Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mata adalah organ perifer sistem penglihatan, yang berhubungan langsung dengan
lingkungan luar seperti udara, debu, benda asing, bahkan juga trauma sehingga membutuhkan
perlindungan untuk mencegah terjadinya kerusakan.1 Sistem pelindung pada rongga mata
yaitu rongga orbita, kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar, juga memiliki refleks memejam
atau mengedip. Dengan sistem pelindung yang baik, mata tetap rentan untuk mendapat
trauma dari dunia luar.2

Macam-macam trauma adalah trauma fisis, trauma kimiawi, dan trauma mekanis.
Trauma fisis disebabkan oleh paparan cahaya yang sangat terang dan merusak mata. Terdiri
dari retinopati solaris, retinopati alat optik, dan retinopati radiasi. Trauma kimiawi dibedakan
berdasarkan penyebabnya yaitu trauma kimia asam dan trauma kimia basa.1

Trauma mekanis meliputi trauma tumpul dan tajam. 1 Benda keras maupun tidak keras yang
mengenai mata dengan cepat atau lambat dapat menyebabkan trauma tumpul pada mata. 2
Sedangkan trauma tajam pada mata adalah trauma yang disebabkan oleh benda tajam.
Trauma tajam sering menimbulkan luka terbuka berbeda dengan trauma tumpul. Pada trauma
tajam kerusakan yang terjadi adalah laserasi, trauma penetrans, dan trauma perforans.

Mekanisme trauma pada mata harus yang dilaporkan oleh pasien atau saksi dan harus
didokumentasikan. Trauma tumpul seringkali dapat menghasilkan proses patofisiologis yang
berbeda dibandingkan dengan trauma oleh benda tajam, dan pembedaan antara keduanya
berdasarkan anamnesis dapat menjadi pedoman dalam pemeriksaan dan penatalaksanaan
klinis. Anamnesis menyeluruh mencakup mekanisme, waktu, dan tempat kejadian. Setelah
melakukan anamnesa lakukan pemeriksaan oftalmologis, dan juga lihat kondisi sekitar mata
untuk mencari adanya komplikasi lain.

Makalah ini akan membahas lebih jauh mengenai trauma mekanis, yaitu trauma
tumpul dan trauma tajam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Struktur bola mata kanan.3

2.1. Trauma Tumpul


2.1.1 Palpebra
2.1.1.1 Hematoma Kelopak

Gambar 2. Pembuluh darah dan saraf orbital kanan.3


Kelopak mata yang diketahui dengan sebutan palpebra adalah alat yang melindungi bola
mata terhadap lingkungan luar, trauma, sinar matahari, juga mensekresi air mata. Bagian
depan palpebra merupakan kulit yang tipis sedangkan bagian dalam ditutupi dengan selaput
lendir tarsus atau konjungtiva tarsal. Palpebra diperdarahi oleh arteri palpebra. Pecahnya
pembuluh darah palpebra mengakibatkan penimbunan darah di bawah kulit kelopak mata
atau palpebra. Hal ini disebut sebagai hematoma palpebra. Hematoma palpebra bisa terjadi
akibat trauma pukulan tinju, atau karena benda keras lainnya. Hematoma palpebra bukanlah
1
sesuatu yang berbahaya tetapi bisa menjadi sebuah keadaan yang gawat apabila perdarahan
terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak mata yang berbentuk kacamata hitam,
disebut sebagai hematoma periorbital bilateral atau Raccoon eye. Hematoma periorbital
bilateral atau Raccoon eye menandakan adanya basal skull fracture (BSF), di mana arteri
oftalmika pecah dan darah mengalir ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita.
Septum orbita kelopak membatasi jalan dari darah sehingga darah tertimbun di rongga orbita
dan membentuk gambaran seperti memakai kaca mata.2

Gambar 3. Pembuluh darah mata

Gambar 4. Hematoma Periorbital Bilateral (Raccoon Eye).4


Untuk menghentikan perdarahan dan menghilahkan rasa sakit pada hematoma kelopak
dini dapat ditangani dengan memberikan kompres dingin. Sedangkan pada hematoma kelopak
yang sudah lama, dapat dibantu dengan kompres kelopak dengan air hangat untuk
memudahkan absorbsi darah.2

Hematoma periorbital bilateral adalah salah satu tanda dari basal skull fracture (BSF).
Tanda lain BSF selain hematoma periorbital bilateral atau raccoon eyes adalah Battle’s sign,
hemotympanum, otorrhea, dan rhinorrhea. Karena BSF terjadi akibat trauma, maka yang

2
dapat dilakukan pertama adalah primary survey seperti memeriksa airway, breathing
circulation, disability, dan exposure. Periksa juga apakah terdapat cedera servikal. Pasien
harus di opname dengan tujuan observasi.5 Selain itu juga perlu dikonsultasikan ke dokter
spesialis bedah saraf.

2.1.1.2 Laserasi Palpebra


Laserasi palpebra bisa terjadi pada trauma tumpul, trauma tajam, gigitan binatang,
perkelahian, atau luka bakar pada mata. Oleh sebab itu ditanyakan bagaimana mekanisme
kejadian. Lokasinya bisa di palpebra superior atau inferior. Luka bisa partial thickness atau
full thickness.4 Pemeriksaan mencakup pemeriksaan visus. Sebelumnya ditanyakan dulu
perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan sesudah cedera. Pemeriksaan lainnya yaitu
pemeriksaan motilitas mata, pemeriksaan sensasi kulit preorbital, melakukan palpasi sekitar
periorbita, dan pemeriksaan kornea dengan slitlamp. Bila perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang bisa dilakukan rontgen orbita atau CT-scan orbita untuk mencari adanya benda
asing atau jika dicurigai adanya fraktur.4,6

Yang dapat dilakukan oleh dokter umum di IGD jika ada pasien dengan trauma tajam
pada mata adalah memberikan antibiotik yang bersifat ointment agar dapat berfungsi juga
sebagai lubrikan. Antibiotik golongan fluoroquinolone misalnya ciprofloxacin 500 mg 2x1.
Berikan anestesi lokal misalnya pantokain, tutup dengan kain tanpa menekan, dan rujuk ke
spesialis dokter mata.6 Jika ada tampak beda asing yang masih terdapat di dalam bola mata
bisa dilakukan irigasi dengan menggunakan ringer laktat atau normal saline. Jika ada benda
asing yang tertancap di mata jangan dicabut walaupun tampak dengan jelas.

Komplikasi yang bisa terjadi akibat kegagalan dalam memperbaiki laserasi khususnya
jika melibatkan margo palpebra, dapat berupa epiforakronis, konjungtivitis kronis,
konjungtivitis bakterial, exposure keratitis, abrasi kornea berulang, entropion/ ektropion
sikatrikal. Dan akibat teknik pembedahan yang buruk, terutama dalam hal akurasi penutupan
luka, dapat terjadi jaringan parut, fibrosis, deformitas palpebra sikatrikal, keadaan luka yang
memburuk akibat adanya infeksi atau karena penutupan luka yang tertunda. Jika trauma
robekan terjadi di dekat kantus medialis maka laserasi palpebra dapat disertai dengan atau
tanpa avulsi kanalis lakrimalis yaitu terputusnya saluran air mata. 6 Untuk mengetahuinya
dapat dilakukan pemeriksaan Anel test/irigasi dan probing.4

3
Gambar 5. A. Laserasi palpebra partial-thickness B. Laserasi palpebra full-thickness tanpa
keterlibatan kanalikulus C. Laserasi palpebra full-thickness dengan keterlibatan kanalikulus

D. Perhatikan pungtum kanalikuli superior (lingkaran putih) yang terpisah.4

2.1.2 Trauma Tumpul Konjungtiva


2.1.2.1 Edema Konjungtiva
Trauma tumpul juga bisa menyebabkan edema konjungtiva (kemotik konjungtiva). Apabila
keadaan ini berat, terkadang palpebra menjadi sulit untuk menutup. Konjungtiva yang
terpapar angin secara langsung tanpa dapat mengedip bisa menambah rangsangan terhadap
konjungtiva.2,4

Gambar 6. Kemotik konjungtiva.2

4
Untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva, dapat diberikan
dekongestan. Jika kemotik konjungtiva sudah berat, bisa dipertimbangkan untuk
mengeluarkan cairan melalui insisi.2,4 Trauma pada konjungtiva dapat sembuh dengan cepat
karena suplai darahnya yang kaya sehingga prognosis untuk sebagian besar trauma
konjungtiva sangat baik.

2.1.3 Hematoma Subkonjungtiva


Rupturnya arteri konjungtiva dan arteri episklera yang berada di bawah lapisan
konjungtiva dapat menyebabkan hematoma subkonjungtiva. Hal ini bisa terjadi secara
spontan seperti saat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii, atau keadaan pembuluh darah
yang rentan dan mudah pecah. Kondisi di mana pembuluh darah mudah pecah adalah pada
pasien hipertensi, benda asing, arteriosklerose, konjungtivitis, anemia, dan obat-obatan
tertentu contohnya pengencer darah.2

Biasanya pada hematoma subkonjungtiva pasien tidak merasakan adanya gejala, dan
orang lain yang melihat bahwa mata pasien merah, atau baru menyadari saat pasien melihat di
kaca. Yang ditemukan adalah bercak merah pada konjungtiva pasien. Pada 24 jam pertama
bentuknya semakin melebar, lalu mengecil karena diabsorpsi. Awalnya berwarna merah
cerah lama-lama menjadi gelap. Pada saat dilakukan pemeriksaan terlihat adanya perdarahan
di sklera dengan warna merah terang (tipis) atau gelap (tebal), tidak ada tanda peradangan,
jika ada biasanya peradangan ringan, dan lingkungan sekitar nya tampak normal, dengan
Snellen chart hasilnya visus normal 6/6.4

Pada setiap perdarahan subkonjungtiva akibat trauma juga perlu dilakukan


pemeriksaan funduskopi karena terkadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata
yang lebih parah misalnya perforasi bola mata. Eksplorasi bola mata bisa dilakukan untuk
mencari kemungkinan ruptur bulbus okuli pada hematoma subkonjungtiva dengan tekanan
bola mata yang rendah, pupil lonjong, perdarahan terjadi penuh seluas area 360 derajat, dan
ketajam penglihatan yang menurun.2,4

Untuk mencegah terjadinya perluasan perdarahan dan mengatasi iritasi ringan, maka
dapat diberikan vasokonstriktor, multivitamin, dan air mata buatan. Secara umum hematoma
subkonjungtiva akan diserap secara spontan dalam kurun waktu 1 sampai 2 minggu, bahkan 1
bulan tergantung tingkat keparahannya sehingga tidak ada terapi khusus untuk kasus ini. 4
Terapi pengobatan dapat dilakukan untuk mengobati penyakit yang mendasari bila ada,
contohnya hipertensi.

5
Prognosis hematoma subkonjungtiva bonam karena sifatnya yang dapat diabsorpsi
sendiri oleh tubuh. Namun pada keadaan tertentu seperti kekambuhan yang sering,
perdarahan yang menetap, ada tidaknya komplikasi, atau jika disertai dengan penurunan
visus, perlu dirujuk dan dilakukan evaluasi lebih lanjut.4

Gambar 7. Perdarahan subkonjungtiva.6

2.1.4 Trauma Tumpul pada Kornea


2.1.4.1 Edema Kornea
Edema kornea (edema stroma) adalah adanya kelebihan cairan dan perubahan
kandungan glycoaminoglycans di dalam stroma yang menyebabkan pemisahan lamellae dan
penurunan transparansi. Penyebab edema stroma sangat banyak, dan edema dapat muncul
dengan cedera pada epitel, stroma itu sendiri, atau endotel. Setiap cedera yang mengakibatkan
interupsi epitel kornea dapat menyebabkan edema stroma akibat absorpsi osmotik cairan dari
film air mata. Seringkali pasien datang dengan nyeri, fotofobia, berair, hidung tersumbat
dapat terjadi dalam derajat yang bervariasi karena edema kornea dan peradangan terkait.7,8

Gambar 8. Edema Kornea dengan peningkatan ketebalan kornea.9

6
Pengukuran optik atau ultrasonik dari pachymetry kornea memperkirakan tingkat
keparahan edema kornea. Ketebalan kornea dapat diukur dengan menggunakan OCT, yang
menunjukkan korelasi sangat baik dengan nilai yang diperoleh dengan pachymetry
ultrasound. Lembar sel endotel normal yang sehat adalah susunan sel heksagonal semu.
Optical coherence tomography (OCT) adalah teknologi non-kontak yang menghasilkan
gambar penampang melintang jaringan mata dengan resolusi tinggi.7

Penatalaksanaan medis meliputi penggunaan agen hipertonik, seperti tetes mata


natrium klorida 5% atau salep 6%. Obat ini membuat lapisan air mata hipertonik yang
menarik air keluar dari kornea yang edematosa. Agen hipertonik dapat menyebabkan iritasi
dalam beberapa kasus, dan mungkin tidak begitu efektif dalam mengurangi edema kornea.
Salin hipertonik dapat menyebabkan resolusi edema kornea pada hampir sepertiga pasien,
terutama pada kasus awal, tetapi pengobatan mungkin harus dilanjutkan selama 3 bulan.
Lensa kontak perban (BCL), terutama lensa kontak hidrofilik pemakaian lama berguna dalam
mengurangi rasa sakit yang terkait dengan bula epitel. Lensa tipis dengan kandungan air
tinggi cocok untuk kasus ini karena permeabilitas oksigen lebih baik pada lensa ini. Lensa
kontak hidrofilik untuk pemakaian lama bersama dengan tetes larutan garam hipertonik dapat
digunakan untuk membuat reservoir hipertonik. BCL sangat berguna dalam kasus di mana
pasien bergejala karena ruptur bula. Mempertimbangkan potensi risiko infeksi, penggunaan
BCL dalam waktu lama tidak disarankan, dan antibiotik spektrum luas harus digunakan
bersama lensa ini. Satu hal penting untuk diingat adalah bahwa kelainan terkait seperti
peningkatan TIO atau peradangan harus dicari dan ditangani secara bersamaan. Peningkatan
TIO dapat dikelola dengan obat antiglaukoma topikal atau pilihan bedah seperti
trabekulektomi dengan mitomisin C atau implan drainase glaukoma dalam kasus yang tidak
terkontrol dengan terapi topikal. Menurunkan TIO tidak hanya memperbaiki atau mengatasi
edema kornea tetapi juga mencegah kerusakan lebih lanjut pada sel endotel. Meskipun semua
golongan anti-glaukoma dapat bermanfaat dalam dua kelompok obat, penghambat karbonat
anhidrase dan analog Prostaglandin (PGA) harus dihindari. Inhibitor pompa anhidrase
karbonat endotel kornea dapat menyebabkan penurunan aliran cairan dari stroma ke air,
mengakibatkan pengendapan edema kornea. PGA, secara teoritis, dapat meningkatkan
peradangan intraokular. Peradangan terkait harus diobati dengan steroid topikal. Lebih baik
menghindari penggunaan steroid pada frekuensi yang lebih tinggi karena masalah terkait
seperti kenaikan TIO dapat menunda pembersihan edema kornea.7

2.1.4.2 Erosi Kornea


Erosi kornea merupakan salah satu keluhan yang paling banyak diderita pasien, ia
mewakili sekitar 24,3% pasien yang datang ke IGD untuk keluhan oftalmologi. Hal ini dapat
7
terjadi ketika epitel kornea mengalami kerusakan karena berbagai cedera. Dibandingkan
dengan cedera mata lainnya, cedera ini cenderung lebih sering terjadi di tempat kerja atau
selama aktivitas olahraga. Penyebab umum erosi kornea termasuk akibat kuku, peralatan
olahraga, dan kantung udara. Anak-anak merupakan penyebab paling umum dari cedera
kuku, karena pasien seringkali adalah orang tua yang terluka saat menggendong anak kecil.10

Pasien sering datang dengan rasa sakit, robekan, penglihatan kabur, fotofobia, mata
merah, dan sensasi benda asing. Seringkali cedera ini dikaitkan dengan laserasi kornea dan
benda asing dan seperti halnya cedera mekanis lainnya, perhatian yang cermat harus
diberikan pada risiko open globe.10

Gambar 9. Pewarnaan fluoresens pada mata menunjukkan erosi kornea yang besar
pada aspek superior.11
Investigasi untuk cedera tersebut mencakup penyelidikan yang cermat mengenai
mekanisme cedera. Kekuatan energi tinggi seperti dengan airbag, proyektil, dan pukulan
harus mengingatkan dokter dalam mencari gejala sisa lain dari cedera okular dan non-okuler.
Karena rasa sakit yang parah dan fotofobia yang terkait dengan erosi, pemeriksaan harus
sering dimulai dengan penggunaan obat tetes mata anestesi seperti tetracaine atau
proparacaine. Menggunakan pewarna fluorescein akan memungkinkan pemeriksa untuk
melihat defek epitel kornea. Semua pasien harus menjalani pemeriksaan oftalmologi lengkap
untuk menyingkirkan cedera lain, terutama pada bilik anterior dan retina. Tes Seidel dapat
digunakan untuk menentukan apakah ada kebocoran dari bilik anterior yang menunjukkan
open globe.10

Rekomendasi pengobatan bervariasi dan termasuk penggunaan antibiotik topikal, tetes


cycloplegic, dan penutup tekanan mata. Salep antibiotik topical dapat digunakan untuk
mencegah infeksi, seringkali eritromisin digunakankan. Salep dapat memiliki manfaat
tambahan yaitu “melapisi” mata dengan lapisan pelindung tipis. Untuk analgesia, agen
sikloplegik dapat diberikan untuk mencegah mata melebar dan mengecil sebagai respons
terhadap cahaya, yang dapat menyakitkan. Baru-baru ini, ketorolak untuk mata telah tersedia
8
dan obat antiinflamasi nonsteroid topikal (NSAID) efektif dalam mengurangi sakit mata tanpa
menyebabkan gangguan pencernaan. Anestesi topikal dengan tetrakain tetes sering diberikan
di UGD, akan tetapi, pasien tidak dapat dipulangkan dengan obat pereda nyeri, karena
dikhawatirkan akan menghasilkan penyembuhan luka yang buruk pada epitel kornea. Mitos
ini baru-baru ini dibantah ketika bukti untuk klaim ini diperiksa. Bukti terdiri dari laporan
kasus individu dan seri kasus kecil, dan dalam kebanyakan kasus, pasien telah menggunakan
anestesi topikal selama berminggu-minggu hingga sebulan dalam dosis yang lebih tinggi
daripada yang digunakan di UGD. Empat uji klinis kemudian mengevaluasi keamanan dan
kemanjuran anestesi topikal versus plasebo, dan menemukan bahwa anestesi topikal
melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mengendalikan nyeri dan tidak menunjukkan
perbedaan statistik dalam penyembuhan epitel kornea pada 72 jam. Oleh karena itu,
meresepkan anestesi topikal selama beberapa hari dianggap aman. Patch mata terkadang
direkomendasikan sebagai cara untuk mencegah fotofobia dan nyeri akibat akomodasi
siliaris.11 Prognosis sangat bergantung pada ukuran defek dan kedalaman cedera serta
keterlibatan lapisan Bowman.10

2.1.4.3 Erosi Kornea Rekuren


Erosi kornea berulang (RCE) seringkali terjadi pada mata yang pernah mengalami
cedera erosi sebelumnya (bahkan bertahun-tahun sebelumnya), mata dengan distrofi
membran basal epitel (EBMD), distrofi kornea seperti degenerasi kornea seperti band
keratopati, atau operasi mata sebelumnya. untuk kesalahan refraksi, katarak, atau
transplantasi kornea.12

Pasien dengan RCE seringkali dapat mengalami nyeri mata yang tiba-tiba, biasanya
saat bangun pertama. Gejala terkait termasuk kemerahan, fotofobia, penglihatan kabur, dan
robekan. Nyeri dapat berlangsung dari beberapa menit hingga beberapa jam, dan pada kasus
yang paling parah dengan defek epitel yang menetap, pasien dapat mengalami nyeri selama
beberapa hari.12

Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk mengenali dan mendiagnosis


RCE tetapi biomikroskopi slit-lamp tetap merupakan metode terbaik. Penerangan langsung
dapat menyoroti epitel yang longgar dan tidak teratur, dan mengidentifikasi perubahan kistik
dan seperti peta yang terkait dengan EBMD. Fluorescein topikal dapat menandai epitel
longgar yang tidak teratur serta menyoroti lesi non-pewarnaan yang menonjol melalui film air
mata, temuan EBMD yang sering terlihat disebut sebagai pewarnaan negatif. Instrumen lain
juga telah digunakan untuk memvisualisasikan kelainan epitel. Mikroskopi confocal in vivo
(Heidelberg Retina Tomograph II Rostock Cornea Module) dapat digunakan untuk mengenali
9
mikrokista epitel dan membran basal epitel abnormal yang menonjol ke depan ke dalam epitel
kornea. Mikroskopi confocal memperbesar epitel 10 kali lipat dari slit lamp dan
menghasilkan gambar dengan resolusi lebih tinggi. Optical coherence tomography (OCT)
dapat mengukur ukuran kornea, memvisualisasikan struktur internal, dan mengenali distrofi
membran halus dan ketidakteraturan permukaan.12

Pengobatan RCE biasanya berkembang secara bertahap dan dapat dibagi menjadi
pilihan medis dan bedah. Karena sebagian besar kasus dapat ditangani secara konservatif,
pilihan medis yang kurang invasif lebih disukai sebagai terapi lini pertama. Perawatan awal
biasanya terdiri dari tetes antibiotik dan bergantung pada tingkat ketidaknyamanan pasien,
tetes mata sikloplegik atau lensa kontak perban lembut dapat ditambahkan. Analgesik oral
dapat diberikan jika perlu. Pasien yang tidak responsif terhadap terapi lini pertama dapat
memanfaatkan bandage contact lens (BCL). Lensa yang optimal memiliki kurva dasar yang
datar dan transmisi oksigen yang tinggi, dan infeksi bakteri sekunder dapat dicegah dengan
pemberian bersama antibiotik topikal. Setelah epitel sembuh, larutan garam hipertonik dapat
diberikan sepanjang hari, diikuti dengan salep pada waktu tidur selama 6-12 bulan untuk
meningkatkan perlekatan epitel yang memadai. Agen hipertonik menghasilkan gradien
osmotik sementara yang meningkatkan adhesi dengan menyerap cairan dari epitel. Untuk
pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan yang disebutkan sebelumnya, terapi lain
termasuk tetrasiklin sistemik (misalnya doksisiklin 50 mg BID) dan kortikosteroid topikal.
Setiap golongan obat dapat mencegah kerusakan kolagen dan hemidesmosom dengan
menghambat produksi MMP-9. Untuk pasien yang gagal dalam pengobatan konservatif,
sejumlah intervensi bedah yang bergantung pada lokasi RCE dapat dipilih. Untuk erosi yang
mempengaruhi kornea perifer, disarankan untuk melakukan tusukan stroma anterior (anterior
stromal puncture). ASP dapat menyebabkan epitel melekat erat pada membran basal di
bawahnya. Meskipun ASP mengurangi tingkat kekambuhan, ASP dapat menghasilkan
jaringan parut karena lapisan Bowman tertusuk. ASP memiliki tingkat keberhasilan ~ 80%,
memiliki biaya terkait yang rendah, menghasilkan ketidaknyamanan yang minimal, dan dapat
dilakukan di tempat praktik melalui teknik yang berbeda.12

2.1.5 Trauma Tumpul Uvea


2.1.5.1 Iridoplegia
Fungsi iris tergantung pada otot sfingter pupil dan otot dilator. Pemendekan dan
pemanjangan bola mata selanjutnya karena benturan dengan benda tumpul dapat
menyebabkan otot sfingter pupil rupture dan dapat bersifat sementara atau permanen.
Akibatnya, pupil membesar dan tidak menunjukkan reaktivitas yang sama terhadap cahaya.9,13

10
Gambar 10. Traumatik midriasis.13
Jika rupture menetap, mydriasis terkait dapat menyebabkan kaburnya penglihatan,
lingkaran cahaya, silau. Reaksi pupil mungkin lamban atau tidak ada, dan robekan radial yang
melibatkan tepi pupil dapat diamati pada pemeriksaan slit lamp dan dapat disertai dengan
hifema traumatis. Jaringan parut sekunder selanjutnya dapat membatasi motilitas pupil. 13 Pada
pasien dengan gejala, agen miotik seperti tetes mata pilocarpine 1-2% empat kali sehari dapat
dicoba.13

Penatalaksanaan bedah untuk membangun kembali arsitektur iris yang normal dan
ukuran pupil penting karena tiga alasan. Pertama, mydriasis permanen berdampak negatif
pada kualitas penglihatan. Pasien dengan mydriasis permanen merujuk pada berbagai
gangguan penglihatan, seperti lingkaran cahaya, starburst, silau, dan fotofobia. Gejala-gejala
ini diperburuk pada pasien pseudophakic karena penyimpangan yang dibuat oleh tepi lensa
intraokular (IOL) dan capsulorhexis anterior. Kedua, pembentukan kembali pupil normal
penting untuk mempertahankan kompartementalisasi antara bilik anterior (AC) dan bilik
posterior (PC) yang menjadi penting terutama ketika tamponade intravitreal digunakan.
Diafragma iris mempertahankan minyak silikon di dalam ruang vitreous untuk menghindari
migrasi menuju AC dengan kerusakan selanjutnya pada trabecular meshwork dan endotel
kornea. Penatalaksanaan bedah yang disebut pupil cerclage memiliki keuntungan dalam
fungsi dan kosmetiknya.9

2.1.5.2 Iridodialisis
Pelepasan akar iris dari tempat insersinya pada badan siliaris dapat menghasilkan
iridodialisis. Iridodialisis sering menyebabkan pupil berubah bentuk dan daerah bikonveks
perifer gelap dekat limbus di mana iris telah terlepas. Hal ini sering terjadi pada cedera
tumpul mata. Selama cedera tumpul, bola mata tertekan, pupil blok terjadi, sklera perifer

11
membesar, dan aqueous humor mempengaruhi iris perifer, menyebabkan robeknya iris dari
badan siliaris.10,14

Pada pemeriksaan mata deformasi pupil, perpindahan pupil, pupil ganda, atau bahkan
aniridia traumatis dapat terlihat. Temuan terkait lainnya termasuk hifema, kerusakan pada
trabecular meshwork dan peripheral anterior synechiae (PAS). Gejala pada pasien mungkin
asimtomatik dan tidak memerlukan pengobatan pada kasus dengan iridodialisi yang ringan,
namun dalam kasus iridodialisis yang berat, pasien dapat mengeluhkan diplopia monokuler,
silau, dan fotofobia. Tekanan intraokular juga dapat meningkat beberapa bulan setelah cedera,
akibat pembentukan PAS berikutnya atau resesi sudut dan fibrosis. Dalam penelitian terbaru,
iridodialisis traumatis, sebagai salah satu penyebab glaukoma pasca trauma akibat cedera
sudut iridocorneal, telah dilaporkan ditemukan pada sekitar 38% kasus.10,13,14

Gambar 11. Foto segmen anterior menunjukkan iridodialisis inferior setelah cedera
dengan pistol proyektil ke mata.10

Gambar 12. Pemeriksaan mata menunjukan Deformasi pupil, perpindahan pupil, dan
pupil ganda.14

12
Manajemen Iridodialisis melibatkan pengendalian gejala terkait. Kacamata hitam,
kacamata berwarna, atau lensa kontak berwarna dapat membantu mengurangi gejala silau.
Jika gejala masih berlanjut dan / atau ada fotofobia, diplopia monokuler, atau gangguan
penglihatan, iridodialisis harus diperbaiki dengan rekonstruksi bedah. Cedera tumpul mata
yang serius sering kali memiliki komplikasi lain, seperti dislokasi lensa, perdarahan vitreous,
dan ablasi retinal, yang dapat diobati pada waktu yang bersamaan. Untuk defek iris sektoral
atau iridodialisis kecil (yaitu, kurang dari 3 jam), metode penjahitan McCannel pada iris
adalah teknik yang lebih disukai. Hal ini melibatkan penjahitan segmen iris yang mengalami
avulsi ke sklera yang berdekatan dan sambungan badan siliaris menggunakan jahitan prolene
atau nilon 10-0.10,14

2.1.5.3 Hifema
Trauma tumpul pada mata dapat menyebabkan pecahnya suplai vaskular iris dan
badan siliaris yang mengakibatkan darah di bilik anterior atau hifema. Hingga 70% dari
hifema terjadi pada anak-anak. Efek jangka panjang dari hifema traumatis adalah serius dan
oleh karena itu diagnosis dan manajemen yang tepat adalah yang paling penting pada pasien.
Diperlukan pemeriksaan yang cermat dan identifikasi cedera orbital dan mata yang terkait.10

Gambar 13. Hyphema Traumatis dari cedera sepak bola pada pria berusia 12 tahun.10
Pasien sering datang dengan riwayat trauma tumpul, kehilangan penglihatan, dan sakit
mata. Anisocoria dapat terjadi karena otot sfingter iris pada mata yang mengalami robekan
akibat adanya trauma. Hifema dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah darah di ruang
anterior. Hifema tingkat I dapat terjadi jika ada darah yang terkumpul dan berlapis,
menempati kurang dari sepertiga ruang anterior, Hifema tingkat II dapat terjadi jika ada darah
yang terkumpul mulai dari sepertiga hingga setengah bola mata, hifema tingkat III dapat
terjadi jika ada darah yang terkumpul lebih dari setengah bola mata dan terakhir hifema 8-
bola, atau hifema total, dapat disebut dengan hifema tingkat IV. Mikrohifema dapat

13
didefinisikan sebagai sel darah merah di ruang anterior mata tanpa lapisan darah. Plasmin
yang mengaktifkan sistem fibrinolitik yang akan memecah bekuan dan memungkinkan
penyaringan material melalui trabecular meshwork.10,15
Pada trauma tumpul terjadi kompresi mata anteroposterior yang cepat dengan
ekspansi ekuator dan peningkatan tekanan intraokular, yang menyebabkan gaya geser yang
merobek pembuluh iris dan badan siliaris dengan akumulasi sel darah merah di dalam ruang
anterior.15

Perdarahan ulang, corneal blood staining, glaukoma sekunder, dan neuropati optik
iskemik adalah kemungkinan komplikasi sekunder dari hifema. Pemeriksaan penyakit sel
sabit pada saat pasien datang dapat digunakan untuk membantu menyingkirkan penyakit sel
sabit. Pasien dengan hemoglobinopati sel sabit, yang datang dengan hifema, harus diawasi
dengan ketat. Obstruksi mekanis pada trabecular meshwork dari sel-sel sabit dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Dalam sebuah penelitian terhadap 40 anak
dari Amerika Serikat dengan hifema, hemoglobinopati sel sabit dikaitkan dengan peningkatan
tekanan intraokular tetapi tidak perdarahan ulang.10

Perawatan untuk hifema sering diperdebatkan, yang paling utama dilakukan adalah
kepala ranjang dapat diangkat untuk mengurangi hifema dan mempercepat penyerapan
bekuan. Perawatan medis terdiri dari pemberian kortikosteroid topikal atau, pada kasus yang
parah, kortikosteroid sistemik untuk mengurangi peradangan yang berhubungan dengan
hyphema, cycloplegics topikal (atropin 1% selama 5 hari: 1 tetes / hari pada anak-anak, 1
tetes x 3 / hari pada orang dewasa) untuk menstabilkan blood-aqueous barrier, untuk
mengurangi nyeri dengan merelaksasi spasme siliaris dan mencegah pembentukan sinekia
posterior, topical aqueous suppressants (beta-blocker dan alfa-agonis) atau penghambat
anhidrase karbonat sistemik dan agen hiperosmotik (acetazolamide atau mannitol - 1,5 mg /
berat badan) jika penatalaksanaan topikal gagal untuk mengontrol tekanan, agen
antifibrinolitik (asam aminocaproic - 50-100 mg / berat badan setiap 4 jam, hingga maksimal
30g / hari, selama 5 hari, asam traneksamat) untuk mengurangi risiko perdarahan berulang.
Intervensi bedah diperlukan pada sekitar 5% kasus dengan indikasi berikut: Peningkatan TIO
>50 mmHg selama 5 hari, peningkatan TIO >35 mmHg selama 7 hari untuk menghindari
kerusakan saraf optik, peningkatan TIO >25 mmHg selama 5 hari dalam kasus total hifema
untuk mencegah pewarnaan darah kornea, peningkatan TIO >25 mmHg selama lebih dari 24
jam pada pasien dengan anemia sel sabit, gumpalan besar dapat bertahan selama lebih dari 10
hari untuk mencegah pembentukan sinekia anterior perifer. Teknik pembedahan adalah
paracentesis / pencucian anterior chamber (AC) untuk darah yang belum membeku
merupakan metode paling aman dan paling sederhana yang dapat mengevakuasi sel darah

14
merah yang bersirkulasi, dapat diulang, menghindari mempengaruhi konjungtiva jika
kemungkinan dilakukan operasi filtrasi di masa depan, dapat memberikan kontrol perdarahan
intraoperatif dan pengurangan cepat tekanan intraokular, dan pemotongan bimanual / aspirasi
untuk hifema yang membeku, menggunakan probe vitrektomi. Pada anak, harus
diinstruksikan untuk membatasi aktivitas dan memakai pelindung mata, melindungi mereka
dari cedera lebih lanjut yang dapat menyebabkan perdarahan ulang. Jika tidak, perdarahan
ulang cenderung terjadi pasca trauma pada hari ke-4 atau ke-5, saat bekuan berkontraksi.10

Prognosis untuk pemulihan visual berkaitan dengan faktor-faktor berikut: jumlah


kerusakan yang terkait dengan struktur mata lainnya (ruptur koroid, ablasi retina, edema
makula pasca trauma, kekeruhan lensa, perdarahan vitreous, dan glaukoma sudut resesi), baik
perdarahan sekunder atau komplikasi seperti glaukoma, blood staining pada kornea, atau
atrofi optik dapat terjadi. Pada dewasa, Penelitian telah menunjukkan bahwa lebih dari 75%
pasien memiliki prognosis yang baik, sehingga sekitar 80% pasien dengan hifema <1/3 AC
mendapatkan kembali ketajaman visual 20/40 (6/12) atau lebih baik, 60% pasien dengan
hyphema> 1/2 AC tetapi kurang dari total AC mendapatkan kembali ketajaman visual 20/40
(6/12) atau lebih baik, sementara hanya 35% dari mereka dengan hifema total memiliki hasil
visual yang baik. Hasil visual yang buruk pada hifema traumatis dapat langsung dikaitkan
dengan hifema pada 11% pasien, hasil visual yang buruk biasanya merupakan hasil dari
perdarahan sekunder yang berhubungan dengan atrofi optik atau blood staining kornea.10,15

Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau nanah
dari bilik mata depan, dengan membuat insisi pada kornea sebesar 2 mm dari limbus ke arah
kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Penderita diberi anestesi lokal dengan pantokain I
%, kemudian tusuk daerah limbus pada arah jam 6 dengan spuit injeksi. Dapat juga dilakukan
irigasi aspirasi dan insisi luas bila ditemukan endapan darah.1,2

Indikasi dilakukan operasi jika Tekanan Intra Okuler (TIO) tetap tinggi (>35 mmHg
selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) dengan tujuan untuk mencegah kerusakan saraf
optik (atrofi N II), jika terjadi pewarnaan kornea karena penimbunan pigmen darah dalam
kornea (hemosiderosis kornea), serta jika didapatkan sinekia anterior perifer. Peningkatan
TIO yang tidak segera diatasi dapat menyebabkan perlekatan antara iris bagian tepi dan
jaringan trabekulum.1

15
Gambar 14. Parasentesis.16

2.1.5.4 Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan
iridosiklitis atau radang uvea anterior. Gejala yang dapat ditemukan seperti mata merah akibat
adanya darah di dalam bilik mata depan, terdapat suar, pupil mengecil, dan tajam penglihatan
menurun.2

Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat
tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.2

2.1.6 Trauma Tumpul Pada Lensa


2.1.6.1 Dislokasi lensa
Trauma tumpul pada lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa terjadi pada
putusnya zonula Zinn yang mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.2

16
Gambar 15. Dislokasi Lensa

2.1.6.1.1 Subluksasi lensa


Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian atau seluruh zonula Zinn sehingga
lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita
kelainan pada zonula Zinn yang rapuh (Sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan
mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris
berupa iridodonesis.1,2

Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi
cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung
mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi
sempit, dapat terjadi glaukoma sekunder.1,2

2.1.6.1.2 Luksasi lensa anterior


Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat
masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka
akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma
kongestif akut dengan gejala-gejalanya.2

Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, rasa sakit yang sangat,
muntah, mata merah dengan blefarospasme, terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea,
lensa di dalam bilik mata depan, iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar, tekanan
bola mata sangat tinggi.2
17
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien secepatnya dirujuk ke dokter mata untuk
dikeluarkan lensanya, dapat diberikan asetazolamida untuk menurunkan tekanan bola mata
terlebih dahulu.2

Gambar 16. Luksasi lensa Anterior.17

2.1.6.1.3 Luksasi lensa posterior


Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat
putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan
kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli.2

Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa
mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia, bilik
mata depan dalam dan iris tremulans.2

Lensa yang terlalu lama berada pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit
akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik. Bila luksasi
lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya dilakukan ekstraksi lensa.2

2.1.6.2 Katarak Traumatika


Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat
sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular
anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat
pula dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.2

Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil akan
menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan terbatas kecil,
Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat

18
disertai dengan adanya masa lensa di dalam bilik mata depan. Lensa dengan kapsul anterior
saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut
sebagai cincin Soemmering.2

Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya. Bila terjadi pada anak
sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah
ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer atau sekunder. Pada katarak
trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila
terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan Iain sebagainya maka segera dilakukan
ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada
beberapa pasien dapat terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi
tajam penglihatan. Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak
lensa.2

Gambar 17. Cincin Soemmering.18

Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apa yang disebut sebagai cincin Vossius yang
merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera
setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah
sesuatu trauma, seperti suatu stempel jari. Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata
tersebut telah mengalami suatu trauma tumpul.2

19
Gambar 18. Cincin Vossius.19

2.1.7 Trauma Tumpul Retina


2.1.7.1 Edema Retina
Trauma tumpul yang terjadi pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan
pada mata akan menjadi menurun. Edema pada retina akan memberikan warna pada retina
yang lebih berwarna abu-abu akibat susahnya melihat jaringan koroid melalu retina yang
bengkak. Berbeda pada oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali
daerah makula, sehingga dengan keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna
merah. Edema pada retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula sehingga
tidak terdapat cherry red spot.2

Trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadinya edema makula atau edema
Berlin. Dalam keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga seluruh polus posterior
fundus okuli akan berwarna abu-abu dan pembuluh darah diatasnya tentu terlihat lebih jelas
dalam beberapa jam setelah trauma. Terjadinya edema dan gangguan susunan lapisan luar
retina mengakibatkan kekeruhan dan tidak terdapat cairan interselular. Penglihatan menurun
tidak sesuai dengan kekeruhan kornea. Pada umumnya penglihatan akan menjadi normal
kembali sesudah beberapa waktu, akan tetapi bisa juga penglihatan berkurang karena
tertimbunnya daerah makula oleh sel pigmen epitel. Prognosisnya biasanya baik kecuali
apabila terjadi bersama-sama dengan ruptur koroid atau akibat kerusakan pigmen epitel
retina.2

2.1.7.2 Ablasi Retina


Pada ablasi retina, Trauma ini diduga merupakan penyebab untuk terlepasnya retina
dari koroid. umumnya pasien telah mempunyai bakat untuk dapat terjainya ablasi retina, ini
seperti retina tipis akibat dari retinitis semata, miopia, dan juga proses degenerasi retina
lainnya.2

20
Pada pasien akan ditemukan keluhan semacam adanya selaput yang seperti tabir
mengganggu lapang pandangannya. Bila terkena daerah makula maka ketajaman pada
penglihatan akan terjadi penurunan.2

Pada pemeriksaan funduskopi akan tampak retina yang berwarna abu-abu dengan
pembuluh darah yang akan terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang akan terlihat
pembuluh darah yang seperti terputus-putus. Pada pasien dengan ablasi retina maka
secepatnya haru dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter spesialis mata.2

2.1.8 Trauma Koroid


2.1.8.1 Ruptur Koroid
Pada trauma yang keras dapat terjadi perdarahan subretina yang merupakan akibat dari
ruptur koroid. Pada ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan melingkar di
sekitar papil saraf optik.2

Apabila ruptur koroid ini mengenai daerah makula lutea maka ketajam penglihatan
akan sangat menurun. Ruptur seperti ini apabila tertutup oleh perdarahan Subretina akan agak
sulit dilihat, tetapi apabila darah tersebut telah diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur
yang berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung lanpa tertutup koroid.2

2.1.9 Trauma Tumpul Saraf Optik


2.1.9.1 Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpul dapat juga terjadi saraf optik yang terlepas dari pangkalnya di
dalam bola mata yang biasa disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini yang akan
mengakibatkan terjadinya penurunan ketajaman penglihatan yang berat dan juga sering
berakhir dengan menjadi kebutaan. Penderita ini sangat perlu dirujuk untuk dinilai kelainan
fungsi retina dan saraf optiknya.2

2.1.9.2 Optik Neuropati Traumatik


Trauma tumpul juga dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula
perdarahan dan edema sekitar saraf optik.2
Penglihatan juga akan berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek aferen
pupil tanpa adanya kelainan yang nyata pada retina. Tanda lain yang mungkin dapat
ditemukan adalah terjadinya gangguan penglihatan warna dan juga lapangan pandang. Papil
saraf optik dapat normal selama beberapa minggu sebelum menjadi pucat.2

21
Diagnosis banding pada penglihatan turun setelah cidera mata adalah trauma retina,
perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optik.2
Pengobatanyang mungkin bisa dilakukan adalah dengan merawat pasien pada waktu
akut dengan memberikan steroid. Bila penglihatan memburuk setelah pemberian steroid maka
perlu dipertimbangkan untuk pembedahan.2

2.2 Trauma Tajam


Trauma tajam adalah trauma yang pasti disebabkan oleh benda tajam. Kerusakan yang
mungkin terjadi dapat berupa laserasi, trauma penetrans, dan trauma perforans. Berbeda
dengan yang terjadi pada trauma tumpul, pada trauma tajam letak lukanya dapat terjadi
dimana saja, dan dengan pinggiran luka yang teratur dan dapat mengenai sebagian ataupun
juga seluruh ketebalan jaringan.1

Biasanya trauma tajam sering menimbulkan luka terbuka, itu sebabnya pencegahan
infeksi merupakan hal yang mutlak, Pemberian profilaksis dengan ATS (anti-tetanus serum)
dan juga antibiotika akan sangat dianjurkan. Untuk memudahkan pemeriksaan dapat
diberikan anestesi lokal dengan pantokain 0,5-2%, dan juga apabila diperlukan dapat
diberikan irigasi gentamisin 1,6 mg/cc dalam larutan fisiologis/salin.1

Bila ada luka di kelopak, maka akan dilakukan rekonstuksi dan juga reposisi jaringan
kelopak. Bila mengenai sistern lakrimal misalnya pada avulsi kanalis lakrimalis maka
diperlukan tindakan rekanalisasi dengan bantuan pigtail. Untuk mempertahankan saluran
lakrimal dapat juga digunakan benang silk 4-0 atau silikon. Pada laserasi di kornea dan sklera
perlu juga dilakukan eksplorasi luka untuk melihat kerusakan lain yang mungkin ada. Apabila
memungkinkan akan dilakukan reposisi dan juga penutupan luka dengan benang atraumatik.
Pasca pada tindakan bedah dapat juga diberikan antibiotik oral ataupun topikal, atau juga
steroid oral bila diperlukan dan atropin tetes mata.1

22
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Trauma mata mekanik dapat melibatkan segmen anterior dan menyebabkan kerusakan
konjungtiva, kornea, limbus, sudut bilik anterior, iris, lensa, atau badan siliaris. Mekanisme
trauma pada mata harus dilaporkan oleh pasien atau saksi dan didokumentasikan. Trauma
tumpul sering kali dapat menghasilkan proses patofisiologis yang berbeda dibandingkan
dengan trauma oleh benda tajam, dan pembedaan antara keduanya berdasarkan anamnesis
dapat menjadi pedoman dalam pemeriksaan dan penatalaksanaan klinis. Sebagai dokter
umum perlu mengetahui penanganan awal yang bisa dilakukan sebelum merujuk pada
spesialis mata. Hal ini karena beberapa trauma mata bersifat emergency dan memerlukan
penanganan yang segera. Penanganan awal yang baik dan tepat juga dapat mempengaruhi
prognosis akhir.

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Suhardjo dan Agni AN. Buku ilmu kesehatan mata. Edisi 3. Yogyakarta: Departemen
Ilmu Kesehatan Mata fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta; 2017.h.1-24,412-20.

2. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2018. h. 279-91.

3. Paulsen F, Waschke J. Sobotta atlas of human anatomy: head, neck, and


neuroanatomy. 23rd ed. Munich; 2010. p.107, 125

4. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. Buku ajar oftalmologi. Edisi 1.
Jakarta: Universitas Indonesia Publishing; 2020. h. 471-3

5. Simon L V, Newton EJ. Basilar skull fractures [Internet]. November 2020 [cited 2021
Jan 29]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470175/

6. Akbar M, Helijanti N, Munir MA, Sofyan A. Conjunctival laceration of the tarsalis


palpebra inferior et causing by a fishing hook. J Med Prof. 2019;1(2):151–66.

7. Sharma N, Singhal D, Nair SP, Sahay P, Sreeshankar SS, Maharana PK. Corneal
edema after phacoemulsification. Indian journal of ophthalmology. 2017
Dec;65(12):1381.

8. Labelle P. The Eye. Pathologic Basis of Veterinary Disease. 2017:1265.


9. Frisina R, Parrozzani R, Tozzi L, Pilotto E, Midena E. Pupil cerclage technique for
treatment of traumatic mydriasis. European Journal of Ophthalmology. 2020
May;30(3):480-6.

10. Kaufman SC, Lazzaro DR. Textbook of Ocular Trauma. Springer International
Publishing AG; 2017.

11. Fusco N, Stead TG, Lebowitz D, Ganti L. Traumatic corneal abrasion. Cureus. 2019
Apr;11(4).

12. Miller DD, Hasan SA, Simmons NL, Stewart MW. Recurrent corneal erosion: a
comprehensive review. Clinical Ophthalmology (Auckland, NZ). 2019;13:325.

13. Yan H, editor. Mechanical ocular trauma: current consensus and controversy.
Springer; 2016 Oct 31;9-13.

14. Yan H, editor. Atlas of Ocular Trauma. Springer Singapore; 2019;29-34.


15. Georgescu RD, Mușat O, Cernat C, Colța D, Boariu AM, Popescu I, Tănase T,
Alexandru L. Hyphema–from the effect to the cause. RJMM. 2017 Dec 1;120(3):7.

24
16. American Academy of Ophthalmology. 2021. Tersedia pada
URL: https://www.aao.org/image/paracentesis

17. Hafidi Z, Daodi R. Anterior Dislocation of the Lens. N Engl J Med. 2014 Apr:
370:1343. Tersedia pada URL: 10.1056/NEJMicm1307842
18. Mandal AK, Gollakota R. Soemmering’s Ring. J Ophtha. 2017 Jul:124(7):1064.
Tersedia pada URL: https://doi.org/10.1016/j.ophtha.2017.01.016
19. Seth NG, Thattaruthody F, Pandav SS. Vossius Ring after Blunt Traumatic Trauma. J
Ogla.2019 Jan:2(1): 54. Tersedia pada URL: https://doi.org/10.1016/j.ogla.2018.10.007

25

Anda mungkin juga menyukai