Anda di halaman 1dari 158

TESIS AKHIR

HUBUNGAN GAMBARAN ELEKTROENSEFALOGRAFI


INTERIKTAL TERHADAP RESPONS TERAPI
ANTIEPILEPSI PADA PENDERITA EPILEPSI

OLEH
MUHAMMAD TAUFIQ REGIA ARNAZ
137112008

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


HUBUNGAN GAMBARAN ELEKTROENSEFALOGRAFI
INTERIKTAL TERHADAP RESPONS TERAPI ANTIEPILEPSI
PADA PENDERITA EPILEPSI

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Dokter Spesialis

Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD TAUFIQ REGIA ARNAZ


NIM 137112008

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

HUBUNGAN GAMBARAN ELEKTROENSEFALOGRAFI


INTERIKTAL TERHADAP RESPONS TERAPI ANTIEPILEPSI
PADA PENDERITA EPILEPSI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 30 Januari 2020

Muhammad Taufiq Regia Arnaz

ii

Universitas Sumatera Utara


iii

Universitas Sumatera Utara


iv

Universitas Sumatera Utara


Diuji pada
Tanggal 30 Januari 2020

PANITIA TESIS

1. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)


2. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
3. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) (Pembimbing I)
4. Dr.dr. KikingRitarwan, MKT, Sp.S(K)
5. Prof.Dr.dr. Aldy S. Rambe, Sp.S (K)
6. Dr. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K)
7. Dr. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S (K) (Penguji I)
8. Dr. dr. Cut Aria Arina, Sp.S
9. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S(K)
10. dr. Alfansuri Kadri, Sp.S(K) (Penguji II)
11. dr. Aida Fithrie, Sp.S (K)
12. dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked (Neu), Sp.S (Penguji III)
13. dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked (Neu),Sp.S
14. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (Neu), Sp.S (K)
15. dr. Iskandar Nasution, SpS, FINS (K)
16. dr. RAD. Pujiastuti, M.Ked (Neu), Sp.S
17. dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu), Sp.S (Pembimbing II)
18. dr. M. Yusuf, Sp.S, FINS

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas
segala berkat, rahmat dan kasihNya yang telah memberikan kesempatan
untuk menyelesaikan penulisan tesis akhir ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program
Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan
dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada
penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
/ Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang dengan
sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
3. Alm. Prof. dr. Darulkutni Nasution Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
/ Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang dengan
sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan
mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan
penyelesaian tesis ini.
4. Dr. dr. Khairul P. Surbakti Sp.S(K), Ketua Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang banyak
memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.

vi

Universitas Sumatera Utara


5. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K), Ketua Program Studi Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis
melakukan penelitian dan saat tesis ini selesai disusun yang banyak
memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
6. dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K) dan dr. Chairil Amin Batubara, M.Ked (Neu),
Sp.S selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah
mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai
dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
7. Guru-guru penulis: Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K); Alm. Prof. dr.
Darulkutni Nasution, Sp.S (K); dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; dr. Yuneldi
Anwar,Sp.S(K); Prof.Dr.dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K); Dr.dr. Kiking
Ritarwan, MKT, Sp.S(K); Dr. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K); Dr. dr.
Khairul P. Surbakti, Sp.S(K); Dr.dr.Cut Aria Arina Sp.S; dr.Kiki
M.Iqbal,Sp.S (K); dr. Alfansuri Kadri Sp.S (K) ; dr. Aida Fithrie, Sp.S(K);
dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked (Neu), Sp.S;dr.Haflin Soraya
Hutagalung,M.Ked (Neu),Sp.S; dr.Fasihah Irfani Fitri, M.Ked (Neu), Sp.S
(K) ; dr. Iskandar Nasution, Sp.S,FINS (K) ; dr. RAD Pujiastuti, M.Ked
(Neu), Sp.S; dr.M.Yusuf, Sp.S, FINS; dan guru lainnya yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan
selama mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.
8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga
penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.
9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang
telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi
dengan penulis dalam pembuatan tesis ini.
10. Rekan - rekan sejawat peserta PPDS Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik Medan, yang banyak memberi masukan berharga kepada

vii

Universitas Sumatera Utara


penulis dan memberi dorongan semangat kepada penulis menyelesaikan
Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.
11. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis ini,
serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program
Pendidikan Dokter Spesialis ini.
12. Semua pasien yang berobat ke Departemen Neurologi Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Medan yang telah bersedia
berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan
kepada kedua orang tua saya, Ir. H. Aswanyah Noerdin, M.Sc dan Ir. Hj.
Zani Arni, yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang,
dan senantiasa memberi dukungan moril dan materi, bimbingan dan
nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam
mengikuti pendidikan ini sampai selesai.
14. Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi
dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan
pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
15. Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya sebutkan
satu persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan
terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa
melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya penulis
mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.

viii

Universitas Sumatera Utara


Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua jasa dan budi baik
mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-
cita penulis.Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 30 Januari 2020

dr. Muhammad Taufiq Regia Arnaz

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : dr. Muhammad Taufiq Regia Arnaz


Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / Tgl Lahir : Dolok Merangir/ 9 Desember 1987
Agama : Islam
Pekerjaan : Dokter
Alamat : Komplek TASBI I Blok OO no. 24,Medan
Telepon : 082168009974

Riwayat Pendidikan :
SD : SD N 2 Dolok Ulu Kecamatan : Tapian Dolok Tamat tahun : 1999
SMP : SLTP Taman Asuhan Kota : Pematang Siantar Tamat tahun : 2002
SLTA : SMA Negeri 2 Kota : Pematang Siantar Tamat tahun : 2005
S-1 : FK USU Kota : Medan Tamat tahun : 2011
S-2 : FK USU Kota : Medan Tamat tahun : 2019

Riwayat Pekerjaan:
Tahun 2012-2014 : Dokter Umum di Klinik Avicenna dan Rumah Sakit
Islam Malahayati Medan.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR………………………………………………........... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP…………………………………………… ... x
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. xi
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………… xiv
DAFTAR LAMBANG……………………………………………………… xv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….. xvi
DAFTAR TABEL................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………… xix
ABSTRAK.......................................................................................... xx
ABSTRACT......................................................................................... xxi
BAB I. PENDAHULUAN....................................................................... 1
I.1. Latar Belakang……………………………………………….. 1
I.2 Perumusan Masalah………………………………………… 7
I.3. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 7
I.1.1. Tujuan Umum………………………………………….. 7
I.1.2. Tujuan Khusus…………………………………………. 7
I.4. Hipotesis………………………………………………………. 7
I.5. Manfaat Penelitian…………………………………………… 7
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian………………… 7
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan………. 8
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat………………. 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 9
II.1. EPILEPSI………………………………………………............ 9
II.1.1. Definisi…………………………………………………. 9
II.1.2. Epidemiologi…………………………………………… 9
II.1.3. Klasifikasi…………………………………………... 11
II.1.4. Etiologi………………………………………………. 18
II.1.5. Patofisiologi………………………………………… 19
II.1.6. Diagnosis…………………………………………….... 23
II.2. OBAT ANTIEPILEPSI……………………………............... 28
II.3. ELEKTROENSEFALOGRAFI………………………........... 31
II.3.1. Prinsip Dasar Elektroensefalografi……………… 31
II.3.1.1.Prinsip Mesin EEG …………………… 33
II.3.1.2. Polaritas………………………….............. 33
II.3.2. Penempatan Elektroda………………………… 33
II.3.3. Montage………………………................................ 36
II.3.3.1.Montage Referensial ………………… 37
II.3.3.2.Montage Bipolar………………………….... 37
II.3.4. Artefak…………………………………..................... 38
II.3.4.1.Artefak Fisiologis ……………………… 39
II.3.4.2.Artefak Non-Fisiologis………………........... 45
II.3.5. Prosedur Perekaman EEG……………………… 48

xi

Universitas Sumatera Utara


II.3.5.1.Hiperventilasi …………………………… 49
II.3.5.2.Stimulasi Fotik………………................ 51
II.3.5.3.Deprivasi Tidur………………............... 51
II.3.6. Brain Rhythms……………………………................. 52
II.3.6.1.Gelombang Alfa ……………………… 53
II.3.6.2.Gelombang Beta………………................ 54
II.3.6.3.Gelombang Teta………………................ 55
II.3.6.4.Gelombang Delta……………………………… 55
II.3.7. Aktivitas Patologis…………………………………. 56
II.3.8. Gambaran EEG Pada Epilepsi……………………… 58
II.3.6.1.Gambaran EEG Pada
Epilepsi Terkait Lokalisasi……………… 61
II.3.6.2.Gambaran EEG Pada
Epilepsi Umum……………….......................... 69
II.3.9. Quantitative EEG…………………………………. 77
II.3.10. Hubungan Gambaran EEG
Terhadap Terapi Antiepilepsi…………………… 80
II.3.11.Hubungan Gambaran EEG terhadap
Respon Terapi Antiepilepsi……………………… 86
II.4. KERANGKA TEORI……………………………………… 90
II.5. KERANGKA KONSEP……………………………………… 91
BAB III. METODE PENELITIAN…………………………………………... 92
III.1. Tempat dan Waktu……………………………………………. 92
III.2. Subjek Penelitian……………………………………………… 92
III.2.1. Populasi Sasaran……………………………………… 92
III.2.2. Populasi Terjangkau………………………………….. 92
III.2.3. Besar Sampel………………………………………….. 92
III.2.4. Kriteria Inklusi………………………………………….. 93
III.2.5. Kriteria Eksklusi……………………………………….. 94
III.3. Batasan Operasional………………………………………….. 94
III.4. Rancangan Penelitian................................................... 97
III.5. Pelaksanaan Penelitian……………………………………… 98
III.5.1. Instrumen……………………………………………….. 98
III.5.2. Pengambilan Sampel………………………………… 98
III.5.3. Kerangka Operasional………………………… . 100
III.5.4. Variabel yang Diamati…………………………… 101
III.5.5. Analisa Statistik…………………………………… 101
III.5.6. Jadwal Penelitian…………………………………… 101
III.5.7. Biaya Penelitian…………………………………… 102
III.5.8. Personalia Penelitian……………………………… 102
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................ 103
IV.1. HASIL PENELITIAN……………………………………… 103
IV.1.1. Karakteristik Demografi dan Klinis
Subjek Penelitian………………………………....... 103
IV.1.2. Perbedaan Gambaran EEG Sebelum dan
Sesudah Terapi Antiepilepsi……………………… 105

xii

Universitas Sumatera Utara


IV.1.3. Hubungan Gambaran EEG Interiktal
Terhadap Jenis Terapi……………………………... 106
IV.1.4. Hubungan Gambaran Elektroensefalografi
Interiktal Terhadap Respons Terapi Antiepilepsi
Pada Penderita Epilepsi………………………… 107
IV.2. PEMBAHASAN ……………………………………....... 107
IV.2.1. Karakteristik Demografi dan Klinis
Subjek Penelitian………………………………… 108
IV.1.2. Perbedaan Gambaran EEG Sebelum dan
Sesudah Terapi Antiepilepsi……………………… 112
IV.2.3. Hubungan Gambaran EEG Interiktal
Terhadap Jenis Terapi…………………………….. 113
IV.2.4. Hubungan Gambaran Elektroensefalografi
Interiktal Terhadap Respons Terapi Antiepilepsi
Pada Penderita Epilepsi………………………….... 116
IV.2.5.Keterbatasan Penelitian……………………………. 121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 122
V.1. Kesimpulan……………………………………………….. 122
V.2. Saran………………………………………….................... 122
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 124
LAMPIRAN

xiii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

AMPA : Amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxasole propionic acid


BECTS : Benign epilepsy with centrotemporal spikes
BETS : Benign Epileptiform Transient of Sleep
BRE : Benign rolandic epilepsy
BSSS : Benign Sporadic Sleep Spikes
DNET : Dysembryoplastic neuroepithelial tumor
EAA : Excitatory amino acid
EEG : Elektroensefalografi
EKG : Elektrokardiografi
EMG : Elektromiografi
GABA : Gamma Amino Butyric Acid
ICU : Intensive Care Unit
IED : Interictal Epileptiform Discharges
iGluRs : Reseptor Inotropik Glutamat
ILAE : International League Againts Epilepsy
IPSP : Inhibitory postsinaptic potential
LGS : Lennox-gastaut syndrome
MRS : Magnetic Resonance Spectroscopy
NMDA : N-Methyl-D-Aspartate
OAE : Obat antiepilepsi
OIRDA : Occipital intermittent rhythmic delta activity
PED : Periodic epileptiform discharge
PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
PET : Positron Emission Tomography
POKDI : Kelompok Studi
POSTS : Postive occipital sharp transients of sleep
PSW : Polyspikes Sharp Wave
QEEG : Quantitative EEG
REM : Rapid eye movement
RS : Rumah Sakit
SPECT : Singel Photon Emission Computed Tomography
SPSS : Statistical Product and Science Service
SSS : Small Sharp Spikes
TIRDA : Temporal intermittent rhythmic delta activity
WHO : World Health Organization

xiv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMBANG

% : Persen
µV2 :
Mikrovolt
Hz : Hert
n : Besar sampel
p : Tingkat kemaknaan
P0 : Proporsi penderita epillepsi di RSUP HAM 2018
Pa-P0 : Selisih proporsi yang bermakna
Pa : Perkiraan penurunan prevalensi yang ditetapkan
peneliti
Zα : Nilai baku normal berdasarkan nilai α (0,05) yang
telah ditentukan 1,96
Zβ : Nilai baku berdasarkan nilai β (0,10) yang ditentukan
oleh peneliti 1,282
α : Alpha
β : Beta

xv

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Klasifikasi Tipe Bangkitan ILAE 2017


(Basic Version) 11
Gambar 2.2. Klasifikasi Tipe Bangkitan ILAE 2017
(Expanded Version) 13
Gambar 2.3. (A) Gelombang Defleksi Kebawah
Menunjukkan Muatan Positif
(B) Gelombang Defleksi Keatas Menunjukkan
Muatan Negatif 34
Gambar 2.4. Lokasi Penempatan elektroda 37
Gambar 2.5 (a) Montage Referensial (b) Montage Bipolar 39
Gambar 2.6. Artefak Kedipan Mata. 40
Gambar 2.7. Artefak Saat Membuka Mata 41
Gambar 2.8 .Artefak Gerakan Bola Mata Lateral. 42
Gambar 2.9. Artefak Elektromiografi 43
Gambar 2.10. Artefak Glossokinetik 44
Gambar 2.11. Artefak Pembuluh Darah Arteri Temporalis Pada F7. 45
Gambar 2.12. Artefak Elektroda Lepas 46
Gambar 2.13. Artefak 60 Hz Pada P4 dan T4 47
Gambar 2.14. EEG Saat Hiperventilasi 50
Gambar 2.15. EEG Saat Stimulasi Fotik di P3-O1, P4-O2,
T5-O1, dan T6-O2. 52
Gambar 2.16. Gelombang Alfa 10 Hz. 53
Gambar 2.17. Gelombang Beta dan Breech Rhythm
Terutama Maksimal Pada T4 54
Gambar 2.18. Gelombang Teta Di Frontosentral. 56
Gambar 2.19. Gelombang Delta Di Mid Temporal 57
Gambar 2.20. (a) Spike wave (b) Polyspike wave 58
Gambar 2.21. Sharp wave. 59
Gambar 2.22. Gambaran EEG Interiktal Pada Epilepsi
Terkait Lokalisasi 60
Gambar 2.23. Gambaran EEG pada Benign Epilepsy
With Centrotemporal Spike 63
Gambar 2.24. Gambaran EEG Interiktal pada Epilepsi Lobus Temporal 64
Gambar 2.25. Gambaran EEG Iktal Pada Epilepsi Lobus Temporal.
(A). Average referential montage.
(B). Longitudinal bipolar montage 65
Gambar 2.26. Gambaran EEG Iktal pada Epilepsi Lobus Temporal
pada longitudinal bipolar montage 67
Gambar 2.27. Gambaran EEG Interiktal pada Epilepsi Lobus Frontal 68
Gambar 2.28. Gambaran EEG Iktal pada Epilepsi Lobus Oksipital 69
Gambar 2.29. Gambaran EEG Interiktal pada Epilepsi Tipe Absans 70
Gambar 2.30. OIRDA pada anak-anak dalam

xvi

Universitas Sumatera Utara


longitudinal bipolar montage 71
Gambar 2.31. Gambaran EEG pada Epilepsi Tipe Absans
pada saat hiperventilasi 72
Gambar 2.32. Gambaran EEG Iktal pada Juvenile Myoclonic Epilepsy 73
Gambar 2.33. Gambaran EEG Iktal pada Epilepsi Umum Tonik-Klonik. 74
Gambar 2.34. Gambaran EEG Interiktal pada
Lennox-Gastaut Syndrome 75
Gambar 2.35. Gambaran EEG Iktal pada Lennox-Gastaut Syndrome 76
Gambar 2.36. Gambaran EEG Interiktal pada West Syndrome 77
Gambar 2.37. Brain Maps Pada Anak dan Dewasa
Saat Mata Tertutup Pada Kondisi Awal Istirahat 81
Gambar 2.38. Perubahan Alpha Power Pada Pasien Epilepsi 88

xvii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Obat Antiepilepsi dan Dosis Pemberian Obat 32


Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian 104
Tabel 4.2. Karakteristik Klinis Subjek Penelitian 105
Tabel 4.3. Perbedaan Gambaran EEG Sebelum dan Sesudah Terapi 106
Tabel 4.4. Hubungan Gambaran Elektroensefalografi Interiktal Terhadap
Jenis Terapi 106
Tabel 4.4. Hubungan Gambaran Elektroensefalografi Interiktal Terhadap
Respons Terapi Antiepilepsi Pada Penderita Epilepsi 107

xviii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK


PENELITIAN
LAMPIRAN 2 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
LAMPIRAN 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA
LAMPIRAN 4 CATATAN HARIAN SERANGAN KEJANG EPILEPSI
LAMPIRAN 5 DATA HASIL PENELITIAN

xix

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Latar Belakang :Pemberian terapi antiepilepsi merupakan terapi utama pada


epilepsi dan diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya bangkitan
ulangan setelah bangkitan pertama. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi
pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami bangkitan ulangan,yaitu
gambaran elektroensefalografi (EEG) yang abnormal dan adanya gangguan
neurologis seperti retardasi mental, cerebral palsy dan defisit neurologis.
Tujuan :Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
gambaran EEG interiktal terhadap respons terapi antiepilepsi pada penderita
epilepsi.
Metode : Dua puluh lima penderita epilepsi yang telah ditegakkan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) yang berobat jalan di poliklinik neurologi RSUP
Haji Adam Malik Medan diikutkan kedalam penelitian ini, setelah itu diberikan
terapi antiepilepsi sesuai dengan tipe bangkitan yang dialami. Kemudian
pasien diberikan catatan harian tentang bangkitan epilepsi untuk menilai
frekuensi bangkitan setelah diberikan antiepilepsi dan 1 bulan kemudian
pasien dilakukan pemeriksaan EEG ulang untuk melihat rekaman EEG
setelah diberikan terapi antiepilepsi dan rekaman EEG kemudian dinilai
secara kualitatif.
Hasil :Dengan Uji Fisher Exact didapati hubungan yang signifikan antara
gambaran EEG interiktal terhadap respons terapi antiepilepsi (p < 0,001),
didapatkan pula hubungan yang tidak signifikan antara gambaran EEG
interiktal dengan jenis terapi antiepilepsi yang diberikan ( p = 0,222).
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang signifikan antara gambaran EEG
interiktal terhadap respons terapi antiepilepsi pada penderita epilepsi.
Kata kunci : Epilepsi, Respons Terapi, Gambaran EEG Interiktal

xx

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Backgrounds:Antiepileptic drugs is the main therapy for epilepsy in order to


prevent recurrent seizures. There are two risk factors that affecting one’s
tendency to experience recurrent seizures, consists of an abnormal
electroencephalography (EEG) and neurologic condition such as mental
retardation, cerebral palsy and neurological deficit.
Aim: This research aimed to discover a relationship between interictal EEG
findings towards antiepileptic therapy response in epilepsy.
Method:Twenty five epileptic outpatients diagnosed by history taking,
physical examination, neurological examination, and EEG in Neurology Clinic
of Haji Adam Malik General Hospital Medan was included, and were
administered antiepileptic therapy according to individual type of epilepsy.
Along the course those patients were asked to note every seizure in daily
basis to assess the frequency of recurrent seizure after therapy. After a
month, those patients were reassessed with EEG to be analyzed
qualitatively.
Results : Fisher Exact Test has found significant relationship between
interictal EEG to antiepileptic therapy response ( p < 0.001), while there were
no significant relationship between interictal EEG to the types of antiepileptic
therapy that had been given ( p = 0.222).
Conclusion :There are significant relationship between interictal EEG to
antiepileptic therapy response in epilepsy patients.
Keywords : Epilepsy, therapy response, interictal EEG

xxi

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua yang

ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta

mortalitas. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2012, diduga

terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di seluruh dunia. Populasi

epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol, atau yang

memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 per 10.000

penduduk setiap tahunnya, di negara berkembang diperkirakan 6 hingga

10 per 10,000 penduduk (Octaviana dan Khosama, 2014).

Epilepsi secara tradisional dianggap sebagai penyakit pada usia

muda, terutama menyerang bayi, anak-anak dan remaja. Namun, saat ini

epilepsi dikenali sebagai kelainan umum yang juga dapat terjadi pada usia

yang lebih tua dan juga lansia. Dalam populasi tersebut, epilepsi

merupakan penyakit neurologis ketiga yang paling umum terjadi, setelah

penyakit serebrovaskular dan demensia. Saat ini, karena epilepsi juga

dapat mengenai usia tua, epilepsi menjadi masalah kesehatan

masyarakat yang penting (Chong and D’Souza, 2013).

Pada sebagian besar kasus, penyebab epilepsi masih belum

teridentifikasi. Hanya 30 % kasus penyebab epilepsi yang diketahui,

penyebab yang paling umum adalah stroke (9,3 %), trauma (8,8 %),

Universitas Sumatera Utara


2

pemakaian alkohol (5,8 %), penyakit neurodegenratif (4 %) dan infeksi

(2,2 %) ( Lukasiuk and Pitkanen, 2012).

Angka prevalensi dan insidensi epilepsi di indonesia belum

diketahui secara pasti. Hasil penelitian Kelompok Studi Epilepsi

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (POKDI Epilepsi

PERDOSSI) di beberapa rumah sakit (RS) di 5 pulau besar di indonesia

pada tahun 2013 mendapatkan 2.288 penyandang epilepsi dengan 21,3

% merupakan pasien baru. Rerata usia pasien adalah usia produktif

dengan etiologi epilepsi tersering adalah cedera kepala, infeksi susunan

saraf pusat (SSP), stroke dan tumor otak. Riwayat bangkitan demam

didapatkan pada 29 % pasien. Sebagian besar (83,17 %) adalah epilepsi

parsial dengan aura yang tersering adalah sensasi epigastrium dan gejala

autonom (60,1 %) (Octaviana dkk, 2017).

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis,dimana

berdasarkan riwayat pasien dan saksi yang melihat bangkitan pasien dan

juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan

penunjang seperti elektroensefalografi (EEG). Gambaran EEG yang

abnormal memperkuat dugaan diagnosis dengan pola EEG yang spesifik,

baik gambaran fokal atau adanya generalized spikes atau spike and wave

discharges, yang berhubungan dengan terjadinya bangkitan (Oster et al,

2012).

Pemberian terapi antiepilepsi merupakan terapi utama pada

epilepsi dan diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya

Universitas Sumatera Utara


3

bangkitan ulangan setelah bangkitan pertama. Dimana pada beberapa

penelitian, risiko untuk terjadinya bangkitan ulangan pada semua

kelompok usia sebesar 46 %. Terdapat dua faktor yang dapat

membedakan pasien dengan risiko rendah dan pasien dengan risiko tinggi

untuk mengalami bangkitan ulangan, yaitu gambaran EEG yang abnormal

dan adanya gangguan neurologis seperti retardasi mental, cerebral palsy

dan defisit neurologis. Gambaran EEG yang normal dan tidak adanya

gangguan neurologis memiliki risiko untuk mengalami bangkitan ulangan

sebesar 24 % dibandingkan dengan pasien dengan gambaran EEG

abnormal dan adanya gangguan neurologis memiliki risiko yang lebih

tinggi untuk mengalami bangkitan ulangan yaitu sebesar 65 %. Bangkitan

parsial berhubungan dengan meningkatknya risiko untuk mengalami

bangkitan ulangan, tetapi temuan tersebut tidak konsisten pada beberapa

penelitian yang lain. Berdasarkan hasil tersebut, mayoritas pasien dengan

bangkitan pertama memiliki risiko kurang dari 50 % untuk mengalami

bangkitan ulangan jika memiliki gambaran EEG normal dan tidak ada

defisit neurologis (Swisher and Radtke, 2016).

Pemberian obat antiepilepsi merupakan terapi yang efektif pada

penderita epilepsi, meskipun begitu banyak faktor yang dapat

mempengaruhi outcome bangkitan, termasuk penyebabnya, usia saat

mengalami bangkitan, durasi bangkitan dan jumlah bangkitan sebelum

diberikan terapi. Namun saat ini belum ada biomarker yang dapat

menentukan efektivitas obat antiepilepsi pada penderita epilepsi. oleh

Universitas Sumatera Utara


4

karena itu, penyesuaian pemberian obat antiepilepsi didasarkan pada

pengalaman klinis dalam menangani epilepsi (Ouyang et al, 2017).

Pada masa lampau, dokter spesialis saraf menginterpretasikan

hasil EEG melalui inspeksi visual. Walaupun penilaian EEG secara

kuantitatif lebih sering digunakan untuk tujuan penelitian pada pasien

epilepsi, saat ini, pada praktik klinis, sebagian besar dokter spesialis saraf

masih menganalisa data EEG dengan mata telanjang. Pada beberapa

sindrom epilepsi, analisis visual dari background aktivitas EEG masih

dideskripsikan sebagai gambaran yang normal. Akan tetapi, background

EEG menunjukkan perbedaan yang signifikan pada gambaran EEG yang

dianalisis melalui komputer. Sebagai contoh, Santiago-Rodriguez

melaporkan bahwa pasien dengan juvenile myoclonic epilepsy mengalami

peningkatan yang mutlak pada power dari irama alfa, delta, dan beta

dibandingkan dengan EEG pada subjek yang sehat. Penelitian lain yang

menilai EEG secara kuantitatif setelah menggunakan obat antiepilepsi

menunjukkan bahwa pemakaian karbamazepin menyebabkan

peningkatan power dari irama teta dan penurunan frekuensi rerata irama

alfa. Pemakaian okskarbazepin menyebabkan penurunan frekuensi rerata

irama alfa. Pemakaian asam valproat dan lamotrigine tidak menurunkan

frekuensi rerata irama alfa, tetapi menurunkan broadband power

gelombang tersebut. Peningkatan power irama theta yang mutlak

berhubungan dengan efek sedatif atau akibat neurotoksisitas. Dengan

demikian, analisis EEG secara kuantitatif merupakan suatu alat yang

Universitas Sumatera Utara


5

berguna untuk mengevaluasi background aktivitas EEG (Ouyang et al,

2017)

Irama alfa pada manusia merupakan sinyal EEG yang berosilasi

yang cenderung tampak pada rekaman occipital selama kondisi santai

dan sadar dengan mata tertutup. Pentingnya irama alfa ditandai dengan

adanya perubahan irama tersebut pada beberapa penyakit neurologi,

dimana khasnya irama alfa melambat dan kehilangan karakteristik

perubahan gradien anterior ke posterior yang biasanya sepadan dengan

keparahan klinis dan oleh karena itu sangat berguna untuk memantau

disfungsi neurologis (Abela et al, 2018).

Karena perubahan irama alfa telah dilaporkan pada berbagai

sindrom epilepsi yang berbeda-beda, mereka mungkin hanya temuan

sampingan penyakit yang tidak spesifik. Atau, mereka dapat ditunjuk

sebagai substrat neurobiologis yang dapat membangkitkan bangkitan.

Meskipun ini mungkin tampak berlawanan dengan intuisi, mengingat

banyaknya penyebab dan mutasi genetik yang dapat mengakibatkan

bangkitan, banyak penelitian neuroimaging sekarang ini mendukung

gagasan bahwa mekanisme icto dan epileptogenik akhirnya menyatu

pada sekumpulan jaringan saraf yang besar, dimana thalamus dan

korteks frontal dan parietal memainkan peran penting, bahkan jika mereka

tidak memiliki fokus bangkitan. Oleh karena itu, perubahan irama alfa

dapat mencerminkan dinamika kondisi istirahat yang patologis pada

Universitas Sumatera Utara


6

jaringan inti ini, dan kecenderungannya untuk mengakibatkan timbulnya

bangkitan (Abela et al, 2018).

Pada penelitian di Italia yang melibatkan 21 penderita epilepsi

untuk melihat perubahan gambaran EEG dengan menghitung jumlah total

gelombang epileptiform yang dilakukan selama 24 jam pada saat sebelum

dan sesudah diberikan terapi antiepilepsi, didapatkan bahwa dari 11

pasien yang bebas bangkitan, hanya 1 pasien yang tidak muncul

gelombang epileptiform selama 24 jam pemeriksaan, 8 pasien

menunjukkan penurunan jumlah gelombang epileptiform dibandingkan

sebelum terapi, 2 pasien menunjukkan peningkatan jumlah gelombang

epileptiform dan durasi gelombang yang meningkat. Mereka

menyimpulkan bahwa modifikasi gambaran epileptiform pada EEG tidak

selalu berhubungan dengan kesan klinis (Pro dkk, 2008).

Tinjauan sistemik dari 6 penelitian mengenai efek antiepilepsi

terhadap gelombang epileptiform yang dilakukan oleh Gunawan dkk pada

tahun 2019 melaporkan bahwa ada kecenderungan obat antiepilepsi

untuk menurunkan densitas, frekuensi, dan durasi dari gelombang

epileptiform pada penderita epilepsi. Lebih jauh, mereka menemukan bukti

bahwa penurunan gelombang epileptiform akibat pemakaian obat

antiepilepsi berhubungan dengan kontrol bangkitan yang membaik dan

fungsi kognitif yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


7

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti apakah

terdapat hubungan gambaran EEG interiktal terhadap respons terapi

antiepilepsi pada penderita epilepsi.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti

yang telah dirumuskan di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagaimana hubungan gambaran EEG interiktal terhadap respons

terapi antiepilepsi pada penderita epilepsi?.

I.3. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan :

I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan gambaran EEG interiktal terhadap

respons terapi antiepilepsi pada penderita epilepsi

I.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan gambaran EEG interiktal terhadap

respons terapi antiepilepsi pada penderita epilepsi di Rumah Sakit

Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Untuk mengetahui hubungan

gambaran EEG interiktal sesudah pemberian terapi antiepilepsi

terhadap jenis terapi.

2. Untuk mengetahui hubungan gambaran EEG interiktal terhadap

jenis terapi yang diberikan pada penderita epilepsi,

Universitas Sumatera Utara


8

3. Untuk mengetahui perbedaan gambaran EEG interiktal sebelum

dan sesudah diberikan terapi antiepilepsi.

4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi dan klinis

penderita epilepsi yang diberikan terapi antiepilepsi.

I.4. HIPOTESIS

Ada hubungan gambaran EEG interiktal terhadap respons terapi

antiepilepsi pada penderita epilepsi.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Peneliti

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian selanjutnya

mengenai hubungan gambaran EEG interiktal terhadap respons terapi

antiepilepsi pada penderita epilepsi.

I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah keilmuan kepada para

dokter dalam penanganan epilepsi dan menambah pemahaman para

dokter akan pentingnya EEG interiktal dalam menilai respons penderita

epilepsi terhadap terapi antiepilepsi yang diberikan.

I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui manfaat pemeriksaan EEG interiktal

untuk menilai respons penderita epilepsi terhadap terapi antiepilepsi yang

diberikan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup

penderita epilepsi.

Universitas Sumatera Utara


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. EPILEPSI

II.1.1. Definisi

Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan

kondisi/gejala berikut (Fisher et al, 2014):

 Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan

refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua

lebih dari 24 jam.

 Suatu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan

kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun

kedepan sama dengan (minimal 60%), bila terdapat 2 bangkitan

tanpa provokasi / bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama

yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama

pada anak yang diserta lesi struktural dan epileptiform discharge).

 Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh

faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik,

somatosensitif, dan somatomotor.

II.1.2. Epidemiologi

Prevalensi epilepsi seumur hidup bervariasi diantara negara-negara

mulai dari 1,5-14 per 1000. Perbedaan hasil penelitian diakibatkan

Universitas Sumatera Utara


10

perbedaan metode dan tipe pertanyaan. (Mac dkk, 2007). Nilai median

prevalensi seumur hidup diperkirakan sebesar 6 per 1000, yang nilai

median ini lebih rendah jika dibandingkan pada negara-negara

berkembang di dunia seperti 15 per 1000 di Afrika Sub-Sahara dan 18 per

1000 di Amerika Latin (Preux and Druet-cabanac, 2005).

Epilepsi secara global diperkirakan 2,4 juta orang tiap tahun.

Negara-negara yang memiliki tingkat pendapatan penduduk yang tinggi,

kasus baru epilepsi antara 30-50/100.000 orang pada populasi umum.

Negara-negara berpendapatan rendah sampai sedang, jumlah kasus baru

epilepsi meningkat dua kali lipat. Hampir 80% penderita epilepsi hidup di

negara berkembang (WHO, 2017)

Prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun

terakhir) di negara maju adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedangkan di negara

berkembang di pedalaman 12,7/1000 (3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-

10,2). Lebih dari separuh dari 50 juta orang dengan epilepsi di seluruh

dunia diperkirakan tinggal di Asia (Ngugi et al, 2010).

Prevalensi epilepsi yang bangkitan dalam lima tahun sebelumnya

di Asia Tenggara, tercatat di Laos pada tahun 2006 sebesar 7,7 per 1000

dan di Vietnam pada tahun 2005 sebesar 10,7 per 1000. Pada tahun 2002

di Thailand, prevalensi epilepsi sebesar 7,2 per 1000 (Asawavichienjinda

et al, 2002).

Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju

diperkirakan sekitar >0,9%. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat

Universitas Sumatera Utara


11

1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi

pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi

berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki

sedikit lebih tinggi daripada wanita (Octaviana dan Khosama, 2014).

II.1.3. Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against

Epilepsy (ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi jenis

bangkitan versi dasar dan klasifikasi jenis bangkitan versi expanded/

penjabarannya (Fisher et al, 2017)

Klasifikasi ILAE 2017 untuk tipe bangkitan epilepsi.

Gambar 2.1. Klasifikasi Tipe Bangkitan ILAE 2017 (Basic Version)


Dikutip dari: Fisher, R.S., Cross, J.H., D’Souza, C., French, J.A., Haut. S.R.,
Higurashi, N., et al. 2017. Instruction manual for the ILAE 2017 operational
classification of seizure types. Epilepsia. 58 : 531-542.

Universitas Sumatera Utara


12

Klasifikasi jenis bangkitan versi dasar terbagi menjadi 3 yaitu :

1. Onset fokal, Sadar atau dengan gangguan kesadaran.

- Onset motorik atau nonmotorik

- Fokal menjadi tonik-klonik bilateral

2. Onset umum

- Motorik

 Tonik-klonik

 Motorik lainnya

- Nonmotorik (absans)

3. Onset tidak diketahui

- Motorik

o Tonik-klonik

o Motorik lainnya

- Nonmotorik

- Tidak dapat diklasifikasikan

Klasifikasi jenis bangkitan versi expanded/ penjabarannya terbagi

menjadi 3 yaitu :

1. Onset fokal, didefenisikan sebagai bangkitan yang terbatas pada satu

hemisfer otak, terlokalisir secara lokal atau terdistribusi lebih luas.

bangkitan fokal dapat berasal dari jaringan subkortikal.

- Sadar atau dengan gangguan kesadaran.

Universitas Sumatera Utara


13

- Kesadaran (Awareness) : Pengetahuan tentang diri atau

lingkungan. Kesadaran (Consciousness) : Keadaan pikiran

dengan aspek subjektif dan obyektif, terdiri dari perasaan bahwa

diri sebagai entitas unik, kesadaran, responsif, dan ingatan.

Gambar 2.2. Klasifikasi Tipe Bangkitan ILAE 2017 (Expanded Version)


Dikutip dari: Fisher, R.S., Cross, J.H., D’Souza, C., French, J.A., Haut. S.R.,
Higurashi, N., et al. 2017. Instruction manual for the ILAE 2017 operational
classification of seizure types. Epilepsia. 58 : 531-542.

Gangguan kesadaran (awareness) : Gangguan atau kehilangan

kesadaran adalah salah satu bentuk bangkitan fokal dengan

Universitas Sumatera Utara


14

gangguan kesadaran, dulunya disebut bangkitan parsial

kompleks.

- Onset motorik : Melibatkan otot dalam bentuk apapun. Kejadian

motor bisa terdiri dari peningkatan (positif) atau penurunan

(negatif) pada kontraksi otot untuk menghasilkan gerakan

o Automatism : Aktivitas motorik yang terkoordinasi kurang lebih

biasanya terjadi saat terjadi gangguan kognisi dan dimana

subjek biasanya (tidak selalu) amnesia sesudahnya. Ini sering

menyerupai gerakan volunter dan mungkin terdiri dari aktivitas

motor preiktal berkelanjutan yang tidak tepat.

o Atonik : Hilangnya tiba-tiba atau berkurangnya tonus otot tanpa

terlihat sebelumnya mioklonik atau tonik yang berlangsung ~ 1-

2 detik, melibatkan kepala, tubuh, rahang, atau otot anggota

badan.

o Klonik : Sentakan, baik simetris atau asimetris, yang berulang

secara teratur dan melibatkan kelompok otot yang sama.

o Epileptic spasms : Ekspresi fleksi, ekstensi, atau campuran

ekstensi-fleksi secara tiba-tiba pada sebagian besar proksimal

dan Otot trunkus yang biasanya lebih bertahan daripada

gerakan mioklonik tetapi tidak seperti bangkitan tonik yang

berkelanjutan. Bentuk terbatas mungkin muncul: Merintih,

menganggukan kepala, atau gerakan halus pada mata.

Spasme epileptik sering terjadi pada kelompok. Spasme infantil

Universitas Sumatera Utara


15

adalah bentuk yang paling dikenal, tetapi spasme bisa terjadi

pada semua kelompok usia.

o Hiperkinetik

o Mioklonik : Kontraksi otot atau sekelompok otot secara tiba-tiba,

singkat (<100 milidetik) dari berbagai variabel topografi (aksial,

ekstremitas proksimal, distal). Mioklonus berulang secara tidak

teratur dan tidak terus-menerus jika dibandingkan dengan

klonus.

o Tonik : Peningkatan kontraksi otot secara terus-menerus yang

berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit.

- Onset nonmotorik : Jenis bangkitan fokal atau umum dimana

aktivitas motorik tidak menonjol.

 Autonomik : Berbagai perubahan fungsi sistem saraf otonom

yang melibatkan fungsi kardiovaskular, pupil, gastrointestinal,

sudomotor, vasomotor, dan thermoregulatory.

 Behavior arrest/ perilaku terhenti : Terhentinya (jeda) aktivitas,

membeku, imobilisasi, seperti pada bangkitan perilaku terhenti.

 Kognitif : Berkaitan dengan pemikiran dan fungsi kortikal yang

lebih tinggi, seperti bahasa, persepsi spatial, memori, dan

praksis. Istilah sebelumnya untuk penggunaan serupa pada

jenis bangkitan adalah psikis.

 Emosional : Tampilan bangkitan dengan emosi atau

penampilan yang emosional sebagai tanda awal yang

Universitas Sumatera Utara


16

menonjol, seperti rasa takut, sukacita yang spontan atau

euforia, tertawa (gelastis), atau menangis (dacrystic).

 Sensori : Pengalaman perseptual yang tidak disebabkan oleh

rangsangan eksternal yang tepat.

- Fokal menjadi tonik-klonik bilateral : menggantikan istilah

terdahulunya "secondarily generalized tonic-clonic." Jenis

bangkitan dengan onset fokal, dengan kesadaran atau gangguan

kesadaran, baik motor maupun non-motor, berkembang menjadi

aktivitas tonik-klonik bilateral.

2. Onset umum

- Motorik

 Tonik-klonik

 Klonik

 Tonik

 Mioklonik

 Mioklonik-tonik-klonik : Satu atau beberapa sentakan tungkai

anggota tubuh secara bilateral, diikuti dengan bangkitan tonik-

klonik. Sentak awal dapat dianggap sebagai periode singkat

dari klonik atau mioklonik. Bangkitan dengan karakteristik ini

umumnya terjadi pada epilepsi mioklonik remaja.

 Mioklonik-atonik : Jenis bangkitan umum yang diawali dengan

sentakan gerakan mioklonik yang mengarah ke komponen

motorik atonik. Jenis ini dahulunya disebut myoclonic-astatic.

Universitas Sumatera Utara


17

 Atonik

 Epileptic spasms

- Nonmotorik (absans) : Bangkitan absence didefinisikan dengan

onset bangkitan umum.

 Tipikal : Onset yang tiba-tiba, gangguan aktivitas yang sedang

berlangsung, tatapan kosong, deviasi mata yang singkat ke

arah atas. Biasanya pasien tidak responsif saat diajak bicara.

Durasi selama beberapa detik sampai setengah menit dengan

pemulihan yang sangat cepat. Meski tidak selalu tersedia,

sebuah EEG akan menunjukkan pelepasan epileptiform secara

umum selama acara berlangsung. Kata ini tidak bersinonim

dengan melamun, yang juga dapat dijumpai pada onset

bangkitan fokal.

 Atipikal : Bangkitan Absence dengan perubahan tonus atau

penghentian yang mendadak, sering berhubungan dengan

kelambanan, tidak teratur, aktivitas umum spike-wave.

 Mioklonik

 Eyelid myoclonia : Sentakan pada kelopak mata dengan

frekuensi minimal 3 kali per detik, umumnya deviasi mata

mengarah ke atas, berlangsung <10 detik, sering tampak saat

mata ditutup. Mungkin ada atau tidak hilangnya kesadaran

secara singkat.

3. Onset tidak diketahui

Universitas Sumatera Utara


18

- Motorik

o Tonik-klonik

o Epileptic spasms

- Nonmotorik

 Behavior arrest

- Tidak dapat diklasifikasikan

II.1.4. Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut

: (Kusumastuti dkk, 2014)

1. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.

Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya

berhubungan dengan usia.

2. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum

diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-

Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan

ensefalopati difus.

3. Simtomatis : bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi

struktural pada otak, misalnya ; cedera kepala, infeksi susunan saraf

pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi desak ruang (tumor), gangguan

peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan

neurodegeneratif.

Universitas Sumatera Utara


19

II.1.5. Patofisiologi

Patofisiologi berdasarkan mekanisme eksitasi. Patofisiologi

epilepsi berdasarkan mekanisme imbalans eksitasi dan inhibisi. Aktivitas

bangkitan sangat dipengaruhi oleh perubahan eksitabilitas sel-sel saraf

dan hubungan antar sel-sel saraf. Bangkitan dapat dipicu oleh eksitasi

ataupun inhibisi pada sel saraf. Glutamat yang dilepaskan dari terminal

presinaps akan berikatan dengan reseptor glutamat yang disebut reseptor

inotropik glutamat (iGluRs) yang memiliki beberapa sub tipe yaitu NMDA

(N-methyl-D-aspartate) dan non-NMDA (kainate dan amino-3-hydroxy-5-

methyl-isoxasole propionic acid atau AMPA) (Moshe dkk, 2015).

Ikatan glutamat dengan reseptor non-NMDA akan menghasilkan

neurotransmisi eksitasi tipe cepat yang disebut excitatory postsynaptic

potential (EPSP). Sementara itu, ikatan glutamat dengan reseptor NMDA

akan menghasilkan tipe EPSP yang lebih lambat (Moshe dkk, 2015).

Aktivitas glutamat pada reseptornya AMPA dan NMDA dapat

memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh

pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke

intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas pada

membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini

penting dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel saraf. Depolarisasi

berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi

menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus menerus dan memicu

aktivitas sel-sel saraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan

Universitas Sumatera Utara


20

cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3

Hidroksi 5 Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor

NMDA (N-methil D-aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya

dapat memicu masuknya ion-ion Na+ dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat

menyebabkan terjadinya potensial aksi (Moshe dkk, 2015).

Patofisiologi berdasarkan mekanisme inhibisi. Neurotransmitter

inhibisi primer pada otak adalah Gamma Amino Butyric Acid (GABA).

Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang dilepaskan akan berikatan

dengan reseptor GABA dan menyebabkan masuknya ion Cl - ke dalam sel

neuron. Masuknya ion Cl- ini akan meningkatkan muatan negatif dalam

neuron postsinaps dan mengakibatkan hiperpolarisasi, perubahan pada

potensial membran ini disebut inhibitory postsinaptic potential (IPSP).

Reseptor GABA terletak pada terminal presinaptik dan membran

postsinaptik. Jika diaktifkan oleh GABA presinaptik maupun postsinaptik

maka reseptor GABA akan menyebabkan IPSP. Inhibitory postsinaptic

potential (IPSP) berperan dalam menurunkan cetusan elektrik sel saraf.

Penurunan komponen sistem GABA-IPSP ini akan mengakibatkan eksitasi

dan mencetuskan epilepsi (Moshe dkk, 2015).

Patofisiologi berdasarkan mekanisme sinkronisasi. Epilepsi

dapat diakibatkan oleh gangguan sinkronisasi sel-sel saraf berupa

hipersinkronisasi. Hipersinkronisasi terjadi akibat keterlibatan sejumlah

besar neuron yang berdekatan dan menghasilkan cetusan elektrik yang

abnormal. Potensial aksi yang terjadi pada satu sel neuron akan

Universitas Sumatera Utara


21

disebarkan ke neuron-neuron lain yang berdekatan dan pada akhirnya

akan terjadi bangkitan elektrik yang berlebihan dan bersifat berulang

(Moshe dkk, 2015).

Patofisiologi berdasarkan mekanisme iktogenesis. Mekanisme

iktogenesis terjadi akibat perubahan plastisitas seluler dan sinaps serta

akibat perubahan pada lingkungan ekstraseluler. Mekanisme iktogenesis

diawali dengan adanya sel-sel neuron abnormal yang mempengaruhi

neuron-neuron sekitarnya dan membentuk suatu critical mass, yang

bertanggung jawab dalam mekanisme epilepsi. Sampai saat ini teori

tentang iktogenesis ini masih diperdebatkan (Moshe dkk, 2015)

Eksitabilitas merupakan kunci utama pada mekanisme iktogenesis,

eksitasi dapat berasal dari neuron individual, lingkungan neuronal atau

populasi neuronal. Ketiga penyebab ini berinteraksi satu sama lain selama

satu episode iktal tertentu (Moshe dkk, 2015)

Patofisiologi berdasarkan mekanisme epileptogenesis.

Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber di otak, yang dapat

diakibatkan trauma otak, anoksia, iskemia dan neurotoksin. Sumber

pencetus bangkitan epilepsi di otak tersebut dinamakan fokus

epileptogenik, yang berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di

otak dan memiliki lepas muatan listrik yang berlebihan sehingga

mengalami hipersinkronisasi (Scharfman, 2007).

Patofisiologi berdasarkan mekanisme peralihan interiktal-iktal.

Mekanisme yang memproduksi sinyal, sinkronisitas dan penyebaran

Universitas Sumatera Utara


22

aktivitas sel saraf termasuk kedalam teori transisi interiktal-iktal. Dari

berbagai penelitian, mekanisme transisi ini tidak berdiri sendiri melainkan

hasil dari beberapa interaksi mekanisme yang berbeda. Terdapat dua teori

mengenai transisi interiktal-iktal, yaitu mekanisme nonsinaptik dan

sinaptik. Pada nonsinaptik adanya aktivitas iktal-interiktal yang berulang

menyebabkan peningkatan kalium ekstrasel sehingga eksitabilitas neuron

meningkat. Aktivitas pompa Na-K sangat berperan dalam mengatur

eksitabilitas neuronal. Hipoksia atau iskemia dapat menyebabkan

kegagalan pompa Na-K sehingga meningkatkan transisi interiktal-iktal.

Gangguan sinkronisasi juga berperan penting pada transisi interiktal-iktal

(Scharfman, 2007).

Teori sinaptik ini menyebutkan bahwa penurunan efektivitas

mekanisme inhibisi sinaps ataupun peningkatan aktivitas eksitasi sinaps

dapat mencetuskan epilepsi (Moshe dkk, 2015).

Patofisiologi berdasarkan mekanisme neurokimiawi.

Mekanisme epilepsi sangat dipengaruhi oleh keadaan neurokimia pada

sel-sel saraf, misalnya sifat neurotransmiter yang dilepaskan, ataupun

adanya faktor tertentu yang menyebabkan gangguan keseimbangan

neurokimia seperti pemakaian obat-obatan. Selain GABA dan glutamat

yang merupakan neurotransmiter penting dalam epilepsi, terdapat

beberapa produk kimiawi lain yang juga ikut berperan seperti misalnya

golongan opioid yang dapat menyebabkan inhibisi interneuron, ataupun

katekolamin yang dapat menurunkan ambang bangkitan. Selain itu

Universitas Sumatera Utara


23

gangguan elektrolit akibat kegagalan pengaturan pompa ionik juga ikut

mencetuskan serangan epilepsi. Beberapa zat kimia terbukti dapat

memicu terjadinya epilepsi, yaitu alumina hydroxide gel yang

menyebabkan degenerasi neuron, kematian neuron dan penurunan

aktivitas GABAergik, pilokapin yang menyebabkan pembengkakan pada

dendrit, soma dan astrosit, dan pada tahap akhir menyebabkan kematian

sel. Asam kainat terbukti dapat menginduksi bangkitan dengan cara

memacu reseptor EAA (excitatory amino acid) (Moshe dkk, 2015).

Patofisiologi berdasarkan mekanisme imun. Teori mengenai

mekanisme imun masih jarang diperbincangkan dan masih memerlukan

pembuktian lebih lanjut. Teori ini menyebutkan bahwa reaksi imunologis

atau inflamasi menyebabkan berbagai penyakit neurologis termasuk

epilepsi. Reaksi inflamasi pada sistem saraf pusat merupakan akibat dari

aktivasi sistem imun adaptif maupun nonadaptif. Penelitian yang

dilakukan pada binatang percobaan memperlihatkan bahwa selama

aktivitas epilepsi terjadi pelepasan mediator inflamasi oleh mikroglia,

astrosit dan neuron (Moshe dkk, 2015).

II.1.6. Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang

didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

(Budikayanti dkk, 2014).

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah

sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


24

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata

mengenai hal-hal terkait dibawah ini:

a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan:

 Sebelum bangkitan/ gajala prodomal

 Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya

bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar,

berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-

lain.

 Selama bangkitan/ iktal:

 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal

bangkitan?

 Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,

gerakan kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi,

gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,

bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,

berkeringat, dan lain-lain. (Akan lebih baik bila keluarga dapat

diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat

bangkitan)

 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya

 Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat

tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.

 Pasca bangkitan/ post- iktal:

Universitas Sumatera Utara


25

 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,

Todd’s paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,

alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang

antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya :

i. Jenis obat antiepilepsi

ii. Dosis OAE

iii. Jadwal minum OAE

iv. Kepatuhan minum OAE

v. Kadar OAE dalam plasma

vi. Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik

maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun

komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh

kembang

h. Riwayat bangkitan neonatal/ bangkitan demam

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik umum

Universitas Sumatera Utara


26

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi,

misalnya:

- Trauma kepala

- Tanda-tanda infeksi

- Kelainan kongenital

- Kecanduan alkohol atau napza

- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)

- Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat

berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit

setelah bangkitan, maka akan tampak pasca bangkitan terutama tanda

fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

- Paresis Todd

- Gangguan kesadaran pascaiktal

- Afasia pasca iktal

3. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada

dugaan suatu bangkitan untuk:

 Membantu menunjang diagnosis

 Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi.

 Membatu menentukan prognosis

Universitas Sumatera Utara


27

 Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.

 Pemeriksaan pencitraan otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi

tinggi (minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif

berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis,

glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic

neuroepithelial tumor), tuberous sclerosiss.

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography

(PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam

memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan

metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan

dengan bangkitan.

Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI

kepala) pada kasus bangkitan adalah bila muncul bangkitan

unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan

neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi

struktural penyebab bangkitan. CT scan kepala lebih ditujukan untuk

kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat.

Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau

dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila

ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi struktural, maka

MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala.

Universitas Sumatera Utara


28

 Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,

hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium,

kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi

hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

 Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam

menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE

 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping

OAE

 Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping

OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.

- Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma

saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis

terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.

II.2. OBAT ANTIEPILEPSI

Pengobatan epilepsi termasuk pengobatan jangka panjang dengan

satu atau dua kombinasi obat. Dengan demikian, untuk menentukan

pemberian obat antiepilepsi harus ahli dalam memilih obat antiepilepsi

(OAE) dan memantau respon terapi pada setiap pasien dari waktu ke

waktu. Obat antiepilepsi menghambat munculnya bangkitan dengan

Universitas Sumatera Utara


29

berbagai interaksi target seluler, dengan mempengaruhi aktivitas

fungsional dari target ini, OAE menekan abnormal aktivitas

hypersynchronous pada sirkuit otak, yang memberikan perlindungan

terhadap bangkitan.20 Pemilihan OAE umumnya berdasakan tipe epilepsi,

risiko terjadinya efek samping dan adanya penyakit komorbid yang lain.

Asam valproat sebagai lini pertama pada tipe epilepsi umum. Namun pada

wanita yang hamil pilihan pertama adalah lamotrigin dosis rendah

(<200mg/hari) atau karbamazepin, karena asam valproat dapat

mengakibatkan teratogenik. Pada pasien dengan tipe epilepsi parsial,

lamotrigin aatau karbamazepin merupakan pilihan pertama yang dapat

diberikan (Perucca, 2005).

Ada sekitar 22 jenis obat antiepilepsi saat ini yang tersedia di

Amerika Serikat. Sebelum tahun 1993, OAE primer adalah fenobarbital,

fenitoin, karbamazepin, dan asam valproat. Sejak tahun 1993, banyak

obat telah tersedia, yang memungkinkan produsen untuk lebih

menyesuaikan farmakoterapi kepada masing-masing pasien. OAE yang

lebih baru disebut sebagai OAE generasi kedua dan ketiga. Sebagian

besar mekanisme yang digunakan OAE sepenuhnya belum dipahami.

Mekanisme utama tindakan untuk OAE melibatkan penurunan eksitasi

neuron dengan memblok kanal natrium dan/atau kalsium atau reseptor

antagonis glutamat. Beberapa obat meningkatkan penghambatan neuron

dengan meningkatkan atau menambahkan γ-aminobutyric acid (GABA)

(Perucca, 2005).

Universitas Sumatera Utara


30

Ada 4 prinsip farmakokinetik yang harus dipertimbangkan ketika

membandingkan dan menggabungkan OAE yaitu: absorbsi, distribusi,

metabolisme dan eliminasi. Absorpsi adalah pergerakan molekul obat dari

usus ke dalam darah untuk diedarkan ke jaringan lain. Absorpsi dijelaskan

oleh Tmax (waktu untuk tingkat puncak darah maksimal) dan Cmax

(konsentrasi maksimal yang diamati) pada studi karakterisasi

farmakokinetik. Parameter ini penting untuk menentukan bioavailabilitas.

Salah satu contoh keterlibatan transporter yang paling relevan secara

klinis pada penyerapan gabapentin, dimana penyerapannya dibatasi oleh

saturasi pengangkutan asam L-amino dengan persentase dosis yang

diserap menurun ketika dosis meningkat. Penyesuaian dalam frekuensi

dan jumlah dosis OAE dapat dibuat, dengan dosis yang lebih kecil

diberikan lebih sering, untuk mengoptimalkan penyerapan, beberapa

transporter usus lainnya, termasuk P-glikoprotein dan anion pengangkut

polipeptida organik, yang mungkin juga memainkan peran dalam interaksi

obat. Setelah obat diabsorbsi kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh.

Distribusi terdiri dari 2 faktor: berapa banyak obat yang terikat dengan

protein dan berapa banyak obat yang didistribusikan ke dalam jaringan.

Jika obat sangat polar, itu terutama akan tetap dalam cairan ekstraseluler.

Jika obat adalah lipofilik, itu akan lebih mungkin mendistribusikan ke

kompartemen jaringan, kemudian obat dimetabolisme. Metabolisme

adalah reaksi enzimatik yang terjadi pada suatu obat ketika tubuh

mendetoksifikasi dirinya sendiri. Mayoritas metabolisme obat terjadi di

Universitas Sumatera Utara


31

hati. Reaksi fase I dikatalisis oleh enzim cytochrome P450 (CYP450) dari

enzim, menghasilkan metabolit teroksidasi, tereduksi, atau terhidroksilasi.

Reaksi fase II menciptakan metabolit polar yang lebih mudah

diekskresikan ke urin atau empedu. Obat awal atau yang sudah

dimetabolisme reaksi fase I dapat menjadi glucuronidated (fase II) untuk

eliminasi. Rata-rata obat-obat yang sudah dimetabolisme akhirnya

dieliminasi dari tubuh melalui ginjal dan keluar dari urin. Fisiologi manusia

berubah selama rentang kehidupan, sehingga farmakokinetik untuk pasien

akan berubah seiring perubahan waktu.

Seiring bertambahnya usia seseorang, peningkatan jaringan lemak

dan penurunan dampak volum sehingga berdampak pada massa tubuh

tanpa lemak. Fungsi ginjal juga menurun seiring bertambahnya usia.

Khususnya pada kehamilan akan mengalami perubahan pada fungsi hati,

dengan efek yang menonjol pada eliminasi OAE yang mungkin

memerlukan perubahan dosis yang signifikan untuk mempertahankan

konsentrasi serum yang efektif dari agen seperti lamotrigin (Perucca,

2005).

II.3. ELEKTROENSEFALOGRAFI

II.3.1. Prinsip Dasar Elektroensefalografi.

Elektroensefalografi adalah salah satu teknik perekaman aktivitas

listrik otak.Elektroensefalografi digunakan untuk berbagai indikasi,

misalnya pada bangkitan epilepsi, bangkitan non epilepsi, dan penurunan

Universitas Sumatera Utara


32

kesadaran.Pada praktek klinis sehari-hari pemeriksaan EEG digunakan

untuk melihat ada tidaknya aktivitas epileptiform dan non epileptiform di

otak (Octaviana, 2018).

Tabel 2.1. Obat Antiepilepsi dan Dosis Pemberian Obat

Dikutip dari: Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J.P., Prasad, S. 2019. Epilepsy
and Other Seizure Disorders. In: Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J.P.,
Prasad, S. Adam’s and Victor’s Principles of Neurology. McGraw Hill. United
States of America. Pp 332-370.

Aktivitas listrik yang terekam pada EEG timbul karena terdapat

muatan listrik pada membran neuron.Potensial listrik yang terbentuk

Universitas Sumatera Utara


33

berasal dari sumasi muatan listrik sekelompok neuron.Neuron yang

berada di korteks yang langsung berhadapan dengan tulang (korteks

superfisial) memberikan kontribusi terbesar terhadap terbetuknya

gelombang EEG.Bentuk dan tinggi gelombang yang terlihat pada layar

EEG merupakan hasil dari perbedaan potensial listrik yang terekam pada

2 elektroda (Octaviana, 2018).

II.3.1.1. Prinsip Mesin EEG

Sistem mesin EEG ada 2 macam yaitu EEG sistem analog dan

digital.Sistem analog digunakan sejak dahulu sedangkan sistem digital

digunakan sejak ditemukannya komputer (Octaviana, 2018)

Elektroensefalografi sistem analog terdiri dari: head box, differential

amplifier, dan filter, sedangkan pada EEG sistem digital diperlukan alat

tambahan yaitu analog-digital converter. Differential amplifier adalah suatu

alat yang mengukur perbedaan muatan (voltage) dari dua input sinyal, jadi

tidak mengukur nilai suatu dari muatan absolute (Octaviana, 2018).

II.3.1.2. Polaritas

Polaritas menunjukkan hasil sumasi 2 elektroda yang berbeda.

Gelombang defleksi keatas menunjukkan polaritas negatif, sedangkan

gelombang defleksi kebawah menunjukkan polaritas positif (gambar 2.3)

(Octaviana, 2018).

II.3.2. Penempatan Elektroda

Elektroda dihubungkan atau ditempelkan ke kulit kepala dengan

perantaraan gel/pasta yang bersifat konduktif. Sedapat mungkin

Universitas Sumatera Utara


34

menggunakan elektroda dengan tipe dan merk yang sama, panjang yang

sama, serta tidak terlilit satu sama lain (Octaviana, 2018)

(A) (B)

Gambar 2.3. (A) Gelombang Defleksi Kebawah Menunjukkan Muatan


Positif(B) Gelombang Defleksi Keatas Menunjukkan Muatan Negatif
Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Localization. In:
Libenson, M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 55-88.

Penempatan elektroda menegikuti standar sistem internasional 10-

20.Pada sistem ini hemisfer kiri ditandai dengan angka ganjil sedangkan

hemisfer kanan ditandai dengan angka genap.Elektroda pada posisi garis

tengah (midline) ditandai dengan huruf ‘z’ (Octaviana, 2018).

Singkatan elektroda adalah:

Fp1, Fp2 : Frontopolar kiri, Frontopolar kanan

Universitas Sumatera Utara


35

F3, F4, Fz : Frontal kiri, Frontal kanan, Frontal midline

C3, C4, Cz : Central kiri, Central kanan, Vertex

P3, P4, Pz : Parietal kiri, Parietal kanan, Parietalmidline

O1, O2 : Oksipital kiri, Oksipital kanan

F7, F8 : Frontal inferior atau temporal depan kiri/kanan

T3, T4 : Temporal tengah kiri, Temporal tengah kanan

A1, A2 : Aurikuler kiri, Aurikuler kanan

T1, T2 : True temporal depan kiri,True temporal depan kanan

II.3.2.1. Teknik Penempatan Elektroda Dengan Sistem Internasional

10-20.

Penempatan elektroda ditentukan berdasarkan pengukuran yang

merupakan batas standar tulang tengkorak.Pengukuran menggunakan

pita ukur dengan lebar < 5 mm. Untuk penanda kulit digunakan pensil

warna yang tidak bersifat toksik pada kulit (Octaviana, 2018).

Sistem 10-20 tersebut membagi tulang tengkorak menjadi tiga

bidang, yaitu sagital, koronal, dan horizontal (Octaviana, 2018).

Elektroda diberi kode sesuai dengan posisinya pada sistem 10-20,

kode pertama menunjukkan lokasi elektroda dan kode kedua

menunjukkan area spesifik dari lokasi penempatan elektroda.Angka yang

digunakan pada sistem ‘10-20’ digunakan untuk membedakan sisi kanan

atau kiri dari penempatan elektroda, yaitu angka ganjil menunjukkan sisi

kiri dan angka genap menunjukkan sisi kanan.Angka yang lebih rendah

Universitas Sumatera Utara


36

menunjukkan lokasi yang lebih ke anterior dan medial.Elektroda pada area

midline diberikan kode ‘z’ (Octaviana, 2018).

Pengukuran bidang sagital dimulai dari nasion (bagian atas hidung)

sampai ke inion (bagian yang menonjol pada pertengahan oksipital).

Pengukuran selanjutnya menentukan 2 bidang lainnya. Setengah (50%)

dari jarak nasion ke inion menjadi tanda verteks. Titik kedua dan ketiga di

atas nasion dan inion, masing-masing 10% dari keseluruhan pengukuran

sagital dan pada sisi yang sebelahnya dengan letak yang sama

(Octaviana, 2018).

Pengukuran koronal dimulai dari titik anterior dari tragus, melintasi

garis tengah pada pengukuran sagital dan pada sisi yang sebelahnya

dengan letak yang sama. Titik potong pada separuh (50%) dari

pengukuran sagital dan koronal merupakan lokasi verteks dan menjadi

elektroda Cz (Octaviana, 2018).

Pengukuran horizontal dimulai dari titik di atas inion yang

merupakan 10% dari keseluruhan pengukuran sagital, melalui titik di atas

tragus yang 10% dari pengukuran koronal dan titik di atas inion 10%.

Kemudian selanjutnya lokasi penempatan elektroda (gambar 2.4)

(Octaviana, 2018).

II.3.3. Montage

Montage adalah kumpulan beberapa sadapan (channel elektroda)

yang mengikuti topografi kortekas sehingga memberikan gambaran

distribusi spasial akivitas EEG (Octaviana, 2018).

Universitas Sumatera Utara


37

Ada beberapa macam montage (gambar 6) yaitu:

II.3.3.1. Montage Referensial

Montage ini menggunakan 1 elektroda sebagai reference.Elektroda

reference adalah elektroda yang dihubungkan dengan semua elektroda

input yang lain. Misal F3-Cz, F4-Cz, P3-Cz; maka elektroda reference

yang digunakan adalah Cz karena semua elektroda di kepala

dihubungkan dengan elektroda Cz (Octaviana, 2018).

Elektroda reference yang dapat digunakan antara lain elektroda

auricular (A1/A2), vertex (Cz), dada (non-cephalic) dan average

(Octaviana, 2018).

Gambar 2.4. Lokasi Penempatan elektroda


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Introduction to Commonly Used Terms in
Electroencephalography. In: Libenson, M. Practical Approach to
Electroencephalography. Saunders Elsevier, Philadelphia. Pp 31-54.

II.3.3.2. Montage Bipolar

Montage bipolar menghubungkan elektroda input 1 dengan

elektroda input 2 yang berbeda-beda. Montage ini mengukur perbedaan 2

muatan yang berbeda (Octaviana, 2018).

Universitas Sumatera Utara


38

II.3.4. Artefak

Artefak adalah aktivitas potensial yang tidak berasal dari potensial

gelombang otak dan dapat mengkontaminasi hasil rekaman EEG.

Operator dan pembaca EEG harus mengetahui bermacam-macam artefak

serta maneuver untuk mengurangi artefak tersebut. Rekaman EEG yang

banyak terkontaminasi oleh artefak akan mempengaruhi interpretasi EEG

(Octaviana, 2018).

Secara garis besar, artefak dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu:

II.3.4.1. Artefak Fisiologis

Artefak berupa potensial serebral yang berasal dalam diri pasien.

Jenis artefak fisiologis antara lain adalah artefak kontraksi

otot/elektromiografi, artefak gerakan bola mata dan kedipan bola mata,

artefak jantung/elektrokardiografi (EKG) dan denyut pembuluh darah,

serta artefak glossokinetik (Octaviana, 2018).

II.3.4.1.1. Artefak Gerakan Mata

Beberapa jenis artefak yang berhubungan dengan gerakan mata

adalah gerakan bola mata vertikal, gerakan menutup mata, kedipan

kelopak mata, gerakan membuka mata, dan gerakan bola mata arah

lateral/horizontal (Octaviana, 2018).

Mata mempunyai dua kutub potensial dimana kornea bermuatan

positif dan retina bermuatan negatif (Octaviana, 2018).

Universitas Sumatera Utara


39

a. Gerakan Bola Mata Vertikal

Saat bola mata melirik ke bawah, maka kornea akan menjauhi

sadapan frontopolar (Fp) dan retina akan bergerak mendekati sadapan

Fp. Sehingga pada sadapan Fp akan terekam potensial negatif (pada

gelombang akan terlihat gelombang defleksi keatas (Octaviana, 2018).

Saat bola mata melirik keatas, maka kornea akan bergerak

mendekati sandapan Fp dan retina bergerak menjauhi sadapan Fp.

Sehingga pada sandapan Fp akan terekam potensial positif (pada

rekaman akan terlihat gelombang defleksi ke bawah (Octaviana, 2018).

(a) (b)

Gambar 2.5. (a) Montage Referensial (b) Montage Bipolar


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Localization. In:
Libenson, M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders
Elsevier. Philadelphia. Pp 55-88.

b. Gerakan Menutup Mata

Saat mata menutup, akan terlihat fenomena Bell yaitu bola mata

deviasi ke atas. Oleh karena itu akan terlihat potensial positif pada

sandapan Fp (sama dengan saat bola mata melirik ke atas). Pada saat

Universitas Sumatera Utara


40

menutup mata, tampak pula amplitudo irama alfa pada latar belakang

akan terlihat lebih tinggi dan lebih jelas (Octaviana, 2018).

c. Kedipan Kelopak Mata

Saat berkedip akan terjadi gerakan kelopak mata menutup dan

langsung diikuti dengan kelopak mata membuka. Sehingga pada

sadapan Fp akan tampak gelombang positif (defleksi ke bawah) yang

langsung diikuti gelombang negatif (defleksi keatas), seperti tampak

pada gambar 2.6 (Octaviana, 2018).

Gambar 2.6. Artefak Kedipan Mata.


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.

Universitas Sumatera Utara


41

d. Gerakan Membuka Mata

Pada saat membuka mata maka pada sadapan Fp akan terlihat

potensial negatif (berlawanan dengan gerakan menutup mata). Pada

saat yang bersamaan amplitudo irama alfa pada latar belakang akan

terlihat lebih rendah seperti yang terlihat pada gambar 2.7 (Octaviana,

2018).

Gambar 9. Artefak Saat Membuka Mata

Dikutip dari: Tatum WO. Normal EEG. Dalam: Tatum WO, Husain AM,

Benbadis SR, Kaplan PW. Handbook of EEG Interpretation.Demos, United

States of America. 2008. h.1-50.

Gambar 2.7. Artefak Saat Membuka Mata


Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

e. Gerakan Bola Mata Lateral

Gerakan bola mata ke lateral akan menyebabkan kornea yang

bermuatan positif mendekati sadapan temporal (F7/F8) arah lirikan,

dan retina yang bermuatan negatif menjauhi sadapan temporal

Universitas Sumatera Utara


42

arah lirikan. Misalnya jika mata melirik ke kiri, maka pada sadapan

F7 akan terlihat gelombang positif dan pada F8 akan terlihat

gelombang negatif. Gerakan lateral mata sering disertai gelombang

spike akibat kontraksi otot rektus lateralis (Octaviana, 2018).

Gambar 2.8. Artefak Gerakan Bola Mata Lateral.


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.

Cara membedakan potensial akibat gerakan mata dengan gerakan

serebral:

 Gelombang lambat hanya terbatas pada elektroda Fp

(Frontopolar) biasanya disebabkan oleh gerakan mata.

 Gelombang lambat frontal biasanya disertai latar belakang yang

lambat (teta atau delta).

 Elektroda mata sebaiknya diletakkan secara spesifik.

 Salah satu cara mengurangi artefak gerakan mata adalah dengan

cara melakukan fiksasi bola mata pasien saat menutup mata.

Universitas Sumatera Utara


43

II.3.4.1.2. Artefak Otot (Elektromiografi)

Artefak elektomiografi (EMG) sering mengkontaminasi rekaman

EEG.Artefak ini misalnya saat pasien tegang sehingga menyebabkan

tonus otot kepala meningkat pada saat gerakan dan saat

bangkitan.Aktifitas EMG sering kali jelas terlihat pada sadapan temporal,

namun dapat juga terlihat pada bagian temporal, namun dapat juga

terlihat dibagian frontal ataupun oksipital.

Gambar 2.9. Artefak Elektromiografi


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.

Sadapan pada daerah midline (Cz, Pz) jarang sekali terdapat

artefak EMG. Artefak EMG terlihat seperti gelombang spike yang

miripgelombang paku pendek dengan frekuensi tinggi sehingga

Universitas Sumatera Utara


44

menyerupai artefak noise. Artefak EMG dapat dikurangi pada tampilan

EEG dengan mengatur high frequency filter (HFF) (Octaviana, 2018).

II.3.4.1.3. Artefak Glossokinetik

Gerakan lidah sering terlihat saat pasien sadar dan sering

disalahartikan sebagai gelombang lambat patologis di frontal. Ujung (tepi)

lidah depan memiliki polarisasi negatif dibandingkan lidah bagian

belakang (Octaviana, 2018).

Gambar 2.10. Artefak Glossokinetik


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.

II.3.4.1.4. Artefak Denyut Pembuluh Darah

Aktifitas denyut pembuluh darah sering terekam pada EEG jika

elektroda ditempatkan diatas pembuluh darah besar yang

Universitas Sumatera Utara


45

berdenyut.Terlihat seperti gelombang lambat atau kompleks QRS yang

bersamaan dengan gelombang elektrokardiogram (EKG). Cara

menghilangkan artefak tersebut adalah dengan cara memindahkan

elektroda sedikit agar tidak tepat diatas pembuluh darah yang berdenyut.

Seringkali artefak ini tampak pada elektroda A1/A2 hingga T5/T6.Artefak

ini terdapat pada individu yang menyerupai struktur lingkar leher yang

lebar dan pendek (Octaviana, 2018).

Gambar 2.11. Artefak Pembuluh Darah Arteri Temporalis Pada F7.


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.

II.3.4.2. Artefak Non-Fisiologis

Artefak non-fisiologis adalah artefak yang berasal bukan dari tubuh

pasien, melainkan dari mesin EEG atau lingkungan sekitar pasien. Artefak

Universitas Sumatera Utara


46

non-fisiologis antara lain artefak elektroda lepas (electrode pop), artefak

60 Hz, artefak mesin, dan artefak sinyal telepon (Octaviana, 2018).

II.3.4.2.1. Artefak Elektroda Lepas (electrode pop)

Artefak ini tampak karena ada perubahan mendadak pada

perlekatan dikulit kepala.Artefak elektoda lepas sangat berhubungan

dengan impedance yang tinggi.Artefak ini terlihat seperti gelombang

epileptiform (Octaviana, 2018).

Gambar 2.12. Artefak Elektroda Lepas


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.

II.3.4.2.2. Artefak 50/60 Hz

Interferensi 60 Hz disebabkan oleh induksi sirkuit elektronik dari

ingkungan sekitar pasien.Artefak ini dapat dikurangi dengan mengatur

Universitas Sumatera Utara


47

notch filter.Di Indonesia sering kali mesin EEG mendapat frekuensi 50 Hz

(Octaviana, 2018).

II.3.4.2.3. Artefak Mesin

Artefak mesin sering dialami pada saat perekaman EEG di

intensif care unit (ICU) yang terdapat mesin penunjang lainnya disekitar

pasien. Artefak ini dapat bersal dari mesin ventilasi, tetesan infus

intravena, atau peralatan monitoring lainnya (Octaviana, 2018).

Gambar 2.13. Artefak 60 Hz Pada P4 dan T4


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson,
M. Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.
II.3.4.2.4. Artefak Lingkungan Sekitar Pasien

Artefak ini berasal dari sinyal telepon genggam, operator yang

sedang berjalan dilingkungan sekitar pasien (Octaviana, 2018).

Universitas Sumatera Utara


48

II.3.5. Prosedur Perekaman EEG

Rekaman EEG yang baik merupakan ujung tombak dalam

menginterpretasikan hasil EEG. Rekaman EEG tersebut dihasilkan melalui

tatacara perekaman yang baik. Berbagai prosedur perekaman telah

dibakukan secara internasional agar terdapat keseragaman dalam

prosedur perekaman EEG sehingga menghasilkan rekaman EEG yang

dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan (Budikayanti, 2018).

Sebelum memulai perekaman EEG, ada beberapa hal yang harus

dipersiapkan.Persiapan yang harus dilakukan meliputi persiapan ruangan,

mesin EEG, pasien, teknik pengukuran dan penempatan elektroda

(Budikayanti, 2018).

Rekaman EEG harus dilakukan dalam ruangan yang terang dan

sejuk sehingga gelombang yang normal dan abnormal dapat muncul.

Persiapan utama pada pasien adalah membersihkan kulit kepala

dengan sampo dan mengeringkan rambut. Ingatkan pasien untuk tidak

memakai minyak rambut ataupun jel rambut (Budikayanti, 2018).

Teknik pengukuran mengacu pada sistem internasional 10-20 untuk

penempatan elektroda. Rekaman rutin dilakukan dalam jangka waktu 20

menit.Semakin lama perekaman memberikan informasi yang lebih banyak.

Waktu minimal 20 menit tersebut sebaiknya terbebas dari artefak.

Prosedur perekaman yang mengikutsertakan metode provokasi dan tidur

malam dalam perekamannya dapat memakan waktu yang lebih panjang

(Budikayanti, 2018)

Universitas Sumatera Utara


49

Pada tiap perekaman harus ada periode buka dan tutup mata.

Prosedur ini merupakan prosedur yang sangat penting untuk dilakukan.

Beberapa gelombang hanya terlihat saat pasien tutup amat, sedangkan

gelombang lain hanya terlihat saat pasien membuka mata. Prosedur ini

sangat mudah diakukan pada pasien yang koopertaif dan tidak kooperatif.

Pada pasien yang tidak kooperatif atau penurunan kesadaran, prosedur ini

dapat dilakukan dengan membuka dan menutup mata pasien secara

manual (Budikayanti, 2018).

Metode provokasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk

meningkatkan kemungkinan terdeteksinya suatu kelainan. Metode yang

sudah dibakukan hiperventilasi, stimulasi fotik dan deprivasi tidur. Tiap

jenis metode provokasi ditujukan untuk memprovokasi tipe epilepsi

tertentu (Budikayanti, 2018).

II.3.5.1. Hiperventilasi

Hiperventilasi merupakan salah satu metode provokasi yang rutin

dilakukan pada tiap perekaman EEG (gambar 15). Hiperventilasi dilakukan

pada awal rekaman dengan cara meminta pasien untuk menarik nafas

dalam dan teratur.Menarik nafas dilakukan melalui hidung dan membuang

nafas melalui mulut. Frekuensi pernafasan yang ingin dicapai adalah rata-

rata 20 kali per menit selama 3 hingga 5 menit, dilakukan melalui hidung

dan membuang nafas melalui mulut. Frekuensi pernafasn yang ingin

dicapai adalah rata-rata 20 kali per menit selama 3 hingga 5 menit

(Budikayanti, 2018).

Universitas Sumatera Utara


50

Respon normal hiperventilasi berupa perlambatan umum pada latar

belakang. Irama alfa diposterior dan irama beta di anterior akan melambat

disertai peningkatan amplitudo secara bertahap pada kedua sisi secara

bersamaan atau terjadi perlambatan bilateral sinkron (Budikayanti, 2018).

Gambar 2.14. EEG Saat Hiperventilasi


Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

Hiperventilasi terutama diterapkan pada pasien epilepsi umum

idiopatik dengan tipe bangkitan umum dan bangkitan lena untuk

Universitas Sumatera Utara


51

mencetuskan aktivitas epileptiform. Hiperventilasi disarankan untuk

dilakukan paling tidak 5 menit (Budikayanti, 2018).

Pada saat dilakukan hiperventilasi, mungkin saja terjadi bangkitan

epileptik. Terutama pada tipe bangkitan lena/absans, pasien terlihat

terdiam beberapa detik dan kemudian melanjutkan menarik nafas lagi.Bila

terjadi bangkitan epileptik maka hiperventilasi harus segera dihentikan

(Budikayanti, 2018)

II.3.5.2. Stimulasi Fotik

Prosedur ini dilakukan pada runagan yang redup dengan

pencahayaan artifisial yang konstan. Stimulasi fotik intermitten ini dapat

dikerjakan 3 menit setelah dilakukan hiperventilasi. Jarak sumber cahaya

dengan nasion pasien adalah 30 cm untuk ukuran cahaya berdiameter 13

cm (Budikayanti, 2018).

Respon normal stimulasi fotik adalah photic driving yang muncul di

oksipital. Pada pasien epilepsi yang sensitif terhadap cahaya dan epilepsi

mioklonik dapat mencetuskan terjadinya bangkitan. Bila terjadi bangkitan,

segera hentikan prosedur perekaman (Budikayanti, 2018).

II.3.5.3. Deprivasi Tidur

Deprivasi tidur meningkatkan terdeteksinya aktivitas epileptiform

pada perekaman EEG sebesar 70-80%. Yang dimaksud dengan deprivasi

tidur adalah mengurang setengah waktu tidur pasien (deprivasi tidur

parsial) dimalam hari atau pasien tidak tidur sama sekali (deprivasi tidur

Universitas Sumatera Utara


52

total). Tujuan dilakukan prosedur ini adalah adalah agar pasien dapat tidur

saat perekaman EEG (Budikayanti, 2018).

Gambar 2.15. EEG Saat Stimulasi Fotik di P3-O1, P4-O2, T5-O1, dan T6-O2.
Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

II.3.6. Brain Rhythms

Gelombang EEG dinyatakan dalam hertz/Hz atau siklus per

detik/spd.Jenisgelombang EEG yaitu alfa (8-13 Hz atau spd), beta (>13

Hz/spd), teta (4 Hz sampai dengan <8Hz/spd) dan delta (<4 Hz/spd)

(Nizmah, 2018).

Amplitudo adalah tinggi gelombang EEG yang diukur dari dasar

gelombang sampai ke puncak gelombang dengan satuan microvolt (µV)

(Nizmah, 2018).

Universitas Sumatera Utara


53

II.3.6.1. Gelombang Alfa

Frekuensi gelombang alfa berkisar 8-13 Hz (gambar 17), muncul

saat bangun, tutup mata dan rileks, dengan distribusi maksimal di daerah

posterior.Merupakan frekuensi irama dasar atau posterior dominant

rhythm (PDR).Regio oksipital merupakan area maksimal alfa pada 65%

orang dewasa dan pada 95% anak-anak.Pada keadaan normal irama alfa

ditemukan simetris bilateral (Nizmah, 2018).

Karakteristik irama alfa adalah biasanya berbentu sinusoid dengan

amplitudo sedang (20-50 µV) (Nizmah, 2018).

Gambar 2.16. Gelombang Alfa 10 Hz.


Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

Universitas Sumatera Utara


54

II.3.6.2. Gelombang Beta

Irama beta memiliki frekuensi >13 Hz. Gelombang ini ditemukan

pada semua kelompok usia dan terlihat jelas saat rileks atau mengantuk.

Distribusinya terutama didaerah sentral dan frontral.Amplitudonya

biasanya rendah (10-20 µV) (gambar 18) (Nizmah, 2018).

Gambar 2.17. Gelombang Beta dan Breech Rhythm Terutama Maksimal


Pada T4.
Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

Irama beta dikatakan abnormal bila ditemukan asimetri ≥50% yang

dapat disebabkan oleh lesi struktural.Aktivitas beta dapat meningkat pada

Universitas Sumatera Utara


55

penggunaan obat golongan barbiturate dan benzodiazepine.Obat

neuroleptik, antidepresan dan anti histamine juga dapat meningkatkan

aktivitas beta.Aktivitas beta berlebihan dapat muncul secara umum

dengan amplitudo ≥50 µV dan terlihat pada 50% EEG saat bangun

(Nizmah, 2018).

Pada defek tulang tengkorak (skull defect) dapat muncul breech

rhythm. Hal ini tidak berarti adanya abnormalitas otak, kecuali bila disertai

gambaran abnormal seperti gelombang paku atau perlambatan (Nizmah,

2018).

II.3.6.3. Gelombang Teta

Gelombang teta memiliki frekuensi 4-7 Hz. Pada keadaan bangun

irama tetadapat ditemukan dalam jumlah sedikit didaerah sentral,

temporal, dan parietal pada dewasa normal (Nizmah, 2018).

Pada keadaan tidur, distribusi irama teta berada di daerah

frontosentral pada anak sampai dengan usia 8 tahun sedangkan pada

dewasa muda berada didaerah anterior dan secara umum pada

dewasa/tua (Nizmah, 2018).

II.3.6.4. Gelombang Delta

Aktivitas delta (<4Hz) merupakan aktivitas listrik dominan yang

muncul pada infant, namun tidak normal pada EEG dewasa.Gelombang

delta bergabung dengan gelombang alfa pada daerah oksipital dan sering

muncul pada anak remaja yang normal (Octaviana, 2018).

Universitas Sumatera Utara


56

II.3.7. Aktivitas Patologis

Gelombang patologis yang bisa didapatkan pada pemeriksaan

EEG dapat berupa gelombang paku (spike) dan gelombang tajam (sharp).

Dikatakan gelombang paku bila durasi gelombang antara 20-70 ms dan

gelombang tajam bila durasi gelombang 70-200 ms. Gelombang dengan

durasi <20 ms biasanya merupakan potensial yang bukan berasal dari

otak (artefak) (Nizmah, 2018).

Gambar 2.18. Gelombang Teta Di Frontosentral.


Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

Spike, puncaknya tajam, sangat berbeda secara morfologi dan

amplitudo dengan latar belakang. Durasi 20-70 ms dan biasanya

berpolaritas negative (Hamid, 2018).

Universitas Sumatera Utara


57

Sharp, puncak tidak setajam spike wave, berbeda secara morfologi

dan amplitudo dengan latar belakang.Durasi 70-200 ms dan biasanya

berpolaritas negatif. Defleksi keatas saat meninggalkan baseline (Hamid,

2018)

Gambar 2.19. Gelombang Delta Di Mid Temporal


Dikutip dari: Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M.,
Benbadis, S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.

Multiple spike complexes terdiri dari 2 atau lebih spike bifasik, dapat

berbentuk cetusan ritmik dan durasi bervariasi (Budikayanti, 2018).

Spike–wave complexes terdiri dari spike yang diikuti gelombang

lambat. Amplitudo gelombang lambat, amplitudo gelombang lambat paling

tidak sama atau lebih tinggi dari gelombang spike (Hamid, 2018).

Universitas Sumatera Utara


58

Polyspike wave complexes ditandai dengan gambaran pola yang

sama dengan spike-wave complexes, bedanya disertai dengan 2 atau

lebih spikes diikuti 1 atau lebih gelombang lambat (Hamid, 2018).

II.3.8. Gambaran EEG Pada Epilepsi

Terdapat banyak indikasi untuk dilakukan pemeriksaan EEG, tetapi

alasan yang paling umum bahwa pemeriksaan EEG dilakukan untuk

membantu dalam mendiagnosis bangkitan dan epilepsi. Walaupun riwayat

terjadinya bangkitan masih merupakan landasan dalam proses diagnostik,

pada beberapa kasus, hasil pemeriksaan EEG dapat memberikan

kontribusi yang sama atau bahkan lebih besar terhadap diagnosis suatu

bangkitan, khususnya ketika riwayat penyakit tidak jelas. EEG merupakan

alat yang sangat juat dalam membantu untuk mengklasifikasikan tipe

bangkitan (Libenson, 2010)

(a) (b)

(a) (b)

Gambar 2.20. (a) Spike wave (b) Polyspike wave


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. The Abnormal EEG. IN: Libenson, M. Practical
Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier. Philadelphia. Pp 176-
203.

Universitas Sumatera Utara


59

Interictal Epileptiform discharge (IED) dapat muncul seb gelombang

paku (spikes) dan tajam (sharp), atau kompleks yang mengandung

gelombang paku dan gelombang tajam yang berlangsung hingga

beberapa detik. Sebagai tambahan IED juga muncul sebagai perlambatan

fokal ritmis yang intermiten seperti temporal intermittent rhythmic delta

activity (TIRDA) pada orang dewasa atau occipital intermittent rhythmic

delta activity (OIRDA) pada anak-anak.

Gambar 2.21. Sharp wave.


Dikutip dari: Libenson, M. 2010. The Abnormal EEG. IN: Libenson, M. Practical
Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier. Philadelphia. Pp 176-
203.

Gelombang paku pada epilepsi merupakan suatu gelombang yang

berkontur tajam dan berlangsung antara 20 dan 70 milidetik (ms) seperti

pada gambar dibawah ini. Gelombang tajam, sebaliknya tidak memiliki

Universitas Sumatera Utara


60

kontur yang tajam dan selama 70 hingga 200 ms. Kepentingan klinis

dalam membedakan antara gelombang paku dan gelombang tajam tidak

pasti.

Gelombang paku dan gelombang tajam epileptik umumnya

merupakan permukaan negatif karena adanya depolarisasi dari lamina

superfisial. Tampak menonjol dan episodik dari aktivitas irama dasar yang

sebelumnya. Seringkali mereka mengganggu aktivitas irama dasar yang

mendasarinya dan dapat memiliki gelombang lambat yang berkelanjutan

untuk membentuk komplek gelombang paku dan gelombang tajam (spike

and sharp wave complex).

Gambar 2.22. Gambaran EEG Interiktal Pada Epilepsi Terkait Lokalisasi


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Universitas Sumatera Utara


61

Gelombang paku dan gelombang tajam harusnya juga memiliki

tegangan, dimana seharusnya masuk akal secara biologis sehubungan

dengan lokasi di kortikal yang mencetuskan gelombang tersebut.

Menganalisis voltase atau tegangan dapat membantu membedakannya

dengan artefak. Hal ini juga penting dalam membedakan aktivitas

epileptiform dengan varian normal EEG seperti gelombang verteks,

gelombang lambda dan wicket spikes (Singh, 2016).

Bangkitan elektrografi atau pola iktal dapat menjadi aktivitas

epileptiform yang berlangsung lebih lama atau merupakan suatu

penyimpangan elektrografi dari garis dasar yang menunjukkan pola ritmik

yang teratur dan telah berkembang dalam hal frekuensi, bidang atau

distribusi, morfologi dan amplitudo (Singh, 2016).

Temuan EEG dapat menjadi sangat berguna dalam membedakan

antara epilepsi yang berbeda dan masih menjadi bagian integral dari

klasifikasi sindrom. Rekaman iktal dapat memberikan data yang lebih jauh

dalam mengkarakterisasi dan mengukur tipe bangkitan melebihi temuan

interiktal. Rekaman iktal juga sangat diperlukan ketika mempertimbangkan

untuk terapi pembedahan pada penderita epilepsi (Singh, 2016)

II.3.8.1. Gambaran EEG Pada Epilepsi Terkait Lokalisasi

Epilepsi terkait lokalisasi memliki beberapa tipe temuan EEG yang

abnormal, termasuk IED fokal dan perlambatan. Tipe bangkitan

tergantung pada zona mulanya bangkitan, manifestasi klinis dapat berasal

dari penyebaran aktivitas iktal. Hal ini penting untuk diketahui bahwa

Universitas Sumatera Utara


62

kadang-kadang gambaran EEG dapat menjadi normal pada bangkitan

fokal. Regio kortikal dari aktivitas yang sinkron setidaknya membutuhkan 6

cm2 dan membuat perubahan pada permukaan korteks yang cukup besar

untuk diambil melalui elektroda yang dipasang pada kulit kepala (Singh,

2016).

Pada benign epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS), yang

sebelumnya disebut dengan benign rolandic epilepsy (BRE), memiliki

karakteristik abnormalitas EEG interiktal. Irama dasar EEG normal.

Gelombang spikes pada central-midtemporal terlihat dengan voltase yang

maksimal pada elektroda C3-C4 dan bidang yang meluas hingga

elektroda T3-T4 ketika dilihat melalui montage bipolar yang longitudinal.

Gelombang spikes merupakan gelombang khas, difasik (kadang trifasik),

dan sering memiliki dipol horizontal anterior ke posterior dengan positif

frontal daripada dipol vertikal khas yang negatif pada permukaan otak.

Mereka dapat terjadi secara tunggal atau terus-menerus, khususnya pada

kondisi tidur Non-Rapid Eye Movement (REM) yang ringan. Hal ini dapat

lebih mudah untuk membedakan mereka dengan gelombang verteks

dengan melihatnya dalam montage bipolar transversal (Singh, 2016).

Epilepsi lobus temporal merupakan bentuk epilepsi terkait lokalisasi

yang paling umum. Onset lobus temporalis mesial menyumbang sebagian

besar bangkitan lobus temporal. Temuan EEG interiktal pada epilepsi

lobus temporal mesial menunjukkan adanya pelepasan lobus temporal

anterior bersamaan dengan perlambatan temporal yang intermiten.

Universitas Sumatera Utara


63

Voltase dari IED maksimal pada eletroda temporal anterior sphenoidal

(T1-T2).

Gelombang epileptiform dengan voltase yang maksimal pada

sadapan temporal lateral dapat dilihat, namun, keunggulannya harus

meningkatkan kecurigaan adanya generator temporal neokortikal atau

ekstra mesial. Pada hampir sepertiga pasien, IED dapat bialteral. TIRDA

terlihat hanya pada sebagian kecil pasien, tetapi ketika ada, sangat terkait

dengan epilepsi lobus temporal. Karakteristik EEG iktal pada epilepsi

lobus temporal mesial terdiri dari aktivitas teta ritmik unilateral 5-9 Hz yang

maksimal pada sadapan elektroda pada temporal anterior.

Gambar 2.23. Gambaran EEG pada Benign Epilepsy With Centrotemporal


Spike.
Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Universitas Sumatera Utara


64

Pola ini tampak sekitar 30 detik setelah munculnya onset klinis.

Perlambatan fokal post iktal atau atenuasi pada sisi mulainya terjadi

bangkitan lebih umum terlihat pada epilepsi lobus temporal mesial

dibandingkan dengan bangkitan parsial yang berasal dari luar lobus

temporal. Gambaran EEG pada epilepsi lobus temporal neokortikal

cenderung untuk menjadi terdistribusi lebih luas dan kurang spesifik

dibandingkan dengan epilepsi lobus temporal mesial. IED lebih cebderung

tampak pada temporal lateral, tetapi hal ini dapat sulit membedakannya

dengan IED pada epilepsi lobus temporal mesial.

Gambar 2.24. Gambaran EEG Interiktal pada Epilepsi Lobus Temporal.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Universitas Sumatera Utara


65

(A)

(B)

Gambar 2.25. Gambaran EEG Iktal Pada Epilepsi Lobus Temporal. (A).
Average referential montage. (B). Longitudinal bipolar montage.
Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Universitas Sumatera Utara


66

Pola iktal terdistribusi luas pada hemisfer saat terjadinya bangkitan dan

terdiri dari aktivitas delta ritmik polimorfik yang tidak teratur. Penyebaran

ke hemisfer kontralateral cenderung untuk berkembang lebih awal dan

lebih sering dibandingkan dengan epilepsi lobus temporal mesial (Singh,

2016).

Epilepsi lobus frontal sering kurang memiliki gambaran lateralisasi

atau lokalisasi pada sadapan kulit kepala. Seringkali, terutama pada

epilepsi lobus fontal mesial, tidak ada korelasi elektrografi pada elektroda

kulit kepala. IED, ketika ada, dapat terjadi bilateral sinkron, multifokal, atau

lateral ke lobus temporal. Pasien dengan epilepsi lobus frontal mesial

dapat mengalami teta garis tengah berirama selama terjaga atau pelepasa

sinkron pada frontal bilateral. Hal ini penting untuk menyingkirkan periode

mengantuk dan aktivasi mental selama mengevaluasi aktvitas irama teta.

IED pada midline atau frontocentral dapat terlihat pada elektroda Fz,Cz,

F3 dan F4, tetapi sekali lagi perlu dibedakan dari kondisi tidur dan

mengantuk. IED pada korteks frontal dorsolateral lebih cenderung untuk

muncul dan lateralisasi. Onset iktal untuk bangkitan lobus frontal

merupakan tantangan karena adanya artefak otot yang terlihat dengan

aktivitas hipermotor. Kadang-kadang, pola bangkitan dapat terlihat pada

elektroda midline dimana aktivitas EMG minimal. Aktivitas delta

epileptiform berirama dapat terlihat pada awal bangkitan lobus frontal

dorsolateral. Sekitar 25 % pasien yang dilakukan pembedahan untuk

epilepsi lobus frontal mengalami pelepasan frekuensi beta yang fokal

Universitas Sumatera Utara


67

pada awal bangkitan yang dilihat pada sadapan EEG. Munculnya aktivitas

beta yang fokal berkorelasi dengan kontrol bangkitan paska pembedahan

(Singh, 2016).

Gambar 2.26. Gambaran EEG Iktal pada Epilepsi Lobus Temporal


pada longitudinal bipolar montage.
Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed.
Practical Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Epilepsi lobus parietal kurang umum dibandingkan epilepsi lobus

temporal atau frontal. Pemeriksaan EEG kulit kepala yang konvensional

memiliki kegunaan yang terbatas dalam kasus-kasus ini karena pelepasan

jarang terlokalisasi. Pelepasan interiktal dapat memproyeksikan ke regio

frontal atau oksipital, menyebabkan lokalisasi yang salah. Sinkronisasi

bilateral sekunder dari pelepasan interiktal telah dilaporkan pada lebih dari

30 % pasien yang menjalani pembedahan. Bangkitan juga jarang

terlokalisasi, meskipun bisa disamaratakan.

Universitas Sumatera Utara


68

Gambar 2.27. Gambaran EEG Interiktal pada Epilepsi Lobus Frontal.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Gelombang spikes pada oksipital yang terinduksi secara spontan

atau melalui stimulasi fotik merupakan kelainan utama pada epilepsi lobus

oksipital idiopatik. Namun, penting untuk diingat bahwa gelombang spikes

pada oksipital dapat terjadi normalnya pada 0,9 % anak usia prasekolah.

Perlambatan pada oksipital ipsilateral lebih umum dibandingkan dengan

gelombang spikes pada epilepsi lobus oksipital kritogenik atau

simptomatik. Hal ini dapat muncul sebagai irama asimetris yang fisiologis

seperti gelombang alfa, lambda, gelombang pada saat stimulasi fotik, atau

postive occipital sharp transients of sleep (POSTS). Manifestasi iktal

dalam bentuk aktivitas cepat yang paroksismal, gelombang spikes yang

cepat, atau keduanya, terlokalisasi pada regio oksipital dengan

Universitas Sumatera Utara


69

penyebaran yang bertahap ke regio anterior dan generalisasi dengan

pelepasan gelombang spikes (Singh, 2016).

Gambar 2.28. Gambaran EEG Iktal pada Epilepsi Lobus Oksipital.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

II.3.8.2. Gambaran EEG pada Epilepsi Umum

Gambaran EEG klasik pada epilepsi tipe absans pada anak-anak

adalah pelepasan gelombang spikes and lambat dengan frekuensi 3 Hz

(rentang 2,5-5 Hz) dengan defleksi negatif yang memiliki amplitudo yang

tinggi dan menyebar secara umum. Pelepasan paling menonjol tampak

pada regio frontal atau regio frontocentral. OIRDA yang menonjol mungkin

juga tampak pada anak-anak antara usia 6 hingga 10 tahun. OIRDA dapat

dibedakan dari gambaran gelombang lambat pada usia muda dengan

persistensinya, gangguan irama alfam dan voltase yang tinggi.

Hiperventilasi dapat memunculkan pelepasan pada 95 % pasien. Respons

Universitas Sumatera Utara


70

photoparoxysmal mungkin juga dapat terjadi tetapi tidak umum terjadi.

selama tidur, gelombang spikes yang kompleks mungkin muncul polifasik

yang mucul pada arsitektur tidur yang normal.

Gambar 2.29. Gambaran EEG Interiktal pada Epilepsi Tipe Absans.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Pelepasan iktal mirip dengan pelepasan interiktal, tetapi lebih lama,

kecuali kalau menyebabkan bangkitan umum tonik-klonik. Pelepasan

paling cepat pada beberapa detik pertama dengan perlambatan bertahap

saat aktivitas bangkitan berakhir, yang diikuti dengan pengembalian cepat

ke irama dasar yang normal. Epilepsi tipe absans pada masa remaja

memiliki gambaran EEG iktal dan interiktal seperti yang disebutkan

sebelumnya kecuali adanya polyspike wave discharges (PSW) yang lebih

umum tampak pada kondisi tersebut. Aktivitas OIRDA biasanya tidak

tampak pada epilpesi tipe absans pada remaja (Singh, 2016).

Universitas Sumatera Utara


71

Gambar 2.30. OIRDA pada anak-anak dalam longitudinal bipolar montage.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

EEG sangat sensitif untuk melihat pelepasan interiktal pada pasien

epilepsi mioklonik pada remaja yang tidak mendapatkan pengobatan.

Biasanya menunjukkan aktivitas irama dasar yang normal dengan

gelombang PSW yang muncul paroksismal, umum, simetris bilateral

dengan frekuensi 4-6 Hz.

Pelepasan tersebut mirip dengan gelombang spike umum pada

epilepsi tipe absans lebih menonjol [ada regio frontocentral. Polyspikes

dapat terjadi secara independen atau dalam jangka panjang yang

berlangsung hingga beberapa detik yang dapat diikuti gelombang lambat

yang tidak teratur dengan amplitudo tinggi dengan frekuensi 2-5 Hz yang

bercampur dengan gelombang spikes.

Universitas Sumatera Utara


72

Gambar 2.31. Gambaran EEG pada Epilepsi Tipe Absans pada saat
hiperventilasi.
Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Stimulasi fotik dapat merangsang pelepasan pada sekitar 40 %

pasien. Sekitar separuh pasien telah terbukti memiliki IED umum asimetris

atau fokal pada rekaman yang berkepanjangan. Pada saat iktal, bangkitan

mioklonik berhubungan dengan polyspikes atau semburan PSW yang

mirip dengan pelepasan interiktal yang dideskripsikan sebelumnya.

Kadang-kadang, frekuensi pada spikes yang multipel tampak lebih tinggi

sekitar 10-16 Hz, dengan pelepasan yang disertai dengan klinis yang

kacau. Bangkitan umum tonik-klonik dapat didahului oleh sentakan

mioklonik yang berulang-ulang, menghasilkan pola yang dikenal sebagai

Universitas Sumatera Utara


73

klonik-tonik-klonik. Gambaran EEG selama bangkitan ini menunjukkan

gelombang spikes dengan frekuesni 10-16 Hz yang diikuti dengan

aktivitas ritmik yang cepat dan difus (sesuai dengan fase tonik), dan diikuti

dengan pelepasan gelombang lambat yang ritmik (sesuai dengan fase

klonik) (Singh, 2016).

Gambar 2.32. Gambaran EEG Iktal pada Juvenile Myoclonic Epilepsy.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Lennox-gastaut syndrome (LGS) merupakan sindrom epilepsi yang

berat dimana terdapat beberapa tipe bangkitan yang disertai dengan

adanya gangguan fungsi kognitif. Gambaran EEG interiktal menunjukkan

adanya perlambatan pada irama dasar. IED biasanya merupakan

pelepasan gelombang spike lambat yang umum.

Universitas Sumatera Utara


74

(A)

(B)

Gambar 2.33. Gambaran EEG Iktal pada Epilepsi Umum Tonik-Klonik. (A).
Fase tonik. (B). Fase klonik.
Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Universitas Sumatera Utara


75

Gambar 2.34. Gambaran EEG Interiktal pada Lennox-Gastaut Syndrome.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

Frekuensi dari gelombang spike tersebut kurang dari 2,5 Hz, untuk

membedakan mereka dengan pelepasan yang tampak pada epilepsi tipe

absans. Kadang-kadang, IED dapat muncul lateral, tetapi lateralisasi

dapat bervariasi bergantung pada pelepasannya. Terdapat beberapa tipe

bangkitan yang dapat terjadi pada LGS. Bangkitan tonik biasanya

bermanifestasi sebagai electrodecrement pada EEG. Electrodecrement

terdiri dari supresi dari aktivitas irama dasar dan munculnya aktivitas

dengan frekuensi cepat yang memiliki amplitudo yang rendah. Bangkitan

absans yang tidak khas menunjukkan aktivitas yang panjang dan umum

dari aktivitas gelombang spike lambat, yang serupa dengan IED.

Universitas Sumatera Utara


76

Bangkitan atonik memiliki aktivitas gelombang spike lambat yang serupa

(Singh, 2016).

Gambar 2.35. Gambaran EEG Iktal pada Lennox-Gastaut Syndrome.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

West syndrome merupakan sindrom epilepsi yang muncul pada

usia muda, biasanya mulai pada tahun pertama kehidupan. Bangkitan

yang khas adalah spasme infantile, dan gambaran EEG interiktal

menujukkan karakteristik gambaran kompleks gelombang spike yang

multifokal dan gelombang spike yang kacau dan memiliki amplitudo yang

tinggi. Pola ini dikenal dengan hypsarrythmia. Gambaran EEG selama

spasme mirip dengan gambaran EEG pada bangkitan tonik yang

dideskripsikan sebelumnya (Singh, 2016).

Universitas Sumatera Utara


77

Gambar 2.36. Gambaran EEG Interiktal pada West Syndrome.


Dikutip dari: Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical
Epilepsy. Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.

II.3.9. Quantitative EEG

Pemeriksaan Quantitative EEG (QEEG) telah menjadi alat untuk

suatu penelitian selama beberapa dekade, tetapi baru-baru ini saja

tersedia untuk praktik klinis. Namun, kegunaan klinisnya masih terbatas,

oleh karena itu QEEG bukan merupakan pemeriksaan rutin. Sekilas,

akuisisi sinyal digital memungkinkan dilakukan analisis kuantitatif, yang

memungkinkan interpretasi hasil EEG yang lebih objektif, dan tidak

bergantung pada pengalaman dan menghindari bias dari interprestasi

dokter. Namun, perhitungan menurunkan jumlah data yang

Universitas Sumatera Utara


78

dipertimbangkan dalam menginterpretasikan informasi, oleh karena itu

dapat menurunkan beberapa dari kekuatan diagnostik dari penelitian

tersebut. Juga, temuan yang terhitung mungkin tidak signifikan untuk

pasien. Amplitudo yang tidak simetris hingga 50 % merupakan temuan

yang normal untuk irama dasar pada regio posterior dalam keadaan

sadar. Besarnya perbedaan ini akan menonjol pada analisis frekuensi

digital namun tidak penting untuk interpretasi klinis dari rekaman tersebut.

QEEG seharusnya digunakan sebagai alat pendukung daripada

sebagai pengganti analisis EEG secara visual. Tidak ada yang mampu

menggantikan kemampuan analisis jaringan saraf sendiri ; QEEG

seharusnya diinterpretasi dengan perspektif seperti ke asal matematika

mereka dan batasannya (Misulis and Head, 2003)

Analisis digital dimulai dengan konversi dari analog ke digital.

Informasi dari setiap saluran dikonversikan secara bebas kemudian

disimpan dan dimanipulasi. Montage dibuat dengan membandingkan

voltase sinyal dari satu saluran dengan yang lain atau lebih. Seperti

contoh, montage bipolar longitudinal mungkin dibuat pertama sekali

dengan membagikan sinyal dari F3 dengan sinyal dari Fp1 dan

sebagainya. Biasanya, data saluran asli disimpan bersamaan dengan

petunjuk ke algoritma interpetif, sehingga hal ini dapat dipilih kembali pada

waktu yang lain. Penyaringan dilakukan dengan respons frekuensi yang

luas.

Universitas Sumatera Utara


79

Deteksi gelombang spike merupakan gambaran analisis sinyal

digital yang paling berguna. Perangkat yang digunakan untuk mendeteksi

gelombang spike digunakan untuk melakukan analisis frekuensi dan

amplitudo pada rekaman EEG untuk mengidentifikasi epoch yang

mungkin mengandung gelombang epileptiform spike. Perangkat tersebut

cendrung keliru pada sisi deteksi, sehingga peristiwa yang tersorot

mungkin bukan gelombang spike yang sebenarnya; artefak dan aktivitas

fisiologis yang lebih menonjol. Meskipun demikian, perangkat yang dipakai

untuk mendeteksi gelombang spike memungkinkan jumlah EEG untuk

dinilai. Seorang neurophysiologist harusnya menilai EEG sebelum dan

setelah gelombang spike jika terdapat perubahan kondisi, potensial untuk

artefak, dan peristiwa iktal (Misulis and Head, 2003)

Analisis power spectal merupakan salah satu aplikasi pertama dari

analisis EEG digital. Hal ini melibatkan pemisahan sinyal EEG menjadi

frekuensi dasar, yang digunakan untuk menentukan jumlah setiap

frekuensi dalam suatu rekaman EEG. Data ditampilkan sebagai power dari

fungsi frekuensi (Misulis and Head, 2003).

Brain mapping merupakan tampilan dari data frekuensi secara

topografis seperti pada gambar II.37. Brain mapping paling berguna untuk

mendeteksi asimetris kecil yang akan mendukung adanya lesi struktural.

Dalam hal ini, analisis digital lebih sensitif dibandingkan analisis visual

untuk mendeteksi perubahan yang halus. Brain mapping digunakan

terutama untuk pasien dengan bangkitan dan pasien dengan demensia.

Universitas Sumatera Utara


80

Pada pasien yang mengalami bangkitan, brain mapping dapat membantu

identifikasi area dari aktivitas epileptiform yang meningkat yang

mengiindikasikan adanya fokus yang menyebabkan bangkitan. Pada

demensia, QEEG dapat meningkatkan sensitivitas pemeriksaan EEG rutin

untuk mendeteksi perlambatan ringan yang mendukung adanya demensia

organik daripada pseudodemensia.

Kelainan serebrovaskular telah diteliti melalui QEEG karena adanya

perubahan pada EEG yang segera, sebaliknya abnormalitas pada

pemeriksaan pencitraan mungkin tidak menjadi bukti selama beberapa

hari. Walaupun hal ini secara akademis menarik, informasi EEG saat ini

tidak memiliki kegunaan klinis dalam perawatan rutin pada pasien stroke

akut atau transient ischemic attack (TIA). Mungkin dimasa depan, EEG

akan membantu menentukan apakah pasien memerlukan trombolitik,

sejak gambaran EEG mungkin menjadi berbeda pada otak yang

mengalami reperfusi dibandingkan dengan otak yang tetap mengalami

iskemik (Misulis and Head, 2003).

II.3.10. Hubungan Gambaran EEG Terhadap Terapi Antiepilepsi

Perubahan gambaran EEG karena pemakaian obat-obat

antiepilepsi harus dibagi karena efek dosis terapeutik terhadap aktivitas

irama dasar dan morfologi gelombang spikes serta efek overdosis,

intoksikasi dan penghentian obat-obat antiepilepsi terhadap gambaran

EEG. Pada umumnya obat-obat antiepilepsi memperlambat frekuensi

irama dasar di regio oksipital bahkan dengan kadar serum non toksik dan

Universitas Sumatera Utara


81

meningkatkan persentase power pada gelombang teta dan gelombang

delta baik secara visual maupun dengan analisis kuantitatif.

Gambar 2.37. Brain Maps Pada Anak dan Dewasa Saat Mata Tertutup Pada
Kondisi Awal Istirahat.
Dikutip dari : Kaiser, D.A. 2006. What Is Quantitative EEG?. Journal of
Neurotheraphy. 10 (4) : 37-52.

Perubahan tersebut berkorelasi dengan efek kognitif dan keluhan

subjektif. Efek terhadap gelombang spikes pada interiktal bervariasi

Universitas Sumatera Utara


82

dengan korelasi positif antara frekuensi bangkitan dan jumlah gelombang

spikes pada beberapa pasien (Bauer and Bauer, 2011).

Berbeda dengan pemakaian barbiturat dan golongan

benzodiazepine, dimana gambaran EEG menunjukkan tidak ada

peningkatan pada aktivitas cepat dengan pembacaan EEG secara visual.

Pemakaian fenitoin meningkatkan power pada gelombang alfa dan

gelombang delta dengan kadar obat didalam darah pada rentang normal

dan tanpa adanya tanda intoksikasi. Dilaporkan bahwa tidak terdapat

perubahan, peningkatan atau penurunan gelombang spikes setelah

pemakaian fenitoin. Tidak terdapat perubahan pada aktivitas irama dasar

yang terjadi setelah dosis fenitoin diturunkan. Penghentian obat-obat

antiepilepsi rutinnya digunakan sebagai metode untuk merangsang

terjadinya bangkitan pada pemantauan epilepsi secara intensif dan tidak

ada informasi yang diperoleh melalui prosedur tersebut untuk melihat zona

mulanya bangkitan. Hal yang sama juga dilaporkan setelah penghentian

karbamazepin dan asam valproat. Pada kadar yang toksik, fenitoin dapat

menyebabkan abnormalitas aktivitas gelombang delta yang difus dan

gelombang lambat yang paroksismal. Hal tersebut juga ditemukan pada

kasus ensefalopati kronis dengan kadar serum yang mendekati normal

(Bauer and Bauer, 2011)

Pemakaian karbamazepin dilaporkan dapat meningkatkan

perlambatan difus. Besser dkk pada tahun 1992 melaporkan tidak

ditemukan korelasi antara kadar serum karbamazepin dengan

Universitas Sumatera Utara


83

peningkatan power pada gelombang alfa dan gelombang delta. Lebih

jauh, perlambatan yang tampak pada EEG tidak berhubungan dengan

meningkatnya frekuensi bangkitan. Hiponatremia berat yang terjadi pada

2,8 % pasien yang diberikan karbamazepin, efek samping tersebut

mungkin berkontribusi terhadap perkembangan perlambatan difus pada

EEG. Aktivitas umum yang paroksismal termasuk gelombang spikes

mungkin dapat meningkat. Gelombang fokal spikes yang sudah ada

sebelumnya bisa meningkat atau tidak mengalami perubahan setelah

pemakaian karbamazepin. Adanya gelombang epileptiform yang baru

setelah pemakaian karbamazepin masih sedang diamati, dan adanya

gelombang spikes dapat disertai dengan adanya eksaserbasi bangkitan.

Overdosis karbamazepin mungkin juga dapat mengeksaserbasi bangkitan.

Akan tetapi, beberapa antiepilepsi yang lain dapat memperburuk

bangkitan. Overdosis hanya mewakili satu dari tiga kemungkinan

penyebab. Karbamazepin diklaim memiliki efek samping terhadap

neuropsikologis yang lebih sedikit dibandingkan phenobarbital. Akan

tetapi, karbamazepin memiliki efek samping terhadap fungsi kognitif yang

secara signifikan tidak berbeda dengan pemakaian fenitoin. Tanda klinis

akibat keracunan karbamazepin yang akut yaitu dijumpai ataxia,

nystagmus, diplopia, mengantuk, dan perlambatan yang difus pada

gambaran EEG. Kondisi koma menandakan adanya intoksikasi yang berat

dan EEG dapat memburuk menjadi pola burst-supression yang disertai

dengan mioklonus. Pemakaian okskarbazepin yang analog dengan

Universitas Sumatera Utara


84

karbamazepin, menunjukkan adanya perubahan gambaran EEG yang

ditandai dengan adanya gelombang spikes yang umum yang tidak tampak

sebelum diberikan obat tersebut dan kadang disertai dengan

memburuknya tipe bangkitan umum (Bauer and Bauer, 2011)

Pemakaian asam valproat pada dosis biasa tidak berubah secara

signifikan pada aktivitas irama dasar pada EEG. Dengan analisis EEG

yang telah diproses menunjukkan adanya penurunan sinkronisasi pada

frekuensi delta dan theta. (Clemens, 2008). Perubahan yang paling

penting terdiri dari menurunnya atau bahkan hilangnya gelombang spikes

umum bersamaan dengan menurunnya frekuensi bangkitan. Gelombang

spikes yang fotosensitif juga menghilang setelah pemakaian asam

valproat. Intoksikasi asam valproat kadang-kadang disertai dengan

adanya perlambatan difus yang dipertimbangkan disebabkan oleh karena

adanya interaksi obat. Perbedaan antarindividu yang sangat besar telah

diamati dengan keracunan valproate akut. Mengantuk, stupor, dan koma

bisa terjadi pada dosis asam valproat yang normal, dengan atau tanpa

perubahan metabolik seperti hiperamonemia dan kadar carnitine yang

rendah. Dalam mendiagnosis ensefalopati yang terkait dengan pemakaian

asam valproat, EEG memainkan peran yang sangat pentng. Yang ditandai

dengan perubahan yang dramatis pada rekaman yang berurutan dengan

terjadinya aktivitas gelombang lambat bertegangan tinggi yang sinkron

secara bilateral. Laporan kasus yang ada melaporkan mengenai

ensefalopati akibat pemakaian asam valproat yang menunjukkan adanya

Universitas Sumatera Utara


85

gelombang trifasik pada EEG. Gagal hati yang fatal setelah pemakaian

asam valproat telah dilaporkan. Tidak ada indikasi bahwa rekaman EEG

yang berulang kali dapat menyulut komplikasi yang berbahaya ini.

Walaupun asam valproat semakin banyak digunakan dalam penanganan

status epileptikus, zat itu dengan sendirinya dapat memicu status

epileptikus tipe tonik (Bauer and Bauer, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan pada 136 pasien yang menderita

epilepsi yang bertujuan untuk melihat perubahan gambaran EEG setelah

diberikan terapi antiepilepsi, dimana pada kelompok pasien yang

mendapat karbamazepin menunjukkan peningkatan absolute band power

pada gelombang teta dan menurunkan rerata frekuensi alfa. Pada pasien

yang mendapat okskarbazepin tidak mempengaruhi power tetapi

menurunkan rerata frekuensi alfa. Pada pasien yang mendapat asam

valproat menunjukkan adanya penurunan power pada gelombang delta,

teta dan alfa tetapi tidak mengubah power gelombang beta dan rerata

frekuensi alfa. Pada pasien yang mendapat lamotrigin hampir menurunkan

power pada seluruh gelombang baik alfa, beta, teta dan delta dan juga

meningkatkan rerata frekuensi alfa. Berdasarkan analisa statistik

ditemukan perbedaan yang signifikan mengenai perubahan gambaran

EEG secara kuantitatif pada kelompok pasien yang mendapat asam

valproat dan lamotrigin. dan ditemukan hasil yang tidak signifikan pada

kelompok yang mendapat karbamazepin dan okskarbazepin (Clemens

dkk, 2006)

Universitas Sumatera Utara


86

Pada penelitian lain yang melibatkan 138 pasien yang bertujuan

untuk melihat perubahan gambaran EEG setelah pemberian/pengentian

terapi antiepilepsi yang dinilai secara kuantitatif, dimana dibagi kedalam 4

kelompok. 20 pasien memulai terapi antiepilepsi, 12 pasien menghentikan

terapi antiepilepsi, 33 pasien mendapatkan terapi dengan dosis yang

terkontrol dan 73 pasien sehat. Dari hasil didapat bahwa pada kelompok

yang memulai terapi antiepilepsi mengalami penurunan yang signifikan

pada frekuensi puncak dari irama EEG, dan pada kelompok yang

menghentikan obat antiepilepsi mengalami peningkatan frekuensi puncak

yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Untuk power pada

gelombang teta dan gelombang delta tidak ditemukan perbedaan yang

signifikan pada masing-masing kelompok (Salinsky dkk, 2003).

II.3.11. Hubungan Gambaran EEG Terhadap Respons Terapi

Antiepilepsi

Penelitian di Taiwan pada tahun 2017 yang melibatkan 20

penderita epilepsi melaporkan bahwa apha power band yang dinilai

melalui analisis EEG pada penderita epilepsi mengalami penurunan power

secara signifikan pada kelompok penderita yang memiliki respons yang

efektif terhadap terapi antiepilepsi dibandingkan dengan yang tidak efektif

terhadap terapi antiepilepsi. Pada penelitian tersebut melaporkan bahwa

meningkatnya power pada gelombang alfa kelompok yang efektif setelah

diberikan terapi antiepilepsi menunjukkan performa kognitif yang lebih baik

Universitas Sumatera Utara


87

dan kontrol bangkitan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok

yang tidak efektif (Ouyang dkk, 2017)

Penelitian lain yang dilakukan Marciani dkk melaporkan bahwa

aktivitas irama dasar pada pemeriksaan EEG setelah diberikan lamotrigine

pada pasien epilepsi menunjukkan adanya penurunan frekuensi bangkitan

yang berhubungan dengan adanya peningkatan power pada gelombang

beta dan meningkatnya reaktivitas gelombang alfa pada pemeriksaan

EEG (Ouyang dkk, 2017)

Pada penelitian di Italia yang melibatkan 21 penderita epilepsi

untuk melihat perubahan gambaran EEG dengan menghitung jumlah total

gelombang epileptiform yang dilakukan selama 24 jam sebelum dan

sesudah diberikan terapi antiepilepsi, didapatkan bahwa dari 11 pasien

yang bebas bangkitan, hanya 1 pasien yang tidak muncul gelombang

epileptiform selama 24 jam pemeriksaan, 8 pasien menunjukkan

penurunan jumlah gelombang epileptiform dibandingkan sebelum terapi, 2

pasien menunjukkan peningkatan jumlah gelombang epileptiform dan

durasi gelombang yang meningkat. Mereka menyimpulkan bahwa

modifikasi gambaran epileptiform pada EEG tidak selalu berhubungan

dengan kesan klinis (Pro dkk, 2008).

Abela dkk pada tahun 2018 melakukan penelitian yang melibatkan

63 penderita epilepsi dengan bangkitan fokal maupun epilepsi dengan

bangkitan umum dan 39 subjek yang sehat, dimana mereka melaporkan

bahwa penurunan power pada gelombang alfa ditemukan pada penderita

Universitas Sumatera Utara


88

epilepsi yang memilliki kontrol bangkitan yang buruk dibandingkan dengan

penderita dengan bangkitan yang terkontrol seperti yang tampak pada

gambar 2.38.

Gambar 2.38. Perubahan Alpha Power Pada Pasien Epilepsi


Dikutip dari : Abela, E., Pawley, A.D., Tangwiriyasakul, C., Yaakub, S.N.,
Chowdhury, F.A., Elwes, R.D.C., et al. 2018. Slower alpha rhythm associates
with poorer seizure control in epilepsy. Annals of Clinical and Translational
Neurology. 6(2) : 333-343.

Hasil penelitian terbaru mengenai pemeriksaan EEG intrakranial

melaporkan bahwa gelombang alfa dibangkitkan oleh korteks anterior dan

kemudian berjalan menuju korteks bagian posterior, yang juga mendorong

gelombang alfa di talamus. Dari temuan tersebut menimbulkan hipotesis

Universitas Sumatera Utara


89

apakah pergeseran power pada gelombang alfa menunjukkan adanya

disfungsi pada jaringan kortikotalamik yang luas yang termasuk korteks

frontal dan adanya gangguan dari sirkuit tersebut mungkin berhubungan

dengan sindrom klinis yang berbeda. Apakah perubahan power pada

gelombang alfa benar-benar menyebabkan kecendrungan untuk timbulnya

bangkitan mungkin membutuhkan penelitian lebih lanjut (Abela dkk, 2018).

Universitas Sumatera Utara


90

II.4. KERANGKA TEORI

EPILEPSI

Ketidakseimbangan antara neurotransmitter


eksitasi dan inhibisi

Hipereksitabilitas sel saraf

Gambaran Epileptiform Umum pada EEG Gambaran Epileptiform Fokal Pada EEG
- 3 Hz Spike and wave discharges - Spikes
- Polyspikes and wave discharges - Sharp waves
- Slow spike wave discharges - Multiple spike complexes
- Generalized paroxysmal fast activity - Spike-wave complexes
- Photo Paroxysmal Responses (PPR) - Polyspike wave complexes

OBAT ANTIEPILEPSI RESPONS TERAPI

Perubahan Gambaran EEG Pada kelompok yang efektif


secara visual dan analisis Klinis : Frekuensi bangkitan
kuantitatif : menurun/bebas bangkitan
Secara umum obat-obat EEG : Gelombang epileptiform
antiepilepsi memperlambat berkurang/menghilang
frekuensi irama dasar pada (Pro dkk, 2008; Gunawan dkk, 2019)
regio oksipital pada kadar
nontoksik dan meningkatnya
persentase power dari
gelombang theta dan delta
melalui analisis kuantitatif.

Universitas Sumatera Utara


91

II.5. KERANGKA KONSEP

GAMBARAN
ELEKTROENSEFALOGRAFI
RESPONS TERAPI
INTERIKTAL SETELAH 1
ANTIEPILEPSI
BULAN DIBERIKAN TERAPI
ANTIEPILEPSI

Universitas Sumatera Utara


92

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dari tanggal

4 Juli 2019 sampai dengan 4 Januari 2020.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi penderita rumah sakit.

Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non

random secara konsekutif.

III.2.1. Populasi Sasaran

Semua penderita epilepsi yang berobat jalan di poliklinik neurologi

RSUP Haji Adam Malik Medan yang ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan elektroensefalografi.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua penderita epilepsi yang berobat jalan di poliklinik neurologi

RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Juli 2019 sampai dengan

Januari 2020.

III.2.3. Besar Sampel

Semua penderita epilepsi yang ditentukan menurut metode

sampling konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Ukuran sampel dihitung menurut rumus (Lemeshow dkk, 1990) :

92

Universitas Sumatera Utara


93

n
Z (1 / 2 ) Po (1  Po )  Z (1  ) ) Pa (1  Pa )  2

Po  Pa 2
Z (1 / 2) = deviat baku alpha. utk  = 0,05 maka nilai baku normalnya

1,96

Z (1  ) = deviat baku betha. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya

1,282

P0 = proporsi penderita epilepsi sebesar=0,1156 (11,56%)(Proporsi

RSUP HAM 2018)

Pa = proporsi penderita epilepsi yang diteliti, sebesar 0,3656

(36,56%)

P0  Pa = bedaproporsi yang bermakna ditetapkan sebesar 0,25

Maka sampel minimal untuk penelitian ini sebanyak 25 orang.

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Semua penderita epilepsi idiopatik yang baru didiagnosa dengan

epilepsi dan memiliki bangkitan yang belum terkontrol dengan obat

antiepilepsi, berusia ≥ 18 tahun yang berobat jalan di Poliklinik

Neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan

2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


94

III.2.5. Kriteria Eksklusi

1. Pasien yang mengalami bangkitan yang disebabkan oleh kelainan

intrakranial dan ekstrakranial yang ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan laboratorium.

III.3. BATASAN OPERASIONAL

1. Epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh adanya faktor

predisposisi secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan

epileptik, dan juga ditandai oleh adanya faktor neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial akibat kondisi tersebut

(Octaviana dkk, 2017).

Cara ukur : Anamnesis, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan

penunjang.

Alat Ukur : EEG

Hasil Ukur : Ya/Tidak

Skala Ukur : Nominal

2. Terapi Antiepilepsi adalah pemberian obat antiepilepsi dengan

tujuan untuk mengontrol terjadinya bangkitan (Oster dkk, 2012).

Pada penelitian ini semua penderita epilepsi diberikan jenis obat

antiepilepsi sesuai dengan tipe bangkitan yang dialami dengan

mempertimbangkan efek samping obat dan faktor psikososial

seperti usia, jenis kelamin, dan biaya obat tersebut.

Universitas Sumatera Utara


95

3. Respons Terapi Antiepilepsi adalah reaksi terhadap pemberian

obat antiepilepsi. Dikatakan respons terapi yang efektif jika terjadi

penurunan frekuensi bangkitan lebih dari 50 % dibandingkan

dengan kondisi awal sebelum diberikan terapi dan dikatakan

respons terapi yang tidak efektif jika penurunan frekuensi bangkitan

kurang dari 50 % dibandingkan dengan kondisi awal sebelum

diberikan terapi (Ouyang dkk, 2017).

Cara Ukur : Anamnesis dan pemeriksaan neurologis

Alat Ukur : Catatan Harian Tentang Serangan Kejang Epilepsi

Hasil Ukur : Efektif/Tidak Efektif

Skala Ukur : Nominal

4. Bangkitan Karena Kelainan Ekstrakranial adalah bangkitan yang

terjadi akibat gangguan fungsi otak yang disebabkan oleh karena

gangguan metabolik, gangguan elektrolit, kekurangan oksigen,

hipoglikemia, obat-obatan, alkohol dan kelainan metabolisme

(Oster dkk, 2012).

Cara ukur :Anamnesis, pemeriksaan neurologis.

Hasil Ukur : Ya/Tidak

Skala Ukur : Nominal

5. Bangkitan Karena Kelainan Intrakranial adalah bangkitan yang

terjadi akibat ganguan fungsi otak yang bisa disebabkan oleh

karena tumor, kelainan vaskular, trauma, infeksi , kongenital dan

Universitas Sumatera Utara


96

karena kelainan genetik yang menyebabkan kelainan pada struktur

susunan saraf pusat (Oster dkk, 2012)

Cara ukur : Anamnesis dan pemeriksaan neurologis

Hasil Ukur : Ya/Tidak

Skala Ukur : Nominal

6. Gambaran Elektroensefalografi Interiktal adalah rekaman

elektroensefalografi yang direkam diantara waktu terjadinya

bangkitan, dimana sering dilakukan pada praktik klinis. (Fernandez-

Torre, 2010)

Cara Ukur : Perekaman Gelombang EEG

Alat Ukur : EEG

Hasil Ukur : Normal/Abnormal

Skala Ukur : Nominal

Penilaian EEG secara kualititatif menilai apakah gambaran

EEG normal atau abnormal. Gambaran EEG normal berarti tidak

ditemukan aktivitas abnormal, tapi mungkin ditemukan varian yang

dapat ditemukan pada kelompok orang sehat dan kelompok pasien

(Nizmah, 2018).

Gambaran EEG yang abnormal dapat berupa gelombang

epileptiform dan gelombang non epileptiform.

Berdasarkan Pedoman Tatalaksana Epilepsi Kelompok Studi

Epilepsi PERDOSSI pada tahun 2014, gambaran EEG dikatakan

abnormal bila terdapat

Universitas Sumatera Utara


97

 Irama dasar yang lambat (≥6Hz<8Hz untuk dewasa)

 Irama dasar lambat (<6 Hz untuk dewasa)

 Perlambatan intermitten, menyeluruh (generalized)

 Perlambatan intermitten pada suatu region/ lateralisasi

satu hemisfer

 Eksesif beta

 Asimetri (perbedaan amplitudo yang >50% antar sisi

yang homolog)

 Terdapat gelombang epileptiform (gelombang tajam,

paku, paku ombak, polyspike, hypsarrhythmia, Spike and

Wave Complex ,Slow Spike and Wave Complex)

 Terdapat bangkitan EEG

 Terdapat ‗periodik kompleks‘

 Terdapat perlambatan kontinu, baik regional maupun

menyeluruh.

Pada penelitian ini menilai gambaran EEG secara kualitatif

untuk melihat apakah terdapat perubahan gambaran EEG setelah

diberikan terapi antiepilepsi.

III.4. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode

pengumpulan data secara potong lintang dengan sumber data yang

Universitas Sumatera Utara


98

diperoleh merupakan data primer dari semua penderita epilepsi yang

berobat jalan di Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan.

III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN

III.5.1. Instrumen

a. Gambaran Elektroensefalografi diperoleh dengan melakukan

perekaman menggunakan mesin elektroensefalografi merk Viasys

Healthcare dengan NicoletOne vEEG System, dimana elektroda

dipasang pada kulit kepala dengan sistem internasional 10-20.

Hasilnya akan dibacakan oleh Spesialis Saraf.

b. Penilaian respons terapi dinilai dengan menggunakan catatan

harian tentang serangan kejang epilepsi yang diberikan kepada

pasien untuk mengetahui frekuensi bangkitan selama diterapi

dengan obat antiepilepsi.

III.5.2. Pengambilan Sampel

Semua penderita epilepsi yang telah ditegakkan dengan

anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan

elektroensefalografi (EEG) yang berobat jalan di poliklinik neurologi RSUP

Haji Adam Malik Medan diambil secara konsekutif dan yang memenuhi

kriteria inklusi serta tidak ada kriteria eksklusi diikutkan kedalam penelitian

ini, setelah itu diberikan terapi antiepilepsi sesuai dengan tipe bangkitan

Universitas Sumatera Utara


99

yang dialami. Kemudian pasien diberikan catatan harian tentang serangan

kejang epilepsi untuk menilai frekuensi bangkitan setelah diberikan

antiepilepsi dan 1 bulan kemudian pasien dilakukan pemeriksaan EEG

ulang untuk melihat rekaman EEG setelah diberikan terapi antiepilepsi

dan rekaman EEG kemudian dinilai secara kualitatif.

Universitas Sumatera Utara


100

III.5.3. Kerangka Operasional

Penderita Epilepsi
Idiopatik

Anamnesis
Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan EEG

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Pemberian Terapi
Antiepilepsi

Pemeriksaan EEG ulang 1 Penilaian Respons Terapi


bulan setelah diberikan Antiepilepsi dengan Catatan Harian
Tentang Serangan Kejang Epilepsi
terapi

Analisis Data

Hasil

Universitas Sumatera Utara


101

III.5.4. Variabel yang Diamati

Variabel Bebas : Respons terapi antiepilepsi

Variabel Terikat : Gambaran Elektroensefalografi Interiktal

III.5.5. Analisa Statistik

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan

program komputer Windows SPSS (Statistical Product and Science

Service). Analisis dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

1. Untuk melihat gambaran karakteristik demografi pasien epilepsi

yang berobat jalan di Poliklinik Neurologi RSUP Haji Adam Malik

Medan disajikan dalam bentuk tabulasi dan dideskripsikan.

2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan gambaran EEG

sebelum dan sesudah terapi antiepilepsi digunakan Uji McNemar.

3. Untuk mengetahui hubungan gambaran EEG interiktal terhadap

respons terapi antiepilepsi pada penderita epilepsi digunakan Uji

Fisher Exact.

4. Untuk mengetahui hubungan gambaran EEG interiktal terhadap

jenis terapi digunakan Uji Fisher Exact.

III.5.6. Jadwal Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 4 Juli 2019 sampai dengan 4

Januari 2020.

Persiapan : 4 Juli 2019 s/d 28 September 2019

Universitas Sumatera Utara


102

Pengumpulan data : 30 September 2019 s/d 4 Januari 2020

Analisis data : 5 Januari 2020 s/d 7 Januari 2020

Penyusunan laporan : 8 Januari 2020 s/d 17 Januari 2020

Penyajian laporan : 30 Januari 2020

III.5.7. Biaya Penelitian

Biaya pemeriksaan Elektroensefalografi : Rp. 12.500.000,00

Biaya pencetakan lembaran pengumpulan data : Rp. 700.000,00

Biaya penulisan laporan penelitian : Rp. 500.000,00

Jumlah : Rp. 13.700.000,00

III.5.8. Personalia Penelitian

o Peneliti Utama : dr. Muhammad Taufiq Regia Arnaz

o Pembimbing : dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)

dr. Chairil Amin B., M.Ked (Neu),Sp.S

Universitas Sumatera Utara


103

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

IV.1.1. Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian

Dari keseluruhan pasien epilepsi yang berobat jalan di Poliklinik

RSUP Haji Adam Malik Medan pada periode Juli 2019 hingga Januari

2020, terdapat 25 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

sehingga dimasukkan dalam penelitian.

Dari 25 pasien yang menderita epilepsi yang dianalisa, kebanyakan

berjenis kelamin perempuan sebanyak 17 orang (68,0%). Rerata usia

subjek adalah 30,84 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan usia tertua

59 tahun. Umumnya pendidikan subyek adalah SMA sebanyak 20 orang

(80,0%). Sebanyak 11 orang subjek (44,0%) tidak memiliki pekerjaan.

Suku subjek terbanyak adalah Jawa dengan jumlah 8 orang (32,0%).

Mayoritas subjek yang terlibat dalam penelitian ini dengan tipe

bangkitan umum tonik klonik dengan jumlah 20 orang (80,0%). Rerata

onset pertama kali mengalami bangkitan adalah 28,4 tahun.

Sebanyak 16 orang (64,0%) subjek yang menderita epilepsi

menerima 1 jenis terapi dan sebanyak 9 orang (36,0%) mendapatkan

lebih dari 1 jenis terapi. Respon terapi yang efektif terdapat pada 16 orang

(64%) subjek dan tidak efektif sebanyak 9 orang (36,0%).

103

Universitas Sumatera Utara


104

Tabel 4.1. Karakteristik Demografi Subjek Penelitian


Karakteristik Demografi n = 25
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-Laki 8 (32,0)
Perempuan 17 (68,0)
Usia, rerata (SD), tahun 30,84 ± 12,01
Pendidikan, n (%)
SMP 1 (4,0)
SMA 20 (80,0)
Perguruan Tinggi 4 (16,0)
Pekerjaan, n (%)
Swasta 8 (32,0)
Tidak Bekerja 11 (44,0)
Ibu Rumah Tangga 6 (24,0)
Suku, n (%)
Batak 5 (20,0)
Jawa 8 (32,0)
Karo 4 (16,0)
Mandailing 4 (16,0)
Melayu 2 (8,0)
Aceh 1 (4,0)
Nias 1 (4,0)

Sebelum pemberian terapi kebanyakan subjek memiliki gambaran

EEG yang abnormal dengan jumlah 16 orang (64,0%). Setelah pemberian

terapi, terjadi perubahan jumlah gambaran EEG, kebanyanyan dengan

gambaran normal berjumlah 15 orang (60,0%).

Universitas Sumatera Utara


105

Tabel 4.2. Karakteristik Klinis Subjek Penelitian


Karakteristik Klinis n = 25
Tipe Bangkitan, n (%)
Umum Tonik Klonik 20 (80,0)
Fokal 2 (8,0)
Focal to bilateral tonic-clonic 1 (4,0)
Atonik 2 (8,0)
Onset Bangkitan, rerata tahun 28,4
Jenis Terapi, n (%)
Monoterapi 16 (64,0)
Politerapi 9 (36,0)
Respon Terapi, n (%)
Efektif 16 (64,0)
Tidak Efektif 9 (36,0)
EEG Sebelum Terapi, n (%)
Normal 9 (36,0)
Abnormal 16 (64,0)
EEG Sesudah Terapi, n (%)
Normal 15 (60,0)
Abnormal 10 (40,0)

IV.1.2. Perbedaan Gambaran EEG Sebelum dan Sesudah Terapi

Antiepilepsi

Sebelum pemberian terapi tampak bahwa terdapat 16 orang subjek

(64,0%) dengan gambaran EEG yang abnormal. Setelah dilakukan terapi,

subjek dengan gambaran EEG yang abnormal mengalami penurunan

menjadi 10 orang (40,0%). Namun, hasil analisis menggunakan uji Mc

Nemar menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signfikan

Universitas Sumatera Utara


106

antara gambaran EEG sebelum dan sesudah terapi dengan nilai p =

0,109.

Tabel 4.3. Perbedaan Gambaran EEG Sebelum dan Sesudah Terapi

Sebelum Terapi Sesudah Terapi


Gambaran EEG p
(n=25) (n=25)

Normal 9 (36,0) 15 (60,0) 0,109


Abnormal 16 (64,0) 10 (40,0)
Total 25 25
Uji McNemar

IV.1.3. Hubungan Gambaran EEG Interiktal Terhadap Jenis Terapi

Dari 16 orang subjek yang menjalani monoterapi terdapat 11 orang

(68,8 %) menunjukkan gambaran EEG yang normal, sementara itu dari 9

orang subjek yang menjalani politerapi, terdapat 4 orang (44,4%) yang

menunjukkan gambaran EEG yang normal. Hasil analisis menggunakan

uji Fisher Exact menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara gambaran EEG interiktal sesudah pemberian terapi

antiepilepsi dengan jenis terapi dengan nilai p = 0,222.

Tabel 4.4. Hubungan Gambaran Elektroensefalografi Interiktal


Terhadap Jenis Terapi
Gambaran EEG
Jenis Terapi P
Normal Abnormal
Monoterapi 11 (68,8) 5 (31,3) 0,222
Politerapi 4 (44,4) 5 (55,6)
Total 15 10
Uji Fisher Exact

Universitas Sumatera Utara


107

IV.1.4. Hubungan Gambaran Elektroensefalografi Interiktal Terhadap

Respons Terapi Antiepilepsi Pada Penderita Epilepsi

Dari 15 orang subjek yang memiliki gambaran EEG normal,

seluruhnya menunjukkan respon terapi yang efektif, sementara itu dari 10

orang subjek dengan gambaran EEG yang abnormal, hanya 1 subyek

(10%) yang menunjukkan respon terapi yang efektif. Hasil analisis

menggunakan uji Fisher Exact menyimpulkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara gambaran EEG dengan respons terapi antiepilepsi

dengan nilai p < 0,001.

Tabel 4.5. Hubungan Gambaran EEG Interiktal terhadap Respons


Terapi Antiepilepsi
Gambaran EEG Respons Terapi p
Interiktal Efektif Tidak Efektif
Normal 15 (100,0) 0 < 0,001
Abnormal 1 (10,0) 9 (90,0)
Total 16 9
Uji Fisher Exact

IV.2. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan

metode pengumpulan data secara potong lintang yang bertujuan untuk

mengetahui hubungan gambaran elektroensefalografi interiktal terhadap

respons terapi antiepilepsi pada penderita epilepsi sehingga bermanfaat

untuk memberikan informasi bahwa gambaran EEG interiktal

Universitas Sumatera Utara


108

berhubungan dengan respons terapi antiepilepsi pada pasien yang

menderita epilepsi.

Pada penelitian ini, semua penderita epilepsi yang telah ditegakkan

dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan

pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) yang berobat jalan di poliklinik

neurologi RSUP Haji Adam Malik Medan dan juga penderita epilepsi yang

belum terkontrol dengan obat antiepilepsi diambil secara konsekutif dan

yang memenuhi kriteria inklusi serta tidak ada kriteria eksklusi diikutkan

kedalam penelitian ini, setelah itu diberikan terapi antiepilepsi sesuai

dengan tipe bangkitan yang dialami. Kemudian pasien diberikan catatan

harian tentang serangan kejang epilepsi untuk menilai frekuensi bangkitan

setelah diberikan antiepilepsi dan 1 bulan kemudian pasien dilakukan

pemeriksaan EEG ulang untuk melihat rekaman EEG setelah diberikan

terapi antiepilepsi dan rekaman EEG kemudian dinilai secara kualitatif.

IV.2.1. Karakteristik Demografi dan Klinis Subjek Penelitian

Subjek penelitian terdiri dari 17 orang perempuan (68 %) dan 8

orang laki-laki (32 %), dengan rerata usia subjek adalah 30,84 tahun,

dengan rentang usia 18-59 tahun dan rearata onset bangkitan subjek

adalah 28,4 tahun. Temuan tersebut berbeda dengan sebagian besar

penelitian, dimana kejadian epilepsi atau bangkitan tanpa provokasi lebih

tinggi dijumpai pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Hal ini

tampak jelas bahwa beberapa faktor risiko definitif untuk epilepsi seperti

Universitas Sumatera Utara


109

cedera kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat banyak dijumpai pada

laki-laki. Satu pengecualian yaitu pada penelitian yang dilakukan di

Ekuador, dimana rasio laki-laki dengan perempuan yaitu 0,8, walaupun

penelitian tersebut tidak dapat digunakan sebagai perbandingan karena

mereka mengikutkan pasien dengan bangkitan yang disebabkan oleh

adanya kondisi akut maupun bangkitan tanpa provokasi. Penelitian lain

yang dilakukan di Swedia menyebutkan bahwa rasio laki-laki dengan

perempuan adalah 0,7. Sebagian besar tetapi tidak semua penelitian yang

menilai angka kejadian, perbedaan angka kejadian berdasarkan jenis

kelamin tidak signifikan secara statistik. Konsistensi hasil penelitian

mengenai perbedaan angka kejadian pada laki-laki dan perempuan pada

sebagian besar penelitian mendukung bahwa laki-laki memiliki risiko lebih

tinggi untuk mengalami bangkitan tanpa provokasi dan epilepsi

dibandingkan dengan perempuan (Banerjee and Hauser, 2008).

Bertentangan dengan kepercayaan yang sudah populer, bahwa

epilepsi merupakan penyakit dengan onset pada akhir masa kehidupan,

setidaknya di negara industri. Berdasarkan beberapa penelitian, angka

kejadian berdasarkan usia secara konsisten lebih tinggi pada kelompok

usia muda, dengan angka kejadian tertinggi terjadi pada bulan-bulan

pertama kehidupan. Angka kejadian menurun secara dramatis setelah

tahun pertama kehidupan, tampaknya relatif stabil sepanjang dekade

pertama kehidupan, dan menurun lagi selama masa remaja. Sebenarnya

semua penelitian yang dilakukan di negara industri, angka kejadian

Universitas Sumatera Utara


110

berdasarkan usia paling rendah pada kelompok usia dewasa. Penelitian

kontemporer yang dilakukan di sebagian besar negara barat,

menunjukkan angka kejadian yang meningkat pada kelompok usia tua. Di

negara barat, angka kejadian epilepsi lebih tinggi pada usia 70 tahun

dibandingkan 10 tahun pertama kehidupan. Hanya 50 % kasus epilepsi

yang awal kejadiannya pada masa kanak-kanak atau remaja. Survey para

dokter umum di Inggris melaporkan bahwa hampir 25 % dari bangkitan

yang baru teridentifikasi (bukan epilepsi) terjadi pada orang berusia 60

tahun dan lebih tua (Banerjee and Hauser, 2008).

Pada penelitian ini kebanyakan pendidikan subjek adalah SMA

sebanyak 20 orang (80 %) dan sebanyak 11 orang (44 %) subjek tidak

memiliki pekerjaan. Status sosioekonomi yang rendah berhubungan

dengan banyak faktor risiko untuk terjadinya epilepsi, termasuk penyakit

serebrovaskular, cedera kepala, malformasi kongenital, infeksi sistem

saraf pusat, penyalahgunaan alkohol, tumor otak dan penyakit Alzheimer.

Hal ini berdampak pada beberapa penelitian yang meneliti hubungan

antara sosioekonomi yang rendah dengan kejadian epilepsi. Dua

penelitian yang sekarang ini menunjukkan bahwa sosioekonomi yang

rendah berhubungan dengan risiko yang meningkat untuk mengalami

epilepsi dan satu penelitian gagal untuk menemukan hubungan tersebut.

Penelitian tersebut berdasarkan komunitas ataupun populasi. Penelitian

prospektif di Inggris menyimpulkan bahwa sosioekonomi yang rendah

merupakan faktor risiko untuk terjadinya epilepsi. Penelitian Case Control

Universitas Sumatera Utara


111

di Islandia menemukan bahwa pendidikan yang rendah meningkatkan

risiko untuk mengalami bangkitan tanpa provokasi dua kali lipat

(Hesdorffer, 2008).

Mayoritas subjek yang terlibat dalam penelitian ini dengan tipe

bangkitan umum tonik klonik dengan jumlah 20 orang (80 %). Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan Setiawan dkk pada tahun 2018

dimana subjek penelitian yang terbanyak adalah subjek dengan tipe

bangkitan umum tonik klonik.

The National General Practice Study of Epilepsy (NGPSE) yang

merupakan penelitian prospektif melibatkan 564 subjek dengan berbagai

macam tipe bangkitan, menemukan 3 % dengan tipe bangkitan parsial

sederhana, 27 % dengan bangkitan umum sekunder, 35 % dengan tipe

bangkitan umum tonik klonik primer dan kurang dari 1 % masing dengan

tipe absans dan mioklonik. 14 % tipe campuran (parsial dan umum) dan 9

% tidak terklasifikasi. Tipe bangkitan umum lebih sering terjadi pada anak-

anak, sementara bangkitan parsial dua kali lebih sering pada usia dewasa

diatas 24 tahun. Kesalahan diagnosis bangkitan parsial dengan bangkitan

umum mungkin menjadi masalah di negara berkembang karena

kurangnya akses untuk pemeriksaan EEG (Kothare, 2016).

Dari 25 subjek penelitian, sebanyak 16 orang (64,0 %) menajalani

monoterapi dan 9 orang (36 %) menjalani politerapi. Hal ini sejalan

dengan penelitian Mohan dkk pada tahun 2016, dimana sebagian besar

subjek penelitian mendapatkan monoterapi. Menurut Wijaya dkk pada

Universitas Sumatera Utara


112

tahun 2019 melaporkan ada beberapa faktor yang menyebabkan

pemberian politerapi pada penderita epilepsi antara lain usia saat onset

bangkitan terjadi, tipe bangkitan, adanya gangguan neurologis, adanya

riwayat keluarga, kepatuhan konsumsi obat dan frekuensi bangkitan

setelah mendapat obat antiepilepsi. Dari beberapa faktor tersebut yang

bermakna adalah frekuensi bangkitan setelah mendapatkan terapi

antiepilepsi dengan nilai p < 0,005 dengan rasio prevalensi 0,231 (95 %

IK).

Pada penelitian ini terdapat pada 16 orang (64%) subjek memiliki

respons yang efektif terhadap terapi antiepilepsi dan tidak efektif

sebanyak 9 orang (36,0%). Temuan tersebut sesuai dengan penelitian

Ouyang dkk pada tahun 2017 dimana dari 20 subjek penelitian terdapat

11 subjek memiliki respons terapi yang efektif dan 9 orang memiliki

respons yang tidak efektif terhadap antiepilepsi.

IV.2.2. Perbedaan Gambaran EEG Sebelum dan Sesudah Terapi

Antiepilepsi

Pada penelitian ini secara statistik tidak didapatkan hubungan yang

signifikan antara gambaran EEG sebelum dan sesudah terapi dengan nilai

p = 0,109.

Pada penelitian Kossoff dkk pada tahun 2007 menemukan adanya

penurunan gelombang epileptiform pada pasien dengan BECTS setelah

diberikan levetiracetam selama 6 bulan dan pada penelitian Arkman dkk

Universitas Sumatera Utara


113

pada tahun 2003 melaporkan adanya penurunan gelombang epileptiform

pada pasien epilepsi umum dan epilepsi fokal setelah diberikan lamotrigin

selama lebih dari 24 bulan.

Ditemukannya gelombang epileptiform pada pemeriksaan EEG

interiktal umumnya dipertimbangkan sebagai manifestasi adanya

hipereksitabilitas pada sel-sel neuron yang menyebabkan timbulnya

bangkitan. Pada epilepsi umum idiopatik, terdapat hubungan yang kuat

antara adanya gelombang epileptiform pada gambaran EEG interiktal

dengan timbulnya bangkitan. Sementara pada epilepsi parsial hubungan

ini masih kontroversial. Pemeriksaan EEG ulang sering dilakukan pada

pasien epilepsi untuk memantau terapi dengan obat antiepilepsi. Hal ini

berdasarkan adanya suatu konsep bahwa obat antiepilepsi secara

potensial dapat menekan adanya gelombang epileptiform pada rekaman

EEG interiktal dan ditemukannya gelombang epileptiform pada EEG

interiktal berhubungan dengan timbulnya bangkitan ulangan. Pada

beberapa penelitian menemukan bahwa gelombang epileptiform

menghilang seiring dengan berkurangnya frekuensi bangkitan (Guida dkk,

2015).

IV.2.3. Hubungan Gambaran EEG Interiktal Terhadap Jenis Terapi

Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan

antara gambaran EEG interiktal dengan jenis terapi ( p = 0,222). Hal ini

dimungkinkan jenis obat antiepilepsi pada semua subjek penelitian tidak

Universitas Sumatera Utara


114

disamakan pada penelitian ini. Dari 16 subjek yang menjalani monoterapi,

terdapat 5 subjek yang memiliki gambaran EEG yang abnormal.

Pada penelitian yang dilakukan pada 136 pasien yang menderita

epilepsi yang bertujuan untuk melihat perubahan gambaran EEG yang

dinilai secara kuantitatif setelah diberikan terapi antiepilepsi, dimana pada

kelompok pasien yang mendapat karbamazepin menunjukkan

peningkatan absolute band power pada gelombang teta dan menurunkan

rerata frekuensi alfa. Pada pasien yang mendapat okskarbazepin tidak

mempengaruhi power tetapi menurunkan rerata frekuensi alfa. Pada

pasien yang mendapat asam valproat menunjukkan adanya penurunan

power pada gelombang delta, teta dan alfa tetapi tidak mengubah power

gelombang beta dan rerata frekuensi alfa. Pada pasien yang mendapat

lamotrigin hampir menurunkan power pada seluruh gelombang baik alfa,

beta, teta dan delta dan juga meningkatkan rerata frekuensi alfa.

Berdasarkan analisa statistik ditemukan perbedaan yang signifikan

mengenai perubahan gambaran EEG secara kuantitatif pada kelompok

pasien yang mendapat asam valproat dan lamotrigin. dan ditemukan hasil

yang tidak signifikan pada kelompok yang mendapat karbamazepin dan

okskarbazepin (Clemens dkk, 2006)

Pada penelitian lain yang melibatkan 138 pasien yang bertujuan

untuk melihat perubahan gambaran EEG setelah pemberian/pengentian

terapi antiepilepsi yang dinilai secara kuantitatif, dimana dibagi kedalam 4

kelompok. 20 pasien memulai terapi antiepilepsi, 12 pasien menghentikan

Universitas Sumatera Utara


115

terapi antiepilepsi, 33 pasien mendapatkan terapi dengan dosis yang

terkontrol dan 73 pasien sehat. Dari hasil didapat bahwa pada kelompok

yang memulai terapi antiepilepsi mengalami penurunan yang signifikan

pada frekuensi puncak dari irama EEG, dan pada kelompok yang

menghentikan obat antiepilepsi mengalami peningkatan frekuensi puncak

yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Untuk power pada

gelombang teta dan gelombang delta tidak ditemukan perbedaan yang

signifikan pada masing-masing kelompok (Salinsky dkk, 2003).

Pemberian terapi dengan obat antiepilepsi seperti karbamazepin

dan fenitoin tidak dapat menutupi gambaran EEG berupa gelombang

epileptiform pada pasien dengan epilepsi parsial. Akan tetapi, beberapa

penelitian mendukung bahwa pemberian asam valproat dapat menekan

gelombang epileptiform pada kasus epilepsi umum idiopatik. Beberapa

obat yang lebih baru seperti levetiracetam dan lamotrigin juga dapat

menekan gelombang epileptiform baik pada kasus epilepsi parsial

maupun epilepsi umum (Gil-Nagel and Abou-Khalil, 2012).

Perubahan gambaran EEG karena pemakaian obat-obat

antiepilepsi harus dibagi menjadi efek dosis terapeutik terhadap aktivitas

irama dasar, efek dosis terapeutik terhadap frekuensi dan morfologi

gelombang spikes serta efek overdosis, intoksikasi dan penghentian obat-

obat antiepilepsi terhadap gambaran EEG. Pada umumnya obat-obat

antiepilepsi memperlambat frekuensi irama dasar di regio oksipital bahkan

dengan kadar serum non toksik dan meningkatkan persentase power

Universitas Sumatera Utara


116

pada gelombang teta dan gelombang delta baik secara visual maupun

dengan analisis kuantitatif. Perubahan tersebut berkorelasi dengan efek

kognitif dan keluhan subjektif. Efek terhadap gelombang spikes pada

interiktal bervariasi dengan korelasi positif antara frekuensi bangkitan dan

jumlah gelombang spikes pada beberapa pasien (Bauer and Bauer,

2011).

IV.2.4. Hubungan Gambaran EEG Interiktal Terhadap Respons Terapi

Antiepilepsi Pada Penderita Epilepsi

Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang signifikan antara

gambaran EEG interiktak dengan respons terapi antiepilepsi pada

penderita epilepsi dengan nilai p < 0,001, dimana dari 25 subjek yang

diteliti sebanyak 15 orang memiliki respons yang efektif dengan gambaran

EEG yang normal dan 9 orang memiliki respons yang tidak efektif

menunjukkan gambaran EEG yang abnormal.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian di Taiwan pada tahun 2017

yang melibatkan 20 penderita epilepsi melaporkan bahwa apha power

band yang dinilai melalui analisis EEG pada penderita epilepsi mengalami

peningkatan power secara signifikan pada kelompok penderita yang

memiliki respons yang efektif terhadap terapi antiepilepsi dibandingkan

dengan yang tidak efektif terhadap terapi antiepilepsi. Pada penelitian

tersebut melaporkan bahwa meningkatnya power pada gelombang alfa

pada kelompok yang efektif setelah diberikan terapi antiepilepsi

Universitas Sumatera Utara


117

menunjukkan performa kognitif yang lebih baik dan kontrol bangkitan yang

lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang tidak efektif (Ouyang dkk,

2017)

Penelitian lain yang dilakukan Marciani dkk melaporkan bahwa

aktivitas irama dasar pada pemeriksaan EEG setelah diberikan lamotrigine

pada pasien epilepsi menunjukkan adanya penurunan frekuensi bangkitan

yang berhubungan dengan adanya peningkatan power pada gelombang

beta dan meningkatnya reaktivitas gelombang alfa pada pemeriksaan

EEG (Ouyang dkk, 2017)

Pada penelitian di Italia yang melibatkan 21 penderita epilepsi

untuk melihat perubahan gambaran EEG dengan menghitung jumlah total

gelombang epileptiform yang dilakukan selama 24 jam sebelum dan

sesudah diberikan terapi antiepilepsi, didapatkan bahwa dari 11 pasien

yang bebas bangkitan, hanya 1 pasien yang tidak muncul gelombang

epileptiform selama 24 jam pemeriksaan, 8 pasien menunjukkan

penurunan jumlah gelombang epileptiform dibandingkan sebelum terapi, 2

pasien menunjukkan peningkatan jumlah gelombang epileptiform dan

durasi gelombang yang meningkat. Mereka menyimpulkan bahwa

modifikasi gambaran epileptiform pada EEG tidak selalu berhubungan

dengan kesan klinis (Pro dkk, 2008).

Pemakaian fenitoin meningkatkan power pada gelombang alfa dan

gelombang delta dengan kadar obat didalam darah pada rentang normal

dan tanpa adanya tanda intoksikasi. Dilaporkan bahwa tidak terdapat

Universitas Sumatera Utara


118

perubahan, peningkatan atau penurunan gelombang spikes setelah

pemakaian fenitoin. Tidak terdapat perubahan pada aktivitas irama dasar

yang terjadi setelah dosis fenitoin diturunkan. Penghentian obat-obat

antiepilepsi rutinnya digunakan sebagai metode untuk merangsang

terjadinya bangkitan pada pemantauan epilepsi secara intensif dan tidak

ada informasi yang diperoleh melalui prosedur tersebut untuk melihat zona

mulanya bangkitan. Hal yang sama juga dilaporkan setelah penghentian

karbamazepin dan asam valproat. Pada kadar yang toksik, fenitoin dapat

menyebabkan abnormalitas aktivitas gelombang delta yang difus dan

gelombang lambat yang paroksismal. Hal tersebut juga ditemukan pada

kasus ensefalopati kronis dengan kadar serum yang mendekati normal

(Bauer and Bauer, 2011)

Pemakaian karbamazepin dilaporkan dapat meningkatkan

perlambatan difus pada gambaran EEG yang dinilai secara kualitatif.

Besser dkk pada tahun 1992 melaporkan tidak ditemukan korelasi antara

kadar serum karbamazepin dengan peningkatan power pada gelombang

alfa dan gelombang delta pada penilaian EEG secara kuantitatif. Lebih

jauh, perlambatan yang tampak pada EEG tidak berhubungan dengan

meningkatnya frekuensi bangkitan. Hiponatremia berat yang terjadi pada

2,8 % pasien yang diberikan karbamazepin, efek samping tersebut

mungkin berkontribusi terhadap perkembangan perlambatan difus pada

EEG. Aktivitas umum yang paroksismal termasuk gelombang spikes

mungkin dapat meningkat. Gelombang fokal spikes yang sudah ada

Universitas Sumatera Utara


119

sebelumnya bisa meningkat atau tidak mengalami perubahan setelah

pemakaian karbamazepin. Adanya gelombang epileptiform yang baru

setelah pemakaian karbamazepin masih sedang diamati, dan adanya

gelombang spikes dapat disertai dengan adanya eksaserbasi bangkitan.

Overdosis karbamazepin mungkin juga dapat mengeksaserbasi bangkitan.

Akan tetapi, beberapa antiepilepsi yang lain dapat memperburuk

bangkitan. Overdosis hanya mewakili satu dari tiga kemungkinan

penyebab. Karbamazepin diklaim memiliki efek samping terhadap

neuropsikologis yang lebih sedikit dibandingkan phenobarbital. Akan

tetapi, karbamazepin memiliki efek samping terhadap fungsi kognitif yang

secara signifikan tidak berbeda dengan pemakaian fenitoin. Tanda klinis

akibat keracunan karbamazepin yang akut yaitu dijumpai ataxia,

nystagmus, diplopia, mengantuk, dan perlambatan yang difus pada

gambaran EEG. Kondisi koma menandakan adanya intoksikasi yang berat

dan EEG dapat memburuk menjadi pola burst-supression yang disertai

dengan mioklonus. Pemakaian okskarbazepin yang analog dengan

karbamazepin, menunjukkan adanya perubahan gambaran EEG yang

ditandai dengan adanya gelombang spikes yang umum yang tidak tampak

sebelum diberikan obat tersebut dan kadang disertai dengan

memburuknya tipe bangkitan umum (Bauer and Bauer, 2011)

Pemakaian asam valproat pada dosis biasa tidak berubah secara

signifikan pada aktivitas irama dasar pada EEG. Dengan analisis EEG

yang telah diproses menunjukkan adanya penurunan sinkronisasi pada

Universitas Sumatera Utara


120

frekuensi delta dan theta (Clemens, 2008). Perubahan yang paling

penting terdiri dari menurunnya atau bahkan hilangnya gelombang spikes

umum bersamaan dengan menurunnya frekuensi bangkitan. Gelombang

spikes yang fotosensitif juga menghilang setelah pemakaian asam

valproat. Intoksikasi asam valproat kadang-kadang disertai dengan

adanya perlambatan difus yang dipertimbangkan disebabkan oleh karena

adanya interaksi obat. Perbedaan antarindividu yang sangat besar telah

diamati dengan keracunan valproate akut. Mengantuk, stupor, dan koma

bisa terjadi pada dosis asam valproat yang normal, dengan atau tanpa

perubahan metabolik seperti hiperamonemia dan kadar carnitine yang

rendah. Dalam mendiagnosis ensefalopati yang terkait dengan pemakaian

asam valproat, EEG memainkan peran yang sangat pentng. Yang ditandai

dengan perubahan yang dramatis pada rekaman yang berurutan dengan

terjadinya aktivitas gelombang lambat bertegangan tinggi yang sinkron

secara bilateral. Laporan kasus yang ada melaporkan mengenai

ensefalopati akibat pemakaian asam valproat yang menunjukkan adanya

gelombang trifasik pada EEG. Gagal hati yang fatal setelah pemakaian

asam valproat telah dilaporkan. Tidak ada indikasi bahwa rekaman EEG

yang berulang kali dapat menyulut komplikasi yang berbahaya ini.

Walaupun asam valproat semakin banyak digunakan dalam penanganan

status epileptikus, zat itu dengan sendirinya dapat memicu status

epileptikus tipe tonik (Bauer and Bauer, 2011).

Universitas Sumatera Utara


121

Menilai risiko untuk mengalami bangkitan kedua setelah bangkitan

tanpa provokasi yang pertama sekali terjadi merupakan hal yang penting

dalam memutuskan untuk memulai terapi antiepilepsi, dimana

pemeriksaan EEG interiktal dapat membantu untuk menilai risiko tersebut.

Lima dari enam penelitian menemukan bahwa ditemukannya gambaran

EEG yang abnormal berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi untuk

mengalami bangkitan ulangan (Pillai and Sperling, 2006).

IV.2.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan, dimana pada penelitian ini

lamanya pemakaian obat sebelum dilakukan pemeriksaan EEG ulang

pada masing-masing subjek penelitian tidak disamakan, sehingga

kemungkinan timbulnya bias besar pada penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


122

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh pada penelitian ini,

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara gambaran

elektroensefalografi interiktal terhadap respons terapi antiepilepsi

pada penderita epilepsi ( p < 0,001).

2. Tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara gambaran EEG

interiktal terhadap jenis terapi yang diberikan pada penderita

epilepsi (p = 0,222).

3. Tidak terdapat perbedaan gambaran EEG yang signfikan antara

sebelum dan sesudah terapi antiepilepsi dengan nilai p = 0,109.

4. Dari 25 subjek penelitian yang dianalisa mayoritas adalah

perempuan (68,0 %). Usia subjek rata-rata 30,84 (18,0-59,0) tahun.

Pendidikan terbanyak adalah SMA (80,0 %). Mayoritas pasien tidak

bekerja (44,0 %) dan suku terbanyak adalah suku jawa (32,0 %).

V.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, kami mengajukan beberapa saran,

yaitu :

122

Universitas Sumatera Utara


123

1. Pada penelitian ini sebaiknya lama pemakaian obat sebelum

dilakukan pemeriksaan EEG ulang pada masing-masing subjek

sebaiknya disamakan agar tidak menimbulkan bias dan diperoleh

hasil penelitian yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara


124

DAFTAR PUSTAKA

Abela, E., Pawley, A.D., Tangwiriyasakul, C., Yaakub, S.N., Chowdhury,


F.A., Elwes, R.D.C., et al. 2018. Slower alpha rhythm associates with
poorer seizure control in epilepsy. Annals of Clinical and Translational
Neurology. 6(2) : 333-343.
Asawavichienjinda, T., Sitthi-Amorn, C., and Tanyanont, W. 2002.
Prevalence of epilepsy in rural Thailand: a population-based study. J
Med Assoc Thai. 85: 1066–73.
Banerjee, P.N., and Hauser, W.A. Incidence and Prevalence. In: Engel, J.,
and Pedley, T.A., ed. Epilepsy A Comprehensive Textbook. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia. Pp. 45-54.
Bauer, G., and Bauer, R. 2011. EEG, Drug Effects, and Central Nervous
System Poisoning. In: Schomer, D.L., and da Silva, F.H.L., eds.
Niedermeyer’s Electroencephalography. Lippincott Williams and
Wilkins. Philadephia. PP 901-922.
Budikayanti, A 2018. Prosedur Perekaman EEG. Dalam: Syeban, Z.,
Octaviana, F., dan Budiyakanti, A., ed. EEG Praktis. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 19-32.
Budikayanti, A., Islamiyah, W.R., dan Lestari, N.D. 2014. Diagnosis dan
Diagnosis Banding. Dalam : Kusumastuti, K., Gunadharma, S., dan
Kustiowati, E., ed. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Airlangga
University Press. Surabaya. Hal 11-22.
Chong, T.T.J., and D’Souza, W. 2013. Epilepsy in the Elderly. In: Shorvon,
S., Guerrini, R., Cook, M., and Lhatoo, S.D., eds. Oxford Textbook of
Epilepsy and Epileptic Seizures. Oxford University Press. United
Kingdom. Pp 201-210.
Clemens, B., Menes, A., Piros, P., Bessenyei, M., Altmann, A., Jerney, J.,
et al. 2006. Quantitative EEG effects of carbamazepine,
oxcarvbazepine, valproate, lamotrigine, and possible clinical relevance
of the findings. Epilepsy Research. 70: 190-199.

124

Universitas Sumatera Utara


125

Fernandez-Torre, J.L. 2010. Interictal EEG. In : Panayiotopoulos, C.P., ed.


Atlas of Epilepsies.Springer-Verlag. London. Pp 701-711.
Fisher, R.S., Cross, J.H., D’Souza, C., French, J.A., Haut. S.R., Higurashi,
N., et al. 2017. Instruction manual for the ILAE 2017 operational
classification of seizure types. Epilepsia. 58 : 531-542.
Gil-Nagel, A., and Abou-Khalil, B. Electroencephalography and Video-
Electroencephalography. In: Aminoff, M.J., Boller, F., and Swaab,
D.F., ed. Handbook of Clinical Neurology Volume 107. Elsevier.
Amsterdam. Pp. 323-340.
Guida, M., Iudice, A., Bonanni, E., Giorgi, F.S. 2015. Effect of antiepileptic
drugs on interictal epileptiform discharges in focal epilepsies; an
update on current evidence. Expert Review of Neurotherapeutics.15
(8): 947-959.
Gunawan, C., Seneviratne, U., and D’Souza, W. 2019. The effect of
antiepileptic drugs on epileptiform discharges in genetic generalized
epilepsy : A systematic review. Epilepsy and Behaviour. 96 : 175-182.
Hamid, D. 2018. Gambaran Epileptiform Lokal Dalam: Syeban, Z.,
Octaviana, F., dan Budiyakanti, A., ed. EEG Praktis. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 119-128.
Hesdorffer, D.C. Risk Factors. In: Engel, J., and Pedley, T.A., ed. Epilepsy
A Comprehensive Textbook. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. Pp. 57-62.
Kaiser, D.A. 2006. What Is Quantitative EEG?. Journal of Neurotheraphy.
10 (4) : 37-52.
Kothare, S.V. Epidemiology. In: Husain, A.M., ed. Practical Epilepsy.
Demos Medical Publishing. New York. Pp 59-61.
Kusumastuti, K., dan Basuki, M. 2014. Definisi, Klasifikasi, dan Etiologi
Epilepsi. Dalam : Kusumastuti, K., Gunadharma, S., dan Kustiowati,
E., ed. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Airlangga University Press.
Surabaya. Hal 5-10.

Universitas Sumatera Utara


126

Lemeshow, S., Hosmer, D.W., Klar, J., and Lwanga, S.K. 1990. Adequacy
of Sample Size in Health Studies. Jhon Wiley & Sons Ltd.
England.
Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Artifacts. In: Libenson, M.
Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 124-145.
Libenson, M. 2010. Electroencephalographic Localization. In: Libenson, M.
Practical Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 55-88.
Libenson, M. 2010. Introduction to Commonly Used Terms in
Electroencephalography. In: Libenson, M. Practical Approach to
Electroencephalography. Saunders Elsevier, Philadelphia. Pp 31-54.
Libenson, M. 2010. The Abnormal EEG. IN: Libenson, M. Practical
Approach to Electroencephalography. Saunders Elsevier.
Philadelphia. Pp 176-203.
Lukasiuk, K., and Pitkanen, A. 2012. Molecular basis of acquired
epileptogenesis. In : Aminoff, M.J., Boller, F., and Swaab, D.F., eds.
Handbook of Clinical Neurology Vol. 107: Epilepsy Part 1. Elsevier
B.V. Amsterdam. Pp 1-10.
Mac, T.L., Tran, D.S., Quet, F., Odermatt, P., Preux, P.M., and Tan, C.T.
2007. Epidemiology, aetiology, and clinical management of epilepsy in
Asia : A systematic review. Lancet Neurology. 6: 533-43.
Misulis, K.E., and Head, T.C. 2003. Special studies in
electroencephalography. In : Misulis, K.E., and Head, T.C. Essentials
of Clinical Neurophysiology. Butterworth Heinemann. United States of
America. Pp117-126.
Mohan, L., Singh, J., Singh, Y., Kathrotia, R., Goel, A. 2016. Association of
Interictal Epileptiform Discharges with Sleep and Anti-Epileptic Drugs
Annals of Neurosciences. 23:230-234.
Moshẻ S.L., Perucca, E., Ryvlin, P., and Tomson, T. 2014. Epilepsy: new
advances. Lancet. 385: 884-98.

Universitas Sumatera Utara


127

Ngugi, A.K., Bottomley, C., Kleinschmidt, I., Sander, J.W., and Newton,
C.R. 2010. Estimation of the burden of active and life-time epilepsy: a
meta-analytic approach. Epilepsia. 51:883–90.
Nizmah. 2018. Gambaran EEG Normal. Dalam: Syeban, Z., Octaviana, F.,
dan Budiyakanti, A., ed. EEG Praktis. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 33-52.
Octaviana, F. 2018. Artefak. Dalam: Syeban, Z., Octaviana, F., dan
Budiyakanti, A., ed. EEG Praktis. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 75-92
Octaviana, F. 2018. Prinsip Dasar Elektroensefalografi. Dalam: Syeban,
Z., Octaviana, F., dan Budiyakanti, A., ed. EEG Praktis. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Hal 1–
18.
Octaviana, F., Budikayanti, A., Wiratman, W., Indrawati, L.A., dan Syeban,
Z. 2017. Bangkitan dan Epilepsi. Dalam : Aninditha, T., dan Wiratman,
W., ed. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 75-95.
Octaviana, F., dan Khosama, H. 2014. Epidemiologi Epilepsi. Dalam :
Kusumastuti, K., Gunadharma, S., dan Kustiowati, E., ed. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Airlangga University Press. Surabaya. Hal 1-4.
Oster, J.M., Gutrecht, J.A., Bagla, R., Arie, J.E., and Cosgrove, G.R. 2012.
Epilepsy. In : Jones, R.H., Srinivasan, J., Allam, G.J., and Baker, R.A.,
eds. Netter’s Neurology. Elsevier Saunders. Philadhelpia. Pp 175-190
Ouyang, C.S., Chiang, C.T., Yang, R.C., Wu, R.C., Wu, H.C., and Lin, L.C.
2017. Quantitattive EEG findings and response to treatment with
antiepileptic medications in children with epilepsy. Brain and
Development. 2017: 1-10.
Perucca E. 2005. An introduction to antiepileptic drugs. Epilepsia. 46: 31-
37.
Pillai, J., and Sperling, M.R. 2006. Interictal EEG and The Diagnosis of
Epilepsy. Epilepsia. 14-22.

Universitas Sumatera Utara


128

Preux, P.M., and Druet-Cabanac, M. 2005. Epidemiology of epilepsy in


sub-Saharan Africa. Lancet Neurol. 4: 21–31
Pro, S., Vicenzini, E., Pulitano, P., Voti, P.L., Zarabla, A., Randi, F., et al.
2008. Effects of levetiracetam on generalized discharges monitored
with ambulatory EEG in epileptic patients. Seizure. 18: 133-138.
Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J.P., Prasad, S. 2019. Epilepsy and
Other Seizure Disorders. In: Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J.P.,
Prasad, S. Adam’s and Victor’s Principles of Neurology. McGraw Hill.
United States of America. Pp 332-370.
Sallinsky, M., Oken, B.S., Storzbach, D., and Dodrill, C.B. 2003.
Assesment of CNS Effects of Antiepileptic Drugs by Using Quantitative
EEG Measures. Epilepsia. 44: 1042-1050.
Scharfman, H.E. 2007. The Neurobiology of Epilepsy. Curr Neurol
Neurosci Rep. 7(4): 348-54.
Setiawan, I., Harsono., Asmedi, A. 2018. EEG Awal Terapi Sebagai
Prediktor Kekambuhan Pada Penderita Epilepsi Yang Mendapat
Terapi Obat Antiepilepsi. Biomedika. 10:15-19.
Singh, M. 2016. EEG of Epilepsy. In: Husain, A.M., ed. Practical Epilepsy.
Demos Medical Publishing. New York. Pp 122-135.
Swisher, C.B., and Radtke, R.A.. 2016. Principles of Treatment. In:
Husain, A.M., ed. Practical Epilepsy. Demos Medical Publishing. New
York. Pp 253-262.
Tatum, W.O. 2008 Normal EEG. In: Tatum W.O., Husain, A.M., Benbadis,
S.R., and Kaplan, P.W. Handbook of EEG Interpretation. Demos.
United States of America. Pp.1-50.
Wijaya, J.S. 2019. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemberian
Politerapi Obat Antiepilepsi Pada Anak Penderita Epilepsi. [Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara.
World Health Organization. Epilepsy. WHO fact sheet. 2017 February:1-5.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 1

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi Bapak/Ibu Yth,

Saya dr. Muhammad Taufiq Regia Arnaz, saat ini menjalani

pendidikan spesialis saraf di FK USU dan sedang melakukan penelitian

yang berjudul:

“HUBUNGAN GAMBARAN ELEKTROENSEFALOGRAFI

INTERIKTAL TERHADAP RESPONS TERAPI ANTIEPILEPSI

PADA PENDERITA EPILEPSI”

yang menyangkut hubungan antara rekaman gelombang listrik di otak

terhadap respons terapi setelah diberikan terapi antiepilepsi pada

penderita epilepsi.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

antara rekaman gelombang listrik di otak terhadap respons penderita

epilepsi setelah diberikan obat antiepilepsi. Adapun manfaatnya bagi

Bapak/Ibu dengan mengetahui apakah terdapat hubungan rekaman

gelombang listrik di otak terhadap respons terapi antiepilepsi pada

penderita epilepsi dapat mengetahui manfaat obat antiepilepsi yang

diberikan pada penderita epilepsi dengan demikian dapat meningkatkan

kualitas hidup penderita epilepsi.

Bapak/Ibu akan diikutkan dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya,

prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


Setelah bapak/ibu dinyatakan menderita epilepsi setelah dilakukan

pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi (EEG), kemudian

bapak/ibu diberikan obat antiepilepsi sesuai dengan jenis kejang yang

bapak/ibu alami, kemudian saya akan memberikan catatan harian tentang

serangan kejang epilepsi untuk mengetahui apakah bapak/ibu masih

mengalami kejang pada saat dirumah/diluar rumah setelah bapak/ibu

minum obat antiepilepsi, diharapkan bapak/ibu mengisi catatan harian

tersebut sesuai dengan penjelasan yang diberikan sebelumnya. 1 bulan

kemudian bapak/ibu akan dilakukan pemeriksaan EEG kembali untuk

melihat perubahan gambaran EEG setelah diberikan obat antiepilepsi.

Penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi

bapak/ibu sekalian. Namun, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

selama penelitian berlangsung, atau ada hal yang kurang jelas yang ingin

ditanyakan, Bapak/Ibu dapat menghubungi saya dr. Muhammad Taufiq

Regia Arnaz (HP 082168009974) untuk mendapat pertolongan.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak/Ibu yang telah ikut

berpartisipasi dalam penelitian ini, diharapkan bapak/ibu bersedia mengisi

lembar persetujuan turut serta dalam penelitian.

Medan,...........................2019

Peneliti

(dr. M. Taufiq Regia Arnaz)

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 2

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Jenis Kelamin :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secara terperinci dan jelas mengenai


penelitian yang berjudul “HUBUNGAN GAMBARAN
ELEKTROENSEFALOGRAFI INTERIKTAL TERHADAP RESPONS
TERAPI ANTIEPILEPSI PADA PENDERITA EPILEPSI” dan setelah
mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penelitian tersebut, maka dengan ini saya
secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan saya ikut dalam
penelitian tersebut.

Medan, …………………….2019
Yang memberikan penjelasan Yang membuat pernyataan
persetujuan

dr. M. Taufiq Regia Arnaz ……………………………

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 3

LEMBAR PENGUMPULAN DATA

I. DATA PRIBADI PENDERITA


Nama : ………………………………………
Umur : …… tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan
Pekerjaan : ………………………………………
Pendidikan : ....................................................
Suku : ………………………………………
Alamat : ………………………………………
Telepon : ………………………………………
Status Perkawinan : Kawin / Tidak kawin
Nomor MR : ………………………………………
Tanggal Masuk RS : ………………………………………

II. ANAMNESA DAN VITAL SIGN


1. Anamnesa :

2. Vital Sign
Kesadaran : □ CM □ Apatis □ Somnolen
□Sopor □ Koma
SKG : ………………………………………
Tekanan Darah :...................................................mmHg
Nadi : ………………………………………x / menit
Pernafasan : ………………………………………x / menit

Universitas Sumatera Utara


Temperatur : ………………………………………0C
3. Riwayat Hipertensi : □ Ada □ Tidak Ada
4. Riwayat Diabetes Mellitus : □ Ada □ Tidak Ada
5. Kebiasaan Merokok : □ Ada □ Tidak Ada
6. Riwayat Gangguan Ginjal : □ Ada □ Tidak Ada
7. Riwayat Gagal Jantung : □ Ada □ Tidak Ada
8. Tipe Bangkitan :
9. Terapi Antiepilepsi :
10. Usia saat bangkitan pertama :

III. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Hasil Pemeriksaan EEG Sebelum Terapi Antiepilepsi
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………

B. Hasil Pemeriksaan EEG Setelah Terapi Antiepilepsi

…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 4
Catatan Harian tentang Serangan Kejang Epilepsi

Serangan yang saya alami sepintas lalu:

Isilah kotak untuk setiap serangan kejang yang anda alami dengan hari
yang tepat. Anda bisa mengisi kotak-kotak dengan warna yang berbeda
untuk jenis sesuka hati anda.

Bulan......................................
Jumlah serangan kejang (satu kotak untuk satu serangan):

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Tanggal

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 5 DATA HASIL PENELITIAN
No Nama MR Usia Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Onset Bangkitan Tipe Bangkitan Freuensi Terapi Respons EEGi1 EEGi2 Suku
Bangkitan
1 IT 624362 40 Perempuan S1 Swasta 40 Atonik 2x/bulan Monoteraoi Efektif Abnormal Normal Karo
2 JBB 368574 30 Laki-laki SMA Tidak bekerja 26 Parsial Kompleks 3x/minggu Politerapi Efektif Abnormal Normal Batak
3 EN 555490 30 Perempuan SMA Ibu rumah tangga 20 Umum tonik klonik 2x/minggu Politerapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Jawa
4 WRS 690680 54 Laki-laki SMA Swasta 44 Fokal 1x/minggu Monoterapi Efektif Normal Normal Jawa
5 HH 295878 43 Laki-laki SMA Swasta 33 Umum tonik klonik 1x/hari Politerapi Tidak Efektif Normal Abnormal Mandailing
6 SG 730956 59 Laki-laki SMA Swasta 59 Umum tonik klonik 2x/hari Monoterapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Karo
7 NT 682692 28 Laki-laki SMA Swasta 27 Umum tonik klonik 1x/minggu Monoterapi Efektif Abnormal Normal Karo
8 NAH 682071 19 Perempuan SMA Tidak bekerja 15 Umum tonik klonik 1x/hari Monoterapi Efektif Abnormal Abnormal Mandailing
9 CDS 240323 28 Laki-laki SMA Swasta 24 Umum tonik klonik 2x/minggu Politerapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Batak
10 SJS 732893 22 Perempuan SMA Tidak bekerja 18 Umum tonik klonik 2x/bulan Politerapi Efektif Normal Normal Batak
11 ZR 622746 19 Perempuan SMP Tidak bekerja 16 Umum tonik klonik 1x/bulan Politerapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Melayu
12 ESM 688436 34 Perempuan SMA Ibu rumah tangga 32 Umum tonik klonik 2x/hari Monoterapi Tidak Efektif Normal Abnormal Jawa
13 VAY 717723 25 Perempuan S1 Swasta 21 Umum tonik klonik 1x/hari Monoterapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Melayu
14 FA 596171 18 Perempuan SMA Tidak bekerja 17 Umum tonik klonik 2x/bulan Politerapi Efektif Abnormal Normal Jawa
15 YSW 652424 26 Perempuan S1 Swasta 25 Atonik 2x/bulan Monoterapi Efektif Abnormal Normal Nias
16 N 710918 40 Perempuan SMA Ibu rumah tangga 39 Umum tonik klonik 3x/minggu Monoterapi Efektif Normal Normal Aceh
17 NAO 793912 20 Perempuan SMA Tidak bekerja 20 Umum tonik klonik 1x/bulan Monoterapi Efektif Abnormal Normal Jawa
18 AS 703434 52 Laki-laki SMA Tidak bekerja 51 Umum tonik klonik 1x/bulan Monoterapi Efektif Abnormal Normal Batak
19 MHB 793688 40 Perempuan S1 Ibu rumah tangga 40 Umum tonik klonik 2x/bulan Politerapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Mandailing
20 NHY 792691 20 Perempuan SMA Tidak bekerja 20 Umum tonik klonik 4x/bulan Politerapi Efektif Abnormal Normal Mandailing
21 Rina 795608 35 Perempuan SMA Ibu rumah tangga 34 Umum tonik klonik 1x/bulan Monoterapi Efektif Normal Normal Jawa
22 IR 796659 20 Laki-laki SMA Tidak bekerja 20 Umum tonik klonik 1x/bulan Monoterapi Efektif Normal Normal Jawa
23 RSS 796000 18 Perempuan SMA Tidak bekerja 18 Umum tonik klonik 3x/bulan Monoterapi Efektif Normal Normal Batak
24 PBG 737583 19 Perempuan SMA Tidak bekerja 19 Umum tonik klonik 2x/bulan Monoterapi Tidak Efektif Abnormal Abnormal Karo
25 MJM 786680 32 Perempuan SMA Ibu rumah tangga 32 Fokal 1x/bulan Monoterapi Efektif Normal Normal Jawa

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Scanned by CamScanner

Anda mungkin juga menyukai