Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

“TRAUMA OKULI”

Pembimbing : dr.Retna Iskandar, Sp.M

Disusun Oleh : Nadhifayanti Fauziah (2012730143)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT ISLAM JAKATA CEMPAKA PUTIH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2016
BAB I
PENDAHULUAN

Walaupun mata mempunyai sistem pelindung yang cukup baik seperti rongga orbita,
kelopak, dan jaringan lemak retrobulbar,selain terdapatnya refleks memejam atau mengedip,
mata masih sering mendapat trauma dari dunia luar. Trauma dapat mengakibatkan kerusakan
pada bola mata dan kelopak, saraf mata serta rongga orbita. Kerusakan mata akan dapat
mengakibatkan atau memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi penglihatan. Trauma
pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah terjadinya penyulit yang lebih
berat yang akan mengakibatkan kebutaan.

Trauma pada mata dapat mengenai jaringan di bawah ini secara terpisah atau menjadi
gabungan trauma jaringan mata. Trauma dapat mengenai jaringan mata: palpebrae,
konjungtiva, cornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita. Trauma mata
merupakan keadaan gawat darurat pada mata.

Trauma mata sering merupakan penyebab kebutaan unilateral pada anak dan dewasa
muda; kelompok usia ini mengalami sebagian besar cedera mata yang parah. Segala umur
dapat terkena rudapaksa mata walaupun beberapa kelompok umur tersering terkena (50 %)
yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA). Dewasa muda, terutama pria, merupakan
kelompok yang kemungkinan besar mengalami cedera tembus mata. Kecelakaan dirumah,
kekerasan, ledakan aki, cedera akibat olahraga dan kecelakaan lalu lintas merupakan
keadaan-keadaan yang paling sering menyebabkan trauma mata.

Sebagaiseorangdokterumum, diperlukankemampuanuntukmengevaluasi trauma mata


yang seringterjadidankemampuanuntukmenentukanapakah trauma
yangdialamipasienperludikonsultasikankedokterspesialismataatautidak.Padakeadaangawatdar
uratmata yang sesungguhnyaseperti trauma kimia, seorangdokterumum yang bekerja di
pelayanan primer
harusdapatmelakukanpenatalaksanaanawalkarenabeberapamenitpertamasetelahterjadinya
trauma adalahmasa-masa paling krusial yang akanmenentukan prognosis pasien.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Trauma mata adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan
mata. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata. Perlukaan yang ditimbulkan dapat
ringan sampai berat atau menimbulkan kebutaan bahkan kehilangan mata.

KLASIFIKASI

Klasifikasi Trauma Okuli berdasarkan mekanisme trauma:

1. Trauma Mekanik
a) Trauma Tumpul
b) Trauma Tajam/trauma tembus
2. Trauma Kimia
3. Trauma karena agen Fisis
a) Api
b) Radiasi
c) Ultraviolet

1. Trauma Tumpul pada Mata


Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan benda yang keras atau benda yang tidak
keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang) ataupun lambat.
Trauma tersebut dapat memberi kerusakan pada mata akibat kompresi mendadak dan
indentasi bola mata. Dampak dari trauma tumpul dapat merusakkan struktur yang dekat
dengan permukaan mata (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea, iris, dan lensa) dan
struktur di belakang mata (retina dan nervus optik). Dampaknya juga dapat mumbuat tulang
sekeliling mata fraktur. Selain itu trauma ini juga dapat berujung pada laserasi jaringan mata.
a. Hematoma Kelopak
Hematoma palpebra yang merupakan pembengkakan atau penimbunan darah
di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.
Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauma
tumpul kelopak. Trauma dapat akibat pukulan tinju atau benda-benda keras lainnya.
Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien, dapat tidak berbahaya
ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan lain di belakangnya.
Bila pendarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan
berbentuk kaca mata hitam yangsrdang dipakai, maka keadaan ini disebut sebagai
hematoma kaca mata. Hematoma kaca mata merupakan keadaan yang sangat gawat.
Hematoma kaca mata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda
fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka darah masuk ke dalam
kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibatnya darah tidak dapat menjalar lanjut
karena dibatasi septum orbita kelopak mata. Kelopak mata akan berbentuk gambaran
pada kelopak seperti seseorang yang memakai kaca mata.
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres dingin untuk
menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk
memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.

b. Trauma Tumpul Konjungtiva


1) Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada
setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke
dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat mengedip,
maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.
Kemotik Konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpetra tidak menutup
sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. Pada edema konjungtiva
dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam
selaput lendir konjungtiva.Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan disisi
sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.
2) Hematoma Subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri
episklera. Pecahnya pembuluh darah ini akibat batuk rejan, trauma tumpul basis
kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan dan
mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah pada usia lanjut,
hipertensi, arteriosklerosis, konjungtiva meradang (konjungtivitis), anemia, dan
obat-obat tertentu.
Bila pendarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan bahwa
tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Kadang-kadang
hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk seperti
perforasi bola mata. Pemeriksaan fundoskopi adalah perlu pada setiap penderita
dengan pendarahan subkonjungtiva akibat trauma. Bila tekanan bola mata rendah
dengan pupil lonjong disertai dengan penurunan ketajaman penglihatan dan
hematoma subkonjungtiva, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk
mencari adanya kemungkinan bolbus olkuli.
Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva adalah dengan kompres
hangat. Pendarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1 – 2
minggu tanpa diobati.

c. Trauma Tumpul Kornea


1) Edema Kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan
edema kornea malahan ruptur membran Descernet. Edema kornea akan
memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi di sekitar bola
lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji
plasido yang positif.
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan msuknya serbukan sel radang
dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau
larutan garam hipertonik 2 – 8%, glukose 40%, dan larutan albimin.Bila terdapat
peninggian tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida. Pengobatan untuk
menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki ketajaman penglihatan dengan lensa
kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya menekan kornea terjadi pengurangan
edema pada kornea.
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan M. Descemet
yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan memberikan
keluhan rasa sakit dan menurunkan ketajaman penglihatan akibat astigmatisme
iregular.
2) Erosi Kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa
cedera pada membran basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat
bermigrasi dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut.
Pada erosi pasian akan merasa sakit sekali karena erosi merusak kornea yang
mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme,
lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang
keruh. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi
pewarnaan fluoresein akan berwarna hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan
adanya infeksi yang timbul kemudian.
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa ketajaman penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit yang hebat. Hati-hati bila memakai obat anestetik
topikal untuk menhilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karean dapat menambah
kerusakan epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk
mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotik seperti antibiotik spektrum luas
seperti neosporin, chloramfenikol, dan sulfasetamik tetes mata. Aibat rangsangan
yang mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi pendek seperti
tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebatkan selama 24 jam.
Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam.
3) Erosi Kornea Rekuren
Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal,
atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mudah lepas kembali
di waktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang disebabkan epitel tidak
dapat bertahan pada defek epitel kornea. Sukarnya epitel menutupi kornea
diakibatkan oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea, tempat
duduknya epitel basal kornea. Biasanya membran basal yang rusak akan kembali
normal setelah 6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumaskan permukaan kornea sehingga
regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea.
Pengobatan biasanya dengan memberikan siklopledik untuk menghilangkan rasa
asakit ataupun untuk mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul .
Antibiotik diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat
tumbuhnya epitel baru dan tumbuhnya infeksi sekunder. Biasanya bila tidak
terjadi infeksi sekunder korneayang mengenai seluruh permukaan, maka kornea
akan sembuh dalam tiga hari. Pada erosi kornea tidak diberikan antibiotik dengan
kombinasi steroid.
Pemakaian lensa kontak lunak pada pasien dengan erosi rekuren sangat
bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada pada mata dan tidak
dipengaruhi oleh kedipan kelopak mata.

b. Trauma Tumpul Uvea


1) Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter
pupil atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis. Pasien akan
sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat gangguan
pengaturan masuknya sinar pada pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau
anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil ini tidak bereaksi
terhadap sinar. Iridoplegi juga dapat muncul tanpa gangguan akomodasi. Keadaan
ini dapat menyebuh dengan bertahap.
Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu.Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk
mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.
2) Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil dapat berubah. Pasien akan memiliki penglihatan ganda dengan satu
mata.Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Biasanya iridodialisis terjadi
bersama-sama dengan terbentuknya hifema.
Bila keluhan demikian, maka sebaiknya dilakukan pembedahan pada pasien
dengan melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas.
3) Hifema
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dpaat terjadi akibat trauma
tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Pasien akan
mengeluh sakit, disertai dengan epifora, dan blefarospasme. Penglihatan pasien
akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hifema kan terlihat terkumpul di bagian
bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata
depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.
Pengobatan dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang
ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulasi, dan mata ditutup. Pada anak
yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Asetazolamida diberikan bila terjadi
penyulit, yaitu glaukoma.
Biasanya hifema akan hilang sempurna. Bila perjalanan penyakit tidak
berjalan demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk.
Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan pada
pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma
sekunder, hifema penuh dan berwarna hita, atau bila setelah 5 hari tidak terlihat
tanda-tanda hifema akan berkurang.
Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi
pendarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya
akan lebih hebat karena pendarahan akan lebih sukar hilang.
Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar yang
mengakibatkan suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran
cairan mata.
Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila
didiamkan akan menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.Hifema spontan pada
anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia dan retinoblastoma.
Bedah Pada Hifema
Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
ataunanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi
kornea dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya
bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan.
Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam
fisiologis.Biasanya luka insisi kornea pada parasentesis tidak perlu terjadi.
4) Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan
iridosiklitis atau radang uvea anterior.Pada mata akan terlihat mata merah, akibat
adanya darah di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil yang
mengecil dengan ketajaman penglihatan yang menurun.
Pada uveitis anterior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila
terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik. Sebaiknya pada
mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan
midriatika.

c. Trauma Tumpul Lensa


1) Dislokasi Lensa
Trauma tumpul lensa dapat menyebabkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa
terjadi pada putusnya zonula Zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa
terganggu.
2) Subluksasi Lensa
Subluksasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinn sehingga lensa
berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien
menderita kelainan pada zonola Zinn yang rapuh (sindrom marfan).
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa
akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.Akibat pegangan pada
zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi cembung dan mata akan
menjadi lebih myopi. Lensa yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke
depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit,
pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.
Subluksasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi penutupan
sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung.Bila terjadi penyulit subluksasi
lensa, seperti glaukoma atau uveitis maka tidak dilakukan pengeluaran lensa dan
diberi kaca mata koreksi yang sesuai.
3) Luksasi Lensa Anterior
Bila seluruh zonula Zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa
dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak di dalam bilik mata
depan, maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga
akan timbul glaukoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya.
Pasien akan mengeluh penglihatan turunmendadak disertai rasa sakit yang
hebat, muntah, mata merah dengan blefarospasme.Terdapat injeksi siliar yang
berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang
dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.
Pada luksasi lensa anterior sebaiknya pasien dikirim pada dokter mata untuk
dikeluarkan lensanya dengan terlebih dahulu diberikan asetazolamida untuk
menurunkan tekanan bola matanya.
4) Luksasi Lensa Posterior
Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terkjadi luksasi lensa
posterior akibat putusnya zonula Zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga
lensa terjatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus
posterior fundus okuli.
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya akibat lensa
mengganggu kampus.Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau
afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik
mata depan dalam dan iris tremulans.
Lensa yang terlalu lama pada polus posterior dapat menimbulkan penyulit
akibat degenerasi lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis
fakotoksik.Bila luksasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya
dilakukan ekstraksi lensa.
5) Katarak Trauma
Katarak akibat cedera pada mata dapat akibat trauma perforasi atau pun
tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari ataupun beberapa tahun.Pada trauma
tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio
lensa menimbulkan katrak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak
tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.
Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi kecil
akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan
terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya
katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata
depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang
bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk
endoftalmitis fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan
menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan ap yang disebut sebagai
cincn Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara
Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada sat terjadinya. Bila terjadi pada
anak, sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk
mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa intra okular primer aau
sekunder.
Pada katarak trauma ila tidak terdapat penyulit, maka dapat ditunggu sampai
mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan lain
sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaukoma
sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin
Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam penglihatan. Keadaan
ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah letak lensa.

d. Trauma Tumpul Retina dan Koroid


1) Edema Retina dan Koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan
akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih
abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melali retina yang sembab.
Berbeda dengan oklusi arteri rtina sentral dimana terdapat edema retina kecuali
daerah makula, sehingga pada kedaan ini akan terlihat cherry red spot yang
berwarna merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema
makula, namun tidak terdapat cherry red spot.
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula atau
edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga fundus
okuli berwarna abu-abu.
Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan
tetapi penglihatan dapat berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh sel
pigmen epitel.

2) Ablasi Retina
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada
penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya
ablasi retina ini, seperti retina tips akibat retinitis semata, miopia, dan proses
degenerasi retina lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir
mengganggu lapang pandanganya. Bila terkena atau tertutup daerah makula maka
tajam penglihatan akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang brwarna abu-abu
dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-
kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan
ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter
mata.
3) Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan
akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan
melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea, maka tajam
penglihatan akan sangat menurun. Ruptur ini bila tertutup oleh perdarahan
subretina agak sukar dilihat kan tetapi bila darah tersebut telah diabsorpsi maka
akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat dilihat langsung
tanpa tertutup koroid.

e. Trauma Tumpul Saraf Optik


1) Avulsi Papil Saraf Optik
Pada trauma tumpu dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam
bola ata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan
mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan
kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk menilai kelainan fungsi retina dan
saraf optiknya.
2) Optik Neuropati Traumatik
Trauma tumpul dapat mengakibatkan kmpresi pada saraf optik, demikian pula
pendarahan dan edema sekitar saraf optik.Penglihatan akan berkurang setelah
cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada
retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan
lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal beberapa minggu sebelum
menjadi pucat.
Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cedera mata adalah
trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan
pada kiasma optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan memberi
steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid aka perlu dipertimbangkan
tindakan pembedahan.

f. Trauma Tembus Bola Mata


Trauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva saja. Bila robekan
konjungtiva ini atau tidak melebihi 1cm, maka tidak perlu dilakukan penjahitan. Bila
robekan konjungtiva melebihi 1cm diperlukan tindakan penjahitan untuk mencegah
terjadinya granuloma. Pada setiap robekan konjungtiva perlu diperhatikan terdapatnya
robekan sklera bersama-sama dengan robekan konjungtiva.
Trauma tembus terjadi jika mata ditembus oleh benda tajam atau benda berukuran
kecil dengan kecepatan tinggi. Perbedaannya terletak pada luas jejas yang
ditimbulkan oleh agen trauma. Benda tajam seperti pisau akan menyebabkan laserasi
berbatas tegas pada bola mata, sedangkan benda kecil yang bergerak dengan
kecepatan tinggi akan menyebabkan derajat kerusakan dan zona jejas.
Trauma akibat benda berukuran kecil dengan kecepatan tinggi (small high-
velocity particles), misalnya yang ditimbulkan dari proses penggilingan atau
hammering dapat memberikan manifestasi berupa nyeri ringan dan penurunan visus.
Kemosis hemoragik, laserasi konjungtiva, bilik mata depan dangkal dengan atau tanpa
pupil eksentrik, hifema, atau perdarahan vitreous juga dapat terjadi. Tekanan
intraokular dapat rendah, normal, atau sedikit meningkat.
Ablasio retina akibat traksi yang mengikuti trauma tembus merupakan hasil dari
penahanan vitreous dalam luka dan adanya darah dalam vitreous yang menjadi
stimulus terjadinya proliferasi fibroplastik pada bidang yang menahan vitreous.
Kontraksi yang terjadi menyebabkan membran memendek dan berlanjut pada retina
bagian perifer di dasar vitreous sehingga akhirnya terjadi ablasio retina akibat traksi.

Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata
maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti :
- Tajam penglihatan yang menurun
- Tekanan bola mata rendah
- Bilik mata dangkal
- Bentuk dan letak pupil yang berubah
- Terlihatnya ada ruptur pada kornea atau sklera
- Terdapat jaringan yang di proplaps seperti cairan mata, iris, lensa, bada kaca
atau retina
- Konjungtiva kemotis
Bila terlihat salah satu tanda di atas atau dicurigai adanya perforasi bola mata
maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotik topikal dan mata ditutup dan segera
dikirim ke dokter mata untuk dilakukan pembedahan.
Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotika
sistemik atau intravena dan pasien dipuasakan untuk tindakan pembedahan. Pasien
juga di beri anti tetanus profilaktik, analgetika dan kalau perlu penenang. Sebelum
dirujuk mata tidak diberi salep, karena salem dapat masuk ke dalam mata. Pasien
tidak boleh diberi steroid lokal dan beban yang diberikan pada mata tidak menekan
bola mata.

Pemeriksaan penunjang
Foto polos orbita dapat berguna untuk mengevaluasi tulang orbita, sinus
paranasal dan mengidentifikasi benda asing radioopak. Proyeksi waters menampilkan
gambaran yang paling baik dari dasar orbita dan mendeteksi air-fluid level pada sinus
maksila. Proyeksi anteroposterior untuk melihat dinding medial orbita, dan proyeksi
lateral untuk visualisasi atap orbita, sinus maksila dan frontal, zygoma dan sella
tursika.
CT Scan untuk evaluasi struktur intraokuler dan periorbita, deteksi adanya benda
asing intraokuler metalik dan menentukan terdapatnya atau derajat kerusakan
periokuler, keikutsertaan trauma intrakranial misalnya perdarahan subdural.
MRI sangat baik untuk menilai jaringan lunak dan membantu dalam melokalisasi
benda asing non metalik seperti kayu, yang pada CT Scan tampak sama dengan
jaringan lunak atau udara, tetapi pemeriksaan ini kontraindikasi pada trauma akibat
benda asing yang terbuat dari metal.
USG orbita pada keadaan media refraksi keruh untuk mendapatkan informasi
tentang status dari struktur intraokuler, lokalisasi dari benda asing intraokuler, deteksi
benda asing non metalik, deteksi perdarahan koroid, ruptur sklera posterior, ablasio
retina, dan perdarahan sub retina.
Tatalaksana trauma tembus
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah menerapkan prinsip umum bantuan
hidup lanjut pada kasus trauma.Selanjutnya dapat dilakukan sistem skoring untuk
menilai trauma mata dan orbita dan membantu mengidentifikasi setiap pasien yang
membutuhkan diagnosis dan tatalaksana segera. Hal ini sekaligus bertindak sebagai
triage dalam upaya penanganan kasus trauma mata dan orbita.
Salah satu sistem skoring yang sering digunakan adalah Madigan Eye and Orbit
Trauma Scale (MEOTS) yang memiliki beberapa parameter, antara lain:
1. Tajam penglihatan
2. Struktur bola mata
3. Proptosis
4. Pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya
5. Motillitas okular
Adapun fungsi dilakukannya penilaian awal dengan sistem skoring adalah:
- Dapat mendeskripsikan beratnya trauma / luka
- Memberikan pelayanan triage yang efektif
- Membantu dalam hal kesiapan operasi
- Memprediksikan prognosis penglihatan

Prinsip-prinsip perbaikan awal (primary repair)


Teknik yang digunakan tergantung dari beratnya luka dan adanya komplikasi
seperti inkarserasi iris, COA yang datar, dan kerusakan intraokular.
1. Laserasi kornea kecil
Tidak membutuhkan penjahitan karena bisa menyembuh sempurna atau dengan
bantuan lensa kontak yang seperti perban lembut.
2. Laserasi kornea ukuran medium
Biasanya membutuhkan jahitan terutama jika COA datar. COA yang datar dapat
kembali berubah semula secara spontan jika kornea telah dijahit, jika tidak, harus
dikembalikan dengan solusio garam seimbang. Bandage contanct lens post
operatif juga berguna selama beberapa hari untuk meyakinkan bahwa COA tetap
dalam.
3. Laserasi kornea dengan inkarserasi iris
Manajemen tergantung dari durasi dan luasnya inkarserasi. Kebocoran kecil dari
inkarserasi yang baru terjadi dapat digantikan oleh konstriksi pupil dengan
intrakamera Miochol. Inkarserasi iris yang besar harus di absisi terutama jika iris
terlihat non-viabel.
4. Laserasi kornea dengan kerusakan lensa
Diterapi dengan menjahit laserasi dan memindahkan lensa dengan
phacoemulsification atau dengan vitreus cutter jika vitreus terlibat.
Laserasi sklera anterior yang tidak melewati bagian posterior terhadap insersi otot
ekstraokular mempunyai prognosis yang lebih baik dari pada lesi yang lebih
posterior dan melibatkan retina. Luka pada sklera anterior dapat berhubungan
dengan komplikasi serius seperti prolaps uvea dan inkarserasi vitreus. Inkarserasi
vitreus meskipun dengan manajemen yang tepat, dapat menimbulkan traksi
vitreoretina dan ablasio retina. Setiap usaha harus dikerjakan untuk reposit
jaringan uvea viabel yang terekspos dan memotong vitreus yang prolaps.
5. Laserasi sklera posterior
Sering berhubungan dengan kerusakan retina meskipun laserasinya sangat
superfisial. Selama perbaikan, sangat penting tidak berusaha dengan tekanan yang
berlebihan dan traksi pada mata untuk mencegah atau meminimalkan kehilangan
isi dari mata. Juga berguna untuk sebagai profilaksis terhadap robekan retina.
Perbaikan sekunder bagian posterior trauma jika mungkin dilakukan 10-14 hari
setelah perbaikan awal. Hal ini akan memberikan waktu tidak hanya bagi
penyembuhan luka tetapi juga untuk perkembangan pemisahan vitreus posterior
dnegan fasilitas mikrosurgery intraokular tertutup. Tujuan utama perbaikan
sekunder adalah:
• Untuk menjernihkan keopakan media seperti katarak dan perdarahan vtreus
untuk meningkatkan visus.
• Untuk menstabilkan interaksi vitreoretina yang abnormal dan mencegah
sekuele jangka panjang seperti ablasio retina traksional.

Komplikasi yang dapat terjadi setelah terjadinya trauma tembus adalah


endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraokular, ptisis bulbi, dan
simpatetik oftalmika.
Endoftalmitis dapat terjadi dalam beberapa jam hingga dalam beberapa minggu
tergantung pada jenis mikroorganisme yang terlibat. Endoftalmitis dapat berlanjut
menjadi panoftalmitis.
Simpatetik oftalmika adalah inflamasi yang terjadi pada mata yang tidak cedera
dalam jangka waktu 5 hari sampai 60 tahun dan biasanya 90% terjadi dalam 1 tahun.
Diduga akibat respon autoimun akibat terekposnya uvea karena cedera, keadaan ini
menimbulkan nyeri, penurunan ketajaman penglihatan mendadak, dan fotofobia yang
dapat membaik dengan enukleasi mata yang cedera.

2. Trauma Kimia
Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam laboratorium,
industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian dan peperangan yang
memakai bahan kimia di abad modern.
Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam
bentuk : trauma asam dan trauma basa atau alkali.
Pengaruh bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia
tersebut mengenai mata.
Dibanding bahan asam, maka trauma oleh alkali cepat dapat merusak dan menembus
kornea. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang
terkena trauma kimia merupakan tindakan harus dilakukan karena dapat memberikan penyulit
yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam fisiologik yang lebih berat
lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit.
Luka bahan kimia harus dibilas secepatnya dengan air yang tersedia pada saat itu seperti
dengan air keran, larutan garam fisiologik dan asam berat. Anastesi topikal diberikan pada
keadaan dimana terdapat blefarospasme berat.
Untuk bahan asam digunakan larutan natrium bikarbonat 3% sedang basa larutan asam
borat, asam asetat 0,5% atau bufer asam asetat pH untuk menetralisir. Diperhatikan
kemungkinan terdapatnya benda asing penyebab luka tersebut.
Untuk bahan basa diberikan EDTA. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika
topikal, sikloplegik dan bebat mata selama mata masih sakit. Regenerasi epitel akibat asam
lemah dan alkali sangat lambat yang biasanya sempurna setelah 3-7hari.
a. Trauma Asam
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik (Asetat,
forniat) dan organik anhidrat (asetat). Bila bahan asam mengenai mata maka akan
segera terjadi pengendapan ataupun pengumpalan protein permukaan sehingga bila
konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali.
Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superfisial saja. Bahan asam
dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti trauma basa sehingga kerusakan yang
diakibatkannya akan lebih dalam.
Asam terdisosiasi menjadi ion-ion Hidrogen dan anion di kornea. Molekul
hidrogen merusak permukaan bola mata dengan merubah pH, sedangkan anion
menyebabkan denaturasi, presipitasi dan koagulasi protein pada epitel – epitel kornea
yang terpajan. Presipitasi dan koagulasi permukaan bola mata disebut nekrosis
koagulatif. Koagulasi protein mencegah terjadinya penetrasi asam lebih dalam,
sehingga bila konsentrasi tidak tinggi tidak akan bersifat destruktif seperti trauma
alkali. Umumnya kerusakan yang terjadi bersifat nonprogresif dan hanya pada bagian
superfisial saja.
Asam hidrofluorat adalah pengecualian dalam kasus trauma akibat asam. Asam
hidrofluorat adalah asam lemah yang dapat melewati membran sel dengan cepat,
dalam keadaan tetap tidak terionisasi, sementara ion fluoride berpenetrasi lebih baik
ke stroma dibanding asam lainnya sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih
parah di segmen anterior. Karena itu asam hidrofluorat bekerja seperti basa,
menyebabkan nekrosis liquefactive. Ion fluoride yang dilepaskan ke dalam sel dapat
menginhibisi enzim glikolitik dan dapat bergabung dengan kalsium dan magnesium,
membentuk kompleks tidak larut. Nyeri lokal yang hebat diduga sebagai akibat dari
kegagalan imobilisasi kalsium, yang kemudian mendorong stimulasi syaraf oleh
perpindahan potassium.
Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secapatnya dan
selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan
trauma. Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali sehingga tajam
penglihatan tidak terganggu.
Komplikasi paling serius dari trauma asam adalah jaringan parut konjungtiva dan
kornea, vaskularisasi kornea, glaukoma dan uveitis.

b. Trauma Basa
Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada
mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan, dan sampai pada
jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan kimia alkali bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai
dengan dehidrasi. Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan
dalam waktu 7 detik.
Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan menambah kerusakan
kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan merusak retina
sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan irigasi
dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkinPenyulit yang
dapat ditimbulkan oleh trauma basa adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan
neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ftisis bola mata. Penyulit
jangka panjang dari luka bakar kimia adalah glaukoma sudut tertutup, pembentukan
jaringan parut kornea, simblefaron, entropion, dan keratitis sika.
Menurut klasifikasi Thoft menjadi :
- Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
- Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
- Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
- Derajat 4 konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%

Patogenesis
Bahan asam dan basa menyebabkan trauma dengan mekanisme yang berbeda.
Baik bahan asam (pH<4) dan alkali (pH>10) dapat menyebabkan terjadinya trauma
kimia. Kerusakan jaringan akibat trauma kimia ini secara primer akibat proses
denaturasi dan koagulasi protein selular, dan secara sekunder melalui kerusakan
iskemia vaskular. Bahan asam menyebabkan terjadinya nekrosis koagulasi dengan
denaturasi protein pada jaringan yang berkontak. Hal ini disebabkan karena bahan
asam cenderung berikatan dengan protein jaringan dan menyebabkan koagulasi pada
epitel permukaaan. Timbulnya lapisan koagulasi ini nerupakan barier terjadinya
penetrasi lebih dalam dari bahan asam sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut.
Oleh karena itu trauma asam sering terbatas pada jaringan superfisial.
Bahan alkali dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang potensial lebih
berbahaya dibandingkan bahan asam. Larutan alkali mencairkan jaringan dengan jalan
mendenaturasi protein dan saponifikasi jaringan lemak. Larutan alkali ini dapat terus
mempenetrasi lapisan kornea bahkan lama setelah trauma terjadi.
Kerusakan jangka panjang pada konjungtiva dan kornea meliputi defek pada
epitel kornea, simblefaron serta pembentukan jaringan sikatriks. Penetrasi yang dalam
dapat menyebabkan pemecahan dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasitas
lapisan stroma kornea. Jika terjadi penetrasi pada bilik mata depan, dapat terjadi
kerusakan iris dan lensa. Kerusakan epitel silier dapat menggangu sekresi asam
askorbat yang diperlukan untuk produksi kolagen dan repair kornea. Selain itu dapat
terjadi hipotoni dan ptisis bulbi.
Proses penyembuhan dapat terjadi pada epitel kornea dan stroma melalui proses
migrasi sel epitel dari stem cells pada daerah limbus. Kolagen stroma yang rusak akan
difagositosis dan dibentuk kembali.

Klasifikasi derajat berat trauma kimia


Ada 2 jenis klasifikasi derajat trauma kimia yang sering digunakan pada praktek
sehari-hari.
1) Derajat beratnya trauma kimia (menurut Roper-Hall) dibagi atas : 3
- Grade I : kornea jernih, tidak terdapat iskemia limbus (prognosis sangat
baik)
- Grade II : kornea hazy tetapi detail iris masih tampak, dengan iskemia limbus
< sepertiga (prognosis baik)
- Grade III :detail iris tidak terlihat, iskemia limbus antara sepertiga sampai
setengah
- Grade IV : kornea opak, dengan iskemia limbus lebih dari setengah (prognosis
sangat buruk)
2) Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus (menurut kriteria Hughes),
yang digunakan di departemen mata RSCM yaitu :
- Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
- Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
- Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
- Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan bilik
mata depan

Gejala klinis
Diagnosis trauma kimia pada mata lebih sering didasarkan pada anamnesis
dibandingkan atas dasar tanda dan gejala. Pasien biasanya mengeluhkan nyeri dengan
derajat yang bervariasi, fotofobia, penurunan penglihatan serta adanya halo di sekitar
cahaya.Umumnya pasien datang dengan keluhan adanya riwayat terpajan cairan atau
gas kimia pada mata. Keluhan pasien biasanya nyeri setelah terpajan, rasa mengganjal
di mata, pandangan kabur, fotofobia, mata merah dan rasa terbakar. Jenis bahan
sebaiknya digali, misalnya dengan menunjukkan botol bahan kimia, hal ini dapat
membantu menentukan jenis bahan kimia yang mengenai mata. Waktu dan durasi dari
pajanan, gejala yang timbul segera setelah pajanan, serta penatalaksanaan yang telah
diberikan di tempat kejadian juga merupakan anamnesis yang dapat membantu dalam
diagnosis.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus ditunda setelah dilakukan irigasi yang
banyak pada mata yang terkena dan PH mata telah netral. Setelah dilakukan irigasi,
dilakukan pemeriksaan dengan seksama terutama melihat kejernihan dan integritas
kornea, iskemia limbus dan tekanan intraokular. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan
pemberian anestesi topikal.

Tanda-tanda yang dapat ditemui pada pemeriksaan fisik dan oftalmologi adalah :
 Defek epitel kornea, dapat ringan berupa keratitis pungtata sampai kerusakan
seluruh epitel. Kerusakan semua epitel kornea dapat tidak meng-up take fluoresin
secepat abrasi kornea sehingga dapat tidak teridentifikasi.
 Kekeruhan kornea yang dapat bervariasi dari kornea jernih sampai opasifikasi
total sehingga menutupi gambaran bilik mata depan.
 Perforasi kornea. Sangat jarang terjadi, biasa pada trauma berat yang
penyembuhannya tidak baik.
 Reaksi inflamasi bilik mata depan, dalam bentuk flare dan cells. Temuan ini
biasa terjadi pada trauma basa dan berhubungan dengan penetrasi yang lebih
dalam.
 Peningkatan tekanan intraokular
 Kerusakan / jaringan parut pada adneksa. Pada kelopak mata hal ini menyebabkan
kesulitan menutup mata sehingga meng-exspose permukaan bola yang telah
terkena trauma.
 Inflamasi konjungtiva.
 Iskemia perilimbus
 Penurunan tajam penglihatan . Terjadi karena kerusakan epitel, kekeruhan
kornea, banyaknya air mata.

Pada trauma derajat ringan sampai sedang biasanya yang dapat ditemukan berupa
kemosis, edema pada kelopak mata, luka bakar derajat satu pada kulit sekitar, serta
adanya sel dan flare pada bilik mata depan. Pada kornea dapat ditemukan keratitis
punktata sampai erosi epitel kornea dengan kekeruhan pada stroma. Sedangkan pada
derajat berat mata tidak merah, melainkan putih karena terjadinya iskemia pada
pembuluh darah konjungtiva. Kemosis lebih jelas, dengan derajat luka bakar yang
lebih berat pada kulit sekitar mata, serta opasitas pada kornea.

3. Trauma Radiasi Elektromagnetik


Trauma radiasi yang sering ditemukan adalah :
a. Sinar Inframerah
Akibat sinar infra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari dan
pada saat bekerja dipemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat
terkonsentrasinya sinar inframerah terlihat. Kaca yang mencair seperti ditemukan di
tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sianr infra merah. Bila seseorang
berada pada jarak 1 kaki selama satu menit di depan kaca yang mencair dan pupilnya
lebar atau midriasis maka suhu lensa akan naik sebanyak 9 derajat Celcius.
Demikian pula iris yang mengabsorbsi sinar infra merah akan panas sehingga
berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di dekatnya. Absorbsi sinar infra merah
oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul lensa.
Akan mengakibatkan keratitis superfisial, katarak kortikal antero – posterior
dan koagulasi pada koroid, bergantung pada beratnya lesi akan terdapat skotoma
sementara atau permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah
terjadi kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini.
Pengobatannya diberikan steroid sistemik dan lokal untuk mencegah
terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk mengurangi gejala radang yang
timbul.
b. Sinar Ultraviolet
Sinar ultra violet merupakan sianr gelombang pendek yang terlihat
mempunyai gelombang antara 350-295 nM. Sinar ultra violet banyak terdapat pada
saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar matahari di atas
salju. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel korena. Sinar ultra vioet biasanya
memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga kerusakan pada lensa dan
retina tidaka akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan segera baik kembali setelah
beberapa waktu dan tidak akan memberikan gangguan tajam penglihatan yang
menetap.
Pasien yang terkena sinat ultraviolet akan memberi keluhan 4 – 10 jam setelah
trauma , pasien akan merasa matanya sangat sakit , mata seperti kelilipan atau
kemasukan pasir , fotofobia ,blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Kornea akan
menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya , yang kadang – kadang disertai
kornea yang keruh dan uji fluoresein positif , keratitis yang terjadi terutama terdapat
dalam fisura palpebra, pupil akan terlihat miosis dan tajam penglihatan akan
terganggu.
Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat , akan tetapi bila radiasi berjalan lama
kerusakan dapat permanen sehingga memberikan kekeruhan pada kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegik , antibiotika lokal , analgetik dan mata
ditutup selama 2 – 3 hari , biasanya sembuh selama 48 jam.
c. Sinar X dan sinar terionisasi
Sinar ionisasi dibedakan dalam bentuk :
- Sinar alfa yang dapat diabaikan
- Sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan
- Sinar gama
- Sinar X
Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina.
Dosis kataraktogenik bervariasi dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih muda
dan lebih peka. Akibat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel
secara tidak normal. Sedang sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak
menjadi jarang. Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang
akibatakan diabetes melitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris mata
dan eksudat.
Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang mengakibatkan kerusakan
permanen yang sukar diobati. Biasanya akan terlihat sebagai keratitis dengan
iridosiklitis ringan. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva
atrofi sel goblet yang akan menganggu fungsi air mata.
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal dengan steroid 3 kali
sehari dan sikloplegik satu kali sehari. Bila terjadi simblefaron pada konjungtiva
dilakukan tindakan pembedahan.

PENCEGAHAN TRAUMA MATA


Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat untuk
menghindarkan terjadi trauma pada mata seperti :
- Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah kecuali trauma tumpul
perkelahian
- Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindari terjadinya trauma tajam
- Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan
apa yang ada ditempat kerjanya
- Pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las
dengan memakai kaca mata
- Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk matanya.
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas, S. Yulianti, S.R. 2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Vaughan D. and Riordan-Eva P. 2007. General ophtalmology. 17th edition. USA:
The McGraw-Hill Companies. Chapter 1: Anatomy and Embriology of The Eye.
Ilyas, Sidharta dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk dokter umum dan mahasiswa
kedokteran, Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto
Randleman JB. 2007. Ophthalmologic Approach to Chemical Eye Burns.
Emedicine. October

Anda mungkin juga menyukai