TESIS
Ashadi Budi
0906647425
NPM : 0906647425
Tanda Tangan :
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Akan diuji di hadapan dewan penguji sebagai bagian dari persyaratan yang
diperlukan untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Studi Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia.
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan, sehingga saya dapat menyelesaikan
tesis ini. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia DR. dr. Ratna Sitompul,
SpM, serta Dr. dr. C.H. Soejono, SpPD-KGer, MEpid, FACP, FINASIM sebagai
Direktur Utama RSUPN Cipto Mangunkusumo (CM) serta Prof. DR. dr. Akmal
Taher sebagai Direktur Utama RSCM periode lalu, dr. Omo Abdul Madjid,
Sp.OG(K) selaku Direktur Umum & Operasional RSCM, Dr. dr. Ratna Dwi
Restuti, Sp.THT. KL (K) sebagai Direktur Medik dan Keperawatan RSCM, dr. Ayi
Djembarsari. MARS sebagai Direktur Pengembangan & Pemasaran, dr.
Sumaryono, SpPD-KR sebagai Direktur Sumber Daya Manusia & Pendidikan, serta
dr. Mohammad Ali Toha Assegaf, MARS selaku Direktur Keuangan, saya ucapkan
terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/ RSCM.
Pada kesempatan yang baik ini, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/
RSCM serta DR. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT-KL yang semasa beliau menjabat
sebagai Ketua Departemen THT-KL FKUI/ RSCM telah memberi kesempatan
kepada saya untuk belajar di Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasihat,
teladan, dan dorongan yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan
ini.
Terima kasih yang tulus saya haturkan kembali kepada dr. Nina Irawati, Sp.THT-
KL sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan THT-FKUI/ RSCM
iv
v
dan dr. Harim Priyono, Sp THT-KL sebagai Sekretaris Program Studi, serta dr.
Fachri Hadjat, Sp.THT-KL dan DR. dr. Trimartani, Sp THT-KL yang semasa
menjabat sebagai Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi periode lalu,
telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dukungan, serta kemudahan selama
mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan
kepada DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL sebagai Koordinator Penelitian dan
Pengembangan Departemen THT FKUI/ RSCM telah memberikan dukungan dan
bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan kesempatan kepada
saya untuk mengembangkan diri.
Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSCM dr. Zanil Musa, Sp.THT-KL, dr.
Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-KL, Prof. dr.
Bambang Hermani, Sp.THT-KL, dr. Ronny Suwento, Sp.THT-KL, dr. Widayat
Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr. Dini Widiarni, Sp.THT-KL, dr. Nina Irawati,
Sp.THT-KL dan DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL, saya sampaikan ucapan
terima kasih sebesar-besarnya.
Universitas Indonesia
vi
Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL
FKUI/RSCM, baik yang masih aktif maupun yang telah memasuki masa purna
bakti, Prof. dr. Zainul A. Djafaar, Sp.THT-KL, dr. Indro Soetirto, Sp.THTKL, dr.
Syarifuddin, Sp.THT-KL, dr. Entjep Hadjar, Sp.THT-KL, dr. Rusmaryono,
Sp.THT-KL, dr. Averdi Roezin, Sp.THT-KL, Prof. dr. Efiaty Soepardi, Sp.THT-
KL, dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT-KL, dr. Mariana Yunizaf, Sp.THT-KL, dr.
Endang CH Mangunkusumo, Sp.THT-KL, dr. Umar Said Dharmabakti, Sp.THT-
KL, dr. Sosialisman, Sp.THT-KL, dr. Alfian Farid Hafil, Sp.THT-KL, Prof. DR.
dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT-KL, DR. dr. Trimartani, Sp.THT-KL, dr.
Armiyanto, Sp.THT-KL, dr. Zanil Musa, Sp.THTKL, DR. dr. Dini Widiarni,
Sp.THT-KL, dr. Semiramis Z, Sp.THTKL, DR. dr. Susyana Tamin, Sp.THT-KL,
DR. dr. Ratna D. Restuti, Sp.THT-KL, dr. Widayat Alviandi, Sp.THT-KL, DR. dr.
Retno S. Wardani, Sp.THT-KL, dr. Syahrial, Sp.THTKL, dr. Marlinda Adham. Y,
Sp.THT-KL, dr. Arie W. Cahyono, Sp.THT-KL, dr. Brastho Bramantyo, Sp.THT-
KL, dr. Rusdian Utama, Sp.THT-KL, dr. Niken Lestari, Sp.THT-KL, dr. Elvie
Zulka KR, Sp.THT-KL, dr. Tri Juda Airlangga, Sp.THT-KL, dr. Rosmadewi, dr.
Mirta Hediyati, Sp.THT-KL, dr. Fauziah Fardizza, Sp.THT-KL, dr. Rahmanofa
Yunizaf, Sp.THT-KL dr. Harim Priyono, Sp.THT-KL, dr. Fikry Hamdan Yasin,
Sp.THT-KL dan dr. Ika Dewi Mayangsari, Sp. THT-KL atas segala bimbingan dan
dukungan yang diberikan selama saya menjalani pendidikan ini.
Khusus dalam rangka penelitian dan penyelesaian karya ilmiah ini, dengan tulus
dan rasa hormat tak terhingga saya ucapkan terima kasih kepada seluruh
pembimbing saya DR. dr. Retno S Wardani, Sp.THT-KL, dr. Marlinda Adham,
Sp.THT-KL, dr. Vally Wulani, Sp.Rad, dr. Aviyanti Djurzan, Sp.Rad, DR. dr.
Saptawati Bardosono, MSc yang selalu meluangkan waktu dan bersusah payah
untuk membimbing, memberi dukungan, arahan, dorongan semangat dan
menguatkan hati saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
Dengan rasa hormat yang mendalam saya ucapkan terima kasih kepada Bp. Asep
Awaludin, Bp. Momod, Bp. Richard (Alm.), Ibu Siti, Ibu Ellyse, Bp. Waspada, Mba
Yuni, Mas Dul, Mba Trias, Pak Sam, Bu Euis, Bu Iis, Bu Sam, mbak Ida, Mba Emi,
Mas Heru dan rekan-rekan karyawan, yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
Universitas Indonesia
vii
yang telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian saya dan
dalam menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada seluruh paramedis IGD RSCM , perawat ruang rawat THT
gedung A lantai 7 serta serta petugas kebersihan Departemen THT-KL
FKUI/RSCM atas bantuan kerja sama yang telah diberikan kepada saya dalam
melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.
Kepada Ketua Departemen THT RSUP Persahabatan dr. Purna Irawan, SpTHT-
KL, dan seluruh staf pengajar RS. Persahabatan dr. Hatmansyah, Sp.THT-KL, dr.
Dody Widodo, Sp.THT-KL, dr. Desy Anggraeni, Sp.THTKL, dr. Yulvina, SpTHT-
KL, dr. Arfan Noer, SpTHT-KL dan dr. Kartika Dwiyani, SpTHT-KL, dr. R. Ena
Sarikencana, Sp.THT-KL, saya ucapkan terima kasih atas segala bantuan,
bimbingan, ajaran, nasihat dan arahan yang diberikan selama saya menjalani
pendidikan di RSUP Persahabatan. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada seluruh paramedis, karyawan dan karyawati RSUP Persahabatan atas
bantuan dan kerja sama yang diberikan.
Terima kasih kepada rekan-rekan seangkatan saya, dr. Adila Hisyam, dr. Arinda
Putri Pitarini, dr. Bintari Nareswari, dr. Sesanti Hayuningtyas, dr. Meristiana
Christiane, dr. Muslim, atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama ini
serta untuk dukungan dan dorongan kepada saya untuk segera menyelesaikan tugas
akhir ini. Kepada seluruh kakak-kakak senior saya, khususnya kepada dr. Agieta
Zulkifli Sp.THT-KL, dr. Respatih R, Sp.THT-KL, dr. Alvin R, Sp.THT-KL, dr.
Universitas Indonesia
viii
Unggul, Sp.THT-KL, dr. M. Iqbal Sp.THT-KL, dr. Dian Nurul, SpTHT-KL, dr.
Tina Qadarina, SpTHT-KL, dr. Evita Fitria E Sp.THT-KL, dr. Riza Rizaldi,
SpTHT-KL, dr. Ena Sarikencana, SpTHT-KL, dr. Stivina Azrial Sp.THT-KL, dr.
Febriyani, SpTHT-KL, dr. Arroyan W Sp.THT-KL, dr. Dina Putri Sp.THT-KL, dr.
Meila S, Sp.THT-KL, dr. Daneswarry, Sp.THT-KL, dr. Nurul, Sp.THT-KL, dr. Yus
Ukrowiyah, Sp.THT-KL, dr. Risdawati, Sp.THT-KL, dr. Dina Alia, Sp.THT-KL,
dr. Fairuz Sp.THT-KL, dr. Hably Warganegara, Sp.THT-KL, dr. Fahmi
Zaglulsyah, dr. Andre Iswara Sp.THT-KL, dr. Eriza, dr. Putri Anugerah Sp.THT-
KL, dr. Gustav S, Sp.THT-KL, dr. Sakina U, Sp.THT-KL , dr. Yadita Sp.THT-KL,
dr. Dina Nurdiana, dr. Yassi, dr. Rina, dr. Hastuti, dr. Dwi Agustawan, dr. Riski,
dan kepada teman-teman serta adik-adik, dr. Karisma, dr. Michael, dr. Indah S, dr.
Tissa, dr. Novra, dr. Rossa, dr. Vindina R, dr. Junicko, dr. Anggina, dr. Jarot, dr.
Dadan, dr. Ayu, dr. Dora, dr. Elisabeth, dr. Karina, dr. Evin, dr. Ikhwan, dr. Irma,
dr. Adisti, dr. Nimim, dr. Rangga, dr. Meiri, dr. Hamida, dr. Fiza, dr. Indah, dr.
Fariza, dr. Arum, dr. Wresty, dr. Windy, dr. Sevi, dr. Sofi, dr. Natasya, dr. Fatia,
dan dr. Olvi, atas bantuan, kerja sama dan dukungan moril yang diberikan selama
saya berada dalam program studi hingga menyelesaikan penelitian saya. Kepada
seluruh teman sejawat peserta Program Studi Departemen THT-KL FKUI/RSCM,
terima kasih atas doa, bantuan, kebersamaan, kerja sama, dukungan serta
persahabatan dalam suka dan duka, yang terjalin selama mengikuti pendidikan ini
dan insya Allah akan tetap terjaga untuk masa yang akan datang.
Tesis saya persembahkan khusus untuk keluarga yang saya cintai, terima kasih dan
rasa sayang yang tiada terhingga untuk ayah tercinta dr. Asbudi, Sp.THT-KL dan
ibu tercinta Yulita Dewi Iwawo, atas cinta kasih, kesabaran, kasih sayang dan
segenap doa yang tidak pernah putus dalam membesarkan, mendidik dan
mendukung setiap langkahku, semoga saya bisa menjadi anak yang dibanggakan
dan selalu membahagiakan orang tua. Rasa terima kasih dan sayang yang tak
terhingga juga saya persembahkan untuk ayah mertua Drs. Telmis Yantosa, Ak. dan
ibu mertua Yasye Elvira atas dukungan dan doanya, dan selalu hadir setiap waktu
selama saya menjalani pendidikan spesialis. Untuk istriku tercinta dr. Tania
Febrina, terima kasih atas pengertian dan kesabarannya dalam mendampingi dan
Universitas Indonesia
ix
selalu menyemangatiku agar bisa menyelesaikan pendidikan ini, serta untuk ketiga
anakku Syakirah Alika Budi, Syakirah Alisa Budi, dan Shafiya Andhara Budi, yang
selalu menungguku dan menjadi penyemangat saat tiba di rumah, maafkan untuk
hari-hari yang terlewati tanpa papa di samping kalian. Kasih sayang yang tak
terhingga untuk Kakak tercinta Astini Budi, SE, Golfried Chandra, ST. Adik-
adikku Astrid Budi, SDs., Astari Budi, dr. Shelly Agustin, Andini Ramadhani, atas
segala dukungan di setiap waktu.
Penulis
Ashadi Budi
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ..................................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xv
x
xi
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa
sinonasal oleh Annam dkk ................................................................. 12
Tabel 2.2. Ketepatan penentuan stadium tumor menggunakan CT-scan
dibandingkan dengan penemuan histopatologi .................................. 13
Tabel 2.3. Perbandingan sistem klasifikasi stadium tumor PI ............................ 20
Tabel 4.1 Sebaran karakteristik subjek papiloma inverted sinonasal ................. 44
Tabel 4.2 Sebaran lokasi asal tumor, sinus paranasal berdasarkan pemeriksaan
CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi......................................... 45
Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan
MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ............................ 46
Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor berdasarkan
pemeriksaan CT-scan dan MRI.......................................................... 47
Tabel 4.5 Kesesuaian prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan
CT-scan dan MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi ...... 48
Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal
berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI ..................................... 49
Tabel 4.7 Kesesuaian prediksi stadium tumor berdasarkan CT-scan dan MRI
dibandingkan dengan penemuan saat operasi .................................... 50
Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan
pemeriksaan CT-scan dan MRI.......................................................... 51
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR SINGKATAN
2D : 2 Dimension
3D : 3 Dimension
AJCC : American Joint Committee on Cancer
CCP : Convoluted cerebriform pattern
CD : Compact Disc
CT-scan : Computed Tomography scan
DICOM : Digital Imaging and Communications in Medicine
DNA : Deoxyribonucleic acid
DVD : Digital versatile disc
ENT : Ear Nose and Throat
HPV : Human papilloma virus
HU : Hounsfield units
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan PSO
KMRI : Kesesuaian MRI dengan PSO
KOM : Kompleks ostio meatal
KSS : Karsinoma sel skuamosa
MPR : Multi-planar reconstruction
MRI : Magnetic Resonance Imaging
NPU : Navigation Panel Unit
NPV : Negative predictive value (nilai duga negatif)
PACS : Picture Archiving and Communications System
PET : Positron Emission Tomography
PI : Papiloma Inverted
POCT : Pre-operatif CT-scan
POMRI : Pre-operatif MRI
PPV : Positive predictive value (nilai duga positif)
PSO : Penemuan saat operasi
RS : Rumah sakit
RSCM : RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
SCF : serpentine cerebriform filamentous structure
Sens : Sensitivitas
Spec : Spesifisitas
THT-KL : Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher
USB : Universal Serial Bus
WHO : World Health Organization
WL : Window level
WW : Window width
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat ditemukan pada daerah
sinonasal. Papiloma sinonasal atau papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis
berdasarkan gambaran histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted
papilloma, papiloma sel silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma.
Tumor ini memiliki karakter histologi berupa gambaran proliferasi endofitik epitel
yang terbalik (inverted) ke dalam stroma dengan epitel membran basal yang utuh.
Meskipun jinak, tumor ini memiliki angka kekambuhan yang tinggi dan sering
dihubungkan dengan perubahan menjadi ganas, sehingga perlu dilakukan penelitian
mengenai tumor papiloma inverted (PI) untuk menjamin reseksi yang adekuat
dalam tata laksana tumor. 1-4
Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli Telinga
Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher (THT-KL) RS. Dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun 2008 sampai 2012,
terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima. Pria lebih banyak dibanding
wanita dengan rasio 2,6 : 1.
1
2
Kosugi2 menuliskan bahwa lokasi asal tumor lebih sering pada dinding lateral
kavum nasi terutama di meatus medius meluas ke maksila. Di Jepang, PI lebih
sering pada pasien usia 50 sampai 70 tahun dengan rata-rata usia 53 tahun, pria
lebih sering dibandingkan dengan wanita dengan rasio 4:1. Fukuda8 menjelaskan
mengenai angka kekambuhan PI yang tergolong tinggi pada pengangkatan tumor
dengan pembedahan eksternal yaitu hingga 78%. Mirza dkk9 menemukan dalam
penelitiannya di Queens Medical Center Nottingham Inggris, tumor PI 7,1%
sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma, sehingga
perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI.
Universitas Indonesia
3
Universitas Indonesia
4
Universitas Indonesia
5
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Papiloma merupakan tumor jinak epitelial yang dapat tumbuh pada daerah
sinonasal. Papiloma Schneiderian dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan gambaran
histologinya, yaitu papiloma eksofitik atau everted papilloma, papiloma sel
silindrik atau oncocytic papilloma dan inverted papilloma. Papiloma inverted
disebut juga papiloma Ewing, papiloma fibromiksoid, papiloma sel transisional,
atau papiloma Ringertz secara klinis berupa massa pada kavum nasi yang berbentuk
granuler dan menyerupai mulberry. PI merupakan tumor jinak epitelial yang
berpotensi untuk bertransformasi menjadi ganas. Tumor ini dihubungkan dengan
karsinoma sel skuamosa (KSS) pada 5-5% pasien. Secara lokal PI bersifat agresif
dan menyebabkan erosi tulang. Angka kekambuhannya cukup tinggi, yaitu sampai
dengan 78%. Hal utama yang menyebab tingginya angka kekambuhan PI adalah
reseksi tumor yang tidak adekuat.2, 8
7
8
Massa unilateral pada sinonasal lebih sering disebabkan oleh penyakit yang bukan
neoplasma. Lathi26 mencatat 112 orang pasien dengan massa unilateral, 80 orang
(71,4%) di antaranya bukan tumor, dan 32 orang (28,6%) merupakan tumor. Dari
yang tercatat sebagai tumor, sembilan belas orang tumor jinak, sedangkan 13 orang
tumor ganas. PI terjadi pada 7 orang pasien, yaitu 36,8% dari seluruh tumor jinak
sinonasal.
Head7 mencatat terjadi 77 kasus PI sejak tahun 1972 sampai dengan 1992. Data
tersebut diambil secara retrospektif di American Medical Center – UCLA dalam
penelitiannya mengenai gambaran radiologi PI pada sinus paranasal. Oikawa8
mencatat sebanyak 58 kasus PI sinonasal pada tahun 1990 sampai 2005 di
Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Hokkaido University
Hospital Japan.
Sampai saat ini belum ada data insiden PI di Indonesia. Kejadian PI di Poli THT-
KL RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tercatat sebesar 54 kasus dari tahun
2008 sampai 2012, terbanyak pada usia dekade keempat dan kelima.
Universitas Indonesia
9
Tumor ini lebih sering dilaporkan pada ras kaukasia. Lokasi asal tumor lebih sering
pada dinding lateral kavum nasi terutama pada meatus medius ke dalam sinus
maksila. Jenis tumor yang jinak namun agresif secara lokal sering menjadi faktor
yang menghubungkan tumor ini sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa. Tumor
ini ditemukan 7,1% sinkronus dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan
karsinoma, sehingga perlu dilakukan reseksi adekuat pada tumor PI. 2-4, 8
Universitas Indonesia
10
Penelitian hibridisasi in situ dan polymerase chain reaction mendeteksi HPV tipe
6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59 dan 66 yang berhubungan
dengan tumor PI sinonasal. Penelitian Oikawa 8 mendeteksi HPV tipe 6,11,16 dan
18 hingga 86% dari pasien dengan tumor PI. Adanya deoxyribonucleic acid (DNA)
HPV pada tumor ini sering dihubungkan dengan tingginya angka kekambuhan dan
transformasi tumor jinak menjadi ganas. Hajdu 27 menuliskan bahwa selain HPV
tipe 16 dan 18, HPV tipe 31 dan 33 juga diasosiasikan dengan transformasi tumor
jinak menjadi karsinoma sel skuamosa. Gambaran epitel skuamosa dengan
inflamasi kronis dengan DNA HPV tampak sebagai sel halo pada perinuklear sel
skuamosa yang disebut juga koilosit diketahui merupakan lesi. Faktor-faktor lain
seperti merokok, pajanan zat kimia tertentu, alergi dan inflamasi kronis kadang
disebutkan berperan menjadi faktor pendukung namun belum terbukti. 4, 8, 27, 28
Gejala klinis PI yang paling sering adalah sumbatan hidung satu sisi yang progresif.
Gejala lain yang sering terjadi berupa ingus, epistaksis, gangguan penciuman, serta
keluhan-keluhan lain yang menyerupai keluhan rinosinusitis. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior atau dengan nasoendoskopi, tampak gambaran massa unilateral
berbenjol-benjol menyerupai polip berwarna merah muda. Diagnosis PI ditegakkan
dengan biopsi tumor dan melakukan pemeriksaan histopatologi dengan
menemukan gambaran proliferasi endofitik epitel yang terbalik ke dalam stroma
dengan epitel membran basal yang utuh.29
Universitas Indonesia
11
ini tidak bisa membedakan jaringan lunak massa dengan jaringan inflamasi seperti
sinusitis yang terjadi akibat adanya massa di kompleks ostiomeatal. Kriteria analisis
dan interpretasi untuk CT-scan pada PI sinonasal meliputi lokasi tumor, ukuran
tumor, permukaan tumor, ada atau tidaknya kalsifikasi, destruksi tulang,
penyangatan setelah penyuntikan zat kontras, serta keterlibatan struktur
sekitarnya.6, 30, 31
Lokasi PI paling sering unilateral pada meatus medius (90%), dengan permukaan
tumor berlobus. Kalsifikasi dapat terjadi pada 52% dari PI yang tampak berupa
struktur tulang yang terperangkap dalam jaringan lunak. Destruksi tulang tampak
berupa penipisan tulang, pelengkungan tulang, serta deviasi septum. Gambaran
penipisan tulang berupa erosi dikaitkan dengan keganasan. Zat kontras beryodium
yang disuntikkan secara intravena membuat gambaran massa menjadi heterogen.
Hal ini membantu dalam membedakan massa dengan cairan, namun tidak
membantu membedakan massa dengan mukosa yang inflamasi. Melalui gambaran
CT-scan juga perlu dilakukan evaluasi struktur sekitar yang mungkin terlibat
seperti perluasan tumor ke sakus lakrimalis, dasar otak, nasofaring, hingga ke
mastoid.6
Annam dkk33 melakukan uji diagnostik CT-scan dalam menilai perluasan massa
sinonasal dibandingkan dengan penemuan histopatologi. Pada penelitian ini
Universitas Indonesia
12
didapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan
akurasi CT-scan dalam menilai perluasan massa sinonasal pada area tertentu. Hasil
akhir penelitian tersebut juga menilai stadium tumor dengan bantuan CT-scan
menggunakan sistem klasifikasi TNM untuk keganasan sinonasal dari American
Joint Committee on Cancer (AJCC) edisi keenam tahun 2002. Dari 38 kasus tumor
sinonasal, ketepatan prediksi lokasi tumor menggunakan CT-scan dibandingkan
penemuan histopatologi yang sama sebanyak 24 kasus. Dalam 14 kasus tersebut,
12 kasus memiliki stadium tumor (T) lebih kecil dibandingkan diagnosis CT-scan,
sedangkan 2 kasus memiliki stadium tumor yang lebih besar dibandingkan
diagnosis CT-scan. Kesalahan penentuan stadium tumor pada CT-scan tersering
sebagai T4a, yang semestinya merupakan stadium T3 disebabkan penemuan positif
palsu pada perluasan ke nasofaring, sinus frontal dan sfenoid.
Tabel 2.1. Hasil uji diagnostik CT-scan dalam penilai perluasan massa
sinonasal oleh Annam dkk33
Sens : Sensitivitas
Spec : Spesifisitas
PPV : Positive predictive value (nilai duga positif)
NPV : Negative predictive value (nilai duga negatif)
Universitas Indonesia
13
Gambaran MRI pada T1-weighted memperlihatkan lesi yang isodens dengan otot,
sedangkan pada T2-weighted menunjukkan gambaran isu intens hingga hipo intens,
sehingga lesi PI tampak heterogen. Namun pada pemeriksaan MRI, gambaran PI
yang menginvasi ke tulang sulit dinilai. Gambaran heterogen tumor lebih hiper
intens dibandingkan otot. Area nekrosis dan obstruksi sekret akan tampak lebih
terang pada T2-weighted. Dengan pemberian kontras pada T1 maka akan tampak
invasi massa.14, 30, 31
Gambar 2.3. Perbedaan gambaran PI pada CT-scan dan MRI. Pada sinus
maksila pasien yang sama tampak gambaran radiopaq yang homogen pada
pemeriksaan CT-scan (A), sedangkan pada gambaran MRI T2-weighted (B)
terlihat gambaran massa pada kavum nasi, sedangkan pada sinus maksila
adalah retensi sekret.34
Universitas Indonesia
14
Pencitraan radiologi dilakukan untuk mengetahui batas tumor serta jaringan sekitar
yang terlibat seperti sinus paranasal, mengetahui lokasi asal serta untuk mengetahui
stadium tumor jinak. Penentuan stadium tumor jinak pada PI berguna untuk
menentukan pendekatan operasi endoskopi dan mempersiapkan langkah-langkah
jika yang memerlukan tindakan khusus seperti maksilektomi medial, reseksi lamina
papirasea, ligasi arteri sfenopalatina, penutupan kebocoran serebrospinal, hingga
persiapan jika memerlukan operasi dengan pendekatan eksternal. 10, 11, 28, 35, 36
A B
A
C D
B A
B
A
Universitas Indonesia
15
Landsberg11 menjelaskan bahwa lokasi asal tumor biasanya tidak lebih dari 15 mm.
Ketika melakukan diseksi tumor, mukosa yang tampak patologis harus dibuang
bersama sebagian batas mukosa yang tampak normal. Pada penelitiannya,
Landsberg melakukan frozen section untuk menentukan batas bebas tumor.
Universitas Indonesia
16
Pemeriksaan MRI juga mempunyai peran penting dalam memprediksi lokasi asal
tumor PI. Iimura dkk37 menjelaskan bahwa pada pemeriksaan MRI pembobotan T 2
(T2-weighted) tanpa kontras dan pembobotan T1 (T1-weighted) dengan kontras
terdapat gambaran convoluted cerebriform pattern yaitu gambaran hipointens dan
hiperintens yang tersusun akibat gambaran epitel skuamosa yang menginvasi ke
dalam stroma, yang merupakan gambaran khas tumor PI sinonasal. Iimura juga
memperkenalkan istilah serpentine cerebriform filamentous structure (SCF), yaitu
gambaran filamen yang tampak berasal dari lokasi awal perlekatan tumor. Struktur
ini merupakan salah satu metode untuk memprediksi lokasi asal tumor pada MRI.
Cara lain untuk memprediksi lokasi asal tumor jika tidak tampak serpentine
cerebriform filamentous structure (Gambar 2.6), adalah dengan mempelajari cara
PI meluas secara sentrifugal, sehingga pusat dari perluasan tersebut adalah lokasi
awal tumor. Ostium sinus yang tertutup akan menyebabkan inflamasi kronis pada
sinus yang terkait, sehingga rongga sinus tersebut biasanya bukan merupakan lokasi
awal perlekatan tumor.14
Universitas Indonesia
17
medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk melakukan
maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi termasuk
fragmen tulang yang terkait.11
Tempat utama tumor lebih sering pada dinding lateral kavum nasi (52,6%) terutama
pada meatus medius. Sinus maksila merupakan lokasi yang selanjutnya sering
menjadi tempat perlekatan tumor (25,0%), diikuti dengan sinus etmoid anterior
(21,1%), sinus sfenoid (6,6%), sinus frontal (6,6%), septum (2,6%), dan sinus
etmoid posterior (2,6%).11, 32
Universitas Indonesia
18
meluas ke dalam rongga sinus (dalam hal ini PI) atau sekret yang terperangkap di
dalam rongga sinus. Gambaran ini sering terlihat pada CT-scan sinus paranasal dan
dapat menyulitkan interpretasi CT-scan.38, 39
MRI memiliki nilai prediksi positif sebesar 95,8% untuk mendeteksi lesi pola
kolumnar pada PI, sehingga dapat memprediksi area diferensiasi PI dan karsinoma
sel skuamosa. Lesi pola kolumnar ini dapat membedakan batas tumor dengan
jaringan sekitarnya dengan gambaran histologis papiloma yang menginvasi ke
dalam stroma disebut convoluted cerebriform pattern atau septate striated
apperarance, khas pada PI. MRI juga dapat membedakan massa tumor dengan
sekret yang terperangkap di dalam sinus pada T2-weighted tanpa kontras.12, 21, 23, 40
Universitas Indonesia
19
Sistem Han membagi PI menjadi grup I jika tumor terbatas pada kavum nasi,
dinding lateral kavum nasi, dinding medial sinus maksila, sinus etmoid dan sinus
sfenoid. Grup II pada sistem Han jika tumor telah meluas ke dinding lateral sinus
maksila dengan atau tanpa kriteria yang termasuk dalam grup I. Pada grup III jika
tumor telah meluas ke sinus frontal, dan grup IV jika tumor telah meluas keluar
sinus paranasal atau kavum nasi.5
Klasifikasi sistem Cannady membagi menjadi grup A, yaitu tumor yang terbatas
pada kavum nasi, sinus etmoid atau dinding medial sinus maksila. Grup B jika
tumor telah meluas ke dinding sinus maksila selain dinding medial, atau meluas ke
sinus frontal, atau perluasan ke sinus sfenoid. Grup C jika tumor telah meluas keluar
dari sinus paranasal.5
Universitas Indonesia
20
2.4 Penatalaksanaan PI
Universitas Indonesia
21
Pendekatan eksternal memiliki kelebihan lapang pandang yang lebih luas namun
secara kosmetik terdapat bekas insisi. Pendekatan bedah eksternal dapat dilakukan
dengan teknik rinotomi lateral melalui insisi Moure. Insisi ini memotong garis
imajiner pada lateral hidung mulai setinggi kantus media hingga vestibulum nasi
mendapatkan ekspos yang cukup luas pada kavum nasi. Insisi ini dapat diperluas
dengan teknik Weber-Ferguson yaitu memotong pertengahan bibir atas. Teknik ini
memiliki kekurangan secara kosmetik yaitu bekas luka yang dapat menyebabkan
jaringan parut hingga kontraktur. Untuk mengurangi efek kosmetik yang kurang
baik, banyak teknik yang dilakukan. Salah satunya adalah pendekatan secara
midfacial degloving yaitu melalui insisi ginggivo-bukal dilakukan untuk
menghindari insisi kulit, namun akses ke arah sinus etmoid dan resesus frontal
menjadi sulit.41, 42
Universitas Indonesia
22
keuntungan lapang pandang yang cukup luas serta angka kekambuhan tumor yang
cukup rendah, namun komplikasi yang terjadi adalah perdarahan pasca operasi,
kontraktur, sumbatan duktus nasolakrimal.41
Pendekatan reseksi tumor secara endoskopi melalui lubang hidung saat ini lebih
dipilih karena dapat menjangkau seluruhnya tanpa melakukan insisi kulit.
Pemilihan pendekatan reseksi tumor sangat berhubungan dengan lokasi asal tumor.
Pendekatan kombinasi eksternal dan endoskopi biasanya dilakukan pada tumor
yang melekat pada dinding lateral sinus maksila atau pada dinding sinus frontal.
Berbagai penelitian mengenai penggunaan endoskopi untuk reseksi tumor PI dari
lokasi asalnya mencatat angka yang bervariasi mengenai angka kekambuhan tumor
dari 0% hingga 24%.17, 35, 43-46
Tumor yang diketahui perlekatannya pada kavum nasi dan mendesak hingga ke
arah dinding medial sinus maksila dan memenuhi antrum, tidak perlu untuk
melakukan maksilektomi medial dan cukup membuang lokasi asal di kavum nasi
termasuk fragmen tulang yang terkait. Pada tumor yang melekat di konka media
perlu untuk dilakukan konkotomi (Gambar 2.11). Pada tumor yang melekat di
dinding medial sinus maksila, operator harus melakukan maksilektomi medial
untuk reseksi yang adekuat. Jika tumor berasal dari dalam sinus maksila misalnya
dinding lateral, langkah tepat harus diperhitungkan untuk reseksi tumor seperti
pendekatan ganda dengan Caldwell Luc.11, 13
Universitas Indonesia
23
Gambar 2.11. Tumor yang melekat pada konka media dilakukan konkotomi.
S: Septum, MT: Konka media, LP: Lamina papirasea. BL: Bula etmoid,
MO: ostium sinus maksila11
Tumor yang melekat pada dinding medial sinus maksila dapat dilakukan
maksilektomi medial dengan teknik endoskopi. Jika tumor melekat pada mukosa
berdinding tulang tebal seperti dinding anterior, posterior atau lateral sinus maksila,
resesus frontal dan dasar kavum nasi dilakukan reseksi mukosa perlekatan dan
pengeboran tulang secara superfisial (Gambar 2.12). Daerah berbahaya seperti
perlekatan ke lamina kribiformis dan lamina lateral berisiko untuk terjadi
kebocoran cairan serebrospinal, atau daerah lateral sinus sfenoid yang berisiko
menciderai nervus optikus dan arteri karotis. Pada kasus demikian sebaiknya tidak
melakukan pengeboran tulang dan melakukan observasi tumor dengan endoskopi,
mengingat tumor ini merupakan tumor jinak. Untuk tumor PI yang melekat pada
dinding sinus frontal dapat dilakukan tindakan bedah endoskopi ke resesus frontal,
sinotomi sinus frontal, operasi modifikasi Lothrop dengan endoskopi, atau bedah
endoskopi dengan trepanasi sinus frontal.11, 32, 47
Universitas Indonesia
24
A B
Krouse13 menetapkan tata laksana tumor berdasarkan stadium yang dibuatnya. Pada
stadium T1 seluruh tumor dioperasi secara endoskopi transnasal. Operasi endoskopi
transnasal yang dilakukan pada stadium T2 dengan pendekatan eksternal jika saat
operasi diperkirakan sulit membersihkan seluruh tumor. Pada stadium T3 dapat
dioperasi dengan pendekatan endoskopi transnasal jika operator meyakini bahwa
visualisasi serta kemampuan untuk reseksi tumor dapat dilakukan secara
menyeluruh. Jika terdapat keraguan untuk reseksi tumor secara adekuat, maka
pendekatan operasi sebaiknya dilakukan secara terbuka. Stadium T4 harus
dilakukan dengan pendekatan terbuka agar reseksi tumor adekuat. Pendekatan
terbuka dilakukan dengan berbagai cara seperti eksplorasi orbita atau prosedur
bedah kraniofasial untuk menjamin reseksi tumor yang bersih. Pada tumor yang
tidak dapat dioperasi, atau tumor residu setelah operasi dapat dilakukan adjuvan
radioterapi.3
Angka kekambuhan PI sangat berhubungan dengan ada atau tidaknya residu pasca
operasi. Hal lain yang berkaitan dengan tingginya kekambuhan PI adalah lokasi
tumor, struktur histologi, metode operasi, tahap operasi, follow up pasien, kondisi
demografi dan kondisi sosial ekonomi pasien.3
Universitas Indonesia
25
Kekambuhan sering terjadi dalam 2 tahun pasca operasi, namun follow up pasien
jangka panjang sebaiknya tetap dilakukan setidaknya hingga 5 tahun pasca operasi,
sebab PI sangat erat hubungannya dengan perkembangan menjadi karsinoma pasca
operasi (metakronus karsinoma). Tumor yang kambuh kurang dari 1 tahun pasca
operasi dianggap merupakan kasus yang residu. Daerah yang dicurigai masih
terdapat tumor dapat dilakukan biopsi. Follow up PI akan menjadi akurat dengan
melakukan pemeriksaan radiologi misalnya MRI atau CT-scan.6, 34
Universitas Indonesia
26
Hidung tersumbat
unilateral
Faktor risiko:
HPV
Papiloma Inverted
Usia
Jenis kelamin
Merokok
Inflamasi
Alergi
Perluasan tumor Sumbatan KOM
Hiperostosis,
Pemeriksaan sklerosis
pencitraan Inflamasi mukosa
sinus
Universitas Indonesia
27
Karakteristik:
Papiloma Inverted
Usia
Jenis kelamin
Merokok
Gejala klinis:
o Hidung tersumbat
o Unilateral/bilateral
o Ingus
o Gangguan penghidu Lokasi asal tumor
o Mimisan Keterlibatan sinus paranasal dan
o Sakit kepala sekitarnya
Gambaran histopatologi Stadium sistem Krouse
o Jenis sel
(Pemeriksaan CT-scan dan MRI)
o Koilosit
Pembedahan
Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Populasi target penelitian adalah seluruh pasien dengan diagnosis awal papiloma
inverted yang telah atau akan menjalani operasi ekstirpasi tumor dan telah di periksa
CT-scan dan MRI sebelum dilakukan operasi.
28
29
Populasi terjangkau adalah seluruh populasi target yang datang saat periode
penelitian.
1. Pasien PI baru yang memiliki data pemeriksaan CT-scan dan MRI, yang
akan dilakukan operasi ekstirpasi tumor.
2. Pasien PI yang telah dioperasi serta memiliki data pemeriksaan CT-scan dan
MRI sebelum operasi, dengan data laporan operasi yang menjelaskan lokasi
asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, serta stadium tumor sistem Krouse
sebelum operasi.
3. Pasien PI kambuh yang pernah dioperasi, dan memiliki data pemeriksaan
CT-scan dan MRI terbaru, yang akan dilakukan operasi kembali.
4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani surat
persetujuan (informed consent).
Universitas Indonesia
30
(𝑧𝛼 )2 𝑃𝑄
𝑛=
𝑑2
Keterangan:
n : Jumlah subjek minimal yang diperlukan
P : Kesesuaian lokasi asal atau keterlibatan sinus paranasal atau papiloma
inverted pada pemeriksaan CT-scan dan MRI
Q : 1-P
Zα : Tingkat kepercayaan 95%
d : Kesalahan (absolut) yang dapat di tolerir
Saat penelitian dibuat belum terdapat data sebelumnya yang membandingkan CT-
scan dan MRI sebagai penilaian pre-operatif sehingga jumlah subjek minimal yang
dibutuhkan belum dapat dihitung. Dari studi kepustakaan yang dilakukan peneliti
didapatkan subjek minimal sebanyak 10 orang pasien pada penelitian retrospektif
dilakukan oleh Ojiri14 mengenai gambaran MRI pada papiloma inverted sinonasal.
Universitas Indonesia
31
Universitas Indonesia
32
1. Semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk kriteria
eksklusi diberikan informasi yang lengkap mengenai latar belakang, tujuan,
serta tata cara penelitian dengan lembar persetujuan yang diisi oleh subjek
atau orang tua/wali yang terkait.
2. Setelah subjek penelitian setuju dilakukan anamnesis, pengisian formulir
persetujuan penelitian dan pengisian kuesioner penelitian.
3. Pasien yang telah mendapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari
Departemen Patologi Anatomi RSCM akan masuk sebagai populasi
terjangkau.
4. Pasien dengan diagnosis PI, dilakukan pemeriksaan CT-scan dengan kontras
non-ionik, irisan minimal 1 mm.
5. Dilakukan pemeriksaan MRI T1-weighted, T2-weighted, serta T1-weighted
fat supress dengan kontras, irisan minimal 3 mm.
6. Interpretasi masing-masing modalitas pemeriksaan dilakukan oleh 2 orang
pembimbing radiologi divisi kepala leher. Masing-masing ahli radiologi
akan dilakukan blinding.
7. Interpretasi yang dilakukan adalah perkiraan lokasi asal tumor, keterlibatan
masing-masing dinding sinus paranasal, serta penentuan stadium tumor
sistem Krouse.
8. Hasil pemeriksaan CT-scan akan diinterpretasikan dan kemudian ditetapkan
sebagai penilaian pre-operatif CT-scan (POCT).
9. Hasil pemeriksaan MRI akan diinterpretasikan dan ditetapkan sebagai
penilaian pre-operatif MRI (POMRI)
10. Dilakukan pengangkatan tumor sesuai penilai pre-operatif yang telah
disepakati oleh pembimbing 1, proses operasi direkam dalam bentuk video.
Selanjutnya berdasarkan pengamatan langsung saat operasi oleh 2 orang
pembimbing THT-KL dilakukan penetapan lokasi asal tumor, keterlibatan
masing-masing dinding sinus paranasal, penentuan stadium tumor sistem
Krouse, hasil tersebut ditetapkan sebagai hasil penilaian saat operasi (PSO).
Universitas Indonesia
33
Universitas Indonesia
34
2. Jika tidak didapatkan kesepakatan dari kedua orang ahli radiologi tersebut,
maka akan dimintakan konfirmasi kepada 1 ahli radiologi yang lain dari
Departemen Radiologi RSCM divisi kepala leher yang telah berpengalaman
pada bidang radiologi kepala leher minimal 10 tahun.
3. Penetapan lokasi asal tumor, keterlibatan masing-masing dinding sinus
paranasal, penentuan stadium tumor sistem Krouse oleh 2 orang dokter
spesialis THT-KL subdivisi Rinologi dan Onkologi yang berpengalaman di
bidangnya minimal 10 tahun.
Universitas Indonesia
35
Subjek penelitian
Data operasi:
Lokasi asal tumor
Keterlibatan sinus paranasal
Penentuan stadium Krouse
Analisis Data
Hasil Penelitian
Universitas Indonesia
36
Observasi dilakukan oleh dua orang ahli radiologi dan dihitung kesesuaian antar
dua pengamat (inter observer) dalam memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan
sinus paranasal serta stadium tumor dengan sistem Krouse dengan menggunakan
masing-masing modalitas. Data tersebut dikumpulkan dan ditetapkan menjadi
penilaian pre-operatif yang ditentukan dari observasi CT-scan dan MRI. Masing-
masing data penilaian pre-operatif kemudian dibandingkan dengan baku emas
penemuan operasi sehingga didapatkan kesesuaian antar masing-masing modalitas.
Analisis data menggunakan tabel 2x2 dengan uji McNemar dan nilai Kappa (κ) dari
masing-masing modalitas, kemudian dihitung nilai kemaknaan, sensitivitas,
spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan (likelihood
ratio).
Universitas Indonesia
37
1. Definisi:
Seluruh pasien yang semua sinus paranasalnya telah terbentuk dengan
diagnosis awal papiloma inverted yang dibuktikan dengan pemeriksaan
histopatologi dari dokter ahli patologi anatomi dengan kesimpulan hasil
pemeriksaan papiloma schneiderian yang tumbuh endofitik atau inverted,
dengan atau tanpa papiloma schneiderian yang tumbuh eksofitik
(fungiform) dan/ atau sel silindrik.
2. Alat Ukur:
Lembar hasil pemeriksaan histopatologi oleh dokter spesialis Patologi
Anatomi.
3. Cara ukur:
Pemeriksaan secara langsung pada kavum nasi dengan spekulum hidung
atau dengan endoskopi, tampak massa yang secara klinis sesuai dengan PI.
4. Hasil ukur:
Hasil pemeriksaan histopatologi untuk papiloma inverted positif dan
negatif.
5. Skala ukur:
Nominal
Universitas Indonesia
38
3. Cara ukur:
1. CT-scan
- Interpretasi plat film CT-scan oleh pembimbing radiologi.
- Mencari tanda khas perlekatan tumor pada gambaran CT-scan yaitu
fokus hiperostosis, memprediksi dari gambaran pelengkungan tulang,
destruksi tulang, penipisan tulang, dll.
2. MRI
- Pembacaan MRI oleh pembimbing radiologi
- Memeriksa gambaran T1-weighted dengan kontras dan T2-weighted,
mencari gambaran tumor yang hiperlusen, gambaran convoluted
cerebriform pattern (CCP), serpentine cerebriform filamentous
structure (SCF), serta memprediksi lokasi asal dengan mempelajari
pola sentrifugal dari tumor.
3. Penemuan saat operasi
- Mengamati daerah perlekatan langsung saat operasi dengan bantuan
NPU atau dengan mengamati data sekunder video operasi dan laporan
operasi oleh peneliti dan pembimbing THT.
4. Hasil ukur:
Penilaian kualitatif mengenai perlekatan tumor dari berbagai pemeriksaan.
5. Skala ukur:
Nominal
Universitas Indonesia
39
Universitas Indonesia
40
2. Alat ukur:
o Lightbox untuk membaca plat film
o Piranti lunak PACS Workstation
o Laptop Macbook Air 11 inch dalam sistem operasi Mac OS X
o Piranti pemutar DVD
o Data laporan operasi
3. Cara ukur:
Secara berurutan pemeriksaan dibaca dari:
1. CT-scan
- Meninjau ulang hasil pemeriksaan CT-scan plat film yang telah
dilakukan lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
2. MRI
- Meninjau ulang hasil pemeriksaan MRI lalu menentukan stadium
tumor PI sistem Krouse.
3. Penemuan saat operasi
- Meninjau ulang hasil penemuan saat operasi dengan menggunakan
data sekunder video operasi yang dibandingkan dengan laporan
operasi, lalu menentukan stadium tumor PI sistem Krouse.
4. Hasil ukur:
Penilaian kualitatif mengenai stadium tumor PI sistem Krouse dari
berbagai pemeriksaan.
5. Skala ukur:
Ordinal
Universitas Indonesia
41
Penelitian ini terlebih dahulu akan meminta persetujuan Panitia Tetap Etik
Penelitian Kedokteran FKUI-RSCM Jakarta sebelum dilaksanakan penelitian.
Kepada semua orang tua atau wali atau subjek penelitian akan diberikan penjelasan
yang baik mengenai prosedur dan tujuan penelitian, kemudian diminta persetujuan
untuk menggunakan datanya dalam proses penelitian dengan menandatangani
formulir persetujuan (Informed consent).
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Pada masa penelitian ini didapatkan 16 pasien papiloma Schneiderian. Dua dari 16
pasien merupakan jenis eksofitik, sedangkan 14 pasien merupakan jenis papiloma
inverted atau jenis campuran dari eksofitik dan endofitik (inverted). Satu dari 14
pasien menolak tata laksana lanjut, dua dari 14 pasien tidak melanjutkan operasi
walaupun telah dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI, sedangkan 1 pasien PI
terbukti sinkronus dengan karsinoma sel skuamosa, sehingga keempat pasien
tersebut dikeluarkan dari penelitian (drop out), sehingga didapatkan subjek
penelitian 10 orang (gambar 4.1).
42
43
Papiloma schneiderian
(n= 16)
Pemeriksaan Menolak
CT-scan & MRI pemeriksaan lanjut
(n= 13) (n= 1)
Tidak operasi
(n= 3)
Subjek penelitian
(n= 10)
Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada tabel 4.1 dengan nilai rata-rata
usia subjek penelitian didapatkan adalah 42,1 tahun. Nilai median usia subjek
adalah 41 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 6 subjek dan perempuan 4 subjek.
Hampir seluruh subjek tidak pernah merokok (n= 7), sedangkan 2 subjek adalah
perokok aktif, dan 1 subjek pernah menjadi perokok aktif yang sudah berhenti 5
44
tahun. Keluhan anosmia (n= 2) hanya ada pada pasien dengan sumbatan hidung
bilateral, sedangkan hiposmia hanya dirasakan pada 1 subjek dengan sumbatan
hidung unilateral (dari total n= 7). Histopatologi papiloma schneiderian hanya tipe
inverted pada 1 subjek, sedangkan yang terjadi bersamaan dengan papiloma
eksofitik sebanyak 8 subjek. Tidak ada subjek yang terbukti metakronus dengan
karsinoma sebelum dilakukan operasi.
4.2 Sebaran lokasi asal, keterlibatan sinus paranasal dan stadium tumor
berdasarkan pemeriksaan CT-scan, MRI dan penemuan saat operasi
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan pencitraan dengan dua modalitas, CT-
scan dan MRI. Pemeriksaan pencitraan sebelum dilakukan operasi,
diinterpretasikan oleh dua orang ahli radiologi secara terpisah. Data dikumpulkan
secara pembutaan satu pihak (single blind) pada dokter ahli radiologi untuk
menghindari bias, lalu ditampilkan dalam tabel distribusi variabel untuk masing-
masing modalitas.
Universitas Indonesia
45
Prediksi lokasi asal tumor dengan modalitas pemeriksaan CT-scan dan MRI
sebelum operasi dilakukan oleh ahli radiologi dengan kesepakatan yang sama
dalam menentukan lokasi asal tumor yang juga dianggap perlekatan dari tumor pada
mukosa. Untuk memprediksi lokasi asal tumor dengan CT-scan, dilakukan
pemeriksaan gambaran secara kualitatif pada bentuk tumor dan mempelajari
tumbuhnya tumor yang sentrifugal, dan mencari komponen hiperostosis pada
perselubungan tumor. Prediksi lokasi asal tumor pada pemeriksaan MRI dilakukan
juga dengan mempelajari pertumbuhan tumor yang sentrifugal, kemudian mencari
komponen CCP dan SCF untuk memprediksi lokasi asal tumor.
Universitas Indonesia
46
Tabel 4.3 Kesesuaian prediksi lokasi asal tumor berdasarkan CT-scan dan
MRI dibandingkan dengan penemuan saat operasi
Kesesuaian
kelamin
Subjek
Jenis
Usia
Universitas Indonesia
47
Prediksi lokasi asal tumor saat operasi dengan menilai secara langsung adanya
attachment atau menempelnya tangkai tumor PI dengan mukosa yang terlibat yang
dikonfirmasi dengan alat Navigation Panel Unit (NPU) Karl Storz. Pada sebagian
besar kasus lebih banyak diprediksi benar oleh pemeriksaan CT-scan pada 8 subjek,
benar sebagian pada 2 subjek. Hasil pemeriksaan MRI memprediksi benar pada 4
subjek, memprediksi benar sebagian pada 5 subjek dan salah pada 1 subjek.
Tabel 4.4 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi lokasi asal tumor
berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI
Rerata p
Prediksi lokasi asal tumor
berdasarkan CT-scan 1,80 ± 0,422
0,046
Prediksi lokasi asal tumor
1,40 ± 0,699
berdasarkan MRI
Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi lokasi asal tumor dan
didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji t_test berpasangan tidak
dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon diperoleh nilai kemaknaan
0,046 (p< 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna yaitu penilaian pre-operatif CT-scan lebih baik dibandingkan MRI dalam
menentukan lokasi asal tumor PI.
Universitas Indonesia
48
Kesesuaian
Subjek
Jenis
Usia
Universitas Indonesia
49
Evaluasi keterlibatan sinus paranasal pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara
melihat secara langsung dengan bantuan endoskopi 0O dan endoskopi bersudut 30O,
45O, atau 75O. Setelah sebagian tumor diangkat, ostium sinus paranasal yang
dicurigai terdapat tumor dibuka dan dilihat. Pemeriksaan CT-scan memprediksi
benar pada 3 subjek, benar sebagian pada 6 subjek dan salah pada 1 subjek. MRI
memprediksi benar pada 1 subjek, benar sebagian pada 7 subjek, dan salah pada 2
subjek.
Pada prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan modalitas CT-scan dan MRI
dibandingkan dengan penemuan saat operasi (tabel 4.5), pemeriksaan MRI lebih
rendah daripada CT-scan dalam prediksi keterlibatan sinus paranasal pada 3 subjek.
Tidak ada prediksi pemeriksaan MRI yang lebih baik dari CT-scan dalam prediksi
keterlibatan sinus paranasal. Prediksi keterlibatan sinus paranasal berdasarkan CT-
scan dan MRI sama baik pada 7 subjek.
Tabel 4.6 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi keterlibatan sinus paranasal
berdasarkan pemeriksaan CT-scan dan MRI
Rerata p
Prediksi keterlibatan sinus
paranasal berdasarkan CT-scan 1,20 ± 0,632
0,083
Prediksi keterlibatan sinus
0,90 ± 0,568
paranasal berdasarkan MRI
Universitas Indonesia
50
Kesesuaian
Subjek
Jenis
Usia
Universitas Indonesia
51
Tabel 4.8 Hasil uji Wilcoxon terhadap prediksi stadium tumor berdasarkan
pemeriksaan CT-scan dan MRI
Sesuai p
Prediksi stadium tumor
10
berdasarkan CT-scan
0,317
Prediksi stadium tumor
9
berdasarkan MRI
Dilakukan uji normalitas Shapiro-Wilk pada hasil prediksi stadium tumor pada
kedua modalitas dan didapatkan distribusi kedua data tidak merata, sehingga uji
t_test berpasangan tidak dapat dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji Wilcoxon
diperoleh nilai significancy 0,317 (p> 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara penilaian pre-operatif CT-scan
dan MRI dalam prediksi stadium tumor PI.
4.6 Uji diagnostik CT-scan & MRI, dibandingkan dengan penemuan saat
operasi
Pada penelitian ini, uji diagnostik tidak dapat dilakukan karena kurangnya subjek
penelitian dan bentuk data yang kategorik bukan dikotomi. Data yang ordinal tidak
dapat dimasukkan ke dalam tabel 2x2, sehingga tidak dapat dilakukan perhitungan
nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, nilai rasio
kemungkinan dari pemeriksaan CT-scan dan MRI dalam memprediksi lokasi asal
tumor PI, menentukan keterlibatan sinus paranasal, dan penentuan stadium tumor
PI. Maka dari itu, hipotesis penelitian tidak dapat dibuktikan, sehingga selanjutnya
disajikan dalam penelitian deskriptif.
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
53
Keterlibatan sinus paranasal dan jaringan sekitarnya dilakukan untuk pada masing-
masing pemeriksaan dengan berbagai metode.
Universitas Indonesia
54
Persiapan operasi merupakan prosedur yang penting dalam tata laksana reseksi
tumor PI dengan endoskopi. Persiapan dimulai dengan mempersiapkan alat-alat
yang sesuai dengan prediksi lokasi asal tumor. Setiap sampel yang akan dioperasi
dikonsultasikan terlebih dahulu ke klinik peri operatif Departemen Anestesi RSCM.
Seluruh sampel harus memenuhi kriteria layak operasi oleh klinik peri operatif.
Alat-alat yang dasar operasi yang digunakan adalah perangkat video endoskopi
Karl Storz dengan endoskopi rigid 0o, 30o, 45o dan 70o. Perangkat dasar bedah sinus
endoskopi fungsional juga menjadi perlengkapan yang selalu dipersiapkan pada
setiap operasi. Peralatan khusus digunakan seperti elektro kauter bipolar dan
penghisap (suction) kombinasi dengan elektro kauter monopolar untuk mengatasi
perdarahan, dapat juga digunakan untuk mengurangi massa tumor (debulking).
Peralatan khusus lain yang diperlukan adalah micro debrider dan sinus burr,
digunakan untuk menipiskan hiperostosis yang menempel pada tulang tebal.
Universitas Indonesia
55
Pengaturan lapang operasi diatur dengan pengaturan standar operasi bedah sinus
endoskopi fungsional. Alat NPU diletakkan kontra lateral terhadap sisi tumor yang
akan dioperasi. Misalkan pada tumor di sebelah kanan, maka NPU diletakkan di
sebelah kiri (gambar 4.3) untuk mempermudah pembacaan sensor alat saat
melakukan navigasi.
IN OP
EN
AN
PAN AS
OP : Operator
AS : Asisten
IN : Instrumen
AN : Anestesiologis
EN : Perangkat endoskopi
NPU : Navigation panel unit
PAN : Perangkat anestesi
Perangkat NPU Karl Storz dapat membaca data DICOM standar versi 3.0. Bentuk
data ini dapat dihasilkan oleh perangkat CT-scan dan MRI yang umum di rumah
sakit. Untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik saat navigasi, perlu dipastikan
data DICOM CT-scan tersebut memiliki potongan aksial, irisan minimal 1 mm
dengan ukuran matriks minimal 512 x 512 pixel. Daerah anatomi pencitraan
setidaknya harus memperlihatkan daerah puncak dahi pada tepi superior, bibir atas
pada tepi inferior, serta minimal bagian medial kedua telinga pada tepi lateral. Data
disimpan dalam satu folder pada CD atau USB flashdisk. Pengaturan tulang (WL
300, WW 1500) ideal untuk menilai tulang sinus paranasal yang tipis. Jika
diperlukan dapat digunakan data DICOM MRI dengan syarat potongan aksial,
irisan minimal 2 mm dan matriks minimal 256 x 256. Untuk mendapatkan
gabungan (fusi) dari kedua gambar CT-scan dan MRI ke dalam NPU, data
pencitraan perlu dipastikan dari pasien yang sama, dengan kondisi anatomi yang
sama dan pada data aksis yang sama.
Universitas Indonesia
56
Gambar 4.4 Alat Surgical Cockpit Navigation Panel Unit Karl Storz
Tahapan penggunaan NPU Karl Storz pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memasukkan data
a. Setelah NPU dinyalakan, sumber data DICOM dapat dimasukkan ke dalam
perangkat NPU melalui compact disc (CD) atau USB flasdisk, PACS, atau
Network (melalui kabel local area network). Pada penelitian ini peneliti
menggunakan CD dan USB flasdisk.
b. Pada menu awal, pilih ENT Navigation Load Import Dicom Data
Pilih sumber data dari CD atau USB flasdisk.
c. Pada tabel data, pilih CT-scan nama pasien yang sesuai dengan potongan
aksial, dengan jumlah irisan terbanyak Pilih
2. Mengatur titik registrasi CT-scan pada NPU
a. Setelah data DICOM selesai dimuat, akan tampak rekonstruksi 3D dan
potongan MPR yang dibuat oleh NPU, pilih Set Marker
b. Arahkan mouse pointer ke arah gambar, gunakan tombol kanan mouse dan
geserlah pada gambar 3D untuk menggerakkan dan memutar gambar. Klik
tombol Wide pada setiap gambar untuk melebarkan, lalu buat titik registrasi
pada lokasi berikut (gambar 4.5):
Universitas Indonesia
57
(1) Gambar 3D: Putar gambar ke kanan dengan menahan dan menggeser
tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat tepi kantus
lateral mata kanan, klik tombol mouse kiri batas lipatan paling lateral
mata kanan hingga muncul angka marker 1.
Gambar MPR aksial: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada puncak tulang rima orbita lateral kanan,
dengan kedalaman antara kutis dan tulang.
(2) Gambar 3D: Putar gambar ke kiri dengan menahan dan menggeser
tombol mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat tepi kantus
lateral mata kiri, klik tombol mouse kiri batas lipatan paling lateral mata
kiri hingga muncul angka marker 2.
Gambar MPR aksial: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada puncak tulang rima orbita lateral kiri,
dengan kedalaman antara kulit dan tulang.
