TINJAUAN PUSTAKA
Hati
Hati yang juga dikenal dengan liver atau hepar merupakan kelenjar tubuh
dengan berat sekitar 1/36 berat badan orang dewasa, yaitu berkisar 1.200-1.600
gram. Posisi organ hati sebagian besar terletak di perut bagian kanan atas, yakni
dibelakang iga. Ukuran hati normal adalah selebar telapak tangan orang itu sendiri
a. Stroma.
Hati dibungkus oleh simpai tipis jaringan ikat yang menebal di hilum,
tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati dan duktus hepatikus kiri dan
ini dikelilingi oleh jaringan ikat sepanjang jalannya di daerah portal diantara
lobulus hati klasik. Area ini tersusun oleh jaringan serta komponen retikuler halus
yang menunjang hepatosit dan sel endotel sinusoid dari lobulus hati.
b. Lobulus hati
Komponen struktural utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit. Sel
Lobulus hati dibentuk oleh massa jaringan berbentuk poligonal berukuran 0,7 x 2
mm, lobulus ini dipisahkan oleh selapis jaringan ikat sehingga sulit ditetapkan
batas-batas antar lobuli. Hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati
8
9
membentuk lapisan setebal 1 atau 2 sel. Darah mengalir dari tepian ke pusat
lobulus klasik di dalam parenkim hati. Oksigen dan metabolit serta semua
substansi toksik atau non-toksik lain yang diserap dalam usus pertama akan tiba di
dalam hepatosit. Beberapa protein disintesis pada polisum dalam struktur ini.
Berbagai proses penting terjadi dalam retikulum endoplasma halus yang tersebar
secara difus di dalam sitoplasma. Organel ini berfungsi untuk proses konjugasi
pada hepatosit merupakan sistem labil yang segera bereaksi terhadap perubahan
Gambar 2.1
Struktur Histologi Hati Normal, A. Skematis dan B. Pulasan Hematoksilin-Eosin
(Dhillon, 2012)
10
Hati merupakan organ kedua terbesar dalam sistem tubuh. Ukuran hati kira-
kira empat kali lebih besar daripada jantung, dengan berat sekitar 1500 gram pada
laki-laki dewasa. Hati merupakan satu organ unik yang berupaya menghasilkan
sel baru untuk menggantikan sel yang rusak. Kerusakan hati berulang dalam
jangka waktu yang panjang misalnya akibat mengkonsumsi alkohol dan merokok
secara terus menerus akan menyebabkan hati mengalami kerusakan yang tidak
bisa diperbaiki. Guyton dan Hall (2011) menjelaskan bahwa hati memiliki
semua sel tubuh, namun aspek metabolisme lemak tertentu terutama terjadi di
hati. Beberapa fungsi spesifik hati dalam metabolisme lemak adalah: kecepatan
oksidasi beta asam lemak yang sangat cepat untuk mensuplai energi bagi fungsi
sejumlah besar kolesterol dan fospolipid. Fungsi hati lain yang cukup penting
dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma dan introkonvensi diantara asam
amino yang berbeda demikian juga dengan ikatan penting lainnya untuk proses
bagi kehidupan kita, yaitu proses penyimpanan energi, pembentukan protein dan
masuk dalam tubuh kita. Gangguan metabolisme yang fatal akan timbul apabila
2. Penyakit hati karena racun misalnya karena alkohol atau obat tertentu seperti
parasetamol.
hepatosit dari peroksida (H2O2) dengan suatu reaksi yang dikatalisis oleh glutation
peroksidase, reaksi ini sangat penting karena penumpukan H2O2 intrasel akan
hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal oksigen lain (Murray, 2012). Radikal
oksigen dapat menyebabkan oksidasi gugus –SH kritis dari protein dan
H2O2 H2O
Gambar 2.2
Jalur Glutation dalam Hati (Murray et al., 2012)
belum memuaskan, angka kekambuhan yang cukup tinggi, efek samping yang
13
berat, dan harga obat yang sangat mahal sehingga tidak terjangkau oleh sebagian
dilirik kembali oleh pasien, dokter, maupun industri obat pada saat ini.
Pengetahuan para dokter tentang manfaat, efek samping, dan risiko obat herbal
masih sangat terbatas karena sedikitnya data klinis yang bisa diakses, terutama
suportif atau promotif yang berguna untuk membantu kelangsungan fungi hati.
merupakan senyawa atau zat berkhasiat yang dapat melindungi sel-sel hati
terhadap pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati. Senyawa tersebut
(Kumar, 2012). Beberapa jenis tanaman yang telah digunakan sebagai bahan
pengobatan penyakit hati yaitu rimpang temulawak, herba meniran, daun mimba,
herba daun sendok, herba sambiloto, herba pegagan, buah tomat, rambut jagung,
14
akar langalang, umbi wortel dan masih banyak herba yang lainnya. Tanaman-
tanaman tersebut, termasuk juga mimba mengandung flavonoid, beta karoten, dan
senyawa lain yang memiliki potensi antioksidan (Setiawan, 2006; Kumar, 2012).
sejumlah besar molekul dan jalur-jalur yang saling terkait. Untuk memahami
Paparan berikut adalah ringkasan gambaran utama dari proses proliferasi sel.
replikasi dan pembelahan sel harus melalui urutan proses yang terkontrol sangat
ketat yang disebut sebagai siklus sel. Siklus sel terdiri dari fase G1 (presintesis),
fase S (sintesis DNA), fase G2 (premitosis), dan fase M (mitosis). Sel stabil
(quiescent cells) yang tidak masuk siklus sel berada pada fase istirahat atau G0
(Gambar 2.3). Tiap fase siklus sel tergantung pada aktivasi yang memadai dan
kelengkapan proses sebelumnya dan siklus akan terhenti pada fase tertentu saat
ekspresi gen penting yang mengaturnya kurang mencukupi. Siklus sel memiliki
banyak pengaturan dan pengulangan, terutama selama transisi antara fase G1 dan
jawab terhadap checkpoints, dijelaskan pada gambar dibawah ini (Gambar 2.3).
Gambar 2.3
Siklus Sel (Kumar et al., 2010)
Gambar memperlihatkan siklus sel (G0, G1, G2, S, dan M), lokasi dari titik
restriksi G1 serta checkpoint siklus sel G1/S dan G2/M. Sel dari jaringan labil
seperti epidermis dan saluran cerna dapat masuk siklus secara kontinu. Sel-sel
stabil seperti hepatosit relatif diam (quiescent) tetapi dapat masuk siklus sel. Sel-
sel permanen seperti saraf dan miosit jantung kehilangan kemampuan untuk
proliferasi.
Sel dapat masuk fase G1 setelah G0 (sel-sel quiescent) atau setelah lengkap
melalui mitosis (pada sel-sel yang kontinu membelah). Sel-sel quiescent pertama
harus melalui transisi dari G0 ke G1, tahap penentu awal yang berfungsi sebagai
gerbang siklus sel. Transisi ini melibatkan aktivasi transkripsional dari sejumlah
besar gen, termasuk berbagai proto-onkogen dan gen yang diperlukan untuk
sintesis ribosom serta translasi protein. Sel-sel pada tahap G1 melalui siklus dan
mencapai keadaan kritis pada transisi G1/S, dikenal sebagai titik restriksi
16
2.3). Selama menjalani fase restriksi, sel-sel normal menjadi irreversibel untuk
siklus sel terutama pada transisi G1/S diatur sangat ketat oleh suatu protein yang
dan membentuk suatu kompleks dengan cyclin. Aktivasi CDKs dalam kompleks
ini mengarahkan terjadinya siklus sel dengan fosforilasi protein yang penting
dalam transisi siklus sel. Satu protein tersebut adalah protein rentan
inhibitor tersebut. Mekanisme pertahanan hidup utama yang tertanam di dalam sel
yang menggerakan siklus sel adalah pengenalan adanya kerusakan DNA dan
checkpoints, proses ini menjamin sel dengan kerusakan DNA atau kromosom
tidak menjalani replikasi lengkap. Checkpoint G1/S menilai integritas dari DNA
sebelum replikasi, sedangkan checkpoint G2/M menilai DNA setelah replikasi dan
mengawasi apakah sel dapat masuk ke fase mitosis secara aman. Saat sel
17
memicu mekanisme perbaikan DNA. Bila kerusakan DNA terlalu berat untuk
diperbaiki, sel akan dihilangkan melalui apoptosis atau masuk jalur nonreplikatif
checkpoint yang meloloskan DNA dengan rantai rusak dan kromosom dengan
kelainan untuk membelah menghasilkan mutasi pada sel anak, yang dapat
Proliferasi hampir semua jenis sel dipicu oleh suatu polipeptida dikenal
hanya memiliki target satu jenis sel atau banyak jenis sel, juga memicu sel
Gambar 2.4
Tabel Faktor Pertumbuhan dan Sitokin yang Terlibat dalam Regenerasi dan
Proses Penyembuhan Luka (Kumar et al., 2010)
18
menstimulasi transkripsi dari gen-gen yang tidak aktif saat sel fase istirahat,
termasuk gen-gen yang mengkontrol awal dan progresi siklus sel. Sebagian daftar
Hepatocyte growth factor (HGF) atau scatter factor (SF) diproduksi oleh
sel-sel epitelial, dan sel endotel. Hepatocyte growth factor juga berfungsi
Hepatocyte growth factor pertama kali diisolasi dari trombosit dan serum.
dengan faktor pertumbuhan yang telah lebih dulu diisolasi dari fibroblas yang
dikenal sebagai scatter factor. Faktor pertumbuhan ini dalam literatur sering
disingkat HGF/SF.
hampir seluruh jenis sel epitel, termasuk sel epitel kandung empedu, epitel paru,
ginjal, kelenjar payudara, dan kulit. Hepatocyte growth factor berperan sebagai
pertumbuhan ini diproduksi oleh fibroblas dan hampir seluruh jenis sel mesenkim,
sel endotel, dan sel-sel nonparenkimal hati. Hepatocyte growth factor diproduksi
19
sebagai bentuk rantai tunggal inaktif (pro-HGF) yang diaktivasi oleh protease
serin yang dilepaskan oleh jaringan rusak. Reseptor HGF, yaitu proto-onkogen c-
MET sering tinggi ekspresinya atau mengalami mutasi pada tumor, terutama pada
karsinoma papiler tiroid dan ginjal. Penyampaian sinyal hepatocyte growth factor
terlihat pada defek perkembangan otot, ginjal, hati, dan otak. Penelitian pada tikus
knockout terbukti bersifat letal bila kekurangan c-met. Beberapa inhibitor HGF
dan c-MET sedang dalam tahap penelitian uji coba untuk terapi kanker.
Beberapa jenis kadal dan amfibi dapat meregenerasi ekor, kaki, lensa,
retina, rahang serta sebagian besar sel jantungnya, tetapi kemampuan regenerasi
dari seluruh organ dan jaringan tersebut hilang pada mamalia. Kecenderungan
yang cepat terjadi setelah cedera. Jalur Wnt/β-catenin merupakan jalur utama yang
berperan dalam regenerasi cacing pipih planaria, regenerasi sirip dan jantung ikan
zebra, dan pembentukan pola regenerasi kaki dan blastema pada kadal. Jalur
Wnt/β-catenin memodulasi fungsi sel punca epitel usus, sumsum tulang, otot,
berperan dalam regenerasi hati setelah hepatektomi parsial, dan proliferasi sel
Regenerasi hati telah diteliti secara detail aspek biologis dan klinisnya,
walaupun proses tersebut bukan sebuah proses regenerasi sejati karena reseksi
kompensasi sisa organ. Organ lain seperti ginjal, pankreas, kelenjar adrenal,
tiroid, dan paru hewan yang masih sangat muda juga dapat mengalami
sel tubulus proksimal, karena nefron yang baru terbentuk tidak dapat regenerasi
komponen eksokrin dan pulau-pulau sel beta. Regenerasi sel-sel beta pankreas
dari sel-sel punca yang diduga mengekspresi faktor transkripsi Oct4 dan Sox2.
Baru-baru ini telah dapat dilakukan program ulang sel-sel eksokrin pankreas
setelah reseksi tumor atau setelah transplantasi hati donor hidup (Gambar 2.5).
Pada manusia, reseksi sekitar 60% hati pada pendonor hidup menghasilkan
penggandaan sisa hati yang ada setelah sekitar satu bulan. Bagian hati yang tersisa
cepat dan mencapai ukuran semula (Gambar 2.5). Perbaikan massa hati tercapai
tanpa pertumbuhan kembali dari lobus yang direseksi saat operasi. Pertumbuhan
terjadi melalui membesarnya lobus yang tersisa setelah operasi, sebuah proses
manusia maupun hewan pengerat, titik akhir dari regenerasi hati setelah
Sel punca pada hati dapat ditemukkan di perbatasan sistem porta dan sel-sel
Gambar 2.5
Regenerasi Sel-Sel Hati setelah Hepatektomi Parsial (Kumar et al., 2010)
A. Lobus hati tikus (M: medial; right lobe (RL) dan left lobe (LL): lobus kanan
dan kiri; C: lobus kaudatus). Hepatektomi parsial mengangkat dua pertiga dari
hati (lobus medial dan lateral kiri). Setelah 3 minggu lobus lateral kanan dan
kaudatus tumbuh mencapai ukuran setara dengan ukuran asal sebelum
hepatektomi tanpa pertumbuhan lobus medial dan lateral kiri.
B. Awal dan perkembangan hepatosit dalam siklus sel.
C. Regenerasi hati manusia pada transplantasi donor hidup. Computed
tomography scans (CT scan) dari penerima donor hati dengan transplantasi
donor hidup. Gambar atas adalah CT scan dari donor hati sebelum
transplantasi. Lobus kanan, yang dipakai untuk donor diberi batas garis.
Gambar bawah adalah CT scan hati 1 minggu setelah hepatektomi parsial.
22
Catatan: pertumbuhan lobus kiri (diberi garis batas) tanpa pertumbuhan lagi
lobus kanan.
parsial. Karena hepatosit adalah sel quiescent, perlu beberapa jam sel-sel hati
untuk dapat masuk siklus sel, berkembang melalui fase G1, dan mencapai fase S
replikasi sinkronus dari sel-sel nonparenkim (sel-sel Kupffer, sel-sel endotel, dan
sel-sel stellate).
Bukti kuat dari hasil penelitian baru bahwa proliferasi hepatosit dalam proses
regenerasi hati dipicu oleh gabungan kerja dari banyak sitokin dan polipeptida
parakrin faktor pertumbuhan dan sitokin seperti HGF dan interleukin 6 (IL-6)
autokrin dari transforming growth factor alpha (TGF-α). Terdapat dua titik
restriksi utama dalam replikasi yaitu: transisi G0/G1 yang mengarahkan hepatosit
quiescent masuk siklus sel dan transisi G1/S yang diperlukan melewati akhir titik
restriksi G1. Ekspresi gen dalam proses regenerasi hati terjadi dalam beberapa
tahap, diawali dengan respon gen awal segera, yang merupakan respon sementara
yang bertanggung jawab terhadap transisi G0/G1. Lebih dari 70 gen diaktifkan
selama respon ini, termasuk proto-onkogen c-FOS dan c-JUN dimana produknya
digabung untuk membentuk faktor transkripsi AP-1 yaitu c-MYC yang mengkode
faktor transkripsi yang mengaktivasi banyak gen berbeda dan faktor transkripsi
lain seperti nuclear factor κ-binding (NF-κB), STAT-3, dan C/EBP. Respon gen
awal segera mengatur tahapan aktivasi berurutan dari banyak gen, seperti pada
23
hepatosit saat masuk fase G1. Transisi G1 ke S terjadi seperti pada gambar
(Gambar 2.3).
Hepatosit yang quiescent menjadi kompeten untuk masuk siklus sel melalui
sebuah fase awal yang terutama dimediasi oleh sitokin tumor necrosis factor
(TNF) dan IL-6 serta komponen sistem komplemen. Sinyal awal mengaktivasi
beberapa jalur sinyal transduksi sebagai pendahulu penting untuk proliferasi sel.
Akibat stimulasi dari HGF, TGFα, dan heparin binding epidermal growth factor
(HB-EGF) hepatosit masuk siklus sel serta mengalami replikasi DNA (Gambar
Hepatosit masing-masing replikasi sekali atau dua kali selama regenerasi dan
mengakhiri replikasi hepatosit, namun masih belum dipahami cara kerjanya. Sel
kompensasi yang terjadi setelah hepatektomi parsial dan tidak terdapat bukti
adanya hepatosit yang diturunkan dari sel turunan sumsum tulang selama proses
ini. Walaupun sel-sel endotel dan sel-sel nonparenkimal lain dapat merupakan
turunan dari sel prekursor dari sumsum tulang (Kumar et al., 2010).
kelompok protein yang disebut cyclin (siklin). Siklin adalah semua kelompok
protein aktif yang mengatur siklus sel dan memulai sintesis DNA. Jenis siklin
yang telah teridentifikasi hingga saat ini berjumlah 15, secara garis besar dibagi
membutuhkan kerja gabungan dari beberapa jenis siklin yang saling overlapping
dan berurutan. Siklin D mengawali masuk siklus sel dari fase G1 ke fase S,
dilanjutkan oleh siklin A dari fase S masuk G2, kemudian dilanjutkan siklin B
dari fase G2 masuk fase mitosis (M). Perubahan menjadi keganasan sering
melibatkan mutasi pada siklin D atau CDK4, namun jarang melibatkan mutasi
siklin B dan E.
protein target yang dibutuhkan pada progresi siklus sel. Induksi proto-onkogen
siklin D1, dan terikatnya pada CDK4 atau CDK6 adalah terbatas kecepatannya
selama progresi siklus sel fase G1. Beberapa penelitian mengusulkan bahwa siklin
potensial dari lingkungan mikro selama masuk siklus sel dari posisi diam karena
Kontrol ini dapat hilang saat transformasi seluler, dan siklin D1 berbanding lurus
overekspresinya pada beberapa jenis kanker, termasuk kanker payudara, hati, dan
otak. Represi ekspresi gen siklin D1 sebaliknya merupakan tanda khas diferensiasi
25
sel. Sejumlah besar faktor transkripsi telah teridentifikasi yang secara langsung
terikat atau sebaliknya mengatur promoter siklin D1, sejak deskripsi pertama
promoter siklin D1 muncul 15 tahun yang lalu. Kadar siklin D1 dapat diatur
transkripsi dan tempat terikatnya yang fungsional pada sel utuh memakai
namun tempat terikatnya secara pasti masih belum teridentifikasi (Klein and
Richard, 2008).
Keputusan apakah sel melanjutkan progresi terletak pada fase G2, saat gen
rat sarcoma (RAS) seluler menginduksi peningkatan kadar cyclin D1. Kadar
dimana saat tersebut kadar cyclin D1 secara otomatis dikurangi hingga berkadar
rendah. Penurunan kadar cyclin D1 selama fase S diperlukan untuk sintesis DNA,
dan memaksa sel untuk menginduksi peningkatan kadar cyclin D1 sekali lagi saat
memasuki fase G2. Cyclin D1 diusulkan sebagai tombol aktif dalam pengaturan
fase siklus sel yang berbeda. Kompleks cyclin D1/Cdk4 memegang sebuah
peranan penting dalam fase G1. Kompleks ini dapat memfosforilasi kelompok
26
diikuti aktivasi faktor transkripsi E2F-dependent untuk promosi masuk fase S dan
beriteraksi dengan NDR1/2, pada jalur ini. Hal terpenting pada penelitian tersebut
progresi siklus sel. Cyclin D1/Cdk4 dapat bersilang dengan jalur NDR kinase.
NDR kinase dan promosi progresi siklus sel pada satu jalur independen Cdk4.
Penemuan ini memperluas peran cyclin D1 sebagai regulator kunci dalam regulasi
siklus sel dan dapat menyediakan peluang baru terapi kanker terkait cyclin D1 (Du
et al., 2013).
Gambar 2.6
Skema Peran Siklin D1 dan Ras dalam Siklus Sel (Stacey, 2003)
(Ki67)
27
Siklin dan cyclin dependent kinases (CDKs) adalah dua kelompok protein
yang bertanggung jawab terhadap siklus sel melalui pengaturan pada beberapa
checkpoint. Kadar empat jenis protein siklin berfluktuasi selama siklus sel
Gambar 2.7
Konsentrasi Berbagai Jenis Siklin dalam Siklus Sel (Minikel, 2013)
Kombinasi dari siklin dan berbagai CDKs yang aktif pada tiap fase tertentu,
Tabel 2.1
Peran Siklin dan Berbagai CDKs pada Tiap Fase Siklus Sel (Minikel, 2013)
Sel-sel quiescent (stabil) seperti hepatosit yang diam pada fase G0 setelah
distimulasi sinyal mitogenik, terjadi aktivasi CDK4 dan CDK6 yang bekerja
bersama siklin D (terutama siklin D1) yang kemudian dapat masuk fase G1 dan
memulai siklus sel (Carrassa, 2013). Ki67 merupakan salah satu protein petanda
proliferasi yang juga dapat dipakai untuk mengetahui suatu jaringan tinggi
pembelahan selnya (banyak sel masuk siklus sel). Ekspresi ki67 dalam siklus sel
bervariasi. Ki67 tidak terekspresi pada fase G0. Ekspresi ki67 rendah pada fase
G1 dan S. Ekspresi tertinggi ki67 pada fase G2 dan M. Kadar ki67 akan menurun
protein ki67 pada jaringan yang telah difiksasi memiliki kelemahan tidak dapat
membedakan apakah suatu sel quiescent (seperti hepatosit dan saraf) berada pada
fase G0 atau telah masuk fase G1, sebaliknya siklin D1 merupakan pemicu
masuknya sel quiescent dari fase G0 masuk G1 dan melanjutkan fase siklus sel
(Ki67p) yang dapat dipakai sebagai penanda sel mengalami transisi G0-G1 dan
masuk siklus sel (Carrassa, 2013; Zambon, 2011). Siklin D terekspresi dengan
kadar yang bervariasi pada seluruh siklus sel seperti terlihat pada Gambar 2.7.
Ki67 terekspresi pada hampir seluruh fase siklus sel, kecuali pada fase G0 seperti
Gambar 2.8
Ekpresi Protein Ki67 pada Seluruh Siklus Sel.
Semakin cerah warna merah, semakin rendah ekspresi Ki67.
Ki67 tidak terekspresi pada fase G0 (Yuan et al., 2015)
Gambar 2.9
Ekspresi Siklin D1 dan Ki67 dalam Siklus Sel (Iwakura et al., 2016)
dan Siklin
sel. Faktor yang menginduksi peningkatan siklus sel antara lain: tumor necrozing
factor alpha (TNF-α), interleukin 6 (IL6), HGF, telomerase, P44/P42, RAS, dan
30
gen Rb. Faktor yang menginhibisi siklus sel antara lain p27, p53, dan anti-RAS
(Kumar, 2010).
Gambar 2. 10
Skema Ilustrasi Peranan Siklin, CDK, dan Inhibitor CDK (CDKIs) dalam
Mengatur Siklus Sel (Kumar et al., 2010)
Panah warna biru memperlihatkan fase siklus sel dimana kompleks siklin-CDK
spesifik aktif. Sebagai ilustrasi, siklin D-CDK4, siklin D-CDK6, dan siklin E-
CDK2 mengatur transisi G1 ke S melalui fosforilasi protein RB (pRB). Siklin A-
CDK2 dan siklin A-CDK1 aktif pada fase S. siklin B-CDK1 penting pada transisi
fase G2 ke M. dua kelompok CDKIs dapat memblokir aktivitas CDK dan progresi
melalui siklus sel. Inhibitor yang disebut INK4, terdiri dari p16, p15, p18, dan
p19, bekerja pada silin D–CDK4 dan siklin D–CDK6. Tiga kelompok inhibitor
lain p21, p27, dan p57, dapat menghambat semua CDK.
31
siklin E pada fase lanjut G1, yang terlibat dalam transisi G1/S. Cyclin dependent
kinase 2 (CDK2) juga membentuk kompleks dengan siklin A pada fase S yang
kompleks dengan siklin B yang memfasilitasi transisi G2/M (Kumar et al., 2010).
yang berukuran lebih kecil disertai peningkatan aktivitas mitosis. Perbesaran kuat
dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel (Kleiner and Ferrel, 2016).
dengan menghitung jumlah inti sel hepatosit yang terpulas berintensitas sedang
sampai kuat dalam 100 sel memakai perbesaran kuat 400 kali (lapangan pandang
besar) pada area hot spot, bila memungkinkan menggunakan grid (mikrometer).
Skor pulasan Skor tersebut dinyatakan dalam prosentase 0-100% (Batinac et al.,
2004; Ramirez et al., 2005; Dornales et al., 2009; Swati et al., 2012; Nurliani and
Sandika, 2015).
32
Area hot spot terletak pada daerah zona 3 dan 2 disekitar fokus-fokus
umumnya membentuk pita-pita dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel.
Gambar 2.11
Imunohistokimia Cyclin D1 tidak Terpulas pada Sediaan (Das et al., 2011)
Gambar 2.12
Imunohistokimia Cyclin D1 Terpulas pada 65% Sel, dengan Intensitas Kuat
(Termo Fisher, 2016)
33
2.3 Parasetamol
dunia, sebagai ilustrasi di Amerika terdapat lebih dari 600 merk dagang obat yang
sebagai contohnya diperkirakan lebih dari 200 juta penduduk memakai obat ini
Obat ini di Indonesia dalam bentuk murni termasuk obat bebas (berlabel hijau)
dan termasuk obat bebas terbatas bila dalam kombinasi sebagai obat flu, sehingga
dalam obat flu. Pemakaian parasetamol oleh masyarakat sering tanpa pengawasan
tenaga medis dan pemakaian parasetamol yang melebihi dosis terapi dalam jangka
waktu lama atau dengan dosis yang tidak tepat mampu menimbulkan kerusakan
hati (efek hepatotoksik). Sebagian masyarakat kurang tahu akan efek hepatotoksik
sulfat dan sebagian kecil (9%-20%) dioksidasi oleh sistem sitokrom P-450 MFO
ini sangat beracun, akan tetapi di dalam hati akan diikat oleh enzim antioksidan
berupa glutation, jika jumlahnya tidak mencukupi maka kuinon yang bersifat
beracun ini tidak akan dihapuskan dan mulai untuk bereaksi dengan
Gambar 2.13
Kadar Metabolit Acetaminophen-Cystein (Acetaminophen-CYS) dalam Serum
pada Beberapa Kelompok Pasien (Pauls and Senior, 2013)
A. Pasien acute liver failure (ALF) sekunder akibat overdosis acetaminophen.
B. Pasien dengan ALF karena obat nonacetaminophen.
C. Pasien dengan overdosis acetaminophen tetapi tanpa ALF.
D. Pasien dengan ALF karena sebab yang tidak diketahui etiologinya dan tidak
terdeteksi obat dalam serumnya.
E. Pasien dengan ALF tidak diketahui penyebabnya dan tidak diperiksa
serumnya.
independent atau idiosyncratic). Kedua tipe cedera hati terinduksi obat yang
35
paling sering menimbulkan kegagalan hati akut disertai ensefalopati hepatik dan
koagulopati, meskipun proporsi kasus gagal hati akut disebabkan obat sangat
bervariasi di dunia (Gambar 2.17). Reaksi obat idiosinkratik jarang terjadi (terjadi
pada 1:10.000 sampai 1:100.000 penduduk yang memakai obat tertentu), dan
polimorfisme enzim pada satu sitokrom P450 (CYP) atau gen lain berperan
penting pada banyak pasien yang rentan, walaupun peran klinis dan nilai
Acetaminophen sangat aman saat dipakai pada dosis maksimal yang dianjurkan (4
gram/hari), tetapi dosis 8–10 gram/hari dapat menimbulkan nekrosis hati berat.
bahwa toksisitas dianggap berasal dari metabolitnya yang sangat reaktif N-acetyl-
hiperakut dimana gagal hati dapat berkembang hanya dalam waktu satu hari
sering disertai peningkatan kadar kreatinin karena efek nefrotoksik langsung dari
parasetamol. Transplantasi hati tidak sering dilakukan pada pasien gagal hati
bertahan hidup spontan (bebas transplantasi) adalah lebih baik (sekitar 70%)
dibanding penyebab lain dari gagal hati akut dan sebagian besar pasien tidak
pemeriksaan baru yang dapat mengukur parasetamol terikat protein, yang sangat
2014).
yang merusak hati secara tidak langsung. Kerusakan hati yang timbul disini bukan
disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi
idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang
bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya
hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Reaksi yang berdasarkan
yang timbul karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai lima
berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan
granulomatosa atau eosinofilik pada hati (Borges et al., 2010). Brunton et al.
mikrosomal hati.
37
Gambar 2.14
Seluruh Jalur Metabolisme Parasetamol dalam Hati (Brunton et al., 2011)
dan sistein (3%). Konsumsi parasetamol dalam dosis yang tinggi, maka
diatas 250 mg/kg secara potensial sangat fatal. Indikasi klinik terhadap
dosis toksik.
38
Gambar 2.15
Metabolisme Parasetamol Menghasilkan Metabolit Toksik NAPQI
(Borges et al., 2010)
(kiri) menghasilkan konjugat nontoksik larut air yang diekskresi lewat ginjal
(kanan atas). Jalur kedua melibatkan sistem sitokrom P450 (CYP), terutama
secara kovalen dengan protein hati dan menimbulkan nekrosis seluler. Efek toksik
dari NAPQI dihilangkan dengan pengikatan pada antidot alami glutation (GSH),
menghasilkan asam merkapturat suatu metabolit nontoksik larut air yang dapat
Gambar 2.16
Mekanisme Kerusakan Hati Dipicu Obat (Clinicalgate, 2015)
a. Gangguan filamen sitoskeletal memicu pembentukan gelembung dan nekrosis
sel.
b. Gangguan mekanisme transport kanalikuler empedu menyebabkan kolestasis.
c. Zat antara yang sangat reaktif yang terikat ke protein sel mengarahkan
pembentukan hapten.
d. Neoantigen dapat ditranport ke permukaan sel dan membangkitkan suatu
respon imun sitotoksik atau pembentukan autoantibodi.
e. Mekanisme apoptosis dapat juga berperan.
f. Gangguan mitokondria mengarahkan akumulasi lemak mikrovesikuler dalam
hepatosit juga pembentukan asam laktat akibat metabolisme anaerob.
40
Gambar 2.17
Mekanisme Antioksidan Herbal Menurunkan Toksisitas Seluler
Akibat Radikal Bebas (Singh et al., 2016)
Keterangan: = menghambat
negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat. Parasetamol merupakan agen
penyebab yang memberikan kontribusi sekitar 46% dari seluruh gagal hati akut di
hati akut terinduksi parasetamol (Yamada et al., 2009; Sirisha et al., 2013).
Gagal hati akut terinduksi obat lain dan parasetamol predominan bertambah
Gambar 2.18
Etiologi Gagal Hati Akut di Amerika (Pauls and Senior, 2013)
Keterangan:
Jumlah pasien keseluruhan 2000.
APAP: acetaminophen = parasetamol.
Hep B: virus hepatitis B
Hep A: virus hepatitis A
Indeter: tidak dapat diketahui etiologinya dengan pasti
januari tahun 2013 sebanyak 916 kasus dari keseluruhan 2000 pasien gagal hati
sekitar 46% dari seluruh kasus gagal hati akut. Seluruh penelitian di seluruh
sedangkan gagal hati akut terinduksi parasetamol adalah tinggi berdasarkan hasil
12%–17% kasus, dengan jumlah kasus yang lebih rendah di India, Jepang, dan
Gambar 2.19
Perkiraan Etiologi Gagal Hati Akut di Berbagai Belahan Dunia
(Pauls and Senior, 2013)
ACM: acetaminophen; drug: idiosyncratic drug reactions; HAV: hepatitis A
virus; HBV: hepatitis B virus; shock: ischemic hepatitis.
Data jumlah pasien gagal hati akut dan etiologinya di Indonesia belum
tercatat dengan baik, namun dari sebuah kepustakaan angka kejadian kasus
hepatotoksik akibat obat di rumah sakit umum pusat dokter Sardjito Yogyakarta
sekitar 3,4% dari seluruh pasien yang berobat. Obat penyebab hepatotoksik yang
berupa adanya nekrosis koagulatif pada zona 3 dengan sebukan ringan radang
limfoplasmasitik, terdapat sedikit atau tidak ada sama sekali fibrosis, dapat ada
43
kolestasis, dan tidak ada gambaran kelaianan oklusi vena sentral. Hepatosit
disekitar sistem porta masih viabel. Gambaran histologi nekrosis zona 3 (nekrosis
zonal) yang ditemukkan pada toksisitas akut parasetamol terlihat sebagai area
berwarna merah muda pekat, disekitarnya hepatosit yang viabel berwarna pucat
karena mengalami steatosis dan cedera bengkak (balloning injury) (Kleiner and
Ferrel, 2016).
Regenerasi dapat bersifat difus, fokal, dan kadang dapat membentuk nodul.
sitologis membentuk pita-pita dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel.
sitoplasma luas dan inti membesar, sebagian dengan anak inti prominen. Sebagian
sel mengandung badan Mallory (displasia sel besar), masih membentuk pita
dengan ketebalan tidak lebih dari 2 lapis sel. Aktivitas mitosis meningkat pada
area yang regenerasi. Pulasan H-E lebih sulit untuk mengevaluasi sediaan,
2.3.6 Parameter Klinis dan Laboratoris Hepatotoksisitas atau Nekrosis Hati Akut
akut hati akibat cedera toksik, onsetnya mendadak, bertambah berat, ditandai
hati atau organ lain, dan disertai atau tidak disertai ikterus. Gejala nekrosis hati
44
akut muncul dalam periode singkat 1 sampai 14 hari. Obat-obat yang sering
bahan toksik seperti fosfor atau minyak penny royal. Hepatotoksik dapat terjadi
IU/L atau meningkat >20 kali nilai awal, alkalin fosfatase naik < 2 kali nilai awal
atau < 230 U/L. Rasio ALT/ALP meningkat sangat tinggi (lebih dari 10).
Parameter lain yang juga meningkat LDH, kreatinin, BUN, INR, dan amonia.
tersebut akan menurun drastis setelah paparan dengan bahan toksik pemicu
nilai awal)
6. Cedera akut dan disfungsi sistem organ lain (paru, ginjal, sumsum tulang)
dengan infiltrat ringan limfositik, sedikit atau tanpa fibrosis, tidak ada
45
kolestasis atau kolestasis ringan, dan tidak ada gambaran oklusi vena
24 jam hingga 96 jam setelah paparan parasetamol dosis toksik (Kleiner and
Ferrel, 2016).
Parasetamol
bahan toksik, proses ini terjadi relatif terlambat setelah fase cedera. N-
acetylcystein yang merupakan prekursor glutation hingga saat ini dipakai sebagai
N-acetylcystein yang terlambat lebih dari 8 jam setelah paparan parasetol dosis
setelah paparan parasetamol lebih dari 24 jam (Waring, 2012; Quai and
Dosis NAC yang lazim digunakan adalah dosis awal 150 mg/kg BB
intravena atau 140 mg/kg BB peroral, dilanjutkan 70 mg/kg BB tiap 4 jam atau
420 mg/kg BB/hari minimal diberikan selama tiga hari (Varney, 2012; Algren,
2008). Tikus putih dengan berat badan rerata 200 gram memerlukan dosis awal 28
mg, dilanjutkan 84 mg/hari. Obat herbal terstandar yang sering diberikan oleh
klinisi penyakit selain obat standar NAC dalam untuk mengobati gangguan fungsi
46
hati akibat intoksikasi obat ialah silimarin (dengan berbagai merk dagangnya)
yang merupakan ekstrak dari tanaman milk thistle. Silimarin telah teruji klinis
bahan toksik, proses ini terjadi relatif terlambat setelah fase cedera. N-
acetylcystein yang merupakan prekursor glutation hingga saat ini dipakai sebagai
paparan parasetamol lebih dari 24 jam (Waring, 2012; Quai and Shepherd, 2010).
overdosis akut yang baru terjadi beberapa jam dan kurang efektif pada pasien
yang terpapar parasetamol dengan jangka waktu yang lebih lama. Hasil penelitian
sel hati. Efek merugikan ini dikaitkan dengan berkurangnya faktor inti hati terikat
DNA (hepatic nuclear factor (NF)-κB DNA binding) dan berkurangnya ekspresi
protein siklus sel cyclin D1, keduanya merupakan faktor penting dalam regenerasi
47
meningkatkan kadar ALT dan AST 72 jam setelah paparan parasetamol. Dua pulu
menurunkan kadar ALT / AST. Cedera hati akut pada 6 ekor tikus jantan dengan
setelah injeksi parasetamol, hewan coba diberikan NAC 100 mg/kgBB dilarutkan
dalam 0,6 mL saline dan kontrol dengan 0,6 mL saline saja tiap 12 jam. Alanine
setelah injeksi parasetamol (n=6 tikus yang bertahan hidup pada masing-masing
kelompok). Hasil adalah rata-rata + standard error of the mean (SEM). *p < 0,05
dibanding kontrol; † p < 0,05 dibanding kelompok NAC. Tiga kelompok tikus
meningkatkan kadar ALT / AST dengAN nilai p < 0,05. Cedera akut hati
diinduksi seperti cara tersebut diatas. 2 jam setelah paparan parasetamol, hewan
coba diberikan perlakuan yang sama tiap 12 jam, selama periode total 72 jam.
ALT dan AST diukur 72 jam setelah injeksi parasetamol (n = 6 sampai 7 tikus
yang bertahan tiap kelompok). Hasil adalah rata-rata + standard error of the mean
(SEM). *p < 0,05 dibanding kontrol; † p < 0,05 dibanding kelompok NAC (Yang
et al., 2009).
48
induksi cedera hati akut, dibandingkan dengan hewan coba kontrol, tikus dengan
nekrosis, bukti adanya regenerasi dan infiltrasi luas sel-sel radang (240 + 40 per
perlakuan NAC memperlihatkan 10% nekrosis hepatosit dan infiltrasi luas sel-sel
namun tidak ada tanda regenerasi yang terlihat (Gambar 2.20; tanda panah
A B C
Gambar 2.20
Efek Pengobatan dengan NAC atau Larutan Garam Fisiologis terhadap Patologi
Cedera Akut Hati Diinduksi Parasetamol dengan Pulasan HE. A. Kontrol (200x);
B. Saline (200x); C. NAC (200x). Tanda panah menunjukkan daerah periportal
pada gambar 2.25. NAC = N-acetyl-cystein (Yang et al., 2009)
49
A B C
Gambar 2.21
Pemakaian NAC Jangka Panjang Menginduksi Vakuolisasi Daerah Periportal
pada Tikus yang Diinduksi Cedera Hati Akut dengan Parasetamol, Pulasan HE. A.
Kontrol (200x); B. Saline (200x); C. NAC (200x)
NAC = N-acetyl-cystein (Yang et al., 2009)
sebagai suatu indeks infiltrasi netrofil pada hati setelah injeksi parasetamol. Nilai
aktivitas MPO hati kelompok control adalah 4,2 + 0,29 U/g. Tujuh puluh dua jam
setelah induksi cedera hati akut, nilai tersebut meningkat menjadi 5,88 + 1,19 U/g
pada kelompok dengan larutan saline. Aktivitas MPO hati meningkat secara
signifikan pada kelompok perlakuan NAC, menjadi 9,5 + 0,70 U/g (p < 0,05), bila
Gambar 2.22
Efek Perlakuan dengan NAC atau Salin terhadap Aktivitas MPO Hati Tikus yang
Diinduksi Cedera Hati Akut
NAC = N-acetylcystein (Yang et al., 2009)
dihubungkan dengan inflamasi dan proses destruksi, dan juga sebagai inisiasi dari
program regenerasi hati yang cedera. Blockade dari HMGB1 melindungi dari
aktivitas NF-κB DNA terlihat pada tikus yang terlindungi dari cedera hati
proses glikasi (advanced glycation end products). Oleh karena itu, peneliti
parasetamol dan menguji efek pengobatan NAC. Terdapat kadar basal NF-κB
DNA binding yang rendah pada jaringan hati sampel kelompok kontrol.
nyata NF-κB DNA binding. Pengobatan jangka panjang menggunakan NAC pada
tikus yang dipapar parasetamol secara jelas menurunkan NF-κB DNA binding
secara relative dibanding kadar yang teramati pada tikus yang diperlakukan
dengan saline. Nuclear Factor (NF)-κB DNA binding diukur 72 jam setelah
induksi cedera hati akut atau prosedur Sham. Gambar diambil untuk
Gambar 2.23
Efek Perlakuan dengan NAC atau Salin terhadap NF-κB DNA-binding dalam
Ekstrak Inti yang Dibuat dari Sampel Jaringan Hati Tikus yang Diinduksi Cedera
Hati Akut. Diperlihatkan jel yang khas. NAC = N-acetyl-cystein
(Yang et al., 2009)
Onset yang tepat proses perbaikan dapat membatasi cedera hati dan memicu
paling dapat dipercaya untuk menilai tahapan perkembangan siklus sel (fase G1)
seluruh sel yang dibuat dari jaringan hati untuk menilai ekspresi cyclin D1 pada
tikus hewan coba yang diinduksi cedera hati akut atau kelompok prosedur kontrol.
Ekspresi cyclin D1 pada kelompok kontrol dan kelompok NAC terlihat minimal
(Gambar 2.24). Sebaliknya, secara kontras, ekspresi cyclin D1 secara jelas dapat
52
teramati pada kelompok hewan coba dengan perlakuan larutan saline pada 72 jam
Western blot dilakukan memakai ekstrak hati yang dibuat dari jaringan yang
Gambar 2.24
Efek Perlakuan dengan NAC atau Salin terhadap Ekspresi Cyclin D1 Jaringan
Hati. Diperlihatkan jel yang khas
NAC = N-acetyl-cystein (Yang et al., 2009)
Dosis terapi parasetamol oral untuk manusia dewasa (70 kg) rata–rata 1500
mg per hari. Dosis toksik parasetamol sering terjadi pada pemakaian dengan dosis
cedera berat sel hati atau nekrosis hati yang fatal adalah 3-4 g/kgBB/hari atau
dosis tunggal 3-4 gram pada kasus percobaan bunuh diri atau kasus tidak sengaja
tertelan pada anak-anak (Bancha, 2007). Dosis toksik untuk tikus yang memiliki
berat badan 200 gram bila dihitung dari dosis untuk manusia dewasa 70 kilogram
sebesar 250 mg/kg BB/hari berdasarkan penelitian oleh Bancha dengan faktor
53
konversi manusia–tikus 0,018 maka dosis toksik parasetamol adalah 315 mg/hari
dosis tunggal melalui injeksi intraperitoneal (Yang et al., 2009). Sebuah laporan
dosis terapi 3 kali sehari 500 mg selama 3 hari dengan dosis total 4 gram
menimbulkan nekrosis hati yang fatal dan gagal ginjal akut atau nekrosis tubuler
Parasetamol yang dipakai dalam bentuk obat tetes untuk bayi yang
mengandung parasetamol 100 mg/ mL, maka volume yang diberikan pada hewan
coba 3,15 mL, setara dengan 315 mg parasetamol. Dosis pemberian 3,15 mL
sesuai acuan volume maksimum pemberian obat menurut Donatus dan Nurlaila
masih di bawah volume maksimum untuk tikus 200 g yaitu 10 mL obat peroral
seperti tertera pada Lampiran 2 (BPOM RI, 2014; Soekanto, 2002). Parasetamol
pengembangan obat dan vaksin; uji coba keamanan, potensi, khasiat dari obat dan
bahan pendidikan (biologi dan kedokteran). Penggunaan hewan coba antara lain
zoologi, dan ekologi); diagnostik; pengamatan tingkah laku hewan; serta pada
balita untuk menguji tingkat kecerdasan anak (Ardhana and Rita, 2015).
3. Hewan coba sebagai sistim biologik utuh masih belum dapat tergantikan
agar dapat disesuaikan pola kehidupannya seperti di alamnya. Peneliti yang akan
memakai hewan coba dalam penelitian kesehatan harus menilai dengan seksama
penderitaan yang akan dialami hewan coba dan seberapa besar manfaat yang akan
Bahan uji (obat) yang ditujukan untuk digunakkan pada manusia, perlu
diteliti dengan menyertakan subjek manusia sebagai final test tube. Relawan
manusia secara etis boleh diikutsertakan bila bahan yang akan diuji telah lolos uji
mengamati dan mengkaji semua reaksi dan interaksi bahan uji yang diberikan,
serta dampak yang muncul secara utuh dan mendalam. Kelayakan penggunaan
membandingkan risiko yang akan dialami hewan coba dengan manfaat yang akan
diperoleh untuk umat manusia. Setiap penelitian yang memanfaatkan hewan coba
secara etis harus mengaplikasikan prinsip umum etika penelitian kesehatan dan
hewan coba perlu dijabarkan secara rinci di dalam protokol penelitian sebagai
yang terjadi di dalam tubuh (in vivo) dalam suatu bentuk penelitian dan hewan
coba yang dipakai pada proses pendidikan menjadi hal yang sangat perlu
56
dan ilmu-ilmu terapan yang mengacu pada bidang kesehatan dan kedokteran serta
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian dalam arti luas (Prastowo,
hewan coba dalam proses pendidikan atau pengajaran seperti praktikum dan
pada objek hewan coba yang telah dirancang dengan cermat dan teliti pun tetap
memiliki risiko merugikan hewan coba yang dipakai sebagai objek penelitian.
Risiko yang muncul dalam penelitian harus tetap selalu diperhitungkan, bukan
saja didasari kepentingan penggunaan hewan coba atau institusi pengguna hewan
(Prastowo, 2016).
protokol penelitian yang dianggap sama seperti informed consent pada penelitian
dapat dianggap sama seperti informed consent bagi hewan coba dan menjadi salah
57
satu penilaian dalam etika penelitian yang memanfaatkan hewan coba (Ridwan,
2013).
Syarat Etis hewan coba dapat dipakai dalam penelitian biomedik antara
lain:
3. Tujuan penelitian tidak mungkin akan tercapai bila hewan coba diganti
(KEPK) dan komisi pemanfaatan dan pemeliharaan hewan (KPPH), serta prinsip
komisi etik penelitian dan pengembangan kesehatan nasional. Salah satu fungsi
atau kebijakan. Dasar etika penelitian hewan coba yang lain adalah pedoman
nasional etik penelitian kesehatan suplemen II tahun 2006 yang membahas etik
Kesehatan, 2016).
deklarasi Helsinki yang diperbaharui di Tokyo tahun 2004, “Ethical principles for
dalam penelitian, dan harus dihormati (respect). Pedoman lain yang perlu diingat
adalah hewan bukan manusia (animals are not human) dan tidak memanusiakan
hewan (do not humanize animals, instead treat animals humanely) (Ardhana and
Rita, 2015).
2.4.6 Tiga Prinsip Dasar Etik Pelaksanaan Penelitian Menggunakan Hewan Coba
ialah:
dengan memakai organ, jaringan hewan dari rumah potong, atau dari
60
orde yang lebih rendah; dapat bersifat absolut: mengganti hewan coba
program komputer.
anastesi, atau dengan melakukan prosedur secara benar oleh tenaga ahli
dalam prinsip “five freedom” (Ardhana and Rita, 2015; Ridwan, 2013).
2.4.6.3 Prinsip Etik Pemeliharaan dan Perlakuan Hewan Coba (5F atau Five
freedom)
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari kelaparan dan haus)
1.000 mg/kg, dan asam linoleat 3 g/kg). Jenis pakan untuk tikus: pakan
pati 45-55 %, serat kasar Maksimal 4%, abu 5-6%. Tambahan vitamin
asam linoleat 5-10 g/kg, B1 15-20 mg/kg, vitamin B12 30 ug/kg, dll.
lainnya, serat kasar 10 kali lipat dari makanan hewan lain, asam amino
pati 35-40%, serat kasar 30-35% dan abu : 4-5%. Jumlah pakan 20
2. Freedom from pain, injury and diseases (bebas dari rasa nyeri,
a. Program promotif
1. Mencit dan tikus: 4-8 mg/kg BB injeksi i.m. atau 10 mg/kg BB injeksi
i.p.
62
1. Ketamin
Mencit dosis 100 –200 mg/kg BB injeksi i.p., 200 mg/kg BB injeksi
i.p. Marmut dosis 100-200 mg/kg BB injeksi i.m. Kelinci dosis 44-50
i.m.
1. Metode fisik
a. Dislokasi leher
63
kelinci 5- 10 ml/kg BB
3 kali lipat.
syarat), dan anestesi per inhalasi (diterima). Eutanasi untuk hewan primata:
Eutanasi untuk hewan babi: barbiturat (diterima) dan anestesi per inhalasi
ketidaknyamanan)
Tabel 2.2
Suhu Ruangan yang Dianjurkan pada Pemeliharaan Hewan Coba (Ardhana and
Rita, 2015)
sesuai dengan kebutuhan hidup hewan coba, yaitu secara umum untuk hewan
64
30–70%, dan penerangan 12 jam terang 12 jam gelap. Ruangan harus selalu dijaga
diberikan minum air tanpa batas (ad libitum). Hewan dipelihara dalam kandang
yang terbuat dari material yang kedap air, kuat dan mudah dibersihkan, ruang
Luas area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For
b) Tikus (berat 100 – 200 g) : luas alas kandang 148,4 cm2 , tinggi 17,8 cm .
c) Kelinci (berat 2 – 4 kg) : luas alas kandang 270 cm2 , tinggi 40,64 cm .
d) Marmut (berat 300 – 350 g) : luas alas kandang 387 cm2, tinggi 17,18 cm
(BPOM, 2014).
4. Freedom from fear and distress (bebas dari ketakutan dan kesusahan).
yang sesuai dengan biologi dan tingkah laku spesies), mencari makan, dll.
Memberikan sarana untuk kontak sosial (bagi spesies yang bersifat sosial),
lebih baik dalam usaha melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan
2. Bila layak, gunakan metode simulasi komputer, matematik dan invitro untuk
biologik.
4. Spesies hewan coba harus tepat dan dari fologeni serendah mungkin.
perasa (sentient).
8. Pada akhir penelitian hewan yang menderita nyeri hebat atau kecacatan harus
(Darwin, 2016).
66
Tikus adalah hewan coba yang paling sering dipakai sebagai pada
penelitian laboratoris bidang biomedis. Tikus merupakan hewan coba yang ideal
tersedianya banyak literatur yang telah diterbitkan membahas hewan coba ini.
Alasan lainnya ialah karena hewan coba tikus mudah dipindahkan, tidak
manusia, dengan sedikit perbedaan sifat biologis dan perilaku. Tikus memiliki
sifat biologis lebih aktif pada malam hari (hewan nokturnal) dan sangat ingin tahu
lingkungan sekitarnya. Salah satu galur tikus yang paling sering dipakai sebagai
knock-out rats pada penelitian eksperimental adalah tikus putih strain Wistar yang
memiliki nama Latin Rattus norvegicus. Tikus galur ini memiliki ciri khas kepala
lebar, telingga panjang, dan panjang ekor tidak melebihi panjang badan. Nama
Wistar diambil dari nama institut Wistar yang pertama kali membiakkan tikus
putih strain ini untuk hewan coba pada tahun 1906. Jenis tikus ini sekarang
Kirwood, 2010). Nilai normal parameter biologis dasar tikus putih Wistar
Tabel 2.3
67
Tabel 2. 4
Berat Organ Tikus Putih (Alexandru, 2011; Hubrecht and Kirwood, 2010)
Nilai normal fungsi hati tikus, dalam hal ini alanine aminotransferase
(ALT) atau disebut juga serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) memiliki
rentang antara 44,45 – 75 U/L dan aspartate aminotransferase (AST) atau disebut
68
54,54 – 120 U/L (Dwarkinath, 2014). Parameter fungsi hati yang meningkat
secara signifikan pada cedera akut akibat toksisitas parasetamol adalah SGPT.
Ciri umum yang dapat dinilai dari luar sebagai dasar menyatakan seekor
tikus hewan coba sehat antara lain tidak tampak kelainan anatomis secara
makroskopis, gerakan aktif, mata bersinar, mau makan dengan lahap, bulu tidak
berdiri, bulu bersih (tidak kusam atau rontok), dan feses padat (Mahanani, 2013).
fungsi hati yang normal, karena kelainan hati bawaan jarang terjadi.
Peroksidasi lipid merupakan suatu reaksi yang dipicu oleh adanya radikal
dengan antioksidan seluler atau dengan kata lain jumlah radikal melebihi
perusakan protein dan oksidasi rantai samping asam lemak tak jenuh ganda (poly
unsaturated fatty acid / PUFA) yang merupakan penyusun utama membran sel
Senyawa pemicu inisiasi peroksidasi lipid dapat berupa radikal alkil (R*)
atau radikal hidroksil (OH*). Tahapan reaksi peroksidasi lipid dapat digambarkan
Penyelamatan) / Antioksidan*
Radikal bebas didefinisikan sebagai atom yang memiliki satu atau lebih
orbital yang diisi elektron tak berpasangan (unpaired electron). Setiap molekul
dapat menjadi radikal asalkan memiliki elektron tak berpasangan. Radikal bebas
bersifat merusak karena sangat reaktif, untuk menstabilkan ikatan kimia akibat
adanya elektron tak berpasangan tersebut atom atau molekul ini mudah bereaksi
radikal (Murray et al., 2012; Lane, 2011). Pengertian oksidan dan radikal bebas
oksidan, tetapi tidak semua oksidan termasuk radikal bebas (misalnya ion Fe3+
merupakan oksidan namun bukan radikal bebas). Oksidan, dalam pengertian ilmu
kimia adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang
dapat menarik elektron. Radikal bebas memiliki persamaan dengan oksidan dalam
e. Radikal bebas dengan atom pusat oksigen, terdiri dari 2 macam, yaitu:
21%. Oksigen di udara terdapat sebagai molekul ganda (diatomik), yaitu dua atom
memiliki dua elektron yang tidak berpasangan, tetapi oksigen dalam bentuk ini
berperan dalam reaksi oksidasi memiliki spin yang sama) sehingga tidak sereaktif
radikal oksigen lain (Lane, 2011). Reduksi oksigen akan menghasilkan radikal
kuat yaitu radikal superoksida dan melalui reaksi bertahap dapat terbentuk radikal
oksigen sehingga hanya terdapat satu elektron oksigen yang tidak berpasangan,
dilambangkan dengan O2*. Sifat kimia radikal ini sangat bergantung pada tempat
dimana dia berada. Radikal ini tidak begitu reaktif di dalam air, tetapi di dalam
pelarut organik radikal ini menjadi lebih reaktif. Radikal superoksida dapat
eritrosit. Radikal superoksida di jaringan lain dapat terbentuk melalui kerja enzim
seperti sitokrom P450 reduktase dan xantin oksidase. Radikal superoksida lebih
lanjut dapat bereaksi dengan hidrogen (H+) dan penambahan elektron membentuk
hidrogen peroksida.
bila terdapat donor elektron. Hidrogen peroksida yang memperoleh donor elektron
akan membentuk radikal hidroksil, radikal ini lebih reaktif dibanding radikal
72
dan GSH) untuk menetralisirnya akan menyebabkan cedera membran sel (Murray
et al., 2012).
peroksida membentuk radikal hidroksil melalui suatu reaksi yang dikatalisis oleh
besi, reaksi ini disebut reaksi Haber-Weiss (Murray et al., 2012; Lane, 2011):
Radikal hidroksil yang sangat reaktif tersebut juga dapat terbentuk dari
hidrogen peroksida melalui suatu reaksi nonenzimatik yang dikatalisis oleh ion
besi (Fe2+), reaksi ini disebut reaksi Fenton (Murray et al., 2012):
karbohidrat, protein dan asam nukleat. Radikal bebas juga mampu mengubah
senyawa lain termasuk komponen tubuh menjadi radikal (Lane, 2011) Radikal
bebas dapat menimbulkan kerusakan sel dan mendasari berbagai macam keadaan
imunitas dan bahkan ikut berperan dalam proses penuaan. Hampir 90% penyakit
2.8 Antioksidan
karbohidrat dan asam nukleat, akibatnya terjadi kerusakan sel tubuh. Paparan
tubuh oleh radikal bebas merupakan suatu proses melibatkan reaksi oksidasi,
reaksi inilah yang dapat menimbulkan perubahan atau kerusakan sel. Paparan
menghambat atau mencegah kerusakan akibat reaksi oksidasi pada molekul target
baik berupa lipid, protein, karbohidrat maupun asam nukleat tubuh (Lane, 2011).
Caballero, 2006).
komplek lipid-antioksidan.
Golongan chelator terdiri atas EDTA, asam sitrat, dan asam fosfat.
75
Masalah lain yang timbul dalam pemakaian antioksidan dari luar ialah
molekul rendah) juga mudah membentuk ikatan yang sangat kuat sehingga sulit
lepas, padahal antioksidan dalam bentuk tak terikat yang mampu memberikan
efek. Hal ini yang mendasari pentingnya tambahan pasokan antioksidan alamiah
dalam diet kita sehari–hari. Pasokan antioksidan dalam diet dapat kita peroleh dari
2.9 Flavonoid
terhadap banyaknya radikal bebas yang terbentuk akibat paparan sinar ultra violet
(sinar matahari). Jenis antioksidan berat molekul rendah berasal dari tanaman
(tokoferol), vitamin B2, karoten, catechin dan senyawa flavonoid lain (Sharma,
2014).
karena hal ini merupakan kompensasi terhadap banyaknya radikal bebas yang
terbentuk akibat paparan sinar ultra violet yang merupakan salah satu komponen
yakni mempunyai struktur chromane (senyawa piron yang terdiri dari 3 cincin)
ialah mimba.
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
77
Bangsa : Rutales
Famili : Meliaceae
Genus : Azadirachta
berhadapan di petiol atau tangkai daun, bentuknya lonjong dengan tepi bergerigi,
ujung lancip, pangkal daun meruncing. Susunan tulang daun menyirip, lebar daun
Gambar 2.25
Daun Mimba (Noverianto, 2013)
(Jawa), nimba (Sunda), membha atau mempheuh (Madura), dan intaran (Bali dan
Nusa Tenggara). Mimba diperkirakan berasal dari Assam (India) dan Myanmar.
bermanfaat di India. Hampir setiap bagian tanaman ini dapat dipakai dalam
78
sekitarnya sejak 2000 tahun yang lalu. Penggunaan mimba sangat erat kaitannya
dengan kultur masyarakat India hingga sekarang. Mimba telah dipakai dalam
obat ini mendapat julukan Arishtha (Sansekerta) yang berarti tanaman pereda
segala penyakit atau di Eropa tanaman ini mendapat julukan The Wonderful Tree
(Sukrasno, 2003), hingga sekarang tanaman ini telah mendasari penemuan banyak
obat modern dan tetap menarik perhatian para peneliti. Tanaman ini mulai
Pengetahuan Nasional Amerika Serikat) pada tahun 1992 (Biswas et al., 2002).
pemakaiannya sebagai obat tradisional juga sudah mulai meluas di Jawa Barat
(Bandung, Tasikmalaya dan Ciamis) dan Jawa Tengah (Klaten dan Yogyakarta).
Namun secara umum pemanfaatan mimba belum begitu luas di Indonesia karena
masih banyak yang belum mengetahui sosok dan kegunaan tanaman ini dengan
sangat luas dan telah banyak diteliti bahkan terdapat produk jadi dari mimba yang
sudah dipatenkan. Produk tersebut antara lain ekstrak dalam kapsul, hasil
79
pengolahan minyak mimba (sabun, lotion perawatan kulit, sabun cuci, sampo) dan
bahkan pasta gigi. Berdasar hasil penelitian mimba memiliki efek farmakologi
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia daun mimba dibuat dari daun mimba
dengan cara dijemur terlindung dari sinar matahari langsung. Daun yang telah
kering atau simplisia tersebut kemudian digiling dengan pemecah biji kopi,
kemudian diayak dengan pengayak nomor 100 hingga seluruh serbuknya lolos
pada tahun 1942, senyawa tersebut adalah nimbin yang merupakan kandungan
terpahit dari komponen minyak mimba. Daun dan kulit batang mimba
Kandungan mimba dibagi menjadi dua kelas utama yaitu kelompok isoprenoid
gedunin dan derivatnya, beberapa tipe vilasinin dan Csecomeliacin seperti nimbin,
Gambar 2.26
Rumus Bangun Kuersetin (Grotewold, 2006)
dengan tokoferol. Tanin atau zat penyamak yang terkandung dalam daun mimba
golongan katekin setara dengan efek antioksidan butil hidroksi-toluen (BHT) yang
merupakan salah satu antioksidan sintetik untuk senyawa lipid yang terkuat.
dan O2* yang terbentuk dari sistem xantine oksidase, aktivitas kedua katekin yaitu
mencegah peroksidasi lipid bilayer membran sel. Aktivitas ketiga katekin sebagai
reduktase) yang merupakan salah satu enzim terpenting untuk menjaga keutuhan
membran sel mamalia, terutama membran sel hati dan eritrosit. Penelitian lain
membran eritrosit normal dan membran eritrosit penderita talasemia dari stres
Gambar 2.27
Rumus Bangun Kandungan Mimba Selain Senyawa Utama Kuersetin
(Biswas et al., 2002)
perangainya saat bekerja bersama GSH, karena insersi gugus ini pada kuersetin
meningkatkan aktivitas bahan isolat ini (dengan p < 0.05), namun membuat
campuran ini menjadi suatu bahan antagonis dari GSH (Pereira et al., 2013).
pemakaian suplementasi flavonoid dan atau lewat diet tidak selalu bagus karena
cincin B terbukti memiliki sinergi esensial dengan GSH, kecuali saat sebuah
Penambahan GSH pada flavonoid dengan gugus cathecol cincin B lebih aktif
penyakit, sehingga interaksi yang teramati tersebut juga sangat penting dalam
terpenting dalam tubuh (GSH), namun potensi bahaya dan manfaat sebenarnya
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung. Cairan penyari dapat dipakai air, eter, atau campuran etanol
dan air (Kementerian Kesehatan, 2014). Simplisia adalah bahan alam yang
digunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali
dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Ekstrak daun mimba dibuat
terkandung dalam serbuk mimba lebih tinggi dalam alkohol (sering dipakai etanol
daun mimba. Daun mimba dicuci kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari,
pengayak nomor 100 (setiap 2,54 cm pengayak terdapat 100 lubang dihitung
searah dengan panjang kawat pengayak) hingga semua bagian lolos terayak lalu
bagian simplisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok (untuk
daun mimba derajat halusnya 100) dimasukkan dalam bejana, lalu dituangi 75
bagian cairan penyari etanol 96%, ditutup dan dibiarkan selama 7 hari terlindung
dari cahaya langsung sambil sering diaduk. Campuran tersebut setelah dibiarkan 7
hari diserkai, diperas dan dicuci ampasnya dengan cairan penyari secukupnya
hingga diperoleh 100 bagian. Ekstrak cair yang diperoleh kemudian diuapkan
cairan penyarinya pada tekanan rendah dan suhu tidak lebih dari 50oC dalam
cawan penguap di atas penangas air atau rotary evaporator hingga diperoleh
Dosis lethal (LD50) ekstrak mimba dengan penyari metanol 13g/kg berat
badan tikus. Dosis 2g/kg BB tikus tidak menimbulkan kematian, perubahan berat
organ-organ tubuh, komposisi darah, kadar enzim dan histopatologi organ hewan
85
coba, sehingga dosis ini dapat dianggap sebagai dosis maksimal untuk hewan
coba. Dosis untuk tikus putih dengan berat badan 200 gram adalah 400 mg/hari
dengan metode maserasi didapatkan hasil jumlah bahan yang terlarut dalam etanol
80% 1,66% m/m dengan kandungan total flavonoid 0,512% (512 mg/100 gram
serbuk kulit akar mimba), total flavonoid dihitung sebagai ekuivalen terhadap
asam galat.
Penelitian El-Sayed et al. pada tahun 2009 yang meneliti ekstraksi daun
Tabel 2.6
Kandungan Flavonoid Total Ekstrak Daun Mimba dengan Berbagai Macam
Pelarut, dihitung sebagai GAE: gallic acid equivalent (El-Sayed et al., 2009)
Sebuah penelitian oleh Sirisha et al. tahun 2013 yang menguji efek
ekstrak daun mimba 2g/100 mL dan 3g/100 mL ekstrak dipakai pelarut etanol
80%.
86
Sebuah penelitian lain oleh Kawakami et al. tahun 2012 yang menguji cara
Tabel 2.7
Kandungan Flavonoid dan Polifenol Ekstrak Daun Mimba
(Kawakami et al., 2012)
Efek toksik pada hewan coba akibat pemberian bahan–bahan racun atau
obat–obatan (pada dosis toksik) peroral biasanya muncul setelah beberapa menit
sampai beberapa jam sesudah pemberian, dapat berupa tanda–tanda pada bibir dan
pada tikus. Toksisitas sub-akut pada tikus putih yang diberi minyak mimba 30%
penambahan berat badan. Ekstrak daun mimba dapat merangsang sistem saraf
respon kontraksi yang ditimbulkan oleh stimulasi saraf adrenergik pada pembuluh
diameter pembuluh darah (Hidayah, 2003). Tikus jantan maupun betina yang
disuntik intramuskuler ekstrak daun mimba dengan dosis 1,3 mg/10g BB dapat
mengalami kejang, hal ini terjadi karena adanya rangsangan terhadap sistem saraf
pusat.
perubahan berat organ–organ tubuh, komposisi darah, kadar enzim dan perubahan
lima ekstrak etanol tanaman obat yang salah satunya mimba (2 g/100 mL formula
Tabel 2.8
Komposisi Formula F1 dan F2 (Sirisha et al., 2013)
SGPT, SALP, bilirubin serum dan secara signifikan menurunkan kadar total
Dosis tersebut setara dengan dosis serbuk daun mimba kering 2 mg/200 g BB
menurunkan kadar SGOT, SGPT, SALP, bilirubin serum dan secara signifikan
(total dan direct) menurun secara bermakna dengan pemakaian formula F2 dan
mendukung analisis biokimia. Histologi dari irisan hati dari kelompok perlakuan
Gambar 2.28
Gambaran Histopatologi Hati Kelompok Kontrol dan Perlakuan dengan Pulasan
HE (Sirisha et al., 2013); A: Kontrol Normal; B: Kontrol Toksik
C: Standar; D: Formula 1; E: Formula 2
Penelitian Devmurari dan Jivani tahun 2010 yang menguji efek
hepatoprotektif ekstrak daun mimba dengan pelarut metanol dan air pada tikus
putih strain wistar yang dipapar karbon tetra klorida (CCl4). Ekstrak daun mimba
diberikan dalam 3 dosis berbeda untuk masing-masing pelarut (metanol dan air),
mikrogram/mL. Hasil analisis one way ANOVA dan difference means dianalisis
kelompok kontrol toksik dengan kelompok yang memperoleh ekstrak daun mimba
dengan p<0,001.