Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Manggis adalah buah yang terdpat di wilayah tropis dan berlimpah di
Kalimantan Barat, manggis sebelumnya hanya dikonsumsi sebagai
pelengkap makanan atau pencuci mulut. Ikhwan dan Akhwani adalah
mahasiswa FK UNTAN yang melakukan penelitian terhadap khasiat buah
manggis. Pada penelitian mereka didapatkan hasil bahwa ekstrak kulit
manggis memiliki khasiat antimikroba yang dapat dibuktikan dengan
terhentinya kolonisasi streptokokuks yang telah dibiakkan pada media
khusus.
1.2. Kata Kunci
a. Ekstrak kulit manggis
b. Antimikroba
c. Kolonisasi Streptococcus
1.3. Rumusan Masalah
Bagaimana aktivitas

ekstrak kulit manggis

terhadap pertumbuhan

Streptococcus?

1.4. Analisis Masalah


Identifikasi
tanaman obat

Proses
ekstraks

Tanam
an
manggi
Kulit
Zat
aktif
metabo
lit

saponi

Menghambat sintesis dinding sel


bakteri

steroid

Mengganggu permeabilitas
dinding sel

Tanin

Menghambat sintesis protein

Alkaloi

Mengganggu metabolisme
bakteri

Flavono
id

Menghambat sintesis asam


nukleat

Xantho
Polyfhen
ol

Menghambat pertumbuhan
bakteri
Menghambat kerja enzim bakteri

Potensi
antibakt
eri

Pertumbuhan
Stereptococcus
terhambat
Terbentu
k zona
hambat

1.5. Hipotesis
Ekstrak kulit manggis mengandung senyawa metabolit sekunder yang
memiliki aktivitas antimikroba terhadap pertumbuhan Sterptococcus.
1.6. Pertanyaan Diskusi
1 Kajian medikolegal obat tradisional
2 Bagaimana identifikasi tanaman obat
3 Tanaman obat yang termasuk Fitofarmaka di Indonesia
4 Sebutkan taksonomi tanaman manggis
5 Jlskan morfologi tanaman manggis
6 Sebutkan kandungan dari buah dan kulit manggis
7 Sbtkan manfaatnya kulit manggis
8 Jelaskan efek farmakologi tanaman manggis
9 Apakah ekstrak kulit manggis dapat digunakan sebagai antibiotikpada
streptococcus
10 Bagaimana efektivitas ekstrak kulit manggis dibandingkan dg lini
11
12
13
14

pertamaterhadap infeksi streptococcus


Bagaimana proses ekstraksi
Jlskan cara skrining fitokimia
Tahapan uji prekinis
Tahapan uji klinis

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Kajian Medikolegal Obat Tradisional
Obat tradisional menurut UU No. 23/1992 tentang kesehatan adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun temurun telah di gunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.1 Beberapa pasal lain mengenai obat tradisional yang terdapat
pada UU No. 23/1992 antara lain adalah1:
1

Pasal 40 ayat (2) yaitu: Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional
dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar atau
persyaratan yang ditentukan.

Pasal 41 ayat (1) yaitu : Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya

dapat diedarkan setelah mendapat ijin edar.


Pasal 41 ayat (2) yaitu: Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan
alat

kesehatan

harus

memenuhi

persyaratan

objektifitas

dan

kelengkapan serta tidak menyesatkan.


Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus
memenuhi

persyaratan

objektifitas

dan

kelengkapan

serta

tidak

menyesatkan. Obat tradisional termasuk dalam sediaan farmasi dalam UU


No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang harus mengikuti ketentuan
sesuai pasal-pasal berikut dari UU tersebut:
1

Pasal 100
(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman
digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau
pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya.
(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku
obat tradisional.

Pasal 101
(1) Masyarakat
mengolah,

diberi

kesempatan

memproduksi,

yang

seluas-luasnya

mengedarkan,

untuk

mengembangkan,

meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat


dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan,

meningkatkan,

dan

menggunakan

obat

tradisional diatur dengan Peraturan Pemerintah.


3

Pasal 104
(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan
untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh
penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
memenuhi

persyaratan

mutu

dan/atau

keamanan

dan/atau

khasiat/kemanfaatan.
(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan secara
rasional.

Pengobatan tradisional menurut Keputusan Menkes RI Nomor


1076/MENKES/SK/VII/2003 merupakan pengobatan dan/atau perawatan
dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman,
ketrampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.2
Pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan
dan/atau perawatan cara lain diluar ilmu kedokteran dan/atau ilmu
keperawatan yang dilakukan sebagai upaya peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan/atau pemulihan
kesehatan. Pengobatan tradisional hanya dapat dilakukan apabila2:
a

tidak membahayakan jiwa atau melanggar susila dan kaidah agama


serta kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diakui di

b
c

Indonesia.
aman dan bermanfaat bagi kesehatan;
tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan

masyarakat;
tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam
masyarakat;
Pengobat tradisional adalah orang yang melakukan pengobatan
tradisional (alternatif) dan pengobat tradisional asing adalah pengobat
tradisional Warga Negara Asing yang memiliki visa tinggal terbatas atau
izin tinggal terbatas atau izin tinggal tetap untuk maksud bekerja di
Wilayah Republik Indonesia. Pengobat tradisional yang melakukan
pekerjaan/praktik sebagai pengobat tradisional harus memiliki STPT atau
SIPT.2
Surat Terdaftar Pengobat Tradisional yang selanjutnya disebut STPT
adalah bukti tertulis yang diberikan kepada pengobat tradisional yang telah
melaksanakan pendaftaran. Surat Izin Pengobat Tradisional (SIPT) adalah
bukti tertulis yang diberikan kepada pengobat tradisional yang metodenya
telah dikaji, diteliti dan diuji terbukti aman dan bermanfaat bagi
kesehatan.2
Pengobat tradisional harus memberikan informasi yang jelas dan
tepat kepada pasien tentang tindakan pengobatan yang dilakukannya

secara lisan yang mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan


pengobatan yang dilakukan. Semua tindakan pengobatan tradisional yang
akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan pasien
dan/atau keluarganya yang dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
Setiap tindakan pengobatan tradisional yang mengandung risiko tinggi
bagai pasien harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.2
Pengobat tradisional hanya dapat menggunakan peralatan yang aman
bagi kesehatan dan sesuai dengan metode/keilmuannya namun pengobat
tradisional dilarang menggunakan peralatan kedokteran dan penunjang
diagnostik kedokteran. Penggunaan obat tradisional harus memenuhi
standar

dan/atau

persyaratan

sesuai

dengan

ketentuan

peraturan

perundang-undangan yang berlaku.


Pengobat tradisional dapat memberikan:2
a

obat tradisional yang diproduksi oleh industri obat tradisional

(pabrikan) yang sudah terdaftar serta memiliki nomor pendaftaran.


obat tradisional racikan.
Beberapa larangan terhadap pengobat tradisional antara lain adalah2:
a

Pengobat tradisional dalam memberikan pelayanan wajib membuat

catatan status pasien.


Pengobat tradisional dilarang memberikan dan/atau menggunakan
obat modern, obat keras, narkotika dan psikotropika serta bahan

berbahaya.
Pengobat tradisional dilarang menggunakan obat tradisional yang
diproduksi oleh industri obat tradisional (pabrikan) yang tidak
terdaftar dan obat tradisional racikan yang bahan bakunya tidak

memenuhi persyaratan kesehatan.


Pengobat tradisional dilarang mempromosikan diri secara berlebihan
dan memberikan informasi yang menyesatkan.
Pengobat tradisional wajib melaporkan kegiatannya tiap 4 (empat)

bulan sekali kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Laporan


meliputi jumlah dan jenis kelamin pasien, jenis penyakit, metode dan cara
pengobatannya. Pengobat tradisional yang tidak mampu mengobati

pasiennya atau pasien dalam keadaan gawat darurat, harus merujuk


pasiennya ke sarana pelayanan kesehatan terdekat.2
Toko Obat Tradisional adalah tempat menyimpan, melayani dan
menjual obat tradisional. Toko Obat Tradisional dilarang menyimpan,
melayani, dan menjual obat tradisional yang diproduksi oleh industri obat
tradisional (pabrikan) yang tidak memiliki nomor pendaftaran sesuai
ketentuan peraturan yang berlaku.2
Bahan obat tradisional yang tidak terkena wajib daftar hanya boleh
digunakan dengan memperhatikan keamanan, kemanfaatan, mutu dan
ketentuan lain yang ditetapkan. Toko Obat Tradisional hanya boleh
menyerahkan ramuan berdasarkan permintaan tertulis dari pengobat
tradisional yang telah terdaftar. Toko Obat Tradisional wajib membuat
catatan. Toko Obat Tradisional bertanggung jawab terhadap keamanan,
mutu, dan keabsahan obat tradisional yang dikelola.2
2.2.Identifikasi Tanaman Obat 3,4
Ada beberapa tahapan dalam melakukan identifikasi tanaman obat, yaitu :
1. Pra-eksplorasi,

yaitu

mencari

informasi

dari

dinas/instansi/balai/lembaga terkait tentang jenis dan habitat tumbuhan


obat pada yang menjadi sasaran eksplorasi. Disamping itu, juga
dilakukan pencarian atau pengumpulaninformasi dari masyarakat
(pengobat

tradisional)

di

daerah

tersebut

tentang

jenis

dan

manfaat/khasiat tumbuhan obat yang ada, serta studi literatur untuk


melengkapi dan menyempurnakan informasi yang diperoleh dari
masyarakat.
2. Pengumpulan contoh tanaman obat, setelah kegiatan pra-eksplorasi
dilakukan, kemudian dilakukan pencarian dan pengumpulan contoh
tumbuhan obat secara bertahap dengan mengandalkan masyarakat lokal
sebagai guide dan sumber informasi, juga perlu buku manual tumbuhan
obat untuk konfirmasi morfologinya. Bagian tanaman yang akan
dikumpulkan dan dikoleksi adalah biji atau bagian vegetatifnya, daun,
bunga, buah atau seluruh tanaman, sebagai bahan perbanyakan
tanaman.

3. Deskripsi Tumbuhan Obat. Deskripsi tanaman obat dilakukan


bersamaan dengan pengumpulan contoh tanaman. Karakterisasi
tumbuhan obat yang ditemukan meliputi habitus tanaman, bentuk
batang, daun dan bunga, bagian tanaman yang bermanfaat dan
berkhasiat. Khusus untuk bagian tanaman yang bermanfaat dan
berkhasiat tidak sepenuhnya mengandalkan informasi dari masyarakat,
tetapi juga akan ditambah dengan hasil-hasil penelitian (jurnal dan/atau
prosiding) yang terbaru dari berbagai ahli dan dari berbagai sumber
literatur, serta melakukan determinasi tumbuhan yang telah didapatkan.
4. Teknik Analisis Data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara
deskriptif kualitatif. Mendeskripsikan ciri dan karakter dari spesies
tumbuhan obat yang ditemukan, kemudian menguraikan morfologi
tumbuhan dan hirarki taksonominya. Hal yang lain, juga dapat
melakukan klasifikasi berdasarkan famili yang sama untuk semua
tanaman obat yang berhasil diidentifikasi dari desa tersebut.
5. Persiapan Uji Laboratorium. Perbedaan kondisi lingkungan tempat
tumbuh dapat menyebabkan perbedaan jenis dan jumlah dari metabolit
sekunder yang terkandung dalam tanaman (Kardono, 2003). Selain itu
hal yang menyebabkan perbedaan kandungan metabolit sekunder yaitu
genetik, metode budidaya, waktu pengumpulan, serta pengolahan pasca
panen (Biradar, 2010). Maka dari itu perlu dilakukan penentuan
kandungan kimia pada tanaman tersebut. Diperlukan perencanaan
dalam melakukan uji kandungan kimia pada tumbuhan, termasuk alat,
bahan, tata cara, hingga jumlah sampel yang dibutuhkan.
6. Uji Skrining Fitokimia, Skrining fitokimia merupakan

tahap

pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk


memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung
dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia
dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan
suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting dalam
skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi.
Apabila pada skrining fitokimia didapatkan zat-zat kimia yang

berpengaruh baik pada kesehatan tubuh, maka tanaman tersebut dapat


digolongkan sebagai tanaman obat.
2.3.Tanaman Obat Yang Termasuk Fitofarmaka Di Indonesia
2.4.Taksonomi Tanaman Manggis 5
Kingdom

Plantae

Divisi

Spermatophyta

Subdivisi

Angiospermae

Kelas

Magnoliopsida

Subkelas

Dilleniidae

Ordo

Theales

Familia

Clusiaceae

Genus

Garcinia

Spesies

Garcinia mangostana L.

2.5.Morfologi Tanaman Manggis 6


Tabel 2.1. Morfologi tanaman manggis
Batang

Tegak, kulit batang coklat memiliki

Daun

getah kuning.
Tunggal, posisi daun berhadapan atau
bersilang

berhadapan.

Helai

daun

mengkilap di permukaan, permukaan


atas hijau gelap dengan permukaan
bawah hijau terang, berbentuk elips
memanjang, ukuran 12-23 cm x 4,5-10
Bunga

cm, tangkai 1,5-2 cm.


Bunga betina 1-3 di ujung batang,
susunan menggarpu, garis tengah 5-6
cm. Memiliki 4 daun kelopak, dua
daun kelopak yang terluar berwarna
hijau kuning, dua yang terdalam lebih

kecil bertepi merah, melengkung kuat


Buah

tumpul.
Bentuk bola tertekan, garis tengah,
3,5-7 cm, ungu tua dengan kepala
putik duduk (tetap), kelopak tetap
dinding buah tebal, berdaging, ungu,

Biji

dengan getah kuning.


Memiliki biji 1-3 butir, diselimuti oleh
selaput biji yang tebal bair, putih,
dapat dimakan (termasuk biji yang
gagal tumbuh sempurna)

2.6.Kandungan Dari Buah Dan Kulit Manggis 7,8,9,10


Selain buahnya yang mengandung banyak kandungan kimiawi, kulit
buah manggis pun terdapat banyak kandungan kimiawi yang biasa
dimanfaatkan untuk pewarna alami dan bahan baku obat-obatan.12 Kulit
buah manggis mengandung senyawa xanthone yang meliputi mangostin,
mangostenol, mangostenon A, mangostenon B, trapezifolixanton, tovopilin
B, mangostin, mangostin, garcinon B, flavonoid, dan tannin. Senyawa
xanthoneini hanya dihasilkan oleh genus Garcinia.
Pada kulit pohon manggis terdapat senyawa tannin, dan dibagian
kulit buah manggis mengandung 7-13% tannin, sedangkan bijinya
mengandung 3% minyak, resin, dan zat pahit yang dinamakan mangostin.
Menurut Nadkarni, pada kulit buah manggis terdapat 5,5% tanin, resin
yang berwarna kuning kristalin dan zat pahit yang dinamakan mangostin
(C20H22O5). Pada daging buahnya juga terdapat kandungan sakarosa
sebesar 10,8%, dekstrosa sebesar 1%, dan kerelosa sebesar 1,2%.
Menurut penelitian Jung dan Suksarman, Xanthone merupakan
kandungan kimiawi yang paling utama terkandung dalam kulit buah
manggis. Xanthone merupakan senyawa yang terdiri dari cincin aromatic
trisiklik yang disubstitusi dengan berbagai macam gugus fenolik, metoksi,
dan isoprene. Kulit dari pohon manggis, kulit buah manggis, maupun
lateks kering Garcinia mangostana L. Banyak terkandung sejumlah zat

warna kuning yang berasal dari dua metabolit yaitu -mangostin dan mangostin. Xanthone memiliki senyawa turunan lainnya seperti 9hydroxycalabaxanthone, 3-isomangostin, gartanin, 8-desoxygartanin, mangostin dan metoksi mangostin. Senyawa -mangostin inilah yang
merupakan senyawa paling banyak ditemukan dalam kulit buah manggis.
Kulit buah manggis mengandung alfa mangostin, -mangostin, dan
garsinon B yang mempunyai aksi sebagai anti-tuberkulosis karena dapat
menghambat Mycobacterium tuberculosis dengan Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) sebesar 6,25 g/ml. Ekstrak metanol dari kulit terluar
Garcinia mangostana mempunyai efek antiproliferasi kuat, antioksidasi,
dan menginduksi apoptosis. Kulit terluar Garcinia mangostana dapat
menghambat pertumbuhan dari sel leukemia HL60.
Hasil uji skrining fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit
buah manggis (Garcinia mangostana L.) mengandung senyawa golongan
alkaloid, triterpenoid, saponin, flavonoid, tannin dan polifenol. Sedangkan
pada hasil skrining fitokimia pada ekstrak metanol kulit buah manggis
menunjukan hasil positif terhadap senyawa kimia golongan saponin,
triterpenoid, tanin dan polifenol, flavonoid serta alkaloid., sedangkan
menunjukan hasil negatif terhadap senyawa steroid dan glikosida Pada
bagian daging buah manggis mengandung sukrosa 10.8% dan dekstrosa
1%
2.7.Manfaatnya Kulit Manggis
Dari beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan diketahui
bahwa rebusan kulit buah manggis memiliki efek antidiare. Sedangkan
buah manggis muda memiliki efek speriniostatik dan spermisida. Secara
tradisional buah digunakan untuk mengobati diare, radang amandel,
keputihan, disentri, wasir, dan borok. Selain itu juga dipakai sebagai
peluruh dahak dan sakit gigi. Sedangkan kulit buah digunakan untuk
mengobati sariawan, disentri, nyeri urat, sembelit dan kulit batang
digunakan untuk mengatasi nyeri perut dan akar untuk mengatasi haid
yang tidak teratur.

2.8.Efek Farmakologi Tanaman Manggis 11-32


a. Aktivitas antihistamin
Dalam reaksi alergi, komponen utama yang mengambil beran
penting adalah sel mast, beserta mediator-mediator yang dilepaskannya
yaitu histamin dan serotonin. Allergi disebabkan oleh respon imunitas
terhadap suatu antigen ataupun alergen yang berinteraksi dengan
limfosit B yang dapat memproduksi imunoglobulin E (IgE).
Imunoglubulin E yang diproduksi kemudian menempel pada reseptor
FcRI pada permukaan membran sel mast. Setelah adanya interaksi
kembali antara antigen-antibodi, akan merangsang sel mast untuk
melepaskan

histamin. Berhubungan dengan reaksi alergi atau

pelepasan histamin tersebut,


Chairungsrilerd et al. melakukan pengujian ekstrak metanol kulit
buah manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi yang
diinduksi oleh histamin maupun serotonin. Dari analisa komponenkomponen aktif dari fraksi lanjutan hasil dari kromatografi gel silika,
mengindikasikan bahwa senyawa aktifnya adalah alfa dan gamma
mangostin. Alfa mangostin sendiri mampu menunjukkan aktivitas
penghambatan kontraksi trakea marmut terisolasi dan aorta torak kelinci
terisolasi, yang diinduksi simetidin, antagonis reseptor histamin H2.
Namun, senyawa tersebut tidak menunjukkan aktivitas pada kontraksi
yang diinduksi karbakol, fenilefrin dan KCl. Alfa mangostin juga
mampu menghambat ikatan [3H]mepiramin terhadap sel otot polos arta
tikus. Senyawa terakhir tersebut merupakan antagonis spesifik bagi
reseptor histamin H1. Dari analisa kinetika ikatan [3H] mepiramin
megnindikasikan bahwa alfa mangostin menghambat secara kompetitif.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa alfa mangostin tersebut
dikategorikan sebagai pengeblok reseptor histaminergik khususnya H1,
sedangkan gamma mangostin sebagai pengeblok reseptor serotonergik
khususnya 5-hidroksitriptamin 2A atau 5HT2A.

Lebih lanjut, Nakatani et al. melakukan penelitian ke arah


mekanisme ekstrak kulit buah manggis tersebut. Pada penelitian
tersebut ekstrak kulit manggis yaitu : etanol 100%, 70 %, 40% dan air,
diuji terhadap sintesa prostaglandin E2 dan pelepasan histamin. Ekstrak
etanol 40% menunjukkan efek paling poten dalam menghambat
pelepasan histamin dari sel 2H3- RBL yang diperantarai IgE. Semua
ekstrak kulit buah manggis mampu menghambat sintesa PGE2 dari sel
glioma tikus yang diinduksi Ca2+ ionophore A23187. Pada reaksi
anafilaksis kutaneus pasif, semua ekstrak kulit manggis juga
menunjukkan aktivitas penghambatan reaksi tersebut. Dari penelitian
ini, ekstrak etanol 40 % buah manggis adalah paling poten dalam
menghambat sintesa PGE2 dan pelepasan histamin.
b. Antiinflamasi
Penelitian mengenai aktivitas antiinflamasi dari kulit buah
manggis sampai saat ini baru dilakukan pada tahapan in vitro dan untuk
tahap in vivo baru pada penelitian dengan metode tikus terinduksi
karagenen. Dari hasil penelitian diduga bahwa senyawa yang
mempunyai aktivitas anti-inflamasi adalah gamma-mangostin. Gammamangostin merupakan xanton bentuk diprenilasi tetraoksigenasi,
struktur kimia bisa dilihat pada Nakatni et al. melakukan penelitian
aktivitas anti-inflamasi in vitro dari gamma mangostin terhadap sintesa
PGE2 dan siklooksigenase (COX) dalam sel glioma tikus C6. Kedua
senyawa dan enzim tersebut merupakan mediator terpenting dalam
terjadinya reaksi inflamasi. Gamma-mangostin menghambat secara
poten pelepasan PGE2 pada sel glioma tikus C6 yang diinduksi Ca2+
ionophore A23187. Gammamangostin menghambat perubahan asam
arakidonat menjadi PGE2 dalam mikrosomal,ini ada kemungkinan
penghambatan pada jalur siklooksigenase. Pada percobaan enzimatik in
vitro, senyawa ini mampu menghambat aktivitas enzim COX-1 dan
COX-2. Namun, senyawa tersebut tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap : (1) fosforilasi sinyal ekstraseuler p42/p44 yang
diinduksi

A23187,

yang

mengatur

protein

kinase

teraktivasi

kinase/mitogen, dan (2) pelepasan [14C]-asam arakidonat dari sel yang


terlabel [14C]-AA tersebut. Dari penelitian ini, gamma mangostin
mempunyai aktivitas anti-inflamasi dengan menghambat aktivitas
siklooksigenase (COX).
Lebih lanjut, Nakatani et al. mengkaji pengaruh gammamangostin terhadap ekspresi gen COX-2 pada sel glioma tikus C6.
Gamma mangostin menghambat ekspresi protein dan mRNA COX-2
yang diinduksi lipopolisakarida, namun tidak berefek terhadap ekspresi
protein COX-1. Lipopolisakarida berfungsi untuk stimulasi fosforilasi
inhibitor kappaB (IkappaB) yang diperantarai IkappaB kinase, yang
kemudian terjadi degradasi dan lebih lanjut menginduksi translokasi
nukleus NF-kappaB sehingga mengaktivasi transkripsi gen COX-2.
Berkaitan dengan itu, gamma mangostin tersebut juga menghambat
aktivitas IkappaB kinase dan menurunkan degradasi IkappaB dan
fosforilasi yang diinduksi LPS.

Pada luciferase reporter assay,

senyawa tersebut menurunkan aktivasi NF-kappaB diinduksi LPS dan


proses transkripsi gen COX-2 yang tergantung daerah promoter gen
COX-2 manusia. Temuan tersebut didukung hasil penelitian in vivo,
gamma mangostin mampu menghambat inflamasi udema yang
diinduksi karagenen pada tikus. Dari penelitian ini dapat dibuat
resume : gamma mangostin secara langsung menghambat aktivitas
enzim Ikappa B kinase, untuk kemudian mencegah proses transkripsi
gen COX-2 (gen target NFkappaB), menurunkan produksi PGE2 dalam
proses inflamasi.
C. Anti-oksidan
Dalam Moongkarndi et al. melaporkan bahwa ekstrak kulit buah
manggis berpotensi sebagai antioksidan. Selanjutnya, Weecharangsan et
al. menindak-lanjuti hasil penelitian tersebut dengan melakukan
penelitian aktivitas antioksidan beberapa ekstrak kulit buah manggis
yaitu ekstrak air, etanol 50 dan 95%, serta etil asetat. Metode yang
digunakan

adalah

penangkatapan

radikal

bebas

2,2-difenil-1-

pikrilhidrazil. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ekstrak

mempunyai potensi sebagai penangkal radikal bebas, dan ekstrak air


dan etanol mempunyai potensi lebih besar. Berkaitan dengan aktivitas
antioksidan tersebut, kedua ekstrak tersebut juga mampu menunjukkan
aktivitas neuroprotektif pada sel NG108-15.
Seiring dengan hasil tersebut, Jung et al. melakukan penelitian
aktivitas antioksidan dari semua senyawa kandungan kulit buah
manggis yang disajikan pada minus mangostingon. Dari hasil skrining
aktivitas antioksidan dari senyawasenyawa tersebut, yang menunjukkan
aktivitas poten adalah : 8-hidroksikudraxanton, gartanin, alphamangostin, gamma-mangostin dan smeathxanton A.
D. Antikanker
Hingga saat ini, pengobatan kanker masih tidak memuaskan. Oleh
karena itu, penelitian penemuan obat kanker masih gencar dilakukan.
Salah satu tanaman obat yang menjadi objek kajian adalah kulit buah
manggis. Ho et al. berhasil mengisolasi beberapa senyawa xanton dan
menguji efek sitotoksisitas pada sel line kanker hati. Berdasarkan
penelitian tersebut, senyawa garsinon E menunjukkan aktivitas
sitotoksisitas paling poten.
Sementra itu, Moongkarndi et al. melaporkan bahwa ekstrak
metanol kulit buah manggis menunjukka aktivitas sangat poten dalam
menghambat proliferasi sel kanker payudara SKBR3, dan menunjukkan
aktivitas apoptosis. Di lain pihak, Matsumoto et al. melakukan uji
serupa yaitu aktivitas antiproliferatif dan apoptosis pada pertumbuhan
sel leukimia manusia HL60. Berbeda dengan hasl penelitian
sebelumnya, alfa-mangostin menunjukkan aktivitas anti-proliferasi dan
apoptosis terpoten diantara senyawa xanton lainnya.
Pada tahun 2004, Matsumoto et al.

melanjutkan penelitian

tersebut untuk mempelajari mekanisme apoptosis dari alfamangostin.


Senyawa tersebut mampu mengaktivasi enzim apoptosis caspase-3 dan
-9, namun tidak pada caspase-8. Alfa mangostin diduga kuat memperantarai apoptosis jalur mitokondria, ini didasari oleh perubahan
mitokondria setelah perlakuan senyawa tersebut selama 1-2 jam.

Perubahan mitokondria tersebut meliputi : pembengkakan sel,


berkurangnya

potensial

membran,

penurunan

ATP

intraseluler,

akumulasi senyawa oksigen reaktif (ROS), dan pelepasan c/AIF


sitokrom sel. Namun, alfa-mangostin tidak mempengaruhi ekspresi
protein famili bcl-2 dan aktivasi MAP kinase. Hasil penelitian tersebut
mengindikasikan bahwa target aksi alfa-mangostin adalah mitokondria
pada fase awal sehingga menghasilkan apoptosis pada sel line leukimia
manusia. Dari studi hubungan struktur aktivitas, gugus hidroksi
mempunyai kontribusi besar terhadap aktivitas apoptosis tersebut.
Melanjutkan temuan di atas, Nabandith et al.

melakukan

penelitian in vivo aktivitas kemopreventif alfa-mangostin pada lesi


preneoplastik putatif yang terlibat pada karsinogenesis kolon tikus,
yang diinduksi 1,2-dimetilhidrazin (DMH). Pemberian senyawa
tersebut selama 4-5 minggu, menghambat induksi dan perkembangan
aberrant crypt foci (ACF), menurunkan dysplastic foci (DF) dan
betacatenin accumulated crypts (BCAC). Pada pelabelan antigen
nukleus sel yang mengalami proliferasi, senyawa tersebut menurunkan
terjadinya lesi focal dan epitelium kolon tikus.
E. Antimikroorganisme
Selain memiliki beberapa aktivitas farmakologi seperti di atas,
kulit buah manggis juga menunjukkan aktivitas antimikroorganisme.
Suksamrarn et al. bersama kelompoknya asal Thailand, melakukan
penelitian potensi antituberkulosa dari senyawa xanton terprenilasi yang
diisolasi dari kulit buah manggis. Seperti pada hasil penelitian
sebelumnya, alfa mangostin, gamma-mangostin dan garsinon B juga
menunjukkan aktivitas paling poten pada percobaan ini. Ketiga
senyawa tersebut menghambat kuat terhadap bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
Hasil temuan tersebut ditindaklanjuti peneliti asal Osaka Jepang,
Sakagami et al. Fokus pada alfa-mangostin, kali ini senyawa tersebut
diisolasi dari kulit batang pohon untuk memperoleh jumlah yang besar.
Alfa mangostin aktif terhadap bakteri Enterococci dan Staphylococcus

aureus yang masing-masing resisten terhadap vancomisin dan metisilin.


Ini diperkuat dengan aktivitas sinergisme dengan beberapa antibiotika
(gentamisin dan vancomisin) terhadap kedua bakteri tersebut.
Sementara itu, Mahabusarakam et al. melakukan pengujian
golongan xanton termasuk mangostin, pada Plasmodium falciparum.
Hasil menunjukkan bahwa mangostin mempunyai efek antiplasmodial
level menengah, sedangkan xanton terprenilasi yang mempunyai gugus
alkilamino menghambat sangat poten.
F. Aktivitas lainnya
Telah disebutkan sebelumnya bahwa alfa-mangostin memiliki
aktivitas antioksidan dan penangkal radikal bebas. Berkaitan dengan
fakta tersebut, alfa-mangostin mampu menghambat proses oksidasi
lipoprotein densitas rendah (LDL) yang sangat berperan dalam
aterosklerosis oleh Williams et al.
Sedangkan Mahabusarakam et al. melaporkan bahwa xanton
terprenilasi juga dapat menghambat proses oksidasi dari LDL tersebut.
Penelitian lainnnya, mangostin dilaporkan menghambat poten terhadap
HIV-1 protease oleh Chen et al. Sementara itu, Gopalakrishnan et al.
melaporkan bahwa senyawa xanton mangostin dari kuliat buah manggis
mampu penghambat pertumbuhan jamur patogenik : Fusarium
oxysporum vasinfectum, Alternaria tenuis, dan Dreschlera oryzae.

2.9.Ekstrak Kulit Manggis Dapat Digunakan Sebagai Antibiotik pada


Streptococcus 33,34,35
Aktivitas antibakteri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya: kandungan senyawa antibakteri, konsentrasi ekstrak, daya
difusi ekstrak dan jenis bakteri yang dihambat. Pemilihan pelarut dalam
ekstraksi akan mempengaruhi senyawa kimia yang akan tertarik sehingga
akan berpengaruh pada aktivitas biologi tanaman tersebut. Pada penelitian
Poeloengan menunjukkan senyawa kimia yang diperoleh pada ekstraksi
kulit manggis menggunakan etanol 70% adalah alkaloid, saponin, tanin,
fenolik, flavonoid, tripterpenoid, steroid dan glikosida. Senyawa kimia

pada kulit manggis tersebut, yang memiliki aktivitas antibakteri


diantaranya adalah saponin, tanin dan flavonoid.
Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri memiliki aktivitas
yang berbeda menurut golongan senyawa fitokimia. Saponin adalah zat
aktif yang mampu meningkatkan permeabilitas membran sehingga apabila
saponin berinteraksi dengan sel bakteri akan menyebabkan hemolisis
bakteri. Tanin mampu menghambat pertumbuhan bakteri pada konsentrasi
rendah, sedangkan pada konsentrasi tinggi tanin bekerja sebagai
antibakteri dengan mengkoagulasi protoplasma bakteri serta mampu
mengeliminasi toksin. Flavonoid memiliki kemampuan mendenaturasi
protein sehingga metabolisme sel bakteri terhenti.
Metabolime sekunder dikenal sebagai xanthone, adalah komponen
yang diisolasi pada ekstrak kulit manggis. Terdapat 40 jenis xanthone yang
ditemukan dalam kulit manggis, derivat xanthone ekstrak kulit manggis
menunjukkan bahwa -mangosteen paling banyak memiliki potensi
aktivitas antibakteri. Ekstrak kulit manggis memiliki daya Antibakteri
spektrum luas dalam menghambat beberapa bakteri gram positif dan gram
negatif, seperti: Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Bacillus subtilis, Propionibacterium acnes, Pseudomonas aeruginosa,
Samonella enteridis dan Eschercia colli.

2.10.

Efektivitas Ekstrak Kulit Manggis Dibandingkan dengan Lini

Pertama terhadap Infeksi Streptococcus 36,37


Terapi lini pertama untuk infeksi bakteri streptococcus umumnya
diberikan antibiotik, salah satunya yaitu amoxicillin. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Hendriani dkk, dilakukan perbandingan efek estrak kulit
buah manggis pada salah satu jenis bakteri streptococcus yaitu
Streptococcus

pyogenes

dengan

kontrol

positif

yaitu

antibiotik

Amoxicillin. Pada penelitian tersebut, didapatkan zona hambat yang


ditimbulkan akibat pemberian ekstrak kulit buah manggis sebesar 0,667
0,3266 mm, sedangkan pada kontrol positif sebesar 4,1 0,2191 mm.
Pada uji statistik menggunakan uji mann whitney didapatkan hasil pada

kontrol positif yaitu p= 0,003 (p<0.05), sedangkan pada esktrak kulit buah
manggis didapatkan hasil p= 0,058 (p<0,05). meskipun kedua hasil
dinyatakan bermakna, tapi dapat kita simpulkan bahwa Amoxicillin
memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibanding ekstrak kulit buah
manggis.
Perbandingan ekstrak kulit manggis dengan obat amoksisilin

Penelitian ini dilakukan oleh Komansilan, Mintjelungan dan


Warowuntu merupakan uji eksperimental untuk mengetahui adanya daya
hambat dari ekstrak kulit manggis terhadap Streptococcus mutans.
Penelitian ini dilakukan dengan cara membiakkan bakteri Streptococcus
mutans dalam media Muller-Hinton Agar disertai dengan pelekatan
cakram kertas saring yang diberi ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana L.) dan juga antibiotik amoksisilin sebagai kontrol positif dan
akuades sebagai kontrol negatif, lalu diinkubasi ke dalam inkubator
dengan suhu 37C selama 24 jam. Zona hambat yang terlihat disekitar
cakram kertas saring ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.)

menunjukan bahwa ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.)


mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans.
Berdasarkan hasil pengamatan, dilakukan tiga kali pengujian dengan
cakram kertas saring yang diberi ekstrak kulit manggis (Garcinia
mangostana L.), dan semua pengujian tersebut menunjukan adanya zona
hambat disekeliling cakram tersebut. Apabila dibandingkan dengan zona
hambat di sekeliling antibiotik amoksisilin luas zona hambat ekstrak kulit
manggis (Garcinia mangostana L.) lebih kecil, sedangkan kertas saring
yang dicelupkan kedalam akuades sebagai kontrol negatif sama sekali
tidak membentuk zona hambat. Berdasarkan hasil penelitian ini
menunjukan bahwa ekstrak kulit Manggis memiliki daya hambat terhadap
bakteri Streptococcus mutans, jika dibandingkan zona hambat yang
dihasilkan kontrol positif Amoksisilin lebih besar daripada zona hambat
yang dihasilkan ekstrak kulit Manggis.

2.11.

Proses Ekstraksi 38
Ekstraksi adalah suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang

dapat larut, sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dalam pelarut air.
Ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan
yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi. Proses ekstraksi
senyawa

antibakteri

dapat

dilakukan

menggunakan

dua

macam

pengekstrak yaitu air dan pelarut organik. Prinsip ekstraksi berdasarkan


kelarutan yaitu pelarut polar melarutkan senyawa polar, pelarut semi polar
melarutkan senyawa semi polar, dan pelarut non polar melarutkan senyawa
non polar.
Ekstraksi dapat dilakukan jika bahan telah dilakukan pemecahan.
Pemecahan dapat dilakukan misalnya dengan menekan atau menggerus
bahan ekstraksi. Untuk alat-alat ekstraksi tertentu harus dijaga agar pada
pengecilan bahan ekstraksi, ukuran partikel yang diperoleh menjadi terlalu
kecil. Bila hal itu terjadi tidak dapat dipastikan bahwa bahan ekstraksi,
ukuran partikel yang diperoleh tidak menjadi terlalu kecil. Bila hal itu

terjadi tidak dapat dipastikan bahwa bahan ekstraksi cukup permeabel


untuk pelarut.
Proses ekstraksi dibedakan menjadi dua fase, yaitu:
1. Fase Pencucian, yaitu penyatuan cairan ekstraksi dengan serbuk sampel
yang menyebabkan sel sel yang rusak saat proses pembuatan serbuk
akan kontak dengan bahan pengekstrak sehingga komponen sel dapat
lebih mudah diambil atau dicuci oleh bahan pengekstrak. Pada fase ini,
bahan aktif akan berpindah ke dalam bahan pengekstrak.
2. Fase Ekstraksi, yaitu membran sel tanaman yang mengering diubah
supaya terjadi perlintasan bahan pengekstrak ke bagian dalam sel. Hal
ini terjadi melalui pembengkakan, sehingga membran mengalami suatu
pembesaran volume melalui pengambilan molekul bahan pengekstrak.
Menurut Harborne dan Dirjen POM, terdapat 5 metode ekstraksi
atau penyarian yang sering digunakan. Kelima metode tersebut adalah
sebagai berikut:
a Ekstraksi secara soxhletasi
Ekstraksi dengan cara

ini

pada

dasarnya

ekstraksi

secara

berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap


penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi
oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif
dalam simplisia. Selanjutnya bila cairan penyari mencapai sifon, maka
seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi.
Demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia
tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada
b

tabung sifon.
Ekstraksi secara perkolasi
Perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan
derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian
cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3
jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator,
ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24
jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga
simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup
dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya.

Ekstraksi secara maserasi


Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia
dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari
cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya
dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah
pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup,
dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu

endapan dipisahkan.
Ekstraksi secara refluks
Ekstraksi dengan cara

ini

pada

dasarnya

adalah

ekstraksi

berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan


cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat
pendingin tegak, lalu dipanaskan sampai mendidih. Cairan penyari akan
menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan
akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian
seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali dan setiap kali
e

diekstraksi selama 4 jam.


Ekstraksi secara penyulingan
Penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia
yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang
tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya
terjadi kerusakan zat aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, maka
penyari dilakukan dengan penyulingan.

2.12.

Cara Skrining Fitokimia


Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-

senyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas
berbagai macam metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas
biologinya. Senyawa-senyawa tersebut dapat diidentifikasi dengan
pereaksi-pereaksi yang mampu memberikan ciri khas dari setiap golongan
dari metabolit sekunder.39 Berbagai metode yang dapat digunakan untuk
identifikasi metabolit sekunder yang terdapat pada suatu ekstrak antara lain:
a

Uji Alkaloid

Alkaloid merupakan senyawa yang banyak terdapat pada tumbuhan.


Larutan ekstrak tumbuhan sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, ditambahkan 5 tetes pereaksi Meyer. Adanya alkaloid ditandai
dengan terbentuknya endapan putih. Endapan putih tersebut merupakan
kompleks kalium-alkaloid yang mana merupakan hasil reaksi nitrogen
pada
b

alkaloid

dengan

ion

logam

K+

dari

kalium

tetraiodomerkurat(II).40,41
Uji Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa yang memiliki lebih dari satu gugus
hidroksil atau disebut senyawa polihidroksi. Larutan ekstrak tumbuhan
sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan
serbuk Mg sebanyak 1 gram dan larutan HCl pekat. Penambahan HCl
pekat bertujuan untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya
yaitu dengan hidrolisis gugus O-glikosil. Gugus glikosil akan
tergantikan oleh H+ dari asam yang memiliki sifat keelektronegatifan
yang kuat. Adanya flavonoid ditandai dengan perubahan warna pada
larutan menjadi warna kuning. Warna kuning yang terbentuk

menunjukkan bahan senyawa flavonoid merupakan senyawa flavon.39,41


Uji Saponin
Saponin pada umumnya berada dalam bentuk glikosida sehingga
cenderung bersifat polar. Larutan ekstrak tumbuhan sebanyak 2 mL
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan air 10 mL,
kemudian didinginkan dan dikocok dengan kuat selama 10 menit
sehingga terbentuk buih. Adanya saponin ditandai dengan terbentuknya

busa yang stabil setinggi 1- 3 cm.39,41


Uji Fenol
Fenol merupakan senyawa yang mudah larut dalam air karena
berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam
vakuola sel. Larutan ekstrak tumbuhan sebanyak 1 mL ditambah
beberapa tetes larutan FeCl3. Warna biru kehijauan atau biru kehitaman

yang terbentuk mengindikasikan adanya fenol.42


Uji Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat larut dalam pelarut
polar seperti air, metanol dan etanol. Larutan ekstrak tumbuhan
ditambahkan larutan gelatin 1%. Terbentuknya presipitat putih

menandakan adanya kandungan tannin. Tanin bereaksi dengan gelatin


membentuk kopolimer yang tidak larut dalam air. Reaksi ini lebih
sensitif dengan penambahan NaCl untuk mempertinggi penggaraman
f

dari tanin-gelatin.39,42,43
Uji Steroid dan Triterpenoid
Larutan ekstrak tumbuhan ditambahkan dengan 2 mL kloroform dan 2
mL H2SO4 pekat. Terbentuknya warna merah pada lapisan bawah
kloroform menandakan adanya steroid dalam ekstrak. Terbentuknya
warna keabu-abuan menandakan adanya kandungan triterpenoid pada

ekstrak.44
2.13.
Tahapan Uji Prekinis

2.14.

Tahapan Uji Klinis

Tahap Uji Klinik 45.46.47.48


Uji Klinik Fase I:
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya
pada manusia. Hal yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan
efetifitasnya dan dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang
tidak menimbulkan efek samping serius. Dosis oral (lewat mulut) yang
diberikan pertama kali pada manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang
menimbulkan efek pada hewan. Tergantung dari data yang diperoleh pada
hewan, dosis berikutnya ditingkatkan sedikit-sedikit atau dengan kelipatan
dua sampai diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul mencari efek
toksik yang mungkin terjadi dilakukan pemeriksaan hemato-logi, faal hati,
urin rutin dan bila perlu pemeriksaan lain yang lebih spesifik.
Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamika dan farmakokinetikanya pada manusia. Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan
untuk meningkatkan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain
itu, hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga
diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses
farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesieses ini dapat ditemukan
maka dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang pada hewan tersebut.

Uji klinik fase I ini dilaksana-kan secara terbuka, artinya tanpa


pembanding dan tidak tersamar, pada sejumlah kecil subjek dengan
pengamatan intensif oleh orang-orang ahli dibidangnya, dan dikerjakan di
tempat yang sarananya cukup lengkap. Total jumlah subjek pada fase ini
bervariasi antara 20-50 orang.
Uji Klinik Fase II
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada
sekelompok kecil penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat.
Tujuannya ialah melihat apakah efek farmakologik yang tampak pada fase
I berguna atau tidak untuk pengobatan. Fase II ini dilaksanakan oleh
orang-orang yang ahli dalam masing-masing bidang yang terlibat. Mereka
harus ikut berperan dalam membuat protokol penelitian yang harus dinilai
terlebih dulu oleh panitia kode etik lokal. Protokol penelitian harus diikuti
dengan dengan ketat, seleksi penderita harus cermat, dan setiap penderita
harus dimonitor dengan intensif.
Pada fase II awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara
terbuka karena masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap ini
biasanya belum dapat diambil kesimpulan yang definitif mengenai efek
obat

yang

bersangkutan

karena

terdapat

berbagai

factor

yang

mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya perjalanan klinik penyakit,


keparahannya, efek placebo dan lain-lain. Untuk membuktikan bahwa
suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik komparatif yang
membandingkannya dengan placebo, atau bila penggunaan plasebo tidak
memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standard yang telah
dikenal. Ini dilakukan pada akhir fase II atau awal fase III, tergantung dari
siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya.
Untuk menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus
acak dan pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. Ini disebut uji
klinik acak tersamar ganda berpembanding.
Pada fase II ini tercakup juga penelitian dosis-efek untuk
menentukan dosis optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta
penelitian lebih lanjut mengenai eliminasi obat, terutama metabolismenya.

Jumlah subjek yang mendapat obat baru pada fase ini antara 100-200
penderita.
Uji Klinik Fase III
Uji klinik fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obatbaru benar-benar berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhit fase II)
dan untuk mengetahui kedudukannya dibanding-kan dengan obat standar.
Penelitian ini sekaligus akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1)
efeknya bila digunakan secara luas dan diberikan oleh para dokter yang
kurang ahli ; (2) efek samping lain yang belum terlihat pada fase II; (3)
dan dampak penggunaannya pada penderita yang tidak diseleksi secara
ketat.(2) Uji klinik fase III dilakukan pada sejumlah besar penderita yang
tidak terseleksi ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu
ahli, sehingga menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari
hari dimasyarakat. Pada uji klinik fase III ini biasanya pembandingan
dilakukan dengan plasebo, obat yang sama tapi dosis berbeda, obat
standard dengan dosis ekuiefektif, atau obat lain yang indikasinya sama
dengan dosis yang ekuiefektif. Pengujian dilakukan secara acak dan
tersamar ganda. Bila hasil uji klinik fase III menunjukkan bahwa obat baru
ini cukup aman dan efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan.
Jumlah penderita yang diikut sertakan pada fase III ini paling sedikit 500
orang.
Uji Klinik Fase IV
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena
merupakan pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektifitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya. Survei ini
tidak tidak terikat pada protokol penelitian; tidak ada ketentuan tentang
pemilihan penderita, besarnya dosis, dan lamanya pemberian obat. Pada
fase ini kepatuhan penderita makan obat merupakan masalah. Penelitian
fase IV merupakan survei epidemiologi menyangkut efek samping maupun
efektifitas obat. Pada fase IV ini dapat diamati (1) efek samping yang
frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-

tahun lamanya, (2) efektifitas obat pada penderita berpenyakit berat atau
berpenyakit ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah
penggunaan berulangkali dalam jangka panjang, dan (3) masalah
penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lainlain. Studi fase IV dapat
juga berupa uji klinik jangka panjang dalam skala besar untuk menentukan
efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas sehingga datanya
menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi. Dewasa ini waktu
yang diperlukan untuk pengembangan suatu obat baru, mulai dari sintesis
bahan kimianya sampai dipasarkan, mencapai waktu 10 tahun atau lebih.
Setelah suatu obat dipasarkan dan digunakan secara luas dapat
ditemukan kemungkinan manfaat lain yang mulanya muncul sebagai efek
samping. Obat demikian kemudian diteliti kembali di klinik untuk indikasi
yang lain, tanpa melalui uji fase I. Hal seperti ini terjadi pada golongan
salisilat yang semula ditemukan sebagai antireumatik dan anti piretik. Efek
urikosurik dan antiplateletnya ditemukan belakangan. Hipoglikemik oral
juga ditemukan dengan cara serupa.
Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan mengikutsertakan
subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji, untuk menemukan
atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau farmakodinamik
lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang tidak diinginkan,
dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi
dengan tujuan untuk memastikan keamanan dan/atau efektifitas produk
yang diteliti.
Cara Uji Klinik yang Baik, yang selanjutnya disebut CUKB adalah
standar untuk disain, pelaksanaan, pencapaian, pemantauan, audit,
perekaman, analisis, dan pelaporan uji klinik yang memberikan jaminan
bahwa data dan hasil yang dilaporkan akurat dan terpercaya, serta bahwa
hak, integritas, dan kerahasiaan subjek uji klinik dilindungi. Persetujuan
Pelaksanaan Uji Klinik, yang selanjutnya disebut PPUK, adalah
persetujuan pelaksanaan uji klinik yang diterbitkan oleh Kepala Badan.
Uji Klinik Obat Herbal yang dilakukan harus:

Memberikan manfaat nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan

b
c

kepentingan masyarakat;
Mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik;
Mendapatkan persetujuan atau menyampaikan notifikasi kepada Kepala
Badan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Tata

Laksana Persetujuan Uji Klinik; dan


Mengacu kepada Pedoman CUKB dan Pedoman Uji Klinik Obat
Herbal.
Uji klinik yang dilakukan di Indonesia dalam rangka pengembangan

produk termasuk uji klinik yang diinisiasi oleh peneliti dengan tujuan
untuk pengembangan produk yang akan dipasarkan, harus dimintakan
persetujuan pelaksanaan uji klinik kepada Badan POM. Penelitian dalam
rangka pendidikan tidak termasuk yang harus dimintakan persetujuan
kepada Badan POM.
Pelaksanaan uji klinik herbal harus mengacu kepada prinsip-prinsip
CUKB, hal tersebut dimaksudkan agar data klinik yang dihasilkan dapat
dipertangggungjawabkan secara ilmiah dan etis sehingga menjadi data
klinik yang shahih, akurat dan terpercaya. Kualitas data yang demikian
diperlukan sebagai data dukung saat registrasi, sehingga keputusan
registrasi yang dihasilkan tidak bias. Selain ditujukan untuk memperoleh
data dengan kualitas sebagaimana disebutkan di atas, prinsip CUKB juga
dimaksudkan untuk melindungi peserta atau subjek manusia yang
berpartisipasi dalam uji klinik.
Para pihak yang terlibat dalam uji klinik harus memahami secara
benar prinsip CUKB yang merupakan standar yang telah diterima secara
Internasional dalam melakukan uji klinik serta baik. Para pihak terkait,
baik sponsor, ORK, peneliti, dan yang terlibat lainnya termasuk pihak
Komisi Etik dan regulator harus memiliki pemahaman yang seimbang
mengenai CUKB. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat peran para
pihak di atas sangat menentukan diperolehnya data klinik yang shahih,
akurat dan terpercaya selain perlindungan kepada manusia yang menjadi
subjek uji klinik.

Sesuai dengan prinsip GCP/CUKB bahwa uji klinik yang akan


dilaksanakan harus dilengkapi dengan protokol yang jelas, rinci dan
lengkap. Peneliti beserta sponsor harus memahami isi dari protokol uji
klinik. Sponsor dapat melaksanakan pertemuan antar peneliti untuk
memahami isi protokol, sehingga dalam pelaksanaan uji terdapat
kesamaan pemahaman di antara tim penelitian, demikian pula dengan
sponsor. Dalam hal diperlukan, sponsor dapat mengontrakan sebagian atau
keseluruhan fungsinya kepada ORK. Namun sponsor tetap bertanggung
jawab terhadap keseluruhan uji klinik tersebut.
Langkah-langkah berikut dapat digunakan sebagai acuan dalam
rangka persiapan pelaksanaan uji klinik:
1

Karakteristik produk uji:


Terhadap produk yang akan diuji dilakukan pemastian tumbuhan:
a. Kebenaran identitas untuk tumbuhan yang digunakan.
b. Tidak termasuk dalam daftar tumbuhan yang dilarang di Indonesia
c. Riwayat penggunaan harus dapat ditelusur apakah herbal yang akan
diuji klinik memiliki riwayat empiris baik untuk indigenus ataupun
nonindigenus.
d. Bagian tumbuhan yang digunakan
e. Identifikasi senyawa aktif/senyawa identitas untuk keperluan

standardisasi
Standardisasi bahan baku dan produk uji:
a. Cara penyiapan bahan baku dan produk uji, termasuk metode
ekstraksi yang digunakan,
b. Metode analisa kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif atau senyawa
identitas.
Proses standardisasi dilakukan agar produk uji di tiap fase uji serta bila
kemudian dipasarkan/diedarkan memiliki keterulangan yang sama.

Pihak sponsor ataupun produsen harus memahami bahwa proses


pembuatan produk uji harus konsisten pada setiap tahap atau fase, dan

proses pembuatan tersebut harus mengacu kepada standar CPOTB.


Lakukan penilaian terhadap data nonklinik yang ada/telah dilakukan,
bagaimana profil keamanan dan/atau aspek lainnya. bagaimana LD50,
data toksisitas akut, subkronik dan atau kronik sesuai kebutuhan untuk
kondisi yang diujikan.

Pertimbangkan

untuk

mengontrak

ORK

bila

diperlukan.

Bila

melakukan kontrak dengan ORK, lengkapi dengan surat perjanjian


kontrak dan dijelaskan fungsi sponsor apa yang dikontrakkan kepada
6
7

ORK.
Persiapkan kompetensi monitor (sponsor/ORK).
Pemilihan tempat pelaksanaan uji klinik dan pemilihan peneliti serta
persiapkan tempat pelaksanaan tersebut. Sponsor memiliki peran
penting dalam pemilihan tempat uji klinik. Pertimbangan utama yang
harus dijadikan landasan pemilihan, antara lain :
a. Terdapat peneliti dengan latar belakang keahlian yang sesuai.
b. Ketersediaan sumber daya, sistem dan fasilitas/perangkat penunjang

di tempat penelitian.
c. Ketersediaan Standard Operating Procedures (SOP).
8 Pembuatan/penyusunan protokol uji klinik.
Elemen dalam protokol uji klinik yang disusun harus jelas dan lengkap,
dimulai dari hal administratif seperti judul, nomor/versi dan tanggal,
nama Peneliti Utama, Nama Koordinator Peneliti (bila ada), hingga
yang bersifat ilmiah, seperti:
a. Desain
Menjelaskan secara singkat desain studi dan secara umum,
bagaimana desain dapat menjawab pertanyaan/tujuan uji. Dapat
memberikan gambaran tipe/desain uji (misal placebo controlled,
double blind, single blind atau open label)
b. Tujuan
Harus tepat sasaran, jelas dan fokus, harus dapat diakomodir oleh
parameter pengukuran khasiat maupun keamanan. Tujuan dapat
terdiri dari tujuan primer dan sekunder ataupun bahkan tersier.
Namun perlu diperhatikan adalah bahwa tujuan uji klinik harus jelas,
tepat sasaran dan fokus.
c. Parameter/endpoint untuk efikasi/khasiat dan keamanan.
Parameter endpoint dimaksud harus dapat menjawab tujuan uji.
9 Penyediaan dokumen uji lain terkait dengan pelaksanaan uji klinik.
10 Persiapkan untuk adanya penjaminan mutu pelaksanaan uji klinik dan
untuk dapat dihasilkannya data yang akurat dan terpercaya.
11 Pengajuan persetujuan untuk dokumen/ pelaksanaan uji klinik.
12 Pertimbangan/peninjauan dan persetujuan uji klinik oleh Komisi Etik
dan regulator.
13 Persetujuan subjek (Informed Consent) dan rekrutmen subjek

Rekrutmen subjek merupakan salah satu tahapan penting sebelum


dimulainya uji klinik. Hal prinsip yang harus diperhatikan dalam hal
ini adalah bahwa (calon) subjek tidak boleh dilakukan tindakan
apapun yang terkait dengan prosedur uji klinik sebelum subjek
mendapat penjelasan dan menyatakan persetujuan yang ditandai
dengan menandatangani informed consent. Pelanggaran terhadap
proses informed consent merupakan pelanggaran yang bersifat
critical.
14 Penapisan (screening) dan penyertaan (enrollment) subjek.
15 Pengelolaan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan maupun pelaporan
lain.
16 Pengelolaan data penelitian
17 Laporan akhir penelitian
Langkah-langkah di atas beberapa dapat dilakukan secara paralel
namun di beberapa langkah lainnya harus dilakukan secara berurutan.
Contoh langkah yang dapat dilakukan paralel seperti pada angka 8, 9, 10,
sedangkan contoh yang harus berurutan seperti pada angka 11,12,13 dan
14. Kelengkapan protokol secara utuh, peran dari peneliti, Komisi Etik,
sponsor, pihak regulator, dokumen yang harus tersedia dan lainnya yang
terkait dapat mengacu kepada Pedoman Cara Uji klinik yang Baik di
Indonesia.
Metode pembuktian dalam uji klinik dapat dilakukan melalui
beberapa pilihan seperti Randomized Control Trial (RCT). Metode ini
merupakan metode uji yang ideal, disebabkan adanya alokasi random
(acak) subjek ke dalam kelompok kontrol atau kelompok produk uji untuk
mengontrol serta mengurangi bias yaitu agar kelompok pembanding dan
kelompok uji mempunyai karakteristik yang relatif sama. Oleh karenanya
metode dengan random sangat dianjurkan dalam pelaksanaan uji klinik.
Pihak industri atau peneliti harus dapat menyesuaikan antara karakteristik
produk uji, tujuan uji serta klaim yang akan diajukan dengan tingkat
pembuktian yang digunakan. Hal tersebut harus dilandasi dengan
justifikasi ilmiah.
Untuk mendapatkan data klinik sesuai kriteria yang ditentukan, uji
klinik perlu didukung metodologi/desain penelitian disertai pelaksanaan

sesuai dengan standar CUKB. Pemilihan metodologi atau desain uji klinik
obat herbal merupakan hal yang sangat penting, karena harus dapat
menjawab tujuan uji klinik dan menentukan seberapa jauh dapat
mendukung klaim yang akan diajukan. Oleh karenanya pemilihan desain
harus dipertimbangkan dengan cermat, mempertimbangkan antara lain:
-

karakteristik produk uji


Tujuan uji klinik dimaksud harus selaras dengan klaim yang akan diajukan
saat registrasi produk.
Riwayat tradisional dan nontradisional produk uji akan menentukan
tahap uji yang harus dilalui. Obat herbal yang akan diuji klinik
memerlukan adanya data uji toksisitas dan minimal diperlukan data LD50.
Fase uji lengkap dalam rangka pembuktian khasiat produk dimulai dari
fase uji nonklinik hingga fase I, II, III dan IV pada manusia. Uji nonklinik
dan uji fase I, II, III dan IV pada manusia memiliki fungsi masing-masing
yang harus diperhatikan dan dipenuhi, karenanya harus dilaksanakan
secara berurutan. Untuk itu perlu diperhatikan data-data yang ada pada uji
fase-fasesebelumnya.
Dalam hal diperlukan data keamanan lebih lanjut dan/atau untuk
konfirmasi efikasi yang telah disetujui, dapat dilakukan melalui uji fase IV
dengan ketentuan bahwa telah dilakukan uji klinik pra-pemasaran
sebelumnya dan telah mendapat izin edar di Indonesia. Obat herbal dengan
penggunaan sesuai dengan riwayat tradisional di Indonesia maka tahapan
uji klinik fase I dapat dipertimbangkan untuk tidak dilakukan.
Studi penentuan dosis (dose ranging study) dalam tahapan uji klinik
merupakan hal penting yang harus dilakukan. Studi penentuan dosis
tersebut, dimaksudkan untuk dapat menentukan dosis efektif yang
kemudian konsisten diberikan pada fase-fase selanjutnya dalam uji klinik
maupun setelah kemudian dapat diedarkan. Bila telah ada konversi yang
pasti dari dosis efektif pada hewan coba kepada manusia, studi penentuan
dosis dapat tidak dilakukan.. Studi penentuan dosis dilakukan sebelum fase
III uji klinik dengan memperhatikan hasil uji LD 50, serta uji toksisitas dan
farmakodinamik pada hewan coba.
Uji klinik obat herbal dapat dilakukan dengan menggunakan
pembanding atau tanpa menggunakan pembanding berdasarkan justifikasi,

dengan beberapa pilihan desain yang dapat digunakan, seperti single atau
-

double blind.
Single blind
Peneliti mengetahui isi dari produk uji yang digunakan, sementara

subjekpeserta uji klinik tidak mengetahui;


Double blind
Peneliti serta subjek peserta uji klinik tidak mengetahui isi dari produk uji
yang digunakan.
Penggunaan desain single dan double blind, perlu diperhatikan bila
dalam hal tertentu produk uji memiliki kespesifikan tertentu sehingga akan
mengaburkan maksud dari digunakannya desain tersebut, seperti dari
aroma yang khas atau hal lainnya.
Dalam hal uji klinik dilakukan tanpa menggunakan pembanding,
pihak sponsor dan/atau peneliti harus mempertimbangkan subjektivitas
data klinik yang akan dihasilkan. Pemilihan pembanding yang digunakan
harus memiliki justifikasi ilmiah.
Kelompok pembanding diperlukan untuk mengontrol variabelvariabel perancu, sehingga hasil akhir uji merupakan efek obat herbal yang
diuji. Sebagai pembanding digunakan produk yang merupakan pilihan
untuk kondisi dalam uji klinik dimaksud serta sudah terdaftar. Bila
menggunakan plasebo sebagai pembanding maka harus memperhatikan
aspek ilmiah dan etik penelitian sehingga tidak berdampak pada validitas
data klinik yang dihasilkan serta tidak berdampak negatif bagi keselamatan
subjek. Sebagai contoh tidak etis bila salah satu kelompok pada penelitian
obat hipertensi mendapatkan plasebo karena akan membahayakan
keselamatan subjek. 49

BAB III
KESIMPULAN

Ekstrak kulit manggis mengandung senyawa metabolit sekunder yang memiliki


aktivitas antimikroba terhadap pertumbuhan Sterptococcus.

DAFTAR PUSTAKA
1

UU Republik Indonesia. UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100.


KEMENKES RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1076/MENKES/SK/VII/2003

Tentang

Penyelenggaraan

Pengobatan

Tradisional. Jakarta: KEMENKES RI; 2003.


Herdiyeni Y, Adisantoso J, Damayanti EK, Zuhud EA, Nurfadhila E,
Paskianti K. Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna Identifikasi Tumbuhan

Obat Berbasis Citra. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 2014; 18(2): 85-91.
Idady, Dewi, Astuti KW, Warditiani NK. Identifikasi Kandungan Kimia
Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L). Jurnal Farmasi

5
6

Udayana. 2013;2(4).
Rukmana HR. Bibit manggis. Yogyakarta: Kanisius; 2003. h. 17.
Nugroho, I.A. Tanaman obat indonesia: Lokakarya nasional tanaman obat

indonesia. Bogor: Balitbang Kehutanan; 2010


Chitra S, Krithika M V, Pavitra S. Induction Of Apoptosis By Xanthones
from Garcinia Mangostana In Human Breast And Laryngeal Carcinoma Cell

Lines. Journal of Bioscience. 2010


Obolskiy D, Pischel I, Siriwatanametanon N, Heinrich M. Garcinia
mangostana L.: A Phytochemical and Pharmacological Review. Phytoterapy
Research. 2009.

Idady, Dewi, Astuti KW, Warditiani NK. Identifikasi Kandungan Kimia


Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L). Jurnal Farmasi

Udayana. 2013;2(4).
10 Pasaribu F, Sitorus P, Bahri S. Uji ekstrak etanol kulit buah manggis
(Garcinia mangostana L.) terhadap penurunan kadar glukosa darah. Journal
of Pharmaceutics and Pharmacology. 2012; 1(1): 1-8.
11 Kresno, S.B. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium, 137-145.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001.
12 Subowo. Imunologi Klinik, 9-35, Bandung: Angkasa; 1993.
13 Chairungsrilerd N, Furukawa K, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y.
Histaminergic and serotonergic receptor blocking substances from the
medicinal plant Garcinia mangostana, Planta Med.,1996a; 62(5):471-472.
14 Chairungsrilerd N, Furukawa K, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y.
Pharmacological properties of alpha-mangostin, a novel histamine H1
receptor antagonist, Eur J Pharmacol., 1996b; 314(3):351-356.
15 Chairungsrilerd N, Furukawa KI, Ohta T, Nozoe S, Ohizumi Y. Gamma
mangostin, a novel type of 5-hydroxytryptamine 2A receptor antagonist,
Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol.,1998; 357(1): 25-31.
16 Nakatani K, Atsumi M, Arakawa T, Oosawa K, Shimura S, Nakahata N,
Ohizumi Y. Inhibitions of histamine release and prostaglandin E2 synthesis
by mangosteen, a Thai medicinal plant, Biol Pharm Bull., 2002a;
25(9):1137-1141.
17 Nakatani K, Nakahata N, Arakawa T, Yasuda H, Ohizumi Y. Inhibition of
cyclooxygenase and prostaglandin E2 synthesis by gamma-mangostin, a
xanthone derivative in mangosteen, in C6 rat glioma cells, Biochem
Pharmacol., 2002b; 63(1):73-79.
18 Nakatani K, Yamakuni T, Kondo N, Arakawa T, Oosawa K, Shimura S,
Inoue H, Ohizumi Y. Gamma-Mangostin Inhibits IkappaB Kinase Activity
and

Decreases

Lipopolysaccharide-Induced

Cyclooxygenase-2

Gene

Expression in C6 Rat Glioma Cells, Mol Pharmacol., 2004 Jun 24.


19 Moongkarndi P, Kosem N, Kaslungka S, Luanratana O, Pongpan N,
Neungton N. Antiproliferation, antioxidation and induction of apoptosis by
Garcinia mangostana (mangosteen) on SKBR3 human breast cancer cell
line, J Ethnopharmacol., 2004; 90(1):161-166.

20 Weecharangsan W, Opanasopit P, Sukma M, Ngawhirunpat T, Sotanaphun


U, Siripong P. Antioxidative and neuroprotective activities of extracts from
the fruit hull of mangosteen (Garcinia mangostana Linn.), Med Princ Pract.,
2006; 15(4):281-287.
21 Jung HA, Su BN, Keller WJ, Mehta RG, Kinghorn AD. Antioxidant
xanthones from the pericarp of Garcinia mangostana (Mangosteen), J Agric
Food Chem., 2006; 54(6):2077-2082.
22 Ho CK, Huang YL, Chen CC. Garcinone E, a xanthone derivative, has
potent cytotoxic effect against hepatocellular carcinoma cell lines, Planta
Med., 2002; 68(11):975-979.
23 Matsumoto K, Akao Y, Kobayashi E, Ohguchi K, Ito T, Tanaka T, Iinuma
M, Nozawa Y. Induction of apoptosis by xanthones from mangosteen in
human leukemia cell lines, J Nat Prod., 2003; 66(8):1124-1127.
24 Matsumoto K, Akao Y, Yi H, Ohguchi K, Ito T, Tanaka T, Kobayashi E,
Iinuma M, Nozawa Y. Preferential target is mitochondria in alphamangostin-induced apoptosis in human leukemia HL60 cells, Bioorg Med
Chem., 2004; 12(22):5799-5806.
25 Nabandith V, Suzui M, Morioka T, Kaneshiro T, Kinjo T, Matsumoto K,
Akao Y, Iinuma M, Yoshimi N. Inhibitory effects of crude alpha-mangostin,
a xanthone derivative, on two different categories of colon preneoplastic
lesions induced by 1, 2-dimethylhydrazine in the rat, Asian Pac J Cancer
Prev., 2004; 5(4):433-438.
26 Suksamrarn S, Suwannapoch N, Phakhodee W, Thanuhiranlert J,
Ratananukul P, Chimnoi N, Suksamrarn A. Antimycobacterial activity of
prenylated xanthones from the fruits of Garcinia mangostana, Chem Pharm
Bull (Tokyo)., 2003; 51(7):857-859.
27 Sakagami Y, Iinuma M, Piyasena KG, Dharmaratne HR. Antibacterial
activity of alpha-mangostin against vancomycin resistant Enterococci
(VRE) and synergism with antibiotics, Phytomedicine, 2005; 12(3):203-208.
28 Mahabusarakam W, Kuaha K, Wilairat P, Taylor WC. Prenylated xanthones
as potential antiplasmodial substances, Planta Med., 2006; 72(10):912-916.
29 Williams P, Ongsakul M, Proudfoot J, Croft K, Beilin L. Mangostin inhibits
the oxidative modification of human low density lipoprotein, Free Radic
Res., 1995; 23(2):175-184.

30 Mahabusarakam W, Proudfoot J, Taylor W, Croft K. Inhibition of


lipoprotein oxidation by prenylated xanthones derived from mangostin,
Free Radic Res. , 2000; 33(5):643-659.
31 Chen SX, Wan M, Loh BN. Active constituents against HIV-1 protease from
Garcinia mangostana, Planta Med.,1996; 62(4):381-2.
32 Gopalakrishnan G, Banumathi B, Suresh G. Evaluation of the antifungal
activity of natural xanthones from Garcinia mangostana and their synthetic
derivatives, J Nat Prod., 1997; 60(5):519-524.
33 Yayang, M., Khotimah, S., dan Diba, F. , 2013, Aktivitas Antibakteri Kulit
Garcinia mangostana Linn Terhadap Pertumbuhan Flavobacterium dan
Enterobacter dari Coptotermes curvignathus Holmgren. Protobiont., 2(1):711
34 Poeloengan, M dan Praptiwi., 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kulit
Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). MLK., xx (2).
35 Nurul, A.R.P., Amalia, R.M., dan Salma, N., 2013, Effecr of Mangosteen
(Garcinia mangostana L) Pericarp Extract on Biofilm Formation Of
Streptococcus Mutans On Orthodontic Wire (In-Vitro), cisak., C4/P/42.
36 Komansilan J G, Mintjelungan C N, Warowuntu O. Daya Hambat Ekstrak
Kulit Manggis (Garcinia Mangostana L.) terhadap Streptococcus Mutans.
Jurnal e-GiGi (eG), 2015; 3(2)
37 Hendriani N, Suharti, N. Perbedaan Efek Daya Hambat Jus Kulit Buah
Manggis dengan Air Rebusan Kulit Buah Manggis sebagai Antibakteri
terhadap Bakteri Gram-Positif (Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes) secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1).
38 Prihatman, K., 2000, Manggis (Garcinia mangostana L.), Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi BPP Teknologi, Jakarta.
39 Harborne JB. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Bandung: ITB; 2006.
40 Marliana S, Venty S, Suyono. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi
Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule) dalam
Ekstrak Etanol. J Nat Prod Biochem Biofarmasi. 2005;3(1):2631.
41 Depkes RI. Farmakope Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 1979.
42 Tiwari P, Kumar B, Kaur M. Phytochemical screening and Extraction: A
Review. Int Pharm Sci. 2011;1(1):98106.

43 Robinson T. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Bandung:


Penerbit ITB; 1991.
44 Yadav R, Agarwala M. Phytochemical analysis of some medicinal plants. J
Phytol. 2011;3(12):104.
45 Santoso B, Suryawati S, Saleh DS. Evaluasi khasiat dan keamanan obat (uji
klinik). Dalam Farmakologi Klinik dan Farmakoterapi. Jogjakarta. UGM;
2006. h 183-9
46 Zunilda SB, Arini SFD, Suyana. Pengantar farmakologi. Dalam
Farmakologi dan Terapi. FKUI; 2003. h.1-23.
47 Iwan D. Masalah etika dalam uji klinik obat di Indonesia. Seminar Etika
Biomedis Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya. Jakarta. 2001.
48 Alan SN, Stephen PS. Principle of therapeutics. Dalam Goodman &
Gilmans, The Pharmacological Basis of Therapetics. Edisi ke 9. The McGraw-Hill; 1996. h: 43-62.
49 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal

Anda mungkin juga menyukai