3.1. Epidemiologi Tonsilektomi……………………. 20
2.3.2. Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi…… 21
2.3.3. Prosedur Tonsilektomi………………………… 26
2.3.4. Komplikasi Pasca Tonsilektomi………………… 31
2.3.5. Perawatan Pasca Tonsilektomi……………… 33
2.4. Nyeri Pasca Tonsilektomi…………………………….... 33
2.4.1. Mekanisme Nyeri……………………………… 34
2.4.2. Pengukuran Nyeri……………………………. 36
2.5. Madu……………………………………………............ 37
2.5.1. Komposisi Madu……………………………… 38
2.5.2. Manfaat Madu terhadap Luka………………. 41
2.6. Kerangka Teori…………………………………………. 47
2.7. Kerangka Konsep………………………………………. 48
2.8. Hipotesis…………………………………………………. 48
BAB 3 METODE PENELITIAN……………………………………... 49
3.1. Jenis Penelitian…………………………………………... 49
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian……………………… 49
3.3. Kriteria Inklusi…………………………………………… 49
3.4. Kriteria Ekslusi……………………………….…………. 50
3.5. Perkiraan Besar Sampel………………………………. 50
3.6. Tempat dan Waktu Penelitian…………………………. 51
3.7. Variabel Penelitian……………………………………… 51
3.8. Definisi Operasional……………………………………. 51
3.9. Alat dan Bahan Penelitian……………………………… 52
3.10. Prosedur Penelitian……………………………………. 53
3.11. Kerangka Operasional………………………………… 55
3.12. Jadwal Penelitian………………………………………. 56
BAB 4 HASIL PENELITIAN…………………………………………. 57
4.1. Karakteristik Subjek Penelitian………………………… 57
4.2. Perbandingan Skala Nyeri dan Frekuensi Penggunaan

Universitas Sumatera Utara


x

Analgetik Pasca Tonsilektomi………………………… 57


4.2.1. Efek terhadap Skala Nyeri……………………… 61
4.2.2. Efek terhadap Frekuensi Analgetik…………… 63
BAB 5 PEMBAHASAN………………………………………………. 67
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………… 72
6.1. Kesimpulan……………………………………………… 72
6.2. Saran………………………………………………… 72
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………… 73
LAMPIRAN………………………………………………………. 83

Universitas Sumatera Utara


xi

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman
2.1. Anatomi tonsil palatina tampak dari orofaring………. 6
2.2. Aliran pembuluh darah tonsil…………………………. 8
2.3. Derajat Pembesaran Tonsil…………………………... 15
2.4. Teknik Tonsilektomi Guillotine………………………… 27
2.5. Teknik Tonsilektomi secara diseksi……………………. 28
2.6. Mekanisme nyeri………………………………………… 35
2.7. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana…………… 37
2.8. Kerangka Teori…………………………………………… 47
2.9. Kerangka Konsep………………………….……………... 48
3.1. Visual Analogue Scale……….…………………………... 52
3.2. Kerangka Operasional…………………………………… 55

4.1. Grafik Perbandingan Skala Nyeri antara Kelompok Madu,


Plasebo dan Kontrol………………………………………… 59
4.2. Grafik Perbandingan Frekuensi Penggunaan Analgetik
antara Kelompok Madu, Plasebo dan Kontrol………….. 60

Universitas Sumatera Utara


xii

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman
2.1. Indikasi tonsilektomi dari beberapa sumber…………… 22
2.2. Kandungan zat pada madu randu…………………………. 40
2.3. Mutu madu berdasarkan SNI-01-3545-2013…………. 41
2.4. Efek madu terhadap penyembuhan luka…………….. 42
3.1. Jadwal Penelitian………………………………………… 56
4.1. Distribusi Pasien berdasarkan Usia……………………. 57
4.2. Perbandingan Skala Nyeri Hari ke- 1, 2, 4, 7, dan 10
pada Kelompok Madu, Plasebo dan Kontrol…………… 58
4.3. Perbandingan frekuensi penggunaan analgetik Hari
ke- 1, 2, 4, 7, dan 10 pada Kelompok Madu, Plasebo
dan Kontrol………………………………………………… 59
4.4. Efek madu terhadap skala nyeri…………………………. 61
4.5. Efek plasebo terhadap skala nyeri………………………. 62
4.6 Kelompok kontrol terhadap skala nyeri…………………. 63
4.7. Efek madu terhadap frekuensi penggunaan analgetik… 64
4.8. Efek plasebo terhadap frekuensi penggunaan analgetik. 65
4.9. Kelompok kontrol terhadap frekuensi penggunaan
analgetik……………………………………………………. 66

Universitas Sumatera Utara


xiii

DAFTAR SINGKATAN

AGEs : Advanced Glycation End-product


APC : Antigen Presenting Cell
BPOM : Badan Pengawasan Obat-obatan dan Makanan
CO2 : Karbon Dioksida
DM : Diabetes Mellitus
GABA : Grup A Streptokokus Beta-Hemolitikus
HMF : Hidroksimetilfurfural
PTP : Potassium Titanyl Phospate
LTA : Laser Tonsil Ablation
MG : Methylgloxal
MIC : Minimum Inhibitory Concentration
MMP : Matrix Metallopeptidase
NPWT : Negative Pressure Wound Therapy
PAI : Plasminogen Activator Inhibitor
TNF : Tumor Necrosis Factor
RCT : Randomized Controlled Trial
ROS : Reactive Oxygen Species
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
THT : Telinga Hidung Tenggorokan
THTKL : Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher
VAS : Visual Analogue Scale
WBFS : Wong Baker Face Pain Rating Scale
WHO : World Health Organization

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Tonsil merupakan bagian sistem imunitas yang paling penting pada
saluran napas atas. Tonsilitis didefinisikan sebagai infeksi pada tonsil
disertai dengan nyeri atau rasa sangkut menelan, dapat disertai demam,
pembesaran tonsil dengan atau tanpa pembesaran kelenjar leher. Penyakit
ini paling sering dijumpai oleh dokter spesialis Telinga, Hidung dan
Tenggorokan (Bailey, 2014; Somuk, 2015).
Tonsilitis kronis menempati peringkat kedua tertinggi untuk
penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Indonesia. Secara global,
tonsilitis yang menjadi masalah kesehatan adalah tonsilitis kronis yang
dapat menyebabkan obstruksi saat tidur dengan hipoksia ringan sampai
berat. Hal ini disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas yang tidak
mendapatkan terapi yang adekuat (Fakh et al, 2016; Nizar et al, 2016;
Novialdi & Pulungan, 2012).
Sebanyak 40 juta orang berobat ke dokter dengan diagnosa tonsilitis
berulang/ kronis di Amerika Serikat setiap tahunnya dan hampir sebagian
besar diindikasikan tonsilektomi (Khan, 2012). Berdasarkan data dari
Departemen Kesehatan RI tahun 2012, angka kejadian penyakit tonsilitis di
Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di
tujuh provinsi di Indonesia pada tahun 1994 – 1996 prevalensi tonsillitis
kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah faringitis akut (Sembiring,
2013).
Terapi yang sering dilakukan pada tonsilitis kronis adalah tindakan
operasi pengangkatan tonsil atau tonsilektomi yang dilakukan dalam
kondisi anastesi umum untuk mengangkat tonsil palatina secara
keseluruhan termasuk kapsulnya dengan cara diseksi ruang peritonsilar
antara kapsul tonsil dan dinding muskuler (Mohebbi, 2014; Tanjung &
Imanto, 2016). WHO memperkirakan sebanyak 287.000 anak berusia di

Universitas Sumatera Utara


2

bawah 15 tahun mengalami tonsilektomi (operasi tonsil) dengan atau


tanpa adenoidektomi dan sebanyak 248.000 anak (86,4%) mengalami
tonsiloadenoidektomi serta 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi
saja (Nadhilla & Sari, 2016).
Meskipun banyak keuntungan dari tonsilektomi, tetapi perlu juga
diperhatikan komplikasi dari operasi seperti nyeri pada tenggorok,
perdarahan, insufisiensi velofaringeal, sumbatan jalan nafas, stenosis
nasofaring, aspirasi, otalgia dan perubahan suara serta kematian walaupun
jarang terjadi (Baugh et al., 2011; Mohebbi, 2014). Meskipun teknik
pembedahan dan anestesi semakin berkembang, namun rasa sakit yang
tidak teratasi dengan baik menjadi penyulit konsumsi air dan makanan
sehingga menyebabkan dehidrasi dan meningkatnya morbiditas, maka
proses pemulihan juga tertunda (Salonen, 2002; Shehri, 2017).
Pengendalian nyeri pasca operasi tonsilektomi adalah tugas yang
menantang. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk manajemen nyeri
tetapi tidak banyak keberhasilan tercapai (Dhiwakar, 2005). Berdasarkan
penelitian, antibiotik saja tidak cukup efektif untuk mengatasi nyeri, bahkan
dengan tambahan analgesik dan steroid tidak mengurangi nyeri secara
cepat dan signifikan (Shnayder, 2020).
Madu telah digunakan sejak zaman kuno untuk pengobatan
beberapa penyakit. Sejumlah besar studi telah dilakukan dan menjelaskan
berbagai sifat yang ditemukan dalam madu yaitu sebagai antioksidan, anti-
inflamasi, antibakteri, anti-virus, anti-ulcerogenic, anti hepatotoksik, anti-
alergi dan aktivitas penurun lipid (Aliadi,2010; Kassim 2010). Bahkan
khasiat madu ini juga dipaparkan di dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam
surat an-Nahl (lebah) ayat 68-69 Allah SWT berfirman: ''Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah:''Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di
pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia. Dari perut
lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya, pada yang demikian terdapat tanda-tanda kebesaran

Universitas Sumatera Utara


3

Tuhan bagi mereka yang memikirkan”. Selain Rasulullah Muhammad SAW


juga menegaskan khasiat madu tersebut dalam hadits yang diriwayatkan
Bukhari: ''Madu adalah penyembuh bagi semua jenis sakit dan Alquran
adalah penyembuh bagi semua kekusutan pikiran (sakit pikiran). Maka aku
sarankan bagimu kedua penyembuh tersebut, Alquran dan madu.''.
Peran madu dalam penyembuhan luka telah diteliti sejak lama. Hasil
studi menunjukkan bahwa madu efektif untuk mengatasi luka antara lain
ulkus pada kaki, ulkus karena tekanan, luka bakar, luka operasi,
gangren/nekrotik, dan luka kanker (White & Molan, 2005; Molan, 2006;
White & Acton, 2006; Emsen, 2007; Gethin & Cowman, 2008 dalam Acton
& Dunwoody, 2008). Diketahui juga bahwa madu efektif terhadap berbagai
macam tipe bakteri (Kamaruddin, 2012; Molan, 2016).
Beberapa penelitian telah dilakukan antara lain Molan (1998);
Mattew & Binnington (2002); Molan (2011); Al-Waili, Salom, & Al-Ghamdi
(2011); Acton & Dunwoody (2008); Rooster, Declereq, & Bogaert (2008),
bahwa madu memiliki efektifitas yang baik pada penyembuhan luka ditandai
dengan luka menjadi lebih bersih, tanda-tanda infeksi menghilang,
inflamasi, bengkak, dan nyeri cepat berkurang, bau berkurang, eksudat dan
jaringan nekrotik berkurang, granulasi dan epitelisasi meningkat serta
penyembuhan luka minimal skar/jaringan parut. Terdapat juga beberapa
penelitian yang meneliti manfaat madu terhadap luka pasca operasi
tonsilektomi seperti yang dilakukan oleh Ozlugedik (2006), Letchumanan et
al (2013); Boroumand et al (2013);Lazim et al (2013); Hwang et al (2014);
Mohebbi et al (2014; Putu E.P Kefani (2016); Avtar Lal (2016); Nanda, Mittal
& Gupta (2016), Al Shehri et al (2017); Tufecki & Gulbetein (2017); Saikaly
& Khachemoune (2017); Theresa Tarakhan (2018); Hosnien (2020) serta
Katharina Geissler et al (2020), mengemukakan bahwa madu memiliki efek
yang bermanfaat pada luka pasca tonsilektomi, yakni mengurangi nyeri
serta mempercepat proses epitelisasi. Menurut Ozlugedik et al (2006),
sebanyak 22% pasien dengan pemberian madu dan acetaminophen tidak
mengkonsumsi obat pereda nyeri tambahan lain di hari pasca operasi,

Universitas Sumatera Utara


4

sedangkan pada pasien yang tidak diberi madu, terdapat 0% yang tidak
mengkonsumsi obat pereda nyeri tambahan, yakni secara keseluruhan
mendapatkan analgetik tambahan selain acetaminophen pada pasien yang
tidak diberikan terapi madu. Kemudian, menurut Mohebbi (2014), madu
terbukti secara signifikan dapat mengurangi nyeri dimana jika dibandingkan
pada kelompok percobaan nyeri pasca operasi menghilang dalam waktu 5
– 6 hari, sedangkan pada kelompok kontrol nyeri pasca operasi baru
menghilang selama 7-8 hari. Selain itu, menurut Lazim (2013), luka post
tonsilektomi secara signifikan lebih cepat mengalami proses epitelisasi
pada pemberian madu (p Value <0.001).
Cedera mekanis dan termal dapat terjadi pada fosa tonsil selama
tonsilektomi,dan pasca operasi lokasi ini menyisakan luka terbuka, oleh
karena itu pasien mengeluhkan nyeri tenggorok, khususnya saat menelan
(Letchumanan, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek
analgetik pada pemberian madu terhadap luka pasca operasi tonsilektomi
yakni dengan pemberian madu kumur terhadap pasien pasca operasi
tonsilektomi.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian
yaitu bagaimana efek madu terhadap nyeri pasca operasi tonsilektomi
dengan pemberian madu kemudian dibandingkan dengan kelompok kontrol
dan kelompok plasebo.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek madu terhadap
nyeri pasca tonsilektomi.

Universitas Sumatera Utara


5

1.3.2. Tujuan Khusus


- Mengetahui efektivitas madu terhadap nyeri pasca tonsilektomi
- Mengetahui perbandingan skala nyeri pada masing – masing
kelompok penelitian
- Mengetahui perbandingan frekuensi penggunaan obat analgesia
pada masing – masing kelompok penelitian

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini memiliki manfaat:
1. Sebagai rujukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan
pemberian madu sebagai analgesia khususnya pasca tonsilektomi.
2. Sebagai bahan pertimbangan untuk penyempurnaan terapi
tambahan pasca tonsilektomi dalam meningkatkan kualitas
kesehatan masyarakat pada umumnya.
3. Memberikan masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang
aplikatif terhadap pengobatan dengan madu, khususnya terhadap
pasca operasi tonsilektomi.
4. Memberikan informasi bagi seluruh tenaga kesehatan terkait
manajemen pasca operasi tonsilektomi atau luka lainnya dengan
madu.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tonsil Palatina


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di
faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil
lingual, dan tonsil tubal (Berkovitz, 2018).
Tonsil palatina adalah struktur yang berpasangan yang merupakan
suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dinding lateral orofaring,
berada dalam fosa tonsilaris dan berada diantara pilar anterior dan pilar
posterior. Tonsil berada dibagian anterior-inferior jaringan limfoid cincin
Waldeyer (Discolo et al, 2003; Berkovitz, 2018). Tonsil palatina mempunyai
dua permukaan yaitu medial dan lateral, serta dua kutub yaitu atas dan
bawah. Permukaan medial tonsil ditutupi oleh non-keratinizing stratified
squamous epithelium dan terdapat kripta. Pada permukaan lateral tonsil
terdiri dari kapsul fibrosa, diantara kapsul dan tonsilar bed terdapat jaringan
ikat longgar yang membuat menjadi mudah pada saat tonsilektomi. Tonsil
mendapat persarafan sensorik dari ganglion sphenopalatina dan nervus
glossopharingeus (Dhingra, 2018).

Gambar 2.1. Anatomi tonsil palatina tampak dari orofaring (Pearson, 2013)

6
Universitas Sumatera Utara
7

Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.


Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medialnya terdapat kripta (Amaruddin, 2007).

Ukuran tonsil sangat bervariasi dan pada usia pubertas besar


diameter transversal tonsil sekitar 10-15 mm dengan diameter vertikal
sekitar 20-25 mm. Tonsil mulai atrofi pada masa pubertas sehingga pada
usia tua ukuran tonsil menjadi kecil (Berkovitz, 2018). Kripta tonsil
berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan
parenkim tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah dan kebanyakan terjadi
penyatuan beberapa kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang
sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Secara klinik, kripta dapat
merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi
sisa makanan, epitel yang terlepas dan kuman (Amarudin, 2007).

Tonsil terletak di lateral orofaring. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh


fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa
supratonsilar. Tonsil palatina dibatasi oleh (Bailey, 2014; HTA, 2013):
• Lateral – m. konstriktor faring superior
• Anterior – m. palatoglosus
• Posterior – m. palatofaringeus
• Superior – palatum mole
• Inferior – tonsil lingual

Tonsil palatina terdiri dari (Hasibuan, 2004):


• Korteks: Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat
pembentukan limfosit, plasma sel.
• Medula: Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka
penyokong tonsil & dengan kripta.

2.1.1. Perdarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis
eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan

Universitas Sumatera Utara


8

cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris


interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis
dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub
bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah
tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh
arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran
balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus
faringeal. (Dhingra, 2018; HTA, 2013)

Gambar 2.2. Aliran pembuluh darah tonsil (Dhingra, 2018)

2.1.2. Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya
menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening

Universitas Sumatera Utara


9

eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Dhingra, 2018;
HTA, 2013).

2.1.3. Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus (Bailey,
2014).

2.1.4. Fungsi Tonsil


Seperti kelenjar limfoid cincin Waldeyer lainnya, tonsil palatina
berperan sebagai pelindung dan bertindak sebagai sentinel aliran udara
dan saluran makanan. Kripta di tonsil memperluas area permukaan untuk
kontak dengan bahan-bahan asing. Tonsil membesar saat anak-anak dan
berangsur-angsur mengecil saat mendekati pubertas (Dhingra, 2018).
Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya
infeksi. Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh
tubuh dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung,
dan kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami
peradangan. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan
virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga
menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk melawan
infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan
patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu
melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi
yaitu tonsilitis (Amarudin & Christanto, 2007).
Sebagian besar tonsil adalah organ ß sel dengan ß limfosit yang
terdiri 50%-65% dari semua limfosit tonsil. Sel limfosit T terdiri dari sekitar
40% dari limfosit tonsil dan 3% adalah sel plasma matang. Tonsil terlibat
dalam menginduksi kekebalan dan mengatur sekresi immunoglobulin.
Tonsil yang baik berfungsi untuk kekebalan saluran aerodigestif. Selain itu,
terdapat 10 sampai 30 kriptus dalam setiap tonsil yang ideal untuk

Universitas Sumatera Utara


10

mencegah benda asing dan membawanya ke folikel limfoid.


