disusun oleh:
dr. Oky Nur Setyani
1606969592
Pembimbing:
Dr. dr. Muhammad Yamin, Sp. JP (K), FIHA, FACC, FSCAI
Oleh :
dr. Oky Nur Setyani
PPDS Ilmu Penyakit Dalam Tahap II
NPM 1606969592
Pembimbing,
ii
KONSULTASI
Pembimbing
Tanggal Kegiatan Tanda Tangan
Minggu ketiga November 2018 Persetujuan Sari Pustaka
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa karya ilmiah
saya berupa presentasi kasus dengan judul:
Saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas
Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya terbukti melakukan tindakan yang dapat digolongkan
sebagai plagiarisme atas karya ilmiah ini, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan
menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
iv
UNDANGAN
Mengundang:
1. Staf Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia – Rumah Sakit Dokter Cipto Mangungkusumo
Disetujui oleh,
v
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................ii
KONSULTASI ........................................................................................................................ iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................................................................. iv
UNDANGAN ............................................................................................................................ v
DAFTAR ISI............................................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................vii
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................................... viii
BAB I ......................................................................................................................................... 9
BAB II……………………………………………………………………………………… 10
BAB III……………………………………………………………………………………….31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 32
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan Skor CHADS2 dan CHA2DS2 VASC pada pasien FA nonvalvular…21
Tabel 2. Penyesuaian dosis untuk NOACs sebagaimana dievaluasi dalam uji coba PHASE III
……………………………………………………………………………………………… 27
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR SINGKATAN
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Fibrilasi atrium (FA) dialami oleh kurang lebih 2,2 juta orang di Amerika Serikat. FA
adalah gangguan ritme jantung yang paling umum berupa irama yang sangat cepat. Gangguan
irama yang tidak teratur ini dapat menyebabkan darah terkumpul pada jantung dan berpotensial
timbulnya bekuan darah yang dapat beredar ke aliran darah otak dan menyebabkan stroke.
Stroke adalah "serangan otak" dapat terjadi pada siapa saja kapan saja dimana pada stroke
terjadi aliran darah ke area otak terputus. Ketika ini terjadi, sel-sel otak kekurangan oksigen
dan mulai mati. Ketika sel-sel otak mati selama stroke, kemampuan yang dikendalikan oleh
area otak seperti memori dan kontrol otot akan hilang.1
Fibrilasi Atrial dengan insidensi seumur hidup 1 dari 4 untuk pasien > 40 tahun. FA
adalah penyebab utama kematian dan kecacatan, karena berhubungan dengan peningkatan 4-5
kali lipat dalam risiko stroke iskemik. Pada tahun 2010, perkiraan jumlah pria dan wanita
dengan FA di seluruh dunia masing-masing 20,9 juta dan 12,6 juta, dengan insiden dan tingkat
prevalensi yang lebih tinggi di negara berkembang. Pada 2030, 14–17 juta pasien FA
diperkirakan terjadi di Uni Eropa, dengan 120 000-215 000 pasien yang baru didiagnosis per
tahun.2 Pada pasien dengan FA, terapi antikoagulasi oral (OAC) dapat mengurangi risiko stroke
sekitar dua pertiga dan risiko penyebab semua kematian sekitar seperempat, tetapi terapi
antikoagulan ini juga berkaitan dengan peningkatan risiko perdarahan. Stratifikasi risiko
penting untuk mengidentifikasi pasien dengan FA yang dapat memperoleh manfaat dari terapi
OAC.3
Pencegahan stroke iskemik telah lama menjadi fokus tatalaksana manajemen pasien
dengan fibrilasi atrium. Studi kontemporer menunjukkan bahwa 20-30% pasien dengan stroke
iskemik telah didiagnosis FA sebelum, selama, atau setelah serangan awal. Tahun 2016
European Society of Cardiology (ESC) mengeluarkan pedoman untuk manajemen FA
menyediakan pembaruan kontemporer pada pencegahan stroke di era terapi NOAC. Mengelola
dan mengendalikan faktor risiko vaskular dapat menurunkan angka kejadian stroke dan
mortalitas pada pasien fibrilasi atrium.2 Berdasarkan hal tersebut sari pustaka ini disusun untuk
membantu para klinisi lebih memahami hal-hal yang dapat dilakukan untuk pencegahan serta
faktor apa saja yang perlu dimonitor untuk pencegahan efek samping dalam manajemen
pencegahan stroke pada pasien dengan atrial fibrilasi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fibrilasi Atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus menjalani perawatan di rumah
sakit, gangguan hemodinamik serta meningkatnya angka kejadian thromboemboli. Fibrilasi
Atrial adalah aritmia jantung menetap yang paling umum didapatkan, dimana prevalensinya
semakin meningkat seiring bertambahnya usia.4 Walaupun bukan merupakan keadaan yang
mengancam jiwa secara langsung, tetapi FA berkaitan dengan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Fibrilasi Atrial dihubungkan dengan peningkatan angka kejadian stroke oleh
karena thromboemboli paling sering pada Left Atrial Appendage (LAA), dimana angka
kejadian stroke ini juga meningkat seiring meningkatnya usia. Stroke yang berkaitan dengan
FA biasanya lebih berat dibandingkan dengan stroke tanpa FA.5
Fibrilasi atrial terjadi karena meningkatnya kecepatan dan tidak terorganisirnya sinyal-
sinyal listrik di atrium, sehingga menyebabkan kontraksi yang sangat cepat dan tidak teratur
(fibrilasi). Sebagai akibatnya, darah terkumpul di atrium dan tidak benar-benar dipompa ke
ventrikel. Ini ditandai dengan denyut jantung yang sangat cepat sehingga gelombang P di dalam
EKG tidak dapat dilihat. Ketika ini terjadi, atrium dan ventrikel tidak bekerja sama
sebagaimana mestinya.4
Gambaran elektrokardiogram pada atrial fibrilasi yaitu (i) interval R-R yang irregular
(ii) gelombang P yang sulit dinilai (iii) aktivitas atrium yang irregular. Fibrilasi atrial ditandai
irama yang tidak teratur dengan frekuensi laju jantung bervariasi (bisa normal/lambat/cepat).
Jika laju jantung kurang dari 60 kali permenit disebut atrial fibrilasi dengan respon ventrikel
10
lambat (SVR), jika laju jantung 60-100 kali permenit disebut atrial fibrilasi respon ventrikel
normal (NVR) sedangkan jika laju jantung lebih dari 100 kali permenit disebut atrial fibrilasi
dengan respon ventrikel cepat (RVR). Kecepatan QRS biasanya normal atau cepat dengan
gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga
bentuknya tidak dapat didefinisikan.4
Pada dasarnya, jantung dapat melakukan kontraksi karena terdapat adanya sistem
konduksi sinyal elektrik yang berasal dari nodus sino-atrial (SA). Pada atrial fibrilasi, nodus
SA tidak mampu melakukan fungsinya secara normal, hal ini menyebabkan tidak teraturnya
konduksi sinyal elektrik dari atrium ke ventrikel. Akibatnya, detak jantung menjadi tidak
teratur dan terjadi peningkatan denyut jantung. Keadaan ini dapat terjadi dan berlangsung
dalam menit ke minggu bahkan dapat terjadi bertahun-tahun. Kecenderungan dari atrial
fibrilasi sendiri adalah kecenderungan untuk menjadi kronis dan menyebabkan komplikasi
lain.3
Pada manifestasi klinik, atrial fibrilasi dapat simptomatik dan dapat pula asimptomatik.
Gejala-gejala atrial fibrilasi sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel,
lamanya atrial fibrilasi, dan penyakit yang mendasarinya. Gejala-gejala yang dialami terutama
saat beraktivitas, sesak nafas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. Atrial fibrilasi
dapat mencetuskan gejala iskemik dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi
atrial yang sangat berkurang pada atrial fibrilasi akan menurunkan curah jantung dan dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.7
11
Walaupun atrial fibrilasi seringkali tanpa disertai adanya gejala, tetapi terkadang atrial
fibriasi dapat menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung
kongestif. Pasien dengan FA biasanya memiliki peningkatan resiko stroke yang signifikan
(hingga >7 kali populasi umum). Pada atrial fibrilasi, resiko stroke meningkat tinggi, hal ini
dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga menurunkan kemampuan
kontraksi jantung khususnya pada atrium kiri jantung. Di samping itu, peningkatan resiko
stroke tergantung juga pada jumlah faktor resiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan atrial
fibrilasi memang memiliki faktor resiko tambahan lain dan juga merupakan penyebab utama
dari stroke. Tetapi pada sekitar 3% pasien atrial fibrilasi tidak dapat ditemukan penyebabnya,
atau disebut dengan lone FA. Lone FA ini dikatakan tidak berhubungan dengan resiko
tromboemboli yang tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia
lanjut resiko ini tetap akan meningkat.7
12
Long-standing persistent FA bila FA berlangsung kontinue selama lebih dari 1
tahun dan diputuskan untuk melakukan kontrol ritme.
FA kronik atau permanen bila atrial fibrilasi sudah diterima oleh pasien dan
pemeriksa. Biasanya dengan kardioversi pun sulit untuk mengembalikan ke
irama sinus (resisten). Sehingga tidak mentargetkan untuk kontrol ritme.4
13
2.4 Patofisiologi Atrial Fibrilasi
Fibrilasi atrial terjadi bila abnormalitas struktur dan/atau elektrofisiologi memperngaruhi
atrium yang selanjutnya mencetuskan irama abnormal. Kelaianan ini diakibatkan oleh
mekanisme patofisiologi yang beragam dan belum secara menyeluruh dipahami mekanisme
patofisiologi timbulnya atrial fibrilasi.4
Stresor eksternal seperti penyakit jantung struktural, hipertensi, mungkin diabetes, tetapi
juga FA itu sendiri menyebabkan proses lambat tetapi progresif perubahan struktural di atrium
(Gambar 3). Pengaktifan fibroblas, peningkatan deposisi jaringan ikat, dan fibrosis adalah hal
yang utama terjadi pada proses ini. Selain itu, infiltrasi lemak atrium, infiltrasi zat-zat radang,
hipertrofi miosit, nekrosis, dan amiloidosis ditemukan pada pasien FA dengan proses dan
predisposisi yang sama. Perubahan struktur menghasilkan listrik disosiasi antara bundel otot
dan heterogenitas konduksi lokal, mendukung masuknya kembali dan menimbulkan aritmia.
Pada banyak pasien, proses perubahan struktur terjadi sebelum timbulnya FA. Karena beberapa
perubahan struktural tidak akan dapat diubah, inisiasi awal pengobatan tampaknya sangat
diperlukan. 2
Perubahan fungsional dan struktural pada miokardium atrium dan stasis darah,
terutama di appendage atrium kiri (LAA), menghasilkan lingkungan protrombotik. Lebih jauh
lagi, bahkan episode pendek FA menyebabkan kerusakan miokardium atrium dan ekspresi
factor prothrombotik pada permukaan endotel atrium, di samping aktivasi trombosit dan sel-
sel inflamasi, dan berkontribusi pada generalisasi keadaan prothrombotik. Aktivasi atrium dan
sistemik dari sistem koagulasi dapat menjelaskan sebagian mengapa episode pendek FA
membawa risiko stroke jangka panjang.2
14
adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal
elektrik yang dapat mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi
yang dicetuskan oleh nodus sino-atrial (SA).5
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang
dan melibatkan sirkuit atau jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak
tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi fokal, tetapi lebih tergantung
pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Timbulnya
gelombang yang menetap dari depolarisasi atrial atau wavelet yang dipicu oleh depolarisasi
atrial prematur atau aktivas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Pada multiple
wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode
refrakter, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa
pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refrakter dan
terjadi penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebut yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya atrial
fibrilasi.5
Gambar 2. Proses aktivasi fokal atrial fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelet Reentry
Atrial Fibrilasi8
Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila
prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab
yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung
yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat
kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding
15
atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang
panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi
fibrilasi atrium.5
16
Gambar 3. Gambar etiologi, patofisiologi dan mekanisme terjadinya stroke oleh karena
thromboemboli pada Fibrilasi Atrial.2
2.5 Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi
Pada dasarnya, atrial fibrilasi tidak memberikan tanda dan gejala yang khas dan spesifik
pada perjalanan penyakitnya. Umumnya gejala dari atrial fibrilasi adalah peningkatan denyut
jantung, ketidakteraturan irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu,
atrial fibrilasi juga memberikan gejala lain yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah
ke jaringan, seperti pusing, kelemahan, kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Akan tetapi,
lebih dari 90% episode dari atrial fibrilasi tidak menimbulkan gejala-gejala tersebut.2
Tanda dan gejala lain pada atrial fibrilasi seperti palpitasi. Palpitasi merupakan salah
satu gejala yang sering muncul pada pasien dengan atrial fibrilasi akibat respon ventrikel yang
ireguler. Namun gejala palpitasi dapat juga terjadi pada pasien dengan penyakit jantung
lainnya. Palpitasi belum menjadi gejala yang spesifik untuk mendasari pasien mengalami atrial
fibrilasi. Untuk menunjukkan adanya atrial fibrilasi, pasien biasanya disertai dengan keluhan
kesulitan bernafas seperti sesak, syncope, pusing dan ketidaknyamanan pada dada. Gejala
tersebut di atas dialami oleh pasien dimana pasien juga mengeluh dadanya terasa seperti diikat,
sesak nafas dan lemas.2
17
Sering pada pasien yang berjalan, pasien merasakan sakit kepala seperti berputar-putar
dan melayang tetapi tidak sampai pingsan. Serta nadi tidak teratur, cepat, dengan denyut sekitar
140x/menit. Atrial fibrilasi dapat disertai dengan pingsan (syncope) ataupun dengan pusing
yang tak terkendali. Kondisi ini akibat menurunnya suplai darah ke sitemik dan ke otak.2
TEE merupakan teknik yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi thrombus Left
Atrium (LA) sebagai sumber potensial dari emboli sistemik pada FA dan dapat digunakan
untuk panduan waktu untuk kardioversi atau prosedur ablasi kateter. TEE juga dapat
mengidentifikasi gambaran yang berhubungan dengan resiko meningkatnya pembentukan
thrombus LA, seperti berkurangnya aliran Left Atrial Appendage (LAA) dan aortic atheroma.
Pada 5-15% pasien dengan FA, TEE sebelum direncanakan kardioversi dapat menemukan
adanya thrombus LA atau LAA.8
18
EP study sering dianjurkan untuk pasien dengan delta wave pada EKG. Beberapa pasien
dengan FA biasanya juga mengalami Atrial Flutter dan dapat juga memperoleh manfaat dengan
dilakukannya kateter ablasi. FA. FA yang berhubungan dengan irama ventrikuler yang cepat
serta QRS yang lebar (konduksi aberrans) kadang sering salah didiagnosis sebagai takikardi
vntrikel, dan EP study dapat membantu untuk membuat diagnosis yang benar.8
Kadar B-type natriuretic peptide dalam darah atau M-terminal pro-B-type natriuretic
peptide dapat meningkat pada pasien dengan paroksismal dan persisten FA pada pasien dengan
ketiadaan gejala gagal jantung, serta kadarnya akan meningkat cepat setelah terjadinya
perubahan irama menjadi irama sinus.4
Pendekatan terpadu dan terstruktur untuk perawatan FA, sebagaimana diterapkan dengan
sukses ke domain kedokteran lainnya, akan memfasilitasi secara konsisten manajemen FA.2
19
kontrol faktor risiko lainnya, termasuk hipertensi dan hiperkolesterolemia, secara substansial
mengurangi risiko stroke.2
Agen antitrombotik secara rutin digunakan untuk pencegahan tromboemboli pada
pasien dengan FA nonvalvular termasuk obat antikoagulan (UFH dan LMWH, warfarin, dan
direct trombin dan penghambat faktor Xa) serta obat-obatan antiplatelet (aspirin dan
clopidogrel). Meskipun antikoagulan telah efektif dalam mengurangi stroke iskemik dalam
beberapa uji acak terkontrol (RCT), penggunaannya dikaitkan dengan peningkatan risiko
perdarahan, mulai dari perdarahan ringan hingga perdarahan intrakranial yang fatal atau
perdarahan ekstrakranial. Inhibitor trombosit (sendiri atau dalam kombinasi) kurang efektif
daripada warfarin, namun lebih baik ditoleransi oleh beberapa pasien, dan dikaitkan dengan
risiko perdarahan intraserebral yang lebih rendah. Pertimbangan yang cermat diperlukan untuk
menyeimbangkan manfaat dan risiko pendarahan pada setiap individu.2
20
Tabel 1. Perbandingan antara Skor CHADS2 dan CHA2DS2 VASC pada pasien FA
nonvalvular.4
Skor risiko perdarahan yang digunakan untuk mengukur risiko perdarahan diantaranya
termasuk HAS-BLED (Hipertensi, Fungsi Ginjal / hati abnormal, Stroke, Riwayat perdarahan
atau kecenderungan perdarahan, INR labil, Lansia, Obat-obatan / alkohol bersamaan), RIETE
(Registry Komputerisasi Pasien Dengan Tromboemboli Vena), HEMORR2HAGES (Penyakit
Hati atau Ginjal, Penyalahgunaan Etanol, Keganasan, Usia Tua, Berkurang Jumlah atau Fungsi
Platelet, Pendarahan Ulang, Hipertensi, Anemia, Faktor Genetik, Risiko Jatuh Berlebihan dan
Stroke), dan ATRIA (Antikoagulasi dan Faktor Risiko di Atrial Fibrilasi)9. Meskipun skor ini
mungkin membantu dalam mendefinisikan pasien dengan risiko perdarahan tinggi, utilitas
klinis mereka tidak cukup untuk digunakan sebagai bukti rekomendasi dalam pedoman ini.
Skor RIETE dikembangkan dari kohort tromboemboli vena besar dan mencakup 2 poin untuk
perdarahan terakhir, 1,5 poin untuk tingkat kreatinin atau anemia yang abnormal, dan 1 poin
untuk masing-masing hal berikut:> 75 tahun, kanker, atau emboli paru pada awal. Skor ATRIA
memberikan poin ke variabel berikut: anemia, 3; penyakit ginjal berat, 3; > 75 tahun, 2;
pendarahan sebelumnya,1; dan hipertensi, 1.2
21
HAS-BLED adalah skor berdasarkan adanya hipertensi (tekanan darah sistolik> 160
mmHg), fungsi hati atau ginjal abnormal, riwayat stroke atau perdarahan, INR labil, usia lanjut
(> 65 tahun), penggunaan obat-obatan yang meningkatkan pendarahan, atau kelebihan alkohol.
Skor > 3 menunjukkan potensi "risiko tinggi" untuk perdarahan dan mungkin membutuhkan
pengamatan yang lebih ketat dari pasien untuk risiko perdarahan, pemantauan lebih ketat pada
INR, atau pilihan dosis diferensial antikoagulan oral atau aspirin. HAS-BLED lebih baik
menilai risiko perdarahan daripada sistem penilaian HEMORR2HAGES atau ATRIA.6
22
1 kasus, dengan aspirin. Pencegahan stroke primer dan sekunder telah dilakukan evaluasi.
Pemilihan agen antitrombotik harus didasarkan pada pengambilan keputusan bersama yang
dilakukan dengan memperhitungkan faktor risiko, biaya, tolerabilitas, preferensi pasien,
potensi interaksi obat, dan karakteristik klinis lainnya, termasuk waktu pasien dalam kisaran
INR terapeutik jika pasien telah menggunakan terapi warfarin, terlepas dari apa pun apakah
pola AF paroksismal, persisten, atau permanen.4
23
Gambar 5. Kaskade Koagulasi4
Apixaban
Dalam ARISTOTLE (dalam percobaan Atrial Fibrilasi Apixaban untuk Pengurangan
risiko Stroke dan Peristiwa Trombo-embolik Lainnya), apixaban 5 mg dua kali sehari
mengurangi stroke atau emboli sistemik sebesar 21% dibandingkan dengan warfarin, serta
mengurangi perdarahan mayor sebesar 31% serta mengurangi 11% dalam semua penyebab
kematian (semua signifikan secara statistik).4
24
Tingkat stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial, tetapi tidak stroke iskemik, lebih
rendah pada apixaban. Tingkat perdarahan gastrointestinal serupa antara kedua kelompok
pengobatan.10
Apixaban adalah satu-satunya NOAC yang telah dibandingkan dengan aspirin pada
pasien FA; apixaban secara signifikan mengurangi stroke atau emboli sistemik sebesar 55%
dibandingkan dengan aspirin, dengan tidak ada atau hanya perbedaan kecil dalam tingkat
perdarahan besar atau perdarahan intracranial.4
Dabigatran
Dalam RE-LY (Evaluasi Acak Terapi Anticoagulan Jangka Panjang), dabigatran 150 mg dua
kali sehari dapat mengurangi risiko stroke dan emboli sistemik sebesar 35% dibandingkan
dengan warfarin dengan perbedaan signifikan dalam peristiwa major bleeding. Dabigatran 110
mg dua kali sehari tidak kalah dengan warfarin untuk pencegahan stroke dan emboli sistemik,
dengan perdarahan mayor 20% lebih sedikit. Kedua dosis dabigatran tersebut secara signifikan
mengurangi perdarahan stroke dan perdarahan intrakranial. Dabigatran 150 mg dua kali sehari
secara signifikan mengurangi stroke iskemik sebesar 24% dan mortalitas vaskular sebesar 12%,
sementara perdarahan gastrointestinal meningkat secara signifikan 50%.11
Edoxaban
Pada ENGAGE AF-TIMI 48 (Effective Anticoagulation with Factor Xa Next
Generation in Atrial Fibrillation – Thrombolysis in Myocardial Infarction trial, edoxaban 60
mg sekali sehari dan edoxaban 30 mg sekali sehari (dengan pengurangan dosis pada pasien
tertentu), dibandingkan dengan warfarin dosis disesuaikan. Edoxaban 60 mg sekali sehari tidak
kalah dengan warfarin. Dalam analisis pengobatan, edoxaban 60 mg sekali sehari non inferior
bila dibandingkan warfarin untuk pencegahan stroke dan emboli sistemik serta secara
signifikan mengurangi kejadian perdarahan besar sebesar 53%. Kematian kardiovaskular
berkurang pada pasien yang dirandomisasi dengan edoxaban 60 mg sekali setiap hari atau
edoxaban 30 mg sekali sehari dibandingkan dengan warfarin. Hanya regimen dengan dosis
yang lebih tinggi yang disetujui untuk diberikan dalam pencegahan FA.12
Rivaroxaban
Di ROCKET-AF (Rivaroxaban Once Daily Oral Direct Factor Xa Inhibition
Compared with Vitamin K Antagonism for Prevention of Stroke and Embolism Trial in Atrial
Fibrillation), pasien secara acak diberikan rivaroxaban 20 mg sekali sehari atau VKA, dengan
25
penyesuaian dosis hingga 15 mg setiap hari untuk mereka yang diperkirakan CrCl 30 - 49 mL
/ mnt dengan rumus Cockroft – Gault. Rivaroxaban tidak kalah dengan warfarin untuk
pencegahan stroke dan emboli sistemik dalam intention-to-treat-analysis, sementara analisis
per-protokol pada pengobatan tercapai keunggulan statistik dengan pengurangan stroke atau
sistemik emboli sebesar 21% bila dibandingkan dengan warfarin. Rivaroxaban tidak
mengurangi tingkat kematian, stroke iskemik, atau peristiwa perdarahan besar dibandingkan
dengan VKA. Terjadi peningkatan kejadian perdarahan saluran pencernaan, tetapi terdapat
pengurangan yang signifikan pada stroke hemoragik dan perdarahan intrakranial bila
rivaroxaban dibandingkan dengan warfarin.13
26
Tabel 2. Penyesuaian dosis untuk NOACs sebagaimana dievaluasi dalam uji coba
PHASE III4
Dabigatran Rivaroxaban Apixaban Edoxaban
RE-LY ROCKET-AF ARISTOTLE ENGAGE AF-
TIMI48
Renal clearance 80% 80% 80% 80%
Jumlah Pasien 18 113 18 113 18 113 18 113
Dosis 150 mg atau 110 mg 20mg sekali sehari 5 mg dua kali sehari 60mg atau 30mg
2x perhari sekali sehari
Kriteria eksklusi CrCl <30 mL/min CrCl <30 mL/min CrCl <25 mL/min CrCl <30 mL/min
untuk CKD
Dosis penyesuaian Tidak ada 15 mg sekali sehari 2.5 mg 2x/hari bila 30 mg (or 15 mg)
untuk CKD bila CrCl 30–49 kreatinin darah≥ sekali sehari bila
mL/min 1.5 mg/dL CrCl <50 mL/min
(133 μmol/L) dan
umur≥
80 tahun
Atau BB≤
60 kg
Persentase pasien 20% dengan 21% dengan 15% dengan 19% dengan
dengan CKD CrCl 30–49 mL/min CrCl 30–49 mL/min CrCl 30–50 mL/dL CrCl <50 mL/min
Pengurangan stroke Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan Tidak ada hubungan NA
dan emboli sistemik dengan status CKD dengan status CKD dengan status CKD
27
antikoagulan parenteral selama inisiasi, dan bridging mungkin tidak diperlukan pada pasien
terapi kronis yang membutuhkan penghentian antikoagulasi singkat untuk prosedur invasif.
Namun, kepatuhan ketat dengan antikoagulan oral baru ini sangat penting. Karena melupakan
1 dosis dapat menghasilkan periode tanpa perlindungan dari tromboemboli. Akibatnya, FDA
mengeluarkan peringatan yang menghentikan agen baru ini dapat meningkatkan risiko
tromboemboli dan bahwa pemberian dengan antikoagulan lain mungkin diperlukan. Selain itu,
antidote masih dalam pengembangan, dan saat ini belum tersedia, meskipun waktu paruh
pendek mengurangi kebutuhan untuk antidot. Penyesuaian dosis OAC diperlukan untuk
mereka yang menderita CKD atau berat badan ekstrem, kelebihan agen baru ini tidak
memerlukan pemantauan INR secara teratur atau waktu tromboplastin parsial teraktivasi.4
Hal yang penting, pasien dengan katup jantung mekanis atau stenosis mitral yang
secara hemodinamik bermakna dikecualikan dari semua 3 percobaan utama (RE-LY,
ROCKET AF, dan ARISTOTLE); oleh karena itu, pasien ini harus dikelola dengan warfarin.
Selain itu risiko lebih banyak pendarahan setelah operasi katup pada pengguna dabigatran
dibandingkan pada pengguna warfarin; dengan demikian, dabigatran dikontraindikasikan
untuk digunakan pada pasien dengan katup jantung mekanis. Informasi keamanan dan
kemanjuran obat serupa kurang untuk rivaroxaban dan apixaban pada pasien dengan katup
jantung mekanis. Katup jantung bioprostetik belum dipelajari dengan antikoagulan baru. Tak
satu pun dari 3 uji coba utama mengikutsertakan wanita hamil atau menyusui, anak-anak,
pasien dengan penyebab reversible FA atau penderita hipertensi berat (tekanan darah sistolik
> 180 mmHg atau tekanan darah diastolik> 100 mmHg). Pasien dengan stroke baru (dalam 7
sampai 14 hari), pasien dengan penyakit hati yang signifikan, dan pasien kompleks dengan
beberapa kondisi kronis dikeluarkan dari semua percobaan.4
Jika terjadi perdarahan atau overdosis, agen antikoagulan harus dihentikan.
Penggunaan arang aktif untuk mengurangi penyerapan dapat dipertimbangkan. Dabigatran
dapat dilakukan eliminasi dengan hemodialisa, tetapi apixaban dan rivaroxaban tidak, dan
keduanya sangat terikat protein plasma.4
30
BAB III
KESIMPULAN
Pasien Fibrilasi Atrial memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya stroke, dimana
merupakan suatu morbiditas yang mempengaruhi kualitas hidup pasien secara menyeluruh. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya pembentukan thromboemboli pada pasien dengan fibrilasi
atrial yang dapat mencetuskan kejadian stroke. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
pencegahan stroke, melalui berbagai uji coba. Penilaian faktor risiko stroke dengan system
skoring serta penilaian risiko perdarahan diperlukan untuk memulai terapi antikoagulan
sebagai pencegahan stroke pada pasien dengan Fibrilasi Atrial. Selain upaya medikamentosa,
upaya non medikamentosa juga dapat dilakukan untuk pencegahannya. Diharapkan angka
morbiditas stroke dapat diturunkan dengan secara dini mendeteksi pasien dengan Fibrilasi
Atrial serta memberikan terapi pencegahan untuk pasien dengan risiko tinggi.
31
DAFTAR PUSTAKA
32
11. Graham DJ, Reichman ME, Wernecke M, Zhang R, Southworth MR, Levenson M, et
al. Cardiovascular, bleeding, and mortality risks in elderly medicare patients treated with
dabigatran or warfarin for nonvalvular atrial fibrillation. Circulation. 2014;131(2):157–
64.
12. Giugliano RP, Ruff CT, Braunwald E, Murphy SA, Wiviott SD, Halperin JL, et al.
Edoxaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. (Supplementary Appendix).
N Engl J Med [Internet]. 2013;369(22):2093–104. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24251359
13. Patel MR, K.W. M, J. G, G. P, D.E. S, W. H, et al. Rivaroxaban versus warfarin in
nonvalvular atrial fibrillation. N Engl J Med. 2011;365(10):883.
14. Del-Carpio Munoz F, Michael Gharacholou S, Munger TM, Friedman PA, Asirvatham
SJ, Packer DL, et al. Meta-Analysis of Renal Function on the Safety and Efficacy of
Novel Oral Anticoagulants for Atrial Fibrillation. Am J Cardiol. 2016;117:69–75.
15. Douketis J, Spyropoulos A, Kaatz S, Caprini J, Dunn A, Garcia D, et al. Bridging
anticoagulation in patients who require temporary interruption of warfarin therapy for
an elective invasive procedure or surgery (the bridge trial). J Thromb Haemost.
2015;13:83–4.
33