Disusun Oleh :
Fida Alawiyah
I4061162028
Pembimbing :
dr. Indria Fajrianita, Sp.Rad
2
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri Punggung bawah (NPB)/Low Back Pain (LBP) adalah nyeri yang dirasakan daerah
punggung bawah, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri
ini terasa diantara sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau
lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki.1
Nyeri punggung bawah merupakan masalah yang umum, merupakan 1 dari 10 penyakit
yang paling banyak di Amerika Serikat dengan frekuensi sekitar 7,6%-37%. Nyeri punggung
bawah biasanya mulai dialami pada usia 30-50 tahun. Nyeri punggung bawah merupakan
keluhan kelima yang merupakan alasan untuk datang ke layanan medis, dan gejala kedua yang
paling sering dikeluhkan.2,3
Pasien biasanya datang dengan keluhan utama nyeri. Selain nyeri, keluhan lain yang
dapat timbul adalah rasa kaku, pegal, kesulitan bergerak, atau perubahan bentuk punggung
(deformitas). Keluhan utama nyeri pada NPB harus diekplorasi karakteristiknya lebih lanjut,
antara lain jenis dan lokasi, durasi (menetap/intermitten), intensitas (ringan/sedang/berat),
hubungan temporal akut/kronik dan faktor memperberat atau meringankan nyeri.4
Kebanyakan orang dengan nyeri punggung bawah ringan dapat kembali beraktivitas
normal tanpa terapi khusus; penyebabnya berhubungan erat dengan pekerjaan. Faktor risikonya
meliputi aktivitas mengangkat barang berat dan obesitas. Nyeri punggung bawah juga dapat
terjadi pada orang tanpa faktor risiko.5,6
Penyebab nyeri punggung bawah dapat bermacam-macam. Pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan untuk mecari penyebab nyeri punggung bawah, salah satunya dapat dilakukan
pemeriksan radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan antara lain, foto polos,
computed topography ataupun MRI. Namun pada umumnya foto polos menjadi pilihan
pertama untuk melakukan screening. Hal ini dikarenakan biayanya relative terjangkau
dibandingkan sarana radiologi yang lain.7
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 2.2 Struktur dasar tulang belakang7
2.1.1 Karakteristik Tulang belakang Servikalis
Secara struktur, tulang belakang servikalis satu dan dua mempunyai gambaran
anatomis yang berbeda dibanding dengan gambaran kelima tulang belakang servikalis
yang lain. Tulang belakang servikalis satu atau C1 mempunyai nama lain yaitu tulang
atlas. Tulang atlas yaitu struktur tulang yang membentuk cincing (ring) yang terdiri dari
arkus anterior dan posterior terhubungkan oleh dua masa lateral. Tulang atlas tidak
mempunyai korpus dan sebagai struk utamanya adalah masa lateral yang disebut juga
pilar articular. 7
Gambar 2.3 (a) tulang atlas tampak superior dan (b) tulang atlas tampak inferior7
5
Tulang belakang servikalis kedua, C2 atau disebut juga aksis, mempunyai struktur
yang lebih kompleks, serta mempunyai struktur yang berbeda dengan adanya prosessus
odontoideus yang disebut juga sebagai “dens” (gigi) dan terproyeksi ke kranial dari
permukaan anterior dari korpus. Ruang diantara prosessus ontoideus dan arkus anterior
dari os atlas dinamakan atlantal dens interval yang seharusnya tidak melebihi 3 mm pada
orang dewasa ketika kepala melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, Pada anak-anak yang
berumur kurang dari 8 tahun, jarak ini diperkirakan sebesar 4 mm, terutama pada posisi
fleksi. 7
6
membentuk sudut 90 derajat terhadap midline, sedangkan foramen intervetebralis
terletak pada sudut 45 derajat oblique dan 15 derajat cephaled. 7
Gambar 2.5 (a) Tulang belakang servikalis ke-4 dan (b) tulang
belakang servikalis ke-7 tampak superior7
2.1.2 Karakterikstik Tulang Belakang thorakalis
Pada tulang belakang thorakalis yang menjadi pembeda dengan vertebra lainnya
adalah mempunyai persendian dengan kosta yang disebut sebagai sendi kostovertebral.
Pada setiap tulang belakang thorakalis mempunyai satu full faser atau dua parsial faser
yang disebut demifaset pada setiap korpusnya. Satu faset atau kombinasi dua demifaset
bersatu dengan head costa membentuk sendi kostovertebral. T1 mempunyai satu faset
dan satu demifaset pada tepi inferior. T2-T8 mempunyai demifaset si superior dan
inferior vertebra. T9 hanya mempunyai satu demifaset di tepi superior, T10-12
mempunyai full faset. Oleh karena itu, kosta 1 pada T1, kosta 2 pada T1 dan T2, demikian
selanjutnya. Tapi pada kosta 11 hanya pada T11 dan kosta 12 pada T12. 7
Gambar 2.6 (a) Tulang belakang T6 dan (b) tulang belakang T12
tampak lateral 7
7
2.1.3 Karakteristik tulang sacrum dan tulang ekor
Tulang sacrum merupakan tulang besar berbentuk segitiga yang terdiri dari lima
tulang belakang yang berfusi. Pada bagian proksimal tulang ini berartikulasi dengan os
illii dan bagian distal berartikulasi dengan os coccyx. Di tengah permukaan cembung
bagian dorsal terdapat kurang lebih empat prosessus spinosus yang bersatu membentuk
medial sacral crest. Disamping sacral crest dan di dekat medial foramina sacralis
posterior, terdapat satu seri sendi zigapofiseal yang membentuk intermediate crest.
Permukaan endopelvis berbentuk konkaf dan pada permukaannya terdapat empat pasang
foramina sacral pelvis yang berlawanan dengan foramina sacral dorsalis. Ujung runcing
sacrum dibentuk oleh vertebra sacrum kelima yang berartikulasi dengan coccyx.
Vertebra kelima ini membentuk suatu hiatus yang disebut cornu sacralis. 7
Coccygeus yang disebut juga dengan tulang ekor terdiri dari tingga hingga lima
vertebra yang berfusi secara bervariasi. Segmen pertama dan terbesar berartikulasi
melalui diskus rudimenter dengan permukaan bagian bawah tulang belakang sacral
kelima dan berbentuk padat. Di bagian posterior, terbentuk coccygeal cornua. Pada
tulang ekor tidak terdapat kanalis spinalis7
Gambar 2.7 (a) Struktur tulang sacrum dan tulang ekor tampak inferior
anterior (b) tampak superior posterior7
10
spondilolistesis. Sama halnya dengan spondilolistesis, keluhan juga baru
timbul pada umur 35 tahun karena alasan yang sama.
3) Spina bifida
Adalah defek pada arcus spinosus lumbal/sakral akibat gangguan
proses pembentukan sehingga tidak terdapat ligamen interspinosus yang
menguatkan daerah tersebut. Hal ini menyebabkan mudah timbulnya
lumbosacral strain yang bermanifestasis sebagai sakit pinggang.
4) Trauma
Ruptur ligamen interspinosum, fraktur corpus vertebra lumbal.
2. Nyeri viserogenik
Nyeri ini dapat muncul akibat gangguan pada ginjal, bagian viscera dari
pelvis dan tumor – tumor peritoneum
3. Nyeri vaskulogenik
Aneurisma dan penyakit pembuluh darah perifer dapat memunculkan gejala
nyeri. Nyeri pada aneurisma abdominal tidak ada hubungannya dengan aktivitas
dan nyerinya dijalarkan ke kaki. Sedang pada penyakit pembuluh darah perifer,
penderita sering mengeluh nyeri dan lemah pada kaki yang juga diinisiasi dengan
berjalan pada jarak dekat.
4. Nyeri neurogenik
Misal pada iritasi arachnoid dengan sebab apapun dan tumor – tumor pada
spinal duramater dapat menyebabkan nyeri belakang.
5. Nyeri psikogenik
Pada ansietas, neurosis, peningkatan emosi, nyeri ini dapat muncul.
2.2.4 Manifestasi Klinik
Pasien NPB datang biasanya dengan keluhan utama nyeri. Selain nyeri, keluhan
lain yang dapat timbul adalah rasa kaku, pegal, kesulitan bergerak, atau perubahan
bentuk punggung (deformitas). Keluhan utama nyeri pada NPB harus diekplorasi
karakteristiknya lebih lanjut, antara lain jenis dan lokasi, durasi (menetap/intermitten),
intensitas (ringan/sedang/berat), hubungan temporal akut/kronik dan faktor
memperberat atau meringankan nyeri.4
Pembagian klinis NPB untuk triage:1
NPB dengan tanda bahaya (red flags) neoplasma / karsinoma infeksi fraktur
vertebra, sindrom kauda ekwina
11
NPB dengan kelainan neurologik berat
NPB dengan sindroma radikuler
NPB nonspesifik
Sekitar > 90 % NPB akut atau kronik (> 3 bulan) merupakan NPB non-spesifik
Tabel 2.1 Red Flags Nyeri punggung bawah2
2.2.5 Diagnosis
a) Anamnesis
Anamnesis merupakan awal yang penting dalam pemeriksaan NPB. Perlu
ditanyakan keluhan utama, anamnesis keluarga, penyakit-penyakit sebelumnya,
keadaan sosial, dan penyakit saat ini. Cara ini praktis dan efisien untuk mendeteksi
kondisi-kondisi penyebab yang lebih serius (red flags).2 Faktor resiko nyeri
punggung bawah yaitu
Tabel 2.2 Faktor resiko nyeri punggung bawah non spesifik (yellow flags)2
12
b) Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda penyebab sistemik dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik umum:
demam didapatkan proses infeksi maupun inflamasi lain seperti pada kasus
neoplasia; tekanan darah dan nadi dapat membantu evaluasi adanya nyeri dan
perdarahan. Pemeriksaan kulit dapat membantu memperlihatkan berbagai tanda
sistemik misalnya, psoriasis, herpes zoster, gangguan-gangguan hematologis, dan
lain-lain. Pemeriksaan leher dapat melihat kemungkinan nyeri akibat tidak langsung
dari gangguan paratiroid dan kemungkinan metastasis neoplasma dengan adanya
limfadenopati.2
Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk menilai kemungkinan gangguan organ
viseral. Pemeriksaan muskuloskeletal perlu dilakukan, khususnya pada daerah yang
dikeluhkan. Pemeriksaan neurologik meliputi pemeriksaan motorik, sensorik, refleks
fisiologik dan patologik, serta uji untuk menentukan kelainan saraf, seperti straight
leg raising (SLR)/Laseque test (iritasi n. ischiadicus), cross Laseque (HNP median),
reverse Laseque (iritasi radiks lumbal atas), sitting knee extension (iritasi
n.ischiadicus), saddle anesthesia (sindrom konus medularis). 2
c) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan dapat dilakukan untuk melihat tanda-
tanda infeksi, serologis, fosfatase alkali, ureum, kreatinin, dan tanda-tanda
keganasan. Pemeriksaan urin juga dapat dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal
dan apakah ada kelainan prostat. Pemeriksaan endokrin diperlukan untuk melihat
kelainan paratiroid dan osteoporosis pada lanjut usia.2
b. Pemeriksaan radiologi
Foto polos
Foto polos vertebra lumbosakral tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali
ada indikasi. Foto polos ini berguna untuk dugaan fraktur dan dislokasi. Biasanya,
foto polos proyeksi anteroposterior dan lateral sudah cukup membantu diagnosis.
Foto oblik dilakukan bila ada dugaan spondilolistesis. Yang perlu dinilai adalah
ada tidaknya kelainan visera dan ABCs (alignment, bony changes, cartilaginous
changes, soft tissue changes). 2
Computed tomography (CT) scan
Computed tomography (CT) scan dapat menentukan kelainan tulang, tetapi
kurang baik untuk menilai kanalis spinalis. Pemeriksaan ini juga membantu dalam
13
diagnosis HNP (hernia nukleus pulposus) pada pasien dengan teka spinal yang
sempit atau pendek dan ruang kanalis spinalis yang lebar. 2
Magnetic resonance imaging (MRI)
Magnetic resonance imaging (MRI) berguna untuk melihat defek intra dan
ekstra dural serta melihat jaringan lunak. Magnetic resonance imaging (MRI)
diperlukan pada dugaan metastasis ke vertebra dan HNP servikal, torakal dan
lumbal. Magnetic resonance imaging (MRI) dapat melihat diskus, medula spinalis
dan radiks saraf di daerah servikal yang tidak mungkin terlihat pada CT scan dan
MRI juga tidak mengunakan radiasi ion. Pada lesi medulla spinalis, MRI
merupakan pemeriksaan pilihan. 2
2.2.6 Tatalaksana
Tujuan pengobatan NPB akut adalah untuk mengurangi nyeri, mengembalikan
pasien ke dalam aktivitas sehari-hari, menurunkan hilangnya waktu kerja, dan
mengembangkan strategi untuk mengatasi nyeri melalui edukasi. Optimalisasi
pengobatan nyeri akut dapat mencegah berkembang menjadi kronik. Pada prinsipnya
penatalaksanaan untuk NPB dbagi menjadi tiga, yaitu pengobatan penyakit yang
mendasarinya, tindakan operasi dan terapi konservatif.4
1. Pada NPB yang berasal dari organ abdomen dan bagian posterior abdomen serta
NPB akibat metastasis spinal, maka pengobatan di tujukan pada pengobatan
penyakit yang mendasari tersebut.
2. Pada NPB yang dapat disembuhkan dengan operasi, tentukan indikasi dan untung
rugi tindakan operasi pada awal awitan NPB atau setelah terapi konservatif
terlebih dahulu
3. Pada NPB tanpa indikasi operasi
a. Istirahat: membatasi aktivitas fisik, atau menggunakan korset
b. Terapi fisik, pada prinsipnya dilakukan termoterapi, namun juga dengan
traksi. Terapi fisik ini harus didahului dengan penilaian yang tepat oleh
ahlinya
c. Terapi olahraga: untuk meningkatkan kekuatan otot daan meghasilkan korset
alami dari otot abdomen dan punggung, untuk melakukan latihan peregangan
dan relaksasi, untuk meningkatkan kekuatan tulang dengan memberikan
beban mekanik pada tulang-tulang
d. Orthoses, sebagai imobilisasi tulang belakang serta mengkoreksi kifosis dan
scoliosis
14
e. Terapi medikamentosa: terapi kuratif dengan antibiotik, antifungal atau obat
anti tuberculosis, terapi simtomatik dengan obat antiinflmasi dan analgetik,
menghilangkan nyeri dengan blok local atau blok saraf
f. Psikoterapi
g. Panduan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari: panduan gaya hidup dan
kerja yang tidak baik atau memperberat nyeri punggung bawah
15
Artikulasi di antara tulang belakang meliputi intervertebralis, sendi zigapofiseal
dan sendi unkovertebral. 7
a. Diskus intervertebralis
Menempati ruang antar setiap tulang belakang
Disusun oleh pulposus nucleus sentral yang menutup annulus fibrosis
b. Sendi zigapofiseal
Sering dikenal dengan sebutan sendi faset
Dibentuk oleh prosessus artikularis yang menonjol secara superior dan inferior dari
sambungan pedikel dan lamina
c. Sendi unkovertebral
Ditemukan di tulang belakang servikalis
Dibentuk oleh bibir tulang yang menonjol ke superior dari pinggir lateral body ventral
dan artikulasi dengan tepi lateral tulang belakang di atasnya
Pengecualian di atas terdapat pada satu atau dua tulang belakang servikalis (C1 dan
C2). C1 yang juga dikenal sebagai atlas, berisi arkus anterior, 2 massa lateral dan arkus
posterior. Massa lateral dari artikulasi C1 superior dengan acciput (atlanto-sendi
oksipital), di bawah prosessus artikulasi superior dari C2 (sendi atlanto-axial). Odontoid
peg atau dens adalah penonjolan vertical dari tulang yang diperpanjang keluar dari C2 dan
berartikulasi dengan C1 arkus anterior.7
16
Gambar 2.10 Anatomi normal tulang belakang lumbar10
2.3.2 Mielografi
Mielografi merupakan pemeriksaan radiografi alternative dengan menggunakan
fluoroskopi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kelainan pada kanalis spinalis,
diskus intervertebralis atau radiks saraf. Kelainan tersebut anatara lain dapat berupa
hernia diskus, stenosis spinal (penyempitan kanalis spinalis) serta adanya tumor7
17
Namun, pemeriksaan ini sangat jarang dilakukan. Ada kalanya kontras yang
dimasukkan tidak sampai ke dalam ruang subarachnoid, tetapi masuk ke dalam ruang
subdural atau epidural sehingga pemeriksaan harus di ulang kembali. 7
Hasil pencitraan mielografi cukup baik untuk memperlihatkan perbedaan struktur
pada kanalis spinalis. Tapi pertimbangannya adalah pemeriksaan mielografi memerlukan
proses invasive. Sejak pemeriksaan radiografi menggunakan CT dan MRI mengalami
perkembangan, penggunaan mielografi konvensional menjadi sangat jarang dilakukan.
Saat ini MRI dan CT menjadi pilihan utama untuk memeriksa kelainan spinalis untuk
menggantikan peran mielografi. Namun demikian, pemeriksaan mielografi masih
digunakan di beberapa tempat. 7
18
Gambar 2.14 Mielografi cut off pada VL4-57
2.3.3 Pemeriksaan radiologi dengan Computed Tomografi
Computed Tomografi (CT) tulang belakang lumbal merupakan pemeriksaan
radiologi yang menggabungkan teknik sinar X dengan pemanfaatan computer untuk
memperoleh informasi anatomi irisan melintang tulang belakang lumbal.7
Penilaian densitas dalam gambar CT dikenal dengan istilah hiperdens, hipodens,
dan isodens. Hiperdens menunjukkan gambaran putih, hipodens memberikan
gambaran hitam dan isodens memberikan gambaran yang sama dengan organ
sekitarnya. Perbedaan densitas tersebut tergantung pada perbedaan daya serap organ
tubuh terhadap sinar X. Oleh karena itu dibuatlah penomoran image dengan satuan
HU (Hounsfield Unit). Semakin tinggi nilai HU maka densitas gambar semakin tinggi
beberpaa zat telah ditetapkan nilai HU-nya, misalnya densitas air adalah 0 HU dan
udara adalah -1000 HU. 7
Indikasi pemeriksaan CT yaitu7
a. Herniasi Diskus Intervertebralis
CT sering digunakan untuk mengevaluasi adanya protrusi diskus intervertebralis
atau herniasi pada nerve root, cauda equine fibers atau sumsum tulang belakang.
Indikasi ini sering terjadi pada vertebra lumbal dibandingkan dengan servikal
maupun thorakal.
b. Fraktur dan trauma lain
Pada beberaoa center, spiral CT digunakan untuk skrining awal pada penderita
dengan trauma terutama untuk mengevaluasi kepala, leher, dan abdomen. Pada
19
trauma spinal, kelainan pertama dan pentiing yang harus diperhatikan yaitunya
adanya fraktur corpus vertebra.
c. Massa intraspinal
Tujuan utama diagnose CT pada kasus intraspinal yaitu untuk menentukan level
dari massa dan mendiskripsikan gambaran dari massa tersebut. Penambahan
kontras intravena direkomendasikan untuk membantu penegakan diagnosa.
20
penyebab tersering nyeri punggung dan sciatica (nyeri punggung yang menjalar
hingga ke tungkai).
d. Menilai progesifitas dari infeksi atau tumor pada daerah tulang belakang dan
disekitarnya serta melihat perluasaannya pada tulang belakang, medulla spinalis
maupun jaringan di sekitarnya
e. Menilai penyebab kompresi pada medulla spinalis dan saraf
f. Membantu perencanaan prosedur pembedahan, seperti pada kasus dekompresi
saraf yang terjepit atau fusi spina
g. Memantau perkembangan tulang belakang setelah tindakan operasi, seperti
kemungkinan adanya infeksi dan bekas luka
h. Untuk memandu pada injeksi steroid dalam upanya meredakan nyeri punggung
i. Menyelidiki kemungkinan penyebab nyeri punggung, misalnya fraktur kompresi.
21
Gambar 2.17 Potongan midsagital tulang belakang lumbal7
2.4 Spondilolistesis
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata
spondylo yang berarti “tulang belakang (vertebra)”, dan listhesis yang berarti
“bergeser”. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk pergeseran
(biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang dibawahnya.11,12
Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan lumbosakral (kecil
bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang kecil, sendi facet tidak kompeten,
yang dapat bersifat kongenital (bawaan), disebut sebagai spondilolisthesis displastik,
atau mungkin terjadi selama masa remaja karena patah tulang atau cedera pada salah
satu tulang-tulang belakang dari kegiatan olahraga terkait seperti angkat berat, berlari,
berenang, atau sepak bola yang menyebabkan seseorang memiliki spondilolisthesis
isthmic.11,12
Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis dikategorikan oleh sistem
klasifikasi Wiltse:13
1. Displatik
Sendi facet memungkinkan pergeseran kedepan.
Lengkungan neural biasanya masih utuh.
22
2. Isthmic
Lesi dari pars.
Terdapat 3 subtipe: fraktur stress, pemanjangan dari pars, dan fraktur pars
akut.
3. Degeneratif
Spondilolisthesis bisa disebabkan oleh penuaan, umum, dan keausan tulang,
jaringan, otot-otot, dan ligamen tulang belakang disebut sebagai spondilolisthesis
degeneratif.
4. Trauma
Setelah kecelakaan besar atau trauma untuk kembali menghasilkan kondisi yang
disebut spondilolisthesis trauma.
5. Patologis
Jenis terakhir Spondilolisthesis, yang juga yang paling langka, disebut
spondilolisthesis patologis. Jenis Spondilolisthesis terjadi karena kerusakan pada
elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke bagian lain
dari tubuh dan menyebabkan tumor) atau penyakit tulang metabolik. Jenis ini
telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget tulang (dinamai Sir James
Paget, seorang ahli bedah Inggris yang menggambarkan gangguan kronis yang
biasanya menghasilkan tulang membesar dan cacat), tuberkulosis (penyakit
menular mematikan yang biasanya menyerang paru-paru tetapi dapat menyebar
ke bagian lain dari tubuh), tumor sel raksasa, dan metastasis tumor.
Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori spondilolisthesis
adalah penting untuk memahami serta keparahan dari pergeseran yang terbagi menjadi
5 kelas sebelum pengobatan yang tepat untuk kondisi tersebut dapat disarankan.11
Insidensi spondilolisthesis tipe ismik berkisar 5% berdasarkan studi otopsi.
Spondilolisthesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena secara umum
populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4-L5.
Sampai 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini.11
Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis pergeseran dan
usia pasien. Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi klinis dapat berupa nyeri
punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul dan paha posterior,
terutama saat beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi dengan tingkat pergeseran,
meskipun mereka disebabkan ketidakstabilan segmental. Tanda neurologis seringkali
23
berkorelasi dengan tingkat selip dan melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan
refleks yang sesuai untuk pelampiasan akar saraf (biasanya S1).11
Metode yang umum diadopsi untuk menilai tingkat keparahan spondylolisthesis
adalah klasifikasi Meyerding. Klasifikasi ini membagi endplate superior dari vertebra
di bawah menjadi 4 kuartal. Derajatnya tergantung pada lokasi sudut posteroinferior
dari vertebra di atasnya.14-15
Grade I: 0-25%
Grade II: 26-50%
Grade III: 51-75%
Grade IV: 76-100%
Grade V (spondyloptosis):> 100%
24
Gambar 2.20 Spondilolithesis grade 1-516
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non
operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit
neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching
exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam
manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.17
Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang
gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis
tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan untuk operasi
stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu
diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa
gejala, fusi tetap harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien
dengan simptom oleh karena neural kompresi.17
Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda maka fusi harus
dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan operasi
tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%,
pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak
dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis,
habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun.
Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok dan
8% pada tidak perokok. 17
25
2.5 Skoliosis
Skoliosis merupakan kelainan – kelainan pada rangka tubuh berupa
kelengkungan tulang belakang, dimana terjadi pembengkokan tulang belakang kearah
samping kiri atau kanan atau kelainan tulang belakang pada bentuk C atau S.Tulang
belakang melengkung ke lateral (berbentuk S), yang dapat terjadi pada segmen servikal
(leher), torakal (dada), maupun lumbal (pinggang).7
Menurut definisi, skoliosis adalah setiap kelengkungan tulang belakang lateral
dengan sudut Cobb lebih besar dari 10°, meskipun kelengkungan kecil sering tidak
memerlukan penanganan.18
Di bawah ini adalah efek skoliosis terhadap paru dan jantung meliputi:19
Efek Mild skoliosis (kurang dari 20o tidak begitu serius, tidak memerlukan
tindakan dan hanya dilakukan monitoring)
Efek Moderate skoliosis (antara 25 – 40o ), tidaklah begitu jelas , namun suatu
study terlihat tidak ada gangguan, namun baru ada keluhan kalau dilakukan
exercise.
Efek Severe skoliosis (> 400 ) dapat menimbulkan penekanan pada paru,
pernafasan yang tertekan, dan penurunan level oksigen, dimana kapasitas paru
dapat berkurang sampai 80%. Pada keadaan ini juga dapat terjadi gangguan
terhadap fungsi jantung.
Efek Very Severe skoliosis (Over 1000 ). Pada keadaan ini dapat terjadi trauma
pada pada paru dan jantung, osteopenia and osteoporosis.
Beberapa posisi yang akan dijelaskan pada serial scoliosis antara lain seperti
yang akan dijelaskan berikut ini7
Proyeksi PA (AP)
Pada proyeksi PA, foto dilakukan dalam posisi pasien erect dan recumbent
untuk perbandingan. Saat melakukan posisi erect, kedua kaki pasien harus berdiri.
Film hasil foto Ronten ini memperlihatkan tulang belakang thorakalis dan lumbal
hingga 3 cm di bawah krista iliaka. 7
26
Gambar 2. 21 Hasil foto rontgen pada proyeksi PA (AP) 7
Posisi lateral erect
Pengambilan foto dilakukan dalam posisi lateral erect dengan tangan ke atas dan
di pastikan tidak ada rotasi. Film foto rontgen pada akan tampak thorakalis dan lumbal
dalam posisi lateral, batas film harus tampak krista iliaka. 7
27
Proyeksi PA (AP) Metode Ferguson
Untuk proyeksi ini, foto dalam posisi erect dengan berdiri menggunakan dua kaki
kemudian difoto lagi dalam posisi erect dengan satu kaki (sesuai letak konveksitas
vertebra) menginjak balok yang digunakan sebagai perbandingan. Pada proyeksi ini,
pengambilan foto harus tampak seluruh tulang belakang thorakalis dan lumbal hingga
3 cm inferior krista iliaka. 7
Gambar 2.24 Posisi badan pada proyeksi AP (PA) bending kanan kiri7
28
Manajemen tergantung pada sudut Cobb. Pada sudut yang ringan, observasi
dapat dipertimbangkan, namun untuk pasien dengan sudut Cobb ≥50° intervensi bedah
sering diperlukan.20
29
BAB III
PENYAJIAN KASUS
3.2 Klinis
LBP
Pasien datang dengan keluhan nyeri punggung bawah
30
Interpretasi
Foto v. lumbosacral, AP dan lateral view, hasil:
- Tak tampak soft tissue swelling
- Trabekulasi tulang baik
- Corpus dan pedikel intact, tak tampak discontinuitas tulang
- Tak tampak osteofit maupun subchondral sklerotik
- Tampak corpus VL IV bergeser ke posterior sejauh <25% disertai dengan
penyempitan DIV VL III-IV, IV-V, V-S1
- Tampak lesi densitas udara di DIV VL III-IV
- Tampak v.lumbal meliuk ke sinistra dengan sudut cobb 15 derajat
Kesan:
- Spondilothesis VL IV posterior derajat 1, dengan penyempitan DIV VL III-IV, IV-
V, V-SI
- Skoliosis lumbalies dengan sudut cobb 15 derajat
- Vacum phenomen di DIV VL III-IV
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke RS untan dengan keluhan nyeri punggung bawah. Nyeri Punggung
bawah (NPB)/Low Back Pain (LBP) adalah nyeri yang dirasakan daerah punggung bawah,
dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara
sudut iga terbawah dan lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering
disertai dengan penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki.
Penyebab nyeri punggung bawah dapat dikelompok kan menjadi
1. Nyeri spondilogenik
Nyeri spondilogenik dibagi menjadi 2 yaitu proses degenerative (Degenerasi diskus,
Osteoarthrosis dan Ankylosing spondylitis, Infeksi, Osteokhondritis, Proses metabolic,
Neoplasma) ataupun kelainan struktur (Spondilolistesis, Spondilolisis, Spina bifida,
Trauma
2. Nyeri viserogenik
3. Nyeri vaskulogenik
4. Nyeri neurogenic
5. Nyeri psikogenik
Oleh karena banyaknya penyebab nyeri punggung bawah, perlu untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis dan mengetahui penyebab dari nyeri punggung
bawah tersebut.
Gambar 4.1 AP
32
Gambar 4.2 Lateral
Pada kasus dilakukan pemeriksaan foto polos vertebra lumbosacral dan didapatkan hasil
soft tissue baik, tidak tampak swelling, trabekulasi tulang baik, corpus dan pedikel intact, tak
tampak discontinuitas tulang, tak tampak osteofit maupun subchondral sklerotik.
Namun tampak corpus VL IV bergeser ke posterior sejauh <25%. Hal tersebut disebut
dengan spondilolisthesis. Spondylolisthesis adalah kondisi tulang belakang yang salah satu
ruasnya bergeser ke depan atau belakang dari ruas dibawahnya. Spondylolisthesis dapat
menyebabkan kelainan struktur tulang belakang, penekanan pada nerve roots, dan kerusakan
pada facet joint. Hal ini jarang terjadi pada pasien dengan usia dibawah 50 tahun dan pergeseran
paling sering terjadi pada L4-L5. Hal ini sesuai dengan kasus yaitu terjadi pergeseran tersebut
pada L4. Klasifikasi spondilotehsis dibagi berdasarnya derajatnya. Derajatnya tergantung pada
lokasi sudut posteroinferior dari vertebra di atasnya.
Grade I: 0-25%
Grade II: 26-50%
Grade III: 51-75%
Grade IV: 76-100%
Grade V (spondyloptosis):> 100%
33
Perhitungan derajat:
34
Gambar 4.4 Cobb angle22
15o
35
Pada kasus ditemukan scoliosis dengan Cobb Angel 15o. Skoliosis ini termasuk scoliosis
ringan sehingga belum diperlukan tindakan pembedahan dan observasi perllu
dipertimbangkan.
Ditemukan pula vacuum phenomenon pada kasus. Vacuum phenomenon terlihat di
diskus intervetrebalisis biasanya merupakan hasil akumulasi gas (terutama nitrogen) di dalam
celah diskus intervetebralis atau vertebra yang berdekatan. Hal ini adalah kejadian yang relatif
umum yang dapat diamati pada 1-3% radiografi tulang belakang dan bahkan dapat mencapai
prevalensi 20% pada individu lansia.23
Ha ini biasanya terjadi dalam hubungan dengan penyakit degeneratif diskus
intervertebralis. Namun, keberadaan gas tidak secara kategoris menyiratkan hanya penyakit
diskus degeneratif, karena proses lain dapat menyebabkan diskus yang mengandung gas.
Contoh kondisi lain dengan gas meliputi:24
Vertebral osteomyelitis
Schmorl node formation
Spondylosis deformans
36
BAB V
KESIMPULAN
Pasien atas nama Tn.H umur 68 tahun datang dengan keluhan nyeri punggung bawah.
Dari hasil pemeriksaan radiologi didapatkan tak tampak soft tissue swelling, Trabekulasi tulang
baik, Corpus dan pedikel intact, tak tampak discontinuitas tulang, tak tampak osteofit maupun
subchondral sklerotik, tampak corpus VL IV bergeser ke posterior sejauh <25% disertai dengan
penyempitan DIV VL III-IV, IV-V, V-S1, Tampak lesi densitas udara di DIV VL III-IV,
Tampak v.lumbal meliuk ke sinistra dengan sudut cobb 15 derajat. Sehingga dapat disimpulkan
pasien mengalami nyeri punggung bawah disebabkan oleh adanya spondilothesis VL IV
posterior derajat 1, dengan penyempitan DIV VL III-IV, IV-V, V-SI dan terdapat skoliosis
lumbalies.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktis Klinis Neurologi. Jakarta:
PERDOSSI; 2016.
2. Panduwinata W. Peranan Magnetic Resonance Imaging dalam Diagnosis Nyeri Punggung
Bawah Kronik. CDK-215. 2014;41(4):260-4
3. Deyo, Richard A., and James N. Weinstein. “Low Back Pain Aff ects Men and Women
Equally, with Onset Most Often Between the Ages of 30 and 50 Years. It Is the Most
Common Cause of Work-related Disability in People Under 45 Years of Age and the Most
Expensive.” N Engl J Med 344:2001;5.
4. Aninditha T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Departemen Neurologi FKUI;
2017
5. Wand, Benedict, and Neil O’Connell. “Chronic Non-specifi c Low Back Pain – Sub-groups
or a Single Mechanism?” BMC Musculoskeletal Disorders 9, no. 1 (2008): 11.
6. Pellisé, et al “Prevalence of Low Back Pain and Its Eff ect on Health-related Quality of Life
in Adolescents.” Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine 163, no. 1 (2009): 65.
7. Yueniwati Y. Prosedur Pemeriksaan Radiologi Untuk Mendeteksi Kelainan dan Cedera
Tulang Belakang. Malang: UB Press; 2014
8. Moore K, Dalley A, Agur A. Clinically Oriented Anatomy. 6th Edition. Philadelphia:
Lipincott William and Wilkins; 2010.
9. Meliala L. Patofisiologi Nyeri pada Nyeri Punggung Bawah. Dalam: Meliala L, Nyeri
Punggung Bawah, Kelompok Studi Nyeri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Jakarta: 2003.
10. Lisle D. Imaging for Students Fourth Edition. Brisbane: Hodder Arnold; 2012.
11. Sjamsuhidajat R, Jong W. Spondilolistesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2.
Jakarta: EGC; 2005: 835
12. Medical Disability Guidelines, 2009. Spondylolisthesis. Didapat dari:
http://www.mdguidelines.com/spondylolisthesis/definition
13. Wiltse LL. Classification, Terminology and Measurements in Spondylolisthesis. Iowa
Orthop J. 1981; 1: 52–57.
14. Meyerding HW. Spondyloptosis. Surg Gynaecol Obstet. 1932;54:371–377.
15. He LC, Wang YX, Gong JS, Griffith JF, Zeng XJ, Kwok AW, Leung JC, Kwok T, Ahuja
AT, Leung PC. Prevalence and risk factors of lumbar spondylolisthesis in elderly Chinese
men and women. (2014) European radiology. 24 (2): 441-8.
38
16. El-Feky M, Gailard F. Spondylolisthesis. https://radiopaedia.org/articles/spondylolisthesis
17. Irani, Z. Spondylolisthesis Imaging. http://emedicine.medscape.com/article/396016-
overview#showall
18. Kim H, Kim HS, Moon ES et-al. Scoliosis imaging: what radiologists should know.
Radiographics. 2010;30 (7): 1823-42.
19. Malfair,D. Radiographic Evaluation of Scoliosis: Review. 2010. Di unduh dari :
http://www.ajronline.org/doi/full/10.2214/AJR.07.7145
20. Reamy BV, Slakey JB. Adolescent idiopathic scoliosis: review and current concepts.
American family physician.2001;64 (1): 111-6.
21. Langensiepen S, Semler O, Sobottke R et-al. Measuring procedures to determine the Cobb
angle in idiopathic scoliosis: a systematic review. Eur Spine J: 1-12
22. https://radiopaedia.org/articles/cobb-angle?lang=us
23. D'Anastasi M, Birkenmaier C, Schmidt GP et-al. Correlation between vacuum
phenomenon on CT and fluid on MRI in degenerative disks. AJR Am J Roentgenol.
2011;197 (5): 1182-9.
24. Lafforgue PF, Chagnaud CJ, Daver LM et-al. Intervertebral disk vacuum phenomenon
secondary to vertebral collapse: prevalence and significance. Radiology. 1994;193 (3):
853-8.
39