Anda di halaman 1dari 112

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Fakultas Kedokteran Tesis Magister (Kedokteran Klinis)

2018

Efek Anti Mikroba Ekstrak Bawang Putih


(Allium sativum) Terhadap Pertumbuhan
Bakteri Penyebab Otitis Media Supuratif
Kronis Secara In Vitro

Ginting, Ribka
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/8203
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
EFEK ANTI MIKROBA ESTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP
PERTUMBUHAN BAKTERI PENYEBAB OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
SECARA IN VITRO

TESIS

Oleh:
RIBKA GINTING
NIM 117041205

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK,
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


EFEK ANTI MIKROBA ESTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP
PERTUMBUHAN BAKTERI PENYEBAB OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
SECARA IN VITRO

TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai
Gelar Magister Kedokteran dalam Bidang Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher

Oleh

RIBKA GINTING
NIM 117041205

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK,
BEDAH KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa karena dengan rahmat dan karuniaNya saya dapat menyelesaikan
tesis ini yang berjudul “Efek Anti Mikroba Ekstrak Bawang Putih
(Allium sativum) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Penyebab Otitis
Media Supuratif Kronis Secara In Vitro ” sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Magister
Kedokteran Klinik dalam bidang Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala
Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penulis
menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun demikian
penulis mengharapkan tesis ini dapat menambah perbendaharaan
penelitian dalam bidang Otologi.
Disadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, tesis ini tidak dapat
dilaksanakan dengan baik, namun berkat bantuan dan bimbingan serta
dorongan moril dari keluarga, Komisi Pembimbing, Konsultan Penelitian,
Komisi Penguji dan rekan sejawat, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan.
Maka dari itu, dengan hati yang tulus dan penuh syukur, terima kasih yang
tak terhingga dan penghargaan yang tulus setinggi-tingginya saya
ucapkan kepada yang terhormat :
Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L (K) selaku
Pembimbing I yang secara ikhlas telah banyak meluangkan waktu, tenaga
dan pikiran sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. T.H.T.K.L (K) selaku Pembimbing II
yang telah banyak memotivasi dan memberikan dukungan moril sehingga
saya dapat menyelesaikan tesis ini.
dr. R. Lia Kusumawati, M.S, Sp. MK (K), PhD selaku Konsultan
Penelitian yang telah membimbing saya di bidang Mikrobiologi sehingga
tesis ini dapat terselesaikan.

Universitas Sumatera Utara


Dr. dr. Taufik Ashar, MKM selaku konsultan penelitian sekaligus
Penguji III yang banyak memberi bantuan, bimbingan dan masukan
mengenai metodologi penelitian dan statistika sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
Para Komisi Penguji, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. T.H.T.K.L (K) dan
dr. Adlin Adnan, Sp. T.H.T.K.L (K) dan yang telah bersedia memberikan
penilaian, saran dan masukan yang sangat berharga demi sempurnanya
tesis ini.
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH. MH yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk
mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K), atas kesempatan yang
diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Magister Kedokteran
Klinik di Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Ketua Program Studi Program Magister Kedokteran
Klinik Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M (K) yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Magister
Kedokteran Klinik di Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Yang terhormat Ketua Departemen Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara Dr. dr. Tengku Siti Hajar Haryuna, Sp. T.H.T.K.L (K) dan
Ketua Program Studi Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
dr. Adlin Adnan, Sp. T.H.T.K.L (K) yang telah memberikan izin,
kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Magister
Kedokteran Klinik sampai selesai.

ii

Universitas Sumatera Utara


Yang terhormat Supervisor Departemen Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan : Prof.
dr. Ramsi Lutan, Sp. T.H.T.K.L (K), dr. Yuritna Haryono, Sp. T.H.T.K.L (K),
Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp. T.H.T.K.L (K), dr. Mangain
Hasibuan, Sp. T.H.T.K.L, dr. Linda I. Adenin, Sp. T.H.T.K.L, dr. Rizalina
A. Asnir, Sp. T.H.T.K.L (K), FICS, dr. Siti Nursiah, Sp. T.H.T.K.L (K), dr.
Andrina Y.M Rambe, Sp. T.H.T.K.L (K), dr. Harry A. Asroel, M.Ked, Sp.
T.H.T.K.L (K), Dr. dr. Farhat, M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L (K), FICS,
dr. Aliandri, Sp. T.H.T.K.L (K), dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp.
T.H.T.K.L (K), FICS, Dr. dr. H. R. Yusa Herwanto, Sp. T.H.T.K.L (K),
M.Ked (ORL-HNS), dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp. T.H.T.K.L (K), dr. M.
Pahala Hanafi Harahap, M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L (K), dr. Ramlan
Sitompul, Sp. T.H.T.K.L, Dr. dr. Yuliani M. Lubis, Sp. T.H.T.K.L, dr. Indri
Adriztina, M.Ked (ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L, dr. Vive Kananda, Sp.
T.H.T.K.L dan dr. M. Arfiza Putra Saragih, Sp. T.H.T.K.L serta seluruh
Supervisor T.H.T.K.L di rumah sakit jejaring. Terima kasih atas segala
ilmu, keterampilan dan bimbingannya yang sangat berharga selama ini.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.
Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. Baskami Ginting dan Ibunda
Riahta Bukit, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak
terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang
yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam
kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta
diberikan teladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam
menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kehadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa, ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami,
serta kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami sejak kecil.

iii

Universitas Sumatera Utara


Kepada Bapak Mertua Alm. Ir. Loth Kaban, MM dan Ibu Mertua Ratna
Ginting Munthe yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu
sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Suami tercinta Aditya Pranata Kaban, S.H, M.H saya sampaikan terima
kasih dan penghargaan atas kasih sayang yang diberikan, pengorbanan
tiada tara, kesabaran, ketabahan serta dukungan selama penulis
menjalani masa pendidikan.
Terima kasih pada teman-teman saya, yang telah memberikan
semangat dalam menyelesaikan tesis ini, serta berjuang bersama dalam
mencapai cita-cita, dr. Sarah Masita, dr. Sadri Yulius, dr. Jerry Tobing, dr.
Agustinus Purba, dr. M. Budi Caesaria Lubis, dr. Ana Maria M, dr. Faathir
dan teman-teman sejawat Program Pendidikan Dokter Spesialis
Departemen Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu, baik
langsung maupun tidak langsung, dan para sejawat yang tidak dapat saya
sebut satu persatu, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang mampu
memberikan balasan terbaik.
Semoga tesis ini dapat memberi sumbangan yang berharga bagi
perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi orang
banyak. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.

Medan, Oktober 2018


Penulis

Ribka Ginting

iv

Universitas Sumatera Utara


Efek Pemberian Ekstrak Bawang Putih Dalam Menekan Pertumbuhan
Kuman Penyebab Otitis Media Supuratif Kronis Secara In Vitro

Abstrak
Pendahuluan: Otitis Media Supuratif Kronik merupakan penyakit yang sering
dijumpai dibagian THT. Organisme yang dapat ditemukan pada OMSK dapat
berupa kuman aerob, anerob maupun kombinasi keduanya ataupun jamur. Allicin
yang terkandung pada bawang putih dipercaya sebagai bahan aktif yang
berperan dalam efek antibakteri baik itu bakteri gram negatif maupun bakteri
gram positif.
Perumusan Masalah : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan kuman pada OMSK.
Bahan dan Metode : Penelitian ini bersifat eksperimental pre dan post
design.Sampel dikumpulkan secara non probabilityconsecutive sampling.
Hasil :Pada konsentrasi 90% dan 100%rerata zona hambat terluas tampak pada
Pseudomonas aeruginosaATCC(16,49 mm/19,12mm), Escherichia coli klinis
(16,36 mm/17,75 mm) dan Pseudomonas aeruginosa klinis (13,75 mm/16,25
mm) Rerata zona hambat untuk seluruh bakteri yang diperiksa untuk ulangan I
sampai ulangan IV paling luas ditunjukkan oleh ekstrak dengan konsentrasi
100%.
Kesimpulan:Terdapat perbedaan rerata zona hambat yang signifikan antara
ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 70% dengan 80% dan 100%, dan
antara konsentrasi 80% dan 100%.
Kata Kunci : OMSK, Ekstrak Bawang Putih, Sensitivitas.

Universitas Sumatera Utara


The Effect of Garlic (Allium sativum) Extract in Suppressing Microbial
Growth IsolatedFrom Chronic Suppurative Otitis Mediaby In Vitro

Abstract
Introduction: Chronic Suppurative Otitis Media is a common disease in ENT.
Organisms that can be found on OMSK can be either aerobic, anerobic, or a
combination of both or fungi. Allicin contained in garlic is believed to be an active
ingredient that plays a role in the antibacterial effects of both gram-negative
bacteria and gram-positive bacteria.
Objective: This study aims to determine the effect of garlic extract on the growth
of germs in CSOM.
Materials and Methods: This research is experimental pre and post design.
Samples were collected on a non probability-consecutive sampling basis.
Results: At 90% and 100% concentration, the widest drag zone visible in
Pseudomonas aeruginosaATCC (16,49 mm/19,12 mm), clinical Escherichia
coli(16,36 mm/17,75 mm) and clinical Pseudomonas aeruginosa (13,75
mm/16,25 mm)The mean widest inhibition zone for all bacteria examined for
repeat shown by garlic extracts with concentration 100%.
Conclusion: There is a significant difference of mean inhibition zone between
garlic extract at 70% concentration with 80% and 100%, and between 80% and
100% concentration.
Keywords:CSOM, Garlic Extract, Sensitivity

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... i


ABSTRAK ........................................................................................ v
ABSTRACT ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... x
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................ 5
1.3.1 Tujuan umum ......................................................... 5
1.3.2 Tujuan khusus ........................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 7
2.1 Otitis Media Supuratif Kronis ............................................ 7
2.1.1 Definisi .................................................................... 7
2.1.2 Etiologi OMSK ......................................................... 7
2.1.3 Kekerapan............................................................... 8
2.1.4 Faktor risiko ............................................................ 9
2.1.5 Patogenesis ............................................................ 12
2.1.6 Diagnosis ............................................................... 13
2.1.7 Gejala klinis............................................................. 13
2.1.8 Tanda klinis ............................................................. 14
2.1.9 Pemeriksaan penunjang.......................................... 14
2.1.10 Penatalaksanaan .................................................. 15
2.2 Bakteriologi OMSK ........................................................... 17
2.2.1 Bakteri klinis otitis media supuratif kronis................. 17
2.2.2 Bakteri American Type Culture Collection............... 19
2.3 Bawang putih ................................................................... 20
2.3.1 Sejarah Bawang putih ............................................. 20
2.3.2 Kandungan Bawang Putih ....................................... 22
2.3.3 Kandungan Kimia Bawang putih ............................. 22
2.3.4 Efek Ekstrak Bawang putih Terhadap Bakteri ........ 24
2.4 Anatomi Telinga Tengah .................................................. 26
2.5 Kerangka Teori ................................................................ 31
2.6 Kerangka Konsep ............................................................ 33
2.7 Hipotesis Penelitian ........................................................ 33
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................... 34
3.1 Jenis Penelitian ................................................................ 34
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................... 34
3.3 Populasi,Sampel dan Besar sampel ................................ 34
3.3.1 Populasi .................................................................. 34
3.3.2 Sampel penelitian.................................................... 34
3.3.3 Besar sampel .......................................................... 35

vii

Universitas Sumatera Utara


3.3.4 Teknik pengambilan sampel .................................... 35
3.4 Definisi Operasional ......................................................... 35
3.5 Alat dan Bahan Penelitian ................................................ 36
3.5.1 Alat penelitian ......................................................... 36
3.5.2 Bahan peneltian ...................................................... 37
3.6 Prosedur kerja pengambilan sampel ................................ 37
3.6.1 Pengambilan sekret telinga ..................................... 37
3.6.2 Pengambilan ekstrak bawang putih ......................... 38
3.6.3 Pemeriksaan sekret telinga ..................................... 39
3.6.3.1Pemeriksaan kultur dan identifikasi bakteri . 39
3.6.3.2 Tes Dilusi ................................................... 39
3.6.3.3 Tes Difusi .................................................. 43
3.7 Cara Pengumpulan Data ................................................. 44
3.8 Pengolahan dan Analisa Data ......................................... 44
3.9 Masalah etika .................................................................. 44
3.10 Kerangka Kerja .............................................................. 45
3.11 Jadwal Penelitian ............................................................ 46
BAB IV. HASIL PENELITIAN ............................................................. 47
4.1 Jenis Bakteri ................................................................... 47
4.2 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri Konsentrasi
70% ................................................................................. 47
4.3 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri Konsentrasi
80% ................................................................................ 48
4.4 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri Konsentrasi
90% ................................................................................. 49
4.5 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri Konsentrasi
100% .............................................................................. 50
4.6 Zona Hambat Berbagai Konsentrasi Berdasarkan
Ulangan I-IV Seluruh Bakteri ............................................ 52
4.7 Perbedaan Rerata Zona Hambat Dari Berbagai
Konsentrasi ...................................................................... 52
4.8 Perbedaan Rerata Zona Hambat Antar Berbagai
Konsentrasi ..................................................................... 53
BAB V. PEMBAHASAN .................................................................... 54
5.1 Jenis Bakteri Penyebab OMSK ....................................... 54
5.2 Rerata Zona Hambat Ekstrak Bawang Putih Terhadap
Kuman Penyebab OMSK dengan Berbagai Konsentrasi . 55
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 59
6.1 Kesimpulan ..................................................................... 59
6.2 Saran ............................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 61
LAMPIRAN ........................................................................................ 68

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTARTABEL

Tabel 3.1 Tabel pengamatan uji dilusi ekstrak bawang putih .......... 40
Tabel 3.2 Tabel jumlah bakteri pemberian ekstak bawang putih ...... 43
Tabel 3.11 Tabel jadwal penelitian..................................................... 46
Tabel 4.1 Tabel Jenis Bakteri ......................................................... 47
Tabel 4.2 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 70% .............................................................. 48
Tabel 4.3 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 80% .............................................................. 48
Tabel 4.4 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 90% .............................................................. 49
Tabel4.5 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 100% ............................................................ 50
Tabel 4.6 Tabel Zona Hambat Berbagai Konsentrasi Berdasarkan
UlanganI-IV untuk Seluruh Bakteri .................................. 52
Tabel 4.7 Tabel Perbedaan Rerata Zona Hambat Dari Berbagai
Konsentrasi Ekstrak ........................................................ 52
Tabel 4.8 Tabel Perbedaan Rerata Zona Hambat Antar Berbagai
Konsentrasi Ekstrak ........................................................ 53

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Membran Timpani ......................................................... 28


Gambar 2.2Kerangka Teori ................................................................ 31
Gambar 2.3Kerangka Konsep ............................................................ 33
Gambar 3.1 Uji dilusi ekstrak bawang putih ....................................... 40
Gambar 3.2 Kultur ekstrak bawang putih konsentrasi 10%,20%,30% . 41
Gambar 3.3 Kultur ekstrak bawang putih konsentrasi 40%,50%,60% . 41
Gambar 3.4 Kultur ekstrak bawang putih konsentrasi 70%,80%,90% . 42
Gambar 3.5 Kultur ekstrak bawang putih konsentrasi 100%, K+, K- ... 42
Gambar 4.1 Zona hambat berbagai jenis bakteri dan konsentrasi ..... 51

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan penyakit yang sering
dijumpai pada bagian penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok (Memon et
al, 2008). Tanpa pengobatan antiinfeksi yang efektif, banyak prosedur
medis standar akan gagal atau menjadi sangat berisiko. Infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme resisten dapat mempersulit
penyembuhan, peningkatan biaya pengobatan dan resiko kematian yang
meningkat (WHO, 2004).
Resistensi antibiotik menjadi ancaman yang semakin serius bagi
kesehatan manusia. Dari hasil penelitian 2001-2011 di Ethiopia
menunjukkan isolat bakteri dominan penyebab OMSK adalah Proteus spp,
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas spp dimanasebagian besar
bakteri yang terisolasi menunjukkan resistensi tinggi terhadap satu atau
dua lebih antibiotik yang diguankan untuk mengobatinya. Penelitian
retrospektif ini mengungkapkan tingkat resistensi antibiotik secara
keseluruhan dari isolat bakteri meningkat hampir dua kali lipat 34%
menjadi 66% selama dekade terakhir dan menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang utama. (Denboba et al.,2016).
Ketersediaan antibiotik yang mudah dan penggunaan secara luas
menyebabkan pola kerentanan mikroorganisme patogenik berubah, oleh
karena itu sangat penting mengetahui resistensi penyebab untuk
mengobati infeksi secara efektif dan sedapat mungkin pengetahuan ini
harus digunakandalam merumuskan pemilihan antibiotik. (Basavaraj &
Jyothi, 2015).
Menurut Menteri Kesehatan RI, 2015 juga diungkapkan resistensi
antibiotik yang disebabkan oleh bakteri menjadi masalah kesehatan yang
serius. Berkembangnya resistensi antibakteri terjadi karena tekanan

1
Universitas Sumatera Utara
2

seleksi yang berkaitan dengan penggunaan antibakteri dan penyebaran


bakteri resisten.
Fenomena resistensi ini membuat peneliti tertarik meneliti menemukan
antibiotik alternatif dari tanaman herbal.
Prevalensi OMSK di seluruh dunia menunjukkan, beban dunia akibat
penyakit ini berkisar antara 65-330 juta penderita, 60% (39-200 juta)
diantaranya mengalami gangguan pendengaran yang signifikan.
Diperkirakan 28 ribu mengalami kematian dan <2 juta mengalami
kecatatan, dimana 94% OMSK terdapat di negara berkembang
(WHO,2004). Prevalensi OMSK di indonesia adalah 2,1% -5,2% (Edward,
2013; Ghanie, 2013).
Penyakit ini umum dijumpai pada penderita dengan sosioekonomi
yang rendah serta dilingkungan kumuh. Otitis media supuratif kronik
(OMSK) merupakan radang kronik mukosa telinga tengah dan kavum
mastoiddengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnyacairan
dari liang telinga (otore) lebih dari dua bulan, baikterus menerus atau
hilang timbul (WHO,2004).
Namun, terapi untuk OMSK terkadang membutuhkan waktu yang
cukup lama dan harus berulang-ulang, karena sekret yang keluar
biasanya tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Kondisi tersebut
dapat disebabkan oleh beberapa hal,seperti adanya perforasi membran
timpani yang permanen sehingga telinga tengah dapat berhubungan
langsung dengan dunia luar. Selain itu juga sumber infeksi lain pada
organ yang berada di sekitar telinga tengah, seperti faring, nasofaring,
hidung, dan sinus paranasal (Soepardi & Iskandar, 2001).
Pada negara berkembang masalah kemiskinan, rendahnya
pengetahuan, kurangnya tenaga spesialis dan akses pelayanan
kesehatan yang terbatas memperburuk perjalanan penyakit dan
komplikasi OMSK (Orji, 2013). Keadaan seperti malnutrisi, tempat kumuh,
fasilitas kesehatan yang tidak memadai, merupakan faktor resiko dari

Universitas Sumatera Utara


3

OMSK (Adoga et al.,2010; Adhikira, 2009). Didapatkan 68% penderita


OMSK berasal dari keluarga miskin(Memon et al., 2008).
Saat ini penyakit OMSK menjadi kurang agresif dikarenakan
meningkatnya penggunaan antibiotik. Namun pada OMSK dengan
perforasi marginal dapat menimbulkan komplikasi serius terhadap
penderita. Erosi tulang merupakan komplikasi yang pasti terjadi pada
penyakit ini dan dapat pula melibatkan struktur intrakranial dan
ekstrakranial (Baig et al., 2011).
Pengetahuan tentang spesies dan tingkat resistensi kuman saat ini
penting untuk menentukan antibiotika yang tepat untuk OMSK. Pada studi
retrospektif dari 1102 pasien OMSK pada enam rumah sakit di korea dari
Januari 2011- Desember 2005 menunjukkan hasil spesies yang paling
sering ditemukan adalah Pseudomonasdiikuti selanjutnya oleh Methicillin-
Resistent Staphylococcus aureus (MRSA) (Yeo et al., 2007).
Organisme yang dapat ditemukan pada OMSK dapat berupa kuman
aerob, anerob maupun kombinasi keduanya ataupun jamur. Namun
banyak kasus OMSK yang dalam pemberian pengobatan tidak
menggunakan antibiotika yang tepat sehingga menyebabkan kegagalan
terapi, bahaya lain yang dapat muncul yaitu terjadinya resistensi terhadap
mikroorganisme, infeksi yang berkelanjutan dan akhirnya timbul
komplikasi yang menyebabkan pasien menderita dan membutuhkan biaya
pengobatan yang besar (Saraswati et al., 2013).
Bakteri yang terdapat pada otitis media kronik jelas berbeda dari yang
ditemukan pada otitis media akut atau otitis media efusi kronik. Pada
sebahagian kasus OMSK dapat ditemukan baik bakteri aerob dan
anaerob. Bakteri aerob yang paling banyak ditemukan adalah P.
Aeruginosa, Staphylococcus aureusdan basil Gram negatif seperti E.coli,
Proteus sp. dan Klebsiella sp. P. Aeruginosaberada pada daerah yang
lembab dari telinga tengah sedangkan S. aureus biasanya berada pada
daerah hidung. Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. adalah bakteri
anaerob yang seringan ditemukan pada OMSK (Chloe & Nason, 2009).

Universitas Sumatera Utara


4

Bawang putih dikenal dengan nama Allium sativum. Bawang


putihdianggap sebagai produk nasional dari banyak negara di Asia. Dalam
penelitian baru dilaporkan bahwa ekstrak bawang putih telah terbukti
efisen terhadap Streptococcus mutans(Abdulzahra & Mohammed, 2014).
Orang Indian kuno, China, Mesir, Yunani Romawi, dan suku yang lain
menggunakan garlic selama ribuan tahun sebagai makanan dan obat.
Salah satu penggunaan garlic yang paling terkenal adalah selama abad
pertengahan, ketika itu dianggap sangat efektif melawan wabah(Alhelo et
al., 2008).
Awal tahun 1958, Louis Pasteur secara formal mempelajari dan
mencatat sifat antibiotik bawang putih. Dr. Albert schweitzer berhasil
menggunakan ramuan tersebut sebagai terapi kolera, tipus, dan disentri di
Afrika pada tahun 1950an. Sebelum antibiotik banyak tersedia, bawang
putih digunakan sebagai terapi luka selama perang dunia(Alhelo et al.,
2008).
Menurut Ankri dan Mirelman pada tahun 1999 bawang putih
merupakan antibakterial agen yang kuat dan bertindak sebagai
penghambat bakteri gram postif dan gram negatif meliputi Escherichia,
Salmonella, Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiela, Proteus dan
Helicobacter pylori (Bakhtet al., 2011).
Allicin dan komponen sulfur lain yang terkandung pada bawang putih
dipercaya sebagai bahan aktif yang berperan dalam efek antibakteri
bawang putih yang cukup tinggi, baik itu bakteri gram negatif maupun
bakteri gram positif (Mikaili, 2013).
Allicinmerupakan senyawa yang bersifat tidak stabil dimana dalam
beberapa jam akan dimetabolisme menjadi senyawa sulfur lain seperti
vinyldithiines dan Ajoene yang juga memiliki daya antibakteri berspektrum
luas, namun dengan aktifitas lebih kecil (Dusica, 2011).

Universitas Sumatera Utara


5

Bawang putih juga mengandung komponen minyak atsiri yang juga


memiliki aktivitas antibakteri yang bekerja dengan mekanisme
menghambat pembentukan membran sel bakteri (Benkeblia, 2004).
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik melakukan
penelitian mengenai efek ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan
kuman otitis media supuratif kronis dimana penelitian ini dilakukan pada
bakteri klinis penyebab OMSK dan bakteri ATCC.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah


penelitian yaitu apakah terdapat efek pemberian ekstrak bawang putih
terhadap pertumbuhan kuman pada OMSK.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum


Mengetahui efek pemberian ekstrak bawang putih dalam menekan
pertumbuhan kuman otitis media supuratif kronis.

1.3.2. Tujuan khusus


1. Mengetahui distribusi jenis kuman penderita OMSK.
2. Mengetahui efek ekstrak bawang putih pada konsentrasi 70% untuk
menghambat pertumbuhan kuman penderita OMSK dengan menilai
zona hambat.
3. Mengetahui efek ekstrak bawang putih pada konsentrasi 80% untuk
menghambat pertumbuhan kuman penderita OMSK dengan menilai
zona hambat.
4. Menilai efek ekstrak bawang putih pada konsentrasi 90% untuk
menghambat pertumbuhan kuman penderita OMSK dengan menilai
zona hambat.

Universitas Sumatera Utara


6

5. Menilai efek ekstrak bawang putih pada konsentrasi 100% untuk


menghambat pertumbuhan kuman penderita OMSK dengan menilai
zona hambat.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini bermanfaat antara lain
1.4.1. Untuk memberikan informasi kuman penyebab OMSK.
1.4.2. Untuk menjadi pemantauan perkembangan pola kuman serta
menemukan efek antimikroba baru khususnya bawang putih.
1.4.3. Apabila terbukti antimikroba ekstrak bawang putih memberikan efek
terhadap pertumbuhan kuman maka dapat dijadikan pilihan terapi
terhadap pasien otitis media supuratif kronis.
1.4.4. Sebagai dasar penelitian berikutnya untuk menentukan dosis yang
sesuai serta aman sebagai pilihan terapi.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)


2.1.1. Definisi
Otitis Media merupakan suatu keadaan inflamasi pada mukosa telinga
tengah dan rongga mastoid, tanpa melihat pada etiologi atau
patogenesisnya. Ada tidaknya efusi telinga tengah dan lamanya efusi
akan membantu dalam mendefinisikan proses inflamasi di telinga tengah .
Efusi bisa serous, mukoid, atau purulen, jangka waktunya dibagi atas akut
(0-3 minggu), subakut (3-12 minggu) atau kronik (>12 minggu). OMSK
yaitu inflamasi kronis yang terjadi pada mukosa telinga tengah dan
mastoid dimana membran timpani tidak intak (perforasi) serta adanya
otore (Kenna & Latz, 2006; Verhoeff et al., 2006).
OMSK dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe benigna atau tipe tubotimpanal
karena biasanya didahului dengan gangguan fungsi tuba yang
menyebabkan kelainan di kavum timpani, jenis ini melibatkan
anteroinferior dari telinga tengah dan berhubungan dengan perforasi
sentral dan tipe maligna disebut juga tipe atikoantral karena melibatkan
daerah posterosuperior dari telinga tengah dan berhubungan dengan
perforasi marginal atau atik (Dhingra, 2010;Helmi, 2005).
Namun ada juga yang membagi OMSK atas OMSK tanpa
kolesteatoma dan dengan kolesteatoma (Chole & Nason, 2009).

2.1.2. Etiologi OMSK


Faktor risiko pada otitis media adalah disfungsi tuba eustachius
(misalnya rinosinusitis, hipertrofi adenoid, atau karsinoma nasofaring),
imunodefisiensi, gangguan fungsi silia, anomali midfasial kongenital dan
refluks gastroesofageal. Faktor risiko yang menonjol pada OMSK adalah
infeksi otitis media yang berulang dan orang tua dengan riwayat otitis

7
Universitas Sumatera Utara
8

media kronis dengan perawatan yang tidak baik (WHO, 2004; Chole &
Nason, 2009).

2.1.3. Kekerapan
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi
dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi,
menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang
dengan keluhan telinga berair sebanyak 60% dimana 39-200 juta
penderita menderita kurang pendengaran yang signifikan (WHO, 2004).
Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dimana
pasien OMSK ditemukan sebanyak 25% dari pasien-pasien yang berobat
ke poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Aboet, 2007).
Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan prevalensi
tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004). Secara
umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3.8%
dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang
berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan survei
kesehatan indera penglihatan dan pendengaran yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993-1996,
prevalensi otitis media supuratif kronis sebesar 3.1%. Pada tahun 2002
prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia berkisar 2.1 – 5.2%. Di
RSUP M. Jamil menjumpai kejadian otitis media supuratif kronis Padang
tahun 2009-2010 sejumlah 7.67%. (Edward & Mulyani, 2011). Sedangkan
pada Januari 2010-Desember 2012 di RSUP Dr. M Jamil Padang
didapatkan kasus OMSK tipe aman 704 dan bahaya 82. (Edward &
Novianti, 2015).
Data poliklinik THT RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari
seluruh kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008
diperkirakan sebesar 28 dan 29% (Aboet, 2007). Didapatkan 130 kasus
otitis media supuratif kronis dan 65 diantaranya adalah kasus dengan

Universitas Sumatera Utara


9

kolesteatoma, dan 35 kasus dengan komplikasi di RSUP H. Adam Malik


Medan pada tahun 2009 (Rambe, 2009). Diperoleh data bahwa penderita
OMSK yang berobat ke RSUP. Haji Adam Malik dengan OMSK benigna
sebanyak 23telinga (76,66%) sedangkan OMSK maligna sebanyak
7telinga (23,33%) (Novita, 2015). Penelitian Prevalensi OMSK di
Sumatera Utara diperoleh dari 1726 subyek penelitian ditemukan 61
penderita OMSK yaitu 3,5% dari jumlah subyek penelitian (Santoso,
2015).

2.1.4. Faktor Risiko


Beberapa faktor penyebab dan yang mempermudah terjadinya OMSK,
antara lain:
a. Lingkungan
Sebagaimana telah disebutkan, prevalensi OMSK lebih tinggi pada
kelompok sosial ekonomi rendah dimana penyebabnya dapat
multifaktorial. Dalam sebuah studi kohort pada 12.000 anak-anak,
dengan telinga berair (meskipun tidak selalu OMSK) dipengaruhi oleh
kesehatan umum, ibu perokok dan pelayanan kesehatan. Penurunan
prevalensi otitis media kronik pada anak Maori di Selandia Baru sejak
1978-1987 disebabkan karena perbaikan pada perawatan kesehatan
dan kondisi perumahan (Kelly, 2008).
Kumar menyebutkan kejadian penyakit OMSK lebih tinggi pada negara
berkembang, terutama masyarakat sosial ekonomi menengah kebawah
(dimana perbandingan angka kejadian antara perkotaan dan pedesaan
adalah 1:2) disebabkan gizi buruk, kurangnya kebersihan dan
kurangnya pengetahuan kesehatan (Kumar, 2011).
b. Sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi mempengaruhi kejadian OMSK dimana
kelompok sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi.
Beberapa faktor seperti kepadatan penduduk, rendahnya pengetahuan
mengenai kesehatan dan kesehatan perorangan, serta sulitnya akses

Universitas Sumatera Utara


10

untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Dhingra, 2010; Browning,


2008). Akinpelu mendapatkan faktor yang berhubungan dengan
malnutrisi, tempat tinggal kumuh dan imunisasi yang tidak lengkap
sebanyak 41,3% yang juga mempengaruhi kejadian OMSK (Akinpelu et
al., 2008).
c. Gangguan fungsi tuba
Kelainan fungsi tuba eustachius lebih banyak dijumpai padapenderita
OMSK daripada orang yang normal. Hal ini tidak diketahui secara pasti
apakah gangguan fungsi tuba eustachiusmerupakan faktor terjadinya
OMSK atau apakah merupakan hasil dari OMSK (Browning, 2008).
Monique menyebutkan berkurangnya fungsi silia telinga tengah dan
mukosa tuba eustachiusmenyebabkan terganggunya pembersihan
sekresi dari telinga tengah karenanya otitis media akut atau otitis media
efusi dapat menjadi OMSK (Verhoeff et al., 2006).
d. Otitis media sebelumnya
Anak-anak yang mengalami otitis media akut dan otitis media efusi
dalam waktu yang panjang dapat menyebabkan perubahan membran
timpani berupa berkurangnya elastisitas membran timpani
menyebabkan perforasi yang menetap atau retraksi (Browning, 2008).
e. Infeksi saluran pernafasan atas
Banyak pasien OMSK dilaporkan bersamaan dengan infeksi saluran
nafas atas, Walaupun hal ini belum terbukti secara ilmiah. Infeksi
saluran nafas atas menyebabkan terganggunya fungsi dan mukosa
tuba eustachiusdan dapat berlanjut kepada telinga tengah (Kelly, 2008).
f. Infeksi
Bakteri yang dominan dan sensitifitas antibiotika yang berubah dari
waktu ke waktu, sehingga diperlukan penelitian yang terus menerus
agar diperoleh hasil pengobatan antibakteri yang sesuai. Pengetahuan
tentang spesies dan tingkat resistensi kuman saat ini adalah penting
untuk menentukan antibiotika yang tepat untuk pasien dengan OMSK
(Yeo et al., 2007).

Universitas Sumatera Utara


11

g. Genetik
Insiden OMSK bervariasi dalam populasi yang berbeda,di negara maju,
tertinggi di Eskimo, penduduk asli Amerika, Maori Selandia Baru dan
Aborigin Australia.Tampaknya bahwa prevalensi OMSK pada populasi
tersebut cenderung menurun. Dalam salah satu penelitian terhadap
anak-anak Maori di Selandia Baru, prevalensi OMSK menurun secara
signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p
<0,02).Sulit untuk menjawab pertanyaan apakah faktor genetik
mempengaruhi OMSK, karena adanya variabel pengganggu seperti
kelompok sosial ekonomi rendah dari beberapa kelompok genetik yang
insidennya tinggi mengalami OMSK. Pada suku asli Amerika yang
didapati insiden yang tinggi mengalami OMSK ternyata angka kejadian
ini bervariasi di antara suku-suku asli Amerika berdasarkan genetik
(Kelly, 2008).
Menurut Verhoeff faktor genetik untuk OMSK sampai saat ini masih
menjadi perdebatan. Dimana penelitian terhadap kembar yang
mengalami otitis media menunjukkan peningkatan tingkat kecocokan
pada kembar monozygotic daripada kembar dizygotic (Verhoeff et al.,
2006).
h. Alergi
Penderita alergi memiliki risiko yang tinggi yang menimbulkan
gangguan pada tuba eustachius dan sumbatan hidung yang dapat
menimbulkan terbentuknya cairan pada telinga tengah (Chole & Nason,
2009). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 penderita dan
mendapatkan reaksi alergi pada penderita OMSK benigna lebih besar
dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita yang tidak OMSK,
yaitu sebesar 74,1% pada kelompok penderita OMSK tipe benigna dan
40,7% pada kelompok yang tidak OMSK.

Universitas Sumatera Utara


12

2.1.5. Patogenesis

OMSK ditandai dengan keadaan patologis yaitu inflamasi yang yang


terjadi pada telinga tengah dan mastoid. Disfungsi tuba eustachius
memegang peranan penting pada otitis media akut dan otitis media kronis.
Kontraksi muskulus veli palatini menyebabkan tuba eustachius membuka
selama proses menelan dan pada kondisi fisiologik tertentu, mengalirkan
sekret dari telinga tengah ke nasofaring, mencegah sekret dari nasofaring
masuk ke telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan antara telinga
tengah dengan lingkungan luar (Chole & Nason, 2009).
Ada dua mekanisme perforasi kronis yang dapat menyebabkan
infeksi telinga tengah yang berlanjut atau berulang: (1) Bakteri dapat
mengkontaminasi telinga tengah secara langsung dari telinga luar karena
efek proteksi barier fisikal membran timpani telah hilang. (2) Membran
timpani yang utuh secara normal menghasilkan bantalan gas, yang
menolong untuk mencegah refluks sekresi nasofaring ke dalam telinga
tengah melalui tuba Eustachius. Hilangnya mekanisme protektif ini
menyebabkan terpaparnya telinga tengah terhadap bakteri patogen dari
nasofaring(Yates & Anari, 2008).
Bila bakteri memasuki telinga tengah melalui nasofaring atau defek
membran timpani, terjadi replikasi bakteri di dalam efusi serosa. Hal ini
diikuti oleh pelepasan mediator inflamasi dan imun ke dalam ruang telinga
tengah. Hiperemia dan leukosit polimorfonuklear yang mendominasi fase
inflamasi akut memberi jalan pada fase kronis, ditandai dengan
mononuklear selular mediator (makrofag, sel plasma, limfosit) edema
persisten dan jaringan granulasi. Selanjutnya dapat terjadi metaplasia
epitel telinga tengah, dimana terjadi perubahan epitel kuboidal menjadi
epitel kolumnar pseudostratified yang mampu meningkatkan sekret
mukoid. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrotik, kadang-kadang
membentuk adhesi terhadap struktur penting di telinga tengah. Hal ini
akan mengganggu aerasi antrum dan mastoid dengan mengurangi ruang
antara osikel dan mukosa yang memisahkan telinga tengah dari antrum.

Universitas Sumatera Utara


13

Obstruksi kronis menyebabkan perubahan ireversibel di dalam tulang dan


mukosa (Chole & Nason, 2009).

2.1.6. Diagnosis
Diagnosis OMSK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikroskop,
pemeriksaan audiometri, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
bakteriologi. Melalui anamnesa kita dapat mengetahui tentang perjalanan
penyakit, faktor risiko, gejala penyakit, serta hal-hal lainnya yang
mengarah ke diagnosis OMSK (Chole & Nason, 2009; Dhingra, 2010;
Kenna, 2006).
Cairan telinga dibersihkan dengan alat pembersih cairan atau alat
penghisap cairan, selanjutnya digunakan otoskop, mikroskop atau
endoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran
timpani dan kavum timpani (Djaafar, 2008).

2.1.7. Gejala Klinis


1. Telinga berair
Cairan telinga dapat sedikit, berupa mukous atau mukopurulen
bersifat konstan atau intermiten. Cairan sering muncul saat adanya
infeksi saluran pernafasan atas dan saat masuknya air kedalam
telinga (Dhingra, 2010).
2. Gangguan pendengaran
Pendengaran bisa normal ketika rantai tulang pendengaran masih
utuh. Gangguan pendengaran pada OMSK sebagian besar adalah
konduktif namun dapat pula bersifat campuran (Chole & Nason,
2009).
3. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi karena granulasi atau polip yang
tersentuh saat membersihkan telinga (Dhingra, 2010).

Universitas Sumatera Utara


14

2.1.8. Tanda Klinis


1. Perforasi
Pada tipe benigna/tubotimpani, perforasi biasanya sentral, bisa di
anterior, posterior atau inferior dari malleus. Pada tipe maligna/
atikoantral, perforasi di daerah atik atau posterosuperior. Perforasi
atik yang kecil ada kalanya tidak terlihat disebabkan adanya sekret
telinga (Dhingra, 2010).
2. Retraction pocket.
Invaginasi membran timpani terlihat di daerah atik atau
posterosuperior dari pars tensa. Pada tahap awal, kantong tersebut
dangkal dan bisa membersihkan diri, namun ketika kantong
tersebut dalam, terjadi akumulasi massa keratin dan bisa terinfeksi
(Dhingra, 2010).
3. Kolesteatoma
Bercak putih mutiara dari kolesteatoma dapat dihisap dari kantong
retraksi. Pembersihan telinga dan pemeriksaan di bawah
mikroskop, merupakan bagian penting dari pemeriksaan klinis dan
penilaian dari setiap jenis OMSK (Dhingra, 2010).

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan mikroskop
Dapat dibedakan jenis OMSK berdasarkan perforasi pada
membran timpani, yang terdiri dari perforasi sentral, atik dan
marginal. Pada tipe benigna/tubotimpani, perforasi selalu sentral
bisa ditemukan pada anterior, posterior atau inferior dari
manubrium malleus. Ukuran perforasi dapat kecil, sedang atau
besar dimana annulus masih ada. Bila perforasinya besar mukosa
telinga tengah dapat terlihat, ketika terjadi inflamasi terlihat merah
serta edema. Pada tipe maligna/atikoantral perforasi dapat terletak
di atik maupun di marginal (Dhingra, 2010).

Universitas Sumatera Utara


15

2. Pemeriksaan audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati
jenis tuli konduktif, tetapi dapat pula dijumpai adanya jenis tuli
sensorineural, Penurunan tingkat pendengaran tergantung kondisi
membran timpani seperti letak perforasi, tulang-tulang
pendengaran dan mukosa telinga tengah (Dhingra, 2010, Chole &
Nason; 2009).Tuli konduktif dapat diperbaiki dengan melakukan
tindakan operasi, sedangkan tuli sensorineural yang permanen
hanya dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar
(Elemraid et al., 2010).
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan informasi tambahan
untuk melengkapi pemeriksaan klinis. CT-scan dan MRI dari tulang
temporal dapat menggambarkan luasnya penyakit dan dapat
mengidentifikasi kolesteatoma pada pasien yang asimtomatik.
Meskipun CT-Scan dianggap standar emas pencitraan
kolesteatoma namun CT-Scan mempunyai kekurangan specificity
dalam membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau
edema terutama ketika erosi tulang tidak ada (Chole & Nason,
2009).
4. Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga
Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga dapat membantu
dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan OMSK (Dhingra,
2010).
Sekret telinga penting untuk menentukan bakteri penyebab OMSK
sehingga kita dapat menentukan penggunaan antibiotika yang tepat
dalam memberikan pengobatan otitis media supuratif kronis (Iqbal
et al., 2011; Kenna & Latz, 2006).

Universitas Sumatera Utara


16

2.1.10. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala
dan meminimalkan risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-
satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan
inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright &
Valentine, 2008). Pasien dengan otore dari perforasi sentral dapat diobati
dulu dengan medikamentosa untuk mengontrol infeksi dan menghentikan
otore sebagai tujuan jangka pendek sedangkan tujuan jangka panjangnya
adalah usaha menutup perforasi membran timpani dan memperbaiki
pendengaran secara operatif (Helmi, 2005).
1. Aural toilet dapat digunakan untuk membersihkan sekret dan debris
dari telinga, dapat menggunakan suction dibawah mikroskop, dan
telinga harus dikeringkan kembali setelah diirigasi (Dhingra, 2010).
2. Tetes telinga dapat diberikan yang mengandung neomycin,
polymyxin, cloromycetin atau gentamycin, dapat juga
dikombinasikan dengan steroid yang mana memiliki efek anti
inflamasi lokal, diberikan tiga sampai empat kali sehari. Antibiotika
sistemik juga dapat digunakan untuk OMSK yang mengalami
ekserbasi akut (Dhingra, 2010).
3. Operasi rekonstruksi dapat dilakukan segera setelah telinga kering,
miringoplasti dengan atau tanpa rekonstruksi tulang-tulang
pendengaran yang mana dapat memperbaiki pendengaran.
Penutupan dari perforasi dapat mencegah terjadinya infeksi yang
berasal dari telinga luar (Dhingra, 2010).
Secara umum, infeksi yang mengenai daerah atik dan antrum
biasanya terlalu dalam di telinga untuk dapat dicapai oleh antibiotika.
Kolesteatoma berpotensi mendestruksi tulang dan memungkinkan
penyebaran infeksi sehingga diperlukan tindakan operasi OMSK dengan
tanda komplikasi intratemporal atau intrakranial harus direncanakan
seceptnya mastoidektomi (Helmi, 2005).

Universitas Sumatera Utara


17

Terdapat berbagai macam teknik operasi untuk menangani


kolesteatoma, yang secara umum dapat dibagi atas open cavity (canal
wall down) dan closed cavity (intact canal wall)mastoidectomy (Browning,
2008).
1. Canal wall down procedures
Prosedur ini membersihkan dan mengangkat semua kolesteatoma,
termasuk dinding posterior liang telinga, sehingga meninggalkan
kavum mastoid berhubungan langsung dengan liang telinga luar
(Helmi, 2005; Dhingra, 2010; Merchant, Rosowski & Shelton,
2009).
2. Intact Canal Wall Procedures
Keuntungan intact canal wall mastoidectomy adalah anatomi
normal dinding posterior liang telinga dapat dipertahankan tanpa
perlu membuang dan merekonstruksi skutum.
Prosedur ini sering dilakukan pada kasus primary acquired
cholesteatoma bila kolesteatoma terdapat di atik dan antrum.
Dilakukan complete cortical mastoidectomy dan antrum mastoid
dapat dimasuki. Diseksi matriks kolesteatoma harus dilakukan
dengan hati-hati. Rekurensi dapat terjadi bila fragmen kecil dari
epitel berkeratinisasi tertinggal. Sering diperlukan “second look
operation” setelah 6-12 bulan kemudian disebabkan rekurensi
kolesteatoma (Browning, 2008; Chole & Nason, 2009).

2.2. Bakteriologi dari OMSK


2.2.1 Bakteri klinis otitis media supuratif kronis
Bakteri yang terdapat pada otitis media kronik dan kolesteatoma jelas
berbeda dari yang ditemukan pada otitis media akut atau otitis media efusi
kronik. Pada sebahagian kasus OMSK dapat ditemukan baik bakteri
aerobik dan anaerob. Bakteri aerob yang paling banyak ditemukan adalah
P. aeruginosa, S. aureus dan basil Gram negatif seperti E. coli , Proteus
sp., dan Klebsiella sp. P. aeruginosa berada pada daerah yang lembab

Universitas Sumatera Utara


18

dari telinga tengah, sedangkan S. aureus biasanya berada pada daerah


hidung. Bacteroides sp. dan Fusobacterium sp. adalah bakteri anaerob
yang sering ditemukan pada OMSK (Chole & Nason, 2009).
Bakteri penyebab OMSK dapat dibedakan dari OMA, bakteri yang
ditemukan di telinga tengah termasuk Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae dan Micrococcus
catarrhalis. Ini adalah patogen pernafasan yang mungkin telah diisolasi
dari nasofaring ke telinga tengah melalui tuba eustachius selama
serangan infeksi saluran pernapasan bagian atas. Pada OMSK bakteri
aerob yang ditemukan (mis. Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli,
S. aureus, Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, spesies Klebsiella)
atau anaerob (misalnya Bacteroides, Peptostreptococcus,
Proprionibacterium). Diantara ini bakteri Pseudomonas aeruginosa
dianggap sebagai penyebab penghancuran telinga tengah dan struktur
mastoid secara progresif melalui racun danenzim (WHO, 2004).
Total dari 230 pasien dimana telinga kanan yang terlibat 114, telinga
kiri 102 dan kedua telinga sebanyak 7 mendapatkan kuman yang
terbanyak adalah Staphylococcus aureus 74 (32,2%), Pseudomonas
aeruginosa 62 (26,9%), Klebsiella sp 24 (10,4%) dan Streptococcus
pneumoniae 14 (6,1%). Karena variasi dari iklim, masyarakat, populasi
pasien dan penggunaan antibiotika yang tidak sesuai menyebabkan
perubahan pola kuman pada OMSK. Maka sangatlah penting dan
membantu untuk mengidentifikasi mikroorganisme untuk pemberian
antibiotika yang tepat (Sharestha et al., 2011).
Penelitian lain di Semarang dari 190 kasus terdiri terdiri OMSK tipe
benigna 89 kasus, OMSK tipe maligna (kolesteatoma) 91 kasus, rekuren 5
kasus, OMSK dupleks 10 kasus dimana bakteri penyebab OMSK Maligna
Pseudomonas aeruginosa 60 (66%), Proteus mirabilis 20 (22%)
Streptococcus B hemolyticus 5 (5,5%) Diplococcus3 (3,3%)
Staphylococcus aureus (3,3%) (Aguslia, 2016).

Universitas Sumatera Utara


19

Kuman gram negatif dan gram positif aerob dan anaerob berperan
pada OMSK dengan insiden yang berbeda-beda. Pseudomonas
aeruginosamerupakan kuman tersering ditemukan pada biakan sekret
OMSK tanpa kolesteatoma (Helmi, 2005).
Infeksi yang penting secara medis diakibatkan bakteri anaerob sering
terjadi. Biasanya infeksinya bersifat polimikroba dimana bakteri anaerob
ditemukan pada infeksi campuran dengan bakteri anaerob lainnya,
fakultatif anaerob, maupun dengan bakteri aerob. Bakteri anaerob
ditemukan di semua bagian tubuh manusia seperti di kulit, dipermukaan
mukosa dan di mulut serta saluran gastrointestinal dengan konsentrasi
tinggi sebagai bagian dari flora normal (Jawetz et al., 2013)
Bakteri anaerob tidak akan tumbuh bila ada oksigen dan dapat
dibunuh dengan oksigen atau radikal oksigen. pH dan potensial oksidasi –
reduksi (Eh) juga penting dalam membuat kondisi yang membantu
pertumbuhan bakteri anaerob. Anaerob tumbuh pada Eh rendah atau
negatif (Jawetz et al., 2013).
Sebagian besar infeksi bakteri pada manusia disebabkan oleh
anaerob. Ciri khas yang menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob
seperti : (1) Infeksi sering berdekatan dengan permukaan mukosa. (2)
Infeksi cendrung melibatkan campuran organisme. (3) Infeksi cendrung
membentuk infeksi ruang tertutup, baik sebagai abses, sekret. (4) Pus dari
infeksi anaerob sering berbau busuk (akibat produk asam lemak rantai
pendek dari metabolisme anaerob). (5) Infeksi anaerob dipermudah
dengan penurunan suplai darah, jaringan nekrotik, dan potensial oksidasi-
reduksi rendah. (6) Menggunakan metode pengumpulan khusus, medium
transport(Jawetz et al., 2007).
Bakteri anaerob sering ditemukan pada infeksi saluran nafas atas
kronis serta infeksi pada kepala dan leher yang dapat menyebabkan
penyakit serius dan mengancam jiwa (Jawetz et al.,2007; Elisabeth,
2010).

Universitas Sumatera Utara


20

2.2.2 Bakteri American Type Culture Collection(ATCC)


ATCC atau American Type Culture Collection adalah organisasi yang
mengumpulkan, menyimpan, dan mendistribusikan mikroorganisme
referensi standar, jalur sel, dan bahan lain untuk penelitian dan
pengembangan. Didirikan pada tahun 1925 sebagai pusat untuk
menyimpan dan mendistribusikan spesimen mikrobiologi, ATCC telah
berkembang untuk menyebar di lebih dari 150 negara. (ATCC, 2016)
Kultur dari Koleksi Bakteriologi ATCC berguna dalam berbagai
penelitian dan aplikasi industri, termasuk bahan penelitian resisten/sensitif
methicillin, quality control organisme untuk sistem identifikasi komersial,
sebagai pilihan extremophile strain dari berbagai sumber lingkungan, dan
genomik DNA dari strain mikroba yang cocok untuk amplifikasi oleh PCR.
(ATCC, 2016).
Mugabe et al. 2005 di Canada melakukan penelitian untuk menilai
resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap antibiotik dan menilai
keefektifan bakterisida aminoglikosida terhadap resistensi klinis strain
Pseudomonas aeruginosa. Dimana bakteri laboratorium Staphylococcus
aureus (ATCC 29213) dan Pseudomonas aeruginosa (ATCC 27853 dan
ATCC 10145) sebagai organisme uji dan strain referensi ukuran
pengendalian kualitas.