Perkembangbiakan sel ß di pusat germinal tonsil sebagai respon terhadap
sinyal antigenik adalah salah satu fungsi tonsil penting. Kekebalan tonsil
aktif aktif antara usia 4 sampai 10 tahun. Involusi tonsil dimulai setelah
pubertas, sehingga penurunan populasi sel ß dan peningkatan relatif.
Meskipun produksi imunoglobulin secara keseluruhan berkurang, tetapi
masih ada cukup besar aktivitas sel ß jika dilihat dari kondisi klinis tonsil
yang sehat (Campisi, 2003).

2.2. Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa
yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina (tonsil faucial), tonsil lingual (tosil pangkal lidah), dan tonsil tuba
eustachius (lateral band dinding faring) (Soepardi et al., 2009).

2.2.1. Tonsilitis Akut


Tonsilitis akut didefenisikan sebagai infeksi pada tonsil yang disertai
dengan nyeri menelan, demam dan nyeri pada telinga. Dari pemeriksaan
didapati tonsil membesar, hiperemis, eksudat dan terkadang dijumpai
pembesaran kelenjar leher. Biasanya tonsillitis akut sembuh sendiri selama
10-14 hari.
Menurut Soepardi et al (2009) tonsilitis akut dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Tonsilitis viral
Virus berperan penting sebagai pencetus inflamasi mukosa,
obstruksi kripta, dan ulkus yang menjadi infeksi bakteri. Gejala klinis
tonsilofaringitis virus sama dengan infeksi bakteri, tetapi sering dengan
gejala yang lebih ringan, seperti nyeri menelan, nyeri telinga, sakit kepala
dan demam. Sering dijumpai tonsil hiperemis dan membesar dengan atau
tanpa eksudat. Virus penyebab sama dengan infeksi saluran pernapasan
atas lainnya: rhinovirus, coronavirus, adenovirus, herpes simpleks,

Universitas Sumatera Utara


11

parainfluenza, Epstein-Barr dan citomegalovirus (Jeyakumar, 2014).


Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-
luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien
(Soepardi, 2009).
2) Tonsilitis bakterial
Radang akut tonsil yang dapat disebabkan oleh kuman grup A
streptokokus, β hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat,
pneumokokus, streptokokus viridan, streptokokus piogenes. Infiltrasi
bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang
berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis.
Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur - alur maka
akan terjadi tonsilitis lakunaris.
Tanda dan gejala tonsilitis akut yaitu seperti demam mendadak, nyeri
tenggorokan, ngorok, dan kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan
menurut Mansjoer (2000) adalah suhu tubuh naik sampai 40ºC, rasa gatal
atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia (nyeri menelan),
anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena suara akan menjadi
serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil membengkak,
dan hiperemis.
Terapi pengobatan pada tonsilitis ini adalah antibiotik golongan
penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau obat isap
dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau klidomisin.
Dapat pula menggunakan antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi
sekunder, kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat
simptomatik
(Mansjoer, 2001).

Universitas Sumatera Utara


12

2.2.2. Tonsilitis Kronis


A. Definisi
Tonsilitis Kronis merupakaan penyakit peradangan kronik pada tonsil
yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi
subklinis dari tonsil (Farokah, 2003).
Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan
histologik pada tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh
dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel – sel radang (Rivai L.
dalam Boedi Siswantoro, 2003).

B. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau
kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Organisme
patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang
lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).
Bakteri penyebab tonsilitis kronik pada umumnya sama dengan
tonsilitis akut, yang tersering adalah kuman gram positif (Farokah, 2003).
Beberapa penelitian terdahulu mendapatkan kuman grup A Beta
Haemolytic Streptococcus adalah kuman penyebab tonsilitis kronik yang
paling sering, tetapi sekarang ini telah terjadi pergeseran pola kuman
dimana bakteri aerob dan anaerob banyak diteliti sebagai penyebab
tonsilitis kronik (Bista, 2006). Bakteri anaerob merupakan bagian flora
normal di faring dan dapat menjadi patogen seperti bakteri patogen
potensial lainnya. Beberapa bakteri anaerob dapat ditemukan dalam inti
tonsil seperti Bacteroides fragilis, Fusobacterium spp, Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium dan Actinomyces spp (Brook 2005).
Penelitian Abdulrachman et al. (2008) di Mesir mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphylococcus aureus, Group A Beta
Haemolytic Streptococcus, Escherichia coli dan Klebsiella. Hammouda et

Universitas Sumatera Utara


13

al. (2009) juga mendapatkan kuman Staphylococcus aureus terbanyak


ditemukan pada tonsil penderita tonsilitis kronik, diikuti Haemophilus
influenza, Grup A Streptococcus beta hemoliticus, Streptococcus
pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae. Dari hasil penelitian Suyitno &
Sadeli (1995) kultur usapan tenggorok di dapatkan bakteri gram positip
sebagai penyebab tersering tonsilofaringitis kronis yaitu Streptococcus alfa
kemudian diikuti Staphylococcus aureus, grup A Beta Haemolytic
Streptococcus, Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif
berupa Enterobacter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan
Escherichia coli (Suyitno, 1995; Farokah, 2003).
Beberapa penelitian mengenai bakteri yang didapat dari bahan post
operasi menunjukkan adanya spesies aerob: Streptokokus hemolitikus
alpha dan gamma, Haemophilus influenza, Stafilokokus aureus, grup A
beta-hemolytic streptococci (GABA), dan Moraxella catarrhalis. Spesies
anaerob termasuk Peptostreptococcus, Prevotella, and Fusobacterium.
Berdasarkan hasil ini dan sebelumnya, disimpulkan kultur permukaan tonsil
memiliki keterbatasan untuk menentukan organisme penyebab, terutama
pada inflamasi kronis (Jeyakumar, 2014). Sedangkan penelitian Daniel
Ginting (2019) pada beberapa rumah sakit di kota Medan, didapati
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak dari hasil
kultur usapan permukaan, aspirasi parenkim dan jaringan parenkim tonsil
(Ginting, 2019).

C. Patogenesis
Patologi penyakit ini disebabkan oleh adanya infeksi berulang pada
tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (fokal infeksi)
dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada saat keadaan umum tubuh menurun (Farokah, 2007).

Universitas Sumatera Utara


14

Tonsil dan adenoid memegang peranan penting untuk pertahanan


tubuh, imunitas lokal, dan pengawas imunitas melawan invasi antigen dari
saluran pernapasan. Karena tonsil tidak mempunyai saluran limfatik aferen
seperti jaringan limfatik sekunder lainnya, dimana mendapat suplai dari
permukaan epitel. Kripta-kripta tersebut berfungsi meningkatkan area
permukaan dan menangkap benda-benda asing saat menelan dan
bernapas. Kripta ini dikelilingi sejumlah agregasi mediator seluler dari
sistem imunitas. Agregasi limfosit B, limfosit T dan bermacam-macam
antigen presenting cell (APC) sepert makrofag, sel B, sel dendrit dijumpai
dalam jumlah yang banyak dalam jaringan subepitel dari tonsil (Jeyakumar,
2014). Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis yaitu adanya
rangsangan yang menahun dari rokok, kebersihan mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat (Rusmarjono, 2007). Karena proses radang berulang yang timbul
maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta ini
tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris (Rusmarjono, 2007). Proses ini biasanya diikuti
dengan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3-4 bulan.
Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis
yang merupakan infeksi fokal. Tonsil sebagai sumber infeksi merupakan
keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan reaksi
atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil
dapat menyimpan bakteri atau produknya yang dapat menyebar ke bagian
tubuh lainnya (Amarudin, 2007).

D. Gejala dan Tanda Klinis


Diagnosa tonsilitis kronik terutama ditegakkan berdasarkan
anamnese dan pemeriksaan fisik (Kurien et al. 2003).

Universitas Sumatera Utara


15

Gejala klinis tonsilitis kronik yaitu : 1) Riwayat sakit menelan yang


berulang; 2) Rasa tidak enak ditenggorokan; 3) Napas berbau oleh karena
adanya pus dalam kripta; 4) Suara sengau dan rasa tercekik saat tidur pada
malam hari (Dhingra 2018; Rusmarjono, 2007).

Pada pemeriksaan klinis dapat dijumpai:

1) Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat


bertemu di tengah. Standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan
pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan rasio tonsil
terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar
anterior kanan dan kiri (Brodsky, 2006):
o T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil,
o T1: kurang dari 25%,
o T2: 25%-50%,
o T3: 50%-75%,
o T4: lebih dari 75%

Gambar 2.3. Derajat pembesaran tonsil (Rahmatullah, 2007)

Universitas Sumatera Utara


16

2) Kripta melebar dan beberapa kripta terisi oleh detritus (Rusmarjono,


2007);
3) Pilar anterior tampak lebih kemerahan dibanding dengan mukosa
faring, merupakan tanda penting untuk menegakkan infeksi kronik
pada tonsil (Dhingra 2018);
4) Pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2007).

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Usapan tenggorok.
Usapan tenggorok masih digunakan sebagai pemeriksaan
utama untuk mengkonfirmasi organisme penyebab infeksi di
sebagian negara berkembang. Namun, beberapa penelitian
menunjukkan perbedaan flora patogen di permukaan tonsil dengan di
dalam inti tonsil (Kurien et al, 2000; Mc Kerrow, 2008). Kultur yang
dilakukan dari usapan tenggorok dapat menghasilkan kultur yang
positip terhadap Group A Beta Haemolytic Streptococcus, tapi hal ini
tidak dapat menjadi bukti yang meyakinkan bahwa organisme ini yang
menjadi penyebab. Insiden kultur positif dapat mencapai 40% pada
penderita yang asimptomatik (Mckerrow, 2008).

2. Aspirasi jarum halus.


Merupakan teknik yang sangat populer dalam menegakkan
diagnosa. Dalam penelitian-penelitian sebelumnya, menunjukkan
korelasi yang sangat erat antara hasil aspirasi jarum halus dengan inti
tonsil yang di diseksi. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur
dari inti tonsil yang di diseksi (Kurien et al, 2003).

F. Penatalaksanaan
Pada tonsilitis kronis penggunaan antibiotik yang efektif untuk
melawan beta laktamase yang dihasilkan mikroorganisme (seperti
amoksisilin klavulanat atau klindamisin) selama 3-6 minggu dapat

Universitas Sumatera Utara


17

bermanfaat untuk menghindarkan kebutuhan akan tonsilektomi pada


sekitar 15% anak-anak (Brodsky, 2006).
Pemberian penisilin V selama 10 hari tetap merupakan regimen
pilihan untuk pengobatan Group A Beta Haemolytic Streptococcus.
Sefalosporin generasi pertama merupakan terapi alternatif
menggantikan penisilin pada pasien yang alergi penisilin. Eritromisin
juga dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap penisilin
(Discolo et al, 2003). Terapi profilaksis dengan antibiotik dapat
dipertimbangkan pada pasien yang tidak dapat menjalani operasi
tonsilektomi.
Penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dari
80 penderita tonsilitis kronis pada tahun 2009 penatalaksanaan
medikamentosa dilakukan sebanyak 83,7% dan operatif sebanyak
16,3% (Amalia, 2009).
Penatalaksanaan tonsilitis kronik dengan antimikroba sering
gagal untuk mengeradikasi kuman patogen dan mencegah
kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda,
2009). Apabila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma maka dilakukan tonsilektomi
(Soepardi et al., 2009)

G. Komplikasi
a. Abses peritonsil
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan
jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang
potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak
palatum mole bengkak. Pada stadium permulaan, selain
pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila proses
berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.

Universitas Sumatera Utara


18

Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula kearah


kontralateral. Gejalanya yaitu odinofagia yang hebat, otalgia, mulut
berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam
(hot potato voice), trismus, serta pembengkakan kelenjar
submandibula (Fachruddin, 2007).

b. Abses parafaring
Gejala utamanya adalah trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan
pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah
medial (Fachruddin, 2007).

c. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi
tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada tonsiitis
folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna.
Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan;
selanjutnya dilakukan tonsilektomi (Dhingra, 2018).

d. Tonsilolith (kalkulus tonsil)


Tonsilolith dapat ditemukan pada tonsilitis kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu.
Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa
dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation.
Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan (Dhingra,
2018).

Universitas Sumatera Utara


19

e. Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai
pembengkakan berwarna kekuningan diatas tonsil. Sangat sering
terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainase
(Dhingra, 2018).

f. Fokal infeksi dari demam rematik


Demam rematik biasanya terjadi 18 hari setelah disebabkan
oleh Group A Beta Haemolytic Streptococcus, ketika kultur
tenggorok tidak lagi positip. Infeksi Streptococcus menghasilkan
cross-reactive antibody, yang menyebabkan kerusakan jaringan
jantung seperti endokarditis, miokarditis ataupun perikarditis.
Tonsilektomi yang dibutuhkan untuk menghilangkan sumber infeksi
(Lalwani, 2007).

g. Fokal infeksi dari glomerulonefritis


Infeksi glomerulonefritis biasanya terjadi sebagai sindrom
nefritik akut, sekitar 10 hari setelah infeksi faringotonsiler (insidennya
12 - 25%) yang disebabkan grup A Beta Haemolytic Streptococcus.
Hal ini tergantung pada daya tahan tubuh host. Mekanisme patogen
penyakit ini melibatkan cederanya glomerulus oleh deposisi
kompleks imun.Pengobatan antibiotik belum terbukti mempengaruhi
angka kejadian penyakit ini (Lalwani, 2007).

2.3. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatina (Hermani, 2004). Tonsilektomi merupakan prosedur operasi
yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan
operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang
tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, karena
kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. Di

Universitas Sumatera Utara


20

Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi


operasi pendek dan teknik tidak sulit (Wanri, 2007).

2.3.1. Epidemiologi Tonsilektomi


Tonsilektomi dilaporkan pertama kali dilakukan oleh Celsus pada
tahun 30 AD. Paul de Aegina kemudian mempublikasikan teknik
tonsilektomi lebih detail tahun 625 AD. Sedangkan Wilhelm Meyer dari
Denmark tahun 1867 melakukan adenoidektomi pertama kali pada pasien
dengan gejala penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Samuel J.
Crowedari Johns Hopkins tahun 1900 pertama kali memakai mouth gag
dalam operasi tonsilektomi,yang sekarang dikenal Crowe-Davis gag.
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta
tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu
dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15
tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari
jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan
39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga
ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun
atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun
1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200
operasi) (Hermani B, 2004).
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi
atau tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) di Jakarta selama 5 tahun
terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah
operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua
(275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).
Sedangkan data dari Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta dalam 3
tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah

Universitas Sumatera Utara


21

operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi


(Wanri A, 2007).
Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, tonsilektomi
merupakan lebih dari separuh dari seluruh tindakan pembedahan di bagian
THT. Data pada tahun 1996 dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun
1998 ada 102 tindakan, dan tahun 1999 sejumlah 94 tindakan. Tonsilektomi
tahun 2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan Agustus
sebanyak 45 kasus, rentang umur terbanyak 5-15 tahun dan indikasi
tersering adalah tonsilitis kronis (Amarudin T, 2007).

2.3.2. Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi


Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya
sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas
merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit
tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik (Hermani B, 2004).
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi
absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea
ini boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan
kardiopulmoner (Paradise, JL, 2009).

Universitas Sumatera Utara


22

Tabel 2.1. Indikasi tonsilektomi dari beberapa sumber


No Sumber Indikasi
1. American Academy Indikasi Absolut
of • Pembengkakan tonsil yang
Otolaryngology- menyebabkan obstruksi saluran
Head and napas, disfagia berat, gangguan
Neck Surgery (AAO- tidur dan komplikasi kardiopulmoner
HNS) • Abses peritonsil yang tidak
membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
• Tonsilitis yang menimbulkan kejang
demam
• Tonsilitis yang membutuhkan biopsi
untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
• Terjadi 3 episode atau lebih infeksi
tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
• Halitosis akibat tonsilitis kronik
yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
• Tonsilitis kronik atau berulang pada
karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian
antibiotik β-laktamase resisten
• Hipertrofi tonsil unilateral yang
dicurigai merupakan suatu
keganasan.
2. Scottish Indikasi tonsilektomi pada anak dan
Intercollegiate dewasa berdasarkan bukti

Universitas Sumatera Utara


23

Guidelines Network ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis


dimana pasien harus memenuhi semua
kriteria di bawah:
• Sore throat yang disebabkan oleh
tonsillitis
• 5 atau lebih episode sore throat per
tahun
• Gejala sekurang-sekurangnya
dialami selama 1 tahun.
• Keparahan episode sore throat
sampai mengganggu pasien dalam
menjalani fungsi kehidupan normal
3. Evidence Based • Tonsilitis bakterialis berulang
Medicine (4x/tahun). Dengan catatan hasil
Guidelines kultur bakteri harus dicantumkan
dalam surat rujukan
• Tonsilitis akut dengan komplikasi:
abses peritonsiler, septikemia.
Pasien dengan abses peritonsiler
berusia <40 tahun langsung diterapi
dengan tonsilektomi.
• Curiga adanya keganasan
(pembesaran asimetri atau ulserasi)
• Sumbatan jalan napas yang
disebabkan tonsil (T3-T3), sleep
apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif
tonsilektomi.
Tindakan dianjurkan apabila pasien
mengalami halitosis, nyeri

Universitas Sumatera Utara


24

tenggorok, gagging, dan keluhan tidak


hilang dengan pengobatan
biasa.
4. INSALUD (National Indikasi absolut
Institute of Health) • Kanker tonsil
Spanyol • Penyumbatan saluran nafas berat
pada rinofaring dengandesaturasi
atau retensi CO2
Indikasi relatif
• Infeksi rekuren dengan eksudat,
dapat dibedakan dengan jelas dari
common cold, dengan 7 atau lebih
episode pada tahun ini, atau 5
episode pertahun pada 2 tahun
sebelumnya, atau 3 episode
pertahun pada 3 tahun sebelumnya.
• Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
• Otitis media akut atau kronik
• Sinusitis akut atau kronik
• Ketulian
• Infeksi saluran nafas atas atau
bawah
• Penyakit sistemik
5. Dhingra (2018) Absolut
• Radang tenggorokan yang
berulang.
a) Tujuh kali atau lebih serangan
dalam satu tahun, atau b) Lima
kali serangan pertahun dalam

Universitas Sumatera Utara


25

dua tahun, atau c) Tiga kali


serangan pertahun dalam tiga
tahun, atau d) Dua minggu atau
lebih tidak masuk sekolah atau
bekerja dalam satu tahun.
• Abses peritonsil.
• Tonsilitis menyebabkan kejang
demam.
• Hipertrofi tonsil menyebabkan: a)
Obstruksi jalan nafas b) Kesulitan
untuk menelan c) Gangguan
berbicara
• Sangkaan keganasan.

B. Relatif
• Karier Dipteri yang tidak respon
terhadap antibiotik.
• Karier Streptococcus yang dapat
menjadi fokal infeksi.
• Tonsilitis kronis dengan halitosis
yang tidak respon terhadap
pengobatan medis.
• Tonsilitis Streptococcus Beta
Hemolitikus yang berulang pada
pasien dengan kelainan katup
jantung
6. Paradise Criteria • Frekuensi minimal serangan nyeri
(Baugh, 2011) orofaring: a) Tujuh kali atau lebih
serangan dalam satu tahun terakhir,
atau b) Lima kali atau lebih

Universitas Sumatera Utara


26

serangan dalam dua tahun terakhir,


atau c) Tiga kali atau lebih serangan
dalam tiga tahun terakhir.
• Gambaran klinis: nyeri orofaring
disertai satu atau lebih gejala sbb:
a) Temperatur > 38,3˚C b) Adanya
eksudat tonsil c) Kultur positip
terhadap Group A Beta Haemolytic
Streptococcus
• Pengobatan: Penderita yang telah
mendapatkan antibiotik yang
adekuat.
• Setiap serangan dan gambaran
klinis tonsilitis yang tercatat, atau
bila catatan tidak lengkap,
observasi dua kali serangan infeksi
tenggorokan berikutnya dengan
pola frekuensi dan gambaran klinis
yang konsisten dengan gejala awal.

Kontraindikasi Tonsilektomi menurut Dhingra (2018) yaitu:


1. Hemoglobin < 10 gr%.
2. Adanya infeksi akut pada saluran pernafasan atas.
3. Anak dibawah usia tiga tahun.
4. Over atau submucous Cleft palate.
5. Kelainan perdarahan seperti leukemia, purpura, anemia aplastik
atau hemofilia

2.3.3. Prosedur Tonsilektomi


Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini
adalah teknik Guillotine dan diseksi (Hermani, 2004; Messner 2005).

Universitas Sumatera Utara


27

a. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk
mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai
modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang
dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang
untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.

Gambar 2.4. Teknik Tonsilektomi Guillotine (Wake, 1989)

Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini,


namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di
Indonesia, terutama di daerah masih lazim dilakukan cara ini
dibandingkan cara diseksi. Kepustakaan lama menyebutkan
beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi
kecil, biaya kecil.

b. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah
mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose
yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih
banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga
banyak digunakan pada pasien anak.

Universitas Sumatera Utara


28

Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal


anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari
kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari
fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis
dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada
daerah tersebut dengan normal salin.

Gambar 2.5. Teknik Tonsilektomi secara diseksi (Messner, 2005)

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan


dikembangkan disamping teknik diseksi standar yaitu:

- Electrosurgery (Bedah listrik)


Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi
elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek
pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan
gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi
panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru

Universitas Sumatera Utara


29

yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC)
dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).
Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan
memotong dan hemostase dalam satu prosedur.

- Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung
ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada
medium penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi
pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah
ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah
(40 0C - 70 0C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi.

- Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan elektrokauter dan laser. Sistim skalpel harmonik terdiri
atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung,
pisau bedah dan pedal kaki.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding
teknik bedah lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena

Universitas Sumatera Utara


30

proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih


rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih
sedikit, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit
perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan
teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa
mentoleransi kehilangan darah.

- Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru
melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan
aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Efikasi teknik
coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini
bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan.

- Intracapsular partial tonsillectomy


Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial
yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini
akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah
terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga
mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu
pemulihan. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan
pasca operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi.

Universitas Sumatera Utara


31

- Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau PTP
(Potassium Titanyl Phospate) untuk menguapkan dan mengangkat
jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan
menghilangkan ‘recesses’ pada tonsil yang meyebabkan infeksi
kronik dan rekuren. LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat
dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan teknik ini nyeri
pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan
analgesia pascaoperasi berkurang. Teknik ini direkomendasikan
untuk tonsilitis kronik dan rekuren nyeri tenggorok kronik, halitosis
berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran
tonsil.

- Microdebrider
Merupakan alat pemotong berputar bertenaga dengan
penyedot kontinu, terdiri dari tabung, dihubungkan dengan
handpiece yang selanjutnya terhubung mesin dengan kontrol kaki
dan suction. Tonsilektomi parsial dapat diselesaikan sekitar 90 –
95% tonsil dengan tetap menjaga kapsulnya.

2.3.4. Komplikasi Pasca Tonsilektomi


a. Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi
atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000
pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah
perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi
darah.
Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal
sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “reactionary
haemorrage” dengan kemungkinan penyebabnya adalah

Universitas Sumatera Utara


32

hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi


dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya,
karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan
refleks batuk belum sempurna. Darah dapat menyumbat jalan
napas sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat menyebabkan
keadaan hipovolemik bahkan syok.
Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/
delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada
hari ke 5-10 pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi,
hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti.

b. Nyeri
Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan serta inflamasi
pada mukosa dan serabut saraf glossofaringeus serta saraf
trigeminal, selain itu terjadi inflamasi dan spasme otot faringeus
sehingga siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi. Nyeri tenggorok
muncul pada hampir semua pasien pasca tonsilektomi. Nyeri pasca
bedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien
mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam
asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal
ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk
pemberian cairan intravena dibutuhkan (Kurnia, 2018).

c. Komplikasi lain pasca tonsilektomi yakni dehidrasi, demam, kesulitan


bernapas, gangguan terhadap suara, aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velofaringeal, stenosis faring, lesi
di bibir, lidah, gigi dan pneumonia (Wanri, A., 2007).

Universitas Sumatera Utara


33

2.3.5. Perawatan Pasca Tonsilektomi


Sebagian besar pasien dapat dipulangkan pada hari yang sama
setelah operasi tonsilektomi, tergantung teknik operasi yang digunakan.
Anak – anak yang lebih muda atau bertempat tinggal jauh dari rumah sakit
harus diobservasi paling tidak semalaman. Obat – obatan anti nyeri
sebaiknya diberikan dan kebanyakkan dokter meresepkan acetaminophen
atau acetaminophen dengan kodein pasca operasi. Sebagian ahli
menyarankan untuk diet lunak setelah operasi, namun ada juga yang
merekomendasikan diet yang ditoleransi.
Umumnya luka post tonsilektomi akan pulih secara adekuat dalam
waktu rata – rata 1 bulan, namun tetap dianjurkan untuk tetap follow up
walaupun melalui telepon (Anna, 2005).

2.4. Nyeri Pasca Tonsilektomi


Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah terjadi.
Setiap rangsang yang menimbulkan jejas terhadap jaringan tubuh
menimbulkan nyeri (Guyton AC, 2014).
Nyeri juga menjadi mekanisme proteksi, defensif dan penunjang
diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibilitas nyeri memungkinkan
seseorang bereaksi terhadap trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat
menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh (Witjalaksono, Villyastuti
& Sutiyono, 2013).
Nyeri post operasi tonsilektomi merupakan hal yang sulit dicegah
karena daerah orofaring dan fossa peritonsiler merupakan daerah sensitif
nyeri, karena dipersarafi oleh cabang nervus trigeminal dan nervus
glossofaringeus, di korteks somatik serebral (Brahmi, 2015).
Klasifikasi Nyeri Menurut Witjalaksono, Villyastuti & Sutiyono dalam
Anestesiologi 2 (2013), klasifikasi nyeri dibagi sebagai berikut:
1) Waktu durasi nyeri

Universitas Sumatera Utara


34

a) Nyeri Akut: < 3 bulan, mendadak, akibat trauma atau inflamasi,


tanda respon simpatis; penderita anxietas, keluarga supportif.
b) Nyeri Kronik: > 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus. Tanda
respon parasimpatis; penderita depresi, keluarga lelah.

2) Berdasarkan Etiologi
a) Nyeri nosiseptik: rangsangan timbul oleh mediator nyeri, seperti
pada paska trauma operasi dan luka bakar.
b) Nyeri neuropatik: rangsangan oleh kerusakan saraf dan disfungsi
saraf, seperti pada diabetes mellitus (DM), herpes zooster.

2.4.1. Mekanisme Nyeri


Nyeri timbul akibat dari rangsangan zat algesik pada reseptor nyeri
yang dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa jaringan
didalam tubuh seperti periosteum, permukaan tubuh, otot rangka dan pulpa
gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung bebas serat saraf aferen A delta dan C,
diaktifkan oleh rangsangan dengan intensitas tinggi seperti rangsang ternal,
elektrik, atau kimiawi (Mangku & Senapathi, 2010). Zat algesik mengaktifkan
reseptor nyeri adalah ion K, H, dan asam laktat, serotonin, bradikidin,
histamine dan prostaglandin. Setelah reseptor nyeri disalurkan ke sentral
melalui beberapa saluran saraf. Rangkaian proses menyertai antara
kerusakan jaringan (sumber stimulasi nyeri) sampai dirasakan persepsi nyeri
adalah suatu proses elektrofisiologik disebut sebagai nosisepsi.
Terdapat 4 proses jelas terjadi mengikuti suatu proses elektro-
fisiologik nosisepsi, yaitu:
1) Transduksi: proses stimulasi nyeri yang diterjemahkan menjadi
aktifitas listrik pada ujung saraf.
2) Transmisi: proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris
menyusul proses transduksi. Impuls akan disalurkan oleh serabut
saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke
medulla spinalis.

Universitas Sumatera Utara


35

3) Modulasi: proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan


impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem
analgesik endogen yaitu enkefalin, endorphin, serotonin, dan
noradrenalin yang berefek menekan impuls nyeri pada kornu
posterior medulla spinalis yang diibaratkan sebagai pintu gerbang
nyeri yang bisa terbuka atau tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri yang diperankan oleh sistem analgesik endogen.
4) Persepsi: hasil akhir proses interaksi kompleks dan unik dimulai dari
transduksi, transmisi, dan modulasi yang menghasilkan suatu
perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri.

Gambar 2.6. Mekanisme nyeri (Marwoto, 2010)

Nyeri pasca tonsilektomi muncul karena kerusakan mukosa dan


serabut saraf glossofaringeus atau vagus, inflamasi dan spasme otot
faringeus menyebabkan iskemi dan siklus nyeri berlanjut hingga otot
kembali diliputi mukosa. Nyeri pasca tonsilektomi disebabkan oleh trauma
yang akan menimbulkan suatu radang seperti pembengkakan, kemerahan,
rasa panas, rasa sakit dan terjadi gangguan menelan. Kerusakan jaringan

Universitas Sumatera Utara


36

akan menimbulkan bahan – bahan yang merangsang ujung saraf nyeri


(Gould D, 2001). Spasme otot juga menyebabkan nyeri pasca tonsilektomi
karena otot yang sedang berkontraksi menekan pembuluh darah
intramuskuler dan mengurangi atau menghentikan aliran darah, kontraksi
otot juga menyebabkan respon reflektoris spasme otot didaerah sekitar
sumber nyeri, spasme otot yang berkepanjangan akan mengganggu aliran
darah setempat sehingga dapat menyebabkan hipoksia atau iskemi lokal.
Iskemi menyebabkan kerusakan jaringan dan membangkitkan rasa nyeri
dan kemudian nyeri yang timbul membangkitkan spasme otot dan begitu
seterusnya. Berat ringannya nyeri pasca tonsilektomi bergantung pada
beberapa faktor antara lain: kondisi kesehatan pasien, keterampilan
operator, teknik tonsilektomi, komplikasi operasi dan manajemen nyeri yang
digunakan (Olhms, 2001; Ozer, 2003).

2.4.2. Pengukuran Nyeri


Beberapa metode telah digunakan untuk mengukur derajat nyeri pada
pasien pasca tonsilektomi (Olhms, 2001; Gould, 2001)
1) Visual Analog Scale (VAS) atau Wong Baker Face Pain Rating Scale
(WBFS) yang dinilai oleh pasien atau pengamat
2) Jumlah analgetic tambahan yang dibutuhkan
3) Jumlah asupan oral

Metode VAS dan WBFS dapat digunakan sebagai alat ukur nyeri yang
valid karena telah diakui dan dipergunakan secara luas untuk menilai nyeri.
Penderita dapat memberikan tanda pada garis tersebut di titik yang
menurutnya mewakili persepsi nyeri yang sedang dialami (Gould, 2001).

Universitas Sumatera Utara


37

Gambar 2.7. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana

1) Skala intensitas nyeri numerik

2) Skala Visual Analog Score (VAS)

3) Skala nyeri Wong Baker

2.5. Madu
Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari
kantung madu. Oleh lebah nektar tersebut diolah sebelum akhirnya

Universitas Sumatera Utara


38

menghasilkan madu dalam sarangnya. Madu dihasilkan oleh serangga


lebah madu (Apis mellifera) termasuk dalam superfamili apoidea (WHO,
2012).
Saat ini sedang digalakkan pengobatan alami atau natural salah
satunya adalah madu. Madu merupakan cairan manis yang diproses
oleh lebah yang berasal dari sari pati atau tepung sari bunga dan oleh
lebah dijadikan sebagai bahan baku yang disebut nektar. Nektar didapat
pada sel tumbuhan. Lebah madu mengumpulkan madu di dalam sarang
dengan menyimpan sebuk sari bunga (pollen). Sejak ribuan tahun yang
lalu sampai sekarang ini, madu telah dikenal sebagai salah satu bahan
makanan atau minuman alami yang mempunyai peranan penting dalam
kehidupan. Madu merupakan salah satu sumber makanan yang baik.
Hardian (2006) melakukan penelitian pada sampel marmut dan
didapatkan penyembuhan luka yang diberikan madu (nektar flora) lebih
cepat yaitu 9,67 hari, sedangkan pada kelompok silver sulfadiazine
didapat 10 hari, dan kelompok kontrol negatif selama 19,17 hari.

2.5.1. Komposisi Madu


Menurut Adji Suranto (2007) secara umum komposisi madu sangat
bervariasi, yaitu:

a. Gula
Komposisi terbesar madu berupa gula fruktosa dan glukosa (85-95%
dari total gula). Tingginya kandungan gula sederhana dan
persentase fruktosa menciptakan karakteristik nutrisi yang khas
untuk madu.
b. Air
Komposisi terbesar kedua setelah gula adalah air. Keberadaan air
dalam madu merupakan hal penting terutama pada proses
penyimpanan. Hanaya madu yang mengandung kadar air kurang
dari 18% yang dapat disimpan tanpa khawatir terjadi fermentasi.

Universitas Sumatera Utara


39

c. Kalori
Madu merupakan salah satu nutrisi alami sumber energi. Satu
kilogram madu mengandung 3.280 kalori atau setara dengan 50 butir
telur ayam, 5,7 liter susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4 kg
kentang dan 1,68 kg daging.
d. Enzim
Enzim yang terkandung dalam madu adalah invertase, diastase,
katalase, oksidasi, peroksidase dan protese. Guna enzim ini adalah
memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Enzim diastase
berfungsi mengubah zat tepung menjadi dekstrin dan maltosa.
Kemampuan enzim mengubah zat tepung ini dipengaruhi suhu.
Enzim ini akan rusak bila madu dipanaskan pada suhu 60-80ºC,
enzim katalase mengubah hidrogen peroksidase yang menimbulkan
efek antibakteria.
e. Hormon
Madu mengandung hormon gonadotropin yang berfungsi
menstimulasi kelenjar seksual.
f. Asam Amino
Madu mengandung asam amino esensial yang penting untuk tubuh
seperti proline, tirosine, fenilalanine, glutamine, dan asam aspartate.
Namun, kandungannya sangat bervariasi dari 0,6 hingga 500 mg
dalam 100 gram madu.
g. Vitamin dan Mineral
Madu kaya akan vitamin A, betakaroten, vitamin B kompleks,
vitamin C, D, E dan K. Penelitian di Universitas Florida Departemen
Ilmu Makanan dan Nutrisi Manusia menyimpulkan bahwa madu
mengandung banyak nutrisi penting seperti vitamin B6, riboflavin,
thiamin dan asam pantotenat. Madu mengandung mineral cukup
lengkap namun bervariasi antara 0,01%-0,64%. D. Jarvis meneliti
kandungan mineral madu dan memastikan dari 100% sampel
terdapat zat besi, kalium, kalsium, magnesium, tembaga, mangan,

Universitas Sumatera Utara


40

natrium, dan fosfor. Zat lainnya adalah barium, seng, sulfur, klorin,
yodium, zirkonium, galium, vanadium, cobalt, dan molybdenum.
Sebagian kecil madu ada yang mengandung bismuth, germanium,
lithium, dan emas.

Pada beberapa madu kandungan gulanya bisa mencapai 80%


yang terdiri dari glukosa, fruktosa, maltosa dan sukrosa. Kurang dari
18% komponennya adalah air sehingga mempunya osmolaritas yang
tinggi. Kandungan Hidrogen peroksida yang berperan sebagai glukosa
oksidase yang merupakan salah satu enzim yang dikeluarkan oleh
lebah kepada madu. Enzim ini dapat mengubah senyawa glukosa dan
menghasilkan hidrogen peroksida. Madu mempunyai keasaman yang
rendah yaitu pH 3,2-4,5 sehingga mampu untuk menghambat
pertumbuhan bakteri.
Di Indonesia terdapat madu lokal yang sudah cukup sering digunakan
yaitu Madu Nusantara Murni yang memiliki komposisi utama madu randu murni.
Madu Nusantara Murni sudah cukup dikenal dan sering digunakan dalam
uji klinis pada beberapa penelitian di Indonesia (Diah, 2012). Madu randu
memiliki kandungan berbagai macam zat (Retno, 2020).

Tabel 2.2. Kandungan zat pada Madu Nusantara (Retno, 2020)


Kalori : 334 kal
Karbohidrat 81,9%
Protein 0,13%
Lemak 0,65%
Kandungan gula: Fruktosa 39,3 G/100 G ; Glukosa 31,4 G/ 100 G;
Sukrosa 1,75 G/ 100 G
Mineral : Zat Besi (Fe) 3,45 Mg/ Kg; Seng (Zn) 0,79 Mg/ Kg; Selenium (Se)
<0,002 Mg/ Kg; Kalsium 1 mg

Universitas Sumatera Utara


41

Zat Antioksidan: Flavonoid 0,04% B/B, Asam Askorbat 0,4 Mg; Asam
Panthotetic 0,20 mg; dan -Karoten 0,05 mg/ Kg.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, madu Nusantara


memiliki pH 3,57; kadar air 20,96%; kandungan abu 0,22%; keasaman 21,1
ml NAOH; aktifitas enzim Diastase 7,32; HMF 113 mg/ kg (Retno, 2020).

Tabel 2.3. Mutu madu berdasarkan SNI-01-3545-2013

2.5.2. Manfaat Madu Terhadap Penyembuhan Luka


Madu memiliki beberapa karakteristik penting dalam proses
penyembuhan luka seperti aktivitas antiinflamasi, aktivitas antibakterial,
aktivitas antioksidan, kemampuan menstimulasi proses pengangkatan
jaringan mati/ debridement, mengurangi bau pada luka, serta
mempertahankan kelembapan luka yang pada akhirnya dapat membantu
mempercepat penyembuhan luka.

Universitas Sumatera Utara


42

Tabel 2.4. Efek madu terhadap penyembuhan luka (Molan, 2015)

a. Resistensi Antimikroba Madu


Madu memiliki efek anti inflamasi dan anti bakteri tanpa resistensi
antimikroba, dengan demikian madu dapat mempercepat penyembuhan
luka.
Sebagai pengenalan terhadap antimikroba baru terhadap kasus
klinis, yang paling utama adalah mengetahui adanya resistensi terhadap
strain mikroba tertentu. Keadaan ini akan memperparah atau
memperpanjang masa penyembuhan. Penelitian yang menggunakan
konsentrasi rendah madu sebagai antimikroba tidak menunjukkan adanya
resistensi mikroba terhadap madu, karena efektif dalam memusnahkan

Universitas Sumatera Utara


43

biofilm, yaitu zat dari kuman yang bersifat resisten terhadap antimikroba
(Blair et al, 2009; Cooper et al, 2010). Penelitian Blair et al, 2009; Cooper
et al, 2010, menunjukkan bahwa konsentrasi sub-inhibitory dari madu
meningkatkan aktivitas bakterisida pada biofilm vancomysin S. aureus, dan
madu memiliki interaksi aditif dengan biofilm gentamisin P. aeruginosa.

b. Aktivitas Antimikroba Madu


Aktivitas antibakteri madu juga dikarenakan adanya zat
methylglyoxal (MG). MG pada madu manuka berasal dari konversi non-
enzimatik dihidroksiaseton MG adalah protein glycating agent yang
potensial dan merupakan prekursor penting pada produk akhir glikasi
(AGEs). MG dan AGEs berperan dalam penyembuhan luka diabetik
(Majtan,2011).
Senyawa 1,2 dikarbonil termasuk MG, glioksal dan 3-
deoxyglucosone yang dihasilkan oleh sel endogen, oksidasi glukosa, dan
peroksidase lipid sangat reaktif menyerang lisin, arginin, dan residu sistein
protein berumur panjang seperti kolagen untuk membentuk AGEs
ireversibel yang menyebabkan terganggunya remodelling matriks kolagen
yang normal (S. Sassi-Gaha,et al 2009).
Terdapat beberapa faktor lain yang memperkuat efek antibiotika
pada madu, yaitu osmolaritas madu yang tinggi.
.
c. Hidrogen Peroksida pada Madu
Hidrogen peroksida terbentuk dari enzim Glukosa Oksidase yang
terdapat dalam madu. Enzim ini menjadi aktif waktu madu dilarutkan,
karena proses ini memerlukan oksigen udara, dengan kata lain dalam
perawatan luka, madu baru efektif bila dioleskan dipermukaan luka dan
mendapat oksigen udara, dan proses pelepasan hidroksi peroksida ini mulai
saat madu bersentuhan dengan cairan luka (Molan, 2009)

Universitas Sumatera Utara


44

d. Aktifitas debridemen dan efek osmotik madu


Peranan madu dalam debridemen luka telah dijelaskan Molan
(2009). Dalam percobaan Randomized Controlled Trial (RCT) madu
Manuka telah menunjukkan peningkatan debridemen dibandingkan dengan
hydrogel (Gethin and Cowman, 2009)
Efek osmotik madu mempengaruhi aliran limfatik untuk perbaikan
jaringan (Molan 2009). Madu merupakan campuran jenuh antara dua
monosakarida dengan sejumlah kecil air, dan sebagian besar molekul air
ini terikat dengan gula monosakarida, sehingga hanya sebagian kecil air
yang masih tersisa, hal ini dapat menjadi hambatan untuk
berkembangbiaknya mikroorganisme dalam medium madu. Keadaan ini
mempercepat debridemen dengan cara membawa plasminogen ke jaringan
luka, yang biasanya diaktifkan menjadi plasmin aktif oleh plasminogen
aktivator. Pada luka kronis, produksi plasminogen activator inhibitor (PAI)
oleh makrofag menginaktivasi plasminogen activator dan menghasilkan
plasmin aktif yang sedikit. Dengan menonaktifkan PAI, madu
memungkinkan perubahan plasminogen menjadi plasmin kemudian
menghancurkan fibrin dan menurunkan jumlah sel atau jaringan yang tidak
sehat (Molan, 2009).

e. Aktifitas antioksidan dan anti-inflamasi Madu


Luka yang tidak mengalami kemajuan melalui fase penyembuhan
yang biasa akan berlanjut menjadi kronis yang ditandai dengan infiltrasi
neutrofil yang berlebihan. Pelepasan reaktif oksigen oleh netrofil
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih lanjut, yang kemudian akan
menyebabkan infiltrasi neutrofil yang lebih banyak lagi. Salah satu cara
untuk menghentikan peradangan kronis ini adalah menghilangkan efek
radikal bebas dengan antioksidan, dan madu diketahui mengandung
antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas (Henriques et al, 2006;
van den Berg et al, 2008).

Universitas Sumatera Utara


45

Potensi antioksidan dari madu berkaitan dengan kandungan


phenolic Noya (van den Berg et al, 2008; Kassim et al 2010; Leong et al,
2012). Meskipun efek anti inflamasi dalam madu telah dibuktikan pada
hewan coba, tapi mungkin efek ini menjelaskan manfaat madu dalam
pengobatan luka bakar (Jull et al, 2008).
Hipotesis lain aktivitas antiinflamasi madu antara lain melalui
komponen fenol dalam madu yang dianggap mampu menghambat produksi
sitokin proinflamasi TNF-α (Molan, 2015). Di samping itu, beberapa riset
terkini melaporkan adanya komponen antiinflamasi lain selain komponen
fenol tersebut, yakni ap-albumin-1, protein yang dianggap mampu
menghambat fagositosis makrofag – langkah pertama dalam rantai respons
inflamasi terhadap jaringan nekrotik atau sel mikroba (Molan, 2015)
Selain itu, mekanisme antiinflamasi madu juga diduga didasari oleh
inaktivasi reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan oleh sel fagosit
(Molan, 2011).

f. Aktivitas anti nyeri


Dokumentasi bagaimana mekanisme madu dapat mengurangi nyeri
secara detail masih jarang. Namun, beberapa biomarker teridentifikasi pada
madu yang mempengaruhi efek antinosiseptik. Biomarker ini berpotensi
memperkuat efek imunomodulasi pada madu. Seperti biomarker yang
termasuk sitokin, TNF-α, histamin, dan nitrooksida. Substansi ini
teridentifikasi pada sebagian besar madu dan memiliki peran penting
terhadap mediasi nyeri. (Majtan, 2014)
Nyeri ditimbulkan dengan berbagai cara baik melalui mekanisme
sentral atau mekanisme perifer. Nosiseptor perifer menjadi sensitif selama
peradangan dan serabut saraf perifer mengalami pelepasan selama cedera
saraf atau dengan adanya penyakit. Sebagian besar nosiseptor merespons
rangsangan mekanis, termal, dan kimia yang berbahaya. Nyeri ini akan
dibawa melalui serabut nyeri ke sumsum tulang belakang. (Owoyele et al,
2014)

Universitas Sumatera Utara


46

Mekanismenya melibatkan reseptor otonom dalam efek


antinosiseptif dan antiinflamasi dari madu meskipun tingkat keterlibatannya
tergantung jenis reseptor yang berbeda (Owoyele et al, 2014). Selain itu,
madu dapat menurunkan prostaglandin ADI3E2, prostaglandin alfa 2, dan
tromboksan B2 dalam darah dan karenanya berkontribusi pada pereda
nyeri (Amani, Kheiri, Ahmadi, 2015).

Universitas Sumatera Utara


47

2.6. Kerangka Teori

Madu

Tonsilektomi Nyeri

Gambar 2.8. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


48

2.7. Kerangka Konsep

Variabel Variabel
Independent Dependent

Skala Nyeri
Madu
Frekuensi Penggunaan
Analgetik

Gambar 2.9. Kerangka Konsep

• Variabel bebas adalah madu


• Variabel terikat adalah nyeri pasca tonsilektomi dan frekuensi
penggunaan analgetik

2.8. Hipotesis
Madu dapat menurunkan rasa nyeri pasca tonsilektomi.

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini bersifat analitik dengan rancangan eksperimental.
Metode yang digunakan adalah randomized controlled trial.
Dalam rancangan penelitian ini subjek dibagi dalam tiga kelompok
yaitu, dua kelompok yang diberi perlakuan dan satu kelompok lain tidak
diberi perlakuan.

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian


3.2.1. Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita tonsilitis kronis
yang menjalani operasi tonsilektomi di SMF T.H.T.K.L. beberapa Rumah
Sakit di kota Medan yaitu di RSU Universitas Sumatera Utara, RSU Haji
Mina, Rumkit 1 Bukit Barisan. Penelitian mulai dilakukan sejak proposal
disetujui hingga jumlah sampel terpenuhi.

3.2.2. Sampel
Sampel penelitian adalah penderita yang menjalani operasi
tonsilektomi dan memenuhi kriteria inklusi.

3.3. Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu:
1. Pasien berjenis kelamin laki – laki & berusia dewasa (18 – 40
tahun), tidak menderita DM dan tidak memiliki riwayat
mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan.
2. Pasien tonsilektomi dengan teknik diseksi
3. Penderita sadar pasca operasi
4. Penderita kooperatif, dapat melihat jelas, dapat membaca serta
menulis
5. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan
menandatangani informed consent

49
Universitas Sumatera Utara
50

3.4. Kriteria Eksklusi


Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu penderita yang mengalami:
1. Diabetes Melitus
2. Riwayat alergi terhadap madu
3. Gangguan perdarahan
4. Perdarahan atau Infeksi pasca operasi
5. Perlengketan tonsil saat operasi
6. Ketergantungan zat adiktif (alkohol dan obat – obatan)
7. Pengobatan jangka panjang (kemoterapi, TBC, HIV, dll)

3.5. Perkiraan Besar Sampel


Pada penelitian uji klinis ini rumus yang digunakan adalah rumus
Federer untuk menghitung besar sampel pada uji eksperimental yaitu:

(t-1) (n-1) ≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan


jumlah pengulangan atau jumlah sampel setiap kelompok. Penelitian ini
menggunakan 3 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel
menjadi:
(3-1) (n-1) ≥ 15
2(n-1) ≥ 15
2n – 2 ≥ 15
2n ≥ 17
n ≥ 8,5 → 8
Dari rumus didapati bahwa jumlah sampel minimum untuk tiap
kelompok dibulatkan menjadi 8 orang. Jumlah sampel minimum yang
diperlukan untuk tiga kelompok penelitian adalah 24 orang. Sampel dipilih
dengan metode simple random sampling.

Universitas Sumatera Utara


51

3.6. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit di Kota Medan yaitu RS


Universitas Sumatera Utara, RSU Haji Mina, dan Rumkit 1 Bukit Barisan.
Waktu pelaksanaan dan pengumpulan data hingga jumlah sampel
terpenuhi.

3.7. Variabel Penelitian


1. Variabel bebas (variabel eksperimental)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah madu

2. Variabel terikat (variabel tercoba)


Variabel terikat dalam penelitian ini adalah skala nyeri dan frekuensi
penggunaan analgetik

3.8. Definisi Operasional


1. Tonsilitis kronis merupakan penyakit peradangan kronik pada tonsil
yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau
infeksi subklinis dari tonsil. Proses ini biasanya diikuti dengan
serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3-4 bulan.
2. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun
potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.
Penilaian nyeri dapat diukur dengan skala VAS (Visual Analogue
Scale), yang merupakan skala linier yang secara visual
menggambarkan gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami
seorang pasien.

Alat ukur: Skala VAS (Visual Analogue Scale) melalui kuesioner

Cara ukur: Pasien diminta mengisi kuesioner & menentukan skala


nyeri yang dirasakannya pada hari ke-1, 2, 4, 7 dan 10 pasca
tonsilektomi.

Universitas Sumatera Utara


52

Hasil ukur (Gould, 2001;Marwoto, 2010):


• 0 : tidak nyeri
• 1 – 3: nyeri ringan
• 4 – 6: nyeri sedang
• >6: nyeri berat

Gambar 3.1. Skala Visual Analog Nyeri

Skala ukur: Rasio

3. Analgetik adalah obat yang digunakan untuk meredakan nyeri, Jenis


analgetik pada penelitian ini adalah asam mefenamat 500 mg.

Alat ukur: Kuesioner

Cara ukur: Pasien mencatat jumlah obat analgetik perhari yang


diminum jika nyeri, dengan dosis maksimal 4 tablet/hari.

4. Madu merupakan cairan manis yang diproses oleh lebah yang


berasal dari sari pati atau tepung sari bunga dan oleh lebah
dijadikan sebagai bahan baku yang disebut nektar. Jenis madu
yang digunakan adalah madu Nusantara Murni sebanyak 15 cc
dilarutkan dengan 5 cc air dan digunakan dengan cara berkumur
selama 2 menit.

3.9. Alat dan Bahan Penelitian

3.9.1. Alat penelitian


Penelitian ini membutuhkan beberapa bahan dan peralatan sebagai
berikut:
a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita

Universitas Sumatera Utara


53

b. Formulir persetujuan ikut penelitian (informed consent)


c. Kuesioner penelitian
d. Lampu Kepala
e. Tongue Spatle

3.9.2. Bahan Penelitian


1. Pasien pasca tonsilektomi sesuai kriteria inklusi
2. Madu. Madu yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
madu asli dengan brand “Madu Nusantara Murni”. Madu ini sudah
terdaftar di BPOM Indonesia, mempunyai nilai ekonomis rendah,
dan mudah didapatkan. Selain itu Menurut Diah, Sundoro, &
Sudjatmiko (2012), madu nusantara juga memiliki kandungan
yang tidak jauh berbeda dengan madu yang di gunakan di luar
negeri (manuka honey).
3. Sirup karamel (sebagai plasebo)
4. Spuit 20 cc

3.10. Prosedur Penelitian


Pasien yang datang berobat ke SMF T.H.T.K.L di beberapa Rumah
Sakit di Kota Medan yang telah ditentukan dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan THT rutin kemudian direncanakan operasi tonsilektomi sesuai
indikasi.
Pasien sesuai kriteria inklusi akan dimasukkan ke dalam penelitian
dan diminta mengisi lembar persetujuan penelitian. Kemudian pasien dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu kelompok madu, kelompok plasebo dan
kelompok kontrol, yang kemudian dibagi secara acak. Pasien diberi amplop
tertutup secara acak untuk menentukan kelompok madu, plasebo atau
kontrol, amplop tersebut hanya boleh dibuka setelah operasi tonsilektomi.
Ketiga kelompok dilakukan tonsilektomi dengan metode diseksi dan kontrol
hemostasis menggunakan kauter bipolar. Pada kelompok madu, 8 pasien
diminta berkumur dengan 15 cc madu dicampur 5 cc air 6 jam setelah

Universitas Sumatera Utara


54

operasi dan madu tersebut didiamkan 2 menit di orofaring lalu ditelan.


Kemudian hal ini dilakukan setiap 6 jam selama 10 hari. Pada kelompok
plasebo, tidak diberikan madu namun diberikan cairan gula + karamel
sebagai plasebo dengan cara pemberian yang sama seperti kelompok
madu. Pada kelompok kontrol, pasien tidak diberikan perlakuan sama sekali
pasca tonsilektomi, hanya diberikan obat standar. Semua pasien pada
ketiga grup diberikan obat – obatan yang sama selama dirawat dan saat
dipulangkan seperti analgetik berupa asam mefenamat 500 mg bila nyeri
dengan dosis maksimum 4 tablet/ hari, antibiotik berupa sefadroksil 2 x 500
mg, dan cairan infus. Semua pasien dipulangkan 48 jam pasca operasi dan
diminta untuk kontrol pada hari ke - 4, hari ke - 7 dan hari ke - 10 pasca
operasi.
Nyeri dinilai setelah 24 jam, 48 jam, hari ke – 4, hari ke – 7, dan hari
ke - 10 pasca operasi. Nyeri dinilai dengan menggunakan skala nyeri visual
analog (Visual Analogue Scale / VAS). Skor dihitung mulai dari angka 0
(tanpa nyeri) hingga angka 10 (nyeri hebat), pasien diperbolehkan untuk
menandai suatu titik yang paling mewakili rasa nyerinya di skala tersebut.
Frekuensi penggunaan obat analgetik per-24 jam juga dicatat untuk
membandingkan antara ketiga kelompok.