Universitas Indonesia
58
(3) Gambar 3D: Putar gambar dengan menahan dan menggeser tombol
mouse kanan sehingga gambar 3D pasien terlihat dalam posisi lateral,
lalu klik tombol mouse kiri pada daerah lipatan subnasal tepat di tengah-
tengah, hingga muncul angka marker 3.
Gambar MPR sagital: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada lipatan subnasal, tepat pada tepi kulit.
(4) Gambar 3D: Pada posisi yang sama pada gambar 3D (lateral), klik
tombol mouse kiri pada titik nasion (daerah paling rendah pada batas os
nasal) tepat di tengah-tengah, hingga muncul angka marker 4.
Gambar MPR sagital: klik tahan dan geser tombol mouse kiri dan atur
pertengahan marker (+) pada titik nasion, tepat pada tepi kulit.
3. Registrasi marker pasien pada NPU
a. Pasang headband pada dahi pasien, perhatikan tulisan nose dipasang ke
arah hidung pasien. Pastikan headband terpasang kuat sehingga tidak
goyang saat prosedur operasi dilakukan, jika perlu dapat digunakan double
tape atau perekat. Bagian kantus lateral tidak boleh tertarik atau tertekan,
karena akan mempengaruhi titik registrasi. Penting untuk berkoordinasi
kepada ahli anestesi agar tidak memasang perekat di daerah bibir atas.
Universitas Indonesia
59
b. Atur kamera sensor ke arah kepala pasien sehingga warna gambar pasien
pada NPU berwarna hijau. Pastikan warna merah pada keterangan jarak
(distance) dan pasien (patient) berubah menjadi hijau. Sebuah titik merah
akan bergerak mengikuti arah gerak kamera sensor, arahkan titik merah ke
kepala gambar pasien (gambar 4.6).
c. Arahkan registration pointer pada titik registrasi pada headband, maka
registrasi pasien dapat dimulai. Pada registration pointer terdapat 3 buah
sensor kaca bulat, tutup terlebih dahulu salah satu sensor dengan jari untuk
mendapatkan titik registrasi yang sesuai, paparkan sensor setelah titik
registrasi pasien ditunjuk. (gambar 4.7)
(1) Posisikan sesuai dengan marker 1, yaitu pada daerah lipatan mata kanan
paling lateral, alat registration pointer ditekan sedikit hingga
kedalaman setengah jarak kulit dan tulang rima orbita lateral.
Marker 4
Marker 4
Marker 3 Marker 3
Universitas Indonesia
60
(2) Posisikan sesuai dengan marker 2, yaitu pada daerah lipatan mata kiri
paling lateral, alat registration pointer ditekan sedikit hingga
kedalaman setengah jarak kulit dan tulang rima orbita lateral.
(3) Posisikan sesuai dengan marker 3, yaitu pada lipatan subnasal, alat
registration pointer diletakkan tanpa menekan kulit.
(4) Posisikan sesuai dengan marker 4, yaitu pada titik nasion, alat
registration pointer diletakkan tanpa menekan kulit.
d. Pastikan nilai registration error maksimal kurang dari 0,5 (gambar 4.8).
Jika nilai lebih dari 0,5 maka langkah (c) harus diulang kembali. Setelah
nilai kurang dari 0,5 maka dilakukan konfirmasi titik registrasi dengan
menyentuhkan registration pointer ke wajah pasien secara acak.
e. Alat NPU siap digunakan, untuk menggunakan alat suction dilakukan
registrasi terlebih dahulu pada titik registrasi pada headband. Kanul suction
lurus dan downward di titik registrasi alat pada bagian atas, sedangkan
kanul suction upward di bagian bawah. Penting agar pasien dan alat suction
selalu berada di dalam jangkauan kamera sensor.
Marker Surgery
Slider
CT/MRI
Slider HU
Universitas Indonesia
61
Pada prosedur operasi pengangkatan tumor, semua pasien terlebih dahulu dilakukan
pemasangan tampon hidung dibuat dengan menggunakan kasa rol selebar 0,5 - yang
di potong sepanjang 20 – 25 cm, berbeda dengan tampon kapas yang biasa
digunakan untuk bedah sinus endoskopi fungsional. Tampon tersebut dibasahi
dengan adrenalin 1: 5000, kemudian dilumuri gel Xelocaine 2% untuk menghindari
kerusakan mukosa hidung karena permukaan tampon kasa yang kasar.
Lokasi asal tumor yang sulit di capai karena besarnya massa tumor walaupun telah
ditampon dengan adrenalin 1: 5000, dilakukan teknik pengecilan tumor dengan
menggunakan elektro kauter monopolar atau bipolar pada bagian dalam tumor,
Universitas Indonesia
62
Setelah memastikan lokasi asal tumor, mukosa yang menempel pada tumor
dilepaskan dari mukoperikondrium di bawahnya, dan dieksisi pada batas bebas
tumor. Jika bagian dasar lokasi asal tumor merupakan tulang, dilakukan pengeboran
untuk menipiskan tulang dasar tersebut. Jika menempel pada struktur bertangkai
seperti konka atau partisi tulang tipis seperti dinding sel sinus etmoid dilakukan
pemotongan dan pembersihan struktur tersebut.
Sinus paranasal yang dicurigai berisi tumor dinilai secara langsung dengan
endoskopi ke dalam ostium sinus yang bersangkutan. Perlu dilakukan evaluasi
bagian tumor yang di dalam sinus paranasal, jika menempel pada salah satu dinding,
maka perlu diperlakukan sebagai salah satu bagian perlekatan lokasi asal tumor
(multi fokal).
Tumor yang menempel pada struktur penting seperti lamin papirasea, batas dasar
kranium atau dinding sinus sfenoid dibersihkan namun tetap dilakukan preservasi
pada daerah tersebut, mengingat tumor PI adalah tumor jinak. Dapat
dipertimbangkan radioterapi pasca operasi pada daerah tumor yang tidak bersih.
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk mengetahui manfaat yang
dapat didapatkan dari pemeriksaan pencitraan CT-scan dan MRI dalam
memprediksi lokasi asal tumor, keterlibatan sinus paranasal, dan stadium tumor
dibandingkan dengan penemuan saat operasi. Pengambilan data penelitian
dilakukan secara retrospektif dan prospektif dengan mengambil data sekunder
pasien yang datang ke poliklinik THT-KL divisi Rinologi dan Onkologi selama
bulan Desember 2012 sampai dengan November 2013. Seluruh subjek penelitian
menjalani proses anamnesis, pemeriksaan endoskopi hidung, pemeriksaan
histopatologi dengan kesimpulan papiloma inverted atau endofitik.
Subjek penelitian adalah pasien papiloma inverted sinonasal yang memiliki data
pemeriksaan CT-scan, MRI, dan penemuan saat operasi dalam bentuk laporan dan
video operasi yang memperlihatkan di mana lokasi asal tumor, sinus paranasal yang
terlibat dan stadium tumor dengan metode Krouse. Sebelum dilakukan penelitian
ini, tidak ada satu pun pasien papiloma inverted di RSCM yang memiliki data
sekunder yang masuk dalam kriteria penelitian, sehingga populasi pasien yang bisa
dimasukkan sebagai subjek penelitian ini tidak ada dan peneliti harus
mengumpulkan data baru untuk memenuhi subjek penelitian. Pasien papiloma
inverted sinonasal yang dikumpulkan selama 1 tahun sebanyak 14 pasien, namun 4
dari 14 pasien tidak dilakukan operasi, sehingga jumlah subjek yang berhasil
dikumpulkan 10 orang.
63
64
Pasien ini melibatkan 10 orang pasien dengan jenis kelamin laki-laki 6 orang dan
perempuan 4 orang, laki-laki lebih banyak dengan perbandingan 1,5 : 1. Usia subjek
penelitian antara 22 sampai 78 tahun, usia terbanyak pada dekade ke 2 hingga 4
sebanyak 5 pasien (50 %), dengan nilai rata-rata 42,1 dan median 41. Usia tersebut
berbeda dengan yang disebutkan Wassef50 dalam penelitiannya di Dallas Amerika
Serikat bahwa mengenai usia terbanyak penyakit ini berada pada rentang 50 sampai
60 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih banyak 3 kali lipat dibanding
perempuan. Jumlah subjek yang berhasil dikumpulkan peneliti dalam 1 rumah sakit
lebih banyak dibandingkan dengan penelitian Oikawa 8 di Jepang dan Yousuf10 di
Kanada hanya rata-rata 4 kasus per tahun. Subjek yang dikumpulkan Petit di
Universitaire Ed Marseille Perancis hanya sebanyak 3 kasus per tahun, sedangkan
Singhal51 di India mencapai rata-rata 6 kasus per tahun. Kasus sebanyak 89 pasien
berhasil dikumpulkan oleh Pasquini 52 di Bologna University Italia secara
retrospektif selama 21 tahun, rata-rata 4 sampai 5 pasien per tahun. Kasus terbanyak
berjumlah 10 kasus yang dilaporkan oleh Ojiri 14 di Jikei University Jepang secara
retrospektif dalam 1 tahun.
Pada penelitian ini, hidung tersumbat merupakan keluhan yang dominan (n= 10),
dengan diawali keluhan menyerupai gejala rinosinusitis kronis seperti pilek lebih
dari 3 bulan (n= 10), sakit kepala (n= 6). Gejala ini dialami pasien tidak lama
diketahui adanya tumor. Adanya pertumbuhan tumor secara sentrifugal, yang
secara langsung menyebabkan sumbatan KOM dapat menjelaskan adanya keluhan
ingus dan hidung tersumbat. Roh24 menjelaskan mengenai proses inflamasi yang
terjadi sebagai patogenesis penyakit ini dengan gejala sama. Gejala lain seperti
riwayat bersin-bersin tidak didapatkan pada seluruh pasien (n= 0), sedangkan
riwayat ingus campur darah di dapatkan pada 1 subjek. Gangguan penciuman
dirasakan pada 3 subjek, keluhan anosmia terjadi pada 2 subjek dengan PI bilateral
(n= 2), dan hiposmia pada 1 subjek dengan PI unilateral (n= 8).
65
Pada pemeriksaan CT-scan dan MRI dicurigai adanya gambaran keganasan berupa
destruksi tulang pada 3 kasus, namun hanya 1 pasien yang memperlihatkan
pemeriksaan histopatologi karsinoma sel skuamosa pasca dilakukannya operasi.
Saha53 mengutip Hyams mengenai penelitian transformasi keganasan pada tumor
jinak, pada PI terjadi sekitar 10% dapat terjadi sinkronus atau metakronus dengan
karsinoma, sedangkan Mirza dkk9 di Inggris menemukan tumor PI 7,1% sinkronus
dengan karsinoma dan 3,7% metakronus dengan karsinoma. Saha juga menjelaskan
bahwa papiloma inverted dengan erosi tulang tidak selalu terjadi karena ada kondisi
metakronus atau sinkronus dengan karsinoma. Walaupun tumor PI merupakan
tumor jinak, tumor ini memiliki sifat invasif. Kebanyakan perubahan penulangan
yang terjadi akibat kompresi dan erosi, dan bukan merupakan invasi tumor ke
tulang. Pada penelitian ini, pasien dengan karsinoma tersebut kemudian diberikan
kemo-radioterapi setelah operasi.
Dua subjek merupakan kasus rekuren, yang sebelumnya dioperasi tanpa menilai
lokasi asal tumor. Pasien dengan riwayat penyakit rekuren tersebut tetap
dimasukkan sebagai subjek penelitian karena pada operasi sebelumnya belum
pernah dilakukan penilaian lokasi asal tumor. Faktor perancu yang dapat terjadi
pada pasien rekuren adalah terjadinya hiperostosis akibat proses osteitis ataupun
pembentukan osteoklas karena proses operasi sebelumnya. Pasien dengan riwayat
penyakit berulang dan dicurigai adanya keganasan dilakukan follow up dengan
ketat setelah operasi. Follow up ketat pasca operasi penting untuk deteksi dini
kekambuhan.54
Universitas Indonesia
66
Pada penelitian ini digunakan pemeriksaan radiologi CT-scan dan MRI sebagai
modalitas untuk memprediksi lokasi asal tumor. Roh24 menjelaskan bahwa
inflamasi berperan penting pada PI. Inflamasi tumor pada mukosa yang terjadi
memicu terjadinya proses inflamasi lokal pada tulang pada lokasi asal tumor, hal
ini menyebabkan gambaran perubahan tulang di sekitar jaringan asal tumor. Selain
efek desakan pada tulang akibat arah tumbuh tumor yang sentrifugal di tepi luar
tumor, gambaran hiperdens juga terlihat pada tulang asal mukosa yang menempel
pada PI, gambaran ini sering disebutkan sebagai gambaran hiperostosis yang dapat
dengan mudah dinilai dengan CT-scan.24, 32, 50, 55
Universitas Indonesia
67
Peneliti menemukan bahwa CT-scan berhasil memprediksi benar lokasi asal tumor
pada 8 subjek dengan menemukan hiperostosis ataupun dengan mempelajari arah
tumbuh tumor yang sentrifugal. Dua subjek lainnya diprediksi benar tetapi kurang
atau under estimated (lebih kurang dibandingkan lokasi asal tumor pada penemuan
saat operasi). Hiperostosis lokal yang ditemukan bervariasi, lamanya gejala dan
lokasi mukosa dekat pada kepadatan tulang memiliki hiperostosis yang luas hingga
menyerupai plak atau akar (gambar 5.1). Jika tidak ditemukan hiperostosis yang
spesifik, penilaian dilakukan dengan mempelajari perluasan tumor secara
sentrifugal, dengan memprediksi bahwa daerah tengah tumor dapat merupakan
daerah asal. Tujuh dari sembilan subjek memiliki tanda hiperostosis yang khas
dapat dinilai dengan CT-scan. Pada dua subjek yang tidak memiliki gambaran
hiperostosis, salah satu terbukti memiliki lokasi tumor pada fontanel posterior yang
tidak bertulang, namun prediksi lokasi tumor berhasil dinilai dari mempelajari arah
pertumbuhan tumor ke arah sinus maksila dan kavum nasi dan melebarkan daerah
fontanel posterior. Subjek lainnya yang tidak memiliki tanda khas hiperostosis
adalah adanya erosi tulang luas, yaitu subjek PI yang pasca operatif ditemukan
sinkronus dengan karsinoma.
Pada penelitian ini, lokasi asal tumor terbanyak ditemukan pada dinding lateral
kavum nasi (n= 4). Dinding lateral kavum nasi yang terdapat tulang terjadi osteitis
sehingga menyebabkan hiperostosis, tumor meluas ke arah medial kavum nasi dan
mendesak secara sentrifugal hingga terjadi pelengkungan (bowing) septum dan
dinding medial sinus maksila. Pada tumor yang berasal dari fontanel (n= 1), tumor
menyebar ke arah kavum nasi dan ke dalam sinus maksila. Pada kasus ini tidak
ditemukan hiperostosis pada CT-scan, namun ditemukan gambaran CCP dengan
pusat pada daerah dinding lateral.
Universitas Indonesia
68
ataupun jaringan fibrosis, namun tidak memberi gambaran spesifik lokasi asal
tumor (gambar 5.2). Gambaran SCF memang tidak selalu ada pada PI, tetapi pada
penelitian ini ditemukan pada 5 subjek. Teknik prediksi lokasi asal tumor PI
sinonasal diperkenalkan oleh Iimura37, menurutnya gambaran SCF tidak selalu ada
pada setiap PI sinonasal, namun jika ada merupakan indikator yang bermakna untuk
menjadi prediksi lokasi asal tumor. Iimura juga menyebutkan pentingnya
memprediksi asal tumor dengan mempelajari pertumbuhan tumor PI yang
sentrifugal.
Universitas Indonesia
69
Pada penelitian ini, pemeriksaan CT-scan tampak lebih unggul dibandingkan MRI
dalam memprediksi lokasi asal tumor pada 4 subjek (p= 0,046). Dalam
memprediksi lokasi asal tumor, peneliti mendapatkan manfaat yang lebih dalam
memprediksi lokasi asal tumor dengan mencari hiperostosis pada CT-scan
dibandingkan menilai CCP & SCF pada MRI. Gambaran hiperostosis lebih konstan
mewakili lokasi asal tumor, seperti yang disebutkan Lee32 dan Yousuf10 mengenai
tingginya korelasi hiperostosis dengan lokasi asal tumor akibat inflamasi kronik
tumor pada tulang di dasar mukosa, tentu proses inflamasi yang paling lama
merupakan lokasi asal tumor. Meskipun begitu, pada 1 subjek tidak ditemukan
adanya hiperostosis. Pada pasien ini prediksi benar dilakukan dengan melihat
daerah fontanel yang lebih lebar dari biasanya. Pada kasus ini, tidak terjadinya
hiperostosis dapat dianggap karena lokasi asal adalah fontanel yang tidak bertulang.
Tumor yang pasca operasi merupakan salah satu penyulit dalam menemukan
hiperostosis yang bermakna sebagai lokasi asal tumor karena proses inflamasi pasca
operasi dan pemotongan tulang pada operasi sebelumnya menyebabkan
osteogenesis.
Universitas Indonesia
70
Pada penelitian ini, prediksi keterlibatan sinus paranasal dengan menilai sinus
paranasal yang memiliki perselubungan, hal ini menggambarkan massa tumor yang
masuk ke dalam sinus atau merupakan perselubungan atau sinusitis yang terjadi
setelah tumor menutupi ostium sinus paranasal. Pemeriksaan CT-scan memprediksi
keterlibatan sinus paranasal dengan membandingkan densitas perselubungan sinus
dengan bagian tumor di kavum nasi dengan piranti lunak PACS workstation, atau
dengan mengubah WW & WL jaringan lunak agar terlihat perbedaan. Pemeriksaan
MRI membandingkan secara langsung keterlibatan sinus paranasal dengan
intensitas yang tampak pada perbedaan MRI T1-weighted dengan pemberian
kontras dan T2-weighted. Gambaran T1-weighted sama pada tumor dan sinusitis,
namun dengan pemberian kontras maka tumor tampak lebih terang (hiper intens)
dengan bagian sinusitis yang tidak menyala (hipo intens), lihat gambar 5.3.
Pada penelitian ini CT-scan memprediksi lebih baik dari MRI pada 2 pasien,
dengan uji korelasi Wilcoxon tampak tidak ada perbedaan bermakna antara
keduanya dalam membedakan keterlibatan sinus paranasal (p= 0,083). Walaupun
tidak terdapat perbedaan bermakna, peneliti menilai lebih mudah membedakan
tumor, polip, sinusitis, dan jaringan sekitar secara visual dengan menggunakan
MRI, karena secara spesifik MRI dapat membedakan jaringan lunak berdasarkan
perbedaan intensitas yang detil pada jaringan lunak.
Universitas Indonesia
71
massa tumor. Hal ini dapat merupakan penyebab prediksi MRI pada penelitian ini
lebih rendah dibandingkan CT-scan, karena banyaknya prediksi yang lebih (over
estimated) (Tabel 5.1).
Gambar 5.3 Perbedaan gambaran MRI dan CT-scan dalam ketelibatan sinus
paranasal. Pria 28 tahun, pencitraan irisan koronal membedakan mukosil
(anak panah) daerah frontal dengan tumor berdasarkan (A) MRI T2-
weighted, (B) MRI T1-weighted dengan kontras dan (C) CT-scan. Wanita 48
tahun, pencitraan irisan koronal membedakan sinusitis (anak panah) dengan
tumor berdasarkan (D) MRI T2-weighted, (E) MRI T1-weighted dengan
kontras dan (F) CT-scan.
Universitas Indonesia
72
Gambar 5.4 Perbedaan prediksi stadium tumor PI pada CT-scan dan MRI
pada subjek 6. Gambaran batas tumor dengan sinusitis (anak panah) pada
MRI (kiri) dan CT-scan (kanan).
Pada subjek keenam, CT-scan berhasil memprediksi stadium tumor lebih tepat.
Walaupun gambaran CT-scan lebih homogen dibandingkan memprediksi stadium,
tampak kontras mewarnai bagian medial dinding sinus maksila, gambaran tulang
pada daerah ostium juga tampak lebih lebar dengan komponen hiperostosis pada
prosesus unsinatus terdorong ke medial. Pada gambar MRI tampak gambaran hiper
intens berbatas tegas pada dinding medial sinus medial sehingga tampak seperti
sinus maksila terisolasi oleh tumor di luar dinding sinus.
Universitas Indonesia
73
Pada penelitian ini, penilaian CT-scan dapat memprediksi benar lokasi asal tumor
pada 10 subjek, keterlibatan sinus paranasal pada 9 subjek, serta prediksi stadium
tumor pada 10 subjek. Sham19 menyebutkan dalam penelitiannya, bahwa CT-scan
memiliki nilai duga positif 100% dalam prediksi asal tumor dengan menemukan
adanya hiperostosis. Pada penelitian ini, peneliti berhasil menemukan 8 dari 10
pasien dengan hiperostosis seluruhnya menunjukkan akurasi dalam menentukan
lokasi asal tumor.
Universitas Indonesia
74
asal tumor dengan menemukan hiperostosis, karena secara klinis untuk mencegah
rekurensi dari tumor PI perlu dilakukan reseksi bersih pada daerah asal tumor. 10, 32
Persiapan operasi merupakan hal yang paling penting dalam alur tata laksana
operasi. Operasi akan berjalan lancar dengan komplikasi minimal dengan persiapan
yang baik. Pembedahan tumor PI dengan endoskopi merupakan salah satu operasi
THT yang rumit. Operator harus dapat bekerja dalam ruang sempit dengan
menggunakan tangan kiri memegang endoskopi dan tangan kanan melakukan
berbagai tindakan. Perlu adanya kerja sama yang baik antara operator dan asisten
yang juga berperan sebagai operator kedua untuk melakukan teknik 4 tangan (four
hands technique), maka dari itu perlu pengaturan lapangan operasi serta teknik
yang sesuai.
Selain merencanakan proses operasi secara baik, perlu juga dilakukan pemeriksaan
menyeluruh termasuk persiapan perlu atau tidaknya transfusi untuk pasien. Habib58
menyebutkan bahwa penatalaksanaan bedah endoskopi pada pasien PI jarang sekali
memerlukan transfusi darah. Pada penelitiannya, Habib menyebutkan bahwa tumor
stadium Krouse 1 hingga 3 tidak memerlukan transfusi, sedangkan tumor stadium
Krouse 4 biasanya terdapat kehilangan darah yang lebih banyak sehingga
memerlukan transfusi pasca operasi (p< 0,05).
Universitas Indonesia
75
Navigation panel unit Karl Storz merupakan perangkat NPU yang menggunakan
kamera optik sebagai sensor, tidak perlu dilakukan prosedur CT-scan khusus
dengan penandaan. Data CT-scan pasien yang sesuai dengan kondisi pasien dapat
langsung digunakan. Dengan adanya sistem navigasi pada saat operasi, operator
Universitas Indonesia
76
Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
77
78
6.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
81
Universitas Indonesia
82
Universitas Indonesia
83
43. Thaler ER, Lanza DC, Tufano RP, Cunning DM, Kennedy DW. Inverted
Papilloma: an endoscopic approach. Operative Techniques in Otolaryngology
- Head and Neck Surgery. 1999;10(2):87-94.
44. Liu X-W, Sun J-W. The Role of Endoscopic Surgery in the Treatment of
Nasal Inverted Papilloma. Otolaryngology. 2012;2(3):1-3.
45. Zheng CQ, Sun BB, Liu Y, Wang DH. Management of sinonasal inverted
papilloma: endoscopic excision vs traditional procedures. Chinese Journal of
otolaryngology head and neck surgery. 2005;40(4):283-6.
46. Nicolai P, Tomenzoli D, Lombardi D, Maroldi R. Different endoscopic
options in the treatment of inverted papilloma. Operative Techniques in
Otolaryngology. 2006;17:80-6.
47. Yoon B-N, Batra PS, Citardi MJ, Roh H-J. Frontal sinus inverted papilloma:
Surgical strategy based on the site of attachment. Am J Rhinol Allergy.
2009;23:337-41.
48. Jeon TY, Kim H-J, Choi JY, Lee IH, Kim ST, Jeon P, et al. 18F-FDG PET/CT
findings of sinonasal inverted papilloma with or without coexistent
malignancy: comparison with MR imaging findings in eight patients.
Neuroradiology. 2009;51:265-71.
49. Allegra E, Cristofaro MG, Cascini LG, Lombardo N, Tamburrini O, Garozzo
A. 18FDG Uptake in Sinonasal Inverted Papilloma Detected by Positron
Emission Tomography/Computed Tomography. The ScientificWorld
Journal. 2012;2012:1-4.
50. Wassef SN, Batra PS, Barnett S. Skull Base Inverted Papilloma: A
Comprehensive Review. ISRN Surgery. 2012;2012.
51. Singhal SK, Gupta AK, Panda N, Mann SBS, Das A. Inverted Papilloma--An
Analysis of 30 Cases. IJO & HNS. 1998;50(1):76-80.
52. Pasquini E, Sciarretta V, Farneti G, Modugno GC, Ceroni AR. Inverted
Papilloma: Report of 89 Cases. Am J Otolaryngol. 2004;25:178-85.
53. Saha SN, Ghosh A, Sen S, Chandra S, Biswas D. Inverted Papilloma: A
Clinico-Pathological Dilemma with Special Reference to Recurrence and
Malignant Transformation. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2010;64(4):354-9.
Universitas Indonesia
84
Universitas Indonesia
Lampiran 1. Keterangan lulus kaji etik
85
Lampiran 2. Penjelasan penelitian kepada pasien
Bapak/Ibu/Saudara/Saudari,
Tumor papiloma inverted adalah jenis tumor jinak hidung, tetapi sering kambuh.
Walaupun tumor ini merupakan tumor jinak, tumor ini dapat meluas ke jaringan
sekitarnya seperti mata, telinga, otak, dll. Tumor ini juga bisa berubah menjadi
ganas (kanker). Kekambuhan yang terjadi dipengaruhi oleh jenis sel-sel tumor,
faktor risiko, serta pembersihan sel-sel tumor saat operasi. Yang dianggap
merupakan faktor risiko dari tumor papiloma inverted adalah faktor alergi,
merokok, sinusitis, infeksi oleh human papilloma virus (HPV), dll.
Saat ini Departemen THT-KL FKUI/RSCM divisi Rinologi dan Onkologi sedang
melakukan penelitian mengenai perbandingan data CT-scan, MRI dibandingkan
dengan kondisi saat operasi pada tumor papiloma inverted. Operasi akan dilakukan
oleh Dr. dr. Retno S. Wardani, Sp.THT-KL dan dr. Marlinda Adham, Sp.THT-KL,
merupakan dokter spesialis THT-KL yang telah berpengalaman di bidang THT
selama lebih dari 10 tahun, sedangkan saya sebagai peneliti akan bertindak sebagai
asisten operator.
86
87
Peneliti,
Dr. Ashadi Budi
Departemen THT-KL FKUI / RS. Dr. RS Cipto Mangunkusumo
Telepon: 08158009191
Universitas Indonesia
Lampiran 3. Surat persetujuan mengikuti penelitian
Dengan ini saya menyatakan bahwa saya telah membaca lembar informasi penelitian. Saya
telah mendapat penjelasan mengenai penelitian ini dan semua pertanyaan saya telah
dijawab oleh dokter. Dengan menandatangani formulir ini, saya dengan sukarela dalam
keadaan sadar dan tanpa paksaan menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian sesuai
prosedur yang telah ditentukan.
Nama :
Tanggal lahir :
Jakarta,............................2013
Jam .......................................
88
Lampiran 4. Status Penelitian
STATUS PENELITIAN
II. Anamnesis
a. Hidung tersumbat:
6. Tidak ada (0)
7. Kanan atau kiri (1)
8. Kedua hidung (2)
b. Lama keluhan
Tidak ada (0)
< 3 bulan (1)
3 bulan – 1 tahun (2)
> 1tahun (3)
c. Pilek terus menerus >3 bulan:
Tidak ada (0)
Ada (1)
d. Warna Ingus
Tidak ada (0)
Bening (1)
Putih (2)
Berwarna kuning/hijau (3)
e. Mimisan:
Tidak ada (0)
Ada (1)
f. Sakit kepala terus menerus/berulang >3 bulan:
Tidak ada (0)
Ada (1)
g. Merokok:
Tidak pernah (0)
Pernah merokok (1)
Perokok aktif (2)
89
90
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Dummy table
91
92
Lokasi
Unilateral
Bilateral
Histologi
Sel skuamosa
Transisional
Silindrik
Universitas Indonesia
93
Tabel 4. Perbandingan kesesuaian penilaian prediksi perlekatan tumor pada CT-scan dan
MRI dibandingkan dengan baku emas
Universitas Indonesia
94
Tabel 6. Perbandingan kesesuaian penetapan stadium tumor sistem Krouse pada CT-scan
dan MRI dibandingkan dengan baku emas
Tabel 7. Analisis data uji kesesuaian penilaian lokasi asal tumor pada CT-scan dan MRI
POMRI
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Sesuai
POCT
Tidak sesuai
Jumlah
Tabel 8. Analisis data uji kesesuaian penilaian keterlibatan sinus paranasal pada CT-scan
dan MRI
POMRI
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Sesuai
POCT
Tidak sesuai
Jumlah
Universitas Indonesia
95
Tabel 9. Analisis data uji kesesuaian penetapan stadium pada CT-scan dan MRI
POMRI
Sesuai Tidak sesuai Jumlah
Sesuai
POCT
Tidak sesuai
Jumlah
Universitas Indonesia
Lampiran 6. Tabel Induk
Tabel Karakteristik subjek penelitian
Hidung tersumbat
Ggn penghidu
Jenis kelamin
Sakit Kepala
Perdarahan
permukaan
Karsinoma
Pilek >3bl
Papiloma
Merokok
Mimisan
Pangkal
Nama
uni/bil
Ingus
Usia
No
1 RW 0 50 1 2 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 2 0
2 (R) MT 1 28 0 3 1 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 2 0
3 CS 1 42 1 2 1 1 1 1 0 0 1 0 1 0 0 2 0
4 AN 0 48 1 2 1 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0
5 MR 1 32 2 3 1 1 0 1 2 0 0 0 1 0 0 2 1
6 HT 0 53 1 2 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0
7 TH 1 28 1 2 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 0
8 AJ 1 78 1 1 1 0 0 1 1 0 2 1 1 0 0 2 0
9 (R) CM 1 40 2 3 1 1 1 1 2 0 2 1 0 0 0 2 1
10 YT 0 22 1 3 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0
Keterangan
(R) : Tumor rekuren Bersin pagi >1 bl : 0= Tidak ada, 1= ada
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria Ggn penghidu : 0= Tidak ada, 1= hiposmia, 2= anosmia
Hidung tersumbat : 0= Tidak ada, 1= Unilateral, 2= Bilateral Uni/bilateral : 0= Unilateral, 1= bilateral
Lama keluhan : 0= Tidak ada, 1= <3 bulan, 2= 3 bulan – 1 tahun, Permukaan : 0= Licin, 1= berbenjol-benjol
3= >1 tahun Perdarahan : 0= Tidak mudah berdarah, 1= mudah berdarah
Pilek >3bulan : 0= Tidak ada, 1= ada Pangkal : 0= Tidak tampak, 1= tampak
Ingus : 0= Tidak ada, 1= bening/putih, 2= kuning/hijau Papiloma : 1= inverted, 2= inverted & eksofitik, 3= onkotik
Mimisan : 0= Tidak ada, 1= ada Karsinoma : 0= Tidak ada, 1= mitosis, 2= karsinoma
96 Universitas Indonesia
97
Jenis kelamin
Nama Sinus Skor Lokasi asal
Stadium
Usia
No
Max med
Eth Post
Max lain
Sfenoid
Eth Ant
Frontal
KMRI
Lokasi Asal
KCT
Dinding lateral posterior,
1 RW 0 50 0 0 1 1 0 0 3 2 2
Dinding maksila posterior
2 (R) MT 1 28 Lamina papirasea, frontal 1 0 0 0 0 1 4 2 1
3 CS 1 42 Dinding anterior sinus maksila 0 0 1 1 0 0 3 2 2
4 AN 0 48 Lamina papirasea 1 1 1 1 0 1 3 2 2
5 MR 1 32 Konka inferior 0 0 1 1 0 0 4 1 1
6 HT 0 53 Prosesus unsinatus 0 0 1 0 0 0 2 2 2
7 TH 1 28 Dinding lateral kavum nasi 0 0 1 1 0 0 3 2 2
8 AJ 1 78 Konka media 1 1 0 0 0 0 4 1 0
9 (R) CM 1 40 Konka media 1 1 1 1 0 1 4 2 1
10 YT 0 22 Prosesus unsinatus 1 0 1 0 0 0 2 2 1
Keterangan
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria
(R) : Tumor rekuren
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan penemuan saat operasi
KMRI : Kesesuaian MRI dengan penemuan saat operasi
Sinus : 0= Tidak ada, 1= Ada
Skor Lokasi Asal : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai
Universitas Indonesia
98
Jenis kelamin
Nama Sinus Skor Prediksi Sinus
Stadium
Usia
No
Max med
Eth Post
Max lain
Sfenoid
Eth Ant
Frontal
KMRI
Lokasi Asal
CCP
KCT
Dinding lateral posterior, sinus
1 RW 0 50 0 0 1 1 1 0 2 3 1 1
maksila
2 (R) MT 1 28 Etmoid anterior, posterior, frontal 1 1 0 0 0 1 1 4 2 1
Dinding anterior sinus maksila,
3 CS 1 42 0 0 1 1 0 0 2 3 1 1
dinding lateral kavum nasi
4 AN 0 48 Lamina papirasea 1 1 1 1 0 1 2 3 1 1
5 MR 1 32 Konka inferior 1 0 0 0 0 0 1 4 0 0
6 HT 0 53 Prosesus unsinatus 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0
7 TH 1 28 Dinding lateral kavum nasi 0 0 1 1 0 0 2 3 1 1
8 AJ 1 78 Kavum nasi 1 1 0 0 0 0 1 4 1 1
9 (R) CM 1 40 Konka media, frontal 1 1 1 1 0 1 2 4 2 2
10 YT 0 22 Dinding lateral kavum nasi 0 0 1 0 0 0 1 2 2 1
Keterangan
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria
(R) : Tumor rekuren
KCT : Kesesuaian CT-scan dengan penemuan saat operasi
KMRI : Kesesuaian MRI dengan penemuan saat operasi
Sinus : 0= Tidak ada, 1= Ada
Skor prediksi sinus : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai
CCP : 0= Tidak ada CCP & SCF, 1= Hanya CCP, 2= Tampak CCP & SCF
Universitas Indonesia
99
Jenis kelamin
Sinus
Nama
Stadium
Usia
No
Max med
Eth Post
Max lain
Sfenoid
Eth Ant
Frontal
Lokasi Asal
Keterangan
Jenis kelamin : 0= Wanita, 1= Pria
(R) : Tumor rekuren
Sinus : 0= Tidak ada, 1= Ada
Skor : 0= Tidak sesuai, 1= Sesuai sebagian, 2= Sesuai
Universitas Indonesia