Anda di halaman 1dari 114

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN PENILAIAN CT-SCAN DAN MRI


DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA
PAPILOMA INVERTED SINONASAL

Penelitian Pendahuluan untuk Prediksi Lokasi Asal Tumor,


Keterlibatan Sinus Paranasal, dan Stadium Tumor Papiloma Inverted

TESIS

Ashadi Budi
0906647425

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
BIDANG STUDI ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
JAKARTA
JANUARI 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis isi adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ashadi Budi

NPM : 0906647425

Tanda Tangan :

Tanggal : 27 Desember 2013

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:


Nama : Ashadi Budi
NPM : 0906647425
Program studi : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher
Judul tesis : Perbandingan penilaian CT-scan dan MRI dengan penemuan
operasi pada papiloma inverted sinonasal (Penelitian
pendahuluan untuk prediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus
paranasal, dan stadium tumor papiloma inverted

Akan diuji di hadapan dewan penguji sebagai bagian dari persyaratan yang
diperlukan untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Studi Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia.

Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL(K)


Ketua Departemen THT-KL FKUI/RSCM ...................................................

dr. Nina Irawati, SpTHT-KL(K)


Ketua Program Studi ...................................................
Departemen THT-KL FKUI/RSCM

Dr. dr. Susyana Tamin, SpTHT-KL(K)


Koordinator Penelitian dan Pengembangan ...................................................
Departemen THT-KL FKUI/RSCM

Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL (K)


Pembimbing THT Rinologi ...................................................

dr. Marlinda Adham, SpTHT-KL (K)


Pembimbing THT Onkologi ...................................................

dr. Vally Wulani, SpRad (K)


Pembimbing Radiologi 1 ...................................................

dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad (K)


Pembimbing Radiologi 2 ...................................................

Dr. dr. Saptawati Bardosono, M.Sc


Pembimbing Statistik ...................................................

iii
UCAPAN TERIMA KASIH

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan, sehingga saya dapat menyelesaikan
tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia DR. dr. Ratna Sitompul,
SpM, serta Dr. dr. C.H. Soejono, SpPD-KGer, MEpid, FACP, FINASIM sebagai
Direktur Utama RSUPN Cipto Mangunkusumo (CM) serta Prof. DR. dr. Akmal
Taher sebagai Direktur Utama RSCM periode lalu, dr. Omo Abdul Madjid,
Sp.OG(K) selaku Direktur Umum & Operasional RSCM, Dr. dr. Ratna Dwi
Restuti, Sp.THT. KL (K) sebagai Direktur Medik dan Keperawatan RSCM, dr. Ayi
Djembarsari. MARS sebagai Direktur Pengembangan & Pemasaran, dr.
Sumaryono, SpPD-KR sebagai Direktur Sumber Daya Manusia & Pendidikan, serta
dr. Mohammad Ali Toha Assegaf, MARS selaku Direktur Keuangan, saya ucapkan
terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/ RSCM.

Pada kesempatan yang baik ini, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/
RSCM serta DR. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL yang semasa beliau menjabat
sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/ RSCM telah memberi kesempatan
kepada saya untuk belajar di Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasihat,
teladan, dan dorongan yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan
ini.

Terima kasih yang tulus saya haturkan kembali kepada dr. Nina Irawati, Sp.THT-
KL sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM

iv
v

dan dr. Harim Priyono, Sp THT-KL sebagai Sekretaris Program Studi, serta dr.
Fachri Hadjat, Sp.THT-KL dan DR. dr. Trimartani, Sp THT-KL yang semasa
menjabat sebagai Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi periode lalu,
telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dukungan, serta kemudahan selama
mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan
kepada DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Penelitian dan
Pengembangan Departemen THT FKUI/ RSCM telah memberikan dukungan dan
bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengembangkan diri.

Kepada dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Pelayanan


Masyarakat Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM, dr. Semiramis Z ,
Sp.THT-KL sebagai Koordinator Administrasi Keuangan Departemen Ilmu
Kesehatan THT-FKUI/ RSCM saya ucapkan terima kasih atas nasihat, bimbingan,
dan dukungan yang telah diberikan selama pendidikan.

Demikian pula kepada Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/


RSCM baik yang masih aktif, maupun yang telah memasuki masa purna bakti, Prof.
dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT-KL, Prof. dr. Hendarto Hendarmin, Sp.THT-KL,
Prof. dr. Hartono Abdoerrachman, Sp.THT-KL, PhD, Prof. dr. Masrin Munir,
Sp.THT-KL, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, Prof dr. Bambang Hermani,
Sp.THT-KL, Prof. dr. Helmi, Sp.THT-KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THT-KL,
dan Prof. DR. dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas
bimbingan, pengarahan, dorongan, nasihat, suri tauladan yang amat berharga bagi
saya dalam menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSCM dr. Zanil Musa, Sp.THT-KL, dr.
Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-KL, Prof. dr.
Bambang Hermani, Sp.THT-KL, dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL, dr. Widayat
Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr. Dini Widiarni, Sp.THT-KL, dr. Nina Irawati,
Sp.THT-KL dan DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL, saya sampaikan ucapan
terima kasih sebesar-besarnya.

Universitas Indonesia
vi

Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL
FKUI/RSCM, baik yang masih aktif maupun yang telah memasuki masa purna
bakti, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, dr. Indro Soetirto, Sp.THTKL, dr.
Syarifuddin, Sp.THT-KL, dr. Entjep Hadjar, Sp.THT-KL, dr. Rusmaryono,
Sp.THT-KL, dr. Averdi Roezin, Sp.THT-KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THT-
KL, dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL, dr. Mariana Yunizaf, Sp.THT-KL, dr.
Endang CH Mangunkusumo, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-
KL, dr. Sosialisman, Sp.THT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, Prof. DR.
dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL, dr.
Armiyanto, Sp.THT-KL, dr. Zanil Musa, Sp.THTKL, DR. dr. Dini Widiarni,
Sp.THT-KL, dr. Semiramis Z, Sp.THTKL, DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL,
DR. dr. Ratna D. Restuti, Sp.THT-KL, dr. Widayat Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr.
Retno S. Wardani, Sp.THT-KL, dr. Syahrial, Sp.THTKL, dr. Marlinda Adham. Y,
Sp.THT-KL, dr. Arie W. Cahyono, Sp.THT-KL, dr. Brastho Bramantyo, Sp.THT-
KL, dr. Rusdian Utama, Sp.THT-KL, dr. Niken Lestari, Sp.THT-KL, dr. Elvie
Zulka KR, Sp.THT-KL, dr. Tri Juda Airlangga, Sp.THT-KL, dr. Rosmadewi, dr.
Mirta Hediyati, Sp.THT-KL, dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL, dr. Rahmanofa
Yunizaf, Sp.THT-KL dr. Harim Priyono, Sp.THT-KL, dr. Fikry Hamdan Yasin,
Sp.THT-KL dan dr. Ika Dewi Mayangsari, Sp. THT-KL atas segala bimbingan dan
dukungan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan ini.

Khusus dalam rangka penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini, dengan tulus
dan rasa hormat tak terhingga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh
pembimbing saya DR. dr. Retno S Wardani, Sp.THT-KL, dr. Marlinda Adham,
Sp.THT-KL, dr. Vally Wulani, Sp.Rad, dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad, DR. dr.
Saptawati Bardosono, MSc yang selalu meluangkan waktu dan bersusah payah
untuk membimbing, memberi dukungan, arahan, dorongan semangat dan
menguatkan hati saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Dengan rasa hormat yang mendalam saya ucapkan terima kasih kepada Bp. Asep
Awaludin, Bp. Momod, Bp. Richard (Alm.), Ibu Siti, Ibu Ellyse, Bp. Waspada, Mba
Yuni, Mas Dul, Mba Trias, Pak Sam, Bu Euis, Bu Iis, Bu Sam, mbak Ida, Mba Emi,
Mas Heru dan rekan-rekan karyawan, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu

Universitas Indonesia
vii

yang telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian saya dan
dalam menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada seluruh paramedis IGD RSCM , perawat ruang rawat THT
gedung A lantai 7 serta serta petugas kebersihan Departemen THT-KL
FKUI/RSCM atas bantuan kerja sama yang telah diberikan kepada saya dalam
melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.

Kepada Ketua Departemen THT-KL RSUP Fatmawati, dr. Syafruddin, Sp.THT-


KL dan seluruh staf pengajar RS. Fatmawati, dr. Sri Susilawati, Sp.THT-KL, dr.
Sita A. Rasyad, Sp.THT-KL, dr. Abduh, Sp.THT-KL, dr. Diana Rosalina, Sp.THT-
KL, dr. Heditya Damayanti, Sp.THT-KL, dr. Vicky Riyadi, Sp.THT-KL dan dr.
Rully Ferdiansyah, Sp.THT-KL saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan,
bimbingan, didikan, nasihat, arahan yang diberikan selama saya menjalani
pendidikan di RSUP Fatmawati. Ucapan terima kasih juga kepada seluruh para
medis, karyawan dan karyawati RSUP Fatmawati atas bantuan dan kerja sama yang
diberikan.

Kepada Ketua Departemen THT RSUP Persahabatan dr. Purna Irawan, SpTHT-
KL, dan seluruh staf pengajar RS. Persahabatan dr. Hatmansyah, Sp.THT-KL, dr.
Dody Widodo, Sp.THT-KL, dr. Desy Anggraeni, Sp.THTKL, dr. Yulvina, SpTHT-
KL, dr. Arfan Noer, SpTHT-KL dan dr. Kartika Dwiyani, SpTHT-KL, dr. R. Ena
Sarikencana, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan,
bimbingan, ajaran, nasihat dan arahan yang diberikan selama saya menjalani
pendidikan di RSUP Persahabatan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada seluruh paramedis, karyawan dan karyawati RSUP Persahabatan atas
bantuan dan kerja sama yang diberikan.

Terima kasih kepada rekan-rekan seangkatan saya, dr. Adila Hisyam, dr. Arinda
Putri Pitarini, dr. Bintari Nareswari, dr. Sesanti Hayuningtyas, dr. Meristiana
Christiane, dr. Muslim, atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama ini
serta untuk dukungan dan dorongan kepada saya untuk segera menyelesaikan tugas
akhir ini. Kepada seluruh kakak-kakak senior saya, khususnya kepada dr. Agieta
Zulkifli Sp.THT-KL, dr. Respatih R, Sp.THT-KL, dr. Alvin R, Sp.THT-KL, dr.

Universitas Indonesia
viii

Unggul, Sp.THT-KL, dr. M. Iqbal Sp.THT-KL, dr. Dian Nurul, SpTHT-KL, dr.
Tina Qadarina, SpTHT-KL, dr. Evita Fitria E Sp.THT-KL, dr. Riza Rizaldi,
SpTHT-KL, dr. Ena Sarikencana, SpTHT-KL, dr. Stivina Azrial Sp.THT-KL, dr.
Febriyani, SpTHT-KL, dr. Arroyan W Sp.THT-KL, dr. Dina Putri Sp.THT-KL, dr.
Meila S, Sp.THT-KL, dr. Daneswarry, Sp.THT-KL, dr. Nurul, Sp.THT-KL, dr. Yus
Ukrowiyah, Sp.THT-KL, dr. Risdawati, Sp.THT-KL, dr. Dina Alia, Sp.THT-KL,
dr. Fairuz Sp.THT-KL, dr. Hably Warganegara, Sp.THT-KL, dr. Fahmi
Zaglulsyah, dr. Andre Iswara Sp.THT-KL, dr. Eriza, dr. Putri Anugerah Sp.THT-
KL, dr. Gustav S, Sp.THT-KL, dr. Sakina U, Sp.THT-KL , dr. Yadita Sp.THT-KL,
dr. Dina Nurdiana, dr. Yassi, dr. Rina, dr. Hastuti, dr. Dwi Agustawan, dr. Riski,
dan kepada teman-teman serta adik-adik, dr. Karisma, dr. Michael, dr. Indah S, dr.
Tissa, dr. Novra, dr. Rossa, dr. Vindina R, dr. Junicko, dr. Anggina, dr. Jarot, dr.
Dadan, dr. Ayu, dr. Dora, dr. Elisabeth, dr. Karina, dr. Evin, dr. Ikhwan, dr. Irma,
dr. Adisti, dr. Nimim, dr. Rangga, dr. Meiri, dr. Hamida, dr. Fiza, dr. Indah, dr.
Fariza, dr. Arum, dr. Wresty, dr. Windy, dr. Sevi, dr. Sofi, dr. Natasya, dr. Fatia,
dan dr. Olvi, atas bantuan, kerja sama dan dukungan moril yang diberikan selama
saya berada dalam program studi hingga menyelesaikan penelitian saya. Kepada
seluruh teman sejawat peserta Program Studi Departemen THT-KL FKUI/RSCM,
terima kasih atas doa, bantuan, kebersamaan, kerja sama, dukungan serta
persahabatan dalam suka dan duka, yang terjalin selama mengikuti pendidikan ini
dan insya Allah akan tetap terjaga untuk masa yang akan datang.

Tesis saya persembahkan khusus untuk keluarga yang saya cintai, terima kasih dan
rasa sayang yang tiada terhingga untuk ayah tercinta dr. Asbudi, Sp.THT-KL dan
ibu tercinta Yulita Dewi Iwawo, atas cinta kasih, kesabaran, kasih sayang dan
segenap doa yang tidak pernah putus dalam membesarkan, mendidik dan
mendukung setiap langkahku, semoga saya bisa menjadi anak yang dibanggakan
dan selalu membahagiakan orang tua. Rasa terima kasih dan sayang yang tak
terhingga juga saya persembahkan untuk ayah mertua Drs. Telmis Yantosa, Ak. dan
ibu mertua Yasye Elvira atas dukungan dan doanya, dan selalu hadir setiap waktu
selama saya menjalani pendidikan spesialis. Untuk istriku tercinta dr. Tania
Febrina, terima kasih atas pengertian dan kesabarannya dalam mendampingi dan

Universitas Indonesia
ix

selalu menyemangatiku agar bisa menyelesaikan pendidikan ini, serta untuk ketiga
anakku Syakirah Alika Budi, Syakirah Alisa Budi, dan Shafiya Andhara Budi, yang
selalu menungguku dan menjadi penyemangat saat tiba di rumah, maafkan untuk
hari-hari yang terlewati tanpa papa di samping kalian. Kasih sayang yang tak
terhingga untuk Kakak tercinta Astini Budi, SE, Golfried Chandra, ST. Adik-
adikku Astrid Budi, SDs., Astari Budi, dr. Shelly Agustin, Andini Ramadhani, atas
segala dukungan di setiap waktu.

Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas


kesalahan-kesalahan saya atau kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa
pendidikan ini baik yang disengaja maupun tidak. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Semoga ilmu yang saya
dapatkan akan lebih menyadarkan saya atas kekurangan saya dan lebih
mengingatkan saya atas kebesaran-Nya, sehingga dapat saya amalkan untuk
kepentingan umat dan masyarakat luas. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan
membimbing setiap langkahku serta memberikan Hidayah-Nya dalam setiap
keputusanku. Amin, amin, Yaa Robbal Alamin.

Wassalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penulis

Ashadi Budi

Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ..................................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1


1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Masalah penelitian ................................................................................... 4
1.3. Hipotesis penelitian ................................................................................. 5
1.4 Tujuan penelitian ..................................................................................... 5
1.4.1 Tujuan umum ................................................................................. 5
1.4.2 Tujuan khusus ................................................................................ 5
1.5 Manfaat penelitian.................................................................................... 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 7


2.1 Papiloma Inverted .................................................................................... 7
2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi ............................................................. 8
2.1.2 Gambaran histologi PI ................................................................... 9
2.1.3 Diagnosis klinis ............................................................................ 10
2.2 Pemeriksaan radiologi papiloma inverted .............................................. 10
2.2.1 Pemeriksaan CT-scan .................................................................. 11
2.2.2 Pemeriksaan MRI......................................................................... 13
2.3 Penilaian pre-operatif tumor PI .............................................................. 14
2.3.1 Prediksi lokasi asal tumor PI........................................................ 15
2.3.2 Penentuan keterlibatan sinus paranasal ........................................ 17
2.3.3 Penentuan stadium tumor PI ........................................................ 19
2.4 Penatalaksanaan PI................................................................................. 20
2.5 Follow up papiloma inverted ................................................................. 24
2.6 Kerangka teori ........................................................................................ 26
2.7 Kerangka konsep .................................................................................... 27

BAB 3. METODE PENELITIAN......................................................................... 28


3.1 Desain penelitian .................................................................................... 28
3.2 Tempat dan waktu penelitian ................................................................. 28
3.3 Populasi dan subjek penelitian ............................................................... 28
3.4 Subjek dan cara pemilihan subjek.......................................................... 29
3.5 Kriteria penelitian .................................................................................. 29
3.6 Besar subjek minimal ............................................................................. 30

x
xi

3.7 Metode pemilihan subjek ....................................................................... 30


3.8 Prosedur penelitian................................................................................. 31
3.9 Alur penelitian ....................................................................................... 35
3.10 Manajemen dan analisis data ............................................................... 36
3.11 Batasan operasional.............................................................................. 37
3.12 Hambatan penelitian ............................................................................ 40
3.13 Etika penelitian .................................................................................... 41
3.14 Organisasi penelitian ............................................................................ 41

BAB 4. HASIL PENELITIAN ............................................................................. 42


4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ..................... 42
4.2 Sebaran lokasi asal, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor
berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi .. 44
4.3 Prediksi lokasi asal tumor PI .................................................................. 45
4.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal ................................. 47
4.5 Prediksi menentukan stadium tumor ...................................................... 50
4.6 Uji diagnostik CT-scan & MRI, dibandingkan dengan penemuan saat
operasi ................................................................................................... 51
4.7 Alur tata laksana tumor PI...................................................................... 52
4.7.1 Memprediksi lokasi asal tumor .................................................... 52
4.7.2 Mengetahui keterlibatan sinus paranasal ...................................... 53
4.7.3 Prosedur operasi untuk mengetahui lokasi asal tumor ................. 54

BAB 5. PEMBAHASAN ...................................................................................... 63


5.1 Keterbatasan penelitian .......................................................................... 63
5.2 Karakteristik pasien papiloma inverted sinonasal .................................. 64
5.3 Prediksi lokasi asal tumor PI................................................................. 66
5.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal ................................. 70
5.5 Prediksi menentukan stadium tumor ...................................................... 72
5.6 Kesesuaian periksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi ........ 73
5.7 Manfaat pemeriksaan pre-operatif dalam alur penatalaksanaan ............ 74

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 77


6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 77
6.2 Saran ...................................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79

Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Gambaran klinis papiloma inverted ................................................ 7


Gambar 2.2. Gambaran koilosit ........................................................................... 9
Gambar 2.3. Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI........................... 13
Gambar 2.4. Gambaran hiperostosis menyerupai kerucut pada sinus maksila .. 14
Gambar 2.5. Gambaran hiperostosis pada pemeriksaan CT-scan, perlekatan
tumor (kiri) dibandingkan dengan hiperostosis difus karena
sinusitis (kanan) ............................................................................ 15
Gambar 2.6. Gambaran dari serpentine cerebriform filamentous structure
(SCF) pada pencitraan MRI, pangkalnya berupa asal tumor ........ 16
Gambar 2.7. Perluasan tumor yang sentrifugal dengan pusat peluasan
merupakan lokasi awal perlekatan tumor...................................... 17
Gambar 2.8. Perbedaan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras (kiri)
dan T2-weighted tanpa kontras (kanan)........................................ 18
Gambar 2.9. Teknik rinotomi lateral .................................................................. 21
Gambar 2.10. Bedah eksternal maksilektomi medial ........................................... 22
Gambar 2.11. Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi ..... 23
Gambar 2.12. Reseksi mukosa perlekatan dengan batas makroskopik jaringan
mukosa sehat ................................................................................. 24
Gambar 2.13. Gambaran PET-scan pada pasien dengan PI sinonasal ................. 25
Gambar 4.1 Alur mendapatkan subjek penelitian ............................................. 43
Gambar 4.2 Posisi reverse trendelenburg dengan fleksi kepala ....................... 54
Gambar 4.3 Pengaturan lapangan operasi ......................................................... 55
Gambar 4.4 Alat Surgical Cockpit Navigation Panel Unit Karl Storz ............. 56
Gambar 4.5 Lokasi pengaturan marker pada NPU ............................................ 57
Gambar 4.6 Pengaturan kamera sensor pada NPU ............................................ 58
Gambar 4.7 Pengaturan marker titik registrasi pada pasien .............................. 59
Gambar 4.8 Tampilan menu pada NPU Karl Storz ........................................... 60
Gambar 4.9 Hasil penggabungan CT-scan dan MRI T2-weighted .................... 61
Gambar 5.1 Gambaran hiperostosis pada CT-scan. .......................................... 66
Gambar 5.2 Perbandingan prediksi lokasi asal tumor dengan menggunakan
CT-scan dan MRI.......................................................................... 68
Gambar 5.3 Perbedaan gambaran MRI dan CT-scan dalam ketelibatan sinus
paranasal........................................................................................ 71
Gambar 5.4 Perbedaan prediksi stadium tumor PI pada CT-scan dan MRI
pada subjek 6................................................................................. 72

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa
sinonasal oleh Annam dkk ................................................................. 12
Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan
dibandingkan dengan penemuan histopatologi .................................. 13
Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI ............................ 20
Tabel 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ................. 44
Tabel 4.2 Sebaran lokasi asal tumor, sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan
CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi......................................... 45
Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan
MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ............................ 46
Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor berdasarkan
pemeriksaan CT-scan dan MRI.......................................................... 47
Tabel 4.5 Kesesuaian prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan
CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ...... 48
Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal
berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI ..................................... 49
Tabel 4.7 Kesesuaian prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan dan MRI
dibandingkan dengan penemuan saat operasi .................................... 50
Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan
pemeriksaan CT-scan dan MRI.......................................................... 51

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Keterangan lulus kaji etik ................................................................. 85


Lampiran 2. Penjelasan penelitian kepada pasien ................................................. 86
Lampiran 3. Surat persetujuan mengikuti penelitian ............................................ 88
Lampiran 4. Status Penelitian ............................................................................... 89
Lampiran 5. Dummy table ..................................................................................... 91
Lampiran 6. Tabel Induk ....................................................................................... 96

xiv
DAFTAR SINGKATAN

2D : 2 Dimension
3D : 3 Dimension
AJCC : American Joint Committee on Cancer
CCP : Convoluted cerebriform pattern
CD : Compact Disc
CT-scan : Computed Tomography scan
DICOM : Digital Imaging and Communications in Medicine
DNA : Deoxyribonucleic acid
DVD : Digital versatile disc
ENT : Ear Nose and Throat
HPV : Human papilloma virus
HU : Hounsfield units
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan PSO
KMRI : Kesesuaian MRI dengan PSO
KOM : Kompleks ostio meatal
KSS : Karsinoma sel skuamosa
MPR : Multi-planar reconstruction
MRI : Magnetic Resonance Imaging
NPU : Navigation Panel Unit
NPV : Negative predictive value (nilai duga negatif)
PACS : Picture Archiving and Communications System
PET : Positron Emission Tomography
PI : Papiloma Inverted
POCT : Pre-operatif CT-scan
POMRI : Pre-operatif MRI
PPV : Positive predictive value (nilai duga positif)
PSO : Penemuan saat operasi
RS : Rumah sakit
RSCM : RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
SCF : serpentine cerebriform filamentous structure
Sens : Sensitivitas
Spec : Spesifisitas
THT-KL : Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher
USB : Universal Serial Bus
WHO : World Health Organization
WL : Window level
WW : Window width

xv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat ditemukan pada daerah
sinonasal. Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis
berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted
papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma.
Tumor ini memiliki karakter histologi berupa gambaran proliferasi endofitik epitel
yang terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh.
Meskipun jinak, tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi dan sering
dihubungkan dengan perubahan menjadi ganas, sehingga perlu dilakukan penelitian
mengenai tumor papiloma inverted (PI) untuk menjamin reseksi yang adekuat
dalam tata laksana tumor. 1-4

Gras-Cabrerizo5 dan Dammann6 mengutip dari data World Health Organization


(WHO) mengenai tumor PI terjadi sebanyak 0,5 – 7% dari seluruh kasus tumor
sinonasal, dengan angka insidens 0,52 – 1,5 kejadian per 100.000 kasus per tahun.
Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data
tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – University of
California Los Angeles (UCLA) dalam penelitiannya mengenai gambaran radiologi
PI pada sinus paranasal. Oikawa8 mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada
tahun 1990 sampai 2005 di Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Hokkaido University Hospital Japan.

Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli Telinga
Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher (THT-KL) RS. Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun 2008 sampai 2012,
terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima. Pria lebih banyak dibanding
wanita dengan rasio 2,6 : 1.

1
2

Kosugi2 menuliskan bahwa lokasi asal tumor lebih sering pada dinding lateral
kavum nasi terutama di meatus medius meluas ke maksila. Di Jepang, PI lebih
sering pada pasien usia 50 sampai 70 tahun dengan rata-rata usia 53 tahun, pria
lebih sering dibandingkan dengan wanita dengan rasio 4:1. Fukuda8 menjelaskan
mengenai angka kekambuhan PI yang tergolong tinggi pada pengangkatan tumor
dengan pembedahan eksternal yaitu hingga 78%. Mirza dkk9 menemukan dalam
penelitiannya di Queens Medical Center Nottingham Inggris, tumor PI 7,1%
sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma, sehingga
perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI.

Pasien datang berobat biasanya karena sumbatan hidung unilateral terus-menerus,


sehingga diperlukan pemeriksaan fisik hidung hingga endoskopi hidung
(nasoendoskopi). Massa tumor unilateral yang terlihat kemudian dibiopsi dan
diperiksa secara histopatologi. Setelah ditegakkan diagnosis PI dari pemeriksaan
histopatologi, selanjutnya dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologik untuk
mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar yang terlibat seperti sinus paranasal,
mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui stadium tumor jinak.

Patogenesis PI sangat erat dihubungkan dengan inflamasi kronis, yang kemudian


dapat dihubungkan dengan fokus hiperostosis pada titik tertentu dan mudah dilihat
pada pemeriksaan Computed Tomography scan (CT-scan). Fokus hiperostosis ini
sangat khas menunjukkan lokasi asal tumor PI, yang tidak ditemukan pada jenis
tumor lainnya. Perluasan tumor dapat menyebabkan sumbatan kompleks
ostiomeatal (KOM) sehingga tumor ini juga sering dihubungkan dengan polip nasi
dan sinusitis, karena tidak jarang polip atau sinusitis terjadi bersamaan dengan
tumor PI. Batas-batas tumor, polip dan cairan dapat dengan mudah diperiksa
dengan MRI. Walaupun tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi,
penilaian pre-operatif berdasarkan CT-scan dan MRI dapat membantu membuat
rencana operasi, sehingga mendapatkan reseksi yang adekuat.10-12

Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk menentukan pendekatan


operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah jika memerlukan tindakan

Universitas Indonesia
3

khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina papirasea, ligasi arteri


sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal hingga persiapan jika
memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal. Krouse13 menjelaskan mengenai
tata laksana pembedahan tumor PI sesuai dengan stadiumnya. Pada tumor stadium
T1 dilakukan operasi melalui pendekatan endoskopi, sedangkan untuk tumor
stadium T2 dan T3 dilakukan dengan pendekatan kombinasi dengan bedah
eksternal jika lokasi asal tumor lebih memungkinkan dicapai dengan pendekatan
eksternal, sedangkan stadium T4 seluruhnya di operasi dengan pendekatan
kombinasi bedah eksternal dan endoskopi.11-18

Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer atau Computed Tomography scan


(CT-scan) dapat membedakan batas tumor dengan jaringan sekitarnya, namun lebih
tidak spesifik dibandingkan pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Hal ini disebabkan karena perbedaan densitas
yang dihasilkan oleh sinar X pada plat film CT-scan sulit dibedakan oleh mata
manusia.6, 11, 16

Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan pencitraan terbaik untuk mengetahui


perluasan tumor jaringan lunak. Pemeriksaan ini dapat membedakan batas tumor
dari jaringan sekitarnya dengan gambaran histologi papiloma menginvasi ke dalam
stroma, disebut convoluted cerebriform pattern (CCP) yang khas pada PI. MRI juga
dapat membedakan massa tumor dengan sekret yang terperangkap di dalam sinus.
Nilai prediksi positif pada MRI sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola kolumnar
pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma sel
skuamosa. Akan tetapi belum ada penelitian mengenai ketepatan MRI dalam
prediksi lokasi asal tumor, menentukan keterlibatan sinus paranasal, serta stadium
tumor. Saat ini MRI belum umum menjadi permintaan Departemen THT-KL
RSCM karena mahalnya harga pemeriksaan. Pemeriksaan yang umum dilakukan di
RSCM adalah CT-scan. Penelitian yang dilakukan Sham19 menjelaskan peranan
CT-scan dalam memprediksi keterlibatan sinus sebesar 83 – 97%, penentuan
stadium tumor sebesar 80%, dan prediksi lokasi asal tumor dari hiperostosis sebesar
100%. 14, 20-23

Universitas Indonesia
4

Hal-hal seperti tingginya angka kekambuhan PI, hubungan PI yang sering


dikaitkan dengan transisi menjadi keganasan, namun memiliki ciri khas pada
gambaran radiologi sehingga peneliti melakukan penelitian mengenai penilaian
pre-operatif tersebut guna membuat perencanaan pembedahan. Telah banyak
penelitian menyebutkan mengenai pentingnya memprediksi lokasi asal tumor,
menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI untuk
merencanakan persiapan penatalaksanaan tumor sebelum dilakukan tindakan
pembedahan. Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada penelitian yang
membandingkan CT-scan dengan MRI secara langsung sebagai pemeriksaan
terbaik dalam menentukan penilaian pre-operatif PI.

Peneliti akan melakukan penelitian pendahuluan dengan membuat penilaian pre-


operatif dengan modalitas CT-scan dan MRI. Penilaian pre-operatif dibuat
berdasarkan masing-masing modalitas tersebut dibandingkan dengan keadaan
aslinya di meja operasi oleh dokter THT-KL untuk mendapatkan pemeriksaan mana
yang paling baik dalam membantu pembedahan. Selanjutnya penelitian
pendahuluan ini diharapkan akan digunakan dalam ruang lingkup yang luas dalam
berbagai hal.

1.2 Masalah penelitian

1. Bagaimanakah gambaran penilaian pre-operatif dari tumor PI jika ditinjau


dari pemeriksaan CT-scan dan MRI?
2. Manakah yang lebih baik dalam menentukan penilaian pre-operatif, CT-
scan atau MRI?
3. Apakah penilaian pre-operatif yang dibuat cukup akurat agar dapat menjadi
dasar untuk pendekatan pembedahan?

Universitas Indonesia
5

1.3. Hipotesis penelitian

Penilaian pre-operatif yang dibuat berdasarkan MRI lebih akurat dibandingkan


dengan penilaian pre-operatif CT-scan dalam menentukan prediksi lokasi asal
tumor, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor sistem Krouse.

1.4 Tujuan penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Menilai kesesuaian antara penilaian pre-operatif CT-scan dan MRI dibandingkan


baku emas penemuan saat operasi (PSO) untuk mendapatkan penatalaksanaan yang
terbaik untuk tumor papiloma inverted.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mendapatkan prediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus


paranasal, dan penentuan stadium tumor PI melalui pemeriksaan CT-scan
dan MRI.
2. Mendapatkan lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus
paranasal, dan penentuan stadium tumor PI melalui penemuan saat operasi.
3. Mengetahui kesesuaian masing-masing modalitas pemeriksaan CT-scan
dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan
sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI terhadap penemuan saat
operasi.
4. Mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga
negatif, nilai rasio kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam
memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan keterlibatan sinus
paranasal, dan penentuan stadium tumor PI.
5. Membuat rancangan alur kerja penatalaksanaan tumor PI berdasarkan
penilaian pre-operatif.

Universitas Indonesia
6

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Bagi masyarakat


Penelitian ini diharapkan dapat membuat penilaian pre-operatif terbaik yang
bermanfaat untuk penatalaksanaan pasien tumor PI.

1.5.2 Bidang akademik


1. Menambah wawasan mengenai karakteristik tumor PI secara radiologi dan
histopatologi.
2. Menjadi penelitian pendahuluan untuk penelitian lain dalam skala lebih besar
yang berkaitan dengan tumor PI.

1.5.3 Bagi Institusi


Menjadi data awal untuk penelitian skala nasional dalam mempelajari karakteristik
tumor PI di bidang ilmu kesehatan THT-KL khususnya, serta bidang lain pada
umumnya.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Papiloma Inverted

Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat tumbuh pada daerah
sinonasal. Papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran
histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted papilloma, papiloma sel
silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Papiloma inverted
disebut juga papiloma Ewing, papiloma fibromiksoid, papiloma sel transisional,
atau papiloma Ringertz secara klinis berupa massa pada kavum nasi yang berbentuk
granuler dan menyerupai mulberry. PI merupakan tumor jinak epitelial yang
berpotensi untuk bertransformasi menjadi ganas. Tumor ini dihubungkan dengan
karsinoma sel skuamosa (KSS) pada 5-5% pasien. Secara lokal PI bersifat agresif
dan menyebabkan erosi tulang. Angka kekambuhannya cukup tinggi, yaitu sampai
dengan 78%. Hal utama yang menyebab tingginya angka kekambuhan PI adalah
reseksi tumor yang tidak adekuat.2, 8

Gambar 2.1. Gambaran klinis papiloma inverted berupa gambaran granuler


yang menyerupai mulberry.4

7
8

2.1.1 Etiologi dan Epidemiologi

Etiologi PI sampai saat ini tidak diketahui, namun beberapa penelitian


menghubungkan kejadian PI dengan adanya human papillomavirus (HPV). Adanya
HPV sering juga dihubungkan dengan transformasi PI menjadi karsinoma sel
skuamosa. Inflamasi kronis juga sering dihubungkan dengan kejadian PI. Roh dkk24
membuktikan bahwa tingginya inflamasi stroma pada PI dibandingkan papiloma
jenis lainnya.24, 25

Massa unilateral pada sinonasal lebih sering disebabkan oleh penyakit yang bukan
neoplasma. Lathi26 mencatat 112 orang pasien dengan massa unilateral, 80 orang
(71,4%) di antaranya bukan tumor, dan 32 orang (28,6%) merupakan tumor. Dari
yang tercatat sebagai tumor, sembilan belas orang tumor jinak, sedangkan 13 orang
tumor ganas. PI terjadi pada 7 orang pasien, yaitu 36,8% dari seluruh tumor jinak
sinonasal.

Menurut World Health Organization (WHO) tumor PI terjadi sebanyak 0,5 – 7%


dari seluruh kasus tumor sinonasal, dengan nilai insiden 0,52 – 1,5 kejadian per
100.000 kasus per tahun. Pria lebih sering terkena dari wanita sebanyak 4:1,
umumnya pada dekade 5 hingga 7 dengan usia rata-rata 53 tahun.2-6

Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data
tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – UCLA dalam
penelitiannya mengenai gambaran radiologi PI pada sinus paranasal. Oikawa8
mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada tahun 1990 sampai 2005 di
Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Hokkaido University
Hospital Japan.

Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli THT-
KL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun
2008 sampai 2012, terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima.

Universitas Indonesia
9

Tumor ini lebih sering dilaporkan pada ras kaukasia. Lokasi asal tumor lebih sering
pada dinding lateral kavum nasi terutama pada meatus medius ke dalam sinus
maksila. Jenis tumor yang jinak namun agresif secara lokal sering menjadi faktor
yang menghubungkan tumor ini sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa. Tumor
ini ditemukan 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan
karsinoma, sehingga perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI. 2-4, 8

2.1.2 Gambaran histologi PI

Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis


berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted
papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma.
Papiloma Inverted (PI) pertama kali dipublikasikan oleh Ward pada tahun 1854.
Karakter histologi tumor ini berupa gambaran proliferasi endofitik epitel yang
terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh. Epitel
kolumnar serta duktus kelenjar terjadi invaginasi, kemudian mengalami metaplasia
sel skuamosa menjadi epitel sel skuamosa bertingkat yang menebal ringan di bawah
epitel kolumnar hingga menjadi massa epidermoid dengan sekresi glikogen pada
setiap sel.1

Gambar 2.2. Gambaran koilosit27

Universitas Indonesia
10

Penelitian hibridisasi in situ dan polymerase chain reaction mendeteksi HPV tipe
6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59 dan 66 yang berhubungan
dengan tumor PI sinonasal. Penelitian Oikawa 8 mendeteksi HPV tipe 6,11,16 dan
18 hingga 86% dari pasien dengan tumor PI. Adanya deoxyribonucleic acid (DNA)
HPV pada tumor ini sering dihubungkan dengan tingginya angka kekambuhan dan
transformasi tumor jinak menjadi ganas. Hajdu 27 menuliskan bahwa selain HPV
tipe 16 dan 18, HPV tipe 31 dan 33 juga diasosiasikan dengan transformasi tumor
jinak menjadi karsinoma sel skuamosa. Gambaran epitel skuamosa dengan
inflamasi kronis dengan DNA HPV tampak sebagai sel halo pada perinuklear sel
skuamosa yang disebut juga koilosit diketahui merupakan lesi. Faktor-faktor lain
seperti merokok, pajanan zat kimia tertentu, alergi dan inflamasi kronis kadang
disebutkan berperan menjadi faktor pendukung namun belum terbukti. 4, 8, 27, 28

2.1.3 Diagnosis klinis

Gejala klinis PI yang paling sering adalah sumbatan hidung satu sisi yang progresif.
Gejala lain yang sering terjadi berupa ingus, epistaksis, gangguan penciuman, serta
keluhan-keluhan lain yang menyerupai keluhan rinosinusitis. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior atau dengan nasoendoskopi, tampak gambaran massa unilateral
berbenjol-benjol menyerupai polip berwarna merah muda. Diagnosis PI ditegakkan
dengan biopsi tumor dan melakukan pemeriksaan histopatologi dengan
menemukan gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik ke dalam stroma
dengan epitel membran basal yang utuh.29

2.2 Pemeriksaan radiologi papiloma inverted

Pemeriksaan penunjang radiologi sangat membantu dalam diagnostik PI. Pada


gambaran CT-scan tampak seperti gambaran massa yang tidak spesifik.
Pemeriksaan radiologi yang ideal untuk PI adalah menggabungkan kedua
pemeriksaan MRI dan CT-scan agar saling melengkapi, namun keterbatasan biaya
sering menjadi alasan yang menjadikan CT-scan menjadi pemeriksaan rutin PI
dilakukan di berbagai rumah sakit. Kesulitan dalam CT-scan adalah pemeriksaan

Universitas Indonesia
11

ini tidak bisa membedakan jaringan lunak massa dengan jaringan inflamasi seperti
sinusitis yang terjadi akibat adanya massa di kompleks ostiomeatal. Kriteria analisis
dan interpretasi untuk CT-scan pada PI sinonasal meliputi lokasi tumor, ukuran
tumor, permukaan tumor, ada atau tidaknya kalsifikasi, destruksi tulang,
penyangatan setelah penyuntikan zat kontras, serta keterlibatan struktur
sekitarnya.6, 30, 31

Lokasi PI paling sering unilateral pada meatus medius (90%), dengan permukaan
tumor berlobus. Kalsifikasi dapat terjadi pada 52% dari PI yang tampak berupa
struktur tulang yang terperangkap dalam jaringan lunak. Destruksi tulang tampak
berupa penipisan tulang, pelengkungan tulang, serta deviasi septum. Gambaran
penipisan tulang berupa erosi dikaitkan dengan keganasan. Zat kontras beryodium
yang disuntikkan secara intravena membuat gambaran massa menjadi heterogen.
Hal ini membantu dalam membedakan massa dengan cairan, namun tidak
membantu membedakan massa dengan mukosa yang inflamasi. Melalui gambaran
CT-scan juga perlu dilakukan evaluasi struktur sekitar yang mungkin terlibat
seperti perluasan tumor ke sakus lakrimalis, dasar otak, nasofaring, hingga ke
mastoid.6

2.2.1 Pemeriksaan CT-scan

Sham19 menjelaskan dalam penelitiannya mengenai peran dan keterbatasan CT-


scan dalam mengevaluasi PI terhadap keterlibatan sinus paranasal. Nilai prediksi
positif CT-scan polos dalam ketepatannya memprediksi keterlibatan sinus sebesar
83 – 97%. Nilai prediksi positif dalam penentuan stadium tumor sebesar 80%.
Keterlibatan tulang pada PI yang diperiksa menggunakan CT-scan memberikan
nilai prediksi positif terbesar yaitu 100%. Hal ini berkaitan dengan memprediksi
asal perlekatan tumor dengan tanda hiperostosis atau osteitis yang terjadi akibat
proses inflamasi kronis.10, 11, 32

Annam dkk33 melakukan uji diagnostik CT-scan dalam menilai perluasan massa
sinonasal dibandingkan dengan penemuan histopatologi. Pada penelitian ini

Universitas Indonesia
12

didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan
akurasi CT-scan dalam menilai perluasan massa sinonasal pada area tertentu. Hasil
akhir penelitian tersebut juga menilai stadium tumor dengan bantuan CT-scan
menggunakan sistem klasifikasi TNM untuk keganasan sinonasal dari American
Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi keenam tahun 2002. Dari 38 kasus tumor
sinonasal, ketepatan prediksi lokasi tumor menggunakan CT-scan dibandingkan
penemuan histopatologi yang sama sebanyak 24 kasus. Dalam 14 kasus tersebut,
12 kasus memiliki stadium tumor (T) lebih kecil dibandingkan diagnosis CT-scan,
sedangkan 2 kasus memiliki stadium tumor yang lebih besar dibandingkan
diagnosis CT-scan. Kesalahan penentuan stadium tumor pada CT-scan tersering
sebagai T4a, yang semestinya merupakan stadium T3 disebabkan penemuan positif
palsu pada perluasan ke nasofaring, sinus frontal dan sfenoid.

Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa
sinonasal oleh Annam dkk33

Sens : Sensitivitas
Spec : Spesifisitas
PPV : Positive predictive value (nilai duga positif)
NPV : Negative predictive value (nilai duga negatif)

Universitas Indonesia
13

Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan


dibandingkan dengan penemuan histopatologi pada penelitian Annam33

T staging CT diagnosis Final Diagnosis


T1 2 3
T2 3 6
T3 14 18
T4a 10 8
T4b 9 3

2.2.2 Pemeriksaan MRI

Gambaran MRI pada T1-weighted memperlihatkan lesi yang isodens dengan otot,
sedangkan pada T2-weighted menunjukkan gambaran isu intens hingga hipo intens,
sehingga lesi PI tampak heterogen. Namun pada pemeriksaan MRI, gambaran PI
yang menginvasi ke tulang sulit dinilai. Gambaran heterogen tumor lebih hiper
intens dibandingkan otot. Area nekrosis dan obstruksi sekret akan tampak lebih
terang pada T2-weighted. Dengan pemberian kontras pada T1 maka akan tampak
invasi massa.14, 30, 31

Gambar 2.3. Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI. Pada sinus
maksila pasien yang sama tampak gambaran radiopaq yang homogen pada
pemeriksaan CT-scan (A), sedangkan pada gambaran MRI T2-weighted (B)
terlihat gambaran massa pada kavum nasi, sedangkan pada sinus maksila
adalah retensi sekret.34

Universitas Indonesia
14

2.3 Penilaian pre-operatif tumor PI

Pencitraan radiologi dilakukan untuk mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar
yang terlibat seperti sinus paranasal, mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui
stadium tumor jinak. Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk
menentukan pendekatan operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah
jika yang memerlukan tindakan khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina
papirasea, ligasi arteri sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal, hingga
persiapan jika memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal. 10, 11, 28, 35, 36

A B
A

C D
B A
B
A

Gambar 2.4. Gambaran hiperostosis menyerupai kerucut pada sinus maksila


pada CT-scan (A). Terlihat gambaran sentrifugal tumor PI pada MRI (B).
Gambaran hiperostosis seperti plak pada sinus etmoid kanan yang dilihat
pada pemeriksaan CT-scan potongan koronal (C) dan aksial (D).32

Universitas Indonesia
15

2.3.1 Prediksi lokasi asal tumor PI

Keterlibatan tulang pada PI yang diperiksa menggunakan CT-scan memberikan


nilai prediksi positif terbesar yaitu 100%. Hal ini berkaitan dengan memprediksi
asal perlekatan tumor dengan tanda hiperostosis. Fokus hiperostosis ditandai
dengan penebalan tulang yang tampak jelas dan sklerosis yang terjadi pada hanya
sebagian dari dinding sinus yang bersangkutan. Pada kasus yang melibatkan
dinding lateral kavum nasi, tampak penebalan tulang dan sklerosis dari struktur
tertentu seperti pada prosesus unsinatus atau pada konka. Gambaran hiperostosis
yang dianggap paling bermakna adalah bentuk hiperostosis dinding tulang yang
prominen dan menyerupai kerucut. Bentuk hiperostosis lain adalah bentuk yang
menyerupai plak (Gambar 2.4). Hiperostosis yang terjadi secara konsentrik dan
difus tidak digolongkan sebagai penemuan positif (Gambar 2.5). Bentuk
hiperostosis lain berupa penipisan tulang, pelengkungan (bowing), erosi serta
sklerosis akibat tekanan dan pertumbuhan tumor.10, 19, 32

Gambar 2.5. Gambaran hiperostosis pada pemeriksaan CT-scan, perlekatan


tumor (kiri) dibandingkan dengan hiperostosis difus karena sinusitis
(kanan).19

Landsberg11 menjelaskan bahwa lokasi asal tumor biasanya tidak lebih dari 15 mm.
Ketika melakukan diseksi tumor, mukosa yang tampak patologis harus dibuang
bersama sebagian batas mukosa yang tampak normal. Pada penelitiannya,
Landsberg melakukan frozen section untuk menentukan batas bebas tumor.

Universitas Indonesia
16

Pemeriksaan MRI juga mempunyai peran penting dalam memprediksi lokasi asal
tumor PI. Iimura dkk37 menjelaskan bahwa pada pemeriksaan MRI pembobotan T 2
(T2-weighted) tanpa kontras dan pembobotan T1 (T1-weighted) dengan kontras
terdapat gambaran convoluted cerebriform pattern yaitu gambaran hipointens dan
hiperintens yang tersusun akibat gambaran epitel skuamosa yang menginvasi ke
dalam stroma, yang merupakan gambaran khas tumor PI sinonasal. Iimura juga
memperkenalkan istilah serpentine cerebriform filamentous structure (SCF), yaitu
gambaran filamen yang tampak berasal dari lokasi awal perlekatan tumor. Struktur
ini merupakan salah satu metode untuk memprediksi lokasi asal tumor pada MRI.
Cara lain untuk memprediksi lokasi asal tumor jika tidak tampak serpentine
cerebriform filamentous structure (Gambar 2.6), adalah dengan mempelajari cara
PI meluas secara sentrifugal, sehingga pusat dari perluasan tersebut adalah lokasi
awal tumor. Ostium sinus yang tertutup akan menyebabkan inflamasi kronis pada
sinus yang terkait, sehingga rongga sinus tersebut biasanya bukan merupakan lokasi
awal perlekatan tumor.14

Gambar 2.6. Gambaran dari serpentine cerebriform filamentous structure


(SCF) pada pencitraan MRI, pangkalnya berupa asal tumor.37

Pertumbuhan tumor PI memiliki pola sentrifugal (Gambar 2.7), sehingga kadang


perlekatannya dapat diprediksi dari cara tumor ini mendestruksi tulang sekitarnya.
Hubungannya sangat erat dengan cara pengangkatan tumor, misalnya tumor yang
diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke arah dinding

Universitas Indonesia
17

medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk melakukan
maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi termasuk
fragmen tulang yang terkait.11

Gambar 2.7. Perluasan tumor yang sentrifugal dengan pusat peluasan


merupakan lokasi awal perlekatan tumor.37

Tempat utama tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi (52,6%) terutama
pada meatus medius. Sinus maksila merupakan lokasi yang selanjutnya sering
menjadi tempat perlekatan tumor (25,0%), diikuti dengan sinus etmoid anterior
(21,1%), sinus sfenoid (6,6%), sinus frontal (6,6%), septum (2,6%), dan sinus
etmoid posterior (2,6%).11, 32

2.3.2 Penentuan keterlibatan sinus paranasal

Struktur kompleks ostiomeatal (KOM) dibentuk oleh prosesus unsinatus,


infundibulum etmoid, sel etmoid anterior, ostium sinus etmoid anterior, ostium
sinus frontal dan sinus maksila. Variasi anatomis dan lesi patologis yang
menyebabkan penyempitan pada KOM dianggap berhubungan dengan patogenesis,
kronisitas dan kekambuhan rinosinusitis. Adanya penyumbatan pada daerah ini
kadang-kadang dapat dengan mudah dilihat menggunakan pemeriksaan rinoskopi
anterior atau endoskopi. Adanya tumor yang menyempitkan daerah KOM dapat
menyebabkan terjadinya rinosinusitis, sehingga tampak gambaran perselubungan
pada rongga sinus yang bisa diinterpretasikan sebagai massa tumor yang telah

Universitas Indonesia
18

meluas ke dalam rongga sinus (dalam hal ini PI) atau sekret yang terperangkap di
dalam rongga sinus. Gambaran ini sering terlihat pada CT-scan sinus paranasal dan
dapat menyulitkan interpretasi CT-scan.38, 39

Nilai prediksi positif CT-scan polos dalam ketepatannya memprediksi keterlibatan


sinus sebesar 83 – 97%. Gambaran massa tumor pada sinus dan sekret yang
terperangkap terlihat berbeda dengan CT-scan dengan kontras, sehingga tampak
gambaran perselubungan heterogen yang membedakan keduanya. 19

Gambar 2.8. Perbedaan pemeriksaan MRI T1-weighted dengan kontras


(kiri) dan T2-weighted tanpa kontras (kanan). Tampak gambaran sekret yang
terperangkap pada lateral sinus maksila (panah tebal). Pada pertengahan
sinus maksila tampak gambaran hipointens (kepala panah) dan hiperintens
(panah tipis) yang saling bergerombol membentuk gambaran convoluted
cerebriform pattern (CCP).14

MRI memiliki nilai prediksi positif sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola
kolumnar pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma
sel skuamosa. Lesi pola kolumnar ini dapat membedakan batas tumor dengan
jaringan sekitarnya dengan gambaran histologis papiloma yang menginvasi ke
dalam stroma disebut convoluted cerebriform pattern atau septate striated
apperarance, khas pada PI. MRI juga dapat membedakan massa tumor dengan
sekret yang terperangkap di dalam sinus pada T2-weighted tanpa kontras.12, 21, 23, 40

Universitas Indonesia
19

2.3.3 Penentuan stadium tumor PI

Penentuan stadium tumor PI berhubungan dengan angka kekambuhan serta


menentukan penatalaksanaan penyakit ini. Gagasan dalam mengklasifikasikan
stadium PI telah dilakukan sejak tahun 2000 oleh Krouse, Han pada tahun 2001,
dan sistem klasifikasi yang terbaru oleh Cannady pada tahun 2007. 5, 13

Klasifikasi sistem Krouse membagi tumor menjadi 4 stadium. Klasifikasi stadium


1 jika tumor terbatas pada kavum nasi saja. Stadium 2 jika tumor melibatkan
kompleks ostiomeatal, etmoid, atau keterlibatan dinding medial sinus maksila
(dengan atau tanpa keterlibatan kavum nasi). Stadium 3 jika tumor telah meluas ke
dinding sinus maksila selain dinding medial, atau telah meluas hingga ke sinus
frontal atau sinus sfenoid. Klasifikasi stadium 4 jika tumor telah meluas di luar
hidung dan sinus paranasal atau jika terdapat keganasan. 4, 5, 13, 30

Sistem Han membagi PI menjadi grup I jika tumor terbatas pada kavum nasi,
dinding lateral kavum nasi, dinding medial sinus maksila, sinus etmoid dan sinus
sfenoid. Grup II pada sistem Han jika tumor telah meluas ke dinding lateral sinus
maksila dengan atau tanpa kriteria yang termasuk dalam grup I. Pada grup III jika
tumor telah meluas ke sinus frontal, dan grup IV jika tumor telah meluas keluar
sinus paranasal atau kavum nasi.5

Klasifikasi sistem Cannady membagi menjadi grup A, yaitu tumor yang terbatas
pada kavum nasi, sinus etmoid atau dinding medial sinus maksila. Grup B jika
tumor telah meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau meluas ke
sinus frontal, atau perluasan ke sinus sfenoid. Grup C jika tumor telah meluas keluar
dari sinus paranasal.5

Universitas Indonesia
20

Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI

Krouse Han Cannady

Stadium 1: Grup I: Grup A:


Terbatas kavum nasi Terbatas kavum nasi, dinding Terbatas kavum nasi, sinus
lateral nasal, sinus maksila, etmoid atau dinding medial
etmoid & sfenoid sinus maksila

Stadium 2: Grup II: Grup B:


Pada KOM & dinding Meluas ke dinding lateral Meluas ke dinding sinus
medial atau superior sinus sinus maksila maksila selain dinding medial,
maksila (dengan/ tanpa atau sinus frontal/ sfenoid
kavum nasi)
Stadium 3: Grup III: Grup C:
Meluas ke dinding sinus Meluas ke sinus frontal Meluas ke luar hidung & sinus
maksila selain dinding paranasal
medial/ superior, atau
meluas ke sinus frontal/
sfenoid
Stadium 4: Grup IV:
Meluas ke luar hidung & Meluas ke luar hidung &
sinus paranasal sinus paranasal

Gras-Cabrerizo5 membandingkan ketiga klasifikasi tersebut terhadap kegunaannya


dalam ketepatan distribusi stadium dibandingkan dengan angka kekambuhan
penyakit. Sistem Krouse dan Cannady dianggap memberikan distribusi data yang
lebih baik dibandingkan sistem Han. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
sistem Krouse sebab besaran distribusi data yang lebih merata, dan memiliki
klasifikasi luas tumor lebih lengkap dibandingkan klasifikasi lainnya. Nilai prediksi
positif CT-scan polos dalam penentuan stadium tumor diketahui sebesar 80%.19

2.4 Penatalaksanaan PI

Penatalaksanaan terbaik dari PI adalah pembedahan secara adekuat dengan eksisi


cukup luas pada mukosa yang mengandung tumor. Pendekatan pembedahan dapat
melalui eksternal berupa rinotomi lateral, Denker maupun Caldwell-Luc. Selain itu
reseksi tumor juga dapat dilakukan secara endoskopi, serta gabungan teknik
Caldwell-Luc dengan pembedahan sinus endoskopi. Teknik operasi yang akan
digunakan sangat dipengaruhi oleh evaluasi tumor saat pre-operatif dengan bantuan
pemeriksaan radiologi. Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan residu
tumor yang ada saat operasi.3, 8

Universitas Indonesia
21

Pendekatan eksternal memiliki kelebihan lapang pandang yang lebih luas namun
secara kosmetik terdapat bekas insisi. Pendekatan bedah eksternal dapat dilakukan
dengan teknik rinotomi lateral melalui insisi Moure. Insisi ini memotong garis
imajiner pada lateral hidung mulai setinggi kantus media hingga vestibulum nasi
mendapatkan ekspos yang cukup luas pada kavum nasi. Insisi ini dapat diperluas
dengan teknik Weber-Ferguson yaitu memotong pertengahan bibir atas. Teknik ini
memiliki kekurangan secara kosmetik yaitu bekas luka yang dapat menyebabkan
jaringan parut hingga kontraktur. Untuk mengurangi efek kosmetik yang kurang
baik, banyak teknik yang dilakukan. Salah satunya adalah pendekatan secara
midfacial degloving yaitu melalui insisi ginggivo-bukal dilakukan untuk
menghindari insisi kulit, namun akses ke arah sinus etmoid dan resesus frontal
menjadi sulit.41, 42

Gambar 2.9. Teknik rinotomi lateral dengan insisi Moure


(A) dengan garis tegas, serta teknik bedah lanjutan yang dapat digunakan
untuk mendapatkan lapang pandang yang luas
(B) pada garis putus-putus.41

Pendekatan eksternal dengan rinotomi lateral kemudian dilanjutkan dengan


maksilektomi medial yaitu mengangkat dinding medial sinus maksila sehingga
kavum nasi menjadi satu ruang dengan sinus maksila. Teknik ini memiliki

Universitas Indonesia
22

keuntungan lapang pandang yang cukup luas serta angka kekambuhan tumor yang
cukup rendah, namun komplikasi yang terjadi adalah perdarahan pasca operasi,
kontraktur, sumbatan duktus nasolakrimal.41

Gambar 2.10. Bedah eksternal maksilektomi medial.41

Pendekatan reseksi tumor secara endoskopi melalui lubang hidung saat ini lebih
dipilih karena dapat menjangkau seluruhnya tanpa melakukan insisi kulit.
Pemilihan pendekatan reseksi tumor sangat berhubungan dengan lokasi asal tumor.
Pendekatan kombinasi eksternal dan endoskopi biasanya dilakukan pada tumor
yang melekat pada dinding lateral sinus maksila atau pada dinding sinus frontal.
Berbagai penelitian mengenai penggunaan endoskopi untuk reseksi tumor PI dari
lokasi asalnya mencatat angka yang bervariasi mengenai angka kekambuhan tumor
dari 0% hingga 24%.17, 35, 43-46

Tumor yang diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke
arah dinding medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk
melakukan maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi
termasuk fragmen tulang yang terkait. Pada tumor yang melekat di konka media
perlu untuk dilakukan konkotomi (Gambar 2.11). Pada tumor yang melekat di
dinding medial sinus maksila, operator harus melakukan maksilektomi medial
untuk reseksi yang adekuat. Jika tumor berasal dari dalam sinus maksila misalnya
dinding lateral, langkah tepat harus diperhitungkan untuk reseksi tumor seperti
pendekatan ganda dengan Caldwell Luc.11, 13

Universitas Indonesia
23

Gambar 2.11. Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi.
S: Septum, MT: Konka media, LP: Lamina papirasea. BL: Bula etmoid,
MO: ostium sinus maksila11

Tumor yang melekat pada dinding medial sinus maksila dapat dilakukan
maksilektomi medial dengan teknik endoskopi. Jika tumor melekat pada mukosa
berdinding tulang tebal seperti dinding anterior, posterior atau lateral sinus maksila,
resesus frontal dan dasar kavum nasi dilakukan reseksi mukosa perlekatan dan
pengeboran tulang secara superfisial (Gambar 2.12). Daerah berbahaya seperti
perlekatan ke lamina kribiformis dan lamina lateral berisiko untuk terjadi
kebocoran cairan serebrospinal, atau daerah lateral sinus sfenoid yang berisiko
menciderai nervus optikus dan arteri karotis. Pada kasus demikian sebaiknya tidak
melakukan pengeboran tulang dan melakukan observasi tumor dengan endoskopi,
mengingat tumor ini merupakan tumor jinak. Untuk tumor PI yang melekat pada
dinding sinus frontal dapat dilakukan tindakan bedah endoskopi ke resesus frontal,
sinotomi sinus frontal, operasi modifikasi Lothrop dengan endoskopi, atau bedah
endoskopi dengan trepanasi sinus frontal.11, 32, 47

Universitas Indonesia
24

A B

Gambar 2.12. Reseksi mukosa perlekatan dengan batas makroskopik


jaringan mukosa sehat (A), lalu mengebor secara superfisial (B). MT: Konka
media, MS: Sinus Maksila, LP: Lamina Papirasea11

Krouse13 menetapkan tata laksana tumor berdasarkan stadium yang dibuatnya. Pada
stadium T1 seluruh tumor dioperasi secara endoskopi transnasal. Operasi endoskopi
transnasal yang dilakukan pada stadium T2 dengan pendekatan eksternal jika saat
operasi diperkirakan sulit membersihkan seluruh tumor. Pada stadium T3 dapat
dioperasi dengan pendekatan endoskopi transnasal jika operator meyakini bahwa
visualisasi serta kemampuan untuk reseksi tumor dapat dilakukan secara
menyeluruh. Jika terdapat keraguan untuk reseksi tumor secara adekuat, maka
pendekatan operasi sebaiknya dilakukan secara terbuka. Stadium T4 harus
dilakukan dengan pendekatan terbuka agar reseksi tumor adekuat. Pendekatan
terbuka dilakukan dengan berbagai cara seperti eksplorasi orbita atau prosedur
bedah kraniofasial untuk menjamin reseksi tumor yang bersih. Pada tumor yang
tidak dapat dioperasi, atau tumor residu setelah operasi dapat dilakukan adjuvan
radioterapi.3

2.5 Follow up papiloma inverted

Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan ada atau tidaknya residu pasca
operasi. Hal lain yang berkaitan dengan tingginya kekambuhan PI adalah lokasi
tumor, struktur histologi, metode operasi, tahap operasi, follow up pasien, kondisi
demografi dan kondisi sosial ekonomi pasien.3

Universitas Indonesia
25

Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pasca operasi, namun follow up pasien
jangka panjang sebaiknya tetap dilakukan setidaknya hingga 5 tahun pasca operasi,
sebab PI sangat erat hubungannya dengan perkembangan menjadi karsinoma pasca
operasi (metakronus karsinoma). Tumor yang kambuh kurang dari 1 tahun pasca
operasi dianggap merupakan kasus yang residu. Daerah yang dicurigai masih
terdapat tumor dapat dilakukan biopsi. Follow up PI akan menjadi akurat dengan
melakukan pemeriksaan radiologi misalnya MRI atau CT-scan.6, 34

Gambar 2.13. Gambaran PET-scan pada pasien dengan PI sinonasal

Pada pemberian radio farmaka 18-FDG terjadi aktivitas glikolitik, sehingga


pemeriksaan pencitraan Positron Emission Tomography (PET-scan) dapat
bermanfaat dalam follow up PI untuk menilai kebersihan operasi atau memeriksa
kemungkinan terjadinya rekurensi tumor PI. Pemeriksaan PET-scan pada PI
memberikan gambaran intens menyangat pada daerah yang menyerap radio
farmaka 18-FDG.3, 48, 49

Universitas Indonesia
26

2.6 Kerangka teori

Hidung tersumbat
unilateral

Polip Tumor Kelainan anatomi

Curiga tumor Biopsi

Bukan tumor Tumor Ganas Tumor Jinak

Faktor risiko:
 HPV
Papiloma Inverted
 Usia
 Jenis kelamin
 Merokok
 Inflamasi
 Alergi
Perluasan tumor Sumbatan KOM

Kavum nasi Sinus paranasal Tulang


Hipoventilasi

Hiperostosis,
Pemeriksaan sklerosis
pencitraan Inflamasi mukosa
sinus

Bedah Endoskopi + Sekret


Bedah eksternal Bedah Endoskopi Pendekatan terperangkap
eksternal

Universitas Indonesia
27

2.7 Kerangka konsep

Karakteristik:
Papiloma Inverted
 Usia
 Jenis kelamin
 Merokok
 Gejala klinis:
o Hidung tersumbat
o Unilateral/bilateral
o Ingus
o Gangguan penghidu  Lokasi asal tumor
o Mimisan  Keterlibatan sinus paranasal dan
o Sakit kepala sekitarnya
 Gambaran histopatologi  Stadium sistem Krouse
o Jenis sel
(Pemeriksaan CT-scan dan MRI)
o Koilosit

Pembedahan

 Lokasi asal tumor


 Keterlibatan sinus paranasal
dan sekitarnya
 Stadium sistem Krouse

(Penemuan saat operasi)

Variabel yang tidak diteliti

Variabel yang diteliti

Hubungan yang tidak diteliti

Hubungan yang diteliti

Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penelitian menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dengan


mengambil subjek penelitian secara konsekutif dalam waktu 1 tahun melalui 2
tahap (bipartite). Tahap pertama merupakan data dari bulan Desember 2012 sampai
dengan April 2013, sedangkan tahap kedua pada bulan Mei 2013 sampai November
2013. Penelitian merupakan penelitian uji kesesuaian antara pemeriksaan
penunjang CT-scan dan MRI dalam membuat penilaian pre-operatif terhadap baku
emas. Baku emas penelitian ini adalah penemuan saat operasi. Penilaian pre-
operatif yang dilakukan adalah memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus
paranasal serta penentuan stadium tumor PI metode Krouse.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian akan dilakukan bersama di Divisi Rinologi dan Onkologi Departemen


THT-KL FKUI RSCM, bekerja sama dengan Departemen Radiologi FKUI RSCM.
Pengumpulan data penelitian dilakukan secara konsekutif selama 1 tahun dalam 2
tahap. Tahap pertama adalah data yang telah dikumpulkan bulan Desember 2012
hingga Februari 2013, sedangkan tahap kedua akan mulai pada bulan Maret 2013
sampai dengan bulan November 2013.

3.3 Populasi dan subjek penelitian

3.3.1 Populasi target

Populasi target penelitian adalah seluruh pasien dengan diagnosis awal papiloma
inverted yang telah atau akan menjalani operasi ekstirpasi tumor dan telah di periksa
CT-scan dan MRI sebelum dilakukan operasi.

28
29

3.3.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah seluruh populasi target yang datang saat periode
penelitian.

3.4 Subjek dan cara pemilihan subjek


Subjek adalah data sekunder yang didapatkan dari populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria penelitian.

3.5 Kriteria penelitian

3.5.1 Kriteria inklusi

1. Pasien PI baru yang memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI, yang
akan dilakukan operasi ekstirpasi tumor.
2. Pasien PI yang telah dioperasi serta memiliki data pemeriksaan CT-scan dan
MRI sebelum operasi, dengan data laporan operasi yang menjelaskan lokasi
asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, serta stadium tumor sistem Krouse
sebelum operasi.
3. Pasien PI kambuh yang pernah dioperasi, dan memiliki data pemeriksaan
CT-scan dan MRI terbaru, yang akan dilakukan operasi kembali.
4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat
persetujuan (informed consent).

3.5.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan kelainan kongenital maksilofasial.


2. Pasien PI yang tidak mau dioperasi atau tidak setuju untuk masuk ke dalam
subjek penelitian.
3. Pasien yang memiliki kontraindikasi medis, sehingga tidak dapat dilakukan
operasi.

Universitas Indonesia
30

3.6 Besar subjek minimal

Besar subjek ditentukan dengan menggunakan rumus subjek untuk penelitian


potong lintang (subjek tunggal untuk uji hipotesis suatu populasi) yaitu:

(𝑧𝛼 )2 𝑃𝑄
𝑛=
𝑑2
Keterangan:
n : Jumlah subjek minimal yang diperlukan
P : Kesesuaian lokasi asal atau keterlibatan sinus paranasal atau papiloma
inverted pada pemeriksaan CT-scan dan MRI
Q : 1-P
Zα : Tingkat kepercayaan 95%
d : Kesalahan (absolut) yang dapat di tolerir

Saat penelitian dibuat belum terdapat data sebelumnya yang membandingkan CT-
scan dan MRI sebagai penilaian pre-operatif sehingga jumlah subjek minimal yang
dibutuhkan belum dapat dihitung. Dari studi kepustakaan yang dilakukan peneliti
didapatkan subjek minimal sebanyak 10 orang pasien pada penelitian retrospektif
dilakukan oleh Ojiri14 mengenai gambaran MRI pada papiloma inverted sinonasal.

3.7 Metode pemilihan subjek

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan, subjek penelitian dikumpulkan


secara konsekutif selama 1 tahun dengan desain cross sectional. Tahap pertama
merupakan data bulan Desember 2012 hingga April 2013, sedangkan tahap kedua
selama 6 bulan dimulai pada bulan Mei 2013 sampai dengan November 2013.
Setiap subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak terdapat kondisi sesuai
dengan kriteria eksklusi diikutsertakan dalam penelitian sampai waktu penelitian
berakhir.

Universitas Indonesia
31

3.8 Prosedur penelitian

3.8.1 Alat-alat penelitian

1. Catatan medik pasien


2. Formulir persetujuan penelitian
3. Formulir status penelitian
4. Set endoskopi video dan lightsource dengan endoskop rigid 0o, 30o, 45o dan
70o merek Karl Storz.
5. Hasil pemeriksaan patologi anatomi dengan kesimpulan papiloma inverted
6. Perangkat CT-scan Dual Source 128 slice SOMATOM definition flash
merek Siemens.
7. Perangkat MRI MAGNETOM Avanto 1,5 Tesla merek Siemens.
8. Hasil pemeriksaan CT-scan dengan dan tanpa kontras pasien sebelum
operasi dalam bentuk format Digital Imaging and Communications in
Medicine (DICOM) tanpa kompresi, dimensi matriks 512 x 512 pixel, irisan
aksial minimal 1 mm.
9. Hasil pemeriksaan MRI dengan dan tanpa kontras pasien sebelum operasi
dalam bentuk format DICOM tanpa kompresi, dimensi matriks 512 x 512
pixel, irisan minimal 3 mm. Protokol pemeriksaan MRI T1-weighted
sebelum kontras dengan dimensi aksial, T2-weighted sebelum kontras
dengan dimensi aksial, sagital dan koronal, serta fat suppressed T1-weighted
pasca kontras potongan aksial, sagital dan koronal.
10. Perangkat komputer yang memiliki piranti lunak Picture Archiving and
Communication System (PACS) workstation untuk membaca format
DICOM.
11. Surgical Cockpit Navigation Panel Unit (NPU) model 408000 01 merek
Karl Storz.

Universitas Indonesia
32

3.8.2 Cara kerja penelitian

1. Semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria
eksklusi diberikan informasi yang lengkap mengenai latar belakang, tujuan,
serta tata cara penelitian dengan lembar persetujuan yang diisi oleh subjek
atau orang tua/wali yang terkait.
2. Setelah subjek penelitian setuju dilakukan anamnesis, pengisian formulir
persetujuan penelitian dan pengisian kuesioner penelitian.
3. Pasien yang telah mendapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari
Departemen Patologi Anatomi RSCM akan masuk sebagai populasi
terjangkau.
4. Pasien dengan diagnosis PI, dilakukan pemeriksaan CT-scan dengan kontras
non-ionik, irisan minimal 1 mm.
5. Dilakukan pemeriksaan MRI T1-weighted, T2-weighted, serta T1-weighted
fat supress dengan kontras, irisan minimal 3 mm.
6. Interpretasi masing-masing modalitas pemeriksaan dilakukan oleh 2 orang
pembimbing radiologi divisi kepala leher. Masing-masing ahli radiologi
akan dilakukan blinding.
7. Interpretasi yang dilakukan adalah perkiraan lokasi asal tumor, keterlibatan
masing-masing dinding sinus paranasal, serta penentuan stadium tumor
sistem Krouse.
8. Hasil pemeriksaan CT-scan akan diinterpretasikan dan kemudian ditetapkan
sebagai penilaian pre-operatif CT-scan (POCT).
9. Hasil pemeriksaan MRI akan diinterpretasikan dan ditetapkan sebagai
penilaian pre-operatif MRI (POMRI)
10. Dilakukan pengangkatan tumor sesuai penilai pre-operatif yang telah
disepakati oleh pembimbing 1, proses operasi direkam dalam bentuk video.
Selanjutnya berdasarkan pengamatan langsung saat operasi oleh 2 orang
pembimbing THT-KL dilakukan penetapan lokasi asal tumor, keterlibatan
masing-masing dinding sinus paranasal, penentuan stadium tumor sistem
Krouse, hasil tersebut ditetapkan sebagai hasil penilaian saat operasi (PSO).

Universitas Indonesia
33

11. Hasil penilaian pre-operatif masing-masing modalitas akan dianalisis secara


statistik.
12. Karakteristik pasien yang dilaporkan adalah:
 Usia
 Jenis kelamin
 Riwayat pasien berupa:
o Riwayat hidung tersumbat
o Pilek kronis ≥ 3 bulan
o Sakit kepala ≥ 3 bulan
o Warna sekret hidung
o Mimisan
o Bersin-bersin pagi hari
o Kebiasaan merokok
o Gangguan penghidu
 Pemeriksaan fisik dengan nasoendoskopi:
o Unilateral / bilateral
o Permukaan tumor (berbenjol-benjol/licin)
o Mudah berdarah / tidak
o Pangkal tumor (meatus medius / meatus inferior / tidak dapat
ditentukan)
o Keluar dari kavum nasi / tidak
 Gambaran histopatologi:
o Jenis papiloma sinonasal
o Tampak mitosis / tidak

3.8.3 Proses penjagaan mutu

Untuk menjaga mutu penelitian maka langkah yang ditetapkan adalah:

1. Interpretasi dilakukan oleh 2 orang dokter spesialis radiologi senior dari


Departemen Radiologi RSCM divisi kepala leher yang telah berpengalaman
pada bidang radiologi kepala leher minimal 10 tahun.

Universitas Indonesia
34

2. Jika tidak didapatkan kesepakatan dari kedua orang ahli radiologi tersebut,
maka akan dimintakan konfirmasi kepada 1 ahli radiologi yang lain dari
Departemen Radiologi RSCM divisi kepala leher yang telah berpengalaman
pada bidang radiologi kepala leher minimal 10 tahun.
3. Penetapan lokasi asal tumor, keterlibatan masing-masing dinding sinus
paranasal, penentuan stadium tumor sistem Krouse oleh 2 orang dokter
spesialis THT-KL subdivisi Rinologi dan Onkologi yang berpengalaman di
bidangnya minimal 10 tahun.

Universitas Indonesia
35

3.9 Alur penelitian

Pasien papiloma inverted

Kriteria inklusi dan


eksklusi

Subjek penelitian

Karakteristik: CT-scan & MRI:


Usia, jenis kelamin, Lokasi asal tumor
gambaran Keterlibatan sinus paranasal
histopatologi, dll Penentuan stadium Krouse

Data operasi:
Lokasi asal tumor
Keterlibatan sinus paranasal
Penentuan stadium Krouse

Analisis Data

Hasil Penelitian

Universitas Indonesia
36

3.10 Manajemen dan analisis data

Observasi dilakukan oleh dua orang ahli radiologi dan dihitung kesesuaian antar
dua pengamat (inter observer) dalam memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan
sinus paranasal serta stadium tumor dengan sistem Krouse dengan menggunakan
masing-masing modalitas. Data tersebut dikumpulkan dan ditetapkan menjadi
penilaian pre-operatif yang ditentukan dari observasi CT-scan dan MRI. Masing-
masing data penilaian pre-operatif kemudian dibandingkan dengan baku emas
penemuan operasi sehingga didapatkan kesesuaian antar masing-masing modalitas.

Analisis data menggunakan tabel 2x2 dengan uji McNemar dan nilai Kappa (κ) dari
masing-masing modalitas, kemudian dihitung nilai kemaknaan, sensitivitas,
spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan (likelihood
ratio).

Analisis table 2x2 adalah sebagai berikut:


1. Perbandingan uji kesesuaian McNemar dan nilai Kappa prediksi lokasi asal
tumor, keterlibatan sinus paranasal serta stadium tumor PI sistem Krouse
menggunakan CT-scan dengan baku emas.
2. Perbandingan uji kesesuaian McNemar dan nilai Kappa prediksi lokasi asal
tumor, keterlibatan sinus paranasal serta stadium tumor PI sistem Krouse
menggunakan MRI dengan baku emas.

Universitas Indonesia
37

3.11 Batasan operasional

3.11.1 Pasien diagnosis awal papiloma inverted sinonasal

1. Definisi:
Seluruh pasien yang semua sinus paranasalnya telah terbentuk dengan
diagnosis awal papiloma inverted yang dibuktikan dengan pemeriksaan
histopatologi dari dokter ahli patologi anatomi dengan kesimpulan hasil
pemeriksaan papiloma schneiderian yang tumbuh endofitik atau inverted,
dengan atau tanpa papiloma schneiderian yang tumbuh eksofitik
(fungiform) dan/ atau sel silindrik.
2. Alat Ukur:
Lembar hasil pemeriksaan histopatologi oleh dokter spesialis Patologi
Anatomi.
3. Cara ukur:
Pemeriksaan secara langsung pada kavum nasi dengan spekulum hidung
atau dengan endoskopi, tampak massa yang secara klinis sesuai dengan PI.
4. Hasil ukur:
Hasil pemeriksaan histopatologi untuk papiloma inverted positif dan
negatif.
5. Skala ukur:
Nominal

3.11.2 Lokasi asal tumor PI


1. Definisi:
Prediksi lokasi asal tumor PI pada mukosa berdasarkan hasil pemeriksaan
CT-scan & MRI, serta penentuan pasti asal tumor dengan penemuan saat
operasi.
2. Alat ukur:
o Lightbox untuk membaca plat film
o Piranti lunak PACS Workstation
o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X
o Piranti pemutar DVD
o Data laporan operasi

Universitas Indonesia
38

3. Cara ukur:
1. CT-scan
- Interpretasi plat film CT-scan oleh pembimbing radiologi.
- Mencari tanda khas perlekatan tumor pada gambaran CT-scan yaitu
fokus hiperostosis, memprediksi dari gambaran pelengkungan tulang,
destruksi tulang, penipisan tulang, dll.
2. MRI
- Pembacaan MRI oleh pembimbing radiologi
- Memeriksa gambaran T1-weighted dengan kontras dan T2-weighted,
mencari gambaran tumor yang hiperlusen, gambaran convoluted
cerebriform pattern (CCP), serpentine cerebriform filamentous
structure (SCF), serta memprediksi lokasi asal dengan mempelajari
pola sentrifugal dari tumor.
3. Penemuan saat operasi
- Mengamati daerah perlekatan langsung saat operasi dengan bantuan
NPU atau dengan mengamati data sekunder video operasi dan laporan
operasi oleh peneliti dan pembimbing THT.
4. Hasil ukur:
Penilaian kualitatif mengenai perlekatan tumor dari berbagai pemeriksaan.
5. Skala ukur:
Nominal

3.11.3 Keterlibatan sinus paranasal


1. Definisi:
Prediksi keterlibatan PI pada masing-masing sinus paranasal dan
membedakannya dengan sekret yang terperangkap akibat sumbatan KOM
berdasarkan hasil pemeriksaan pencitraan CT-scan & MRI, serta penentuan
pasti dengan penemuan saat operasi.
2. Alat ukur:
o Lightbox untuk membaca plat film
o Piranti lunak PACS Workstation
o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X

Universitas Indonesia
39

o Piranti pemutar DVD


o Data laporan operasi
3. Cara ukur:
Secara berurutan pemeriksaan dibaca dari:
1. CT-scan
- Interpretasi plat film CT-scan oleh pembimbing radiologi.
- Mencari keterlibatan PI ke dalam sinus parasanal, memeriksa
keterlibatan setiap dinding sinus dan membedakannya dengan sekret
yang terperangkap.
2. MRI
- Interpretasi MRI secara langsung oleh pembimbing radiologi.
- Memeriksa gambaran T1-weighted dengan kontras mencari gambaran
lusen berbatasan dengan jaringan tumor yang menyerap kontras
sehingga dapat membedakan cairan atau tumor.
- Memeriksa MRI T2-weighted tanpa kontras, mencari gambaran tumor
yang hiperintens menyala yang merupakan karakter cairan tidak
bergerak pada MRI T2-weighted, dan membedakannya dengan
gambaran massa.
3. Penemuan saat operasi
- Mengamati sinus paranasal langsung saat operasi oleh peneliti dan
pembimbing THT, atau dengan menggunakan data sekunder video
operasi yang dibandingkan dengan laporan operasi.
4. Hasil ukur:
Penilaian kualitatif mengenai keterlibatan sinus paranasal dari berbagai
pemeriksaan.
5. Skala ukur:
Nominal

3.11.4 Penentuan stadium tumor sistem Krouse


1. Definisi:
Menentukan stadium tumor PI berdasarkan hasil pemeriksaan pencitraan
CT-scan, MRI, dan penemuan saat operasi.

Universitas Indonesia
40

2. Alat ukur:
o Lightbox untuk membaca plat film
o Piranti lunak PACS Workstation
o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X
o Piranti pemutar DVD
o Data laporan operasi
3. Cara ukur:
Secara berurutan pemeriksaan dibaca dari:
1. CT-scan
- Meninjau ulang hasil pemeriksaan CT-scan plat film yang telah
dilakukan lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
2. MRI
- Meninjau ulang hasil pemeriksaan MRI lalu menentukan stadium
tumor PI sistem Krouse.
3. Penemuan saat operasi
- Meninjau ulang hasil penemuan saat operasi dengan menggunakan
data sekunder video operasi yang dibandingkan dengan laporan
operasi, lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
4. Hasil ukur:
Penilaian kualitatif mengenai stadium tumor PI sistem Krouse dari
berbagai pemeriksaan.
5. Skala ukur:
Ordinal

3.12 Hambatan penelitian

1. Adanya pasien yang tidak melanjutkan tindakan operasi setelah dilakukan


pemeriksaan CT-scan sebelum operasi karena alasan-alasan tertentu.
2. Kontraindikasi medis yang tidak membolehkan pasien menjalani CT-scan,
MRI, atau zat kontras.
3. Angka kunjungan pasien PI di poliklinik THT RSCM rata-rata 11 pasien
per tahun.

Universitas Indonesia
41

3.13 Etika penelitian

Penelitian ini terlebih dahulu akan meminta persetujuan Panitia Tetap Etik
Penelitian Kedokteran FKUI-RSCM Jakarta sebelum dilaksanakan penelitian.
Kepada semua orang tua atau wali atau subjek penelitian akan diberikan penjelasan
yang baik mengenai prosedur dan tujuan penelitian, kemudian diminta persetujuan
untuk menggunakan datanya dalam proses penelitian dengan menandatangani
formulir persetujuan (Informed consent).

3.14 Organisasi penelitian

Peneliti : dr. Ashadi Budi


Pembimbing I : Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL (K)
Pembimbing II : dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL (K)
Pembimbing III : dr. Vally Wulani,Sp.Rad (K)
Pembimbing IV : dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad (K)
Pembimbing statistik : Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc

Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional (potong lintang) yang


mengambil data sekunder yang dikumpulkan secara bipartite selama 1 tahun sejak
bulan Desember 2012 sampai November 2013, di Departemen THT-KL FKUI/
RSCM, Departemen Radiologi FKUI/ RSCM. Pada periode waktu tersebut
dikumpulkan pasien sebanyak 16 pasien papiloma Schneiderian, 2 pasien
merupakan jenis eksofitik, 14 pasien merupakan pasien papiloma inverted atau
campuran. Empat dari empat belas pasien menolak untuk dilakukan operasi,
sehingga jumlah subjek yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 10 pasien.
Penelitian ini mengambil data-data sekunder pemeriksaan pencitraan CT-scan dan
MRI sebelum operasi dan membandingkan dengan penemuan saat operasi.

4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal

Pada masa penelitian ini didapatkan 16 pasien papiloma Schneiderian. Dua dari 16
pasien merupakan jenis eksofitik, sedangkan 14 pasien merupakan jenis papiloma
inverted atau jenis campuran dari eksofitik dan endofitik (inverted). Satu dari 14
pasien menolak tata laksana lanjut, dua dari 14 pasien tidak melanjutkan operasi
walaupun telah dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI, sedangkan 1 pasien PI
terbukti sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa, sehingga keempat pasien
tersebut dikeluarkan dari penelitian (drop out), sehingga didapatkan subjek
penelitian 10 orang (gambar 4.1).

42
43

Papiloma schneiderian
(n= 16)

Eksofitik Inverted Campuran


(n= 2) (n= 3) (n= 11)

Pemeriksaan Menolak
CT-scan & MRI pemeriksaan lanjut
(n= 13) (n= 1)

Tidak operasi
(n= 3)

Subjek penelitian
(n= 10)

Gambar 4.1 Alur mendapatkan subjek penelitian

Karakteristik subjek penelitian diolah secara deskriptif dari hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik dan laporan hasil pemeriksaan patologi anatomi. Kelompok
karakteristik subjek yang sajikan pada penelitian yaitu usia, jenis kelamin, riwayat
merokok, keluhan mimisan atau ingus sampur darah, riwayat bersin-bersin,
gangguan penciuman, pemeriksaan endoskopi hidung menunjukkan tumor berada
pada kavum nasi unilateral atau bilateral, karakter histopatologi jenis papiloma,
serta ada tidaknya karsinoma.

Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada tabel 4.1 dengan nilai rata-rata
usia subjek penelitian didapatkan adalah 42,1 tahun. Nilai median usia subjek
adalah 41 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 6 subjek dan perempuan 4 subjek.
Hampir seluruh subjek tidak pernah merokok (n= 7), sedangkan 2 subjek adalah
perokok aktif, dan 1 subjek pernah menjadi perokok aktif yang sudah berhenti 5
44

tahun. Keluhan anosmia (n= 2) hanya ada pada pasien dengan sumbatan hidung
bilateral, sedangkan hiposmia hanya dirasakan pada 1 subjek dengan sumbatan
hidung unilateral (dari total n= 7). Histopatologi papiloma schneiderian hanya tipe
inverted pada 1 subjek, sedangkan yang terjadi bersamaan dengan papiloma
eksofitik sebanyak 8 subjek. Tidak ada subjek yang terbukti metakronus dengan
karsinoma sebelum dilakukan operasi.

Tabel 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal

Karakteristik subjek Jumlah (n)


Usia ≤ 20 tahun 0
21 – 40 tahun 5
41 – 60 4
> 60 tahun 1
Jenis kelamin Laki-laki 6
Perempuan 4
Merokok Tidak pernah 7
Aktif 2
Pernah 1
Keluhan Mimisan 2
Pilek >3bulan 10
Bersin-bersin 0
Hiposmia 1
Anosmia 2
Lokasi Unilateral 8
Bilateral 2
Histologi Endofitik 2
Endofitik + Eksofitik 8

4.2 Sebaran lokasi asal, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor
berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi

Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan pencitraan dengan dua modalitas, CT-
scan dan MRI. Pemeriksaan pencitraan sebelum dilakukan operasi,
diinterpretasikan oleh dua orang ahli radiologi secara terpisah. Data dikumpulkan
secara pembutaan satu pihak (single blind) pada dokter ahli radiologi untuk
menghindari bias, lalu ditampilkan dalam tabel distribusi variabel untuk masing-
masing modalitas.

Universitas Indonesia
45

Tabel 4.2 Sebaran lokasi asal tumor, sinus paranasal berdasarkan


pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi
Variabel CT MRI PSO

1. Lokasi asal tumor


a. Konka media 2 1 2
b. Konka inferior 1 1 1
c. Dinding lateral kavum nasi 4 4 4
d. Lamina papirasea 2 1 2
e. Dinding sinus maksila 2 2 2
f. Dinding sinus etmoid 0 1 0
g. Dinding sinus frontal 1 2 1
h. Lebih dari satu lokasi 2 4 5
2. Keterlibatan sinus paranasal
a. Sinus etmoid anterior 5 5 9
b. Sinus etmoid posterior 3 4 4
c. Sinus maksila 8 6 7
d. Sinus sfenoid 0 1 1
e. Sinus frontal 3 3 3
3. Stadium sistem Krouse
1. Stadium T1 0 1 0
2. Stadium T2 2 1 2
3. Stadium T3 4 4 4
4. Stadium T4 4 4 4

4.3 Prediksi lokasi asal tumor PI

Prediksi lokasi asal tumor dengan modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI
sebelum operasi dilakukan oleh ahli radiologi dengan kesepakatan yang sama
dalam menentukan lokasi asal tumor yang juga dianggap perlekatan dari tumor pada
mukosa. Untuk memprediksi lokasi asal tumor dengan CT-scan, dilakukan
pemeriksaan gambaran secara kualitatif pada bentuk tumor dan mempelajari
tumbuhnya tumor yang sentrifugal, dan mencari komponen hiperostosis pada
perselubungan tumor. Prediksi lokasi asal tumor pada pemeriksaan MRI dilakukan
juga dengan mempelajari pertumbuhan tumor yang sentrifugal, kemudian mencari
komponen CCP dan SCF untuk memprediksi lokasi asal tumor.

Kedua pemeriksaan dilakukan secara terpisah dan dibandingkan dengan penemuan


saat dilakukan operasi. Untuk memudahkan pengolahan data, maka data yang
merupakan deskripsi tempat lokasi diubah menjadi data kategori dengan
menggunakan sistem skor. Dasar pengubahan data dilakukan berdasarkan

Universitas Indonesia
46

kesesuaian, skor 2 jika hasil pemeriksaan pre-operatif tepat sesuai dengan


penemuan saat operasi. Skor 1 diberikan bila pemeriksaan pre-operatif benar
sebagian dengan penemuan saat operasi. Skor 0 diberikan pada pemeriksaan pre-
operatif tidak sesuai dengan penemuan saat operasi.

Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan
MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi

Kesesuaian
kelamin
Subjek

Jenis
Usia

CT-scan MRI PSO:


KCT KMRI
1 W 50 Dinding lateral Dinding lateral Dinding lateral, 2 2
posterior, posterior, sinus Dinding maksila
Dinding maksila maksila posterior
posterior
2 (R) P 28 Lamina Etmoid anterior, Lamina 2 1
papirasea, posterior, papirasea,
frontal frontal dinding lateral
sinus frontal

3 P 42 Dinding anterior Dinding anterior Dinding anterior 2 2


sinus maksila sinus maksila, sinus maksila,
dinding lateral dinding lateral
kavum nasi kavum nasi
4 W 48 Lamina Lamina Lamina 2 2
papirasea papirasea papirasea
5 P 32 Konka inferior Konka inferior Konka inferior, 1 1
dinding lateral
kavum nasi
6 W 53 Prosesus Prosesus Prosesus 2 2
unsinatus unsinatus unsinatus
7 P 28 Dinding lateral Dinding lateral Dinding lateral 2 2
kavum nasi kavum nasi kavum nasi
8 P 78 Konka media Kavum nasi Konka media, 1 0
dasar duramater,
sinus etmoid
posterior
9 (R) P 40 Konka media Konka media, Konka media 2 1
frontal
10 W 22 Prosesus Dinding lateral Prosesus 2 1
unsinatus kavum nasi unsinatus

P/W : Pria / Wanita


(R) : Tumor rekuren
PSO : Penemuan saat operasi
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan PSO
KMRI : Kesesuaian MRI dengan PSO

Universitas Indonesia
47

Prediksi lokasi asal tumor saat operasi dengan menilai secara langsung adanya
attachment atau menempelnya tangkai tumor PI dengan mukosa yang terlibat yang
dikonfirmasi dengan alat Navigation Panel Unit (NPU) Karl Storz. Pada sebagian
besar kasus lebih banyak diprediksi benar oleh pemeriksaan CT-scan pada 8 subjek,
benar sebagian pada 2 subjek. Hasil pemeriksaan MRI memprediksi benar pada 4
subjek, memprediksi benar sebagian pada 5 subjek dan salah pada 1 subjek.

Pada perbandingan modalitas CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan


lokasi asal tumor saat operasi (tabel 4.3), prediksi MRI lebih rendah dari prediksi
CT-scan pada 4 subjek. Tidak ada prediksi lokasi asal tumor dengan MRI yang
lebih baik dari CT-scan. Prediksi lokasi asal tumor PI berdasarkan CT-scan dan
MRI sama baik pada 6 subjek.

Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor
berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI
Rerata p
Prediksi lokasi asal tumor
berdasarkan CT-scan 1,80 ± 0,422
0,046
Prediksi lokasi asal tumor
1,40 ± 0,699
berdasarkan MRI

Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi lokasi asal tumor dan
didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji t_test berpasangan tidak
dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon diperoleh nilai kemaknaan
0,046 (p< 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna yaitu penilaian pre-operatif CT-scan lebih baik dibandingkan MRI dalam
menentukan lokasi asal tumor PI.

4.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal

Pemeriksaan sinus paranasal pada CT-scan kontras dilakukan dengan


membandingkan densitas perselubungan yang terdapat pada rongga sinus dengan
daerah yang telah diketahui merupakan lokasi tumor (misalnya pada kavum nasi).
Prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan MRI dilakukan dengan
membandingkan pencitraan T1-weighted, T1-weighted dengan kontras, dan T2-

Universitas Indonesia
48

weighted. Pemeriksaan keterlibatan sinus paranasal dibedakan masing-masing


sinus, perselubungan dalam sinus dapat berupa tumor atau cairan yang bagian dari
peradangan (sinusitis). Keterlibatan pada sinus etmoid anterior dan posterior
dipisah menjadi dua lokasi yang berbeda karena memiliki drainase yang berbeda
dan dipisahkan oleh lamela basalis.

Tabel 4.5 Kesesuaian prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-


scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi
kelamin

Kesesuaian
Subjek

Jenis
Usia

CT-scan MRI PSO


KCT KMRI
1 W 50 Maksila Maksila, sfenoid Maksila, Etmoid 1 1
anterior
2 (R) P 28 Etmoid anterior, Etmoid anterior, Etmoid anterior, 2 1
frontal posterior, frontal
frontal
3 P 42 Maksila Maksila Maksila, etmoid 1 1
anterior
4 W 48 Etmoid anterior, Etmoid anterior, Etmoid anterior, 1 1
posterior, posterior, posterior,
maksila, frontal maksila, frontal maksila
5 P 32 Maksila Etmoid anterior Kavum nasi 0 0

6 W 53 Maksila Tidak ada Etmoid anterior, 1 0


maksila
7 P 28 Maksila Maksila Etmoid anterior, 1 1
posterior,
maksila

8 P 78 Etmoid anterior, Etmoid anterior, Etmoid anterior, 1 1


posterior posterior posterior,
sfenoid, frontal
9 (R) P 40 Etmoid anterior, Etmoid anterior, Etmoid anterior, 2 2
posterior, posterior, posterior,
maksila, frontal maksila, frontal maksila, frontal
10 W 22 Etmoid anterior, Maksila Etmoid anterior, 2 1
maksila maksila
P/W : Pria / Wanita
(R) : Tumor rekuren
PSO : Penemuan saat operasi
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan PSO
KMRI : Kesesuaian MRI dengan PSO

Universitas Indonesia
49

Kedua pemeriksaan dibandingkan dengan penemuan saat dilakukan operasi. Data


yang merupakan deskripsi tempat lokasi diubah menjadi data kategori dengan
menggunakan sistem skor. Dasar pengubahan data dilakukan berdasarkan
kesesuaian, skor 2 jika hasil pemeriksaan pre-operatif tepat sesuai dengan
penemuan saat operasi. Skor 1 diberikan bila pemeriksaan keterlibatan sinus
paranasal sebagian benar dibandingkan penemuan operasi operasi. Skor 0 diberikan
pada keterlibatan sinus paranasal pemeriksaan pre-operatif dibandingkan
penemuan saat operasi.

Evaluasi keterlibatan sinus paranasal pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
melihat secara langsung dengan bantuan endoskopi 0O dan endoskopi bersudut 30O,
45O, atau 75O. Setelah sebagian tumor diangkat, ostium sinus paranasal yang
dicurigai terdapat tumor dibuka dan dilihat. Pemeriksaan CT-scan memprediksi
benar pada 3 subjek, benar sebagian pada 6 subjek dan salah pada 1 subjek. MRI
memprediksi benar pada 1 subjek, benar sebagian pada 7 subjek, dan salah pada 2
subjek.

Pada prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan modalitas CT-scan dan MRI
dibandingkan dengan penemuan saat operasi (tabel 4.5), pemeriksaan MRI lebih
rendah daripada CT-scan dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal pada 3 subjek.
Tidak ada prediksi pemeriksaan MRI yang lebih baik dari CT-scan dalam prediksi
keterlibatan sinus paranasal. Prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-
scan dan MRI sama baik pada 7 subjek.

Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal
berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI
Rerata p
Prediksi keterlibatan sinus
paranasal berdasarkan CT-scan 1,20 ± 0,632
0,083
Prediksi keterlibatan sinus
0,90 ± 0,568
paranasal berdasarkan MRI

Universitas Indonesia
50

Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi keterlibatan sinus


paranasal dan didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji t_test
berpasangan tidak dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon diperoleh
nilai kemaknaan 0,083 (p> 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan bermakna antara penilaian pre-operatif CT-scan dan MRI dalam
prediksi keterlibatan sinus paranasal.

4.5 Prediksi menentukan stadium tumor

Stadium tumor ditentukan dengan metode Krouse dengan pemeriksaan CT-scan


dengan cara visual dan penilaian densitas, sedangkan MRI dilakukan
pembandingan pencitraan T1-weighted, T1-weighted dengan kontras, dan T2-
weighted. Gambaran T1-weighted terlihat iso intens antara tumor dan sinusitis, T2-
weightedc tampak cairan hiper intens dibandingkan tumor, sedangkan tumor dan
jaringan peradangan tampak hiper intens dibandingkan cairan pada T1-weighted
dengan pemberian kontras. Pada penelitian ini, terdapat kesesuaian prediksi pre-
operatif dengan penemuan saat operasi (skor 1) pada 10 pasien, sedangkan 1 pasien
tidak sesuai (skor 0).

Tabel 4.7 Kesesuaian prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan dan


MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi
kelamin

Kesesuaian
Subjek

Jenis
Usia

CT-scan MRI PSO


KCT KMRI
1 W 50 III III III Sesuai Sesuai
2 (R) P 28 IV IV IV Sesuai Sesuai
3 P 42 III III III Sesuai Sesuai
4 W 48 III III III Sesuai Sesuai
5 P 32 IV IV IV Sesuai Sesuai
6 W 53 II I II Sesuai Tidak sesuai
7 P 28 III III III Sesuai Sesuai
8 P 78 IV IV IV Sesuai Sesuai
9 (R) P 40 IV IV IV Sesuai Sesuai
10 W 22 II II II Sesuai Sesuai
P/W : Pria / Wanita
(R) : Tumor rekuren
PSO : Penemuan saat operasi
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan PSO
KMRI : Kesesuaian MRI dengan PSO

Universitas Indonesia
51

Penilaian keterlibatan sinus paranasal memiliki peran penting dalam menentukan


stadium tumor sistem Krouse. Adanya keterlibatan sinus maksila dibagi lagi
menjadi 2 kategori, yaitu hanya dinding sinus maksila medial saja yang terlibat atau
sudah mengenai dinding lain sinus maksila.

Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan
pemeriksaan CT-scan dan MRI
Sesuai p
Prediksi stadium tumor
10
berdasarkan CT-scan
0,317
Prediksi stadium tumor
9
berdasarkan MRI

Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi stadium tumor pada
kedua modalitas dan didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji
t_test berpasangan tidak dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon
diperoleh nilai significancy 0,317 (p> 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara penilaian pre-operatif CT-scan
dan MRI dalam prediksi stadium tumor PI.

4.6 Uji diagnostik CT-scan & MRI, dibandingkan dengan penemuan saat
operasi

Pada penelitian ini, uji diagnostik tidak dapat dilakukan karena kurangnya subjek
penelitian dan bentuk data yang kategorik bukan dikotomi. Data yang ordinal tidak
dapat dimasukkan ke dalam tabel 2x2, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan
nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio
kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal
tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor
PI. Maka dari itu, hipotesis penelitian tidak dapat dibuktikan, sehingga selanjutnya
disajikan dalam penelitian deskriptif.

Universitas Indonesia
52

4.7 Alur tata laksana tumor PI

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini dirangkum dalam suatu


proses alur tata laksana yang digunakan berupa langkah:

4.7.1 Memprediksi lokasi asal tumor

Pentingnya mengetahui lokasi asal tumor PI adalah untuk mempersiapkan langkah-


langkah operasi pada pembedahan endoskopi.

Langkah-langkah memprediksi lokasi tumor berdasarkan CT-scan:

1. Dilakukan pengolahan data DICOM pemeriksaan CT-scan ke dalam PACS


workstation, dipilih potongan aksial dengan irisan terbanyak.
2. Dilakukan rekonstruksi multi planar 3 dimensi atau 3 Dimension
Multiplanar Reconstruction (3D MPR)
3. Ditetapkan evaluasi densitas berdasarkan pengaturan tulang, patokan
window level (WL) 300 dan window width (WW) 1500, densitas kemudian
disesuaikan hingga partisi sel etmoid dapat terlihat dengan jelas.
4. Dicari hiperostosis di dalam perselubungan dan menetapkan sebagai daerah
lokasi asal tumor.
5. Jika tidak ditemukan hiperostosis, dipelajari arah pertumbuhan tumor
secara sentrifugal dan menilai pendorongan tulang sinonasal. Pusat dari
tumor dapat dianggap sebagai lokasi asal tumor.

Langkah-langkah memprediksi lokasi asal tumor berdasarkan MRI:

1. Dilakukan pengolahan data DICOM dengan membandingkan potongan


koronal, aksial dan sagital MRI T1-weighted dengan kontras dengan T2-
weighted.
2. Dicari SCF dengan CCP pada potongan koronal, aksial dan sagital yang
paling terlihat jelas, arah SCF berpusat pada suatu titik dinilai sebagai
lokasi asal tumor.
3. Jika tidak ditemukan SCF, lakukan evaluasi pada daerah dengan CCP
terbanyak dan dipelajari pertumbuhan tumor secara sentrifugal. Pusat
tumor dapat dianggap sebagai lokasi asal tumor

Universitas Indonesia
53

4.7.2 Mengetahui keterlibatan sinus paranasal

Keterlibatan sinus paranasal dan jaringan sekitarnya dilakukan untuk pada masing-
masing pemeriksaan dengan berbagai metode.

Langkah-langkah penilaian keterlibatan sinus paranasal dengan CT-scan:


1. Dilakukan pengolahan data DICOM pemeriksaan CT-scan ke dalam PACS
workstation, dipilih pencitraan dengan kontras pada potongan aksial
dengan irisan terbanyak.
2. Dilakukan rekonstruksi multi planar 3 dimensi (3D MPR)
3. Ditetapkan evaluasi densitas berdasarkan pengaturan jaringan lunak
(patokan WL 50, WW 250)
4. Dilakukan pembandingan secara visual secara langsung antara
perselubungan di dalam sinus paranasal dengan perselubungan yang telah
diketahui massa tumor.
5. Jika tidak dapat dibedakan secara visual, dilakukan perbandingan secara
kuantitatif dengan menilai densitas dasar perselubungan Hounsfield Units
(HU).

Langkah-langkah penilaian keterlibatan sinus paranasal dengan CT-scan:


1. Dilakukan pengolahan data DICOM pemeriksaan MRI ke dalam PACS
workstation, dengan membandingkan potongan koronal, aksial dan sagital
MRI T1-weighted, T1-weighted dengan kontras dengan T2-weighted.
2. MRI T1-weighted akan memperlihatkan gambar tumor, sinusitis dan
jaringan sekitar isu intens. Cairan tak bergerak akan hipo intens
dibandingkan lemak.
3. MRI T1-weighted dengan kontras akan memperlihatkan gambaran tumor
lebih hiper intens dibandingkan sinusitis dan jaringan sekitarnya. Cairan
tidak bergerak akan lebih hipo intens dibanding lemak.
4. MRI T2-weighted akan memperlihatkan gambaran cairan tak bergerak akan
hiper intens, sedangkan jaringan lemak dan tumor akan lebih hipo intens.

Universitas Indonesia
54

4.7.3 Prosedur operasi untuk mengetahui lokasi asal tumor

Persiapan operasi merupakan prosedur yang penting dalam tata laksana reseksi
tumor PI dengan endoskopi. Persiapan dimulai dengan mempersiapkan alat-alat
yang sesuai dengan prediksi lokasi asal tumor. Setiap sampel yang akan dioperasi
dikonsultasikan terlebih dahulu ke klinik peri operatif Departemen Anestesi RSCM.
Seluruh sampel harus memenuhi kriteria layak operasi oleh klinik peri operatif.

Alat-alat yang dasar operasi yang digunakan adalah perangkat video endoskopi
Karl Storz dengan endoskopi rigid 0o, 30o, 45o dan 70o. Perangkat dasar bedah sinus
endoskopi fungsional juga menjadi perlengkapan yang selalu dipersiapkan pada
setiap operasi. Peralatan khusus digunakan seperti elektro kauter bipolar dan
penghisap (suction) kombinasi dengan elektro kauter monopolar untuk mengatasi
perdarahan, dapat juga digunakan untuk mengurangi massa tumor (debulking).
Peralatan khusus lain yang diperlukan adalah micro debrider dan sinus burr,
digunakan untuk menipiskan hiperostosis yang menempel pada tulang tebal.

Gambar 4.2 Posisi reverse trendelenburg dengan fleksi kepala

Posisi pasien penting untuk meminimalisasikan perdarahan saat operasi. Tempat


tidur pasien diposisikan reverse trendelenburg 15o (gambar 4.3), sedangkan leher
dan kepala posisi fleksi 30o. Tinggi tempat tidur diatur agar pasien berada setinggi
siku lengan operator.

Universitas Indonesia
55

Pengaturan lapang operasi diatur dengan pengaturan standar operasi bedah sinus
endoskopi fungsional. Alat NPU diletakkan kontra lateral terhadap sisi tumor yang
akan dioperasi. Misalkan pada tumor di sebelah kanan, maka NPU diletakkan di
sebelah kiri (gambar 4.3) untuk mempermudah pembacaan sensor alat saat
melakukan navigasi.

IN OP

EN
AN

PAN AS

OP : Operator
AS : Asisten
IN : Instrumen
AN : Anestesiologis
EN : Perangkat endoskopi
NPU : Navigation panel unit
PAN : Perangkat anestesi

Gambar 4.3 Pengaturan lapangan operasi

Perangkat NPU Karl Storz dapat membaca data DICOM standar versi 3.0. Bentuk
data ini dapat dihasilkan oleh perangkat CT-scan dan MRI yang umum di rumah
sakit. Untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik saat navigasi, perlu dipastikan
data DICOM CT-scan tersebut memiliki potongan aksial, irisan minimal 1 mm
dengan ukuran matriks minimal 512 x 512 pixel. Daerah anatomi pencitraan
setidaknya harus memperlihatkan daerah puncak dahi pada tepi superior, bibir atas
pada tepi inferior, serta minimal bagian medial kedua telinga pada tepi lateral. Data
disimpan dalam satu folder pada CD atau USB flashdisk. Pengaturan tulang (WL
300, WW 1500) ideal untuk menilai tulang sinus paranasal yang tipis. Jika
diperlukan dapat digunakan data DICOM MRI dengan syarat potongan aksial,
irisan minimal 2 mm dan matriks minimal 256 x 256. Untuk mendapatkan
gabungan (fusi) dari kedua gambar CT-scan dan MRI ke dalam NPU, data
pencitraan perlu dipastikan dari pasien yang sama, dengan kondisi anatomi yang
sama dan pada data aksis yang sama.

Universitas Indonesia
56

Gambar 4.4 Alat Surgical Cockpit Navigation Panel Unit Karl Storz

Tahapan penggunaan NPU Karl Storz pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memasukkan data
a. Setelah NPU dinyalakan, sumber data DICOM dapat dimasukkan ke dalam
perangkat NPU melalui compact disc (CD) atau USB flasdisk, PACS, atau
Network (melalui kabel local area network). Pada penelitian ini peneliti
menggunakan CD dan USB flasdisk.
b. Pada menu awal, pilih ENT Navigation  Load  Import Dicom Data 
Pilih sumber data dari CD atau USB flasdisk.
c. Pada tabel data, pilih CT-scan nama pasien yang sesuai dengan potongan
aksial, dengan jumlah irisan terbanyak  Pilih
2. Mengatur titik registrasi CT-scan pada NPU
a. Setelah data DICOM selesai dimuat, akan tampak rekonstruksi 3D dan
potongan MPR yang dibuat oleh NPU, pilih Set Marker
b. Arahkan mouse pointer ke arah gambar, gunakan tombol kanan mouse dan
geserlah pada gambar 3D untuk menggerakkan dan memutar gambar. Klik
tombol Wide pada setiap gambar untuk melebarkan, lalu buat titik registrasi
pada lokasi berikut (gambar 4.5):

Universitas Indonesia
57

(1) Gambar 3D: Putar gambar ke kanan dengan menahan dan menggeser
tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat tepi kantus
lateral mata kanan, klik tombol mouse kiri batas lipatan paling lateral
mata kanan hingga muncul angka marker 1.
Gambar MPR aksial: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada puncak tulang rima orbita lateral kanan,
dengan kedalaman antara kutis dan tulang.
(2) Gambar 3D: Putar gambar ke kiri dengan menahan dan menggeser
tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat tepi kantus
lateral mata kiri, klik tombol mouse kiri batas lipatan paling lateral mata
kiri hingga muncul angka marker 2.
Gambar MPR aksial: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada puncak tulang rima orbita lateral kiri,
dengan kedalaman antara kulit dan tulang.

Gambar 4.5 Lokasi pengaturan marker pada NPU

Universitas Indonesia
58

(3) Gambar 3D: Putar gambar dengan menahan dan menggeser tombol
mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat dalam posisi lateral,
lalu klik tombol mouse kiri pada daerah lipatan subnasal tepat di tengah-
tengah, hingga muncul angka marker 3.
Gambar MPR sagital: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada lipatan subnasal, tepat pada tepi kulit.
(4) Gambar 3D: Pada posisi yang sama pada gambar 3D (lateral), klik
tombol mouse kiri pada titik nasion (daerah paling rendah pada batas os
nasal) tepat di tengah-tengah, hingga muncul angka marker 4.
Gambar MPR sagital: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada titik nasion, tepat pada tepi kulit.
3. Registrasi marker pasien pada NPU
a. Pasang headband pada dahi pasien, perhatikan tulisan nose dipasang ke
arah hidung pasien. Pastikan headband terpasang kuat sehingga tidak
goyang saat prosedur operasi dilakukan, jika perlu dapat digunakan double
tape atau perekat. Bagian kantus lateral tidak boleh tertarik atau tertekan,
karena akan mempengaruhi titik registrasi. Penting untuk berkoordinasi
kepada ahli anestesi agar tidak memasang perekat di daerah bibir atas.

Gambar 4.6 Pengaturan kamera sensor pada NPU

Universitas Indonesia
59

b. Atur kamera sensor ke arah kepala pasien sehingga warna gambar pasien
pada NPU berwarna hijau. Pastikan warna merah pada keterangan jarak
(distance) dan pasien (patient) berubah menjadi hijau. Sebuah titik merah
akan bergerak mengikuti arah gerak kamera sensor, arahkan titik merah ke
kepala gambar pasien (gambar 4.6).
c. Arahkan registration pointer pada titik registrasi pada headband, maka
registrasi pasien dapat dimulai. Pada registration pointer terdapat 3 buah
sensor kaca bulat, tutup terlebih dahulu salah satu sensor dengan jari untuk
mendapatkan titik registrasi yang sesuai, paparkan sensor setelah titik
registrasi pasien ditunjuk. (gambar 4.7)
(1) Posisikan sesuai dengan marker 1, yaitu pada daerah lipatan mata kanan
paling lateral, alat registration pointer ditekan sedikit hingga
kedalaman setengah jarak kulit dan tulang rima orbita lateral.

Registrasi awal Marker 1 Marker 2

Marker 4

Marker 4

Marker 3 Marker 3

Gambar 4.7 Pengaturan marker titik registrasi pada pasien

Universitas Indonesia
60

(2) Posisikan sesuai dengan marker 2, yaitu pada daerah lipatan mata kiri
paling lateral, alat registration pointer ditekan sedikit hingga
kedalaman setengah jarak kulit dan tulang rima orbita lateral.
(3) Posisikan sesuai dengan marker 3, yaitu pada lipatan subnasal, alat
registration pointer diletakkan tanpa menekan kulit.
(4) Posisikan sesuai dengan marker 4, yaitu pada titik nasion, alat
registration pointer diletakkan tanpa menekan kulit.
d. Pastikan nilai registration error maksimal kurang dari 0,5 (gambar 4.8).
Jika nilai lebih dari 0,5 maka langkah (c) harus diulang kembali. Setelah
nilai kurang dari 0,5 maka dilakukan konfirmasi titik registrasi dengan
menyentuhkan registration pointer ke wajah pasien secara acak.
e. Alat NPU siap digunakan, untuk menggunakan alat suction dilakukan
registrasi terlebih dahulu pada titik registrasi pada headband. Kanul suction
lurus dan downward di titik registrasi alat pada bagian atas, sedangkan
kanul suction upward di bagian bawah. Penting agar pasien dan alat suction
selalu berada di dalam jangkauan kamera sensor.

Marker Surgery

Slider
CT/MRI

MPR Sagital MPR Koronal

Slider HU

Wide MPR Aksial


Rekonstruksi Status
3D Registration error: mean: 0,23 max: 0,34
Yanti_P_[24/10/2013] id:06-1 registrasi

Gambar 4.8 Tampilan menu pada NPU Karl Storz

Universitas Indonesia
61

4. Melakukan fusi pemeriksaan CT-scan dan MRI pada NPU.


a. Load data DICOM CT-scan terlebih dahulu ketika akan melakukan fusi.
b. Setelah data CT-scan selesai ditampilkan, pilih kembali Load  Fuse with
DICOM data  Pilih sumber data DICOM (CD atau USB flashdisk)
c. Data DICOM MRI yang dipilih T2-weighted atau T1-weighted dengan
kontras. Pilihkan irisan MRI yang terbanyak.
d. Setelah data selesai di proses akan tersimpan di daftar sebagai pencitraan
baru. Slider CT/MRI pada menu NPU (gambar 4.8) digunakan untuk
mengatur hasil penggabungan kedua pencitraan. (gambar 4.9)

Gambar 4.9 Hasil penggabungan CT-scan dan MRI T2-weighted


Potongan koronal dari (A) CT-scan, (B) MRI dan (C) Hasil fusi keduanya

Pada prosedur operasi pengangkatan tumor, semua pasien terlebih dahulu dilakukan
pemasangan tampon hidung dibuat dengan menggunakan kasa rol selebar 0,5 - yang
di potong sepanjang 20 – 25 cm, berbeda dengan tampon kapas yang biasa
digunakan untuk bedah sinus endoskopi fungsional. Tampon tersebut dibasahi
dengan adrenalin 1: 5000, kemudian dilumuri gel Xelocaine 2% untuk menghindari
kerusakan mukosa hidung karena permukaan tampon kasa yang kasar.

Lokasi asal tumor yang sulit di capai karena besarnya massa tumor walaupun telah
ditampon dengan adrenalin 1: 5000, dilakukan teknik pengecilan tumor dengan
menggunakan elektro kauter monopolar atau bipolar pada bagian dalam tumor,

Universitas Indonesia
62

kemudian mencari bagian-bagian yang menempel yang dicurigai merupakan lokasi


asal tumor. Tumor diusahakan terputus atau rusak dahulu agar menghindari
perdarahan yang berlebihan. Pemotongan bagian asal tumor dilakukan dengan
elektro kauter, karena terjadi neovaskularisasi pada daerah ini.

Setelah memastikan lokasi asal tumor, mukosa yang menempel pada tumor
dilepaskan dari mukoperikondrium di bawahnya, dan dieksisi pada batas bebas
tumor. Jika bagian dasar lokasi asal tumor merupakan tulang, dilakukan pengeboran
untuk menipiskan tulang dasar tersebut. Jika menempel pada struktur bertangkai
seperti konka atau partisi tulang tipis seperti dinding sel sinus etmoid dilakukan
pemotongan dan pembersihan struktur tersebut.

Sinus paranasal yang dicurigai berisi tumor dinilai secara langsung dengan
endoskopi ke dalam ostium sinus yang bersangkutan. Perlu dilakukan evaluasi
bagian tumor yang di dalam sinus paranasal, jika menempel pada salah satu dinding,
maka perlu diperlakukan sebagai salah satu bagian perlekatan lokasi asal tumor
(multi fokal).

Tumor yang menempel pada struktur penting seperti lamin papirasea, batas dasar
kranium atau dinding sinus sfenoid dibersihkan namun tetap dilakukan preservasi
pada daerah tersebut, mengingat tumor PI adalah tumor jinak. Dapat
dipertimbangkan radioterapi pasca operasi pada daerah tumor yang tidak bersih.

Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui manfaat yang
dapat didapatkan dari pemeriksaan pencitraan CT-scan dan MRI dalam
memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, dan stadium tumor
dibandingkan dengan penemuan saat operasi. Pengambilan data penelitian
dilakukan secara retrospektif dan prospektif dengan mengambil data sekunder
pasien yang datang ke poliklinik THT-KL divisi Rinologi dan Onkologi selama
bulan Desember 2012 sampai dengan November 2013. Seluruh subjek penelitian
menjalani proses anamnesis, pemeriksaan endoskopi hidung, pemeriksaan
histopatologi dengan kesimpulan papiloma inverted atau endofitik.

5.1 Keterbatasan penelitian

Subjek penelitian adalah pasien papiloma inverted sinonasal yang memiliki data
pemeriksaan CT-scan, MRI, dan penemuan saat operasi dalam bentuk laporan dan
video operasi yang memperlihatkan di mana lokasi asal tumor, sinus paranasal yang
terlibat dan stadium tumor dengan metode Krouse. Sebelum dilakukan penelitian
ini, tidak ada satu pun pasien papiloma inverted di RSCM yang memiliki data
sekunder yang masuk dalam kriteria penelitian, sehingga populasi pasien yang bisa
dimasukkan sebagai subjek penelitian ini tidak ada dan peneliti harus
mengumpulkan data baru untuk memenuhi subjek penelitian. Pasien papiloma
inverted sinonasal yang dikumpulkan selama 1 tahun sebanyak 14 pasien, namun 4
dari 14 pasien tidak dilakukan operasi, sehingga jumlah subjek yang berhasil
dikumpulkan 10 orang.

63
64

5.2 Karakteristik pasien papiloma inverted sinonasal

Pasien ini melibatkan 10 orang pasien dengan jenis kelamin laki-laki 6 orang dan
perempuan 4 orang, laki-laki lebih banyak dengan perbandingan 1,5 : 1. Usia subjek
penelitian antara 22 sampai 78 tahun, usia terbanyak pada dekade ke 2 hingga 4
sebanyak 5 pasien (50 %), dengan nilai rata-rata 42,1 dan median 41. Usia tersebut
berbeda dengan yang disebutkan Wassef50 dalam penelitiannya di Dallas Amerika
Serikat bahwa mengenai usia terbanyak penyakit ini berada pada rentang 50 sampai
60 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih banyak 3 kali lipat dibanding
perempuan. Jumlah subjek yang berhasil dikumpulkan peneliti dalam 1 rumah sakit
lebih banyak dibandingkan dengan penelitian Oikawa 8 di Jepang dan Yousuf10 di
Kanada hanya rata-rata 4 kasus per tahun. Subjek yang dikumpulkan Petit di
Universitaire Ed Marseille Perancis hanya sebanyak 3 kasus per tahun, sedangkan
Singhal51 di India mencapai rata-rata 6 kasus per tahun. Kasus sebanyak 89 pasien
berhasil dikumpulkan oleh Pasquini 52 di Bologna University Italia secara
retrospektif selama 21 tahun, rata-rata 4 sampai 5 pasien per tahun. Kasus terbanyak
berjumlah 10 kasus yang dilaporkan oleh Ojiri 14 di Jikei University Jepang secara
retrospektif dalam 1 tahun.

Pada penelitian ini, hidung tersumbat merupakan keluhan yang dominan (n= 10),
dengan diawali keluhan menyerupai gejala rinosinusitis kronis seperti pilek lebih
dari 3 bulan (n= 10), sakit kepala (n= 6). Gejala ini dialami pasien tidak lama
diketahui adanya tumor. Adanya pertumbuhan tumor secara sentrifugal, yang
secara langsung menyebabkan sumbatan KOM dapat menjelaskan adanya keluhan
ingus dan hidung tersumbat. Roh24 menjelaskan mengenai proses inflamasi yang
terjadi sebagai patogenesis penyakit ini dengan gejala sama. Gejala lain seperti
riwayat bersin-bersin tidak didapatkan pada seluruh pasien (n= 0), sedangkan
riwayat ingus campur darah di dapatkan pada 1 subjek. Gangguan penciuman
dirasakan pada 3 subjek, keluhan anosmia terjadi pada 2 subjek dengan PI bilateral
(n= 2), dan hiposmia pada 1 subjek dengan PI unilateral (n= 8).
65

Pemeriksaan fisik subjek dilakukan dengan endoskopi hidung, memperlihatkan


gambaran massa putih keabu-abuan menyerupai polip dengan komponen pembuluh
darah, semua kasus PI pada penelitian ini sulit dinilai pangkalnya secara langsung
karena semua pasien datang dengan stadium yang lanjut. Hasil pemeriksaan
histopatologi yang diambil dari biopsi massa hidung sebagian besar berupa tipe
campuran papiloma schneiderian yang endofitik dan eksofitik (n= 8), sedangkan
kasus dengan papiloma inverted saja pada 2 subjek. Pada pemeriksaan histopatologi
sebelum operasi, tidak ada kasus PI yang disertai karsinoma, pasien dengan
metaplasia sel skuamosa ada pada 2 kasus, dan ditemukan mitosis pada satu kasus.

Pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dicurigai adanya gambaran keganasan berupa
destruksi tulang pada 3 kasus, namun hanya 1 pasien yang memperlihatkan
pemeriksaan histopatologi karsinoma sel skuamosa pasca dilakukannya operasi.
Saha53 mengutip Hyams mengenai penelitian transformasi keganasan pada tumor
jinak, pada PI terjadi sekitar 10% dapat terjadi sinkronus atau metakronus dengan
karsinoma, sedangkan Mirza dkk9 di Inggris menemukan tumor PI 7,1% sinkronus
dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma. Saha juga menjelaskan
bahwa papiloma inverted dengan erosi tulang tidak selalu terjadi karena ada kondisi
metakronus atau sinkronus dengan karsinoma. Walaupun tumor PI merupakan
tumor jinak, tumor ini memiliki sifat invasif. Kebanyakan perubahan penulangan
yang terjadi akibat kompresi dan erosi, dan bukan merupakan invasi tumor ke
tulang. Pada penelitian ini, pasien dengan karsinoma tersebut kemudian diberikan
kemo-radioterapi setelah operasi.

Dua subjek merupakan kasus rekuren, yang sebelumnya dioperasi tanpa menilai
lokasi asal tumor. Pasien dengan riwayat penyakit rekuren tersebut tetap
dimasukkan sebagai subjek penelitian karena pada operasi sebelumnya belum
pernah dilakukan penilaian lokasi asal tumor. Faktor perancu yang dapat terjadi
pada pasien rekuren adalah terjadinya hiperostosis akibat proses osteitis ataupun
pembentukan osteoklas karena proses operasi sebelumnya. Pasien dengan riwayat
penyakit berulang dan dicurigai adanya keganasan dilakukan follow up dengan
ketat setelah operasi. Follow up ketat pasca operasi penting untuk deteksi dini
kekambuhan.54

Universitas Indonesia
66

5.3 Prediksi lokasi asal tumor PI

Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan radiologi CT-scan dan MRI sebagai
modalitas untuk memprediksi lokasi asal tumor. Roh24 menjelaskan bahwa
inflamasi berperan penting pada PI. Inflamasi tumor pada mukosa yang terjadi
memicu terjadinya proses inflamasi lokal pada tulang pada lokasi asal tumor, hal
ini menyebabkan gambaran perubahan tulang di sekitar jaringan asal tumor. Selain
efek desakan pada tulang akibat arah tumbuh tumor yang sentrifugal di tepi luar
tumor, gambaran hiperdens juga terlihat pada tulang asal mukosa yang menempel
pada PI, gambaran ini sering disebutkan sebagai gambaran hiperostosis yang dapat
dengan mudah dinilai dengan CT-scan.24, 32, 50, 55

Gambar 5.1 Gambaran hiperostosis pada CT-scan. Tampak hiperostosis


menyerupai plak (anak panah) pada pasien dengan lokasi asal tumor pada
prosesus unsinatus dengan keluhan 1 tahun, gambaran CT-scan (A) irisan
coronal dan (B) aksial. Dibandingkan dengan gambaran hiperostosis
menyerupai akar pada pasien PI dengan keluhan 3 tahun dengan lokasi asal
pada lamina papirasea, CT-scan irisan (C) coronal dan irisan (D) aksial.

Universitas Indonesia
67

Peneliti menemukan bahwa CT-scan berhasil memprediksi benar lokasi asal tumor
pada 8 subjek dengan menemukan hiperostosis ataupun dengan mempelajari arah
tumbuh tumor yang sentrifugal. Dua subjek lainnya diprediksi benar tetapi kurang
atau under estimated (lebih kurang dibandingkan lokasi asal tumor pada penemuan
saat operasi). Hiperostosis lokal yang ditemukan bervariasi, lamanya gejala dan
lokasi mukosa dekat pada kepadatan tulang memiliki hiperostosis yang luas hingga
menyerupai plak atau akar (gambar 5.1). Jika tidak ditemukan hiperostosis yang
spesifik, penilaian dilakukan dengan mempelajari perluasan tumor secara
sentrifugal, dengan memprediksi bahwa daerah tengah tumor dapat merupakan
daerah asal. Tujuh dari sembilan subjek memiliki tanda hiperostosis yang khas
dapat dinilai dengan CT-scan. Pada dua subjek yang tidak memiliki gambaran
hiperostosis, salah satu terbukti memiliki lokasi tumor pada fontanel posterior yang
tidak bertulang, namun prediksi lokasi tumor berhasil dinilai dari mempelajari arah
pertumbuhan tumor ke arah sinus maksila dan kavum nasi dan melebarkan daerah
fontanel posterior. Subjek lainnya yang tidak memiliki tanda khas hiperostosis
adalah adanya erosi tulang luas, yaitu subjek PI yang pasca operatif ditemukan
sinkronus dengan karsinoma.

Pada penelitian ini, lokasi asal tumor terbanyak ditemukan pada dinding lateral
kavum nasi (n= 4). Dinding lateral kavum nasi yang terdapat tulang terjadi osteitis
sehingga menyebabkan hiperostosis, tumor meluas ke arah medial kavum nasi dan
mendesak secara sentrifugal hingga terjadi pelengkungan (bowing) septum dan
dinding medial sinus maksila. Pada tumor yang berasal dari fontanel (n= 1), tumor
menyebar ke arah kavum nasi dan ke dalam sinus maksila. Pada kasus ini tidak
ditemukan hiperostosis pada CT-scan, namun ditemukan gambaran CCP dengan
pusat pada daerah dinding lateral.

Modalitas pemeriksaan MRI untuk memprediksi lokasi asal PI dilakukan dengan


mencari dan menemukan gambaran CCP dengan atau tanpa gambaran SCF, serta
mempelajari arah tumbuh tumor yang sentrifugal. Pada penelitian ini, lokasi asal
tumor berhasil diprediksi secara benar pada 5 subjek dengan menggunakan
modalitas pemeriksaan MRI. Gambaran CCP tampak terlihat dengan pemeriksaan
MRI T1-weighted dengan kontras dan T2-weighted. Adanya CCP tampak dominan
pada daerah yang terdapat stroma yang inversi membedakan PI dengan polip

Universitas Indonesia
68

ataupun jaringan fibrosis, namun tidak memberi gambaran spesifik lokasi asal
tumor (gambar 5.2). Gambaran SCF memang tidak selalu ada pada PI, tetapi pada
penelitian ini ditemukan pada 5 subjek. Teknik prediksi lokasi asal tumor PI
sinonasal diperkenalkan oleh Iimura37, menurutnya gambaran SCF tidak selalu ada
pada setiap PI sinonasal, namun jika ada merupakan indikator yang bermakna untuk
menjadi prediksi lokasi asal tumor. Iimura juga menyebutkan pentingnya
memprediksi asal tumor dengan mempelajari pertumbuhan tumor PI yang
sentrifugal.

Gambar 5.2 Perbandingan prediksi lokasi asal tumor dengan menggunakan


CT-scan dan MRI. Pasien pria 28 tahun, tampak gambaran CT-scan (A)
tidak memperlihatkan adanya hiperostosis namun terlihat pelebaran daerah
fontanel (anak panah). MRI pasien yang sama (B) gambaran CCP dengan
SCF yang seakan-akan menunjukkan asal tumor (anak panah). Pasien pria
42 tahun, tampak pada CT-scan (C) gambaran hiperostosis (anak panah)
pada dinding anterior sinus maksila. MRI pasien yang sama (D) tampak
CCP dengan SCF (anak panah)

Universitas Indonesia
69

Membuat pemeriksaan pre-operatif prediksi lokasi asal tumor merupakan faktor


yang penting dalam pelaksanaan operasi karena operator dapat menggunakan
prediksi tersebut untuk mempersiapkan alat-alat, prosedur khusus atau langkah-
langkah penting untuk mencapai lokasi tersebut. Pada penelitian ini, peneliti
membuat sistem skor dengan mengonversi variabel deskriptif lokasi asal tumor
berdasarkan CT-scan dan MRI dibandingkan dengan PSO. Skor 0, 1 dan 2
digunakan untuk menggambarkan perbedaan pada kesesuaian antara pemeriksaan
pre-operatif dan saat operasi yang sesuai (2), sesuai tetapi tidak sepenuhnya benar
(1), dan salah (0). Sistem skor digunakan pada penelitian pendahuluan ini untuk
mendapatkan gambaran data ordinal sehingga lebih menggambarkan klinis
dibandingkan jika diubah menjadi data dikotomi.

Pada penelitian ini, pemeriksaan CT-scan tampak lebih unggul dibandingkan MRI
dalam memprediksi lokasi asal tumor pada 4 subjek (p= 0,046). Dalam
memprediksi lokasi asal tumor, peneliti mendapatkan manfaat yang lebih dalam
memprediksi lokasi asal tumor dengan mencari hiperostosis pada CT-scan
dibandingkan menilai CCP & SCF pada MRI. Gambaran hiperostosis lebih konstan
mewakili lokasi asal tumor, seperti yang disebutkan Lee32 dan Yousuf10 mengenai
tingginya korelasi hiperostosis dengan lokasi asal tumor akibat inflamasi kronik
tumor pada tulang di dasar mukosa, tentu proses inflamasi yang paling lama
merupakan lokasi asal tumor. Meskipun begitu, pada 1 subjek tidak ditemukan
adanya hiperostosis. Pada pasien ini prediksi benar dilakukan dengan melihat
daerah fontanel yang lebih lebar dari biasanya. Pada kasus ini, tidak terjadinya
hiperostosis dapat dianggap karena lokasi asal adalah fontanel yang tidak bertulang.
Tumor yang pasca operasi merupakan salah satu penyulit dalam menemukan
hiperostosis yang bermakna sebagai lokasi asal tumor karena proses inflamasi pasca
operasi dan pemotongan tulang pada operasi sebelumnya menyebabkan
osteogenesis.

Universitas Indonesia
70

5.4 Prediksi menentukan keterlibatan sinus paranasal

Pada penelitian ini, prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan menilai sinus
paranasal yang memiliki perselubungan, hal ini menggambarkan massa tumor yang
masuk ke dalam sinus atau merupakan perselubungan atau sinusitis yang terjadi
setelah tumor menutupi ostium sinus paranasal. Pemeriksaan CT-scan memprediksi
keterlibatan sinus paranasal dengan membandingkan densitas perselubungan sinus
dengan bagian tumor di kavum nasi dengan piranti lunak PACS workstation, atau
dengan mengubah WW & WL jaringan lunak agar terlihat perbedaan. Pemeriksaan
MRI membandingkan secara langsung keterlibatan sinus paranasal dengan
intensitas yang tampak pada perbedaan MRI T1-weighted dengan pemberian
kontras dan T2-weighted. Gambaran T1-weighted sama pada tumor dan sinusitis,
namun dengan pemberian kontras maka tumor tampak lebih terang (hiper intens)
dengan bagian sinusitis yang tidak menyala (hipo intens), lihat gambar 5.3.

Pada penelitian ini CT-scan memprediksi lebih baik dari MRI pada 2 pasien,
dengan uji korelasi Wilcoxon tampak tidak ada perbedaan bermakna antara
keduanya dalam membedakan keterlibatan sinus paranasal (p= 0,083). Walaupun
tidak terdapat perbedaan bermakna, peneliti menilai lebih mudah membedakan
tumor, polip, sinusitis, dan jaringan sekitar secara visual dengan menggunakan
MRI, karena secara spesifik MRI dapat membedakan jaringan lunak berdasarkan
perbedaan intensitas yang detil pada jaringan lunak.

Tabel 5.1 Perbandingan prediksi keterlibatan sinus paranasal pada


pemeriksaan CT-scan dan MRI
Prediksi kurang Prediksi lebih Sesuai
CT-scan 5 2 2
MRI 4 4 1

Kekurangan pada MRI adalah pemeriksaan tersebut memberikan gambaran hiper


intens pada inflamasi pada T1-weighted dengan kontras. Sekresi yang terperangkap
tetap iso intens pada T1-weighted dengan kontras, namun jika terdapat inflamasi
pada sekresi tersebut tampak hiper intens seakan-akan jaringan tersebut merupakan

Universitas Indonesia
71

massa tumor. Hal ini dapat merupakan penyebab prediksi MRI pada penelitian ini
lebih rendah dibandingkan CT-scan, karena banyaknya prediksi yang lebih (over
estimated) (Tabel 5.1).

Kekurangan CT-scan dalam memprediksi keterlibatan sinus paranasal adalah


gambarannya yang lebih homogen dibandingkan MRI, namun kekurangan ini dapat
diatasi jika pemeriksaan CT-scan dilakukan dengan kontras. Pada perangkat lunak
pembaca DICOM (PACS workstation) dapat dilakukan penilaian densitas (HU)
secara kuantitatif, bahkan dapat mengatasi keterbatasan mata pada warna hitam
putih dengan melakukan pewarnaan pada setiap rentang densitas. 56

Gambar 5.3 Perbedaan gambaran MRI dan CT-scan dalam ketelibatan sinus
paranasal. Pria 28 tahun, pencitraan irisan koronal membedakan mukosil
(anak panah) daerah frontal dengan tumor berdasarkan (A) MRI T2-
weighted, (B) MRI T1-weighted dengan kontras dan (C) CT-scan. Wanita 48
tahun, pencitraan irisan koronal membedakan sinusitis (anak panah) dengan
tumor berdasarkan (D) MRI T2-weighted, (E) MRI T1-weighted dengan
kontras dan (F) CT-scan.

Universitas Indonesia
72

5.5 Prediksi menentukan stadium tumor

Kedua modalitas memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan stadium.


Stadium tumor ditentukan dengan metode Krouse. Perlu dilakukan penilaian tumor
pada kavum nasi serta keterlibatan sinus paranasal. Data prediksi stadium diambil
dari data prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-scan dan MRI. Pada
metode Krouse, dibedakan PI stadium 1 yaitu massa hanya terbatas pada kavum
nasi, stadium 2 telah mengenai dinding medial sinus maksila, stadium 3 mengenai
dinding lain dan/ atau sfenoid atau frontal, serta stadium 4 keluar dari kavum nasi
dan sinus paranasal, atau diasosiasikan dengan metakronus atau sinkronus
karsinoma.13

Gambar 5.4 Perbedaan prediksi stadium tumor PI pada CT-scan dan MRI
pada subjek 6. Gambaran batas tumor dengan sinusitis (anak panah) pada
MRI (kiri) dan CT-scan (kanan).

Pada subjek keenam, CT-scan berhasil memprediksi stadium tumor lebih tepat.
Walaupun gambaran CT-scan lebih homogen dibandingkan memprediksi stadium,
tampak kontras mewarnai bagian medial dinding sinus maksila, gambaran tulang
pada daerah ostium juga tampak lebih lebar dengan komponen hiperostosis pada
prosesus unsinatus terdorong ke medial. Pada gambar MRI tampak gambaran hiper
intens berbatas tegas pada dinding medial sinus medial sehingga tampak seperti
sinus maksila terisolasi oleh tumor di luar dinding sinus.

Universitas Indonesia
73

5.6 Kesesuaian periksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi

Untuk mengetahui kesesuaian antara hasil pemeriksaan CT-scan dan MRI


dibanding penemuan saat operasi dinilai dengan mengubah data deskripsi lokasi
asal tumor dan keterlibatan sinus paranasal dengan menggunakan sistem skorsing
agar menjadi data ordinal. Skor yang digunakan oleh peneliti adalah skor 0 jika
pemeriksaan pre-operatif tidak sesuai dengan penemuan saat operasi. Skor 1 jika
pemeriksaan pre-operatif sesuai dengan penemuan saat operasi, namun tidak
memprediksi seluruhnya. Skor 2 jika pemeriksaan pre-operatif sesuai dengan
penemuan saat operasi. Peneliti menggunakan sistem skor 0, 1, 2 untuk
memperlihatkan data ordinal dibandingkan dikotomi. Nilai dikotomi menampilkan
nilai konstan, sehingga tidak dapat dihitung kesesuaian antara variabel. Nilai
ordinal membuat peringkat antara kesesuaian penilaian pre-operatif dengan
penemuan saat operasi.

Pada penelitian ini, penilaian CT-scan dapat memprediksi benar lokasi asal tumor
pada 10 subjek, keterlibatan sinus paranasal pada 9 subjek, serta prediksi stadium
tumor pada 10 subjek. Sham19 menyebutkan dalam penelitiannya, bahwa CT-scan
memiliki nilai duga positif 100% dalam prediksi asal tumor dengan menemukan
adanya hiperostosis. Pada penelitian ini, peneliti berhasil menemukan 8 dari 10
pasien dengan hiperostosis seluruhnya menunjukkan akurasi dalam menentukan
lokasi asal tumor.

Karkos16 menyebutkan bahwa CT-scan tidak dapat secara spesifik membedakan


tumor, mukosa yang inflamasi dan sekret yang terperangkap. Menurut Karkos hal
ini dapat berakibat fatal karena dapat membuat penilaian yang berlebihan yang
mengarahkan operator untuk melakukan langkah operasi yang berlebihan.
Pemeriksaan MRI lebih mudah menilai keterlibatan sinus paranasal, namun pada
prakteknya manfaat MRI lebih banyak pada tumor PI yang sudah meluas keluar
dari sinus paranasal.

Peneliti mendapatkan manfaat terbesar untuk merencanakan operasi dari kedua


pemeriksaan CT-scan & MRI digabungkan. Pada penelitian ini, penilaian pre-
operatif yang paling bermanfaat adalah CT-scan terutama dalam menentukan lokasi

Universitas Indonesia
74

asal tumor dengan menemukan hiperostosis, karena secara klinis untuk mencegah
rekurensi dari tumor PI perlu dilakukan reseksi bersih pada daerah asal tumor. 10, 32

5.7 Manfaat pemeriksaan pre-operatif dalam alur penatalaksanaan

Pemeriksaan pre-operatif untuk PI idealnya dengan memanfaatkan kedua


pemeriksaan pencitraan radiologis. Keduanya dapat saling melengkapi satu sama
lain. CT-scan merupakan pencitraan yang dapat dengan mudah menilai adanya
hiperostosis, sedangkan melalui MRI gambaran khas CCP pada papiloma inverted
dapat terlihat. Alur tata laksana tumor PI dengan memperhatikan dengan seksama
penilaian pre-operatif bermanfaat untuk membuat strategi dalam reseksi tumor
cepat, tepat, dan menyeluruh. Capparoz57 menyebutkan bahwa penilaian pre-
operatif prediksi asal tumor merupakan suatu keharusan, terutama untuk
pembedahan tumor secara endoskopi.

Persiapan operasi merupakan hal yang paling penting dalam alur tata laksana
operasi. Operasi akan berjalan lancar dengan komplikasi minimal dengan persiapan
yang baik. Pembedahan tumor PI dengan endoskopi merupakan salah satu operasi
THT yang rumit. Operator harus dapat bekerja dalam ruang sempit dengan
menggunakan tangan kiri memegang endoskopi dan tangan kanan melakukan
berbagai tindakan. Perlu adanya kerja sama yang baik antara operator dan asisten
yang juga berperan sebagai operator kedua untuk melakukan teknik 4 tangan (four
hands technique), maka dari itu perlu pengaturan lapangan operasi serta teknik
yang sesuai.

Selain merencanakan proses operasi secara baik, perlu juga dilakukan pemeriksaan
menyeluruh termasuk persiapan perlu atau tidaknya transfusi untuk pasien. Habib58
menyebutkan bahwa penatalaksanaan bedah endoskopi pada pasien PI jarang sekali
memerlukan transfusi darah. Pada penelitiannya, Habib menyebutkan bahwa tumor
stadium Krouse 1 hingga 3 tidak memerlukan transfusi, sedangkan tumor stadium
Krouse 4 biasanya terdapat kehilangan darah yang lebih banyak sehingga
memerlukan transfusi pasca operasi (p< 0,05).

Posisi reverse trendelenburg yang digunakan, serta fleksi kepala merupakan


prosedur rutin yang digunakan dalam bedah sinus endoskopi. Hathorn 59

Universitas Indonesia
75

membuktikan bahwa posisi reverse trendelenburg secara signifikan mengurangi


perdarahan dibandingkan posisi datar, sehingga memberikan lapang pandang
endoskopi yang lebih baik.

Pemasangan tampon adrenalin 1: 5000 sebelum operasi bertujuan untuk


mengecilkan ukuran tumor dan mengurangi perdarahan. Tampon yang dipasang
memiliki efek vasokonstriksi dari adrenalin dan efek kompresi tampon, sehingga
ukuran tumor mengecil sehingga visualisasi dan akses operatif lebih baik. Panda60
menyebutkan dalam penelitian double-blind randomized control trial bahwa
adrenalin 1: 5000 secara signifikan meningkatkan kualitas lapang pandang operasi
dibandingkan adrenalin 1: 20.000, namun tidak dapat perubahan hemodinamik
yang bermakna di antara keduanya.

Bedah endoskopi memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan bedah eksternal


dalam hal kosmetik, detil lapang pandang operasi dan pembesaran visual. Pada
penelitian ini, lokasi tumor yang paling sulit di jangkau adalah dinding lateral sinus
frontal serta dinding anterior sinus maksila. Walaupun endoskopi 70 o dapat dengan
mudah melihat tumor yang berasal dari lokasi ini, terdapat keterbatasan alat forsep
dan bor untuk daerah tersebut. Faktor yang paling penting dalam mencegah
rekurensi tumor PI adalah reseksi tumor yang adekuat, sehingga sebelum
dilakukannya operasi perlu dilakukan perencanaan terlebih dahulu sebaik-
baiknya.36, 61, 62

Alat NPU merupakan perangkat yang sangat bermanfaat dalam membantu


menemukan dan konfirmasi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan. Fungsi penting
lain alat ini adalah melakukan evaluasi struktur tulang penting seperti batas dasar
tengkorak anterior, dengan mengatasi keterbatasan perangkat endoskopi yang 2
dimensi (2D). Peneliti mendapatkan manfaat menggunakan NPU dalam
membuktikan lokasi asal tumor, pembuktian dengan mencocokkan lokasi tumor
melekat dengan tampilan di monitor NPU.

Navigation panel unit Karl Storz merupakan perangkat NPU yang menggunakan
kamera optik sebagai sensor, tidak perlu dilakukan prosedur CT-scan khusus
dengan penandaan. Data CT-scan pasien yang sesuai dengan kondisi pasien dapat
langsung digunakan. Dengan adanya sistem navigasi pada saat operasi, operator

Universitas Indonesia
76

dapat dengan mudah mengenali struktur anatomi pasien, sehingga komplikasi


operasi menjadi lebih kurang dan waktu yang dibutuhkan menjadi lebih pendek.
Alat ini juga mampu melakukan fusi (penggabungan) gambar CT-scan dan MRI
dan menampilkannya pada panel navigasi hingga memasang tanda peringatan
(alarm) jika melewati suatu struktur yang dianggap penting, misalnya batas dasar
kranial.63

Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Prediksi asal tumor dengan menemukan hiperostosis pada CT-scan lebih


bermakna secara klinis dan signifikan secara statistik dibandingkan dengan
MRI (p= 0,046).
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam melakukan penilaian pre-
operatif prediksi keterlibatan sinus paranasal (p= 0,083) dan stadium tumor
PI metode Krouse (0,317) pada modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI
dibandingkan dengan penemuan saat operasi.
3. Pada penelitian ini tidak dapat dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai
duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio kemungkinan dari pemeriksaan
CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal tumor PI, menentukan
keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor PI karena data
bukan dikotomi dan jumlah subjek yang kurang besar.
4. Walaupun secara statistik tidak bermakna, pemeriksaan CT-scan
bermanfaat secara klinis untuk menilai keterlibatan sinus paranasal dan
stadium tumor PI metode Krouse. Pemeriksaan CT-scan dan MRI
merupakan pemeriksaan pencitraan yang saling melengkapi dalam
penilaian pre-operatif. Idealnya kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk
penilaian pre-operatif PI.
5. Alur tata laksana pada penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk
tata laksana tumor PI di Indonesia, sebab sebelum penelitian ini belum
pernah diperhitungkan makna hiperostosis sebagai lokasi asal tumor PI di
Indonesia.

77
78

6.2 Saran

1. Penelitian pendahuluan ini belum dapat menjawab hipotesis penelitian,


maka perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah subjek yang cukup
agar memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metode sistem
skor dalam mengubah data deskripsi menjadi kategorik.
3. Gambaran inversi stroma yang terdeteksi pada MRI adalah gambaran yang
khas pada pasien PI. Untuk membuktikannya perlu dilakukan penelitian
lanjutan yang membandingkan CCP dengan penemuan histopatologi.
79

DAFTAR PUSTAKA

1. Klimek T, Atai E, Schubert M, Glanz H. Inverted Papilloma of the Nasal


Cavity and Paranasal Sinuses: Clinical Data, Surgical Strategy and
Recurrence Rates. Acta Otolaryngol. 2000;120:267-72.
2. Kosugi EM, Santos RdP, Ganança FF, Tangerina RdP, Suguri VM, Yamaoka
WY, et al. Inverted Papilloma in the Sphenoethmoidal Recess. Rev Bras
Otorrinolaringol. 2008;74(1):151-4.
3. Sandison A. Common Head and Neck Cases in Our Consultation Referrals:
Diagnostic Dilemmas in Inverted Papilloma. Head and Neck Pathol.
2009;3(260-262).
4. Wood JW, Casiano RR. Inverted papillomas and benign nonneoplastic lesions
of the nasal cavity. Am J Rhinol Allergy. 2012;26:157-63.
5. Gras-Cabrerizo JR, Montserrat-Gili JR, Massegur-Solench H, Leo´n-Vintro´
X, Juan JD, Fabra-Llopis JM. Management of sinonasal inverted papillomas
and comparison of classification staging systems. am J Rhinol Allergy.
2010;24:66-9.
6. Dammann F, Pereira P, Laniado M, Plinkert R, Lowenheim H, Claussen CD.
Inverted Papilloma of the Nasal Cavity and the Paranasal Sinuses: Using CT
for Primary Diagnosis and Follow-Up. American Journal of Roentgenology.
1996;172:543-8.
7. Head CS, Sercarz JA, Luu Q, Collins J, Blackwell KE. Radiographic
assessment of inverted papilloma. Acta Oto-Laryngologica. 2007;127:515-
20.
8. Oikawa K, Furuta Y, Iloh T, Oridate N, Fukuda S. Clinical and Pathological
Analysis of Recurrent Inverted Papilloma. Annals of Otorhinolaryngol.
2007;116(4):297-303.
9. Mirza S, Bradley PJ, Acharya A, Stacey M, Jones NS. Sinonasal inverted
papillomas: recurrence, and synchronous and metachronous malignancy. J
Laryngol Otol. 2007;121:857-64.
10. Yousuf K, Wright ED. Site of attachment of inverted papilloma predicted by
CT findings of osteitis. Am J Rhinol. 2007;21(1):32-6.
80

11. Landsberg R. Attachment-oriented endoscopic surgical approach for


sinonasal inverted papilloma. Operative Techniques in Otolaryngology.
2006;17:87-96.
12. Maroldi R, Farina D, Palvarini L, Lombardi D, Tomenzoli D, Nicolai P.
Magnetic Resonance Imaging Findings of Inverted Papilloma: Differential
Diagnosis with Malignant Sinonasal Tumors. Am J Rhinol. 2004;18:305-10.
13. Krouse JH. Endoscopic Treatment of Inverted Papilloma: Safety and
Efficacy. American Journal of Otolaryngology. 2001;22(2):87-99.
14. Ojiri H, Ujita M, Tada S, Fukuda K. Potentially Distinctive Features of
Sinonasal Inverted Papilloma on MR Imaging. American Journal of
Roentgenology. 2000;175:465-8.
15. Kim YK, Kim H-J, Kim J, Chung S-K, Kim E, Ko Y-H, et al. Nasal polyps
with metaplastic ossification: CT and MR imaging findings. Neuroradiology.
2010;52:1179-84.
16. Karkos PD, Khoo LC, Leong SC, Lewis-Jones H, Swift AC. Computed
tomography and/or magnetic resonance imaging for pre-operative planning
for inverted nasal papilloma: review of evidence. The Journal of Laryngology
& Otology. 2009;123:705-9.
17. Katori H, Tsukuda M. Staging of surgical approach of sinonasal inverted
papilloma. Auris Nasus Larynx. 2005;32:257-63.
18. Thomaser EG, Tschopp K. Does CT-navigation improve the outcome of
functional endonasal sinus surgery? Laryngorhinootologie. 2007;86(8):584-
7.
19. Sham CL, King AD, Hasselt Av, Tong MCF. The roles and limitations of
computed tomography in th preoperative assessment of sinonasal inverted
papillomas. Am J Rhinol. 2008;22:144-50.
20. Jeon TY, Kim H-J, Chung S-K, Dhong H-J, Kim HY, Yim YJ, et al. Sinonasal
Inverted Papilloma: Value of Convoluted Cerebriform Pattern on MR
Imaging. AJNR. 2008;29:1556-60.
21. Lin HW, Bhattacharyya N. Diagnostic and staging accuracy of magnetic
resonance imaging for the assessment of sinonasal disease. American Journal
of Rhinology & Allergy. 2009;23(1):36-9.

Universitas Indonesia
81

22. Oikawa K, Furuta Y, Oridate N, Nagahashi T, Homma A, Ryu T, et al.


Preoperative staging of sinonasal inverted papilloma by magnetic resonance
imaging. Laryngoscope. 2003;113(11):1983-7.
23. Roobottom CA, Jewell FM, Kabala J. Primary and Recurrent Inverting
Papilloma: Appearances With Magnetic Resonance Imaging. Clinical
Radiology. 1995;50:472-5.
24. Roh H-J, Procop GW, Batra PS, Citardi MJ, Lanza DC. Inflammation and the
Pathogenesis of Inverted Papilloma. Am J Rhinol. 2004;18:65-74.
25. Eggers G, Eggers H, Sander N, Kößling F, Chilla R. Histological features and
malignant transformation of inverted papilloma. Eur Arch Otorhinolaryngol.
2005;262:263-8.
26. Lathi A, Syed MMA, Kalakoti P, Qutub D, Kishve SP. Clinico-pathological
profile of sinonasal masses: a study from a tertiary care hospital of India. Acta
Otorhinolaryngol Ital. 2011;31:372-277.
27. Hajdu SI. A Note from History: The Link between Koilocytes and Human
Papillomaviruses. Annals of Clinical & Laboratory Science. 2006;36(4):485-
7.
28. Tomenzoli D, Castelnuovo P, Pagella F, Berlucchi M, Pianta L, Delù G, et al.
Different endoscopic surgical strategies in the management of inverted
papilloma of the sinonasal tract: experience with 47 patients. Laryngoscope.
2004;114(2):193-200.
29. Thapa N. Diagnosis and treatment of sinonasal inverted papilloma. SOL
Nepal. 2010;1(1):30-3.
30. Momeni AK, Roberts CC, Chew FS. Imaging of Chronic and Exotic
Sinonasal Disease: Review. AJR Integrative Imaging. 2007;189:S35-S45.
31. Michel MA. Neoplasm-Benign Tumors, Sinonasal Inverted Papilloma. In:
Harnsberger HR, editor. Diagnostic Imaging Head and Neck. First ed.
Canada: Amirsys Inc.; 2004. p. II268-II71.
32. Lee DK, Chung SK, Dhong HJ, Kim HY, Kim HJ, Bok KH. Focal
Hyperostosis on CT of Sinonasal Inverted Papilloma as a Predictor of Tumor
Origin. AJNR Am J Neuroradiol. 2007;28:618-21.

Universitas Indonesia
82

33. Annam V, Shenoy AM, Raghuram P, Annam V, Kurien JM. Evaluation of


extensions of sinonasal mass lesions by computerized tomography scan.
Indian J Cancer. 2010;47(2):173-8.
34. Molina JPD, Pendas JLL, Tapia JPR, Marcos CÁ, Agüera SO, Nieto CS.
Inverted sinonasal papillomas. Review of 61 cases. Acta Otorrinolaringol
Esp. 2009;60(6):402-8.
35. Cunningham K, Welch KC. Endoscopic medial maxillectomy. Operative
Techniques in Otolaryngology. 2010;21:111-6.
36. Mortuaire G, Arzul E, Darras JA, Chevalier D. Surgical management of
sinonasal inverted papillomas through endoscopic approach. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2007;264:1419-24.
37. Iimura J, Otori N, Ojiri H, Moriyama H. Preoperative magnetic resonance
imaging for localization of the origin of maxillary sinus inverted papillomas.
Auris Nasus Larynx. 2009;36:416-21.
38. Riyadi V. Gambaran konka bulosa, septum deviasi dan prosesus unsinatus
serta hubungannya dengan rinosinusitis evaluasi dengan pemeriksaan
tomografi komputer. Jakarta: Universitas Indonesia; 2008.
39. Shankar L. The radiologic appearance of tumors and tumor-like conditions of
the paranasal sinuses. In: Shankar L, Evans K, Hawke M, Stamberger H,
editors. An Atlas of Imaging of the Paranasal Sinuses: Martin Dunitz; 1994.
p. 106-21.
40. Nakayama E, Yonetsu K, Yoshiura K, Araki K, Kanda S, Yoshida K.
Diagnostic value of magnetic resonance imaging for malignant tumors in the
oral and maxillofacial region. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol
Endod. 1996;82:691-7.
41. Kuriloff DB. Lateral rhinotomy approach to inverted papilloma. Operative
Techniques in Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 1999;10(2):71-81.
42. Oikawa K, Furuta Y, Nakamaru Y, Oridate N, Fukuda S. Preoperative
Staging and Surgical Approaches for Sinonasal Inverted Papilloma. Annals
of Otorhinolaryngol. 2007;116(9):674-80.

Universitas Indonesia
83

43. Thaler ER, Lanza DC, Tufano RP, Cunning DM, Kennedy DW. Inverted
Papilloma: an endoscopic approach. Operative Techniques in Otolaryngology
- Head and Neck Surgery. 1999;10(2):87-94.
44. Liu X-W, Sun J-W. The Role of Endoscopic Surgery in the Treatment of
Nasal Inverted Papilloma. Otolaryngology. 2012;2(3):1-3.
45. Zheng CQ, Sun BB, Liu Y, Wang DH. Management of sinonasal inverted
papilloma: endoscopic excision vs traditional procedures. Chinese Journal of
otolaryngology head and neck surgery. 2005;40(4):283-6.
46. Nicolai P, Tomenzoli D, Lombardi D, Maroldi R. Different endoscopic
options in the treatment of inverted papilloma. Operative Techniques in
Otolaryngology. 2006;17:80-6.
47. Yoon B-N, Batra PS, Citardi MJ, Roh H-J. Frontal sinus inverted papilloma:
Surgical strategy based on the site of attachment. Am J Rhinol Allergy.
2009;23:337-41.
48. Jeon TY, Kim H-J, Choi JY, Lee IH, Kim ST, Jeon P, et al. 18F-FDG PET/CT
findings of sinonasal inverted papilloma with or without coexistent
malignancy: comparison with MR imaging findings in eight patients.
Neuroradiology. 2009;51:265-71.
49. Allegra E, Cristofaro MG, Cascini LG, Lombardo N, Tamburrini O, Garozzo
A. 18FDG Uptake in Sinonasal Inverted Papilloma Detected by Positron
Emission Tomography/Computed Tomography. The ScientificWorld
Journal. 2012;2012:1-4.
50. Wassef SN, Batra PS, Barnett S. Skull Base Inverted Papilloma: A
Comprehensive Review. ISRN Surgery. 2012;2012.
51. Singhal SK, Gupta AK, Panda N, Mann SBS, Das A. Inverted Papilloma--An
Analysis of 30 Cases. IJO & HNS. 1998;50(1):76-80.
52. Pasquini E, Sciarretta V, Farneti G, Modugno GC, Ceroni AR. Inverted
Papilloma: Report of 89 Cases. Am J Otolaryngol. 2004;25:178-85.
53. Saha SN, Ghosh A, Sen S, Chandra S, Biswas D. Inverted Papilloma: A
Clinico-Pathological Dilemma with Special Reference to Recurrence and
Malignant Transformation. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2010;64(4):354-9.

Universitas Indonesia
84

54. Bathma S, Harvinder S, Philip R, Rosalind S, Gurdeep S. Endoscopic


Management of Sinonasal Inverted Papilloma. Med J Malaysia.
2011;66(1):15-8.
55. Ye J, Zhou WS, Jiang HQ, Wang MJ, Zhang J. Diagnostic value of osseous
diversity on CT to sinonasal inverted papilloma. Chinese Journal of
otolaryngology head and neck surgery. 2009;44(2):141-4.
56. Rosset A, Spadola L, Ratib O. OsiriX: An Open-Source Software for
Navigating in Multidimensional DICOM Images. Journal of Digital Imaging.
2004;17(3):205-16.
57. Caparroz FdA, Gregório LL, Kosugi EM. Evolution of endoscopic surgery in
the treatment of inverted papilloma. Braz J Otorhinolaryngol. 2013;79(1):13-
7.
58. Habib A-RR, Hathorn I, Sunkaraneni VS, Srubiski A, Javer AR. Blood
transfusion requirements for endoscopic sinonasal inverted papilloma
resections. [cited 42 1]; Available from:
http://www.journalotohns.com/content/42/1/44.
59. IF IFH, Habib AR, Manji J, Javer AR. Comparing the reverse Trendelenburg
and horizontal position for endoscopic sinus surgery: a randomized controlled
trial. Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;148(2):308-13.
60. Panda N, Verma RK, Panda NK. Efficacy and safety of high-concentration
adrenaline wicks during functional endoscopic sinus surgery. J Otolaryngol
Head Neck Surg. 2012;41(2):131-7.
61. Gotlib T, Krzeski A, Held-Ziółkowska M, Niemczyk K. Endoscopic
transnasal management of inverted papilloma involving frontal sinuses.
Videosurgery Miniinv. 2012;7(4):299-303.
62. Xiao-Ting W, Peng L, Xiu-Qing W, Hai-Bo W, Wen-Hui P, Bing L, et al.
Factors affecting recurrence of sinonasal inverted papilloma. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2012(October):1-5.
63. Eliashar R, Sichel J-Y, Gross M, Hocwald E, Dano I, Biron A, et al. Image
guided navigation system - a new technology for complex endoscopic
endonasal surgery. Postgrad Med J. 2003;79:686-90.

Universitas Indonesia
Lampiran 1. Keterangan lulus kaji etik

85
Lampiran 2. Penjelasan penelitian kepada pasien

PERBANDINGAN PENILAIAN CT-scan DAN MRI


DENGAN PENEMUAN OPERASI PADA
PAPILOMA INVERTED SINONASAL

Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,

Tumor papiloma inverted adalah jenis tumor jinak hidung, tetapi sering kambuh.
Walaupun tumor ini merupakan tumor jinak, tumor ini dapat meluas ke jaringan
sekitarnya seperti mata, telinga, otak, dll. Tumor ini juga bisa berubah menjadi
ganas (kanker). Kekambuhan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis sel-sel tumor,
faktor risiko, serta pembersihan sel-sel tumor saat operasi. Yang dianggap
merupakan faktor risiko dari tumor papiloma inverted adalah faktor alergi,
merokok, sinusitis, infeksi oleh human papilloma virus (HPV), dll.

Agar operasi pengangkatan tumor dilakukan dengan baik, perlu dilakukan


pemeriksaan CT-scan dan MRI. Kedua pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
yang aman jika fungsi ginjal pasien baik. Oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan fungsi ginjal sebelumnya. MRI merupakan jenis pemeriksaan yang
menggunakan magnet, dan tidak mengandung radiasi sama sekali.

Saat ini Departemen THT-KL FKUI/RSCM divisi Rinologi dan Onkologi sedang
melakukan penelitian mengenai perbandingan data CT-scan, MRI dibandingkan
dengan kondisi saat operasi pada tumor papiloma inverted. Operasi akan dilakukan
oleh Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL dan dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL,
merupakan dokter spesialis THT-KL yang telah berpengalaman di bidang THT
selama lebih dari 10 tahun, sedangkan saya sebagai peneliti akan bertindak sebagai
asisten operator.

86
87

Keikutsertaan bapak/ibu/saudara/i pada penelitian ini tetap akan mengikuti


prosedur yang semestinya. Dalam proses operasi akan menggunakan alat panduan
operasi yang canggih (sistem navigasi terkomputerisasi).

Saya mengharap kesediaan bapak/ibu/saudara/saudari untuk ikut serta dalam


penelitian ini. Bapak/ibu/saudara/saudari akan dibebaskan dari biaya pemeriksaan
MRI jika bapak/ibu tidak memiliki jaminan kesehatan. Selanjutnya akan diajukan
beberapa pertanyaan dan pengumpulan data dari hasil pemeriksaan CT-scan dan
MRI. Data yang diperoleh akan dijamin kerahasiaannya. Bapak/ibu/saudara/saudari
diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum dimengerti
sehubungan dengan penelitian ini.

Apabila bapak/ibu/saudara/saudari menolak untuk ikut penelitian ini, tetap akan


mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya.

Peneliti,
Dr. Ashadi Budi
Departemen THT-KL FKUI / RS. Dr. RS Cipto Mangunkusumo
Telepon: 08158009191

Universitas Indonesia
Lampiran 3. Surat persetujuan mengikuti penelitian

Dengan ini saya menyatakan bahwa saya telah membaca lembar informasi penelitian. Saya
telah mendapat penjelasan mengenai penelitian ini dan semua pertanyaan saya telah
dijawab oleh dokter. Dengan menandatangani formulir ini, saya dengan sukarela dalam
keadaan sadar dan tanpa paksaan menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian sesuai
prosedur yang telah ditentukan.

Nama :

Tanggal lahir :

Jakarta,............................2013

Jam .......................................

Tanda tangan percontoh penelitian :

(Nama Jelas : ..................................)

Peneliti : Dr. Ashadi Budi

88
Lampiran 4. Status Penelitian

STATUS PENELITIAN

I. IDENTITAS No. Status Penelitian

No Rekam Medik : ………………….. Tanggal Pemeriksaan ………………


Nama Pasien : …………………..
Tanggal Lahir : …………………..
Umur : …………………..
Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan
Alamat : ………………………………………………….
…………………………………………………..
No telepon : …………………..

II. Anamnesis
a. Hidung tersumbat:
6. Tidak ada (0)
7. Kanan atau kiri (1)
8. Kedua hidung (2)
b. Lama keluhan
 Tidak ada (0)
 < 3 bulan (1)
 3 bulan – 1 tahun (2)
 > 1tahun (3)
c. Pilek terus menerus >3 bulan:
 Tidak ada (0)
 Ada (1)
d. Warna Ingus
 Tidak ada (0)
 Bening (1)
 Putih (2)
 Berwarna kuning/hijau (3)
e. Mimisan:
 Tidak ada (0)
 Ada (1)
f. Sakit kepala terus menerus/berulang >3 bulan:
 Tidak ada (0)
 Ada (1)
g. Merokok:
 Tidak pernah (0)
 Pernah merokok (1)
 Perokok aktif (2)

89
90

h. Bersin-bersin di pagi hari > 1 bulan:


 Tidak ada (0)
 Ada (1)
i. Gangguan penghidu:
 Tidak ada / normal (0)
 Sedikit terganggu (1)
 Tidak dapat mencium bau apapun (2)

III. Pemeriksaan fisik


a. Unilateral/bilateral:
 Unilateral (0)
 Bilateral (1)
b. Permukaan tumor:
 Licin (0)
 Berbenjol-benjol (1)
c. Perdarahan dari tumor:
 Tidak mudah berdarah (0)
 Mudah berdarah (1)
d. Pangkal tumor:
 Meatus medius (0)
 Meatus inferior (1)
 Tidak dapat ditentukan (2)
 Lain-lain (3), sebutkan ...........................................
e. Kavum nasi:
 Tidak penuh (0)
 Penuh massa (1)
 Keluar dari kavum nasi (2)

IV. Gambaran histopatologi


a. Jenis sel terbanyak
 Sel skuamosa (0)
 Transisional (1)
 Silindrik (2)
 Lainnya (3), sebutkan .....................
b. Jenis papiloma
 Inverted saja
 Endofitik dan eksofitik
c. Sel koilosit:
 Tidak ada (0)
 Ada (1)
 Tidak disebutkan (2)
d. Mitosis ditemukan:
 Tidak ada (0)
 Ada (1)

Universitas Indonesia
Lampiran 5. Dummy table

Tabel 1. Penilaian pre-operatif


Variabel yang diperiksa Kanan Kiri
Prediksi lokasi asal tumor
Sinus paranasal yang terlibat
Etmoid anterior
Etmoid posterior
Maksila
Dinding medial/superior
Dinding lain
Sfenoid
Frontal
Stadium tumor

Tabel 2. Karakteristik subjek


Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)
Umur
 <30 tahun
 31 – 60 tahun
 >60 tahun
Jenis kelamin
 Laki-laki
 Perempuan
Merokok
 Tidak pernah
 Aktif
 Pernah
Riwayat Mimisan
Keluhan rinosinusitis kronis
Keluhan rinitis alergi
Hiposmia
Anosmia

91
92

Lokasi
 Unilateral
 Bilateral
Histologi
 Sel skuamosa
 Transisional
 Silindrik

Tabel 3. Distribusi variabel berdasarkan berbagai modalitas


POCT POMRI PSO
Variabel
(n=10) (n=10) (n=10)
1. Lokasi
a. Konka media
b. Dinding lateral
c. Sinus maksila
c. Sinus etmoid
2. Keterlibatan sinus paranasal
a. Sinus etmoid anterior
b. Sinus etmoid posterior
c. Sinus maksila
d. Sinus sfenoid
e. Sinus frontal
3. Stadium sistem Krouse
1. Stadium T1
2. Stadium T2
3. Stadium T2
4. Stadium T4

Universitas Indonesia
93

Tabel 4. Perbandingan kesesuaian penilaian prediksi perlekatan tumor pada CT-scan dan
MRI dibandingkan dengan baku emas

Subjek POCT POMRI PSO


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tabel 5. Perbandingan kesesuaian penilaian keterlibatan sinus paranasal pada CT-scan


dan MRI dibandingkan dengan baku emas

Subjek POCT POMRI PSO


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Universitas Indonesia
94

Tabel 6. Perbandingan kesesuaian penetapan stadium tumor sistem Krouse pada CT-scan
dan MRI dibandingkan dengan baku emas

Subjek POCT POMRI PSO


1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Tabel 7. Analisis data uji kesesuaian penilaian lokasi asal tumor pada CT-scan dan MRI

POMRI
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Sesuai
POCT

Tidak sesuai
Jumlah

Tabel 8. Analisis data uji kesesuaian penilaian keterlibatan sinus paranasal pada CT-scan
dan MRI

POMRI
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Sesuai
POCT

Tidak sesuai
Jumlah

Universitas Indonesia
95

Tabel 9. Analisis data uji kesesuaian penetapan stadium pada CT-scan dan MRI

POMRI
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Sesuai
POCT

Tidak sesuai
Jumlah

Universitas Indonesia
Lampiran 6. Tabel Induk
Tabel Karakteristik subjek penelitian

Hidung tersumbat

Bersin pagi >1bl


Lama Keluhan

Ggn penghidu
Jenis kelamin

Sakit Kepala

Perdarahan
permukaan

Karsinoma
Pilek >3bl

Papiloma
Merokok
Mimisan

Pangkal
Nama

uni/bil
Ingus
Usia
No

1 RW 0 50 1 2 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 2 0
2 (R) MT 1 28 0 3 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2 0
3 CS 1 42 1 2 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 2 0
4 AN 0 48 1 2 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0
5 MR 1 32 2 3 1 1 0 1 2 0 0 0 1 0 0 2 1
6 HT 0 53 1 2 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0
7 TH 1 28 1 2 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0
8 AJ 1 78 1 1 1 0 0 1 1 0 2 1 1 0 0 2 0
9 (R) CM 1 40 2 3 1 1 1 1 2 0 2 1 0 0 0 2 1
10 YT 0 22 1 3 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0
Keterangan
(R) : Tumor rekuren Bersin pagi >1 bl : 0= Tidak ada, 1= ada
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria Ggn penghidu : 0= Tidak ada, 1= hiposmia, 2= anosmia
Hidung tersumbat : 0= Tidak ada, 1= Unilateral, 2= Bilateral Uni/bilateral : 0= Unilateral, 1= bilateral
Lama keluhan : 0= Tidak ada, 1= <3 bulan, 2= 3 bulan – 1 tahun, Permukaan : 0= Licin, 1= berbenjol-benjol
3= >1 tahun Perdarahan : 0= Tidak mudah berdarah, 1= mudah berdarah
Pilek >3bulan : 0= Tidak ada, 1= ada Pangkal : 0= Tidak tampak, 1= tampak
Ingus : 0= Tidak ada, 1= bening/putih, 2= kuning/hijau Papiloma : 1= inverted, 2= inverted & eksofitik, 3= onkotik
Mimisan : 0= Tidak ada, 1= ada Karsinoma : 0= Tidak ada, 1= mitosis, 2= karsinoma

96 Universitas Indonesia
97

Tabel hasil prediksi CT-scan


CT-scan

Jenis kelamin
Nama Sinus Skor Lokasi asal

Stadium
Usia
No

Max med
Eth Post

Max lain

Sfenoid
Eth Ant

Frontal

KMRI
Lokasi Asal

KCT
Dinding lateral posterior,
1 RW 0 50 0 0 1 1 0 0 3 2 2
Dinding maksila posterior
2 (R) MT 1 28 Lamina papirasea, frontal 1 0 0 0 0 1 4 2 1
3 CS 1 42 Dinding anterior sinus maksila 0 0 1 1 0 0 3 2 2
4 AN 0 48 Lamina papirasea 1 1 1 1 0 1 3 2 2
5 MR 1 32 Konka inferior 0 0 1 1 0 0 4 1 1
6 HT 0 53 Prosesus unsinatus 0 0 1 0 0 0 2 2 2
7 TH 1 28 Dinding lateral kavum nasi 0 0 1 1 0 0 3 2 2
8 AJ 1 78 Konka media 1 1 0 0 0 0 4 1 0
9 (R) CM 1 40 Konka media 1 1 1 1 0 1 4 2 1
10 YT 0 22 Prosesus unsinatus 1 0 1 0 0 0 2 2 1

Keterangan
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria
(R) : Tumor rekuren
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan penemuan saat operasi
KMRI : Kesesuaian MRI dengan penemuan saat operasi
Sinus : 0= Tidak ada, 1= Ada
Skor Lokasi Asal : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai

Universitas Indonesia
98

Tabel hasil prediksi MRI


MRI

Jenis kelamin
Nama Sinus Skor Prediksi Sinus

Stadium
Usia
No

Max med
Eth Post

Max lain

Sfenoid
Eth Ant

Frontal

KMRI
Lokasi Asal

CCP

KCT
Dinding lateral posterior, sinus
1 RW 0 50 0 0 1 1 1 0 2 3 1 1
maksila
2 (R) MT 1 28 Etmoid anterior, posterior, frontal 1 1 0 0 0 1 1 4 2 1
Dinding anterior sinus maksila,
3 CS 1 42 0 0 1 1 0 0 2 3 1 1
dinding lateral kavum nasi
4 AN 0 48 Lamina papirasea 1 1 1 1 0 1 2 3 1 1
5 MR 1 32 Konka inferior 1 0 0 0 0 0 1 4 0 0
6 HT 0 53 Prosesus unsinatus 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0
7 TH 1 28 Dinding lateral kavum nasi 0 0 1 1 0 0 2 3 1 1
8 AJ 1 78 Kavum nasi 1 1 0 0 0 0 1 4 1 1
9 (R) CM 1 40 Konka media, frontal 1 1 1 1 0 1 2 4 2 2
10 YT 0 22 Dinding lateral kavum nasi 0 0 1 0 0 0 1 2 2 1

Keterangan
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria
(R) : Tumor rekuren
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan penemuan saat operasi
KMRI : Kesesuaian MRI dengan penemuan saat operasi
Sinus : 0= Tidak ada, 1= Ada
Skor prediksi sinus : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai
CCP : 0= Tidak ada CCP & SCF, 1= Hanya CCP, 2= Tampak CCP & SCF

Universitas Indonesia
99

Tabel hasil penemuan saat operasi


Operasi

Jenis kelamin
Sinus
Nama

Stadium
Usia
No

Max med
Eth Post

Max lain

Sfenoid
Eth Ant

Frontal
Lokasi Asal

1 RW 0 50 Dinding lateral, Dinding maksila posterior 1 0 1 1 0 0 3

2 (R) MT 1 28 Lamina papirasea, dinding lateral sinus frontal 1 0 0 0 0 1 4


3 CS 1 42 Dinding anterior sinus maksila, dinding lateral kavum nasi 1 0 1 1 0 0 3
4 AN 0 48 Lamina papirasea 1 1 1 1 0 0 3
5 MR 1 32 Konka inferior, dinding lateral kavum nasi 0 0 0 0 0 0 4
6 HT 0 53 Prosesus unsinatus 1 0 1 0 0 0 2
7 TH 1 28 Dinding lateral kavum nasi 1 1 1 1 0 0 3
8 AJ 1 78 Konka media, dasar duramater, sinus etmoid posterior 1 1 0 0 1 1 4
9 CM 1 40 Konka media 1 1 1 1 0 1 4
10
YT 0 22 Prosesus unsinatus 1 0 1 0 0 0 2
(R)

Keterangan
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria
(R) : Tumor rekuren
Sinus : 0= Tidak ada, 1= Ada
Skor : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai