Anda di halaman 1dari 65

TESIS

ANALISIS PROFIL KULTUR DARAH DAN FAKTOR –


FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN POLA KUMAN
DI ICU RSUP HAM

Oleh:
dr. Apriandeny Haithami
NIM : 167041141

Pembimbing I:
dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV
Pembimbing II:
Dr. Bastian Lubis, M. Ked (An), Sp. An, KIC

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Judul Thesis :

ANALISIS PROFIL KULTUR DARAH DAN


FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
POLA KUMAN DI ICU RSUP HAM

Nama Mahasiswa : dr. Apriandeny Haithami


NIM : 167041141
Program : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Anestesiologi dan Terapi Intensif

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV dr. Bastian Lubis, M.Ked (An), Sp.An, KIC
NIP. 195808111987111001 NIP. 198412282010121003

Ketua Program Studi Dekan


Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran USU

Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K) Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K)
NIP. 197604172005012002 NIP. 196605241992031002

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada tanggal : 7 Agustus 2020
Penguji tesis :

Penguji I Penguji II

Dr. dr. Dadik Wahyu Wijaya, Sp.An dr. Qadri Fauzi Tanjung, Sp.An, KAKV
NIP. 196809142008011013 NIP. 197111132001121002

Penguji III

Dr. dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An, KAKV


NIP. 19600701 1987021002

Mengetahui,

Ketua Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK USU – RSUP H. Adam Malik Medan

Dr. dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An, KAKV


NIP. 196007011987021002

Universitas Sumatera Utara


i

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah
S.W.T karena berkat rahmat dan karunia-Nya telah memberikan akal budi, hikmat dan
pemikiran, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Pendidikan Magister di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif di
Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara yang saya cintai dan banggakan.
Saya sangat menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun penyampaian bahasanya. Meskipun demikian,
besar harapan dan keinginan saya agar kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat dan
perbendaharaan dalam penelitian di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumateratara/RSUP H. Adam Malik Medan, khususnya tentang:

“ANALISIS PROFIL KULTUR DARAH DAN FAKTOR – FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN POLA KUMAN
DI ICU RSUP HAM “.

Dengan penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini pula dengan diiringi rasa
tulus dan ikhlas, ijinkan saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya,
istri saya dan keluarga saya. Dan juga ucapan terima kasih dan penghargaan kepada yang
terhormat: dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV, dan Dr. Bastian Lubis, M. Ked (An), Sp. An,
KIC atas kesediaannya sebagai pembimbing penelitian saya ini, yang walaupun di tengah
kesibukannya masih dapat meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian serta
kesabaran, memberikan bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada
saya dalam menyelesaikan tulisan ini.
Dan dengan berakhirnya pula masa Pendidikan Dokter Spesialis saya di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, maka pada kesempatan yang
berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar–besarnya kepada :
Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung
Sitepu, SH., M.hum, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr.
Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk
mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


ii

Yang terhormat Kepala Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU,


Dr. dr. Akhyar H. Nasution, Sp.An, KAKV, Kepala SMF Anestesiologidan Terapi
Intensif RSUP HAM, dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV, dan Kepala Program Studi
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU,Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An. KIC.
KAO, Kepala Magister Anestesiologi dan Terapi Intensif dr. Asmin Lubis,DAF,Sp.An,
KAP, KMN dr. Tasrif Hamdi, M.Ked(An), SpAn, KMN sebagai Sekretaris Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU, dan dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked(An),
Sp.An sebagai Sekretaris Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU,
terima kasih karena telah memberikan izin, kesempatan, ilmu dan pengajarannya kepada
saya dalam mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis di bidang Anestesiologi dan Terapi
Intensif hingga selesai.
Yang terhormat guru – guru saya di jajaran Departemen Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan : dr. A. Sani P. Nasution, Sp.An.
KIC; Sp.An, KAO; Prof. dr. Achsanuddin Hanafie, Sp.An. KIC, KAO; Dr. dr. Akhyar
H. Nasution, Sp.An, KAKV; dr. Asmin Lubis, DAF, Sp.An, KAP, KMN; dr. Qadri F.
Tanjung, Sp.An, KAKV; dr. Hasanul Arifin Sp.An, KAP, KIC; Dr. dr. Nazaruddin Umar,
Sp.An. KNA; dr. Ade Veronica HY, Sp.An, KIC; dr. Yutu Solihat, Sp.An, KAKV; dr.
Soejat Harto, Sp.An, KAP; dr. Syamsul Bahri Siregar, Sp.An; dr Tumbur, Sp.An; dr.
Walman Sitohang, Sp.An; Kol. (CKM) Purn. dr. Tjahaya Indra Utama, Sp.An; Dr. dr.
Dadik W. Wijaya, Sp.An; dr. M. Ihsan, Sp.An, KMN; dr. Andriamuri P. Lubis, Sp.An,
M.Ked(An); dr. Ade Winata, Sp.An, KIC; dr. Rommy F Nadeak, Sp.An, KIC; dr. Rr.
Shinta Irina, Sp.An, KNA; dr. Cut Meliza Zainumi, M.Ked(An), Sp.An; dr. Fadli Armi
Lubis, M.Ked(An), Sp.An; dr. Raka Jati P. M.Ked(An) Sp.An; dr. Tasrif Hamdi,
M.Ked(An), SpAn; dr. Bastian Lubis M.Ked(An) Sp.An, KIC; dr. Wulan Fadine
M.Ked(An) Sp.An; dr. A. Yafiz Hasbi M.Ked(An) Sp.An; dr. M Arshad M.Ked (An)
Sp.An, dr. Luwih Bisono, Sp.An, KAR; dr. Chrismas G Bangun M.Ked(An) Sp.An; saya
ucapkan terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini dalam
bidang Magister Anestesiologi dan Terapi Intensif sehingga semakin menumbuhkan rasa
percaya diri dan tanggung jawab saya terhadap pasien serta pengajaran dalam bidang
keahlian maupun pengetahuan umum lainnya yang kiranya sangat bermanfaat bagi saya
di kemudian hari.
Yang tercinta teman–teman seangkatan Peserta Magister Anestesiologi dan
Terapi Intensif yang tidak dapat saya sebut satu-persatu, yang telah bersama-sama baik

Universitas Sumatera Utara


iii

duka maupun suka, saling membantu sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat
dengan harapan teman–teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
Kepada seluruh teman–teman, rekan–rekan dan kerabat, handaitaulan, keluarga
besar, pasien–pasien yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang
senantiasa memberikan peran serta, dukungan moril dan materil selama menjalani
pendidikan, dari lubuk hati yang dalam saya ucapkan terima kasih.
Dan akhirnya perkenankanlah saya dalam kesempatan yang tertulis ini
memohon maaf atas segala kekurangan selama mengikuti Pendidikan Magister di
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara yang saya cintai.
Semoga segala bimbingan, bantuan, dorongan, petunjuk, arahan dan kerjasama
yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat berkah serta
balasan yang berlipat ganda dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Medan, Juni 2020


Penulis

(dr. Apriandeny Haithami)

Universitas Sumatera Utara


iv

ANALISIS PROFIL KULTUR DARAH DAN FAKTOR-


FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
POLA KUMAN DI ICU RSUP HAM

ABSTRAK

Pendahuluan: Infeksi aliran darah adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan adanya
mikroorganisme bakteri atau jamur hidup dalam aliran darah, yang dibuktikan dengan
kultur darah positif. Patogen – patogen ini memiliki peran penting dalam infeksi terutama
di ICU. Meskipun infeksi bukan merupakan penyebab tunggal tersering pada mortalitas
pasien dalam rawatan ICU, namun infeksi dipastikan berhubungan dengan meningkatnya
masa rawatan dan biaya rawatan yang tinggi.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kultur darah, faktor – faktor
yang berhubungan dengan hasil, serta gambaran resistensi antibiotikan apda pasien RSUP
HAM.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan data sekunder dari pasien di
ICU RSUP HAM pada tahun 2019 – 2020 yang dilakukan kultur darah.
Hasil: Penelitian ini meliputi data dari 52 orang pasien yang terekam antara tahun 2019 –
2020 dan menjalani proses kultur darah. Terdapat masing – masing 50% perempuan dan
laki - laki dengan rata – rata usia 54,69 tahun. Berdasarkan perolehan kultur darah yang
positif ditinjau dari hari masuk rawatan, didapatkan 33 orang (61,4%) pasien positif
setelah melewati 48 jam. Morfologi terbanyak adalah batang Gram negatif yaitu 52,8%
dengan spesies terbanyak yaitu Klebsiella pneumoniae ESBL positif, dan dijumpai
bakteri penghasil Carbapenemase (5,5%). Bakteri Gram positif terbanyak dijumpai adalah
Staphylococcus aureus (15%), dan setengahnya merupakan terduga MRSA.
Kesimpulan: Jenis bakteri terbanyak ditemukan pada pasien rawatan ICU RSUP HAM
dalah bakteri batang Gram negatif, dengan waktu ditemukannya di atas 48 jam setelah
masuk RS. Gambaran resistensi antibiotika sejalan dengan dengan bakteri – bakteri yang
ditemukan dengan properti resistensi obat. Langkah preventif dibutuhkan untuk
menghindarkan pasien dari kemungkinan transmisi mikroorganisme tersebut.
Kata Kunci: Kultur, Darah, Mikroorganisme, resistensi, ICU

Universitas Sumatera Utara


v

ANALISIS PROFIL KULTUR DARAH DAN FAKTOR-


FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
POLA KUMAN DI ICU RSUP HAM

ABSTRAK

Introduction: Bloodstream infection is an infectious disease characterized by the


presence of live bacterial or fungal microorganisms in the bloodstream, as evidenced by
positive blood cultures. These pathogens have an important role in infection, especially in
the ICU. Although infection is not the most common cause of mortality in ICU care,
infection is confirmed to be associated with increased hospitalization and high treatment
costs.
Objective: This study aims to determine the profile of blood culture, the factors that have
a bearing on the results, and the description of antibiotic resistance in patients at RSUP
HAM
Method: This study is a study using secondary data from patients in ICU HAM RSUP in
2019 - 2020 conducted by blood culture.
Results: This study included data from 52 patients who were recorded between 2019 –
2020 and underwent blood culture. There are 50% women and men each with an average
age of 54,69 years. Based on the acquisition of a positive blood culture in terms of the
day of admission, found 33 people (61.4%) positive patients after passing 48 hours. The
highest morphology was Gram negative rods, 52.8% with the most species, Klebsiella
pneumoniae ESBL positive, and found Carbapenemase-producing bacteria (5.5%). The
most common Gram-positive bacterium is Staphylococcus aureus (15%), and half is
suspected MRSA.
Conclusion: Most types of bacteria found in ICU HAM patients in RSUP HAM are
Gram-negative rod bacteria, with the time it was found above 48 hours after entering the
hospital. The picture of antibiotic resistance is in line with the bacteria found with the
property of drug resistance. Preventive measures are needed to prevent patients from the
possibility of transmitting these microorganisms.
Keywords: Culture, Blood, Microorganisms, Resistance, ICU

Universitas Sumatera Utara


vi

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
ABSTRAK .................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL......................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN................................................................ .............. viii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitan.......................................................................... 3
1.3.1. Tujuan Umum......................................................................... 3
1.3.2. Tujuan Khusus ........................................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian....................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 5
2.1. Infeksi Aliran Darah ................................................................... 5
2.1.1. Epidemiologi .......................................................................... 6
2.1.2. Etiologi dan Klasifikasi BSI ................................................... 7
2.1.3. Faktor Risiko dan Port d’entree .............................................. 9
2.2. Bakterimia ................................................................................... 9
2.2.1. Definisi dan Epidemiologi Bakterimia ................................... 9
2.2.2. Definisi dan Klasifikasi Bakteri ............................................. 11
2.2.3. Penyebab bakterimia tersering di ICU ................................... 11
2.2.4. Diagnosis Bakterimia dan Sepsis ........................................... 12
2.2.5. Parameter Laboratorium Pendukung Bakterimia ................... 13
2.2.6. Prognosis........................ ........................................................ 14
2.3. Fungemia ..................................................................................... 15
2.3.1. Definisi dan epidemiologi ...................................................... 15
2.3.2. Diagnosis fungemia ................................................................ 16
2.4. Kultur Darah ................................................................................ 16
2.4.1. Indikasi Kultur Darah ............................................................. 16
2.4.2. Prosedur Pengambilan Spesimen Kultur Darah ..................... 17
2.4.3. Prosedur Kultur Darah ............................................................ 19
2.5. Rawatan ICU ............................................................................... 22
2.5.1. Klasifikasi penyakit ICU berdasarkan admisi ........................ 22
2.5.2. Infeksi nosokomial di ICU ..................................................... 23
2.5.3. Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko
infeksi nosokomial.................................................................. 24
2.5.4. Central line asscociated blood stream infection ....................... 25
2.5.5. Ventilator asscociated pneumonia ............................................ 26
2.5.6. Cathether asscociated urinary tract infection ........................... 27
2.5.7. Bakteri yang sering dijumpai di ICU ....................................... 27
2.6. Kerangka Teori ............................................................................ 28

Universitas Sumatera Utara


vii

2.7. Kerangka Konsep ........................................................................ 29

BAB 3 METODE PENELITIAN .............................................................. 30


3.1. Desain Penelitian ......................................................................... 30
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 30
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................. 30
3.3.1. Populasi Penelitian ................................................................. 30
3.3.2. Subjek Penelitian .................................................................... 30
3.4. Kriteria Subjek Penelitian ........................................................... 30
3.4.1. Kriteria Inklusi........................................................................ 30
3.4.2. Kriteria Eksklusi ..................................................................... 30
3.5. Besar Sampel ............................................................................... 31
3.6. Cara Pemilihan Sampel ............................................................... 31
3.7. Variabel penelitian dan definisi operasional ............................... 31
3.8. Informed Consent dan Ethical Clearance ................................... 33
3.12. Alur Penelitian............................................................................. 33

BAB 4 HASIL ............................................................................................. 34


4.1. Karakterisik Demografis ............................................................. 34
4.2. Sebaran Diagnosis Pasien............................................................ 35
4.3. Identifikasi Kultur Darah Berdasarkan Hari Admisi Rawatan.... 36
4.4. Pemasangan CVC dan Ventilator pada Pasien ............................ 36
4.5. Pola Kuman ................................................................................. 36
4.6. Sensitivitas Antibiotika ............................................................... 39

BAB 5 PEMBAHASAN ............................................................................. 42

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 49

Universitas Sumatera Utara


viii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Definisi infeksi aliran darah dan istilah berkaitan .................. 5
Tabel 2.2. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat Syok Septik.......... 11
Tabel 2.3. Skor SOFA ............................................................................. 13
Tabel 2.4. Faktor yang meningkatkan risiko infeksi nosokomial ............ 24
Tabel 2.5. Persentase mikroorganisme yang sering diisolasi di ICU ...... 28
Tabel 4.1. Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin.......... 35
Tabel 4.2. Sebaran diagnosis berdasarkan sistem dan kausatif................ 35
Tabel 4.3. Pemeriksaan kultur darah berdasarkan hari admisi…............. 36
Tabel 4.4. Pemasangan CVC dan Ventilator............................................ 36
Tabel 4.5. Hasil pemeriksaan kultur darah............................................... 37
Tabel 4.6. Pola Kuman Berdasarkan Pemakaian CVC............................ 37
Tabel 4.7. Pola Kuman Berdasarkan Pemakaian Ventilator.................... 37
Tabel 4.8. Pola Kuman Berdasarkan Admisi Rawatan............................ 38
Tabel 4.9. Pola Kuman Berdasarkan Diagnosis....................................... 38
Tabel 4.10. Pola Kuman Berdasarkan Hasil Leukosit............................... 39
Tabel 4.11. Hasil Uji Sensitivitas Antibiotika........................................... 40

Universitas Sumatera Utara


ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1. Morfolofi dan susunan bakteri ............................................. 11


Gambar 2.2. Alur pemeriksaan kultur darah sesuai pendapatan ............... 19
Gambar 2.3. Skema pemeriksaan kultur darah ......................................... 21

Universitas Sumatera Utara


x

DAFTAR SINGKATAN

RSUP HAM : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik


WHO : World Health Organization
BSI : Blood stream infection (infeksi aliran darah)
ICU : Intensive Care Unit
EPICII : studi extended prevalence of infection in the ICU
VAP : Ventilator acquired pneumonia
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
MRSA : methicillin- resistant Staphylococcus aureus
VRE : vancomycin‑ resistant enterococci
ESBL : extended‑ spectrum beta‑ lactamases
CRE : carbapenems‑ resistant Enterobacteriaceae
MDR : multi drug resistant
ECDC : European CDC
EARSS : Sistem Pengawasan Resistensi Antimikroba Eropa
HA : Hospital-acquired (HA)
HCA : Healthcare asscociated (HCA)
CA : Community-acquired (CA)
qSOFA : quick sepsis related organ failure assessment
ACCP : American College of Chest Physician
SCCM : Society of Critical Care Medicine Consensus
ESICM : European Society of Critical Care Medicine
SIRS : Sytemic Inflammatory Response Syndrome
SOFA : Sequential Organ Failure Assessment
KGD : Kadar Gula Darah
CT Scan : Computed Tomography Scan
MRI : Magnetic Resonance Imaging
DRE : Direct microscopic examination
KOH : potassium hidroksida
PE : Primary endogenous
SE : Secondary endogenous
EX : Exogenous
PM : Pathogenic microorganism
PPM : Potential pathogenic microorganism
CLABSI : Central line-associated blood stream infection
TPN : Total parenteral nutrition
CVC : central venous catheter
CA-UTI : Catheter-associated urinary tract infection

Universitas Sumatera Utara


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi aliran darah atau bloodstream infection (BSI) adalah penyakit infeksi
yang ditandai dengan adanya mikroorganisme bakteri atau jamur hidup dalam
aliran darah, yang dibuktikan dengan kultur darah positif. (Viscoli, 2016) BSI
merupakan kejadian yang sering dan mengancam jiwa pada lingkungan rumah
sakit, dimana hal ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi sekitar 40 – 60%.
Pasien yang sakit parah merupakan predisposisi untuk mendapatkan BSI, dimana
hal ini terjadi pada sekitar 7% pasien pada satu bulan pertama rawatan di ruang
rawatan intensif atau Intensive Care Unit (ICU). (Basetti et al, 2016)
Pada studi EPICII (extented prevalence of infection in the ICU) yang
dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan 15% pasien telah memiliki BSI di hari
pertama studi tersebut. Memiliki BSI juga meningkatkan masa rawatan ICU dan
biaya rawat rumah sakit. Salah satu sumber BSI yang sering pada rumah sakit
adalah ventilator acquired pneumoniae (VAP) yaitu sekitar 15%, dan BSI terkait
kateter berkisar 30% dari kejadian, serta BSI primer 35%. (Basetti et al, 2016)
Menurut kriteria Centers for Disease Control and Prevention (CDC), infeksi
yang muncul di ICU diklasifikasikan menjadi dua, yaitu berdasarkan pewarnaan
Gram dan selanjutnya berdasarkan waktu inkubasi yang membedakan infeksi
nosokomial dan infeksi komunitas. (Zurek & Fedora, 2012) Infeksi di ICU selalu
menjadi sorotan penting dan harus diklasifikasikan dalam program surveilans
manapun. Waktu 48 jam telah diterima secara umum untuk membedakan infeksi
dari komunitas dan infeksi yang didapat dari rumah sakit. (Mukhopadhyay, 2018)
Pada suatu studi prevalensi, ditemukan bahwa patogen Gram positif lebih
banyak diisolasi pada BSI, diikuti oleh Candida sp. Gram positif yang dimaksud
terutama Staphylococcus aureus, dan yang mengancam adalah isolasi bakteri ini
pada kutur darah berhubungan dengan mortalitas. Gram negatif patogen bila
dijumpai, penyebab tersering adalah Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Acinetobacter baumanii, dan Pseudomonas aeruginosa. (Basetti et al, 2016)

Universitas Sumatera Utara


2

Namun pola patogen penyebab BSI telah berubah dalam tahun – tahun terakhir,
dimana jumlah isolat Gram negatif dan jamur semakin meningkat. Dibandingkan
perbandingan jenis, masalah utama didapatkan pada pola resistensi antibiotik yang
berubah, terutama pada temuan Gram negatif. (Viscoli, 2016)
Interpretasi kultur darah positif memang bersifat pasti, namun sering
menimbulkan dilema signifikan bagi praktisi klinis dan mikrobiologis, khususnya
bagi mikrobiologi dimana variasi data laboratorium harus dievaluasi dalam
konteks klinis agar memberikan interpretasi yang akurat. Pola kultur darah yang
positif sangat membantu, terutama bila mayoritas set kultur darah yang diperoleh
dari lokasi punksi vena lain positif terhadap mikroorganisme yang sama, maka
kemungkinan didapatkan hasil true-BSI pun sangat tinggi. Selain itu, jenis
mikroorganisme yang diperoleh juga memiliki nilai, contohnya mikroorganisme
seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Enterobacteriaceae,
Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans umumnya bisa diprediksi
merupakan true-BSI, sebaliknya Corynebacterium sp dan Propionibacterium sp
selalu menggambarkan kontaminasi. Keberadaan mikroorganisme seperti grup
viridans dari Streptococcus, Staphylococcus coagulase negative, dan enterococci
sering sulit untuk diinterpretasikan karena variasi true-BSI nye berkisar 38%, 15%
and 78% dari seluruh kasus masing – masingnya. (Kirn & Weinstein, 2013)
Belakangan telah terjadi pergeseran terhadap strain resisten dalam tahun –
tahun terakhir, seperti methicillin- resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
vancomycin‑ resistant enterococci (VRE), extended‑ spectrum beta‑ lactamases
(ESBLs), carbapenems‑ resistant Enterobacteriaceae (CRE), colistin‑ resistant
acinetobacter, dan fluconazole‑ resistant Candida spp. Patogen – patogen ini
memiliki peran penting dalam infeksi terutama di ICU. Meski faktor- faktor yang
mendasarinya mash belum secara penuh dipahami, diduga paparan antibiotik
berkelanjutan menjadikan faktor risiko independen sendiri bagi status muti-drug
resistant (MDR) seseorang pada rawatan ICU. (Mukhopadhyay, 2018)
Meskipun infeksi bukan merupakan penyebab tunggal tersering pada
mortalitas pasien dalam rawatan ICU, namun infeksi dipastikan berhubungan
dengan meningkatnya masa rawatan dan biaya rawatan yang tinggi. Informasi dan

Universitas Sumatera Utara


3

pengembangan ilmu pengetahuan mengenai epidemiologi klinis, etiologi


mikrobiologis, dan patofisiologi penyakit dipastikan dapat membantu memahami
konsep kontrol infeksi, dan pada akhirnya penggunaan antibiotik yang tepat.
(Mukhopadhyay, 2018)
Belum ada penelitian terpublikasi sebelumnya yang mendeskripsikan trend
kultur darah pasien di ICU RSUP Haji Adam Malik Medan, oleh karena itu tujuan
penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menganalisis hasil kultur darah
pasien di ICU RSUP Haji Adam Malik Medan guna melihat pola kuman dan
infeksi berdasarkan demografis dan karakteristik – karakteristik tertentu dari
pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana profil kultur darah pada pasien ICU RSUP HAM dan apa saja
faktor – faktor yang berhubungan dengan pola kuman di ICU RSUP HAM?

1.3 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran kultur darah dan pola kuman pada pasien ICU RSUP HAM
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun beberapa tujuan spesifik penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pola kuman pada pasien bakterimia di ICU RSUP HAM
2. Mengetahui gambaran klasifikasi penyakit infeksi berdasarkan admisi
pada rawatan ICU di ICU RSUP HAM
3. Mengetahui pola resistensi antibiotika pada pasien bakterimia di ICU
RSUP HAM
4. Mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan demografi pasien di ICU
RSUP HAM
5. Mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan diagnosis pasien di ICU
RSUP HAM

Universitas Sumatera Utara


4

6. Mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan parameter laboratorium


lain di ICU RSUP HAM
7. Mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan pemasangan kateter
vena sentral di ICU RSUP HAM
8. Mengetahui gambaran pola kuman berdasarkan pemasangan ventilator
mekanik di ICU RSUP HAM

1.5 Manfaat Penelitian


1. Hasil penelitian dapat memberikan informasi mengenai profil kultur
darah dan pola kuman di instansi terkait sehingga dapat menjadi dasar –
dasar pertimbangan dalam membuat keputusan klinis
2. Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan
RS terkhususnya di bagian pengelolaan infeksi
3. Penelitian dapat menjadi sumber pengetahuan dan data dasar bagi
peneliti lain terutama pada penelitian yang berpusat pada infeksi pada
ruangan rawat intensif
4. Hasil penelitian akan menjadi data dasar bagi peneliti untuk digunakan
pada penelitian program spesialis dengan sentra serupa dan fokus infeksi
5. Memberikan pengalaman ilmiah bagi peneliti, baik dalam melakukan
suatu penelitian maupun penanganan pasien dalam praktik klinis di
rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara


5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Aliran Darah (Bloodstream Infection)


Infeksi aliran darah (BSI) adalah penyakit infeksi yang didefinisikan dengan
adanya mikroorganisme bakteri atau fungi yang hidup di aliran darah
(dibuktikan dengan positifnya kultur darah) yang bisa mencetuskan respon
inflamasi yang ditandai dengan adanya perubahan klinis, laboratorium, dan
parameter hemodinamik. Dalam hal ini, definisi sepsis dan BSI merupakan
fenomena yang sejalan, karena sepsis sendiri merupakan sindrom infeksi
yang dicetuskan oleh penyakit infeksi, sedangkan BSI adalah sepsis yang
dicetuskan oleh mikroorganisme hidup yang mengalir di aliran darah.
(Viscoli, 2016)

Tabel 2.1. Definisi infeksi aliran darah dan istilah yang berkaitan
Istilah Definisi
Kontaminasi kultur Kultur darah yang positif akibat tumbuhkan
darah organisme yang sebenarnya tidak ada pada aliran
darah
Bakterimia Adanya bakteri hidup dalam aliran darah; kultur
darah positif terhadap pertumbuhan bakteri dan
kontaminasi telah diekslusi
Fungemia Adanya jamur hidup dalam aliran darah; kultur
darah positif terhadap pertumbuhan jamur dan
kontaminasi telah diekslusi
Bakterimia/fungemia Episode singkat bakterimia/fungemia yang tidak
transien berhubungan dengan infeksi
Infeksi aliran darah Bakterimia/fungemia yang berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara


6

infeksi
Infeksi aliran darah Infeksi aliran darah yang pertama kali
dengan onset / diidentifikasi (kultur) di atas 48 jam setelah
didapat dari rumah masuk rumah sakit, dan dalam 48 jam setelah
sakit pulang dari rumah sakit
Infeksi aliran darah Infeksi aliran darah yang terjadi saat pasien rawat
dengan onset /didapat jalan atau pertama kali terindentifikasi di bawah
dari komunitas 48 jam sejak masuk rumah sakit
Infeki aliran darah Infeksi aliran darah yang didapat dari komunitas
dengan onset dan berhubungan dengan pajanan terhadap
komunitas yang perawatan kesehatan sebelumnya yang signifikan)
berhubungan dengan dibuktikan dengan adanya admisi rumah sakit
pelayanan kesehatan sebelumnya, atau pelayanan kunjungan rumah
terspesialisasi, perawatan di poliklinik rumah
sakit atau unit hemodialisis, atau tinggal di rumah
layanan kesehatan/panti)
Infeksi aliran darah Infeksi aliran darah yang didapat dari komunitas
dengan onset dan tidak memenuhi kriteria yang
komunitas yang menghubungkan dengan pelayanan kesehatan
berhubungan dengan
komunitas
Infeksi aliran darah Episode infeksi aliran darah yang berhubungan
polimikrobial dengan dua atau lebih mikroorganisme yang
diisolasi rentang 48 jam pemeriksaan satu dan
lainnya
Sumber: Laupland, 2014

2.1.1 Epidemiologi
Epidemiologi global BSI sangat sulit untuk dinilai, karena penelitian
dilakukan dengan metodologi yang berbeda (kejadian dan prevalensi,

Universitas Sumatera Utara


7

misalnya) dan termasuk juga alasan populasi pasien yang sangat berbeda,
serta jenis rumah sakit. (Viscoli, 2016)( Rodriguez-Bano et al, 1010)
Sebuah studi prevalensi oleh European CDC (ECDC) menemukan
prevalensi pasien dengan setidaknya satu HAI di rumah sakit Eropa
sebesar 6%, dengan rentang negara bervariasi dari 2,3% hingga 10,8%.
Sekitar 10% dari episode adalah BSI. Data dari Sistem Pengawasan
Resistensi Antimikroba Eropa (EARSS) menunjukkan bahwa jumlah BSI
karena S. aureus, E. coli, S. pneumoniae, E. faecium atau faecalis yang
dilaporkan antara tahun 2002 dan 2008 meningkat 47% dari 46.095
menjadi 67.876. (Viscoli, 2016)

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi BSI


Beberapa penelitian yang dilakukan sejak tahun 1970-an mengenai
etiologi BSI, melaporkan angka antara 80 dan 189 per 100.000 per tahun
dengan tingkat yang lebih tinggi dilaporkan dalam beberapa tahun
terakhir. Tiga etiologi yang paling umum dari BSI adalah Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae, yang terjadi pada
tingkat perkiraan masing-masing 35, 25 dan 10 per 100.000 penduduk.
(Laupland, 2013)
Sebagai aturan, BSI dapat dikategorikan dalam 3 kelompok utama,
yaitu jika terjadi:
a. di host normal imunologis, dengan pertahanan utuh
b. pada pasien dengan kondisi fisiologis yang merusak
pertahanan, (bayi baru lahir, lanjut usia)
c. pada pasien yang terkena oleh kondisi patologis atau
farmakologis yang merupakan predisposisi infeksi.
Kelompok pertama termasuk misalnya penyakit N. meningitidis
dan S. pyogenes, BSI viridans streptococcal pada masa penyakit
endokarditis katup pada anak-anak, remaja atau dewasa muda, bakteri
post-influenza S. pneumoniae dan S. aureus, dan Salmonella typhi dan
non-typhi di daerah tertentu. Kebanyakan kasus ini adalah infeksi yang

Universitas Sumatera Utara


8

timbul dari masyarakat, dan terkadang terdiagnosis selang beberapa jam


setelah masuk ke RS.
Kelompok kedua BSI meliputi infeksi pada pasien dengan sistem
kekebalan yang belum matang atau tua. Patogen sering dan secara
mengejutkan serupa pada 2 ekstrem kehidupan, dan termasuk Listeria,
infeksi streptokokus dan pneumokokus kelompok B, E. coli, Klebsiella
spp. dan Candida.
Kelompok ketiga BSI, yang dapat diperoleh baik oleh komunitas
maupun rumah sakit, dapat disebabkan oleh hampir semua patogen, dari
Gram positif hingga Gram negatif dan jamur. Ini termasuk infeksi pada
pasien dengan imunodefisiensi yang didapat atau diwariskan, terkena
penyakit seperti diabetes, yang berhubungan dengan peningkatan risiko
komplikasi infeksi dan mereka yang termasuk dalam area besar perawatan
kesehatan yang terkait dan infeksi nosokomial, khas kedokteran modern,
di mana penggunaan terapi imunosupresif dan sitotoksik atau pembedahan
yang sangat invasif telah menjadi praktik umum.
Yang menarik, pola patogen yang menyebabkan BSI telah berubah
selama bertahun-tahun, yaitu dengan meningkatnya jumlah infeksi Gram-
negatif dan, terutama infeksi jamur (C. albicans dan non-albicans).
Namun, dalam dua dekade terakhir, perubahan paling signifikan etiologi
BSI bukan dari jenis organisme yang menginfeksi, melainkan resistensi
mereka terhadap antibiotik, terutama untuk batang Gram-negatif. Dimana
dua mekanisme utama resistensi antibiotik berbahaya adalah: (i) produksi
ESBL (beberapa subtipe berbeda), di mana di beberapa negara kita telah
kehilangan efektivitas sefalosporin generasi ke-3, dan (ii) produksi
karbapenemase dan metallo-betalactamases, dengan konsekuensi
penyebaran organisme multi- atau pan-resisten. (Viscoli, 2016)
Selain klasifikasi tersebut, BSI juga bisa dibagi berdasarkan
darimana penyakit ini kemungkinan didapatkan berdasarkan
epidemiologis. Dulunya klasifikasi ini hanya dibagi atas didapat

Universitas Sumatera Utara


9

komunitas ataupun nosokomial, namun saat ini klasifikasi menjadi yaitu:


(Rodriguez-Bano et al, 2010)
- Hospital-acquired (HA)
- Healthcare asscociated (HCA)
- Community-acquired (CA)

2.1.3 Faktor risiko dan port d’ entree


Sumber BSI kontroversial. Perangkat yang ada di dalam mungkin
merupakan sumber yang jelas, ketika pasien tidak memiliki kerusakan
yang jelas dalam mekanisme pertahanan. Namun, ini jarang terjadi. Pada
pasien kanker, misalnya, kateter sentral hanyalah salah satu dari banyak
mekanisme yang mungkin menjadi predisposisi untuk BSI. Data baru
benar-benar menunjukkan bahwa 40-50% infeksi aliran darah dalam
pengaturan onkologis disebabkan oleh cedera penghalang mukosa.
Hal ini berdampak pada ekspektasi dari perbaikan dalam
manajemen kateter yang tepat karena dapat menurunkan BSI pada pasien
kanker dan mendikte terhadap penggantian kateter yang cepat, di luar
situasi yang ditentukan dengan baik, seperti candidemia. (Viscoli, 2016)

2.2 Bakterimia
2.2.1 Definisi dan epidemiologi bakterimia
Bakterimia diartikan sebagai adanya bakteri yang hidup di alirah darah.
Kondisi ini bersifat transien dan merupakan kondisi klinis yang ringan,
dimana umumnya mekanisme pertahanan tubuh inang bisa mengelemiasi
bakteri dari darah. Kebanyakan kejadian bakterimia okulta dapat sembuh
sendiri secara spontan, terutama yang disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae dan Salmonella spp., dan jarang menyebabkan sekuele.
(Bennet, 2019).
Namun, ketika mekanisme tersebut gagal, atau terdapat lesi
anatomis, turbulensi aliran darah jantung, dan benda asing, bakteremia
dapat berlanjut menjadi infeksi dan sepsis. Insidensi infeksi aliran darah

Universitas Sumatera Utara


10

meningkat secara dramatis, baik yang berasal dari komunitas maupun dari
rumah sakit.
Insidensi bakterimia didapat komunitas (Community acquired
bacterimia – CAB) bervariasi berdasarkan kondisi geografis dan
dilaporkan sekitar 31.1 kasus per 100000/tahun di Thailand, 92 episode
per 100000/tahun di Denmark utara, 153 kasus per 100000/tahun di
Olmsted di Amerika Serikat dan 101.2 kasus per 100000/tahun di Victoria,
Canada.
Etiologi bervariasi berdasarkan usia, lokasi geografis, keadaan
lingkunga, dan penyakit komorbid. Insidensi lebih banyak pada laki – laki,
khususnya yang usia tua atau yang sangat muda. Infeksi traktus
respiratorius, traktus urinarius, dan infeksi intraabdomien adlaah lokasi
asal bakterimia tersering. Namun 10% kasus diklasifikasikan sebagai
bakterimia primer dengan asal tak diketahui. Escherichia coli,
Streptococcus pneumoniae, dan Staphylococcus aureus adalah patogen
yang paling sering ditemukan. (Christaki & Giamarellos-bourboulis, 2014)
Bakterimia terjadi ketika bakteri lolos dari sistem imun inang atau
ketika respon imun gagal untuk mengontrol penyebaran bakteri akibat
defek imun bawaan maupun yang diturunkan yang berhubungan dengan
susceptibilitas infeksi. Patogenesis bakterimia memiliki gambaran yang
dipengaruhi oleh kondisi inang. (Christaki & Giamarellos-bourboulis,
2014)
Kondisi yang berhubungan dengan bakterimia adalah sepsis dan
syok sepsis. Sepsis adalah disfungsi organ mengancam jiwa yang
diakibatkan oleh disregulasi respon tubuh inang terhadap infeksi. Syok
sepsis adalah lanjutan dari sepsis dengan kegagalan sirkulasi dan disfungsi
metabolik serta seluler yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini adalah quick
sepsis related organ failure assessment (qSOFA), dimana terdapat tiga
kriteria yang digunakan: tekanan darah sistolik ≤100mmHg, peningkatan

Universitas Sumatera Utara


11

frekuensi napas (≥22kali/menit), dan gangguan kesadaran (Glasgow Coma


Scale <15). (Irvan et al, 2016)(Chiumello, 2018)

2.2.2 Definisi dan Klasifikasi Bakteri


Bakteri adalah organisme uniseluler yang tidak memiliki membran nuklear
dan nukleus sejati. Bakteri diklasfikasikan ke dalam prokaryota karena
tidak memiliki mitokondria, retikulum endoplasma, dan badan golgi, yang
membedakannya dari prokaryota. (Mahon et al, 2015)(Cappuccino &
Sherman, 2014)
Secara morfologi bakteri berukuran 0.4 – 2 µm dan memiliki tiga
bentuk umum, yaitu: kokus (sferis), basil (bentuk batang), dan spirochaeta
(spiral) (Gambar 1). Visualisasi bakteri tersering adalah menggunakan
pewarnaan Gram.

Gambar 2.1 . Morfologi dan Susunan Bakteri


(Sumber: Cappuccino& Sherman, 2014)

2.2.3 Penyebab bakterimia tersering di ICU


Infeksi aliran darah adalah infeksi paling sering yang terjadi pada pasien
yang dalam masa kritis. Karena infeksi aliran darah pada pasien ICU
biasanya terjadi sekunder setelah pemasangan kateter intravaskular, maka
infeksi bisa saja disebabkan Gram positif dan Gram negatif, termasuk juga
jamur.(Orsini, 2012)

Universitas Sumatera Utara


12

Meskipun kultur darah positif merupakan tanda wajib infeksi aliran


darah,namun ada hal – hal lain yang perlu diperhatikan dalam menegakkan
kondisi ini. Infeksi aliran darah yang didapatkan dari komunitas adalah
infeksi yang diidentifikasi sebelum 48 jam masuk ke rumah sakit, dan bisa
dibagi lagi menjadi subklasifikasi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan ketika terjadi setelah pasien menerima rawatan. Penyebab BSI
komunitas tersering adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumoniae, dan organisme yang resisten terhadap
antibikroba, termasuk Staphylococcus aureus resisten methicillin dan
Enterobacteriaceae yang memproduksi extended-spectrum β-
lactamase/metallo-β-lactamase/carbapenemase.

2.2.4 Diagnosis bakterimia dan sepsis


Terdapat beberapa kriteria yang dipergunakan untuk menegakkan sepsis
dan beberapa penjelasan terminologi kondisi ini, diantaranya berasal dari
American College of Chest Physician (ACCP), Society of Critical Care
Medicine Consensus (SCCM), dan European Society of Critical Care
Medicine (ESICM). (Irvan et al, 2016)(Chiumello, 2018)

Tabel 2.2 Kriteria untuk SIR, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik
berdasarkan Konsensus Konferensi ACCP/SCCM 1991
Istilah Kriteria
SIRS 2 dari 4 kriteria
Temperatur >38oC atau <36 oC
Laju Nadi > 90 kali / menit
Hiperventilasi dengan laju nafas >20 kali/menit
atau CO2 arterial kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih >12000sel/uL atau <4000 sel/uL
Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah
terbukti)
Sepsis Berat Sepsis dengan disfungi organ

Universitas Sumatera Utara


13

Syok Septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan


resusiasi yang adekuat
Sumber: Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline Terbaru (Irvan,
2018)

Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan


konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan untuk
mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko
kematian yang meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA
(Sequential Organ Failure Assessment). (Irvan, 2018)

Tabel 2.3. Skor SOFA

Sumber: Sepsis dan Tata Laksana Berdasar Guideline Terbaru (Irvan,


2018)

Universitas Sumatera Utara


14

2.2.5 Parameter laboratorium pendukung bakterimia


Apabila terdapat kecurigaan besar terhadap adanya sepsis, maka
investigasi yang dapat dilaksanakan terhadap pasien adalah: (Bullock &
Benham, 2019)
- Hitung darah lengkap beserta hitung jenis leukosit
- Profil metabolik komprehensif (KGD, kalsium, albumon, elektrolit,
analisis gas darah, urea nitrogen darah, kreatinin, SGOT, SGPT,
bilirubin)
- Foto thoraks dan urinalisis (penelusuran sumber infeksi)
- Kultur darah dengan atau tanpa pemeriksaan kultur pada lokasi
potensi infeksi yang lain (setidaknya dua kultur darah
direkomendasikan sebelum pemberian antibiotik)
- Pemeriksaan lain yang mungkin dilakukan (procalcitonin, C-reactive
protein, lipase, fibrinogen, D-dimer, CT scan kepala degan atau
tanpa punksi lumbal, CT dada atau abdomen, MRI
servikal/thoraks/lumbar untuk mencari abses, dan sebagainya)

2.2.6 Prognosis
Kejadian bakterimia okulta dapat sembuh sendiri secara spontan, terutama
yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Salmonella, dan
jarang menyebabkan sekuele. Namun, ketika mekanisme tersebut gagal,
atau terdapat lesi anatomis, turbulensi aliran darah jantung, dan benda
asing, bakteremia dapat berlanjut menjadi infeksi dan sepsis. Insidensi
infeksi aliran darah meningkat secara dramatis, baik yang berasal dari
komunitas maupun dari rumah sakit.(Bennet, 2018) (Christaki &
Giamarellos-bourboulis, 2014)
Meskipun morbiditas dan mortalitas akibat sepsis telah menurun
dalam dua dekade terakhir, masih ada kebutuhan besar untuk perbaikan
dalam manajemen. Penurunan angka kematian yang terkait dengan sepsis

Universitas Sumatera Utara


15

ini sebagian disebabkan oleh pengenalan dan intervensi sebelumnya, serta


kemajuan dalam pemahaman proses penyakit ini.
Penanda penting untuk tingkat keparahan penyakit dan implikasi
prognostik, seperti kriteria SIRS atau qSOFA, telah mampu menyediakan
beberapa kerangka kerja untuk pengobatan serta wawasan tentang
prognosis untuk pasien yang terkena. Terapi yang goal-directed telah
berkonstribusi untuk menurunkan angka mortalitas. Skor klinis seperti
qSOFA dan skor SIRS dapat diaplikasikan pada kondisi awal yaitu skor
yang rendah sejalan dengan mortalitas rumah sakit yang lebih tinggi.
Meskipun ada kemajuan dalam manajemen sepsis yang
menghasilkan peningkatan mortalitas jangka pendek, prognosis pasien
yang mampu bertahan hidup secara umum di kemudian hari mortalitasnya
masih tinggi dengan angka mortalitas keseluruhan tidak tampak
terpengaruh. ((Bullock & Benham, 2019)

2.3 Fungemia
2.3.1 Definisi dan epidemiologi
Jamur adalah eukaryota heterotropik yang mengambil nutrisi melalui
proses absorpsi. Fungi memiliki inti sejati, membrana nukleus, dan
mitokondria. Kebanyakan fungi adalah multiselular meskipun banyak juga
fungi yang uniselular. Kelompok fungi uniselular disebut juga ragi,
dimana mereka dapat bereproduksi aseksual. Kelompok fungi multoselular
adalah kapang, dimana mereka memiliki hifa atau miselium. Fungi bersifat
obligat aerob yang tumbuh pada pH netral.
Secara taksonomi terdapat lebih dari 100.000 spesies fungi dan
estimasi sekitar 10 juta spesies yang belum ditemukan. Namun fungi yang
memiliki dampak klinis terbanyak ada empat, yaitu filum Glomeromycota,
Ascomycota, Basidiomycota, dan Fungi Imperfecti (Deuteromycota).
(Mahon et al, 2015)
Jamur semakin dikenal sebagai patogen mayor pada pasien yang
sakit kritis. Candida spp dan Cryptococcus spp adalah ragi yang paling

Universitas Sumatera Utara


16

sering diisolasi pada praktik klinis, semenara fungi berfilamen (kapang)


yang paling sering diisolasi adalah Aspergillus spp., namun
Fusarium spp., Scedosporium spp., Penicillium spp., dan Zygomycetes
juga semakin banyak ditemukan.
Beberapa alasan telah dikemukakan sebagai sebab infeksi fungal
yang invasif, termasuk penggunaan agen antineoplastik dan
imunosupresif, antibiotik spektrum luas, dan alat prostetik dan graft, juga
operasi yang lebih agresif. Pasien dengan luka bakar, neutropenia, infeksi
HIV, dan pankreatitis juga memiliki predisposisi untuk infeksi jamur.
(Enoch et al, 2006)

2.3.2 Diagnosis fungemia


Pemeriksaan fungi bisa dari pemeriksaan mikroskopis langsung
atau direct microscopic examination (DRE) menggunakan KOH, ataupun
menggunakan media kultur. Pada kultur, umumnya fungi tidak memiliki
kebutuhan nutrisi dan lingkungan spesifik seperti halnya bakteri sehingga
hanya sedikit media standar untuk isolasi primer. (Mahon et al,
2015)(Cappuccino & Sherman, 2014)
Kultivasi, penumbuhan, dan observasi fungi membutuhkan teknik
yang berbeda dibandingkan bakteri. Pada fungi kapang dibutuhkan
penggunaan medium seperti Sabaroud agar atau potato-dextrose agar
karena media ini mendukung pertumbuhan dengan asiditas rendah (pH 4.5
hingga 5.6) dan menghambat pertumbuhan bakteri yang lebih memilih pH
7. (Cappuccino & Sherman, 2014)

2.4 Kultur darah


2.4.1 Indikasi kultur darah
Kutur darah harus selalu diperiksakan bila terdapat suspek infeksi
aliran darah atau sepsis. Beberapa gejala dan tanda klinis pada pasien yang
bisa mengarahkan kecurigaan tersebut adalah: (Novak-Weekley & Dunne,
2018)

Universitas Sumatera Utara


17

1. Demam yang tidak diketahui sebabnya (≥ 38oC) atau hipotermia


(≤ 36oC)
2. Syok
3. Menggigil
4. Infeksi lokal yang berat (meningitis, endokarditis, pneumonia,
pyelonefritis, supurasi intraabdomen)
Kultur darah harus diambil sesegera mungkin setelah onset gejala
klinis dan idelanya sebelum diberikan terapi antimikroba. Bila pasien
telah mendapatkan terapi antimikroba, pemulihan mikroorganisme
kemungkinan akan meningkat bila kultur darah diambil sebelum dosis
berikutnya dan dengan menempatkan darah di dalam wadah yang berisi
media yang mampu menetralisasi antimikroba.
Meskipun kultur darah harus dilakukan ketika ada kecurigaan BSI,
namun tidak ada tanda klinis yang mampu digunakan sebagai prediktor
terbaik untuk BSI. Salah satu model prediktif yang dapat digunakan
adalah kriteria SIRS dan Shapiro, dimana kedua kriteria ini telah
menunjukkan sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah.

2.4.2 Prosedur pengambilan spesimen kultur darah


Panduan ACP (American College of Physicians)
merekomendasikan untuk tidak mengambil darah untuk kultur darah
melalui alat intravaskular apapun, dan CLSI merekomendasikan apabila
seseorang harus mengambil darah dari saluran intravena, makan kultur
tersebut harus dipasangkan dengan kultur yang diambil dari punksi vena
untuk membantu interpretasi hasil positif.
Waktu pengambilan kultur darah tidak tampak bisa mempengaruhi
hasil pengambilan mikroorganisme, sehingga banyak yang
merekomendasikan pengambilan sampel multipel secara serentak ataupun
dalam periode waktu yang singkat kecuali bila dokumentasi bakterimia
dipbutuhkan pada pasien dengan infeksi endovaskular. Kapanpun
memungkinkan, dua atau empat set spesimen darah harus dikumpulkan

Universitas Sumatera Utara


18

dari lokasi vena yang berbeda, dan untuk pasien dewasa, setiap set harus
diambil sebanyak 20 hingga 40 cc darah.
Telah dibuktikan bahwa volume darah yang dikutur dari pasien
dewasa proporsional terhadap mikroorganisme yang didapatkan. Hal ini
disebabkan pasien dewasa yang memiliki BSI memiliki konsentrasi
mikroorganisme hidup yang lebih rendah. Volume yang inadekuat atau
pengambilan kultur darah tunggal secara signifikan dapat menurunkan
sensitivitas tes, dan membuat interpretasi hasil semakin sulit.
Pemberian antiseptik sebelum pengambilan sampel kultur darah
dari punksi vena perifer juga penting untuk menurunkan tingkat
kontaminasi kultur darah dan memfasilitasi interpretasi hasil bagi klinisi.
Setelah spesimen kultur darah didapatkan berdasarkan prinsip yang
telah dikemukakan di atas, hasil kultur harus segera dikirimkan ke
laboratorium sesegera mungkin. Spesimen ini tidak boleh didinginkan atau
dibekukan, dan bila perlu hanya bisa didiamkan pada temperatur ruangan
tidak lebih dari beberapa jam. Meskipun jeda panjang antara pengambilan
sampel dan inkubasi dalam intrumen kultur darah kontinu tidak
direkomendasikan, hanya terdapat penurunan patogen signifikan bila
kultur darah disimpan selama >24 jam pada suhu 4°C atau temperatur
ruangan, dan hanya >12 jam pada 37°C. Inkubasi kultur darah
berkepanjangan sebelum memasukkan spesimen tersebut ke intrumen
monitro kultur darah kontinu, dapat menggganggu deteksi pertumbuhan.
(Kirn & Weinstein, 2013)

Berikut dalah tata cara pengambilan sampel kultur darah yang baik:
(Novak-Weekley & Dunne, 2018)
1. Sebelum digunakan periksalah terlebih dahulu botol kultur darah
untuk melihat adanya kerusakan, atau kontaminasi. Jangan
gunakan botol bila terdapat tekanan gas berlebih.
2. Periksa tanggal kadaluarsa yang tercetak di tiap botol. Buanglah
botol yang telah kadaluarsa.

Universitas Sumatera Utara


19

3. Ikuti protokol pengumpulan darah yang diberlakukan di pelayanan


kesehatan
4. Botol kultur darah harus diberikan label yang jelas mencakup
identitas pasien, tanggal pengambilan, lokasi punksi (punksi vena
atau alat intravaskular)
5. Setiap set kultur darah harus termasuk botol aerob dan anaerob
6. Kultur darah harus diambil dari vena, bukan arteri
7. Direkomendasikan untuk menghindari pengambilan darah dari
kateter intravena atau intraarteri karena peralatan ini berpotensi
kontaminasi
8. Desinfeksikan kulit secara hati – hati dengan desinfektan seperti
chlorhexidine dalam 70% alkohol isoprophyl atau tinctura iodine
9. Transporatikan botol yang telah diinokulasikan secepat mungkin
(setidaknya dalam 2 jam)
10. Semua kultur darah harus didokumentasikan di catatan pasien

Gambar 2. Alur pemeriksaan kultur daerah pendapatan tinggi


dibandingkan daerah pendapatan rendah
(Sumber: Ombelet et al, 2019)

Universitas Sumatera Utara


20

2.4.3 Prosedur kultur darah


Untuk mendapatkan hasil yang baik pada pemeriksaan kultur
darah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Yaitu: (biometrix,
ombelet)
a. Volume darah
Botol kultur darah telah disiapkan untuk dapat mengakomodasi
rekomendasi rasio antara darah banding medium, yaitu sekitar satu
banding lima atau satu banaing sepuluh. Bagi pasien dewasa,
rekomendasi volume darah yang dibutuhkan adalah 20 hingga 30 ml,
karena kebutuhan tersebut juga akan dibagi berdasarkan wadah aerob
dan anaerob. Apabila diperlukan set kultur multipel, maka dari satu
orang pasien dapat diambil sekitar 60ml darah dan dalam satu wadah
minimal harus terisi 10 ml darah.
b. Media kultur
Media kultur yang baik harus cukup sensitif untuk dapat
menumbuhkan berbagai jenis mikroorganisme yang relevan, dan
cukup baik untuk bisa memberikan hasil dari jenis spesimen apapun
(dewasa atau anak, paska antibiotik, cairan tubuh berbeda, dan
sebagainya). Pemilihan media juga dapat bersifat selektif terhadap
mikroorganisme tertentu bila diperlukan.
c. Waktu pengambilan sampel
Berdasarkan penelitian yang ada, interval waktu pengambilan antar
dua kultur darah tidak menjadi suatu faktor penting, dan hasil
diagnostik tetap sama. Panduan merekomendasikan pengambilan
beberapa set kultur darah sekaligus atau dalam satu satu jam dari
lokasi punksi yang berbeda.
d. Waktu inkubasi
Periode inkubasi standar untuk kultur darah rutin adalah 5 hari,
namun 3 hari sebenarnya cukup untuk mendapatkan 97%
mikroorganisme yang memiliki signifikansi klinis. Bagi

Universitas Sumatera Utara


21

mikroorganisme yang fastidious dibutuhkan waktu inkubasi yang


lebih lama.
e. Interpretasi kontaminan atau patogen sejati
Beberapa mikroorganisme seperti Staphylococcus koagulase negatif,
Streptococcus grup viridans, Bacillus spp, Propionibacterium spp,
difteroid, dan Micrococcus spp., sangat jarang menyebabkan infeksi
bakteri berat ataupun infeksi aliran darah. Karena itulah penting
untuk menuliskan lokasi pengambilan sebagai pertimbangan hasil dan
mencegah pemakaian antibiotik yang tidak perlu.

Gambar 2.3. Skema pemeriksaan kultur untuk mengindentifikasi etiologi


septicemia melalui spesimen darah
(Sumber: Cappuccino& Sherman, 2014)

Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi hasil kultur


darah, diantaranya adalah kontaminasi. Faktor kondisi medis dan penyakit
yang sudah ada sebelumnya dari pasien, sensus pasien, dan beban kerja
staf medis itu mungkin terkait dengan kontaminasi darah jarang
disebutkan. Selain itu terdapat perbedaan prosedur kultur pada area
berpendapatan tinggi dan rendah. (Ombelet et al, 2019)(Chang et al, 2015)
Kontaminasi dapat terjadi ketika mikroorganisme yang tidak ada
dalam aliran darah terpapar ke botol saat pengambilan sampel. Meskipun

Universitas Sumatera Utara


22

kultur darah dilakukan dalam keadaan asepsis, kontaminasi masih dapat


terjadi akibat adanya flora yang merupakan bagian dari kulit. Tingkat
kontaminasi juga bisa bergantung pada akses pengambilan, dimana
persentase kontaminasi didapatkan sekitar 36% pada vena perifer, 10%
pada arteri, dan 7% pada vena sentral. Teknik lain yang dilakukan saat
punksi vena adalah membuang mililiter pertama darah yang berpotensi
mengandung bakteri, ataupun menggunakan darah ambilan pertama untuk
keperluan lain. (Opota et al 2015)

2.5 Rawatan ICU


Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan
untuk observasi, perawatan dan terapi pasien – pasien yang menderita
penyakit akut, cedera atau penyulit – penyulit yang mengancam nyawa atau
potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih
reversibel. ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana serta
peralatan khusus untuk menunjang fungsi – fungsi vital dengan
menggunakan keterampilan staf medik, perawat, dan staf lain yang
berpengalaman dalam pengelolaan keadaan – keadaan tersebut. (Kemenkes,
2009)
Pada saat ini, ICU modern tidak teratas menangani pasien pasca
bedah atau ventilasi mekanis saja, namun telah menjadi cabang ilmu sendiri
yaitu intensive care medicine. Ruang lingkup pelayanannya meliputi
dukungan fungsi organ – organ vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi,
susunan saraf pusat, ginjal dan lain – lainnya, baik pada pasien dewasa atau
pasien anak.

2.5.1 Klasifikasi penyakit ICU berdasarkan admisi


Pengklasifikasian infeksi merupakan hal krusial di program surveilans
infeksi manapun, salah satunya di ICU. Dari sudut pandang praktisi, cut-
off waktu 48 jam secara umum dapat digunakan menjadi pemisah antara

Universitas Sumatera Utara


23

CA dan HA di ICU. Namun banyak pendapat bahwa infeksi yang didapat


dalam 48 jam setelah rawatan ICU yang diakibatkan oleh mikroorganisme
yang dibawa oleh pasien sebelum ia masuk ke ICU, tidak dapat dikatakan
sebagai infeksi didapat ICU sejati. Namun, infeksi ini tetap termasuk
infeksi nosokomial. Karena itulah ada klasifikasi infeksi ICU yang dibuat
untuk memperjelas hal ini.
1. Infeksi endogen primer (Primary endogenous – PE)
Yaitu infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang berpotensi
patogen (PPM) seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influezae, Moraxela catarhalis, Staphylococcus aureus, Escherichia
coli, Candida albicans, atau organisme patogenik (PM) seperti
Klebsiella spp., Proteus spp., Morganella spp., Enterobacter spp.,
Citrobacter spp., Serratia spp., Acinetobacter spp., Pseudomonas spp.,
dan Stenotrophomonas spp, yag dibawa ke unit dengan pasien yang
memiliki PPM di tenggorokan ataupun di saluran cerna saat admisi.
2. Infeksi endogen sekunder (Secondary endogenous – SE)
Infeksi yang disebabkan oleh PPM atau PM yang tidak dibawa oleh
pasien saat admisi, namun didapat di unit dari peralatan orofaring
dan/atau gastrointestinal dan infeksi yang mengikuti.
3. Infeksi eksogen (Exogenous – EX)
Merupakan infeksi yang diakibatkan oleh PPM atau PM yang tidak
pernah ada di tenggorokan dan/atau di saluran cerna pasien. Bakteri
diperkenalkan secara langsug ke organ internal tanpa pembawa
apapun.
Berdasarkan pembagian ini, hanya SE dan EX yang dikatakan
sebagai infeksi yang didapat ICU, sedangkan PE dikatakan sebagai infeksi
yang diimpor ke ICU. (Žurek & Fedora, 2012)

2.5.2 Infeksi nosokomial di ICU


Infeksi nosokomial mencakup semua infeksi yang didapat antara 48 jam
setelah masuk rumah sakit dan 3 hari keluar rumah sakit. Studi Prevalensi

Universitas Sumatera Utara


24

Infeksi di Perawatan Intensif Eropa (EPIC) menunjukkan prevalensi


infeksi nosokomial di ICU secara signifikan lebih tinggi sekitar 20,6%.
Mayoritas dari ini terkait dengan penggunaan alat invasif (tabung
endotrakeal, kateter vena sentral dan kateter urin).
Jenis infeksi yang paling umum adalah ventilator-associated
pneumonia (VAP), central line-associated blood stream infection
(CLABSI), infeksi terkait kateter urin dan infeksi di tempat bedah.
Perhatian terus menerus dan diagnosis tepat waktu dari kondisi ini dengan
manajemen yang tepat meningkatkan hasil pasien. Namun, intervensi yang
paling berhasil adalah pencegahan penularan infeksi. Ini termasuk
langkah-langkah umum seperti mencuci tangan yang rewel, penatalayanan
antimikroba dan penggunaan praktik terbaik. (Edwardson, 2018)

2.5.3 Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi


nosokomial
Ada korelasi positif langsung antara lama rata-rata rawat inap di ICU dan
tingkat infeksi nosokomial. Setiap prosedur invasif yang dilakukan
memiliki risiko infeksi sendiri. Berbagai penelitian telah menunjukkan
peningkatan angka infeksi nosokomial dengan kateterisasi vena sentral,
ventilasi mekanis, trakeostomi, dan kateterisasi urin. Tabel 4 menunjukkan
semua faktor risiko yang diduga meningkatkan kemungkinan infeksi
nosokomial di ICU. (Edwardson, 2018) (Dasgupta et al, 2015)

Tabel 2.4. Fakor yang meningkatkan risiko infeksi nosokomial


Faktor Pasien Faktor Layanan Kesehatan
Penyakit kronik Prosedur invasif
Usia lanjut (diatas 70 tahun) Intubasi nasal atau endotrakeal
Malnutrisi Insersi kateter vena sentral
Alkoholisme Bantuan ginjal ektracorporeal
Perokok berat Drainase bedah
Penyakit paru kronik Tuba nasogastrik
diabetes Trakeostomi

Universitas Sumatera Utara


25

Trauma Kateter urin


Luka bakar Transfusi darah
Riwayat pembedahan Terapi antimikroba baru
Terapi imunosupresan
Profilaksis stress-ulcer
Posisi pasien
Nutrisi parenteral
Lama rawatan ICU

2.5.4 Central line-associated blood stream infection


Infeksi terjadi pada sekitar 3% dari insersi jalur sentral. CLABSI dikaitkan
dengan kematian 19 %. CLABSI lebih mungkin pada pasien dengan luka
bakar, imunosupresi, malnutrisi, dan mereka yang menerima TPN. Kateter
vena sentral femoral (CVC) memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang jugularis internal. Kateter subklavia memiliki
tingkat infeksi terendah.
Segera setelah pemasangan, kateter dilapisi protein plasma,
termasuk fibrin. Bakteri dapat bermigrasi dari kulit di sepanjang
permukaan kateter, menjadi terfiksasi dalam selubung fibrin ini. Ini bisa
terjadi hanya beberapa jam setelah penyisipan awal. Mungkin ada periode
keterlambatan 3-4 hari di mana risiko CLABSI rendah. Bakteremia
kemudian menjadi jauh lebih mungkin setelah jumlah ambang batas
bakteri tercapai. Infeksi yang terjadi dalam minggu pertama kemungkinan
karena asepsis yang buruk selama pemasangan. Setelah 7 hari, setiap
infeksi yang terjadi kemungkinan besar disebabkan oleh transmisi mikroba
intraluminal setelah penanganan kateter. Berikut adalah kriteria diagnosis
CLABSI:
1. Adanya pemasangan CVC
2. Terdapat tanda infeksi pada lokasi insersi
3. Tanda dan gejala bakterimia
4. Resolusi gejala setelah kateter disingkirkan
5. Kultur darah positif
6. Kultur darah ditemukan bakteri yang sama dengan pada CVC

Universitas Sumatera Utara


26

Secara klinis, diagnosis dibuat berdasarkan hanya beberapa kriteria


ini. Standar emas melibatkan kultur darah positif yang mengisolasi
organisme yang sama dengan CVC itu sendiri. Tidak ada bukti kuat yang
mendukung keharusan melakukan pemeriksaan pada setiap lumen CVC.
Jika dicurigai adanya infeksi, kateter sentral harus diangkat sesegera
mungkin.
Manajemen harus selalu difokuskan pada sensitivitas hasil kultur.
Awalnya, beta laktam spektrum luas dapat digunakan untuk pengobatan.
Pada pasien berisiko tinggi kandidaemia, terapi flukonazol empiris juga
dapat dipertimbangkan. Bakteremia S. aureus biasanya membutuhkan
penambahan antibiotik glikopeptida kecuali kultur terbukti peka terhadap
metisilin. (Edwardson, 2018)

2.5.5 Ventilator asscociated pneumonia


Pneumonia terkait ventilator adalah subset pneumonia yang didapat di
rumah sakit (HAP) yang terjadi lebih dari 48 jam setelah intubasi
endotrakeal. Sekitar 15% pasien ICU didiagnosis secara klinis dengan
VAP, meskipun kurangnya definisi standar emas mengakibatkan kondisi
ini sering overdiagnosis ataupun mungkin menjadi tidak terdiagnosis.
Langkah awal dalam patogenesisnya adalah kolonisasi saluran
pernapasan atas dengan organisme yang berpotensi patogen termasuk
Pseudomonas dan Escherichia coli. Mikroaspirasi mikroba ini baik melalui
tabung endotrakeal atau melalui kebocoran di sekitar manset
memungkinkan mereka untuk memasuki saluran pernapasan bagian
bawah. Hal ini dikombinasikan dengan gangguan imunitas inang,
menghasilkan infeksi yang aktif secara klinis. Aspirasi mikroba
gastrointestinal juga berkontribusi, tetapi jarang. Pasien dengan ventilasi
mekanis dengan risiko VAP tertinggi adalah mereka yang berusia 70 tahun
atau lebih, mereka yang memiliki penyakit paru-paru, cedera neurologis
dan penurunan tingkat kesadaran, dan bukti klinis aspirasi.

Universitas Sumatera Utara


27

Meluasnya penggunaan ventilasi non-invasif telah mengurangi


kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanis pada populasi pasien yang
dianggap berisiko VAP. Metode lain untuk mengurangi durasi intubasi,
termasuk penahanan sedasi harian, penyapihan secara protokol dan
penilaian kesesuaian harian setiap hari untuk ekstubasi juga mengurangi
kejadian VAP.
Diagnosis VAP saat ini didasarkan pada kriteria klinis, radiologis
dan mikrobiologis. Manajemen VAP meliputi terapi antimikroba dini yang
dipandu ketat dengan spesialis mikrobiologi, bersama dengan penurunan
eskalasi yang tepat dan penargetan yang disempurnakan ketika sensitivitas
kultur didapatkan. Durasi total 5-7 hari terapi efektif sesuai untuk sebagian
besar organisme. Sepuluh hingga 14 hari biasanya digunakan untuk
organisme resisten atau untuk mengobati Pseudomonas. (Edwardson,
2018) (Chiumello, 2018)

2.5.6 Catheter-associated urinary tract infection


Catheter-associated urinary tract infection (CA-UTI) mengacu pada
adanya infeksi saluran kemih pada seseorang yang secara bersamaan
dikateterisasi, atau telah terjadi dalam 48 jam sebelumnya. Patogen
cenderung berasal dari meatus uretra, berjalan naik kateter pada
permukaan eksternalnya. Sekitar sepertiga dari patogen melakukan
perjalanan intraluminal, yang berasal dari kantong pengumpul yang
terkontaminasi.
Mendiagnosis infeksi patogen sejati dari kolonisasi bisa sulit. Baik
adanya peningkatan penanda inflamasi dan bukti organisme pada
pewarnaan Gram mendukung diagnosis infeksi. Tujuh hari perawatan
antibiotik biasanya cukup, tetapi pemberian antibiotik hingga 14 hari
mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki respon lebih lambat.
Kandiduria asimptomatik hanya membutuhkan perubahan kateter.
(Edwardson, 2018)

Universitas Sumatera Utara


28

2.5.7 Bakteri yang sering dijumpai di ICU


Pasien yang sakit kritis menunjukkan spektrum kolonisasi yang berbeda
dengan populasi rumah sakit lainnya. Pertumbuhan nosokomial terjadi
dalam 48-72 jam sejak masuk, dan menunjukkan tingkat yang jauh lebih
tinggi dari organisme yang resistan terhadap obat. Perlawanan terjadi
karena tekanan selektif dari penggunaan antibiotik biasa, menyebabkan
evolusi bakteri yang ada. Masalah ini kemudian diperparah oleh penularan
nosokomial spesies yang resisten ini. Sayangnya, cara penularan yang
paling umum adalah melalui petugas kesehatan dan prosedur invasif.
Bakteri yang terbanyak ditemukan di ICU adalah Pseudomonas
aeroginosa, dimana bakteri ini lebih sering dijumpai pada VAP. Bakteri
resiten yang sering ditemukan di ICU adalah: (Edwardson, 2018)
(Dasgupta et al, 2015)
- Methycillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vancomycin-resistant enterococci (VRE)
- Gram negatif multidrug-resistant (MDR)

Tabel 2.5. Persentase mikroorganisme yang paling sering diisolasi


berdasarkan infeksi nosokomial di ICU (studi ECDC)

(Sumber: Edwardson, 2018)

Universitas Sumatera Utara


29

2.6 Kerangka Teori

Hospital Acquired

Pemasangan CVC Ventilator


Mekanik

Community Acquired

Infeksi Aliran Darah

Pasien
- Usia
- Jenis Kelamin

Resistensi Antibiotik

2.7 Kerangka Konsep

Identifikasi Admisi

Kultur Darah
Resistensi antibiotik

Demografi Universitas Sumatera Utara

Pola
30

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif analitik dengan
pendekatan potong lintang

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di ruang rawatan ICU Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM). Penelitian ini dimulai dari bulan Maret
2020 dengan data sekunder memenuhi kriteria yang diambil dari rawatan tahun
2019 – 2020

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani rawatan di ruang
rawat ICU RSUP HAM
3.3.2 Sampel penelitian
Subjek penelitian adalah data sekunder seluruh pasien yang menjalani
rawatan di ruang rawat ICU RSUP HAM dan dilakukan kultur darah di ICU
RSUP HAM.

3.4 Kriteria Subjek Penelitian


3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien rawatan ICU RSUP HAM
2. Berusia minimal 18 tahun
3. Telah dilakukan kultur darah di ICU RSUP HAM

3.4.2.Kriteria Eksklusi
Tidak ada kriteria eksklusi pada penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


31

3.5 Besar Sampel


Besar sampel yang digunakan pada penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan rumus deskriptif kategorik untuk rancangan penelitian
observasional:

Keterangan:
N = Jumlah sampel
Zα = nilai standar alpha 5% yaitu1,96 (diperoleh dari kurva Z normal)
P = prevalensi infeksi aliran darah di ICU berdasarkan kepustakaan
yaitu 15%
Q = 1 – P yaitu 0,85
d = presisi ditetapkan 10%

Berdasarkan rumus diatas, maka diperoleh jumlah sampel penelitian pada


penelitian adalah 48,98 atau 49 orang.

3.6 Cara Pemilihan Sampel


Empat puluh sembilan sampel akan dipilih secara consecutive sampling
hingga memenuhi kuota sesuai rumus besaran sampel yang telah ditetapkan
terhitung sejak penelitian dimulai.

3.7 Variabel penelitian dan Definisi Operasional


Berikut adalah variabel yang akan diteliti pada penelitian ini beserta
definisi operasional dari variabel terkait.
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Jenis
Data
Infeksi aliran Terdapatnya
darah mikroorganisme
dalam aliran darah
Bakterimia Terdapatnya bakteri Data sekunder Ya atau Kategorik
dalam aliran darah berdasarkan Tidak
hasil kultur
darah
Fungemia Terdapatnya jamur Data sekunder Ya atau Kategorik
dalam aliran darah berdasarkan Tidak

Universitas Sumatera Utara


32

hasil kultur
darah
Pola Kuman Pola yang dijabarkan Hasil kultur Gram Kategorik
berdasarkan jenis darah: negatif atau
Gram, berdasarkan klasifikasi Gram positif
identifikasi spesies kuman
berdasarkan
Gram
Hasil kulturFrekuensi Numerik
darah: spesies
setiap
spesies
Resistensi Pola resistensi Hasil uji Data Numerik
antibiotika antibiotika yang telah resistensi frekuensi
diujikan pada pasien antibiotika beberapa
terhadap berbagai jenis
jenis antibiotik antibiotik
dengan
kategori:
Resisten /
Intermediate
/ Sensitif
Usia Pasien Usia pasien dalam Data Usia dalam Numerik
tahun demografi tahun
sekunder
Jenis kelamin Jenis kelamin pasien Data Perempuan Kategorik
demografi atau Laki –
sekunder laki
Pemasangan Dilakukannya Catatan Ya atau Kategorik
Kateter Vena prosedur pemasangan Tidak
Sentral pemasangan kateter kateter vena
vena sentral terhadap sentral
pasien baik sebelum
maupun ketika di
ICU
Ventilator Dilakukannya Catatan Ya atau Kategorik
Mekanik prosedur penggunaan penggunaan Tidak
ventilator mekanik ventilator
terhadap pasien mekanik

3.8 Informed Consent dan Ethical Clearance


Semua peserta penelitian yang diikutsertakan dalam penelitian ini, diberikan
penjelasan tentang tujuan, manfaat, keuntungan dan kerugian, dan prosedur
pemeriksaan dari penelitian yang dilakukan. Keikutsertaan subjek penelitian
bersifat sukarela. Untuk izin penelitian, persetujuan diperoleh dari subjek
penelitian dan Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


33

3.9 Alur Penelitian

Pemilihan Sampel
Penulisan dan Persetujuan Etik dan • kriteria inklusi
pengajuan Proposal Izin Penelitian • jumlah 49 orang

Pengambilan Data
• Data sekunder berupa: demografi, diagnosis, Pengolahan
admisi, rawatan ICU, riwayat tindakan invasif, dan Analisis Hasil
terapi antibiotika, pemasangan alat, dan hasil Data
kultur darah

Universitas Sumatera Utara


34

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di RS Haji Adam Malik Medan dengan


menggunakan data sekunder tahun 2019 – 2020. Sebanyak 52 dapat diperoleh dan
diolah untuk dijadikan sampel penelitian.

Data sekunder dari Rekam


Medis RSUP HAM
(n = 52)

Pencatatan Demografi

Identifikasi Admisi &


Diagnosis Pasien
Pemasangan CVC
Ventilasi Mekanik
Jumlah Leukosit

Pola Kuman &


Resistensi Antibiotika

Gambar 4.1 Profil Penelitian

4.1 Karakterisik Demografis


Penelitian ini meliputi data dari 52 orang pasien yang terekam antara tahun
2019 – 2020 dan menjalani proses kultur darah. Terdapat masing – masing 26
orang (50%) perempuan dan 26 sampel (50%) adalah laki – laki (Tabel 4.1).

Universitas Sumatera Utara


35

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin


Karakteristik Responden N %
Jenis Kelamin
Laki – laki 26 50
Perempuan 26 50
Usia (klasifikasi WHO)
Remaja (11 – 19 tahun) 0 0
Dewasa (20 – 60 tahun) 37 69,8
Lansia (> 60 tahun) 15 28,3

Populasi penelitian ini mayoritas adalah usia dewasa yaitu 37 orang


(69,8%) dengan rata – rata (mean) usia 54,69 tahun.

4.2 Sebaran Diagnosis Pasien


Sampel yang telah didapatkan kemudian dihitung sebarannya berdasarkan
diagnosis, adapun sebaran ini yaitu adalah: penyakit infeksi untuk pasien yang
memiliki diagnosis utama penyakit infeksi seperti pneumonia, ulkus; penyakit
trauma untuk pasien dengan riwayat trauma, sistem saraf meliputi stroke, Guillen
Barre Synrdome, Myasthenia Gravis, dan tumor otak; penyakit sistem
genitourinaria non infeksi; dan pasien yang menjalani tindakan pembedahan.
(Tabel 4.2.)

Tabel 4.2 Sebaran diagnosis berdasarkan sistem dan kausatif


Sebaran Diagnosis n = 52 %
Penyakit infeksi 11 21.15
Trauma 8 15.38
Sistem Saraf 12 23.07
Sistem Genitourinari 13 25
Sistem Cardiovaskular 1 1.92
Sistem Endokrin 1 1.92
Tindakan operatif (non trauma) 6 11.58
52 100

Diagnosis terbanyak adalah penyakit sistem genitourinari, dimana


penyakit terbanyak dari sistem tersebut adalah Chronic Kidney Disease stadium V
yaitu sebanyak tujuh orang. Dari penyakit infeksi, diagnosis terbanyak adalah
pasien pneumonia sebanyak empat orang.

Universitas Sumatera Utara


36

4.3 Identifikasi Kultur Darah Berdasarkan Hari Admisi Rawatan


Berdasarkan perolehan kultur darah yang positif ditinjau dari hari masuk
rawatan, didapatkan 33 orang (61,4%) pasien positif setelah melewati 48 jam
rawatan sedangkan sisanya di bawah 48 jam. Hal ini termasuk dalam kategori
infeksi aliran darah dengan onset atau didapat dari rumah sakit, karena
terindentifikasi setelah 48 jam setelah rawatan.

Tabel 4.3 Pemeriksaan kultur darah berdasarkan hari admisi


Kultur Darah n = 52 %
<48 jam setelah rawatan 19 38,6%
>48 jam setelah rawatan 33 61,4%
52 100

Hari rata – rata pengambilan kultur sejak hari admisi rawatan adalah
delapan hari. Dengan hari terlama yang diketahui adalah 55 hari.

4.4 Pemasangan CVC dan Ventilator pada Pasien


CVC terpasang pada sebagian besar sampel, yaitu 44 orang (84,6%).
Delapan orang pasien (15,4%) yang tidak terpasang CVC adalah pasien – pasien
dengan penyakit sistem genitourinari diagnosis gagal ginjal kronik. Hampir
seluruh sampel menggunakan ventilator, yaitu 48 orang (92,30%) (Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Pemasangan CVC dan Ventilator
n %
Pemakaian CVC (n = 52) 44 84,6
Pemakaian Ventilator (n = 52) 48 92,30

4.5 Pola Kuman


Pada penelitian ini ditemukan dikumpulkan 52 kultur darah dengan hasil
positif pertumbuhan mikroorganisme, dimana seluruh sampel tersebut didapat
pertumbuhan bakteri (100%). Pertumbuhan jamur hanya dijumpai pada satu
sampel (1,9%). Infeksi multipel ditemukan pada dua sampel, yaitu infeksi dua
jenis bakteri (Escherichia coli ESBL positif dan Klebsiella pneumoniae ESBL
positif), dan infeksi bakteri beserta jamur (Enterococcus faecium dan Candida
lucitaneae).
Berdasarkan pewarnaan Gram, ditemukan jumlah yang hampir setara
antara bakteri Gram negatif (52,8%) dengan bakteri Gram positif (47,1%).

Universitas Sumatera Utara


37

Morfologi terbanyak adalah batang Gram negatif yaitu 52,8% dengan spesies
terbanyak yaitu Klebsiella pneumoniae ESBL positif yaitu sebanyak 11 sampel.

Tabel 4.5 Hasil pemeriksaan kultur darah


Nilai %
Berdasarkan Hasil Kultur Darah
- Bakterimia 52 100
- Fungemia 1 1,9
- Infeksi multipel 2
Berdasarkan Pewarnaan Gram (n = 53)
- Gram Positif 25 47,1
- Gram Negatif 28 52,8
Berdasarkan Morfologi Bakteri (n = 53)
- Coccus Gram Positif 23 43,3
- Coccus Gram Negatif 0 0
- Batang Gram Positif 2 3,7
- Batang Gram Negatif 28 52,8
Berdasarkan Jenis Bakteri (n = 53)
- Acinetobacter baumanii 3 5,6
- Acinetobacter baumanii Carbapenemase positif 1 1,8
- Burkholderia cepacia 1 1,8
- Burkholderia pseudomallei 1 1,8
- Enterobacter cloacae 2 3,7
- Escherichia coli 1 1,8
- Escherichia coli ESBL positif 5 9,4
- Klebsiella pneumoniae ESBL positif 11 20,8
- Psedomonas aeruginosa 1 1,8
- Psedomonas aeruginosa Cabapenemase positif 2 3,7
- Actinomyces odontylicus 1 1,8
- Corynebacterium striatum 1 1,8
- Enterococcus faecium 4 7,5
- Staphylococcus aureus 4 7,5
- Staphylococcus aureus cefoxitin positif (Susp MRSA) 4 7,5
- Staphylococcus capitis 1 1,8
- Staphylococcus epidermidis 3 5,6
- Staphylococcus epidermidis Cefoxitin + 1 1,8
- Staphylococcus haemolyticus 2 3,7
- Staphylococcus hominis 2 3,7
- Staphylococcus hominis Cefoxitin positif 2 3,7
Berdasarkan Jenis Jamur
- Candida lusitaniae 1 1,8

Berdasarkan jenis bakteri Gram positif, genus terbanyak yang ditemukan


adalah kokkus Gram positif dengan spesies terbanyak adalah Staphylococcus
aureus yaitu sekitar 8 sampel (15%). Empat diantara delapan sampel

Universitas Sumatera Utara


38

Staphylococcus aureus memiliki hasil uji skrining Cefoxitin positif sehingga


terduga merupakan MRSA.
Dari 44 pasien yang terpasang CVC, didapatkan bahwa jumlah antara
bakteri Gram negatif dan Gram positif hampir sama yaitu 45,46% dan 54,54%.
Hasil hubungan diantara dua variabel kategorik didapatkan nilai P yaitu 0,308 dari
uji Fisher adalah tidak ada hubungan antara Pemasangan CVC dengan kejadian
bakteri Gram positif (Tabel 4.6)
Tabel 4.6 Pola Kuman Berdasarkan Pemakaian CVC
Pemasangan CVC
Total Nilai P
Ya Tidak
Gram Positif 20 5 25
Gram Negatif 24 3 27 0,308
Total 44 8 52

Dari 48 pasien yang terpasang ventilator, didapatkan bahwa jumlah antara


bakteri Gram negatif dan Gram positif hampir sama yaitu 45,8% dan 54,2%. Hasil
hubungan diantara dua variabel kategorik didapatkan nilai P yaitu 0,278 dari uji
Fisher adalah tidak ada hubungan antara pemasangan ventilator dengan kejadian
bakteri Gram positif negatif (Tabel 4.7).
Tabel 4.7 Pola Kuman Berdasarkan Pemakaian Ventilator
Pemasangan Ventilator
Total Nilai P
Ya Tidak
Gram Positif 22 3 25
Gram Negatif 26 1 27 0,276
Total 48 4 52

Dari 53 jenis bakteri yang didapatkan pada kutur darah, didapatkan bahwa
rawatan di bawah 48 jam dan di atas 48 jam, dijumpai bakteri Gram negatif
terbanyak pada rawatan di atas 48 jam. Hasil hubungan diantara dua variabel
kategorik didapatkan nilai P yaitu 0,081 dari uji Chi Square adalah tidak ada
hubungan antara hubungan antara waktu admisi dengan kejadian bakteri Gram
positif negatif (Tabel 4.8).

Universitas Sumatera Utara


39

Tabel 4.8 Pola Kuman Berdasarkan Admisi Rawatan


Kultur Darah
Total Nilai P
<48jam >48jam
Gram Positif 12 13 25
Gram Negatif 7 21 28 0,081
Total 19 34 53

Terdapat variasi pada sebaran pola kuman berdasarkan diagmosis pasien.


Ditemukan bakteri terbanyak yaitu Gram Positif pada penyakit sistem urogenital,
dan Gram negatif terbanyak pada penyakit sistem saraf dan infeksi. Adapun satu
infeksi jamur ditemukan pada satu pasien yang mengalami peritonitis akut.

Tabel 4.9 Pola Kuman Berdasarkan Diagnosis


Gram Gram Negatif Jamur
Positif
Infeksi 4 7
Trauma 2 6
Sistem Saraf 5 7
Sistem Urogenital 8 5
Sistem Endokrin 1 0
Sistem Kardiovaskular 1 0
Tindakan operatif 4 2 1
25 27 0

Hasil leukosit pada sampel yang diambil pada waktu yang berdekatan
dengan kultur darah menunjukkan variasi, dengan rentang leukosit 2850/mm 3
hingga 44560/mm3.
Tabel 4.10 Pola Kuman Berdasarkan Hasil Leukosit
Jumlah Leukosit / mm3
<4000 4000 - 11000 >11000
Gram Positif 1 8 16
Gram Negatif 1 5 21
Total 2 13 37

4.6 Sensitivitas Antibiotika


Terdapat 33 jenis antibiotik yang didata telah diujikan. Beberapa antibiotik
tersering yang diujikan merupakan Ciprofloxacin (51 kali), Tigecycline (43 kali),

Universitas Sumatera Utara


40

Gentamycin (46 kali), dan Ampicillin Sulbactam (46 kali). Pemeriksaan paling
sedikit adalah antibiotik Azithromycin (1 kali), Cefixim (1 kali), Chloramphenicol
(1 kali), Cotrimoxazole (2 kali), dan Penicillin (3 kali).

Tabel 4.11 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotika


Hasil Uji Sensitivitas n (%)
Jenis Antibiotik
S I R SDD
Amikacin (n = 27) 24 (88,9) 3 (11,1)
Amoxicillin (n = 22) 3(13,6) 19(86,4)
Ampicillin (n = 27) 2(7,4) 25(92,6)
Ampicillin Sulbactam (n = 46) 10(21,7) 2(4,3) 34(73,9)
Azithromycin (n = 1) 1(100)
Cefalexin (n = 15) 1(6,7) 14(93,3)
Cefazolin (n = 29) 3(10,3) 26(89,7)
Cefixim (n = 1) 1(100)
Cefotaxim (n = 6) 5(83,3) 1(16,7)
Ceftazidime (n = 31) 11(35,5) 1(3,2) 19(61,3)
Ceftrizxone (n = 28) 5(17,9) 1(3,6) 22(78,6)
Cefuroxime (n = 20) 4(20) 16(80)
Ertapenem (n = 20) 18(90) 1(5) 1(5)
Cefepime (n = 32) 15(46,9) 1(3,1) 13(40,6) 3(9,4)
Cefoperazone Sulbactam (n = 3) 2(66,7) 1(33,3)
Chloramphenicol (n = 1) 1(100)
Ciprofloxacin (n = 51) 8(15,1) 2(3,8) 41(80,4)
Clindamycin (n = 20) 7(35) 1(5) 12(60)
Cotrimoxazole (n = 2) 1(50) 1(50)
Erythromycin (n = 25) 7 (28) 18(72)
Gentamycin (n = 46) 19(41,3) 27(50,9)
Levofloxacin (n = 22) 4(18,2) 18(81,8)
Meropenem (n = 28) 24(85,7) 1(3,6) 3(10,7)
Netilmicin (n = 35) 14(40) 4(11,4) 17(48,6)
Penicillin (n = 3) 3(100)
Tigecycline (n = 47) 43(91,5) 4(8,5)
Tetracycline (n = 45) 15(33,3) 30(66,7)
Vancomycin (n = 25) 23(92) 2(8)
Cefoperazone (n = 4) 4(100)
Trimethoprim Sulfamethoxazole 21(50)
21(50)
(n=42)
Aztreonam (n = 22) 1(4,5) 21(95,5)
Fosfomycin (n = 25) 15(60) 1(4) 9(36)
Moxifloxacin (n = 18) 4(22,2) 1(5,6) 13(72,2)
Keterangan: S (sensitif); I (intermediate); R (resisten); SDD (Sensitive Dose
Dependent)

Universitas Sumatera Utara


41

Antibiotik dengan tingkat sensitivitas tertinggi adalah Cefoperazone dan


Cefixim, dengan 100% dari satu pemeriksaan. Antibiotik dengan sensitivitas
tertinggi setelah diperiksakan pada lebih dari setengah jumlah sampel adalah
Amikacin (88,9%), Meropenem (85,7%), Tigecycline (91,5%). Antibiotik
tingkatan resistensi tertinggi adalah Azithromycin, Chloramphenicol, Penicillin
dengan nilai 100%. Antibiotik dengan resistensi tertinggi setelah diperiksakan
pada lebih dari setengah jumlah sampel adalah Ampicillin (92,6%) dan Cefazolin
(89,7%).

Universitas Sumatera Utara


42

BAB V
PEMBAHASAN

Prevalensi infeksi aliran darah secara global sangat sulit untuk dinilai
karena populasi pasien yag berbeda dan jenis rumah sakit yang berbeda. Pada
penelitian ini sendiri butuh range waktu yang besar untuk memenuhi kebutuhan
jumlah sampel yang memenuhi kriteria positif. Di Eropa sendiri prevalensinya
berkisar antara 2,3 hingga 10,8 persen, yang artinya dari 100 orang yang dikultur
kemungkinan mendapatkan pasien dengan infeksi aliran darah poasitif adalah 2
hingga 10 orang. (Viscoli 2016)
Dijumpai pada penelitian ini jenis kelamin yang seimbang jumlahya antara
laki – laki dan perempuan yaitu 26 orang (50%) masing – masingnya. Pada
penelitian oleh Christaki & Giamarellos-boubulis tahun 2014, lebih banyak
penyakit ini terdapat pada laki – laki dengan usia yang tua atau usia yang sangat
muda. Dari segi usia, kelompok usia terbanyak pada penelitian ini adalah 20 – 60
tahun yaitu (69,8%) dengan rentang variasi yang besar, dan rata – rata usia
tersebut adalah 54,69 tahun. Pada beberapa negara, termasuk klasifikasi oleh
Depkes pada tahun 2009, klompok usia rata – rata tersebut telah diklasifikasikan
sebagai usia tua (Christaki 2014).
Sebaran diagnosis yang didapatkan dari pasien sangat beragam, dan pada
penelitian ini sebaran diagnosis terbanyak pada diagnosis utama non infeksi
adalah sistem genitourinari yaitu 25%, dan sistem saraf 23,07% dan trauma
15,38%. Sebaran diagnosis tersebut merupakan diantaranya adalah penyakit gagal
ginjal kronik, stroke, Guillen Barre Syndrome, dan trauma seperti patah tulang
dan luka bakar. Sementara penyakit infeksi sendiri yang tersering pada penelitian
ini adalah pneumonia. Pada penelitian lain ditemukan lokasi asal penyakit ini
paling sering adalah infeksi traktur respiratorius,traktus urinarius, dan infeksi
intraabdomen, namun sekitar 10% asal primer bakterimia tidak diketahui
(Christaki 2014).

Universitas Sumatera Utara


43

Berdasarkan waktu admisi rawatan, pada penelitian ini didapatkan 61,4%


pasien positif kultur darah setelah melewati 48 jam. Kelompok infeksi aliran
darah dapat dibagi menjadi infeksi yang didapat dari rumah sakit (<48jam), dan
onset diluar rumah sakit (<48 jam). Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa
infeksi tersebut berasal dari rumah sakit (Laupland, 2014)
Pemakaian CVC merupakan hal yang rutin di ICU, dikarenakan kondisi
klinis pasien dan kepentingan untuk memasukkan berbagai jenis terapi. Pada
penelitian ini sekitar 84,6% pasien terpasang CVC dan positif bakterimia.
Sementara sisanya 13,4% tidak terpasang CVC dikarenakan terpasangnya akses
kateterisasi ditempat lain, contoh dalam kasus ini yaitu pasien - pasien dengan
penyakit ginjal kronik. Tindakan invasif merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya infeksi aliran darah karena memberikan port d’entree untuk
mikroorganisme. Penggantian kateter yang cepat dapat menurunkan infeksi aliran
darah (Viscoli 2016).
Ditemukan 48 orang (92,30%) pada penelitian ini memakai ventilator
dengan mikroorganisme yang bervariasi. Keberagaman diagnosis membuat hal ini
sulit ditelusuri namun dari penelitian Thakuria pada tahun 2013, kejadian infeksi
yang berasal dari ventilator sekitar 51% dengan bakteri yang terbanyak ditemukan
adalah bakteri Gram negatif. Menurut Basetti pada penelitian infeksi aliran darah
nya di ICU, faktor risiko terbesar infeksi aliran darah adalah lama masa rawatan,
penggunaan ventilasi mekanik, terapi pembedahan, renal replacement therapy,
dan penggunakan kateter intravaskular. Pernyataan ini sejalan dengan fenomena
yang ditemukan pada penelitian ini dimana hasil kultur darah positif ditemukan
pada pasien penelitian dengan lama rawatan rata – rata 8 hari, penggunaan
ventilasi mekanik sekitar 92,30%, pemakaian CVC 84,6%, sebagian menjalani
terapi pembedahan dan hemodialisis.(Basetti 2016)
Hasil kultur darah pada seluruh sampel positif menunjukkan seluruhnya
terinfeksi bakteri 92,30, dimana 52,8% sampel merupakan bakteri batang Gram
negatif. Pada penelitian ini, jenis bakteri terbanyak yang ditemukan adalah bakteri
Gram negatif, hal ini sejalan dengan pola perubahan infeksi aliran darah yang
dulunya merupakan mayoritas Gram positif (Viscoli 2016). Menurut Basetti, dari

Universitas Sumatera Utara


44

kebanyakan bakteri Gram negatif yang terisolasi, Escherichia coli, Klebsiella


pneumoniae, Acinetobacter baumanii, dan Pseudomonas sering terisolasi pada
pasien. Hal ini sejalan pada penelitian ini dimana mikroorganisme yang tersebut
sebelumnya ada diantara sampel – sampel yang didapatkan. Disusul dengan genus
Staphylococcus dengan spesies terbanyak pada penelitian ini yaitu Staphylococcus
aureus. Dan adanya infeksi Candida spp pada salah satu sampel. Hal ini sejalan
dengan statement Basetti mengenai mikroorganisme pada pasien rawatan ICU,
dan menunjukkan adanya trend yang serupa pada berbagai lokasi.
Salah satu penderita mengalami multipel infeksi bakteri beserta jamur
(Enterococcus faecium dan Candida lucitaneae). Fungemia yang terjadi sampel
tersebut merupakan penelitian yang menderita peritonitis akut. Beberapa faktor
penyebab infeksi fungal invasif menurut Enoch adalah penggunaan antineoplastik
dan imunosupresan, antibiotik spektrum luas, alat prostetik dan graf, dan juga
tindakan operasi yang agresif. Meskipun begitu menurut Wawrysiuk pada laporan
kasus tahun 2018, infeksi Candida lusitaniae merupakan infeksi yang jarang.
Jamur ini sendiri seringnya resisten terhadap Amphotericin B. Pada laporan kasus
tersebut diceritakan bahwa infeksi pada pasiennya terjadi intraperitoneal paska
operasi laparoskopik. Pada studi lain yang dilakukan oleh Rodolico, ia
menemukan 66 kasus infeksi intraabdomen oleh Candida spp selama studi 5
tahun. (Wawrysiuk, 2018)
Berdasarkan jumlah mikroorganisme yang diisolasi, mikroorganisme
terbanyak yang ditemukan pada penelitian ini adalah Klebsiella pneumonia
(20,8%), Staphylococcus aureus (15%), dan Escherichia coli (11,2%). Hal ini
hampir serupa dengan penelitian oleh Edwardson meskipun dengan urutan yang
berbeda, dimana dijumpai bakteri terbanyak yangdiisolasi dari darah adalah
Staphylococcus aureus, disusul oleh Enterococcus spp, Serratia spp, dan
Klebsiella spp.
Insidensi bakteri Gram negatif penghasil Carbapenemase dan Extended
Spectrum Beta Lactamase (ESBL) adalah suatu ancaman di ICU. Kebanyakan
Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli resisten terhadap ampicillin karena
produksi plasmid mediated beta lactamase yang dapat menginaktivasi

Universitas Sumatera Utara


45

sefalosporin spektrum luas, penisilin, dan aztreonam (Connie Mahon, 2012). Pada
penelitian ini sendiri ditemukan 3 sampel (5,5%) pasien dengan batang Gram
negatif penghasil Carbapenemase, dan 16 (30,2%) bakteri Gram negatif penghasil
ESBL. Diketahui penggunaan ventilator memiliri risiko terjangkitnya seseorang
dengan enterobacteriacea ESBL positif yaitu sekelompok bakter batang Gram
negatif sekitar 5 – 20%. Mikroorganisme tersering yang diisolasi adalah
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, namun enterobacteriaceae
seperti Eschericia coli dan Klebsiella juga mencapai hampir 20%, sejalan pada
penelitian ini dimana infeksi Klebsiea mencapai 20,8%, dan bila diakumulasi
dengan enterobacteriaceae lain mencapai 41,2%. Tingginya angka batang Gram
negatif penghasil ESBL di ICU dimana rata – rata terjadi resistensi pada
sefalosporin generasi tiga menyebabkan golongan Carbapenem disarankan
menjadi obat pilihan pada infeksi, namun adanya bakteri Gram negatif penghasil
Carbapenemase membuat hal ini menjadi mengkhawatirkan (Pilmis, 2018).
Jumah bakteri penghasil ESBL pada penelitian ini adalah 30,2 persen.
Pada studi yang dilakukan di Prancis, kolonisasi ESBL dapat meningkat seiring
masa rawatan di ICU, yaitu pada masa rata – rata di atas lima hari, meskipun
begitu tidak semua pasien yang memiliki kolonisasi ESBL berkembang menjadi
suatu infeksi. Klebsiella pneumonia sendiri merupakan bakteri yang merupakan
flora yang umum dijumpai pada manusia.
Beberapa isolat yang jarang dijumpai namun terdapat pada penelitian ini
adalah Burkholderia cepacia, Burkholderia pseudomallei, Actinomyces
odolynticus, Corynebacterium striatum, dan Staphylococcus capitis dimana
bakteri ini dijumpai masing – masing satu dari 52 sampel terperiksa.
Burkholderia pseudomallei pada sampel penelitian dijumpai pada laki –
laki usia 59 tahun pengidap diabetes mellitus yang menderita pneumonia. Bakteri
ini merupakan mikroorganisme saprofitik yang banyak terdapat di tanah tropis
dan genangan air. Faktor risiko penyakit ini adalah diabetes, alkoholik kronik, dan
gagal jinjal kronik, dan usia di atas 50 tahun. Suatu tulisan oleh Abidin pada tahun
2017 tentang laporan kasus penderita pneumonia akut akibat Burkholderia
pseudomallei menemukan infeksi ini pada pasien rawatan ICU paska kejadian

Universitas Sumatera Utara


46

trauma dimana dimana trauma diduga sebagai mekanisme port d’entree. Pada
kasus penelitian kultur dilakukan pada hari ke enam rawatan, sehingga secara
kriteria hal ini menjadi perdebatan
Pada perhitungan untuk menentukan adanya hubungan antara admisi RS,
pemasangan CVC, pemasangan ventilator, dengan pola kumn, ditemukan tidak
adanya hubungan yang signifikan. Hal ini diperkirakan karena heterogenisitas dari
sampel sehingga banyak bias yang mungkin terjadi. Namun dari penelusuran jenis
kuman, dapat dilihat trend yang memang sejalan dengan berbagai macam
penelitian seperti yang dijelaskan.
Terdapat 33 jenis antibiotik yang didata telah diujikan. Beberapa antibiotik
tersering yang diujikan merupakan Ciprofloxacin (51 kali) dengan sensitivitas
15,1%, Tigecycline (43 kali) dengan sensitivitas 91,5%, Gentamycin (46 kali)
dengan sensitivitas 41,3%, dan Ampicillin Sulbactam (46 kali) dengan sensitivitas
21,7%. Dari pernyataan Thakuria dalam penelitiannya perihal resistensi antibiotik
pada pengguna ventilator ditemukan bahwa terdapat sensitifitas yang tinggi
terhadap golongan Tigecyline dan Polymyxin B terhadap isolat Gram negatif, dan
Vancomycin terhadap isolat Gram positif. Pada penelitian itu juga dinyatakan
telah diobservasi bahwa penggunaan Sefalosporin sebagai terapi lini pertama
sangat sering terjadi meskipun pada kenyataannya performanya buruk. Pada
penelitian ini tingkat resistensi pada sefalosporin sendiri yaitu Cefalexin (93,3%),
Cefazolin (89,7%), Ceftazidime (61,3%), Ceftriaxone (78,6%), Cefuroxime
(80%), sementara tidak ditemukan resistensi pada Cefotaxim dan Cefixim.
Cefixim sendiri hanya diperiksakan sebanyak 1 kali pada pasien dengan positif
kultur Burkholderia pseudomallei.
Pada isolat Gram positif, masalah MRSA juga merupakan hal yang
mengkhawatirkan. Penggunaan Vancomycin juga meningkat dikarenakan hal ini.
Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas vancomycin sebesar 92%. Menurut
Basetti dari hasil tulisan Tumbarello, terjadi peningkatan mortalitas akibat MRSA
akibat tidak adekuatnya antibiotik empiris yang diberikan. MRSA sendiri
merupakan masalah klinis utama, terutama bila di ICU. Pada studi di
EUROBACT ditemukan dari 1156 isolat terdapat 50% MRSA.

Universitas Sumatera Utara


47

Studi EUROBACT menyatakan mengenai bakteri Gram negatif yang


MDR memiliki peran penting dalam lebih dari setengah kasus yang ditelitinya di
ICU akibat dari produksi ESBL. Sering sekali Carbapenem dipakai sebagai lini
pertama karena hal itu. Sebagai konsekuensinya, resistensi Carbapenem semakin
meningkat dengan bakteri – bakteri Acinetobacter spp, Klebsiella spp, dan
Pseudomonas spp sebagaimana yang juga ditemukan pada penelitian ini yaitu
ketiga varian positif Carbapenemase.
Karena tinggi mortalitas dan seringnya ditemukan isolat patogen yang
dinilai sulit untuk diatasi menurut berbagai penelitian, serta banyaknya pasien
dengan berbagai komorbiditas berbahaya di ICU, maka langkah – langkah
preventif harus diambil untuk mencegah terjadinya hal ini. mengurangi transmisi
adalah salah satu cara untuk mengendalikan outbreak dari bakteri MDR patogen.
Sudah banyak protokol mengenai banyak cara aman seperti standar insersi kateter
dan manajemen perawatan pada pasien di ICU yang dapat menurunkan insidensi
infeksi aliran darah di ICU.

Universitas Sumatera Utara


48

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Jenis bakteri yang banyak ditemukan adalah bakteri batang Gram
negatif disusul oleh coccus Gram positif
2. Infeksi aliran darah terbanyak yang ditemukan adalah di atas 48 jam
rawatan yang menandakan infeksi tersebut dipengaruhi oleh masa
rawatan di RS
3. Terdapat bakteri Gram negatif penghasil ESBL dan Carbapenemase
dalam jumlah yang banyak
4. Tidak ada hubungan bermakna antara demografi, pemasangan CVC,
dan ventilator dengan pola kuman Gram negatif dan positif

5.2 Saran
1. Sebagai masukan untuk meningkatkan langkah preventif dengan cara
menerapkan protokol standar dalam segala tindakan dan memperketat
rawatan peralatan seperti kateter intravaskular demi mencegah
transmisi patogen – patogen yang berbahaya. Selain itu perlu
diadakannya evaluasi dan monitoring berkala untuk mengontrol
penerapan tersebut. Tidak hanya untuk mencegah penularan terhadap
pasien dan antar pasien, tetapi juga melindungi tenaga kesehatan di
ICU.
2. Perlu dilakukan penelitian pada berbagai macam tindakan di ICU
untuk memastikan sumber dari infeksi

Universitas Sumatera Utara


49

DAFTAR PUSTAKA

Bassetti, M., Righi, E. and Carnelutti, A. (2016) ‘Bloodstream infections


in the Intensive Care Unit’, Virulence. Taylor & Francis, 7(3), pp.
267–279. doi: 10.1080/21505594.2015.1134072.

Bullock, B. and Benham, M. (2019) ‘Bacterial Sepsis’, PubMed.


StatPearls Publishing. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30725739 (Accessed: 10
September 2019).

Bennet, J. N. (2019) medscape - bacteremia, Medscape. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/961169-overview.

Novak-Weekley, S. and Dunne, M. (2018) BLOOD CULTURE: A key


investigation for diagnosis of bloodsream infections. Durham, USA:
Biomeriux.

Cappuccino, J. G. and Sherman, N. (2014) Microbiology: A laboratory


Manual. 10th edn. Pearson.

Chang, C. et al. (2015) ‘Factors Associated with Blood Culture


Contamination in the Emergency Department : Critical Illness , End-
Stage Renal Disease , and Old Age’, PLoS ONE, 10(10), pp. 1–10.
doi: 10.1371/journal.pone.0137653.

Chiumello, D. (2018) Practical Trends in Anesthesia and Intensive Care


2018. Switzerland: Springer.

Christaki, E. and Giamarellos-bourboulis, E. J. (2014) ‘The complex


pathogenesis of bacteremia From antimicrobial clearance mechanisms
to the genetic background of the host’, Landes Bioscience, 5(1), pp.
57–65. doi: 10.4161/viru.26514.

Dasgupta, S. et al. (2015) ‘Nosocomial infections in the intensive care


unit: Incidence, risk factors, outcome and associated pathogens in a
public tertiary teaching hospital of Eastern India’, Indian J Crit Care
Med, 19(1), pp. 14–20. doi: 10.4103/0972-5229.148633.

Universitas Sumatera Utara


50

Edwardson, S. (2018) ‘Nosocomial infections in the ICU’, Anaesthesia


and Intensive Care Medicine. Elsevier Ltd, 20(1), pp. 14–18. doi:
10.1016/j.mpaic.2018.11.004.

Enoch, D. A., Ludlam, H. A. and Brown, N. M. (2006) ‘Invasive fungal


infections : a review of epidemiology and management options’,
Journal of Medical Microbiology, 55, pp. 809–818. doi:
10.1099/jmm.0.46548-0.

Irvan, Febyan and Suparto (2018) ‘Sepsis dan Tata Laksana Berdasar
Guideline Terbaru’, Jurnal Anestesiologi Indonesia, X(1), pp. 62–73.

Kementrian Kesehatan RI (2009) Petunjuk Teknis Penyelenggaraan


Pelayanan Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Indonesia:
Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.

Kirn, T. J. and Weinstein, M. P. (2013) ‘Update on blood cultures : how to


obtain , process , report , and interpret’, Clinical Microbiology and
Infection. European Society of Clinical Microbiology and Infectious
Diseases, 19(6), pp. 513–520. doi: 10.1111/1469-0691.12180.

Laupland, K. B. (2013) ‘Incidence of bloodstream infection : a review of


population-based studies’, Clinical Microbiology and Infection.
European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases,
19(6), pp. 492–500. doi: 10.1111/1469-0691.12144.

Laupland, K. B. and Church, D. L. (2014) ‘Population-Based


Epidemiology and Microbiology of Community- Onset Bloodstream
Infections’, Clinical Microbiology Reviews, 27(4), pp. 647–664. doi:
10.1128/CMR.00002-14.

Mahon, C. R., Lehman, D. C. and Manuselis, G. (2015) textbook of


Diagnostic Microbiology. 5th edn. Missouri: elsevier.

Mukhopadhyay, C. (2018) ‘Infection Control in Intensive Care Units’,


Indian J Respir Care, 7, pp. 14–21. doi: 10.4103/ijrc.ijrc.

Universitas Sumatera Utara


51

Ombelet, S. et al. (2019) ‘Best Practices of Blood Cultures in Low- and


Middle-Income Countries’, Frontiers in Medicine, 6(June). doi:
10.3389/fmed.2019.00131.

Opota, O. et al. (2015) ‘Blood culture-based diagnosis of bacteraemia :


state of the art’, Clinical Microbiology and Infection. Elsevier Ltd,
21(4), pp. 313–322. doi: 10.1016/j.cmi.2015.01.003.

Orsini, J. et al. (2012) ‘Microbiological Profile of Organisms Causing


Bloodstream Infection in Critically Ill Patients’, J Clin Med Res, 4(6),
pp. 371–377. doi: 10.4021/jocmr1099w.

Pilmis, B. and Zahar, J.-R. (2018) ‘Ventilator-associated pneumonia


related to ESBL-producing gram negative bacilli’, Annals of
Translational Medicine, 6(20), pp. 424–424. doi:
10.21037/atm.2018.09.34.

Rodriguez-Bano, J. et al. (2010) ‘Epidemiology and clinical features of


community-acquired , healthcare-associated and nosocomial
bloodstream infections in tertiary-care and community hospitals’,
Clinical Microbiology and Infection, 16, pp. 1408–1413. doi:
10.1111/j.1469-0691.2010.03089.x.

Viscoli, C. (2016) ‘Bloodstream infections : The peak of the iceberg’,


Virulence. Taylor & Francis, 7(3), pp. 248–251. doi:
10.1080/21505594.2016.1152440.

Wawrysiuk, S. et al. (2018) ‘Candida lusitaniae – A case report of an


intraperitoneal infection’, Przeglad Menopauzalny, 17(2), pp. 94–96.
doi: 10.5114/pm.2018.77310.

Zainal Abidin, H. et al. (2017) ‘Acute bacteremic pneumonia due to


melioidosis developing in the intensive care setting’, IDCases, 8, pp.
63–65. doi: 10.1016/j.idcr.2017.03.010.

Žurek, J. and Fedora, M. (2012) ‘Classification of Infections in Intensive


Care Units : A Comparison of Current Definition of Hospital-
Acquired Infections and Carrier State Criterion’, Iran J Med Sci,
37(2), pp. 100–104.

Universitas Sumatera Utara


52

Lampiran 1

RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama : dr. Apriandeny Haithami


Tempat/Lahir : Medan / 05 April 1989
Agama : Islam
Alamat : Jl. HOS Cokroaminoto no 205
Nama Ayah : Ir. Hardy Guchi, MP
Nama Ibu : dra. Elita Dewi, MSP
Status : Menikah
Nama Istri : dr. Annisa, MKT
Nama Anak : Hafy Muhammad Abror
Haya Mahirah Azkadina

Riwayat Pendidikan
1995 - 2001 : SD Swasta Al – Azhar Medan
2001 - 2004 : SMP Swasta Al – Azhar Medan
2004 - 2006 : SMA Plus Al – Azhar Medan
2006 - 2012 : Kedokteran Umum FK Universitas Andalas
2016 - sekarang : PPDS Anestesiologi & Terapi Intensif FKUSU

Riwayat Pekerjaan
2013 – 2014 : Dokter Internship di Sumatera Barat
2013 – 2015 : dokter umum di Alifa Diabetic Center
2013 – 2016 : dokter jaga di RSU Sinar Husni
2014 - 2016 : Tutor di FK UISU

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai