Anda di halaman 1dari 91

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI

DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU /


RSUP H. ADAM MALIK MEDAN




TESIS




Oleh


PATAR L. H. LUMBANRAJA









FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
MEDAN
2007
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI
DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN




TESIS


Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Untuk Mencapai Keahlian Dalam
Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher Pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara


Oleh


PATAR L. H. LUMBANRAJA







Sebuah Karya Cipta
Dilarang Mengutip Bagian Dari Tesis Ini Tanpa Izin Penulis



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
MEDAN
DESEMBER 2007

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
HALAMAN PENGESAHAN


Medan, Desember 2007



Tesis dengan judul


DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI
DI DEPARTEMEN THT-KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN


Diketahui oleh


Ketua Departemen Ketua Program Studi




Prof. Dr. Abdul Rachman, SpTHT-KL(K) Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL(K)



Telah disetujui dan diterima baik oleh Pembimbing:

Ketua




Dr.Mangain Hasibuan, SpTHT-KL


Anggota I Anggota II





Dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL Dr. Ida Sjailandrawati H., SpTHT-KL




Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, saya panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karuniaNya, saya dapat menyelesaikan penelitian
dan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh spesialisasi dalam bidang Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher pada Departemen THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang
(cross sectional) dengan judul DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA
RINITIS ALERGI DI DEPARTEMEN THT- KL FK USU / RSUP H. ADAM
MALIK MEDAN.

Saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun
bahasanya, namun demikian saya berharap tulisan ini dapat menambah perbendaharaan
bacaan dalam bidang alergi imunologi.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan ini saya ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan sebesar besarnya kepada :

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis I di Departemen THT KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan.

Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik
Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar dan bekerja di
lingkungan RSUP H. Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Abdul Rachman Saragih, SpTHT-KL (K) sebagai Ketua
Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak
memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasihat serta petunjuk yang sangat
berguna selama saya mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H.
Adam Malik Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. Askaroellah Aboet, SpTHT-KL (K), selaku Ketua
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK USU / RSUP
H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberikan dorongan semangat kepada saya
sehingga saya dapat menyelesaikan program pendidikan ini.
Yang Terhormat Dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL sebagai Ketua Pembimbing
Tesis, Dr. Rizalina A. Asnir, SpTHT-KL dan Dr. Ida Sjailandrawati H., SpTHT-KL
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
sebagai anggota pembimbing tesis yang telah begitu banyak meluangkan waktu,
memberikan petunjuk, serta bimbingan dan dorongan sehingga saya dapat menyelesaikan
tesis ini. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi tingginya atas
waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada saya selama penyelesaian penulisan
tesis ini.

Yang terhormat Prof. Dr. Ramsi Lutan, SpTHT-KL (K) sebagi Ketua Program
Studi THT-KL FK USU / RSUP. H Adam Malik Medan pada saat saya memulai
pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP. H Adam Malik Medan, atas
bimbingan dan dorongan semangat yang diberikan dalam mengikuti pendidikan sehingga
menimbulkan rasa percaya diri terutama dalam bidang keahlian.

Yang terhormat guru saya dijajaran Departemen THT KL FK USU / RSUP H.
Adam Malik Medan, Dr. Asroel Aboet, SpTHT-KL (K), Dr. Yuritna Haryono, SpTHT-
KL (K), Dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-KL (K), Dr. T. Sofia Hanum, SpTHT-KL (K),
Dr. Linda Adenin, SpTHT-KL, Dr. Hafni, SpTHT-KL (K), DR. Dr Delfitri Munir,
SpTHT-KL (K), Dr. Adlin Adnan, SpTHT-KL, Dr. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, Dr. Siti
Nursiah, SpTHT-KL, Dr. Andrina Y.M. Rambe, SpTHT-KL, Dr. Harry A. Asroel,
SpTHT-KL, Dr. Farhat, SpTHT-KL, Dr. Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL, yang telah
banyak memberikan bimbingan dalam ilmu pengetahuan di bidang THT-KL kepada saya,
baik secara teori maupun keterampilan, yang kiranya sangat bermanfaat bagi kami di
kemudian hari.

Yang terhormat Bapak Ketua Departemen / Staf Radiologi FK USU / RSUP H.
Adam Malik Medan, Kepala Bagian / Staf Radiologi RS. Elizabeth Medan, Ketua
Departemen / Staf Anestesi dan Reanimasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan,
Ketua Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan,
yang telah banyak memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani masa asisten di
bagian tersebut, saya mengucapkan terima kasih.

Yang terhormat Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, Direktur RSU Lubuk Pakam,
Direktur RS Tembakau Deli Medan dan Direktur RS Tentara Putri Hijau Medan beserta
staf yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase
asisten di keempat rumah sakit tersebut.

Yang terhormat Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M. Kes selaku konsultan statistik yang
telah banyak membantu saya di bidang statistik dan pengolahan data penelitian ini.

Yang mulia Ayahanda Drs. L. Lumbanraja dan Ibunda Alm. L. br. Pakpahan
segala upaya dan daya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing saya dengan
penuh kasih sayang sejak kecil hingga dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada
orang tua, agama dan negara. Terima kasih juga saya tujukan kepada keluarga Kakak,
Abang dan Adik yang telah banyak memberikan dorongan semangat, baik material dan
moril kepada saya selama masa pendidikan dari awal hingga akhir pendidikan ini.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Yang tercinta teman teman sejawat peserta pendidikan keahlian ilmu kesehatan
THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah bersama sama baik dalam
suka dan duka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat.

Yang terhormat paramedis dan pegawai Departemen THT-KL FK USU / RSUP
H. Adam Malik Medan yang telah banyak membantu dan bekerja sama selama saya
menjalani pendidikan ini.

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan, saya ucapkan terima kasih.

Kepada seluruh pasien yang telah bersedia membantu saya selama menjalani
pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terutama
pasien yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini, saya ucapkan banyak terima kasih.

Akhirnya izinkan saya mohon maaf yang sebesar besarnya atas kesalahan dan
kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini. Semoga segala bantuan, dorongan,
dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapatkan berkat
berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang.





Medan, Desember 2007

Patar L.H. Lumbanraja






















Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
ABSTRAK

DISTRIBUSI ALERGEN PADA PENDERITA RINITIS ALERGI
DI DEPARTEMEN THT- KL FK USU / RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
Patar L. H. Lumbanraja, Mangain Hasibuan, Rizalina A. Asnir, Ida Sjailandrawati H.
Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan

Tujuan: Untuk mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen
THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.
Metode: Desain penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross
sectional). Sampel sebanyak 62 penderita rinitis alergi. Pada sampel dilakukan tes kulit
cukit (skin prick test) menggunakan satu set alergen inhalan yang terdiri dari empat belas
macam alergen, termasuk di dalamnya kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif
(buffer). Hasil positif pada tes kulit cukit adalah setiap diameter bintul pada +3 dan +4
yang terjadi pada setiap alergen. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan
bantuan program Window SPSS (Statistical Package for Social Science)
Hasil: Distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok
umur 21 30 tahun sebanyak 22 penderita (35,5%), distribusi jenis kelamin pada
penderita rinitis alergi paling banyak adalah perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%),
dengan keluhan paling banyak adalah bersin-bersin pada 59 penderita (95,2%), serta
alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27 penderita (43,5%).
Distribusi alergen paling banyak pada laki-laki adalah kecoa sebanyak 5 penderita
(8,06%), sedangkan pada perempuan adalah tungau debu rumah sebanyak 24 penderita
(38,67%), dan alergen paling banyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa
sebanyak 14 penderita (22,58%).
Kesimpulan: Distribusi alergen paling banyak ialah tungau debu rumah yang dijumpai
pada 27 penderita (43,5%)
Kata kunci: rinitis alergi, tes kulit cukit, alergen.



Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR GAMBAR, TABEL, SKEMA, DAN DIAGRAM x
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan Penelitian 3
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Anatomi Hidung 4
2.1.1. Hidung luar 4
2.1.2. Rongga hidung 5
2.2. Perdarahan Hidung 6
2.3. Persarafan Hidung 7
2.4. Mukosa Hidung 8
2.5. Fisiologi Hidung 9
2.5.1 Jalan nafas 10
2.5.2 Pengatur kondisi udara (air conditioner) 10
2.5.3 Penyaring dan Pelindung 10
2.5.4 Indra penghidu 11
2.5.5 Resonasi suara 11
2.5.6 Proses bicara 11
2.5.7 Refeks nasal 11
2.6. Definisi 11
2.6.1. Reaksi hipersensitivitas 12
2.6.2. Reaktivitas silang antigen 13
2.6.3. Pengukuran reaktivitas silang 13
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.6.4. Rekativitas alergen inhalan dan makanan 14
2.6.5. Klasifikasi rinitis alergi 15
2.7. Kekerapan 15
2.7.1. Penyebab penyakit alergi THT 16
2.7.2. Gejala 19
2.8. Patofisiologi 20
2.8.1. Fase sensitasi 20
2.8.2. Patogenesis rinitis alergi 24
2.8.3. Fase elisitasi 23
2.8.1 Tahap aktifasi 23
2.8.2 Tahap efektor 28
2.8.3 Peran mediator-mediator implamasi dalam
manifestasi gejala klinis alergi 25
2.8.4 Peran sitokin pada rinits alergi 27
2.9 Antigen 30
2.10 Diagnosis 31
2.10.1 Anamnesis 31
2.10.2 Riwayat penyakit 32
2.10.3 Pemeriksaan fisik 33
2.10.4 Pemeriksaan penunjang 34
2.10.4.1 Pemeriksaan in vitro 34
2.10.4.2 Pemeriksaan IgE total serum 34
2.10.4.3 Pemeriksaan IgE spesifiks serum ( dengan
metode RAST / Radioallresorbent test) 35
2.10.5 Pemeriksaan lain 35
2.10.6 Tes kulit 36
2.11 Diagnosis Banding 38
2.12 Terapi Rinitis Alergi 38
2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi 41
2.12.1.1 Antihistamin 42
2.12.1.2 Dekongestan 43
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.12.1.3 Kortikosteroid 44
2.12.1.4 Antagonis leukkotrien 45
2.12.2 Imunoterapi spesifik 47
2.12.3 Pembedahan 48
2.13 Komplikasi 49
2.14 Prognosis 50

BAB 3 METODE PENELITIAN 51
3.1. Rancangan Penelitian 51
3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian 51
3.3. Populasi Dan Sampel 51
3.4. Kerangka Konsepsional 53
3.5. Batasan Operasional 53
3.6. Bahan Dan Alat Yang Dipakai 55
3.6.1. Bahan yang dipakai 55
3.6.2. Alat yang dipakai 55
3.7 Persiapan 55
3.8 Cara Kerja 55
3.9 Kerangka Kerja 56
3.10. Analisa Data 56
BAB 4 HASIL PENELITIAN 57
BAB 5 PEMBAHASAN 62
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 66
6.1 Kesimpulan 66
6.2 Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 67
LAMPIRAN
1. Persetujuan Untuk Calon Peserta Penelitian (Informed Consent) 73
2. Pernyataan Persetujuan 75
3. Status Penelitian 76
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
4. Skin Prick Test (Tes Alergi) 79
5. Daftar Data Sampel Penelitian Rinitis Alergi
di Departemen THT-KL FK USU RSUP H. Adam Malik Medan 80
6. Surat Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian 82



























Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
DAFTAR GAMBAR, TABEL, SKEMA, DAN DIAGRAM


Halaman
GAMBAR
Gambar 2.1. Perdarahan Hidung 7
Gambar 2.2. Persarafan Hidung 8
Gambar 2.3. Patofisiologi Rinitis Alergi 22

TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Rinitis Alergi
tipe Sneezers and Runners dengan Blockers 33
Tabel 2.2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi 41
Tabel 4.1. Distribusi Kelompok Umur Penderita Rinitis Alergi 57
Tabel 4.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Rinitis Alergi 57
Tabel 4.3. Distribusi Keluhan Penderita Rinitis Alergi 58
Tabel 4.4. Distribusi Alergen Berdasarkan
Tes Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi 58
Tabel 4.5.1. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi
Berdasarkan Jenis Kelamin 60
Tabel 4.5.2. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi
Berdasarkan Kelompok Umur 61


SKEMA
Skema 2.1. Patogenesis Rinitis Alergi 21
Skema 2.2. Pengobatan Rinitis Alergi (ARIA, 2000) 40
Skema 2.3. Sintesa Leukotrien 46

DIAGRAM
Diagram 1. Distribusi Alergen Berdasarkan Uji Kulit Cukit
Penderita Rinitis Alergi 59

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang paling sering ditemukan.
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar antara
10-20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir (Ciprandi et al, 2005).
Rinitis alergi adalah suatu penyakit yang sering ditemukan. Merupakan suatu
penyakit atopik yang prevalensinya berkisar antara 10% di Jepang, 20% di Thailand,
10-15% di Eropa. 10-20% di Amerika Utara dan di Korea, 25% di New Zealand
(Zainuddin, 1999).
Rinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh
pada kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada
penderitanya (Suprihati, 2005). Penyakit ini mengganggu kehidupan sehari-hari,
selain penyembuhannya berbiaya relatif mahal juga bersifat rekuren, kronis,
progresif, reversibel pada tahap awalnya, serta ireversibel pada tahap lanjut. Lebih
lanjut lagi, penyakit ini tidak saja akan merugikan penderita secara pribadi, namun
juga akan merugikan individu sebagai bagian sumber daya manusia (SDM),
sedangkan peningkatan kualitas SDM tersebut menjadi fokus perhatian saat ini karena
sangat dibutuhkan dalam mempercepat laju pembangunan nasional (Prijanto, 1996).
Penyakit rinitis alergi banyak dijumpai pada praktek sehari-hari dokter THT,
namun insidensi dan prevalensinya di Indonesia belum diketahui secara pasti,
sedangkan di negara-negara maju belum ditetapkan secara tepat (Prijanto, 1996).
Baratawidjaja et al (1990) pada penelitian di suatu daerah di Jakarta mendapatkan
prevalensi sebesar 23,47%, sedangkan Madiadipoera et al (1991) di Bandung
memperoleh insidensi sebesar 1,5%, seperti yang dikutip Rusmono (1993).
Biasanya rinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda).
Pada usia remaja/ dewasa, prevalensi rinitis alergi adalah sama banyak antara laki-
laki dan perempuan. Keluarga atopi mempunyai prevalensi lebih besar daripada
nonatopi (Karjadi, 2001).
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 12.946 orang pasien berumur 5-
62 tahun yang datang ke poliklinik sub bagian Alergi Imunologi bagian THT
FKUI/RSCM selama tahun 1992, ditemui penderita rinitis alergi sejumlah 147 orang,
atau berkisar 1,14%. Gejala yang paling banyak adalah bersin-bersin/gatal hidung
(89,80%), rinore (87,07%) dan obstruksi hidung (76,19%). Kelompok umur 1-10
tahun berjumlah paling sedikit (3,40%) kemudian meningkat dengan bertambahnya
umur, dan selanjutnya menurun setelah berumur 40 tahun, dengan frekwensi
terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun (37,41%). Dari tes kulit cukit, alergen-
alergen yang memberikan hasil positif bermakna berturut- turut terbanyak adalah
tungau debu rumah (91,16%), debu rumah (73,47%), serpih epitel/bulu binatang
(63,95%) (Rusmono, 1993).
Penelitian Zainuddin di Palembang menemukan hasil tes kulit cukit yang
diperoleh dari 23 penderita rinitis alergi adalah sebagai berikut: penderita terbanyak
reaksi positif terdapat alergen D. Pteronysinus pada 20 penderita (86,95%) diikuti
terhadap House dust dan lobster pada masing masing 19 penderita (82,60%),
terhadap kepiting pada 18 penderita (78,26%), terhadap bulu kucing dan udang
masing-masing pada 16 penderita (69,56%), terhadap cokelat pada 13 penderita
(56,52%), terhadap bulu kelinci dan ikan masing- masing pada 12 penderita
(52,17%). Yang paling sedikit adalah terhadap alergen Aspergilus pada 1 penderita
(4,35%). Seorang penderita dapat bereaksi positif lebih dari satu alergen (Zainuddin,
1999).
Penyakit alergi THT terutama rinitis alergi umumnya diterapi dengan cara
menghindari alergen penyebab untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui
alergen penyebab tersebut, imunoterapi, mencegah degranulasi sel mastosit,
menetralisir mediator amine vasoaktif (terutama mediator histamin) dan
menghilangkan gejala-gejala pada organ target (pilek dan buntu hidung) (Prijanto,
1993), tetapi cara yang paling efektif untuk mengontrol penyakit-penyakit alergi
adalah dengan menghindari paparan alergen penyebabnya (Danandjaja, 2001).
Sehubungan dengan pernyataan dan alasan yang dikemukakan diatas yang
mendorong penulis untuk melakukan penelitian untuk mengetahui distribusi alergen
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
pada penderita rinitis alergi di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam
Malik Medan
1.2. Permasalahan Penelitian
Bagaimana distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen
THT- KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen
THT- KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Tujuan Khusus :
a. Mengetahui distribusi kelompok umur pada penderita rinitis alergi.
b. Mengetahui distribusi jenis kelamin pada penderita rinitis alergi.
c. Mengetahui distribusi keluhan yang ditemukan pada penderita rinitis alergi.
d. Mengetahui distribusi alergen yang dijumpai berdasarkan tes kulit cukit.
e. Untuk mengetahui distribusi jenis alergen pada kelompok umur dan jenis
kelamin.

1.4. Manfaat Penelitian
a. Mendapatkan angka distribusi alergen pada penderita rinitis alergi di Departemen
THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai pembanding dan
referensi untuk penelitian lebih lanjut.







Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1.Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
perdarahan serta persarafannya (Ballenger, 1994; Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

2.1.1 Hidung luar
Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak ke atas dan ke belakang dari
apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke pangkal hidung dan
menyatu dengan dahi. Kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu di posterior bagian
tengah bibir dan terletak di sebelah distal dari kartilago septum. Titik pertemuan
kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas
membentuk cekungan dangkal dengan memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum.
Sebelah-menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril (lubang hidung) kanan
dan kiri, di sebelah latero-superior dibatasi oleh ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar
hidung.
Rangka hidung bagian luar terdiri dari dua os nasal, prosesus frontal os maksila,
kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago alar mayor) dan
tepi ventral (anterior) kartilago septum nasi. Kerangka utama adalah keempat tulang yang
disebut diatas. Tepi medial kartilago lateralis superior menyatu dengan kartilago septum
nasi dan tepi kranial melekat erat dengan permukaan bawah os nasal serta prosesus
frontal os maksila.
Tepi bawah (kaudal) kartilago lateralis superior terletak di bawah tepi atas
(kranial) kartilago lateralis inferior. Bila kartilago lateralis inferior diangkat dengan
retraktor barulah akan terlihat batas bawah kartilago lateralis superior ini atau yang
disebut limen nasi. Ada kalanya kedua tepi kartilago lateralis superior dan inferior tidak
melekat dengan erat di bagian medial, sehingga menyebabkan kerangka hidung luar
kurang kuat. Di sebelah lateral, antara kartilago lateralis superior dan inferior terdapat
beberapa kartilago sesamoid. Kartilago lateralis inferior berbentuk ladam. Krus lateralnya
lebar dan kuat, merupakan kerangka ala nasi. Bagian medialnya lemah, sebagian meluas
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
sepanjang tepi kaudal kartilago septum nasi yang bebas dan sebagian lagi ada di dalam
kolumela membranosa.
Pada tulang tengkorak lubang hidung yang berbentuk segitiga disebut apertura
piriformis. Tepi latero-superior dibentuk oleh kedua os nasal dan prosesus frontal os
maksila. Dasarnya dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Di garis tengah ada
penonjolan (prominentia) yang disebut spina nasalis anterior.
Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator yang terdiri
dari m.dilator nares (anterior dan posterior), m.proserus, kaput angulare m.kuadratus
labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari m.nasalis dan m.depresor spetil
(Ballenger, 1994).

2.1.2 Rongga hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang
belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :
1. Lamina perpendikularis os etmoid.
2. Vomer.
3. Krista nasalis os maksila
4. Krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan adalah :
1. Kartilago septum (lamina kuadrangularis)
2. Kolumela
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian
tulang, sedangkan di luarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu : meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis.
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila
dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis ,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

2.2 Perdarahan Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (little
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup,
sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.



Gambar 1. Perdarahan Hidung
2.3 Persarafan Hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari
n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.
Ganglion sfenopalatinum teretak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.




Gambar 2. Persarafan Hidung
2.4 Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang
kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaanya. Palut lendir ini dihasilkan
oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan.
Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh
darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler
dan sub-epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka rongga sinusoid vena
yang besar dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya
ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa
hidung menyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang
dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf
otonom.
Pada bagian bawah, mukosa melekat erat pada periostium atau perikodrium
(Ballenger, 1994; Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).

2.5 Fisiologi Hidung
Fungsi hidung ialah untuk :
Jalan nafas
Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Penyaring udara
Indra penghidu
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Resonansi suara
Turut membantu proses suara
Refleks nasal (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007)
2.5.1 Jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002).
Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang
sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi, di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain kembali ke belakang membentuk
pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002;
Dhingra, 2007).

2.5.2 Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan cara mengatur
kelembaban udara dan mengatur suhu.
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous
blanket). Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebaliknya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di
bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37
o
Celcius (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.3 Penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
c. Palut lendir (mukous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri yang disebut lysozyme
(Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).
2.5.4 Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat (Soetjipto, Mangunkusumo, 2002; Dhingra, 2007).

2.5.5 Resonansi suara
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

2.5.6 Proses bicara
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata-kata dibentuk oleh lidah,
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut
tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

2.5.7 Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.

2.6 Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi
setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE dengan
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
gejala rinorea, obstruksi hidung, hidung gatal, bersin-bersin yang dapat sembuh spontan
atau dengan pengobatan (Bosquet et al, 2001).
Dikatakan juga bahwa rinitis alergi merupakan suatu penyakit hipersensitivitas
tipe I (Gell & Coomb) yang diperantarai IgE dengan mukosa hidung sebagai organ
sasaran utama (Sumarman, 2001).

2.6.1 Reaksi hipersensitivitas
Gell & Coomb membuat klasifikasi perbedaan tipe reaksi imun ke dalam 4
klasifikasi. Yaitu :
1. Tipe 1 ( Reaksi hipersensitivitas tipe cepat)
Pada pemaparan suatu antigen, IgE akan terikat dengan sel mast sehingga terjadi
hubungan silang, degranulasi dan pelepasan mediator.
Gejala mulai timbul dalam hitungan detik hingga beberapa menit setelah terpapar
oleh antigen tetapi selalu proses reaksinya berlangsung sampai beberapa jam.
Respon fisiologis permulaan terhadap histamin dan mediator-mediator lain
termasuk vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, stimulasi kelenjar
mukus dan kontraksi otot polos.
Respon fase lambat di stimulasi dengan pelepasan sintesis mediator baru seperti
leukotrien termasuk infiltrasi sel radang dan oedem kronik jaringan.
Secara klinis, reaksi tipe 1 akan menghasilkan rinitis angiooedem, diare, asma, dan
dapat berlanjut ke anafilaksis.
Pertama kali tersensitisasi pada banyak pasien, reaksi alergi ini akan menetap untuk
beberapa tahun dan sering sampai seumur hidup.
Walaupun reaksi tipe 1 terhadap makanan tidak sering terjadi, biasanya sangat
mudah terinfeksi karena akan menghasilkan gejala yang segera.
Reaksi ini biasanya berat dan dirawat seumur hidup dan dapat juga melibatkan satu
organ atau lebih.
Reaksi tipe 1 terhadap antigen makanan diduga memiliki prevalensi hampir 5%
dari populasi umum.
Reaksi tipe 1 yang ditimbulkan oleh makanan dapat diidentifiksai secara mudah
dengan mengukur IgE darah secara invitro.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2. Tipe 2 (Reaksi sitotoksik)
Terjadi apabila antibodi terikat dengan antigen sendiri atau antigen asing.
Kemudian menghasilkan fagositosis aktivitas sel killer atau complement-lysis
mediated.
Contoh klinis : anemia hemolitik, sindrom good pasture, reaksi transfusi.
3. Tipe 3 ( Reaksi kompleks imun)
Melibatkan kompleks antigen-antibodi dengan kerusakan jaringan yang terlibat.
Molekul antibodi terutama IgG terikat pada antigen sirkulasi menghasilkan
kompleks makromolekul yang dapat berpresipitasi dalam kapiler, mengikat dan
mengaktivasi komplemen untuk menyebabkan peradangan jaringan.
4. Tipe 4 ( Reaksi hipersensitivitas tipe lambat)
Respon antara 24-28 jam sesudah kontak.
Diduga dalam perkembangan kondisi dari alergi kronik.
Reseptor sel T bereaksi dengan antigen spesifik yang sifatnya serupa dengan sel B.
Kemudian IgE menghasilkan sel B pada tipe 1, dimana sensitisasi sebelumnya
diperlukan untuk mencetuskan kondisi utama dari permukaan sel T.
Sebagai dasar dari tes tuberkulin (Trevino, Gordon, Veling, 2002).

2.6.2 Reaktivitas silang antigen
Alergen-alergen yang bereaksi silang merupakan substansi antigenik yang
berbeda yang dapat bekerja seakan-akan substansi yang sama dengan substansi lain yang
dapat membangkitkan respon alergi. Reaksi silang terjadi saat terbentuknya antibodi
terhadap suatu antigen, di mana antibodi tersebut berespon terhadap 1 atau lebih antigen
lain. Bagian dari antigen yang dikenali antibodi sehingga dapat membangkitkan respon
alergen disebut epitop (Krouse, 2002).

2.6.3 Pengukuran reaktivitas silang
Sebelum perkembangan pemeriksaan imunoglobulin E (IgE), semua studi
mengenai reaksi silang dilakukan dengan menggunakan hubungan klinis. Reaktivitas
silang ditemukan pada abad 20 ketika para ahli alergi mengenali bahwa pengobatan
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
dengan satu antigen spesifik mampu mendesensitisasi pasien terhadap antigen lain juga.
Observasi ini secara khusus ditujukan di antara rumput-rumput karena pasien yang positif
tehadap satu rumput biasanya positif terhadap semua rumput yang diujikan. Juga
pengobatan dengan menggunakan satu rumput, biasanya sama efektif dengan
menggunakan beberapa rumput sebagai pengobatan dan kecil kemungkinan untuk
menyebabkan reaksi yang berat (Krouse, 2002).
Saat ini, studi reaktivitas silang paling umum dilakukan dengan menggunakan
teknik yang dikenal penghambat radioallergosorbent test (RAST). Dalam percobaan
invitro, antigen kedua yang bervariasi dalam hal konsentrasi, ditempatkan dalam seri
tabung-tabung pemeriksaan yang mengandung sejumlah antigen acuan yang identik.
Ketika jumlah yang meningkat dari antigen kedua ditambahkan, tingkat dimana ikatan
terhadap antigen acuan yang spesifik terhadap IgE yang dihambat dan diukur. Semakin
besar reaktivitas antara dua zat, semakin antigen acuan yang dipindahkan (Krouse, 2002).

2.6.4 Reaktivitas alergen inhalan dan makanan
Reaktivitas silang antara alergen inhalan dan makanan telah diamati selama
beberapa tahun. Reaktivitas silang ini sering disebut concomitant food sensitivity. Hal ini
terlihat jelas seperti pada serbuk tepung gandum dan serbuk sari gandum. Beberapa
hubungan zat-zat inhalan yang berasal dari bahan makanan, bagaimanapun tidak begitu
jelas. Empat reaksi silang zat-zat inhalasi yang berasal dari bahan makan telah dipelajari
dan telah didokumentasikan. Salah satu interaksinya adalah sindroma alergi oral yang
diamati antara serbuk sari birch dengan buah-buahan dan kacang-kacangan. Birch
dikenal bereaksi silang dengan hazelnuts, kentang, apel, wortel, dan seledri.
1. Lebih dari 90 % dengan alergi terhadap birch yang terbukti secara invitro juga
positif terhadap apel.
2. Pada reaksi silang ini, serbuk sari birch yang mengandung epitop buah dimana
buah tidak memiliki epitop birch.
3. Sebuah reaksi silang yang sama diketahui di antara serbuk sari rumput timothy
dan apel, wortel dan seledri. Serbuk sari mugwort diketahui bereaksi silang
sebagian dengan seledri,coriander dan teh bunga chamomile.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
4. Reaksi silang yang penting di antara epitop alergen pada rumput liar dan pada
cantaloupe, semangka dan pisang.
Beberapa reaksi silang dari zat-zat inhalan yang berasal dari bahan makanan
yang lain telah dicurigai dari observasi klinis, tetapi belum dikonfirmasikan dengan studi
laboratorium.(Krouse, 2002).

2.6.5 Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya
yaitu :
1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial).
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya
(Irawati, Kasekeyan, Rusmono, 2001).
WHO merekomendasikan pembagian rinitis alergi kedalam dua klasifikasi,
intermittents (kadang-kadang) dan persistent (menetap), sedangkan berdasarkan tingkat
beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi ringan (mild) dan sedang berat (moderate-
severe) (Bosquet et al, 2001).
Intermittens (kadang-kadang) berarti bahwa gejala yang ditemukan kurang dari 4
hari per minggu dan atau kurang dari 4 minggu.
Persistent (menetap) berarti bahwa gejala-gejala yang ditemukan lebih dari 4 hari
setiap minggunya dan lebih dari 4 minggu.
Pada kelompok gejala ringan (mild), pasien ditemui dengan tidur normal, aktivitas
sehari-hari, saat olah raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak
ada keluhan mengganggu.
Pada kelompok sedang-berat (moderate-severe) berarti ditemukan satu atau lebih
gejala berikut: tidur terganggu (tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan
saat santai terganggu, masalah saat bekerja dan sekolah, ada keluhan yang menggangu
(Bosquet et al, 2001).



Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.7 Kekerapan
Populasi penderita rinitis alergi di dunia terus menerus meningkat dari waktu ke
waktu. Di seluruh dunia populasi penderita rinitis alergi mencapai 10-25%, sehingga
sampai saat ini masih merupakan penyakit yang mendapat perhatian khusus para
penyelenggara kesehatan termasuk di negara tropis seperti Indonesia (Mulyarjo, 2006).
Penelitian epidemiologis yang dilakukan WHO tahun 2000 di Amerika Utara dan
Eropa Barat,menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi
penyakit rinitis alergi dari 13-16% menjadi 23-28%. Di Eropa Barat, menunjukkan pada
anak usia sekolah, prevalensi rinitis alergi meningkat dua kali lipat. Di USA, prevalensi
rinitis alergi musiman dan perenial mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34 tahun dan
35-49 tahun, seperti yang dikutip Nugraha (2005). Rinitis alergi merupakan penyakit
yang sering dan mempengaruhi sampai 40 % penduduk Australia dan New Zealand
(ASCIA, 2004).
Di Indonesia, angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui karena
sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter (Mulyarjo, 2006).
Prevalensi rinitis alergi perenial di Jakarta besarnya sekitar 20 %, sedangkan menurut
Sumarman dan Haryanto tahun 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung
menunjukkan 6,98 %, di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun seperti yang dikutip
Nugraha ( 2005). Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study of Asthma and
Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-
2002, prevalensi rinitis alergi sebesar 18% (Suprihati, 2005).
2.7.1 Penyebab penyakit alergi THT
Penyebab penyakit alergi THT dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :Spesifik
dan Non Spesifik,
1. Penyebab Spesifik
Yang paling berperan adalah alergen hirupan (inhalan).
Alergen inhalan merupakan alergen yang sering ditemukan dan sangat penting
dalam kelompok alergen (Colman, 1992).
Alergen inhalan biasanya dibagi ke dalam 2 jenis berdasarkan kemampuan
hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial dan seasonal (Krouse, 2002).
1. Alergen perenial
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Ada sepanjang tahun dan sulit dihindari.
Contoh :
A. Debu rumah
1. Alergen gabungan yang terdiri dari tungau, kecoa, partikel kapas,
serpih kulit manusia dan lain-lain.
2. Alergen udara >10 m dan mengendap dengan cepat yang berasal dari
seprei dan sarung furniture.
3. Sering pada ruang tertutup.
B. Tungau debu rumah
1. Komponen alergi tersering adalah kotoran tungau debu rumah
D.pteronyssimus dan D. farinae.
2. Hidup dari serpihan kulit manusia.
3. Lebih suka pada suhu 21,1-26,6
0
C.
4. Tidak ada pada ketinggian lebih dari 5000 kaki.
C. Serpihan kulit binatang
1. Serpihan kulit kucing
Antigen Fel D1 diproduksi pada kelenjar sebasea kulit dan terdapat
pada serpihan kulit kucing.
2. Serpihan kulit anjing
Secara umum serpihan kulit anjing kurang kuat menyebabkan alergi
dibandingkan dengan serpihan kulit kucing.
Antigen serpihan kulit anjing lebih bervariasi dibandingkan serpihan
kulit kucing.
3. Serpihan kulit binatang lainnya.
Alergi terhadap serpihan kulit binatang lainnya bisa terjadi ketika
manusia terpapar dengan hewan mamalia lainnya atau unggas pada
keadaan normal.
Sebagai contoh : alergi terhadap serpihan kulit kuda atau ternak sapi
lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di kawasan pertanian
dan peternakan.
D. Jamur
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
1. Di dalam dan di luar ruangan.
2. Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab di atas barang
yang busuk, ruang bawah tanah, tumpukan koran yang lama, debu
kayu, tanaman di dalam ruangan.
3. Penyebab tersering Alternaria, Aspergillus, Pullularia,
Hormodendrum, Penicillium dan Cephalosphorium.
E. Kecoa
1. Beberapa dekade terakhir peran kecoa terhadap sumber alergen
inhalan sangat penting.
2. Alergi terhadap kecoa berhubungan dengan asma terutama terhadap
anak-anak.
3. Alergen berasal dari sekresi serangga, terdapat pada badan dan
sayap.
4. Sulit dihilangkan .
5. Sering terdapat pada rumah yang kotor (Krouse, 2002; Lee, 2003).
2. Alergen seasonal
a. Biasanya dari serbuk sari tanaman.
b. Postulat Thommen menyatakan alergen yang efektif, serbuk sari
harus :
1. Dapat diterbangkan angin.
2. Ringan, dapat terbawa sampai jarak jauh (umumnya diameter lebih
kecil dari 38 m )
3. Terdistribusi luas
4. Bersifat alergenik.
c. Tipe dari alergen seasonal adalah :
1. Pohon : pada musim dingin dan musim semi ; Februari sampai Mei
2. Rumput : pada musim semi,musim panas dan musim gugur ; April
sampai Desember.
3. Rumput liar : pada musim panas, dan musim gugur ; Juli sampai
Desember (Krouse, 2002; Lee, 2003).
3. Penyebab nonspesifik
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
a. Iklim
Udara lembab, perubahan suhu, angin.
Iklim ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu
rumah dan tepung sari bunga, disamping memberi suasana yang baik
untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.

b. Hormonal
Wanita yang mempunyai bakat alergi dapat kambuh gejala alerginya
kalau sedang hamil karena minum pil KB atau menderita Hipertiroid.
c. Psikis
Meningkatnya emosi dan ketegangan jiwa pada orang yang berbakat
alergi memudahkan kambuhnya manifestasi alergi.
d. Infeksi
Infeksi memudahkan kambuhnya alergi demikian juga sebaliknya.
e. Iritasi
Rangsangan dapat pula menyebabkan kambuhnya alergi misalnya : asap
rokok, bahan-bahan polusi.
f. Genetik
Tak diragukan lagi besarnya faktor genetik terhadap penyakit alergi,
karena banyak penderita berasal dari keluarga yang juga menderita
penyakit alergi. Risiko untuk menderita penyakit alergi adalah sebayak
30 % bila satu orang tua yang atopi dan lebih dari 30 % bila kedua
orang tua atopi. Demikian pula ibu yang atopi berperan lebih besar
secara bermakna daripada ayah yang atopi (Harmadji, 1993; Rusmono,
1993).

2.7.2 Gejala
Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu beringus, bersin-bersin, dan
hidung tersumbat disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung.
Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada palatum, gatal pada
tenggorok serta asma dapat menyertainya apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
organ lain. Gejala-gejala tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh obat
(Sumarman, 2001; Chanda et al, 2002).
Gambaran klinis pada rinitis alergi disebabkan oleh terpaparnya mukosa hidung
setelah terhirup zat alergen dimana individu tersebut telah tersensitisasi. Gejala yang
ditimbulkan dapat berupa bersin-bersin, iritasi hidung, hidung beringus dan hidung
tersumbat. Intensitas dari gejala rinitis alergi ini tergantung oleh kombinasi pejamu dan
antigen faktor seperti derajat sensitisasi individu dan alergen ( Katalaris, 1997).
2.8 Patofisiologi
Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke
dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap
efektor (Suprihati, 2006).

2.8.1 Fase sensitisasi
Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepung
sari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara
napas. Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses
oleh makrofag / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (APC)
menjadi peptida pendek yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan
tempat pengenalan antigen dari komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami
migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi. Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR)
pada limposit Tho bersama molekul CD4 dapat mengenali peptida yang disajikan oleh sel
penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi antara reseftor sel T (TCR)
bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul asesori pada
sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas pada
membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi
sitokin (Suprihati, 2006 ).
Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen
(APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk
memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-RI) dengan
afinitas tinggi dipermukaan sel basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula
postkapiler di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan
termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang
dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi. Dalam fase ini seseorang
dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain, tetapi jika dilakukan
tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.





























Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.8.2. Patogenesis rinitis alergi


Skema 1. Patogenesis Rinitis Alergi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008



Gambar 3. Patofisiologi Rinits Alergi

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.8.3 Fase elisitasi
2.8.1 Tahap aktifasi
Pada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang
dengan alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung
dapat terjadi ikatan/ bridging antara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan
sel mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006).
Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan
alergen yang sama tersebut memacu aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G)
protein yang mengaktifkan enzim phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl
inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG)
pada membran PIP2. Inositol triphosphate menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel
(Ca
++
) dari reticulum endoplasma. Ion Ca
++
dalam sitoplasma langsung mengaktifkan
beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca
++
-calmodulin yang
engak
eflek
arasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan gejala
itu histamin juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena
enyeb
m tifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca
++
dan DAG bersama-sama
dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi
ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed mediators
seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors
(PAF) dan exositosis granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula
sebagai preformed mediator seperti histamin, tryptase dan bradikinin (Suprihati, 2006).
Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena
histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin, rinore,
hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada endotel
yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses transudasi yang
memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nocicetif tipe C pada
mukosa hidung yang berasal dari N-V menyebabkan rasa gatal di hidung dan merangsang
timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi r
p
rinore yang seros. Selain
m abkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Gejala yang
segera timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
(RFS). Histamin yang sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamin
N-methyl transferase (HMT) pada sel epitel maupun pada endotel (Suprihati, 2006).

2.8.2 Tahap efektor
Apabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami
metabolisme dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah reaksi
fase segera dengan adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan
terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi fase lambat terjadi pada sebagian penderita (30-
35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah paparan alergen dan menetap selama 24-48
jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai macam sel inflamasi khususnya
eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor mayor pada reaksi alergi
kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi
darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi
(perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan
secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling) yang diikuti
perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi
nderita
rinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakan sebagian kecil sel darah (1%) dan
eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung
endotel seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesi
molekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil
mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga
diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan paparan
alergen spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal persistent
inflamation (MPI) yang terlihat pada rinitas alergi terhadap tungau debu rumah (TDR)
dalam keadaan bebas gejala (Suprihati, 2006).
Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku
spesifik terhadap pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran
pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek
penelitian dasar dan terapi. Eosinofil berasal dari sumsum tulang berupa progenitor,
kemudian berada dalam darah tepi dan juga ditemukan di mukosa hidung pe
mempunyai half-life yang pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung penderita RA sel
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein
(ECP), eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang
mempunyai efek menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel,
2.8.3
Reaksi
ditandai oleh gejala bersin, beringus,
tersebut diakibatkan kinerja histam
g)
pidermis atau mukosa, yang
disalurkan secara lambat sepanjang
neuron sensoris yang kecil di dalam ner
s
alergi secara khas m
histam
dapat terjadi langsung pasca provokasi
berperan namun hanya kec

Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membran
mukosa hidung yang berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan alergen
dan berakhir pada sekitar 20-30 menit kemudian. Beringus merupakan gejala
inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel karena radikal bebas (Suprihati, 2006).
Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rinitis
alergi
alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada rinitis alergi
gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-gejala
in dan berbagai mediator lain (Sumarman, 2001).
1. Bersin-bersin (sneezin
Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya
merupakan gejala RAFC, berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan
alergen dihubungkan dengan degranulasi mastosit (terlepasnya histamin), dan
hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan stimulasi reseptor
H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang
dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin (Sumarman, 2001).
2. Gatal-gatal (pruritus)
Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya
diketahui dengan baik. Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus
C tak bermyelin (unmyelinated) dekat bagian basal,e
dapat menimbulkan rasa gatal khusus, yang
vus spinalis ke talamus dan korteks
ensoris. Gatal-gatal berlangsung terutama sepanjang RAFC dan pada rinitis
enimbulkan gatal palatum. Gatal-gatal terjadi pada saat
in berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan
histamin.Mungkin juga prostaglandin
il saja (Sumarman, 2001).
3. Beringus (rhinorrhea)
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
domi
molekul-molekul protein besar melewati dinding kapiler
pemb
or H1.
atropin pre-
treatm
trien dan bradikinin juga menyebabkan
berin
rer akibat kongesti sementara yang bersifat
vasod
nan sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang RAFL. Sekresi kelenjar
tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis dan mengalirnya
cairan plasma dan
uluh darah hidung.
Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus, yang diduga
karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung
pada resept
Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada
hidung kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan
sepertinya diperantarai asetilkholin karena dapat dihambat oleh
ent.
Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan akibat kombinasi proses
penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung
ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.
Pacuan hidung dengan leuko
gus melalui mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan
hipersekresi kelenjar. Mediator lain yang juga berperan pada proses
beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP) (Sumarman, 2001).
4. Buntu hidung (nasal congestion)
Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang
tidak menetap, tetapi terjadi tempo
ilatasi vaskuler. Mekanisme vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang
berakibat pelebaran cavernous venous sinusoid dalam mukosa konka, sehingga
terjadi peningkatan tahanan udara dalam hidung. Timbunan sekret dalam hidung
juga menambah sumbatan hidung.
Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan
akibat buntu hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler
hidung lebih dipengaruhi oleh sejumlah mediator antara lain histamin,
bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4, PAF.
Buntu hidung akibat histamin sepanjang RAFC berlangsung singkat saja,
tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang RAFL, peran histamin
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran leukotrien (LTC4,
LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat dibanding histamin.
Provokasi hidung dengan LTD4 menyebabkan peningkatan tahanan udara
hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan tanpa beringus. PGD2 dan
bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung. Demikian
tonin-gene related dapat menimbulkan
infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1
yang dip
agai sitokin tipe 2, antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan
GMCF
diproduksi oleh
sel Th
2
, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien, dapat dideteksi
juga neuropeptida substance P dan calci
vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung (Sumarman,
2001).

2.8.4 Peran sitokin pada rinitis alergi
Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah
ditemukan oleh Mosmann et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4
+
) cenderung
memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda.
Berdasarkan jenis produk sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi
sel Th
1
dan sel Th
2.
Perubahan/polarisasi sel Th
0
menjadi sel Th
1
atau Th
2
dipengaruhi
oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,
lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T serta
faktor genetik. Pada
roduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN-

dan IL-2. Penelitian lebih lanjut


ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13 yang diproduksi oleh
sel Th
2
. Sitokin IFN-

dianggap sebagai prototipe sitokin Th
1
sedangkan IL-4 merupakan
protipe sitokin Th
2
.
Pada individu yang atopik, sel T CD4
+
(Th
0
) cenderung akan mengalami
polarisasi menjadi sel Th
2
yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin yang
disebut pula seb
yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu menginduksi sel
limfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel dihasilkan satu set sitokin yang
disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain yang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:
IFN-

dan IL-2.
Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
dalam w
IL-
12 dan I
sdusikan oleh toll-like-
receptor
aktu 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek sitokin IL-4 selain
pada perkembangan Th
2
adalah mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG
4
.
Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.
Sitokin IFN-

selain diproduksi oleh sel Th


1
yang teraktifasi juga oleh sel NK
dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa sebagai
pemicu aktifasi sel Th
1
adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK
sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF-
a
dan
FN-

sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel
Th
0
ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikrositokin yang ada. Secara bersamaan IFN-


dan IL-12 terlibat dalam menentukan diferensiasi sel Th
0
untuk menjadi fenotipe Th
1
.
Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-makrofag
yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang merupakan sumber
utamanya adalah sel-sel dendrit yang memproses dan menyajikan antigen terlarut
(soluble) pada sel T. Sel dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan
sel T naive dan dapat dikatakan sel dendrit merupakan pengatur diferensiasi sel Th
1.
Peran tersebut terutama setelah dendrit mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau
sinyal bahaya kuat yang lain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan
endositosisnya, sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat dengan
mengubah ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi
sitokin imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditran
(TLR) yang diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya
ini cenderung memacu respon imun Th
1
dengan memacu sel dendrit untuk memproduksi
sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin tipe 1 yang lain.
Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan
yang terdapat selama berlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan
produksi IL-12 adalah IFN-

dan TNF-
,
sedangkan

yang menghambat produksinya adalah
IL-4, IL-13, TGF-
B
dan IL-10
.
Di antara mediator-mediator tersebut IFN-

merupakan
stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara itu diketahui IL-12 mempunyai
efek memicu produksi IFN-

, meskipun secara invitro untuk mendapatkan kadar IL-12


yang terukur diperlukan IFN-

. Produksi IL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu


secara langsung oleh lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
patogen. Dengan demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral
imunitas seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama
untuk diferensiasi sel Th
0
(naive) ke Th
1
dan secara langsung memacu sekresi IFN-

oleh
sel Th
1
dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan
monosit oleh IFN-

sehingga respon Th
1
distabilkan oleh suatu jalur feedback positif.
Ganggua
onosit, tetapi pre-
inkubasi
cu IFN-

yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil


sitokin d
respon imun Th
1
telah didemonstrasikan baik secara in vitro maupun in vivo . Secara in-
n kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th
1
yang persisten,
sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4
dan IL-10 yang merupakan produksi sel Th
2
.
Sitokin Th
2
diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara sitokin
Th
2
dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13 akan menekan
produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut ditambahkan saat stimulasi m
yang lama dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu
produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting pada penyakit alergi, yaitu PGE
2

dan histamin, ternyata juga mempunyai efek menekan produksi IL-12.
Heterogenitas sel Th

(Th
1
dan Th
2
) sekarang dapat diterima secara luas karena
perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan timbal balik
antara imunitas humoral dan seluler dan menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai
akibat produksi berlebihan oleh sel Th
2.
Sementara itu diketahui bahwa sitokin Th
1
(IFN-

) dapat menghambat produksi sitokin Th


2
(IL-4) dan sebaliknya, sitokin Th
2
(IL-4) dapat
menghambat produksi sitokin Th
1
(IFN-
).
Dilaporkan bahwa sel Th
0
(CD
4+
) yang sudah
mengalami diferensiasi penuh menjadi sel efektor Th
1
atau

Th
2
akan memproduksi sitokin
yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Akan
tetapi sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya
dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian sel
memori Th
2
menghasilkan sitokin Th
1
jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang
merupakan pemi
ari populasi sel memori relatif fleksibel dan dapat dirubah (reprogrammed)
merupakan suatu konsep penting dan mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan
penyakit alergi.
Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th
2
menjadi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
vitro diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu kultur darah
tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE oleh monosit darah tepi. Penelitian lain
menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4 dan IL-10 secara spesifik dan
si IFN-

pada

sel T CD4
+
pada penderita rinitis alergi.
ginya kadar IgE spesifik . Secara umum paparan ulang trhadap antigen
tertentu

gambar
n, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan
asuknya antigen asing ke dalam tubuh, terjadi reaksi yang secara
garis be
1.
. Reaksi ini bersifat non
esifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
ihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
kkan
meningkatkan produk


2.9 Antigen
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas tipe segera disebut alergen.
Antigen yang membangkitkan reaksi hipersensitivitas adalah protein atau zat kimia yang
terikat protein terhadap mana individu atopi bersangkutan terpapar secara kronik.
Pemaparan antigen sebelumnya secara alami merupakan faktor penting yang akan
menentukan ting
diperlukan untuk menghasilkan reaksi atopi terhadap antigen bersangkutan
(Kresno, 2001).
Belum diketahui mengapa antigen tertentu menimbulkan reaksi alergi kuat dan
antigen lain tidak. Ada kemungkinan bahwa alergen tidak sering disertai adjuvan alami,
karena itu gagal merangsang respon imun bawaan yang kuat yang seharusnya dapat
meningkatkan aktivasi makrofag dan sekresi sitokin penginduksi sel Th1, yaitu IL-12 dan
IL-8. Sifat alergenik diduga terletak pada antigen itu sendiri, mungkin dalam epitop yang
dikenal oleh sel tertentu. Walaupun tidak ada struktur protein khusus yang dapat
digunakan untuk memprediksi secara tepat bahwa protein itu alergenik, ada beberapa
an khas pada alergen yang sering dijumpai. Gambaran itu menyangkut berat
molekul kemudian glikosilasi, dan sifat kelarutannya dalam cairan tubuh (Kresno, 2001).
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campura
rinitis alergi. Dengan m
sar terdiri dari:
Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag)
sp
d

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008

Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah
sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pa
2.
da tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
ada defek dari sitem imunologi, maka reaksi berlanjut menjadi
3.
yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh
).
dan
ngkap mengenai riwayat penyakit, dan diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan
anamne dan pemeriksaan penunjang diagnostik (Irawati, 2002).
ifik meliputi gejala hidung, termasuk keterangan
me gejala rinitis
alerg
ngan)
ak
telinga
r dan kemerahan
t nasal drip atau batuk kronik
memang sudah
respons tertier.
Respon tertier
Reaksi imunologi
(Irawati, 2001

2.10 Diagnosis
Pengenalan terhadap rinitis alergi dimulai dengan anamnesis yang cermat
le
sis, pemeriksaan fisik

2.10.1 Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan
dengan pertanyaan yang lebih spes
ngenai tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan penderita. Gejala-
i yang perlu ditanyakan adalah:
1. Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali sera
2. Rinore (ingus bening, encer) dan bany
3. Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau
4. Gatal di mata, berai
5. Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
6. Hiposmia/anosmia
7. Sekret belakang hidung /pos
8. Adakah variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari dan
membaik saat malam hari)
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
9. Penyakit penyerta : sakit kepala berhubungan dengan tekanan pada
hidung dan sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan
akit,
nore dan kadang-kadang hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat
gejala
arga serta manifestasi penyakit alergi lain
sebelum
ta memperberat gejala rinitis. Riwayat pengobatan yang
pernah dilakukan dan hasil dari pengobatan serta kepatuhan berobat juga perlu
ipertanyakan (Irawati, 2002).


konsentrasi, gejala radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis, gejala
sesak nafas / asma.
10. Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya peny
efeknya pada kualitas hidup seperti adakah gangguan pada pekerjaan,
sekolah, berolah raga, bersantai dan melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin,
gatal, ri
yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia (Irawati,
2002).
Perlu ditanyakan riwayat atopi di kelu
atau bersamaan dengan rinitis seperti asma brokial, dermatitis atopi, urtikaria
dan alergi terhadap makanan (Irawati, 2002).
Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga dipertanyakan sebagaimana
kualitas udara dan sistem ventilasi di rumah maupun di lingkungan kerja,adanya binatag
peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang bawah tanah sebagai gudang (bila
ada). Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu dipertanyakan seperti lingkungan di
rumah, kamar tidur, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang dapat memicu
terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala memburuk di dalam
rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga dipicu bila pasien membersihkan rumah,
biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam. Bila alergi terhadap jamur , gejala
dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk pada lingkungan dengan kelembaban tinggi dan
pada sore hari. Adanya keadaan hiperreaktivitas hidung terhadap iritan non spesifik
seperti asap rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau parfum, masakan dan
polutan juga dapat memicu ser
d

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.10.2 R
. WHO initiative ARIA (2000) membedakan
kedua tip rsebut sebagai berikut :

iwayat Penyakit
Riwayat klinis penyakit masih merupakan alat esensial bagi akuratnya diagnosa
rinitis alergi, pengukuran tingkat beratnya penyakit, dan respon pengobatan. Pasien rinitis
sering juga dibagi menjadi tipe sneezers and runners dan tipe blockers. Pasien rinitis
alergi biasanya tipe sneezers and runners
e rinitis te
T
abel 1. Perbedaan Rinitis Alergi tipe Sneezers and Runners dengan Blockers
an adanya krusta dan
kulit yang kasar di daerah nostril / lubang hidung (Irawati, 2002).

2.10.3 Pemeriksaan Fisik
Gejala spesifik pada anak adalah adanya bayangan gelap di kelopak mata bawah
akibat sumbatan vena di daerah orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap akibat
bocornya hemosiderin (Allergic shiners), Dennie-Morgan lines adalah garis pada kulit
di kelopak mata bawah, Allergic salute adalah kebiasaan anak menggosok-gosok hidung
karena gatal dengan telapak tangan kearah atas yang akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (Allergic crease). Pada anak dengan sumbatan
hidung kronik dapat menimbulkan facies adenoid karena sering bernafas lewat mulut.
Hal ini akan menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan
gigi sehingga terjadi penonjolan ke depan dari gigi seri atas. Pasien sering mengerak-
gerak mulut dan gigi saat tidur terutama pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa
penuh di telinga akibat sumbatan tuba. Kadang-kadang ditemuk
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior atau media pucat/livid, diliputi
sekret hidung seromukoid, udem (boggy) atau hipertrofi. Perhatikan juga daerah septum
nasi (lurus, deviasi, spina/krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia dapat
dilakukan nasoendoskopi, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah
meatus medius serta keadaan kompleks osteomeatal (Irawati, 2002).
Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic tongue
(permukaan lidah sebagian licin dan sebagian kasar) yang bisanya akibat alergi makanan,
adenoiod yang membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (Cobble stone
appereance) dan penebalan lateral pharyngeal bands akibat sekret mengalir ke
tenggorok yang kronik (Irawati, 2002)
.
2.10.4 Pemeriksaan Penunjang
2.10.4.1 Pemeriksaan in vitro
Pemeriksaan in vitro merupakan pemeriksaan diagnostik secara laboratorium
untuk mendeteksi dan mengidentifikasi penyebab. Kelebihan pemeriksaan ini
dibandingkan tes kulit adalah aman dan nyaman bagi penderita sehingga dapat dilakukan
pada bayi dan anak kecil serta dapat dilakukan pada pasien dimana tes kulit tidak dapat
dilakukan yaitu penderita tidak dapat bebas dari antihistamin, antidepresan trisiklik atau
penderita dengan kelainan kulit (dermatografisme dan dermatitis atopi berat) (Irawati,
2002).

2.10.4.2 Pemeriksaan IgE total serum
Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat
pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rinitis alergi.
Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1 KU/L) sampai pubertas dan
menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar
>100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita
rinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE
meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid
bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai
batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai
pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostik
(Irawati, 2002).
2.10.4.3 Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode
RAST/Radioallergosorbent test)
Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu alergen.
Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik (>85%), akurat dapat diulang dan bersifat
kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik
dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan alergen
terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada
tes kulit. Cara lain adalah Modified RAST dengan sistem scoring (Irawati, 2002).

2.10.5 Pemeriksaan lain
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan
diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari
penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik (Irawati, 2002).
1. Hitung jenis sel darah tepi
Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel
eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rinitis alergi,
tetapi kurang bermakna secara klinik.
2. Pemeriksaan sitologi sekret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari sekret hidung secara langsung (usapan),
kerokan, bilasan dan biopsi mukosa. Pengambilan sediaan untuk pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan alergen atau saat bergejala
berat dan biasanya hanya untuk keperluan penelitian dan harus dikerjakan oleh
tenaga terlatih.
3. Tes provokasi hidung / nasal challenge test (bila fasilitas tersedia).
Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil pemeriksaan
diagnostik primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum tes ini lebih sulit
untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE spesifik. Tes
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk terjadinya reaksi
anafilaksis.
4. Tes fungsi mukosillier (menilai gerakan silia).
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian.

5. Pemeriksaan aliran udara hidung
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri
(anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik, misalnya pasca tes provokasi
hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
6. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun MRI ( bila fasilitas
tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi, tetapi
untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rinitis alergi
terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos
dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi),
perselubungan homogen serta gambaran batas udara cairan di sinus maksila.
7. Pemeriksaan lain yaitu: fungsi penghidu dan pengukuran kadar NO (nitric oxide)
(Irawati, 2002).

2.10.6 Tes kulit
Tes kulit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: tes gores, tes kulit cukit,tes
suntik intradermal dan skin endpoint titration (SET). Untuk menjamin akurasinya, tes
kulit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa wash out antihistamin. Masa ini
berkisar antara 2-4 hari pada antihistamin sedatif dan satu minggu pada antihistamin non
sedatif, kecuali asetamizol 6-8 minggu, sedangkan masa wash out untuk kortikosteroid
berkisar antara 2-3 bulan (Sumarman, 2001).
Tes kulit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak alergen
merupakan alat diagnostik yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase sensitisasi
oleh alergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya
reaksi hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau dengan kata lain pada
epikutan individu tersebut terdapat komplek Ig E-sel mast (Sumarman, 2001) .
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Tes kulit telah digunakan secara luas sebagai salah satu alat utuk menegakkan
dignosis alergi terhadap alergen dan merupakan indikator yang aman, mudah dilakukan,
hasil cepat didapat, biaya yang relatif murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai
sebagai pemeriksaan penyaring. Tes kulit cukit dapat mendiagnosis rinitis alergi akibat
alergen inhalan berderajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita dengan sensitifitas
rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi dengan gejala klinik.
Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes kulit negatif,
tindakan yang perlu dilakukan adalah :
1. Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes
2. Periksa adakah penyebab hasil negatif palsu
3. Observasi pasien selama adanya paparan alergen yang tinggi
4. Lakukan tes provokasi atau tes intradermal (bila fasilitas tersedia) (Irawati,
2002)
Tes kulit cukit (skin prick test) memiliki sensitifitas dan spesifitas tinggi. Puluhan
alergen dapat dikerjakan pada satu kali tes. Tes dilakukan pada bagian volar lengan
bawah dengan penusukan sedalam epikutan sehingga tidak melewati membran basalis
yang dapat menimbulkan pendarahan yang bisa menyebabkan hasil tes menjadi tidak
akurat. Tes ini menggunakan jarum tuberkulin no 26G, atau 26Gx
1
/
2
. Tes kulit cukit ini
hampir tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga lebih disukai pasien. Hasil tes dapat
dievaluasi dalam waktu singkat (10-15 menit), serentak untuk 25 30 alergen. Alergen
yang digunakan terdiri atas satu seri alergen hirup, satu seri alergen makanan, larutan
histamin sebagai kontrol positif, serta larutan saline atau buffer phosfat sebagai kontrol
negatif. Jumlah alergen sebaiknya terbatas sampai sekitar enam alergen utama saja
(housedust mite 2-3 spesies, pollen, mold dan binatang peliharaan). Tes kulit untuk
alergen hirup lebih memiliki nilai klinis yang berharga daripada makanan (King, 1998;
Sumarman, 2001).
Beberapa metode yang dilakukan untuk menginterpretasikan hasil tes kulit cukit:
1. Mengukur diameter bintul (wheal) yang terjadi dengan menggunakan planimeter.
Respon positif dinyatakan apabila ditemukan setiap adanya wheal yang
mempunyai ukuran diameter 9 mm di atas kontrol negatif (saline) (Jackola et al,
2003).
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2. Membandingkan bintul yang terjadi pada masing masing ekstrak alergen yang
diberikan dengan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (saline). Metode
ini disebut metode Pepys dengan penilaian sebagai berikut : (Madiadipoera, 1996;
Sumarman, 2001).
- (negatif) : apabila sama dengan kontrol negatif.
+ 1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif
dan atau terdapat daerah eritema.
+2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi
2 mm lebih besar dari kontrol negatif.
+3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol positif
+4 (sangat kuat) :apabila bintul lebih besar dari kontrol positif
3. Menurut GLORIA (Global Resources in Allergy), 2003, bintul (wheal) yang
terjadi dengan diameter > 3mm menunjukkan bahwa pasien menghasilkan anti
bodi IgE terhadap alergen yang spesifik (Kaplan et al, 2003).
Tes intradermal memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes
kulit cukit, walaupun reaksi positif palsu dan reaksi anafilaksis lebih sering terjadi.
Sebaiknya yang dilakukan tes intradermal hanya yang memberikan hasil negatif pada tes
kulit cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan tes intradermal larutan
tunggal (disebut juga pengenceran larutan berganda) dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui
alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal untuk
imunoterapi (Irawati, 2002).

2.11 Diagnosis Banding.
Rinitis alergi perlu dibedakan dari rinitis vasomotor ataupun idiopatik, rinitis
infeksiosa, rinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal (Neo-Synephrine dan kokain)
maupun sistemik (beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rinitis sekunder dari faktor
mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis
dan mastositosis hidung. Disamping alergi, penderita polip hidung perlu dievaluasi
terhadap sinusitis infeksiosa dan pada anak fibrosis kistik. Sinusitis dengan etiologi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
nonalergi, misalnya trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrosis kistik, sindrom
Kartagener, penyakit granulomatosa kronik dan infeksi perlu dipertimbangkan dalam
diagnosis banding (Blumenthal, 1997).

2.12 Terapi Rinitis Alergi
Pedoman terapi rinitis alergi (RA) yang selama ini dipakai adalah yang
direkomendasikan oleh The Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA), suatu
workshop yang diselenggarakan oleh panel pakar yang bekerja sama dengan WHO. Dari
workshop tersebut dihasilkan pedoman penanganan RA berdasarkan data dari berbagai
randomized controlled trial. Penanganan yang direkomendasikan termasuk menghindari
alergen, terapi farmakologi, imunoterapi spesifik, edukasi dan pembedahan. Di samping
itu juga direkomendasikan agar penanganan dilakukan dengan pendekatan bertahap,
berdasarkan pada berat ringan penyakit (Mulyarjo, 2006).


Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008

Skema 2. Pengobatan Rinitis Alergi (ARIA, 2000)
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008

2.12.1 Farmakoterapi pada rinitis alergi
Meskipun allergen avoidance merupakan upaya utama dalam penanganan RA,
tetapi dalam praktek tidak mudah untuk dilaksanakan sehingga terapi yang populer
adalah farmakoterapi, yakni pengobatan dengan menggunakan medikamentosa.
Medikamentosa yang sangat dibutuhkan penderita adalah medikamentosa yang dapat
mengurangi gejala (terapi simtomatik) dan bekerja cepat. Obat obat yang dapat
menghilangkan atau mengurangi gejala bersin, rinore serta buntu hidung banyak
digunakan dan laku keras karena dalam waktu singkat untuk sementara dapat mengatasi
masalah penderita. Beberapa jenis obat telah digunakan pada terapi RA seperti
antihistamin, dekongestan, kortikosteroid, stabilisator mastosit dan obat antikolinergik,
dengan pengaruhnya masing masing terhadap gejala RA.
Pemilihan obat perlu mengacu pada simtom yang dirasakan oleh penderita,
sehingga dapat dipilih obat yang sesuai dengan kebutuhan, baik berupa obat tunggal
maupun kombinasi.

TABEL 2. Terapi Farmakologis Rinitis Alergi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.12.1.1. Antihistamin
Antihistamin adalah antagonis reseptor H1 yang akan menghalangi bersatunya
histamin dengan reseptor H1 yang terdapat di ujung saraf dan epitel kelenjar pada
mukosa hidung. Akhir-akhir ini antihistamin didefenisikan sebagai inverse H
1
-receptor
agonists yang menstabilkan reseptor H1 yang inaktif sehingga aktifasi oleh histamin
dapat dicegah. Dengan demikian obat ini efektif untuk menghilangkan gejala rinore dan
bersin sebagai akibat dilepaskannnya histamin pada RA (Mulyarjo, 2006).
Antihistamin lama (generasi pertama) sudah terbukti secara klinis sangat efektif
mengurangi gejala bersin dan rinorea akan tetapi mempunyai efek samping yang kurang
menguntungkan yaitu menyebabkan efek mengantuk karena obat tersebut masuk ke
peredaran darah otak. Oleh karena itu penderita yang menggunakan obat ini dianjurkan
untuk tidak mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin karena dapat membahayakan.
Secara klinis antihistamin generasi ini sangat efektif menghilangkan rinore karena
mempunyai efek antikolinergik. Efek ini terjadi karena kapasitas ikatan obat terhadap
reseptor yang tidak selektif sehingga obat terikat juga pada reseptor kolinergik.
Kekurangan lain dari antihistamin generasi pertama adalah ikatannya yang tidak stabil
dengan reseptor H1, sehingga daya kerjanya pendek. Efek samping yang lain adalah :
mulut kering, peningkatan nafsu makan dan retensi urin. Sampai sekarang antihistamin
golongan ini masih banyak digunakan karena masih efektif dan murah. Beberapa contoh
antihistamin generasi lama yang sampai kini masih popular adalah : klorfeniramin,
difenhidramin dan triprolidin (Mulyarjo, 2006).
Munculnya antihistamin generasi baru dapat menutup kelemahan antihistamin
lama. Karena tidak menembus sawar otak, antihistamin baru bersifat non-sedatif,
sehingga penderita yang menggunakan obat ini dapat aman dan tidak terhambat dalam
melakukan aktifitasnya. Kelebihan lain antihistamin baru adalah mempunyai masa kerja
yang panjang sehingga penggunaannya lebih praktis karena cukup diberikan sekali
sehari. Antihistamin baru tersebut adalah : astemizol, loratadin, setirizin, terfenadin.
Beberapa antihistamin baru kemudian dilaporkan menyebabkan gangguan jantung pada
pemakaian jangka panjang (astemizol, terfenadin), sehingga dibeberapa negara obat
obat tersebut tidak digunakan lagi. Antihistamin yang unggul adalah yang bekerja cepat
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
dengan waktu kerja yang panjang, yang tidak ada efek sedatif dan tidak ada toksik
terhadap jantung (Mulyarjo, 2006).
Penemuan obat baru ditujukan untuk meningkatkan kerja obat dalam mencegah
dilepaskannya mediator inflamasi pada RA serta untuk meningkatkan keamanan obat.
Akhir akhir ini beberapa antihistamin generasi baru dilaporkan mempunyai aktivitas
mencegah lepasnya mediator inflamasi dari basofil dan mastosit. Aktifitas ini berbeda
ragamnya antara satu obat dengan yang lainnya. Beberapa antihistamin dapat mencegah
terlepasnya mediator lain seperti platelet activating factor (PAF), prostaglandin serta
mencegah migrasi eosinofil, basofil dan netrofil. Pada Rinitis Alergi Persisten (RAP)
buntu hidung merupakan gejala yang paling menonjol terutama karena banyaknya
infiltrasi sel radang pada mukosa rongga hidung sehingga antihistamin generasi baru
inilah yang dapat memenuhi kebutuhan pengobatan. Antihistamin baru yang dipasarkan
akhir-akhir ini adalah feksofenadin sebagai turunan terfenadin, desloratadin sebagai
turunan loratadin dan levosetirizin sebagai stereoisomer setirizin.
Desloratadin adalah antihistamin baru yang merupakan antagonis reseptor H1
yang efektif baik untuk rinitis alergi maupun urtikaria. Ia merupakan satu dari sejumlah
metabolit aktif dari loratadin. Desloratadin bekerja cepat dan mempunyai masa kerja
yang lama sampai 24 jam penuh, karena waktu paruhnya yang panjang. Dilaporkan juga
bahwa desloratadin mempunyai efek menghambat kerja sel inflamasi dalam melepaskan
mediator-mediator seperti sitokin, kemokin dan molekul adesi yang merupakan
komponen pengatur respon alergi inflamasi akibat paparan alergen. Di dalam penelitian
klinik dilaporkan bahwa desloratadin mempunyai efikasi yang sangat baik pada
pengobatan rinits alergi persisten (RAP) dan rinitis alergi intermiten (RAI) serta
keamanan yang setara dengan antihistamin lainnya. Dilaporkan pula bahwa obat ini juga
mempunyai khasiat mengurangi buntu hidung (Mulyarjo, 2006).

2.12.1.2 Dekongestan
Mukosa konka nasi inferior mempunyai vaskularisasi yang sangat komplek.
Pembuluh darah submukosa membentuk anyaman sinusoid yang terdiri dari pembuluh
darah kapasitan dan resistan yang bertugas mengatur luas rongga hidung. Tugas ini
berada dalam kontrol saraf otonom. Noradrenalin yang dilepaskan di dalam mukosa
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
hidung merangsang reseptor -adrenergik sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah,
menyebabkan penyusutan konka sehingga rongga hidung menjadi lapang. Peristiwa ini
terjadi karena aktivitas simpatik. Sebaliknya yang terjadi pada aktivitas parasimpatik
akan terjadi buntu hidung. Pada rinitis alergi pengaruh berbagai mediator akan
menyebabkan timbulnya buntu hidung, karena vasodilatasi pembuluh darah.
Dekongestan merupakan vasokonstriktor, yakni obat yang bersifat agonis -
adrenergik sehingga dapat berikatan dengan reseptor -adrenergik yang ada di dalam
mukosa rongga hidung dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah konka,
akibatnya dapat mengurangi / menghilangkan buntu hidung (Mulyarjo, 2006).
Dalam praktek dekongestan dapat digunakan secara sistemik (oral), yakni efedrin,
fenil propanolamin dan pseudo-efedrin atau secara topikal dalam bentuk tetes hidung
maupun semprot hidung yakni fenileprin, efedrin dan semua derivat imidazolin.
Penggunaan secara topikal lebih cepat dalam mengatasi buntu hidung dibandingkan
dengan penggunaan sistemik.
Tetes hidung sangat efektif untuk mengatasi buntu hidung pada rinitis alergi, akan
tetapi pemakaian jangka panjang (> 7 hari) tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
rinitis medikamentosa. Ini terjadi karena pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
reseptor adrenergik dalam mukosa hidung menjadi tidak peka lagi terhadap dekongestan.
Pada rinitis medikamentosa penderita akan mengeluh hidung buntu berkepanjangan dan
tidak responsif terhadap pemberian dekongestan.
Pemberian dekongestan oral tidak dianjurkan untuk jangka panjang, terutama
karena mempunyai efek samping stimulan Susunan Saraf Pusat (SSP), menyebabkan
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Obat ini tidak boleh diberikan pada
penderita hipertensi, penyakit jantung koroner, hipertiroid dan hipertropi prostat.
Dekongestan oral pada umumnya terdapat dalam bentuk kombinasi dengan
antihistamin atau dengan obat lain seperti antipiretik dan antitusif yang banyak dijual
sebagai obat bebas (Mulyarjo, 2006).

2.12.1.3 Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat antiinflamasi yang kuat dan berperan penting dalam
pengobatan RA. Penggunaan secara sistemik dapat dengan cepat mengatasi inflamasi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
yang akut sehingga dianjurkan hanya untuk penggunaan jangka pendek yakni pada gejala
buntu hidung yang berat. Gejala buntu hidung merupakan gejala utama yang paling
sering mengganggu penderita RA yang berat. Pada kondisi akut kortikosteroid oral
diberikan dalam jangka pendek 7-14 hari dengan tapering off, tergantung dari respon
pengobatan.
Kortikosteroid meskipun mempunyai khasiat anti inflamasi yang tinggi, namun
juga mempunyai efek sistemik yang tidak menguntungkan. Pemakaian intranasal akan
memaksimalkan efek topikal pada mukosa hidung dan mengurangi efek sistemik.
Berbagai produk kortikosteroid intranasal telah dipasarkan dengan menggunakan
berbagai karakteristik. Produk yang memenuhi kebutuhan adalah yang efektif dan aman
serta praktis pemakainnya. Untuk meningkatkan keamanan kortikosteroid intranasal
digunakan obat yang mempunyai efek topikal yang kuat dan efek sistemik yang rendah.
Produk mempunyai kelebihan dalam meminimalkan efek sistemik tersebut. Kepraktisan
dalam pemakaian, rasa serta bau obat akan mempengaruhi kepatuhan penderita dalam
menggunakan obat jangka panjang. Dosis sekali sehari lebih disukai dari pada dua kali
sehari karena lebih praktis sehingga meningkatkan kepatuhan. Beberapa kortikosteroid
intranasal yang banyak digunakan diantaranya adalah beklometason, flutikason,
mometason dan triamsinolon. Keempat obat tersebut mempunyai efektifitas dan
keamanan yang tidak berbeda (Mulyarjo, 2006).
Berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dari antihistamin dan kortikosteroid
intranasal untuk pengobatan rinitis alergi. Weiner et al, melakukan suatu meta-analisis
terhadap sejumlah penelitian yang sudah dilakukan untuk membandingkan efikasi
antihistamin dengan kortikosteroid intranasal pada pengobatan RA dan menyimpulkan
bahwa efektifitas kortikosteroid intranasal secara bermakna lebih disukai dari pada
antihistamin untuk pengobatan rinitis alergi (Mulyarjo, 2006).

2.12.1.4 Antagonis leukotrien
Leukotrien adalah asam lemak tak jenuh yang mengandung karbon yang
dilepaskan selama proses inflamasi. Leukotrien LTA4, LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4
dimetabolisasi melalui jalur 5-lipoxigenase sebagai respon terhadap paparan alergen dan
dapat menyebabkan inflamasi, kenaikan produksi mukus dan bronko-konstriksi.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan merupakan bagian dari grup asam lemak yang
disebut eikosanoid. Senyawa ini diturunkan melalui aktivasi berbagai tipe sel oleh
lipoksigenasi asam arakhidonat yang dibebaskan oleh fosfolipase A2 di membran
perinuklear yang memisahkan nukleus dari sitoplasma. Asam arakidonat sendiri
merupakan subsrat dari siklo-oksigenase yang aktivitasnya menghasilkan prostaglandin
dan tromboksan (Mulyarjo, 2006).
Sintesis leukotrien oleh aktifitas enzim 5-lipoksigenase terhadap asam arakidonat.
Enzim tersebut tidak dapat memetabolisme asam arakidonat bebas, tetapi harus berikatan
dulu dengan protein membran yang disebut FLAP (5-lipoksigenase activating protein).
Interaksi asam arakidonat dengan FLAP dan 5-lipoksigenase menghasilkan komposisi 5-
hydroxyperoxy-eiocosatetraenoic acid (5-HPETE) yang tidak stabil. Selanjutnya
komposisi tersebut akan berkurang atau berubah menjadi leukotrien A4 (LTA4). Karena
pengaruh hidrolase LTA4 diubah menjadi LTB4, sedangkan enzim sintase (glutathione-
S-trasferase) mengubahnya menjadi LTC4. Selanjutnya enzim transpeptidase mengubah
LTC4 menjadi LTD4 dan LTD4 diubah menjadi LTE4 oleh enzim dipeptidase. Ketiga
leukotrien terakhir inilah yang berpengaruh pada inflamasi, spasmus bronkus dan
hyperresponsivness. Dengan demikian leukotrien juga merupakan mediator penting
terjadinya buntu hidung pada rinitis alergi.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008

Skema 3. Sintesa Leukotrien
Dalam upaya pengobatan RA belakangan ini berkembang obat antileukotrien
yang dinilai cukup besar manfaatnya bagi pengobatan RA. Ada dua macam antileukotrien
yakni inhibitor sintesis leukotrien dan antagonis reseptor leukotrien. Yang terbaru dapat
satu inhibitor sintesis leukotrien dan tiga antagonis reseptor leukotrien, yakni CysLT1
dan CysLT2. Yang pertama merupakan reseptor yang sensitif terhadap antagonis
leukotrien yang dipakai pada pengobatan RA.
Pada dasarnya antileokutrien bertujuan untuk menghambat kerja leukotrien
sebagai mediator inflamasi yakni dengan cara memblokade reseptor leukotrien atau
menghambat sintesis leukotrien. Dengan demikian diharapkan gejala akibat proses
inflamasi pada RA maupun asma dapat ditekan. Tiga obat antileukotrien yang pernah
dilaporkan penggunaannya yakni dua antagonis reseptor (zafirlukast dan montelukast),
serta satu inhibitor lipoksigenase (zileuton). Laporan hasil penggunaan obat-obat tersebut
pada RA belum secara luas dipublikasikan sehingga efektifitasnya belum banyak
diketahui (Mulyarjo, 2006).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
2.12.2 Imunoterapi spesifik
Secara umum indikasi imunoterapi adalah penderita RAP dengan gejala menetap
yang tidak responsif terhadap terapi konvensional. Rute pemberian imunoterapi yang
predominan adalah subkutan (Subcutaneus Immunoterapi/SIT). Imunoterapi subkutan
sudah secara luas dilakukan termasuk di Indonesia dengan hasil yang memuaskan dalam
mengurangi gejala RA dalam jangka panjang. Imunoterapi dikemukakan sebagai upaya
yang efektif untuk mencegah timbulnya serangan asma pada penderita rinitis. Meskipun
SIT terbukti banyak manfaatnya akan tetapi teknik ini mempunyai kelemahan karena
sifatnya yang invasif, dapat menimbulkan reaksi anafilaktik pada beberapa kasus, serta
tidak menyenangkan terutama bagi anak.
Rute sublingual (Sublingual Immunotherapy/ SLIT) akhir-akhir ini mulai
dilakukan terutama pada kasus rinitis dan asma. Sub Lingual Immunotherapy (SLIT)
pertama kali diteliti secara buta ganda dengan kontrol pada tahun 1966 dan semenjak itu
mulai banyak dilakukan karena cukup aman dan efektif serta cukup menyenangkan
terutama untuk anak. Dalam berbagai penelitian SLIT dilaporkan cukup efektif untuk
mengurangi gejala rinokonjungtivitis dan mencegah serangan asma. Salah satu hasil
penelitian melaporkan bahwa SLIT dapat menurunkan IgE spesifik terhadap tungau debu
rumah serta menurunkan eosinofil darah sedangkan secara klinis menurunkan konsumsi
obat secara bermakna. Namun demikian dari suatu review terhadap berbagai penelitian
yang membandingkan SIT dengan SLIT pada penanganan rino-konjungtivitis dan asma
disimpulkan bahwa efektifitas SLIT terhadap rino-konjungtivitis dinilai masih rendah
atau sedang dan SLIT saat ini belum dapat direkomendasikan sebagai alternatif pengganti
SIT.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, sebelum imunoterapi dilakukan
sensitivitas penderita terhadap alergen yang spesifik harus ditentukan dengan cermat
melalui tes kulit cukit maupun dengan RAST agar dapat dirancang terapi dengan tepat
pada penderita secara individual. Disamping itu dipersyaratkan agar imunoterapi
dilakukan oleh tenaga yang sudah terlatih (Mulyarjo, 2006).

2.12.3 Pembedahan
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Terapi pembedahan khususnya dilakukan pada penderita RA dengan buntu
hidung yang berat yang tidak responsif pada pengobatan farmakologi. Disamping itu
pembedahan juga dilakukan bila terjadi penyulit seperti rinosinusitis kronik. Bila ada
kelainan anatomis pada penderita RA seperti deviasi septum, pembedahan mungkin akan
bermanfaat untuk mengurangi keluhan buntu hidung. Pada penderita RAP yang sudah
lama dan parah, akan terjadi resistensi terhadap medikamentosa yang sering digunakan.
Di samping itu terjadi perubahan pada mukosa hidung diantaranya terjadi peningkatan
struktur kelenjar di konka inferior. Kedua kondisi tersebut menyebabkan buntu hidung
yang menetap sehingga diperlukan terapi yang lebih agresif yakni pembedahan.
Turbinektomi inferior merupakan tindakan pembedahan yang bertujuan untuk
mengecilkan konka inferior merupakan tindakan yang diperkirakan efektif mengurangi
keluhan buntu hidung dan rinore pada RAP (Mulyarjo, 2006).
Berbagai teknik turbinektomi telah dilaporkan dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya. Teknik turbinektomi yang dilaporkan antara lain adalah : reseksi
sebagian konkka, kauter laser, kauter listrik, cryosurgery, reseksi submukosa dan reseksi
submukosa dengan lateral displacement. Talmon et al, melaporkan dalam penelitiannya
terhadap 357 penderita bahwa turbinektomi inferior total bilateral yang dilakukan
merupakan pembedahan yang relatif aman dan efektif. Akan tetapi laporan lain dari
sebuah penelitian random yang dilakukan oleh Passali et al terhadap 382 penderita yang
dilakukan turbinektomi dengan berbagai teknik, dalam evaluasi selama 6 tahun pasca
bedah menghasilkan temuan bahwa hanya reseksi submukosa yang menghasilkan
perubahan optimal jangka panjang terhadap patensi rongga hidung, restorasi klirens
mukosilier dan kadar IgA mukosa. Meskipun demikian dilaporkan juga bahwa
komplikasi perdarahan dapat terjadi pada reseksi, baik sebagian konka maupun
submukosa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa turbonektomi dapat menjadi alternatif
solusi untuk mengatasi buntu hidung yang berat pada RAP. Perlu dipilih teknik
pembedahan yang tepat serta dilakukan oleh tenaga yang terlatih agar didapatkan hasil
yang efektif (Mulyarjo, 2006).

2.13 Komplikasi
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Rinitis alergi adalah penyakit alergi yang sering dijumpai di seluruh dunia. Rinitis
alergi bukan hanya menyebabkan keadaan yang menyusahkan, tetapi juga memberi
kontribusi variasi komplikasi seperti sinusitis, otitis media dan asma (Klaewsongkram et
al, 2003). Telah diketahui, bahwa alergi memberikan kontribusi terhadap otitis media.
Tetapi bukti yang ada bertentangan. Beberapa studi tidak menerangkan prevalensi yang
lebih besar pada penderita atopi dan alergi pada otitis media dibandingkan dengan subjek
kontrol yang normal sehingga hal tersebut mungkin bisa terjadi bahwa perubahan
patologis yang berhubungan dengan rinitis dapat mengakibatkan obstruksi di tuba
Eustachius dengan disfungi dan efusi telinga tengah. Hal ini terlihat bahwa otitis media
serosa bukan suatu penyakit alergi tetapi sering merupakan komplikasi dari alergi hidung,
khususnya pada anak-anak. Hubungan antara alergi dan sinusutis ada dua. Yang pertama,
alergi mungkin memberikan konstribusi terhadap obstruksi pada ostium sinus, dalam hal
ini mewakili faktor predisposisi. Yang kedua, rinitis alergi perenial memiliki beberapa
bentuk sinusitis kronis, khususnya sekret hidung dan obstruksi. Rinitis alergi dan asma
bronkial sering terjadi bersamaan, sebagai contoh, pasien yang menderita RA musiman
berat biasanya akan menimbulkan gejala mengi musiman yang memuncak dan rasa
terikat di dada. Hal ini penting untuk terapinya yang berhubungan dengan asma. Lebih
dari itu, pengobatan rinitis dengan perbaikan jalan nafas pada hidung juga dapat
memperbaiki gejala asma (Durham, 1997; Dhingra, 2007).
2.14 Prognosis
Secara umum baik. Penyakit rinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang
dengan bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat
(Becker, 1994) .Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu 5-7
tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekuensinya dibandingkan dengan
rinitis alergi perenial (Rusmono, 1993).







Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross
sectional).

3.2. Tempat Dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dan pengerjaan tes kulit cukit dilakukan di Departemen
THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei
2007.

3.3. Populasi Dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi penelitian adalah semua penderita yang disangka menderita rinitis
alergi yang datang berobat ke poliklinik Departemen THT-KL FK USU/RSUP
H. Adam Malik Medan.
3.3.2. Sampel penelitian adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi
kriteria inklusi.
Kriteria Inklusi:
a. Penderita mempunyai gejala rinitis alergi
b. Usia 15 tahun ke atas
c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani formulir persetujuan
setelah mendapat penjelasan (informed concent).
d. Bersedia dilakukan pemeriksaan tes kulit cukit
e. Bebas obat anti alergi selama 5 hari
f. Tes kulit cukit positif adalah setiap diameter bintul +3 dan +4 yang terjadi
pada setiap alergen.
Kriteria eksklusi
a. Wanita hamil/ menyusui
b. Tes kulit cukit negatif, diameter bintul +1 dan +2 yang terjadi pada setiap
alergen.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
3.3.3. Teknik pengambilan sampel dengan cara berurutan (concecutive sampling),
menurut Cummings and Hulley (1988) seperti yang dikutip Nugraha (2005)
merupakan salah satu cara yang terbaik yaitu : setiap pasien yang memenuhi
kriteria inklusi yang datang ke poliklinik Departemen THT-KL FK USU/RSUP
H. Adam Malik Medan secara berurutan dijadikan sampel sampai tercapai
jumlahnya.
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus (Budiarto, 2002) :

n = Z
2
.p(1-p) = 1,96
2
.0,20(1-0,20) = 61,46 = 62 kasus
d
2
0,1
2

dimana:
n = Besarnya sampel
Z = Simpangan rata-rata distribusi normal standar pada derajat
kemaknaan (1,96)
p = Proporsi penderita rinitis alergi (20%) (Ciprandi et al, 2005)
d = Kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi (0,1)


3.4.Kerangka Konsepsional


Alergen Rinitis Alergi
- Umur
- Jenis Kelamin
- Keluhan

Skin
PrickTest
Jenis Alergen







3.5. Batasan Operasional
3.5.1. Rinitis alergi secara klinis didefenisikan sebagai gangguan fungsi hidung,
terjadi setelah pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang
diperantarai IgE dengan gejala rinorea, obstruksi hidung, hidung gatal, bersin-
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
bersin yang dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan (Bosquet et al,
2001).
Diagnosa rinitis alergi didapatkan melalui anamnese yang cermat, pemeriksaan
rinoskopi anterior serta tes kulit cukit
Anamnesis meliputi gejala berupa gatal pada hidung, bersin, beringus, hidung
tersumbat, gangguan penghidu.
Pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan edema dari konka inferior / media,
sekret bening encer (mukoid), mukosa pucat, kadang-kadang terdapat konka
hipertropi.
Pemeriksaan tes kulit cukit positif terhadap satu atau beberapa alergen inhalan.
3.5.2. Alergen adalah substansi antigenik yang dapat menyebabkan hipersensitivitas
yang cepat (alergi). Pada penelitian ini dipakai satu set alergen inhalan yang
terdiri dari 14 macam alergen termasuk kontrol positif (histamin) dan kontrol
negatif (buffer).
3.5.3. Tes kulit cukit adalah merupakan suatu tes alergi dengan menggunakan ekstrak
alergen, respon positif dapat berarti suatu keadaan hipersensitifitas yang sangat
tinggi, nilai tes ini memiliki sensitifitas dan spesitifitas yang baik terhadap IgE
RAST (Madiadipoera, 1996; Sumarman, 2001).
- (negatif) : apabila sama dengan kontrol negatif.
+ 1 (ringan) : apabila bintul (wheal) lebih besar dari kontrol negatif
dan atau terdapat daerah eritema.
+2 (sedang) : apabila bintul lebih kecil dari kontrol positif tetapi
2 mm lebih besar dari kontrol negatif.
+3 (kuat) : apabila bintul sama besar dengan kontrol positif
+4 (sangat kuat) :apabila bintul lebih besar dari kontrol positif
Dalam penelitian ini, hasil positif pada tes kulit cukit adalah setiap diameter
bintul +3 dan +4 yang terjadi pada setiap alergen
3.5.4. Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir. Perhitungannya
berdasarkan kalender Masehi
3.5.5. Jenis kelamin yaitu laki laki atau perempuan
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
3.5.6. Keluhan adalah keadaan atau kondisi yang menyebabkan penderita datang
berobat

3.6. Bahan Dan Alat Yang Dipakai
3.6.1. Bahan yang dipakai
a. Ekstrak alergen inhalan Dr. Indrajana. Lembaga Alergen Pertama
Indonesia (LAPI) Jakarta.
b. 1 set alergen inhalan terdiri dari 14 macam alergen termasuk di dalamnya
kontrol positif ( histamin ) dan kontrol negatif (buffer)
3.6.2. Alat yang dipakai
a. Alat pemeriksa THT rutin
b. Jarum suntik No. 26 G

(Terumo)
c. Alkohol 70%
d. Kapas dan kasa

3.7. Persiapan
3.7.1. Menyusun status penelitian
3.7.2. Membuat informed consent (penjelasan untuk calon peserta penelitian)
3.7.3. Mengurus izin persetujuan komite etik tentang pelaksanaan penelitian bidang
kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja
Terhadap setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi, dilakukan :
3.8.1. Anamnesis yang berhubungan dengan keluhan pasien
3.8.2. Pemeriksaan THT rutin
3.8.3. Tes kulit cukit :
a. Lengan bawah bagian volar dibersihkan dengan alkohol 70% kemudian
dibiarkan sampai kering.
b. Dibuat marker tempat penetesan alergen.
c. Lalu teteskan zat-zat alergen
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
d. Melalui tetesan tersebut kulit dicukit dengan jarum suntik steril No.26 G

(Terumo) dengan sudut 45
0
sedalam epidermis dan diangkat sedikit ke
permukaan dan jangan sampai mengeluarkan darah. Setiap jarum hanya
dipakai satu kali untuk satu jenis alergen
e. Setelah 15 menit dilakukan penilaian
f. Bagi penderita pada daerah yang dicukit akan timbul reaksi bintul (wheal)
dan atau kemerahan (flare). Sebagai kontrol positif adalah larutan histamin
yang pada semua individu akan timbul reaksi wheal dan flare. Sebagai
kontrol negatif adalah larutan buffer yang umumnya tidak menimbulkan
reaksi. Pembacaan hasil dilakukan menurut Metode Pepys.

3.9. Kerangka Kerja






















Pasien THT
Anamnesis
Pemeriksaan THT
Test kulit cukit
(-)
Test kulit cukit
(+)
Tes kulit cukit
Sangkaan rinitis alergi
Jenis alergen


3.10.Analisa Data
Semua data yang terkumpul diolah dan disusun dalam bentuk tabel. Data yang
diperoleh dianalisis secara statistik dengan bantuan program Window SPSS (Statistical
Package for Social science).

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Departemen THT-KL FK USU/ RSUP H. Adam Malik
Medan. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei 2007. Terdapat 62 penderita rinitis alergi
yang sesuai dengan kriteria sampel penelitian.
Tabel 4.1. Distribusi Kelompok Umur Penderita Rinitis Alergi

Umur Jumlah %

11 - 20 5 8,1
21 - 30 22 35,5
31 - 40 20 32,2
41 - 50 14 22,6
51 60 1 1,6
Jumlah 62 100

Dari tabel 4.1 didapat penderita rinitis alergi paling banyak dijumpai pada kelompok
umur 21 30 tahun sebanyak 22 penderita (35,5 %), yang paling sedikit dijumpai pada
kelompok umur 51 60 tahun sebanyak 1 penderita (1,6%).

Tabel 4.2. Distribusi Jenis Kelamin Penderita Rinitis Alergi

Jenis Kelamin Jumlah %

Laki-laki 8 12,9
Perempuan 54 87,1
Jumlah 62 100

Dari Tabel 4.2. didapat sampel penelitian penderita rinitis alergi paling banyak jenis
kelamin perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%)
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Tabel 4.3. Distribusi Keluhan Penderita Rinitis Alergi

Keluhan Jumlah %

- Rasa gatal dihidung 50 80,6
- Bersin-bersin 59 95,2
- Hidung tersumbat 53 85,5
- Keluar cairan hidung 52 83,9
- Penciuman berkurang 27 43,5
- Mata gatal 32 51,6

Dari Tabel 4.3. didapat keluhan paling banyak dijumpai adalah bersin-bersin sebanyak 59
penderita (95,2 %) dan yang paling sedikit adalah penciuman berkurang sebanyak 27
penderita (43,5 %).

Tabel 4.4. Distribusi Alergen Berdasarkan Tes Kulit Cukit Penderita Rinitis Alergi.


Alergen Jumlah Penderita %

- Serpih kulit ayam 1 1,6
- Serpi kulit kuda 9 14,5
- Serpih kulit kucing 7 11,3
- Serpih kulit anjing 10 16,1
- Kecoa 26 41,9
- Jamur campuran 17 27,4
- Serbuk sari jagung 5 8,1
- Serbuk sari padi 12 19,4
- Serbuk sari rumput 4 6,5
- Serpih kulit manusia 9 14,5
- Tungau 27 43,5
- Debu rumah 26 41,9


Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Dari Tabel 4.4. didapat alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27
penderita (43,5 %) dan yang paling sedikit adalah serpih kulit ayam sebanyal 1 penderita
(1,6%).

Diagram 1. Distribusi Alergen Berdasarkan Uji Kulit Cukit
Penderita Rinitis Alergi
14,50%
1,60%
43,50%
41,90%
19,40%
14,50%
11,30%
16,10%
41,90%
27,40%
6,50%
8,10%
0,00%
5,00%
10,00%
15,00%
20,00%
25,00%
30,00%
35,00%
40,00%
45,00%
50,00%
S
e
r
p
i
h

k
u
l
i
t

a
y
a
m
S
e
r
p
i
h

k
u
l
i
t

k
u
d
a
S
e
r
p
i
h

k
u
l
i
t

k
u
c
i
n
g
S
e
r
p
i
h

k
u
l
i
t

a
n
j
i
n
g
k
e
c
o
a
j
a
m
u
r

c
a
m
p
u
r
a
n
S
e
r
b
u
k

s
a
r
i

j
a
g
u
n
g
S
e
r
b
u
k

s
a
r
i

p
a
d
i
S
e
r
b
u
k

s
a
r
i

r
u
m
p
u
t
S
e
r
p
i
h

k
u
l
i
t

m
a
n
u
s
i
a
T
u
n
g
a
u

d
e
b
u

r
u
m
a
h
D
e
b
u

r
u
m
a
h









Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Tabel 4.5.1. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin
Alergen
Laki-laki % Perempuan %


- Serpih kulit ayam 0 0 1 1,60

- Serpi kulit kuda 2 3,22 7 11,28

- Serpih kulit kucing 1 1,61 6 9,69

- Serpih kulit anjing 2 3,22 8 12,88

- Kecoa 5 8,06 21 33,84

- Jamur campuran 1 1,61 16 25,69
- Serbuk sari jagung 1 1,62 4 6,48

- Serbuk sari padi 1 1,61 11 17,79

- Serbuk sari rumput 0 0 4 6,50

- Serpih kulit manusia 0 0 9 14,50

- Tungau 3 4,83 24 38,67

- Debu rumah 4 6,44 22 35,46


Dari tabel 4.5.1 didapat pada sampel penelitian alergen paling banyak pada penderita
rinitis alergi laki-laki adalah kecoa, sebanyak 5 penderita ( 8,06%) dan alergen paling
banyak pada perempuan adalah tungau debu rumah, sebanyak 24 penderita (38,67%).








Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Tabel 4.5.2. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Berdasarkan Kelompok
Umur
Kelompok Umur
Alergen
< 20 21 30 31 40 41 50 51- 60

- Serpih kulit ayam 0 1 0 0 0
- Serpi kulit kuda 0 7 0 2 0
- Serpih kulit kucing 1 6 0 0 0
- Serpih kulit anjing 0 7 3 0 0
- Kecoa 2 14 7 3 0
- Jamur campuran 3 4 7 3 0
- Serbuk sari padi 1 6 3 2 0
- Serbuk sari jagung 1 2 1 1 0
- Serbuk sari rumput 2 0 1 1 0
- Serpih kulit manusia 1 2 4 2 0
- Tungau 5 11 7 4 0
- Debu rumah 3 6 9 7 1

Dari tabel 4.5.2. didapat alergen paling banyak pada kelompok umur 21 30 tahun
adalah kecoa sebanyak 14 penderita (22,58%).












Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
BAB 5
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi alergen pada penderita rinitis
alergi di Departemen THT-KL FK-USU/RSUP H.Adam Malik Medan. Penelitian ini
dilakukan sejak bulan Mei 2007 dan didapatkan 62 orang penderita rinitis alergi yang
memenuhi kriteria sampel penelitian yang terdiri dari 8 laki-laki dan 54 perempuan.
Pemilihan kriteria umur pada setiap peneliti berbeda-beda, peneliti sendiri memilih
kriteria umur diatas 15 tahun, karena pada umur tersebut telah dianggap dewasa dan
kooperatif untuk dilakukan anamnese dan tes kulit cukit.
Pada tabel 4.1 terlihat kelompok umur penderita terbanyak adalah 21-30 tahun,
sebanyak 22 penderita (35,5%). Hanum (1989) pada penelitiannya di Medan
mendapatkan penderita terbanyak pada kelompok umur 20-29 tahun, sebanyak 13
penderita (41,94%). Rusmono (1992) pada penelitiannya di Jakarta mendapatkan
penderita terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun, sebanyak 33 penderita (22,44%).
Zainuddin (1999) pada penelitiannya di Palembang mendapatkan terbanyak pada
kelompok umur 21-25 tahun sebanyak 52 penderita (20,08%). Soewito (2006) pada
penelitiannya di Makassar mendapatkan kelompok umur terbanyak di bawah 30 tahun.
Yuen et al (2007) di Hongkong pada penelitiannya mendapatkan usia rata-rata 34 tahun.
Rinitis alergi cenderung timbul pada usia muda, menetap sampai dewasa, kemudian
menurun pada usia lanjut, walaupun Burr (1979) seperti yang dikutip oleh Rusmono
mendapatan prevalensi sebanyak 7,49% pada kelompok umur lebih dari 70 tahun.
Hasil yang didapat peneliti terlihat umur terbanyak hampir sama dengan yang
didapatkan oleh Hanum, Rusmono, dan Zainuddin serta tidak berbeda jauh dengan
peneliti-peneliti lainnya. Perbedaan umur oleh masing-masing peneliti lebih didasari oleh
pengelompokan umur.
Pada tabel 4.2, terlihat penderita terbanyak adalah perempuan sebanyak 54
penderita (87,1%) dan laki-laki 8 penderita (12,9%). Hanum (1989) pada penelitiannya di
Medan mendapatkan dari 31 penderita rinitis alergi, ditemukan perempuan lebih banyak
dari laki-laki dengan perbandingan 1.58 : 1. Avery (1988) dalam penelitiannya di New
Zealand seperti yang dikutip Zainuddin mendapatkan perempuan lebih banyak dari laki-
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
laki. Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan dari 259 penderita rinitis alergi
didapatkan 122 laki-laki dan 137 perempuan. Soewito (2006) di Makassar pada 152
orang penderita rinitis alergi didapatkan 76 laki-laki dan 76 perempuan. Budiwan (2007)
di Semarang pada penelitiannya dengan 80 penderita rinitis alergi mendapatkan laki-laki
37,5% dan perempuan 62,5%. Yuen et al (2007) pada penelitiannya di Hongkong
mendapatkan penderita rinitis kronik laki-laki 445 (46%) dan perempuan 532 (54%).
Mygind dan Tennenbaum seperti yang dikutip Zainuddin mengatakan bahwa rinitis alergi
pada anak-anak ditemukan lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan,
sedangkan pada usia dewasa keadaannya terbalik, sehingga secara keseluruhan tidak ada
perbedaan antara jumlah penderita laki-laki dan perempuan.
Hasil yang didapat peneliti berdasarkan jenis kelamin hampir sama dengan yang
didapat oleh Hanum, Zainuddin, Budiwan dan tidak jauh berbeda dengan peneliti lainnya.
Lebih banyaknya penderita rinitis alergi pada perempuan dalam penelitian ini
dimungkinkan karena yang datang berobat lebih banyak perempuan dan pada umumnya
perempuan lebih perduli dengan kesehatannya.
Pada tabel 4.3 terlihat keluhan terbanyak adalah bersin-bersin 59 penderita
(95,2%), hidung tersumbat 53 penderita (85,5%), dan keluar cairan dari hidung 52
penderita (83,9%). Hanum (1989) pada penelitiannya di Medan mendapatkan keluhan
yang sering dijumpai berupa bersin-bersin (96,77%) diikuti obstruksi hidung (80,64%).
Zainuddin (1999) di Palembang mendapatkan keluhan yang terbanyak adalah ingus encer
(95,65%), diikuti oleh bersin-bersin (86,96%). Budiwan (2007) di Semarang
mendapatkan keluhan adalah bersin-bersin (46,3%), hidung berair (27,5%), hidung
tersumbat (17,5%).
Hasil yang didapat peneliti keluhan terbanyak hampir sama dengan yang didapat
oleh Hanum, Zainuddin, Budiwan. Perbedaan jumlah keluhan penderita rinitis alergi
kemungkinan disebabkan jumlah sampel yang berbeda.
Pada tabel 4.4 terlihat tungau debu rumah (43,5%), debu rumah (41,9%), dan
kecoa (41,9%) merupakan alergen terbanyak yang dijumpai berdasarkan hasil
pemeriksaan tes kulit cukit. Hanum (1989) pada penelitiannya di Medan mengemukakan
hasil tes kulit cukit dari berbagai jenis alergen pada penderita rinitis alergi mendapatkan
tungau debu rumah dan debu rumah menempati urutan terbanyak masing-masing 100%.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Sumarman (1998) yang dikutip oleh Kosasih (2004) di Bandung mengemukakan hasil tes
kulit cukit dari berbagai jenis alergen hirup dalam rumah pada penderita rinitis alergi
mendapatkan tungau debu rumah dan debu rumah adalah alergen yang terbanyak
dijumpai (100%). Cora (2002) pada penelitiannya di Medan mendapatkan jenis alergen
yang terbanyak dijumpai pada penderita sinusitis maksila kronis adalah debu rumah
(56,09%) dan tungau debu rumah (48,78%). Soewito (2006) mendapatkan alergen
terbanyak pada penderita rinitis alergi adalah tungau debu rumah (75,6%) dan kecoa
(53,2%). Amalia (2007) pada penelitiannya di Medan mendapatkan jenis alergen
terbanyak pada penderita otitis media akut adalah tungau debu rumah (82,61%), debu
rumah (76,10%) dan kecoa (76,10%). Yuen et al (2007) di Hongkong pada penelitiannya
mendapatkan jenis alergen terbanyak pada penderita rinitis kronik adalah tungau debu
rumah (63%), kecoa (23%), dan serpih kulit kucing (14%). Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian di beberapa tempat lain. Kanthawatana et al, (1997), pada
penelitiannya di Thailand mengemukakan bahwa spesies Dermatophagoides
pterynosinus adalah tungau debu rumah yang paling sering ditemukan dan tungau debu
rumah merupakan salah satu alergen inhalan yang paling sering dijumpai di dunia
(Kanthawatana et el.1997). Tungau spesies ini banyak ditemukan di tempat tidur dan
termasuk alergen hirup dalam rumah yang selalu terdapat pada lingkungan hidup manusia
dan biasanya menempel pada partikel-partikel debu rumah, sehingga kontak dengan
alergen ini sulit dihindari. Debu rumah mengandung bermacam-macam bahan organik
dan anorganik. Bahan organik debu rumah ada yang bersifat alergenik, di antaranya feses
dan partikel tubuh atau kulit tungau debu rumah dari berbagai spesies, serpih kulit
binatang, kecoa, dan berbagai spora jamur (Kosasih, 2004).
Hasil tes kulit cukit positip mengindikasikan bahwa di dalam tubuh penderita
sudah dihasilkan antibodi IgE terhadap alergen spesifik yang berarti sudah terjadi proses
pengenalan antara antigen spesifik dengan antibodi (sudah terjadi proses sensitisasi).
Hasil tes kulit cukit yang negatip pada penelitian ini selain menunjukkan belum terjadi
proses sensitisasi pada tubuh penderita, tetapi juga menunjukkan kemungkinan alergen
yang tersentisisasi pada tubuh penderita bukanlah alergen yang berasal dari 12 jenis
alergen yang digunakan pada tes kulit cukit dalam penelitian ini.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Pada tabel 4.5.1 diketahui pada sampel penelitian alergen terbanyak pada
penderita rinitis alergi laki-laki adalah kecoa, sebanyak 5 penderita (8,06%) dan alergen
terbanyak pada perempuan adalah tungau debu rumah sebanyak 24 penderita (38,67%).
Peneliti belum mendapatkan literatur penelitian-penelitian terdahulu sebagai pembanding.
Pada tabel 4.5.2. diketahui sampel penelitian rinitis alergi dijumpai alergen
terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa sebanyak 14 penderita
(22,58%).
Peneliti belum mendapatkan literatur penelitian-penelitian terdahulu sebagai
pembanding.



























Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Distribusi kelompok umur penderita rinitis alergi paling banyak adalah kelompok
umur 21 30 sebanyak 22 penderita (35,5%).
2. Distribusi jenis kelamin pada penderita rinitis alergi paling banyak adalah
perempuan sebanyak 54 penderita (87,1%).
3. Distribusi keluhan paling banyak adalah bersin-bersin 59 penderita (95,2%).
4. Distribusi alergen paling banyak adalah tungau debu rumah sebanyak 27
penderita (43,5%).
5. Distribusi alergen paling banyak pada laki-laki adalah kecoa, 5 penderita (8,06%),
sedangkan pada perempuan adalah tungau debu rumah, 24 penderita (38,67%).
6. Distribusi alergen paling banyak pada kelompok umur 21-30 tahun adalah kecoa
sebanyak 14 penderita (22,58%).

6.2 Saran
1. Mengoptimalkan cara pemeriksaan invivo (tes kulit, tes provokasi hidung) dan
invitro (pemeriksaan morfologi, pemeriksaan IgE, pemeriksaan IgE spesifik /
RAST, modifikasi dari RAST) untuk menegakkan diagnosa rinitis alergi.
2. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel lebih banyak sebagai dasar
pembuatan prosedur tetap (Protap) diagnosa dan penatalaksanaan rinitis alergi.
3. Diperlukan penelitian untuk standarisasi alergen yang khas di Indonesia.









Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
DAFTAR PUSTAKA

ASCIA,2004, Management of Alergic Rhinitis, In : ASCIA Education Resources
Information for Health Professionals, Australia

Ballenger JJ, 1994, Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal,
Dalam : Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Kepala, dan Leher, Alih Bahasa :
Staf Pengajar FK-UI RSCM, Bina Rupa Aksara, Jakarta, pp.1-27

Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR, 1994, Clinical Aspects of Diseases of the Nose,
Sinuses, and Faces, In : Buckingham RA, ed, Ear, Nose, and Throat Diseases, A
pocket Reference, Second revised edition , Thieme Medical Publishers Inc, New
York, pp.208-10

Blumenthal MN, 1989, Allergic Conditions in Otolaryngology Patiens, In : Boies
Fundamentals of Otolaryngology, Sixth Edition, WB, Saunders Company,
Philadelphia,pp.196-8
Bosquet et al ,2000, Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In :World Health
Organization Initiative Management of Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma (ARIA), WHO, pp.3-7

Budiarto E, 2004, Penelitian Deskriptif, Dalam : Metodologi Penelitian Kedokteran,
Sebuah Pengantar, Cetakan 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,pp.48,

Budiwan A dan Suprihati,2007,Hubungan Hasil Test Kulit Terhadap Dermatopagoides
pada Penderita Rinitis Alergi dengan Riwayat Atopi Di RSUP DR,Kariadi
Semarang, Dalam : Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis
THT-KL Indonesia, Surabaya,pp.13

Ciprandi, Vissaccaro, Cirillo, Tosca, Massolo,2005, Nasal Eosinophils Display the Best
Correlation with Symptoms, Pulmonary Function and Inflammation in Allergic
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Rhinitis, In : International Archives of Allergy and Immunology, Available at:
http:/www,proquest,com/ent/allergy immunology
Colman BH,1992, Diseases of the Nasal Cavity (II), In : Hall & Colmans Diseases of
the Nose, Throat and Ear, and Head and Neck, Fourteenth Edition, ELBS with
Churchill Livingstone, pp. 29-34

Cora Z, 2002, Korelasi tes kulit cukit dengan kejadian sinusitis maksila kronis di bagian
THT FK USU/ RSUP,H,Adam Malik Medan tahun 2001, Tesis, FK Universitas
Sumatera Utara, Medan

Danandjaja S, 2001, Nasacort : What Makes the Difference, A Pharmacological Review
Dalam : Kumpulan makalah Symposium Current and Future Approach in
Treatment of Allergic Rhinitis kerjasama PERHATI Jaya Bagian THT FK
UI/RSCM, Jakarta,pp.1 5

Dhingra PL,2007, Allergic Rhinitis, In : Diseases of Ear, Nose and Throat, Fourth
Edition,Elsevier,New Delhi India,pp.159

Dhingra PL,2007, Fisiology of Nose, In : Diseases of Ear, Nose and Throat, Fourth
Edition,Elsevier,New Delhi India,pp.133-5

Dorlan dan Newman W,A,1994, Dorlands Ilustrated Medical Dictionary, WB,Saunders
Company, Philadelphia 20th Edition,pp.47
Durham SR, 2006, Mechanism and Treatment of Allergic Rhinitis, In : Kerr AG, ed,
Scott- Browns Otolaryngology, Sixth Edition, Vol,4, Butterworth-Heinemann,
London,pp. 4/6/1-14

Hanum TS,1989,Hubungan Rinitis Alergi dengan Jumlah Eosinofil Sekret Hidung di
Lab,THT FK USU/Rs,Pirngadi Medan,Tesis FK Universitas Sumatera Utara,

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Harmadji S, 1993, Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT, Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi
Irawati N, 2002, Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulamn
Makalah Simposium Current Opinion In Allergy and Clinical Immunology,
Divisi Alergi-Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta
Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N, 2001, Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi kelima, Balai Penerbit
FK UI, Jakarta, pp.101 6

Jackola DR, Mullany LP, Blumenthal MN, et al 2003, Allergen Skin Test Reaction
Patterns in Children ( 10 years old) from Atopic Families Suggest Age
Dependent Changes in Allergen IgE Binding in Early Life, International
Archives of Allergy and Immunology, Vol.132, No.4,pp. 354 371

Kanthawatana S, Maturim W, Fooanan S, et al, 1997, Skin Prick Reaction and Nasal
Provocation Response in Diagnosis of Nasal Allergyto the House Dust Mite,
Annals of Allergy, Asthma, and Imunology,Vol.79,No.5,pp.428

Kaplan AP dan Cauwenberge PV,2003, Allergic Rhinitis In : GLORIA Global
Resources in Allergy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised
Guidelines, Milwaukee, USA,P, 12

Karjadi T,H,2001, Rinitis Alergi Dalam : Kumpulan Makalah Update Allergen and
Clinical Immunology, Bogor,,pp.63-7

Katalaris C,H, 1997, Pathophysiology of Allergic Rhinitis In : ASEAN Rhinological
Practice of Otolaryngology Faculty of Medicine Siriraj Hospital, Mahidol
University, Siriyod, Bangkok,pp.1 11

King HC, Mabry RL, Mabry CS,1998, Testing Methods for Inhalant Allergy, In :
Allergy in ENT Practice A basic Cruide, Thieme, New York,pp.110-15,
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008

Klaewsongkram J, Ruxrungtham K, Wannakrairot P, Ruangvejvorachai P, Phanupak P,
2003, Eosinophil Count In Mucosa is more Suitable than the Number of ICAM-1-
Positive Nasal Epithelial Cells to Evaluate the Severity of House Dust Mite-
Sensitive Alergic Rhinitis, A Clinical Corelation Study, Int, Arch Allergy
Immunol,pp.68-75

Kosasih YS,2004, Pengaruh Gradasi Klinis Rinitis Alergi dan Gradasi Septum Deviasi
terhadap Gradasi Rinosinusitis Maksilaris Kronis, Tesis, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran Bandung

Kresno SB, 2001, Reaksi Hipersensitivitas, Dalam : Imunologi: Diagnosis dan Prosedur
Laboratorium, Edisi keempat, Balai Penerbit FK UI , Jakarta,pp136-60

Krouse JH, Gordon BR , Parker MJ,2002, Inhalant Allergy, In : Allergy and
Immunology An Otolaryngc Approach, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia,pp.35-49

Krouse,J,H,2006 Allergic and Non allergic Rhinitis, In : Bailey Ed, Head and Neck
Surgery- Otolaryngology, Fourth Edition , Vol. one, Lippincott-Raven Publisher
USA,pp. 351-63

Lee KJ,2003, Immunology and Aleergy, In : Essentian Otolaryngology Head & Neck
Surgery, Eightth Edition, McGraw Hill, New York,pp.279-80

Madiadipoera T, 1996, Diagnosis Rinitis Alergi,Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah
Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorok Indonesia (PERHATI), Batu, Malang, pp.79

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Mira A, 2007, Perbandingan Kejadian Otitis Media Akut Pada Individu Atopi dan Non
Atopi di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H,Adam Malik Medan, Tesis
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , Medan

Mulyarjo,2006, Penganganan Rinitis Alergi : Pendekatan Berorientasi pada Simtom,
Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini
Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan Kursus Demo
Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti,Malang,pp. 10,2,1-18

Nugraha BW,2005, Validitas Pemeriksaan Sitologi Eosinofil Mukosa Hidung Metode
Sikatan untuk Diagnosis Rinitis Alergi, Tesis,Bagian Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada,Yogyakarta

Prijanto S, 1993, Terapi Medikamentosa Penyakit Alergi THT ,Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegaran Alergi Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI,
Bukit Tinggi, pp.41 5

Prijanto S, 1996, Epidemiologi, Keterbatasan, dan Alternatif Penanganan Penyakit
Alergi THT, Dalam: Kumpulan Naskah PIT PERHATI, Immanuel Press, Malang,
pp. 51-8.

Rusmono N, 1993,Epidemiologi dan Insidensi Penyakit Alergi di Bidang Telinga,
Hidung dan Tenggorok,Dalam : Kumpulan Makalah Kursus Penyegaran Alergi
Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI, Bukit Tinggi,,pp.1-5

Soetjipto D dan Mangunkusumo E,2001, Hidung, Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala,dan Leher edisi Kelima, Balai Penerbit FK
UI, Jakarta,pp.101-6

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Soewito MY dan Azis M,2007,Gambaran Umum Penderita Suspek Rinitis Alergi Yang
dilakukan Tes Cukit Kulit Alergen Inhalan di Poli Alergi Imunologi RSWS tahun
2005-2006, Dalam : Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis
THT-KL Indonesia, Surabaya,pp.13

Sumarman I, 2001,Patofisiologi dan Prosedur Diagnostic Rinitis Alergi Dalam :
Kumpulan Makalah Simposium Current and Future Approach in Treatment of
Allergic Rhinitis kerjasama PERHATI Jaya - Bagian THT FK UI / RSCM,
Jakarta,pp.14-18

Suprihati W, 2005, Peran Immunoterapi Spesifik pada Pengobatan Rinitis Alergi (The
Role of Spesific Immunotherapy in Allergic Rhinitis Treatment) Dalam :
Makalah Simposium Satelit I Rhinitis Allergic kongres nasional V, Perhimpunan
Alergi Imunologi Indonesia (Peralmuni), Jakarta,pp.1-21

Suprihati,2005, The Prevalence of Allergic Rhinitis and Its Relation to some Risk
Factors among 13-14 years old students in Semarang, Indonesia, In : Indonesian
Journal of Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery, Vol,XXXV, no 1,
Jakarta,pp.64-70

Suprihati,2006, Patofisiologi Rinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Naskah Simposium
Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta
Rinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan
Septorinoplasti,Malang,pp.10,1,1-15

Trevino RJ, Gordon BR, Veling MC, 2002, Food Allergy and Hypersensitivity, In:
Allergy and Immunology an Otolaryngic Approach, Lippincolt Willaims &
Wilkins, Philadelphia, pp. 53-4.

Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Yuen APW, Cheung S, Tang KC, et al 2007, The Skin Prick Test Results of 977 Patients
Suffering from Chronic Rhinitis in Hongkong, Hongkong Med J, vol. 13, pp. 131-
6

Zainuddin H, 1999,Permasalahan Sekitar Rinitis Alergika Dalam : Kumpulan Naskah
Ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang,pp.648-74






























Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Lampiran 1

PERSETUJUAN UNTUK CALON PERSERTA PENELITIAN
(INFORMED CONSENT)

Apakah tujuan penelitian ini ?
Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui
distribusi alergen (bahan/zat pemicu reaksi alergi) pada penderita rinitis alergi (penyakit
alergi pada hidung yang ditandai dengan gejala bersin-bersin,beringus, hidung tersumbat)
di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan
Apa saja yang akan anda lakukan pada penelitian ini ?
Pada hari pemeriksaan, saya akan mencatat indentitas anda (No. Urut Penelitian, Tgl
berobat, No. Rekam Medik, Nama, Umur, Jenis kelamin, Suku, Pekerjaan, Pendidikan,
Alamat, No. Telepon,) gejala dan tanda penyakit yang anda derita pada lembaran
penelitian. Selanjutnya saya akan melakukan suatu pemeriksaan test kulit cukit pada anda
1 set alergen inhalan terdiri dari 14 macam alergen inhalan termasuk kontrol positif
(histamin) dan kontrol negatif (buffer) yang biasa dijumpai di lingkungan anda sehari
hari dengan menggunakan jarum kecil berurukuran 26G (Terumo) pada lengan bawah
anda dan akan menginterprestasi hasil yang diperoleh setelah 15 menit. Dengan adanya
hasil interprestasi dari test kulit cukit ini anda akan mengetahui bahan (alergen) yang
dapat menimbulkan reaksi alergi pada diri anda sehingga anda dapat menghindari alergen
tersebut. Dalam megikuti penelitian ini, anda tidak akan dikenakan biaya apa-apa.
Bagaimana jika tidak ingin berpartisipasi ?
Partisipasi anda pada penelitian ini bersifat sukarela. Tidak akan terjadi perubahan mutu
pelayanan dari dokter anda bila anda tidak bersedia mengikuti penelitian ini. Anda tetap
akan mendapatkan pelayanan kesehatan standar rutin sesuai dengan standar prosedur
pelayanan.
Bagaimana kerahasiaan hasil dari penelitian ini ?
Pada penelitian ini identitas anda akan disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota
peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data anda
sepenuhnya akan dijamin. Bila data anda dipublikasikan kerahasiaan akan tetap dijaga.
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Lampiran 2

PERNYATAAN PERSETUJUAN
Setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan memahaminya, maka dengan
sepenuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan besedia
berpartisipasi pada penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut,
saya akan bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.
Dokter Peneliti, Medan, 2007 Peserta Penelitian,

dr. Patar L.H.Lumbanraja Nama :
Dep. THT-KL FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan,
Telp : 0812 650 3907























Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Lampiran 3

Status Penelitian
I.Identitas Penderita
No. Urut Penelitian :
Tanggal berobat :
No. MR :
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Suku :
Pekerjaan :
Pendidikan :
Alamat :
Telp/HP :

II. Anamnesis (The Allergy Quiz)
1. Apakah anda mempunyai problem pada HIDUNG?
Ya Tidak
Ya Tidak
2. Beri tanda gejala yang paling mengganggu :
- rasa gatal.
- bersin- bersin .
- hidung tersumbat....
- keluar cairan dari hidung ...
- penciuman berkurang.

3. Pada umur berapa anda mendapat keluhan pada hidung ?.......................
4. Apakah mata anda gatal ?..........................................................................
5. Apakah anda bersin - bersin lebih dari 5 kali dalam satu serangan ?......
6. Dalam 1 hari berapa kali anda mendapat serangan ?................................
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
7. Apakah hidung ada keluhan :
- di dalam ruangan.
- di luar ruangan
- pagi hari (pukul 05.00-11.00 Wib)
- siang hari (pukul 11.00-14.00 Wib)
- sore hari (pukul 14.00- 18.00 Wib)
- malam hari (Pukul 18.00-05.00 Wib)
- sepanjang hari

8. Apakah pernah anda kontak erat sehingga faktor tersebut sebagai faktor pencetus
jika ya jelaskan :
rumput ..
Bunga
Pohon.
binatang : anjing ..
kucing..
lain lain (jelaskan)..
debu..
lain lain (jelaskan) ..
9. Apakah ada riwayat penyakit alergi pada keluarga ........................................

III. Pemeriksaan THT Rutin
Telinga Kanan Kiri
- daun telinga : Normal/abnormal Normal/abnormal
- liang telinga : Normal/abnormal Normal/abnormal
- membran timpani : Utuh/Perforasi :........ Utuh/Perforasi :......
Bulging Bulging
Hiperemis Hiperemis
Hidung Kanan Kiri
Rinoskopi Anterior
- Kavum nasi : Lapang/sempit Lapang/sempit
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Mukosa :........... Mukosa :...........
- Konka inferior : Normal/edema/hipertropi Normal/edema/hipertropi
Mukosa :.......... Mukosa :...........
- Septum nasi : Normal/deviasi Normal/deviasi


Orofaring : Kanan Kiri
- Tonsil : T 1/T 2/T 3 T 1/T 2/T - 3
Tenang /hiperemis tenang / hiperemis
- Faring : tenang / Hiperemis
Granul
Diagnosa : ..........................................................................................................

V. UJI KULIT CUKIT (SKIN PRICK TEST)
Hasil : Positif / Negatif
Positif pada alergen : 1. .....................................................
2. .....................................................
3. .....................................................
4. .....................................................
5. .....................................................
6. .....................................................


VI. KESIMPULAN









Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Patar L.H. Lumbanraja : Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di Departemen THT-KL FK USU /RSUP, 2007
USU e-Repository 2008
Lampiran 4


SKIN PRICK TEST (TEST ALERGI)

Nama :
Umur :
Hari / Tgl :

1. Histamin 8. Jamur Campuran
2. Kontrol Buffer 9. Serbuk Sari Jagung
3. Serpih Kulit Ayam 10. Serbuk Sari Padi
4. Serpih Kulit Kuda 11. Serbuk Sari Rumput
5. Serpih Kulit Kucing 12. Serpih Kulit Manusia
6. Serpih Kulit Anjing 13. Tungau Debu Rumah
7. Kecoa 14. Debu Rumah

Medan, 2007
Dep. THT-KL FK USU /
RSUP. H.Adam Malik Medan



(Dr )

Anda mungkin juga menyukai