Anda di halaman 1dari 6

1.

Jelaskan tentang PE
a. Patofisiologi
b. Kriteria diagnosis
c. Tatalaksana
d. Prognosis
2. Mola
a. Klasifikasi
Mola hidatidosa dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu bila tidak disertai janin
maka disebut mola hidatidosa atau Complete mole, sedangkan bila disertai janin atau
bagian dari janin disebut mola parsialis atau Parsials mole.
Tabel 1.2. Perbandingan bentuk mola hidatidosa

Pada konsepsi normal, setiap sel tubuh manusia mengandung 23 pasang


kromosom, dimana salah satu masing-masing pasangan dari ibu dan yang lainnya dari
ayah. Dalam konsepsi normal, sperma tunggal dengan 23 kromosom membuahi sel
telur dengan 23 kromosom, sehingga akan dihasilkan 46 kromosom.

Gambar 2. Skema Konsepsi Normal


b.
Pada Molahidatidosa Parsial (MHP), dua sperma membuahi sel telur,
menciptakan 69 kromosom, dibandingkan 46 kromosom pada konsepsi normal. Hal ini
disebut triploid. Dengan materi genetik yang terlalu banyak, kehamilan akan
berkembang secara abnormal, dengan plasenta tumbuh melampaui bayi. Janin dapat
terbentuk pada kehamilan ini,akan tetapi janin tumbuh secara abnormal dan tidak dapat
bertahan hidup.

Gambar 3. Skema Kehamilan Molahidatidosa Parsial


Suatu MHK atau lengkap ketika salah satu (atau bahkan dua) sperma membuahi
sel telur yang tidak memiliki materi genetik. Bahkan jika kromosom ayah dilipat
gandakan untuk menyusun 46 kromosom, materi genetik yang ada terlalu sedikit.
Biasanya sel telur yang dibuahi mati pada saat itu juga. Tetapi dalam kasus yang jarang
sel tersebut terimplantasi pada uterus. Jika hal itu terjadi, embrio tidak tumbuh, hanya
sel trofoblas yang tumbuh untuk mengisi rahim dengan jaringan mola.

Gambar 4. Skema Kehamilan Molahidatidosa Komplit


Molahidatidosa komplet secara umum, vili korionik tampak sebagai massa yang
terdiri dari vesikel – vesikel jernih. Vesikel-vesikel ini memiliki ukuran bervariasi, dari
sulit dilihat hingga beberapa sentimeter dan sering menggantung berkelompok pada
tangkai ramping. Secara histologist, lesi biasanya memperlihatkan degenerasi hidrofik
dan edema vilus, tidak adanya pembuluh darah vilus, proliferasi epitel trofoblas dengan
derajat bervariasi serta tidak adanya unsure mudigah seperti janin dan amnion.
Kehamilan mola komplet memiliki insiden sekuele ganas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mola parsial. Pada sebagian besar penelitian, 15-20% mola
komplet memperlihatkan tanda-tanda penyakit trofoblastik persisten. Yang menarik,
evakuasi mola secara dini tidak menurunkan risiko ini.2
c. Tatalaksana
d. Prognosis
Dinegara maju, kematian karena mola hidatidosa hampir tidak ada, mortalitas
akibat mola hidatidosa ini mulai berkurang oleh karena diagnosis yang lebih dini dan
terapi yang tepat. Akan tetapi di negara berkembang kematian akibat mola masih cukup
tinggi yaitu berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Kematian pada mola hodatidosa biasanya
disebabkan oleh karena perdarahan, infeksi, eklamsia, payah jantung dan
tirotoksikosis.2,3
Lebih dari 80% kasus mola hidatidosa tidak berlanjut menjadi keganasan
trofoblastik gestasional, akan tetapi walaupun demikian tetap dilakukan pengawasan
lanjut yang ketat, karena hampir 20% dari pasien mola hidatidosa berkembang menjadi
tumor trofoblastik gestasional.
Pada 10-15% kasus mola akan berkembang menjadi mola invasive, dimana akan
masuk kedalam dinding uterus lebih dalam lagi dan menimbulkan perdarahan dan
komplikasi yang lain yang mana pada akhirnya akan memperburuk prognosisnya. Pada
2-3% kasus mola dapat berkembang menjadi korio karsinoma, suatu bentuk keganasan
yang cepat menyebar dan membesar
Sumber:
1. Cuninngham. F.G. dkk. Penyakit Trofoblas Gestasional. Dalam: Obstetri Williams.
Edisi 23 vol 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2010.
2. Sumapraja, S & Martaadisoebrata, D. Pernyakit Serta Kelainan Plasenta dan
Selaput Janin, dalam: Ilmu Kebidanan, Edisi ketiga, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta. 2005.

3. Jelaskan manajemen apa untuk mencegah perdarahan dalam persalinan!


4. Sebutkan tatalaksana distorsia bahu!

5. Ada beberapa jenis perdarahan dalam kehamilan


- Antenatal
Antepartum Hemorrhage
- Perdarahan selama beberapa waktu dalam kehamilan dapat memberikan petunjuk
penyebab perdarahan tersebut. Banyak aspek perdarahan selama paruh pertama
kehamilan dari aborsi atau kehamilan ektopik. Kasus-kasus ini, penilaian cepat harus
selalu mempertimbangkan efek terhadap janin dari perdarahan maternal. Sedikit
pendarahan vagina biasa terjadi pada persalinan aktif. Perdarahan ini adalah
konsekuensi dari pelepasan dan dilatasi serviks, dengan merobek pembuluh darah
kecil. Pendarahan uterus, akan tetapi yang berasal dari atas serviks, dapat
dipertimbangkan. Ini mungkin mengikuti beberapa pemisahan plasenta previa yang
ditanamkan di sekitar kanalis serviks, atau mungkin juga karena abrupsi plasenta atau
robekan uterus. Ada kemungkinan penyisipan tali pusar yang kencang, dan pembuluh
plasenta yang terlibat dapat melapisi serviks-vasa previa,namun jarang terjadi.
Perdarahan janin mengikuti laserasi pembuluh ini pada saat rupturnya membran. Pada
banyak wanita dalam waktu dekat persalinan, sumber perdarahan uterus tidak
teridentifikasi, perdarahan tanpa berhenti, dan tidak ada penyebab anatomis yang jelas
ditemukan saat persalinan. Pada sebagian besar kasus ini, perdarahan kemungkinan
disebabkan oleh pemisahan plasenta yang sedikit marginal. Meskipun demikian, setiap
kehamilan dengan perdarahan antepartum tetap berisiko tinggi untuk hasil yang buruk
walaupun perdarahan telah berhenti dan plasenta previa telah dikecualikan secara
sonografi. Beberapa laporan menyebutkan pendarahan pada pertengahan kehamilan
hinggak awal trimester ketiga, Lipitz dkk (1991) melaporkan bahwa 4 dari 65 wanita
dengan perdarahan uterus antara 14-26 minggu mengalami abrupsio plasenta atau
previa, dan 3 dari 65 janin akhirnya meninggal. Canadian Perinatal Network
menggambarkan 806 wanita dengan perdarahan antara usia kehamilan 22- 28 minggu
(Sabourin, 2012). Plasenta abrupsi (32 persen), previa (21 persen), dan perdarahan
serviks (6,6 persen) adalah penyebab paling umum diidentifikasi. Dari semua wanita,44
persen melahirkan diusia <29 minggu. Secara jelas, perdarahan pada trimester kedua
dan ketiga berhubungan dengan prognosis kehamilan yang buruk.
- Durante partum
- Postpartum
Dalam kebanyakan kasus, penyebab pendarahan pascapersalinan dapat dan
harus ditentukan. Penyebab yang sering terjadi adalah atonia uterus dengan perdarahan
dari tempat implantasi plasenta, trauma saluran genital, atau keduanya. Perdarahan
pascapersalinan biasanya jelas. Pengecualian penting yaitu akumulasi darah
intravaginal dan intauterineyang tidak diketahui dan ruptur uterus dengan perdarahan
intraperitoneal. Penilaian awal seharusnya mencoba untuk membedakan atonia uterus
dari laserasi saluran genital. Pertimbangan utama adalah faktor predisposisi,
pemeriksaan saluran genital bawah, dan penilaian tonus uterine. Atony diidentifikasi
oleh rahim lembut dan lunak selama pemeriksaan bimanual dan dengan adanya
gumpalan dan perdarahan saat pijat rahim.
Perdarahan yang terus menerus meski rahimnya kencang, kontrasi uterus yang
baik diduga bahwa perdarahan kemungkinan besar berasal dari laserasi. Darah merah
terang lebih menunjukkan perdarahan arterial. Untuk mengkonfirmasi laserasi itu
adalah sumber dari perdarahan, pemeriksaan hati-hati pada vagina, leher rahim, dan
rahim sangat penting. Terkadang perdarahan dapat bisa disebabkan oleh atoni dan
trauma terutama setelah forceps atau vakum yang membantu persalinan per vaginam.
Yang penting, jika perdarahan yang signifikan mengikuti saat kelahiran, serviks dan
vagina diperiksa dengan seksama untuk mengidentifikasi laserasi. Lebih mudah jika
diberikan analgesia konduksi. Jika tidak ada
laserasi saluran genital bawah dan rahim kontraksi, namun perdarahan supracervical
tetap ada, maka eksplorasi manual rahim dilakukan untuk robekan rahim. Hal ini juga
diselesaikan secara rutin setelah versi podalic internal dan sungsang ekstraksi.

Sumber: obstetri William edisi 24 tahun 2014

Anda mungkin juga menyukai