Universitas Sumatera Utara


55

3.11. Kerangka Operasional

Pasien Tonsilitis Kronis

Inklusi :
Eksklusi :
- Laki - laki, usia 18-50th
- Diabetes Mellitus
-Tonsilektomi dengan
- Alergi Madu
metode diseksi
- Gangguan perdarahan
- Sadar pasca operasi
- Perdarahan / Infeksi
- Kooperatif dan bersedia ikut
akut pasca operasi
serta dalam penelitian
- Perlengketan tonsil
saat operasi
Tonsilektomi
- Ketergantungan alkohol
/obat - obatan
Kelompok Kelompok Kelompok
Madu Plasebo Kontrol - Dalam Pengobatan
Intervensi Intervensi Tanpa jangka panjang
madu selama Plasebo intervensi
10 hari pasca selama 10 hari selama 10 hari
operasi pasca operasi pasca operasi

Evaluasi skala nyeri pasca


operasi tonsilektomi dan
frekuensi penggunaan obat
analgesia

Pencatatan hasil Analisa


pemeriksaan dan data
pengumpulan data

Gambar 3.2. Kerangka Operasional

Universitas Sumatera Utara


56

4.12. Jadwal Penelitian

3.1. Tabel Jadwal Penelitian


No Jenis Kegiatan Waktu (Bulan ke-)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Persiapan Proposal
2 Presentasi Proposal
3 Pengumpulan Data
4 Pengolahan Data dan
Pembuatan Laporan
5 Laporan Hasil

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Sampel pada penelitian ini adalah pasien pasca tonsilektomi sesuai
indikasi sejumlah 24 orang yang datang ke SMF T.H.T.K.L. beberapa
rumah sakit di Kota Medan (RSU dr. Pirngadi, RSU Universitas Sumatera
Utara, RSU Haji Mina, Rumkit 1 Bukit Barisan) yang memenuhi kriteria
inklusi. Keseluruhan subjek berjenis kelamin laki – laki, dengan usia pasien
terbanyak berada di antara 18 hingga 25 tahun sebanyak 16 orang (66,6%).
Rerata usia keseluruhan subjek penelitian adalah 23,8 dengan usia
termuda 18 tahun dan usia tertua 33 tahun.

Tabel 4.1 Distribusi Pasien berdasarkan Usia


Usia Madu Plasebo Kontrol Total
N % n % n % n %
18-25 Tahun 6 75 5 62,5 5 62,5 16 66,7
26-30 Tahun 1 12,5 1 12,5 2 25 4 16,7
> 30 Tahun 1 12,5 2 25 1 12,5 4 16,7
Total 8 33,33 8 33,33 8 33,33 24 100

Berdasarkan tabel 4.1, usia terbanyak pada kelompok madu berada


pada usia 18 – 25 tahun yaitu 75%, demikian pula pada kelompok plasebo
sebanyak 62,5% dan kelompok kontrol sebanyak 62,5%.

4.2 Perbandingan Skala Nyeri dan Frekuensi Penggunaan Analgetik


Pasca Tonsilektomi

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS,


didapatkan perbedaan skala nyeri dan penggunaan analgetik mulai hari ke-
1 hingga hari ke-10 antara kelompok madu, plasebo dan kontrol.

57
Universitas Sumatera Utara
58

Tabel 4.2. Perbandingan Skala Nyeri Hari ke- 1, 2, 4, 7, dan 10 pada


Kelompok Madu, Plasebo dan Kontrol
Skala Nyeri (VAS)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
Kelompok
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
Madu 4,75 (1,28) 4,13 (1,36) 3,13 (0,99) 2,00 (1,07) 0,88 (0,64)
Plasebo 6,00 (1,07) 5,75 (1,03) 4,75 (0,71) 3,38 (0,52) 2,25 (0,25)
Kontrol 6,50 (1,30) 6,88 (0,83) 5,75 (0,89) 4,50 (0,76) 2,88 (0,64)
p value 0,034a 0,003a <0,001b 0,001a 0,001a
M vs P 0,052d 0,021d 0,004c 0,012d 0,004d
M vs K 0,020d 0,002d <0,001c 0,001d <0,001d
P vs K 0,396d 0,050d 0,095c 0,010d 0,130d
a
Kruskal wallis, b Anova, c Bonferroni, d Mann Whitney

Berdasarkan tabel 4.2, rerata penurunan skala nyeri pada kelompok


madu ditemukan perbedaan yang signifikan sejak hari ke-1 dengan p value
<0,05. Pada hari ke-1, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok madu dengan plasebo, namun terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok madu dengan kontrol. Pada hari ke-2 dan ke-4
terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok madu dengan
kelompok plasebo dan kontrol, namun tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kelompok plasebo dengan kontrol. Pada hari ke-7 terdapat
perbedaan yang signifikan antara ke-3 kelompok. Pada hari ke -10, terdapat
perbedaan yang signifikan pada kelompok madu terhadap plasebo dan
kontrol, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok
plasebo dengan kontrol.
Berdasarkan tabel 4.2., madu secara signifikan memiliki efek
menurunkan nyeri yang lebih baik diantara ketiga kelompok tersebut

Universitas Sumatera Utara


59

terutama jika dibandingkan dengan plasebo dan kontrol pada hari ke-1, 2,
4, 7 & 10.
8
7 Derajat Berat
Derajat Berat
6 Derajat Sedang Derajat Sedang Derajat Sedang
5
Derajat Sedang Derajat Sedang Derajat Sedang
4 Derajat Sedang
Derajat Sedang
3 Derajat Ringan Derajat Ringan
2 Derajat Ringan
Derajat Ringan
1 Tidak Nyeri
0
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10

Madu Plasebo Kontrol

Gambar 4.1. Grafik Perbandingan Skala Nyeri antara Kelompok Madu,


Plasebo dan Kontrol

Berdasarkan gambar 4.1. dapat dilihat bahwa terjadi penurunan


nyeri dimana skala nyeri pada kelompok madu adalah yang terendah jika
dibandingkan dengan kelompok plasebo dan kontrol.

Tabel 4.3. Perbandingan Frekuensi Penggunaan Analgetik Hari ke- 1, 2,


4, 7, dan 10 pada Kelompok Madu, Plasebo dan Kontrol
Analgetik
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
Kelompok
Rerata
Rerata (SD) Rerata (SD) Rerata (SD) Rerata (SD)
(SD)

Madu 2,88 (0,83) 2,38 (0,92) 1,63 (0,74) 0,88 (0,64) 0,50 (0,53)
Plasebo 3,38 (0,52) 3,13 (0,64) 2,50 (0,53) 2,13 (0,64) 1,13 (0,83)
Kontrol 3,63 (0,52) 3,50 (0,53) 3,25 (0,46) 2,38 (0,74) 1,38 (0,74)
p value 0,122a 0,028a 0,001a 0,003a 0,069a

Universitas Sumatera Utara


60

M vs P 0,074d 0,025d 0,004d


M vs K 0,015d 0,001d 0,003d
P vs K 0,232d 0,015d 0,418d
a
Kruskal wallis, b Anova, c Bonferroni, d Mann Whitney
Berdasarkan tabel 4.3. pada hari ke-1 tidak terdapat perbedaan
fekuensi penggunaan analgetik yang signifikan antara ketiga kelompok.
Pada hari ke-2 terdapat perbedaan yang signifkan antara kelompok madu
dengan kelompok kontrol, namun tidak signifikan antara kelompok madu
dengan kelompok plasebo. Frekensi penggunaan analgetik pada kelompok
madu secara signifikan terdapat perbedaan terhadap semua kelompok
terjadi mulai hari ke-4, dan 7, namun pada hari ke-10 ketiga kelompok tidak
mengalami perbedaan yang signifkan. Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara kelompok plasebo dengan kontrol secara keseluruhan
kecuali pada hari ke-4.

4
3,63
3,5 3,5
3,38
3,13
3
2,88
2,5 2,5
2,38 2,38
2,13 2,13
2
1,63
1,5
1,38
1,13
1
0,88
0,5 0,5

0
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10

Madu Plasebo Kontrol

Gambar 4.2. Grafik Perbandingan Frekuensi Penggunaan Analgetik


antara kelompok Madu, Plasebo dan Kontrol

Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.2. dapat di lihat bahwa terjadi
penurunan frekuensi penggunaan analgetik dari hari ke-1 hingga hari ke-

Universitas Sumatera Utara


61

10. Dimana rerata penggunaan analgetik pada kelompok madu di hari ke-1
yaitu 2,88 dan pada hari ke-10 menjadi 0,50. Kelompok plasebo hari ke-1
yaitu 3,38 menjadi 1,13 pada hari ke-10. Kelompok kontrol pada hari ke-1
yaitu 3,63 dan hari ke-10 menjadi 1,38.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa madu efektif menurunkan


frekuensi penggunaan analgetik terutama pada hari ke-2, 4 dan 7 jika
dibandingkan dengan kelompok plasebo dan kelompok kontrol.

4.2.1. Efek terhadap Skala Nyeri


A. Kelompok Madu
Pada kelompok madu, terdapat penurunan terhadap skala
nyeri yang signifikan diketahui berdasarkan tabel dibawah ini dimana
rerata pada hari pertama dengan skala 4,75 dan hari ke 10 dengan
skala 0,88 dengan nilai p <0,001.

Tabel 4.4. Efek madu terhadap skala nyeri


SKALA NYERI (VAS)

Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10


MADU
Rerata
Rerata (SD) Rerata (SD) Rerata (SD) Rerata (SD)
(SD)

4,75 (1,28) 4,13 (1,36) 3,13 (0,99) 2,00 (1,07) 0,88 (0,64)
P value <0,001e
Hari 1 0,096f 0,010f 0,010f 0,011f
Hari 2 0,011f 0,007f 0,008f
Hari 4 0,007f 0,010f
Hari 7 0,011f
Hari 10
e
Friedman f Wilcoxon

Berdasarkan tabel 4.4. pada kelompok madu tidak terdapat


penurunan skala nyeri secara signifikan hingga hari ke-2 jika

Universitas Sumatera Utara


62

dibandingkan dengan hari pertama. Penurunan nyeri secara


signifikan menurun pada hari ke -4, 7 dan 10 jika dibandingkan
dengan hari sebelumnya.

B. Kelompok Plasebo
Pada kelompok placebo terdapat penurunan skala nyeri
yang signifikan mulai hari ke-1 dengan rerata skala nyeri 5,88 hingga
hari ke 10 dengan rerata skala nyeri 2,38 dan nilai p <0,001.

Tabel 4.5. Efek Plasebo terhadap skala nyeri


SKALA NYERI (VAS)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
PLASEBO
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
4,75
6,00 (1,07) 5,75 (1,03) 3,38 (0,52) 2,25 (0,71)
(0,71)
P value <0,001e
Hari 1 0,480f 0,041f 0,011f 0,011f
Hari 2 0,038f 0,011f 0,011f
Hari 4 0,009f 0,010f
Hari 7 0,007f
Hari 10
e Friedman f Wilcoxon

Sesuai tabel 4.5. pada kelompok plasebo tidak terdapat


penurunan skala nyeri secara signifikan pada hari ke-2 jika
dibandingkan dengan hari pertama. Penurunan nyeri secara
signifikan menurun pada hari ke -4, 7 dan 10 jika dibandingkan
dengan hari sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara


63

C. Kelompok Kontrol
Berdasarkan tabel 4.6. ini terdapat penurunan skala nyeri
yang signifikan pada kelompok kontrol dimana rerata skala nyeri hari
ke-1 adalah 6,50 dan pada hari ke-10 menjadi 2,88, dengan nilai p
value <0,001.

Tabel 4.6. Kelompok Kontrol terhadap skala nyeri


SKALA NYERI (VAS)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
KONTROL
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
5,75
6,50 (1,31) 6,88 (0,83) 4,50 (0,75) 2,88 (0,64)
(0,89)
P value <0,001e
Hari 1 0,257f 0,167f 0,011f 0,011f
Hari 2 0,030f 0,010f 0,011f
Hari 4 0,008f 0,010f
Hari 7 0,010f
Hari 10
e
Friedman f Wilcoxon

Sesuai tabel 4.6. pada kelompok kontrol tidak terdapat


penurunan skala nyeri secara signifikan hingga hari ke-4. Penurunan
nyeri secara signifikan menurun pada hari ke 7 dan 10.

4.2.2. Efek terhadap Frekuensi Penggunaan Analgetik


A. Kelompok Madu
Berdasarkan tabel berikut, didapati penurunan frekuensi
penggunaan analgetik yang signifikan, Hal ini diketahui karena nilai
p <0,001, dan terdapat penurunan nilai rerata dari hari ke-1 hingga
hari ke-10. Kelompok madu memiliki rerata frekuensi penggunaan

Universitas Sumatera Utara


64

analgetik yang terendah jika dibandingkan dengan kelompok


plasebo dan kelompok kontrol.

Tabel 4.7. Efek madu terhadap frekuensi penggunaan analgetik

ANALGETIK (kali)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
MADU
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
2,88 (0,83) 2,38 (0,92) 1,63 (0,74) 0,88 (0,64) 0,50 (0,53)
P value <0,001e
Hari 1 0,046f 0,008f 0,011f 0,009f
Hari 2 0,034f 0,010f 0,011f
Hari 4 0,014f 0,007f
Hari 7 0,083f
Hari 10
e
Friedman f Wilcoxon

Berdasarkan tabel 4.7., penggunaan analgetik pada


kelompok madu secara signifikan mengalami penurunan terutama
pada hari ke-2, 4, 7 dan 10.

B. Kelompok Plasebo
Berdasarkan tabel 4.8. didapati penurunan frekuensi
penggunaan analgetik yang signifikan, Hal ini diketahui karena nilai
p <0,001, dan terdapat penurunan nilai rerata dari hari ke-1 hingga
hari ke-10. Kelompok plasebo memiliki rerata frekuensi penggunaan
analgetik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok madu
dan lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Universitas Sumatera Utara


65

Tabel 4.8. Efek Plasebo terhadap frekuensi penggunaan analgetik


ANALGETIK (kali)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
PLASEBO
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
2,50
3,38 (0,52) 3,13 (0,64) 2,13 (0,64) 1,13 (0,69)
(0,53)
P value <0,001e
Hari 1 0,414f 0,038f 0,014f 0,011f
Hari 2 0,059f 0,011f 0,010f
Hari 4 0,083f 0,015f
Hari 7 0,023f
Hari 10
e
friedman f Wilcoxon

Berdasarkan tabel 4.8. penggunaan analgetik pada kelompok


plasebo secara signifikan mengalami penurunan terutama pada hari
ke -10.

C. Kelompok Kontrol
Didapati penurunan frekuensi penggunaan analgetik yang
signifikan menurut tabel dibawah ini. Hal ini diketahui karena nilai p
<0,001, dan terdapat penurunan nilai rerata dari hari ke-1 hingga
hari ke-10. Namun masing – masing rerata frekuensi penggunaan
analgetik pada kelompok kontrol memiliki nilai tertinggi jika
dibandingkan dengan rerata pada kelompok madu dan kelompok
plasebo.

Universitas Sumatera Utara


66

Tabel 4.9. Kelompok Kontrol terhadap frekuensi penggunaan analgetik

ANALGETIK (kali)
Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
KONTROL
Rerata Rerata Rerata Rerata Rerata
(SD) (SD) (SD) (SD) (SD)
3,25
3,63 (0,52) 3,50 (0,53) 2,38 (0,74) 1,38 (0,74)
(0,46)
p value <0,001e
Hari 1 0,569f 0,180f 0,014f 0,011f
Hari 2 0,414f 0,041f 0,011f
Hari 4 0,020f 0,011f
Hari 7 0,038f
Hari 10
e
friedman f Wilcoxon
Berdasarkan tabel 4.9. penggunaan analgetik pada kelompok
kontrol mengalami penurunan secara signifikan pada hari ke 7 dan
10.

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN

Kelompok usia terbanyak pada penelitian ini adalah kelompok usia


yang berada di antara 18 hingga 25 tahun yaitu sebanyak 16 subjek (66,7%)
yang terlihat pada tabel 4.1 dimana kelompok ini merupakan kelompok usia
termuda pada penelitian ini. Hal ini sesuai dengan penelitian Chai Shi
(2014), berdasarkan kelompok usia penderita tonsilitis kronis, yang paling
banyak adalah kelompok usia 12-25 tahun dengan persentase 42,9%,
tonsilitis kronis lebih sering dijumpai dengan kelompok usia paling banyak
kelompok remaja dan tidak ada perbandingan signifikan antara jenis
kelamin. Menurut Michelle (2014), data yang meneliti tonsilektomi pada
orang dewasa masih terbatas, karena sebagian besar penelitian yang
meneliti populasi anak atau populasi yang terdiri dari anak-anak dan orang
dewasa. Menurut Cullen (2006), sejak tahun 2003, angka tonsilitis telah
meningkat sebesar 118% pada orang dewasa dan 179% pada anak-anak
meskipun perubahan pada tingkat tonsilektomi dapat diabaikan. Sementara
menurut Owing (1996), jumlah operasi amandel yang dilakukan di Amerika
Serikat mencapai puncaknya sekitar tahun 1959 dengan 1,4 juta operasi,
sebagian besar dilakukan pada anak-anak. Angka tersebut menurun
menjadi 500.000 pada tahun 1979 dan menjadi 380.000 pada tahun 1996.
Kira-kira 130.000 dari tonsilektomi yang dilakukan pada tahun 1996
ditujukan untuk individu yang berusia di atas 15 tahun.
Banyak penelitian yang menggunakan madu manuka, salah satunya
adalah penelitian Saikaly (2017). Manfaat madu tidak hanya dapat
diperoleh dari madu manuka yang telah terdaftar dan tersertifikasi sebagai
salah satu komponen perawatan luka tetapi juga dimiliki oleh madu lokal
Indonesia. Dalam penelitian di RSCM (2010) yang membandingkan potensi
antibakterial madu lokal Indonesia (Madu Murni Nusantara) dan madu
manuka, disimpulkan bahwa madu lokal Indonesia efektif mengatasi infeksi
P. aeruginosa, MRSA, dan S.aureus. Meksipun demikian, konsentrasi
minimum untuk mendapatkan efek inhibisi (minimum inhibitory
concentration/ MIC) madu lokal lebih tinggi bila dibandingkan dengan madu

67
Universitas Sumatera Utara
68

manuka. Pada penelitian ini, madu yang digunakan adalah madu lokal
Indonesia yaitu Madu Nusantara Murni, karena madu tersebut memiliki
efektivitas terhadap luka yang sebanding dengan khasiat madu manuka
sesuai dengan penelitian Diah (2012). Selain itu madu ini juga sesuai
standar BPOM RI dan mudah didapatkan. Madu Nusantara Murni memiliki
komposisi utama berupa madu randu murni, tanpa campuran zat lain..
Madu Nusantara murni sudah digunakan dalam beberapa uji coba klinis,
salah satunya di bagian Bedah Plastik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Indonesia pada tahun 2012, diperoleh data bahwa penggantian balut madu
setiap 2 hari memberikan hasil cukup baik dalam hal penurunan rerata area
luka non-epitelisasi. Meskipun demikian, penggantian balut madu setiap
hari tetap lebih direkomendasikan karena didapatkan penurunan rerata
area luka non-epitelisasi yang lebih cepat bila dibandingkan dengan
penggantian balut madu setiap 2 hari (Raymond, 2012).
Menurut Mohebbi (2014) dan Lazim (2017), madu tidak dapat
digunakan untuk kontak langsung fossa tonsil secara konstan, karena tidak
ada balutan yang digunakan di wilayah ini. Penelitian Mohebbi (2014),
madu diaplikasikan dengan mengkonsumsi secara peroral, mengingat tidak
memungkinkan diaplikasikan secara langsung dan terus menerus, oleh
karena itu penggunaan madu harus dilakukan sesering mungkin. Pada
penelitian ini, madu sejumlah 15 cc dilarutkan dengan air 5 cc kemudian
digunakan dengan administrasi langsung secara berkumur selama 2 menit
kemudian ditelan setiap 6 jam, hal ini dilakukan agar madu dapat mencapai
seluruh daerah yang mengalami trauma pasca operasi. Sesuai dengan
penelitian Raoufian (2020), dimana subjek penelitian menggunakan madu
dengan berkumur setiap 6 jam, namun pelarut yang digunakan adalah
normal saline.
Pada penelitian ini, semua kelompok subjek penelitian diberi
antibiotik dan analgesia yang sama, khusus analgesia diminum jika nyeri
saja dan frekuensi analgesia yang dikonsumsi dicatat. Nyeri dinilai
menggunakan skala VAS (Visual Analogue Score) dari 0 – 10. Sesuai

Universitas Sumatera Utara


69

dengan prosedur penelitian yang dilakukan oleh Ozlugedik et al (2006),


Letchumanan et al (2013) dan Boroundman (2013). Yang membedakan
adalah kelompok penelitian, dimana pada penelitian ini terdapat tiga
kelompok yaitu kelompok madu, kelompok plasebo dan kelompok kontrol
serta kriteria inklusi pada subjek penelitian ini keseluruhannya adalah usia
dewasa dan jenis kelamin laki – laki.
Menurut Yaghoobi (2016), mekanisme anti nyeri pada luka dikaitkan
dengan adanya kandungan antioksidan dalam madu seperti flavonoid,
monofenol, polifenol, vitamin C, dan methylsyringate yang dapat
mengganggu proses amplifikasi inflamasi oleh ROS. Majtan (2014)
menyatakan bahwa biomarker ini berpotensi memperkuat efek
imunomodulasi pada madu. Seperti biomarker yang termasuk sitokin, TNF-
α, histamin, dan nitrooksida. Substansi ini teridentifikasi pada sebagian
besar madu dan memiliki peran penting terhadap mediasi nyeri. Selain itu,
Molan (2015) memaparkan bahwa madu juga berperan merangsang
pembentukan matrix metallopeptidase 9 (MMP-9), enzim protease yang
berperan dalam pelepasan sel keratinosit dari membran basalis, sehingga
memungkinkan terjadinya migrasi keratinosit untuk reepitelisasi dan
mempercepat penyembuhan luka. Sifat asam pada madu yang memiliki
kisaran pH 3,2 – 4,5.8, akan meningkatkan pelepasan oksigen dari
hemoglobin, sehingga dapat mendukung proses penyembuhan luka. Selain
itu, pada rentang pH tersebut, aktivitas protease dalam menghancurkan
matriks kolagen yang diperlukan bagi perbaikan jaringan pun akan
dihambat. Osmolaritas madu yang tinggi akibat tingginya kandungan gula
akan menimbulkan efek osmotik, sehingga akan menarik cairan dari
permukaan luka; jika sirkulasi darah jaringan di bawah luka baik, efek
osmotik gula justru akan memperlancar aliran keluar cairan limfe.
Mekanisme ini dapat dianalogikan dengan perawatan luka menggunakan
tekanan negatif (negative pressure wound therapy/ NPWT) yang dinilai
bermanfaat mempercepat penyembuhan luka. Hal ini dapat membantu
mengurangi nyeri pada luka yang lebih cepat pada pemberian madu.

Universitas Sumatera Utara


70

Pada penelitian ini, madu terbukti signifikan mengurangi nyeri


pasca tonsilektomi jika dibandingkan dengan kelompok plasebo dan
kontrol. Sesuai dengan Visual Analogue Scale, skala nyeri pada kelompok
madu mengalami nyeri derajat sedang pada hari pertama dan ke-2. Nyeri
derajat ringan pada hari ke-4 dan ke-7 dan tidak nyeri pada hari ke-10. Pada
kelompok plasebo mengalami nyeri derajat sedang pada hari ke-1, ke-2,
ke-4 dan ke-7, kemudian pada hari ke-10 nyeri dengan derajat ringan.
Sementara pada kelompok kontrol mengalami nyeri derajat berat pada hari
ke-1, dan 2. Pada hari ke-4 dan ke-7 nyeri menurun menjadi nyeri derajat
sedang dan pada hari ke-10 nyeri dengan derajat ringan. Terdapat
beberapa penelitian yang serupa juga menunjukkan bahwa madu secara
signifikan dapat mengurangi skala nyeri pasca tonsilektomi seperti
penelitian Hwang et al (2016), Ozlugedik (2006), Boroundman (2013),
Nanda (2016), dan Raoufian (2020) dengan hasil penelitian bahwa
kelompok madu signifikan menurunkan skala nyeri pasca tonsilektomi,
pada hari pertama pasca operasi nyeri derajat sedang, pada hari ke-7
hanya nyeri derajat ringan dan hari ke-10 nyeri sudah tidak ada. Berbeda
dengan penelitian Letchumanan (2012) yang menyatakan bahwa efek
madu terhadap nyeri pasca tonsilektomi tidak signifikan. Selain itu, pada
penelitian ini penggunaan plasebo ternyata juga menurunkan skala nyeri
walaupun tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan kontrol, namun
efek penurunan skala nyeri pada plasebo signifikan terhadap skala nyeri
lebih baik jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini mungkin
sesuai dengan Yaghoobi (2016) bahwa kadar gula yang tinggi memiliki efek
osmotik dan aktivitas anti bakteri pada luka, serta membantu melembabkan
luka dan mengurangi nyeri walaupun mungkin efek plasebo tidak sebaik
efek madu terhadap luka.
Pada penelitian ini, madu efektif menurunkan skala nyeri secara
signifikan dimana p value <0,001, mulai hari ke -1 dengan derajat nyeri
sedang hingga hari ke -10 menjadi derajat tidak nyeri. Hal ini mirip dengan
hasil penelitian Boroundman (2013) dan penelitian Lal (2016) diketahui

Universitas Sumatera Utara


71

bahwa kelompok madu secara signifikan menurunkan skala nyeri sejak hari
pertama, sementara pada penelitian Ozlugedik (2006) yang menunjukkan
bahwa skala nyeri mengalami penurunan secara signifikan pada kelompok
madu mulai hari ke-2, sementara, sedangkan Mohebbi (2014) meneliti
bahwa madu terbukti secara signifikan dapat mengurangi nyeri jika
dibandingkan pada kelompok percobaan nyeri pasca operasi mulai
menghilang dalam waktu 5 – 6 hari, sedangkan pada kelompok kontrol nyeri
pasca operasi baru menghilang selama 7-8 hari. Sangat berbeda dengan
penelitian Akbas et al (2004) bahwa nyeri berkurang secara signifikan pada
hari ke -10 dan 14 dan pada penelitian Letchumanan (2012) tidak ada
perbedaan yang signifikan pada kelompok madu dan plasebo terhadap
penurunan skala nyeri.
Menurut penelitian Ozlugedik (2006) dan Boroundman (2013), madu
secara signifkan membantu mengurangi frekuensi penggunaan analgesia.
Hal ini sejalan dengan penelitian ini, dimana rerata konsumsi analgesia
pada kelompok madu adalah yang terendah dengan nilai p < 0,001 serta
memiliki skala perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan grup
plasebo dan grup kontrol. Penurunan frekuensi analgetik paling efektif
terlihat pada kelompok madu dibandingkan dengan plasebo dan kontrol.
Secara signifikan juga terlihat bahwa ada pengaruh pada penurunan
penggunaan analgetik mulai dari hari 1 hingga hari 10. Pada penelitian ini
tidak dijumpai perbedaan yang signifikan baik skala nyeri maupun frekuensi
penggunaan analgetik antara kelompok plasebo dengan kelompok kontrol,
namun efek kelompok plasebo terhadap skala nyeri dan frekuensi
penggunaan analgetik lebih rendah jika dibandingkan kelompok kontrol.
Nanda et al (2016) memaparkan bahwa madu mempercepat
pemulihan tanda dan gejala sakit tenggorokan. Tanda-tanda dan gejala
nyeri, demam, dan kongesti orofaringeal pulih lebih cepat bila madu
ditambahkan ke terapi. Tidak ada efek samping atau resistensi pada
penggunaan madu sehingga madu dianggap sebagai obat yang aman.
Oleh karena itu, asupan madu sebagai terapi adjuvan akan bermanfaat bagi

Universitas Sumatera Utara


72

pasien dengan nyeri tenggorokan. Pada penelitian ini, tidak dijumpai


adanya efek samping, komplikasi maupun alergi penggunaan madu pada
subjek penelitian, walaupun terdapat perdarahan minor pada kelompok
kontrol dan plasebo namun tidak memerlukan intervensi bedah.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
a. Pada penelitian ini dijumpai usia subjek terbanyak berada antara 18
hingga 25 tahun. Jenis kelamin keseluruhannya adalah laki – laki.
b. Berdasarkan penelitian ini, madu dapat menurunkan nyeri pasca
tonsilektomi.
c. Efektivitas penggunaan madu terhadap skala nyeri menunjukkan
hasil yang signifikan terutama pada hari ke-2, 4, 7 dan 10 jika
dibandingkan antara kelompok madu dengan kedua kelompok
lainnya.
d. Penggunaan madu terhadap frekuensi penggunaan analgetik
menunjukkan hasil yang signifikan terutama pada hari ke-4, 7 dan
10 pasca tonsilektomi jika dibandingkan antara kelompok madu
dengan kedua kelompok lainnya.

6.2. Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan pemberian jenis madu
lain atau kombinasi antara madu dengan bahan lainnya untuk
mengembangkan penelitian madu terhadap efek nyeri pasca
tonsilektomi
b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambahkan variasi
kelompok ataupun kriteria sampel lainnya untuk mengembangkan
penelitian madu terhadap efek nyeri pasca tonsilektomi
c. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas madu
terhadap proses penyembuhan, anti inflamasi, dan anti bakteri pada
penyakit T.H.T.K.L lainnya
d. Agar hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar
penggunaan madu dalam mengurangi nyeri pasca tonsilektomi yang
efektif sejak hari pertama

73
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, B., Lazim, N.M., & Salim, R. 2015. The Effectiveness of


Tualang Honey in Reducing Post Tonsillectomy Pain. Kulak burun
Bogaz Ihtis Derg, 25 (3). Pp 137 – 143.
2. Acton, C., & Dunwoody, G. 2008.The Use of Medical Grade Honey
In Clinical Practice. British Journal of Nursing vol 17 No.20.
3. Aljadi AM, Kamaruddin MY.2004. Evaluation of The Phenolic
Contents and Antioxidant Capacities of Two Malaysian Floral
Honeys. Food Chemistry; 85: 513-518.
4. Aljadi AM, Yusoff KM. 2003. Isolation and Identification of phenolic
acids in Malaysian honey with anti-bacterial properties.Turk J Med
Sci; 33: 229-236.
5. Amani, S. Kheiri, S., & Ahmadi, a. 2015. Honey Versus
Diphenhydramine For Post Tonsillectomy Pain Relief In Pediatric
Cases; A Randomized Clinical Trial. Journal of Clinical Diagnostic
Research.
6. Amalia N. 2011. Karakteristik penderita tonsilitis kronis di RSUP H.
Adam Malik Medan tahun 2009 (tesis). Medan: Universitas Sumatera
Utara.
7. Amaruddin, T., Christanto, A. 2007. Kajian manfaat tonsilektomi.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran, vol. 34, no. 2/155, pp. 61-8
8. Bailey, Byron J, MD. 2014. Tonsillitis, Tonsillectomy, and
Adenoidectomy In: Head and Neck Surgey-Otolaryngology 5th
Edition. Lippincott Raven Publisher. Philadelphia. P :1224, 1233-34
9. Berkovitz, BK. 2018. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and
Neck Surgery: Anatomy of the mouth and dentition, 8th edition, vol 2.
Hodder Arnold An Hachette UK Company, London, pp. 1791-4.
10. Brahmi, NH., Sutiyono, Doso. 2015. Ketamin Dan Blok Peritonsiler
Untuk Penatalaksanaan Nyeri Post Operasi Tonsilektomi Pada
Anak. Jurnal Anestesiologi Indonesia Volume VII, Nomor 2. P:115 –
119.

74
Universitas Sumatera Utara
75

11. Boroundman P et al. 2013. Post Tonsillectomy Pain: Can Honey


Reduce the Analgesic Requirements? Iranian Society of Regional
Anesthesiology and Pain Medicine. Koswar Corp: Tehran.

12. Chadwick, P., Edmonds, M., Mc Cardle, J., & Armstrong, D.2013.
Interntional best practice guidlines: wound management in diabetic
foot ulcers. Wound international, 2013.
www.woundsinternational.com

13. Chai Shi, Hua. 2014. Prevalensi Tonsilitis di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Tahun 2014. Repository Universitas
Sumatera Utara, Medan. URL:
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/17678

14. Cullen KA, Hall MJ, Golosinskiy A. Ambulatory surgery in the


United States, 2006. Natl Health Stat Report. 2009;(11):1-25.Google
Scholar

15. Diah K.P, Ayu., Sundoro, Ali., Sudjatmiko, Gentur. 2012.


Antibacterial activity of Indonesian Local Honey Against Strains of P.
Aeruginosa, S Aureus, and MRSA.Jakarta: JPR Journal P177 – 181.
16. Dhingra, PL. 2018, Acute and chronic tonsillitis. In: Diseases of ear,
nose and throat. New Delhi 7th ed, Elsevier, pp. 239-42
17. Dhiwakar M, Brown PM. 2005. Are adjuvant therapies for
tonsillectomy evidence based? J Laryngol Otol;119: 614–9.
18. Fachruddin, D. 2007. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA,
editor Iskandar HN, Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Balai
Penerbit FKUI,Jakarta, hal.226-30
19. Farokah, Suprihati & Suyitno, S. 2013, Hubungan Tonsilitis Kronik
dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota
Semarang, Cermin Dunia Kedokteran, vol. 34, no. (2)/155, pp. 87-
92.
20. Ginting, Daniel, 2019. Perbandingan Usapan Permukaan Tonsil
Aspirasi Jarum Halus Tonsil dan Kultur Jaringan Parenkim Tonsil
dalam Menentukan Bakteri Parenkim pada Tonsilitis Berulang.

75
Universitas Sumatera Utara
76

Repositori USU dari URL:


(http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/15298). (Diakses
tanggal 16 April 2020)
21. Gould D. 2001. A Critical review of visual Analog Scales in the
measurement of clinical phenomena. Blackwell Science Ltd, Journal
of Clinical Noursing; 10: 697 – 706.
22. Gutner, GC. 2007. Wound Healing, Normal and Abnormal. In Grabb
and Smith’s Plastic Surgery 6th edition Philadelphia: Elsevier; (p15-
22).
23. Guyton AC. Somatic Sensation, Pain, Headache and Thermal
Sensation In: Textbool of Medical Physiology 12 th ed. Philadhelpia
WB: Elsevier; p596 – 620.
24. Handian FI. 2006. Efektivitas perawatan menggunakan madu nektar
flora dibandingkan dengan silver sulfadiazine terhadap
penyembuhan luka bakar derajat 2 terinfeksi pada marmut [skripsi].
Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
25. Hasibuan R, A.H. Sp THT. 2004. Pharingologi. Jala Penerbit:
Jakarta. hal. 38, 55-8.
26. Hosnieh et al. 2020.The Effect of Gargling Cold Normal Saline in
Comparison to Normal Saline Mixed with Honey on Postoperative
Pain Relief in Tonsillectomy or Adenotonsillectomy: A Randomized
Clinical Trial. URL: http://ircmj.com/articles/94971.html
27. HTA, 2013. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. URL:
https://www.hiqa.ie/sites/default/files/2017-02/HTA-Tonsillectomy-
April13%20%281%29.pdf
28. Hwang et al. 2014. The efficacy of honey for ameliorating pain after
tonsillectomy: a meta-analysis. Eur Arch Otorhinolaryngology Berlin:
Springer. DOI: 10.1007/s00405-014-3433-4.
29. Jeyakumar, A., Miller, S., Mitchell, R. 2014. Adenotonsillar Disease
in Children. Lippincott William & Wilkins. Fifth edition; p1430-1442.
30. Kasenomm et al., 2005. Selection of indicators for tonsillectomy in
adults with recurrent tonsillitis. BMC Ear, Nose and Throat Disorders.

76
Universitas Sumatera Utara
77

31. Kamaruddin MY, Zainabe SA, Anwar S, Mohd Razif MA, Mohd
Yassim MY. 2012. The efficacy of honey dressing on chronic wounds
and ulcers. In: Juraj M, editor. Honey: Current Research and Clinical
Uses. New York: Nova Science Publishers: p185–96.
32. Kassim M, Achoui M, Mustafa MR, Mohd MA, Yusoff KM. 2010.
Ellagic acid, phenolic acids, and flavonoids in Malaysian honey
extracts demonstrate in vitro anti- inflammatory activity. Nutr Res.;
30(9): p650-659.
33. Kassim M, Achouin M, Mansor M, Yusoff KM. 2010. The inhibitory
effects of Gelam honey and its extracts on nitric oxide and
prostaglandin E2 in inflammatory tissues. Fitoterapia; 81(8): p1196-
1201.
34. Katharina et al. 2020. The effect of adjuvant oral application of honey
in the management of postoperative pain after tonsillectomy in
adults: A pilot study. Switzerland: PLoS ONE 15 (2). URL:
https://doi.org/10.1371/journal. pone.0228481.
35. Khan, I., Ahmad, S., Chawala, J. 2012. Comparison of FNA vs
Surface Swab Culture In Isolating Core Flora in Recurrent Tonsilitis.
J Ayub Med Coll Abbottabad ;24 (3-4).
36. Kurien, M., Stanis, A., Job, A., Brahmadathan, Thomas, K. 2000.
Throat Swab in the Chronic Tonsillitis: How Reliable and Valid is it?
Singapore Med J. Vol.41(7):p324-326
37. Kurnia, Dedy. 2018. Penggunaan Blok Peritonsil untuk mengurangi
nyeri Pasca Tonsilektomi. Jurnal Kesehatan Andalas. URL:
https://doi.org/10.25077/jka.v7i2.815
38. Lal et al. Role of Honey after tonsillectomy. 2017. Clinical
Otolaryngology Vol.42, Issue 3; P651 – 660. URL:
https://doi.org/10.1111/coa.12792.
39. Letchumanan et al. 2013. Post tonsillectomy pain relief and
ephitelization with honey. Kuala Lumpur: Turkish Journal of Medical
Sciences.

77
Universitas Sumatera Utara
78

40. Majtan et al. 2013, Fir honeydew honey flavonoids inhibit TNF-α
induced MMP-9 expression in human keratinocytes: a new action of
honey in wound healing. Archives of Dermatological Research. p619
– 27.
41. Marwoto, Primatika AD. 2010. Anestesi Lokal/ Regional. Dalam:
Soenarjo, Jatmiko HD, editor. Anestesiologi. Semarang; IDSAI
Cabang Jawa Tengah;p309-23
42. Messner, Anna. 2005. Feature Articles Tonsillectomy. Operative
Techniques in Otolaryngology. California: Elsevier Inc.
43. Michelle et al. 2014. Safety of Adult Tonsillectomy: A Population-
Level Analysis of 5968 Patients. JAMA Otolaryngol Head Neck
Surg;p197 – 202.
44. Mohebbi et al. 2014. Efficacy of honey in reduction of post
tonsillectomy pain, randomized clinical trial. International Journal of
Pediatric Otorhinolaryngology Vol 78. Elsevier Inc; p1886-1889.
URL: https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2014.08.018
45. Molan P. 2001. Why honey is effective as a medicine. 2. The
scientific explanation of its effects. Bee World.;82: p22-40.
46. Molan PC. 2006. The evidence supporting the use of honey as a
wound dressing. International Journal of Lower Extremity
Wounds.;5(1): p40-54.
47. Molan, P.C. 1998. A Brief Review of the use of honey as a clinical
dressing" the evidence for honey promoting wound healing". the
australian journal of wound management 6 (4) 148-158 (1998)
48. Molan, P.C. 2011. The evidence and the rationale for the use of
honey as wound healing. Wound practice and research vol 19.
49. Molan P, Rhodes T. 2015. Honey: A biologic wound dressing.
Wounds [Internet]. [cited 2016 Aug 25];27(6):141–51. URL:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
84931064613&partnerID=tZOtx3y1
50. Mukarramah DA, Sudjatmiko G. 2012. Comparison of Wound-bed
Preparation Time in Chronic Traumatic Wound Using Topical Honey

78
Universitas Sumatera Utara
79

Application and Conventional Dressing. Jurnal Plastik Rekonstruksi


(JPR).;1(4). https://doi.org/10.14228/jpr.v1i4.90
51. N.M. Lazim, A. Baharudin. 2017. Honey—A Natural Remedy for Pain
Relief. Role of Pain: Diet, Food and Nutrition in Prevention and
Treatment, Nutritional Modulators of Pain in the Aging Population.
Elsevier Inc. URL:http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12-805186-
3.00010-2
52. Nanda et al. 2017. Role of honey as adjuvant therapy in patients with
sore throat. National Journal of Physiology Pharmacy and
Pharmacology 7th ed. URL:
https://www.researchgate.net/publication/312104274_Role_of_hon
ey_as_adjuvant_therapy_in_patients_with_sore_throat
53. Nadhilla NF, Sari MI. 2016. Tonsilitis kronik eksaserbasi akut pada
pasien dewasa. J Medula Unila. 5(1):107-112.
54. Norhafiza Mat Lazim, Baharudin Abdullah, Rosdan Salim. 2013. The
effect of Tualang honey in enhancing post tonsillectomy healing
process: An open labelled prospective clinical trial. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. Kelantan: Elsevier; p457 –
467.
55. Ohlms LA. 2001. Injection of Local Anesthetic in Tonsillectomy.
Clinical Challenges in Otolaryngology. Arch Otolaryngology Head
and Neck Surgery; p1276-8
56. Ozer Z, Goriir K, Altunkan AA, Bilgin E, Camdevire H. 2003. Efficacy
of tramadol versus meperidine for pain relief and safe recovery after
adenotonsillectomy. Eur J Anesthesiology; p920-4.
57. Ozlugedik, S., Genc, S., Unal, A., Elhan, A.H., Tezer, m., & Titiz, A.
2006. Can postoperative pains following tonsillectomy be relieved by
honey? A prospective, randomized, placebo controlled preliminary
study. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 70(11);
p1929 – 34.
58. Owoyele, B.V., Oladejo, R.O., ajomale, K., Ahmed, R.O., &
Mustapha, A. 2014. Analgesic and Anti-inflammatory effects of

79
Universitas Sumatera Utara
80

honey: the involvementof autonomic receptors. Metabolic Brain


Disease: 29 (1); p167 – 173.
59. Owings MF, Kozak LJ. Ambulatory and inpatient procedures in the
United States, 1996. National Center for Health Statistics. Vital
Health Stat 1998; 13:139.
60. P.Fayouxa, C.Wood. 2014. Non-pharmacological treatment of post-
tonsillectomy pain. European Annals of Otorhinolaryngology, Head
and Neck diseases. Elsevier: p239 – 241
61. Prasetyono, T. 2009.General concept of wound healing, revisited,
Med. J. Indonesia vol.18; p208-16.
62. Raymond, B & Sudjatmiko, G. 2012. Wound healing experimental:
standardization of honey aplication on acute partial thickness wound.
Jurnal Plastik Rekonstruksi. www.JPRJournal.com
63. Rahmatullah P. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Tonsilitis dan
tatalaksana tonsilektomi. Edisi Keempat. FKUI: Jakarta; p103 – 106.
64. Retno et al. 2020. Karakteristik Dan Beberapa Kandungan Zat Gizi
Pada Lima Sampel Madu Yang Beredar Di Supermarket. Journal of
The Indonesian Nutrition Association. Gizi Indon 2020, 43(1): p49-
56.
65. Rusmarjono, Soepardi, EA. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok: Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta:
p217-25.
66. Saikaly, Sami., K, Amor. 2017. Honey and Wound Healing: An
Update. American Journal Clinical Dermatology. Springer
International Publishing Switzerland: p237-251. DOI
10.1007/s40257-016-0247-8
67. Salonen A, Kokki H, Nuutinen J. 2002. Recovery After Tonsillectomy
in Adults: A Three Week Follow up Study. Wiley Online Library: p94-
98
68. Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM. 2020. Management of
adenotonsillar disease. In: Lalwani AK (editor). Current Diagnosis &

80
Universitas Sumatera Utara
81

Treatment in Otolaryngology-Head & Neck Surgery. 4th ed. New


York: McGraw Hill: p340-7.
69. Sembiring, R., Porotu’o, J., Waworuntu, O. 2013. Identifikasi Bakteri
Dan Uji Kepekaan Terhadap Antibiotik Pada Penderita Tonsilitis Di
Poliklinik ThtKl Blu Rsu. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode
November 2012 - Januari 2013. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1,
Nomor 2.
70. Sing TT. 2007. Pattern of otorhinolaryngology head and neck
disease in outpatient clinic of a Malaysian hospital. Journal of Head
and Neck Surgery.
71. Somuk et al., 2016. Evaluation of iron and zinc levels in recurrent
tonsillitis and tonsillar hypertrophy, Elsevier american journal of
otolaryngology– head and neck medicine and surgery, 37; p116–
119.
72. Suranto A. 2007. Terapi madu. Jakarta: Penebar Plus :p27-28.
73. T Velnar, T Bailey, V Smrkolj. 2009. The Wound Healing Process: an
Overview of Cellular and Molecular Mechanism, The J of
International Medical Research: p1528-42.
74. Tanjung FF , Imanto M. 2016. Indikasi Tonsilektomi pada laki‐laki
usia 19 tahun dengan tonsilitis kronis. Jurnal Medula Unila. 5(2): p22-
24.
75. Theresa Tharakan, BA , John Bent, MD2 , and Raluca Tavaluc, MD.
2018. Honey as a Treatment in Otorhinolaryngology: A Review by
Subspecialty. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology. New
York: Sage Pub. URL: https://sagepub.com/journals-permissions
DOI: 10.1177/0003489418815188
76. Wake, M.; Glossop, E. 1989. Guillotine and dissection
Tonsillectomy compared. J. Laryngol. Otol, 103: p588-591.
77. Witjaksono, Villyastuti YW, Sutiyono D. 2013. Masalah Nyeri. In:
Soenarjo, Jatmiko HD, editors. Anestesiologi ed 2. Semarang:
PERDATIN Cabang Jawa Tengah; p309-321.

81
Universitas Sumatera Utara
82

78. Yaghoobi R, Kazerouni A, Kazerouni O. 2013. Evidence for clinical


use of honey in wound healing as an anti-bacterial, anti-inflammatory
anti-oxidant and anti-viral agent: A review. Jundishapur J Nat Pharm
Prod [Internet]. [cited 2016 Aug 25];8(3):100–4. URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24624197

82
Universitas Sumatera Utara
83

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN


Peneliti utama pada penelitian ini adalah dr. Azmeilia Syafitri Lubis
akan melakukan penelitian dengan judul Efek Pemberian Madu Terhadap
Nyeri Pasca Tonsilektomi: sebuah penelitian klinis acak terkontrol
(RCT).

Saat ini, nyeri pasca tonsilektomi sangat mengganggu dan


penyembuhan luka cukup lama sehingga pasien mengalami gangguan
asupan nutrisi baik makan maupun minum.

Penelitian ini menggunakan madu kumur yang diharapkan akan


mengurangi rasa nyeri pasca operasi, mempercepat penyembuhan
luka & mencegah infeksi. Madu telah diketahui memiliki efek pain reliever,
anti inflamasi, anti bakterial & terdapat antioksidan, sehingga baik untuk
luka. Telah banyak pula dilakukan penelitian menggunakan madu & terbukti
efektif terhadap berbagai penyakit khususnya penyembuhan luka. Madu
juga diketahui hampir tidak memiliki efek samping & tidak terdapat
resistensi efektivitasnya. Madu dianggap sangat aman dan memiliki efek
terhadap luka. Peneliti juga ingin mengetahui apakah madu ini dapat
membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan pada
luka pasca tonsilektomi.

Meskipun madu hampir tidak memiliki efek samping, terdapat


beberapa penelitian yang menyatakan adanya alergi terhadap madu/
bee pollen namun kasusnya masih sangat sedikit.

Pada penelitian ini, peneliti akan merekrut 24 peserta sebagai subjek


penelitian yang akan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok madu,
kelompok plasebo dan kelompok kontrol kemudian akan dinilai pada
masing – masing subjek selama 10 hari.

Anda dapat berpartisipasi dalam penelitian ini dengan cara


menandatangani formular ini. Jika Anda setuju berpartisipasi dalam

83
Universitas Sumatera Utara
84

penelitian ini, Anda berhak mundur secara bebas dari penelitian ini kapan
saja. Jika Anda menolak berpartisipasi atau mundur dari penelitian ini,
keputusan tersebut tidak mempengaruhi hubungan Anda dengan peneliti
dan tidak berdampak pada pelayanan yang berlaku di Rumah Sakit.

Jika ada pernyataan yang kurang dalam formulir ini, Anda berhak
bertanya kepada peneliti.

Partisipasi dalam penelitian

Bila Anda menyetujui keikutsertaan dalam penelitian ini, peneliti


meminta Anda mengikuti peraturan & jadwal penelitian serta mematuhi
aturan dalam penelitian ini. Delapan orang dari peserta akan diberikan
madu kumur, delapan orang lainnya akan diberikan sirup caramel kumur
dan delapan orang sisanya tidak diberikan obat kumur. Pemantauan
dilakukan pada hari 1, 2, 4, 7 dan 10 pasca operasi. Anda diharapkan
untuk berpartisipasi dalam penelitian ini secara keseluruhan selama
10 hari.

Alasan memilih Anda

Dalam penelitian ini, peneliti memilih orang sesuai kriteria inklusi


(Laki – laki usia 18 – 40 tahun, pasca tonsilektomi sesuai indikasi, tidak
menderita penyakit seperti DM, gangguan darah, alergi, dll. Tidak
mengkonsumsi alkohol & obat-obatan. Dan tidak sedang dalam
pengobatan jangka panjang (HIV, kanker, TB, penyakit autoimun,
hipertensi, dll)

Prosedur Penelitian

Pasien yang datang berobat ke Departemen THT-KL di beberapa


Rumah Sakit di Kota Medan yang telah ditentukan dilakukan anamnesa dan
pemeriksaan THT rutin kemudian direncanakan operasi tonsilektomi sesuai
indikasi.

84
Universitas Sumatera Utara
85

Pasien sesuai kriteria inklusi akan dimasukkan ke dalam penelitian


dan diminta mengisi lembar persetujuan penelitian. Kemudian pasien dibagi
menjadi tiga kelompok yaitu kelompok madu diberikan madu, kelompok
plasebo diberikan cairan menyerupai madu dan kelompok kontrol tidak
diberikan perlakuan, kemudian dibagi secara acak. Pasien diberi amplop
tertutup secara acak untuk menentukan grup studi atau grup kontrol,
amplop tersebut hanya boleh dibuka setelah operasi tonsilektomi. Ketiga
grup dilakukan tonsilektomi dengan metode diseksi dan kontrol hemostasis
menggunakan kauter bipolar. Pada kelompok madu, pasien diberikan obat
standar dan diminta berkumur dengan 15 ml madu dicampur 5ml air 6 jam
setelah operasi dan madu tersebut didiamkan 2 menit di orofaring lalu
ditelan. Kemudian hal ini dilakukan setiap 6 jam selama 10 hari. Pada grup
plasebo, tidak diberikan madu namun diberikan obat standar dan sirup
karamel dengan cara pemberian yang sama seperti grup madu. Pada grup
kontrol, pasien hanya diberikan obat standar, tidak diberikan perlakuan.
Semua pasien pada ketiga grup diberikan obat – obatan yang sama selama
dirawat dan saat dipulangkan seperti analgetik, antibiotik, dan cairan infus.
Semua pasien dipulangkan setelah 48 jam pasca operasi dan diminta untuk
kontrol pada hari ke - 4, hari ke - 7 dan hari ke - 10 pasca operasi.
Nyeri dinilai setelah 24 jam, 48 jam, hari ke – 4, hari ke – 7, dan hari
ke - 10 pasca operasi. Nyeri dinilai setiap kali evaluasi dengan
menggunakan skala nyeri visual analog (Visual Analog Scale / VAS). Skor
dihitung mulai dari angka 0 (tanpa nyeri) hingga angka 10 (nyeri hebat),
pasien diperbolehkan untuk menandai suatu titik yang paling mewakili rasa
nyerinya di skala tersebut. Frekuensi penggunaan obat analgetik pada
ketiga kelompok juga dicatat untuk membandingkan ketiga kelompok.

85
Universitas Sumatera Utara
86

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :
Umur : thn
Alamat :
No Telp/Hp :

Telah mendapat penjelasan mengenai risiko, manfaat dan efek samping dari
pemeriksaan yang akan dilakukan, maka saya dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan bersedia ikut berpartisipasi menjadi responden pada penelitian yang akan
dilakukan oleh dr. Azmeilia Syafitri L, Peserta Program Pendidikan Spesialis
Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Bila sewaktu-waktu saya ingin
mengundurkan diri, maka saya tidak akan dituntut apapun. Demikian pernyataan
ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari manapun.

Medan , 2020

Peserta penelitian Peneliti

(………………….......) (dr. Azmeilia Syafitri)

86
Universitas Sumatera Utara
87

Lembar Penilaian Nyeri Post Tonsilektomi


berdasarkan VAS (Visual Analog Scale)

1. Hari ke -1 :

2. Hari ke-2 :

3. Hari ke –4 :

4. Hari ke – 7 :

5. Hari ke – 10 :

87
Universitas Sumatera Utara
88

Borang Observasi Nyeri

Hari Pagi Siang Sore Malam


Ke (06.00 – (13.00 – (16.00 – (20.00 –
12.00) 15.00) 19.00) 05.00)
1 Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri :
Analgetik : Analgetik : Analgetik : Analgetik :
2 Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri :
Analgetik : Analgetik : Analgetik : Analgetik :
4 Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri :
Analgetik : Analgetik : Analgetik : Analgetik :
7 Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri :
Analgetik : Analgetik : Analgetik : Analgetik :
10 Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri : Skala Nyeri :
Analgetik : Analgetik : Analgetik : Analgetik :

88
Universitas Sumatera Utara
89

Lampiran 2

Kelompok Madu

Usia Skala Nyeri (VAS) Penggunaan Analgetik


Nama
(Th) Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10 Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
MI 22 4 3 3 1 0 2 2 2 1 1
AL 33 5 4 3 2 1 3 3 1 0 0
BI 30 7 5 4 3 2 4 3 2 1 1
ADC 24 4 4 3 2 1 2 2 1 1 0
BPH 18 6 7 5 4 1 4 4 3 2 1
HA 22 5 4 3 2 1 3 2 2 1 0
AA 18 4 3 2 1 0 3 2 1 0 0
AW 21 3 3 2 1 1 2 2 1 1 0

Kelompok Plasebo

Usia Skala Nyeri (VAS) Penggunaan Analgetik


Nama
(Th) Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10 Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
EF 19 6 7 5 4 3 3 4 3 3 2
YAP 31 5 6 5 4 3 3 3 2 2 1
S 32 8 7 5 3 2 4 3 3 3 1
IP 20 7 5 4 3 2 3 3 3 2 1
HP 19 5 5 5 3 2 4 4 2 2 0
FT 30 5 4 4 3 2 3 3 2 2 1
JA 18 5 6 6 4 3 3 3 3 2 2
RA 25 6 6 4 3 2 4 2 2 1 0

Kelompok Kontrol

Usia Skala Nyeri (VAS) Penggunaan Analgetik


Nama
(Th) Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10 Hari 1 Hari 2 Hari 4 Hari 7 Hari 10
HA 30 6 7 6 5 3 3 3 4 3 1
RO 20 6 6 5 4 3 4 4 3 1 0
SO 30 6 7 6 5 3 3 4 3 2 1
JP 21 6 7 5 4 2 4 3 2 1 1
FI 19 6 6 4 3 2 4 3 3 3 1
AP 19 8 8 6 5 3 3 3 3 2 2
FJ 20 5 7 6 4 3 4 4 3 3 1
AI 31 6 6 7 5 2 3 3 4 3 2

89
Universitas Sumatera Utara
90

Lampiran 3

Usia
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 18-25 16 66.7 66.7 66.7
26-30 4 16.7 16.7 83.3
>30 4 16.7 16.7 100.0
Total 24 100.0 100.0

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.
VAS1 Madu .221 8 .200* .938 8 .592
Plasebo .250 8 .150 .860 8 .120
Kontrol .399 8 .000 .777 8 .016
VAS2 Madu .287 8 .052 .809 8 .036
Plasebo .220 8 .200* .917 8 .408
Kontrol .228 8 .200* .835 8 .067
VAS4 Madu .300 8 .032 .872 8 .156
Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
Kontrol .361 8 .003 .826 8 .054
VAS7 Madu .250 8 .150 .860 8 .120
Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
Kontrol .371 8 .002 .724 8 .004
VAS10 Madu .327 8 .012 .810 8 .037
Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
Kontrol .327 8 .012 .810 8 .037
Analgetik1 Madu .228 8 .200* .835 8 .067
Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
Kontrol .391 8 .001 .641 8 .000
Analgetik2 Madu .284 8 .057 .906 8 .324
Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Kontrol .325 8 .013 .665 8 .001
Analgetik4 Madu .300 8 .033 .798 8 .027
Plasebo .325 8 .013 .665 8 .001
Kontrol .455 8 .000 .566 8 .000

90
Universitas Sumatera Utara
91

Analgetik7 Madu .327 8 .012 .810 8 .037


Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Kontrol .300 8 .033 .798 8 .027
Analgetik10 Madu .325 8 .013 .665 8 .001
Plasebo .228 8 .200* .835 8 .067
Kontrol .300 8 .033 .798 8 .027
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction

Descriptives
VAS4
95% Confidence Interval for Mean
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Madu 8 3.13 .991 .350 2.30 3.95 2 5
Plasebo 8 4.75 .707 .250 4.16 5.34 4 6
Kontrol 8 5.75 .886 .313 5.01 6.49 4 7
Total 24 4.54 1.382 .282 3.96 5.13 2 7

ANOVA
VAS4
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 28.083 2 14.042 18.575 .000
Within Groups 15.875 21 .756
Total 43.958 23

Multiple Comparisons
Dependent Variable: VAS4
Bonferroni
Mean Difference 95% Confidence Interval
(I) Kelompok (J) Kelompok (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Madu Plasebo -1.625* .435 .004 -2.76 -.49
Kontrol -2.625* .435 .000 -3.76 -1.49
Plasebo Madu 1.625* .435 .004 .49 2.76
Kontrol -1.000 .435 .095 -2.13 .13
Kontrol Madu 2.625* .435 .000 1.49 3.76
Plasebo 1.000 .435 .095 -.13 2.13
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

91
Universitas Sumatera Utara
92

VAS1 24 5.75 1.391 3 9


VAS2 24 5.58 1.558 3 8
VAS7 24 3.29 1.301 1 5
VAS10 24 2.00 1.063 0 4
Analgetik1 24 3.29 .690 2 4
Analgetik2 24 3.00 .834 1 4
Analgetik4 24 2.46 .884 1 4
Analgetik7 24 1.79 .932 0 3
Analgetik10 24 1.00 .780 0 2
Kelompok 24 2.00 .834 1 3

Test Statisticsa,b
VAS VAS1 Analgetik Analgetik Analgetik Analgetik Analgetik1
1 VAS2 VAS7 0 1 2 4 7 0
Chi- 6.75 11.77 14.67 14.94 4.202 7.185 13.717 11.913 5.339
Squar 1 0 3 5
e
df 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Asymp .034 .003 .001 .001 .122 .028 .001 .003 .069
. Sig.
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok

Test Statisticsa
VAS1 VAS4 VAS7 VAS10
Mann-Whitney U 14.000 6.500 9.000 5.500
Wilcoxon W 50.000 42.500 45.000 41.500
Z -1.941 -2.763 -2.516 -2.915
Asymp. Sig. (2-tailed) .052 .006 .012 .004
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065b .005b .015b .003b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
VAS1 Madu 8 6.25 50.00
Plasebo 8 10.75 86.00

92
Universitas Sumatera Utara
93

Total 16
VAS7 Madu 8 5.63 45.00
Plasebo 8 11.38 91.00
Total 16
VAS10 Madu 8 5.19 41.50
Plasebo 8 11.81 94.50
Total 16
VAS2 Madu 8 5.81 46.50
Plasebo 8 11.19 89.50
Total 16

Test Statisticsa
VAS1 VAS7 VAS10 VAS2
Mann-Whitney U 14.000 9.000 5.500 10.500
Wilcoxon W 50.000 45.000 41.500 46.500
Z -1.941 -2.516 -2.915 -2.302
Asymp. Sig. (2-tailed) .052 .012 .004 .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .065b .015b .003b .021b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
VAS1 Madu 8 5.81 46.50
Kontrol 8 11.19 89.50
Total 16
VAS7 Madu 8 4.81 38.50
Kontrol 8 12.19 97.50
Total 16
VAS10 Madu 8 4.63 37.00
Kontrol 8 12.38 99.00
Total 16
VAS2 Madu 8 5.06 40.50
Kontrol 8 11.94 95.50
Total 16

93
Universitas Sumatera Utara
94

Test Statisticsa
VAS1 VAS7 VAS10 VAS2
Mann-Whitney U 10.500 2.500 1.000 4.500
Wilcoxon W 46.500 38.500 37.000 40.500
Z -2.333 -3.176 -3.369 -2.938
Asymp. Sig. (2-tailed) .020 .001 .001 .003
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .021b .001b .000b .002b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
VAS1 Plasebo 8 7.56 60.50
Kontrol 8 9.44 75.50
Total 16
VAS7 Plasebo 8 5.56 44.50
Kontrol 8 11.44 91.50
Total 16
VAS10 Plasebo 8 6.69 53.50
Kontrol 8 10.31 82.50
Total 16
VAS2 Plasebo 8 6.19 49.50
Kontrol 8 10.81 86.50
Total 16

Test Statisticsa
VAS1 VAS7 VAS10 VAS2
Mann-Whitney U 24.500 8.500 17.500 13.500
Wilcoxon W 60.500 44.500 53.500 49.500
Z -.849 -2.617 -1.677 -2.030
Asymp. Sig. (2-tailed) .396 .009 .094 .042
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .442b .010b .130b .050b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Analgetik1 Madu 8 7.06 56.50

94
Universitas Sumatera Utara
95

Plasebo 8 9.94 79.50


Total 16
Analgetik2 Madu 8 6.50 52.00
Plasebo 8 10.50 84.00
Total 16
Analgetik4 Madu 8 6.00 48.00
Plasebo 8 11.00 88.00
Total 16
Analgetik7 Madu 8 5.25 42.00
Plasebo 8 11.75 94.00
Total 16
Analgetik10 Madu 8 6.75 54.00
Plasebo 8 10.25 82.00
Total 16

Test Statisticsa
Analgetik1 Analgetik2 Analgetik4 Analgetik7 Analgetik10
Mann-Whitney U 20.500 16.000 12.000 6.000 18.000
Wilcoxon W 56.500 52.000 48.000 42.000 54.000
Z -1.317 -1.789 -2.247 -2.888 -1.585
Asymp. Sig. (2-tailed) .188 .074 .025 .004 .113
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .234b .105b .038b .005b .161b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Analgetik1 Madu 8 6.44 51.50
Kontrol 8 10.56 84.50
Total 16
Analgetik2 Madu 8 5.75 46.00
Kontrol 8 11.25 90.00
Total 16
Analgetik4 Madu 8 4.88 39.00
Kontrol 8 12.13 97.00
Total 16
Analgetik7 Madu 8 5.13 41.00

95
Universitas Sumatera Utara
96

Kontrol 8 11.88 95.00


Total 16
Analgetik10 Madu 8 6.00 48.00
Kontrol 8 11.00 88.00
Total 16

Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
VAS1 24 5.75 1.391 3 9
VAS2 24 5.58 1.558 3 8
VAS7 24 3.29 1.301 1 5
VAS10 24 2.00 1.063 0 4
Analgetik1 24 3.29 .690 2 4
Analgetik2 24 3.00 .834 1 4
Analgetik4 24 2.46 .884 1 4
Analgetik7 24 1.79 .932 0 3
Analgetik10 24 1.00 .780 0 2
Kelompok 24 2.00 .834 1 3

Ranks
Kelompok N Mean Rank
VAS1 Plasebo 8 7.56
Kontrol 8 9.44
Total 16
VAS2 Plasebo 8 6.19
Kontrol 8 10.81
Total 16
VAS7 Plasebo 8 5.56
Kontrol 8 11.44
Total 16
VAS10 Plasebo 8 6.69
Kontrol 8 10.31
Total 16
Analgetik1 Plasebo 8 7.50
Kontrol 8 9.50
Total 16
Analgetik2 Plasebo 8 7.25

96
Universitas Sumatera Utara
97

Kontrol 8 9.75
Total 16
Analgetik4 Plasebo 8 6.00
Kontrol 8 11.00
Total 16
Analgetik7 Plasebo 8 7.63
Kontrol 8 9.38
Total 16
Analgetik10 Plasebo 8 7.81
Kontrol 8 9.19
Total 16

Test Statisticsa,b
VAS1 VAS2 VAS7 VAS10 Analgetik1 Analgetik2 Analgetik4 An
Chi-Square .721 4.120 6.846 2.811 .938 1.429 5.952
df 1 1 1 1 1 1 1
Asymp. Sig. .396 .042 .009 .094 .333 .232 .015
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok

Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Analgetik1 Plasebo 8 7.50 60.00
Kontrol 8 9.50 76.00
Total 16
Analgetik2 Plasebo 8 7.25 58.00
Kontrol 8 9.75 78.00
Total 16
Analgetik4 Plasebo 8 6.00 48.00
Kontrol 8 11.00 88.00
Total 16
Analgetik7 Plasebo 8 7.63 61.00
Kontrol 8 9.38 75.00
Total 16
Analgetik10 Plasebo 8 7.81 62.50
Kontrol 8 9.19 73.50
Total 16

97
Universitas Sumatera Utara
98

Test Statisticsa
Analgetik1 Analgetik2 Analgetik4 Analgetik7 Analgetik10
Mann-Whitney U 24.000 22.000 12.000 25.000 26.500
Wilcoxon W 60.000 58.000 48.000 61.000 62.500
Z -.968 -1.195 -2.440 -.810 -.623
Asymp. Sig. (2-tailed) .333 .232 .015 .418 .533
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .442b .328b .038b .505b .574b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.

Descriptive Statistics
Percentiles
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
VAS1 8 4.75 1.282 3 7 4.00 4.50 5.75
VAS2 8 4.13 1.356 3 7 3.00 4.00 4.75
VAS4 8 3.13 .991 2 5 2.25 3.00 3.75
VAS7 8 2.00 1.069 1 4 1.00 2.00 2.75
VAS10 8 .88 .641 0 2 .25 1.00 1.00
Analgetik1 8 2.88 .835 2 4 2.00 3.00 3.75
Analgetik2 8 2.38 .916 1 4 2.00 2.00 3.00
Analgetik4 8 1.63 .744 1 3 1.00 1.50 2.00
Analgetik7 8 .88 .641 0 2 .25 1.00 1.00
Analgetik10 8 .50 .535 0 1 .00 .50 1.00

Test Statisticsa
N 8
Chi-Square 67.278
df 9
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

Test Statisticsa
VAS2 VAS4 VAS7 VAS4 VAS7 VAS7
- - - VAS10 - - VAS10 - VAS10 VAS10
VAS1 VAS1 VAS1 - VAS1 VAS2 VAS2 - VAS2 VAS4 - VAS4 - VAS7

98
Universitas Sumatera Utara
99

Z - - - -2.555b - - -2.636b - -2.585b -2.530b


1.667b 2.565b 2.565b 2.530b 2.714b 2.714b
Asymp. .096 .010 .010 .011 .011 .007 .008 .007 .010 .011
Sig. (2-
tailed)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.

Test Statisticsa
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik2 - tik4 - tik7 - ik10 - tik4 - tik7 - ik10 - tik7 - ik10 - ik10 -
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik1 tik1 tik1 ik1 tik2 tik2 ik2 tik4 ik4 ik7
Z - - - -2.598b - - -2.549b - -2.714b -1.732b
2.000b 2.640b 2.558b 2.121b 2.588b 2.449b
Asy .046 .008 .011 .009 .034 .010 .011 .014 .007 .083
mp.
Sig.
(2-
taile
d)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.

Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.
VAS1 Plasebo .250 8 .150 .860 8 .120
VAS2 Plasebo .220 8 .200* .917 8 .408
VAS4 Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
VAS7 Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
VAS10 Plasebo .263 8 .109 .827 8 .056
Analgetik1 Plasebo .391 8 .001 .641 8 .000
Analgetik2 Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Analgetik4 Plasebo .325 8 .013 .665 8 .001
Analgetik7 Plasebo .327 8 .012 .810 8 .037
Analgetik10 Plasebo .228 8 .200* .835 8 .067
*. This is a lower bound of the true significance.

99
Universitas Sumatera Utara
100

a. Lilliefors Significance Correction

Test Statisticsa
N 8
Chi-Square 65.819
df 9
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

Test Statisticsa
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik2 - tik4 - tik7 - ik10 - tik4 - tik7 - ik10 - tik7 - ik10 - ik10 -
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik1 tik1 tik1 ik1 tik2 tik2 ik2 tik4 ik4 ik7
Z -.816b - - -2.539b - - -2.588b - -2.428b -2.271b
2.070b 2.456b 1.890b 2.530b 1.732b
Asy .414 .038 .014 .011 .059 .011 .010 .083 .015 .023
mp.
Sig.
(2-
taile
d)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.

Test Statisticsa
VAS2 VAS4 VAS7 VAS4 VAS7 VAS7
- - - VAS10 - - VAS10 - VAS10 VAS10
VAS1 VAS1 VAS1 - VAS1 VAS2 VAS2 - VAS2 VAS4 - VAS4 - VAS7
Z -.707b - - -2.555b - - -2.555b - -2.585b -2.714b
2.041b 2.552b 2.070b 2.555b 2.598b
Asymp. .480 .041 .011 .011 .038 .011 .011 .009 .010 .007
Sig. (2-
tailed)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.

Test Statisticsa

100
Universitas Sumatera Utara
101

Test Statisticsa
N 8 N 8

Chi-Square 64.564 Chi-Square 28.260

df 9 df 4

Asymp. Sig. .000 Asymp. Sig. .000

a. Friedman Test a. Friedman Test

Test Statisticsa
N 8
Chi-Square 23.884
df 4
Asymp. Sig. .000
a. Friedman Test

Test Statisticsa
VAS2 VAS4 VAS7 VAS4 VAS7 VAS7
- - - VAS10 - - VAS10 - VAS10 VAS10
VAS1 VAS1 VAS1 - VAS1 VAS2 VAS2 - VAS2 VAS4 - VAS4 - VAS7
Z - - - -2.530c - - -2.558c - -2.565c -2.565c
1.134b 1.382c 2.555c 2.165c 2.565c 2.640c
Asymp. .257 .167 .011 .011 .030 .010 .011 .008 .010 .010
Sig. (2-
tailed)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
c. Based on positive ranks.

Test Statisticsa
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik2 - tik4 - tik7 - ik10 - tik4 - tik7 - ik10 - tik7 - ik10 - ik10 -
Analge Analge Analge Analget Analge Analge Analget Analge Analget Analget
tik1 tik1 tik1 ik1 tik2 tik2 ik2 tik4 ik4 ik7
Z -.577b - - -2.539b -.816b - -2.555b - -2.549b -2.070b
1.342b 2.456b 2.041b 2.333b
Asy .564 .180 .014 .011 .414 .041 .011 .020 .011 .038
mp.
Sig.
(2-
taile
d)
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.

101
Universitas Sumatera Utara
102

Lampiran 4

Madu Nusantara Murni Plasebo

102
Universitas Sumatera Utara
103

Lampiran 5

103
Universitas Sumatera Utara
104

Lampiran 6
PERSONALIA PENELITIAN

1. Peneliti Utama
Nama : dr. Azmeilia Syafitri Lubis
NIM : 167041096
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L
Waktu disediakan : 12 jam/ minggu

2. Anggota Peneliti/ Pembimbing


Nama : Dr. dr. H.R. Yusa Herwanto, M.Ked
(ORL HNS), Sp.T.H.T.K.L (K)
NIP : 196701261997071001
Gol/ Pangkat : III d/ Penata Tingkat I
Jabatan : Staff Divisi Faring Laring Dept/ SMF. T.H.T.K.L
FK USU/ RSUP. H. Adam Malik Medan
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L
Waktu disediakan : 5 jam/ minggu

Nama : Dr. dr. Andrina YM Rambe, Sp.T.H.T.K.L (K)


NIP : 197106221997032001
Gol/ Pangkat : III c/ Pembina Tingkat I
Jabatan : Staff Divisi Rinologi / Alergi Imunologi Dept/
SMF. T.H.T.K.L FK USU/ RSUP. H. Adam
Malik Medan
Fakultas : Kedokteran
Perguruan Tinggi : Universitas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L

104
Universitas Sumatera Utara
105

Waktu disediakan : 5 jam/ minggu

Nama : dr. Taufik Ashar, MKM


Jabatan : Konsultan Penelitian

Nama : Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK


Jabatan : Konsultan Penelitian

105
Universitas Sumatera Utara
106

Lampiran 7
Daftar Riwayat Hidup
Data Pribadi
Nama : dr. Azmeilia Syafitri Lubis
Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 15 Mei 1991
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Abdul Hakim Komplek Classic 3 No.55B,
Medan
No. HP : 081233930019
Alamat Email : azmeilialubis@gmail.com
Instansi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Nama Orang tua : 1. Ayah : dr. H. Azwarto Lubis, Sp.B, FINACS
2 Ibu : Hj. Nurbaiti Piliang
Pendidikan Formal
1996 – 2002 : SD Negeri 028288 Binjai
2002 – 2005 : SMP Negeri 1 Binjai
2005 – 2008 : SMA Negeri 3 Binjai
2008 – 2014 : S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
2017 – Sekarang : S – 2 Magister Kedokteran Klinis dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis T.H.T.K.L
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara
Riwayat Pekerjaan : 2015 – 2016 Dokter Internship di RS PMI dan
Puskesmas Poasia Kendari, Sulawesi
Tenggara
2016 – 2017 Dokter Umum di RS Sari Mutiara
Keanggotaan Profesi :
1. Anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Tahun 2014 – Sekarang

106
Universitas Sumatera Utara
107

2. Anggota Muda Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung


Tenggorokan Kepala Leher (PERHATI-KL) Tahun 2017 - Sekarang

107
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai