Anda di halaman 1dari 6

Klasifikasi Obat Tradisional

Klasifikasi Obat Tradisional Keterangan


Jamu adalah obat tradisional Indonesia berupa
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan;
b. Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data
empiris;
c. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan
alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan
bahan bakunya telah di standarisasi.
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan;
b. Klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra
klinik;
c. Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan
baku yang digunakan dalam produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan
baku dan produk jadinya telah di standarisasi.
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan;
b. Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji
klinik;
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan
baku yang digunakan dalam produk jadi;
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

Sumber:
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor:
Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan
Alam Indonesia

Pembuatan Simplisia
Simplisia merupakan bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia
dibagi menjadi tiga golongan yaitu simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan
(mineral).1
Ada beberapa tahapan dalam pembuatan simplisia, yaitu2
1. Pengumpulan Bahan Baku
Cara pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku. Pengumpulan
bahan baku dilakukan pada saat fotosintesis berlangsung maksimal yaitu ditandai dengan
saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak.
2. Sortasi Basah
Sortasi basah adalah pemilahan hasil pengumpulan bahan baku ketika tanaman masih
segar. Pemilahan bahan baku dilakukan terhadap tanah, kerikil, rumput-rumputan, bahan
tanaman lain yang tidak digunakan dan bagian tanaman yang rusak.
3. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat, seperti bahan-bahan
yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan yang tercemar pestisida dari beberapa
sumber air yaitu mata air, sumur dan PAM.
4. Pengubahan Bentuk
Tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas permukaan bahan baku
sehingga proses pengeringan bahan baku akan semakin cepat.
5. Pengeringan
Proses pengeringan bahan baku dapat dilakukan dengan menggunakan panas matahari
secara langsung, diangin-anginkan (kering angin) ataupun menggunakan oven pengering
(maksimum 600C).
6. Sortasi Kering
Sortasi kering adalah pemilihan bahan baku setelah mengalami proses pengeringan.
Pemilihan bahan baku dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong dan bahan
yang rusak akibat terlindas roda kendaraan.
7. Pengepakan dan Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai, simplisia ditempatkan dalam suatu
wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya.
Selanjutnya wadah-wadah yang berisi simplisia disimpan dalam rak pada gudang
penyimpanan.
Sumber:
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak
Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
2. Gunawan, D. dan Mulyani, S., 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi), Jilid I, Penebar
Swadaya, Jakarta.

Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia

Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter,


maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan
penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang
dilakukan secara sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka
adalah sebagai berikut.
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
4. Uji klinik
Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal
yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan
untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer di
kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap
tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk
penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara
lain dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut
pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM
Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus
atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada
hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas
dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus
yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut
dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50%
hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada
manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji
toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas
kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik
bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama
pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada
manusia (Tabel 4).2
Tabel 4. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan Lama Pemberian Obat
pada Hewan Coba
Dosis tunggal atau <1 minggu 2 minggu 1 bulan
Dosis berulang + 1-4 minggu 4 minggu 3 bulan
Dosis berulang + 1-6 bulan 3-9 bulan
Dosis berulang >6 bulan 9-12 bulan
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar
masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan.
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya
kanker.
4. Obat digunakan secara kronik
Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik
dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut.
Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat
tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada
manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk
perkiraan kemungkinan efek pada manusia
Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan bentuk
sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang
ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah
dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang
bersifat termolabil.15 Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau
glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur
ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang
diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena
zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing yaitu tanin,
musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid
dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga
kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.
Uji klinik Obat tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan khasiat
dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik
berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind
controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik
pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah
terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya
dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan
harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-
consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting
untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase
yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat
tradisional
Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat
timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan
efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji
klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus
melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap
obat tradisional tersebut.2
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis
empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam
melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional
mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar. Saat ini
belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknya
cenderung
meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap
obat tradisional antara lain karena:
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman
pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris,
selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di
pasaran Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat
bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih
sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.
Sumber:
Dewoto H. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka. Maj Kedokt
Indon, 2007;57:205-11.

Anda mungkin juga menyukai