2.3. Bawang putih


2.3.1 Sejarah Bawang putih
Bawang putih adalah nama umum dari genus Allium sativum. Spesies
lain yang terkait erat termasuk shallot, bawang merah dan lainnya. Allium
sativum bisa dianggap sebagai produk nasional dari banyak negara
terpusat di Asia. Selain itu, bawang putih telah digunakan untuk jangka
waktu yang lebih lama di daerah Mediterania, dan merupakan bumbu di
lebih dari satu benua seperti Eropa Afrika dan Asia. Bawang putih telah
diidentifikasi dengan baik untuk orang Mesir kuno, dan juga dimanfaatkan
untuk memasak dengan tujuan pengobatan. Allium sativummerupakan

Universitas Sumatera Utara


21

famili Alliaceae. Tanaman Allium sativum dapat dikembangkan dalam


jarak dekat satu sama lain, memberikan area yang tepat untuk
meningkatkan pematangan umbi, dan hanya berkembang dalam
kedalaman akar yang sesuai. Ada beberapa karya yang telah dilakukan
pada hewan laboratorium dan manusia dimana terbukti menguntungkan
bagi kardiovaskular (bawang putih). Bila kedua jahe dan bawang putih
digunakan sebagai suplemen alami, ini dianggap sebagai pilihan yang
lebih sehat untuk banyak penyakit (contohnyapenyakit Alzheimer)
(Abdulzahra & Mohammed, 2014).
Menarik untuk mengamati bagaimana perbedaan budaya yang tidak
pernah bersentuhan satu sama lain. Kesimpulan yang sama tentang peran
bawang putih dalam kesehatan dan penyakit. Beberapa referensi awal
untuk tanaman obat dan kuliner ini ditemukan di clay tablet Sumeria yang
berasal dari tahun 2600-2100 SM (Harriset al., 2001).
Bawang putih merupakan obat penting bagi orang Mesir kuno yang
terdaftar dalam teks medis Codex Ebers (sekitar tahun 1550 SM) terutama
untuk kelas pekerja yang terlibat dalam pekerjaan berat (Lawson et al.,
1998; Moyers 1996). Menurut Lawson et al., 1998 terdapat bukti yang
menyatakan bahwa selama Olimpiade paling awal di Yunani, bawang
putih diberikan ke atlet untuk meningkat stamina. (Daka, 2011).
Bawang putih sudah pernah digunakan sejak saat zaman kuno di
India dan China untuk efek pada jantung dan sirkulasi, penyakit
kardiovaskular (Kris-Etherton, 2002; Yeh& Liu, 2001; Gardner et al.,2003),
penggunaan bawang putih secara teratur dapat membantu mencegah
kanker, untuk mengobati malaria, dan untuk meningkatkan kekebalan
tubuh. Bawang putih juga diusulkan untuk mengobati asma, kandidiasis,
pilek, diabetes, dan efek antibakteri terhadap patogen bawaan
makananseperti Salmonella, Shigella dan Staphylococcus aureus. (Daka,
2011).
Awal tahun 1958, Louis Pasteur secara formal mempelajari dan
mencatat sifat antibiotik bawang putih. Dr. Albert schweitzer berhasil

Universitas Sumatera Utara


22

menggunakan ramuan tersebut sebagai terapi kolera, tipus, dan disentri di


Afrika pada tahun 1950an. Sebelum antibiotik banyak tersedia, bawang
putih digunakan sebagai terapi luka selama perang dunia. (Alhelo et al.,
2008).
Selama beberapa dekade. Ini terutama membantu dalam mencegah
tumor, gangguan kardiovaskular, kerusakan hati, penuaan dan juga
menurunkan tekanan darah, gula darah dan kolesterol dalam darah. Pada
penelitian in vivo bawang putih didokumentasikan memiliki aktivitas
antioksidan. Bawang putih memiliki kekuatan membunuh dan
menghambat pertumbuhan patogen dan mikroorganisme seperti bakteri
dan jamur sehingga dikatakan memiliki aktivitas antimikroba (Praba &
Kumaresan, 2014).

2.3.2 Kandungan Bawang Putih


Secara klinis, bawang putih telah dievaluasi manfaatnya dalam
berbagai hal, termasuk sebagai pengobatan untuk hipertensi,
hiperkolesterolemia, diabetes, rheumatoid arthrtis, demam atau sebagai
obat pencegahan artherosclerosis, dan juga sebagai penghambat
tumbuhnya tumor. Banyak juga terdapat publikasi yang menunjukkan
bahwa bawang putih memiliki potensi farmakologis sebagai agen
antibakteri, antihipertensi dan antitrombotik (Majewski, 2014).
Bawang putih setidaknya memiliki 33 komponen sulfur, beberapa
enzim, 17 asam amino dan banyak mineral, contohnya selenium. Bawang
putih memiliki komponen sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan
spesies Allium lainnya. Komponen sulfur inilah yang memberikan bau
khas dan berbagai efek obat dari bawang putih (Londhe, 2011).

2.3.3 Kandungan kimia bawang putih


Bawang putih memiliki bunga hemaprodit dengan batang yang
panjang dan tegak yang dapat mencapai tinggi dua hingga tiga kaki (0.6-
0.91 m). Bawang putih memiliki tiga cara reproduksi; umbi lapis yang

Universitas Sumatera Utara


23

menjadi akar bunga (siung), umbi kecil yang secara botani disebut bulbil
yang berasal dari bunga, dan dari biji. Bawang putih di alam liar diduga
melakukan reproduksi seksual dan aseksual sekaligus tetapi pada
pertanian hampir dilakukan secara aseksualdengan cara menanam
langsung umbi bawang putih dalam tanah karena lebih mudah (Meredith &
Drucker, 2012).
Sebagai tanaman herbal, bawang putih memiliki banyak potensi klinis
dari studi eksperimental (Kemper,2005). Banyak bukti epidemiologi yang
mendemonstrasikan tentang efek terapetik dan preventif dari bawang
putih. Efek-efek ini memiliki implikasi dalam mengurangi resiko penyakit
kardiovaskuler, mengurangi resiko kanker, memiliki efek hepatoprotektor,
antioksidan dan antimikroba (Bayanet al., 2014). Bawang putih setidaknya
mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino, beberapa enzim dan
mineral. Senyawa sulfur inilah yang membuat bawang putih memiliki bau
tajam yang khas dan membuat bawang putih memiliki efek klinis (Kemper,
2005). Senyawa sulfur primer dalam siung bawang putih utuh adalah γ-
glutamyl-S-alk(en)yl-L-cysteines dan S-alk-(en)yl-L-cysteine sulfoxides
atau yang disebut sebagai alliin (Amagase et al., 2001). Senyawa
senyawa paling aktif dari bawang putih, allicin (allyl 2-
propenethiosulphinate) dan hasil turunannya (dialil thiosulfinat dan dialil
disulfida) tidak akan ada jika bawang putih dihancurkan atau dipotong;
kerusakan pada sel bawang putih akan mengaktifkan enzim allinase yang
merubah alliin menjadi allicin (Bayan et al., 2014; Fujisawa et al., 2009;
Kemper, 2005).
Allicin dan derivatnya adalah senyawa sulfur yang teroksigenasi yang
terbentuk pada saat sel bawang putih mengalami kerusakan, adalah
senyawa yang tidak stabil. Allicin hanya memiliki paruh waktu satu hari
dalamtemperatur 370C (Fujisawa et al., 2008). Tetapi, alkohol 20% dapat
menstabilkan molekul allicin (Cutler & Wilson, 2004; Fujisawa et al., 2008).
Aktivitas antibakteri bawang putih sebagian besar karena allicin yang
muncul ketika sel bawang putih rusak. Allicin dan derivatnya mempunyai

Universitas Sumatera Utara


24

efek menghambat secara total sintesis RNA dan menghambat secara


parsial pada sintesis DNA dan protein. Allicin bekerja dengan cara
memblok enzim bakteri yang memiliki gugus thiol yang akhirnya
menghambat pertumbuhan bakteri (Boboye & Alli, 2008).
Srivastava dan Lawson dalam Singh &Singh (2008) di India
menyebutkan bawang putih mengandung kurang lebih 100 senyawa
bersulfur yang secara mendasar memiliki potensi farmakologis. Menurut
Kuettner et al. (2002) di Jerman, bawang putih utuh mengandung enzim
alliinase (S-alkil=L sistein liase) dan substrat alliin (S-alliil-L-sistein
sulfoksida) pada kompartemen yang terpisah. Ross et al. (2001)
menyatakan pula bahwa enzim allinase terdapat di sel bundle sheath
sedangkan alliin terdapat di sel mesofil.
Alliin merupakan senyawa bersulfur yang tidak berbau, stabil dan
belum memiliki aktivitas biologis. Alliin bervariasi antara 0.2% sampai
2.0% dari berat total bawang putih,sedangkan enzim allinase merupakan
enzim homodimerik yang terdiri atas 2 x 448 asam amino dengan berat
molekul total 103.000. Kandungan enzim alliinase dalam bawang putih
kurang lebih 10% dari kandungan protein totalnya atau sekitar 10 mg/gram
berat total bawang putih (Singh & Singh, 2008).

2.3.4Efek Ekstrak Bawang Putih terhadap Bakteri


Allicin dan komponen sulfur lain yang terkandung di dalam bawang
putih dipercaya sebagai bahan aktif yang berperan dalam efek antibakteri
bawang putih. Zat aktif inilah yang dilaporkan memiliki aktivitas antibakteri
dengan spektrum yang luas, hal ini telah dievaluasi di dalam banyak
penelitian bahwa bawang putih memiliki aktivitas antibakteri yang cukup
tinggi dalam melawan berbagai macam bakteri, baik itu bakteri gram
negatif maupun bakteri gram positif. Beberapa bakteri yang telah terbukti
memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap aktivitas antibakteri bawang
putih ialah Staphylococcus, Vibrio, Mycobacteria dan spesies Proteus
(Mikaili, 2013).

Universitas Sumatera Utara


25

Allicin (diallyl thiosulfinate)merupakan salah satu komponen biologis yang


paling aktif yang terkandung dalam bawang putih. Komponen ini
bersamaan dengan komponen sulfur lain yang terkandung dalam bawang
putih berperan pula memberikan bau yang khas pada bawang putih
(Londhe, 2011).Allicin tidak terdapat pada bawang putih yang belum
dipotong atau dihancurkan (Majewski, 2014).
Adanya kerusakan pada umbi batang yang ditimbulkan pada saat
dipotong atau dihancurkan bawang putih akan mengaktifkan enzim
Allinase yang akan memetabolisme allin menjadi allicin. Allicin tidak hanya
memiliki efek antibakteri tapi juga efek antiparasit dan antivirus (Londhe,
2011).
Cara kerja dari Allicin dalam menghambat pertumbuhan bakteri ialah
dengan cara menghambat secara total sintesis RNA bakteri. Walaupun
sintesis DNA dan protein juga mengalami penghambatan sebagian oleh
Allicin namun RNA bakteri merupakan target utama Allicin (Deresse,
2010)
Allicin merupakan senyawa yang bersifat tidak stabil dimana dalam
beberapa jam akan dimetabolisme menjadi senyawa sulfur lain seperti
vinyldithiines dan Ajoene yang juga memiliki daya antibakteri berspektrum
luas, namun dengan aktifitas lebih kecil (Dusica, 2011).
Bawang putih mengandung komponen minyak atsiri yang juga memiliki
aktivitas antibakteri yang bekerja dengan mekanisme menghambat
pembentukan membran sel bakteri (Benkeblia, 2004) begitu juga
kandungan bawang putih lainnya yang diyakini memiliki aktivitas
antibakteri adalah flavonoid, yang bekerja dengan cara mendenaturasi
protein yang dimiliki bakteri (Gulfraz, 2014).
Menurut Ankri dan Mirelman pada tahun 1999 bawang putih merupakan
antibakterial agen yang kuat dan bertindak sebagai penghambat bakteri
gram postif dan gram negatif meliputi Escherichia, Salmonella,
Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiela, Proteus dan Helicobacter pylori
(Bakhtet al., 2011).

Universitas Sumatera Utara


26

Penggunaan bawang putih sebagai terapeutik telah diakui sebagai obat


yang memiliki potensi untuk berbagai mikroorganisme.Misalnya, ekstrak
bawang putih telah menjadi agen yang efektif untuk mengendalikan
bakteri Escherichia coli yang resisten methicillin, Salmonellatyphi,
Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus(Mohsenipour &
Hassanshahian, 2014).
Ekstrak bawang putih (Allium sativum L.)dianggap dapat melawan
pembentukan struktur biofilm, menghancurkan struktur biofilm dan
penghambatan metabolisme aktivitas biofilm. Menurut rata-rata efek
penghambatan dari konsentrasi tertentu dari ekstrak Allium
sativummemiliki kemampuan untuk menghambat 50% pembentukan
biofilm dalam bakteri yang diuji. Hasil pengamatan dari penghambatan
tertinggi pembentukan biofilm terhadap Streptococcus pneumoniae
(88,51%) dan B. cereus (88,61%) dan penghambatan terendah diamati
untuk pembentukan biofilm Staphylococcus aureus (52,8%). Untuk
kehancuran struktur biofilm, biofilm Streptococcus pneumoniae adalah
struktur yang paling sensitif (84,89%) dan biofilm dari Klebsiella
pneumoniae memiliki sensitivitas terendah. Metabolisme aktivitas dari
biofilm bakteri tersebut yang dihambat dengan menggunakan ekstrak
Allium sativum L. memiliki penurunan yang luar biasa, pengurangan
terbesar diamati pada biofilm B. cereus (81,16%) dan pengurangan yang
paling sedikit diamati terdapat dalam biofilm bakteri Klebsiella pneumoniae
(39,17%) (Mohsenipour & Hassanshahian, 2015).
Penelitian sebelumnya dilakukan di Basrah-Iraq dengan desain
prospeftif doubleblind pada 1 Februari-31 Oktober 2005 didapatkan 40
pasien dengan OMSK aktif meliputi anamnese, pemeriksaan otologi, kultur
swab telinga dan audiometri nada murni sebelum dan 2 minggu sesudah
pengobatan Didapati pertumbuhan organisme terbanyak adalah
Staphylococcus aureus 25% diikuti Pseudomanas aeruginosa dan
Streptococcus pneumoniae masing-masing 18,7%. Penggunaan tetes
telinga garlic oil, neomycin deksametason (neodexene) dan normal salin

Universitas Sumatera Utara


27

9% sebagai terapi topikal (tetes telinga) secara random diperoleh


perbaikan secara komplit sebanyak 81% sibandingkan dengan neomycin
sebanyak 69% dan normal saline hanya 25% (Alhelo et al., 2008).

2.4. Anatomi Telinga Tengah


Telinga tengah adalah suatu ruang antara membran timpani dengan
badan kapsul dari labirin pada daerah petrosa dari tulang temporal yang
mengandung rantai tulang pendengaran.Telinga tengah terdiri dari
membran timpani, kavum timpani, tuba eustachiusdan prosessus
mastoideus (Gacek, 2009; Dhingra, 2010).

a. Membran timpani
Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Memiliki tinggi 9-10 mm,
lebar 8-9 mm dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm (Dhingra, 2010).
Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian yaitu pars
tensa terletak dibagian bawah, tegang dan lebih luas, dan pars flaksida
(membran Shrapnells) di bagian atas dan lebih tipis. Secara histologis
membran timpani terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal
dari liang telinga luar.
2. Lapisan dalam (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan tengah (lamina propria / fibrosa) terletak diantara stratum
kutaneum dan stratum mukosum. (Helmi, 2005 &Dhingra, 2010).
Membran timpani merupakan struktur yang terus tumbuh, yang
memungkinkannya menutup bila ada perforasi dan menyebabkan benda
asing, misalnya grommet, yang melekat padanya terusir ke luar (Helmi,
2005)
Sebagaimana dijelaskan pada gambar 2.1, secara anatomis membran
timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau

Universitas Sumatera Utara


28

membran Shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari
pars tensa. Antara pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan
yaitu: plika maleolaris anterior lipatan muka) dan plika maleolaris
posteriorlipatan belakang (Dhingra, 2009).

Gambar 2.1. Membran timpani (Dhingra, 2009).


Bagian dari membran timpani secara anatomi yang meliputi cone of
light, pars tensa dan pars flaksida atau membran shrapnell (atas
muka, tipis), plika maleolaris anterior

b. Kavum timpani
Kavum timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu bagian
atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding
posterior (Dingra, 2010).
Atap kavum timpani dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut
tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap
aditus ad antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa
kranii media. Lantai kavum timpani juga merupakan lempeng tulang tipis
yang memisahkan kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang-kadang
secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke
telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior
merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan
arteri karotis. Juga terdapat tuba eustachiusdi bagian bawah dan kanalis
muskulus tensor timpani di bagian atas. Dinding posterior berbatas
dengan sel-sel mastoid muncul sebagai penonjolan tulang yang disebut

Universitas Sumatera Utara


29

piramid. Dinding medial berbatasan dengan labirin. Tanpak tonjolan


promantorium yang merupakan dasar koklea. Foramen ovale terfiksasi
pada kaki stapes. Diatas foramen ovale terdapat kanalis fasialis. Tulang
penutupnya kadang secara kongenital mengalami dehisensi dan saraf
fasialis lebih terekspos yang membuat lebih terangsang infeksi. Dinding
lateral dibentuk terutama oleh membran timpani dan bagian tulang liang
telinga (Dhingra, 2010).
Pada kavum timpani terdapat tiga tulang pendengaran yaitu maleus,
inkus dan stapes, dua otot yaitu muskulus tensor timpani dan muskulus
stapedius dan juga saraf korda timpani (Dhingra, 2010).

c. Tuba Eustachius
Tuba eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap
proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan
atmosfir. Stabilnya tuba eustachiusdisebabkan karena adanya kontraksi
muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat
mengunyah dan menguap. (Dhingra, 2010; Gacek, 2009).

d. Prosesus mastoid
Mastoid terdiri dari tulang korteks dengan gambarannya seperti
sarang lebah. Tergantung pada pengembangan sel udara, mastoid dibagi
atas tiga tipe yaitu: Pada tipe selluler (well pneumatised) hampir seluruh
proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, tipe diploik pneumatisasi kurang
berkembang dan pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama
sekali (Dingra, 2010).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak persis di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura
merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang

Universitas Sumatera Utara


30

sekitarnya yang membatasi rongga mastoid dengan sinus lateralis disebut


lempeng sinus. Sudut sinodura dapat ditemukan dengan membuang
sebersih-bersihnya sel pneumatisasi mastoid di bagian superior inferior
lempeng dura dan posterior superior lempeng sinus (Helmi, 2005).

e. Vaskularisasi kavum timpani


Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri
karotis eksterna. Arteri timpani anterior yang merupakan cabang dari a.
maksilaris yang masuk ke telinga tengah melalui fisura petrotimpani. Pada
daerah posterior mendapat vaskularisasi dari a. timpani posterior yang
merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu a. stilomastoidea. Pada daerah
superior mendapat vaskularisasi dari cabang a. meningea media, a.
petrosa superior, a. timpani superior. Pembuluh vena kavum timpani
berjalan bersama-sama dengan pembuluh arteri menuju pleksus
pterigoideus dan sinus petrosus superior (Helmi, 2005).

Universitas Sumatera Utara


31

2.5 Kerangka Teori

FAKTOR RISIKO
- Infeksi saluran nafas atas - Sosio-ekonomi rendah
- Disfungsi tuba - Alergi
- Trauma membran timpani - Barotrauma

Tekanan negatif telinga tengah / Inflamasi

OMA / Infeksi Akut Telinga Tengah

Inflamasi yang ireversibel

Pelepasan Mediator Sitokin Inflamasi

IL-1, IL-6, TNF-α, Prostaglandin


PPPProstaglandin
Peningkatan regulasi sitokin proinflmasi

OMSK

Bakteri Penyebab

Replikasi DNA dan RNA Bakteri


Bawang Putih
Denaturasi Protein

Kematian Bakteri

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


32

Keterangan:

Terjadinya infeksi saluran nafas atas, gangguan fungsi tuba, trauma


membran timpani, sosio-ekonomi rendah, alergi, barotrauma dan adanya
tumor hidung merupakan faktor risiko dimana terjadinya tekanan negatif di
telinga dan inflamasi sehingga terjadi perforasi membran timpani menjadi
penyebab infeksi akut telinga tengah (OMA). Mikroba pada telinga tengah
terjadinya inflamasi yang irreversibel diikuti pelepasan mediator inflamasi
IL-1, IL-6, TNF-α, Prostaglandin dan terjadi peningkatan regulasi sitokin
pro inflamasi sehingga terjadi proses kronis (OMSK). Dimana pada bakteri
penyebab OMSK terjadi denaturasi protein dan replikasi dna serta rna dan
dengan pemberian bawang putih maka terjadi kematian bakteri.

Universitas Sumatera Utara


33

2.5 Kerangka Konsep

- Usia
OMSK
- Jenis Kelamin
- Lama Keluhan

Bakteri penyebab
Ekstrak
bawang
putih
Kematian bakteri

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Keterangan:
Pasien dengan diagnosa OMSK yang memenuhi kriteria inklusi
diambil data mengenai usia, jenis kelamin dan lama keluhan dari
anamnese sebagai sampel penelitian untuk dilakukan pemeriksaan
Mikrobiolgi dari swab sekret telinga untuk menentukan bakteri penyebab
OMSK. Kemudian diberikan ekstrak bawang putih dan dinilai kematian
bakteri dengan menghitung zona hambat.

2.5 Hipotesis Penelitian


Hipotesis penelitian ini adalah terdapat efek ekstrak bawang putih
dalam menghambat pertumbuhan kuman penyebab OMSK.

Universitas Sumatera Utara


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan pre dan post design.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam
Malik Medan, Departemen THT-KL RS Pendidikan Universitas Sumatera
Utara, RS Murni Teguh, RS Columbia Asia. Penelitian dilakukan mulai
bulan Oktober 2017 – Mei 2018. Pemeriksaan kuman dan efek pemberian
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan kuman OMSK di
Departemen Mikrobiologi FK USU/ RS Pendidikan Universitas Sumatera
Utara Medan.

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel


3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh penderita OMSK yang berobat ke Departemen
THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik,Departemen THT-KL FK USU /
RS PendidikanUniversitas Sumatera Utara, RS Murni Teguh, RS
Columbia Asia.Diagnosa OMSK ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan telinga dan pemeriksaan penunjang.
3.3.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh populasi yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi :
- Sekret penderita OMSK baru / lama dengan sekret aktif yang diambil
dari telinga tengah dan atau mastoid.
- Penderita yang bersedia ikut serta dalam penelitian.
Kriteria eksklusi :
- Sampel penelitian yang rusak sehingga tidak dapat diteliti.

34
Universitas Sumatera Utara
35

3.3.3 Besar sampel


Sampel pada penelitian ini adalah seluruh sampel yang diperoleh pada
periode penelitian dari Oktober 2017 – Mei 2018.
Sampel ditentukan dengan menggunakan rumus:
( t – 1 ) ( r – 1 ) ≥ 15
( 7 – 1 ) ( 4 – 1 ) ≥ 15
( 6 ) ( 3 ) ≥ 15
Keterangan :
t: prevalensi bakteri positif OMSK
r : replikasi ( pengulangan )

3.3.4 Teknik Pengambilan Sampel


Pendekatan pengambilan sampel penelitian adalah secara non
probabilityconsecutive sampling yaitu sampel dikumpulkan pada
periodeMaret 2018 – Mei 2018.

3.4 Definisi Operasional


3.4.1 Otitis media supuratif kronis (OMSK)
Defenisi :radang kronis pada telinga tengah dengan adanya
riwayat keluarnya sekret purulen dari telinga melalui membran
timpani yang mengalami perforasi lebih dari 12 minggu.
(Kenna &Latz, 2006; Verhoeff et al. 2006).
Alat ukur : anamnesis/kuesioner, pemeriksaan otoskopi
Hasil ukur : terdapat OMSK atau tidak terdapat OMSK
Skala ukur : nominal
3.4.2 Pola kuman
Defenisi : jenis kuman yang terdapat pada pembiakan sekret
dari telinga tengah sebelum dan sesudah diberikan bawang putih
Alat ukur : sekret yang berasal dari kavum timpani
Hasil ukur : ada/tidak

Universitas Sumatera Utara


36

Skala ukur : nominal


3.4.3 MIC (Minimum Inhibitory Concentration)
Defenisi : konsentrasi paling rendah dari suatu antimikroba
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteristatik)
Alat ukur : media, mikroba dan konsentarsi ekstrak bawang
putih
Hasil ukur : ada/tidak
Skala ukur : nominal
3.4.4 Ekstrak bawang putih
Defenisi : ekstrak yang diambil dari bawang putih dengan
nama
latin Allium Sativumdari famili Liliaceae melalui prosesMaserasi.
Alat ukur : Gelas ukur dan timbangan
Hasil ukur : kadar (%)
Skala ukur : numerik
3.4.5 Uji sensitifitas
Defenisi :suatu usaha untuk membiakkan kuman yang
kemudian dibuat percobaan kepekaan terhadap beberapa
antibiotika/antimikroba
Alat ukur : uji sensitifitas dengan metode difusi dan dilusi
Hasil ukur : zona hambat dalam mm
Skala ukur : nominal

3.5. Alat dan Bahan Penelitian Pemeriksaan Kuman dan Uji


Pemberian ekstrak Bawang putih

3.5.1. Alat penelitian


Penelitian ini membutuhkan beberapa bahan dan peralatan sebagai
berikut:
a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita
b. Formulir persetujuan ikut penelitian

Universitas Sumatera Utara


37

c. Autoclave
d. Inkubator
e. BSC ( Bio Safety Cabinet)
f. Mikroskop
g. Colony caunter
h. Bunsen
i. Cawan petri
j. Kaca objek
k. Cooler box
l. Vortex
m. Kapas lidi

3.5.2. Bahan Penelitian


Bahan / spesimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekret yang
berasal dari telinga tengah penderita OMSK yang diperoleh dari
pengambilan sekret dengan swab amies agar, blood agar, bawang putih
yang telah dilakukan pengambilan ekstrak di bagian Laboratorium Kimia
Organik di Fakultas MIPA USU dan bakteri ATCC kemudian bahan
diperiksa di Departemen Mikrobiologi FK USU / RS Pendidikan Universitas
Sumatera Utara.

3.6 Prosedur Kerja Pengambilan Sampel


Pasien baru / lama yang datang berobat ke Departemen THT-KL FK USU
/ RSUP H. Adam Malik Medan, Departemen THT-KL RS Pendidikan
Universitas Sumatera Utara, RS Murni Teguh dan RS Columbia
Asiadilakukan anamnesa dan pemeriksaan THT rutin maka diperolehlah
penderita OMSK yang memenuhi kriteria.

3.6.1 Pengambilan sekret telinga


a. Penderita OMSK yang memenuhi kriteria kemudian dilakukan
pengambilan sekret menggunakan mikroskop dengan memasukkan

Universitas Sumatera Utara


38

ujung swab ke dalam telinga tengah dan dilakukan secara memutar


setelah itu dikeluarkan.
b. Kemudian langsung dimasukkan kedalam tabung swab amies agar
dan ditutup rapat sehingga kuman tetap terjaga dalam keadaan
yang sesuai.
c. Lalu swab amies agar dimasukkan kedalam coolerboxsebelum
dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi.

3.6.2 Pengambilan ekstrak bawang putih


a. Bawang putih (Allium sativum) dibeli dari pasar lokal 250g bawang
putih dikupas kemudian dipotong-potong dan ditimbang
b. Kemudian bawang putih tersebut dimasukkan kedalam wadah dan
ditambahkan etanol 96% sebanyak 1000 ml kemudian dimaserasi
selama 24 jam pada suhu kamar.
c. Setelah 24 jam larutan difiltrasi atau dipisahkan dengan
menggunakan penyaring Buchner.
d. Residu penyaringan diangin-anginkan dan dilakukan maserasi
ulang sampai 3 kali.
e. Ekstrak ini dianggap 100%.
f. Untuk mendapatkan berbagai konsentrasi digunakan metode serial
delusi atau pengenceran bertingkat.
g. Konsentrasi ekstrak yang disiapkan disimpan di kulkas sampai
digunakan.

Universitas Sumatera Utara


39

3.6.3 Pemeriksaan sekret telinga


3.6.3.1 Pemeriksaan kultur dan identifikasi bakteri

Sample penelitian (Swab sekret telinga)

Media Blood Agar


Kultur bakteri (inkubasi 24 jam)

Media Mc Conkey
Identifikasi Bakteri

Mikroskopis Makroskopis
(pewarnaan gram) (pengamatan jenis koloni)

Bakteri Gram + Bakteri Gram -


Reaksi biokimia
(Uji Indol, Uji Metyl Red, Uji
Voges-Proskauer, Uji Citrat, Uji
Urease, Motilitas)

Uji sensitifitas anti mikroba dilakukan secara


konvensionaldenganmetode difusi dan dilusi.

3.6.3.2 Tes Dilusi


Dilakukan untuk menentukan MIC (Minimum Inhibitory
Concentration). Pada setiap tabung reaksi diberikan jumlah media
MHB sebanyak 9ml dengan bakteri uji sebanyak 1ml dan
konsentrasi ekstrak sebanyak 1 ml dengan persentase konsentrasi
yang berbeda. Dimulai dari konsentrasi ekstrak dari 10%, 20%,
30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90% dan 100% kemudian

Universitas Sumatera Utara


40

dilanjutkan dengan menentukan MBC (Minimum Bactericidal


Concentration) untuk menghitung jumlah koloni bakteri.

Gambar 3.1Uji dilusi ekstrak bawang putih terhadap bakteri penyebab


Otits Media Supuratif Kronis.

No Konsentrasi (%) Uji Dilusi MIC


I II III
1 100 Keruh Keruh Keruh
2 90 Keruh Keruh Keruh
3 80 Keruh Keruh Keruh
4 70 Keruh Keruh Keruh
5 60 Keruh Keruh Keruh
6 50 Keruh Keruh Keruh
7 40 Keruh Keruh Keruh
8 30 Keruh Keruh Keruh
9 20 Keruh Keruh Keruh
10 10 Keruh Keruh Keruh
11 Kontrol (+) Jernih Jernih Jernih
12 Kontrol (-) Keruh Keruh Keruh

Tabel 3.1. Tabel pengamatan uji dilusi ekstrak bawang putih terhadap
bakteri penyebab Otitis Media Supuratif Kronis.

Universitas Sumatera Utara


41

Gambar 3.2. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 10%, 20% dan 30%

Gambar 3.3. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 40%, 50% dan 60%

Universitas Sumatera Utara


42

Gambar 3.4. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 70%, 80% dan 90%. Pada konsentrasi
80% tidak dijumpai pertumbuhan bakteri dan diambil sebagai konsentrasi
MIC dari ekstrak bawang putih

Gambar 3.5. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 100%, K- dan K+

Universitas Sumatera Utara


43

No Konsentrasi (%) Uji Dilusi MBC


dalam CFU/ml (Colony Forming Unit)
I II
1 100 0 0
2 90 0 0
3 80 0 0
4 70 296 289
5 60 >300 >300
6 50 >300 >300
7 40 >300 >300
8 30 >300 >300
9 20 >300 >300
10 10 >300 >300
11 Kontrol (+) 0 0
12 Kontrol (-) >300 >300

Tabel 3.2. Tabel jumlah bakteri setelah pemberian ekstak bawang putih

3.6.3.3 Tes Difusi


Pada tes difusi digunakan metode cakram difusi. Pada metode
ini inokulum bakteri ditanam pada media agar. Cakram antimikroba
diletakkan pada permukaan agardan dibiarkan berdifusi ke media
sekitarnya. Kemudian dilihat zona hambat antimikroba terhadap
pertumbuhan bakteri. Ukuran zona jernih tergantung kepada
kecepatan difusi antimikroba, derajat sensitifitas mikroorganisme
dan kecepatan pertumbuhan bakteri.
Difusi dimulai dengan menguji konsentrasi ekstrak bawang putih
70%, 80%, 90% dan 100% pada jenis bakteri yang ditemukan dari
sekret OMSK dan bakteri ATCC Pseudomonas aeruginosa 27853,
Staphylococcus aureus 29213, Escherichia coli 25922 dan
Klebsiella pneumoniae 43816dilakukan sebanyak 4 kali
pengulangan.

Universitas Sumatera Utara


44

3.7 Cara Pengumpulan Data

Data pada penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta wawancara pada penderita OMSK
di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H Adam Malik Medan,
Departemen THT-KL FK-USU / RS Pendidikan Universitas Sumatera
Utara, RS Murni Teguh, RS Columbia Asia. Selain itu, diperoleh data hasil
pemeriksaan pola kuman dan efek pemberian ekstrak bawang putih
terhadap pertumbuhan kuman OMSK di Departemen Mikrobiologi FK-USU
/ RS Pendidikan Universitas Sumatera Utara Medan.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data


Semua data yang telah terkumpul dianalisis secara statistik. Data akan
disajikan dalam bentuk tabel untuk mengetahui distribusi penderita OMSK
berdasarkan kelompok umur, distribusi kuman OMSK dan efek pemberian
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan kuman OMSK dengan uji
ANOVA jika berdistribusi normal dan jika tidak berdistribusi normal
menggunakan uji Kruskal Wallis.

3.9 Masalah Etika


Semua penderita yang diambil sebagai sampel akan diberikan penjelasan
mengenai penelitian ini dan diminta untuk menandatangani lembar
persetujuan setelah penjelasan (informed consent) bahwa segala
informasi tentang penelitian ini hanya ditujukan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan THT-KL dan tidakuntukkepentingan lainnya.

Universitas Sumatera Utara


45

3.10 Kerangka Kerja

PasienBaru/Lama
Umur
Jeniskelamin
Anamnesis
Lama keluhan

Pemeriksaan

OMSK Bukan OMSK

Sekretaktif,penderita yang Sekret tidak aktif Eksklusikan


bersedia

SwabSekretTelingaTengah

KulturKuman

Kultur (+) Kultur (-)

Bakteri Klinis Bakteri ATCC

Pemberian ekstrak Pengumpulan


Analisis Data
bawang putih Data

Menghambat
pertumbuhan kuman

Keterangan :

= Diperiksa

= Data yang dikumpulkankemudiandianalisis

= Menganalisis data

Universitas Sumatera Utara


46

3.11 Jadwal Penelitian


Kegiatan penelitian digambarkan melalui tabel berikut

Tabel 3.11. Jadwal Penelitian

Waktu
Jenis kegiatan Sep-Okt Oktober Nov 2017- Agst
2017 2017 Juli 2018 2018
1 Persiapan proposal

2 Persentasi Proposal
3 Pengumpulan,
Pengolahan data/
Pembuatan Laporan
4 Seminar hasil

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL PENELITIAN

Tabel 4.1 Jenis Bakteri


No Jenis Bakteri
1 Pseudomonas aeruginosa
2 Escherichia coli
3 Proteus vulgaris
4 Klebsiella pneumoniae
5 Proteus mirabilis
6 Enterobacter aerogenes
7 Staphylococcus aureus

Pada pemeriksaan kultur ditemukan bakteri penyebab OMSK sebanyak 7


jenis bakteri. Dimana terdapat jenis bakteri ATCC pada bakteri
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan
Staphylococcus aureus.

Tabel 4.2 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri pada


Konsentrasi 70%
Ulangan
No Jenis Bakteri Rerata
I II III IV
1 Pseudomonas aeruginosaATCC 10,5 10 10 10,5 10,25
2 Pseudomonas aeruginosa 9 8,5 9 8,5 8,75
3 Escherichia coli ATCC 0 0 0 0 0
4 Escherichia coli 12 12 12,5 12 12,12
5 Proteus vulgaris 0 0 0 0 0
6 Klebsiella pneumoniae ATCC 0 0 0 0 0
7 Klebsiella pneumoniae 0 0 0 0 0
8 Proteus mirabilis 0 0 0 0 0
9 Enterobacter aerogenes 8,5 8 8,5 8,5 8,37
10 Staphylococcus aureus ATCC 9,5 9 9,5 9 9,25
11 Staphylococcus aureus 9 9,5 9,5 9 9,25

47
Universitas Sumatera Utara
48

Pada konsentrasi 70%, zona hambat terluas terdapat pada bakteri


Escherichia coli klinik dengan rerata zona hambat sebesar 12,12 mm
diikuti oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC dengan rerata zona
hambat sebesar 10,25 mm. Zona hambat tidak terbentuk untuk empat
jenis bakteri yaitu Escherichia coli ATCC, Proteus vulgaris, Klebsiella
pneumoniae dan Proteus mirabilis.

Tabel 4.3 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri pada


Konsentrasi 80%
Ulangan
No Jenis Bakteri Rerata
I II III IV
1 Pseudomonas aeruginosa ATCC 15 14,5 14,5 15 14,75
2 Pseudomonas aeruginosa 12 12 11,5 11 11,62
3 Escherichia coli ATCC 9 8,5 8,5 8,5 8,62
4 Escherichia coli 15 14,5 15 15 14,87
5 Proteus vulgaris 0 0 0 0 0
6 Klebsiella pneumoniae ATCC 9 8,5 8,5 8 8,49
7 Klebsiella pneumoniae 9 8,5 9 8,5 8,75
8 Proteus mirabilis 9 8,5 9 8,5 8,75
9 Enterobacter aerogenes 9,5 9 9,5 9,5 9,37
10 Staphylococcus aureus ATCC 11 10,5 10,5 10 10,49
11 Staphylococcus aureus 12 11,5 12 11,5 11,75

Pada konsentrasi 80% zona hambat Escherichia coli bertambah


menjadi 14,87 mm, begitu pula untuk zona hambat Pseudomonas
aeruginosa ATCC menjadi sebesar 14,75 mm. Hanya bakteri Proteus
vulgaris yang tidak mennunjukkan zona hambat. Zona hambat terkecil
ditunjukkan oleh bakteri Klebsiella pneumoniae ATCC dengan rerata zona
hambat sebesar 8,49 mm.

Universitas Sumatera Utara


49

Tabel 4.4 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri pada


Konsentrasi 90%
Ulangan
No Jenis Bakteri Rerata
I II III IV
1 Pseudomonas aeruginosa ATCC 17 17 16 16 16,49
2 Pseudomonas aeruginosa 14 13,5 14 13,5 13,75
3 Escherichia coli ATCC 12 12 11,5 12 11,87
4 Escherichia coli 16 16 16 17,5 16,36
5 Proteus vulgaris 0 0 0 0 0
6 Klebsiella pneumoniae ATCC 10 9 10 9,5 9,62
7 Klebsiella pneumoniae 11 10 10 10 10,24
8 Proteus mirabilis 12 11 11 10,5 11,11
9 Enterobacter aerogenes 11 10,5 11 11 10,87
10 Staphylococcus aureus ATCC 12 11,5 12 11,5 11,75
11 Staphylococcus aureus 14 14 13,5 13,5 13,75

Pada konsentrasi 90% rerata zona hambat terluas ditunjukkan oleh


Pseudomonas aeruginosa ATCC sebesar 16,49 mm diikuti oleh bakteri
Escherichia coli Klinik sebesar 16,36 mm. Bakteri Proteus vulgaris tidak
menunjukkan zona hambat. Zona hambat terkecil ditunjukkan oleh bakteri
Klebsiella pneumoniae ATCC dengan rerata zona hambat sebesar 9,2
mm.

Universitas Sumatera Utara


50

Tabel 4.5 Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri pada


Konsentrasi 100%
Ulangan
No Jenis Bakteri Rerata
I II III IV
1 Pseudomonas aeruginosa ATCC 19,5 18,5 19 19,5 19,12
2 Pseudomonas aeruginosa 16,5 16 16,5 16 16,25
3 Escherichia coli ATCC 15,5 15,5 15 15,5 15,37
4 Escherichia coli 18 17,5 17,5 18 17,75
5 Proteus vulgaris 0 0 0 0 0
6 Klebsiella pneumoniae ATCC 12 11,5 11,5 11 11,50
7 Klebsiella pneumoniae 13 12,5 12,5 12,5 12,62
8 Proteus mirabilis 15 14,5 15 15 14,87
9 Enterobacter aerogenes 11,5 11 12 11,5 11,50
10 Staphylococcus aureus ATCC 13,5 13 13 12,5 13
11 Staphylococcus aureus 16 15,5 16 16,5 16

Pada konsentrasi 100% rerata zona hambat terluas ditunjukkan


oleh Pseudomonas aeruginosa ATCC sebesar 19,12 mm diikuti oleh
bakteri Escherichia coli Klinik sebesar 17,75 mm. Hanya bakteri Proteus
vulgaris yang tetap tidak menunjukkan zona hambat. Zona hambat terkecil
ditunjukkan oleh bakteri Klebsiella pneumoniaeATCCdan Enterobacter
aerogenes dengan rerata zona hambat sebesar 11,50 mm.

Universitas Sumatera Utara


51

20

18

16 P. aeruginosa 1
P. aeruginosa 2
14
E. coli 1
12 E. coli 1
Proteus vulgaris
10
K. pneumoniae 1
8 K. pneumoniae 2

6 P. mirabilis
E. aerogenes
4 S.aureus 1
2 S. aureus 2

0
70% 80% 90% 100%

Gambar 4.1 Zona hambat berbagai jenis bakteri dengan berbagai


konsentrasi

Pada gambar memperlihatkan luas zona hambat berbagai jenis bakteri


dengan konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 100% dimana pada konsentrasi
100% luas zona hambat tertinggi pada Pseudomonas aeruginosa
ATCC.Sedangkan bakteri Proteus vulgaris tidak ditemukan zona hambat
pada konsentrasi 70% hingga 100%.

Universitas Sumatera Utara


52

Tabel 4.6 Zona Hambat dari Berbagai Konsentrasi berdasarkan


Ulangan I sampai IV untuk Seluruh Bakteri
Zona Hambat, rerata (SD), mm
Ulangan
I II III IV
70% 5,32 (5,17) 5,18 (5,06) 5,36 (5,23) 5,23 (5,10)
80% 9,86 (3,93) 9,64 (3,94) 9,82 (3,98) 9,59 (4,03)
90% 11,59 (4,47) 11,32 (4,50) 11,36 (4,34) 11,36 (4,52)
100% 13,68 (4,47) 13,23 (4,99) 13,46 (5,06) 13,46 (5,22)

Tabel 4.6 menyajikan rerata zona hambat untuk seluruh bakteri yang
diperiksa untuk ulangan I sampai ulangan IV. Rerata zona hambat terluas
ditunjukkan oleh ekstrak dengan konsentrasi 100%. Hasil studi
memperlihatkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak semakin
memperluas zona hambat dari luas zona hambat sebesar 5,27 mm pada
konsentrasi ekstrak 70% hingga mencapai 13,46 mm pada konsentrasi
ekstrak 100%.

Tabel 4.7 Perbedaan Rerata Zona Hambat dari Berbagai


Konsentrasi

Zona Hambat, rerata (SD), p*


mm
70% 5,27 (0,08) 0,007
80% 9,73 (0,13)
90% 11,41 (0,12)
100% 13,46 (0,18)
*Kruskal Wallis

Dengan menggunakan uji Kruskall Wallis (tabel 4.7) tampak bahwa


terdapat perbedaan rerata zona hambat yang signifikan berdasarkan
konsentrasi ekstrak (p=0,007).

Universitas Sumatera Utara


53

Tabel 4.8 Perbedaan Rerata Zona Hambat antar Berbagai


Konsentrasi

p
70% 80% <0,001a
90% 0,068b
100% <0,001a
80% 90% 0,068b
100% <0,001a
90% 100% 0,066b
a
T dependent, bWilcoxon

Hasil analisis lanjutan (tabel 4.8) menunjukkan terdapat perbedaan


rerata zona hambat yang signifikan antara ekstrak dengan konsentrasi
70% dengan 80% dan 100%. Begitu pula antara konsentrasi ekstral 80%
dan 100%, ditemukan perbedaan rerata yang signifikan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Jenis Bakteri Penyebab Otitis Media Supuratif Kronis


Dalam penelitian ini ditemukan bakteri penyebab OMSK terdiri dari
Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Proteus vulgaris, Klebsiella
penumoniae, Proteus mirabilis, Enterobacter aerogenes dan
Staphylococcus aureus.
Hal ini juga ditemukan pada penelitian Rangaiah, et al (2017) di India
dari 135 pasien ditemukan Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, Acinetobacter, Escherichia coli, Klebsiella, Proteus vulgaris dan
Proteus mirabilis sebagai mikroorganisme penyebab OMSK.Pada
penelitian Afobi et al. disebutkan bahwa kuman penyebab OMSK dapat
berupa kuman anaerob (seperti Bacteroides, Peptostreptococcus,
Proprionibacterium) dan kuman aerob (seperti Pseudomonas aeruginosa,
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,
Proteus mirabilis, Klebsiella sp.) ataupun infeksi yang disebabkan
gabungan antara kuman aerob maupun kuman anaerob (Afobi et al.,
2012; Ghosh et al.,2015).
Pada penelitian Rath et al. di India dari 1230 sampel yang dikumpulkan
diperoleh pertumbuhan bakteri dan jamur sebanyak 1164. Dimana 629
hanya satu koloni dan 535 koloni campuran. Sebanyak 66 sampel tidak
ditemukan pertumbuhan bakteri. Bakteri paling banyak ditemukan adalah
Pseudomonas aeruginosa 371 isolat, E.coli 98 isolat, Klebsiella sp. 92
isolat, Proteus sp. 60 isolat, Enterobacter sp. 19 isolatkemudian
Staphylococcus aureus 220 isolat (Rathet al.,2017).
Berbeda dengan penelitian Ahmad (2013) di Saudi Arabia
mikroorganisme penyebab Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) yaitu
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis,
Escherichia coli dan Citrobacter Spp.

54
Universitas Sumatera Utara
55

Baik bakteri gram negatif maupun gram positif dapat menginfeksi telinga
tengah. Namun pada umum nya bakteri gram negatif lebih banyak
disebabkan seperti Pseudomonas lebih dapat bertahan hidup dan
mengasilkan pyocyanin dan bakteriosin untuk mengadakan lokal infeksi.

5.2 Rerata zona hambat ekstrak bawang putih terhadap kuman


penyebab Otitis Media Supuratif Kronis dengan berbagai
konsentrasi.
Pada penelitian terlihat adanya perbedaan zona hambat pada setiap
jenis bakteri dengan konsentrasi yang berbeda. Zona hambat paling luas
pada jenis bakteriPseudomonas aeruginosa pada konsentrasi 100 %
dengan rerata 19,22 mm diikuti Escherichia coli dengan rerata 17,75 mm
dan Staphylococcus aureusrerata 16,5 mm dan Klebisiella pneumoniae
12,62 mm.
Hasil ini dapat ditemukan pada penelitian Metwali et al.(2014) pada
pemberian garlic oil 1:1 pada Mueller Hinton agar maka ditemukan zona
hambat E.coli 24 mm lebih luas dibandingkan Staphylococcus aureus 17
mm. Berbeda dengan penelitian Verma, et al. (2015) pada konsentrasi
100% zona hambat Staphylococcus aureus lebih luas dibanding E.coli
yaitu 21mm dan 16 mm.
Berbeda ditemukan menurut Onyeagbaet al. (2004) ekstrak mentah
bawang putih dan jahe diterapkan secara tunggal dan dalam kombinasi
tidak menunjukkan adanya penghambatan in vitro pada pertumbuhan
organisme uji termasuk Staphylococcus spp.
Pada penelitian ini diperoleh peningkatan konsentrasi ekstrak bawang
putih berpengaruh signifikan terhadap perubahan luas zona hambat
bakteri. Terlihat pada konsentrasi bakteri Pseudomonas aeruginosa mulai
dari konsentrasi 70%- 100% diperoleh rerata zona hambat 8.75 mm,
11.62 mm, 13.75 mm dan 16,25 mm kemudian bakteri E.coli rerata zona
hambat 12.12 mm, 14.87 mm, 16.36 m dan 17.75 mm.

Universitas Sumatera Utara


56

Hal yang sama ditemukan pada Verma, et al. (2015) dimana


menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dalam konsentrasi 25%, 50%,
755 dan 100% mampu menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus, E. coli, B. Megaterium danPseudomonas
aeruginosa. Diperoleh hasil dari konsentrasi terendah hingga tertinggi
pada Staphylococcus aureus zona hambat 14 mm, 16 mm, 19mm dan 21
mm. Pada Escherichia coli 9mm, 11mm, 14mm dan 16mm. Bakteri
Pseudomonas aeruginosa zona hambat 13mm, 16mm, 18mm dan 26 mm.
Hal yang sama dijupai pada penelitian ini dimaan aktivitas antibakteri
bawang putih terhadap isolat bakteri ditunjukkan oleh hasil pengukuran
luas zona hambat sebagaimana disajikan pada aktivitas antibakteri gram
positif Staphylococcus aureus tampak lebih baik dibandingkan dengan tiga
isolat bakteri gram negatif. Dimana pada konsentrasi 50% Staphylococcus
aureus zona hambat 27 mm, Pseudomonas aeruginosa konsentrasi 50%
19.90 mm diiukuti E.coli konsentrasi 50% 16.50 mm. Pada konsentrasi
12,5% zona hambat S. aureus zona hambat 13.78 mm, Pseudomonas
aeruginosa 9.10 mm, E. coli 9 mm.Semakin tinggi konsentrasi bawang
putih, semakin besar zona hambat yang dihasilkan, artinya aktivitas
antibakteri semakin tinggi. (Prihandani et al., 2015).
Pada penelitian ini ditemukan zona hambat terendah pada konsentrasi
ekstrak bawang putih 70%berbeda dengan penelitian Verma et al., (2015)
bawang putih memiliki efek bakterisida pada konsentrasi terendah 25%.
Namun, tingkat konsentrasi ini dapat bervariasi seperti pada proses
pengamatan. Ini mungkin karena variasi spesies bawang putih berbeda di
setiap negara, perbedaan pemrosesan pada spesies bawang putih dan
kepadatan inokulum.
Pada penelitian ini juga ditemukan efek ekstrak bawang putih
terhadap pertumbuhan kuman Proteus mirabilis dengan adanya
peningkatan luas zona hambat sesuai konsentrasi. Ekstrak bawang putih
memiliki peran dalam meningkatkan sensitivitas Proteus mirabilisterhadap
antibiotik doksisiklin sebelum pemberian 0 mm setelah pemberian 28,6

Universitas Sumatera Utara


57

mm kemudian Carbencillin sebelum pemberian 22,4 mm setelah


pemberian 23 mm. (Al-Saady LG, 2010)
Gull et al. (2012) di Pakistan melakukan penelitian untuk melihat
adanya aktifitas antibakteri dari bawang putih dan jahe. Dilakukan pada 8
jenis bakteri yaitu Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus
subtilis, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Shigella sonnei,
Staphylococcus epidermidisdanSalmonella typhi. Dari hasil diperoleh
bawang putih dengan ekstrak air menunjukkan aktifitas antibakteri
tertinggi dibandingkan dengan etanol dan metanol. Zona hambat terhadap
semua bakteri yang diuji tinggi kecuali E.coli dan Shigella. Zona hambat
pada bakteri Staphylococcus aureus19.3 ± 1.08 mm, Pseudomonas
aeruginosa 18.3 ± 0.72 mm dan Bacillus subtilis 18.6 ± 0.27 mm. Ekstrak
bawang putih dengan metanol ditemukan paling efektif terhadap semua
bakteri yang diuji. Sedangkan pada jahe dengan ekstrak etanol dan
metanol lebih efektif dibandingkan air. Aktifitas antibakteri dari ekstrak
bawang putih dianggap dari kandungan flavonoid dan minyak atsiri.
Atteia & Hussein (2014) di Saudi Arabia melakukan penelitian efek
ekstak Syzygium aromaticum (cengkeh), Commiphora molmol danAllium
sativum (bawang putih) secara in vitro dan digabung dengan pemberian
antibiotik. Diperoleh hasil efek antibakteri serta pemberian ekstrak herbal
dengan air menunjukkan Syzygium aromaticum (cengkeh) dan Allium
sativum (bawang putih) menunjukkan penghambatan pertumbuhan
terhadap Staphylococcus aureus berkisar antara 16,00 ± 0,58 mm dan
9,00 ± 0,58mm ditambah antibiotik levofloxacin 18.00 ±0.58 mm dan 10.33
±0.8 8 mm, antibiotik amokisiillin + asam klavulanat33.33±0.67mm dan
40.33±0.6 7 mm. Dengan ekstra etanol Syzygium aromaticum (cengkeh)
memiliki zona hambat terluas 21.00±0.58 mm dibandingkan Commiphora
molmol 17.67±0.33mm dan Allium sativum(bawang putih) 10.33 ±0.33mm
dan menghasilkan hasilnya yang sinergis terhadap peningkatan luas zona
hambat dengan pemberian antibiotik. Pada jenis bakteri Klebsiela
pneumoniae ekstrak air ketiga tanaman herbal tidak menunjukkan zona

Universitas Sumatera Utara


58

hambat sedangkan ekstra etanol zona hambat Syzygium aromaticum


lebih luas dibandingkan Allium sativum 14.00 ±0.58 mm dan 10.67 ±0.33
mm.
Pada penelitian yang dilakukan dari 30 pasien OMSK yang diberikan
ekstrak bawang putih liquid dimana diberikan 2 tetes 2 kali per hari selama
10 hari pada liang telinga dibandingkan dengan 20 pasien yang mendapat
0,25% larutan levomycetin dengan cara yang sama. Dilakukan
pemeriksaan dari rasa nyeri, telinga berair dan pemeriksaan darah. Dari
hasil pengamatan maka diperoleh pemberian ekstrak bawang putih liquid
lebih baik dalam mengurangi telinga berair dan dari hasil pemerikaan
darah jumlah leukosit lebih menurun pada pemberian ekstrak bawang
putih liquid.(Mukhitdinov et al.,2018).
Dari hasil penelitian diperoleh zona hambat pertumbuhan bakteri
setelah pemberian ekstrak bawang putih. Dimana semakin tinggi
konsentrasi ekstrak bawang putih semakin luas zona hambat yang
dihasilkan.
Dengan demikian hipotesis penelitian yang artinya terdapat efek
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan bakteri penyebab otitis
media supuratif kronis.

Universitas Sumatera Utara


BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini didapatkan bakteri penyebab Otitis Media
Supuratif Kronis (OMSK) adalah Pseudomonas aeruginosa,
Escheroichia coli, Proteus vulgaris, Klebsiella pneumoniae, Proteus
mirabilis, Enterobacter aerogenes dan Staphylococcus aureus.
2. Pada penelitian ini dilakukan uji sensitifitas ekstrak bawang putih
dimulai dari konsentrasi 70% didapati bahwa hanya terdapat zona
hambat di jenis bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC,
Pseudomonas aeruginosa, Escheroichia coli, Enterobacter
aerogenes, Staphylococcus aureus ATCC dan Staphylococcus
aureus. Dimana zona hambat paling luas pada Escheroichia coli
dengan rerata 12,12 mm.
3. Pada konsentrasi 80% didapati perluasan zona hambat, dimana
telah ditemukan zona hambat pada jenis bakteri Escheroichia coli
ATCC, Klebsiella pneumoniae ATCC, Klebsiella pneumoniae dan
Proteus mirabilis. Dimana zona hambat paling luas pada
Escheroichia coliklinis dengan rerata 14,87 mm
4. Pada penelitian ini dengan konsentrasi 90% ditemukan juga
perluasan zona hambat dimana zona hambat paling luas pada
Pseudomonas aeruginosa ATCC dengan rerata 16,49 mm.
5. Pada penelitian ini dengan konsentrasi 100% perluasan zona
hambat paling luas pada Pseudomonas aeruginosa ATCC dengan
rerata 19,12 mm.
6. Tidak ditemukan adanya efek ekstrak bawang putih dengan melihat
konsentrasi ekstrak dari 70%-100% pada jenis bakteri Proteus
vulgaris.

59
Universitas Sumatera Utara
60

7. Pada penelitian ini ditemukan rerata zona hambat tertinggi untuk


seluruh bakteri yang diperiksa dengan empat kali pengulangan
ditunjukkan oleh ekstrak pada konsentrasi 100%
8. Terdapat perbedaan rerata zona hambat yang signifikan antara
ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 70% dengan 80% dan
100%

6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disampaikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan
kandungan ekstrak bawang putih yang paling berperan dalam
menghambat pertumbuhan kuman.
2. Diperlukan penelitian menemukan sediaan dan konsentrasi yang
aman untuk diaplikasikan dalam penggunaan nya.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Abdulzahra MD, Mohammed HF, 2014. The Antibacterial Effect of Ginger


and Garlic Extracts on Some Pathogenic Bacteria Isolated from
Patients with Otitis Media. International Research Journal of
Medical Sciences. Vol.2(5),1-5.
Aboet A, 2007. Radang telinga tengah menahun. Pidato pengukuhan
jabatan guru besar tetap dalam bidang ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok bedah kepala dan leher. Proseding rapat terbuka
Universitas Sumatera Utara. Medan: USU-eRepository, hlm.1-27.
Adoga A, Nimkur T, Silas O, 2010. Chronic suppurative otitis media:
Socio-economic implications in a tertiary hospital in Northern
Nigeria. PanAfrican Medical Journal. Nigeria. 4:3. hal 1-8
Afolabi OA, Salaudeen AG, Ologe FE, Nwabuisi C, Nwawolo C. 2012.
Pattern of bacterial isolates in the middle ear discharge of patients
with chronic suppurative otitis media in a tertiay hospital in North
central Nigeria. Journal Heealth Sciences, 12(3).
Aguslia AD. 2016. Kejadian Otitis Media Supuratif Kronik dengan
Kolesteatoma di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Med Hosp.
Semarang. Vol.4 (1). p: 12-6.
Ahmad S. 2013. Antibiotics in chronic suppurative otitis media: A
bacteriologic study. Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and
Allied Sciences. Saudi Arabia. 14. p : 191-94
Akinpelu, AV. Amusa, HB. Komolafe, EO et al., 2007. Challenges
management of chronic suppurative otitis media in a developing
country. The Journal of Laryngology and Otology. Nigeria. 122. p :
16-20.
Alhelo S, Al-Abbasi AM& Saeed ZK, 2008. Efficacy of Garlic oil in
Treatment of Active Chronic Suppurative Otitis Media. Kufa Med.
Journal. Vol.11 No.1, pp. 495-500

61
Universitas Sumatera Utara
62

Atteia HG, Hussein EAM, 2014. In vitro antibacterial and synergistic


effects of some plant extracts against Staphylococcus aureus and
Klebsiella pneumoniae. Journal of Antimicrobials. 129, pp: 338-46
American Type Culture Collection. 2016. Bacterial Culture Guide tips and
techniques for culturing bacteria and bacteriophages. The Essentials
Of Life Science Research.
Baig MM, et al. 2011. Prevalance of Cholesteatoma and its Complication
in Patients of Chronic Suppurative Otitis Media. Journal of
Rawalpindi Medical College (JRMC). Vol. 15(1). pp: 16-7
Bakht J, Tayyab M, Ali H, Islam A & Shafi M, 2011. Effect of different
solvent extracted sample of Allium sativum (Linn) on bacteria and
fungi. African Journal of Biotechnology. Vol. 10 (4). pp. 666-69.
Benkeblia N. 2004. Antimicrobal activity of essential oil extracts of various
onions ( Allium cepa) and garlic (Allium sativum). Lebensm.- wiss. u.-
Technol. Vol 37. pp: 263-268
Browning G, Merchant S, Kelly G, Swan I, Canter R &McKerrow W,
2008.`Chronic Otitis Media`, in: Scott-Brown`s Otorhinolaryngology,
Head and Neck Surgery, Edward Arnold Ltd, London, p.3395-442.
Chole RA, Nason R, 2009. “Chronic Otitis Media and Cholesteatoma,”
Ballengger’s Manual of Otorhinology Head and Neck surgery.
Connecticut: BC Decker, 2009. p : 217-27.
Cutler RR, Wilson P. 2004. Antibacterial activity of a new, stable, aqueous
extract of allicin against methicillin-resistant Staphylococcus aureus.
British Journal of Biomedical Science. 61(2):71–4.
Daka D, 2011. Antibacterial effect of garlic (Allium sativum) on
Staphyloccus aureus: An in vitro study. African Journal of
Biotechnology. Vol. 10 (4). p. 666-69.
Deresse D, 2010. Antibacterial Effect of Garlic (Allium sativum) on
Staphyloccus aureus: An in vitro study.Asian Journal of Medical
Sciences. 2(2): 62-65.
Denboba AA, Abejew AA & Mekonnen AG. 2016. Antibiotic-Resistant
Bacteria Are Major Threats ofOtitis Media in Wollo Area,

Universitas Sumatera Utara


63

Northeastern Ethiopia: A Ten-Year Retrospective Analysis.


International Journal of Microbiology. Vol 2016. p: 1-9
Dhingra PL, 2010. Anatomy of Ear. In: Disease of Ear, Nose and Throat.
5th ed. Elsevier. New Delhi. p: 3-22
Dhingra PL, 2010. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media.
In Disease of Ear, Nose and Throat. 5th ed. Elsevier. New Delhi. p :
75-82
Dusica, SD. 2011. Garlic. Diakses tanggal10 Januari 2018. Tersedia dari:
https://umm.edu/health/medical/altmed/herb/garlic
Edward Y, Mulyani S, Triansyah I, 2013. Profil Pasien OMSK di Bagian
THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Periode 1 Januari 2010-31
Desember 2012. Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XVI PERHATI-KL
Medan, p.190-7.
Edward Y, Novianti D. 2015. Biofilm Pada Otitis Media Supuratif Kronik.
JMJ Vol 3, No.1. p: 68-68
Fujisawa H, Watanabe K, Suma K, Origuchi K, Matsufuji H, Seki T, Ariga
T. 2009. Antibacterial potential of garlic-derived allicin and its
cancellation by sulfhydryl compounds. Bioscience, Biotechnology,
and Biochemistry, 73(9): 1948–55.
Ghanie A, 2013. Otitis Media Supuratif Kronik Dengan Komplikasi
Intrakranial di RSUP Dr. Mohammad Hoesin. Kumpulan Naskah
Ilmiah KONAS XVI PERHATI-KL Medan, p.144-51.
Ghosh A, Rana A & Prasad S, 2015. Risk Factors and Microbiology of
Chronic Suppurative Otitis Media and its Clinical Significance in a
Tartiary Care Setup in Western Uttar Pradesh, India. International
Journal of Current Medical And Applied Sciences. Vol. 6 (3). pp: 177-
83
Harris JC, Cottrell SL, Plummer S & Lloyd D, 2001. Antimicrobial
properties of Allium sativum (garlic). Appl Microbiol BiotechnolVol 57.
pp: 282–86.

Universitas Sumatera Utara


64

Helmi. 2005. Otitis Media Supuratif Kronis, dalam Otitis Media Supuratif
Kronis : Pengetahuan Dasar, Terapi Medik Mastoidektomi. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. 55-72.
Iqbal K, Khan IM, Satti L. 2011. Microbiology of Chronic Suppurative Otitis
Media : Experience at Dera Ismail Khan. Gomal Journal of Medical.
Kelly. G. 2008. Aetiology and Epidemiology of Chronic Otitis Media. In
Gleeson M, ed. Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol. 3. 7th.
Butterworth-Heinemann. London. p 3408-411.
Kenna MA, Latz AD. 2006. Otitis Media and Middle Ear Effusion, In Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD, Editors. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia, USA. Lippincott
Williams & Wilkins. pp:1265-75.
Kumar H, Seth S. 2011. Bacterial and Fungal Study of 100 Cases of
Chronic Suppurative Otitis Media. Journal of Clinical and Diagnostic
Research. Vol. 5(6). pp. 1224-7.
Jawetz, Melnick & Adelberg’s. 2013. “Infections Caused by Anaerobic
Bacteria”. In Medical Microbiology. 26th ed. Mc Grwaw Hill. United
States. pp: 295-302
Londhe VP, Gavasane AT, Nipate SS, Bandawane D & Chaudhari PD.
2011. Role of Garlic (Allium Sativum) in Various Diseases : an
Overview. Journal of Pharmaceutical Research And Opinion. 1: 4.
pp. 129 – 134
Mahsenipour Z, Hassanshahian M. 2015. The Effects of Allium sativum
Extracts on Biofilm Formation and Activities of Six Pathogenic
Bacteria.Jundishapur J Microbiol. Vol.8. pp.1-7.
Majewski M. 2014. Allium sativum: Facts and Myths Regarding Human
Health. J Natl Ins Public Health. 65 (1) pp: 1-8.
Memon A, Matiullah S, Ahmed Z, Marfani M. 2008.Frequency of Un-Safe
Chronic Suppurative Otitis Media in Patients with Discharging Ear,
Original Article, JLUMHS.pp:102-5.

Universitas Sumatera Utara


65

Menteri Kesehatan RI. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di
Rumah Sakit. pp. 10.
Mikaili P, Maadirad S & Moloudizargari M. 2013. Therapeutic uses and
pharmacological properties of Garlic, Shallot and their Biological
Active Compounds. Iran J Basic Med. 16 (10). pp: 1031-48.
Mugabe C, Azghani AO & Omri A. 2005. Liposome-mediated gentamicin
delivery: development and activity against resistant strains of
Pseudomonas aeruginosa isolated from cystic fibrosis patients.
Journal of Antimicrobial Chemotherapy. Vol: 55. p: 269-71
Mukhitdinov A, Olimov N & Olimova S. 2018. Comparative Clinical Studyof
the Effectiveness of MEKRITEN in Patients with Chronic Suppurative
Otitis. Turk J Pharm Sci. Vol: 15 (2). pp: 184-9.
Novita SS. 2015. Karakteristik, Faktor Risiko, Pola Kuman dan Uji
Sensitifitas Antibiotika pada Penyakit Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK) di RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis. Universitas
Sumatera Utara.
Orji FT. 2013,′A survey of the burden of management of chronic
suppurative otitis media in developing country′, Annals of Medical
and Health Sciences Research, vol. 3, no.4.
Praba SK, Kumaresan R. 2014. Efficacy of antimicrobial activity of
aqueous garlic (Allium sativum) extract against different bacterial
species. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. 6(10).
P 677-79.
Rangaiah ST, Dudda R, Prasad MH, Balaji NK, Sumangala B.2, Gudikote
MM. 2017. Bacteriological profile of chronic suppurative otitis media
in a tertiary care hospital. Int J Otorhinolaryngol Head Neck Surg.
Vol. 3(3) pp:601-5.
Rath S, Das SR & Padhy RN. 2017. Surveillance of bacteria
Pseudomonas aeruginosa and MRSA associated with chronic
suppurative otitis media. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology.
Vol. 83(2), pp : 201-6.

Universitas Sumatera Utara


66

Santoso B. 2015. Profil Otitis Media Supuratif Kronis di Sumatera Utara,


Tesis, Ilmu Kesehatan THT-KL FK USU. Medan.
Saraswati J, Venkatesh R, Jeya M. 2013. Study of aerobic bacterial and
fungal etiology of chronic suppurative otitis media in tertiary care
hospital in out skirts of Chennai, India. International Journal of
Research in Health. Vol.1(3).
Shrestha BL, Amatya RCM, Shrestha I &Ghosh I. 2011. Microbiological
Profil of Chronic Suppurative Otitis Media. Nepalese Journal of ENT
Head & Neck Surgery. Vol.2 (2).
Singh VK, Singh DK. 2008. Pharmacological effects of garlic (Allium
sativum L.). Annu Rev Biomed Sci. 10: 6-26.
Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku Ajar
IlmuKesehatanTelingaHidungTenggorokKepaladanLeher. VolVI(6).
Jakarta :FakultasKedokteranUniversitas Indonesia. 2001.
Verhoeff M, Veendervan LE, Rovers MM, Sanders AME &Schilder GMA,
2006. Chronic suppurative otitis media: A review. International
Journal of Pediatric Otorhinolaryngology. Elsevier. pp: 1-12.
Verma S, Kaur S, Singh J & Garg A. 2015. Anti-bacterial Effect of Garlic
(Allium sativum L) Extract on Different Pathogenic and Non-
pathogenic Bacteria. Research Journal of Pharmaceutical,
Biological and Chemical Sciences. India. Vol 6 (3). pp: 1103-7
WHO, 2004. Chronic Suppuratif Otitis Media; burden of illness and
management option. Child and Adolescent Health and
Development Prevention of Blindness and Deafness.WHO Geneva,
Swizerland.
Yates PD, Anari S, 2008. Otitis Media. In: Lalwani AK (ed). Current
diagnosis and treatment in otolaryngology-head and neck surgery
(2nd ed), Columbus, OH: McGraw-Hill.
Yeh YY, Liu L. 2001. Cholesterol lowering effect of garlic extracts and
organosulfur compounds: Human and Animal studies. J. Nutr. 131:
989s-993s.

Universitas Sumatera Utara


67

Yeo GS, Park CD, Hong MS, Cha IC, Kim GM, 2007. Bacterioloy of
chronic suppurative otitis media- a multicenter study. Acta
OtoLaryngologica, Korea. pp: 1062-67.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1

STATUS PENELITIAN
No.
I. IDENTITAS
I.1. IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ............................................................................
Tanggal lahir : ............................................................................
Jenis Kelamin : ............................................................................
Alamat : ............................................................................
Telepon : ............................................................................
No. M R : ............................................................................

II ANAMNESIS
II.1. Keluhan Utama :
Lama Keluhan :

II.2. Keluhan Tambahan :

III. PEMERIKSAAN FISIK

III.1.Telinga
A. Telinga Kanan :
Daun Telinga :
Liang Telinga: Sekret ( ), mukoid ( ), mukopurulen ( )
purulen ( )
Jaringan granulasi ( )
Kolesteatoma ( )
Lain – lain :

68
Universitas Sumatera Utara
B. Telinga Kiri :
Liang Telinga : Sekret ( ), mukoid ( ), mukopurulen ( )
purulen ( )Jaringan granulasi ( )
Kolesteatoma ( )
Lain – lain : …………………..

VII. Diagnosa :

69
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2

LembarPenjelasanSubjekPenelitian

Efek antimikroba ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan

bakteri penyebab otitis media supuratif kronis

Bapak/Ibu/Sdr./i yang sangat saya hormati, nama saya dr. Ribka Ginting,

Residen Departemen Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang

melakukan penelitian untuk tesis spesialisyang berjudul “Efek antimikroba

ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan bakteri penyebab otitis

media supuratif kronis”.

Untuk melengkapi penelitian ini, maka saya harus melakukan

wawancara dan pemeriksaan padaBapak/Ibu/Sdr./i. Sebelumnya, saya

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

Bapak/Ibu/Sdr./i atas kesediaannya menjadi responden. Perlu saya

jelaskan bahwa penelitian ini akan digunakan semata-mata untuk

keperluan penyusunan tesis spesialissaya dan tidak untuk keperluan

lainnya.

Setelah penyakit OMSK Bapak/Ibu diperiksa T.H.T.K.L. di

Departemen Otologi T.H.T.K.L. FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, RS

Pendidikan Universitas Sumatera Utara, RS Murni Teguh, RS Columbia

Asia. Setelah itu, akan dilakukan pengambilan cairan telinga dan

dilakukan pemeriksaannya di Departemen Mikrobiologi FK USU / RS

70
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan Universitas Sumatera Utara. Untuk keakuratan data dan

informasi yang dikumpulkan maka saya sangat berharap agar

Bapak/Ibu/Sdr./i bersedia memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya

sesuai dengan apa yang Bapak/Ibu/Sdr./i ketahui, alami dan rasakan

sehubungan dengan judul penelitian saya.

Bapak/Ibu/Sdr./i dapat berhenti kapan saja apabila tidak berkenan,

namun saya sangat berharap Bapak/Ibu/Sdr./i dapat mengikuti penelitian

ini hingga tuntas.

Mudah-mudahan informasi yang saya sampaikan sudah cukup

jelas. Bila demikian saya harapkan Bapak/Ibu/Sdr./i dapat membubuhkan

tandatangan pada Departemen bawah lembaran ini sebagai tanda

persetujuan sehingga wawancara dan pemeriksaan dapat segera kita

mulai.

71
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3

Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

(Informed Consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : .........................................................

Umur : .........................................................

Jenis Kelamin : .........................................................

Alamat : .........................................................

Setelah mendapat penjelasan dan memahami dengan penuh kesadaran

mengenai penelitian ini, maka dengan ini saya menyatakan bersedia

untuk ikut serta. Apabila dikemudian hari saya mengundurkan diri dari

penelitian ini, maka saya tidak akan dituntut apapun.

Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila

diperlukan.

Medan, 2018

Peneliti Peserta penelitian

(dr. Ribka Ginting) (........................................)

72
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4

73
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5

74
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6

OUTPUT ANALISIS

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

tupu1 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%


depu1 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
sepu1 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
ser1 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
tupu2 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
depu2 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
sepu2 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
ser2 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
tupu3 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
depu3 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
sepu3 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
ser3 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
tupu4 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
depu4 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
sepu4 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%
ser4 11 100.0% 0 0.0% 11 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

tupu1 Mean 5.3182 1.55983

95% Confidence Interval for Lower Bound 1.8427


Mean Upper Bound 8.7937

5% Trimmed Mean 5.2424

Median 8.5000

Variance 26.764

Std. Deviation 5.17336

Minimum .00
Maximum 12.00

Range 12.00

75
Universitas Sumatera Utara
76

Interquartile Range 9.50

Skewness -.097 .661

Kurtosis -2.250 1.279


depu1 Mean 9.8636 1.18339
95% Confidence Interval for Lower Bound 7.2269
Mean Upper Bound 12.5004
5% Trimmed Mean 10.1263
Median 9.5000
Variance 15.405
Std. Deviation 3.92486
Minimum .00
Maximum 15.00
Range 15.00
Interquartile Range 2.50
Skewness -1.452 .661
Kurtosis 4.054 1.279
sepu1 Mean 11.5909 1.34809
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.5872
Mean Upper Bound 14.5946
5% Trimmed Mean 11.9343
Median 12.0000
Variance 19.991
Std. Deviation 4.47112
Minimum .00
Maximum 17.00
Range 17.00
Interquartile Range 3.50
Skewness -1.766 .661
Kurtosis 4.715 1.279
ser1 Mean 13.6818 1.55545
95% Confidence Interval for Lower Bound 10.2161
Mean Upper Bound 17.1476
5% Trimmed Mean 14.1187
Median 15.0000
Variance 26.614
Std. Deviation 5.15884
Minimum .00
Maximum 19.50

Universitas Sumatera Utara


77

Range 19.50
Interquartile Range 4.50
Skewness -2.008 .661
Kurtosis 5.325 1.279
tupu2 Mean 5.1818 1.52595
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.7818
Mean Upper Bound 8.5818
5% Trimmed Mean 5.0909
Median 8.0000
Variance 25.614
Std. Deviation 5.06099
Minimum .00
Maximum 12.00
Range 12.00
Interquartile Range 9.50
Skewness -.068 .661
Kurtosis -2.197 1.279
depu2 Mean 9.6364 1.18914
95% Confidence Interval for Lower Bound 6.9868
Mean Upper Bound 12.2859
5% Trimmed Mean 9.9015
Median 9.0000
Variance 15.555
Std. Deviation 3.94393
Minimum .00
Maximum 14.50
Range 14.50
Interquartile Range 3.50
Skewness -1.296 .661
Kurtosis 3.254 1.279
sepu2 Mean 11.3182 1.35726
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.2940
Mean Upper Bound 14.3423
5% Trimmed Mean 11.6313
Median 11.5000
Variance 20.264
Std. Deviation 4.50151
Minimum .00

Universitas Sumatera Utara


78

Maximum 17.00
Range 17.00
Interquartile Range 4.00
Skewness -1.540 .661
Kurtosis 3.888 1.279
ser2 Mean 13.2273 1.50509
95% Confidence Interval for Lower Bound 9.8737
Mean Upper Bound 16.5808
5% Trimmed Mean 13.6692
Median 14.5000
Variance 24.918
Std. Deviation 4.99181
Minimum .00
Maximum 18.50
Range 18.50
Interquartile Range 4.50
Skewness -2.024 .661
Kurtosis 5.242 1.279
tupu3 Mean 5.3636 1.57695
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.8500
Mean Upper Bound 8.8773
5% Trimmed Mean 5.2652
Median 8.5000
Variance 27.355
Std. Deviation 5.23016
Minimum .00
Maximum 12.50
Range 12.50
Interquartile Range 9.50
Skewness -.075 .661
Kurtosis -2.194 1.279
depu3 Mean 9.8182 1.19900
95% Confidence Interval for Lower Bound 7.1466
Mean Upper Bound 12.4897
5% Trimmed Mean 10.0758
Median 9.5000
Variance 15.814
Std. Deviation 3.97664

Universitas Sumatera Utara


79

Minimum .00
Maximum 15.00
Range 15.00
Interquartile Range 3.50
Skewness -1.351 .661
Kurtosis 3.554 1.279
sepu3 Mean 11.3636 1.30748
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.4504
Mean Upper Bound 14.2769
5% Trimmed Mean 11.7374
Median 11.5000
Variance 18.805
Std. Deviation 4.33642
Minimum .00
Maximum 16.00
Range 16.00
Interquartile Range 4.00
Skewness -1.866 .661
Kurtosis 4.997 1.279
ser3 Mean 13.4545 1.52473
95% Confidence Interval for Lower Bound 10.0572
Mean Upper Bound 16.8518
5% Trimmed Mean 13.8939
Median 15.0000
Variance 25.573
Std. Deviation 5.05695
Minimum .00
Maximum 19.00
Range 19.00
Interquartile Range 4.50
Skewness -2.040 .661
Kurtosis 5.405 1.279
tupu4 Mean 5.2273 1.53795
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.8005
Mean Upper Bound 8.6540
5% Trimmed Mean 5.1414
Median 8.5000
Variance 26.018

Universitas Sumatera Utara


80

Std. Deviation 5.10080


Minimum .00
Maximum 12.00
Range 12.00
Interquartile Range 9.00
Skewness -.073 .661
Kurtosis -2.205 1.279
depu4 Mean 9.5909 1.21509
95% Confidence Interval for Lower Bound 6.8835
Mean Upper Bound 12.2983
5% Trimmed Mean 9.8232
Median 9.5000
Variance 16.241
Std. Deviation 4.03000
Minimum .00
Maximum 15.00
Range 15.00
Interquartile Range 3.00
Skewness -1.053 .661
Kurtosis 2.924 1.279
sepu4 Mean 11.3636 1.36197
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.3290
Mean Upper Bound 14.3983
5% Trimmed Mean 11.6540
Median 11.5000
Variance 20.405
Std. Deviation 4.51714
Minimum .00
Maximum 17.50
Range 17.50
Interquartile Range 3.50
Skewness -1.494 .661
Kurtosis 4.029 1.279
ser4 Mean 13.4545 1.57315

95% Confidence Interval for Lower Bound 9.9494


Mean Upper Bound 16.9597
5% Trimmed Mean 13.8662

Median 15.0000

Universitas Sumatera Utara


81

Variance 27.223

Std. Deviation 5.21754

Minimum .00

Maximum 19.50

Range 19.50

Interquartile Range 5.00

Skewness -1.797 .661

Kurtosis 4.427 1.279

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.

tupu1 .303 11 .006 .760 11 .003


depu1 .322 11 .002 .822 11 .018
sepu1 .270 11 .024 .824 11 .020
ser1 .245 11 .063 .808 11 .012
tupu2 .302 11 .006 .772 11 .004
depu2 .296 11 .008 .846 11 .038
sepu2 .212 11 .178 .866 11 .068
ser2 .237 11 .085 .802 11 .010
tupu3 .302 11 .006 .763 11 .003
depu3 .279 11 .016 .857 11 .053
sepu3 .286 11 .012 .802 11 .010
ser3 .259 11 .038 .798 11 .009
tupu4 .302 11 .006 .766 11 .003
depu4 .256 11 .043 .866 11 .070
sepu4 .249 11 .055 .860 11 .057
ser4 .228 11 .114 .836 11 .028

a. Lilliefors Significance Correction

Universitas Sumatera Utara


82

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

tupu 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%


depu 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%
sepu 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%
ser 4 100.0% 0 0.0% 4 100.0%

Descriptives

Statistic Std. Error

tupu Mean 5.2725 .04110

95% Confidence Interval for Lower Bound 5.1417


Mean Upper Bound 5.4033

5% Trimmed Mean 5.2728

Median 5.2750

Variance .007

Std. Deviation .08221

Minimum 5.18

Maximum 5.36
Range .18

Interquartile Range .16

Skewness -.109 1.014

Kurtosis -3.270 2.619


depu Mean 9.7275 .06625
95% Confidence Interval for Lower Bound 9.5167
Mean Upper Bound 9.9383
5% Trimmed Mean 9.7278
Median 9.7300
Variance .018
Std. Deviation .13251
Minimum 9.59
Maximum 9.86
Range .27
Interquartile Range .25

Universitas Sumatera Utara


83

Skewness -.044 1.014


Kurtosis -4.877 2.619
sepu Mean 11.4075 .06156
95% Confidence Interval for Lower Bound 11.2116
Mean Upper Bound 11.6034
5% Trimmed Mean 11.4022
Median 11.3600
Variance .015
Std. Deviation .12312
Minimum 11.32
Maximum 11.59
Range .27
Interquartile Range .20
Skewness 1.855 1.014
Kurtosis 3.591 2.619
ser Mean 13.4575 .09187

95% Confidence Interval for Lower Bound 13.1651


Mean Upper Bound 13.7499

5% Trimmed Mean 13.4578

Median 13.4600

Variance .034

Std. Deviation .18373

Minimum 13.23

Maximum 13.68

Range .45

Interquartile Range .34

Skewness -.082 1.014

Kurtosis 1.504 2.619

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

tupu .218 4 . .949 4 .707


depu .257 4 . .882 4 .346
sepu .400 4 . .757 4 .045
ser .255 4 . .944 4 .682

a. Lilliefors Significance Correction

Universitas Sumatera Utara


84

Friedman Test

Ranks

Mean Rank

tupu 1.00
depu 2.00
sepu 3.00
ser 4.00

a
Test Statistics

N 4
Chi-Square 12.000
df 3
Asymp. Sig. .007

a. Friedman Test

T-Test

Notes

Output Created 29-MAY-2018 13:51:03


Comments
Input Data D:\aaPROJECT\STATISTIK\THT\RIBKA\d
ata 28 mei 2018\data ribka rata rata.sav
Active Dataset DataSet2
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
4
File
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated
as missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on
the cases with no missing or out-of-range
data for any variable in the analysis.

Universitas Sumatera Utara


85

Syntax T-TEST PAIRS=tupu WITH depu


(PAIRED)
/CRITERIA=CI(.9500)
/MISSING=ANALYSIS.
Resources Processor Time 00:00:00.02

Elapsed Time 00:00:00.01

[DataSet2] D:\aaPROJECT\STATISTIK\THT\RIBKA\data 28 mei 2018\data ribka


rata rata.sav

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 tupu 5.2725 4 .08221 .04110

depu 9.7275 4 .13251 .06625

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 tupu & depu 4 .867 .133

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the

Std. Difference Sig. (2-


Mean Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df tailed)

Pair 1 tupu - depu -4.45500 .07371 .03686 -4.57229 -4.33771 -120.877 3 .000

Universitas Sumatera Utara


86

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


a
sepu - tupu Negative Ranks 0 .00 .00
b
Positive Ranks 4 2.50 10.00
c
Ties 0

Total 4

a. sepu < tupu


b. sepu > tupu
c. sepu = tupu

a
Test Statistics

sepu - tupu
b
Z -1.826
Asymp. Sig. (2-tailed) .068

a. Wilcoxon Signed Ranks Test


b. Based on negative ranks.

T-Test

Notes

Output Created 29-MAY-2018 13:53:22


Comments
Input Data D:\aaPROJECT\STATISTIK\THT\RIBKA\d
ata 28 mei 2018\data ribka rata rata.sav
Active Dataset DataSet2
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
4
File
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated
as missing.

Universitas Sumatera Utara


87

Cases Used Statistics for each analysis are based on


the cases with no missing or out-of-range
data for any variable in the analysis.
Syntax T-TEST PAIRS=tupu WITH ser (PAIRED)
/CRITERIA=CI(.9500)
/MISSING=ANALYSIS.
Resources Processor Time 00:00:00.02

Elapsed Time 00:00:00.02

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean


Pair 1 tupu 5.2725 4 .08221 .04110

ser 13.4575 4 .18373 .09187

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 tupu & ser 4 .700 .300

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the

Std. Std. Error Difference

Mean Deviation Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)

Pair 1 tupu - ser -8.18500 .13916 .06958 -8.40644 -7.96356 -117.631 3 .000

Wilcoxon Signed Ranks Test


Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


a
sepu - depu Negative Ranks 0 .00 .00
b
Positive Ranks 4 2.50 10.00
c
Ties 0

Universitas Sumatera Utara


88

Total 4

a. sepu < depu


b. sepu > depu
c. sepu = depu

a
Test Statistics

sepu - depu
b
Z -1.826
Asymp. Sig. (2-tailed) .068

a. Wilcoxon Signed Ranks Test


b. Based on negative ranks.

T-Test

Notes

Output Created 29-MAY-2018 13:55:19


Comments
Input Data D:\aaPROJECT\STATISTIK\THT\RIBKA\d
ata 28 mei 2018\data ribka rata rata.sav
Active Dataset DataSet2
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data
4
File
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated
as missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on
the cases with no missing or out-of-range
data for any variable in the analysis.
Syntax T-TEST PAIRS=depu WITH ser (PAIRED)
/CRITERIA=CI(.9500)
/MISSING=ANALYSIS.
Resources Processor Time 00:00:00.00

Elapsed Time 00:00:00.04

Universitas Sumatera Utara


89

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 depu 9.7275 4 .13251 .06625

ser 13.4575 4 .18373 .09187

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 depu & ser 4 .675 .325

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence Interval

Std. Std. Error of the Difference

Mean Deviation Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)

Pair 1 depu - ser -3.73000 .13589 .06795 -3.94623 -3.51377 -54.896 3 .000

Wilcoxon Signed Ranks Test

Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


a
ser - sepu Negative Ranks 0 .00 .00
b
Positive Ranks 4 2.50 10.00
c
Ties 0

Total 4

a. ser < sepu


b. ser > sepu
c. ser = sepu

a
Test Statistics

ser - sepu
b
Z -1.841
Asymp. Sig. (2-tailed) .066

a. Wilcoxon Signed Ranks Test


b. Based on negative ranks.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7
Hail pengukuran zona hambat bakteri terhadap ekstrak bawang putih
1. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Pseudomonas
aeruginosa ATCC

2. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Pseudomonas


aeruginosa Klinis

90
Universitas Sumatera Utara
91

3. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Escherichia coliATCC

4. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Escherichia coli Klinis

Universitas Sumatera Utara


92

5. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Proteus vulgaris Klinis

6. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae


ATCC

Universitas Sumatera Utara


93

7. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Klebsiella pneumoniae


Klinis

8. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Proteus mirabilis Klinis

Universitas Sumatera Utara


94

9. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Enterobacter


aerogenes Klinis

Universitas Sumatera Utara


95

10. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Staphylococcus


aureus ATCC

11. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Staphylococcus


aureus Klinis

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 8

PERSONALIA PENELITIAN

1. Peneliti Utama
Nama : dr. Ribka Ginting
Gol/Pangkat :-
NIM : 117041205
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L. FK USU (Asisten Ahli)
Fakultas : Kedokteran
Perguruan tinggi : Univeristas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher
Waktu disediakan : 12 jam/ minggu

2. Anggota Peneliti / Pembimbing


A. Nama : Dr. dr. Devira Zahara, M. Ked
(ORL-HNS), Sp. T.H.T.K.L. (K)
NIP : 197812072008012013
Gol/Pangkat : III/d, Penata Tingkat I
Jabatan : Staf Divisi Otologi/ Neurotologi/
SMF T.H.T.K.L. FK USU / RSUP. HAM
Fakultas : Kedokteran
Perguruan tinggi : Univeristas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher
Waktu disediakan : 5 jam/ minggu

B. Nama : Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp.


T.H.T.K.L. (K)
NIP : 194603051975031001
Gol/Pangkat : IV/e, Pembina Utama
Jabatan : Staf Divisi Otologi

96
Universitas Sumatera Utara
97

SMF T.H.T.K.L. FK USU / RSUP. HAM


Fakultas : Kedokteran
Perguruan tinggi : Univeristas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher
Waktu disediakan : 5 jam/ minggu

C. Konsultan Penelitisn Mikrobiologi : dr. R. Lia Kusumawati, M.S,


Sp. MK (K), Ph.D

D. Konsultan Metodologi Peneltian : Dr. dr. Taufik Ashar, MKM

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai