Anda di halaman 1dari 66

PROFIL PASIEN SIROSIS HATI

DI RUANG RAWAT INAP PENYAKIT DALAM


RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PENELITIAN RETROSPEKTIF DI BAGIAN /SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RS H ADAM MALIK MEDAN

JANUARI 2009 – DESEMBER 2011

TESIS

OLEH

IMELDA REY

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012

Universitas Sumatera Utara


DIAJUKAN DAN DIPERTAHANKAN DIDEPAN SIDANG LENGKAP
DEWAN PENILAI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAN DITERIMA SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK
MENDAPATKAN KEAHLIAN DALAM BIDANG
ILMU MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

PEMBIMBING TESIS

PROF Dr LUKMAN H ZAIN,SpPD-KGEH & Dr.MABEL SIHOMBING,SpPD-KGEH

Disahkan oleh :

Ketua Ketua Program Studi


Departemen Penyakit Dalam Magister Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran USU Fakultas Kedokteran USU

(Dr. Salli R. Nasution, SpPD-KGH.) (Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH)

Universitas Sumatera Utara


DEWAN PENILAI

1. Prof.Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP(K)

2. Dr. Sri Maryuni Sutadi, SpPD-KGEH

3. Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH

4. DR. Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD

5. Dr. Ermanta Ngirim Keliat, SpPD-KP

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan kekuatan dan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini yang berjudul : PROFIL PASIEN SIROSIS HATI DI RUANG RAWAT

INAP PENYAKIT DALAM RSUP H. ADAM MALIK MEDAN yang merupakan

persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Magister Ilmu Penyakit Dalam

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Dengan selesainya karya tulis ini, maka penulis ingin menyampaikan

terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr Salli R Nasution, SpPD-KGH, selaku Kepala Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah

memberikan kemudahan dan perhatian yang besar terhadap pendidikan

penulis.

2. Dr Zulhelmi Bustami SpPD-KGH dan Dr Zainal Safri SpPD-SPJP sebagai

ketua dan sekretaris program studi Ilmu Penyakit Dalam yang dengan

sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli

penyakit dalam yang berilmu, handal dan berbudi luhur.

3. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Prof Dr Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH

selaku kepala Divisi Gastroentero Hepatologi Departemen Ilmu Penyakit

Dalam dan sebagai pembimbing tesis serta kepada Dr Mabel Sihombing,

SpPD-KGEH sebagai pembimbing tesis yang penulis rasakan benar-

benar dengan tulus membantu penulis menyelesaikan penelitian dan

Universitas Sumatera Utara


karya tulis ini, hanya doa yang dapat penulis berikan kiranya berkat

berlimpah dari Yang Maha Kuasa selalu beserta mereka dan keluarga.

3. Seluruh staf Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSUD Dr

Pirngadi/ RSUP H. Adam Malik Medan : Prof Dr Harun Rasyid Lubis,

SpPD-KGH, Prof Dr Bachtiar Fanani Lubis, SpPD-KHOM, Prof Dr

Habibah Hanum, SpPD-KPsi, Prof Dr OK Moehadsyah SpPD-KR, Prof Dr

M Yusuf Nasution, SpPD-KGH, Prof Dr Gontar A Siregar, SpPD-KGEH,

Prof Dr Harris Hasan SpPD-SpJP(K), Dr A Adin St Bagindo SpPD-KKV,

Dr Lufti Latief, SpPD-KKV, Dr Syafii Piliang, SpPD-KEMD (Alm), Dr H OK

Alfien Syukran SpPD-KEMD (alm), Dr Betthin Marpaung, SpPD-KGEH,

Dr Sri M Sutadi SpPD-KGEH, Dr Juwita Sembiring, SpPD-KGEH, Dr

Alwinsyah Abidin, SpPD, Dr Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Dr

Chairul Bahri, SpPD (alm), , Dr Mardianto, SpPD, DR Dr Dharma Lindarto

SpPD-KEMD, , Dr Yosia Ginting, SpPD-KPTI, Dr Refli Hasan SpPD-SpJP

(FIHA)(K), Dr EN Keliat SpPD-KP, Dr Blondina Marpaung SpPD-KR, Dr

Leonardo Dairy SpPD-KGEH yang merupakan guru-guru penulis yang

telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada penulis selama

mengikuti pendidikan.

4. Dr Armon Rahimi, SpPD, Dr R Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH (alm),

Dr Daud Ginting SpPD, Dr Tambar Kembaren SpPD, Dr Saut Marpaung

SpPD, , Dr Zuhrial SpPD, Dr Ilhamd SpPD, Dr Calvin Damanik, SpPD, Dr

Rahmat Isnanta, SpPD, Dr Santi Safril, SpPD, Dr Dairion Gatot, SpPD,

Dr Soegiarto Gani SpPD, Dr Franciscus Ginting, SpPD, Dr Savita

Handayani, SpPD, Dr. Hariyani Adin,SpPD, Dr. Endang SpPD, Dr. Deske

Universitas Sumatera Utara


Muhadi SpPD, sebagai dokter kepala ruangan/ senior yang telah amat

banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.

5. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima

saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.

6. Direktur RSUP H Adam Malik Medan dan RSUD Dr Pirngadi Medan yang

telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam

menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang

pendidikan keahlian ini.

7. Kepada Drs Abdul Jalil Amri Arma, MKes yang telah memberikan bantuan

yang tulus kepada penulis khususnya dalam metodologi penelitian ini.

8. Para sejawat PPDS-Interna, Paramedis dan seluruh karyawan/ti bagian

Penyakit Dalam RSUD. Dr. Pirngadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan :

Lely Husna, Yanti, Theresia, Syafruddin Abdullah, Fitri ,Wanti, Sari ,Tika

dan Deni yang telah banyak membantu dan bekerjasama dengan baik

selama ini.

9. Para penderita rawat inap dan rawat jalan di SMF/Departemen Ilmu

Penyakit Dalam RSUD. Dr. Pirngadi dan RSUP. H. Adam Malik Medan,

karena tanpa mereka mustahil penulis dapat menyelesaikan pendidikan

ini.

10. Kepada kedua orang tua saya Dr. Rustam Effendi Ys,SpPD dan Dr.

Chairul Rahmah SpPK yang saya kasihi, tiada kata-kata yang paling tepat

untuk mengungkapkan perasaan hati, rasa terimakasih atas segala jasa-

jasa yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan.

Universitas Sumatera Utara


11. Kepada saudara sekandungku sekalian yang telah banyak membantu,

memberi semangat dan dorongan selama pendidikan, terimakasihku yang

tak terhingga untuk segalanya. .

Khusus untuk suamiku tercinta Dr. Syafrizal Nasution,SpPD terimakasih

atas kesabaran, keikhlasan, dukungan dan pengorbanan selama ini, semoga

dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita. Dan anakku Astrid

Beauty Clarissa Nasution semoga apa yang kita jalani selama ini dapat

menjadi pendorong untuk mencapai cita-cita yang lebih baik lagi.

Sebenarnya masih banyak lagi kata ucapan terima kasih yang ingin

penulis sampaikan buat berbagai pihak yang tidaklah mungkin disebutkan

satu persatu, dan pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan

rasa terimakasih yang setulusnya secara menyeluruh.

Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas

kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala

bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama

mengikuti pendidikan kiranya mendaapt balasan dari Allah SWT . Amin ya

Rabbal Alamin.

Medan, 22 Juli 2012

Penulis

Imelda Rey

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

Kata pengantar ....................................................................................i

Daftar isi ..............................................................................................v

Daftar Tabel.......................................................................................viii

Daftar singkatan ..................................................................................ix

Abstrak.................................................................................................x

BAB I : P E N D A H U L U A N ................................................1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sirosis Hepatis................................................................3

2.2. Etiologi dari Sirosis Hepatis...……………………...........................4

2.3. Klasifikasi Sirosis Hepatis…..........................................................5

2.4. Gejala dan Temuan Klinis...………………………………...............10

2.5. Diagnosa....................................................................................14

2.6. Komplikasi..................................................................................17

2.7. Penatalaksanaan.........................................................................27

2.8. Prognosis....................................................................................28

BAB III : PENELITIAN SENDIRI

3.1. Latar Belakang..........................................................................31

3.2. Perumusan Masalah ................................................................31

Universitas Sumatera Utara


3.3. Tujuan Penelitian .....................................................................32

3.4. Manfaat Penelitian ................................. .................................32

3.6. Kerangka Konsepsional ...........................................................32

3.7. Bahan dan Cara

3.7.1. Desain Penelitian ...........................................................32

3.7.2. Definisi operasional………………………………………....33

3.7.2.1.Sirosis hati................................................. …….33

3.7.2.2.Child pugh...............……………………………….33

3.7.2.3.Kriteria child pugh.........................................…..33

3.7.3. Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………..33

3.7.4. Populasi Terjangkau ………………………………………..33

3.7.5. Kriteria Inklusi ……………………………………………….33

3.7.6. Kriteria Eksklusi ………………………………………….....34

3.7.7. Populasi dan Sampel ……………………………………....34

3.7.8. Cara Penelitian ...............................................................34

3.7.9. Analisa Data ..................................................................34

3.7.10.Kerangka Operasional ...................................................35

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian ....................................................................36

4.1.1. Karakteristik Subyek Penelitian .................................36

4.2 . Pembahasan.........................................................................38

Universitas Sumatera Utara


BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. K e s i m p u l a n ....................................................................42

5.2. S a r a n ..................................................................................42

BAB VI : DAFTAR PUSTAKA ....................................................43

LAMPIRAN

Daftar Riwayat Hidup.......................................................................48

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Skor Child Pugh................................................................13

Tabel 1. Karakteristik penderita sirosis hati berdasar adanya

Hepatitis B, Hepatitis C dan Non viral..................................37

Tabel 2. Persentase child pugh turcotte A, B dan C penderita

Sirosis hati..…….................................................................37

Table 3. Klasifikasi child pugh turcotte berdasarkan hepatitis B, C

& non viral ……………………………………………………….37

Table 4. Persentase Ensefalopati Hepatik berdasarkan Hepatitis B,

C dan non viral...................................................................38

Table 5. Persentase Asites berdasarkan Hepatitis B, C dan non

Viral………………………………………………………………..38

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN
MES : Matriks ekstraseluler

HSC : Hepatic stellate cells

MMP : Matriks metallo proteinase

PINP : Procollagen I carboxy terminal peptide

PIIINP : Procollagen III amino terminal peptide

TIMP : Tissue Inhibitor of metalloproteinase

TGF β : Transforming growth factor β

PDGF : Platelet derived growth factor

CTGF : Connective tissue growth factor

TNF α : Tumor necrosis factor α

ROS : Reactive oxydative stress

MCP : Monocyte chemoattractan protein

PKA : Protein kinase A

KC : Kupffer cells

IFN α : Interferon α

NASH : Nonalcoholic steatohepatitis

IL : Interleukin

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAKS

PROFIL PASIEN SIROSIS HATI DI RUANG RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RSUP
H. ADAM MALIK MEDAN

Imelda Rey, Mabel Sihombing, Lukman Hakim Zain


Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/ RSUP H Adam Malik Medan

PENDAHULUAN

Sirosis hati adalah keadaan penyakit yang merupakan konsekuensi dari kronisitas
dan progresifitas penyakit hati . Hepatitis viral B dan C dapat menyebabkan sirosis.
Sekitar 20% dari penderita Hepatitis B kronik akan berkembang menjadi sirosis,
sementara 20-30% penderita Hepatitis C kronik akan bekembang menjadi sirosis dalam
20-30 tahun . Konsekuensi patofisiologi sirosis diantaranya perubahan aliran darah
hepatik yaitu hipertensi portal, dan menurunnya massa sel fungsional, yang
menyebabkan berkurangnya sintesa albumin, protein koagulasi, dan menurunnya
detoksifikasi bilirubin, ammonia dan obat obatan.
Penulis ingin mengetahui profil pasien sirosis hepatis yang dirawat di RSUP H
Adam Malik periode Januari 2009 - Desember 2011.

METODE

Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengumpulkan data pasien yang dirawat
di ruangan penyakit dalam RSUP H. Adam Malik, dalam periode Januari 2009-
Desember 2011. Data dicatat melalui laporan rekam medik yang meliputi data pribadi (
umur, jenis kelamin),Hb, Leukosit, Trombosit, Bilirubin total, SGOT,SGPT, Alkalin,
Protombin time, INR Albumin,viral marker (HbsAg, Anti HBc,) asites dan ensefalopati
hepatik dan child pugh turcotte score. Selanjutnya dikelompokkan berdasarkan positif
Hepatitis B, Hepatitis C, dan Non Viral.

HASIL

Pada penelitian ini didapatkan 141 pasien dengan diagnosa sirosis hepatis, dimana 106
(75.2%) adalah pria, dan 35 (27%) wanita. Rerata usia adalah 50,95 tahun. Mean
albumin 2,41± 0,59 g/dL. Rerata Prothrombin time 16,46 ± 6,8 detik . Rerata INR 1.42
±0,46. Rerata Bilirubin total adalah 3,75±5,34 mg/dL, tidak berbeda signifikan antara
ketiga kelompok.
Asites dijumpai pada 125 (88,7%) pasien. 14 pasien (9.9%) mengalami ensefalopati
hepatik. Yang terbanyak dijumpai adalah child pugh turcotte B 88 (62,4%) pasien, diikuti
oleh child pugh turcotte C and A , (47 (33.3%), 6 (4.3%). Dijumpai yang terbanyak adalah
hepatitis B 83 (58.9%) pasien, diikuti oleh non viral 46 (32.6%) and hepatitis C 12 (8.5%).

KESIMPULAN

Dari total 141 pasien yang dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam RSUP H adam
Malik medan, yang terbanyak adalah pria yaitu sekitar 75. persen. Hepatitis B terlihat
yang terbanyak dijumpai pada pasien sirosis hepatis. Pasien terutama termasuk kedalam
klasifikasi child pugh turcotte B. Asites dijumpai pada 88,7% pasien.dan hanya empat
belas orang yang mengalami ensefalopati hepatik.

Key words: sirosis, child pugh, hepatitis

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACS

PROFILE OF CIRRHOSIS PATIENTS IN HOSPITALIZED INTERNAL MEDICINE


WARD , H ADAM MALIK HOSPITAL , MEDAN

Imelda Rey, Mabel Sihombing, Lukman Hakim Zain

Division of Gastroentero-Hepatology, Department of Internal Medicine,


Faculty of Medicine
University of North Sumatera, Adam Malik Hospital, Medan

Background

Cirrhosis is a disease state that is the consequence of a wide variety of chronic,


progressive liver disease. Chronic viral hepatitis B and C can cause cirrhosis. About 20%
of chronic hepatitis B patients will go on to develop cirrhosis, meanwhile 20-30% chronic
hepatitis C will develop cirrhosis over 20-30 years. The pathophysiologic consequences
of cirrhosis are alteration of hepatic blood flow which is portal hypertension, and reduction
in functional cell mass, resulting decreased synthesis of albumin, coagulation proteins,
and decreases detoxification of bilirubin, ammonia and drugs. The objective of this study
was to investigate the profile of cirrhosis patients in Internal Medicine Department ,Adam
Malik Hospital Medan

Methods

The study was conducted retrospectively, by examining patients with cirrhosis admitted
between January 2009 to December 2011. The results of name , age, sex, hemoglobin,
leucocyte count, Platelet count, Aspartate Aminotransferase, Alanine aminotransferase,
Prothrombin time, INR, Bilirubin, Albumin, Viral Marker, Ascites, Encephalopathy, and
Child Pugh score based on medical records.

Results

We found 141 patients with cirrhosis , which 106 (75.2%) were male, and 35 (27%) were
female. The mean age was 50.95 years old. The mean albumin was 2,41± 0,59 g/dL. The
mean Prothrombin time was 16,46 ± 6,8 seconds The mean INR was 1.42 ±0,46. Ascites
was found in 125 (88,7%) patients. 14 patients (9.9%) had encephalopathy. The most
frequent were child pugh B 88 (62.4%) patients, followed by child pugh C and A ,(47
(33.3%), 6 (4.3%), respectively). The most frequent were hepatitis B 83 (58.9%) patients,
followed by non viral and hepatitis C 46 (32.6%),12 (8.5%), respectively..

Conclusion

From total 141 patients, male were seventy five percents. Hepatitis B appeared to be the
most found in the cirrhosis patients. Most of the patients classified into child pugh B.
Most of the patients had ascites and only forteen patients had encephalopathy.

Key words: cirrhosis, child pugh, hepatitis

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

Sirosis hati adalah keadaan penyakit yang merupakan konsekuensi

dari kronisitas dan progresifitas penyakit hati . Hepatitis viral B dan C

dapat menyebabkan sirosis. Sekitar 20% dari penderita Hepatitis B kronik

akan berkembang menjadi sirosis, sementara 20-30% penderita Hepatitis

C kronik akan bekembang menjadi sirosis dalam 20-30 tahun (Bacon

2008). Konsekuensi patofisiologi sirosis diantaranya perubahan aliran

darah hepatik yaitu hipertensi portal, dan menurunnya massa sel

fungsional, yang menyebabkan berkurangnya sintesa albumin, protein

koagulasi, dan menurunnya detoksifikasi bilirubin, ammonia dan obat

obatan (Avunduk, 2008).

Kejadian sirosis hepatis untuk tiap negara berbeda-beda. Menurut

Spellberg, Schiff : kejadian di China, Ceylon dan India berkisar 4-7%, di

Afrika Timur 6,7%, di Chili 8,5% dan di Amerika Serikat ditemukan 2-4 %

dari hasil autopsi (Hadi,2002).

Lebih dari 40% pasien sirosis asimptomatis atau tanpa gejala .

Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan

atau pada waktu autopsi .Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika Serikat

diperkirakan mencapai 360 per 100.000 penduduk . Penyebabnya

sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik atau infeksi virus kronik . Di

Indonesia data prevalensi mengenai sirosis hati sampai saat ini masih

Universitas Sumatera Utara


belum ada hanya ada beberapa laporan dari pusat pendidikan saja. Di RS

Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar 4.1 % dari pasien

yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam pada kurun waktu 1 tahun 2004

(Nurdjanah , 2009). .

Prevalensi sirosis hepatis di Indonesia pada tahun 2007 sebesar

1,7% . Menurut hasil observasi selama enam tahun yaitu tahun 1990

sampai 1995 yang dilakukan oleh Aryono, ditemukan bahwa 5,3% dari

seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam Rumah Sakit

Pugeran Yogyakarta menderita sirosis hepatis. Lesmana dkk melaporkan

terdapat 256 pasien sirosis hepatis di RS Medistra Jakarta selama bulan

Agustus 2004 - Juli 2007 (Hadi, 2002).

Di negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di

Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil

penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan

sirosis sebesar 40 – 50 % dan virus hepatitis C 30 – 40 %, sedangkan 10

– 20 % penyebabnya tidak diketahui dan termasuk virus bukan B dan C

(non B – non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia mungkin

frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya (Perhimpunan Dokter

Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).

Data di Medan pada tahun 1996 menunjukkan angka 4% . Angka

pada saat ini diperkirakan akan meningkat dengan variasi gambaran klinis

dan laboratorium . Untuk itu penulis ingin mengetahui profil pasien sirosis

Universitas Sumatera Utara


hati yang dirawat di RSUP H Adam Malik periode Januari 2009 -

Desember 2011.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sirosis Hepatis

Istilah Sirosis diberikan pertama kali oleh Laennec tahun 1819,

yang berasal dari kata kirrhos yang berarti kuning orange (orange yellow),

karena terjadi perubahan warna pada nodul-nodul hati yang terbentuk

(Hadi, 2002).

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan

stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai

dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus

regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan

penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan

vaskular dan regenerasi nodularis parenkim hati (Nurdjanah , 2009).

Terlepas dari penyebab sirosis, bentuk patologisnya terdiri dari

perkembangan fibrosis yang menjadi suatu keadaan adanya distorsi

bentuk hati yang akan membentuk nodul regeneratif. Hal ini menyebabkan

penurunan massa hepatoseluler, penurunan fungsi, dan perubahan aliran

darah. Induksi fibrosis terjadi dengan aktivasi sel stellate hati, sehingga

terjadi peningkatan pembentukan jumlah kolagen dan komponen lain dari

matriks ekstraseluler (Fauci et al, 2008).

Sirosis hepatis merupakan entitas patologik yang ditandai dengan

(1) nekrosis sel hati, progresif lambat dalam waktu lama yang akhirnya

Universitas Sumatera Utara


menyebabkan gagal hati kronis dan kematian; (2) fibrosis, yang mengenai

vena sentralis dan daerah porta; (3) nodul regeneratif, akibat hiperplasia

sel hati yang bertahan hidup; (4) distorsi pada arsitektur lobular hati

normal; dan (5) mengenai seluruh hati secara difus (Taylor, 2006).

Menurut Lindseth; sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang

dicirikan dengan distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar

jaringan ikat dan nodul-nodul regenerasi sel hati. Sirosis hepatis dapat

mengganggu sirkulasi sel darah intra hepatik, dan pada kasus yang

sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati (Price, 2006).

2.2. Etiologi dari Sirosis Hepatis

Penyebab pasti dari sirosis hepatis sampai sekarang belum jelas,

tetapi sering disebutkan antara lain :

2.2.1. Faktor Kekurangan Nutrisi

Menurut Spellberg, Schiff (1998) bahwa di negara Asia faktor

gangguan nutrisi memegang penting untuk timbulnya sirosis hepatis. Dari

hasil laporan Hadi di dalam simposium patogenesis sirosis hepatis di

Yogyakarta tanggal 22 Nopember 1975, ternyata dari hasil penelitian

makanan terdapat 81,4 % penderita kekurangan protein hewani , dan

ditemukan 85 % penderita sirosis hepatis yang berpenghasilan rendah,

yang digolongkan ini ialah: pegawai rendah, kuli-kuli, petani, buruh kasar,

Universitas Sumatera Utara


mereka yang tidak bekerja, pensiunan pegawai rendah menengah (Hadi,

2002).

2.2.2. Hepatitis Virus

Infeksi virus merupakan penyebab paling sering dari sirosis

hepatis. Hanya HBV atau HCV mengakibatkan penyakit hati kronis. Virus

Hepatitis D adalah virus yang tidak lengkap yang hanya patogen bila

bersama-sama dengan HBV. Virus A dan E penyebab hepatitis, tetapi

tidak berkembang menjadi sirosis hepatis. Virus hepatitis G telah

diidentifikasi tidak menghasilkan penyakit hati. Infeksi HBV didiagnosis

oleh adanya antigen permukaan hepatitis B (HBsAg); HCV, oleh anti-HCV

dan HCV RNA (Anand, 2002).

Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu

penyebab sirosis hepatis, apalagi setelah penemuan Australian Antigen

oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit

hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk

terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi sirosis. Secara klinik telah

dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan

untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan

perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A (Hadi,

2002).

Universitas Sumatera Utara


2.2.3. Zat Hepatotoksik

Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati

akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan

kerusakan kronis akan berupa sirosis hepatis. Zat hepatotoksik yang

sering disebut-sebut ialah alkohol (Hadi, 2002).

Alkohol adalah bentuk minuman yang difermentasi yang banyak

dikonsumsi oleh orang-orang dari berbagai masyarakat dan peradaban di

seluruh dunia mulai dari periode Neolitik sekitar 10.000 SM sampai saat

ini. Penyalahgunaan alkohol dihubungkan dengan sirosis hepatis,

bagaimanapun telah terungkap dari berbagai penelitian dan studi yang

dilakukan, dimulai pada akhir abad ke-18. Karena pecandu alkohol

dengan sirosis hepatis secara konsisten kekurangan gizi dan memiliki

tubuh kurus dipercaya bahwa penyakit hati tidak disebabkan oleh

meminum terlalu banyak alkohol tetapi dikarenakan terus-menerus

kekurangan asupan gizi yang seharusnya. Konsep teori etiologi gizi untuk

penyebab sirosis menjadi faktor yang sangat kuat yang berlanjut sampai

pertengahan tahun 1960 (Nayak, 2011).

Dalam perkembangannya pada saat hasil dari studi epidemiologis

yang rinci dan studi klinis pada manusia dan studi eksperimental pada

tikus dilakukan evaluasi. Hal ini ditunjukkan pada manusia sama seperti

hewan laboratorium bahwa alkohol dapat langsung merusak sel-sel hati

terlepas dari status gizi host. Kerusakan hati dimulai dengan hati yang

Universitas Sumatera Utara


berlemak (steatosis), menyebabkan steatohepatitis, fibrosis progresif dan

akhirnya akan menyebabkan sirosis hepatis. Sampai dengan tahap sirosis

ada perbaikan jika alkohol dihentikan (Nayak, 2011).

Pada kondisi kalori dari protein kurang pada hewan dan manusia

maka akan mendorong steatosis yang parah dan luas, tetapi tidak

menyebabkan fibrosis yang signifikan dan tidak pernah menjadi sirosis.

Bahkan, pembentuk kolagen dihati dapat diatasi pada tahap kekurangan

protein (Nayak, 2011).

2.2.4. Penyakit Wilson

Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada

orang-orang muda dengan ditandai sirosis hepatis, degenerasi basal

ganglia dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna

coklat kehijauan disebut Kayser Fleischer Ring. Penyakit ini diduga

disebabkan defesiensi bawaan dari seruloplasmin. Penyebabnya belum

diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan penimbunan

tembaga dalam jaringan hati (Hadi, 2002).

2.2.5. Hemokromatosis

Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua

kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:

1. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari

Fe.

Universitas Sumatera Utara


2. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai

pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya

absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis

hepatis (Hadi, 2002).

Jika tidak diobati, hemokromatosis ini akan sangat berbahaya dan

hal ini juga mengarah ke (micronodular) sirosis. Penurunan spontan belum

diamati. Tingkat kelangsungan hidup pada sirosis haemochromatotic

adalah 60-65% setelah 10 tahun (Kuntz, 2006).

2.2.6. Sebab-Sebab Lain

1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis

kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap

reaksi dan nekrosis sentrilobuler (Hadi, 2002).

2. Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran

empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini

lebih banyak dijumpai pada kaum wanita (Hadi, 2002).

3. Penyebab sirosis hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam

sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (Hadi,

2002).

2.3. Klasifikasi Sirosis Hepatis

Secara klinis sirosis hepatis dibagi menjadi:

Universitas Sumatera Utara


1. Sirosis hepatis kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis

yang nyata.

2. Sirosis hepatis dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan

tanda klinik yang jelas.Sirosis hepatis kompensata merupakan

kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak

terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui

biopsi hati (Hadi, 2002).

Secara morfologi Sherlock membagi sirosis hepatis bedasarkan

besar kecilnya nodul, yaitu:

1. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)

2. Mikronoduler (reguler, monolobuler)

3. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler (Hadi,

2002).

Menurut Gall seorang ahli penyakit hati, membagi penyakit sirosis

hepatis atas:

1. Sirosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis

makronoduler atau sirosis toksik atau subacute yellow, atrophy

cirrhosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.

2. Nutrisional cirrhosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis

mikronoduler, sirosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty

cirrhosis. Sirosis terjadi sebagai akibat kekurangan gizi, terutama

faktor lipotropik.

Universitas Sumatera Utara


3. Sirosis Post hepatic, sirosis yang terbentuk sebagai akibat setelah

menderita hepatitis (Hadi, 2002).

Schiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:

1. Sirosis portal adalah sinonim dengan fatty, nutrional atau sirosis

alkoholik

2. Sirosis postnekrotik

3. Sirosis biliaris (Hadi, 2002).

2.4. Gejala dan Temuan Klinis

2.4.1. Gejala Sirosis Hepatis

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang

ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin

atau karena penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi

perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan

perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul

impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan

seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih

menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi

porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang

tidak begitu tinggi. Mungkin disertai adanya gangguan siklus haid, ikterus

dengan air kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah dan/atau

melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,

bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.4.2. Temuan Klinis Sirosis Hepatis

Temuan klinis sirosis meliputi spider angio maspiderangiomata

(atau spider telangiektasi), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa

vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan

atas. Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan

dengan peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa

ditemukan selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada

orang sehat, walaupun ukuran lesi kecil (Nurdjanah, 2009).

Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar

telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme

hormon esterogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan

pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme dan keganasan

hematologi.Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horisontal

dipisahkan dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum

diketahui, diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa

ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom

nefrotik. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier.

Osteoartropati gipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan

nyeri.

Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan

kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara

spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada

Universitas Sumatera Utara


pasien diabetes melitus, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga

mengkonsumsi alkohol (Nurdjanah, 2009).

Ginekomastia secara histologis berupa proliferasi benigna jaringan

glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan

androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan

aksila pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah

feniminisme. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti

sehingga dikira fase menopause. Atrofi testis hipogonadisme

menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada alkoholik

sirosis dan hemokromatosis. Hepatomegali-ukuran hati yang sirotik bisa

membesar, normal atau mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba

keras dan nodular. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis

yang penyebabnya nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa

merah lien karena hipertensi porta (Nurdjanah, 2009)

Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritonium akibat

hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat

hipertensi porta. Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien

sirosis disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfid akibat pintasan

porto sistemik yang berat. Ikterus-pada kulit dan membran mukosa akibat

bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3mg/dl tidak terlihat.

Warna urin terlihat gelap seperti air teh (Nurdjanah, 2009)

Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-

ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.

Universitas Sumatera Utara


Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya:

1. Demam yang tak tinggi akibat nekrosis hepar

2. Batu pada vesika felea akibat hemolisis

3. Pembesaran kelenjar parotis terutama sirosis alkohlik, hal ini akibat

sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.

Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini

akibat resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh beta

pankreas (Nurdjanah,2009).

Menurut Price (2006), tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:

1. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis.

Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan

tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada

kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap

bilirubin.Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati.

Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan

penyakit (Price, 2006).

2. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis.

Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin,

air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama

asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus.

Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari

hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air (Price, 2006).

Universitas Sumatera Utara


3. Hati yang membesar.

Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah.

Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan

menimbulkan rasa nyeri bila ditekan (Price, 2006).

4. Hipertensi portal.

Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah vena portal

yang menetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal adalah

peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati (Price, 2006).

2.5. Diagnosa

Pemeriksaan laboratorium, untuk menilai penyakit hati. Pemeriksaan

tersebut antara lain:

2.5.1. Diagnosa Sirosis Hepatis Berdasarkan Pemeriksaan

Laboratorium

1. Urine

Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita

ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine

berkurang (urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah

terjadi syndrome hepatorenal (Hadi, 2002).

Universitas Sumatera Utara


2. Tinja

Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan

ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak

terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu

suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman

(Hadi, 2002).

3. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang

–kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam

folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita

pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka baru akan terjadi

hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya

trombositopeni (Hadi, 2002).

4. Tes Faal Hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi

penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis

globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap

hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya

dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari. Kadar normal albumin dalam

darah 3,5-5,0 g/dL. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing

diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum.

Universitas Sumatera Utara


Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. Selain itu,

kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka

untuk mendeteksi kelainan hati secara dini (Hadi, 2002).

Untuk pengelolaan lebih lanjut , maka penderita sirosis hepatis dengan

tanda-tanda hipertensi portal dapat dibagi atas tiga kelompok berdasarkan

kriteria/klasifikasi dari Child, yaitu Child A yang mempunyai prognosis

baik.Child B mempunyai prognosis sedang, dan Child C yang mempunyai

prognosis buruk (Hadi, 2002).

A B C

Serum Bilirubin (mg/dl) <2 2–3 >3

Serum Albumin (mg/dl) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8

Asites Tidak ada Mudah dikontrol Sulit dikontrol

Gangguan Neurologi Tidak ada Minimal Koma Lanjut

Waktu Protrombin <4 4– 6 >6

Tabel 2.1. Skor Child-Pugh

2.5.2. Sarana Penunjang Diagnostik

1. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan

foto toraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography

(PTP) (Hadi, 2002).

Universitas Sumatera Utara


2. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi

kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada

tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan

tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul. Pada fase

lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan

permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan

sebagian lagi dalam batas nomal (Hadi, 2002).

3. Peritoneoskopi (laparoskopi)

Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis

hepatis akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk

nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi

biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa (Hadi,2002).

2.6. Komplikasi

Komplikasi sirosis hepatis yang dapat terjadi antara lain: Edema

dan asites, SBP, Perdarahan saluran cerna, Sindroma hepato-renal,

Sindroma hepato-pulmoner, Hipersplenisme, dan Kanker hati.

2.6.1. Edema dan Asites

Dengan semakin beratnya sirosis hepatis,maka terjadi pengiriman

sinyal ke ginjal untuk melakukan retensi garam dan air dalam tubuh.

Garam dan air yang berlebihan, pada awalnya akan mengumpul dalam

Universitas Sumatera Utara


jaringan di bawah kulit sekitar tumit dan kaki , karena efek gravitasi pada

waktu berdiri atau duduk. Penumpukan cairan ini disebut edema atau

sembab pitting (pitting edema). Pembengkakan ini menjadi lebih berat

pada sore hari setelah berdiri atau duduk dan berkurang pada malam hari

sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur. Kemudian

dengan semakin beratnya sirosis dan semakin banyaknya garam dan air

yang diretensi, air akhirnya juga akan mengumpul dalam rongga abdomen

antara dinding dan perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini

disebut asites yang berakibat pembesaran perut, keluhan rasa tak enak

dalam perut dan peningkatan berat badan ( Hernomo, 2007).

Dari segi epidemiologi asites adalah salah satu komplikasi utama

dari sirosis hepatis dan hipertensi portal. Dalam waktu 10 tahun sejak

diagnosis sirosis, lebih dari 50% pasien akan terjadi penimbunan cairan

(asites). Perkembangan asites dikaitkan dengan prognosis buruk pada

pasien sirosis hepatis, dengan mortalitas 15% dalam satu tahun dan 44%

dalam lima tahun yang telah di follow-up. Oleh karena itu, pasien dengan

asites harus dipertimbangkan untuk transplantasi hati, sebaiknya sebelum

perkembangan disfungsi ginjal (Biecker, 2011).

Untuk membedakan penyebab asites , dilakukan pemeriksaan

SAAG (serum-ascites albumin gradient) : bila nilainya > 1.1 gram %,

penyebabnya adalah penyakit non peritoneal (hipertensi

portal,hipoalbuminemia, asites chyllous, tumor ovarium). Sebaliknya bila

nilainya < 1,1 mg % disebabkan eksudat (keganasan, peritonitis-karena

Universitas Sumatera Utara


TBC, jamur, amuba atau benda asing dalam peritoneum). Asites juga

dibagi dalam 4 tingkatan asites, yaitu : tingkat 1, hanya dapat dideteksi

dengan pemeriksaan seksama; tingkat 2, deteksi lebih mudah tapi

biasanya jumlahnya hanya sedikit; tingkat 3, tampak jelas tetapi tidak

terasa keras; dan tingkat 4, bila asites mulai terasa keras (Hernomo,

2007).

2.6.2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk

pertumbuhan kuman. Dalam keadaan normal, rongga perut hanya

mengandung sedikit cairan, sehingga mampu menghambat infeksi dan

memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga perut (biasanya dari

usus), atau mengarahkan bakteri ke vena porta atau hati, di mana mereka

akan dibunuh semua. Pada sirosis, cairan yang mengumpul dalam perut

tidak mampu lagi untuk menghambat invasi bakteri secara normal. Selain

itu, lebih banyak bakteri yang mampu mendapatkan jalannya sendiri dari

usus ke asites. Karena itu infeksi dalam perut dan asites ini disebut

sebagai peritonitis bakteri spontan (spontaneous bacterial peritonitis) atau

SBP. SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien.

Beberapa pasien SBP ada yang tidak mempunyai keluhan sama sekali,

namun sebagian lagi mengeluh demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa

tak enak di perut, diare dan asites yang memburuk (Hernomo, 2007).

Universitas Sumatera Utara


Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dibagi menjadi tiga sub

kelompok: (1) peritonitis bakteri spontan didefinisikan jika positif ditemukan

bakteri dalam asites, bersama dengan leukosit polimorfonuklear yang

meningkat dalam ascites (> 250 sel/mm3). Mikroorganisme yang

menyebabkan SBP terdapat dalam 60% -70% kasus. (2) Kultur negatif

asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites , CNNA) ,

penimbunan cairan (asites) steril, infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan

dengan kultur, hanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear diatas

batas 250 sel/mm3 yang terlihat. Jika sampel asites mengandung darah,

SBP diagnosis dibuat dengan menemukan lebih dari satu granulosit

neutrophilic per 250 eritrosit. (3) Monomicrobial non-neutrocytic

bacterascites (hanya bacterascites) jarang dijelaskan. Pada gangguan ini,

positif kultur bakteri tidak disertai dengan peningkatan leukosit. Hal ini

biasanya terungkap dalam Child-Pugh pasien kelas A. Pemulihan dari

bacterascites dapat terjadi secara spontan (pada 60% -80%), atau dapat

berkembang menjadi SBP khas. Bacterascites cukup sering tanpa gejala,

dan antibiotik digunakan hanya jika gejala muncul dan temuan kultur

persisten (Lata dkk, 2009).

2.6.3. Perdarahan Varises Esofagus

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dalam hati menghambat aliran

darah dari usus yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan

tekanan dalam vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan

Universitas Sumatera Utara


aliran darah dan peningkatan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah

esofagus dan bagian bawah atas lambung akan melebar, sehingga timbul

varises esofagus dan lambung. Semakin tinggi tekanan portalnya.

Semakin besar varisesnya, dan makin besar kemungkinannya pasien

mengalami perdarahan varises (Hernomo, 2007).

Hipertensi portal adalah peningkatan patologis dalam gradien

tekanan portal (perbedaan antara tekanan dalam vena portal dan vena

cava inferior). Hal ini terjadi karena peningkatan aliran darah portal atau

peningkatan resistensi vaskuler atau kombinasi keduanya. Pada sirosis

hepatis, faktor utama yang menyebabkan hipertensi portal adalah

peningkatan resistensi aliran darah portal dan kemudian berkembang

menjadi peningkatan aliran darah portal (Theophilidou, dkk 2012).

Perdarahan varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang

cepat, dapat berakibat fatal. Keluhan perdarahan varises bisa berupa

muntah darah atau hematemesis. Bahan yang dimuntahkan dapat

berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti kopi ( coffee

grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.Buang

air besar berwarna hitam dan lembek (melena) dan keluhan lemah dan

pusing pada saat posisi berubah ( orthostatic dizziness atau fainting),

yang disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan

perubahan posisi berdiri dari berbaring. Perdarahan juga dapat timbul dari

varises manapun dalam usus. Misalnya dalam kolon, meskipun ini jarang

terjadi. Meskipun belum jelas mekanismenya, pasien yang masuk rumah

Universitas Sumatera Utara


sakit dengan perdarahan aktif varises esofagus, berisiko tinggi untuk

mengalami PBS ( Hernomo, 2007).

2.6.4. Enselopati Hepatik

Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan

digunakan oleh bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini,

beberapa bahan akan terbentuk dalam usus.Bahan-bahan ini sebagian

akan terserap kembali ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya misalnya

amonia, berbahaya terhadap otak. Dalam keadaan normal, bahan-bahan

toksik dibawa dari usus lewat vena porta masuk ke dalam hati untuk

didetoksifikasi (Hernomo, 2007).

Pada sirosis, sel-sel hati tidak berfungsi normal, baik akibat

kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan normal sel-sel ini dengan

darah. Sebagai tambahan , beberapa bagian darah dalam vena porta

tidak dapat masuk ke dalam hati, tetapi langsung masuk ke vena yang lain

(bypass). Akibatnya, bahan-bahan toksik dalam darah tidak dapat masuk

ke dalam hati. Sehingga terjadi akumulasi bahan ini di dalam darah.

Apabila bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan

terganggu. Kondisi ini disebut enselopati hepatik. Tidur lebih banyak pada

siang dibanding malam ( perubahan pola tidur) merupakan tanda awal

enselopati hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak

mampu berkonsentrasi, atau menghitung, kehilangan memori, bingung,

Universitas Sumatera Utara


dan penurunan kesadaran secara bertahap. Akhirnya enselopati hepatik

yang berat dapat menimbulkan koma dan kematian (Hernomo, 2007).

Bahan-bahan toksik ini juga menyebabkan otak pasien sangat

sensitif terhadap obat-obat yang normalnya disaring dan didetoksifikasi

dalam hati. Dosis berapa obat tersebut harus dikurangi untuk menghindari

efek toksik yang meningkat pada sirosis, terutama obat golongan sedatif

dan obat tidur. Sebagai alternatif, dapat dipilih obat-obat yang lain yang

tidak didetoksifikasi atau dieliminasi lewat hati namun lewat ginjal. Ada tiga

tipe enselopati hepatik yang mendasari : tipe A, askibat gagal hati akut;

tipe B, akibat pintasan porto-sistemik tanpa sirosis dan tipe C, akibat

penyakit hati kronik atau sirosis dengan atau tanpa pintasan porto-sistemik

(Hernomo, 2007).

Dalam beberapa penelitian Enselopati hepatikum dikaitkan dengan

status gizi. Peneltian soros dkk dengan metode prospektif mengevaluasi

Enselopati hepatikum pada 128 pasien dengan sirosis hepatis dari

berbagai etiologi. Enselopati hepatikum ini dievaluasi dengan

menggunakan kriteria West Haven dan dua tes psikometri (number

connection test A dan B). Enselopati hepatikum didefinisikan sebagai

enselopati hepatikum terbuka menurut kriteria West Haven dan / atau

number connection test A dan / atau B > 3 standar deviasi dari populasi

umum. Status gizi dievaluasi dengan pengukuran BMI dan antropometri

serta estimasi perubahan berat terakhir. Malnutrisi didefinisikan sebagai

pengukuran antropometri bawah persentil ke-5 sesuai dengan nilai-nilai

Universitas Sumatera Utara


standar untuk populasi umum dan / atau BMI < 20 kg/m2 dan / atau

penurunan berat badan ≥ 5% -10% dalam 3-6 bulan sebelumnya. Penyakit

diabetes melitus juga dinilai dengan pengukuran glukosa puasa (

Kalaitzakis , 2008).

Dari hasil peneltian 40% dari pasien tersebut kekurangan gizi, 26%

menderita diabetes, dan 34% enselopati hepatikum. Pasien dengan

malnutrisi lebih sering menderita enselopati hepatikum dibandingkan

dengan mereka yang tidak kekurangan gizi (46% vs 27%, P = 0,031).

Dalam analisis multivariat, waktu yang dibutuhkan untuk melakukan

number connection test A secara independen berkorelasi dengan umur,

keparahan sirosis dinyatakan dalam skor Child-Pugh, diabetes dan

malnutrisi. Dalam penelitian ini mereka tidak melaporkan seberapa banyak

pasien memiliki diabetes mellitus. Namun, risiko diabetes mellitus telah

dilaporkan meningkat pada pasien dengan sirosis karena hepatitis C dan

mayoritas pasien yang terdaftar dalam studi ini 56% memiliki sirosis virus.

Oleh karena itu tidak diketahui apakah pasien dengan enselopati

hepatikum memiliki proporsi yang lebih tinggi memiliki diabetes

dibandingkan dengan pasien tanpa enselopati hepatikum ( Kalaitzakis,

2008).

2.6.5. Sindroma Hepatorenal

Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi

sindroma hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena

Universitas Sumatera Utara


terdapat penurunan fungsi ginjal namun ginjal secasa fisik sebenarnya

tidak mengalami kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini

disebabkan perubahan aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma

hepatorenal adalah kegagalan ginjal secara progresif untuk

membersihkan bahan-bahan toksik dai darah dan kegagalan

memproduksi urin dalam jumlah adekuat,meskipun fungsi lain ginjal yang

penting, misalnya retensi garam tidak terganggu (Hernomo, 2007).

Definisi dan kriteria diagnostik untuk sindroma hepatorenal dibentuk

pada tahun 1994 didasarkan pada tiga konsep berikut: 1. Gagal ginjal

pada sindroma hepatorenal adalah fungsional dan disebabkan oleh

vasokonstriksi arteriolar intrarenal; 2. Sindroma hepatorenal terjadi pada

pasien dengan disfungsi sirkulasi sistemik yang disebabkan oleh

vasodilatasi ekstra-renal; 3. Ekspansi volume plasma tidak meningkatkan

gagal ginjal ( Salerno, 2007).

Bila fungsi hati membaik atau dilakukan transplantasi hati pasien

sindroma hepatornal, ginjal akan bekerja normal lagi. Hal ini menimbulkan

dugaan bahwa penurunan fungsi ginjal disebabkan akumulasi bahan-

bahan toksik dalam darah akibat hati yang tidak berfungsi. Ada dua tipe

sindroma hepatorenal : tipe 1, penurunan fungsi terjadi dalam beberapa

bulan, dan tipe 2, penurunan fungsi ginjal terjadi sangat cepat dalam wakti

satu sampai dua minggu (Hernomo, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.6.6. Sindroma Hepatopulmoner

Sindroma Hepatopulmoner adalah komplikasi yang jarang dari

penyakit hati dari berbagai etiologi yang ada dan mungkin menunjukkan

prognosis buruk. Oleh karena itu, diperlukan metode skrining non-invasif

yang sederhana untuk mendeteksi sindroma hepatopulmoner ini. Dalam

beberapa penelitian atau studi, pulse oximetry dievaluasi untuk

mengidentifikasi pasien dengan sindroma hepatorenal (Deibert, 2006).

Pada pasien sirosis lanjut dapat berkembang menjadi sindroma

hepatopulmoner, meskipun ini jarang terjadi. Pasien-pasien ini mengalami

kesulitan bernafas akibat sejumlah hormon tertentu terlepas pada sirosis

yang lanjut karena fungsi paru abnormal. Masalah dasar paru adalah tidak

tersedianya cukup aliran darah dari pembuluh darah kecil dalam paru

yang mengadakan kontak dengan alveoli dalam paru. Aliran darah lewat

paru mengalami putusan sekitar alveoli dan tidak dapat mengambil cukup

oksigen dari udara dalam alveoli. Akibatnya adalah pasien mengalami

perasaan sesak nafas atau nafas pendek, terutama pada saat latihan

(Hernomo, 2007).

2.6.7. Hipersplenisme

Limpa dalam keadaan normal berfungsi menyaring sel-sel darah

merah, leukosit dan trombosit yang sudah tua .Darah dari limpa akan

bergabung dengan aliran darah dari usus masuk ke dalam vena porta.

Akibat peningkatan tekanan vena porta karena sirosis, terjadi peningkatan

Universitas Sumatera Utara


blokade aliran darah dari limpa. Akibatnya terjadi aliran darah kembali ke

limpa, dan limpa membesar. Terjadilah splenomegali (Hernomo, 2007).

Kadang-kadang limpa dapat membengkak hebat, hingga

menimbulkan nyeri perut. Dengan pembesaran limpa ini, fungsi filtrasi

terhadap terhadap sel-sel darah dan trombosit ikut meningkat, sehingga

jumlahnya akan menurun.Hipersplenisme merupakan istilah yang di pakai

untuk menunjukkan kondisi sebagai berikut : penurunan jumlah sel darah

merah (anemia), penurunan sel darah putih (leukopenia), dan atau

trombosit yang rendah (trombositopenia). Anemia menyebabkan perasaan

lemah, leukopenia menyebabkan peka terhadap infeksi, trombositopenia

menyebabkan pembekuan darah dan menimbulkan perdarahan yang

memanjang (Hernomo, 2007).

2.6.8. Kanker Hati (Hepatocellular Carcinoma)

Sirosis, apapun penyebabnya, meningkatkan risiko kanker hati

primer (hepatocellular carcinoma). Istilah primer menunjukkan tumor

berasal dari hati. Kanker hati sekunder merupakan kanker hati yang

berasal dari penyebaran kanker dari tempat lain dalam tubuh (metastasis).

Keluhan terbanyak kanker hati primer adalah nyeri perut, pembengkakan,

pembesaran hati, penurunan berat badan, dan demam. Sebagai

tambahan, kanker hati dapat memproduksi dan melepaskan sejumlah

bahan yang menimbulkan berbagai kelainan : peningkatan sel darah

Universitas Sumatera Utara


merah (eritrositosis), gula darah yang rendah (hipoglikemia) dan kalsium

darah yang tinggi (hiperkalsemia) (Hernomo, 2007).

Sirosis merupakan kondisi premaligna dan berhubungan dengan

risiko peningkatan kanker hepatoseluler. Dari data statistik selama selama

dua dekade terakhir, kejadian kanker jenis ini meningkat di Amerika

Serikat, terutama karena penyebaran HBV dan HCV. Untuk itu diperlukan

langkah-langkah pencegahan. Pengukuran pencegahan termasuk

didalamnya skrining dengan alpha-fetoprotein dan ultrasonografi setiap 6

bulan ( Anand , 2002).

2.7. Penatalaksanaan

Menghilangkan pencetus yang menyebabkan sirosis kemungkinan

akan menghambat perkembangan menjadi kelas CPT (Child Pugh

Turcotte) kelas A, B, dan C lebih tinggi dan untuk mengurangi timbulnya

kanker hati. Dari penelitian dan studi membuktikan bahwa pengobatan

kausal bahkan dapat membalikkan atau dengan kata lain memperbaiki

keadaan sirosis (Schuppan dan Afdhal, 2008).

Pasien dengan sirosis alkoholik harus berpuasa karena konsumsi

alkohol sangat mendukung fibrogenesis hati dan dekompensasi. Fungsi

hati sering memburuk dalam 2-3 minggu pertama withdrawal karena

alkohol memiliki efek imunosupresif. Pasien dengan sirosis kompensasi

replikasi HCV bermanfaat diberikan pengobatan antiviral berdasarkan

interferon. Eradikasi virus dan sebagai akibat penurunan risiko

Universitas Sumatera Utara


dekompensasi hepatik dan karsinoma hepatoseluler dapat tercapai hingga

mencapai 40 dan 70% pasien dengan genotipe 1 dan 2, atau 3 masing-

masing sesuai kondisinya ( Schuppan dan Afdhal, 2008).

Dalam sebuah meta-analisis terakhir 75 dari 153 sirosis dengan

biopsi-terbukti menunjukkan perbaikan kondisi sirosis pada biopsi setelah

pengobatan berhasil, tetapi hasil perlu penyesuaian tinjauan dari

variabilitas sampel biopsi. Bagaimana kegunaan pemakaian interferon

selama 3-4 tahun dapat mencegah dekompensasi hati atau karsinoma

hepatoseluler pada subyek dengan stadium 3 atau 4 fibrosis yang tidak

respon terhadap terapi interferon-ribavirin saat ini sedang dilakukan

evaluasi dalam percobaan prospektif besar dan luas (HALT-C, EPIC-3 dan

copilot ) (Schuppan dan Afdhal, 2008).

Pengobatan jangka panjang dengan nukleosida oral dan inhibitor

nukleotida polimerase HBV tidak hanya memperlambat sirosis hepatis

atau memperbaiki keadaannya namun juga terbukti dapat mencegah

komplikasi penyakit hati stadium akhir. Dalam sebuah studi 3 tahun

lamivudine untuk HBV, menindaklanjuti biopsi hati menunjukkan perbaikan

sirosis pada 8/11 pasien (73%) (60) dan 436/651 pasien dengan HBV-

sirosis dirawat dengan lamivudine selama rata-rata 32 bulan terjadi

pengurangan >50% dari titik akhir klinis yang parah, seperti yang

didefinisikan oleh dekompensasi hati, karsinoma hepatoseluler,

spontaneous bacterial peritonitis, perdarahan varises gastroesofagus,

Universitas Sumatera Utara


atau kematian terkait dengan penyakit hati yang didapat ( Schuppan dan

Afdhal, 2008).

Dalam replikasi HBV sirosis (> 105 Copies/mL) pengobatan

lamivudine sering menghasilkan perbaikan klinis, bahkan setelah

dekompensasi. Tingginya tingkat resistensi lamivudine yang mencapai

56% dan 70% setelah 3 dan 4 tahun pengobatan, masing-masing kini

sejak adanya alternatif yang sama baiknya ditoleransi seperti adefovir,

entecavir atau telbivudine, atau kombinasinya yang tersedia yang

menampilkan tingkat yang lebih rendah dari resistensi virus dan profil

mutasi yang berbeda (Schuppan dan Afdhal, 2008).

Dalam satu studi besar, pengobatan adefovir telah berhasil

digunakan pada pasien dengan pra-transplantasi resistensi lamivudine,

yang menyebabkan penekanan replikasi virus HBV ketingkat tidak

terdeteksi pada 76% pasien baik dengan stabilisasi atau peningkatan skor

CTP dan kelangsungan hidup 90%. Data pada reversibilitas dan stabilisasi

penyebab lain dari sirosis kurang didefinisikan dengan baik. Penelitian

kohort menunjukkan bahwa beberapa pasien sirosis hepatitis autoimun

menunjukkan regresi setelah pengobatan jangka panjang dengan

kortikosteroid dan venesection pasien dengan hemochromatosis herediter

dapat menurunkan perkembangan komplikasi dari hipertensi portal

(Schuppan dan Afdhal, 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.8. Prognosis

Prognosis untuk pasien sirosis tergantung pada komplikasi masing-

masing. Yang mendasari proses morfologi, seperti nekrosis, fibrosis dan

regenerasi, gabungan untuk derajat yang sangat berbeda dalam pasien

sirosis tunggal. Ada juga perbedaan-perbedaan individu dalam tanggapan

hemodinamik dan efek yang sesuai pada ginjal, paru-paru dan hati, dll.

Oleh karena itu sangat sulit memberikan prognosis yang akurat dalam

setiap kasus. Selain itu, seperti prognosis hanya mencakup jangka waktu

tertentu yang relatif singkat (beberapa bulan sampai satu tahun) (Kuntz,

2008).

Berbagai indeks telah dikembangkan menggunakan parameter

sebaik mungkin untuk menghitung probabilitas kematian atau

kelangsungan hidup dalam setiap kasus. Klasifikasi sirosis menurut

kriteria yang dibuat oleh Child dan Turcotte (1964) dan modifikasi oleh

Pugh (1973) telah diterima secara luas. Prognosis dari sirosis yang

disebabkan oleh racun (alkohol atau obat-obatan, bahan kimia, dll) adalah

jauh lebih baik dengan menghilangkan kausal atau penyebab (Kuntz,

2008).

Universitas Sumatera Utara


BAB III

PENELITIAN SENDIRI

3.1. Latar Belakang

Sirosis hati adalah keadaan penyakit yang merupakan konsekuensi

dari kronisitas dan progresifitas penyakit hati (Avunduk, 2008). Hepatitis

viral B dan C dapat menyebabkan sirosis. Sekitar 20% dari penderita

Hepatitis B kronik akan berkembang menjadi sirosis, sementara 20-30%

penderita Hepatitis C kronik akan bekembang menjadi sirosis dalam 20-30

tahun (bacon. 2008). Konsekuensi patofisiologi sirosis diantaranya

perubahan aliran darah hepatik yaitu hipertensi portal, dan menurunnya

massa sel fungsional, yang menyebabkan berkurangnya sintesa albumin,

protein koagulasi, dan menurunnya detoksifikasi bilirubin, ammonia dan

obat obatan (Avunduk, 2008) .

Di Indonesia data mengenai sirosis hati hanya beberapa laporan dari

pusat pendidikan saja. Data di medan pada tahun 1996 menunjukkan

angka 4% (Nurdjanah, 2009) . Angka pada saat ini diperkirakan akan

meningkat dengan variasi gambaran klinis dan laboratorium . Untuk itu

penulis ingin mengetahui profil pasien sirosis hepatis yang dirawat di

RSUP H Adam Malik periode Januari 2009 - Desember 2011.

3.2. Perumusan Masalah

Bagaimana profil pasien sirosis hati di ruang rawat inap penyakit dalam

RSUP H Adam Malik Medan

Universitas Sumatera Utara


3.3. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui profil pasien sirosis hati di ruang rawat inap penyakit

dalam RSUP H Adam Malik Medan

3.5. Manfaat penelitian

3.5.1. Untuk mengetahui profil pasien sirosis hati di ruang rawat inap

penyakit dalam RSUP H Adam Malik Medan sehingga dapat menambah

modalitas dalam pengelolaan sirosis hati.

3.5.2. Sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya dalam upaya

menurunkan morbiditas dan mortalitas sirosis hati

3.6. Kerangka Konsepsional


Asites
Hepatik Ensefalopati
Hepatitis B
Hepatitis C Sirosis hati
Non Viral
Child Pugh A
Child Pugh B
Child Pugh C

3.7. BAHAN DAN CARA

3.7.1. Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan mengumpulkan data

pasien yang dirawat di ruangan penyakit dalam RSUP H. Adam Malik,

dalam periode Januari 2009- Desember 2011.

Universitas Sumatera Utara


3.7.2. Definisi Operasional

3.7.2.1. Sirosis Hati :

Dinyatakan menderita sirosis hati sesuai diagnosa dokter

yang tertera di dalam status pasien

3.7.2.2. Child Pugh :

Derajat keparahan penderita Sirosis yang dinilai dengan

menggunakan turcotte score.

3.7.2.3. Kriteria Child Pugh :

Child Pugh A :

Child Pugh B :

Child Pugh C :

3.7.3. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian antara bulan Januari 2009 – Desember 2011 di

RSUP H Adam Malik Medan

3.7.4. Populasi Terjangkau

Semua penderita Sirosis Hati yang menjalani perawatan di ruang

rawat inap diRSUP H.Adam Malik .

3.7.5. Kriteria Inklusi

3.7.5.1. Penderita Sirosis Hati yang menjalani perawatan di ruang

rawat inap diRSUP H.Adam Malik .

Universitas Sumatera Utara


3.7.6. Kriteria Eksklusi

3.7.6.1. Hepatoma

3.7.7. Populasi dan Sampel

Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling dimana seluruh

populasi digunakan sebagai sampel penelitian

3.7.8. Cara Penelitian

Data dicatat melalui laporan rekam medik yang meliputi data pribadi (

umur, jenis kelamin),Hb, Leukosit, Trombosit, Bilirubin total, SGOT,SGPT,

Alkalin, Protombin time, INR Albumin,viral marker (HbsAg, Anti HBc,)

asites dan ensefalopati hepatik dan child pugh turcotte score. Selanjutnya

dikelompokkan berdasarkan positif Hepatitis B, Hepatitis C, dan Non Viral.

3.7.9. Analisa Data

Data kuantitatif ditampilkan dalam bentuk mean ± SD. Data kategorikal

ditampilkan dalam bentuk jumlah dan persentase. Hasil analisa statistik

dikatakan memiliki kemaknaan jika nilai p < 0,05. Pengolahan data

dilakukan dengan menggunakan program SPSS.

Universitas Sumatera Utara


3.7.10. Kerangka Operasional

SIROSIS HATI

- ANAMNESA
- PEMERIKSAAN
FISIK
- LABORATORIUM
RADIOLOGI
Kriteria inklusi
Kriteria eksklusi
HEPATITIS B, C, NON VIRAL

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini didapatkan 141 pasien dengan diagnosa sirosis

hepatis, dimana 106 (75,2%) adalah pria, dan 35 (24,8%) wanita. Rerata

usia adalah 50,95 ±10,8 tahun. Rerata Hb adalah 9,62±2,62 gr/dL dengan

tidak dijumpai perbedaan signifikan antara penderita sirosis yang positif

Hepatitis B, C dan Non viral. Rerata Leukosit 9281,49±6139,51/mm3,

tidak berbeda bermakna antara penderita positif Hepatitis B, C dan non

viral. Rerata Trombosit 153±110,9 x103/mm3, tidak berbeda bermakna

antara ketiga kelompok. Rerata albumin 2,41± 0,59 g/dL., didapati

perbedaan signifikan antara Hepatitis B, C dan Non viral (p=0,043).

Perbedaan terdapat antara pasien Hepatitis C dengan Non viral

(p=0,022). Sementara antara pasien Hepatitis B dengan non viral tidak

dijumpai perbedaan rerata albumin (p=0,073). Demikian juga antara

pasien Hepatitis B dan C tidak dijumpai perbedaan rerata albumin (p=

0,178).

Di bawah ini profil penderita sirosis hati berdasarkan jenis hepatitis yg

ditemukan.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1 Karakteristik penderita sirosis hati berdasar adanya Hepatitis

B, Hepatitis C dan Non viral.

Hepatitis B Hepatitis C Non viral Total Nilai


N=83 N = 12 N= 46 N=141 p
(58,9%) (8,5%) (32,6%)
(x ± SD) (x ± SD) (x ± SD) (x ± SD)
♂ :♀ 63:20 8:4 35:11 106:35 0,775
a
Umur (thn) 51,12±10,39 50,08±12,40 50,87±11,75 50,95±10,8 0,952
Hb (g/dL) a 9,73 ± 2,64 8,78 ± 3,08 9,64 ± 2,49 9,62±2,62 0,504
Leukosit 9,581±6,763 9,596 ±3,824 8,657±5,454 9,281±6,139 0,705
(x103/mm3)a
Trombosit 161±120,4 108±51,96 150±102,4 153±110,9 0,643
(x103/mm3)k
AST a(U/L) 162,1±192,3 86±58,3 109,8±132,7 138,5±168,6 0,127
ALT a(U/L) 88,77±136,4 37,8±32,9 52,5±79,6 72,6±115,8 0,13
a
Albumin 2,37±0,61 2,12±0,42 2,56±0,56 2,41±0,59 0,043
(g/dl)
Bilirubin a 4,22±6,24 2,33±2,62 3,27±3,88 3,75±5,34 0,396
(mg/dL)
PT a (detik) 16,16±7,47 16,43±5,03 17±6,08 16,46±6,8 0,799
a
INR 1,43±0,45 1,39±0,43 1,42±0,48 1,42±0,46 0,960
a
: ANOVA
k
: Kruskal- Wallis Test
c
: Chi square

Tabel 2. Persentase child pugh turcotte A, B dan C penderita sirosis


hati

Frekuensi Persentase
CTP A 6 4,3
B 88 62,4
C 47 33,3
Total 141 100.0

Table 3. Klasifikasi child pugh turcotte berdasarkan hepatitis B, C &


non viral
Hepatitis Hepatitis Non viral Jumlah P
B C N(%)
CTP A 3(2,1%) 0 (0%) 3(2,1%) 6(4,3%)
B 46(32,6%) 9(6,4%) 33(23,4%) 88(62,4%) 0,178
*
C 34(24,1%) 3(2,1%) 10(7,1%) 47(33,3%)

Universitas Sumatera Utara


* koefisien kontingen

Table 4. Persentase Ensefalopati Hepatik berdasarkan Hepatitis B, C


dan non viral
Hepatitis B HepatitisC Non viral Jumlah P
HE No HE 74 (52,5%) 12 (8,5%) 41 (29,1%) 127(90,1%)
Grade 1-2 5 (3,5%) 0 (0%) 5(3,5%) 10(7,1%) 0,303 *
Grade 3-4 4 (2,8%) 0 (0%) 0 (0%) 4(2,8%)
* koefisien kontingen

Table 5. Persentase Asites berdasarkan Hepatitis B, C dan non viral


Hepatitis Hepatitis Non viral Jumlah P
B C
Asites No asites 8(5,7%) 0 (0%) 8(5,7%) 16(11,3%)
Mild- 41(29,1%) 4(2,8%) 25(17,7%) 70(49,6%) 0,103*
Moderate
Severe 34(24,1%) 8(5,7%) 13(9,2%) 55(39%)
* chi square

Rerata Prothrombin time 16,46±6,8 detik . Rerata INR 1,42±0,46. Rerata

Bilirubin total adalah 3,75±5,34 mg/dL, tidak berbeda signifikan antara

ketiga kelompok.

Asites dijumpai pada 125 (88,7%) pasien. Empat belas pasien (9,9%)

mengalami ensefalopati hepatik. Yang terbanyak dijumpai adalah child

pugh turcotte B 88 (62,4%) pasien, diikuti oleh child pugh turcotte C and A

, (47 (33,3%), 6 (4,3%). Dijumpai yang terbanyak adalah hepatitis B 83

(58,9%) pasien, diikuti oleh non viral 46 (32,6%) and hepatitis C 12 (8,5%)

pasien.

Universitas Sumatera Utara


4.2. PEMBAHASAN

Infeksi virus hepatitis B (HBV) telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat global yang serius. Prevalensinya bervariasi antar Negara,

berkisar antara 0,1%-20%. Prevalensi infeksi HBV di Indonesia sangat

bervariasi antar pulau. Prevalensi infeksi HBV diperkirakan berada di

antara tingkat endemis tinggi dan endemisitas sedang. Data donor darah

yang dikumpulkan pada tahun 1995 menunjukkan bahwa pada umUmnya

daerah daerah di pulau Jawa mempunyai prevalensi yang lebih rendah

(sekitar 5%) dibanding daerah di luar pulau Jawa (sekitar 8%) (Mulyanto,

2010) .

Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat infeksi HCV kronik pada

sekitar 170-200 juta penduduk; prevalensinya bervariasi antar Negara. Di

Indonesia, diperkirakan terdapat sekitar 2,5 juta orang dengan anti-

HCV(+), namun hanya sekitar 1,6 juta orang saja yang HCV RNA (+).

Tampaknya variasi genetiK HCV di Indonesia tidak begitu banyak

berbeda dibandingkan dengan di negara negara lain , yaitu sekitar 67%

adalah genotype I (Mulyanto, 2010) .

Rerata Hb adalah 9,62±2,62 g/dL dengan tidak dijumpai perbedaan

signifikan antara penderita sirosis yang positif Hepatitis B, C dan Non viral.

Rerata Leukosit 9281,49±6139,51/mm3, tidak berbeda bermakna antara

Universitas Sumatera Utara


penderita positif Hepatitis B,C dan non viral. Rerata Trombosit 153±110,9

x103/mm3,, tidak berbeda bermakna antara ketiga kelompok. Wang

mendapatkan rerata jumlah trombosit pada pasien dengan anti-HCV

(180,000 platelets/L) lebih rendah dibanding pasien HbsAg positif

(201,000 platelets/L) dan dengan tanpa anti-HCV dan HBsAg (234,000

platelets/L) (p < .001) (Wang, 2004). Kecenderungan trombositopenia

pada pasien Hepatitis C tidak diketahui jelas tetapi dianggap multifaktorial.

Pada pasien dengan penyakit hati kronis, trombositopenia berhubungan

dengan keparahan penyakit dan lebih sering pada sirosis. Beberapa

mekanisme dianggap berhubungan seperti hipersplenisme, pembentukan

antiplatelet antibodi yg disebabkan autoimun, dan penurunan produksi

trombopoetin (Wekskler, 2007).

Rerata albumin 2,41± 0,59 g/dL., didapati perbedaan signifikan

antara Hepatitis B, C dan Non viral (p=0,043). Perbedaan terdapat antara

pasien Hepatitis C dengan Non viral (p=0,022). Sementara antara pasien

Hepatitis B dengan non viral tidak dijumpai perbedaan rerata albumin

(p=0,073). Demikian juga antara pasien Hepatitis B dan C tidak dijumpai

perbedaan rerata albumin (p= 0,178).

Hipoalbuminemia pada sirosis merupakan multifaktorial yang

mungkin disebabkan oleh penurnan produksi ( parenkim hati digantikan

jaringan fibrosis), peningkatan pembuangan oleh sistem retikuloendotal

Universitas Sumatera Utara


(limpa) atau peningkatan hilangnya albumin melalui usus ( portal

gastropati atau enteropati); semua behubungan dengan hipertensi portal.

Albumin (50%-60% of total plasma protein) globulin, dan fibrinogen

menentukan pembagian terbesar plasma protein dengan peningkatan

risiko kematian 24%-56% per 2.5 g% penurunan serum albumin. Child-

Pugh turcotte score (serum albumin menjadi bagian integral dari score)

meramalkan penyakit hati lanjut (Khan, 2008).

Beberapa macam scoring penilaian derajat sirosis hati untuk

memprediksi prognosis, survival sirosis dan kepentingan transplantasi

diantaranya Child Pugh turcotte Score (Sanityoso. 2010) . Pada penelitian

ini didapat child pugh turcotte B 88 (62,4%) pasien, diikuti oleh child pugh

turcotte C and A , (47 (33,3%), 6 (4,3%). Komplikasi asites terjadi pada

sekitar 10% pasien sirosis (Sanityoso. 2010) . Pada penelitian ini asites

dijumpai pada 125 (88,7%) pasien. Perbedaan hasil ini disebabkan

karena pasien yang diteliti pada penelitian ini adalah hanya pasien yang

menjalani rawat inap. Ensefalopati hepatik terjadi pada 45% pasien

sirosis (Sanityoso. 2010) . Pada penelitian ini didapat hepatik ensefalopati

pada 14 (9,9%) pasien sirosis.

Salah satu kelemahan penelitian ini adalah tidak menampilkan profil

gejala klinis seperti spider nevi, ginekomastia, eritema Palmaris dan gejala

klinis lain, demikian juga komplikasi sirosis hati seperti peritonitis bakteri

spontan, sindroma hepatorenal dan lain lain. Hal ini disebabkan penelitian

Universitas Sumatera Utara


ini merupakan penelitian retrospektif sehingga data tersebut tidak

didapatkan secara lengkap.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Dari total 141 pasien Sirosis yang dirawat di ruang rawat

inap penyakit dalam RSUP H adam Malik medan, yang terbanyak

adalah pria yaitu sekitar 70 persen. Hepatitis B terlihat yang

terbanyak dijumpai pada pasien sirosis hepatis. Tidak dijumpai

perbedaan signfikan rerata Hb, Leukosit dan Trombosit pada

pasien dengan Hepatitis B, C dan non viral. Perbedaan rerata

Albumin terdapat antara pasien dengan Hepatitis B dengan Non

viral (p=0,011), pasien Hepatitis C dengan non viral (p=0,010).

Sementara antara pasien Hepatitis B dan C tidak dijumpai

perbedaan rerata albumin(p= 0,285). Pasien terutama termasuk

kedalam klasifikasi child pugh turcotte B. Asites dijumpai pada

88,8% pasien.dan hanya sembilan orang yang mengalami

ensefalopati hepatik.

5.2. SARAN

Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih

besar dan jangka waktu yang lebih lama untuk mendapatkan profil pasien

sirosis hati sehingga dapat menambah modalitas dalam pengelolaan

sirosis hati.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli .,dan Bahar , Asril., 2007. Pulmonologi. Dalam : Sudoyo,


Aru, W., dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia : 988 – 994.

Anand, B.S. 2002. Cirrhosis of Liver. Western Journal of Medicine, Vol.


171, p. 110-115. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305772/?tool=pmcent
rez [Accessed 11 May 2012]

Avunduk,C. Cirrhosis And Its Complications. Dalam : Manual Of

Gastroenterology Diagnosis And Therapy. 4th Ed.Lippincott Williams

& Wilkins 2008 ; 438-54

Bacon, B.R. Cirrhosis And Its Complications. Dalam : Fauci, A.S., Kasper,

D.L., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J.L., Et Al.

Harrison’s Principles Of Internal Medicine 17th Edition. Mc Graw Hill

Companies, New York..2008: 1971-80

Biecker, Erwin. 2011. Diagnosis and Therapy of Ascites in Liver Cirrhosis.


Journal PubMed Central (PMC) , 17(10): 1237–1248. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3068258/?tool=pmcent
rez [Accessed 28 April 2012]

Universitas Sumatera Utara


Chandrasomo, P., and Taylor, C. R. 2005 . Ringkasan Patologi Anatomi.
Jakarta : EGC : 594 – 595.

Deibert, Peter., et al. 2006. Hepatopulmonary Syndrome in Patients with


Chronic Liver Disease: Role of Pulse Oximetry. Journal PubMed
Central (PMC), 6: 15. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1508152/?tool=pmcent
rez [Accessed 28 April 2012]

Fauci, Anthony.S. MD., et al .2008. Harrison's Principles of Internal


Medicine, 17 th edition. Chapter 302.

Gustaviani, Reno. 2007.Metabolik Endokrin. Dalam : Sudoyo, Aru, W.,


dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : 1857 – 1859.
.
Hadi, Sujono. 2002 . Gastroenterologi . Bandung . PT Alumni : 613 – 651.

Kalaitzakis, Evangelos., and Björnsson, Einar., 2008. Hepatic


encephalopathy in patients with liver cirrhosis: Is there a role of
malnutrition?. Journal PubMed Central (PMC), 14(21): 3438–3439.
Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/
PMC2716602/ ?tool=pmcentrez [Accessed 10 May 2012]

Khan, H., Iman, N. Hypoalbuminemia : A Marker Of Esophageal Varices

In Chronic Liver Disease Due To Hepatitis B And C. Rawal Medical

Journal 2009;34;1; 98-101

Universitas Sumatera Utara


Kuntz, E., and Kuntz, H.D. 2006. Hepatology, Principles and Practice 2nd
Edition. Chapter 35 : 716-749.

Kuntz, E., and Kuntz, H.D. 2008. Hepatology, Principles and Practice 3rd
Edition. Chapter 35 : 738-772.

Kusumobroto, O.Hernomo. 2007.Sirosis Hepatis. Dalam : Sulaiman, Ali.,


dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jakarta : Jaya Abadi : 335 –
345.

Lata, Jan., Stiburek, Oldřich., and Kopacova, Marcela. 2009.


Spontaneous bacterial peritonitis: A severe complication of liver
cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC) , 15(44): 5505–5510.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2785051/?tool=pmcent
rez [Accessed 11 May 2012]

Mulyanto. Epidemiologi Hepatitis B Di Indonesia. Dalam : Sulaiman, A.S.,

Sulaiman, B.S., Sulaiman, H.A., Loho, I.M., Stephanie, A.

Pendekatan Terkini Hepatitis B Dan C Dalam Praktik Klinis Sehari-

Hari. Sagung Seto, Jakarta,2010;17-20.

Mulyanto. Epidemiologi Hepatitis C . Dalam : Sulaiman, A.S., Sulaiman,

B.S., Sulaiman, H.A., Loho, I.M., Stephanie, A. Pendekatan Terkini

Hepatitis B Dan C Dalam Praktik Klinis Sehari-Hari. Sagung Seto,

Jakarta,2010;41-3.

Universitas Sumatera Utara


Nayak, N. C. 2011. End Stage Chronic Liver Disease , Yesterday, Today
and Tomorrow. In : Michelli, L Miranda., Ed. Hepatology Research
And Clinical Development Liver Cirrhorsis: Causes, Diagnosis And
Treatment, New York : Nova Biomedical Books : 59 – 83.

Nurdjanah, S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiohadi, B., Alwi, I.,

Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5

Jilid I , Jakarta 2009;668-673

Panggabean, M.Parulan. 2007. Kardiologi. Dalam : Sudoyo, Aru, W.,


dkk.,ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia :1639 – 1640.

Price, A. Sylvia., Wilson, M. Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC : 493 – 497.

Salerno, Francesco., et al. 2007. Diagnosis, prevention and treatment of


hepatorenal syndrome in cirrhosis. Journal PubMed Central (PMC),
56(9): 1310–1318.Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1954971/?tool=pmcent
rez [Accessed 13 May 2012]

Sanityoso, A., Stephanie, A. Komplikasi Hepatitis Dan Tatalaksana.

Dalam: Sulaiman, A.S., Sulaiman, B.S., Sulaiman, H.A., Loho, I.M.,

Stephanie, A. Pendekatan Terkini Hepatitis B Dan C Dalam Praktik

Klinis Sehari-Hari. Sagung Seto, Jakarta,2010;59-70.

Universitas Sumatera Utara


Schuppan, Detlef., & Afdhal, Nezam H., 2008. Liver Cirrhosis. Journal
PubMed Central (PMC), 371(9615): 838–851.Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2271178/?tool=pmcent
rez [Accessed 11 May 2012]

Suwitra, Ketut. 2007 . Ginjal Hipertensi. Dalam : Sudoyo, Aru, W., dkk.,ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : 570 – 573.

Theophilidou, E., et al. 2012. Liver metastases, a rare cause of portal


hypertension and stoma bleeding. Brief review of literature. Journal
PubMed Central (PMC), ; 3(5): 173–176. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3316765/?tool=pmcent
rez [Accessed 15 May 2012]

Wang, C.S., Yao, W.J., Wang, S.T., Chang, T.T., Chou, P. Strong

Association Of Hepatitis C Virus (HCV) Infection And

Thrombocytopenia: Implications From A Survey Of A Community

With Hyperendemic HCV Infection . Clinical Infectious Diseases

2004;39;790-796

Weksler, B.B. Review Article: The Pathophysiology Of Thrombocytopenia

In Hepatitis C Virus Infection And Chronic Liver Disease. Aliment

Pharmacol Ther 2007; 26 (Suppl 1), 13–19

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI
Nama : Dr Imelda Rey, SpPD
Tempat / tanggal lahir : Medan, 14 oktober 1977
Alamat kantor : Fakultas Kedokteran USU .Jln Dr
Mansur
no 5, Medan ,Departemen Penyakit
Dalam
RSUP H Adam Malik Jln Bunga Lau
no
17, Medan
Alamat : Jln Sutrisno Gang Sehati 754, Medan
No Telp : 061-7360276- 08126500525

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


1. SD Taman Siswa Medan, Sumut Ijazah 1989
2. SMP SM Raja Tanjung Balai, Sumut Ijazah 1992
3. SMA Negeri 1 tanjung Balai, Sumut Ijazah 1995
4. Fakultas Kedokteran USU Medan Ijazah 2001
5. Spesialis Penyakit Dalam FK USU 2009

KEANGGOTAAN PROFESI
1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
2. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI).
3. PGI (Persatuan Gastroenterologi Indonesia) dan PPHI
(Persatuan Peneliti hati Indonesia) Sumatera Utara

KARYA ILMIAH DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


1. Imelda Rey, Blondina Marpaung, OK Moehad Sjah. Sindroma
Antifosfolipid pada Lupus Eritematosus Sistemik. Temu Ilmiah
Reumatologi 2004. Jakarta, 27-29 Agustus 2004

Universitas Sumatera Utara


2. Imelda rey, Harris Hasan, Refli Hasan. PCI , 15th Annual Sientific
Meeting of The Indonesian Heart Association. Medan, 19-22 April
2006
3. imelda Rey, Tunggul Ch Sukendar,OK Alfien S ,Abdurrahim Rasyid
Lubis. Hipokalemia Periodic Paralysis. 13th National Congress of
the Indonesian Society of Internal Medicine (KOPAPDI XIII)
Palembang, 6 –9 juli 2006.
4. Imelda Rey, Dairion Gatot, Dharma Lindarto . Pengaruh pemberian
Lumbrokinase terhadap Status Hiperkoagulasi pada Penderita
Ulkus Kaki Diabetik . Divisi Hematologi dan Onkologi Medik
departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU , 2008 .

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai