Anda di halaman 1dari 87

1

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT


OBSTRUKSI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK (PPOK) STABIL

TESIS

dr. Syahni Wirdani Pulungan


NIM : 137041171

ROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS PATOLOGI


KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


2

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT


OBSTRUKSI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK (PPOK) STABIL

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang


Patologi Klinik/M.Ked (ClinPath) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

dr. Syahni Wirdani Pulungan


NIM : 137041171

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


SPESIALIS PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


i
3

Universitas Sumatera Utara


ii 4

Universitas Sumatera Utara


iii
5

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulis bisa

menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Hubungan Kadar Vitamin D

Dengan Derajat Obstruksi pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK) Stabil. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang Ilmu Patologi

Klinik/M.Ked (Clin.Path) pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama penulis mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian

untuk karya tulis ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, petunjuk,

bantuan dan pengarahan serta dorongan baik moril dan materil dari berbagai pihak

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan karya tulis ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan serta kritikan yang

membangun sehingga tesis ini bisa bermanfaat dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan

penghormatan dan ucapan terima kasih yang tiada terhingga kepada :

1. Yth, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K), selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatra Utara yantelah memberikan kesempatan

Universitas Sumatera Utara


iv 6

kepada saya untuk engikuti pendidikan di program Magister Kedokteran

Klinik Konsentrasi Bidang Patologi Klinik.

2. Yth. Dr.dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp. M (K) selaku

Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatra Utara yang telah memberikan kesempatan

kepada saya untuk mengiuti pendidikan di Program Magister Kedokteran

Klinik Konsentrasi Bidan Patologi Klinik.

3. Yth, dr. Zulfikar Lubis. SpPK (K), sebagai Pembimbing I saya yang telah

bersusah payah dan bersedia meluangkan waktu dan pikirannya setiap saat

dalam memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan

mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai

selesainya tesis ini. Saya memohon doa semoga semua kebaikan beliau

dibalas oleh Allah SWT.

4. Yth, Dr.dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked (Paru), SpP (K) , sebagai

pembimbing II dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK-

USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, yang sudah bersedia menyediakan

waktu dan memberikan banyak bimbingan, petunjuk, pengarahan dan bantuan

mulai dari penyusunan proposal, selama dilaksanakan penelitian sampai

selesainya tesis ini.

5. Yth, Dr. Ricke Loesnihari, M.Ked(ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Ketua

Departemen Patologi Klinik FK USU dimana beliau telah banyak

memberikan bimbingan, petunjuk, dan pengarahan kepada saya selama

mengikuti pendidikan dan dalam melaksanakan penelitian ini sampai selesai.

Universitas Sumatera Utara


v
7

6. Yth, Prof. DR. dr. Ratna Akbari Ganie, Sp.PK-KH, sebagai Ketua

Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU yang memberikan

kesempatan kepada saya sebagai peserta Program Magister dan Pendidikan

Dokter Spesialis Patologi Klinik serta beliau juga telah banyak membimbing,

mengarahkan dan memotivasi saya sejak awal pendidikan sampai selesai.

7. Yth, Dr. Malayana Rahmita Nasution, M.Ked(ClinPath), Sp.PK, sebagai

Sekretaris Departemen Patologi Klinik FK USU yang telah memberikan

bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan.

8. Yth, Dr. Jelita Siregar, M.Ked(ClinPath), Sp.PK-K, sebagai Sekretaris

Program Studi di Departemen Patologi Klinik FK USU, yang telah

memberikan bimbingan, arahan, masukan dan memotivasi selama saya

mengikuti pendidikan.

9. Yth, Prof. Dr. Adi Koesoema Aman, Sp.PK-KH, yang telah memberikan

bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan

didalam menyelesaikan penulisan tesis ini

10. Yth, Prof. Dr. Herman Hariman, PhD, Sp.PK-KH, yang telah memberikan

bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti pendidikan dan

didalam menyelesaikan penulisan tesis ini

11. Yth, Prof. Dr. Burhanuddin Nasution, Sp.PK-KN, KGEH, yang telah

banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama saya mengikuti

pendidikan.

12. Yth, Dr. Muzahar, DMM, Sp.PK-K, Dr. Tapisari Tambunan, Sp.PK-K,

Dr. Nelly Elfrida Samosir, Sp.PK, Dr. Ida Adhayanti, Sp.PK, Dr. Ranti

Universitas Sumatera Utara


vi 8

Permatasari, Sp.PK-K, Dr. Nindia Sugih Arto, M.Ked(ClinPath), Sp.PK,

Dr. Dewi Indah Sari Siregar, M.Ked(ClinPath), Sp.PK, Dr. Almaycano

Ginting , M.Ked (ClinPath), SpPK dan semua guru-guru saya yang telah

banyak memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dukungan selama saya

mengikuti pendidikan.

13. Yth, Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H.

Adam Malik yang telah memberikan kesempatan dan menerima saya untuk

mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di bidang

Patologi Klinik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik.

14. Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh teman sejawat Program

Pendidikan Dokter Spesialis Patologi Klinik FK USU, Terutama seangkatan

saya Dr. Kamelia S (ClinPath) SpPK, Dr. Vinisia (ClinPath) SpPK, Dr.

Vera L.S (ClinPath) SpPK, dr. Rina H (ClinPath) SpPK, Dr. Ade H,

Dr.Hairiah A, Dr. Derry H, Dr. Fauzan L, Dr. Dahlan S. serta para analis

dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas bantuan

dan kerjasama yang diberikan kepada saya, sejak mulai pendidikan dan

selesainya tesis ini.

15. Terima kasih yang setulus-tulusnya saya sampaikan kepada kedua orang tua

saya, Ayahanda tercinta (Alm) H. Wahid Pulungan dan Ibunda tersayang

Hj. Mastika Siregar atas cinta kasih sayangnya, pengorbanan dan kesabaran

mereka yang telah membesarkan, mendidik, mendorong dan memberikan

dukungan moril maupun materil serta selalu tanpa bosan-bosannya

Universitas Sumatera Utara


vii9

mendoakan saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan sampai saat ini.

Semoga Allah SWT membalas semua budi baik dan kasih sayangnya. Juga

kepada Kakak saya Rimawati Sjahrona Pulungan SAg, Ria Wahmayanti

Pulungan SH, dan adik saya Mangedar Pulungan SH, Donna Suciana

Pulungan Amd. serta kepada abang dan adik ipar saya, serta semua

ponakan-ponakan yang menggemaskan Zahra R, Nafisyah H, Chalisya A,

M.Dafi Al-jailani, Apika Marwah Pulungan, Raffif Al-Gibran Pulungan,

Allsyah Zahira Sarumpaet yang tidak henti-hentinya memberikan semangat

selama saya mengikuti pendidikan. Semoga Allah SWT selalu melindungi

mereka.

Akhir kata sebagai manusia biasa tentunya tidak luput dari kesalahan dan

kekhilafan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sudikiranya tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa

melimpahkan Rahmat dan Hidayah Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal

Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, Agustus 2018

Penulis,

dr. Syahni Wirdani Pulungan

Universitas Sumatera Utara


viii
10

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN TESIS .................................................................. i

LEMBAR PENETAPAN PANITIA UJIAN ................................................... ii

KATA PENGANTAR ......................................................................................iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ..........................................................................................xiii

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xiv

ABSTRAK ....................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 3

1.3. Hipotesis Penelitian.......................................................................... 4

1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................. 4

1.4.1 Tujuan Umum ......................................................................... 4

1.4.2 Tujuan Khusus......................................................................... 4

1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................... 4

1.5.1. Bagi Dokter Klinis ................................................................. 4

1.5.2. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan.................................. 5

1.5.3. Bagi Masyarakat ..................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vitamin D ......................................................................................... 6

Universitas Sumatera Utara


ix11

2.1.1. Struktur Kimia Vitamin D ...................................................... 6

2.1.2. Sejarah Vitamin D .................................................................. 6

2.1.3. Epidemiologi Vitamin D ........................................................ 7

2.1.4. Manfaat Vitamin D................................................................. 9

2.1.5. Kebutuhan Vitamin D ........................................................ 10

2.1.6. Metabolisme Vitamin D ....................................................... 11

2.1.6.1. Metabolisme Vitamin D3 ........................................ 14

2.2. Vitamin D dan Inflamasi ................................................................ 15

2.3. Penyakit Paru Obstruksi Kronis ..................................................... 17

2.3.1. Definisi ................................................................................ 17

2.3.2. Anatomi dan Fisiologi Paru ................................................ 17

2.3.2.1. Anatomi Paru ......................................................... 17

2.3.2.2. Fisiologi Paru ........................................................ 19

2.3.3. Patofisiologi PPOK .............................................................. 19

2.3.4. Berdasarkan GOLD, 2017 .................................................... 21

2.3.5. Etiologi ................................................................................. 22

2.3.6. Tanda dan Gejala Klinis ....................................................... 23

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 23

2.3.7.1. Pemeriksaan Spirometri .......................................... 23

2.3.7.2. Pemeriksaan Penunjang Lain .................................. 24

2.3.8. Penatatalaksanaan PPOK ..................................................... 25

2.3.9. Combined COPD Assessment .............................................. 27

2.3.10. Progonosis .......................................................................... 31

Universitas Sumatera Utara


x
12

2.3.11. Kerangka Teori ................................................................... 33

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian ......................................................................... 32

3.2. Waktu dan Waktu Penelitian ....................................................... 32

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian.................................................... 32

3.3.1. Populasi Penelitian ............................................................ 32

3.3.2. Subjek Penelitian ............................................................... 32

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ......................................................... 33

3.4.1 Kriteria Inklusi ..................................................................... 33

3.4.2 Kriteria Eksklusi .................................................................. 33

3.5. Ethical Clearance dan Informed Consent ................................... 33

3.6. Perkiraan Besar Sampel ............................................................... 34

3.7. Definisi Operasional .................................................................... 34

3.8. Kerangka Konsep ................................................................. …. 36

3.9. Bahan dan Cara Kerja .................................................................. 37

3.9.1. Bahan Yang Diperlukan ................................................... 37

3.9.2. Cara Kerja ........................................................................ 37

3.9.3. Pemeriksaan Laboratorium ............................................... 38

3.10. Pemantauan Kualitas ................................................................. 42

3.11. Analisa Data Statistik ................................................................. 44

3.12. Alur Penelitian ........................................................................... 45

BAB IV HASIL............................................................................................... 46

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian................................................... 46

Universitas Sumatera Utara


xi
13

4.2 Analisis Bivariat antara Umur dengan VEP1, VEP!/KVP,

kadar Vitamin D & Leukosit ...................................................... 47

4.3 Analisis Bivariat antara Nilai VEP1 dengan Nilai VEP1/KVP,

Kadar Vitamin D & Leukosit. ..................................................... 48

4.4 Analisis Bivariat antara niali VEP1/KVP dengan kadar

Vitamin D & leukosit .................................................................. 49

BAB V PEMBAHASAN .............................................................................. 50

5.1 Karakteristik Penelitian.. ............................................................. 50

5.2 Analisis Bivariat antara Umur dengan VEP1, VEP1/KVP

Kadar Vitamin D & Leukosit............................................. ......... 53

5.3 Analisis Bivariat antara Nilai VEP1 dengan Nilai VEP1/KVP,

Kadar Vitamin D & Leukosit......................................... ............. 53

5.4 Analisis Bivariat antara Nilai VEP1/KVP dengan kadar

Vitamin D & Leukosit......................................................... ....... 54

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN......................................................... .. 56

6.1 Simpulan ..................................................................................... 56

6.2 Saran .......................................................................................... 56

6.2.1 Untuk Penelitian Selanjutnya............................................ 56

6.2.2 Untuk Para Klinisi ............................................................ 57

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 58

LAMPIRAN ................................................................................................... 62

Universitas Sumatera Utara


xii14

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kimia Vitamin D (Harper Biochemistry, 2013) 7

Gambar 2.2. Grafik Kebutuhan Vitamin D pada Manusia 11

Gambar 2.3 Metabolisme Vitamin D 12

Gambar 2.4 Anatomi Paru 18

Gambar 2.5 Combined COPD Assessment 28

Gambar 2.6 Kerangka Teori 31

Gambar 3.1 Kerangka Konsep 36

Gambar 3.2 Kualitas kontrol Vitamin D 42

Gambar 3.3 Kualitas kontrol Leukosit 43

Gambar 3.4 Kualitas kontrol Spirometri 43

Gambar 3.5 Alur Penelitian 45

Universitas Sumatera Utara


xiii
15

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK Berdasarkan GOLD 22

Tabel 2.2 COPD Assessment Test 29

Tabel 2.3 Grading mMRC 30

Tabel 3.1 Deskripsi strip vitamin D (Vidas,2015) 39

Tabel 4.1 Karakteristik subjek penelitian 46

Tabel 4.2 Distribusi subjek penelitian berdasarkan GOLD 47

Tabel 4.3 Hubungan Umur, VEP1, VEP1/KVP, kadar Vitamin D &

Leukosit
47

Hubungan VEP1 dengan VEP1/KVP dengan kadar


Tabel 4.4
Vitanim D & Leukosit.
48
Hubungan VEP1/KVP dengan kadar Vitamin D &
Tabel 4.5
Leukosit.

49

Universitas Sumatera Utara


xiv
16

DAFTAR SINGKATAN

APC : Antigen Presenting Cells

APL : Alkaline Phosphatase

BLVR : Bronchoscopic Lung Volume Reduction

CAMP : Cathelicidin AntiMicrobial Peptide

CAT : The COPD Assessment Test

CHF : Congestive Heart Failure

CLSI : The Clinical and Fluorescent Institute

COAD : Chronic Obstructive Airway Disease

COLD : Chronic Obstructive Lung Diseases

COPD : Didalam Chronic Obstrukctive Pulmonary Disease

CT : Computed tomography

DEFB2 : β-defensin-2

ELFA : Enzyme-linked Fruorescent Assay

FRC : Fungsional Residu Capacity

GOLD : Global Intiative for Chronic Obstructive Lung Disrase

HAMP : Hepcidin AntiMicrobial Peptide

Universitas Sumatera Utara


xv
17

hCAP18 : Human cathelicidin antimicrobial peptide

IFN : Inter Feron Nukleat

IgE : Imunoglobulin E

IL : InterLeukin

IOM : Institute of Medicine

KPT : Kapasitas Totas Paru

KV : Kapasita Vital

KVP : Kapasitas Vital Paksa

LVRS : Lung Volume Reduction Surgery

MMO : Matriks Metalloproteinase

MMP-9 : Matriks Metalloproteinase-9

mMRC : Modified Medical Research Council

MCP : Monocyte Chemotactic Peptide

mRNA : Micro-Asam RiboNukleat

Mtb : Mycobacterium Tuberculosis

mVDR : Membrane Vitamin D Reseptor

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

Universitas Sumatera Utara


xvi
18

NF-kB : The Nuclear Faktor-Kappa B

NHANES : National Health and Nutritional Examination Survey

nVDR : Nucleus Vitamin D Reseptor

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

PL : Penyehatan Lingkungan

PMN : Polimorfonuklear

POCT : Point Of Care Testing

PPM : Pemberantasa Penyakit Menular

PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik

PTH : Parathyroid Hormone

RANK : Receptor Activator of Nuklear

RFV : Relative Fluorescence Value

ROS : Reactive Oxygen Species

RV : Residu Volume

RXR : Reseptor asam Retinoic-X

SOPT : Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis

SPSS : Statistical Package for Social Sciences

Universitas Sumatera Utara


xvii
19

TACO : Tryptophan-Aspartate-Containing

TB : Tuberkulosis

TLR : Toll-Like Receptor

Th : The Helper

TNF-a : Tumor Necrosis Factor Alpha

VE : Volume ekspirasi

VEP1 : Volume Ekpirasi Paksa detik pertama

VDR : Vitamin D Reseptor

VDRE : Elemen respon terhadap vitamin D

WHO : World Health Organization

Universitas Sumatera Utara


xviii
20

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI


PENYAKIT PADA PASIEN (PPOK) STABIL

Syahni Wirdani Pulungan1 Amira Permatasari Tarigan2 Zulfikar Lubis3


1
Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia.
2
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia.
3
Divisi Onkologi, departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan, Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah


Kesehatan global. Beberapa penelitian menemukan fakta bahwa konsumsi
multivitamin dapat meningkatkan fungsi paru. Hubungan yang erat antara
defisiensi vitamin D dengan PPOK didukung oleh data epidemiologis National
Health and Nutritional Examination Survey III (NHANES III) yang menunjukkan
serum vitamin D yang rendah pada pasien PPOK.
Metode: Penelitian ini bertujuan melihat hubungan kadar vitamin D dengan
derajat obstruksi penyakit pada pasien PPOK. Penelitian ini bersifat analitik
observasional, dengan rancangan penelitian Prospective Cross sectional.
Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji Adam
Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian dihentikan apabila jumlah
sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang ditentukan.
Populasi pada penelitian ini adalah penderita PPOK di SMF Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan September 2017
sampai dengan Mei 2018.
Hasil:Rerata usia penderita PPOK adalah 64.24 ± 6,21 tahun dengan VEP1 32,39
± 13.41 %. Nilai VEP1/KVP didapati sebesar 65.42 ± 11,69 %. Nilai kadar
vitamin D subjek penelitian adalah 25,25 ± 6,22 ng/mL, sedangkan median
jumlah leukosit adalah 5800 (4980 – 13.110/µL). Dari analisis bivariat didapatkan
nilai VEP1/KVP pasien berhubungan dengan kadar vitamin D dengan nilai p =
0.037; r = 0.282. Korelasi antara kadar vitamin D dengan nilai VEP1/KVP
menunjukkan korelasi positif lemah.
Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan nilai VEP1/KVP
memiliki hubungan yang signifikan dengan kadar vitamin D sebagai penanda
tingkat obstruksi saluran nafas pada pasien PPOK.
Kata Kunci: PPOK, Vitamin D, VEP1, KVP.

Universitas Sumatera Utara


xix
21

RELATIONSHIP BETWEEN VITAMIN D LEVELS WITH DISEASE


OBSTRUCTION IN COPD PATIENTS

Syahni Wirdani Pulungan1 Amira Permatasari Tarigan2 Zulfikar Lubis3


1
Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North
Sumatra / H. Adam Malik General Hospital Medan, Indonesia.
2
Department of Pulmonology and Medicine Respiration Faculty of Medicine,
University of North Sumatra / H. Adam Malik General Hospital Medan,
Indonesia.
3
Division of Oncology, Clinical Pathology department, Faculty of Medicine,
University of North Sumatra / H. Adam Malik General Hospital Medan, Indonesia

ABSTRACT

Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a global Health


problem. Several studies have found the fact that consumption of multivitamins
can improve lung function. The close relationship between vitamin D deficiency
and COPD is supported by National Health and Nutritional Examination Survey
III (NHANES III) epidemiological data which show low serum vitamin D in
COPD patients.
Methods:This study aims to look at the relationship between vitamin D levels and
the degree of obstruction of disease in COPD patients. This research is
observational analytical, with a prospective cross sectional research design. The
study was conducted at the FK-USU Clinical Pathology Department / Haji Adam
Malik General Hospital Medan in collaboration with the Department of
Pulmonology and Medicine Respiration H. Adam Malik General Hospital Medan.
The study is stopped if the number of samples has been met or has met the
specified time limit. The population in this study were patients with COPD in
RSUP Pulmonology and Medicine Respiratory Hospital. H. Adam Malik Medan
from September 2017 to May 2018.
Result: The mean age of COPD patients was 64.24 ± 6.21 years with VEP1 32.39
± 13.41%. VEP1 / KVP values were found to be 65.42 ± 11.69%. The value of
vitamin D levels in the study subjects was 25.25 ± 6.22 ng / mL, while the median
number of leukocytes was 5800 (4980 - 13,110 / µL). From the bivariate analysis,
the VEP1 / KVP value of the patient was associated with vitamin D levels with p
= 0.037; r = 0.282. The correlation between vitamin D levels and VEP1 / KVP
values showed a weak positive correlation.
Conclusion
From this study it can be concluded that the value of VEP1 / KVP has a
significant relationship with vitamin D levels as a marker of the level of airway
obstruction in COPD patients.
Keywords: COPD, Vitamin D, VEP1, KVP.

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah Kesehatan

global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun

secara umum terkait langsung dengan prevalensi merokok dan pada beberapa

negara dengan polusi udara akibat pembakaran kayu, gas dan partikel berbahaya.

Satu meta-analysis dari studi-studi yang dilaksanakan di 28 negara antara 1990

sampai 2004, menunjukkan bukti bahwa prevalensi PPOK adalah lebih tinggi

pada perokok dibanding pada yang bukan perokok, pada mereka yang berusia >

40 tahun dibanding mereka yang berusia < 40 tahun, dan pada pria lebih banyak

dibanding wanita. (GOLD, 2017; PDPI, 2010)

GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease)

memperkirakan PPOK sebagai penyebab kematian ke-6 pada tahun 1990, akan

meningkat menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 di seluruh dunia.

Data yang ada menunjukkan bahwa morbiditas karena PPOK meningkat dengan

usia dan lebih besar pada pria dibanding wanita. (GOLD 2017)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari

kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan

hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko. Faktor pejamu diduga sangat

berhubungan dengan kejadian PPOK dimana semakin banyaknya jumlah perokok

Universitas Sumatera Utara


2

khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam maupun

di luar ruangan terutama di tempat kerja (Matherrs CD; Loncar D, 2006, GOLD,

2017).

PPOK berdampak negatif terhadap kualitas hidup penderita terutama pada

pasien yang berumur >40 tahun yang akan menyebabkan disabilitas penderitanya.

Padahal kelompok usia ini masih dalam kelompok usia produktif namun tidak

dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Co-morbiditas PPOK

dengan faktor resiko usia > 40 tahun dan merokok akan menghasilkan penyakit

kardiovaskuler, karsinoma paru, infeksi paru-paru, tromboembolik disorder, asma,

hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan anxiety (Sonia, B. 2006, GOLD,

2017).

Tsiligianni dan van der Molen (2010) dari Universitas Medical Center

Groningen Belanda mengemukakan bahwa, bermacam vitamin (vitamin C, D, E,

A, beta karoten dan alpha) berhubungan dengan perbaikan kondisi klinis pasien

PPOK. Mereka menemukan fakta bahwa konsumsi multivitamin dapat

meningkatkan fungsi paru, mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki gejala klinis

pasien. Dikatakan juga bahwa asupan vitamin yang tinggi dapat mencegah proses

kerusakan jaringan paru. Ini kemudian diusulkan menjadi salah satu terapi PPOK,

namun sampai saat ini belum ada bukti secara empiris untuk membuktikan

hipotesis tersebut (Tsiligianni I; Molen. 2010).

Christian Herr (2011) dari Universitas Marburg, Jerman mengungkapkan

hanya vitamin D yang memiliki efek protektif terhadap jaringan paru. Vitamin D

Universitas Sumatera Utara


3

yang selama ini dikenal karena perannya terhadap homeostasis tulang ternyata

dapat memodulasi sistem imun di jaringan paru (Herr C, et al. 2011).

Hubungan yang erat antara defisiensi vitamin D dengan PPOK didukung

oleh data epidemiologis National Health and Nutritional Examination Survey III

(NHANES III) yang menunjukkan tingkat serum vitamin D yang rendah pada

pasien PPOK. Beberapa penelitian lain juga telah melaporkan adanya defisiensi

25-(OH)D3 pada pasien PPOK. Forli et al (2004) menemukan defisiensi vitamin

D (<20 ng/ml) pada lebih dari 50% pasien transplantasi paru-paru akibat PPOK.

Demikian juga dalam sebuah studi pada pasien rawat jalan PPOK di Denmark,

sekitar 68% responden memiliki osteoporosis atau osteopenia (Forli et al. 2004).

Sebuah studi lain juga menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D sangat

lazim pada PPOK dan berkorelasi dengan gen protein pengikat vitamin D.

Mekanisme yang tepat yang mendasari data ini belum sepenuhnya diketahui,

namun vitamin D tampaknya berdampak pada fungsi sel-sel peradangan, termasuk

sel dendritik, limfosit, monosit, dan sel-sel epitel (Janssens W etal. 2010).

Vitamin D tidak hanya memiliki peran pada matriks ekstraselular jaringan

tulang tetapi juga pada parenkim paru-paru. Boyan et al. (2007) menegaskan

vitamin D berfungsi sebagai regulator autokrin matriks ekstraseluler. Berdasarkan

data diatas maka dapat diambil perumusan masalah tersebut :

1.2. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan kadar vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit

pada pasien PPOK

Universitas Sumatera Utara


4

1.3. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara Kadar Vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit

pada pasien PPOK.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk melihat hubungan kadar vitamin D dengan derajat obstruksi penyakit

pada pasien PPOK.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik penderita PPOK yang berobat di RSUP Haji

Adam Malik Medan.

2. Mendapatkan data kadar vitamin D dalam serum penderita PPOK.

3. Mendapatkan data derajat obstruksi nilai VEP1 % pasien PPOK

4. Mengetahui hubungan antara kadar vitramin D serum dengan derajat

obstruksi PPOK.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi dokter klinisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang

pengaruh kadar vitamin D pada derajat obstruksi penderita PPOK sehingga dapat

dipakai pada penatalaksanaan kasus PPOK.

Universitas Sumatera Utara


5

1.5.2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai

pengaruh kadar vitamin D terhadap derajat obstruksi penderita PPOK sehingga

dapat digunakan sebagai pengetahuan terhadap patogenesa pada penyakit PPOK.

1.5.3. Bagi masyarakat

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi ke

masyarakat mengenai manfaat pemeriksaan vitamin D sebagai suatu pemeriksaan

noninvasive dalam mengetahui derajat obstruksi penyakit PPOK.

Universitas Sumatera Utara


6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. VITAMIN D

2.1.1. Struktur kimia vitamin D

Vitamin D adalah grup sterol, merupakan vitamin yang larut dalam lemak

prohormon, 2 bentuk utamanya adalah vitamin D2 atau ergokalsiferol dan vitamin

D3 atau kolekalsiferol. Vitamin D juga merujuk pada metabolit dan analogi lain

dari substansi ini. Perkursor vitamin D2 adalah ergosterol dalam tanaman, dimana

D2 dapat disintesis oleh radiasi ultraviolet dari ergosterol dari ragi. Vitamin D3

diproduksi di dalam kulit yang terpapar sinar matahari, terutama radiasi ultraviolet

B (ultraviolet B, panjang gelombang 280 - 315 nm dan foto isomerase

7-dehidroksikolesterol). Molekul aktif dari vitamin D,1,25(OH)2D3 merupakan

pemeran utama dalam metabolisme absorpsi kalsium ke dalam tulang, fungsi otot,

sekaligus sebagai immunomodulator yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan

untuk melawan beberapa penyakit. Disintesis di kulit dan diserap di saluran

gastrointestinal (Harper, 2013).

2.1.2. Sejarah vitamin D

Pada tahun 1920, Mellanby dan Huldschinsky mendapatkan bahwa rakitis

dapat dicegah ataupun diobati dengan minyak ikan atau dengan sinar matahari

yang cukup. Ternyata sterol yang terdapat pada hewan atau tumbuh-tumbuhan

merupakan provitamin D yang dengan penyinaran ultraviolet akan diubah menjadi

vitamin D. Provitamin yang terutama didapatkan pada jaringan hewan adalah 7-

Universitas Sumatera Utara


7

dehidrokolesterol yang akan diubah menjadi vitamin D3 (kolekalsiferol).

Provitamin yang terdapat pada ragi dan jamur adalah ergosterol yang akan diubah

menjadi vitamin D2 (ergokalsiferol). Setelah percobaan tersebut, vitamin D mulai

dikenal dan dibedakan dari vitamin A di dalam minyak ikan, yang sanggup

menghindarkan penyakit rickets (Nair, 2012).

Gambar 2.1. Struktur Kimia Vitamin D (Harper Biochemistry, 2013)

2.1.3. Epidemiologi vitamin D

Mula-mula disangka hanya terdapat satu ikatan kimia dengan aktifitas

vitamin D, tetapi ternyata kemudian terdapat beberapa ikatan organik yang

mempunyai aktifitas vitamin D ini.

Berbagai jenis vitamin D ini terdapat dari hasil penyinaran beberapa jenis

kolesterol dengan sinar ultraviolet antara lain :

1. Vitamin D1 yang terdapat pada penyinaran ergosterol dari bahan

tumbuhan. Merupakan campuran dari dua jenis vitamin, yang diberi

Universitas Sumatera Utara


8

nama Vitamin D2 dan vitamin D3, sedangkan struktur molekuler

vitamin D1 sendiri sebenarnya tidak ada.

2. Vitamin D3 didapat dari bahan hewani, 7-dehidrokolesterol, suatu

minyak yang terdapat dibawah kulit. Pada manusia pun vitamin D3

terbentuk dibawah kulit dari 7-dehidrokolesterol tersebut dengan

penyinaran ultraviolet yang berasal dari sinar matahari vitamin D3

disebut juga kolekalsiferol.

3. Vitamin D2 atau ergokalsiferol. Ergokalsiferol yang dilarutkan di dalam

minyak terdapat di pasaran dengan nama viosterol.

4. Ada lagi vitamin D4 yang berasal dari minyak nabati yang mengandung

22-dehidrokolesterol, setelah disinari ultraviolet .

Terdapat lebih kurang 10 derivat sterol yang memiliki aktivitas vitamin D,

namun ergosterol dan 7α-dehidrokolesterol, merupakan provitamin D utama yang

menghasilkan secara berturut-turut D2 dan D3. (Schottker B, 2016).

Tanpa adanya vitamin D, hanya 10% sampai 15% dari kalsium dan sekitar

60% fosfor yang diserap di usus (Nair 2012). Institute of Medicine (IOM)

melaporkan risiko terjadinya rickets, fraktur, dan kelainan tulang lainnya lebih

tinggi pada orang dengan kadar calcifediol < 12 ng/mL. Kekurangan vitamin D

mempengaruhi hampir 50% dari populasi di seluruh dunia (Nair, 2012).

Diperkirakan 1 miliar orang di seluruh dunia, semua etnis dan kelompok usia,

mengalami kekurangan vitamin D (Gordon, 2004). Ini pandemi hipovitaminosis D

yang terutama dikaitkan dengan gaya hidup dan faktor lingkungan dimana

Universitas Sumatera Utara


9

kurangnya paparan terhadap sinar matahari untuk mensintesis vitamin D di kulit

(Nair 2012).

Sumber utama vitamin D untuk anak-anak dan orang dewasa adalah

paparan sinar matahari alami. Dengan demikian, penyebab utama dari kekurangan

vitamin D adalah kurangnya paparan sinar matahari. Menggunakan tabir surya

dengan faktor perlindungan sinar matahari 30 mengurangi pembentukan vitamin

D di kulit lebih dari 95% (Nair 2012 & Holick 2011).

2.1.4. Manfaat vitamin D

Vitamin D merupakan faktor kesehatan penting dari lahir dan seterusnya

atau bahkan sebelum itu. Peran yang paling terkenal dari vitamin D adalah

kesehatan tulang. Kekurangan vitamin D pada bayi dan anak-anak bisa berakhir di

rakhitis gizi yang merupakan pelunakan tulang, kelemahan otot, nyeri tulang dan

kelainan bentuk gejala dan tanda-tanda pada kasus-kasus ringan. (Mehrnoush K,

2014).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa manfaat vitamin D dapat

memperpanjang sistem muskuloskeletal secara keseluruhan. Vitamin D sangat

penting untuk kalsium, homeostasis fosfat dan untuk mineralisasi kerangka,

khususnya selama periode pertumbuhan yang cepat. Kekurangan Vitamin D

menyebabkan rakhitis (pada anak-anak) dan osteomalacia (pada orang dewasa).

Vitamin D merupakan salah satu faktor penting yang diperlukan untuk

perkembangan tulang dan pemeliharaan massa tulang serta faktor utama untuk

kalsium normal dan homeostasis fosfat (Elhoseiny SM, 2015).

Universitas Sumatera Utara


10

Vitamin D juga terlibat dalam mengatur sistem kekebalan tubuh dan sel,

dimana mungkin membantu mencegah berbagai penyakit. Molekul aktif dari

vitamin D, yaitu 1,25(OH)2D3 merupakan pemeran utama dalam metabolisme

absorpsi kalsium ke dalam tulang, fungsi otot, sekaligus sebagai

immunomodulator yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan untuk melawan

diabetes dan kanker.

2.1.5. Kebutuhan vitamin D

Kadar calcifediol merupakan penanda yang digunakan secara luas untuk

menentukan status vitamin D di dalam tubuh kita, karena calcifediol mewakili

sintesis vitamin D endogen di kulit setelah terpapar sinar ultraviolet dan juga

asupan makanan yang mengandung vitamin D (Ganji, 2012). Institute of Medicine

mengestimasi bahwa kadar calcifediol sebesar 16 ng/mL adalah sasaran yang

perlu dicapai untuk anak-anak dan dewasa. Kadar calcifediol sebesar 20 ng/mL

digunakan sebagai batasan yang dapat melindungi kesehatan tulang dari 97,5%

populasi (Ganji, 2012). Menurut pedoman Endocrine Society, status vitamin D

didefinisikan sebagai sufisiensi bila kadar calcifediol 31 sampai 60 ng/mL,

insufisiensi bila kadar calcifediol 21 sampai 30 ng/mL dan defisiensi bila kadar

calcifediol ≤ 20 ng/mL (Lee, 2013).

Universitas Sumatera Utara


11

Gambar 2.2. Grafik Kebutuhan Vitamin D pada manusia


(Harper Bisochemistry, 2013)

2.1.6. Metabolisme Vitamin D

Vitamin D, selain berasal dari produk konversi sinar ultraviolet terhadap 7-

dehydrocholesterol di kulit, juga dapat diperoleh dari asupan makanan, seperti

telur, ikan, mentega, produk susu difortifikasi dan suplemen yang mengandung

vitamin D. Vitamin D kemudian dikonversi ke bentuk sirkulasi utama, 25-

hydroxyvitamin D (calcifediol) oleh hati dengan enzim 25-hydroxylase (CYP2R1)

dan kemudian diubah menjadi 1,25-dihydroxy vitamin D atau calcitriol oleh ginjal

dgn enzim 1-α-hydroxylase (CYP27B1) untuk meningkatkan efisiensi penyerapan

usus terhadap kalsium sebagai fungsi klasik (Nair, 2012).

Vitamin D diangkut ke hati dan hidroksilasi 25-hidroksi vitamin D3

25(OH)D. Diatur oleh hormon paratiroid, hidroksilasi tambahan untuk 1,25-

dihydroxy vitamin D3 berlangsung di ginjal. Metabolit beredar utama vitamin D

adalah serum 25 (OH)D, yang memiliki paruh antara 10 dan 19 hari. Ini adalah

Universitas Sumatera Utara


12

indikator terbaik status vitamin D dan mencerminkan tingkat dari asupan makanan

dan sintesis di kulit. Kadar 25(OH)D dalam darah bervariasi antara 20–200

nmol/L (8 – 80 ng/ml). Individu yang mendapat sinar matahari sangat kuat dapat

mempunyai kadar 25(OH)D mencapai 250 nmol/L (100 ng/ml). Apabila < 25

nmol/L (10 ng/ml) umumnya dianggap kekurangan; tingkat <80 nmol/L (32 ng

/ml) dianggap insufficient. (Soliman A, 2013).

Gambar 2.3. Metabolisme Vitamin D (Ganong, 2010)

Pembuatan 25(OH)D di hati diatur oleh mekanisme umpan balik, yakni

peningkatan konsumsi diet dan produksi endogen vitamin D3, Kadarnya dapat

meningkat sampai 500 ng/ml. Serum 25(OH) menurun pada penyakit hati kronik

berat. Reseptor vitamin D (VDR) merupakan reseptor golongan steroid-retinoid-

thyroid hormone-vitamin D. VDR berinteraksi dengan reseptor asam retinoic-X

(RXR) ke bentuk kompleks heterodinamik (RXR-VDR) dan mengikat DNA

spesifik serta dinamakan vitamin D respon elemen (VDRE). Di usus VDR

Universitas Sumatera Utara


13

mengaktivasi sintesis protein pengikat kalsium, sedangkan di tulang merangsang

produksi osteocalcin, osteopontin, dan alkali fosfatase.

1,25(OH)2D meningkatkan transpor kalsium dari ekstrasel ke intrasel dan

memobilisasi kalsium dari intrasel. Disini 1,25(OH)2D merangsang transpor

kalsium dan fosfat dari lumen usus halus ke sirkulasi. 1,25(OH)2D meningkatkan

resorpsi tulang yang sinergis dengan parathyroid hormone (PTH). PTH dan

1,25(OH)2D berinteraksi dengan reseptor osteoblas dan stroma fibroblas serta

merangsang produksi ligan RANK (Receptor Activator of Nuklear factor ƙβ

Ligand) pada permukaan sel osteoblas. Ligan RANK berinteraksi dengan

reseptornya pada osteoklas imatur merangsang prekursor osteoklas imatur ke

osteoklas matur. Ablasi vitamin D reseptor (VDR) berakibat gangguan absorpsi

kalsium usus dan hiperparatiroisdisme sekunder.

Dalam proses bioaktifasi vitamin D formasi bentuk 1,25(OH)2D dari

1,25(OH)D dalam kondisi fisiologi normal, utamanya dilakukan di ginjal, tetapi

ternyata terdapat beberapa organ lain yang dapat melakukan perubahan tersebut

terutama dalam kondisi spesifik (kehamilan, gagal ginjal kronik, sarkoidosis,

tuberkulosis, kelainan granulomatosa, dan rheumatoid arthritis). Bagaimanapun

juga produksi 1,25(OH)2 dari ekstra renal utamanya digunakan sebagai faktor

autokrin/parakrin dengan fungsi sel yang spesifik. Estrogen, prolaktin, hormon

pertumbuhan dapat mengubah produksi 1,25(OH)2D. Peningkatan kebutuhan

kalsium selama pertumbuhan, hamil, dan menyusui meningkatkan absorpsi

kalsium susu dan meningkatkan aktivitas 25(OH)D-1α-hydroxylase (Ganong,

2010).

Universitas Sumatera Utara


14

2.1.6.1. Metabolisme vitamin D3

Vitamin D3 di dalam hati diubah menjadi bentuk aktif 25-hidroksi

kolekalsiferol [25(OH)D3] yang lima kali lebih aktif dari pada vitamin D3.

Bentuk ini paling banyak didapati di dalam darah dan banyaknya bergantung pada

konsumsi dan paparan tubuh terhadap cahaya matahari. Kalsitriol merupakan

bentuk paling aktif yaitu 10 kali lebih aktif dari vitamin D3 dan dibuat di ginjal.

Pada usus halus, kalsitriol meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfor dan pada

tulang akan meningkatkan mobilisasinya.

Taraf kalsium dan fosfor dalam serum mengatur sintesis kalsitriol.

Paratyiroid hormone (PTH) yang dikeluarkan bila kalsium dalam serum rendah

meransang produksi [1,25(OH)2D3] oleh ginjal. Kadar kalsium serum yang

rendah menggambarkan taraf konsumsi kalsium yang rendah. Ini akan

mempengaruhi sekresi PTH dan peningkatan sintesis kalsitriol oleh ginjal. Taraf

fosfat dari makanan mempunyai pengaruh yang sama, tetapi tidak membutuhkan

PTH.

Enzim 25 hidroksilase bekerja tanpa kontrol yang ketat, sedangkan enzim

1α,25(OH)2D3 hidroksilase dikontrol oleh beberapa mekanisme kontrol dan

umpan balik. Ginjal akan menghasilkan hormon steroid melalui enzim 1

hidroksilase (atau 1α,25(OH)2D3 hidroksilase) dihasilkan 1α,25(OH)2D3

(kalsitriol) dan bila kalsitriol sudah cukup tersedia. Maka enzim 24 hidroksilase

(atau 24R,25(OH)2D3 hidroksilase) akan meningkat di ginjal untuk membentuk

24R,25(OH)2D3. Diduga 24R,25(OH)2D3 berperan pada mineralisasi tulang.

Universitas Sumatera Utara


15

Regulasi hormon 1α,25(OH)2D3 diatur oleh peningkatan PTH, kadar

kalsium rendah, kadar fosfat rendah, dan status vitamin D. Peningkatan PTH,

kadar kalsium rendah, kadar fosfat rendah dapat meningkatkan 1α,25(OH)2D3

hidroksilase. 25(OH)D3 memiliki aktivitas biologi 5x lebih kuat dari pada

vitamin D3 sedangkan 1,25(OH)2D3 memiliki aktivitas biologi 10x lebih kuat

dari pada vitamin D3.

2.2 Vitamin D dan inflamasi

Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan jaringan kolagen yang dapat

merusak matriks ekstrseluler paru dan berperan dalam timbulnya cavitasi pada

pasien sindrom obstruksi post TB (SOPT). Pemberian 1α,25(OH)2D3

menunjukkan penurunan ekspresi MMP akibat rangsangan Mtb seperti MMP-7,

MMP-9, dan MMP-10. (Khoo, et al (2011) juga melaporkan bahwa

1α,25(OH)2D3 menunjukkan kemampuan menekan respon inflamasi dengan

menurunkan ekspresi TLR2 (Toll-Like Receptor) dan TLR4 pada monosit yang

mencegah aktivasi TLR yang berlebihan selama infeksi (Khoo et al, 2011).

Aktivasi dari NADPH oksidase (Nicotinamide Adenine Dinucleotide

Phosphate-Oxidase) juga ikut didalam proses 1α,25(OH)2D3 menginduksi

ekspresi cathelicidin. Beberapa penelitian melaporkan bahwa defisiensi vitamin D

berhubungan dengan menurunnya ekspresi CAMP (Cathelicidin Anti Microbial

Peptide) yang berhubungan dengan tingkat kerentanan terhadap infeksi (Dixon et

al, 2012).

1α,25(OH)2D3 juga menunjukkan pengaruh terhadap sistem pertahanan

tubuh melawan infeksi bakteri melalui aktivasi sistem autofagi yang

Universitas Sumatera Utara


16

mendegradasi komponen sel dalam sistem lisosom. Hal penting lain adalah

didapatinya bukti bahwa peningkatan zat besi intraseluler akan meningkatkan

kemampuan mikroba untuk bertahan dan berkembang dalam makrofag. Terhadap

hal ini 1α,25(OH)2D3 justru mampu menekan ekspresi dari hepcidin

antimicrobial peptide (HAMP) yang berperan sebagai transport zat besi

intraseluler (Bacchetta et al, 2013).

1α,25(OH)2D3 juga menekan diferensiasi dan maturasi dari sel dendritik

dengan menurunkan transkripsi dari gen sel B yang mempengaruhi NF-kB (the

Nuclear Faktor-Kappa B) signaling. Saat ini telah dilaporkan bahwa

1α,25(OH)2D3 meningkatkan kemampuan monosit untuk mempresentasikan

antigen (Tung et al, 2013)

Penelitian Chandra et al (2004) menunjukkan bahwa 1α,25(OH)2D3

secara spontan dapat meningkatkan respon sistem limfosit namun 1α,25(OH)2D3

akan menekan respon limfosit terhadap antigen mikobakterial pada subjek yang

sehat.

Keseimbangan antara respon pro-inflamatori dengan anti-inflamatori

menjadi faktor yang sangat penting terhadap kerentanan terhadap infeksi bakteri.

Peranan 1α,25(OH)2D3 dalam memodulasi sistem imun terlihat jelas pada sel

Th1, dimana 1α,25(OH)2D3 meregulasi proliferasi sel T dan produksi sitokin.

1α,25(OH)2D3 menekan respon Th1 dengan menurunkan produksi sitokin

proinflamasi seperti IFNϫ, IL-6, IL-2, TNF- α dan kemokin (Khoo et al, 2012;

Selvaraj et al, 2012).

Universitas Sumatera Utara


17

1α,25(OH)2D3 justru akan merangsang sel Th2 yang meningkatkan

produksi sitokin anti-inflamasi seperti IL4 dan IL-10. Beberapa penelitian klinis

melaporkan bahwa pemberian suplementasi vitamin D akan meningkatkan jumlah

sel T regulator (Pretl et al 2010; Bock et al, 2011).

2.3. Penyakit Paru Obstruktif Kronis

2.3.1. Definisi

PPOK merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan ditanggulangi.

Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible, bersifat

progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau

gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi

terhadap derajat berat penyakit dengan gejala utama PPOK adalah sesak napas

yang memberat saat aktivitas, batuk dan produksi sputum (PDPI, 2010,GOLD

2017).

2.3.2. Anatomi dan Fisiologi Paru

2.3.2.1. Anatomi Paru

Paru-paru merupakan organ tubuh yang sebagian besar terdiri dari

gelembung-gelembung. dimana gelembung hawa ini disebut alveoli. Gelembung-

gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas

permukaannya mencapai ± 90 m2 yang mana pada lapisan inilah terjadi pertukaran

udara O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya

gelembung paru ini ± 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

Universitas Sumatera Utara


18

Paru-paru dibagi 2 (dua) :

a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus yaitu lobus dekstra superior, lobus

media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh beberapa lobulus.

b. Paru-paru kiri, terdiri dari lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap

lobulus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segmen.

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada

lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan

mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua)

buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang

berisi pembuluh-pembuluh darah, pembuluh getah bening dan saraf-saraf. Di

dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus.Di dalam lobulus, bronkiolus

ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus alveolus.

Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2–0,3

mm (Tabrani, 2010)

Gambar 2.4. Anatomi Paru

Universitas Sumatera Utara


19

2.3.2.2. Fisiologi Paru

Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam

menampung udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai

berikut

1. Kapasitas total paru (KPT) Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi

paru-paru pada inspirasi sedalam-dalamnya. Besarnya tergantung pada

kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk tubuh seseorang.

2. Kapasitas vital (KV) Yaitu: jumlah udara yang dapat dikeluarkan

setelah ekspirasi maksimal. Dalam keadaan yang normal kedua paru-

paru dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

3. Volume ekspirasi (VE) Di dalam paru-paru kita saat bernafas masih

tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita bernapas biasa udara yang

masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2,5 liter).

4. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal = Orang dewasa:

16–18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30

x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah,

misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat

dan sebaliknya (Tabrani R, 2010, GOLD, 2017)

2.3.3. Patofisiologi PPOK

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK

yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian

proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya

suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya

Universitas Sumatera Utara


20

peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi

folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas

mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas mengecil

dan berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi,

yang meningkat sesuai berat sakit (Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam

keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi

kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan

kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh

gas polutan dapat menyebabkan stress oksidatif, dan selanjutnya akan

menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid ini akan

menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan

sel makrofag alveolar dimana aktivasi sel tersebut akan menyebabkan

dilepaskannya faktor kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8, leukotrien B4,

tumor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive

oxygen species (ROS) (Zitterman A, et al. 2016).

Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease

yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan

dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan

menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8 dan menyebabkan kerusakan seperti

proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan

antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan

mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan

Universitas Sumatera Utara


21

bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik

akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero,

ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl) (Zitermann

A et al. 2016).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi

batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan

fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan

struktur berupa destruksi alveoli akan menuju ke arah emfisema karena produksi

radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok (GOLD,

2017).

Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus

terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara

yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak

terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal

inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya.

Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan

menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi

gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (PDPI, 2010)

2.3.4. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD 2017)

PPOK dibagi berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri setelah

pemberian bronkodilator, yang kemudian dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.

Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara

Universitas Sumatera Utara


22

paksa dari titik inspirasi maksimal kapasitas vital paksa (KVP), kapasitas udara

yang dikeluarkan pada detik pertama atau volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1), dan rasio kedua pengukuran tersebut (VEP1/KVP). Selengkapnya dapat

dilihat pada tabel berikut (Vestbo, etal. 2014).

Tabel 2.1 Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD

Pada Pasien dengan VEP1 / KVP < 0,7

GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi


GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat VEP1 < 30% prediksi

2.3.5. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Penyakit ini dikaitkan

dengan faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

- Merokok sigaret yang berlangsung lama. Rokok dapat menimbulkan

kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkus sehingga drainase lendir

terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan bakteri

- Polusi udara

- Infeksi paru berulang

- Infeksi TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak

terutama pada aktivitas, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB

(fibrotik klasifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan

gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok

Universitas Sumatera Utara


23

penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom

Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).

- Umur

- Jenis kelamin

- Ras

- Defisiensi alfa-1 antitripsin

- Defisiensi anti oksidan

2.3.6. Tanda dan Gejala klinis

Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok yaitu gambaran

klinik dominant kearah bronkitis kronis (blue bloater) atau gambaran klinik

kearah emfisema (pink puffers). Secara umum pasien datang dengan keluhan

sebagai berikut : badan lemah, sesak napas saat aktivitas, batuk berdahak, dan

napas berbunyi (mengi).

Pada pemeriksaan fisik akan sering dijumpai ekspirasi yang memanjang,

bentuk dada tong (Barrel Chest), penggunaan otot bantu pernapasan, suara napas

melemah, pernapasan paradoksal, edema kaki, asites dan jari tabuh (Fauci, et al.

2008, GOLD, 2017)

2.3.7. Pemeriksaan Penunjang

2.3.7.1. Pemeriksaan Spirometri

Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya

menggunakan spirometri. Spirometri direkomendasikan untuk semua perokok 45

tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi,

Universitas Sumatera Utara


24

atau dahak persisten.(PDPI 2010, GOLD 2017). Meskipun spirometri merupakan

gold standard dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi

itu kurang dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio VEP1 (Volume Eskpirasi

Paksa detik pertama) dan KVP (Kapasitas Vital Paksa). VEP1 adalah volume

udara yang pasien dapat keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah

inspirasi penuh. VEP1 pada pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan

tinggi badan. KVP adalah volume maksimum total udara yang pasien dapat

hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh (Vestbo,et al.2014, GOLD, 2017)

2.3.7.2. Pemeriksaan penunjang lain

Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru, massa,

atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan pemeriksaan

computed tomography (CT) untuk memonitor kanker paru-paru. Pemeriksaan

darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia.

Perlu untuk melakukan elektro kardiografi dan ekokardiografi pada pasien dengan

tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru. Pulse

oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur harus

dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen tambahan.

Kultur sputum juga penting dilakukan untuk mengetahui jika ada patogen

penyebab infeksi.

Universitas Sumatera Utara


25

2.3.8. Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksanaan PPOK dibedakan atas penatalaksanaan pada keadaan

stabil dan penatalaksanaan pada saat eksaserbasi akut. Penatalaksanaan dilakukan

dengan dua cara yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan

terapi tersebut adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit,

mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik

dan psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka

kematian (Soeroto AY, 2014, GOLD, 2017).

Terapi non-farmakologis dapat dilakukan dengan cara menghentikan

kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan

pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam

pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda

dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat

irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan

aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.

Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan

merupakan pilihan utama adalah bronkodilator .Penggunaan obat lain seperti

kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi

tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis

bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan

pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat

Universitas Sumatera Utara


26

lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting) (Tabrani

2010, GOLD 2017)

Macam-macam bronkodilator :

a. Golongan antikolinergik. Digunakan pada derajat ringan sampai berat,

disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir.

b. Golongan β-2 agonis. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak

nafas dimana peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor

timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan

bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan

untuk mengatasi eksaserbasi akut dan tidak dianjurkan untuk

penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk

mengatasi eksaserbasi berat.

c. Kombinasi antikolinergik dan β–2 agonis. Kombinasi kedua

golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena

keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu

penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah

penderita.

d. Golongan xantin. Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan

pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin

darah.

Universitas Sumatera Utara


27

Pada keadaan kerusakan irreversibel yang sangat parah dapat dilakukan

reduksi volume paru secara pembedahan (LVRS/ Lung Volume Reduction

Surgery) atau endoskopi (transbronkial) (BLVR/ Bronchoscopic Lung Volume

Reduction) (PDPI, 2010)

2.3.9. Combined COPD Assessment

Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK terhadap

masing-masing penderitanya berdasarkan assessment terhadap gejala yang

dialami, klasifikasi spirometri berdasarkan GOLD (The Global Initiative for

Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dan kejadian eksaserbasi. (Vestbo J, et

al. 2014, GOLD 2017).

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment adalah :

1. Kelompok A-Rendah Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam

setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat

eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score <10 atau mMRC grade 0-1.

2. Kelompok B-Rendah Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 1 atau 2, mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam

setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat

eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥ 2.

3. Kelompok C-Tinggi Risiko, Sedikit Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥ 2 kali per

tahun atau ≥ 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat

eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.

Universitas Sumatera Utara


28

4. Kelompok D-Tinggi Risiko, Banyak Gejala Pasien dengan klasifikasi

GOLD 3 atau 4, dan/atau mengalami eksaserbasi sebanyak ≥ 2 kali per

tahun atau ≥ 1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat

eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥ 10 atau mMRC grade ≥

2. (GOLD 2017)

Gambar 2.5. Combined COPD Assesment

COPD Asssessment Test (CAT) dikembangkan untuk mengukur dampak

PPOK terhadap kesehatan pasien dan meningkatkan pemahaman antara dokter

dan pasien terhadap dampak penyakit untuk mengoptimalkan pengelolaan pasien

dan mengurangi beban penyakit. CAT merupakan kuesioner yang sudah

tervalidasi dan terstandarisasi yang digunakan untuk menilai status kesehatan

pasien PPOK. CAT terdiri dari 8 item pertanyaan yang mudah dimengerti dan

dijawab oleh pasien. CAT memiliki skor dari 0-40.

Universitas Sumatera Utara


29

Dengan 8 item pertanyaan, CAT sudah dapat menunjukkan efek yang jelas

terhadap status kesehatan dan kehidupan sehari-hari pasien.CAT bukan

merupakan alat diagnostik seperti spirometri. Namun CAT dapat digunakan

bersama-sama dengan spirometri dalam penilaian klinis pasien PPOK untuk

mengetahui apakah penatalaksanaan sudah optimal.CAT juga dapat membantu

dalam memonitor efek terapi.

Para ahli yang terlibat dalam pengembangan CAT menyarankan pasien

PPOK untuk melengkapi kuesioner CAT ketika menunggu untuk pemeriksaan

atau saat di rumah sebelum berangkat konsultasi karena CAT hanya

membutuhkan beberapa menit untuk diisi Kuesioner CAT yang sudah dilengkapi

dapat membantu dalam menyusun langkah penatalaksanaan pasien. CAT

Development Steering Group and GOLD menyarankan agar pasien mengisi

kuesioner CAT setiap 2-3 bulan untuk menilai perubahan.

Tabel 2.2. COPD Asessment Test

Universitas Sumatera Utara


30

Tabel 2.3. Grading mMRC

2.3.10. Prognosis

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin

memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini

terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan

penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau

memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi

lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca. Derajat obtruksi saluran nafas

yang terjadi, dan ketepatan identifikasi komponen penyebab memungkinkan

adanya reversibilitas (PDPI 2010, GOLD 2017).

Tahap perjalanan penyakit dan penyakit saluran nafas lain diluar paru

seperti sinusitis dan faringitis kronik juga mempengaruhi prognosis penyakit ini.

Pada akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat

terjadi sehingga usaha mengatasi penyakit penyerta lain menjadi hal yang penting

untuk memperbaiki prognosis pasien (Tabrani, 2010).

Universitas Sumatera Utara


31

2.3.11. Kerangka Teori

Inhalasi Bahan Berbahaya, Oksidan/ anti oksidan,


Infeksi, Genetik, Merokok

Vitani D dalam Vitamin D dalam


Mekanise Inflamasi Mekanisme
perlindungan perbaikan

Kerusakan Jaringan Paru

PPOK

Universitas Sumatera Utara


32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik observasional, dengan rancangan penelitian

potong lintang ( Prospective Cross sectional ) .

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik FK-USU/RSUP Haji

Adam Malik Medan bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan

Kedokteran Respirasi RSUP H. Adam Malik Medan.Penelitian ini dimulai pada

bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018. Penelitian akan dihentikan

apabila jumlah sampel sudah terpenuhi atau sudah memenuhi batas waktu yang

ditentukan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian:

1. Populasi target : Penderita PPOK

2. Populasi terjangkau : Penderita PPOK yang berobat ke SMF

Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan

pada bulan September 2017 sampai dengan Mei 2018.

3.3.2. Subjek Penelitian :

Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran

Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan bulan September 2017 sampai dengan

Universitas Sumatera Utara


33

Mei 2018 yang memenuhi kriteria inklusi. Dengan jumlah totol pasien 55 orang,

Pasien yang berobat 5 – 10 orang / hari dengan diagnosa PPOK dan komorbid.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

1. Penderita PPOK yang berobat ke SMF Pulmonologi dan Kedokteran

Respirasi RSUP. H. Adam Malik Medan.

2. Berusia > 40 tahun.

3. Bersedia ikut dalam penelitian.

3.4.2. Kriteria Eksklusi

1. Jumlah leukosit < 4000 μ/L atau > 11.000𝜇/L

2. Pasien pengguna obat-obatan yang mempengaruhi kadar 25(OH)

vitamin D total.

3. Pasien yang sudah mendapat suplemen Vitamin D.

4. Pasien sedang dalam kondisi eksaserbasi akut.

5. Pasien yang mempengaruh faal paru

- Kardiomegali

- Ca. Paru

- Asma Brochial

3.5. Ethical Clearance dan Informed Consent

Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.Informed Consent diminta

secara tertulis dari subjek penelitian atau diwakili oleh keluarganya yang ikut

Universitas Sumatera Utara


34

bersedia dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan

tujuan penelitian.

3.6. Perkiraan Besar Sampel

Digunakan rumus besar sampel untuk uji korelasi . Besar sampel

ditentukan dengan rumus:

dimana :

Z ( 0.5 / 2 ) = deviat baku alpa. utk  = 0,05 maka nilai baku normalnya 1,96

Z(0.5-β)= deviat baku beta. utk  = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

r = koef. korelasi = 0.83

Menurut rumus di atas maka diperlukan sampel minimal sebanyak 54,7

(55 orang).

3.7. Definisi Operasional

a. Penderita PPOK adalah penderita PPOK yang datang berobat ke SMF

Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP Haji Adam Malik Medan

dengan gejala klinis yang sesuai. Telah dilakukan pemeriksaan spirometri

dan ditegakkan sebagai PPOK.

b. Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak prohormon, 2

bentuk utamanya adalah vitamin D2 atau ergokalsiferol dan vitamin D3

Universitas Sumatera Utara


35

atau kolekalsiferol. Dalam penelitian ini yang diperiksa adalah kadar

vitamin D total yang terdapat dalam serum menggunakan alat Mini Vidas.

c. VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) adalah jumlah udara

dalam liter yang dapat diekspirasi maksimal secara paksa pada detik

pertama setelah inspirasi maksimal. VEP1 dapat diukur setelah pasien

melakukan perasat KVP (kapasitas vital paksa).

d. VEP1/KVP (Volume ekspirasi detik pertama / Kapasitas vital paksa).

Perbandingan niali VEP1 dan KVP yaitu: perbandingan udara yang dapat

ditarik dan dihembuskan dalam satu kali bernafas penuh dalam satu detik.

Rasio kurang dari 75% menunjukkan obstruksi saluran napas.

e. ELFA ( Enzyme-Linked fluorescent Assay) adalah modifikasi

pemeriksaan serologi konvensional dari enzym-Linked Imminosorbent

Assay (ELISA). Yaitu mendeteksi keberadaan antibodi menggunakan

enzim yang terkonjugasi, konjugat peroksidase-antibodi. Subtrat yang

digunakan adalah asam p-hydroxyphenylacetin, produk fluorescent yang

stabil dan tidak dapat dipengaruhi oleh cahaya.

Universitas Sumatera Utara


36

3.8. Kerangka Konsep

MEROKOK

OKSIDAN INFEKSI KRONIK

INHALASI
BAHAN PPOK GENETIK
BERBAHAYA Penyakit Paru
Obstruktif
Kronik

VITAMIN D

Universitas Sumatera Utara


37

3.9. Bahan dan Cara Kerja

3.9.1. Bahan yang diperlukan

Bahan pemeriksaan laboratorium berupa darah tanpa antikoagulan untuk

pemeriksaan kadar serum Vitamin D.

3.9.2. Cara kerja

a. Subjek penelitian yaitu penderita PPOK dilakukan anamnesis dan

pemeriksaan klinis.

b. Setelah memenuhi kriteria diagnosis, kemudian ditentukan memenuhi

kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi.

c. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan informed consent

dan mengisi surat persetujuan mengikuti penelitian.

d. Dilakukan pengambilan sampel darah.

e. Pengambilan dan Pengolahan Bahan

1. Bahan darah subjek diambil melalui vena punksi dari vena

mediana cubiti. Tempat vena punksi terlebih dahulu dibersihkan

dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Darah diambil dengan

menggunakan venoject sebanyak 10 ml dan dibagi dua pada tabung

vacutainer gel clot activator (3 ml). Masing-masing berisi 5 ml.

Darah pada tabung vacutainer gel clot activator dibiarkan

membeku selama 20 menit pada suhu ruangan, dilakukan

sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit, serum

dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung plastik (aliquot) 1 ml

untuk bahan pemeriksaan kadar vitamin D serum.

Universitas Sumatera Utara


38

2. Untuk pemeriksaan vitamin D, serum disimpan dalam freezer -

20°C sampai waktu pemeriksaan yang telah ditentukan (maksimum

6 bulan). (Hansson, 2005).

2.9.3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan kadar 25(OH) Vitamin D

Pemeriksaan kadar 25(OH) vitamin D Total dilakukan dengan

menggunakan alat MINI VIDAS BRAHMS. Prinsip pemeriksaan 25(OH)

vitamin D Total dengan metode Enzyme-Linked Fluourescent Assay

(ELFA) sesuai rekomendasi The Clinical and Laboratory Standards

Institute (CLSI).

Solid Phase Respectacle (SPR®) berfungsi sebagai fase padat serta

perangkat pipetting untuk pengujian tersebut. Reagen untuk pengujian

telah tersedia siap digunakan dan telah terbagi di setiap strip reagen yang

tersegel. Semua langkah-langkah uji yang dilakukan secara otomatis oleh

instrumen. Media reaksi dengan siklus masuk dan keluar dari SPR

beberapa kali.

Universitas Sumatera Utara


39

Tabel 3.1. Deskripsi strip vitamin D (Vidas, 2015)

Wells Reagents
1 Sample Well.
2 Conjugate: TRIS, NaCl + anti-vitamin D antibody conjugated with
alkaline
phosphatase + stabilizer of human origin* + preservative (300
μL).
3 Pre-treatment solution: TRIS, NaCl + dissociation agent +
surfactant + methanol**
(600 μL).
4,5,6 Empty well
7,8,9 Wash buffer: TRIS, NaCl + preservative + surfactant (600 μL).

10 Reading cuvette with substrate: 4-Methyl-umbelliferyl phosphate


(0.6 mmol/l) +
diethanolamine*** (DEA) (0.62 mol/L or 6.6%, pH 9.2) + 1 g/L
sodium azide (300)

Sampel dicampur dengan reagen preparasi untuk memisahkan

vitamin D dari protein pengikat. Sampel preparasi kemudian dikumpulkan

dan dipindahkan ke dalam sumur yang berisi alkaline phosphatase (ALP) -

labeled anti-vitamin D antibody (konjugat). Vitamin D antigen berada

dalam sampel dan vitamin D antigen melapisi bagian interior SPR dan

bersaing untuk berikatan dengan anti-vitamin D antibodi-ALP konjugat.

Selama langkah deteksi akhir, substrat (4-Methylumbelliferyl

fosfat) dengan siklus masuk dan keluar dari SPR. Enzim konjugat

Universitas Sumatera Utara


40

mengkatalisis proses hidrolisis substrat ini menjadi produk fluoresensi (4-

Methylumbelliferone), fluoresensi akan diukur pada gelombang 450 nm.

Intensitas fluoresensi adalah berbanding terbalik dengan konsentrasi

vitamin D antigen yang terdapat dalam sampel.

Pada akhir tes ini, hasil secara otomatis dihitung oleh instrumen

dengan kurva kalibrasi yang disimpan dalam memori, dan kemudian

dicetak.

b. Jenis Sampel dan Stabilitas Sampel

Jenis sampel yang digunakan adalah serum atau plasma (Lithium

Heparin). Serum atau plasma dapat disimpan pada tabung biasa pada suhu

18-25 ºC dan stabil hingga 8 jam sebelum pemeriksaan. Dan dapat juga

disimpan juga pada tabung aliquot dengan suhu 2-8 ºC stabil untuk lima

hari, dan pada suhu -25 ±6 ºC sampel satabil untu 3 bulan seblum

dilakukan pemeriksaan.

c. Cara Kerja alat.

1. Keluarkan reagen yang hanya diperlukan dari kulkas. Reagen

dapat digunakan segera.

2. Gunakan satu "VITD" strip dan satu "VITD" SPR® dari kit untuk

setiap sampel, kontrol atau kalibrator yang akan diuji. Pastikan

kantong penyimpanan telah disegel kembali setelah SPRs yang

diperlukan telah diambil.

Universitas Sumatera Utara


41

3. Tes diidentifikasi dengan kode "VITD" pada instrumen. Kalibrator

diidentifikasi dengankode "S1", dan diuji dalam rangkap dua. Jika

yang di test adalah kontrol adala, diidentifikasi dengan kode "C1".

4. Jika perlu, jernihkan sampel dengan sentrifugasi.

5. Campur kalibrator, kontrol dan sampel menggunakan pusaran

mixer (untuk memisahkan serum atau plasma dari bekuan sel).

6. Sebelum pipetting pastikan bahwa sampel, kalibrator, kontrol dan

pengencer bebas gelembung.

7. Untuk tes ini, kalibrator itu, kontrol, dan bagian uji sampel adalah

100 mL.

8. Masukkan "VITD" SPRs dan "VITD" strip ke dalam instrumen.

Periksa untuk memastikan label warna dengan kode assay pada

SPRs dan Strips Reagen sama.

9. Lakukan uji sebagaimana diarahkan dalam Buku Manual. Semua

langkah-langkah uji yang dilakukan secara otomatis oleh

instrumen.

10. Tutup kembali botol dan kembalikan ke penyimpanan suhu 2-8 ° C

setelah pipetting.

11. Tes uji akan selesai dalam waktu kurang lebih 40 menit. Setelah

uji selesai, keluarkan SPRs dan strip dari instrumen.

d. Dilakukan analisa data.

Universitas Sumatera Utara


42

3.10. Pemantapan Kualitas

a. Pemantapan kualitas pemeriksaan Vitamin D

Kalibrasi dan Kontrol 25 (OH) vitamin D, menggunakan kalibrator dan

kontrol yang disediakan dalam kit, kalibrasi dan kontrol harus dilakukan

setiap reagen baru dibuka dengan memasukka nomor LOT baru. Setelah

data LOT telah dimasukkan, kalibrasi kemudian harus dilakukan setiap 28

hari.

Kalibrator, diidentifikasi dengan S1. Nilai kalibrasi harus berada dalam set

RFV (Relative Fluorescence Value). Jika nilai kalibrasi tidak sesuai,

kalibrasi ulang S1. Nilai kontrol harus berada dalam rentang nila kontrol

yang tertera dalam LOT.

Gambar 3.2. kualiti kontrol vitamin D

Universitas Sumatera Utara


43

Pemantapan kualitas pemeriksaan Leukosit

Gambar 3.3 kualiti kontrol leukosit

b. Pementaoan kualitas pemeriksaan Spirometri

Gambar 3.4 kualiti kontol Spriometri

Universitas Sumatera Utara


44

3.11. Analisa Data Statistik

Analisa data dilakukan menggunakan software SPSS (Statistical Package

for Social Sciences, Chicago, IL, USA) untuk Windows. Gambaran

karakteristik pada subjek penelitian disajikan dalam bentuk tabulasi dan

dideskripsikan. Hubungan karakteristik klinis dengan status vitamin

dipakai uji Spaearman. Korelasi kadar 25 (OH) Vitamin D dengan derajat

penyakit PPOK diuji dengan test Pearson. Semua uji statistik dengan nilai

p < 0,05 dianggap bermakna.

Universitas Sumatera Utara


45

3.12. Alur Penelitian

Penderita PPOK

Kriteria Inklusi

Pemeriksaan Spirometri dan Combined


COPD Assessment

Klasifikasi A-D

Kadar Vitamin D

Analisa Data

Universitas Sumatera Utara


46

BAB IV

HASIL

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan 55 orang pasien yang telah didiagnosa sebagai

penderita PPOK. Subjek penelitian diambil dari poli klinik penyakit Paru RSUP

Haji Adam Malik Medan. Subjek penelitian merupakan pasien yang berobat sejak

September 2017 sampai Mei 2018. Adapun karakteristik subjek penelitian

digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Mean ± SD Satuan

Umur 64.24 ± 6.21 Tahun

VEP1 32.39 ± 13.41 %

VEP1/KVP 65.42 ± 11.69 %

Vitamin D 25.25 ± 6.22 ng/mL

Leukosit 5800 (4980-13.110) /µL

Pada tabel 4.1. Terlihat bahwa usia penderita PPOK mean ± SD adalah 64.24 ±

6,21 tahun dengan VEP1 mean ± SD adalah 32,39 ± 13.41 % dengan nilai min-

maks adalah 12.70 – 77.30 %. Nilai VEP1/KVP didapati sebesar mean ± SD

65.42 ± 11,69 %. Nilai kadar vitamin D mean ± SD subjek penelitian adalah 25,25

± 6,22 ng/mL, sedangkan median jumlah leukosit adalah 5800 (4980 –

13.110/µL).

Universitas Sumatera Utara


47

Tabel 4.2. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan GOLD

Variabel Keterangan Frekuensi %

GOLD 1 VEP1 ≥ 80% - -

GOLD 2 50% ≤ VEP1 < 80% 6 10.91 %

GOLD 3 30% ≤ VEP1 < 50% 23 41.82 %

GOLD 4 VEP1 < 30% 26 41.82 %

Pada Tabel 4.2. tampak distribusi subjek penelitian berdasarkan klasifikasi

GOLD berdasarkan nilai VEP1 yang terbanyak adalah subjek GOLD 4 dengan

jumlah 47.27 %.

4.2. Analisis Bivariat antara umur dengan VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin

D, dan Leukosit

Menggunakan analisis bivariat dicari hubungan antara umur dengan VEP1,

VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan Leukosit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 4.3. Hubungan umur dengan VEP1, VEP1/KVP,


kadar vitamin D, dan Leukosit

VEP1 VEP1/KVP Vitamin D Leukosit

Umur p = 0.731 p = 0.151 p = 0.516 p = 0.597


r = 0.047 r = - 0.196 r = 0.089 r = - 0.073

Universitas Sumatera Utara


48

Pada tabel 4.3 terlihat bahwa umur pasien tidak berhubungan dengan nilai

VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit. dengan nilai VEP1 –

umur p = 0.731 r = 0.047, VEP1/KVP – umur p = 0.151 r = - 0.196, Vitamin D –

umur p = 0.516 r = 0.089, Leukosit – umur p = 0.597 r = - 0.073.

4.3. Analisis Bivariat antara nilai VEP1 dengan nilai VEP1/KVP, kadar

vitamin D dan leukosit.

Menggunakan analisis bivariat dicari hubungan antara VEP1 dengan

VEP1/KVP, kadar vitamin D, dan leukosit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 4.4. Hubungan VEP1 dengan VEP1/KVP,


kadar vitamin D, dan Leukosit

VEP1/KVP Vitamin D Leukosit


VEP1 p = 0.80 p = 0.588 p = 0.644
r = 0.238 r = - 0.075 r = 0.064

Dari tabel 4.4. terlihat bahwa nilai VEP1 pasien tidak berhubungan dengan nilai

VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit. dengan nilai VEP1 -

VEP1/KVP p = 0.80 r = 0.238, VEP1 - Vitamin D p = 0.588 r = -0.075,

VEP1 – Leukosit p = 0.644 r = 0.064.

Universitas Sumatera Utara


49

4.4. Analisis Bivariat antara nilai VEP1/KVP dengan kadar vitamin D dan

leukosit.

Menggunakan analisis bivariat dicari hubungan antara VEP1/KVP, kadar


vitamin D, dan leukosit. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.5. Hubungan VEP1/KVP dengan kadar vitamin D, dan


Leukosit

Vitamin D Leukosit

VEP1/KVP p = 0.037 p = 0.820


r = 0.282 r = 0.031

Pada tabel 4.5 terlihat bahwa nilai VEP1/KVP pasien berhubungan

dengan kadar vitamin D dengan nilai p = 0.037; r = 0.282. Korelasi antara kadar

vitamin D dengan nilai VEP1/KVP menunjukkan korelasi positif yang lemah

dimana peningkatan kadar vitamin D akan disertai dengan peningkatan nilai

VEP1/KVP.

Universitas Sumatera Utara


50

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik penelitian

Penelitian ini melibatkan 55 orang pasien laki-laki yang telah didiagnosa

sebagai penderita PPOK. Subjek penelitian diambil dari poli Penyakit Paru RSUP

Haji Adam Malik Medan. Subjek penelitian merupakan pasien yang berobat sejak

September 2017 sampai Mei 2018.

Pada tabel 4.1. terlihat bahwa usia rata-rata penderita PPOK adalah 64.24

± 6.21 tahun. Data ini tidak jauh berbeda dengan data penelitian meta analisis

bahwa prevalensi PPOK adalah lebih tinggi pada mereka yang berusia > 40 tahun

dibanding mereka yang < 40 tahun, dan pada pria lebih banyak dibanding wanita,

walaupun pada penelitian ini seluruh subjek penelitian yang diambil adalah pria.

(GOLD, 2017; PDPI, 2010). Hal ini juga disebabkan oleh meningkatnya usia

harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko. Faktor pejamu sendiri

diduga sangat berhubungan dengan kejadian PPOK yakni semakin banyaknya

jumlah perokok dari usia muda hingga diusia tua, setelah dianamnese riwayat

perokok ± 15 – 20 tahun dan menghabiskan ± 25 batang / hari. serta

meningkatnya pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan terutama di

tempat kerja (Matherrs CD; Loncar D, 2006, GOLD, 2017).

Pada tabel 4.1 juga terlihat bahwa nilai mean VEP1 adalah 33.39 ± 13.41%

dengan nilai min-maks adalah 12.70 – 77.30%. Hal ini menunjukkan menurunnya

nilai VEP1 pada subjek PPOK yang diperiksa. Pada populasi normal nilai VEP1

Universitas Sumatera Utara


51

adalah 3.2 liter, kurang lebih 80% dari nilai KVP yang pada populasi normal

adalah 4 liter. VEP1 sendiri adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan paksa

pada detik pertama pada pemeriksaan spirometri. Nilai rata-rata VEP1/KVP

didapati sebesar 65.42 ± 11.69%, Normal yaitu 75 - 80%. Pada pasien PPOK

terjadi ganggu pengeluaran udara (unable to get air out) dimana jalan nafas yang

menyempit akan mengurangi volume udara yang dapat dihembuskan pada satu

detik pertama ekspirasi. Semakin rendah rasionya menunjukkan semakin parah

obstruksinya (Zulliesikawati, 2017)

Tabel 4.1 juga menunjukkan nilai rerata kadar vitamin D subjek penelitian

adalah 25.24 ± 6.22 ng/mL. Menggambarkan bahwa pada pasien PPOK yang

diteliti dijumpai kadar vitamin D yang rendah. Menurut pedoman Endocrine

Society, status vitamin D didefinisikan sebagai sufisiensi bila kadar calcifediol 31

sampai 60 ng/mL, insufisiensi bila kadar calcifediol 21 sampai 30 ng/mL dan

defisiensi bila kadar calcifediol ≤ 20 ng/mL (Lee, 2013). Pedoman ini

menggolongkan subjek pada penelitian ini dalam kelompok insufisiensi vitamin

D.

Data ini sesuai dengan data epidemiologis dari National Health and

Nutritional Examination Survey III (NHANES III) yang menunjukkan tingkat

serum vitamin D yang rendah pada pasien PPOK. Forli et al (2004) juga

menemukan defisiensi vitamin D (<20 ng/ml) pada lebih dari 50% pasien

transplantasi paru-paru akibat PPOK. Demikian juga dalam sebuah studi pada

pasien rawat jalan PPOK di Denmark, sekitar 68% responden memiliki

Universitas Sumatera Utara


52

osteoporosis atau osteopenia yang berkaitan dengan kurangnya kadar serum

vitamin D (Forli et al. 2004).

Data jumlah leukosit pasien pada tabel 4.1 menunjukkan nilai median

jumlah leukosit subjek penelitian adalah 5800 ± 3503.93 dan nilai min-maks

adalah 4.980–13.110/µL. Data leukosit ini menunjukkan bahwa sebagian besar

pasien PPOK yang diteliti masih memiliki jumlah leukosit dalam rentang normal.

Hal ini didukung teori tentang patofisiologi dari PPOK itu sendiri yang

merupakan suatu proses hambatan aliran udara diakibatkan oleh adanya

perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan

vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan

perubahan struktural pada paru. Proses infeksi sendiri merupakan sekunder yang

tidak selalu terjadi pada pasien dengan PPOK. Terjadinya peningkatan penebalan

pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi

kolagen bangian dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi

pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas mengecil dan berkurang akibat

penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai

beratnya sakit (Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Tabel 4.2. menunjukkan distribusi subjek penelitian berdasarkan klasifikasi

GOLD dimana didapati berdasarkan VEP1 yang terbanyak adalah subjek dengan

GOLD 4. GOLD 4 berdasarkan nilai VEP1 menunjukkan penurunan nilai VEP1

yang berat pada subjek penelitian, dimana GOLD 4 bernilai <30% nilai populasi

normal (berdasarkan tabel nilai normal menurut jenis kelamin dan umur).

Universitas Sumatera Utara


53

5.2. Analisis Bivariat antara umur dengan VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin

D, dan Leukosit

Dengan analisis bivariat didapati bahwa umur pasien tidak berhubungan

dengan nilai VEP1, VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit dengan

nilai secara berurutan adalah p=0.731 r =0.047 ; p= 0.151 r = - 0.196; p=0.516 r

=0.089 dan p=0.597 r = - 0.073. Hal ini dapat disebabkan usia subjek penelitian

yang hampir sama pada penelitian ini sehingga faktor usia ini tidak menunjukkan

hubungan maupun perbedaan yang signifikan dalam nilai VEP1, VEP1/KVP,kadar

vitamin D, maupun jumlah leukosit.

5.3. Analisis Bivariat antara nilai VEP1 dengan nilai VEP1/KVP, kadar

vitamin D dan leukosit.

Dengan analisis bivariat didapati bahwa nilai VEP1 pasien tidak

berhubungan dengan nilai VEP1/KVP, kadar vitamin D maupun jumlah leukosit

dengan nilai adalah VEP1 – VEP1/KVP p= 0.80 r = 0.238; VEP1-Vitamin D

p=0.588 r = - 0.075 dan VEP- Leukosit p= 0.644 r = 0.064. Saat diuji dengan

Mann Whitney Test nilai VEP1 dan VEP1/KVP justru menunjukkan perbedaan

yang bermakna dengan nilai p = 0.0001.

Nilai VEP1 yang tidak berhubungan dengan nilai VEP1/KVP kemungkinan

disebabkan karena perbedaan nilai KVP dari subjek penelitian. Nilai KVP

merupakan pengukuran terhadap perubahan kapasitas volume paru-paru pada

pernafasan yang dipaksakan sementara VEP1 diukur hanya pada detik pertama.

Pada pasien PPOK didapati kondisi ekspirasi memanjang sehingga nilai KVP

Universitas Sumatera Utara


54

dapat berbeda pada pasien dengan nilai VEP1 yang tidak terlalu berbeda. .

Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan

menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru yang lainnya

seperti ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami

gangguan juga pada pasien dengan PPOK (PDPI, 2010)

5.4. Analisis Bivariat antara nilai VEP1/KVP dengan kadar vitamin D dan

leukosit.

Dengan analisis bivariat didapati bahwa nilai VEP1/KVP pasien

berhubungan dengan kadar vitamin D dengan nilai p=0.037; r=0.282 namun

tidak berhubungan dengan jumlah leukosit dengan nilai p=0.820. Hubungan yang

signifikan antara VEP1/KVP dengan kadar vitamin D ini sesuai dengan banyak

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dimana rasio VEP1/KVP merupakan

ukuran atau penanda fungsi faal paru. Pada pasien PPOK penurunan nilai

VEP1/KVP menunjukkan benar adanya suatu kondisi obstruksi dari saluran nafas.

Kondisi obstruksi ini sendiri disebabkan oleh peningkatan penebalan saluran nafas

kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam

dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas.

(Tabrani R, 2010: Sooeroto AY, 2014)

Perubahan pada saluran nafas ini dapat disebabkan oleh banyak hal

termasuk proses inflamasi dan radikal bebas. Vitamin D sangat berperan dalam

hal ini, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Molekul aktif dari vitamin

D,1,25(OH)2D3 merupakan pemeran utama dalam metabolisme absorpsi kalsium

Universitas Sumatera Utara


55

ke dalam tulang, fungsi otot, sekaligus sebagai immunomodulator yang

berpengaruh terhadap sistem kekebalan untuk melawan beberapa penyakit

(Harper, 2013).

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian 1α,25(OH)2D3

menunjukkan penurunan ekspresi MMP. Matriks metalloproteinase (MMP)

merupakan jaringan kolagen yang dapat merusak matriks ekstrseluler paru dan

berperan dalam timbulnya cavitasi pada pasien obstruksi post TB (SOPT). (Khoo,

et al (2011) juga melaporkan bahwa 1α,25(OH)2D3 menunjukkan kemampuan

menekan respon inflamasi dengan menurunkan ekspresi TLR2 (Toll-Like

Receptor) dan TLR4 pada monosit yang mencegah aktivasi TLR yang berlebihan

selama infeksi (Khoo et al, 2011).

Universitas Sumatera Utara


56

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1. SIMPULAN

- Nilai VEP1 tidak terdapat berhubungan dengan kadar vitamin D

pasien PPOK.

- Dari hasil penelitian ini didapati hubungan yang signifikan antara

nilai VEP1/KVP sebagai penanda tingkat obstruksi saluran nafas

pada pasien PPOK dengan kadar vitamin D pasien.

- Korelasi yang ditunjukkan adalah korelasi positif yang berarti

semakin tinggi kadar vitamin D pasien maka nilai VEP1/KVP akan

semakin tinggi (tingkat obstruksi lebih rendah).

- Vitamin D berperan dalam patofisiologi PPOK.

6.2. SARAN

6.2.1. Untuk penelitian selanjutnya

- Perlu dilakukan penelitian dengan desain longitudinal study untuk

melihat perubahan temporal dari kadar vitamin D dalam progresifitas

terjadinya obstruksi saluran nafas pada pasien PPOK, Sehingga dapat

diterangkan kepada pasien apakah perlu pemberian suplemen

vitamin D atau cukup dengan sinar ultra violet saja.

- Perlu dilakukan penelitian lain dengan menggunakan jumlah subjek

yang lebih besar dan bervariasi jenis kelamin dan umur.

Universitas Sumatera Utara


57

- Perlu penelitian selanjutnya dari penelitian ini setelah diterapy

apakah morbiditas dan mortalitas terjadi perubahan? Serta pada

kualitas hidup pasien apakah semakin membaik?

6.2.2. Untuk para klinisi

- Pemeriksaan kadar vitamin D penting dilakukan pada pasien PPOK.

- Dengan adanya hasil pemeriksaan kadar vitamin D pada pasien

PPOK, klinisi dapat menjadikannya sebagai point penting dalam

mengobati dan mencegah progresifitas penyakit pada pasien PPOK.

Universitas Sumatera Utara


58

DAFTAR PUSTAKA

Boyan BD, Wong KL, Fang M, Schwartz Z. 2007. 1alpha, 25(OH)2D3 is an

autocrine regulator of extracellular matrix turnover and growth factor

release via ERp60 activated matrix vesicle metalloproteinases. J Steroid

Biochem Mol Biol,103:467-472

Buist Sonia, et al. Global Stategy for the Diagnosis, Management, and Prevention

of COPD.In : NHLBI/WHO Global Initiative for COPD Workshop

Summary : 2006

Cao Y, Wang X, Cao Z, Cheng X. Vitamin D receptor gene Fokl

polymorphisms and tuberculosis susceptibility: a meta analysis. Arch Med

Sci 2016;12,5:1118-1134.

Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et

al. editors. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed. New York:

Mc Graw Hill; 2008.

Forli L, Halse J, Haug E, Bjortuft O, Vatn M, Kofstad J, et al. 2004. Vitamin

D deficiency, bone mineral density and weight in patients with advanced

pulmonary disease. J Intern Med, 256:56-62.

Ganji V, Zhang X, Tangpricha V. (2012) Serum 25-hydroxyvitamin D

concentrations and prevalence estimates of hypovitaminosis D in the

U.S. population based on assay-adjusted data. J Nutr, 142:498-507.

Universitas Sumatera Utara


59

Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic

Obstructive Lung Disease. Global Strategy for Chronic Obstructive

Lung Disease (GOLD); 2013.

Gan WQ, Man SF, Senthilselvan A, Sin DD. 2004. Association between

chronic obstructive pulmonary disease and systemic inflammation: a

systematic review and a meta-analysis. Thorax 59: 574-580.

[GOLD] Global Initiative FOR Chronic Obstructive Lung Disease. 2017.

Pocket guide to COPD diagnosis, management, and prevention. GOLD,

Medical Communication Resources, Inc.

Grey A, Lucas J, Horne A, Gamble G, Davidson JS, Reid IR. (2005)Vitamin

D repletion in patients with primary hyperparathyroidism and coexistent

vitamin D insufficiency. J Clin Endocrinol Metab, 90:2122-6.

Hadfied R. 2017. Pocket Guide to COPD to diagnosis, management, and

prevention. Global initiative for GOLD 2017-ed.

Harishankar M, Anbalagan S, Selvaraj P. Effect of vitamin D3 on chemokine

levels and regulatory T-cells in pulmonary tuberculosis.International

immunepharmacology 3r(2016):86-91.

Heidari B, Javadian Y, Monadi M, et al. Vitamin D status and distribution in

patients with chronic obstructive pulmonary disease versus healthy

controls. Caspian J Intern Med 2015;6(2):93-97.

Herr et al. The role of vitamin D in pulmonary disease:

COPD, asthma, infection, and cancer. Respiratory Research 2011, 12:31.

Holick MF. (2007) Vitamin D deficiency. N Engl J Med, 357:266-81.

Universitas Sumatera Utara


60

Holick M.F, Binkley N.C, Bischoff-Ferrari H. A, Gordon C.M, Hanley D.A,

and Heaney R.P. 2011. Evaluation, treatment, and prevention of vitamin

D deficiency: an endocrine society clinical practice guideline. J Clin

Endocrinol Metab. 96: 1911-1930.

Janssens W, Bouillon R, Claes B, Carremans C, Lehouck A, Buysschaert I, et

al. 2010. Vitamin D Deficiency is Highly Prevalent in COPD and

Correlates with Variants in the Vitamin D Binding Gene. Thorax 2010,

65:215-20.

Lee JY, So TY, Thackray J. (2013)A review on vitamin D deficiency treatment

in pediatric patients. J Pediatr Pharmacol Ther, 18:277-91.

Mathers CD, Loncar D. "Projections of Global Mortality and Burden of Disease

from 2002 to 2030". PLoS Med. 3,2006(11):

e442:10.1371/journal.pmed.0030442

Neme A, Nurminen V, Seuter S, Carlberg C.The vitamin D-dependent

transcriptome oh human monocytes. Journal of steroid biochemistry &

molecular biology, 2015.10.018

Nair R, Maseeh A. Vitamin D: The “sunshine” vitamin. J Pharmacol

Pharmacother. 2012; 3:118-26.

PDPI. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan penyakit paru di Indonesia, 2010.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruksi kronik, pedoman

praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah offiset

grafika; 2011. 1-86.

Universitas Sumatera Utara


61

Saccone D, Asani F, Bornman L. Regulation of the vitamin D receptor gene by

environment, genetics, and epigenetics. Gene 40273(2015)02,024: 1 -10.

Sarkar S, et al. Role of Vitamin D in cytotoxic T lymphocyte immunity to

pathogens and cancer. Crit Rev Clin Lab Sci, Early Online, 2015: 1 -14.

Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Ina J Chest Crit

and Emerg Med | Vol. 1, No. 2 | June - August 2014

Tabrani R. Ilmu Penyakit Paru. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta , 2010:

3-8.

Tsiligianni I., van der Molen. 2010. A systematic review of the role of vitamin

insufficiencies and supplementation in COPD. Respiratory Research,

11:171.

Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global

strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic

obctructive pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir

Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65.2.

Zitterman A, Pilz S, Hoffmann H, Marz W. Vitamin D and airway infection: a

European perspective. Eur J Med Res (2016)21:14.

Zullieskawati. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

http://zullieskawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/lung -function-

tests.pdf. 2017

Universitas Sumatera Utara


62

Lampiran 1

LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Assalamualaikum Wr Wb
Selamat pagi Bapak/ Ibu/ Saudara/ Saudari Yth
Saya dr.Syahni Wirdani Pulungan saat ini sedang menjalani pendidikan
Strata (S) 2 di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan saat ini
sedang melakukan penelitian yang berjudul:

HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI


PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
STABIL

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan kadar vitamin D
dengan derajat obstruksi penyakit pada pasien PPOK.
Adapun manfaatnya bagi Bapak/Ibu/Saudara/Saudari adalah dari hasil
penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi ke masyarakat mengenai
manfaat pemeriksaan vitamin D sebagai suatu pemeriksaan noninvasive dalam
mengetahui derajat obstruksi penyakit PPOK dan cara penanggulangannya secara
non medis dan medis.
Prosedur penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
Pasien yang dicurigai PPOK harus ditegakkan diagnosisnya menggunakan
spirometri. Spirometri direkomendasikan untuk semua perokok > tahun, terutama
mereka yang dengan sesak napas, batuk, mengi, atau dahak persisten.
Pemeriksaan vitamin D di lakukan di laboratorium H.adam Malik Medan.
Bahan pemeriksaan laboratorium berupa darah tanpa antikoagulan untuk
pemeriksaan kadar serum Vitamin D.
Cara kerja
a) Subjek penelitian yaitu penderita PPOK dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan klinis.

Universitas Sumatera Utara


63

b) Setelah memenuhi kriteria diagnosis, kemudian ditentukan memenuhi


kriteria inklusi dan tidak kriteria eksklusi.
c) Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan informed consent dan
mengisi surat persetujuan mengikuti penelitian.
d) Dilakukan pengambilan sampel darah.
e) Pengambilan dan Pengolahan Bahan :

1. Bahan darah subjek diambil melalui vena punksi dari vena mediana cubiti.
Tempat vena punksi terlebih dahulu dibersihkan dengan alkohol 70% dan
dibiarkan kering. Darah diambil dengan menggunakan venoject sebanyak
10 ml dan dibagi dua pada tabung vacutainer gel clot activator (3 ml).
Masing-masing berisi 5 ml. Darah pada tabung vacutainer gel clot
activator dibiarkan membeku selama 20 menit pada suhu ruangan,
dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit,
serum dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung plastik (aliquot) 1 ml
untuk bahan pemeriksaan kadar vitamin D serum.
2. Untuk pemeriksaan vitamin D, serum disimpan dalam freezer -20°C
sampai waktu pemeriksaan yang telah ditentukan (maksimum 6 bulan).
Pemeriksaan kadar 25(OH) vitamin D Total dilakukan dengan
menggunakan alat MINI VIDAS BRAHMS. Prinsip pemeriksaan 25(OH)
vitamin D Total dengan metode Enzyme-Linked Fluourescent Assay
(ELFA) sesuai rekomendasi The Clinical and Laboratory Standards
Institute (CLSI).

Reagen untuk pengujian telah tersedia siap digunakan dan telah terbagi di
setiap strip reagen yang tersegel. Semua langkah-langkah uji yang dilakukan
secara otomatis oleh instrumen. Media reaksi dengan siklus masuk dan keluar dari
SPR beberapa kali.
Pada lazimnya penelitian ini tidak menimbulkan hal-hal yang berbahaya
pada Bapak/Ibu/Saudara/Saudari sekalian, efek samping yang mungkin muncul

Universitas Sumatera Utara


64

adalah seperti nyeri atau bengkak pada tempat diambilnya darah dan hal ini dapat
hilang dengan sendirinya dalam satu atau dua hari.
Partisipasi Bapak/Ibu/Sdra/Sdri bersifat sukarela dan tanpa paksaan dan
dapat mengundurkan diri sewaktu-waktu Namun bila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan selama penelitian berlangsung atau ada hal yang kurang jelas yang
ingin ditanyakan, Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dapat menghubungi saya ke no
081367774216 untuk mendapat pertolongan.
Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak/Ibu/Saudara/Saudari yang telah
ikut berpartisipasi dalam penelitian ini, diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari
bersedia mengisi lembar persetujuan turut serta dalam penelitian yang telah
disiapkan.

Medan , 7 November 2017


Peneliti

( dr. Syahni Wirdani Pulungan )

Universitas Sumatera Utara


65

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN


(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :
Umur :
Alamat :
Telp/HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang Penelitian “


HUBUNGAN KADAR VITAMIN D DENGAN DERAJAT OBSTRUKSI
PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
STABIL”, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan
bersedia ikut serta dalam penelitian tersebut. Dan dapat mengundurkan diri
sewaktu-waktu
Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, .........................2017

( )

Universitas Sumatera Utara


66

Lampiran 5

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai