Anda di halaman 1dari 10

Penyakit Kulit yang disebabkan karena Kutu Sarcopites

Scabei

Pendahuluan

Latar Belakang
Kulit merupakan jalinan jaringan tidak berujung pembuluh darah, saraf, dan kelenjar
semua memiliki potensi untuk terserang penyakit. Penyebab penyakit kulit sangat beragam
dan salah satu contoh penyakit kulit ialah scabies. Scabies adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh infestasi dan sensitasi terhadap Sarcoptes scabiei.
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestisasi dan sensitisasi terhadap
sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Sinonim dari penyakit ini adalah kudis, the
itch, gudig, budukan, dan gatal agogo.
Penyakit scabies ini merupakan penyakit menular oleh kutu tuma gatal sarcoptes
scabei tersebut, kutu tersebut memasuki kulit stratum korneum, membentuk kanalikuli atau
terowongan lurus atau berkelok sepanjang 0,6 sampai 1,2 centimeter.
Akibatnya, penyakit ini menimbulkan rasa gatal yang panas dan edema yang
disebabkan oleh garukan. Kutu betina dan jantan berbeda. Kutu betina panjangnya 0,3 sampai
0,4 milimeter dengan empat pasang kaki, dua pasang di depan dengan ujung alat penghisap
dan sisanya di belakang berupa alat tajam. Sedangkan, untuk kutu jantan, memiliki ukuran
setengah dari betinanya. Dia akan mati setelah kawin. Bila kutu itu membuat terowongan
dalam kulit, tak pernah membuat jalur yang bercabang.
ISI

Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat


penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit, dan
riwayat perjalanan penyakit.

Identitas : nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, pendidikan,

pekerjaan.
Riwayat penyakit
Keluhan utama yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Keluhan utama tidak harus

sejalan dengan diagnosis utama.


Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat perjalanan penyakit mencakup:
Cerita kronologis, rinci dan jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan
sampai dibawa berobat.
Pengobatan sebelumnya dan hasilnya
Tindakan sebelumnya
Perkembangan penyakit
Gejala sisa atau cacat
Riwayat penyakit lain yang pernah diderita sebelumnya.

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi
Melihat kelainan pada kulit, khususnya di daerah predileksi serta memperhatikan saat

pasien menggaruk, apakah ia menggaruk di daerah predileksi.

Tipe warna kulit :


Skin phototype 1 : tipe kulit yang berwarna putih sekali/ pale type dan tidak bisa
menjadi kegelapan / tanning walau terpapar matahari, dan mudah sekali terbakar sinar
matahari.
Skin phototype 2 : tipe kulit yang berwarna putih /white sulit berwarna kegelapan jika
terpapar sinar matahari, dan tetap muda terbakar sinar matahari
Skin phototype 3 : tipe kulit yang berwarna putih dan mudah gelap jika terbakar
matahari.
2

Skin phototype 4 : tipe kulit yang berwarna cokelat muda, sangat mudah jadi gelap /

tanning
Skin phototype 5 : tipe kulit yang berwarna cokelat tua, mudah tanning.
Skin phototype 6 : tipe kulit berwarna hitam legam.
Kelembaban kulit : kering, normal, lembab, berminyak
Suhu kulit : hipotermi, normotermi, hipertermi
Tekstur kulit : kasar, normal, lembut
Lesi kulit : primer ( timbul spontan : makula,papul,rash,eritema) dan sekunder (lanjutan
dari primer : ekskoriasi, likenifikasi).2

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelainan berupa:


Terowongan berupa garis hitam, lurus, berkelok, atau terputus-putus, berbentuk
benang. Papula, urtika, ekskoriasi dalam perubahan eksematous ialah lesi-lesi sekunder yang
disebabkan sensitisasi terhadap parasit, serta ditemukan eksantem. Terlihat infeksi bakteri
sekunder dengan impetiginasi dan furunkulosis.
Lokasi biasanya pada tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti: sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola
mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut bagian bawah. Pada
bayi dapat menyerang telapak tangan dan kaki bahkan diseluruh permukaan kulit, sedangkan
pada remaja dan dewasa dapat timbul pada kulit kepala dan wajah.
Sifat-sifat lesi kulit berupa papula dan vesikel milier sampai lentrikuler disertai
ekskoriasi. Bila terjadi infeksi sekunder tampak pustul lentrikuler. Lesi yang khas adalah
terowongan (kanalikulus) milier, tampak berasal dari salah satu papula atau vesikel, panjang
kira-kira 1 cm, berwarna putih abu-abu. Ujung kanalikuli adalah tempat persembunyian dan
bertelur Sarcoptes scabiei.

Pemeriksaan Penunjang

Kerokan kulit.
Minyak mineral diteteskan di atas papul atau terowongan baru yang masih utuh,

kemudian dikerok dengan menggunakan scalpel steril untuk mengangkat atap papul atau
terowongan, lalu diletakkan di atas gelas objek, di tutup dengan gelas penutup, dan diperiksa
3

di bawah mikroskop. Hasil positif apabila tampak tungau, telur, larva, nimfa, atau skibala.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati pada bayi dan anak-anak atau pasien yang
tidak kooperatif.

Mengambil tungau dengan jarum.


Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap, lalu digerakkan

secara tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

Epidermal shave biopsi.


Mencari terowongan atau papul yang dicurigai pada sela jari antara ibu jari dan jari

telunjuk, lalu dengan hati-hati diiris pada puncak lesi dengan scalpel yang dilakukan sejajar
dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superficial sehingga tidak terjadi
perdarahan dan tidak memerlukan anestesi. Spesimen kemudian diletakkan pada gelas objek,
lalu ditetesi minyak mineral dan periksa di bawah mikroskop.

Tes tinta Burrow.


Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan alkohol.

Jejak terowongan akan tampak sebagai garis yang karakteristik berbelok-belok karena adanya
tinta yang masuk. Tes ini mudah sehingga dapat dikerjakan pada bayi/anak dan pasien
nonkooperatif.

Kuretasi terowongan.
Kuretasi superficial sepanjang sumbu terowongan atau pada puncak papul, lalu

kerokan diperiksa dibawah mikroskop setelah ditetesi minyak mineral. Cara ini dilakukan
pada bayi, anak-anak dan pasien nonkooperatif.3

Working Diganosis
Jika pada anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang ditemukan tanda-tanda dari
tungau yang bernama Sarcoptes scabei, maka diagnosis ditetapkan sebagai scabies.
4

Differential Diagnosis
Berikut ini adalah diagnosis banding untuk scabies :

Dermatitis kontak iritan


Dermatitis kontak iritan adalah jenis dermatitis yang berupa efek sitotosik lokal
langsung dari bahan iritan pada sel-sel epidermis, dengan respon peradangan pada dermis.
Daerah yang paling sering terkena adalah tangan dan pada individu atopik menderita
gejala yang lebih berat. Secara definisi bahan iritan kulit adalah bahan yang menyebabkan
kerusakan secara langsung pada kulit tanpa proses sensitisasi

Tinea manus
Tinea manus adalah infeksi jamur dermatofita yang terjadi di tangan. Jamur penyebab
tinea manus adalah jamur Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum selain
itu jamur ini juga menjadi penyebab tinea unguinum dan tinea pedis.
Tinea manus dapat menyerang baik pria maupun wanita di semua usia baik anak anak maupun dewasa. Insiden kasus paling sering terjadi adalah di daerah tropis yang
mana bisanya lingkunganya lembab. selain iklim faktor lain yang sering menjadi faktor
timbulnya tinea manus adalah tingkat kebersihan dan higienitas tangan yang kurang dan
keadaan basah. Lingkungan seperti rawa dan sungai juga menjadi salah satu faktor resiko
timbulnya tinea manus.

Creeping eruption ( Larva Migran Cutaneous )


Creeping eruption adalah kelainan kulit yang merupakan peradangan bentuk linear
atau berkelok-kelok, menimbul dan progresi disebabkan oleh invasi larva cacing tambang
yang bermigrasi kedalam kulit. Faktor resiko utama bagi penyakit ini adalah kontak
dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feces anjing atau
kucing. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak anak dibandingkan pada orang
dewasa. Pada orang dewasa, faktor resiko nya adalah pada tukang kebun, petani, dan
orang orang dengan hobi atau aktivitas yang berhubungan dengan tanah lembab dan
berpasir.4

Etiologi

Scabies dapat disebabkan oleh kutu atau kuman Sercoptes scabei varian hominis.
Sarcoptes scabieiini termasuk filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili
Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var hominis. Kecuali itu terdapat S.
scabiei yang lainnya pada kambing dan babi. Secara morfologik merupakan tungau kecil,
berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient,
berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar antara 330-450
mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2pasang longlegs di depan sebagai
alat alat untuk melekat dan 2pasang longlegs kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan longlegs ketiga berakhir dengan rambut dan keempat
berakhir dengan alat perekat. Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi
(perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat
hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk
betina yang telah dibuahi ini dapat hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya
dalam waktu 3-5 hari, dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat
tinggal dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya
mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. Telur menetas
menjadi larva dalam waktu 3-4 hari, kemudian larva meninggalkan terowongan dan masuk ke
dalam folikel rambut. Selanjutnya larva berubah menjadi nimfa yang akan menjadi parasit
dewasa. Tungau betina akan mati setelah meninggalkan telur, sedangkan tungau jantan mati
setelah kopulasi. Sarcoptes scabiei betina dapat hidup diluar pada suhu kamar selama lebih
kurang 7-14 hari.Yang diserang adalah bagian kulit yang tipis dan lembab, contohnya lipatan
kulit pada orang dewasa. Pada bayi, karena seluruh kulitnya masih tipis, maka seluruh badan
dapat terserang penyakit skabies ini.5

Epidemiologi
Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial ekonomi yang
rendah, hygiene perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak saniter, perilaku yang tidak
mendukung kesehatan, serta kepadatan penduduk. Faktor yang paling dominan adalah
kemiskinan dan higiene perorangan yang jelek di negara berkembang merupakan kelompok
6

masyarakat yang paling banyak menderita penyakit Scabies ini. Prevalensi penyakit Scabies
di Indonesia adalah sekitar 6-27% dari populasi umum dan cenderung lebih tinggi pada anak
dan remaja. Diperkirakan sanitasi lingkungan yang buruk merupakan faktor dominan yang
berperan dalam penularan penyakit ini.6

Patofisiologi
Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya tungau Sarcoptes Scabie Var Hominis
kedalam lapisan kulit. Tungau betina yang dewasa akan membuat terowongan pada lapisan
superficial kulit dan berada di sana selama sisa hidupnya. Dengan rahang dan pinggir yang
tajam dari persendian kaki depannya, tungau tersebut akan memperluas terowongan dan
mengeluarkan telurnya 2-3 butir sehari selama 2 bulan. Kemudian kutu betina tersebut akan
mati. Larva atau telur menetas dalam waktu 3-4 hari dan berlanjut lewat stadium larva serta
nimfa menjadi bentuk tungau dewasa dalam tempo sekitar 10 hari. Sedangkan tungau jantan
mati setelah kovulasi. Kelainan yang timbul di kulit tidak hanya disebabkan oleh tungau
Scabies, tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan karena merasa gatal, sehingga dapat
menimbulkan infeksi sekunder. Gatal disebabkan oleh sensitisasi terhadap cairan yang
dikeluarkan oleh tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada
saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papula, vesikel, urtikaria,
dll. Dengan garukan dapat menimbulkan erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.
Cara penularan dari jenis tungau ini dapat melalui kontak langsung antara kulit
dengan kulit misalnya dengan berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan seksual dan juga
kontak tak langsung (melalui benda seperti pakaian, handuk, seprei, bantal, dll).5

Manifestasi Klinis
Diagnosis dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal berikut :

Pruritus noktuma (gatal pada malam hari) karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu

yang lembab dan panas.


Umumnya ditemukan pada sekelompok manusia, misalnya mengenai seliruh anggota

keluarga.
Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau
keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1cm, pada uung
7

menjadi pimorfi (pustu, ekskoriosi). Tempat predileksi biasanya daerah dengan stratum
komeum tpis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian
luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mammae dan lipat glutea, umbilicus, bokong,
genitalia eksterna, dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang bagian telapak
tangan dan telapak kaki bahkan seluruh permukaan ulit. Pada remaja dan orang dewasa

dapat timbul pada kulit kepala dan wajah.


Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostk. Dapat ditemikan satu atau

lebih stadium hidup tungau ini.


Pada pasien yang selalu menjaga hygiene, lesi yang timbul hanya sedikit sehingga
diagnosis kadang kala sulit ditegakkan. Jika penyakit berlangsung lama, dapat timbul
likenifikasi, impetigo, dan furunkulsis.6

Penatalaksanaan
Syarat obat yang ideal adalah efektif terhadap semua stadium tungau, tidak
menimbulkan iritasi dan toksik, tidak berbau atau kotor, tidak merusak atau mewarnai
pakaian, mudah diperoleh dan harganya murah.

Jenis obat topical :

Belerang endap (sulfur presipitatum) 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Pada bayi dan
orang dewasa sulfur presipitatum 5% dalam minyak sangat aman dan efektif.
Kekurangannya adalah pemakaian tidak boleh kurang dari 3 hari karena tidak efektif

terhadap stadium telur, berbau, mengotori pakaian dan dapat menimbulkan iritasi.
Emulsi benzyl-benzoat 20-25% efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam
selama 3 kali. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang-kadang makin

gatal setelah dipakai.


Gama benzena heksa klorida (gameksan) 1% daam bentuk krim atau losio, termasuk obat
pilihan arena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi
iritasi. Obat ini tidak dianurkan pada anak dibawah umur 6 tahun dan wanta hamil karena
toksi terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya cup sekali dalam 8 jam. Jika masihada

gejala, diulangi seminggu kemudian.


Krokamiton 10% dalam krim atau losio mempunyaidua efek sebagai antiskabies dan
antigatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra. Krim( eurax) hanya efetif pada
8

50-60% pasien. Digunakan selama 2 malam berturut-turut dan dbersihkan setelah 24 jam

pemakaian terakhir.
Krim permetrin 5% merupakan obat yang paling efektif dan aman arena sangat

mematikan untuk parasit S.scabei dan memiliki toksisitas rendah pada manusia.
Pemberian antibiotik dapat digunakan jika ada infeksi sekunder, misalnya bernanah di
area yang terkena (sela-sela jari, alat kelamin) akibat garukan.3

Komplikasi
Bila scabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat timbul dermatitis
akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, selulitis, limfangitis, folikulitis, dan
furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang scabies dapat menimbulkan
komplikasi pada ginjal, yaitu glomerulonefritis. Dermatitis iritan dapat timbul karena
penggunaan preparat antiskabies yang berlebihan, baik pada terapi awal atau pemakaian yang
terlalu sering. Salep sulfur dengan konsentrasi 15% dapat menyebabkan dermatitis bila
digunakan terus menerus selama beberapa hari pada kulit yang tipis. Benzil benzoat juga
dapat menyebabkan iritasi bila digunakan 2 kali sehari selama beberapa hari, terutama
disekitar genetalia pria. Gamma benzena heksaklorida sudah diketahui menyebabkan
dermatitis iritan bila digunakan secara berlebihan.3,6

Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan
dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hygiene), maka penyakit ini dapat
diberantas dan memberi prognosis yang baik.

Pencegahan
Pencegahan skabies dapat dilakukan dengan berbagai cara:

Mencuci bersih, bahkan sebagian ahli menganjurkan dengan cara direbus untuk
membunuh larva, telur, yang melekat pada pakaian, handuk, seprai maupun baju

penderita skabies, kemudian menjemurnya hingga kering.


Menghindari pemakaian baju, handuk, seprai secara bersama-sama.
9

Mengobati seluruh anggota keluarga, atau masyarakat yang terinfeksi untuk memutuskan
rantai penularan.6

Kesimpulan
Penyakit scabies ini merupakan penyakit menular oleh kutu tuma gatal sarcoptes
scabei. penyakit ini menimbulkan rasa gatal yang panas dan edema yang disebabkan oleh
garukan. Antara kutu betina dan kutu jantan memiliki sedikit perbedaan. Perbedaan itu bisa di
lihat dari ukuran tubuh dan juga panjang kaki keempat. Pada betina biasanya dilihat dari
ukuran akan lebih besar dari pada yangg jantan, dan ciri yang lain pada kaki keempat yang
jantan biasanya lebih pendek.

Daftar Pustaka
1. Manuaba IB. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta; 2005. Hal 13537.
2. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi 8. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2009. Hal 58-61.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran.
Edisi 3 jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta; 2008. Hal 110-2.
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi 4.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2008. Hal 297-9.
5. Natadisastra D, Agoes R. parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2009. Hal 291-4.
6. Djuana A, Kosasih A, Wiryadi BE, Natahusada EC, Sjamsoe E, Halim EE, dkk. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Balai Penerbit FKUI: Jakarta; 2009. Hal 3-122.

10

Anda mungkin juga menyukai