2018
Ginting, Ribka
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/8203
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
EFEK ANTI MIKROBA ESTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP
PERTUMBUHAN BAKTERI PENYEBAB OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS
SECARA IN VITRO
TESIS
Oleh:
RIBKA GINTING
NIM 117041205
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai
Gelar Magister Kedokteran dalam Bidang Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher
Oleh
RIBKA GINTING
NIM 117041205
ii
iii
Ribka Ginting
iv
Abstrak
Pendahuluan: Otitis Media Supuratif Kronik merupakan penyakit yang sering
dijumpai dibagian THT. Organisme yang dapat ditemukan pada OMSK dapat
berupa kuman aerob, anerob maupun kombinasi keduanya ataupun jamur. Allicin
yang terkandung pada bawang putih dipercaya sebagai bahan aktif yang
berperan dalam efek antibakteri baik itu bakteri gram negatif maupun bakteri
gram positif.
Perumusan Masalah : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian
ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan kuman pada OMSK.
Bahan dan Metode : Penelitian ini bersifat eksperimental pre dan post
design.Sampel dikumpulkan secara non probabilityconsecutive sampling.
Hasil :Pada konsentrasi 90% dan 100%rerata zona hambat terluas tampak pada
Pseudomonas aeruginosaATCC(16,49 mm/19,12mm), Escherichia coli klinis
(16,36 mm/17,75 mm) dan Pseudomonas aeruginosa klinis (13,75 mm/16,25
mm) Rerata zona hambat untuk seluruh bakteri yang diperiksa untuk ulangan I
sampai ulangan IV paling luas ditunjukkan oleh ekstrak dengan konsentrasi
100%.
Kesimpulan:Terdapat perbedaan rerata zona hambat yang signifikan antara
ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 70% dengan 80% dan 100%, dan
antara konsentrasi 80% dan 100%.
Kata Kunci : OMSK, Ekstrak Bawang Putih, Sensitivitas.
Abstract
Introduction: Chronic Suppurative Otitis Media is a common disease in ENT.
Organisms that can be found on OMSK can be either aerobic, anerobic, or a
combination of both or fungi. Allicin contained in garlic is believed to be an active
ingredient that plays a role in the antibacterial effects of both gram-negative
bacteria and gram-positive bacteria.
Objective: This study aims to determine the effect of garlic extract on the growth
of germs in CSOM.
Materials and Methods: This research is experimental pre and post design.
Samples were collected on a non probability-consecutive sampling basis.
Results: At 90% and 100% concentration, the widest drag zone visible in
Pseudomonas aeruginosaATCC (16,49 mm/19,12 mm), clinical Escherichia
coli(16,36 mm/17,75 mm) and clinical Pseudomonas aeruginosa (13,75
mm/16,25 mm)The mean widest inhibition zone for all bacteria examined for
repeat shown by garlic extracts with concentration 100%.
Conclusion: There is a significant difference of mean inhibition zone between
garlic extract at 70% concentration with 80% and 100%, and between 80% and
100% concentration.
Keywords:CSOM, Garlic Extract, Sensitivity
vi
vii
viii
Tabel 3.1 Tabel pengamatan uji dilusi ekstrak bawang putih .......... 40
Tabel 3.2 Tabel jumlah bakteri pemberian ekstak bawang putih ...... 43
Tabel 3.11 Tabel jadwal penelitian..................................................... 46
Tabel 4.1 Tabel Jenis Bakteri ......................................................... 47
Tabel 4.2 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 70% .............................................................. 48
Tabel 4.3 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 80% .............................................................. 48
Tabel 4.4 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 90% .............................................................. 49
Tabel4.5 Tabel Zona Hambat Berdasarkan Jenis Bakteri
Konsentrasi 100% ............................................................ 50
Tabel 4.6 Tabel Zona Hambat Berbagai Konsentrasi Berdasarkan
UlanganI-IV untuk Seluruh Bakteri .................................. 52
Tabel 4.7 Tabel Perbedaan Rerata Zona Hambat Dari Berbagai
Konsentrasi Ekstrak ........................................................ 52
Tabel 4.8 Tabel Perbedaan Rerata Zona Hambat Antar Berbagai
Konsentrasi Ekstrak ........................................................ 53
ix
1
Universitas Sumatera Utara
2
7
Universitas Sumatera Utara
8
media kronis dengan perawatan yang tidak baik (WHO, 2004; Chole &
Nason, 2009).
2.1.3. Kekerapan
Survei prevalensi di seluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi
dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi,
menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65-330 juta orang
dengan keluhan telinga berair sebanyak 60% dimana 39-200 juta
penderita menderita kurang pendengaran yang signifikan (WHO, 2004).
Secara umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dimana
pasien OMSK ditemukan sebanyak 25% dari pasien-pasien yang berobat
ke poliklinik THT rumah sakit di Indonesia (Aboet, 2007).
Sesuai kriteria WHO Indonesia termasuk negara dengan prevalensi
tinggi untuk penyakit otitis media supuratif kronis (WHO, 2004). Secara
umum prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia adalah 3.8%
dan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 25% pasien yang
berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Berdasarkan survei
kesehatan indera penglihatan dan pendengaran yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1993-1996,
prevalensi otitis media supuratif kronis sebesar 3.1%. Pada tahun 2002
prevalensi otitis media supuratif kronis di Indonesia berkisar 2.1 – 5.2%. Di
RSUP M. Jamil menjumpai kejadian otitis media supuratif kronis Padang
tahun 2009-2010 sejumlah 7.67%. (Edward & Mulyani, 2011). Sedangkan
pada Januari 2010-Desember 2012 di RSUP Dr. M Jamil Padang
didapatkan kasus OMSK tipe aman 704 dan bahaya 82. (Edward &
Novianti, 2015).
Data poliklinik THT RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006
menunjukkan pasien otitis media supuratif kronis merupakan 26% dari
seluruh kunjungan pasien, sedangkan pada tahun 2007 dan 2008
diperkirakan sebesar 28 dan 29% (Aboet, 2007). Didapatkan 130 kasus
otitis media supuratif kronis dan 65 diantaranya adalah kasus dengan
g. Genetik
Insiden OMSK bervariasi dalam populasi yang berbeda,di negara maju,
tertinggi di Eskimo, penduduk asli Amerika, Maori Selandia Baru dan
Aborigin Australia.Tampaknya bahwa prevalensi OMSK pada populasi
tersebut cenderung menurun. Dalam salah satu penelitian terhadap
anak-anak Maori di Selandia Baru, prevalensi OMSK menurun secara
signifikan dari 9% pada tahun 1978 menjadi 3% pada tahun 1987 (p
<0,02).Sulit untuk menjawab pertanyaan apakah faktor genetik
mempengaruhi OMSK, karena adanya variabel pengganggu seperti
kelompok sosial ekonomi rendah dari beberapa kelompok genetik yang
insidennya tinggi mengalami OMSK. Pada suku asli Amerika yang
didapati insiden yang tinggi mengalami OMSK ternyata angka kejadian
ini bervariasi di antara suku-suku asli Amerika berdasarkan genetik
(Kelly, 2008).
Menurut Verhoeff faktor genetik untuk OMSK sampai saat ini masih
menjadi perdebatan. Dimana penelitian terhadap kembar yang
mengalami otitis media menunjukkan peningkatan tingkat kecocokan
pada kembar monozygotic daripada kembar dizygotic (Verhoeff et al.,
2006).
h. Alergi
Penderita alergi memiliki risiko yang tinggi yang menimbulkan
gangguan pada tuba eustachius dan sumbatan hidung yang dapat
menimbulkan terbentuknya cairan pada telinga tengah (Chole & Nason,
2009). Susilo (2010) di Medan memeriksa 54 penderita dan
mendapatkan reaksi alergi pada penderita OMSK benigna lebih besar
dibandingkan dengan reaksi alergi pada penderita yang tidak OMSK,
yaitu sebesar 74,1% pada kelompok penderita OMSK tipe benigna dan
40,7% pada kelompok yang tidak OMSK.
2.1.5. Patogenesis
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis OMSK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikroskop,
pemeriksaan audiometri, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
bakteriologi. Melalui anamnesa kita dapat mengetahui tentang perjalanan
penyakit, faktor risiko, gejala penyakit, serta hal-hal lainnya yang
mengarah ke diagnosis OMSK (Chole & Nason, 2009; Dhingra, 2010;
Kenna, 2006).
Cairan telinga dibersihkan dengan alat pembersih cairan atau alat
penghisap cairan, selanjutnya digunakan otoskop, mikroskop atau
endoskop untuk melihat lebih jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran
timpani dan kavum timpani (Djaafar, 2008).
2. Pemeriksaan audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati
jenis tuli konduktif, tetapi dapat pula dijumpai adanya jenis tuli
sensorineural, Penurunan tingkat pendengaran tergantung kondisi
membran timpani seperti letak perforasi, tulang-tulang
pendengaran dan mukosa telinga tengah (Dhingra, 2010, Chole &
Nason; 2009).Tuli konduktif dapat diperbaiki dengan melakukan
tindakan operasi, sedangkan tuli sensorineural yang permanen
hanya dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar
(Elemraid et al., 2010).
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat memberikan informasi tambahan
untuk melengkapi pemeriksaan klinis. CT-scan dan MRI dari tulang
temporal dapat menggambarkan luasnya penyakit dan dapat
mengidentifikasi kolesteatoma pada pasien yang asimtomatik.
Meskipun CT-Scan dianggap standar emas pencitraan
kolesteatoma namun CT-Scan mempunyai kekurangan specificity
dalam membedakan kolesteatoma dengan jaringan granulasi atau
edema terutama ketika erosi tulang tidak ada (Chole & Nason,
2009).
4. Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga
Pemeriksaan kultur dan sensitifitas sekret telinga dapat membantu
dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan OMSK (Dhingra,
2010).
Sekret telinga penting untuk menentukan bakteri penyebab OMSK
sehingga kita dapat menentukan penggunaan antibiotika yang tepat
dalam memberikan pengobatan otitis media supuratif kronis (Iqbal
et al., 2011; Kenna & Latz, 2006).
2.1.10. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan OMSK adalah untuk menyembuhkan gejala
dan meminimalkan risiko komplikasi penyakit. Pembedahan adalah satu-
satunya pengobatan yang efektif pada kolesteatoma. Granulasi dan
inflamasi mukosa sementara dapat diatasi dengan obat topikal dan aural
toilet untuk mengurangi otorea sambil menunggu operasi (Wright &
Valentine, 2008). Pasien dengan otore dari perforasi sentral dapat diobati
dulu dengan medikamentosa untuk mengontrol infeksi dan menghentikan
otore sebagai tujuan jangka pendek sedangkan tujuan jangka panjangnya
adalah usaha menutup perforasi membran timpani dan memperbaiki
pendengaran secara operatif (Helmi, 2005).
1. Aural toilet dapat digunakan untuk membersihkan sekret dan debris
dari telinga, dapat menggunakan suction dibawah mikroskop, dan
telinga harus dikeringkan kembali setelah diirigasi (Dhingra, 2010).
2. Tetes telinga dapat diberikan yang mengandung neomycin,
polymyxin, cloromycetin atau gentamycin, dapat juga
dikombinasikan dengan steroid yang mana memiliki efek anti
inflamasi lokal, diberikan tiga sampai empat kali sehari. Antibiotika
sistemik juga dapat digunakan untuk OMSK yang mengalami
ekserbasi akut (Dhingra, 2010).
3. Operasi rekonstruksi dapat dilakukan segera setelah telinga kering,
miringoplasti dengan atau tanpa rekonstruksi tulang-tulang
pendengaran yang mana dapat memperbaiki pendengaran.
Penutupan dari perforasi dapat mencegah terjadinya infeksi yang
berasal dari telinga luar (Dhingra, 2010).
Secara umum, infeksi yang mengenai daerah atik dan antrum
biasanya terlalu dalam di telinga untuk dapat dicapai oleh antibiotika.
Kolesteatoma berpotensi mendestruksi tulang dan memungkinkan
penyebaran infeksi sehingga diperlukan tindakan operasi OMSK dengan
tanda komplikasi intratemporal atau intrakranial harus direncanakan
seceptnya mastoidektomi (Helmi, 2005).
Kuman gram negatif dan gram positif aerob dan anaerob berperan
pada OMSK dengan insiden yang berbeda-beda. Pseudomonas
aeruginosamerupakan kuman tersering ditemukan pada biakan sekret
OMSK tanpa kolesteatoma (Helmi, 2005).
Infeksi yang penting secara medis diakibatkan bakteri anaerob sering
terjadi. Biasanya infeksinya bersifat polimikroba dimana bakteri anaerob
ditemukan pada infeksi campuran dengan bakteri anaerob lainnya,
fakultatif anaerob, maupun dengan bakteri aerob. Bakteri anaerob
ditemukan di semua bagian tubuh manusia seperti di kulit, dipermukaan
mukosa dan di mulut serta saluran gastrointestinal dengan konsentrasi
tinggi sebagai bagian dari flora normal (Jawetz et al., 2013)
Bakteri anaerob tidak akan tumbuh bila ada oksigen dan dapat
dibunuh dengan oksigen atau radikal oksigen. pH dan potensial oksidasi –
reduksi (Eh) juga penting dalam membuat kondisi yang membantu
pertumbuhan bakteri anaerob. Anaerob tumbuh pada Eh rendah atau
negatif (Jawetz et al., 2013).
Sebagian besar infeksi bakteri pada manusia disebabkan oleh
anaerob. Ciri khas yang menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob
seperti : (1) Infeksi sering berdekatan dengan permukaan mukosa. (2)
Infeksi cendrung melibatkan campuran organisme. (3) Infeksi cendrung
membentuk infeksi ruang tertutup, baik sebagai abses, sekret. (4) Pus dari
infeksi anaerob sering berbau busuk (akibat produk asam lemak rantai
pendek dari metabolisme anaerob). (5) Infeksi anaerob dipermudah
dengan penurunan suplai darah, jaringan nekrotik, dan potensial oksidasi-
reduksi rendah. (6) Menggunakan metode pengumpulan khusus, medium
transport(Jawetz et al., 2007).
Bakteri anaerob sering ditemukan pada infeksi saluran nafas atas
kronis serta infeksi pada kepala dan leher yang dapat menyebabkan
penyakit serius dan mengancam jiwa (Jawetz et al.,2007; Elisabeth,
2010).
menjadi akar bunga (siung), umbi kecil yang secara botani disebut bulbil
yang berasal dari bunga, dan dari biji. Bawang putih di alam liar diduga
melakukan reproduksi seksual dan aseksual sekaligus tetapi pada
pertanian hampir dilakukan secara aseksualdengan cara menanam
langsung umbi bawang putih dalam tanah karena lebih mudah (Meredith &
Drucker, 2012).
Sebagai tanaman herbal, bawang putih memiliki banyak potensi klinis
dari studi eksperimental (Kemper,2005). Banyak bukti epidemiologi yang
mendemonstrasikan tentang efek terapetik dan preventif dari bawang
putih. Efek-efek ini memiliki implikasi dalam mengurangi resiko penyakit
kardiovaskuler, mengurangi resiko kanker, memiliki efek hepatoprotektor,
antioksidan dan antimikroba (Bayanet al., 2014). Bawang putih setidaknya
mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino, beberapa enzim dan
mineral. Senyawa sulfur inilah yang membuat bawang putih memiliki bau
tajam yang khas dan membuat bawang putih memiliki efek klinis (Kemper,
2005). Senyawa sulfur primer dalam siung bawang putih utuh adalah γ-
glutamyl-S-alk(en)yl-L-cysteines dan S-alk-(en)yl-L-cysteine sulfoxides
atau yang disebut sebagai alliin (Amagase et al., 2001). Senyawa
senyawa paling aktif dari bawang putih, allicin (allyl 2-
propenethiosulphinate) dan hasil turunannya (dialil thiosulfinat dan dialil
disulfida) tidak akan ada jika bawang putih dihancurkan atau dipotong;
kerusakan pada sel bawang putih akan mengaktifkan enzim allinase yang
merubah alliin menjadi allicin (Bayan et al., 2014; Fujisawa et al., 2009;
Kemper, 2005).
Allicin dan derivatnya adalah senyawa sulfur yang teroksigenasi yang
terbentuk pada saat sel bawang putih mengalami kerusakan, adalah
senyawa yang tidak stabil. Allicin hanya memiliki paruh waktu satu hari
dalamtemperatur 370C (Fujisawa et al., 2008). Tetapi, alkohol 20% dapat
menstabilkan molekul allicin (Cutler & Wilson, 2004; Fujisawa et al., 2008).
Aktivitas antibakteri bawang putih sebagian besar karena allicin yang
muncul ketika sel bawang putih rusak. Allicin dan derivatnya mempunyai
a. Membran timpani
Membran timpani membentuk dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan telinga luar dan telinga tengah. Memiliki tinggi 9-10 mm,
lebar 8-9 mm dan ketebalannya rata-rata 0,1 mm (Dhingra, 2010).
Secara anatomis membran timpani dibagi dalam 2 bagian yaitu pars
tensa terletak dibagian bawah, tegang dan lebih luas, dan pars flaksida
(membran Shrapnells) di bagian atas dan lebih tipis. Secara histologis
membran timpani terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan luar (stratum kutaneum) yaitu: lapisan epitel yang berasal
dari liang telinga luar.
2. Lapisan dalam (stratum mukosum) yang berasal dari mukosa
telinga tengah.
3. Lapisan tengah (lamina propria / fibrosa) terletak diantara stratum
kutaneum dan stratum mukosum. (Helmi, 2005 &Dhingra, 2010).
Membran timpani merupakan struktur yang terus tumbuh, yang
memungkinkannya menutup bila ada perforasi dan menyebabkan benda
asing, misalnya grommet, yang melekat padanya terusir ke luar (Helmi,
2005)
Sebagaimana dijelaskan pada gambar 2.1, secara anatomis membran
timpani dibagi dalam 2 bagian, yaitu pars tensa dan pars flaksida atau
membran Shrapnell yang letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari
pars tensa. Antara pars tensa dan pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan
yaitu: plika maleolaris anterior lipatan muka) dan plika maleolaris
posteriorlipatan belakang (Dhingra, 2009).
b. Kavum timpani
Kavum timpani diumpamakan sebuah kotak dengan 6 sisi yaitu bagian
atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dan dinding
posterior (Dingra, 2010).
Atap kavum timpani dibentuk oleh lempeng tulang tipis yang disebut
tegmen timpani. Daerah ini memanjang ke belakang membentuk atap
aditus ad antrum. Bagian atap ini memisahkan kavum timpani dari fossa
kranii media. Lantai kavum timpani juga merupakan lempeng tulang tipis
yang memisahkan kavum timpani dari bulbus jugularis. Kadang-kadang
secara kongenital tidak sempurna dan bulbus jugularis bisa menonjol ke
telinga tengah dan hanya dipisahkan oleh mukosa. Dinding anterior
merupakan lempeng tulang tipis yang memisahkan kavum timpani dengan
arteri karotis. Juga terdapat tuba eustachiusdi bagian bawah dan kanalis
muskulus tensor timpani di bagian atas. Dinding posterior berbatas
dengan sel-sel mastoid muncul sebagai penonjolan tulang yang disebut
c. Tuba Eustachius
Tuba eustachius adalah suatu saluran yang menghubungkan
nasofaring dengan telinga tengah, yang bertanggung jawab terhadap
proses pneumatisasi pada telinga tengah dan mastoid serta
mempertahankan tekanan yang normal antara telinga tengah dan
atmosfir. Stabilnya tuba eustachiusdisebabkan karena adanya kontraksi
muskulus tensor veli palatini dan muskulus levator veli palatini pada saat
mengunyah dan menguap. (Dhingra, 2010; Gacek, 2009).
d. Prosesus mastoid
Mastoid terdiri dari tulang korteks dengan gambarannya seperti
sarang lebah. Tergantung pada pengembangan sel udara, mastoid dibagi
atas tiga tipe yaitu: Pada tipe selluler (well pneumatised) hampir seluruh
proses mastoid terisi oleh pneumatisasi, tipe diploik pneumatisasi kurang
berkembang dan pada tipe sklerotik tidak terdapat pneumatisasi sama
sekali (Dingra, 2010).
Antrum mastoid adalah suatu rongga di dalam prosesus mastoid yang
terletak persis di belakang epitimpani. Aditus ad antrum adalah saluran
yang menghubungkan antrum dengan epitimpani. Lempeng dura
merupakan bagian tulang tipis yang biasanya lebih keras dari tulang
FAKTOR RISIKO
- Infeksi saluran nafas atas - Sosio-ekonomi rendah
- Disfungsi tuba - Alergi
- Trauma membran timpani - Barotrauma
OMSK
Bakteri Penyebab
Kematian Bakteri
Keterangan:
- Usia
OMSK
- Jenis Kelamin
- Lama Keluhan
Bakteri penyebab
Ekstrak
bawang
putih
Kematian bakteri
Keterangan:
Pasien dengan diagnosa OMSK yang memenuhi kriteria inklusi
diambil data mengenai usia, jenis kelamin dan lama keluhan dari
anamnese sebagai sampel penelitian untuk dilakukan pemeriksaan
Mikrobiolgi dari swab sekret telinga untuk menentukan bakteri penyebab
OMSK. Kemudian diberikan ekstrak bawang putih dan dinilai kematian
bakteri dengan menghitung zona hambat.
34
Universitas Sumatera Utara
35
c. Autoclave
d. Inkubator
e. BSC ( Bio Safety Cabinet)
f. Mikroskop
g. Colony caunter
h. Bunsen
i. Cawan petri
j. Kaca objek
k. Cooler box
l. Vortex
m. Kapas lidi
Media Mc Conkey
Identifikasi Bakteri
Mikroskopis Makroskopis
(pewarnaan gram) (pengamatan jenis koloni)
Tabel 3.1. Tabel pengamatan uji dilusi ekstrak bawang putih terhadap
bakteri penyebab Otitis Media Supuratif Kronis.
Gambar 3.2. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 10%, 20% dan 30%
Gambar 3.3. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 40%, 50% dan 60%
Gambar 3.4. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 70%, 80% dan 90%. Pada konsentrasi
80% tidak dijumpai pertumbuhan bakteri dan diambil sebagai konsentrasi
MIC dari ekstrak bawang putih
Gambar 3.5. Hasil kultur bakteri dengan tes dilusi dan efek pemberian
ekstrak bawang putih konsentrasi 100%, K- dan K+
Tabel 3.2. Tabel jumlah bakteri setelah pemberian ekstak bawang putih
Data pada penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta wawancara pada penderita OMSK
di Departemen THT-KL FK-USU / RSUP H Adam Malik Medan,
Departemen THT-KL FK-USU / RS Pendidikan Universitas Sumatera
Utara, RS Murni Teguh, RS Columbia Asia. Selain itu, diperoleh data hasil
pemeriksaan pola kuman dan efek pemberian ekstrak bawang putih
terhadap pertumbuhan kuman OMSK di Departemen Mikrobiologi FK-USU
/ RS Pendidikan Universitas Sumatera Utara Medan.
PasienBaru/Lama
Umur
Jeniskelamin
Anamnesis
Lama keluhan
Pemeriksaan
SwabSekretTelingaTengah
KulturKuman
Menghambat
pertumbuhan kuman
Keterangan :
= Diperiksa
= Menganalisis data
Waktu
Jenis kegiatan Sep-Okt Oktober Nov 2017- Agst
2017 2017 Juli 2018 2018
1 Persiapan proposal
2 Persentasi Proposal
3 Pengumpulan,
Pengolahan data/
Pembuatan Laporan
4 Seminar hasil
HASIL PENELITIAN
47
Universitas Sumatera Utara
48
20
18
16 P. aeruginosa 1
P. aeruginosa 2
14
E. coli 1
12 E. coli 1
Proteus vulgaris
10
K. pneumoniae 1
8 K. pneumoniae 2
6 P. mirabilis
E. aerogenes
4 S.aureus 1
2 S. aureus 2
0
70% 80% 90% 100%
Tabel 4.6 menyajikan rerata zona hambat untuk seluruh bakteri yang
diperiksa untuk ulangan I sampai ulangan IV. Rerata zona hambat terluas
ditunjukkan oleh ekstrak dengan konsentrasi 100%. Hasil studi
memperlihatkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak semakin
memperluas zona hambat dari luas zona hambat sebesar 5,27 mm pada
konsentrasi ekstrak 70% hingga mencapai 13,46 mm pada konsentrasi
ekstrak 100%.
p
70% 80% <0,001a
90% 0,068b
100% <0,001a
80% 90% 0,068b
100% <0,001a
90% 100% 0,066b
a
T dependent, bWilcoxon
54
Universitas Sumatera Utara
55
Baik bakteri gram negatif maupun gram positif dapat menginfeksi telinga
tengah. Namun pada umum nya bakteri gram negatif lebih banyak
disebabkan seperti Pseudomonas lebih dapat bertahan hidup dan
mengasilkan pyocyanin dan bakteriosin untuk mengadakan lokal infeksi.
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada penelitian ini didapatkan bakteri penyebab Otitis Media
Supuratif Kronis (OMSK) adalah Pseudomonas aeruginosa,
Escheroichia coli, Proteus vulgaris, Klebsiella pneumoniae, Proteus
mirabilis, Enterobacter aerogenes dan Staphylococcus aureus.
2. Pada penelitian ini dilakukan uji sensitifitas ekstrak bawang putih
dimulai dari konsentrasi 70% didapati bahwa hanya terdapat zona
hambat di jenis bakteri Pseudomonas aeruginosa ATCC,
Pseudomonas aeruginosa, Escheroichia coli, Enterobacter
aerogenes, Staphylococcus aureus ATCC dan Staphylococcus
aureus. Dimana zona hambat paling luas pada Escheroichia coli
dengan rerata 12,12 mm.
3. Pada konsentrasi 80% didapati perluasan zona hambat, dimana
telah ditemukan zona hambat pada jenis bakteri Escheroichia coli
ATCC, Klebsiella pneumoniae ATCC, Klebsiella pneumoniae dan
Proteus mirabilis. Dimana zona hambat paling luas pada
Escheroichia coliklinis dengan rerata 14,87 mm
4. Pada penelitian ini dengan konsentrasi 90% ditemukan juga
perluasan zona hambat dimana zona hambat paling luas pada
Pseudomonas aeruginosa ATCC dengan rerata 16,49 mm.
5. Pada penelitian ini dengan konsentrasi 100% perluasan zona
hambat paling luas pada Pseudomonas aeruginosa ATCC dengan
rerata 19,12 mm.
6. Tidak ditemukan adanya efek ekstrak bawang putih dengan melihat
konsentrasi ekstrak dari 70%-100% pada jenis bakteri Proteus
vulgaris.
59
Universitas Sumatera Utara
60
6.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disampaikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan
kandungan ekstrak bawang putih yang paling berperan dalam
menghambat pertumbuhan kuman.
2. Diperlukan penelitian menemukan sediaan dan konsentrasi yang
aman untuk diaplikasikan dalam penggunaan nya.
61
Universitas Sumatera Utara
62
Helmi. 2005. Otitis Media Supuratif Kronis, dalam Otitis Media Supuratif
Kronis : Pengetahuan Dasar, Terapi Medik Mastoidektomi. Balai
Penerbit FK UI. Jakarta. 55-72.
Iqbal K, Khan IM, Satti L. 2011. Microbiology of Chronic Suppurative Otitis
Media : Experience at Dera Ismail Khan. Gomal Journal of Medical.
Kelly. G. 2008. Aetiology and Epidemiology of Chronic Otitis Media. In
Gleeson M, ed. Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol. 3. 7th.
Butterworth-Heinemann. London. p 3408-411.
Kenna MA, Latz AD. 2006. Otitis Media and Middle Ear Effusion, In Bailey
BJ, Johnson JT, Newlands SD, Editors. Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia, USA. Lippincott
Williams & Wilkins. pp:1265-75.
Kumar H, Seth S. 2011. Bacterial and Fungal Study of 100 Cases of
Chronic Suppurative Otitis Media. Journal of Clinical and Diagnostic
Research. Vol. 5(6). pp. 1224-7.
Jawetz, Melnick & Adelberg’s. 2013. “Infections Caused by Anaerobic
Bacteria”. In Medical Microbiology. 26th ed. Mc Grwaw Hill. United
States. pp: 295-302
Londhe VP, Gavasane AT, Nipate SS, Bandawane D & Chaudhari PD.
2011. Role of Garlic (Allium Sativum) in Various Diseases : an
Overview. Journal of Pharmaceutical Research And Opinion. 1: 4.
pp. 129 – 134
Mahsenipour Z, Hassanshahian M. 2015. The Effects of Allium sativum
Extracts on Biofilm Formation and Activities of Six Pathogenic
Bacteria.Jundishapur J Microbiol. Vol.8. pp.1-7.
Majewski M. 2014. Allium sativum: Facts and Myths Regarding Human
Health. J Natl Ins Public Health. 65 (1) pp: 1-8.
Memon A, Matiullah S, Ahmed Z, Marfani M. 2008.Frequency of Un-Safe
Chronic Suppurative Otitis Media in Patients with Discharging Ear,
Original Article, JLUMHS.pp:102-5.
Yeo GS, Park CD, Hong MS, Cha IC, Kim GM, 2007. Bacterioloy of
chronic suppurative otitis media- a multicenter study. Acta
OtoLaryngologica, Korea. pp: 1062-67.
STATUS PENELITIAN
No.
I. IDENTITAS
I.1. IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ............................................................................
Tanggal lahir : ............................................................................
Jenis Kelamin : ............................................................................
Alamat : ............................................................................
Telepon : ............................................................................
No. M R : ............................................................................
II ANAMNESIS
II.1. Keluhan Utama :
Lama Keluhan :
III.1.Telinga
A. Telinga Kanan :
Daun Telinga :
Liang Telinga: Sekret ( ), mukoid ( ), mukopurulen ( )
purulen ( )
Jaringan granulasi ( )
Kolesteatoma ( )
Lain – lain :
68
Universitas Sumatera Utara
B. Telinga Kiri :
Liang Telinga : Sekret ( ), mukoid ( ), mukopurulen ( )
purulen ( )Jaringan granulasi ( )
Kolesteatoma ( )
Lain – lain : …………………..
VII. Diagnosa :
69
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2
LembarPenjelasanSubjekPenelitian
Bapak/Ibu/Sdr./i yang sangat saya hormati, nama saya dr. Ribka Ginting,
lainnya.
70
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan Universitas Sumatera Utara. Untuk keakuratan data dan
mulai.
71
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3
(Informed Consent)
Nama : .........................................................
Umur : .........................................................
Alamat : .........................................................
untuk ikut serta. Apabila dikemudian hari saya mengundurkan diri dari
Demikian surat pernyataan ini saya buat, agar dapat dipergunakan bila
diperlukan.
Medan, 2018
72
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4
73
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5
74
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 6
OUTPUT ANALISIS
Cases
Descriptives
Median 8.5000
Variance 26.764
Minimum .00
Maximum 12.00
Range 12.00
75
Universitas Sumatera Utara
76
Range 19.50
Interquartile Range 4.50
Skewness -2.008 .661
Kurtosis 5.325 1.279
tupu2 Mean 5.1818 1.52595
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.7818
Mean Upper Bound 8.5818
5% Trimmed Mean 5.0909
Median 8.0000
Variance 25.614
Std. Deviation 5.06099
Minimum .00
Maximum 12.00
Range 12.00
Interquartile Range 9.50
Skewness -.068 .661
Kurtosis -2.197 1.279
depu2 Mean 9.6364 1.18914
95% Confidence Interval for Lower Bound 6.9868
Mean Upper Bound 12.2859
5% Trimmed Mean 9.9015
Median 9.0000
Variance 15.555
Std. Deviation 3.94393
Minimum .00
Maximum 14.50
Range 14.50
Interquartile Range 3.50
Skewness -1.296 .661
Kurtosis 3.254 1.279
sepu2 Mean 11.3182 1.35726
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.2940
Mean Upper Bound 14.3423
5% Trimmed Mean 11.6313
Median 11.5000
Variance 20.264
Std. Deviation 4.50151
Minimum .00
Maximum 17.00
Range 17.00
Interquartile Range 4.00
Skewness -1.540 .661
Kurtosis 3.888 1.279
ser2 Mean 13.2273 1.50509
95% Confidence Interval for Lower Bound 9.8737
Mean Upper Bound 16.5808
5% Trimmed Mean 13.6692
Median 14.5000
Variance 24.918
Std. Deviation 4.99181
Minimum .00
Maximum 18.50
Range 18.50
Interquartile Range 4.50
Skewness -2.024 .661
Kurtosis 5.242 1.279
tupu3 Mean 5.3636 1.57695
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.8500
Mean Upper Bound 8.8773
5% Trimmed Mean 5.2652
Median 8.5000
Variance 27.355
Std. Deviation 5.23016
Minimum .00
Maximum 12.50
Range 12.50
Interquartile Range 9.50
Skewness -.075 .661
Kurtosis -2.194 1.279
depu3 Mean 9.8182 1.19900
95% Confidence Interval for Lower Bound 7.1466
Mean Upper Bound 12.4897
5% Trimmed Mean 10.0758
Median 9.5000
Variance 15.814
Std. Deviation 3.97664
Minimum .00
Maximum 15.00
Range 15.00
Interquartile Range 3.50
Skewness -1.351 .661
Kurtosis 3.554 1.279
sepu3 Mean 11.3636 1.30748
95% Confidence Interval for Lower Bound 8.4504
Mean Upper Bound 14.2769
5% Trimmed Mean 11.7374
Median 11.5000
Variance 18.805
Std. Deviation 4.33642
Minimum .00
Maximum 16.00
Range 16.00
Interquartile Range 4.00
Skewness -1.866 .661
Kurtosis 4.997 1.279
ser3 Mean 13.4545 1.52473
95% Confidence Interval for Lower Bound 10.0572
Mean Upper Bound 16.8518
5% Trimmed Mean 13.8939
Median 15.0000
Variance 25.573
Std. Deviation 5.05695
Minimum .00
Maximum 19.00
Range 19.00
Interquartile Range 4.50
Skewness -2.040 .661
Kurtosis 5.405 1.279
tupu4 Mean 5.2273 1.53795
95% Confidence Interval for Lower Bound 1.8005
Mean Upper Bound 8.6540
5% Trimmed Mean 5.1414
Median 8.5000
Variance 26.018
Median 15.0000
Variance 27.223
Minimum .00
Maximum 19.50
Range 19.50
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Cases
Descriptives
Median 5.2750
Variance .007
Minimum 5.18
Maximum 5.36
Range .18
Median 13.4600
Variance .034
Minimum 13.23
Maximum 13.68
Range .45
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Friedman Test
Ranks
Mean Rank
tupu 1.00
depu 2.00
sepu 3.00
ser 4.00
a
Test Statistics
N 4
Chi-Square 12.000
df 3
Asymp. Sig. .007
a. Friedman Test
T-Test
Notes
N Correlation Sig.
Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Pair 1 tupu - depu -4.45500 .07371 .03686 -4.57229 -4.33771 -120.877 3 .000
Ranks
Total 4
a
Test Statistics
sepu - tupu
b
Z -1.826
Asymp. Sig. (2-tailed) .068
T-Test
Notes
N Correlation Sig.
Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Pair 1 tupu - ser -8.18500 .13916 .06958 -8.40644 -7.96356 -117.631 3 .000
Total 4
a
Test Statistics
sepu - depu
b
Z -1.826
Asymp. Sig. (2-tailed) .068
T-Test
Notes
N Correlation Sig.
Paired Differences
Pair 1 depu - ser -3.73000 .13589 .06795 -3.94623 -3.51377 -54.896 3 .000
Ranks
Total 4
a
Test Statistics
ser - sepu
b
Z -1.841
Asymp. Sig. (2-tailed) .066
90
Universitas Sumatera Utara
91
4. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Escherichia coli Klinis
5. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Proteus vulgaris Klinis
8. Zona hambat ekstrak bawang putih terhadap bakteri Proteus mirabilis Klinis
PERSONALIA PENELITIAN
1. Peneliti Utama
Nama : dr. Ribka Ginting
Gol/Pangkat :-
NIM : 117041205
Jabatan : PPDS T.H.T.K.L. FK USU (Asisten Ahli)
Fakultas : Kedokteran
Perguruan tinggi : Univeristas Sumatera Utara
Bidang Keahlian : Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher
Waktu disediakan : 12 jam/ minggu
96
Universitas Sumatera Utara
97