Anda di halaman 1dari 190

1

MUTASI GEN GAP JUNCTION BETA 2


DAN MYOSIN 7A
PADA TULI KONGENITAL NON SINDROMIK
DI INDONESIA

RINGKASAN DISERTASI

Devira Zahara

NIM 098102005

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
2

MUTASI GEN GAP JUNCTION BETA 2

DAN MYOSIN 7A

PADA TULI KONGENITAL NON SINDROMIK

DI INDONESIA

RINGKASAN DISERTASI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor

dalam Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Untuk Dipertahankan di Hadapan Sidang Ujian Terbuka

Program Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran

Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh

DEVIRA ZAHARA

NIM 098102005

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
3

PROMOTOR
Prof.Dr.dr.Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.K.L (K)

Guru Besar Tetap Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala


leher

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Jakarta

KO-PROMOTOR

dr. Gino Tann, Sp.PK, Ph.D.(Lond), F.I.S.H

Doktor/Konsultan Senior Patologi Klinik, Hemato-Onkologi dan


Immunologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan

KO-PROMOTOR

Prof.Dr. dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L (K)

Guru Besar Tetap Departemen Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala


Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan
4

Telah diuji pada Ujian Tertutup

Tanggal 29 Juli 2015

TIM PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof.Dr.dr.Jenny Bashiruddin, Sp.T.H.T.K.L(K)

Anggota : dr. Gino Tann, Sp.PK, Ph.D

Prof.Dr.dr. Delfitri Munir, Sp.T.H.T.K.L(K)

Dr.dr. Nyilo Purnami, Sp.T.H.T.K.L(K)

Dr.dr. Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K)

Dr.dr. Rosita Juwita Sembiring, Sp.PK

Prof.Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE


5

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT karena atas segala rahmat dan karuniaNya, saya dapat
menyelesaikan penelitian hingga promosi doktor pada hari ini. Semoga
karunia yang saya peroleh mendapat ridho Allah SWT dan membawa
manfaat bagi saya dan keluarga, masyarakat dan almamater saya,
Universitas Sumatera Utara.
Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Pejabat
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof.Drs.Subhilhar MA. PhD (Prof.Ir.
Zulkifli Nasution, M.Sc, PhD, wakil rektor 1 universitas sumatera utara)
yang telah berkenan memimpin sidang pada hari ini.
Kepada Prof.dr.Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH, Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saya mengucapkan terima
kasihserta penghormatan, atas kesempatan, bantuan dan fasilitas yang
diberikan kepada saya selama menjalani pendidikan di Program Doktor.
Kepada Ketua Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Chairuddin P. Lubis,
DTM&H, Sp.A(K), Sekretaris Program Studi S-3 Prof.Dr.dr. Delfitri Munir,
Sp.T.H.T.K.L(K) saya mengucapkan terima kasih atas keizinan,
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan Program Studi Doktor (S-3) Ilmu Kedokteran di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Ucapan terima kasih dan salam hormat saya sampaikan kepada
Promotor dan Ko promotor : Prof. Dr. dr. Jenny Bashiruddin,
Sp.T.H.T.K.L(K), dr. Gino Tann, Sp.PK, Ph.D dan Prof.Dr.dr. Delfitri Munir,
Sp.T.H.T.K.L(K) atas kesediaan guru-guru saya meluangkan waktu
6

membimbing, mendorong dan memberikan nasehat dan perbaikan demi


penyempurnaan disertasi ini.
Selanjutnya saya juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada guru-guru tim penguji disertasi ini : Dr.dr.Nyilo
Purnami, Sp.T.H.T.K.L(K), Dr.dr.Eka Savitri, Sp.T.H.T.K.L(K), Dr. dr.
Rosita Juwita Sembiring,Sp.PK , Prof.Dr.Ir.Harmein Nasution, MSIE yang
telah memberi penilaian, koreksi dan masukan selama proses persiapan
penelitian hingga penulisan disertasi ini selesai. Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan segala rahmat dan berkah, kesehatan dan kesejahteraan
kepada guru-guru saya
Ucapan terima kasih dan salam hormat juga saya sampaikan
kepada seluruh staf pengajar di lingkungan Program S-3 Kedokteran FK
USU atas ilmu pengetahuan, bimbingan dan diskusi selama saya
mengikuti Program Studi S-3.
Terima kasih saya ucapkan kepada Direktur Utama RSUP. H.
Adam Malik Medan dan ketua Departemen THT-KL FK-USU yang telah
memberi izin kepada saya untuk bisa mengikuti pendidikan Program Studi
S-3 Kedokteran ini.
Saya ucapkan terima kasih kepada ketua Departemen THT-KL
serta seluruh staf Departemen THT-KL FK-USU dan PPDS yang telah
membantu dalam kelancaran pendidikan saya.
Rasa hormat dan kasih sayang yang tiada terhingga saya ucapkan
kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai, Ayahanda Prof.Dr.dr.
Abdul Rachman Saragih, Sp.T.H.T.K.L(K) dan ibunda drg.Cut Nurliza,
M.Kes yang telah membesarkan, mendidik dan berdoa dengan penuh
kasih sayang dan selalu memberikan nasehat dan semangat, agar tetap
berjuang di jalan yang di ridhoi Allah SWT. Dan kepada mertua saya yang
tercinta drg.Eddy Anwar Ketaren dan drg. Dewi Anggraini, saya ucapkan
terima kasih yang tiada terhingga atas doa, kasih sayang dan dukungan
yang diberikan selama ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan
kesehatan, umur yang panjang dan berkah, keselamatan, kebahagiaan
7

dunia akhirat dan kemurahan rezeki kepada ayahanda dan ibunda. Amin
Ya Rabbal ‘Alamin.
Ucapan terima kasih disertai ungkapan kasih sayang tak terhingga
saya sampaikan kepada suamiku dr. Andre Pasha Ketaren, Sp.JP(K),
FIHA, anak-anak yang kusayangi, Aisyah Anindya Pasha Ketaren dan
Annisa Salsabila Pasha Ketaren, yang telah bersedia mendampingi saya
dalam suka dan duka, memberi kesempatan, kepercayaan, dukungan
moril dan menjadi pendorong terbesar saya untuk melewati perjalanan
panjang selama mengikuti pendidikan ini
Terima kasih yang sedalam-dalamnya buat adik-adik dan adik-adik
ipar serta seluruh keluarga yang telah memberi semangat, dorongan dan
do’a kepada keluarga kami.
Akhirnya, sekali lagi kepada seluruh nama yang tersebut di atas
maupun yang tidak disebutkan yang telah banyak membantu saya secara
langsung maupun tidak langsung, dari hati nurani yang paling dalam saya
haturkan dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Semoga Allah SWT
memberikan balasan yang berlipat ganda. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Saya berharap disertasi ini dapat memberikan sumbangan yang
berharga bagi perkembangan dunia ilmu kedokteran serta peningkatan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Semoga Allah SWT senantiasa
melindungi kita, mengangkat kita dengan derajat yang lebih tinggi,
membuka pintu berkah yang seluas-luasnya dan pahala yang tiada henti
melalui ilmu yang bermanfaat. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
8

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS
1. Nama : dr. Devira
Zahara,M.Ked,Sp.T.H.T.K.L,
2. Tempat / tanggal lahir : Medan, 7 Desember 1978
3. Agama : Islam
4. NIP : 197812072008012013
5. Pangkat/golongan : Penata Tk.1 / III d
6. Pekerjaan : Staf Departemen THT-KL
FK USU/RSUP.HAM Medan
7. Alamat : Jl. Kenanga no 14-16 Medan
20151
8. Telepon : 08126030849
9. E-mail : d3_za@yahoo.com

II. KELUARGA
1. Suami : dr.Andre Pasha Ketaren, Sp.JP(K), FIHA
Pekerjaan : Staf Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskuler
FK USU
2. Anak : 1. Aisyah Anindya Pasha Ketaren
2. Annisa Salsabila Pasha Ketaren

III. PENDIDIKAN
1990 : Lulus SD Kemala Bhayangkari 1 Medan
1993 : Lulus SMP Negeri 1 Medan
1996 : Lulus SMA Negeri 1 Medan
2002 : Lulus Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2008 : Lulus /mendapatkan Sertifikat Spesialis THT-KL dari FK
USU
2012 : Magister (S2) Kesehatan Klinis FK-USU
9

IV. RIWAYAT PEKERJAAN


2008 – sekarang : Staf Departemen THT-KL
FK USU/RSUP.HAM Medan

V. KEGIATAN AKADEMIK
1. Membimbing mahasiswa FKU – USU (S1)
2. Memimpin jurnal, refarat, dan laporan kasus untuk residen
THT
3. Membimbing residen dalam bidang diagnostik dan terapi
terutama kasus otologi dan neurotologi
4. Membimbing Penelitian Peserta Program Dokter Spesialis
THT-KL
5. Membimbing Peserta Program Dokter Spesialis THT-KL
dalam diskusi kasus/laporan kasus ruangan.
6. Membimbing Peserta Program Dokter Spesialis THT-KL
dalam diskusi dan melakukan tindakan di kamar bedah
7. Fasilitator dalam tutorial mahasiswa S1.
8. Fasilitator skill lab mahasiswa S1.
9. Membimbing bedside teaching mahasiswa S1.

VI. PUBLIKASI ILMIAH


1. Fistula Labirin Sebagai Komplikasi Otitis Media Supuratif
Kronis Tipe Bahaya, 2010
2. Profil Otomikosis di RSUP.H.Adam Malik Medan, 2011
3. Osteoradionecrosis Of External Audiotory Canal In
Nasopharyngeal Carcinoma Patients In Adam Malik Hospital,
2012
4. Value Based Medicine, 2012
5. Ototoxic Onset Rates From Chemotherapeutic And
Antituberculous Agents, 2012
10

6. Osteoradionecrosis and Cholestoma Of External Audiotory


Canal in Post Radiotherapy Nasopharyngeal Carcinoma
Patient, 2013
7. Operasi Implan Koklea Sebagai Tatalaksana Anak – Anak
Dengan Ketulian Prelingual di Medan, 2013
8. Pewarisan Mutasi Gen GJB 2 Pada Tuli Pre-Lingual di
Indonesia, 2014
9. Diagnosis & Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran,
2015
10. Inheritance GJB2 (connexin 26) gene mutations in
Indonesian Patients with Non Syndromic Hereditary Hearing
Loss, 2015
11. Vestibular Symptom after Bilateral Cochlear Implantation
Surgery, 2015
VII. WORKSHOP DAN PELATIHAN YANG PERNAH DI IKUTI
1. Pelatihan Translation From Basic Science to Clinical
Aplication Medan, 2010
2. Tutor Training for Staff di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Medan, 2010
3. Workshop Masking di Bidang Audiologi di Bukit Tinggi, 2011
4. Pelatihan 28th Temporal Bone Dissection Course Advance-
Class Programme di Jakarta, 2011
5. Workshop Open Structured Rhinoplasty di Sydney, 2011
6. Pelatihan Refreshing Course On Research Design di RSUP.
Haji Adam Malik Medan, 2011
7. 7th Jakarta International FESS Course – Workshop
Indonesian Rhinology Conference di Jakarta, 2011
8. Pelatihan Peranan Timpanometri Dalam Mendeteksi
Masalah Telinga Tengah di Jakarta, 2012
9. 8th Jakarta International FESS Course – Workshop di
Jakarta, 2012
11

10. 7th Semarang Basic FESS Course – Workshop di Jakarta,


2012
11. Pelatihan Pembelajaran Bioetika, Humaniora dan Hukum
Kedokteran di Medan, 2012
12. Pelatihan The 3rd MED – EL Asia Pacific Surgical Training
Academy di Korea Selatan, 2012
13. Pelatihan & Workshop Evidence Based Medicine di Medan,
2012
14. Advanced Temporal Bone Dissection Course Changi
Hospital Singapura, 2012
15. Pelatihan Peranan Tes Pendengaran Objektif di Bidang
Diagnostik Neurotologi : Aplikasi Klinis, Metodologi, Dan
Interpretasi di Jakarta, 2012
16. Temporal Bone Dissection Workshop di Medan, 2013
17. Pelatihan Pemeriksaan Audiometri Nada Murni, Tutur dan
Masking, Elektroakustik Imitans dan Penatalaksanaan Saraf
Fasialis : Tip dan Trick Metode Pemeriksaan dan Analisa
Hasil di Jakarta, 2013
18. 30th Temporal Bone Dissection Course And Workshop For
Advanced With Cadaver di Jakarta, 2013
19. Pelatihan Kursus Biologi Molekuler & Imunologi di
Yogyakarta, 2013
20. Workshop Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran Pada
Lansia (Presbikusis) di Jakarta, 2013
21. Workshop dan Pelatihan Penatalaksanaan Gangguan
Pendengaran & Perkembangan Berbicara Pada Anak di
Jakarta, 2014
22. Pelatihan Basic Surgical Skill di Jakarta, 2014
23. Pelatihan Tatalaksana Komprehensif Mikrotia dan Gangguan
Pendengaran di Jakarta, 2014
12

24. Workshop Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran SNHL


Perifer s/d Sentral Tinitus dan Hiperakusis : Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Jakarta, 2015

VIII. SYMPOSIUM YANG PERNAH DI IKUTI


1. 2nd Ent Head & Neck Surgery Conference And 3rd Annual
Otology Meeting di Jakarta 2008
2. New Paradigm in Pathobiology of Human Disease and
Management di Medan, 2008
3. Pertemuan Ilmiah Tahunan VII di Jakarta, 2008
4. Upaya Deteksi Dini Karsinoma Nasofaring di Sumatera
Utara, 2009
5. On Present And Future Of Middle Ear Diseases And Hearing
Impairments di Medan, 2010
6. Combined 5th Otology Annual Scientific Meeting (PITO-5)
and The 3rd Asean Academy of Neurotology, Otology &
Audiology (AANOA-3) Congress di Yogyakarta, 2010
7. Current Challenges Management or Infections di Medan,
2011
8. Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi (PITO – 6) di Bukit
Tinggi, 2011
9. Cholesteatoma and Ear Surgery di Jepang, 2012
10. 3rd Asia Pacific – Singapore Otology Neurotology & Skull
Base (Apsons) Congress di Singapura, 2012
11. Pertemuan Ilmiah Tahunan Otologi (PITO) VII di Semarang,
2012
12. Tinnitus Update Medan, 2012
13. Paediatric Cochlear Implantation di Turkey, 2013
14. AAO – HNSFAnnual Meeting & Oto Expo di Vancouver
Canada, 2013
15. Recent Updates in Ear Diseases : From Basic to Advance di
Jakarta, 2013
13

16. 9th Jakarta International Functional Endoscopic Sinus


Surgery di Jakarta, 2013
17. AAO – HNSFAnnual Meeting & Oto Expo di Orlando
Amerika Serikat, 2014
18. 16th National Congress of Perhati-KL di Medan, 2013
19. Early Detection of Nasopharyngeal Carcinoma di Medan,
2013
20. Pertemuan Ilmiah Penelitian Karsinoma Nasofaring di
Indonesia, 2013
21. 9th Annual Scientific Otology Meeting di Bandung, 2014
22. Tatalaksana Vertigo Sehari – Hari di Medan, 2014
23. Penanganan Terkini Gastro Esofageal Reflux Disease
(GERD) dan Laringo Pharyngeal Reflux (LPR) di Medan,
2014
24. 10th Asia Pacific Symposium on Cochlear Implants and
Related Sciences (APSCI) di China, 2015
IX. ORGANISASI PROFESI

2002-2014 : Anggota Ikatan Dokter Indonesia

2002-2015 : Anggota PERHATI-KL

X. PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT


1. Seminar awam: Penanganan Gangguan Pendengaran di RS
Columbia Asia di Medan, 2012
2. Partisipasi Acara Jalan Sehat BCA – Gratis Konsultasi THT
di Lapangan Benteng Medan, 2012
3. Narasumber dalam program acara Star Kongkow di Radio
102.6 STARNEWS FM Medan, 2012
4. Partisipasi pada Acara Bakti Sosial Pemeriksaan Kesehatan
& Pengobatan Gratis Medan, 2013
5. The Invaluable services and cooperation in social activity
with Lions Club Indonesia District-307 A2 di Nias,2015
6. Edukasi Kesehatan Dokter Kita, TVRI, 2015
14

PERNYATAAN ORISINALITAS

MUTASI GEN GAP JUNCTION BETA 2 DAN MYOSIN 7A PADA TULI


KONGENITAL NON SINDROMIK DI INDONESIA

Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan disertasi ini


disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program
Studi Doktor (S3) Ilmu Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada
bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan
disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai
dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau
sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya
plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima
sanksi akademik dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.

Medan, 6 Desember 2015

Devira Zahara
15

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL..................................................................................... i
LEMBAR PRASYARAT GELAR................................................. ii
LEMBAR PROMOTOR DAN KO-PROMOTOR.......................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................... iv
LEMBAR PENGUJI..................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................... x
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................... xv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI....................................... xvi
RINGKASAN............................................................................... xvii
SUMMARY.................................................................................. xix
ABSTRAK.................................................................................... xxi
ABSTRACT................................................................................. xxiii
DAFTAR ISI................................................................................. xxv
DAFTAR TABEL.......................................................................... xxix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................... xxx
DAFTAR SINGKATAN ................................................................ xxxii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................... xxxiii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 1


1.1. Latar Belakang .................................................... 1
1.2. Pertanyaan Penelitian ......................................... 8
1.3. Hipotesis .............................................................. 8
1.4. Tujuan Penelitian ................................................. 9
1.4.1. Tujuan umum ............................................ 9
1.4.2. Tujuan khusus ........................................... 9
1.5. Manfaat Penelitian ............................................... 10
1.5.1. Manfaat teoritis ......................................... 10
1.5.2. Manfaat praktis (Terapan) ......................... 10
1.6. Orisinalitas ........................................................... 11
1.7. Hak Atas Kekayaan Intelektual ............................ 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................ 13


2.1. Tuli Kongenital …................................................ 13
2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital …………………... 14
2.3. Etiologi Tuli Kongenital ........................................ 14
2.3.1. Genetik …………………............................. 14
2.3.2. Non genetik …………………………........... 16
2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital .................................... 17
2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital …...................... 18
2.6. Diagnosis Tuli Kongenital .................................... 19
2.6.1. Emisi otoakustik ….................................... 20
2.6.2. Brainstem evoked response audiometry.... 26
2.6.3. Pemeriksaan tambahan …….................... 30
2.7. Embriologi, Anatomi, Histologi dan Fisiologi....... 32
16

2.7.1. Embriologi telinga…………………………. 32


2.7.2. Anatomi telinga……………........................ 40
2.7.3. Fisiologi pendengaran ……………………. 52
2.8. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir ............... 54
2.9. Klasifikasi gangguan pendengaran……………... 56
2.10 Mutasi Genetik ................................................... 58
2.11. Ketulian dan Genetik ….…………………………. 61
2.12. Jenis-jenis Ketulian Genetik ………….………… 63
2.12.1. Pewarisan autosomal resesif ………….... 63
2.12.2. Pewarisan autosomal dominan …….…... 66
2.12.3. Pewarisan mutasi resesif X-linked……… 68
2.12.4. Pewarisan mutasi mitokondria .…………. 70
2.13. Gen Gap Junction Beta 2 (GJB2……………….. 71
2.14. Gen Myosin 7A (MYO7A) ………………............ 75
2.15. Pemeriksaan Genetik…..………………………… 78
2.16. Manfaat Pemeriksaan Genetik …………………. 80
2.17. Sekuensing DNA ……………………….……….. 81
2.17.1. Sekuensing Maxam-Gilbert .................... 82
2.17.2. Sekuensing Sanger ….………................. 82
2.18. Restriction Fragment Length Polimorphism
(RFLP) ……………………...…........................... 83
2.19 Implikasi Klinis Pemeriksaan Genetik ……........ 85
2.20. Terapi untuk Penderita Tuli Kongenital ............. 87
2.20.1. Alat bantu dengar .................................... 87
2.20.2. Implan koklea .......................................... 88
2.20.3. Terapi genetik ......................................... 89
2.21. Kerangka Teori ………………………………….. 92
2.22. Kerangka Konsep ………………………………. 93

BAB III METODE PENELITIAN ..................................... 94


3.1. Rancangan Penelitian ......................................... 94
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ............................. 94
3.3. Subjek Penelitian ................................................. 95
3.3.1. Kriteria inklusi ............................................ 95
3.3.2. Kriteria eksklusi .......................................... 95
3.4. Teknik Pengambilan Sampel ............................... 96
3.5. Besar Sampel ...................................................... 96
3.6. Variabel Penelitian ............................................... 97
3.7. Alur Kerja ............................................................. 97
3.7.1. Diagnosis dan pengambilan darah
penderita tuli kongenital ............................ 97
3.7.2.Tahapan pemeriksaan mutasi genetik ....... 98
3.8. Analisis Data ........................................................ 106
3.9. Etika Penelitian .................................................... 106
3.10.Definisi Operasional ........................................... 107
17

BAB IV HASIL PENELITIAN …………………………………… 113

BAB V PEMBAHASAN ………………………………………… 135


5.1. Hasil Pemeriksaan Genetik GJB2 ………………. 139
5.2. Hasil Pemeriksaan Genetik Myosin 7A (MYO7A) 146
5.3. Keterbatasan Penelitian ...................................... 150

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ………………………….. 151


Kesimpulan ................................................................ 151
Saran .......................................................................... 152

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 153


LAMPIRAN ................................................................................. 167
18

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman


Tabel 2.1 Klasifikasi gangguan pendengaran …………………. 56
Tabel 2.2 Sindroma yang sering menyebabkan ketulian …...... 62
Tabel 2.3 Kriteria sindroma branchiootorenal…………….……. 67
Tabel 3.1 Pembuatan master mix.............................................. 101
Tabel 3.2 Urutan primer gen GJB2............................................ 102
Tabel 3.3 Urutan primer gen MYO7A........................................ 102
Tabel 3.4 Komposisi reaksi....................................................... 103
Tabel 3.5 Letak lokus dan primer gen GJB2 dan MYO7A........ 110
Tabel 4.1 Karakteristik penderita tuli kongenital ...................... 114
Tabel 4.2 Karakteristik ayah penderita tuli kongenital ……….. 115
Tabel 4.3 Karakteristik ibu penderita tuli kongenital …………. 117
Tabel 4.4 Distribusi mutasi genetik pada penderita tuli
kongenital, ayah dan ibu ………………………......... 118
Tabel 4.5 Distribusi mutasi genetik pada saudara kandung… 119
Tabel 4.6 Distribusi pewarisan mutasi genetik GJB2 …. 119
Tabel 4.7 Distribusi pewarisan mutasi genetik MYO7A.. 119
Tabel 4.8 Distribusi variasi mutasi gen GJB2 dan perubahan
protein yang dibentuk pada penderita tuli kongenital 120
Tabel 4.9 Distribusi variasi mutasi gen GJB2 dan protein yang
dibentuk pada ayah …………………………………… 121
Tabel 4.10 Distribusi variasi mutasi gen GJB2 dan protein yang
dibentuk pada ibu …………………………………….. 122
Tabel 4.11 Hubungan mutasi genetik GJB2 pada ayah dengan
mutasi genetik pada penderita tuli kongenital .......... 126
Tabel 4.12 Hubungan mutasi genetik GJB2 pada ibu dengan
mutasi genetik pada penderita tuli congenital ……. 126
Tabel 4.13 Hubungan mutasi genetik MYO7A pada ayah dan
penderita tuli kongenital ............................................ 127
Tabel 4.14 Hubungan mutasi genetik MYO7A pada ibu dengan
mutasi genetik penderita tuli kongenital ................... 127
Tabel 4.15 Pewarisan mutasi gen GJB2 dalam keluarga ……… 129
Tabel 4.16 Pewarisan mutasi gen MYO7A dalam keluarga …… 134
19

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman


Gambar 2.1 Contoh hasil pemeriksaan OAE ........................... 26
Gambar 2.2 Gelombang BERA normal……………................... 28
Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada
minggu ke-3 dan ke-4 masa gestasi..................... 35
Gambar 2.4. Perkembangan labirin bagian tulang …................ 38
Gambar 2.5. Koklea dan potongan melintang koklea .............. 41
Gambar 2.6. Komposisi cairan koklea ...................................... 43
Gambar 2.7. Lebar membran basilaris dari basal ke apeks ..... 43
Gambar 2.8. Sel rambut, organ korti dan sel rambut luar dan
dalam dilihat dengan mikroskop elektron ………. 45
Gambar 2.9. Tip link……………. ............................................... 45
Gambar 2.10 Lokasi ekspresi GJB2 …....................................... 46
Gambar 2.11 Peran GJB2 dalam regulasi kalium …………....... 46
Gambar 2.12 Jalur auditori …..................................................... 51
Gambar 2.13 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu
secara resesif ....................................................... 64
Gambar 2.14 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu
secara dominan.................................................... 67
Gambar 2.15 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu
secara resesif x-linked.......................................... 69
Gambar 2.16 Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu
secara pewarisan mutasi mitokondria................... 70
Gambar 2.17 Regulasi kalium dalam organ Corti....................... 73
Gambar 2.18 Gambar kromosom 13 dan lokus gen penyebab
ketulian ………………………................................ 74
Gambar 2.19 Gap junction 2..................................................... 75
Gambar 2.20 Gambar kromosom 11 dan lokus gen penyebab
ketulian................................................................. 77
Gambar 2.21 Gen Myosin 7A..................................................... 78
Gambar 2.22 Analisis dan pewarisan alel fragmen RFLP ……. 85
Gambar 2.23 Alat bantu dengar …………………………………. 88
Gambar 2.24 Implan koklea ………………………………………. 88
Gambar 2.25 Skema kerangka teori........................................... 92
Gambar 2.26 Skema kerangka konsep...................................... 93
Gambar 3.1 Skema diagnosis dan pengambilan darah ........... 97
Gambar 3.2 Skema pemeriksaan genetik 98
Gambar 4.1 Inversi 455-456 GC-CG (p.S86T) ................. 123
Gambar 4.2 Missense 439 CT (CTGTTG, p.L145L) ......... 123
Gambar 4.3 Missense 430 GA (GCCACC, p.A78T) ......... 123
Gambar 4.4 Missense 636 CA (TTCTTA, p.F146L) ......... 124
Gambar 4.5 Missense 672 CA (TACTAA, p.Y158X) ........ 124
Gambar 4.6 Missense 626 GA (CGGCAG, p.R143Q) ...... 124
Gambar 4.7 Missense 634 TA (TTCATC, p.F146I) .......... 125
Gambar 4.8 Missense 694 CT (CTGTTG, p.L232L) ......... 125
20

Gambar 4.9 Missense 501 GA (GAGGAA, p.E167E) ....... 125


Gambar 4.10 Polimorfisme 605 A/C (TACTCC, Y202S) ........ 126
Gambar 4.11 Pemeriksaan RFLP untuk gen MYO7A ............... 128
21

DAFTAR SINGKATAN

ADNSHL = Autosomal Dominant Non Syndromic Hearing Loss

ARNSHL = Autosomal Recessive Non Syndromic Hearing Loss

BBLR = Berat badan lahir rendah

BERA = Brainstem Evoked Response Audiometry

BOR = Branchio-oto-renal

DFNA = Non syndromic deafness, autosomal dominant

DFNB = Non syndromic deafness, autosomal recessive

DFN = Mutasi resesif X-linked

DNA = Deoxyribo Nucleic Acid

DPOAEs = Distortion Product Otoacoustic Emission

GJB = Gap junction Beta

MYO = Myosin

NSHHL = Non-syndromic hereditary hearing loss

SFOAEs = Sustained-Frequency Otoacoustic Emission

SOAEs = Spontaneous Otoacoustic Emission

TOAEs = Transient Otoacoustic Emission

UNHS = Universal Newborn Hearing Screening


22

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman


Lampiran I Etika penelitian.............................................. 167
Lampiran II Hasil PCR GJB2........................................... 169
23

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendengaran adalah suatu proses yang kompleks, sehingga bila

terjadi gangguan pendengaran atau ketulian maka penyebabnya bisa

bermacam-macam pula. Hilangnya pendengaran dapat diakibatkan oleh

kerusakan organ telinga, baik itu telinga bagian dalam, telinga bagian

tengah ataupun telinga bagian luar. Ketulian pada bayi sejak lahir

biasanya disebabkan karena kerusakan telinga dalam. Seorang bayi

dapat terinfeksi virus sejak dalam kandungan. Penyebab lain adalah

genetik dimana perubahan genetik berperan dalam proses pembentukan

struktur telinga yang menentukan kualitas pendengaran (Rehm et al.

2008).

Pendengaran merupakan faktor penting dalam kemampuan

berbicara dan berkomunikasi verbal. Proses belajar mendengar bagi bayi

dan anak sangat kompleks dan bervariasi karena menyangkut aspek

tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi, fisiologi, neurologi

dan audiologi (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007; Nugroho, Zulfikar &

Muyassaroh 2012).

Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi

yang disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun

pada saat lahir. Tuli kongenital dapat berdampak pada perkembangan

bicara, sosial, kognitif dan akademik pada anak dan masalah makin

bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini (Soetjipto
24

2007; McPherson, Law & Wong 2010; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh

2012). Ketulian pada bayi dan anak kadang-kadang disertai

keterbelakangan mental, gangguan emosional, maupun afasia

perkembangan. Umumnya seorang bayi yang mengalami ketulian lebih

dulu diketahui keluarganya sebagai pasien yang terlambat bicara

(Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007). Prevalensi tuli kongenital di

seluruh dunia dilaporkan berkisar antara 1–3 kejadian dari 1000 kelahiran

(Gurtler 2008; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012; Zhang et al. 2013 ).

Data dari program pemeriksaan pendengaran pada bayi baru lahir

di Texas, Colorado, dan Rhode Island menunjukkan bayi baru lahir yang

mengalami tuli bilateral sebanyak 1-3 per 1000 bayi sehat dan 2-4 per

1000 bayi yang dirawat secara intensif (Delaney 2012).

Di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan di 7 propinsi pada

tahun 1994 -1996 didapati angka tuli sejak lahir yaitu sebesar 0,1% dari

19.375 sampel yang diperiksa (Hendarmin 2006). Sedangkan

berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2005, tuli kongenital di Indonesia

diperkirakan sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar

214.100.000 orang. Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan

adanya pertambahan penduduk akibat tingginya angka kelahiran sebesar

0,22% (Soetjipto 2007).

Masih banyak kendala dalam penemuan kasus gangguan

pendengaran di Indonesia dan negara berkembang lainnya yang

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, informasi, perhatian dan

kesadaran masyarakat tentang pentingnya menemukan kasus gangguan


25

pendengaran sejak dini (Bashiruddin 2010). Sangat penting untuk

mendeteksi ketulian sedini mungkin, sehingga seorang anak dapat segera

dihabilitasi dan dapat membangun kemampuan komunikasi serta

belajarnya (Li et al. 2012; Zhang et al. 2012). Untuk alasan ini satu hari

setelah lahir seorang bayi dapat diskrining dengan pemeriksaan yang

sederhana, tanpa rasa nyeri dan dapat mendeteksi seorang bayi apakah

dapat mendengar atau tidak. Tanpa skrining pendengaran sejak dini,

ketulian kemungkinan terabaikan oleh orang tua, guru atau dokter sampai

anak mulai kesulitan dalam berbicara dan belajar pada usia 2 atau 3

tahun. Bashiruddin (2009) melakukan skrining pendengaran pada bayi-

bayi baru lahir di enam rumah sakit di jakarta mendapatkan 297 dari

12,757 bayi (23%) disangka menderita ketulian.

Dua pertiga tuli kongenital disebabkan oleh faktor genetik dan

selebihnya adalah karena faktor lingkungan dan faktor genetik yang tidak

teridentifikasi (Sivakumaran et al. 2013). Terdapat dua bentuk ketulian,

yaitu sindromik dan nonsindromik (Locher et al. 2015). Sekitar 70 % tuli

genetik adalah nonsindromik dan 30 % adalah sindromik. Ketulian

sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga mempunyai

masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal, mata, tiroid

ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada pasien ini dapat

membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan kelainan di sistem lain

selain ketulian (Cynthia et al. 2006 ; Antonio 2012; De Castro et al. 2013).

Deklerck dan kawan-kawan (2014) di Belgia melakukan penelitian studi


26

populasi tuli kongenital mendapatkan etiologi terbanyak pada populasi ini

adalah genetik (65.4%).

Pengetahuan mengenai penyebab genetik pada ketulian sangat

penting. Pengetahuan ini tidak hanya dibutuhkan oleh dokter untuk

menginformasikan kepada keluarga tentang peluang anaknya menjadi tuli

tetapi juga mempengaruhi pengobatan terhadap ketulian. Apakah ketulian

akan memburuk kadang-kadang dapat diprediksi bila penyebab

spesifiknya diketahui. Kita dapat mencurigai seorang anak dengan

ketulian genetik bila ada anggota keluarganya yang juga menderita

ketulian. Tetapi sering juga terjadi pada anak yang orang tuanya memiliki

pendengaran normal. Ketulian ini juga dapat diturunkan pada generasi

berikutnya. Meskipun riwayat keluarga dapat membantu menemukan

penyebab genetik, tetapi walaupun tidak ada riwayat keluarga tidaklah

berarti ketulian bukan genetik. Hal ini artinya ketulian genetik terlihat

pertama kali pada anak yang orang tua dan keluarganya tidak tuli.

Sebanyak 80% ketulian diturunkan secara autosomal resesif, 20%

autosomal dominan, mutasi resesif x-linked dan mitokondria 1-2% (De

Castro et al. 2013; Sivakumaran et al. 2013). Karena itu pentingnya

mengkombinasi informasi dari pemeriksaan fisik, tes klinik, riwayat

keluarga dan tes genetik untuk mengidentifikasi penyebab ketulian. Hal ini

dapat membantu pengobatan dan pengelolaan ketulian serta dapat

memprediksi kemungkinan ketulian akan diturunkan pada generasi

berikutnya (Eisen & Ryugo 2008; Gravina et al. 2010; Han et al. 2011).
27

Tuli genetik mempengaruhi berbagai proses molekuler, termasuk

mutasi gen yang mengganggu fungsi faktor transkripsi, saluran kalium dan

klorida, connexin, dan stereocilia. Dengan uji genetik, identifikasi

terjadinya mutasi dapat menghasilkan prognosis yang akurat untuk

perkembangan terhadap ketulian. Pengetahuan ini sangat membantu

mengarahkan pengobatan. Sebagai contoh, mutasi dari gen GJB2 berarti

ketulian bukan disebabkan kelainan neurologis. Anak ini merupakan

kandidat untuk implantasi koklea yang baik (Eisen & Ryugo 2008).

Penelitian Zhu dan kawan-kawan dengan melakukan teknik knockout gen,

mereka melakukan knockout pada ekspresi gen GJB2 setelah kelahiran

hari ke-5 pada tikus. Terjadi penurunan pendengaran yang progresif pada

frekuensi tinggi diikuti frekuensi tengah dan rendah.Potensial endokoklear

menurun tetapi tidak progresif. Penelitian ini menunjukkan mutasi gen

GJB2 menyebabkan kerusakan amplifikasi di koklea (Zhu et al. 2014)

Banyak gen yang ditemukan dapat menyebabkan ketulian

sindromik dan non sindromik, dimana perbedaan manifestasi kliniknya

terjadi bila mutasi gen menyebabkan perubahan asam amino sehingga

membentuk protein yang berbeda (Astuto et al. 2002). Penelitian Deklerck,

Acke, Janssens, De Leenheer (2015) di Belgia dari 191 pasien yang

dianalisis , 65.4% disebabkan karena faktor genetik dan mutasi gen GJB2

merupakan penyebab utama. Penelitian Nishio dan Usami (2015) di

Jepang dari 1389 sampel (dari 1120 pasien tuli non sindromik) didapatkan

8376 varian mutasi gen, mutasi yang terbanyak adalah GJB2, diikuti

dengan CDH23, SLC26A4, MYO15A, COL11A2, MYO7A, and OTOF.


28

Gen gap junction beta 2 (GJB2), yang menghasilkan protein yang

disebut connexin 26 berperan dalam menyebabkan ketulian kongenital

(Mohamed et al. 2010; Wonkam 2015). Gen ini sering dikaitkan dengan

tuli non sindromik di populasi barat. Connexin 26 adalah komponen dari

protein gap junction yang berfungsi sebagai channel interseluler. Channel

ini dapat menyebabkan molekul berat rendah dapat berpindah dari sel ke

sel. Jaringan penunjang dari organ Corti mengekspresikan banyak protein

gap junction, termasuk connexin 26. Mutasi pada gen ini mengganggu

daur ulang kalium setelah depolarisasi sel rambut koklea, sehingga

menyebabkan akumulasi kalium di ruang ekstraselular yang mengelilingi

sel-sel rambut dan sel-sel penunjang dan akhirnya terjadi kematian sel

sehingga menyebabkan ketulian (Bailey, Jonas & Shawn 2006; Gandia et

al. 2013).

Sekitar 50% mutasi GJB2 diturunkan secara autosomal resesif (De

Castro et al. 2013). Mutasi GJB2 diturunkan dalam populasi melalui karier

yang prevalensinya adalah 1 dari 33 pasien (Sujata, Archbold & Clarke

2007). Lebih dari 101 mutasi GJB2 didapatkan pada ketulian. Prevalensi

mutasi GJB2 berbeda pada setiap etnis. Mutasi GJB2 ditemukan pada

banyak pasien dengan latar belakang etnis yang beragam, misalnya

delesi basa guanin pada nukleotida posisi 35 (35delG) sering ditemui

pada bangsa Eropa (Dzhemileva et al. 2011). Delesi timin pada posisi 167

(167delT) sering ditemukan pada populasi kaum Yahudi Ashkenazi dan

mutasi 235delC sering pada Jepang atau bangsa Asia pada umumnya

(Bailey, Jonas & Shawn 2006; Abe et al. 2000 ; De Castro et al. 2013).
29

Pada warga kulit putih di Amerika Serikat ditemukan 1 dari 40 orang

adalah carrier mutasi GJB2. Tingginya frekuensi mutasi ini membuat tes

skrining genetik dan molekuler layak untuk dilakukan (Eisen & Ryugo

2008).

Myosin 7A berperan dalam perkembangan dan pemeliharaan sel-

sel rambut yang disebut dengan stereosilia di telinga daIam. Stereosilia

kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam pergerakan stereosilia

sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini mengubah energi

mekanik menjadi energi listrik yang disampaikan ke saraf

pendengaran(Eisen & Ryugo 2008).

Penelitian Shahzad dan kawan-kawan di Pakistan (2013) dari 34

penderita tuli kongenital prelingual di Pakistan didapatkan 11 mutasi gen

MYO7A yang terdiri atas 7 substitusi missense, 1 nonsense, 1 frameshift,

dan 2 splice site. Terdapat pula mutasi gen CDH23 pada 1 pasien, dan

mutasi gen SLC26A4 pada 1 pasien. Mutasi gen MYO7A dapat terjadi

pada ketulian autosomal resesif dan dominan.

Kecendrungan banyaknya ditemukan kejadian tuli kongenital di

Indonesia, yang sebagian besar adalah ketulian non sindromik dengan

orang tua yang mempunyai pendengaran normal dan belum adanya

penelitian mengenai hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A

terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

menyebabkan peneliti ingin melakukan penelitian ini. Apakah memang


30

terdapat mutasi genetik pada orang tua yang dapat diturunkan kepada

anak-anaknya sehingga terdapat anaknya yang menderita ketulian.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan maka

dapat dirumuskan permasalahan yang dituangkan sebagai pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1.2.1. Apakah terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A

terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.2.2. Apakah terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari

orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di

Indonesia

1.2.3. Berapa besar risiko kejadian tuli kongenital pada orang tua yang

memiliki mutasi genetik dan orang tua yang tidak memiliki mutasi

genetik.

1.3. Hipotesis

1.3.1. Terdapat hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap

kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.3.2. Terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang

tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia


31

1.3.3. Risiko kejadian tuli kongenital lebih tinggi pada orang tua yang

memiliki mutasi genetik daripada orangtua yang tidak memiliki

mutasi genetik

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan umum

1. Mengetahui hubungan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap

kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia

1.4.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang

tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia

2. Mengetahui risiko kejadian tuli kongenital pada penderita yang

memiliki orang tua dengan mutasi genetik dan orang tua yang tidak

memiliki mutasi genetik

3. Mengetahui mutasi genetik pada saudara kandung penderita tuli

kongenital.

4. Mengetahui variasi mutasi gen GJB2

5. Mengetahui prediksi perubahan protein yang terjadi akibat mutasi

genetik GJB2 terhadap gangguan pendengaran akibat kerusakan

koklea.
32

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat teoritis

1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan data dan informasi

tentang mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli

kongenital non sindromik di Indonesia.

2. Mendapatkan bahwa mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A merupakan

salah satu faktor kerentanan terhadap kejadian tuli kongenital non

sindromik di Indonesia.

3. Sebagai dasar untuk pengembangan teori terkait terapi genetik

1.5.2. Manfaat praktis (Terapan)

1. Pemeriksaan genetik dapat digunakan sebagai standar pemeriksaan

pada bayi-bayi baru lahir untuk melihat kemungkinan tuli kongenital di

kemudian hari.

2. Dengan mengetahui risiko adanya mutasi genetik pada orangtua

penderita tuli kongenital sehingga dapat diketahui adanya

kemungkinan mereka memiliki keturunan yang lahir tuli sehingga

pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap

pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat

keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk

memiliki anak lahir tuli.


33

3. Pentingnya informasi genetik pada gangguan pendengaran karena

kerusakan koklea, sehingga dapat memprediksi keberhasilan

penatalaksanaan dengan penggunaan implan koklea dan terapi

genetik.

1.6. Orisinalitas

Penelitian mutasi genetik pada beberapa daerah di Indonesia

belum pernah dilakukan. Juga belum pernah dilaporkan risiko terjadinya

tuli kongenital pada orang tua yang memiliki mutasi genetik di Indonesia.

Oleh sebab itu penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan sebuah

hak atas kekayaan intelektual berupa penemuan informasi baru yang

menyajikan adanya pengaruh mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap

kejadian tuli kongenital non sindromik di Indonesia dan didapatkan adanya

pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen MYO7A dari orang tua kepada

penderita tuli kongenital di Indonesia. Peneliti juga belum pernah

mendapatkan berapa besar risiko mutasi genetik yang diturunkan dari

orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di Indonesia.

1.7. Hak Atas Kekayaan Intelektual

1. Ditemukan risiko kejadian tuli kongenital pada penderita dengan orang

tua yang memiliki mutasi gen GJB2 dan yang tidak memiliki mutasi

genetik.
34

2. Ditemukan mutasi genetik resesif pada saudara kandung penderita tuli

kongenital yang tidak lahir tuli yang lahir dari orang tua yang memiliki

mutasi genetik.

3. Pemeriksaan genetik digunakan sebagai standar skrining

pemeriksaan pada bayi-bayi baru lahir di Indonesia untuk melihat

kemungkinan tuli kongenital di kemudian hari.

4. Pemeriksaan ini dapat dijadikan konseling pra–menikah pada setiap

pasangan yang ingin menikah dan membantu mereka untuk membuat

keputusan tentang memiliki anak atau mempersiapkan diri untuk

memiliki anak lahir tuli.

5. Pemeriksaan ini dapat dijadikan skrining pemeriksaan sebelum

dilakukan implan koklea sehingga dapat memprediksi gangguan di

koklea sehingga dapat memprediksi keberhasilan implan koklea.


35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuli Kongenital


Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul

pada saat lahir (Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012). Tuli kongenital

merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-

faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir (Steer,

Bolton & Golding 2015). Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing

impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi

pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan untuk

berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan

tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian

terganggunya sehingga tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli

kongenital dibagi menjadi genetik herediter (faktor keturunan) dan non

genetik (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel

2002).

Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli sensorineural derajat

berat sampai sangat berat , pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal

sulit diketahui karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru

menyadari adanya gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada

respons terhadap suara keras atau belum / terlambat berbicara. Oleh

karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk mengetahui
36

respons anak terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi

dan cara pengucapan kata (Gurtler 2008).

2.2. Epidemiologi Tuli Kongenital

Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang

memerlukan perhatian khusus mengenai 6-8% dari populasi di negara

berkembang dan sebagian merupakan defek yang didapatkan

sejak lahir. Berdasarkan universal newborn hearing screening (UNHS)

angka kekerapan yang didapatkan akan jauh lebih tinggi lagi.Kurang

lebih 1,64 dari 1000 anak lahir hidup mengalami tuli kongenital.

1 dari 1000 kelahiran hidup mengalami tuli bilateral, dan 0,64

dari1000 kelahiran hidup mengalami tuli unilateral. Di Negara maju angka

tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup (Gurtler 2008;

Victor, Rosa Andrea & Silvia 2012; Nugroho, Zulfikar & Muyassaroh 2012;

Kamiya 2015). Sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang

dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7 propinsi pada tahun 1994 -

1996 yaitu sebesar 0,1 % (Hendarmin 2006).

2.3. Etiologi Tuli Kongenital

2.3.1. Genetik

Ketulian berdasarkan kelainan genetik dapat m e m i l i k i

etiologi yang berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1%


37

d a r i seluruh gen manusia terlibat dalam proses pendengaran. Secara

garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik

terbagi menjadi ketulian non sindromik dan ketulian sindromik.

Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi

p a d a g e n t u n g g a l a t a u merupakan kombinasi mutasi pada gen

yang berbeda dan faktor lingkungan. Sekitar 50% kasus merupakan

kelainan pendengaran bentuk mutasi gen. Mutasi gen ini dapat

diturunkan kepada keturunannya (Genetic Evaluation of Congenital

Hearing Loss Expert Panel 2002; Steer, Bolton & Golding 2015).

Penelitian Coco dan kawan-kawan yang melakukan amniocentesis untuk

pemeriksaan genetik GJB3 35delG dan M34T pada ibu dengan kehamilan

trimester dua mendapatkan dari 12.395 cairan amnion yang dianalisis

ditemukan 2 kasus mutasi homozigot 35delG dan 352 kasus karier

heterozigot, yang terdiri dari 42 mutasi M34T, 298 dengan mutasi 35delG

dan 12 kasus heterozigot ganda M34T/35delG (Coco et al. 2013)

Ketulian non sindromik merupakan gangguan pendengaran

tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan kelinan fisik lainnya. Ketulian

non sindromik mengenai sekitar 1 dari 4000 orang. Ketulian non

sindromik lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.

Sekitar 70 % tuli genetik adalah non sindromik dan 30 % adalah sindromik

(Cynthia et al. 2006; Antonio 2012).


38

2.3.2. Non genetik

2.3.2.1 Masa kehamilan (Prenatal)

Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi

bakteri maupun virus akan mempunyai akibat terjadinya ketulian. Infeksi

yang sering mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi

TORCHS (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis),

selain campak dan parotitis (Guerina 1994; Adler & Marshall 2007).

Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,

gentamisin, streptomisin dll mempunyai potensi menyebabkan terjadinya

gangguan proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput

(koklea). Gangguan struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan

terjadinya ketulian antara lain aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk),

displasia Mondini dan atresia liang telinga (Mudd 2012).

2.3.2.2 Saat lahir (Perinatal)

Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat

badan lahir rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses

kelahiran (ekstraksi vakum, forcep), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak

langsung menangis), dan hipoksia otak bila nilai Apgar < 5 pada 5 menit

pertama (Gomella 2004; Okhravi et al. 2015).

Menurut Academy American Joint committee on infant Hearing

Statement (2007) pada bayi usia 0-28 hari bila ditemukan beberapa faktor

berikut ini harus dicurigai karena merupakan kemungkinan penyebab


39

terjadinya gangguan pendengaran (Joint Committee on Infant Hearing

2007) :

1. Riwayat keluarga dengan tuli sejak lahir

2. Infeksi prenatal; TORCHS

3. Kelainan anatomi pada kepala dan leher

4. Sindrom yang berhubungan dengan tuli kongenital

5. Berat badan lahir rendah (BBLR < 1500 gram )

6. Meningitis bakterialis

7. Hiperbilirubinemia (bayi kuning) yang memerlukan transfusi tukar

8. Asfiksia berat

9. Pemberian obat ototoksik

10. Menggunakan alat bantu pernapasan / ventilasi mekanik lebih dari

5 hari (ICU).

2.4. Klasifikasi Tuli Kongenital

Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik.

Ketulian sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga

mempunyai masalah di bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal,

mata, tiroid ataupun organ lain. Mengetahui penyebab genetik pada

pasien ini dapat membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan

kelainan di sistem lain selain ketulian. Ketulian non sindromik adalah

penderita hanya mempunyai masalah pada ketulian dan tidak pada bagian

tubuh yang lain (Rehm et al. 2008).


40

2.5. Gambaran Klinis Tuli Kongenital

Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering

memberikan gejala berupa keterlambatan bicara (speech delay).Tidak

berkembangnya kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan

tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran dan perlu

dievaluasi (Oller et al. 1999).

Perkembangan bicara erat kaitannya dengan tahap perkembangan

mendengar pada bayi, sehingga adanya gangguan pendengaran perlu

dicurigai apabila (Oller et al. 1999):

Usia 12 bulan : belum dapat mengoceh (babbling) atau meniru bunyi

Usia 18 bulan : tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti

Usia 24 bulan : perbendaharaan kata kurang dari 10 kata

Usia 30 bulan : belum dapat merangkai 2 kata

2.5.1. Perkembangan auditorik sesuai dengan usia anak, antara lain

(Soetjipto 2007) :

Usia 0-4 bulan : kemampuan respons auditorik masih terbatas dan

bersifat reflex. Dapat ditanya apakah bayi kaget mendengar suara

keras atau terbangun ketika sedang tidur. Respons berupa refleks

auropalpebral maupun refleks Moro.

Usia 4-7 bulan respons memutar kepala ke arah bunyi yang terletak

di bidang horizontal, walaupun belum konsisten. Pada usia 7 bulan


41

otot leher cukup kuat sehingga kepala dapat diputar dengan cepat

ke arah sumber suara.

Usia 7-9 bulan dapat mengidentifikasi dengan tepat asal sumber

bunyi dan bayi dapat memutar kepala dengan tegas dan cepat.

Usia 9-13 bulan bayi sudah mempunyai keinginan yang besar untuk

mencari sumber bunyi dari sebelah atas, dan pada usia 13 bulan

mampu melokalisir bunyi dari segala arah dengan cepat.

Pada usia 2 tahun pemeriksa harus lebih teliti karena anak tidak

akan memberi reaksi setelah beberapa kali mendapat stimulus

yang sama. Hal ini disebabkan karena anak sudah mampu

memperkirakan sumber suara.

2.6. Diagnosis Tuli Kongenital

Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan,

bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang

kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan

bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap

suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks

auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye

widening (melebarkan mata), cessation (berhenti menyusu) dan

mengerutkan wajah atau grimacing (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia

2010).

Saat ini emisi otoakustik dan brainstem evoked response

audiometry (BERA) merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold


42

standard) dengan prinsip pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dengan

sensitifitas mendekati 100% (Genetic Evaluation of Congenital Hearing

Loss Expert Panel 2002).

2.6.1. Emisi otoakustik

Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang

diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus

eksternus baik dengan tidak adanya stimulasi akustik (emisi spontan) atau

sebagai respon terhadap stimulasi akustik (akustik-menimbulkan emisi)

atau rangsangan listrik (elektrik menimbulkan emisi). Suara yang

ditangkap oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30 dB, namun berpotensi

untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena suara yang

sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada

umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik

dihasilkan hanya bila organ Corti dalam keadaan mendekati normal, dan

telinga tengah berfungsi dengan baik (Donovalova 2006; Hall III &

Antonelli 2006; Berg et al. 2011).

Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun

1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve &

Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi

tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat

telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip).

Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah


43

menjadi elektrik agar mudah diproses (Hall III & Antonelli 2006; Xiao et al.

2015).

Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani

yang ditransmisikan ke koklea melalui telinga tengah secara spontan

ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik

diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang

baik. Koklea tidak signifikan memancarkan suara ke udara di kavum

timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan sedikit

udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga harus

ditutup (Hall III & Antonelli 2006).

Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal

sebagai “cochlear amplifier” yang menyebabkan adanya suatu gerakan

sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat

terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan

dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010).

Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click

dengan intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone,

kemudian terjadi gerakan biomekanik dari membran basilaris sehingga

menghasilkan amplifikasi energi intrakoklea dan tuning koklea.

Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea

yang diperbanyak dan keluar melalui sistem telinga tengah dan membran

timpani menuju liang telinga (Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010).

Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan

kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan
44

keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan

koklea (Abdullah 2006).

2.6.1.1 Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik

Stimulus bunyi keluar dari probe untuk ditransmisikan melalui

telinga luar, di membran timpani rangsang auditori dirubah dari sinyal

akustik menjadi sinyal mekanik dan ditransmisikan melalui tulang-tulang

pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang stapes akan

bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan pergerakan

gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan tersebut

menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari membran

basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam rentang tertentu

(Campbell 2006).

Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif

terhadap rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang

jauh dari foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan

frekuensi rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali

dan direkam menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan

frekuensi paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Pada saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut

bergerak dan respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan

sinyal aferen ditransmisikan dan sinyal suara diemisikan kembali melalui

jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga (Campbell 2006;

Møller 2006).
45

Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan

telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis gelombang bunyi.

Dengan kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga

bagian dalam kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai

kapasitas dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan

kemampuan sel-sel rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang

sebenarnya adalah bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru

terangsang pada tekanan bunyi yang lebih kecil. Sel-sel rambut luar

secara serentak menambah energi kepada sel-sel rambut dalam dengan

cara gerakan mekanis. Proses gerakan inilah yang diperkirakan

merupakan sumber aktifitas emisi telinga bagian dalam (Møller 2006).

2.6.1.2 Tujuan dan syarat pemeriksaan

Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai

keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil

pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006):

a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu

dengan gangguan perkembangan).

b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.

c. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).

Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur,

bahkan pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan

respon tingkah laku.


46

Syarat-syarat untuk menghasilkan emisi otoakustik (Campbell 2006):

a. Liang telinga luar tidak obstruksi

b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe.

c. Posisi optimal dari probe

d. Tidak ada penyakit telinga tengah

e. Sel rambut luar masih berfungsi

f. Pasien kooperatif

g. Lingkungan sekitar tenang.

Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer,

meliputi telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal

dari koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat

mentransmisikan kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh

mikrofon. Emisi otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan

ambang dengar individu (Campbell 2006).

Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada

telinga normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah

evoked otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).

2.6.1.3 Jenis-jenis emisi otoakustik

Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara

tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan). Respon non

stimulus ini biasanya diukur dalam rentang frekuensi perekaman yang

sempit (< 30 Hz bandwidth) dalam liang telinga luar. Diperlukan


47

perekaman multiple untuk memastikan kemampuan replikasi dan

untuk membedakan respon dari tingkat bising. Perekaman SOAEs

biasanya berada dalam rentang frekuensi 500-7000 Hz. Pada

umumnya, SOAEs terjadi hanya pada 40-50% individu dengan

pendengaran normal. Pada dewasa sekitar 30-60%, pada neonatus

sekitar 25-80%. SOAEs tidak ditemukan pada individu dengan dengan

ambang dengar >30 dB HL. Oleh karena itu, adanya SOAEs biasanya

dianggap sebagai tanda kesehatan koklea, tetapi tidak adanya SOAEs

tidak selalu merupakan tanda kelainan dan juga biasanya tidak

berhubungan dengan adanya tinitus. SOAEs biasanya terjadi pada

frekuensi 1000-2000 Hz, amplitudo antara -5 dan 15 dB SPL.

b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked

otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang

dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat

pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.

c. Distortion product otoacoustic emission (DPOAEs), merupakan emisi

suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.

d. Sustained-frequncy otoacoustic emission (SFOAEs), merupakan emisi

suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan (kontinyu)

(Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).


48

Gambar 2.1. Contoh hasil pemeriksaan OAE (Mainley, Ray & Propper 2008)

2.6.2. Brainstem evoked response audiometry (BERA)

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu

teknik pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi.

Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan

Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh

Jewett dan Wilson pada tahun 1971. BERA merupakan tes

elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level

dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA

ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim oleh

suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone (Hall III

& Antonelli 2006).


49

Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk

gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang

dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada

lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat

objektif (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006).

Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam

waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (70-

90 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan

angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006). Komponen

gelombang:

a. Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf

pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal

dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.

b. Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII.

c. Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.

d. Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.

e. Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral.

Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.

f. Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari korpus genikulatum

medialis, tetapi lokasi pastinya masih belum jelas.


50

Gambar 2.2. Gelombang BERA normal (Bhattcharrya 2006)


51

Mekanisme pemeriksaan BERA adalah dengan memberikan

rangsangan bunyi melalui headphone yang telah diatur pada level kontrol

akan menempuh perjalanan melalui koklea  nukleus koklearis 

nukleus olivarius superior  lemniskus lateral  kolikulus inferior 

korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan akan

diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan

diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer.

Penilaian BERA (Bhattcharrya 2006; Hall III & Antonelli 2006)

a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.

Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan

dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V.

b. Interwave latency I-III, III-V, I-V.

Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang III,

dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke

gelombang V.

c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)

Yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan

dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III.

Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.

d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity

function)

Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai

gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan dengan


52

ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap terlihat dengan

memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil intensitas yang

diberikan, maka gelombang BERA akan menghilang kecuali

gelombang V yang dapat terlihat sampai pada level 5-20 dB.

e. Rasio amplitudo gelombang V/I.

Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai

integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur kemudian

dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa gelombang V harus

lebih besar dari gelombang I dengan hasil > 1,0. Pada kasus kelainan

retrokoklea, ratio amplitudo gelombang V/I akan menurun yaitu <1,0.

2.6.3. Pemeriksaan tambahan

a . Timpanometri

Pemeriksaan ini merupakan alat yang mengukur impedansi

(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri

digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari tuli

konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari

penderita dan biasa digunakan juga pada anak-anak.

Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan sumber suara dan

di pasang di liang telinga. Hasil pemeriksaan dari alat ini dibaca

dalam bentuk gelombang (Steele, Susman & McCurdy 2003).

b. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)

Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan pada bayi usia 9

bulan sampai 2,5 tahun. Merupakan pemeriksaan


53

subjektif karena membutuhkan respons dari anak. Namun

pada tes ini selain diberikan bunyi-bunyi, alat yang

digunakan juga harus dapat menghasilkan gambar

sebagai reward bila anak berhasil memberi jawaban.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan sambil bermain (Shaw 2004).

c. Audiometri bermain (Play Audiometry)

Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar

anak ini dapat dilakukan pada anak usia 2,5-7 tahun.

Caranya dengan menggunakan audiometer yang

menghasilkan bunyi dengan frekuensi dan intensitas

berbeda. Bila anak mendengar bunyi berarti sebagai

pertanda anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda

ke kotak di hadapannya (Diefendorf 2002).

d. Audiometri Konvensional

Pemeriksaan ini dapat dilakukan anak usia 7 tahun ke atas.

Fungsinya adalah untuk mengetahui ambang dengar. Caranya

dengan menggunakan alat audiometer yang mampu

mengeluarkan beragam suara, masing-masing dengan intensitas

dan frekuensi yang berbeda-beda. Yang diperiksa akan merespon

bunyi dengan menekan tombol yang disediakan atau mengangkat

tangan (Mc Pherson, Law & Wong 2010).


54

2.7. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga

2.7.1. Embriologi telinga

Perkembangan struktur kepala dan leher dari mamalia merupakan

hasil diferensiasi jaringan lunak dari embrio mamalia, dimana struktur

kepala dan leher berasal dari jaringan lunak di daerah pharyngeal

apparatus dari embrio (Choo & Richter 2009).

Perkembangan dari pharyngeal apparatus embrio membentuk tiga

komponen yaitu lengkung brankial (faringeal), kantong brankial dan celah

brankial, dimana lengkung brankial merupakan unsur pokok tempat

berkembangnya struktur-struktur dari lapisan mesoderm embrio seperti

jaringan otot, elemen pembuluh darah dan sel-sel neural crest yang

nantinya akan membentuk jaringan tulang dan jaringan syaraf. Oleh

karena itu apabila terjadi gangguan perkembangan pada lengkung

brankial akan menyebabkan kelainan kongenital pada struktur kepala dan

leher (Wareing, Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).

Periode yang penting untuk perkembangan telinga adalah pada

minggu ke-3 setelah fertilisasi, dimana telinga dalam terlebih dahulu

dibentuk. Telinga luar, tengah dan dalam berasal dari embriologi yang

berbeda dan perkembangannya dapat terganggu pada tingkatan manapun

sehingga dapat menimbulkan abnormalitas yang sangat bervariasi mulai

dari yang ringan sampai yang berat (Choo & Richter 2009).

Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan

otak. Neuron di bagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3

tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi


55

perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka

upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi

dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (HTA

Indonesia 2010).

Jaringan pada kepala dan leher berasal dari 3 lapisan embrio yaitu

endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Perkembangan prenatal dibagi menjadi beberapa periode yang terpisah.

Periode pertama dimulai dari saat implantasi blastosit ke dalam dinding

uterus hingga sirkulasi intraembrionik mulai terbentuk, selama periode

singkat ini (sekitar 21 hari) ketiga lapisan embrio yaitu endoderm,

mesoderm, dan ektoderm berkembang membentuk lempengan yang datar

dan memanjang yang mengandung notochord. Struktur seperti batang ini

berasal dari lapisan ektoderm dan memanjang sepanjang embrionic disc

(potongan embrio) mulai dari membran buccopharyngeal sampai ke

membran cloacal, dimana lapisan ektoderm dan lapisan endoderm

bertemu. Periode kedua yang berlangsung selama 35 hari (akhir minggu

ke-8) yang dinamakan periode embrionik. Selama periode ini terjadi

pertumbuhan yang cepat dan diferensiasi tingkat seluler sehingga pada

saat hari ke-56 semua sistem utama dan organ telah terbentuk, dan

embrio memiliki bentuk yang dapat dinyatakan sebagai manusia. Waktu

yang tersisa yaitu 7 bulan masa gestasi disebut periode fetal, dimana

pertumbuhan yang cepat hanya ditandai dengan perubahan bentuk serta

perubahan posisi antara struktur yang satu dengan yang lain dan tidak
56

ditemukannya diferensiasi sel baru seperti yang terjadi pada periode

embrionik (Wright 1997).

2.7.1.1. Perkembangan Telinga Dalam


Struktur telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran berisi

cairan yang dibentuk dari lapisan ektoderm dan labirin bagian tulang (otic

capsule) yang dibentuk dari lapisan mesoderm dan neural crest (Choo &

Richter 2009).

a. Labirin Bagian Membran

Telinga bagian dalam merupakan bagian yang pertama kali

dibentuk dan berkembang dibandingkan dengan bagian telinga yang lain.

Pada akhir minggu ke-3 masa gestasi (hari ke-22) atau disebut juga

periode 7 somit, lapisan ektoderm yang berada di depan occipital somite

mengalami penebalan pada masing-masing sisi dari neural groove yang

masih terbuka dimana penebalan ini disebut dengan otic placode. Lapisan

mesoderm yang berada disekitar otic placode berproliferasi sehingga

perlahan-lahan membuat lapisan ektoderm yang membentuk otic placode

makin lama makin menyempit dan membentuk otic pit dimana pada

akhirnya otic placode akan lenyap dari permukaan luar dan membentuk

otocyst (otic vesicle), yang akan menjadi cikal bakal pembentukan labirin

bagian membran (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Otocyst terletak diantara lengkung brankial kedua dan lengkung

brankial ketiga yang akan mengalami perkembangan dan perubahan

bentuk secara dramatis sehingga mencapai bentuk dewasa pada minggu


57

ke-10 dan mencapai ukuran dewasa pada minggu ke-20 (Wareing,

Lalwani & Jackler 2006).

Dalam perkembangannya, otocyst lebih berkembang ke arah

panjang daripada lebar, hal ini menyebabkan otocyst dapat dibagi menjadi

tiga daerah dan terlihat jelas pada minggu ke-5 masa gestasi, yaitu

daerah kranial yang akan berkembang menjadi saluran endolimfatik

(endolympatic duct), daerah kaudal yang akan berkembang menjadi

saluran koklea (cochlear duct), dan daerah tengah atau daerah

utrikulosakular (utriculosaccular area) yang akan berkembang menjadi

sistem vestibular (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3 dan ke-4
masa gestasi. Pembentukan otocyst dari otic placode (Wareing, Lalwani &
Jackler 2006).

Daerah utrikulosakular terus berkembang sehingga pada bagian

utrikulo muncul 3 buah kantong yaitu di bagian superior, posterior dan


58

lateral yang akan membentuk kanalis semisirkularis superior, posterior

dan lateral dimana kanalis semisirkularis superior terlebih dahulu

terbentuk secara lengkap pada minggu ke-6 kemudian diikuti oleh kanalis

semisirkularis posterior dan yang terakhir dibentuk adalah kanalis

semisirkularis lateral. Saluran koklea (cochlear duct) juga mulai

mengalami perkembangan secara cepat sehingga membentuk 1,5 putaran

pada minggu ke-8 serta telah mencapai putaran penuh yaitu 2,5 putaran

pada minggu ke-10 masa gestasi, walaupun belum mencapai panjang

keseluruhan, yang baru akan dicapai pada minggu ke-20 masa gestasi

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Epitel sensoris, 3 buah krista, 2 buah makula, dan organ Corti dari

koklea dibentuk dari lapisan ektoderm otocyst. Makula berkembang pada

minggu ke-7 masa gestasi yang berasal dari sekitar daerah tempat

masuknya serabut saraf ke dalam utrikulus dan sakulus. Membran

otokonial mulai terbentuk pada minggu ke-12 masa gestasi (Wareing,

Lalwani & Jackler 2006). Epitel sensoris dari koklea mulai berkembang

pada minggu ke-7, bersamaan dengan itu saluran koklea juga mulai

berkembang dan membentuk putaran, pada dinding medial koklea lapisan

dari epitel sensoris ini mengalami perubahan menjadi bentuk seperti spiral

sebanyak 2 lapisan sepanjang koklea. Bagian spiral yang sebelah dalam

dan mempunyai ukuran lebih besar akan berkembang menjadi sel rambut

dalam (inner hair cell) dan membran tektorial, sedangkan bagian spiral

yang lebih kecil yaitu pada bagian luar akan berkembang menjadi sel
59

rambut luar (outer hair cell). Sel-sel rambut ini dapat dikenali secara jelas

pada minggu ke-11 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Organ Corti berasal dan berkembang dari bagian dinding posterior

saluran koklea (cochlear duct), pada saat saluran koklea terus bertambah

panjang dan apabila pada waktu yang bersamaan dilakukan potongan

lintang maka terlihat bahwa struktur dalam dari saluran koklea berubah

bentuk, yang awalnya berbentuk lingkaran kemudian berubah menjadi

oval dan akhirnya berubah menjadi triangular. Bagian dinding posterior

saluran koklea berkembang menjadi organ Corti, dinding anterior

berkembang menjadi sebagian dari membran Reissner dan dinding lateral

berkembang menjadi stria vaskularis (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

b. Labirin Bagian Tulang

Lapisan mesoderm yang berada disekitar labirin bagian membran

mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan sehingga

menghasilkan 2 macam formasi bentuk yaitu tulang rawan otic capsule

dan ruang perilimfatik (perilymphatic space) yang mengandung cairan

perilimfe pada minggu ke-8 masa gestasi. Di dalam koklea ruang

perilimfatik ini berkembang menjadi 2 bagian yaitu skala timpani dan skala

vestibuli dimana skala timpani dibentuk terlebih dahulu. Proses osifikasi

(penulangan) dari tulang rawan otik kapsul baru dimulai ketika labirin

bagian membran mencapai ukuran dewasa, proses penulangan dimulai

sekitar minggu ke-15 masa gestasi dan berakhir pada minggu ke-21

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


60

Gambar 2.4. Perkembangan labirin bagian tulang. Potongan lintang koklea yang
menggambarkan perkembangan organ Corti, labirin tulang, dan ruang
perilympatik pada minggu ke-8 sampai minggu ke-12 masa gestasi (Choo &
Richter 2009).

Secara klinis gangguan perkembangan telinga dalam dibagi menjadi 2

bagian yaitu:

1. Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran

2. Gangguan perkembangan pada Labirin membran.

Abnormalitas dari telinga bagian dalam dapat disebabkan oleh

perkembangan yang terhambat ataupun perkembangan yang

menyimpang dimana faktor-faktor yang terlibat dan dapat menimbulkan

hal ini sangat bervariasi berupa faktor genetik, maupun faktor teratogenik

(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


61

Gambaran histopatologis yang sering dijumpai pada tuli kongenital

adalah displasia kokleasakular yang diakibatkan oleh terhambatnya

perkembangan bagian kaudal dari otocyst, sehingga sebagian atau

seluruh bagian dari organ Corti tidak terbentuk, yang pertama kali

digambarkan oleh Scheibe pada tahun 1892. Saluran koklea dan sakulus

mengalami kolaps, dan stria vaskularis mengalami degenerasi sedangkan

utrikulus dan kanalis semisirkularis normal (Wareing, Lalwani & Jackler

2006).

Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran

kebanyakan disebabkan oleh perkembangan yang terhambat pada

minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada masa gestasi. Labirin aplasia

menyeluruh (Michel malformation) merupakan abnormalitas yang sangat

berat dan sangat jarang terjadi dimana diduga akibat dari kegagalan

otocyst untuk berkembang. Koklea aplasia, hipoplasia, dan pemisahan

saluran koklea (cochlear duct) yang tidak sempurna merupakan kelainan-

kelainan atau abnormalitas akibat dari perkembangan koklea yang

terhambat pada minggu ke-5, 6, dan 7 pada masa gestasi. Displasia dari

kanalis semisirkularis disebabkan oleh kegagalan penyatuan epitel sentral

dimana kanalis semisirkularis lateral yang paling sering terkena. Hal ini

disebabkan karena kanalis semisirkularis lateral merupakan yang terakhir

berkembang (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).


62

2.7.2. Anatomi Telinga

2.7.2.1 Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan

labirin bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis

semisirkularis, vestibulum dan koklea, sedangkan labirin bagian membran

terletak di dalam labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis,

utrikulus, sakulus dan koklea (Dhingra 2010).

Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput

dan bergulung 21/2 putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan

pusatnya yang disebut modiolus dan juga merupakan tempat keluarnya

lamina spiralis. Dari lamina spiralis menjulur ke dinding luar koklea suatu

membran basilaris. Pada tempat perlekatan membran basilaris ke dinding

luar koklea terdapat penebalan periosteum yang dikenal sebagai

ligamentum spiralis. Di samping itu juga terdapat membran vestibularis

(Reissner) yang membentang sepanjang koklea dari lamina spiralis ke

dinding luar. Kedua membran ini akan membagi saluran koklea tulang

menjadi tiga bagian yaitu ruang atas (skala vestibuli), ruang tengah

(duktus koklearis/skala media), dan ruang bawah yang disebut skala

timpani. Antara skala vestibuli dengan duktus koklearis dipisahkan oleh

membran vestibularis (Reissner). Antara duktus koklearis dengan skala

timpani dipisahkan oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala

timpani mengandung perilimfe dan di dindingnya terdiri atas jaringan ikat

yang dilapisi oleh selapis sel gepeng yaitu sel mesenkim, yang menyatu

dengan periosteum disebelah luarnya. Skala vestibuli berhubungan


63

dengan ruang perilimfe vestibularis dan akan mencapai permukaan dalam

fenestra ovalis. Skala timpani menjulur ke lateral fenestra rotundum yang

memisahkannya dengan ruang timpani. Pada apeks koklea skala vestibuli

dan timpani akan bertemu melalui suatu saluran sempit yang disebut

helikotrema (Gacek 2009; Dhingra 2010).

Gambar 2.5. Koklea dan potongan melintang koklea (Wikipedia 2013)


64

Organ Corti terletak di atas membran basilaris yang mengandung

organ penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran, terdiri dari tiga

bagian utama, yaitu sel penunjang, sel-sel rambut dan suatu lapisan

gelatin penghubung membran tektoria. (Gacek 2009).

Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan

cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan

konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Cairan perilimfe

pada skala vestibuli berasal dari plasma darah yang terdapat pada barrier

hemato-perilimfatik, sedangkan cairan perilimfe pada skala timpani

berasal dari CSF (Dhingra 2010).

Cairan endolimfe adalah cairan yang memiliki komposisi ion yang

hampir sama dengan cairan intraseluler dan mengisi membran auditorius

dan labirin vestibularis. Endolimfe dibentuk oleh sel – sel sekret pada stria

vaskularis dan oleh sel – sel gelap di dekat akhir dari krista ampularis

pada duktus semisirkularis dan dinding utrikulus. Endolimfe diabsorpsi

pada sakus endolimfatikus. Komposisi cairan ini adalah tinggi kalium (K+)

dan rendah natrium (Na+). Konsentrasi kalium 144 mEq/L dan natrium 13

mEq/L. Skala media memiliki potensial istirahat sekitar 80 mV yang

menurun dari basis ke apeks. Potensial endokoklear ini dihasilkan stria

vaskularis di dinding lateral koklea (Mills, Khariwala & Weber 2006; Gacek

2009).
65

Gambar 2.6. Komposisi cairan koklea (Wikipedia 2013)

Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis – lapis dari

lamina spiral pars osseus ke ligamen spiral. Elastisitas membran basilaris

bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya. Membran

basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea. Pada daerah ini

merupakan daerah yang sensitif terhadap frekuensi tinggi. Sedangkan

ujung lain dari membran, yaitu pada apeks koklea, tampak lebih fleksibel

dan luas dan paling sensitif terhadap frekuensi rendah (Dhingra 2010).

Gambar 2.7. Lebar membran basilaris dari basal ke apeks (Wikipedia 2013)

Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran.

Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris, dan menonjol dari


66

basis ke apeks koklea. Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari

basis koklea ke apeks koklea. Organ Corti terdiri atas sel – sel penyokong

dan sel – sel rambut. Sel rambut merupakan sel sensoris yang

menghasilkan impuls saraf dalam menanggapi getaran membran basilaris.

Di organ Corti terdapat 1 deret sel rambut dalam dan 3 sampai 5 deret sel

rambut luar. Ada sekitar 3500 sel rambut dalam dan 12000 sel rambut

luar. Sel – sel ini berbeda secara morfologi, bentuk dari sel rambut dalam

seperti botol dan ujung syarafnya berbentuk piala yang menyelubunginya,

sedangkan bentuk dari sel rambut luar seperti silinder dan ujung syarafnya

hanya pada basis sel yang terletak bebas di perilimfe pada organ Corti

(Gacek 2009).

Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada

perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam

sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal syaraf ke neuron

pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi

sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak

gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris

pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear

amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk

menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi

suara yang lemah. Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin

yang membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia).

Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada membran tektorial

dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel rambut luar kuat
67

melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk huruf W (Laura &

Abraham 2012).

Gambar 2.8. Sel rambut, organ Corti dan sel rambut luar dan dalam dilihat
dengan mikroskop elektron (Laura & Abraham 2012)

Gambar 2.9. Tip Link (Laura & Abraham 2012)

GJB2 (Connexin 26) merupakan salah satu protein utama yang

berperan dalam homeostasis di dalam koklea di telinga dalam. Connexin-


68

26 merupakan suatu kelompok protein di gap junction yang berperan

penting dalam komunikasi berbagai komponen sel-sel rambut, pengaturan

perpindahan elektrolit dan metabolisme elektrolit sel-sel rambut. Connexin

26 diekspresikan pada epitel non sensorik (sel interdental limbus spiralis,

sel penunjang, sel sulkus dalam dan luar, serta sel ligamen spiralis) dan

sel-sel jaringan penghubung (fibrosit ligamen spiralis dan limbus spiralis,

sel intermediet dan basal di stria vaskularis). Enam connexin 26

membentuk connexon, dan masing-masing connexon berhubungan satu

sama lain untuk membentuk suatu gap junction (Moller 2006).

Gambar 2.10. Lokasi Ekspresi GJB2 (Connexin 26) (Moller 2006)

Gambar 2.11. Peran GJB2 dalam regulasi kalium (Steel 1999)


69

2.7.2.2 Sistem Saraf Pendengaran Sentral


Daerah sentral dari sistem pendengaran meliputi seluruh struktur

pendengaran yang letaknya setelah saraf koklearis, yaitu:

a. Kompleks nukleus koklearis

Kompleks nukleus koklearis terdiri dari 3 inti, yaitu nukleus koklearis

anteroventralis, nukleus koklearis posteroventralis, dan nukleus

koklearis dorsalis. Serabut afferen yang berjalan menuju kompleks

nukleus koklearis dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang

ascending menuju ke nukleus koklearis anteroventralis dan cabang

descending menuju ke nukleus koklearis posteroventralis dan

dorsalis (Moller 2006). Akson-akson yang terdapat pada nukleus

koklearis dorsalis akan membentuk stria akustikus dorsalis (stria

Monakow) yang kemudian bergabung dengan lemniskus lateralis

kontralateral dan berakhir pada kolikulus inferior. Akson-akson dari

nukleus koklearis posteroventralis membentuk stria akustikus

intermedius (Rappaport & Provencal 2002). Akson tersebut

membentuk kompleks olivaris superior bilateral dan menuju nukleus

lemniskus lateralis. Beberapa akson berjalan menuju stria ventralis

(corpus trapezoideus) dan membentuk kolikulus inferior

kontralateral. Akson-akson dari nukleus koklearis anteroventralis

membentuk stria ventralis dan akson tersebut membentuk nukleus

lateralis ipsilateral dari kompleks olivaris superior disebut juga

olivaris superior lateralis dan pada ipsilateral dan kontralateral

terdapat nukleus medial dari kompleks olivaris superior yang


70

disebut dengan olivaris superior medialis, serta kontralateral dari

nukleus corpus trapezoideus yang membentuk bagian ipsilateral

dari kompleks olivaris superior (Moller 2006).

Nada frekuensi rendah pada kompleks nukleus koklearis dihantar

oleh daerah kontralateral dan nada frekuensi tinggi oleh daerah

dorsomedialis (Rappaport & Provencal 2002).

b. Kompleks olivaris superior


Kompleks olivaris superior meliputi olivaris superior lateralis,

medialis dan nukleus corpus trapezoideus medialis dan nukleus

preolivaris dan periolivaris yang merupakan bagian dari sistem

pendengaran descending. (Rappaport & Provencal 2002; Moller

2006).

c. Lemniskus lateralis

Terdiri dari sel-sel akson yang terletak pada kompleks nukleus

koklearis, kompleks olivaris lateralis dan lemniskus lateralis.

Lemniskus lateralis mempunyai tiga nukleus yaitu nukleus dorsalis,

ventralis dan intermedius yang letaknya pada pons rostral. Nukleus

dorsalis kanan dan kiri dipertemukan oleh komissura Probst.

Akson-akson dari nukleus dorsalis berakhir pada kolikulus inferior

ipsilateral atau kontralateral via komissura Probst (Mills, Khariwala

& Weber 2006).


71

d. Kolikulus inferior

Terdiri dari daerah sentral atau kolikulus inferior sentral yang

dikelilingi oleh belt area. Kolikulus inferior sentral kanan dan kiri

dihubungkan dengan suatu komissura. Kolikulus inferior sentral ini

menerima proyeksi kontralateral dari masing-masing subdivisi

kompleks nukleus koklearis. Bilateral dari olivaris superior lateralis

dan dari nukleus dorsalis dan intermedius lemniskus lateralis serta

pada ipsilateral dari olivaris superior medius, nukleus korpus

trapezoideus medius dan nukleus lemniskus lateralis ventralis

(Rappaport & Provencal 2002). Belt area menerima proyeksi dari

nukleus lemniskus lateralis dorsalis dan ventralis dan dari nukleus

koklearis ventralis dan dorsalis. Akson-akson dari kolikulus juga

membentuk kolikulus inferior brakialis. Pada kolikulus inferior

sentralis, nada frekuensi rendah terletak pada daerah dorsalis dan

frekuensi tinggi pada ventrolateralis (Luxon & Cohen 1997;

Rappaport & Provencal 2002).

e. Korpus genikulatum medialis

Korpus genikulatum medialis merupakan bagian dari talamus

auditori yang mewakili penyampaian thalamus antara kolikulus

inferior dan korteks auditori. Dibagi dalam 3 nukleus yaitu nukleus

ventralis, dorsalis dan medialis. Korpus ini akan mengirimkan sinyal

ke korteks auditorius. Nada frekuensi rendah terletak pada bagian

lateralis dari nukleus ventralis dan frekuensi tinggi pada daerah


72

medialis (Rappaport & Provencal 2002; Mills, Khariwala & Weber

2006).

f. Korteks auditorius

Terdiri dari daerah primer (girus Heschl), yang terletak pada bagian

atas gyrus temporalis yang dikelilingi oleh Belt area. Belt area

meliputi temporal, gyrus temporalis posterosuperior (area

Broadmann 22), gyrus angularis (area Broadmann 40) dan insula.

Hantaran suara pada korteks auditorius yaitu pada area

Broadmann 22. Kolikulus inferior sentralis, korpus genikulatum

medialis ventralis dan korteks auditorius primer merupakan jalur

pendengaran yang utama (Mills, Khariwala & Weber 2006; Moller

2006; Gacek 2009).


73

Gambar 2.12. Jalur Auditori (The Auditory System 2011)


74

2.7.3. Fisiologi pendengaran

Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang ditransmisikan ke liang

telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani

bergetar. Amplitudo getaran membran timpani sesuai dengan intensitas

bunyi. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran (maleus,

inkus, stapes) yang berhubungan satu sama lain. Ketika gelombang

mencapai basis stapes, ia akan menggetarkan fenestra ovale yang

merupakan perlekatan dari basis stapes ke koklea. Lalu getaran tersebut

akan mendorong cairan perilemfe pada skala vestibuli yang ada di koklea

di auris interna. Adanya pendesakan cairan perilimfe di skala vestibuli,

akan terjadi peningkatan tekanan di skala vestibuli tersebut. Tekanan ini

kemudian akan diteruskan ke skala timpani melalui helikotrema. Cairan

pada skala timpani ikut terdesak. Hal ini mengakibatkan tekanan pada

skala timpani meningkat, kemudian desakan cairan timpani akan

mendorong fenestra rotundum yang terdapat di sebelah lateral dari skala

timpani ke arah lateral. Karena sifat compliance/kelenturan fenestra

rotundum, maka setelah terdesak ke lateral, ia akan kembali ke posisi

semula sehingga tekanan akan terpantulkan kembali ke skala timpani,

helikotrema, kemudian ke skala vestibuli, begitu seterusnya. Getaran

diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan

membrana basilaris ke arah bawah. Puncak gelombang yang berjalan di

sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut,

ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Membran basilaris yang

terletak dekat telinga tengah lebih pendek dan kaku, akan bergetar bila
75

ada getaran dengan nada rendah. Hal ini dapat diibaratkan dengan senar

gitar yang pendek dan tegang, akan beresonansi dengan nada tinggi.

Getaran yang bernada tinggi pada perilimfe skala vestibuli akan melintasi

membran basilaris bagian basal. Sebaliknya nada rendah akan

menggetarkan bagian membran basilaris di daerah apex. Getaran ini

kemudian akan turun ke perilimfe skala timpani, kemudian keluar melalui

foramen rotundum ke telinga tengah untuk diredam (Ingber 2006).

Membran basilaris merupakan membran yang membatasi skala

timpani dengan skala media. Gerakan membran basilaris ke atas akan

membengkokkan stereosilia ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase

depolarisasi mengakibatkan terjadinya peregangan pada serabut tip link di

puncak stereosilia. Ketika tip link meregang langsung membuka saluran

mekanoelekrik transduksi (MET) pada membran stereosilia dan

menimbulkan aliran arus K+ ke dalam sel sensoris. Aliran kalium timbul

karena terdapat perbedaan potensial endokoklea +80 mV dan potensial

intraseluler negatif pada sel rambut, sel rambut dalam -40 mV dan sel

rambut luar -70 mV. Hal tersebut menghasilkan depolarisasi intraseluler

yang menyebabkan kation termasuk kalium dan kalsium mengalir ke

dalam sel rambut. Masuknya ion K+ akan mengubah potensial listrik dalam

sel rambut dan mendepolarisasi sel, pada akhirnya sel rambut memendek

dengan mempengaruhi motor sel rambut luar atau prestin (Gacek 2009;

Dhingra 2010)

Ketika membran basilaris bergerak turun, stereosilia membengkok

ke arah stereosilia yang terpendek pada fase hiperpolarisasi


76

mengakibatkan terjadinya pengenduran pada serabut tip link di puncak

stereosilia maka saluran MET akan tertutup. Bila stereosilia tegak lurus,

pembukaan saluran MET tak akan berpengaruh. Tip link ini seperti saluran

elastik yang bisa mengendalikan buka tutupnya saluran MET. Ion K+

keluar dari sel rambut luar ke dalam ruang ekstraseluler di sekitar sel

rambut luar kemudian masuk ke sel pendukung. Rangsangan suara

diubah menjadi getaran membran basilaris, dan mengarahkan pada

pembukaan dan penutupan saluran MET pada stereosilia kemudian

menghasilkan respon elektrokimia dan akhirnya akan mepresentasikan

suara pada saraf pendengaran (Gacek 2009; Dhingra 2010)

Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti

koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis

tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun

sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada

lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras

pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks

pendengaran pada lobus temporalis (Gacek 2009).

2.8. Skrining Pendengaran Bayi Baru lahir

Skrining pendengaran bertujuan menemukan kasus gangguan

pendengaran ketulian sedini mungkin sehingga dapat dilakukan

habilitasi/rehabilitasi segera, agar dampak cacat dengar bisa dibatasi.

Skrining pendengaran pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening)

dibedakan menjadi (Suwento, Zizlavsky & Hendarmin 2007):


77

a. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS), bertujuan melakukan

deteksi dini gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir.

Upaya skrining pendengaran ini sudah dimulai pada saat usia 2 hari

atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk bayi yang lahir pada

fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS, paling lambat

pada usia 1 bulan sudah melakukan skrining pendengaran.

b. Targeted Newborn Hearing Screening, khusus pada bayi yang

mempunyai faktor risiko terhadap ketulian.


78

2.9. Klasifikasi gangguan pendengaran

Tabel 2.1. Klasifikasi Gangguan Pendengaran

Variabel Keterangan
Lokasi lesi
Konduktif Telinga luar atau tengah.
Sensorineural Koklea atau saraf auditorius.
Neural Saraf auditorius (seperti pada neuropati auditorius),
mungkin non-genetik (misalnya timbul setelah
hiperbilirubinemia) atau genetik (misalnya akibat
mutasi gen otoferlin OTOF).
Sentral Akibat kesulitan proses persepsi informasi suara
pada otak.
Onset
Kongenital Timbul sejak lahir, dapat dideteksi dengan skrining
neonates
Didapat Timbul kapan saja setelah lahir (misalnya akibat
infeksi atau trauma kepala).
Penyebab
Genetik Berhubungan dengan gangguan mekanisme
molekular telinga dalam yang diturunkan; penyebab
genetik ditemukan pada sedikitnya 50% kasus
gangguan pendengaran permanen pada anak-anak;
molekul yang dikodekan termasuk gap-junction
protein connexin 26 (mutasi GJB2), molekul motor
(actin dan myosin), dan faktor transkripsi; pewarisan
umumnya resesif (80% kasus) tapi juga bisa
dominan (15% kasus) atau X-linked atau
mitokondria (<1%); ketulian dapat terjadi sejak lahir
atau dapat juga timbul kemudian; sekitar 4% anak-
anak dengan gangguan pendengaran genetik
memiliki malformasi telinga dalam.

Prenatal (infeksi sitomegalovirus, rubella, sifilis,


Infeksi toxoplasma, atau infeksi virus lainnya) atau
postnatal (measles, mumps, atau meningitis);
meningitis dapat mengganti koklea dengan tulang
baru, yang menimbulkan masalah mayor saat
implan koklea.
Lingkungan Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO),
bising, dapat berhubungan dengan perawatan di
unit neonatus.
79

Variabel Keterangan
Agen ototoksik Antibiotik aminoglikosida (dengan mutasi 1555AG
pada gen 12S rRNA [MTRNR1]) dan agen
kemoterapi seperti sisplatin.
Lain-lain Sepsis, anomali kraniofasial, prematur, berat badan
lahir rendah, anoksia, inkompatibilitas rhesus.

Gambaran klinis
Ketulian Berhubungan dengan temuan klinis lainnya
sindromik (misalnya gangguan penglihatan pada sindroma
Usher, gangguan fungsi tiroid pada sindroma
Pendred, atau aritmia pada sindroma Jervell dan
Lange-Nielsen); ditemukan pada 30% kasus
gangguan pendengaran herediter; sekitar 400
sindroma berhubungan dengan gangguan
pendengaran.
Ketulian Ketulian sebagai temuan tersendiri.
nonsindromik
Bahasa
Ketulian Terjadi sebelum perkembangan bicara.
prelingual
Ketulian Terjadi setelah perkembangan bicara.
postlingual

Severitas
Ketulian ringan, Level pendengaran 20-40 dB menunjukkan
sedang, atau gangguan pendengaran ringan, 41-70 dB gangguan
berat sedang, dan 71-90 dB gangguan berat; gangguan
ringan sampai berat umumnya permanen namun
alat bantu dengar dapat mengkompensasi
gangguan; level gangguan dapat berfluktuasi
seperti pada large vestibular aqueduct syndrome
(sering pada sindroma Pendred) dimana trauma
kepala minor atau terbang dengan pesawat dapat
mencetuskan gangguan pendengaran.
Frekuensi
Rendah < 500 Hz
Tengah 501-2000 Hz
Tinggi > 2000 Hz
80

2.10. Mutasi Genetik


Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA

maupun RNA) yang menyebabkan perubahan ekspresinya, baik pada

taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada taraf kromosom.

Mutasi pada tingkat kromosom biasanya disebut aberasi. Mutasi pada gen

dapat mengarah pada munculnya alel baru dan menjadi dasar munculnya

variasi-variasi baru pada spesies. Mutasi di alam dapat terjadi akibat zat

pembangkit mutasi (mutagen, termasuk karsinogen), radiasi surya,

radioaktif, sinar X, serta loncatan energi listrik seperti petir, terpapar zat

kimia termasuk makanan. Peristiwa terjadinya mutasi disebut

mutagenesis. Sedangkan, individu yang mengalami mutasi sehingga

menghasilkan fenotip baru disebut mutan (Jena 2012).

Mutasi Gen (Mutasi Titik)

Mutasi gen atau mutasi titik adalah mutasi yang terjadi karena

perubahan pada satu pasang basa DNA suatu gen. Perubahan DNA

menyebabkan perubahan kodon-kodon RNA, yang akhirnya

menyebabkan perubahan asam amino tertentu pada protein yang

dibentuk. Perubahan protein atau enzim akan menyebabkan perubahan

metabolisme dan fenotip organisme. Besar kecilnya jumlah asam amino

yang berubah akan menentukan besar kecilnya perubahan fenotip pada

organisme tersebut. Ada dua mekanisme mutasi gen, yaitu subtitusi

pasangan basa dan penambahan atau pengurangan pasangan basa

(Jena 2012).
81

a. Subtitusi Pasangan Basa

Subtitusi pasangan basa ialah pergantian satu pasang nukleotida

oleh pasangan nukleotida lainnya. Subtitusi pasangan basa ada dua

macam, yaitu transisi dan tranversi. Transisi adalah penggantian satu

basa purin oleh basa purin yang lain, atau penggantian basa pirimidin

menjadi basa pirimidin yang lain. Transisi sesama basa purin, misalnya

basa adenin diganti menjadi basa guanin atau sebaliknya. Sedangkan,

transisi sesama basa pirimidin, misalnya basa timin diganti oleh basa

sitosin atau sebaliknya (Jena 2012).

Tranversi adalah penggantian basa purin oleh basa pirimidin, atau

basa pirimidin oleh basa purin. Tranversi basa purin oleh basa pirimidin,

misalnya basa adenin atau guanin diganti menjadi basa timin atau sitosin.

Tranversi basa pirimidin oleh basa purin, misalnya basa timin atau sitosin

menjadi basa adenin atau guanin (Jena 2012).

Subtitusi pasangan basa ini kadang-kadang tidak menyebabkan

perubahan protein, karena adanya kodon sinonim (kodon yang terdiri atas

tiga urutan basa yang berbeda, tetapi menghasilkan asam amino yang

sama). Misalnya, basa nitrogen pada DNA adalah CGC menjadi CGA

sehingga terjadi perubahan kodon pada RNA dari GCG menjadi GCU.

Sedangkan, asam amino yang dipanggil sama, yaitu arginin (Jena 2012).

b. Penambahan atau Pengurangan Pasangan Basa

Mutasi gen yang lain adalah perubahan jumlah basa akibat

penambahan atau pengurangan basa. Penambahan atau pengurangan


82

basa pada DNA dapat menyebabkan perubahan sederetan kodon RNA

yang terdapat di belakang titik perubahan tersebut, berarti juga akan

terjadi perubahan asam amino yang disandikan melalui RNA tersebut.

Akibat lain dari penambahan atau pengurangan basa adalah terjadinya

pergeseran kodon akhir pada RNA. Pergeseran kodon akhir

menyebabkan rantai polipeptida mutan menjadi lebih panjang atau lebih

pendek. Mutasi ini disebut juga mutasi ubah rangka karena menyebabkan

perubahan ukuran pada DNA maupun polipeptida (Jena 2012).

Mutasi ubah rangka ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

penambahan basa (adisi) dan pengurangan basa (delesi). Mutasi karena

penambahan basa, misalnya basa DNA awalnya AGC-GTC menjadi TAG-

CGT-C…. Sedangkan, jika basa DNA tersebut mengalami pengurangan

basa maka urutannya menjadi GCG-TC.... Penambahan atau

pengurangan basa dapat terjadi di bagian awal, di tengah, atau di akhir

(Jena 2012).

Contoh mutasi (Rehm, Williamson, Kenna, Corey, Korf, 2008):

Pengaruh mutasi terhadap protein (Jena 2012):

a. Silent artinya triplet mutan memberi kode asam amino yang sama

Misalnya: AGG  CGG memberi kode asam amino arginin

b. Sinonim artinya triplet memberi kode asam amino yang berbeda fungsi.

Misalnya AAA  AGA : lysin menjadi arginin, tapi keduanya

merupakan asam amino basa


83

c. Mutasi missense artinya mutasi menghasilkan asam amino yang

berbeda atau tidak berfungsi.

d. Mutasi nonsense artinya mutasi menghasilkan kodon pemutus,

sehingga sintesis protein berhenti. Misanya CAG (glisin)  UAG

(berhenti)

e. Mutasi Frameshift : penambahan atau delesi pasangan basa yang

bukan kelipatan 3, sehingga menyebabkan pergeseran pembacaan

kerangka, sehingga sintesis protein dari tempat terjadi mutasi sampai

seterusnya dapat berubah.

2.11. Ketulian dan Genetik

Diperkirakan sekitar setengah dari jumlah kejadian tuli yang terjadi

pada masa kanak-kanak penyebabnya adalah herediter. Kelainan

herediter ini melibatkan gen yang bertanggungjawab dalam proses

pendengaran yang diturunkan dalam keluarga (Cynthia et al. 2006).

Mutasi gen bisa bersifat dominan atau resesif. Bila seorang anak

mendapat gen dominan dari salah satu orangtuanya (misalnya ibu) dan

gen normal dari ayahnya, maka anak tersebut dapat mengalami gangguan

kesehatan karena gen dominan dari ibu bersifat lebih kuat. Sementara itu

mutasi yang bersifat resesif membutuhkan sepasang gen yang rusak

untuk menimbulkan gangguan kesehatan, dan bila hanya satu gen yang

diturunkan berarti anak tersebut merupakan carrier, dimana ia tidak

mengalami gangguan kesehatan namun dapat menurunkan kelainan

tersebut ke anaknya (Rehm et al. 2008).


84

Terdapat dua jenis ketulian yang bersifat genetik, antara lain

sindromik yaitu dimana terdapat masalah kesehatan lain yang menyertai

hilangnya pendengaran, dan jenis yang non-sindromik yaitu satu-satunya

gejala adalah hilangnya pendengaran. Walaupun sebagian besar ketulian

kongenital bersifat non-sindromik namun banyak juga sindroma-sindroma

lain yang memiliki tanda hilang pendengaran sebagai salah satu gejalanya

(Cynthia et al. 2006; Avraham & Kanaan 2012).

Tabel 2.2. Sindroma yang sering menyebabkan ketulian (Cynthia et al.


2006)
Sindroma Kelainan selain ketulian

Alport Masalah ginjal


Brankio-oto-renal Kista leher dan masalah ginjal
Jervell dan Lange-Nielsen Masalah jantung
Pendred Pembesaran tiroid
Stickler Perubahan bentuk wajah, masalah mata,
artritis
Sindroma Usher Buta yang progresif
Sindroma Waardenburg Perubahan pigmen kulit

Penting untuk mengenali sindroma ini guna mengetahui apakah

ada gejala medis lain yang mungkin akan muncul, namun tidak mudah

mengetahui suatu ketulian adalah jenis sindromik atau non-sindromik

karena gejala lain bisa saja tidak terlalu menonjol atau hanya dapat

terdeteksi oleh tes khusus. Untuk mengetahuinya kita dapat berkonsultasi

ke ahli jantung, ahli mata atau ahli genetik. Bila ditemukan kelainan

genetik pada satu orang dan tidak ditemukan riwayat ketulian pada

keluarganya bukan berarti ketulian tersebut tidak diturunkan. Pada

kenyataannya, ketulian genetik seringkali muncul pertama kali pada anak


85

yang kedua orangtuanya tidak tuli dan tidak memiliki riwayat tuli pada

keluarganya (Cynthia et al. 2006; Avraham & Kanaan 2012).

2.12. Jenis-jenis Ketulian Genetik

2.12.1. Pewarisan Autosomal Resesif (DFNB)

Kebanyakan tuli genetik diturunkan secara resesif, yaitu sekitar

80%. Karena adanya karier heterozigot yang asimtomatik terkadang sulit

dibedakan dengan tuli non genetik (Avraham & Kanaan 2012).

Seorang anak menerima satu set kromosom dari ibunya dan satu

set lainnya dari ayahnya. Bila masing-masing kromosom ibu dan ayah

memiliki mutasi resesif pada gen yang sama, setiap anak memiliki

kemungkinan 50% untuk menerima mutasi resesif dari salah satu orang

tua. Namun pada kasus mutasi resesif, agar si anak terpengaruh,

diperlukan kedua set gen yang termutasi. Kemungkinan kedua gen

termutasi diturunkan pada anak adalah (kemungkinan menerima mutasi

dari ayah) dikalikan (kemungkinan menerima mutasi dari ibu) = ½ x ½ = ¼

= 25%. Sehingga pada setiap kehamilan terdapat kemungkinan 25%

bahwa si anak menerima kedua mutasi (Rehm et al. 2008).


86

Gambar 2.13. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara resesif (Rehm et
al. 2008)

Ketulian kongenital yang diturunkan bisa berdiri sendiri (non-

sindromik) atau melibatkan gangguan kesehatan lainnya (sindromik).

Gangguan autosomal resesif non-sindromik (Autosomal Recessive

Nonsyndromic Hearing Loss / ARNSHL) sejauh ini telah diketahui

setidaknya melibatkan 30 gen yang menimbulkan kelainan tersebut.

Sekitar 47% dari populasi tuna rungu di Kolombia menderita ARNSHL.

Lokus gen ARNSHL ini diberi nama DFNB dimana huruf B mewakili sifat

resesif pada keturunan ini (Lattig et al. 2008).

Gen pada lokus DFNB1 mengkode gap junction beta 2 (GJB2),

yang memproduksi protein connexin 26 (Bailey, Jonas & Shawn 2006).

DFNB1 diperkirakan menjadi penyebab 20% ketulian yang diturunkan

pada anak-anak. Pada pasien dengan gangguan pendengaran >70dB

sebanyak 40% memiliki DFNB1; pada ketulian ringan sampai sedang


87

hanya 10-15% yang memiliki gen ini (Rehm et al. 2008). Mutasi GJB2

ditemukan pada banyak pasien dengan latar belakang etnis yang

beragam, misalnya delesi basa guanin pada nukleotida posisi 35 (35delG)

sering ditemui pada bangsa Eropa. Delesi timin pada posisi 167 (167delT)

sering ditemukan pada populasi kaum Yahudi Ashkenazi dan mutasi

235delC sering pada Jepang atau bangsa Asia pada umumnya (Bailey,

Jonas & Shawn 2006).

Pada warga kulit putih di Amerika Serikat ditemukan 1 dari 40

orang adalah carrier mutasi GJB2. Tingginya frekuensi mutasi ini

membuat tes skrining genetik dan molekuler layak untuk dilakukan (Eisen

& Ryugo 2008).

Gangguan autosomal resesif sindromik artinya ketulian ini

diturunkan secara resesif dan disertai oleh beberapa gangguan medis

lainnya selain ketulian sehingga membentuk suatu sindroma, antara lain

sindroma Usher, sindroma Pendred, sindroma Jervell dan Lange-Nielsen,

dan lain-lain (Rehm et al. 2008).

Pada sindroma Jervell dan Lange-Nielsen derajat ketulian

bervariasi namun umumnya tuli berat, disertai dengan kelainan konduksi

jantung dimana pasien sering mengalami sinkop dan kejang-kejang. Pada

pasien sindroma Pendred selain ketulian juga ditemukan kelainan

metabolisme iodine yang bermanifestasi sebagai euthyroid goiter. Gen

yang menyebabkan sindroma ini telah diketahui dan disebut dengan

SLC26A4, dimana gen ini memproduksi protein yang disebut pendrin yang

bertanggung jawab atas transportasi iodin dan klorida (Avraham &


88

Kanaan 2012). Tuli pada sindroma ini bisa timbul berat pada saat lahir

atau memberat seiring dengan usia, dengan jenis ketulian sensorineural

(Eisen & Ryugo 2008).

Sindroma Usher memiliki karakteristik retinitis pigmentosa dan tuli

dimana insidensinya mencapai 4,4 per 100.000 penduduk di Amerika

Serikat dan 3,0 per 100.000 di Skandinavia. Pada sindroma ini gen yang

terganggu pada akhirnya mempengaruhi sel-sel rambut sensori sehingga

menganggu proses pendengaran. Diperkirakan sindroma Usher diderita

sekitar 0,6-28% dari populasi tuna rungu. Sampai saat ini telah ditemukan

8 gen penyebab sindroma Usher, diagnosis dini sindroma ini memiliki

implikasi yang penting untuk rehabilitasi dan perencanaan edukasi pasien

(Bailey, Jonas & Shawn 2006).

2.12.2.Pewarisan Autosomal Dominan (DFNA)

Anak dengan ibu yang mempunyai gen normal dan ayah dengan

mutasi gen dominan masing-masing memiliki 50% kemungkinan tuli.

Hanya satu salinan gen mutasi yang diturunkan dapat menyebabkan

ketulian pada anak. Sehingga pada setiap kehamilan terdapat 50 %

kemungkinan anaknya akan tuli (Avraham & Kanaan 2012).


89

Gambar 2.14. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara dominan (Rehm
et al. 2008)

Autosomal dominant non syndromic Hearing loss (ADNSHL) adalah

ketulian yang progresif dengan onset pada usia dekade kedua atau ketiga,

memiliki beragam derajat ketulian dan merupakan kandidat yang potensial

untuk menjalani implantasi koklea (Avraham & Kanaan 2012).

Gangguan autosomal dominan sindromik antara lain adalah

sindroma branchiootorenal (BOR atau disebut juga sindroma Melnick-

Fraser) memiliki beberapa kriteria:

Tabel 2.3. Kriteria sindroma branchiootorenal (Avraham & Kanaan 2012)

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Anomali brakial Kelainan telinga luar

Ketulian Kelainan telinga tengah

Lubang preaurikular Kelainan telinga dalam

Kelainan ginjal Lainnya: asimetri wajah, kelainan


palatum
90

Disebut sindroma BOR bila ditemukan 3 kriteria mayor, atau 2

kriteria minor dan 2 kriteria minor, atau 1 kriteria mayor dan terdapat

keterlibatan keluarga dekat yang menderita sindroma ini (Bailey, Jonas &

Shawn 2006).

2.12.3. Pewarisan Mutasi Resesif X-linked (DFN)

Seorang anak menerima satu kromosom X dari ibunya dan satu kromoson

X atau Y dari ayahnya. Karena wanita memiliki dua kromosom X, semua

anak menerima satu kromosom X dari ibu. Namun pria memiliki satu

kromosom X dan satu kromosom Y. Jadi seorang anak bisa menerima

kromosom X dari ayahnya dan menjadi wanita, atau menerima kromosom

Y dari ayahnya dan menjadi pria. Sebagai contoh, seorang ibu memiliki

mutasi resesif pada salah satu kromosom X, sedangkan si ayah memiliki

kromosom X normal. Sebagai hasilnya, walaupun seorang anak

perempuan menerima kromosom X yang termutasi dari ibunya, namun si

anak tetap tidak terpengaruh karena dia menerima kromosom X normal

dari ayahnya (Rehm et al. 2008). Anak perempuan bisa berupa karier

tergantung pada proses lionisasi. Lionisasi atau inaktivasi kromosom X

adalah adalah proses dimana satu dari dua kromosom X pada wanita

menjadi tidak aktif. Kromosom X yang tidak aktif didiamkan dengan

adanya struktur transkripsi tidak aktif yang disebut heterokromatin. Karena

wanita memiliki dua kromosom X, inaktivasi X mencegah terbentuknya

produk gen dari kromosom X dua kali lebih banyak daripada pria.

Kromosom X yang menjadi tidak aktif terjadi secara acak, dan kromosom
91

X yang tidak aktif akan tetap tidak aktif selama hidup sel dan

keturunannya pada organisme. Inaktivasi X adalah perubahan epigenetik

yang menyebabkan perbedaan fenotipe dan bukan merupakan perubahan

pada tingkat genotipe. (Hiratani & Gilbert 2010).

Namun pada anak laki-laki, si anak memiliki kemungkinan 50%

untuk menerima kromosom X yang termutasi resesif dari ibunya, serta si

anak akan menerima kromosom Y dari ayahnya. Apabila si anak laki-laki

menerima kromosom X termutasi dari ibunya, dia tidak memiliki kromosom

X normal lain untuk memblok efek mutasi. Sehingga setiap anak laki-laki

memiliki kemungkinan 50% untuk menderita kelainan (Rehm et al. 2008).

Gambar 2.15. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara resesif x-liked
(Rehm et al. 2008)

Kelainan ini memiliki insidensi sekitar 1-2% populasi, juga terbagi

atas sindromik dan non sindromik. Sindromik yang berkaitan dengan

kromosom X antara lain adalah penyakit Norrie, sindroma otopalatodigital,


92

sindroma Wildervanck, sindroma Alport dan sindroma Leigh (Avraham &

Kanaan 2012).

2.12.4. Pewarisan Mutasi Mitokondria

Pada reproduksi, hanya ovum dari ibu yang menurunkan

mitokondria ke anaknya, sedangkan sperma dari ayah tidak menurunkan

mitokondria. Sehingga bila terdapat mutasi pada gen mitokondria ibu,

kelainan ini akan diturunkan ke semua anaknya. Sedangkan seorang ayah

tidak akan mewariskan mutasi mitokondria ke anak-anaknya (Rehm et al.

2008; Avraham & Kanaan 2012).

Gambar 2.16. Gambar penurunan gen dari ayah dan ibu secara pewarisan
mutasi mitokondria (Rehm et al. 2008)

Sindroma lain yang berhubungan dengan kelainan kromosom dan

ketulian antara lain sindroma Down, sering dijumpai kelainan telinga

tengah dan tulang mastoid namun sering juga disertai tuli sensorineural;
93

sindroma Turner, bisa dijumpai tuli konduktif, sensorineural ataupun

campuran, dan gangguan genetik yang multifaktor (Rehm et al. 2008).

Terdapat juga kasus-kasus dimana mutasi genetik ditemukan

pertama kali pada seseorang dimana kedua orangtuanya tidak membawa

mutasi tersebut. Jenis mutasi ini disebut mutasi spontan dan umumnya

disebabkan karena perubahan DNA pada gen ovum atau sperma

orangtua. Pada keadaan ini kelainan genetik dapat tiba-tiba muncul pada

suatu keluarga yang tidak ditemukan pada pendahulunya. Pada kasus

seperti ini, tidak dapat ditentukan kemungkinan seorang anak akan

memiliki kelainan (Jena 2012).

2.13. Gen Gap Junction Beta 2 (GJB2)

Mutasi gap junction beta 2 (GJB2) adalah penyebab penting

terjadinya gangguan pendengaran pada penderita gangguan

pendengaran non sindromik (Abe et al. 2000; Lustig et al 2004). Mutasi

gen ini pertama sekali dilaporkan oleh Kelsell et al tahun 1997 yang

dianggap menarik karena mutasi gen ini terdapat lebih dari 50% tuli

kongenital (Abe et al. 2000). Gen GJB2 menyandi protein connexin 26

(Cx26) yang banyak terekspresi pada sel penunjang epitel koklea,

merupakan bagian dari protein connexin yang berperan penting pada

intercellular gap junction, dan dipercaya mempunyai peranan yang sangat

penting pada regulasi masuknya ion kalium selama proses transduksi

pada telinga dalam (Wu et al. 2002).


94

Pada proses mendengar, transduksi sensorik bergantung pada

aliran kalium yang mengalir dari endolimfe melalui sel-sel rambut sensorik.

Kalium kemudian digunakan kembali melalui jalur lain. Saat stimulasi

suara, kalium dilepaskan oleh sel-sel rambut dan memasuki sel-sel

penunjang dengan bantuan K+/Cl- ko-transporter, KCC4. Kalium (K+)

kemudian dikeluarkan melalui kanal-kanal gap junction. Cx26 tipe wild

juga memungkinkan aliran interselular dari Ins(1,4,5)P3 dan propagasi

gelombang Ca2+. Walaupun mekanisme dari peningkatan awal dari

messenger kedua ini belum jelas diketahui, hal ini menghasilkan aktivasi

jarak jauh dari sistem refluks K+/Cl- yang menggunakan kembali K+ dari

sel-sel penunjang ke dalam endolimfe untuk mencegah kelebihan ion.

Gelombang interselular juga membutuhkan aktivasi reseptor purinergik

oleh rute parakrin . Apakah pelepasan ATP dimediasi oleh connexin hemi-

channels atau oleh mekanisme lain, masih perlu diteliti. Kanal V84L yang

bermutasi menunjukkan gangguan permeabilitas yang sangat

mempengaruhi transfer Ins(1,4,5)P3 (tapi tidak K+ dan ion lain) dan

besarnya perubahan Ca2+. Perubahan ini dapat menyebabkan penurunan

aktivitas ko-transpor, akumulasi ion K+ di ruang ekstraselular yang

mengelilingi sel-sel rambut dan sel-sel penunjang dan kemudian

menyebabkan kematian sel dan menimbulkan ketulian (Bruzzone &

Cohen-Salmon 2005).
95

Gambar 2.17. Regulasi Kalium dalam Organ Corti (Bruzzone & Cohen-Salmon

2005).

GJB2 terdiri dari dua exon yang dipisahkan oleh intron, panjang

sekitar 5500 bp dan hanya mempunyai satu coding region yang

seluruhnya berada di exon 2. Sekuens dari coding region terdiri dari 681

bp, menyandi protein gap junction protein dengan 226 asam amino.GJB2

terletak pada locus DFNB1 13q11-q12 menyebabkan ketulian autosomal

resesif DFNB1 dan autosomal dominan DFNA3 (Eisen & Ryugo 2008;

Hamid et al. 2009; Yuan et al 2010).


96

2010
2012
DFNA43 DFNA6/14
DFNA2 DFNB9 DFNA38 DFNB66 DFNB44
DFNB47 DFNB25 DFNA13 DFNA5
DFNA37 DFNB49
DFNB6 DFNB55 DFNB53 DFNB39
DFNB32 DFNB42 DFNB60 DFNA22
DFNA7 DFNB58 DFNB4
DFNB27 DFNA18 DFNA27 DFNB37 DFNB14
DFNA49 DFNA24 DFNA1
DFNB15 DFNA15 DFNB31 DFNB17
DFNB36 DFNA16 DFNA21 DFNA28
DFNA34 DFNB59 DFNA44 DFNB26 DFNA42 DFNB13
DFNB38
DFNB45 DFNA39 DFNA10 DFNA50
DFNA42
DFNA52

DFNB51
DFNA32 DFNB62
DFNB30 DFNB18 DFNA31
DFNB7/11 DFNB63 DFNA48 DFNB1 DFNA9
DFNA47 DFNB23 DFNB2 DFNA40
DFNA25 DFNA3 DFNB5 DFNB16
DFNA51 DFNA19 DFNA11 AUNA1 DFNB22
DFNA36 DFNB12 DFNA8/12 DFNA41 DFNA23 DFNA30
DFNB50 DFNB35
DFNB31 DFNB57 DFNB21 DFNB48
DFNA53
DFNB33 DFNB24
DFNB20
DFN6
DFNB68 DFN4
DFNB19 DFNA57
DFNB3 DFN3
DFNB15 DFNA17
DFNA4 DFNB65 DFNB8/10 DFN2
DFNA20/26 DFNB28 DFNY
DFNB29 DFNB40

Courtesy Heidi Rehm, PhD

Gambar 2.18. Gambar kromosom 13 dan lokus gen penyebab ketulian (Rehm et
al. 2008)

Tuli genetik sangan heterogen dan lebih dari 100 mutasi terjadi

pada gen GJB2 . Prevalensi mutasi GJB2 berbeda pada tiap etnis (De

Castro et al. 2013). Pada orang Kaukasia, mutasi tunggal 35del G

merupakan penyebab tersering terjadinya gangguan pendengaran yang

disebabkan mutasi GJB2. Di asia Timur dan Afrika, mutasi predominan

pada c.167delT,c235delC (Batissoco et al. 2009).

De Castro et al. (2013) melakukan penelitian terhadap 77 anak

dengan gangguan pendengaran dan menemukan 4 mutasi yang berbeda,

yaitu 35delG, M34T, V95M and V27I. Mutasi yang paling sering dijumpai

adalah V27I.

Penelitian Hamid et al. (2009) pada 50 pasien ketulian herediter

nonsindromik (non-syndromic hereditary hearing loss/NSHHL) dari 33

keluarga dengan suku yang berbeda dari wilayah yang berbeda di Iran

menemukan 10 mutasi, yaitu 35delG, R127H, V27I+E114G, Y155X,


97

M163V, R143W, R32H, R165W, 333–334 delAA dan yang baru pertama

kali ditemukan (novel) yaitu 355–357delGAG. Mutasi yang paling sering

ditemukan adalah mutasi 35delG (Hamid et al. 2009).

Sejumlah 127 pasien dari 324 pasien pada penelitian Wu dan

kawan-kawan (2002) ditemukan memiliki 1 mutan alel Cx26. Dari 127

kasus ini, 26 (20,4%) homozigot, 31 (24,4%) heterozigot, dan 70 (55,1%)

dideteksi hanya memiliki 1 mutasi.

Penelitian Abe dan kawan-kawan (2000) di Jepang menunjukkan

235delC merupakan yang paling banyak terjadi (73%). Analisis dari GJB2

pada penelitian ini terdapat 3 mutasi missense, satu nonsense mutasi dan

tiga frameshift mutasi.Data ini menunjukkan indikasi adanya kombinasi

spesifik pada setiap populasi yang berbeda (Abe et al. 2000).

Gambar 2.19. Gap Junction 2 (Genetic Home Reference 2013)

2.14. Gen Myosin 7A (MYO7A)

Gen MYO7A merupakan gen yang menyandi pembentukan protein

myosin 7A, yang disebut protein unconventional (Sang et al. 2013).


98

Protein ini memainkan peranan dalam transportasi molekul ke dalam sel.

Myosin berinteraksi dengan aktin yang merupakan protein penting untuk

pergerakan sel dan bentuk sel. Myosin 7A adalah protein motor yang

menggerakkan filamen aktin dan bertanggung jawab untuk sensitifitas

channel transduksi mekanoelektrik (Shahzad et al. 2013).

Di telinga daIam myosin 7A berperan dalam perkembangan dan

pemeliharaan sel-sel rambut yang disebut dengan stereosilia. Stereosilia

kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam pergerakan stereosilia

sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini mengubah energi

mekanik menjadi energi listrik yang disampaikan ke saraf pendengaran

(Liu et al. 2013). Gen MYO7A termasuk didalam struktur hair bundles

pada bagian apeks sel-sel rambut sensori yang berperan dalam

mekanotransduksi dalam proses mendengar dan keseimbangan. Mutasi

gen MYO7A menyebabkan bentuk abnormal dari hair bundles sehingga

menyebabkan ketulian (Ernest & Rosa 2014). Mutasi MYO7A

menyebabkan ketulian pada shaker-1 mice ataupun model yang lain

(Cosgrove et al. 2012).

Sedikitnya empat mutasi gen MYO7A diidentifikasi pada penderita

ketulian non sindromik yang disebut dengan DFNA11. Kebanyakan dari

mutasi ini tersebut mengubah struktur protein yang dibentuk menjadi

protein abnormal sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Para

peneliti menemukan bahwa perubahan protein menyebabkan ketulian

karena kerusakan pada pertumbuhan dan organisasi stereosilia. Studi


99

yang lain menghubungkan mutasi MYO7A dengan bentuk autosomal

resesif pada ketulian non sindromik yaitu DFNB2 (Shahzad et al. 2013).

Pada manusia gen MYO7A terdiri dari 49 exon. Gen ini diekspresikan di

koklea dan retina (Kumar et al. 2004).

2010
2012
DFNA43 DFNA6/14
DFNA2 DFNB9 DFNA38 DFNB66 DFNB44
DFNB47 DFNB25 DFNA13 DFNA5
DFNA37 DFNB49
DFNB6 DFNB55 DFNB53 DFNB39
DFNB32 DFNB42 DFNB60 DFNA22
DFNA7 DFNB58 DFNB4
DFNB27 DFNA18 DFNA27 DFNB37 DFNB14
DFNA49 DFNA24 DFNA1
DFNB15 DFNA15 DFNB31 DFNB17
DFNB36 DFNA16 DFNA21 DFNA28
DFNA34 DFNB59 DFNA44 DFNB26 DFNA42 DFNB13
DFNB38
DFNB45 DFNA39 DFNA10 DFNA50
DFNA42
DFNA52

DFNB51
DFNA32 DFNB62
DFNB30 DFNB18 DFNA31
DFNB7/11 DFNB63 DFNA48 DFNB1 DFNA9
DFNA47 DFNB23 DFNB2 DFNA40
DFNA25 DFNA3 DFNB5 DFNB16
DFNA51 DFNA19 DFNA11 AUNA1 DFNB22
DFNA36 DFNB12 DFNA8/12 DFNA41 DFNA23 DFNA30
DFNB50 DFNB35
DFNB31 DFNB57 DFNB21 DFNB48
DFNA53
DFNB33 DFNB24
DFNB20
DFN6
DFNB68 DFN4
DFNB19 DFNA57
DFNB3 DFN3
DFNB15 DFNA17
DFNA4 DFNB65 DFNB8/10 DFN2
DFNA20/26 DFNB28 DFNY
DFNB29 DFNB40

Courtesy Heidi Rehm, PhD

Gambar 2.20. Gambar kromosom 11 dan lokus gen penyebab ketulian (Rehm et
al. 2008)

Penelitian Kumar dan kawan-kawan (2004) di India mendapatkan

mutasi MYO7A pada 75 kasus sindroma Usher, empat mutasi pada

ketulian nonsindromik autosomal resesif (DFNB2) dan empat mutasi pada

pasien dengan ketulian nonsindromik autosomal dominan (DFNA11).

Mutasi MYO7A juga dihubungkan dengan sindroma Usher. Lokasi gen

MYO7A pada kromosom 11 di 11q13.5 pada pasangan 76,839,301 ke

76,926,285 (Liu et al. 2013).


100

Gambar 2.1. Gen Myosin 7A (Genetic Home Reference 2013)

2.15. Pemeriksaan Genetik

Pemeriksaan genetik adalah proses membandingkan urutan gen

seseorang dengan urutan gen yang dianggap normal. Perbandingan ini

dapat mendeteksi mutasi yang dapat menyebabkan kelainan fungsi gen.

Penting untuk diingat bahwa pemeriksaan genetik hanya dapat dilakukan

bila gen yang mengalami kelainan telah dikenali. Walaupun gen yang

menyebabkan ketulian telah banyak yang dikenali, namun banyak pula

gangguan pendengaran yang belum dikenali gangguan genetiknya. Selain

itu, beberapa gen diketahui sangat besar dan sulit untuk dianalisis.

Namun, dengan berkembangnya teknologi serta semakin banyaknya gen

yang ditemukan, semakin banyak pemeriksaan genetik yang akan menjadi

mudah untuk dikerjakan. Sehingga anak-anak yang lahir dengan

gangguan pendengaran, atau yang mengalami gangguan pendengaran

setelah lahir, dapat menjalani pemeriksaan ini, terutama apabila penyebab

lain dari gangguan pendengaran tidak ditemukan (Rehm et al. 2008;

Avraham & Kanaan 2012).


101

Dengan ditemukannya gen baru yang menyebabkan gangguan

pendengaran, jumlah pemeriksaan genetik untuk gangguan pendengaran

juga bertambah (Avraham & Kanaan 2012). Mengetahui penyebab genetik

dari gangguan pendengaran dapat membantu tatalaksana pasien. Pada

beberapa kasus, informasi genetik dapat membantu memperkirakan

apakah gangguan pendengaran akan menetap atau akan semakin

memburuk. Mengetahui penyebab genetik juga berguna untuk mengetahui

jenis kerusakan yang terjadi pada sistem pendengaran. Hal ini penting

karena derajat kerusakan telinga dalam akan mempengaruhi apakah

implan koklea atau alat bantu dengar lainnya dapat membantu pasien.

Sebagai tambahan, karena mutasi pada beberapa gen akan

menyebabkan sindroma gangguan pendengaran, pemeriksaan genetik

dapat membantu menentukan apakah ada masalah lain selain gangguan

pendengaran (Rehm et al. 2008).

Selain membantu pemilihan tatalaksana, informasi genetik dapat

membantu hal-hal lain. Pemeriksaan genetik dapat menjelaskan

penyebab yang akurat dari gangguan pendengaran pada seorang pasien.

Pemeriksaan genetik juga dapat membantu pilihan reproduksi, dengan

diketahuinya gangguan genetik seseorang, dapat diperkirakan

kemungkinan gangguan pendengaran pada anak dari pasien tersebut. Hal

ini dapat mempengaruhi keputusan pasangan suami-istri untuk memiliki

anak, atau untuk membantu mereka mempersiapkan kelahiran anak

dengan gangguan pendengaran (Rehm et al. 2008; Avraham & Kanaan

2012).
102

Selain manfaat dari informasi genetik, hal ini juga dapat

menyebabkan gangguan pada orangtua dengan mengetahui bahwa

mutasi pada gen mereka adalah penyebab dari gangguan pendengaran

pada anak mereka. Penting untuk diingat bahwa mutasi genetik sangat

umum terjadi. Tidak ada orang yang bertanggung jawab terhadap gen

yang dimilikinya. Keuntungan dan kerugian dari pemeriksaan genetik ini

harus dimengerti oleh mereka yang akan menjalani pemeriksaan

(Avraham & Kanaan 2012).

2.16. Manfaat Pemeriksaan Genetik

Tes genetik dapat melihat jenis kerusakan pada sistem

pendengaran yang menyebabkan ketulian, hal ini penting untuk diketahui

karena kerusakan telinga bagian dalam dapat mempengaruhi

berfungsinya alat bantu dengar seperti implan koklea. Sebagai tambahan,

pada beberapa mutasi gen yang menyebabkan sindroma ketulian, tes

genetik dapat memperkirakan apakah ada kelainan medis lain yang

mungkin muncul di kemudian hari (Bailey, Jonas & Shawn 2006).

Selain untuk mengembangkan pilihan terapi, informasi genetik juga

dapat dimanfaatkan untuk hal lain. Dengan mengetahui adanya kelainan

genetik ini orangtua dapat mengetahui adanya kemungkinan mereka

memiliki keturunan yang lahir tuli sehingga membantu mereka untuk

membuat keputusan tentang memiliki anak selanjutnya, atau

mempersiapkan diri untuk memiliki anak lahir tuli (Rehm et al. 2008;

Avraham & Kanaan 2012).


103

Penelitian di Australia barat menunjukkan bahwa keluarga yang

terpapar ketulian mendukung dilakukannya tes genetik ini demi

memahami lebih baik mengenai penyebab ketulian serta mengembangkan

diskusi terhadap kondisi yang mungkin dihadapi, dan dari survey yang

dilakukan diketahui sebagian besar dari mereka menolak dilakukannya

terminasi kehamilan walaupun telah diketahui melalui pre-natal diagnosis

(PND) bahwa janin yang dikandung mungkin menderita ketulian (Avraham

& Kanaan 2012).

2.17. Sekuensing DNA

Sekuensing DNA dapat digunakan untuk menentukan sekuens dari

gen tertentu, daerah genetik yang lebih besar (misalnya beberapa gen

atau operon), seluruh kromosom atau seluruh genom. Tergantung pada

metode yang digunakan, sekuensing dapat menunjukkan urutan

nukleotida di DNA atau RNA yang diisolasi dari sel (Morton & Nance 2006;

Duman et al. 2011).

Sekuensing DNA adalah proses penentuan urutan nukleotida pada

suatu fragmen DNA. Dewasa ini, hampir semua usaha sekuensing DNA

dilakukan dengan menggunakan metode terminasi rantai yang

dikembangkan oleh Frederick Sanger. Teknik tersebut melibatkan

terminasi atau penghentian reaksi sintesis DNA in vitro yang spesifik untuk

sekuens tertentu menggunakan substrat nukleotida yang telah

dimodifikasi (Duman & Tekin 2012).


104

2.17.1. Sekuensing Maxam-Gilbert

Allan Maxam dan Walter Gilbert mempublikasikkan metode

sekuensing DNA pada tahun 1977 berdasarkan modifikasi kimiawi DNA

dan dilanjutkan dengan pemotongan pada basa tertentu. Teknik ini juga

dikenal sebagai sekuensing kimiawi. Metode ini memungkinkan

penggunaan sampel DNA untai ganda yang dimurnikan tanpa kloning.

Metode ini menggunakan labeling radioaktif serta memiliki kesulitan teknis.

Metode ini mulanya cukup populer, namun seiring dengan

dikembangkannya metode terminasi rantai menjadi semakin mudah dan

murah, metode sekuensing Maxam-Gilbert menjadi tidak populer

(Brownstein et al. 2011).

2.17.2. Sekuensing Sanger (Metode penghentian rantai)

Metode penghentian rantai (chain termination) dikembangkan oleh

Frederick Sanger et al pada tahun 1977, metode ini menjadi metode

pilihan karena relatif mudah dikerjakan serta memiliki kepercayaan yang

tinggi. Metode ini menggunakan lebih sedikit bahan kimia toksik dan lebih

sedikit radioaktif. Metode ini kemudian diotomatisasi, dan menjadi pilihan

selama tahun 1980-an sampai pertengahan 2000-an (Brownstein et al.

2011).

Pada metode sekuensing terminasi rantai (metode Sanger),

perpanjangan atau ekstensi rantai DNA dimulai pada situs spesifik pada

DNA cetakan dengan menggunakan oligonukleotida pendek yang disebut

primer yang komplementer terhadap DNA pada daerah situs tersebut.


105

Primer tersebut diperpanjang menggunakan DNA polimerase, enzim yang

mereplikasi DNA. Bersama dengan primer dan DNA polimerase,

diikutsertakan pula empat jenis basa deoksinukleotida (satuan pembentuk

DNA), juga nukleotida pemutus atau penghenti rantai (terminator rantai)

dalam konsentrasi rendah. Penggabungan nukleotida pemutus rantai

tersebut secara terbatas kepada rantai DNA oleh polimerase DNA

menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang berhenti bertumbuh hanya

pada posisi pada DNA tempat nukleotida tertentu tersebut tergabungkan.

Fragmen-fragmen DNA tersebut lalu dipisahkan menurut ukurannya

dengan elektroforesis (Morton & Nance 2006; Duman et al. 2011).

Selama itu, banyak pengembangan terhadap metode ini, seperti

labeling fluorescent, elektroforesis kapiler, dan otomatisasi.

Pengembangan ini memungkinkan sekuensing yang efisien sehingga

harganya tidak terlalu mahal (Morton & Nance 2006; Duman & Tekin

2012).

2.18. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

Restriction fragment length polymorphism (RFLP) adalah sebuah

teknik yang mengeksploitasi variasi pada sequence DNA homolog, hal ini

mengacu pada perbedaan sampel molekul DNA homolog yang berasal

dari lokasi sisi enzim restriksi yang berbeda. Pemeriksaan RFLP

menggunakan enzim restriksi endonuklease (RE), yaitu suatu kelas enzim

yang mampu mengenal dan memotong urutan pendek basa DNA

(biasanya 4-6 urutan basa). Enzim ini dihasilkan oleh bakteri dan
106

dinamakan menurut spesies bakteri yang menghasilkannya. Contoh:

EcoRI adalah enzim RE yang dihasilkan dari bakteri Escherichia coli strain

RI (R satu) atau Bam-HIII yang diperoleh dari bakteri Bacillus americanus

strain HIII atau H tiga (Cheng et al. 2010).

Pada analisis RFLP, sampel DNA dipecah menjadi potongan-

potongan (dicerna) oleh enzim restriksi dan hasil fragmen restriksi terpisah

menurut panjangnya oleh elektroforesis gel. Fragmen DNA yang

dihasilkan kemudian dipisahkan berdasarkan panjangnya melalui proses

yang dikenal sebagai elektroforesis gel agarosa, dan ditransfer ke

membran melalui prosedur Southern blot. Hibridisasi membran untuk DNA

probe berlabel kemudian menentukan panjang fragmen yang akan

melengkapi probe. RFLP terjadi saat panjang fragmen yang terdeteksi

bervariasi antara tiap individu. Setiap panjang fragmen dianggap sebagai

alel, dan dapat digunakan dalam analisis genetik (Cheng et al. 2010).

Analisis variasi RFLP dalam gen adalah alat vital dalam pemetaan

genetik dan analisis penyakit genetik. Jika peneliti mencoba untuk

menentukan lokasi kromosom gen penyakit tertentu, mereka akan

menganalisis DNA dari anggota keluarga yang menderita penyakit ini, dan

mencari alel RFLP yang menunjukkan pola yang sama dari warisan

penyakit. Setelah gen penyakit terlokalisasi, analisis RFLP keluarga lain

bisa mengungkapkan siapa yang berisiko pada penyakit ini, atau yang

mungkin menjadi pembawa gen mutan. Analisis RFLP adalah alat penting

dalam pemetaan genetik, lokalisasi gen untuk gangguan genetik,


107

penentuan risiko penyakit, dan pengujian paternitas (David, Chang &

Jonathan 2006).

Gambar 2.22. Analisis and pewarisan alel fragmen RFLP (Wikipedia 2015)

2.19. Implikasi Klinis Pemeriksaan Genetik

Salah satu tujuan dari penelitian dibidang neurobiologi

pendengaran adalah untuk melihat dasar genetik anatomi dan fisiologi

proses pendengaran dan ketulian. Karena ketulian dapat disebabkan oleh

beragam variasi gangguan genetik yang luas, sehingga tidak ada

pengobatan tunggal untuk penderita ketulian. Pengetahuan keterlibatan

gen dalam bentuk tuli yang spesifik dapat mendorong perencanaan

pengobatan , mengubah gaya hidup, atau bagian untuk intervensi operasi.

Implikasi klinis pemeriksaan genetik dapat berupa jangka pendek

maupun jangka panjang. Untuk implikasi jangka pendek, identifikasi dari

mutasi gen yang terjadi pada ketulian memberikan keuntungan pada uji

genetik sebagai sarana menentukan baik diagnosis maupun prognosis

tuli, khususnya pada bayi baru lahir dan bayi dengan perilaku sehingga
108

sulit dilakukan tes. Tuli kongenital paling sering dijumpai pada skrining

pendengaran. Untuk anak yang didiagnosis dengan tuli, etiologinya sering

kali sulit ditemukan. Namun dengan uji genetik, identifikasi terjadinya

mutasi dapat menghasilkan prognosis yang akurat untuk perkembangan

terhadap ketulian. Pengetahuan ini sangat membantu mengarahkan

pengobatan. Sebagai contoh, mutasi dari gen GJB2 berarti ketulian bukan

disebabkan kelainan neurologis. Anak ini merupakan kandidat untuk

implantasi koklea yang baik. Pada pengobatan jangka pendek, identifikasi

awal terhadap terjadinya mutasi yang bertanggung jawab terhadap

ketulian menawarkan keuntungan untuk pengobatan medikamentosa awal

dan lebih spesifik juga untuk memperburuk hilangnya pendengaran, atau

lebih baik lagi adalah memperbaikinya (Eisen & Ryugo 2008).

Pemahaman tentang pendengaran secara molekuler merupakan

suatu implikasi jangka panjang yang sangat penting. Ketulian

berhubungan dengan lesi di berbagai tempat di koklea, tergantung pada

etiologi spesifik, yang mengarah kepada degenerasi sel rambut sensoris.

Salah satu pendekatan untuk pengobatan ketulian yang berhubungan

dengan sel rambut sensoris adalah untuk meregenerasi sel rambut

tersebut. Regenerasi sel rambut merupakan topik yang sedang diselidiki,

dimana sampai saat ini telah dijumpai kemajuan. Sebagai contoh, baris sel

multipoten, telah digambarkan bahwa sel tersebut berasal dari

perkembangan otocyst transgenik tikus (H-2Kb-tsA58). Sel tersebut dapat

mempertahankan proses ploriferasi, undifferentiated state in vitro

terdapatnya gamma interferon. Sel ini selanjutnya dapat dimanipulasi


109

untuk berdifferensiasi ke dalam sel rambut sensorik menjadi over ekspresi

produksi gen pada mamalia atonal homolog (Math-1). Sel rambut baru

yang berdiferensiasi in vitro telah menunjukkan kemampuan untuk

merespon terhadap rangsangan mekanik dan membentuk hubungan

dengan sel ganglion spiralis. Jika sel rambut dapat beregenerasi, disfungsi

dasar koklea dapat menghalangi stabilitas lingkungan sekitar koklea

dimana regenerasi sel rambut dapat berfungsi. Kemampuan untuk

memperbaiki abnormalitas molekul spesifik pada koklea sebaik mengganti

sel rambut sensorik yang hilang lebih menjanjikan dibanding hanya

regenerasi sel rambut saja (Eisen & Ryugo 2008).

2.20. Terapi Untuk Penderita Tuli Kongenital

2.20.1.Alat bantu dengar

Alat bantu dengar merupakan suatu alat akustik listrik yang dapat

digunakan oleh manusia dengan gangguan fungsi pendengaran pada

telinga. Biasanya alat ini dapat dipasang pada bagian dalam telinga

ataupun pada bagian sekitar telinga. Alat bantu dengar tersebut dibuat

untuk memperkuat rangsangan bahagian sel-sel sensorik telinga bagian

dalam yang rusak terhadap rangsangan suara dan bunyi-bunyian dari

luar. Alat Bantu dengar tersebut merupakan sebuah alat elektronik yang

menggunakan batere dimana dalam pemakaiannya terdapat mikrofon

yang mengubah gelombang dari suara tersebut menjadi energi listrik yang

kemudian diterima amplifier yang dapat memperbesar volume suara dan

mengirimkannya pada speaker yang ada pada bagian dalam telinga.


110

Gambar 2.23. Alat bantu dengar (Hearing dan Amplification 2013)

2.20.2.Implan koklea

Implan koklea merupakan alat prostetik yang dirancang untuk

mengubah energi suara mekanik menjadi sinyal elektrik yang secara

langsung merangsang saraf auditori pada penderita dengan gangguan

pendengaran berat-sangat berat. Implan koklea menggantikan fungsi

transduser sel rambut koklea yang rusak. Alat ini telah menjadi

penatalaksanaan standar dalam rehabilitasi penderita yang tidak tertolong

dengan alat bantu dengar konvensional (Wright & Valentine 2008; Bird et

al. 2010).

Gambar 2.24. Implan Koklea (Paulose 2013)


111

2.20.3. Terapi Genetik

Pengetahuan akan peran genetik dalam ketulian memberi

harapan bagi berkembangnya pengobatan baru. Intervensi yang paling

jelas untuk defek genetik adalah terapi gen. Terapi genetik adalah

penyisipan gen ke individu sel dan jaringan untuk mengobati penyakit,

seperti penyakit keturunan di mana alel mutan yang merugikan diganti

dengan yang fungsional. Untuk memasukkan suatu gen ke koklea,

dibutuhkan gen yang diinginkan serta pembawa gen (Sheridan 2011).

Pembawa gen umumnya adalah virus yang dimutasikan menjadi jinak.

Untuk menggunakan gen pro-hair cell Math1, di Human Genome Project

dapat dikopi sekuensi untuk Math1, dan akan disintesis DNA yang

mengandung sekuens yang diinginkan. Gen tersebut akan dimasukkan ke

virus yang telah direkayasa untuk dapat menginfeksi sel manusia secara

efisien. Kemudian virus tersebut dapat diinjeksikan ke dalam koklea.

Secara teori, sel koklea yang terinfeksi virus ini akan mengekspresikan

Math1 atau yang dikenal juga dengan atonal homolog-1 (Atoh1) dan akan

mengembangkan sel rambut. Teknologi ini, walaupun menjanjikan, namun

belum siap untuk klinik. Salah satu masalah adalah virus dapat

menginfeksi sel secara acak, sehingga Math1 dapat diekspresikan pada

sel yang tidak seharusnya menjadi sel rambut. Penelitian yang dilakukan

pada tikus, insersi gen Math1 ke telinga dalam pada tikus dapat

menyebabkan regenerasi sel rambut. Regenerasi sel rambut ini

memperbaiki ambang auditory brainstem response (ABR) pada tikus.

(Kawamoto et al. 2003; Parker et al. 2013).


112

Math1 atau Atoh1 pada mamalia dibutuhkan untuk perkembangan

sel rambut koklea yang berfungsi sebagai sel mekanosensori yang

diperlukan untuk pendengaran. Ekspresi Atoh1 yang besar dalam sel

penunjang koklea dapat meregenerasi sel rambut dan hal ini dapat

berguna untuk terapi ketulian (Jin et al. 2013; Parker et al. 2013).

Bentuk paling sederhana terapi gen berupa pengenalan versi

normal gen yang mengalami defek pada sel yang sesuai dan berharap sel

tersebut akan menggunakan versi normal ini. Pendekatan alternatif adalah

pemberian obat yang memiliki akses langsung ke sel target. Dapat pula

dibuat jalur alternatif, misalnya, connexin lain mungkin bisa menggantikan

connexin 26 dalam membentuk gap junction. Gen GJB2 yang mengkode

connexin 26 ini tidak secara normal diekspresikan di koklea. Karena itu

dapat dikembangkan obat untuk meningkatkan ekspresi connexin

alternatif dalam sel yang membutuhkan pembentukan gap junction baru

(Kawamoto et al. 2003).

Sel rambut dalam koklea sangat rentan terhadap gangguan

homeostasis dan cenderung mati jika mereka tidak dapat berfungsi

normal, demikian yang terjadi pada tuli genetik. Kematian sel rambut

akibat gangguan lingkungan juga dapat menjadi penyebab hilang

pendengaran. Sel rambut yang sudah mati tidak digantikan secara alami.

Salah satu peluang dalam mengobati tuli adalah dengan mengetahui cara

mendorong regenerasi sel rambut koklea atau mendorong sel rambut baru

untuk tumbuh dari sel jenis lain. Manfaat regenerasi ini dapat diabaikan
113

pada sel rambut yang tidak berfungsi akibat defek genetik. Untuk mereka

yang mengalami tuli genetik dapat dipertimbangkan kombinasi antara

regenerasi sel rambut dengan terapi gen untuk menggantikan gen yang

mengalami defek (Kawamoto et al. 2003).

Penemuan terbaru tentang stem cell embrionik menjadi sel rambut

sedang dalam tahap penelitian (Li et al. 2004). Studi terbaru oleh

dr.Marcelo dari Universitas Sheffield yang berhasil mengisolasi stem sel

auditori manusia dari koklea fetus dan menemukan bahwa stem sel ini

memiliki kemampuan berdiferensiasi menjadi sel rambut sensori dan saraf

(Science news 2009). Terapi sel telinga dalam untuk ketulian

sensorineural diharapkan menjadi terapi yang efektif untuk ketulian

kongenital. Strategi terapi terbaru menggunakan stem sel mesenkim sum-

sum tulang sebagai suplemen untuk fibrosit koklea yang berfungsi sebagai

transpor ion. Untuk target terapi sel tuli kongenital, sistem penghantaran

lebih efektif adalah menginduksi stem sel ke dalam koklea. Stem sel

adalah salah satu mekanisme aktivasi penghantaran sel efisien ke dalam

jaringan koklea. Protein monosit kemotaktik-1, stromal cell-derived factor-1

dan reseptornya berperan dalam regulator stem sel untuk jaringan koklea.

Aktivasi stem sel merupakan strategi efisien untuk penyembuhan tuli

kongenital (Kamiya 2015).


114

2.21. Kerangka Teori

Salah satu atau kedua orang


GENETIK, tua mengalami mutasi
mutasi pada gen:

Silia dan Menggerakkan aktin menyebabkan


stereosilia pergerakan stereosilia
MYO7A

Gangguan
Transduksi Mutasi gen
Mekano- myosin7A
elektrik

Saudara
TULI
KONGENITAL + kandung tuli
kongenital
PROPOSITUS

Gangguan
Homeostasis
ion koklea

Mutasi GJB2

Kalium di
endolimfe Ins(1,4,5)P3

Connexin26

Kalium di Sel
Penunjang GJB2 Kalsium

K+/Cl- ko-transporter, KCC4

Kalium di Sel
Rambut

Gambar 2.25. Skema kerangka teori


115

Keterangan: Bila salah satu atau kedua orang tua mengalami mutasi
genetik maka akan dapat diturunkan kepada anaknya, misalnya mutasi
genetik pada gen MYO7A yang merupakan gen yang terdapat pada silia
dan stereosilia berfungsi untuk menggerakkan aktin sehingga
menyebabkan pergerakan stereosilia, mutasi pada gen MYO7A
mengakibatkan gangguan pada transduksi mekanoelektrik, sehingga
menyebabkan tuli kongenital pada anaknya, demikian pula dengan mutasi
gen gap junction beta 2 (GJB2) yang merupakan gen pada gap junction.
Saat stimulasi suara, kalium dilepaskan oleh sel-sel rambut dan memasuki
sel-sel penunjang dengan bantuan K+/Cl- ko-transporter, KCC4. Kalium
(K+) kemudian dikeluarkan melalui kanal-kanal gap junction. GJB2 tipe
wild yang menghasilkan protein connexin26 juga memungkinkan aliran
interselular dari Ins(1,4,5)P3 dan propagasi gelombang Ca2+. Hal ini
menghasilkan aktivasi jarak jauh dari sistem refluks K+/Cl- yang
menggunakan kembali K+ dari sel-sel penunjang ke dalam endolimfe
untuk mencegah kelebihan ion. Mutasi GJB2 menyebabkan penurunan
aktivitas ko-transpor, akumulasi ion K+ di ruang ekstraselular yang
mengelilingi sel-sel rambut dan sel-sel penunjang sehingga menyebabkan
gangguan homeostasis ion di koklea kemudian menyebabkan kematian
sel dan menimbulkan ketulian.

2.22. Kerangka Konsep


Family Tree
Penderita tuli
kongenital propositus

Mutasi
Mutasi pada gen: Mutasi Mutasi pada gen:
gen (-)
gen (-)
-MYO7A -MYO7A

-GJB2 -GJB2
Gambar 2.25. Skema kerangka konsep
116

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, dengan

pendekatan rancangan cross-sectional. Penelitian ini menilai hubungan

mutasi gen MYO7A dan GJB2 terhadap kejadian tuli kongenital non

sindromik di Indonesia, hubungan pewarisan mutasi genetik tertentu dari

orang tua kepada penderita tuli kongenital dan saudara kandungnya di

Indonesia serta mencari besar risiko kejadian tuli kongenital pada orang

tua yang memiliki mutasi genetik atau tidak.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan darah vena penderita tuli kongenital, orang tua dan

saudara kandungnya dilakukan pada beberapa daerah di Indonesia yaitu

di Medan, Jakarta, Jogja, Surabaya dan Makassar.

Pemeriksaan isolasi DNA dan PCR dilakukan di lab terpadu FK-

USU, pemeriksaan mutasi Myosin 7A dengan pemeriksaan Restriction

fragment length polimorphism (RFLP) dan elektroforesis, dan pemeriksaan

mutasi genetik GJB2 dilakukan dengan teknik sequencing DNA yang

dilakukan di Lab BioSM, Jakarta. Penelitian dimulai dengan melakukan

penelusuran kepustakaan, konsultasi judul, penyusunan proposal,

seminar proposal, pengumpulan data, analisis data, dan penyesuaian

laporan akhir.
117

3.3. Subjek Penelitian

Seluruh penderita yang didiagnosis tuli kongenital non sindromik,

orang tua dan saudara kandung penderita di lima kota besar di Indonesia

yaitu di Medan, Jakarta, Jogja, Surabaya, Makassar.

3.3.1. Kriteria inklusi

a. Penderita yang didiagnosis tuli kongenital non sindromik, baik laki-

laki maupun perempuan pada semua kelompok usia yang masih

mempunyai ayah dan ibu. Ayah, ibu dan saudara kandung

penderita juga diambil sebagai subjek.

b. Dari anamnesis tidak dijumpai riwayat hiperbilirubinemia, berat

badan lahir rendah, hipoksia, kelainan anatomi kepala dan leher

temasuk anatomi telinga. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah

berat badan pada bayi sewaktu lahir <1500 gr. Hiperbilirubinemia

adalah kadar bilirubin tinggi yang memerlukan transfusi tukar.

c. Pasien, orangtua, dan saudara kandung pasien bersedia

diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani surat

persetujuan.

3.3.2. Kriteria eksklusi

a. Penderita tuli kongenital yang mempunyai riwayat penyakit didapat

yaitu: otitis media kronik, meningitis, AIDS, pemakaian obat

ototoksik, trauma, tumor.


118

b. Pada saat pemeriksaan dari mulai isolasi, PCR dan sequencing

genetik, terjadi kesalahan atau kerusakan.

3.4. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan subjek penelitian adalah secara non probability

consecutive sampling.

3.5. Besar Sampel

Perkiraan besarnya sampel penelitian menggunakan rumus besar

sampel (Lamershow et al. 1997):

Zα = deviasi normal untuk α Error 0,05 = 1,96

Zβ = deviasi normal untuk β Error 0,20 = 0.842

p0 = proporsi mutasi gen pada populasi umum = 0,33

p1 = proporsi mutasi gen pada populasi tuli kongenital = 0,5

q0 = 1 – p0 = 1 – 0,33 = 0,67

q1 = 1 – p1 = 1 – 0,5 = 0,5
119

Maka besar sampel = 64 orang penderita tuli kongenital

(diperkirakan drop out 10%, maka besar sampel 69 orang).

3.6. Variabel Penelitian

Variabel dependen: tuli kongenital non sindromik, family tree

Variabel independen: mutasi genetik MYO7A dan GJB2

3.7. Alur Kerja

3.7.1. Diagnosis penderita tuli kongenital dan pengambilan darah

Pasien dengan Otoskopi


delayed speech
Membran
timpani normal

Audiologic
assessment

Timpanometri

Emisi otoakustik

BERA Pendengaran
Tuli Normal
kongenital
Ayah, ibu dan saudara
Non sindromik kandung penderita tuli
kongenital non sindromik

Diambil darah vena untuk


pemeriksaan RFLP dan
sequencing genetik

Mutasi genetik Gen normal

Gambar 3.1 Skema diagnosis dan pengambilan darah


120

3.7.2. Tahapan pemeriksaan mutasi genetik

Persiapan sampel darah

Isolasi DNA

Optimasi primer

PCR

Sequencing

Analisis

Gambar 3.2. Skema pemeriksaan genetik (Lustig et al. 2004)

1. Pengambilan dan Penyimpanan Sampel Darah

Sebelum pengambilan darah dilakukan informed concent kepada

keluarga. Sampel darah diperoleh melalui vena punksi pada mediana

cubiti dengan menggunakan aseptik dengan alkohol 70% dan

dibiarkan kering. Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan

disposible syringe sebanyak 2 cc dan dilakukan oleh tenaga analis.

Sampel darah disimpan dalam tabung dengan EDTA sebagai

antikoagulan lalu disimpan dalam suhu dingin ( 4oC). Darah yang

diambil dari luar medan akan dikemas khusus dalam dry es dan

suhunya tetap dipertahankan 4o C. Selain dari darah pemeriksaan

genetik dapat dilakukan pada sampel saliva, jaringan lunak, tulang,

gigi, akar rambut dan sel kulit mati. Sel darah adalah tempat

mendapatkan sumber DNA terbaik dari manusia dan kontaminasi lebih


121

minimal. Sekali pemeriksaan DNA dibutuhkan 0.05 cc darah, sehingga

jika pemeriksaan mengalami kegagalan maka dapat dilakukan

pengulangan tanpa mengambil kembali darah pasien.

2. Isolasi DNA

Menggunakan reagent TIANamp Blood DNA Kit dari Tiangen, dengan

protokol sebagai berikut:

A. Preparasi Sampel

Sampel darah dipindahkan 250 uL ke tabung microtube, ditambahkan

1 – 2,5 kali volume CL 500 uL pada sampel, dicampur dengan

membolak balikan tabung. Disentrifugasi 10.000 rpm selama 1 menit,

buang supernatan. Pada sampel ditambahkan 200 uL buffer GS dan

vortex. Ditambahkan 20 ul proteinase K lalu divortex. Ditambahkan

200 uL buffer GB, dicampur dengan divortex. Kemudian diinkubasi

pada suhu 56° C selama 10 menit. Ditambahkan 200 uL ethanol (96-

100%), lalu divortex 15 detik.

B. Proses Lisis

Sampel dipindahkan 750 uL ke TIANamp spin column CB3.

Sentrifugasi 12.000 rpm selama 30 detik. Buang supernatan pada

colum (lakukan tahap sebelumnya jika masih ada sisa lisis).

Tambahkan 500 uL buffer GD (pastikan diawal sudah ditambahkan

ethanol 96-100% pada botol yang tersedia). Sentrifugasi 12.000 rpm

selama 30 detik. Buang supernatan pada column. Tambahkan 600 uL

buffer PW (pastikan diawal sudah ditambahkan ethanol 96-100% pada


122

botol yang tersedia). Sentrifugasi 12.000 rpm selama 30 detik. Buang

supernatan pada column. Tambahkan 600 uL buffer PW. Sentrifugasi

12.000 rpm selama 30 detik. Buang supernatan pada column. Buang

supernatan, pindahkan TIANamp Spin column (CB3) pada tube

collection yang sama namun sudah tidak ada cairan. Sentrifugasi

12.000 rpm selama 2 menit. Pindahkan TIANamp Spin column (CB3)

pada microtube 1,5 mL baru. Tambahkan 50 – 200 uL buffer TE pada

tengah membran. Tutup dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5

menit.. Sentrifugasi 8000 rpm selama 2 menit.

C. Penyimpanan DNA

Sampel DNA yang telah dipurifikasi dapat disimpan pada suhu 4°C

selama beberapa hari. Direkomendasikan untuk disimpan pada suhu -

20°C untuk penyimpanan jangka panjang.

3. PCR Gen spesifik dari DNA

Kontrol Positif sampel yang mengandung gen GJB2 dan MYO7A

dilakukan PCR untuk mengamplifikasi gen target. Komposisi master

mix PCR menggunakan itaq DNA Polymerase dan dNTPS mix dari

Biorad terdiri atas PCR buffer, dNTP, MgCl2, dan Taq DNA

Polymerase. Pembuatan reaksi PCR seperti dibawah ini :


123

Tabel 3.1. Pembuatan master mix

Komponen Konsentrasi Konsentrasi Volume per


Awal Akhir reaksi

Nuclease free water 4.8


PCR Buffer 10 x 1x 2
dNTPs mix 10 mM 0,2 mM 0.4
MgCl2 50 mM 1.5 mM 0.6
Cx148F2 (10 uM) 10 uM 0,25 uM 0.5
Cx929R3 (10 uM) 10 uM 0,25 uM 0.5
iTaq DNA 5U/ uL 1 Unit
0.2
Polymerase
DNA template 1

Total Volume 10

PCR GJB2

Kondisi PCR diawali denaturasi awal 950C selama 3 menit;

dilanjutkan 4 siklus yang diawali dari suhu denaturasi 950C selama 2

menit, annealing 590C selama 45 detik dan elongasi 720C selama 2

menit dan diikuti 25 siklus yang terdiri dari suhu denaturasi 950C

selama 1 menit, annealing 590C selama 30 detik dan elongasi 720C

selama 1 menit dan dilanjutkan elongasi akhir pada suhu 720C

selama 5 menit (Hamid et al. 2009). Hasil PCR dianalisis pada 1 %

gel agarose. Jika positif adanya band dilakukan sekuensing.


124

Tabel 3.2. Urutan primer gen GJB2 (Hamid et al. 2009)

Primer Urutan Product PCR


(bp)

Cx148F2 5-CCTGTGTTGTGTGYGCATTCGTC-3
681
Cx929R3 5-CTCATCCCTCTCTCATGCTGTC-3

PCR MYO7A

Kondisi PCR diawali denaturasi awal 950C selama 3 menit;

dilanjutkan 35 siklus yang diawali dari suhu denaturasi 950C selama 30

detik, annealing 500 - 600C selama 30 detik dan elongasi 720C selama

1menit dan dilanjutkan elongasi akhir pada suhu 720C selama 5 menit (Liu

et al. 2013). Hasil PCR dianalisis pada 1 % gel agarose.

Tabel 3.3. Urutan primer gen MYO7A (Street et al. 2011)

Primer Urutan Produk PCR


(bp)

G2164C 5-CCATCCACCCCTCTGGCACCTG
GGTTGGTCTAATCCTAGTTTGCTGTGGC- 454
3

Restriction Fragment Length Polymorphism

Hasil PCR mutasi MYO7A 3742GA dipotong menggunakan

enzim restriksi BstXI. Hasil restriksi dengan BstXI dianalisis pada 1,5% gel

agarose.
125

Sequencing

a. Amplikasi gen

Tabel 3.4. Komposisi reaksi

Komponen Konsentrasi Konsentrasi Volume per


Awal Akhir reaksi

iQ Powermix (2x) 1x 12,5 ul

Primer F(s) 300 nM Variabel

Primer R(s) 300 nM Variabel

DNA/template 100 ng Variabel

Nuclease free water Variabel

Total Volume 25

Masukan tabung PCR tersebut ke dalam mesin PCR dan mengikuti profil

PCR, yaitu 950 C untuk 3 menit, 950 C untuk 15 detik, gradient 56/ 660 C

60 detik, 720 C untuk 30 detik, GOTO 2, 34 kali diulang ( 35 siklus ), 720 C

untuk 7 menit

b. Purifikasi Template Sequensing

Menggunakan kolum G-50 w/spin

1. Siram kolum old spin dibawah faucet

2. Tambahkan ~300 uL H2O ke kolum spin, spin cepat dalam microfuge

3. Tambahkan 600 uL Sephadex G-50 slurry (1g/15mL in ddH20) ke

kolum spin

4. Microfuge masing-masing 4900 RPM sekitar 60 detik


126

5. Beban 20 uL dari PCR product ke tengah-tengah permukaan atas dari

Sephadex

6. Microfuge masing-masing 4900 RPM selama tepat 60 detik ke dalam

1.5 mL tabung eppendorf segar

Menggunakan Sephacryl dan Silent Monitor plates

1. Beban 350 ul Sephacryl S-500 high resolution ke masing-masing well

dalam Silent Monitor plate.

2. Spin masing-masing 770x g untuk 3 minutes menggunakan Juan

centrifuge ke dalam tabung waste strip

3. Mengganti tabung strip dengan yang baru untuk sampel. Beban seluruh

PCR rxn ke dalam tengah dari Sephacryl tanpa menyentuh resin

dengan ujung pipet

4. Spin masing-masing 770x g untuk 8 menit dengan Juan centrifuge.

c. Running Reaksi Sequensing

Melakukan PCR bahan di bawah ini:

5 uL Sephadex/Sephacryl-purified PCR product

1.0 uL 10uM primer 1 (dimana satu telah digunakan untuk reaksi PCR

sebelumnya)

4.0 uL Big-Dye Terminator RR Mix

melalui program Big-Dye dalam thermal cycler dalam J579.


127

d. Purifikasi Produk Sequensing

Ulangi purifikasi spin column sebelumnya.

Alternatif lain adalah menggunakan sampel EtOH precipitate.

1. Tambahkan 30 ul ddH2O, 60 ul 100% EtOH.

2. Tutup micro amp tray dengan 3M aluminum tape untuk memastikan

tabung strip tertutup baik. Invert tray beberapa waktu ke dalam mix

sample.

3. Ditinggalkan dalam suhu ruangan selama sedikitnya 15 menit (transfer

solution ke dalam 1.5 ml eppendorf dan spin dengan kecepatan

maksimal dan microcentrifuge selama 10 menit).

4. Spin 2000 x g untuk 45 menit (Juan centrifuge).

5. Keluarkan supernatant dengan membalikkan tray ke wadah.

6. Tempatkan tray yang telah dibalikkan dengan handuk ke dalam Juan

centrifuge dan spin masing-masing @700 x g (sekali 700 x g adalah

untuk mencapai stop centrifuge).

e. Mengeringkan Sampel dan Analisis

1. Dengan membuka penutupnya, didiamkan sampai kering,

ditempatkan dalam 37° C hot block ke speed dry.

2. Analisis dengan fasilitas Biochem sequencing.


128

3.8. Analisis Data

3.8.1. Analisis univariat: data disajikan secara deskriptif untuk

memperoleh proporsi/persentase masing-masing variabel, dan

disajikan dalam bentuk tabel.

3.8.2. Analisis bivariat: Hubungan antara variabel dependen dan

independen dianalisis dengan uji chi square, dan bila data tidak

memadai maka digunakan uji fisher exact. Keseluruhan data akan

dipresentasikan dalam bentuk tabel.

3.8.3. Untuk mengetahui faktor risiko digunakan uji prevalens rasio

3.9. Etika Penelitian

Subjek penelitian memperoleh penjelasan mengenai penelitian ini,

dan peneliti meminta persetujuan subjek, saudara kandung, dan orang tua

subjek atau diwakili oleh orang tua subjek untuk dilibatkan dalam

penelitian yang ditandai dengan kesediaan menandatangani surat

persetujuan setelah penjelasan.

Penelitian ini telah mendapat persetujuan Panitia Tetap Kode Etik

Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


129

3.10. Definisi Operasional

3.10.1. Penderita tuli kongenital non sindromik

Definisi : Penderita yang tidak bisa mendengar dan berbicara

sejak lahir dan tidak mempunyai kelainan tubuh yang

lain selain ketulian. Pada pemeriksaan BERA

gelombang V tidak terdeteksi sampai 90 db, emisi

otoakustik hasilnya refer dan timpanometri tipe A.

Cara ukur: Pasien didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan

otoskopi, pemeriksaan BERA, OAE dan timpanometri

Alat Ukur: Pemeriksaan otoskopi dengan dengan menggunakan

otoskop riester, pemeriksaan tes pendengaran

dengan menggunakan pemeriksaan BERA, emisi

otoakustik, dan timpanometri.

Hasil Ukur: Dari pemeriksaan otoskopi dijumpai tidak terdapat ada

kelainan pada telinga luar dan tengah, dari

pemeriksaan dijumpai tuli sensorineural

3.10.2. Family Tree adalah orang tua penderita tuli kongenital dan

saudara kandung penderita tuli kongenital

3.10.3. Mutasi genetik GJB2

Definisi: Perubahan sequence basa DNA gen GJB2 sehingga

gen tidak bekerja dengan baik (menyebabkan


130

ketulian) yang dapat diturunkan kepada generasi

berikutnya.

Cara Ukur: Menggunakan teknik PCR dan sequencing forward

dan reverse.

Alat Ukur: PCR di lab terpadu FK-USU dan sequencing di Lab

BioSM Jakarta

Hasil Ukur: Perubahan urutan basa dapat berupa substitusi basa

yang menyebabkan penyandian protein menjadi

berubah ataupun delesi (ada basa yang hilang)

ataupun insersi (penambahan basa). Dapat berupa

resesif dan dominan. Dinilai juga pengaruh mutasi

terhadap protein, yaitu:

Silent artinya triplet mutan memberi kode asam amino

yang sama Misalnya: AGG  CGG memberi kode

asam amino arginin Sinonim artinya triplet memberi

kode asam amino yang berbeda fungsi. Misalnya AAA

 AGA : lysin menjadi arginin, tapi keduanya

merupakan asam amino basa.

Mutasi missense artinya mutasi menghasilkan asam

amino yang berbeda atau tidak berfungsi.

Mutasi nonsense artinya mutasi menghasilkan kodon

pemutus, sehingga sintesis protein berhenti. Misanya

CAG (glisin)  UAG (berhenti).


131

Mutasi Frameshift : penambahan atau delesi

pasangan basa yang bukan kelipatan 3, sehingga

menyebabkan pergeseran pembacaan kerangka,

sehingga sintesis protein dari tempat terjadi mutasi

sampai seterusnya dapat berubah.

3.10.4. Mutasi genetik MYO7A

Definisi: Perubahan sequence basa DNA gen MYO7A sehingga

gen tidak bekerja dengan baik (menyebabkan

ketulian) yang dapat diturunkan kepada generasi

berikutnya.

Cara Ukur: Menggunakan teknik PCR, RFLP dan elektroforesis.

Restriction fragment length polimorphism (RFLP)

merupakan cara untuk memisahkan 2 varian gen

berdasarkan enzim restriksi dapat atau tidak

memotong DNA.

Alat Ukur: Menggunakan bahan PCR, RFLP , elektroforesis dari

BioRad

Hasil Ukur:Dikatakan mutan homozigot bila terdapat pemotongan

pada 2 varian gen pada 282 dan 454 bp ditandai

dengan munculnya 2 pita (bands) , bila terdapat

pemotongan 3 varian gen disebut mutan heterozigot

yaitu munculnya 3 pita (bands) pada 172 bp, 282 bp


132

dan 454 bp, dan bila tidak dijumpai band pada 454 bp

disebut normal atau tipe wild.

454 bp
282 bp
172 bp

Tabel 3.5. Letak lokus dan primer gen GJB2 dan MYO7A

DFN Locus Gen Protein Primer

DFNB1 13q11-q12 GJB2 Connexin GATGAGCTTTGTCTACTTC


AAAAGTTTGTTTGCTTACCC
DFNA3 26
CTTCAGCCTCC
DFNB2 11q13.5 MYO7A Myosin 7A CCATCCACCCCTCTGGCAC
DFNA11 CTGGGTTGGTCTAATCCTA
GTTTGCTGTGGC

3.10.5. Emisi otoakustik

Definisi: Sinyal akustik yang dihasilkan oleh sel-sel rambut luar

koklea dan ditransmisikan melalui telinga tengah ke

liang telinga yang dapat direkam dengan mikrofon

yang sensitif di tempat yang tenang.

Cara Ukur: Mengukur fungsi sel-sel rambut luar koklea dengan

memberikan stimulus suara dari luar

Alat Ukur: Menggunakan alat emisi otoakustik merk Interacoustic


133

Hasil Ukur: Pemeriksaan akan menghasilkan hasil pass atau refer.

Hasil pass menunjukkan pendengaran yang normal,

sedangkan refer adalah hasil yang menunjukkan

adanya gangguan pendengaran. Dinyatakan pass bila

rasio sound/noise >6 pada lebih dari 3 frekuensi.

3.10.6. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

Definisi: Suatu teknik pengukuran aktivitas atau respon saraf

terhadap rangsangan bunyi. BERA merupakan tes

elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik

pada berbagai level dari sistem pendengaran mulai

dari koklea sampai korteks.

Cara Ukur: BERA ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik

atau bip) yang dikirim oleh suatu transduser akustik

dalam bentuk earphone atau headphone.

Menggunakan elektroda permukaan yang dilekatkan

pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau

pada lobulus telinga.

Alat Ukur: BERA

Hasil Ukur:Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah

masa laten yang diukur sesuai gelombang yang timbul


134

3.10.7. Sekuensing DNA atau pengurutan DNA

Definisi: Proses atau teknik penentuan urutan basa nukleotida

pada suatu molekul DNA.

Cara Ukur: Menggunakan teknik sanger sequencing

Alat Ukur : Analisis dengan fasilitas sequencing

Hasil Ukur:Terdapat mutasi dari gen GJB2, jenis mutasi yang

terjadi, efek yang terjadi dan perubahan protein yang

terbentuk.
135

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

menggunakan design cross sectional dimana sampel penelitian adalah

sampel darah vena penderita tuli kongenital non sindromik, orang tua dan

saudara kandungnya yang dilakukan pada beberapa daerah di Indonesia

yaitu di Medan, Jakarta, Jogja, Surabaya dan Makassar. Telah

dikumpulkan 74 keluarga yang terdiri dari 17 keluarga dari Medan, 20

keluarga dari Jakarta, 15 keluarga dari Jogja, 12 keluarga dari Surabaya

dan 10 keluarga dari Makassar. Sebelum dilakukan pengambilan sampel

keluarga terlebih dahulu dijelaskan mengenai bagaimana pentingnya

pemeriksaan mutasi gen dan efek yang akan terjadi saat pengambilan

darah dan bagaimana cara mengatasinya. Perbandingan hasil sequencing

GJB2 dibandingkan dengan sequence GJB2 dengan bank gen nomor

M.86849, OMIM# 121011. Analisis sequencing dengan menggunakan

program Chromas 2.13 software (Technelgsim, Queensland, Australia).


136

Tabel 4.1. Karakteristik Penderita Tuli Kongenital

Karakteristik subjek n (orang) Persentase (%)

Jenis kelamin
Laki-laki 46 62.16
Perempuan 28 37.84
Usia
< 2 Tahun 7 9.46
2-4 Tahun 27 36.49
>4-6 Tahun 23 31.09
>6-8 Tahun 9 12.16
>8-10 Tahun 4 5.40
>10 Tahun 4 5.40

Suku Bangsa
Jawa Tengah 37 50.00
Jawa Timur 7 9.47
Bugis 5 6.76
Aceh 4 5.41
Batak 4 5.41
Minang 2 2.70
Cina 2 2.70
Melayu 2 2.70
Sunda 1 1.35
Betawi 1 1.35
Flores 1 1.35
Subang 1 1.35
Nias 1 1.35
Mandar 1 1.35
Toraja 1 1.35
Flores 1 1.35
Kalimantan Timur 1 1.35
Bima 1 1.35
Papua 1 1.35

Anak ke-
1 43 58.11
2 19 25.68
3 11 14.86
4 1 1.35

Dari tabel di atas diketahui subjek tuli kongenital terbanyak pada jenis

kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (62.16%). kelompok usia terbanyak

adalah 2-4 tahun sebanyak 27 orang (36.49%), usia paling muda adalah

1.5 tahun sedangkan usia paling tua adalah 14 tahun, rata-rata usia

subjek adalah 5,5 ± 3,4 tahun. Suku bangsa yang terbanyak adalah Jawa
137

tengah sebanyak 37 orang (50%). Subjek penelitian tuli kongenital yang

terbanyak merupakan anak pertama yaitu 43 orang (58.11%).

Tabel 4.2. Karakteristik Ayah Penderita Tuli Kongenital

Karakteristik subjek n (orang) Persentase (%)

Usia
<30 Tahun 4 5.41
30-40 Tahun 48 64.86
>40-50 Tahun 18 24.32
>50 Tahun 4 5.41

Pendidikan Ayah
Perguruan Tinggi 32 43.24
Akademi 6 8.11
SLTA 29 39.19
SLTP 6 8.11
SD 1 1.35

Suku Bangsa
Jawa Tengah 37 50.00
Jawa Timur 7 9.47
Bugis 5 6.76
Aceh 4 5.41
Batak 4 5.41
Minang 2 2.70
Cina 2 2.70
Melayu 2 2.70
Sunda 1 1.35
Betawi 1 1.35
Flores 1 1.35
Subang 1 1.35
Nias 1 1.35
Mandar 1 1.35
Toraja 1 1.35
Flores 1 1.35
Kalimantan Timur 1 1.35
Bima 1 1.35
Papua 1 1.35

Pekerjaan
Karyawan Swasta 37 50.00
PNS 17 22.97
Wiraswasta 16 21.63
Buruh 2 2.70
ABRI 1 1.35
Dokter 1 1.35

Usia Melahirkan Anak Tuli


20-30 Tahun 28 37.84
>30-40 Tahun 39 52.70
>40 Tahun 7 9.46
138

Dari tabel di atas diketahui kelompok usia ayah subjek terbanyak adalah

30-40 tahun sebanyak 48 orang (64.86%), usia ayah paling muda adalah

25 tahun sedangkan usia paling tua adalah 55 tahun, rata-rata usia ayah

subjek adalah 37,7 ± 6,1 tahun. Pendidikan ayah terbanyak adalah

perguruan tinggi sebanyak 32 orang (43.24%). Suku bangsa yang

terbanyak adalah Jawa tengah sebanyak 37 orang (50.00%). Pekerjaan

ayah terbanyak adalah karyawan swasta sebanyak 37 orang (50.00%).

Usia saat melahirkan anak tuli (paternal) terbanyak adalah kelompok usia

>30-40 tahun sebanyak 39 orang (52.70%), usia paternal tertua adalah 50

tahun dan termuda 21 tahun, rata-rata usia paternal 32.23 ± 6.27 tahun.
139

Tabel 4.3. Karakteristik Ibu Penderita Tuli Kongenital

Karakteristik subjek n (orang) Persentase (%)

Usia
<30 Tahun 11 14.86
30-40 Tahun 56 75.68
>40-50 Tahun 6 8.11
>50 Tahun 1 1.35

Pendidikan Ibu
Perguruan Tinggi 20 27.03
Akademi 13 17.57
SLTA 35 47.30
SLTP 3 4.05
SD 3 4.05

Suku Bangsa
Jawa Tengah 31 41.89
Jawa Timur 9 12.16
Bugis 6 8.11
Sunda 6 8.11
Aceh 4 5.41
Batak 3 4.05
Minang 3 4.05
Betawi 3 4.05
Melayu 2 2.71
Cina 2 2.71
Kalimantan Timur 1 1.35
Toraja 1 1.35
Flores 1 1.35
Nias 1 1.35
Papua 1 1.35

Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga 50 67.57
Karyawan Swasta 12 16.21
Wiraswasta 4 5.41
PNS 3 4.05
Buruh 2 2.71
Dokter 1 1.35
Dosen 1 1.35
Guru 1 1.35

Usia Melahirkan Anak


Tuli
<20 Tahun 1 1.35
20-30 Tahun 43 58.11
>30-40 Tahun 28 37.84
>40 Tahun 2 2.70
140

Dari tabel di atas diketahui kelompok usia ibu subjek terbanyak adalah 30-

40 tahun sebanyak 56 orang (75.68%), usia ibu paling muda adalah 22

tahun sedangkan usia paling tua adalah 51 tahun, rata-rata usia ibu

subjek adalah 34,4 ± 5,4 tahun. Pendidikan ibu terbanyak adalah SLTA

sebanyak 35 orang (47.30%). Suku bangsa yang terbanyak adalah Jawa

tengah sebanyak 31 orang (41.89%). Pekerjaan ibu subjek terbanyak

adalah ibu rumah tangga sebanyak 50 orang (67.57%). Kelompok usia ibu

melahirkan subjek yang menderita ketulian terbanyak adalah 20-30 tahun

sebanyak 43 orang (58.11%). Usia termuda 18 tahun, sedangkan usia

tertua adalah 41 tahun. Rata-rata usia melahirkan subjek yang menderita

ketulian adalah usia 29.6 ± 4,8 tahun

Tabel 4.4. Distribusi Mutasi Genetik pada Penderita Tuli Kongenital, Ayah
dan Ibu

Mutasi GJB2 Mutasi MYO7A

n (orang) Persentase (%) n (orang) Persentase (%)

Pasien 20 27.03 3 4.05

Ayah 18 24.32 3 4.05

Ibu 20 27.03 3 4.05

Dari tabel diatas didapatkan mutasi GJB2 pada subjek tuli kongenital

sebanyak 20 orang( 27.03%), dan mutasi pada MYO7A sebanyak 3 orang

(4.05%). Keseluruhan mutasi gen MYO7A pada tuli kongenital adalah

homozigot. Mutasi GJB2 pada ayah penderita tuli kongenital sebanyak 18

orang (24.32%), dan mutasi pada MYO7A sebanyak 3 orang (4.05%).

Keseluruhan mutasi gen MYO7A pada ayah adalah heterozigot. Mutasi

GJB2 pada ibu penderita tuli kongenital sebanyak 20 orang (27.03%), dan
141

mutasi pada MYO7A sebanyak 3 orang (4.05%). Keseluruhan mutasi gen

MYO7A pada ibu adalah heterozigot.

Tabel 4.5. Distribusi Mutasi Genetik pada Saudara Kandung

Mutasi gen n %
GJB2 9 15.78
MYO7A 0 0
Jumlah keseluruhan saudara kandung adalah 57 orang. Dari tabel diatas

didapatkan mutasi GJB2 pada saudara penderita tuli kongenital sebanyak

9 orang (15.78%), dan tidak dijumpai mutasi pada MYO7A.

Tabel 4.6. Distribusi Pewarisan Mutasi Genetik GJB2

Pewarisan Mutasi n (keluarga) Persentase (%)

Autosomal dominan 0 0
Autosomal resesif 16 21.62
Mutasi Spontan 4 5.40

Dari tabel diatas didapatkan pewarisan mutasi genetik secara autosomal

resesif sebanyak 16 keluarga (21.62%) dan mutasi spontan terjadi pada 4

orang (5.40%).

Tabel 4.7. Distribusi Pewarisan Mutasi Genetik MYO7A

Pewarisan Mutasi n %

Autosomal dominan 0 0
Autosomal resesif 3 4.05
Mutasi Spontan 0 0
142

Dari tabel di atas didapatkan pewarisan mutasi genetik secara autosomal

resesif yang terbanyak yaitu 3 keluarga (4.05%). Tidak didapatkan

pewarisan secara autosomal dominan maupun mutasi spontan.

Tabel 4.8. Distribusi Variasi Mutasi Gen GJB2 dan Perubahan Protein

yang Dibentuk pada Penderita Tuli Kongenital

Variasi Mutasi Protein Perubahan protein n %

Gen GJB2

439 CT p.L145L LeusinLeusin (silent 6 8.11


mutation)
430 GA p. A78T AlaninThreonin 3 4.05
636 CA p.F146L Fenilalanin Leusin 8 10.81
672 CA p. Y158X TyrosinX(stop 1 1.35
codon)
626 GA p. R143Q ArgininGlutamin 3 4.05
634 TA p.F146I FenilalaninIsoleusin 1 1.35
694 CT p.L232L LeusinLeusin (silent 0 0
mutation)
501 GA p.E167E GlutaminGlutamin 3 4.05
Polimorfisme p.Y202S Tyrosin  Serin 4 5.40
605 A/C
p.S86T SerinThreonin 74 100
455-456 GC-
CG

Dari tabel diatas didapatkan variasi mutasi gen terbanyak adalah

missense 636 CA dengan protein yang berubah F146L sebanyak 8

orang (10.81%). Terdapat 4 orang (5.40%) dengan polimorfisme 605 A/C.

Seluruh sampel (100%) mempunyai polimorfisme inversi 455-456 GC-

CG (p.S86T).
143

Tabel 4.9. Distribusi Variasi Mutasi Gen GJB2 dan Protein yang Dibentuk

pada Ayah

Variasi Mutasi Protein Perubahan protein n %

Gen GJB2

439 CT p.L145L LeusinLeusin (silent 9 12.16


mutation)
430 GA p. A78T AlaninThreonin 3 4.05
636 CA p.F146L Fenilalanin Leusin 7 9.46
672 CA p. Y158X TyrosinX(stop 1 1.35
codon)
626 GA p. R143Q ArgininGlutamin 0 0
634 TA p.F146I FenilalaninIsoleusin 3 4.05
694 CT p.L232L LeusinLeusin (silent 0 0
mutation)
501 GA p.E167E GlutaminGlutamin 0 0
Polimorfisme

605 A/C p.Y202S ThyrosinSerin 5 6.76

p.S86T SerinThreonin 74 100


455-456 GC-
CG

Dari tabel diatas didapatkan variasi mutasi gen terbanyak pada ayah

adalah mutasi silent 439 CT dengan protein L145L yaitu sebanyak 9

orang (12.16%). Terdapat 5 orang (6.76 %)dengan polimorfisme 605 A/C.

Seluruh sampel (100%) mempunyai inversi 455-456 GC-CG (p.S86T).


144

Tabel 4.10. Distribusi Variasi Mutasi Gen GJB2 dan Protein yang

Dibentuk pada Ibu

Variasi Mutasi Gen Protein Perubahan protein n %

GJB2

439 CT p.L145L LeusinLeusin (silent 9 12.16


mutation)
430 GA p. A78T AlaninThreonin 3 4.05
636 CA p.F146L Fenilalanin Leusin 8 10.81
672 CA p. Y158X TyrosinX(stop 1 1.35
codon)
626 GA p. R143Q ArgininGlutamin 0 0
634 TA p.F146I FenilalaninIsoleusin 3 4.05
694 CT p.L232L LeusinLeusin (silent 1 1.35
mutation)
501 GA p.E167E GlutaminGlutamin 0 0
Polimorfisme
605 A/C p.Y202S ThyrosinSerin 3 4.05
455-456 GC-
p.S86T SerinThreonin 74 100
CG

Dari tabel diatas didapatkan variasi mutasi gen terbanyak pada ibu adalah

mutasi silent 439 CT dengan protein yang terbentuk L145L yaitu

sebanyak 9 orang (12.16%). Terdapat 3 orang dengan polimorfisme 605

A/C (4.05%). Seluruh sampel (100%) mempunyai inversi 455-456 GC-

CG (p.S86T).
145

Hasil Sequencing GJB2 Mutan

Perbandingan hasil sequencing GJB2 dibandingkan dengan sequence

GJB2 dengan bank gen nomor bank M.86849, OMIM# 121011.

Gambar 4.1. Inversi 455-456 GC-CG (p.S86T)

Keterangan: Basa ke-455 berubah dari G ke C dan basa ke-456 berubah dari C
ke G, pembentukan asam amino ke 86 berubah dari Serin menjadi Threonin.

Gambar 4.2. Missense 439 CT (CTGTTG, p.L145L)

Keterangan: Basa ke-439 berubah dari C ke T dan kodon berubah CTG menjadi
TTG membuat pembentukan asam amino ke 145 tidak berubah tetap sebagai
Leusin.

Gambar 4.3. Missense 430 GA (GCCACC, p.A78T)

Keterangan: Basa ke-430 berubah dari G ke A dan kodon berubah GCC


menjadi ACC, pembentukan asam amino ke 78 dari Alanin menjadi Threonin.
146

Gambar 4.4. Missense 636 CA (TTCTTA, p. F146L)

Keterangan: Basa ke-636 berubah dari C ke A dan kodon berubah TTC menjadi
TTA , pembentukan asam amino ke 146 berubah dari Fenilalanin menjadi Leusin.

Gambar 4.5. Missense 672 CA (TACTAA, p.Y158X)

Keterangan: Basa ke-672 berubah dari C ke A dan kodon berubah TAC menjadi
TAA, pembentukan asam amino ke 158 berubah dari Thyrosin menjadi Stop
codon.

Gambar 4.6. Missense 626 GA (CGGCAG, p.R143Q)

Keterangan: Basa ke-626 berubah dari G ke A dan kodon berubah CGG


menjadi CAG, pembentukan asam amino ke 143 berubah dari Arginin menjadi
Glutamin.
147

Gambar 4.7. Missense 634 TA (TTCATC, p.F146I)

Keterangan: Basa ke-634 berubah dari T ke A dan kodon berubah TTC menjadi
ATC, pembentukan asam amino ke 146 berubah dari Fenilalanin menjadi
Isoleusin

Gambar 4.8. Missense 694 CT (CTGTTG, p.L232L)

Keterangan: Basa ke-694 berubah dari C ke T dan kodon berubah CTG menjadi
TTG, pembentukan asam amino ke 232 tidak berubah tetap sebagai Leusin.

Gambar 4.9. Missense 501 GA GAGGAA (p.E167E)

Keterangan: Basa ke-501 berubah dari G ke A membuat kodon berubah


GAGGAA, namun tidak menyebabkan perubahan asam amino ke 167
berubah, tetap sebagai Asam Glutamat.
148

Gambar 4.10. Polimorfisme 605 A/C (TACTCC, Y202S)

Keterangan: Basa ke-605 berubah dari A ke C membuat pembentukan kodon


berubah TAATCC), asam amino ke 202 berubah dari Tirosin menjadi Serin.

Tabel 4.11. Hubungan mutasi genetik GJB2 pada ayah dengan mutasi

genetik pada penderita tuli kongenital

Ayah Anak p danprevalens


Mutasi (+) Mutasi (-) rasio
Mutasi (+) 16 4 p=0.0001,
PR=10.8
Mutasi (-) 4 50 CI 95% (9.83-
18.16)

Dari tabel diatas didapatkan ayah dengan mutasi genetik GJB2

mempunyai risiko 10.8 kali mendapatkan anak dengan tuli kongenital

dengan mutasi GJB2. Dari uji Chi Square didapatkan p=0.0001 (p<0.005),

yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara mutasi gen ayah

dengan mutasi gen anak.

Tabel 4.12. Hubungan Mutasi Genetik GJB2 pada Ibu dengan Mutasi

Genetik pada Penderita Tuli Kongenital

Ibu Anak p dan prevalens


Mutasi (+) Mutasi (-) rasio
Mutasi (+) 16 6 p=0.0001,

PR=9.45

Mutasi (-) 4 48 CI 95%(8-12.79)


149

Dari tabel diatas didapatkan ibu dengan mutasi genetik GJB2 mempunyai

risiko 9.45 kali mendapatkan anak dengan tuli kongenital dengan mutasi

GJB2. Dari Uji Chi Square didapatkan p=0.0001(p<0.005), yang berarti

terdapat hubungan yang bermakna antara mutasi gen ibu dengan mutasi

gen anak.

Tabel 4.13. Hubungan Mutasi Genetik MYO7A pada Ayah dan Penderita

Tuli Kongenital

Ayah Anak p

Mutasi (+) Mutasi (-)

Mutasi (+) 3 0 p= 0.0001

Mutasi (-) 0 71

Dari Uji Fisher Exact didapatkan p=0.0001(p<0.005), yang berarti terdapat

hubungan yang bermakna antara mutasi gen ayah dengan mutasi gen

anak.

Tabel 4.14. Hubungan Mutasi Genetik MYO7A pada Ibu dengan Mutasi

Genetik Penderita Tuli Kongenital

Ibu Anak p
Mutasi (+) Mutasi (-)
Mutasi (+) 3 0 p=0.0001

Mutasi (-) 0 71

Dari Uji Fisher Exact didapatkan p=0.0001(p<0.005), yang berarti terdapat

hubungan yang bermakna antara mutasi gen ibu dengan mutasi gen anak.
150

Hasil Pemeriksaan RFLP Untuk Gen Myosin 7A Mutan

AYN FAZ RCS SPI YMI SUI SMI RLY MAR

454 bp

282 bp
172 bp

Gambar 4.11.Pemeriksaan RFLP untuk gen MYO7A

Keterangan :

FAZ: Pasien 1, AYN: Ayah Pasien 1, RCS: Pasien 2, MAR: Pasien 3, SPI:
Ayah pasien 2, YMI: Ayah Pasien 3, SUI: Ibu Pasien 1, SMI : Ibu Pasien
2, RLY: Ibu Pasien 3
151

Tabel 4.15. Pewarisan Mutasi Gen GJB2 dalam Keluarga

No. Jenis Mutasi Gambar pewarisan dalam Jumlah (%)


keluarga

1. Mutasi 1 (1.35)

spontan Heterozigot

p.R143Q

2 (2.70)
Heterozigot

p.R143Q

1 (1.35)
Homozigot

p.F146L
152

2. Autosomal

resesif
p.F146L
p. L145L
p.F146L 1 (1.35)

p.F146L

p.F146L
p.F146L
1 (1.35)
p. L145L

p.F146L

p.F146L
p.F146L
1 (1.35)

p.F146L

p.Y158x p.Y158x 1 (1.35)

p.Y158x

1 (1.35)
p.F146L p.F146L

p.F146L
p.L145L
153

p.F146L
1 (1.35)
p.F146L
p. L145L

p.F146L

p.A78T p.A78T
p.L232L 2 (2.70)

p.A78T p.A78T

p. L145L p. L145L
2 (2.70)

p.F146L p.E167E
p.F146L

p.F146L p.F146L 1 (1.35)

p.F146L

p.L145L p.L145L 1 (1.35)

p.L145L

1 (1.35)
p.L145L p.L145L

p.L145L
154

p.L145L
1 (1.35)
p.L145L

p.E167E
p.L145L

p.F146I
p.L145L
p.F146I
1 (1.35)

p.F146I

p.A78T p.A78T
1 (1.35)

p.A78T
p.E167E

3. Mutasi

resesif ayah p.F146i

1 (1.35)
Tuli
yang tidak

diturunkan

kepada p.L145L
1 (1.35)
Tuli

anak
155

4. Mutasi

resesif ibu
1 (1.35)
p.F146L

yang tidak
Tuli
diturunkan

kepada

anak
Tuli p.F146I
1 (1.35)

p.L145L

Tuli
p.F146I 1 (1.35)

p.F146L 1 (1.35)
Tuli

Keterangan

: Ayah atau anak laki-laki yang tidak mengalami mutasi gen

: Ibu atau anak perempuan yang tidak mengalami mutasi gen

: Ayah atau anak laki-laki yang mengalami mutasi gen

: Ibu atau anak perempuan yang mengalami mutasi gen

: Ayah atau anak laki-laki yang mengalami mutasi gen resesif

: Ibu atau anak perempuan yang mengalami mutasi gen resesif


156

Tabel 4.16. Pewarisan Mutasi Gen MYO7A dalam Keluarga

No. Jenis Mutasi Gambar pewarisan dalam keluarga Jumlah (%)

1. Autosomal 1 (1.35)

resesif

1 (1.35)

1 (1.35)
157

BAB V

PEMBAHASAN

Mutasi gen GJB2 dan MYO7A mutasi yang sering terjadi

menyebabkan ketulian sensorineural pada banyak populasi dengan latar

belakang etnik yang berbeda. GJB2 yang menghasilkan protein yang

disebut connexin 26 merupakan protein transmembran yang

beroligomerisasi dengan lima molekul connexin lain membentuk connexon

yang homomerik ataupun heteromerik. Connexon dalam sel sekitarnya

menyatu melalui ikatan disulfida membentuk gap junction yang dapat

menyebabkan perpindahan molekul dari sel ke sel. Connexin 26 banyak

diekspresi dalam sel epitel penunjang pada koklea mamalia dan dipercaya

mempunyai peranan penting dalam siklus potasium dari sel rambut untuk

kembali ke endolimfe (Batissoco et al. 2009). Mutasi pada gen yang

mengkode protein connexin merupakan lokus yang paling sering pada tuli

non-sindromik.

Myosin 7A adalah myosin unconventional yang terdapat pada

struktur kumpulan sel rambut bagian apeks sel rambut sensori yang

berperan dalam proses mekanotransduksi dalam proses mendengar dan

keseimbangan (Ernest & Rosa 2014). Studi menunjukkan myosin 7A

sebagai protein motor yang menyalin sepanjang filamen aktin dan

bertanggung jawab mempertahankan sensitivitas kanal transduksi

mekanoelektrik. Myosin 7A berperan dalam perkembangan, diferensiasi

dan pemeliharaan sel-sel rambut yang disebut dengan stereosilia di


158

telinga daIam. Stereosilia kaya dengan aktin. Myosin7A berperan dalam

pergerakan stereosilia sebagai respon dari gelombang suara. Gerakan ini

mengubah energi mekanik menjadi energi listrik yang disampaikan ke

saraf pendengaran (Eisen & Ryugo 2008; Liu & Cheney 2012; Ernest &

Rosa 2014). Mutasi MYO7A menyebabkan bentuk abnormal dari

kumpulan sel-sel rambut sehingga menyebabkan ketulian (Ernest & Rosa

2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan mutasi gen

GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non sindromik di

Indonesia, mengetahui risiko dan pewarisan mutasi genetik, variasi mutasi

genetik, dan perubahan protein yang terjadi akibat mutasi genetik.

Sebanyak 74 keluarga penderita tuli kongenital non sindromik yang

diambil dari beberapa kota di Indonesia yang terdiri dari 17 keluarga dari

Medan, 20 keluarga dari Jakarta, 15 keluarga dari Jogja, 12 keluarga dari

Surabaya dan 10 keluarga dari Makassar yang memenuhi kriteria

penelitian dimasukkan dalam penelitian ini. Terdapat dua keluarga (1

keluarga dari Jakarta dan 1 keluarga dari Jogja) yang mempunyai dua

anak lahir tuli yang kedua anaknya diambil sebagai subjek penelitian.

Saudara kandung yang lain mempunyai pendengaran normal.

Seluruh subjek penderita tuli kongenital merupakan tuli sensorineural

pada kedua telinga yang hasil BERA menunjukkan gelombang V tidak

terdeteksi pada kedua telinga sampai 90 dB dan hasil pemeriksaan emisi

otoakustik menunjukkan refer pada kedua telinga. Hal ini berarti rata-rata
159

ambang dengar subjek tuli kongenital pada pasien ini adalah >80 dB

Seluruh ayah dan ibu tidak menderita tuli kongenital.

Dari tabel 4.1. didapatkan subjek tuli kongenital terbanyak pada

jenis kelamin laki-laki sebanyak 46 orang (62.16%). Kelompok usia

terbanyak adalah 2-4 tahun sebanyak 27 orang (36.49%), usia paling

muda adalah 1.5 tahun sedangkan usia paling tua adalah 14 tahun, rata-

rata usia subjek adalah 5,5 ± 3,4 tahun. Suku bangsa yang terbanyak

adalah Jawa tengah sebanyak 37 orang (50%). Subjek penelitian tuli

kongenital yang terbanyak merupakan anak pertama yaitu 43 orang

(58.11%).

Penelitian Yuan dan kawan-kawan (2010) di Cina dari penelitian

terhadap 7133 kasus ketulian non sindromik yang didapatkan dari 28

daerah yang berbeda di Cina. Suku yang terbanyak adalah Cina Han yaitu

6540 kasus. Jenis kelamin yang terbanyak juga laki-laki (58.01%) dengan

rentang usia 0.2 sampai 67 tahun dengan rata-rata usia 5.41±1.78 tahun.

Deklecrk et al (2014) di Belgia pada studi populasi mendapatkan rata-rata

usia 14.2±16.5 tahun dan separuhnya berusia kurang dari 6 tahun, 55.5%

adalah anak perempuan, 76.4% kasus merupakan tuli bilateral, etiologi

terbanyak adalah genetik (n=125, 65.4%).

Dari tabel 4.2. didapatkan kelompok usia ayah subjek terbanyak

adalah 30-40 tahun sebanyak 48 orang (64.86%), rata-rata usia ayah

subjek adalah 37,7 ± 6,1 tahun, usia ayah paling muda adalah 25 tahun

sedangkan usia paling tua adalah 55 tahun. Pendidikan ayah terbanyak

adalah perguruan tinggi yaitu 32 orang (43.24%). Suku bangsa yang


160

terbanyak adalah Jawa tengah yaitu 37 orang (50.00%). Pekerjaan ayah

terbanyak adalah karyawan swasta sebanyak 37 orang (50.00%). Usia

paternal terbanyak adalah kelompok usia >30-40 tahun sebanyak 39

orang (52.70%), rata-rata usia paternal 32.23 ± 6.27 tahun.

Pada populasi, usia paternal rata-rata adalah 27 tahun. Usia

paternal diatas 40 tahun menyebabkan peningkatan risiko mutasi gen,

karena banyak sel membelah selama spermatogenesis, mutasi substitusi

basa lebih tinggi pada pria daripada wanita dan hal ini meningkat pada

usia paternal yang semakin tua (Toriello & Meck 2008). Dari penelitian

Macaulay dan Ford (2013) mendapatkan hubungan antara ketulian

dengan status sosial ekonomi keluarga.

Dari tabel 4.3. diketahui kelompok usia ibu subjek terbanyak adalah

30-40 tahun sebanyak 56 orang (75.68%), rata-rata usia ibu subjek adalah

34,4 ± 5,4 tahun. Pendidikan ibu terbanyak adalah SLTA sebanyak 35

orang (47.30%). Suku bangsa yang terbanyak adalah Jawa tengah

sebanyak 31 orang (41.89%). Pekerjaan ibu subjek terbanyak adalah ibu

rumah tangga sebanyak 50 orang (67.57%). Kelompok usia ibu

melahirkan subjek yang menderita ketulian adalah 20-30 tahun sebanyak

43 orang (58.11%). Usia termuda 18 tahun, sedangkan usia tertua adalah

41 tahun. Rata-rata usia melahirkan subjek yang menderita ketulian

adalah usia 29.6 ± 4,8 tahun. Usia hamil yang ideal adalah antara usia 20-

35 tahun, usia yang terlalu muda ataupun diatas usia 35 tahun

mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian pre-eklampsi, bayi

lahir prematur dan berat badan lahir bayi rendah yang merupakan faktor
161

risiko terjadinya ketulian pada bayi (Jolly et al. 2000; Van, Verkerk & Van

2015). Pada subjek ibu dalam penelitian ini rata-rata masih dalam usia

melahirkan yang ideal, walaupun ada beberapa subek yang dalam usia

melahirkan yang berisiko. Dari penelitian di India didapatkan bahwa

banyak faktor risiko yang menyebabkan bayi berat badan lahir rendah,

seperti kurangnya edukasi kesehatan, sosial ekonomi keluarga, nutrisi ibu,

dan kurangnya keteraturan ke dokter kandungan selama kehamilan

(Deshpande et al. 2011).

5.1. Hasil Pemeriksaan Genetik GJB2

Dengan membandingkan hasil sequence genetik GJB2 penelitian ini

dengan bank gen nomor bank M.86849, OMIM# 121011 (dari NCBI)

peneliti menemukan adanya inversi pada sequence 455 GC dan 456

CG pada seluruh sampel (100%). Inversi ini menyebabkan perubahan

protein S86T (serin menjadi threonin).Tetapi inversi ini tidak terlihat saat

dibandingkan dengan Uniprot (yaitu data base protein yang didedikasikan

untuk mendata seluruh protein dari seluruh organisme). Dari prediksi

mutasi dengan menggunakan program Polyphen 2 dan SIFT prediction,

inversi ini merupakan inversi yang tolerated. Menurut penelitian Lee dan

kawan-kawan (1992) adanya perbedaan asam amino pada posisi S86T

disebut dengan sequence conflict. Penelitian Hamid dan kawan-kawan

(2009) mendapatkan bahwa polimorfisme S86T didapatkan pada 100%

penderita tuli dan subjek normal pada populasi Iran.


162

Dari tabel 4.4 didapatkan mutasi GJB2 pada subjek tuli kongenital

sebanyak 20 orang( 27.03%). Mutasi GJB2 pada ayah penderita tuli

kongenital sebanyak 18 orang (24.32%). Mutasi GJB2 pada ibu penderita

tuli kongenital sebanyak 20 orang (27.03%). Dari tabel 4.5 didapatkan

mutasi GJB2 pada saudara kandung penderita tuli kongenital sebanyak 9

orang (15.78%). Total saudara kandung pada subjek tuli adalah 57 orang.

Pada populasi tuli non sindromik di Cina, mutasi gen GJB2

didapatkan pada lebih dari 21% kasus (Yuan et al. 2010). Ketulian dapat

disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan ataupun kombinasi dari

keduanya. Di negara berkembang 60% kasus disebabkan faktor genetik.

Di Brazil frekuensi tuli non sindromik kira-kira 4 dari 1000 kelahiran, 16%

diantaranya disebabkan karena faktor genetik. GJB2 merupakan

penyebab utama autosomal resesif non sindromik sensorineural (De

Castro 2013). Penelitian Shi dan kawan-kawan mendapatkan mutasi

GJB2 pada tuli kongenital sebanyak 37 % kasus dan 36% mutasi terjadi

pada orang tua (Shi et al. 2012). Penelitian Zeinali di Iran dari 418 kasus

ketulian terdapat 81 pasien dengan bialel mutan dan 13 kasus dengan

mutan tunggal (Zeinali et al. 2014) Penelitian Chu dan kawan-kawan di

Taiwan melakukan skrining terhadap 15.345 bayi-bayi baru lahir,

didapatkan 32 bayi dengan ketulian unilateral dan bilateral, 26 diantaranya

mengalami mutasi gen connexin dan SLC26A4 ( Chu et al. 2015). Gen

SLC26A4 dan Connexin (GJB2) berperan dalam menyebabkan ketulian (Ji

et al. 2011; Shin et al. 2012; Fang et al. 2015).


163

Dari tabel 4.6 didapatkan pewarisan mutasi genetik GJB2 secara

autosomal resesif sebanyak 16 keluarga (21.62%) dan mutasi spontan

terjadi pada 4 orang (5.40%). Keseluruhan pewarisan subjek tuli

kongenital secara autosomal resesif merupakan homozigot, sedangkan

yang mengalami mutasi spontan, 3 orang mengalami mutasi heterozigot

dan 1 orang mengalami mutasi homozigot. Ayah, ibu dan saudara

kandung mengalami mutasi heterozigot.

Penelitian hampir sama dengan penelitian Han dan kawan-kawan

yang mendapatkan seluruh mutasi gen GJB2 pada penderita tuli

kongenital adalah homozigot pada orang tua yang memiliki karier mutasi

heterozigot GJB2 (Han et al. 2012).

GJB2 terletak pada locus 13q11-q12. Mutasi GJB2 dapat

menyebabkan ketulian autosomal resesif (DFNB1) dan autosomal

dominan atau DFNA3 (Eisen & Ryugo 2008; Hamid et al. 2009; Yuan et al,

2010; Huang et al. 2014). Lebih dari 50% ketulian kongenital adalah

herediter yang mayoritas adalah non sindromik dan lebih dari 50% dari

ketulian autosomal resesif non sindromik disebabkan mutasi gen GJB2

(Haraksingh et al. 2014; Sokolov et al. 2014).

Dari tabel 4.8 didapatkan variasi mutasi gen GJB2 terbanyak pada

subjek tuli kongenital adalah missense 636 CA dengan protein yang

berubah F146L sebanyak 8 orang (10.81%). Terdapat 4 orang (5.40%)

dengan polimorfisme 605 A/C. Terdapat 5 subjek yang memiliki lebih dari

satu jenis mutasi. Dari tabel ini dapat dilihat bahwa pada penelitian ini

didapatkan 7 jenis mutasi yaitu 2 jenis mutasi silent, yaitu 439 CT
164

(p.L145L) sebanyak 6 orang (8.11%) dan 501 GA (p.E167E) sebanyak 3

orang (4.05%), 4 jenis mutasi missense yaitu 430 GA (p.A78T)

sebanyak 3 orang (4.05%), 636 CA (p.F146L) sebanyak 8 orang

(10.81%), 626 GA (p.R143Q) sebanyak 3 orang (4.05%) dan 634 TA

(p.F146I) sebanyak 1 orang (1.35%). Didapatkan pula 1 jenis mutasi

nonsense yaitu 672 CA (p.Y158X) sebanyak 1 orang (1.35%).

Pada subjek ini terdapat 4 orang mengalami mutasi spontan yaitu 3

orang (4.05%) dengan mutasi missense 626 GA (p.R143Q) heterozigot

dan 1 orang (1.35%) dengan mutasi missense 636 CA (p.F146L)

homozigot. Dari data Uniprot didapatkan 1 publikasi bahwa mutasi

p.R143Q menyebabkan ketulian yang diturunkan secara autosomal

dominan (DFNA3A).

Dari prediksi dengan menggunakan program Polyphen 2 dan SIFT

prediction didapatkan mutasi yang menyebabkan damaging adalah mutasi

missense 430 GA (p.A78T) dan missense 626 GA (p.R143Q).

Menurut penelitian Huang dan kawan-kawan (2014) di Cina mendapatkan

9 subjek penderita ketulian sangat berat sampai profound dengan

autosomal dominan, mutasi ini adalah R75W,G130V, R143Q dan

p.R184Q.

Tipe dan frekuensi dari mutasi sangat dipengaruhi pada komposisi

etnik dari populasi (Batissoco et al. 2009; Mirna et al.2015). Pada

penelitian Abe dan kawan-kawan (2000) di Jepang mendapatkan tiga jenis

mutasi missense yaitu R143W (427CT), G45E (134GA), and V37I

(109GA), satu jenis mutasi nonsense yaitu Y136X (408CA), dan tiga
165

jenis frameshift delesi mutasi, yaitu 235 del C, 176-191del16 dan 299-300

del AT. Frameshift 235 del C merupakan mutasi terbanyak dijumpai (Abe

et al. 2000; Yao et al. 2012). Penelitian Hamid dan kawan-kawan di Iran

(1999), didapatkan 10 jenis mutasi GJB2, terdiri dari 35delG, R127H,

V27I+E114G, Y155X, M163V, R143W, R32H, R165W, 333–334 delAA,

355–357delGAG. Mereka mendapatkan 35 del G merupakan mutasi yang

terbanyak dijumpai. Mutasi 35 del G ini juga mayoritas dijumpai pada

populasi Kaukasia (Eropa) dengan frekuensi bervariasi antara 1-5%.

Mutasi ini juga yang terbanyak dijumpai pada populasi Amerika Serikat

tetapi jarang dijumpai pada populasi Asia dan Afrika (Batissoco et al.

2009). Hall dan kawan-kawan mendapatkan mutasi karier GJB2 C35delG

memiliki pendengaran yang lebih jelek terutama pada frekuensi tinggi

daripada yang tidak memiliki karier mutasi ini (Silva et al. 2010; Hall et al.

2012). De Castro dan kawan-kawan (2013) melakukan penelitian terhadap

populasi tuli non sindromik di Brazil mendapatkan mutasi missense V27I

merupakan mutasi terbanyak (26%), dijumpai pula mutasi frameshift

35delG, missense M34T, V95M dan V27I. Penelitian yang ada

menunjukkan tipe yang unik dari mutasi GJB2 pada tiap grup populasi

(Duan et al. 2015) .

Saat ini ditemukan lebih dari 150 mutasi, polimorfisme dan varian

tidak diklasifikasi dari gen GJB2 yang merupakan etiologi molekuler dari

10-50% pasien tuli non sindromik. Gen GJB2 merupakan gen yang

pertama harus diperiksa pada pasien dengan gangguan pendengaran

(Yuan et al. 2010; Kashef et al. 2015). Hal ini disebabkan sebagian besar
166

mutasi gen pada tuli kongenital terutama derajat sangat berat sampai

profound adalah mutasi gen GJB2 (Preciado et al. 2004; Qing et al. 2015).

Penelitian Lopponen dan kawan-kawan mendapatkan mutasi gen GJB2

homozigot p.M.34T pada pasien gangguan pendengaran derajat ringan

pada usia 6 sampai 23 tahun dan 3 orang dengan gangguan pendengaran

derajat ringan-sedang (Lopponen et al. 2012). Gen GJB2 dari tikus mutan

telah menghasilkan petunjuk tentang fungsi connexin pada koklea. Cohen-

salmon dan kawan-kawan mendemonstrasikan bahwa perusakan

connexin 26 dalam jaringan sel epitel koklea yang dihasilkan pada

perkembangan koklea normal. namun seiring dengan onset pendengaran,

kematian sel-sel penunjang juga terjadi. Waktu kematian sel ini bertepatan

dengan penurunan konsentrasi pergerakan kalium dari endolimfatik

potensial. Hilangnya connexin (Cx26) ini mencegah daur ulang ion K+

setelah rangsangan bunyi dan tingginya K+ di perilimfe ekstraseluler dapat

menghambat uptake neurotransmitter glutamat yang sangat penting

dihasilkan pada kematian sel pada proliferasi sel rambut. Teori recycling

kalium ini merupakan hipotesis yang paling dikenal untuk fungsi Cx26

pada koklea (Eisen & Ryugo 2008; Chang et al. 2015).

Dari tabel 4.9 didapatkan variasi mutasi gen GJB2 terbanyak pada

ayah adalah mutasi silent 439 CT dengan protein yang terbentuk L145L

yaitu sebanyak 9 orang (12.16%). Terdapat 5 orang dengan polimorfisme

605 A/C (6.76%). Terdapat 3 subjek yang memiliki dua jenis mutasi. Pada

sampel ayah didapatkan 5 jenis mutasi yaitu 1 jenis mutasi silent yaitu 439

CT (p.L145L) sebanyak 9 orang (12.16%), 3 jenis mutasi missense yaitu


167

430 GA (p.A78T) sebanyak 3 orang (4.05%), 636 CA (p.F146L)

sebanyak 7 orang (9.46%), dan 634 TA (p.F146I) sebanyak 3 orang

(4.05%), serta didapatkan pula 1 jenis mutasi nonsense 672 CA

(p.Y158X) sebanyak 1 orang (1.35%).

Dari tabel 4.10 didapatkan variasi mutasi gen terbanyak pada ibu

adalah mutasi silent 439 CT dengan protein yang terbentuk yaitu

sebanyak 9 orang (12.16%). Terdapat 3 orang dengan polimorfisme 605

A/C (4.05%). Terdapat 1 subjek yang memiliki dua jenis mutasi. Dari

sampel ibu didapatkan 6 jenis mutasi terdiri dari 2 jenis mutasi silent yaitu

439 CT (p.L145L) sebanyak 9 orang (12.16%) dan 694 CT (p.L232L)

sebanyak 1 orang (1.35%), 3 jenis mutasi missense, yaitu 430 GA

(p.A78T) sebanyak 3 orang (4.05%), 636 CA (p.F146L) sebanyak 8

orang (10.81%) dan 634 TA (p.F146I) sebanyak 3 orang (4.05%),

didapatkan pula mutasi nonsense 672 CA (p.Y158X) sebanyak 1 orang

(1.35%). Mutasi missense 694 CT(p.L232L) hanya dijumpai pada ibu

dan tidak dijumpai pada subjek tuli dan ayah, dari hasil sequencing

genetik kemungkinan ibu mengalami mutasi yang heterozigot karena basa

normal (C) berhimpit dengan basa mutan(T), sehingga karena mutasi ini

diturunkan secara autosomal resesif sehingga pendengaran ibu normal

dan mutasi ini tidak dijumpai pada subjek anak.

Penelitian Wu dan kawan-kawan (2013) mendapatkan 5 jenis

mutasi indel (insersi/delesi), 36 jenis missense pada 12 keluarga

multipleks penderita tuli sensorineural idiopatik. Dari pemeriksaan


168

Sequencing Sanger didapatkan 4 varian pada 4 gen yang berbeda

termasuk gen GJB2 dan MYO7A (Wu et al. 2013).

Dari tabel 4.11 didapatkan ayah dengan mutasi genetik GJB2

mempunyai risiko 10.8 kali mendapatkan anak dengan tuli kongenital

dengan mutasi GJB2. Dari Uji Chi Square didapatkan p=0.0001; CI 95%

(9.83-18.16), yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara

mutasi gen GJB2 ayah dengan mutasi gen anak.

Dari tabel 4.12 didapatkan ibu dengan mutasi genetik GJB2

mempunyai risiko 9.45 kali mendapatkan anak dengan tuli kongenital

dengan mutasi GJB2. Dari Uji Chi Square didapatkan p=0.0001; CI

95%(8-12.79), yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara

mutasi gen GJB2 ibu dengan mutasi gen anak.

Dari tabel 4.15 dapat dilihat pewarisan mutasi gen GJB2 dalam

keluarga dan terdapat dua keluarga yang masing-masing mempunyai dua

anak tuli dengan mutasi gen GJB2 yang diturunkan secara autosomal

resesif.

Data diatas menunjukkan pentingnya pemeriksaan GJB2 sebagai

skrining dan analisis bioinformatika untuk diagnosis genetik dan konseling

penderita ketulian non sindromik (Keivani et al. 2015).

5.2. Hasil Pemeriksaan Genetik Myosin7A (MYO7A)

Dari tabel 4.4 dapat dilihat bahwa mutasi pada MYO7A pada subjek

tuli kongenital sebanyak 3 orang (4.05%). Keseluruhan mutasi gen

MYO7A pada subjek tuli kongenital adalah homozigot karena pada


169

pemeriksaan RFLP terdapat pemotongan pada dua varian gen. Mutasi

pada MYO7A pada subjek ayah dan ibu penderita tuli kongenital masing-

masing sebanyak 3 orang (4.05%). Keseluruhan mutasi gen MYO7A pada

ayah dan ibu adalah heterozigot karena pada pemeriksaan RFLP terdapat

pemotongan pada tiga varian gen. Dari tabel 4.5 tidak dijumpai mutasi gen

MYO7A pada saudara kandung penderita tuli kongenital.

Hampir sama dengan penelitian Shahzad dan kawan-kawan (2013)

di Pakistan mendapatkan dari 243 keluarga didapatkan 32 dengan mutasi

MYO7A dan terdapat 2 mutasi homozigot dengan orang tua yang

heterozigot dengan pendengaran normal. Berbeda dengan penelitian Hu

dan kawan-kawan di Cina (2004), penelitian yang dilakukan di Propinsi

Hunan dari 65 pasien dengan ketulian non sindromik dijumpai 2 orang

dengan mutasi heterozigot myosin7A. Tidak dijumpai mutasi pada

keluarga.

Dari tabel 4.7 didapatkan seluruh pewarisan mutasi genetik

MYO7A secara autosomal resesif yaitu sebanyak 3 keluarga (4.05%).

Tidak didapatkan pewarisan secara autosomal dominan maupun mutasi

spontan. Dari tabel 4.13 didapatkan Uji Fisher Exact p=0.0001, yang

berarti terdapat hubungan yang bermakna antara mutasi gen MYO7A

ayah dengan mutasi gen anak. Dari tabel 4.14 didapatkan Uji Fisher Exact

p=0.0001, yang berarti terdapat hubungan yang bermakna antara mutasi

gen MYO7A ibu dengan mutasi gen anak. Untuk mutasi gen MYO7A tidak

dapat diuji prevalens rasio.


170

Lokasi gen MYO7A adalah pada lokus 11q13.5 Lebih dari 250 jenis

mutasi MYO7A telah dilaporkan, sebagian besar mutasi ini menyebabkan

sindroma Usher tipe 1 yaitu kombinasi antara ketulian dan retinitis

pigmnentosa (Colella et al. 2013; Qu et al. 2015). Mutasi MYO7A dapat

menyebabkan ketulian autosomal resesif (DFNB2) ataupun dominan

(DFNA11) pada tuli non sindromik (Miller et al. 2012; Liu et al. 2013).

Hasil PCR mutasi MYO7A 3742GA dipotong menggunakan

enzim restriksi BstXI. Mutasi ini dapat memprediksi perubahan asam

amino glutamat menjadi lisin pada kodon 1248. Mutasi ini menyebabkan

damaging pada gen myosin 7A (Liu et al. 2013). MYO7A diekspresikan

didalam mekanosensori sel-sel rambut organ vestibuler dan koklea yang

tempat utamanya adalah didalam stereosilia. Di telinga dalam MYO7A

dibutuhkan untuk mengatur stereosilia yaitu struktur sensori yang

dibutuhkan untuk mendeteksi sinyal suara (Yan et al. 2011). Penelitian

Buniello dan kawan-kawan pada tikus yang dibuat mutasi gen MYO7A

dapatkan abnormalitas yang berat pada sel-sel rambut sensori di koklea,

stria vaskularis terlihat disorganisasi berat, membran Reissner kolaps

tidak didapatkan potensial endokoklea dan lamina basalis terlihat

abnormal (Buniello et al. 2013).

Dari tabel 4.16 dapat dilihat pewarisan mutasi gen MYO7A dalam

keluarga sebanyak 3 keluarga dimana ketiganya diturunkan secara

autosomal resesif. Berbeda dengan penelitian Hu dan kawan-kawan

(2004) di Cina yang mendapatkan silsilah keluarga mutasi MYO7A yang

diturunkan secara autosomal dominan pada ketulian non sindromik.


171

Penelitian Ben Salem dan kawan-kawan mendapatkan mutasi homozigot

yang diturunkan secara autosomal resesif pada keluarga 17 keluarga Irak

dan Palestina. Mutasi MYO7A bisa terjadi pada ketulian non sindromik

(Ben-salem et al. 2014). Penelitian Diaz dan kawan-kawan terhadap

penderita tuli non sindromik terdapat 8 orang dari 12 keluarga dengan

mutasi homozigot MYO7A dan 6 orang yang mengalami mutasi

heterozigot (Diaz et al. 2012).

Dari data diatas menunjukkan bahwa skrining pendengaran pada

bayi dan skrining genetik sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan ini memang

masih sulit menjadi pemeriksaan rutin karena bergantung kepada faktor

sosial ekonomi dan efektifitas dari program skrining pendengaran

(Nikolopoulos 2015).

Pada penderita tuli kongenital tidak seluruh subjek dengan mutasi

gen GJB2 dan MYO7A, hal ini kemungkinan disebabkan ketulian

disebabkan mutasi gen lain ataupun penyebabnya non genetik. Penelitian

Trotta dan kawan terhadap populasi Maroua (Sub-Sahara Afrika)

didapatkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan terhadap terjadinya

ketulian dibandingkan dengan faktor genetik pada populasi ini (Trotta et al.

2011). Pengaruh lingkungan yang paling sering menyebabkan ketulian

sensorineural adalah infeksi virus sitomegalo. Tuli sensorineural terjadi 22-

65% pada bayi yang lahir dengan infeksi sitomegalo yang simtomatis dan

6-23% pada yang asimtomatis (Furutate et al. 2011).

Dari penelitian didapatkan hubungan yang bermakna antara mutasi

gen GJB2 dan gen MYO7A terhadap kejadian tuli kongenital non
172

sindromik di Indonesia, terdapat pewarisan mutasi gen GJB2 dan gen

MYO7A dari orang tua kepada penderita tuli kongenital non sindromik di

Indonesia, dan risiko kejadian tuli kongenital dengan mutasi genetik pada

ayah dan ibu yang memiliki mutasi genetik lebih tinggi daripada orang tua

yang tidak memiliki mutasi genetik. Dengan demikian hipotesis penelitian

telah terbukti (diterima).

5.3. Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini semua subjek tuli kongenital merupakan

profound sensoryneural hearing loss, sehingga tidak dapat dibandingkan

mutasi gen pada derajat gangguan pendengaran yang lain.


173

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Mutasi GJB2 pada subjek tuli kongenital 27.03%, pada ayah

24.32% dan ibu 27.03%. Pewarisan mutasi genetik GJB2 secara

autosomal resesif 21.62%, mutasi spontan 5.40%. Mutasi MYO7A

pada subjek tuli kongenital 4.05%. Pada ayah dan ibu 4.05%.

Pewarisan mutasi genetik MYO7A seluruhnya secara autosomal

resesif.

2. Ayah dengan mutasi genetik GJB2 mempunyai risiko mendapatkan

anak dengan tuli kongenital 10.8 kali, sedangkan ibu dengan

mutasi genetik GJB2 mempunyai risiko 9.45 kali.

Terdapat hubungan yang bermakna antara mutasi gen GJB2 dan

MYO7A antara ayah, ibu dan anak.

3. Dari 57 orang saudara kandung penderita tuli kongenital

didapatkan mutasi GJB2 sebanyak 15.78%. Terdapat dua keluarga

yang memiliki dua anak tuli dengan mutasi genetik GJB2 positif.

4. Pada subjek tuli kongenital didapatkan variasi mutasi gen GJB2

terbanyak adalah missense 636 CA 10.81%, Pada ayah dan ibu

variasi terbanyak mutasi silent 439 CT 12.16%, varian lain adalah

mutasi silent 501 GA, 694 CT, missense 636 CA 10.81%,

430 GA, 626 GA, 634 TA, dan mutasi nonsense 672 CA..
174

5. Perubahan protein yang terjadi pada subjek tuli kongenital, ayah

dan ibu terbanyak adalah Fenilalanin menjadi Leusin (p.F146L).

SARAN

1. Diperlukan program neonatal hearing screening secara nasional

2. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menilai pemeriksaan gen

penyebab ketulian yang lain untuk populasi Indonesia

3. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai terapi genetik pada

pasien-pasien yang terbukti mengalami mutasi genetik

4. Diperlukan penelitian lanjutan menghubungkan mutasi gen dengan

keberhasilan penatalaksanaan gangguan pendengaran dengan

penggunaan implan koklea.

5. Pemeriksaan ini dapat dijadikan sebagai konseling genetik pada

pasangan yang ingin menikah.


175

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 2006. Newborn hearing screening: experience in a Malaysian


hospital, Singapore Med J, 47(1), pp. 60-6.

Abe S, Usami S, Shinkawa H, Kelley, P,M, Kimberling, W,J. 2000.


Prevalent connexin 26 gene (GJB2) mutation in Japanese, J Med
Genet. 37, pp. 41-3.

Adler, S,P, Marshall, B,Cy. 2007. Cytomegalovirus Infections, Pediatr Rev.


2007 Mar. 28(3), pp.92-100

Antonio, S,A,M. 2012. Syndromic sensorineural hearing loss. Department


of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, Eastern Virginia Medical
School, Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/856116-overview#a0101
(Accesed 30 Maret 2013)

Avraham, K,B, Kanaan, M. 2012. Genomic advances for gene discovery in


hereditary hearing loss, J Basic ClinPhysiolPharmacol, 23(3), pp.93-7

Bailey, Byron J, Jonas T, Shawn D. 2006. Genetic Hearing Loss. In: Head
and neck surgery–otolaryngology, 4th ed. Lippincott Williams &
Wilkins, pp. 1303-16.

Bashiruddin, J. 2009. Newborn Hearing Screening in Six Hospital in


Jakarta and Surroundings, Majalah Kedokteran Indonesia, 59 (2),
pp.51-4.

Bashiruddin, J. 2010. Pencegahan Gangguan Pendengaran, Tantangan


dan Harapan dalam Implementasi Program Sound Hearing 2030,
Dalam: Pidato pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar
dalam Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Batissoco, A,C, Abreu-Silva,R,S, Braga,M,C,C, Lezirovitz, K, Della Rosa,


V, Alfredo Jr, T, Otto, P,A, Mingroni-Netto, R,C. 2009. Prevalence of
GJB2 (Connexin-26) and GJB6 (Connexin-30) Mutations in a Cohort
of 300 Brazilian Hearing-Impaired Individuals: Implications For
Diagnosis and Genetic Counseling, Ear &Hearing, 30(1), pp.1-7.
176

Ben-salem, S, Rehm,H,L, Willem,P,J, Tamimi, Z,A, Ayadi,H, Ali,B,R, Al-


Gazali, L. 2014. Analysis of two Arab families reveals additional
support for a DFNB2 nonsyndromic phenotype of MYO7A, Mol Biol
Rep, 41(1), pp.193-200

Berg, A, L, Prieve, B, A, Serpanos, Y, C, & Wheaton, M,A. 2011. Hearing


Screening in a Well-Infant Nursery: Propile of Automated ABR-
Fail/OAE-Pass, Pediatrics, 127(2), pp. 269-75.

Bhattcharrya, N. 2006. Audiotory Brainstem Response Audiometry.


Harvard Medical School, Available from: http//www.emedicene.com.
(Accesed 8 Maret 2013)

Bird, P, Botting, A, Milburn, J, Murray D, Heslop, N. 2010. An audit of


referrals to the Southern Cochlear Implant Paediatric Programme,
The New Zealand Medical Journal, 123(13), pp.10-4

Brownstein, Z, Friedman, L,M, Shahin, H, Oron-Karni, V, Kol, N. 2011.


Targeted genomic capture and massively parallel sequencing to
identify genes for hereditary hearing loss in middle eastern families’,
Genome Biol. 12.p. R89.

Bruzzone & Cohen-Salmon. 2005. Hearing the messenger: Ins(1,4,5)P3


and deafness, Nature Cell Biology 7, pp.14-6.

Buniello, A, Hardisty-Hughes, R,E, Pass, J,C, Bober, E, Smith, R,J, Steel,


K,P. 2013. Headbobber: a combined morphogenetic and
cochleosaccular mouse model to study 10qter deletions in human
deafness, 8(2), pp.23-5
Campbell, K,C,M. 2006. Otoacoustic emissions. Department of Surgery,
Division of Otolaryngology, Southern Ilinois University School of
Medicine, Available from:
http://www.emedicine.com/ent/topic372.htm. (Accessed 30 Juni
2012)

Carlson, D, L, Reeh, H,L. 2006. Pediatric audiology, In: Bailey, B.J.,


Johnson, J.T, Newlands, S.D (eds) Head and neck surgery –
otolaryngology. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, pp. 1278-88.

Chang, Q, Tang, W, Kim, Y, Lin, X. 2015. Timed conditional null of


connexin26 in mice reveals temporary requirements of connexin26 in
key cochlear developmental events before the onset of hearing,
Neurobiol Dis, 73, 418(27)

Cheng, H, Yang, Yu, H, C, Li,Y, C. 2010. A Natural PCR-RFLP Primer


Design for SNP Genotyping Using a Genetic Algorithm Proccedings
of the International Multiconference of Engineers and Computer
Scientists, 20, pp.25-9
177

Choo, D,I, Richter, G,T. 2009. Development of the ear, In: Snow, J.B,
Wackyym, P.A. (eds) Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck
surgery. Connecticut: BC Decker Inc., pp.17-26.

Christopher, P,J. 2005. A Journey Through The Auditory System, In: The
Sense of Hearing. Laurence Erlbaum Associates Publishers. London,
pp.65-74

Chu, C,W, Chen, Y,J, Lee, Y,H, Jaung, S,J, Lee, F,P, Huang, H,M. 2015.
Government-funded universal newborn hearing screening and
genetic analyses of deafness predisposing genes in Taiwan, 79(4),
pp.584-90

Coco, M, Salvinelli, F, Greco, F, Trivelli, M, D'Emidio, L, Mesoraca, A,


Giorlandino, C, Raffio, R, Coco C. 2013. Significance of
heterozygosis M34T mutation of GJB2 gene in non-syndromic
congenital deafness. Retrospective analysis of 12,472 samples of
amniotic fluid, J Prenat Med, 7(4), pp. 56-8.

Colella P, Sommella A, Marrocco E, Di Vicino U, Polishchuk E, Garrido


MG, Seeliger MW, Polishchuk R, Auricchio A. 2013. Myosin7a
deficiency results in reduced retinal activity which is improved by
gene therapy, Plos One, 8(8), p. e72027

Cosgrove, D, Zallocchi, M, Binley, K, Lad, Y, Ellis, S, Sylvie W. 2012.


Subretinal Delivery of EIAV-based Lentiviral Vectors in the Shaker1
mouse model for Usher Syndrome Type 1B : Development of
UshStat, Journal of Clinic Experiment Ophthalmol, 3(2)

Cynthia, C, Morton, Walter, E, Nance. 2006. Newborn Hearing Screening-


A Silent Revolution, The New England Journal of Medicine;
Massachusetts, 354(20), pp. 2151-64

De Castro, L,S,S, Marinho, A,N,R, Rodrigues, E,M,R, Marques, G,C,T,


Carvalho, T,A,A, Silva, L,C,S, Dos Santos, S,E,B. 2013. A study of
GJB2 and delGJB6-D13S1830 mutation in Brazillian non-syndromic
deaf children from the Amazon region, Braz J Otorhinolaryngol.
79(1), pp.95-9

Deklerck, A,N, Acke, R,A, Janssens, S, De Leenheer, E,M,R. 2015.


Etiological Approach in Patients With Unidentified Hearing Loss,
International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 79(2015),
pp.216-22.

Delaney, A,M, et al. 2012. Newborn hearing screening, University of


Virginia Medical Center Otorhinolaringology, Journal; Netherland,
pp.332-6.
178

Deshpande, J,D, Phalke, D,B, Bangal, V,B, Peeyuusha, D, Bhatt, S. 2011.


Maternal Risk Factors For Low Birth Weight Neonates: A Hospital
Based Case-Control Study In Rural Area Of Western Maharashtra
India, National Journal of Community Medicine. 2(3), pp. 394-8

Dhingra, P,L. 2010. Disease of ear, nose, and throat, 4th ed. New Delhi:
Elsevier, pp. 3-15.

Diaz, H,O, Duman, D, Foster, J, Sırmacı, A, Gonzalez, M, Mahdieh, N,


Fotouhi, N, Bonyadi, M, Cengiz, F, B, Menendez, I, Ulloa, R, H,
Edwards, Y, J, Zuchner, S, Blanton, S, Tekin, M. 2012. Whole-exome
sequencing efficiently detects rare mutations in autosomal recessive
nonsyndromic hearing loss, PLoS One, 7(11).

Diefendorf, A,O. 2002. Detection and assessment of hearing loss in infants


and children, In: Katz J(Ed), Handbook of Clinical Audiology.
Lippincot, William & Wilkins, Maryland, Philadelphia, United States of
America. Chapter 23, pp. 469-80

Donovalova, G. 2006. Otoacoustic emissions and their use in diagnosing


hearing impairment in children, BratislLekListy, 107 (6-7), p.272

Duan, S,H, Zhu, Y,M, Wang, Y,L, Guo, Y,F. 2015. Common molecular
etiology of nonsyndromic hearing loss in 484 patients of 3 ethnicities
in northwest China. Acta Otolaryngol. (Abstract)

Duman, D, Sirmaci, A, Cengiz, F,B, Ozdag, H, Tekin. 2011. Screening of


38 genes identifies mutations in 62% of families with nonsyndromic
deafness in Turkey, Genet Test Mol Biomarkers. 15, pp.29-33

Duman, D, Tekin, M. 2012. Autosomal recessive nonsyndromic deafness


genes: a review, Front Biosci. 17, pp. 2213-36

Dzhemileva, L,U, Posukh, O,L, Barashkov, N,A, Fedorova, S,A,


Teryutin,F,M, Akhmetova, V,L, Khidiyatova, I,M, Khusainova, R,I,
Lobov, S,L, Khusnutdinova, E,K. 2011. Haplotype diversity and
reconstruction of ancestral haplotype associated with the c.35delG
Mutation in the GJB2 (Cx26) Gene among the Volgo-Ural
Populations of Russia, Acta Naturae, 3(3), pp. 52-63.

Ernest,S, Rosa F,M. 2014. A genomic region encompassing a newly


identified exon provides enhancing activity sufficient for normal
myo7aa expression in zebrafish sensory hair cells, Dev Neurobiol,
10(1002)

Eisen, M, D, Ryugo, D, K. 2008. Hearing molecules: contribution from


genetic deafness; Celullar and Molecular Life Science, Birkhauser,
pp. 565-75
179

Fang, Y, Gu, M, Wang, C, Suo, F, Wang, G, Xia, Y. 2015. GJB2 as well as


SLC26A4 gene mutations are prominent causes for congenital
deafness. Cell Biochem Biophys. (Abstract)

Feldman, A, S, Grimes, C, T. 1997. Audiologi, In: Ballenger, J.J (ed)


Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jiliddua.
Jakarta: Binarupa Aksara, pp. 273-304

Furutate, S, Iwasaki, S, Nishio, S, Moteki, H, Usami, S. 2011. Clinical


Profile of hearing loss in children with congenital cytomegalovirus
(CMV) infection: CMV DNA diagnosis using preserved umbilical cord.
Acta Oto-Laryngologica, 131(9), pp. 976-82

Gacek, R. 2009. Anatomy of the auditory and vestibular system, In: Snow,
J.B, Wackyym, P.A. (eds) Ballenger’s otorhinolaryngology head and
neck surgery. Connecticut: BC Decker Inc., pp. 1-15.

Gandia, M, del Castillo, F,J, Rodriguez-Alvarez, F,J, Garrido, G, Villamar,


M. 2013. A Novel Splice-Site Mutation in the GJB2 Gene Causing
Mild Postlingual Hearing Impairment, PLoS ONE, 8(9), pp. 84-8

Geelhoed E,A, Harrison K, Davey A. 2009. Parental perspective of the


benefits of genetic testing in children with congenital deafness, Public
Health Genomics, Australia, pp. 245-9

Gelfand,S,A. 2010. Conductive mechanism. In: Hearing: an introduction to


psychological and physiological acoustics. 5th ed, London: Informa
Healthcare, pp. 51-71

Genetic Home Reference. 2013. Available from:


http://ghr.nlm.nih.gov/gene/GJB2

Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel. 2002.


Genetics Evaluation Guidelines for the Etiologic, Diagnosis of
Congenital Hearing Loss. ACMG Statement, 4(3), pp.162-71

Glasscock, M,E. 2003. Genetics in otology and neurotology, In: Surgery of


the ear. 5th ed. BC Decker Inc, pp.121-33

Gomella. 2004. Follow Up of High Risk Infants. Clinical Manual


Neonatalogy Management, Procedurs, on Call problems, disease
and drugs, Fifth edition. USA: The McGraw Hill, pp.139-43

Gravina, L, P, Foncuberta, M, E, Prieto, M, E, Garrido, J, Barreiro, C,


Chertkoff, L. 2010. Prevalence of DFNB1 mutations in Argentinean
Children With Non-Syndromic Deafness. Report of A Novel Mutation
In GJB2, International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 74,
pp.250-4.
180

Guerina, N,G. 1984. Neonatal screening and early treatment for congenital
Toxoplasma gondii infection. The new England regional Toxoplasma
working group, NEJM. 330, pp. 1858

Guillemin M, Gillam L. 2006. Attitudes to Genetic testing for deafness: The


importance of informed choice, Journal of genetic counseling, 15(1),
pp.51-8

Gurtler, N. 2008. Hereditary hearing impairment, In: Lalwani, A.K., Ed.


Current Diagnosis &Treatment in Otolaryngology Head and Neck
surgery. Second edition. USA: The McGraw Hill, 697-704

Hall, A, Pembrey, M, Lutman, M, Steer, C, Bitner, G, M. 2012. Prevalence


and audiological features in carriers of GJB2 mutations, c.35delG
and c.101T&gt;C (p.M34T), in a UK population study.BMJ, 2(4)

Hall III, J,W, Antonelli, P,J. 2006. Assesment of peripheral and central
auditory function, In: bailey et al, B.J., Jonas, J.T, newlands, S.D.
(eds) Head &Neck surgery otolaryngology. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, pp. 1927-42.

Hamid, M, Karimipoor, M, Chaleshtori, M,H, akbari, M,T. 2009. A novel


355-357delGAG mutation and frequency of connexin-26 (GJB2)
mutations in Iranian patients, Journal of Genetics. 88(3), pp. 359-62

Han, M,Y, Huang, S,S, Wang, G,J, Yuan, Y,Y, Kang, D,Y, Zhang, X, Dai,
P. 2011. Prenatal genetic counseling and instruction for deaf families
by genetic test, Zhonghua Er Bi Yan Hou Tou Jing Wai Ke Za
Zhi, 46(11), pp. 909-13.

Han, M,Y, Lu, Y,P, Bian, X,M, Wang, L,X, Huang, S,S, Wang, G,J, Wang,
Y, Kang, D,Y, Zhang, X, Dai, P. 2012. Prenatal genetic test and
clinical guidance for 213 hereditary deaf families, 2012. 47(2):127-31

Haraksingh ,R, R, Jahanbani F, Rodriguez-Paris J, Gelernter J, Nadeau


KC, Oghalai JS, Schrijver I, Snyder MP. 2014. Exome sequencing
and genome-wide copy number variant mapping reveal novel
associations with sensorineural hereditary hearing loss. BMC
Genomics, (15), p.1155.

Hearing and Amplification. 2013. Boys town national research hospital.


Available from: www.babyhearing.org

Hiratani, I, Gilbert, D,M. 2010. Autosomal Lyonization of replication


domains during early mammalian development’, In: the cell biology of
stem cells. Florida states, USA: Landes biosciences and springer
science, pp. 1-18
181

HTA Indonesia. 2010. Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir di


Rumah Sakit. 39(9), pp. 538-42

Hu, P, Xie, DH, Xiao, Z,A, Wu,W,J, Ge,S,L, Hu,Z,M, Xia, K. 2004.
Mutation screening in selected exons of myosin 7a gene in prelingual
non-syndromic hearing impairment patients, 39(9), pp.538-42

Huang, S, Huang, B, Yuan, Y, Wang, G, Dai, P. 2014. The study of GJB2


dominant mutaion distribution in Chinese deafness patient and the
analysis of phenotype, Lin Chung Er Bi Yan Hou Tou Jing Wai Ke Za
Zhi, 28(22), pp.1744-7.

Ingber, D,E. 2006. Cellular mechanotransduction: putting all the pieces


together again, FASEB J. 20, pp.811-27

Irawan, B. 2008. Genetika molecular, In: Bambang I. (ed)


Genetikamolekuler. Cetakan 1, Surabaya: Airlangga, pp. 44-81

Jena N. 2012. DNA damage by reactive species: mechanisms, mutation


and repair, J. biosci, 37, pp.503-17.

Ji, Y,B, Han, D,Y, Lan, L, Wang, D,Y, Zong, L, Zhao, FF, Liu Q, Benedict-
Alderfer, C, Zheng, Q,Y, Wang, Q,J. 2011. Molecular
epidemiological analysis of mitochondrial DNA12SrRNA
A1555G, GJB2, and SLC26A4 mutations in sporadic outpatients
with nonsyndromic sensorineural hearing loss in China. Acta
Otolaryngol, 131(2), pp. 124-9.

Jin, K, Ren, D,D, Chi, F,L, Yang, J,M, Huang, Y,B, Li, W. 2013. Changes
in ADF/destrin expression in the development of hair cells following
Atoh1-induced ectopic regeneration, Exp Ther Med, 6(1),177-183

Joint committee in infant hearing. 2007. Year 2007 position statement:


principles and guidelines for early hearing detection and intervention
programs’, Pediatrics, 106(4), pp.789

Jolly, M, Sebire,N, Harris, J, Robinson, S, Regan, L. 2000. The risks


associated with pregnancy in women aged 35 years or older, Oxford
Journals, 15(11), pp. 2433-7

Kamiya, K. 2015. Inner ear cell therapy targeting hereditary deafness by


activation of stem cell homing factors. Front Pharmacol, 6(2), p.2

Kashef, A, Nikzat, N, Bazzazadegan, N, Fattahi, Z, Kermani, F, S,


Taghdiri, M, Azadeh, B, Mojahedi, F, Khoshaeen, A, Habibi, H,
Najmabadi, H, Kahrizi, K. 2015. Finding Mutation Within Non-Coding
Region of GJB2 Reveals Its Importance In Genetic Testing of
Hearing Loss In Iranian Population’, International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, 79, pp.136-8.
182

Kawamoto, K, Ishimoto, S, Minoda, R, Brough, D,E, Raphael, Y. 2003.


Math1 Gene Transfer Generates New Cochlear Hair Cells in Mature
Guinea Pigs in vivo’, The journal of neuroscience, 23(11), pp. 4395-
400

Keivani, A, Haghighat-Nia, A, Fazel-Najafabadi, E, Hosseinzadeh, M,


Salehi, M. 2015. A new compound heterozygous mutation in GJB2
causes nonsyndromic hearing loss in a consanguineous Iranian
family. Int J Pediatr Otorhinolaryngol, 79(4), pp. 553-6.

Kumar, A, Babu, M, Kimberling, W,J, Vankatesh, C,P. 2004. Genetics


analysis of a four generation Indian family with usher syndrome: a
novel insertion mutation in MYO7A, molecular vision, 10(9), pp. 10-6

Lamershow, S, Hosmer, D,W, Klar, J, Lwangs, S,K. 1997. Besar sampel


dalam penelitian kesehatan, Yogyakarta: FK UGM, pp. 1-51

Lattig, M,C, Gelvez, N, Plaza, S,L, Tamayo, G, Uribe. 2008. Deafness on


the island of providencia-colombia: different etiology, different genetic
counseling, Genetic counseling, 19(4), pp.403-10

Laura, T,L, Abraham, K,L. 2012. Cell Biology, Histology and cell
biology.3rd edition. Elsevier. Oxford.

Li, H, Corrales, C,E, Edge, A, Heller, S. 2004. Stem cells as therapy for
hearing loss, Trends in molecular medicine, 10(7), pp.309-15

Li, H, Li, Q, Li, H, Chen, Y. 2012. A literature review of epidemiological


studies on mutation hot spots of Chinese population with non-
syndromic hearing loss, Lin Chung Er Bi Yan Hou Tou Jing Wai Ke
Za Zhi, 26(13), pp. 589-94

Liu, K, C, Cheney, R,E. 2012. Myosins in cell junctions, Bioarchitecture,


2(5), pp. 158-70.

Liu, F, Li, P, Liu, Y, Li, W, Wong, F, Du, R, Wang, L, Li, C, Jiang, F, Tang,
Z, Liu, M. 2013. Novel compound heterozygous mutations in MYO7A
in a Chinese family with usher syndrome type 1, Molecular vision. 19,
695-701

Lopponen, T, Dietz, A, Vaisanen, M, L, Valtonen, H, Kosunen, A,


Hyvarinen, A, Ignatius, J, Lopponen, H. 2012. Homozygous M34T
mutation of the GJB2 gene associates with an autosomal recessive
nonsyndromic sensorineural hearing impairment in Finnish families,
Acta Otolaryngol, 132(8):862-73

Lustig, L,R, Lin, D, Venick, H, Larky, J, Yeagle, J, Chinnici, J, Polite, C,


Mhatre, A,N, Niparko,J,K, Lalwani, A,K 2004). GJB2 gene mutations
183

in cochlear implant recipients prevalence and impact on outcome,


Arch Otolaryngol Head Neck Surg, 130(5), pp.541-6

Locher , de Groot, van Iperen, L, Huisman, M,A, Frijns, J,H, Chuva de


Sousa, L.S,M. 2015. Development of the stria vascularis and
potassium regulation in the human fetal cochlea: Insights into
hereditary sensorineural hearing loss, Dev Neurobiol, 10(1002)

Macaulay, C,E, Ford, R, M. Family influences on the cognitive


development of profoundly deaf children: exploring the effects of
socioeconomic status and siblings, 18(4), pp.545-62

Mainley, G,A, Ray, R,R, Popper, A,N. 2008. Otoacoustic emission: active
processes and otoacostic emission, Springer, pp. 1-37

McPherson, B, Law, M,M,S, Wong, M,S,M. 2010. Hearing screening for


school children: comparison of low-cost, computer-based and
conventional audiometry, Child Care Health Dev, 36(3), pp.323-31

Miller, K, A, Williams, L, H, Rose, E, Kuiper, M, Dahl, H, H, Manji, S, S.


2012. Inner ear morphology is perturbed in two novel mouse models
of recessive deafness, PLoS One, 7(12).

Mills, J,H, Khariwala, S,S, Weber, P,C. 2006. Anatomy and physiology of
hearing, In: bailey, B,J, Johnson, J,T, Newlands, S,D, (eds) Head
and neck surgery – otolaryngology. Texas: Lippincott Williams
&wilkins, pp. 900-1887

Mirna, M,S, Maria Del Refugio, R,V, María, G,H, Héctor, U,C, Jaime, T,L,
Pedro, B,V, Sergio, C,C. 2015. Two novel compound heterozygous
families with a trimutation in the GJB2 gene causing sensorineural
hearing loss, Int J Pediatr Otorhinolaryngol., 79(12), pp. 2295-9.
Mohamed, M,R, Alesutan, I, Föller, M, Sopjani, M, Bress, A, Baur, M,
Salama, R,H, Bakr, M,S, Mohamed, M,A, Blin, N, Lang, F, Pfister, M.
2010. Functional analysis of a novel I71N mutation in the GJB2 gene
among Southern Egyptians causing autosomal recessive hearing
loss. Cell Physiol Biochem, 26(6), pp.959-66.

Moller, A,R. 2006. Anatomy of the auditory nervous system, In: Hearing:
anatomy, physiology, and disorders of the auditory system.
Burlington: Elsevier, pp. 80-4

Morton, C,C, Nance, W,E. 2006. Newborn hearing screening-a silent


revolution, N Engl J Med. 354, pp. 2151-64

Mudd, P,A. 2012. Ototoxicity, department of otolaryngology, university of


Colorado health science center, Available from:
184

http://emedicine.medscape.com/article/857679-
overview#aw2aab6b3. [accesed 30 mei 2012]

Nikolopoulos, T, P. 2015. Neonatal hearing screening: What we have


achieved and what needs to be improved, Int J Pediatr
Otorhinolaryngol, 5876(15), pp. 71-3

Nishio, S,Y, Usami S,I. 2015. Deafness Gene Variations in a 1120


Nonsyndromic Hearing Loss Cohort: Molecular Epidemiology and
Deafness Mutation Spectrum of Patients in Japan, PP.1121-8

Nugroho, D,A, Zulfikar, Muyassaroh. 2012. Kemampuan auditorik anak tuli


congenital derajat sangat berat dengan dan tanpa alat bantú dengar,
Medica hospitalia, 1(2), pp. 80-2

Okhravi, T, Tarvij, E, S, Hushyar, A, A, Nassirian, H, Najibpour, R. 2015.


Evaluation of auditory brain stems evoked response in newborns
with pathologic hyperbilirubinemia in mashhad, iran, Iran Red
Crescent Med J, 17(2)

Oller, D,K, Eilers, R,E, Neal, A,R, Schwartz, HK. 1999. Precursors to
speech in infancy: the prediction of speech and language disorders,
Elsevier. 32, pp. 223-45

Parker, M,A, Cheng, Y, F, Kinouchi, H, Bieber, R, Edge, A,S. 2013. An


independent construct for conditional expression of atonal homolog-
1, Hum Gene Ther Methods, 25(1), pp.1-13

Paulose. 2013. Cochlear implant centre in Jubilee hospital-A dream for the
future, Available from: www.drpaulose.com

Preciado, D, A, Lim, L,H, Cohen, A,P, Madden, C, Myer, D, Ngo, C,


Bradshaw, J,K, Lawson, L, Choo, D,I, Greinwald, J,H, Jr. 2004. A
diagnostic paradigm for childhood idiopathic sensorineural hearing
loss, 131(6), pp.804-9

Prieve, B,A, Fitzgerald, T,S. 2002. Otoacoustic emissions, In: katz, J. (ed)
Handbook of clinical audiology. 5thed. New York: Lippincott Williams
&wilkins, pp. 440-63

Qing, J, Zhou, Y, Lai,R, Hu, P, Ding, Y, Wu, W, Xiao, Z, Ho, P,T, Liu,Y,
Liu, J, Du, L, Yan, D, Goldstein, B,J, Liu, X, Xie, D. 2015. Prevalence
of mutations in GJB2, SLC26A4, and mtDNA in children with severe
or profound sensorineural hearing loss in southwestern China. Genet
Test Mol Biomarkers. 19(1), pp.52-8

Qu, L,H, Jin, X, Xu, H,W, Li, ,SY, Yin, Z,Q. 2015. Detecting novel genetic
mutations in Chinese Usher syndrome families using next-generation
sequencing technology, Mol Genet Genomics, 290(1), pp.353-63
185

Rappaport, J,M, Provencal, C. 2002. Neuro-otology for audiologist, In: katz


J.(ed) Handbook of clinical audiology. 5thed. New York: Lippincott
Williams &wilkins, pp.11-6

Rehm, H,L, Williamson, R,E, Kenna, M,A, Corey, D,P, Korf B,R. 2008.
Understanding the genetics of deafness: a guide for patients and
families, Harvard Medical School Center for Hereditary Deafness, pp.
1-15

Sang, Q, Yan, X, Wang, H, Feng, R, Fei, X, Ma, D, Xing, Q, Li, Q, Zhao, X,


Jin L, He L, Li H, Wang L. 2013. Identification and functional study of
a new missense mutation in the motor head domain of myosin VIIA in
a family with autosomal do minant hearing impairment (DFNA11),
Plos One, 8(1), p.e55178

Shahzad, M, Sivakumaran, T,A, Qaiser, T,A, Schuttz, J,M, Hussain, Z,


Flanagan, M, Bhinder, M, A, Kissell, D, Greinwald, J,H, Khan, S,N,
Friedman, T,B, Zhang, K, Riazuddin, S, Riazuddin,S, Ahmed, Z,M.
2013. Genetic analysis through Otoseq of Pakistani families
segregating prelingual hearing loss, OtolaryngolHead Neck Surg.
149(3), pp. 478-87

Shaw, P. 2004. Visual reinforcement audiometry, In Mccormick, b. (ed).


Paediatric audiology 0-5 years, 3rd edition. London: Whurr

Sheridan, C. 2011. Gene therapy finds its niche, Nature Biotechnology.


29(2), pp. 121-8

Shi, M, Yan ,Y, Zhao, M, Gao, J, Li, W, He, Y, Ruan, B, Dai, P. 2012.
Genetic testing and mutation analysis for the cochlear implantation
children and their normal auditory phenotype parents, 26 (19), pp.
874-8

Shin, J,W, Lee, S,C, Lee, H,K, Park, H,J. 2012. Genetic Screening
of GJB2 and SLC26A4 in Korean Cochlear Implantees: Experience
of Soree Ear Clinic, Clin Exp Otorhinolaryngol, Suppl 1(5), pp.10-3.

Silva, L,S, Netto, R,C, Sanches, S,G, Carvallo, R,M. 2010. Auditory
measurements in parents of individuals with autosomal recessive
hearing loss, Pro Fono, 22(4), pp.403-8.

Sivakumaran, T,A, Husami, A, Kissel, D, Zhang, W, Keddache, M, Black,


A,P, Tinkle, B,T, Greinwald, J,H, Jr, Zhang, K. 2013. Performance
evaluation of the next generation sequencing approach for molecular
diagnosis of hereditary hearing loss, OtolaryngolHead NeckSurg.
146(6), pp. 1007-16

Soetjipto, D. 2007. Tuli Kongenital. Komite nasional penanggulangan


gangguan pendengaran dan ketulian, Available from:
186

http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=14.
[accesed 30 mei 2012]

Sokolov, M, Brownstein, Z, Frydman, M, Avraham, K,B. 2014. Apparent


phenotypic anticipation in autosomal dominant connexin 26
deafness. J Basic Clin Physiol Pharmacol, 25(3), pp.289-92

Steer, C,D, Bolton, P, Golding, J. 2015. Preconception and prenatal


environmental factors associated with communication impairments in
9 year old children using an exposome-wide approach, 10(3), pp.23-
5

Street, V,A, Li, J, Robbins, C,A, Kallman, J,C. 2011. A DNA variant within
the MYO7A promoter regulates YY1 transcription factor binding and
gene expression serving as a potential dominant DFNA11 auditory
genetic modifier, The journal of biological chemistry. 286(17), pp.
15278-86

Steele, D,J, Susman, J, McCurdy, F,A. 2003. Student guide to primary


care: making the most of your early clinical experience, Elsevier
health sciences, p.370

Steel, K,P. 1999. Connexin 26, Science. 285, pp.1363-4

Sujata, D,E, Archbold, S, Clarke, R. 2007. Investigation and management


of the deaf child, In: brown, S.H. (ed) Otorhinolaringology head and
neck surgery. 7th ed. Hodder mold, pp. 845-57

Suwento, R, Zizlavsky, S, Hendarmin, H. 2007. Gangguan pendengaran


pada bayi dan anak’, In: soepardi, E.A. et al. (eds) Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. 6th ed. Jakarta:
balai penerbit FK UI, pp. 31-42

Tekin, Mustafa, Arnos, Kathleen S, Pandya A. 2001. Advances in


hereditary deafness, The lancet, pp. 1082-90

The auditory system. 2011. In: neuroanatomy of the auditory and visual
systems, available from:
http://courses.stu.qmul.ac.uk/smd/kb/microanatomy/brain/cal3/baby1
cal3.htm

Toriello, H,V, Meck, J,M. 2008. Statement on guidance for genetic


counseling in advanced paternal age, Genet Med, 10(6), pp. 457-60

Trotta, L, Iacona, E, Primignani, P, Castorina, P, Radaelli, C, Del Bo, L,


Coviello, D, Ambrosetti, U. 2011. GJB2 and MTRNR1 contributions
in children with hearing impairment from Northern Cameroon, Int J
Audiol, 50(2), pp.133-8
187

Van, D, P, Verkerk, P, H, Van, S, H, L. 2015. Hearing Loss by Week of


Gestation and Birth Weight in Very Preterm Neonates, J Pediatr,
3476(14) ,pp. 01210-4

Victor, F, Rosa Andrea, P, Silvia, C,T. 2012. Genetics of congenital


deafness next document med clin (Barc), Elsevier. 139, pp. 446-51.

Wareing, M,J, Lalwani, A,K, Jackler, R,K. 2006. Development of the ear,
In: Bailey, B,J, Jonas, J,T, Newlands, S,D, (eds) Head & neck
surgery otolaryngology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
pp. 1869-80

Wikipedia. 2013. Organ of Corti, Available


from:http://en.wikipedia.org/wiki/Organ_of_Corti. [accesed 20 Juli
2014]

Wikipedia. 2015.Restriction fragment length polymorphism, Available from:


http://en.wikipedia.org/wiki/Restriction_fragment_length_polymorphis
m. [accesed 15 Februari 2015]

Wonkam, A. 2015. Letter to the Editor regarding GJB2, GJB6 or GJA1


genes should not be investigated in routine in non syndromic
deafness in people of sub-Saharan African descent. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol, 79(4), pp. 632-3.

Wright, A. 1997. Anatomy and ultrastructure of the human ear, In: Kerr,
A.G. (ed) Scott-Brown’s otolaryngology. Vol.1, London: Butterworth-
Heinemann. pp. 1/1/1-10

Wright T, Valentine P. 2008. The anatomy and embryology of the external


and middle ear, In: Gleeson, M (Ed) Scott-Brown’s
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery 7th Edition Volume 3.
London. Edward Arnold (Publisher) Ltd, pp. 3108

Wu, B,L, Lindeman, N, Lip, V, Adams, A, Amato, R,S, Cox, G. 2002.


Effectiveness of sequencing connexin 26 (GJB2) in cases of familial
of sporadic childhood deafness referred for molecular diagnostic
testing, Genetics In Medicine. 4(4), pp. 279-88

Wu, C,C, Lin, Y,H, Lu, Y,C, Chen, P,J, Yang, W,S, Hsu ,C,J, Chen, P,L.
2013. Application of massively parallel sequencing to genetic
diagnosis in multiplex families with idiopathic sensorineural hearing
impairment, Plos One, 8(3),p. e57369

Xiao, T, Li, Y, Xiao, L, Jiang, L, Hu, Q. 2015. Association between mode of


delivery and failure of neonatal acoustic emission test: A
retrospective analysis, Int J Pediatr Otorhinolaryngol, 79(4), pp. 516-
9
188

Yan, D, Kamiya, K, Ouyang, X,M, Liu, X,Z. 2011. Analysis of subcellular


localization of Myo7a, Pcdh15 and Sans in Ush1c knockout mice,
International Journal of Experimental Pathology. 92, pp. 66–71

Yao, J, Lu, Y, Wei, Q, Cao, X, Xing, G. 2012. A systematic review and


meta-analysis of 235delC mutation of GJB2 gene, J Transl Med, 10,
p.136.

Yuan, Y, Yu, F, Wang, G, Huang, S, Yu, R, Zhang, X, Huang, D, Han, D,


Dai, P. 2010. Prevalence of The GJB2 IVS1+1G >A Mutation In
Chinese Hearing Loss Patients With Monoallelic Pathogenic Mutation
In The Coding Region of GJB2, Journal of Translational Medicine,
8(127), pp.1-7.

Zeinali, S, Davoudi-Dehaghani, E, Azadmehr, S, DabbaghBagheri, S,


Bagherian, H, Jamali, M, Zafarghandimotlagh, F, Masoodifard, M,
BandehiSarhaddi, A, Rejali, L, Sahebi, S. 2014. GJB2 c.-23+1G>A
mutation is second most common mutation among Iranian individuals
with autosomal recessive hearing loss, 23(2), pp.234-8

Zhang, J, Wang, P, Han, B, Ding, Y, Pan, L, Zou, J, Liu, H, Pang, X, Liu,


E, Wang, H, Liu, H, Zhang, X, Cheng, X, Feng, D, Li, Q, Wang, D,
Zong, L, Yi, Y, Tian, N, Mu, F, Tian, G, Chen, Y, Liu, G, Zhang, F, Yi,
X, Yang, L, Wang, Q. 2013. Newborn hearing concurrent genetic
screening for hearing impairment-a clinical practice in 58,397
neonates in Tianjin, China., Int J Pediatr Otorhinolaryngol, 77(12),
pp.1929-35.

Zhang, Z, Ding, W, Liu, X, Xu, B, Du, W, Nan, S, Guo, Y. 2012. Auditory


screening concurrent deafness predisposing genes screening in
10,043 neonates in Gansu province, China. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol, 76(7), pp.984-8.

Zhu, Y, Chen, J, Liang, C, Zong, L, Chen, J, Jones, R,O, Zhao, H,B. 2014.
Connexin26 (GJB2) deficiency reduces active cochlear amplification
leading to late-onset hearing loss, Neuroscience, 284, pp.719-29.
189

Lampiran 1. Etika Penelitian


190

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan PCR GJB2

Anda mungkin juga menyukai