Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

Direct thrombin inhibitor (DTI) merupakan antikoagulan dengan target spesifik pada trombin. DTI memiliki efek antikoagulan yang dapat diprediksi. Variabilitas individu yang kecil. DTI tidak beriinteraksi langsung terhadap trombosit atau protein plasma dan tidak memerlukan antitrombin sebagai kofaktor. Hirudin merupakan 65 asam amino natural DTI yand dihasilkan oleh kelenjar saliva lintah.

STRUKTUR DAN MEKANISME Ada dua kelompok DTI: divalent inhibitor dan monovalent inhibitor. Divalent inhibitor mengikat substrate recognition site ( exosite 1) dan catalytic site trombin. Monovalent inhibitor hanya mengikat catalytic site. Termasuk dalam kelompok bivalent inhibitor adalah desirudin, lepirudin, dan bivalirudin (bentuk rekombinan ekstrak hirudin lintah). Kelompok monovalent inhibitor adalah argratoban, ximelagatran, dan melagatran.

Kelompok 1: Desirudin, Lepirudin, dan Bivalirudin Desirudin dan lepirudin rekombinan terdiri dari 65 asam amino polipeptida yang berbeda dari hirudin melalui sulfasi C-terminal tyrosin dan melalui perubahan isoleusin menjadi leusin. Ukuran 7 kDa. Bagian terminal amino dari bentuk polipeptida globuler mengikat catalytic site trombin, sementara terminal carboxy dua

belas mengurangi pembentukan dan perluasan interaksi dengan mengikat exosite 1 fibrinogen. Ikatan peptida dengan trombin bersifat irreversibel dan menghambat pemecahan fibrinogen menjadi fibrin. Ikatan pada substat tersebut memerlukan akses exosite 1, karenanya peptida-peptida tersebut tidak menghambat trombin yang telah terikat dengan fibrinogen. Bivalirudin merupakan derivat 20 asam amino hirudin. Amino terminal terdiri dari rangkaian situs inhibitor aktif yang terhubung dengan rantai tetra-glisin yang fleksiber dengan dua belas asam amino dari carboxy terminal hirudin yang terikat pada exosite 1.

Direct thrombin inhibitor (DTI) merupakan suatu kelompok antikoagulan baru yang mengikat trombin secara langsung dan memblokade interaksinya terhadap substrat trombin. Beberapa DTI, seperti hirudin, bivalirudin dan ximelagatran, baik sendiri maupun kombinasi dengan melagatran, telah menjalani evaluasi yang luas pada penelitian fase 3 terhadap pencegahan dan pengobatan trombosis arteri dan vena. Bukti perhatian aplikasi klinis terhadap DTI yang lain seperti argratoban dan dabigatran terbatas pada penelitian fase 2. Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui empat DTI parenteral. Hirudin dan argatroban untuk pengobatan heparin-induced thrombocytopenia (HIT), bivalirudin sebagai alternatif terhadap heparin pada percutaneous coronary intervention (PCI), dan desirudin sebagai propilaksis tromboemboli pada operasi tulang pinggul.

Mekanisme Aksi Kaskade koagulasi dan pembentukan trombin. Setelah pembuluh darah mengalami jejas, faktor jaringan terpapar pada permukaan endotelium yang rusak. Interaksi faktor jaringan dengan plasma faktor VII mengaktifkan kaskade koagulasi, menghasilkan trombin melalui tahapan aktifasi seri proenzim. Aktivasi faktor V, VIII, dan XI, akan membentuk trombin lebih banyak lagi dan minstimulasi trombosit. Trombin merupakan sentral dari proses pembekuan. Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Lebih lanjut, aktifasi faktor XIII, akan membentuk anyaman ikatan fibrin, menstabilkan bekuan. Kaskade koagulasi diregulasi oleh antikoagulan alamiah, sistem protein C dan protein S, dan antirombin, yang akan membantu membatasi pembentukan plak hemostasis pada tempat jejas.

Perbedaan dengan Heparin Obat penghambat trombin dapat memblokade aksi trombin dengan ikatan pada tiga tempat: active site, catalytic site , dan dua exosite. Exosite 1 merupakan tempat ikatan fibrin, dengan demikian peptida yang sesuai akan terikat pada active site. Exosite 2 sebagai tempat ikatan heparin. Trombin oleh low molecul weight
3

heparins (LMWH) diikat secara tidak langsung. LMWH mengkatalisis fungsi antitrombin. Suatu kompleks heparin-trombin-antitrombin terbentuk bila heparin beserta antitrombin mengikat secara terus-menerus pada exosite 2 trombin. Selanjutnya, heparin menjadi jembatan antara trombin dan fibrin dengan mengikat fibrin dan exosite 2. Karena kedua trombin exosite digunakan oleh kompleks fibrinheparin-trombin, aktivitas enzimatik trombin diproteksi dari inaktifasi oleh komplek heparin-antitrombin. Maka dari itu, heparin memiliki kemampuan reduksi dan inhibisi ikatan fibrin-trombin, yang tampak mengganggu, karena trombin yang aktif dapat memicu terjadinya pembentukan trombus. DTI dapat bereaksi tanpa terikat dengan antitrombin. DTI dapat menghambat ikatan trombin terhadap fibrin atau fibrin degeneration products (FDP). DTI bivalent memblokade trombin pada active site dan exosite 1, sementara DTI monovalent hanya mengikat active site. Termasuk dalam kelompok DTI bivalent adalah hirudin, bivalirudin, lepirudin dan desirudin. Sementara kelompok DTI monovalent adalah argatroban, dabigatran, melagatran dan ximelagatran. Hirudin alamiah dan rekombinant (lepirudin dan desirudin) membentuk suatu kompleks irreversibel stochiometric 1:1 pada trombin. Hirudin sintetik (bivalirudin) dengan cara yang sama mengikat active site dan exosite 1, tetapi saat terikat, bivalirudin tersebut dipecah oleh trombin, sehingga fungsi active site trombin mengalami restorasi. Karena itu, bivalirudin menghasilkan inhibisi trombin sementara. Dengan berinteraksi hanya pada active site, DTI uivalent menginaktifasi ikatan fibrin trombin. Argatroban dan melagatran memisahkan fibrin dari trombin, meninggalkan enzimatik trombin aktif dalam jumlah sedikit untuk interaksi hemostasis. Dengan mengurangi aktifasi trombosit yang dimediasi oleh trombin, DTI juga memiliki efek antitrombosit. Karena DTI tidak terikat dengan protein plasma, maka DTI akan menghasilkan respon yang dapat diprediksi dari pada unfractionated heparin.

Farmokokinetik dan Farmakodinamik Cara pemberian obat, waktu paruh, dan tempat utama klirens DTI ditampilkan pada tabel berikut ini.

Karakteristik Farmakokinetik dari Direct Thrombin Inhibitor (DTI)


Karakteristik Hirudin Rekombinan Bivalirudin Argatroban Ximelagatran dan Melagatran Dabigatran

Cara Pemberian

Intravena, subkutan

Intravena

Intravena

Waktu paruh

Klirens utama

60 menit intravena, 120 menit subkutan Ginjal

25 menit

45 menit

Ginjal, hati Hati

Intravena, Oral subkutan (melagatran), oral (ximelagatran) Intravena dan 12 jam subkutan 2-3 jam, oral 3-5 jam Ginjal Ginjal

DTI seperti hirudin, melagatran dan dabigatran yang melalui klirens di ginjal akan terjadi akumulasi obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Meskipun antikoagulan hirudin yang berlebihan pada pasien dengan insufisiensi renal dapat diatasi dengan hemofiltrasi volume tinggi menggunakan membran hemodialisis permeabel hirudin, data yang tersedia sangat langka. Penelitian pada hewan menyatakan bahwa konsentrasi melagatran yang eksesif dapat diatasi dengan hemodialisis atau pemberian konsentrat activated prothrombin complex. Hanya sebagian dari bivalirudin yang diekskresikan melalu ginjal, sebagian lagi dimetabolisme dan proteolisis di hati. Namun, waktu paruh bivalirudin menjadi lebih panjang pada penderita gangguan ginjal yang berat, sehingga memerlukan penyesuaian dosis.

Argatroban cendrung di metabolisme di hati dan memerlukan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Penggunaan aspirin tidak mempengaruhi konsentrasi plasma DTI.

PENELITIAN PADA TROMBOSIS ARTERI

Sindroma Koronor Akut dengan atau tanpa Percutaneous Coronary Intervention Pasien dengan sindroma koroner akut (infark miokard akut, baik dengan atau tanpa ST-segmen elevasi, dan unstable angina) tetap berisiko terhadap terjadinya iskemik miokard yang berulang, sehingga diperlukan terapi dengan aspirin, clopidogrel, dan heparin. Peran DTI pada managemen sindrom koroner akut telah diulas pada penelitian meta analisis Direct Thrombin Inhibitor Trialists` Collaborative Group. Telah

dikumpulkan sebelas uji acak, dengan jumlah 35.970 pasien yang telah menyetujui menggunakan DTI atau unfractionated heparin dari 24 jam hingga 7 hari kemudian, dan pasien di pantau setidaknya selama 30 hari. Dibandingkan dengan heparin, DTI dapat mengurangi insiden kematian dan miokard infark pada akhir pengobatan dan tiga puluh hari. Perbedaan yang bermakna terutama pada reduksi infark miokard, semetara insiden kematian perbedaannya tidak bermakna. Analisis berdasarkan bahan obat menyatakan bahwa hirudin dan bivalirudin memberikan manfaat yang sama, terjadi sedikit peningkatan yang tidak bermakna atas insiden kematian dan infark miokard. Perdarahan yang serius lebih sering terjadi pada hirudin dibandingkan dengan heparin namun jarang sekali pada bivalirudin dan inhibitor univalent. Pada tahun 2001 telah didapatkan data penelitian klinis acak pada sindrom koroner akut. Pada penelitian tersebut, dilakukan penelitian pada pasien ST elevation myocardial infarct (STEMI) yang telah menerima bivalirudin atau unfractionated heparin yang dikombinasikan dengan streptokinase. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam observasi selama tiga puluh hari terhadap angka kematian dari kedua kelompok perlakuan, meskipun bivalirudin menunjukkan manfaat pada
6

kejadian reinfark dalam 96 jam. Selain itu, hasil meta analisis menunjukkan bahwa perdarahan yang serius tidak lebih rendah pada bivalirudin. Telah banyak penilaian yang dilakukan atas peranan DTI pada sindrom koroner akut. Dalam ulasan penelitian meta analisis dan Hirulog and Early Reperfusion or Occlusion 2 (HERO-2), DTI telah dibandingkan dengan unfractionated heparin. Namun demikian, sejumlah analisis memperkirakan bahwa low molecul weight heparin mungkin lebih superior dibandingkan dengan unfractionated heparin pada pasien dengan unstable angina dan infark miokard. Lebih lanjut, terapi agresif dengan antiplatelet telah menjadi standar pengobatan pada sindrom korener akut, sementara peranan DTI yang dikombinasikan dengan aspirin dan clopidogrel, serta inhibitor glicoprotein IIb/IIIa belum ditegakkan. Hirudin bukanlah pilihan terapi yang menarik bagi pasien dengan sindrom koroner akut, karena observasi selanjutnya menunjukkan peningkatan perdarahan, serta biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan unfractionated heparin. Bivalirudin juga tidak lebih aman atau lebih bermanfaat dibandinkan unfractionated heparin dan tidak direkomendasikan untuk penatalaksanaan penyakit tersebut.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Pasien yang menjalani percutaneous coronary Intervention (PCI) tidak mendapatkan manfaat klinis yang signifikan bila diberikan hirudin dan bivalirudin dibandingkan dengan unfractionated heparin. Tetapi kejadian perdarahan yang serius lebih sedikit pada hirudin dan bivalirudin dibandingakan unfractionated heparin. Bivalirudin telah dibandingkan dengan heparin selama prosedur angioplasti pada post infark miokard dan unstable angina. Penilaian atas kejadian kematian, infark miokard, dan revaskularisasi pada 7 dan 90 hari, lebih sedikit pada bivalirudin, terutama diperlihatkan dari kebutuhan akan tindakan revaskularisasi. Pada hari ke 90, perdarahan serius bekurang secara signifikan pada grup bivalirudin (3,7 persen vs 9,3 persen).

Dalam penelitian Randomized Evaluation in Percutaneous Coronary Intervention Linking Angiomax to Reduced Clinical Events 2 (REPLACE-2), pasien yang menjalani percutaneous coronary intervention elektif atau segera, secara acak menerima unfractionated heparin plus inhibitor GPIIb/IIIa atau menerima bivalirudin dan ditambahkan inhibitor GPIIb/IIIa hanya bila terjadi komplikasi selama prosedur tindakan. Hasil gabungan penilaian manfaat dan keamanan mengenai angka kematian, infark miokard, pengulangan revaskularisasi urgensi, dan perdarahan serius ternyata tidaklah bermakna antara kedua grup. Namun, penggunaan bivalirudin berhubungan dengan kejadian perdarahan serius yang lebih rendah. Hanya 7,2 persen yang menerima bivalirudin diberikan tambahan inhibitor GPIIb/IIIa, sehingga biaya pengobatan menjadi lebih lendah. Kesimpulannya, bivalirudin tampaknya lebih aman dibandingkan heparin pada pasien yang mejalani prosedur PCI.

Terapi Jangka Panjang Sindrom Koroner Akut Pada pasien sindrom koroner akut, pemberian aspirin telah mengurangi risiko relatif kejadian iskemik sebanyak 23 persen. Kemudian penambahan antagonis vitamin K mengurangi komplikasi kardiovaskuler, namun memerlukan biaya yang lebih mahal. Terapi jangka panjang dengan low molecular weight heparin tidak menunjukkan manfaat tambahan dari pada pemberian dengan aspirin saja. Peranan DTI pada profilaksis jangka panjang pada pasien yang juga menggunakan aspirin, telah diteliti pada Efficacy and Safety of the Oral Direct Thrombin Inhibitor Ximelagatran in Patients with Recent Myocardial Damage (ESTEEM). Empat dosis oral Ximelagatran telah dibandingkan dengan plasebo pada pasien degan infark miokard. Ximelagatran secara bermakna telah mengurangi insidens mortalitas, infark miokard nonfatal, dan iskemia berat yang berulang selama periode enam bulan pengobatan dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan ximelagatran tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian perdarahan yang lebih serius dibandingkan dengan penggunaan aspirin saja, namun risiko total perdarahan menjadi lebih tinggi berhubungan dengan peningkatan dosis. Peningkatan alanin aminotransferase tiga kali lipat atau lebih dari
8

limit normal terjadi pada 11 persen pasien yang diterapi dengan ximelagatran dibandingkan 2 persen pasien yang menerima plasebo. Sebagai kesimpulan, penelitian peranan ximelagatran pada terapi jangka panjang sindrom koroner akut terbatas pada penelitan fase 2 yang menjanjikan manfaat lebih baik tetapi adanya risiko toksisitas hepatik yang perlu diperhatikan. Karena alasan itulah, saat ini ximelagatran tidak menjadi pertimbangan terapi jangka panjang sindrom koroner akut.

Atrial Fibrilasi Komplikasi klinis yang terjadi dari atrial fibrilasi adalah stroke iskemik. Meskipun aspirin mejadi pilihan terapi pada pasien risiko rendah, vitamin K antagonis lebih disukai pada pasien risiko tinggi karena dapat menurunkan risiko relatif strok sebesar 36 persen dibandingkan dengan aspirin. Ximelagatran telah dibandingkan dengan warfarin dosis penyesuaian untuk mencegah terjadinya stroke dan emboli sistemik pada pasien atrial fibrilasi nonvalvular disertai sedikitnya satu faktor risiko yang menyertai yang disebut Stroke Prevention Using an Oral Thrombin Inhibitor in Atrial Fibrilation III (SPORTIF III) dan SPORTIF V. Perbedaan penelitian tersebut adalah open label trial pada SPORTIF III , dan double blinded trial pada SPORTIF V. Ximelagatran memiliki efektifitas yang sama dengan warfarin atas kejadian stroke dan emboli sistemik. Pada analisis data selanjutnya ximelagatran menunjukkan penurunkan risiko perdarahan serius secara bermakna. Ximelagatran berhubungan dengan peningkatan alanin aminotransferase tiga kali lebih tinggi atau lebih dari batas normal sebanyak 6,1 persen dibandingkan 0,8 persen warfarin. Berdasarkan penelitian SPORTIF, ximelagatran dapat menjadi alternatif pemberian vitamin K antagonis pada pasien yang menderita atrial fibrilasi plus satu faktor resiko atau lebih. Namun demikian, keamanan strategi terapi masih perlu ditentukan.

ANTIKOAGULANT STRATEGIES FOR PATIENTS UNDERGOING PCI : Unfractionated Heparins, Low Molecul Wight Heparins, and Direct Thrombin inhibitors

Direct Thrombin Inhibitors Bivalirudin, lepirudin, dan argatroban merupakan DTI yang telah disetujui di Amerika Serikat. Lepirudin dan argratroban telah disetujui untuk pengobatan pasien dengan heparin induced thrombositopenia (HIT). Argratroban juga telah disetujui pada pasein yang menjalani prosedur PCI. Bivalirudin diindikasikan pada pasien unstable angina yang menjalani prosedur PCI.

Bivalirudin Dari semua DTI, bivalirudin tampaknya menawarkan terapi alternatif unfractionated heparin (UFH) pada PCI. Dalam Bivalirudin Angioplasty Trial (BAT), 4312 pasien dengan unstable angina atau pasca infark miokard yang memerlukan PCI telah dirandom dalam metode uji samar ganda yang mendapatkan terapi bivalirudin atau heparin selama prosedur. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa bivalirudin dibandingkan dengan heparin menurunkan risiko relatif 22% atas hasil rasio kematian, infark miokard, dan revaskularisasi ulang pada 7 hari (6,2% vs 7,9%, P=0,03). Kejadian perdarahan mayor lebih sedikit (3,5% versus 9,3%, P<,001), dengan risiko relatif berkurang 62%. Perdarahan mayor didefinisikan sebagai
10

perdarahan yang menyebabkan penurunan hemoglobin > 3 g/dl, membutuhkan trasnfusi > 2 unit, dan adanya perdarahan retroperitoneal atau intrakranial. Sebagai tambahan, penurunan kejadian iskemik dan perdarahan telah diobservasi pada ramdomisasi subgrup pasien post infark miokard (n=741). Pada pasien yang diberikan bivalirudin terjadi penurunan risiko relatif sebesar 51% atas angka kematian, infark miokard, atau revaskularisasi dibandingkan dengan heparin (4,9% versus 9,9%, P=0,009) daan penurunan risiko relatif sebesar 73% atas kejadian perdarahan mayor (2,4% versus 11,8%, P<0.001). Penelitian CACHET B/C menunjukkan penurunan risiko relatif 64% atas angka kematian, infark miokard, dan revaskularisasi pada bivalirudin dibandingkan UFH plus GP IIb/IIIa inhibitor. Bivalirudin menurunkan 74% risiko relatif kejadian perdarahan mayor. Namun penelitian ini hanya menyertakan sampel penelitian yang kecil (n=64). Pada penelitan yang lebih besar, REPLACE-1, membuktikan lebih lanjut atas penurunan kejadian iskemik dan komplikasi perdarahan pada pasien yang menjalani prosedur PCI dengan bivalirudin. Penurunan risiko relatif sebesar 19% pada waktu 48 jam terakhir atas angka kematian, infark miokard, revaskularisasi dan penurunan 22% atas kejadian perdarahan mayor. Telah dilakukan penelitan acak samar ganda pada bivalirudin dengan jumlah populasi 6010 dalam REPLACE-2. Dibandingkan atas penggunaan bivalirudin plus GP IIb/IIIa inhibtor sementara dengan UFH yang disertai GP IIb/IIIa inhibtor terencana. Bivalirudin plus GP IIb/IIIa inhibtor menurunkan kejadian risiko campuran (kematian, infark miokard, revaskularisasi, perdarahan mayor)

dibandingkan dengan heparin dan GP IIb/IIIa inhibtor terencana. Namun, terjadi peningkatan yang tidak bermakna atas kejadian non-Q-wave infark miokard pada grup tersebut. Kejadian perdarahan, transfusi, dan trombositopenia secara bermakna menurun pada pasien yang menerima bivalirudin dibandingkan pasien yang menerima heparin dan GP IIb/IIIa inh;p;p;k,mk////ibtor terencana. Data lanjut dalam 6 bulan penelitian REPLACE-2 menunjukkan bahwa pasien dengan heparin dan GP
11

IIb/IIIa inhibtor dibanding bivalirudin saja memiliki kejadian yang sama atas infark miokard (1,5%) dan revaskularisasi (9,0%). Meskipun tidak bermakna secara statistik, namun angka kematian dalam 6 bulan hingga 1 tahun lebih rendah pada pemakaian bivalirudin dibandingkan dengan UFH dan GP IIb/IIIa inhibtor. Sehingga atas dasar penelitian ini diperkirakan bahwa pemberian bivalirudin diambah GP IIb/IIIa inhibtor sementara mungkin menjadi antikoagulan yang sesuai dalam penatalaksanaan pasien dengan prosedur PCI. Bivalirudin thrombocytopenia juga (HIT) telah yang dievaluasi menjalani pada prosedur pasien PCI, heparin dalam induced penelitian

Anticoaculant Therapy with Bivalirudin to Assist in percutaneous coronary interventionn in patient with heparin-induced Throbocytopenia (ATBAT). Bivalirudin ditoleransi lebih baik pada pasien pasien tersebut. Data dari laporan sementara atas 11 pasien tersebut, ditambah data dari 39 pasien penelitian sebelumnya, memperkirakan bahwa bivalirudin menjadi alternatif yang lebih superior dari obat-obatan yang telah tersedia saat ini. Bivalirudin memperlihatkan toleransi yang lebih baik pada populasi pasien dengan risiko tinggi. Wanita, pasien usia lebih dari 65 tahun, dan pasien dengan serum kreatinin > 1,2 mg/dl menampilkan kejadian efek samping klinis yang lebih sedikit dibandingkan terapi menggunakan UFH. Meskipun penurunan dosis bivalirudin pada pasien dengan insufisiensi renal yang berat atau pada pasien yang menjalani hemodialisis perlu dipertimbangkan, patut diingat bahwa penyesuaian dosis pada pasien insufisiensi renal penelitian BAT dengan berbagai derajat gangguan renal memiliki komplikasi perdarahan lebih sedikit dari pada pengobatan pasien dengan UFH.

Lepirudin (Hirudin) Meskipun komplikasi trombosis pasien sindrom koroner akut lebih rendah pada pasien dengan lepirudin dibandingkan dengan heparin, namun risiko perdarahan mayor tampak lebih besar. Saat ini, penggunaan lepirudin tidak diindikasikan pada
12

pasien yang menjalanni prosedur PCI. Analisa terbaru memperkirakan alasan peningkatan risiko perdarahan pada pasien yang diterapi dengan bivalirudin mungkin berhubungan dengan timbulnya trombositopenia , dengan insidens yang sama dengan penggunaan heparin (1,1%). Penelitian acak tunggal yang melibatkan 1141 pasien unstable angina yang diobati dengan desirudin atau UFH telah dilakukan. Setelah dilakukan tindakan angioplasti, pasien pasien dalam penelitian tersebut menunjukkan penurunan signifikan atas risiko kematian, infark miokard, revaskularisasi dalam 96 jam. Namun tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dalam kejadian selama 7 bulan.

Argatroban Penggunaaan argatroban telah dievaluasi dalam uji klinis dengan jumlah populasi yang kecil. Dua penelitian mengevaluasi penggunaaan argatroban pada pasien PCI dengan HIT. Lima puluh pasien dengan riwayat diagnosis HIT dievaluasi oleh Matthai dan kawan kawan. Pasien yang memerlukan coronary aterial bypass grafting (CABG), menerima GP IIb/IIIa inhibtor, atau menderita gangguan fungsi hepar di ekslusi dari penelitian. Argatroban diberikan 350 ug/kg dan dilanjutkan dengan infus intravena 25 sampai 30 ug/kg/menit untuk memelihara ACT selama 300 hingga 450 detik. Rasio kesuksesan hingga 98%, yang dinyatakan stenosis yang berkurang setidaknya 50% pasca prosedur dan tidak adanya operasi bypass, infark miokard akut, atau kematian. Komplikasi yang bermakna pada pasien yang mendapat argatroban adalah 1 hematom retroperitoneal dan 1 penutupan pembuluh darah mendadak yang memerlukan tindakan operasi bypass. Atas dasar tersebut, populasi HIT yang dimasukkan dalam grup kontrol dianggap tidak etis. Lewis dan kawan-kawan telah melakukan evaluasi pada 91 pasien HIT yang menjalani PCI dalam 3 desain penelitian yang mirip. Pada penelitian tersebut diberikan argatroban bolus 350 ug/kg yang dilanjutkan dengan pemberian dengan infus intravena 25 ug/kg/menit, dengan target ACT 300 hingga 450 detik. Diantara pasien yang menjalani PCI inisial (n=91), rasio kesuksesan sebesar 94,5% yang
13

ditentukan oleh tidak adanya kematian, bypass koroner emergensi atau Q-wave myocard infarct. Adekuasi antikoagulan ditunjukkan oleh 97,8% populasi penelitian. Angka kematian, infark miokard, revaskularisasi yang terjadi dalam 24 jam sebesar 7,7%. Rasio perdarahan mayor, yang didefinisikan sebagai perdarahan yang jelas dengan penurunan hemoblogin > 5 g/dl, memerlukan transfusi > 2 unit, perdarahan intrakranial atau retroperitoneal sebesar 1,1%. Perdarahan minor yang diluar kriteria perdarahan mayor, terjadi pada 32% pasien. Karena pasien HIT tidak dapat menerima heparin, maka argatroban menjadi antikogulan alternatif pada populasi khusus tersebut. Tidak ada data penelitian klinis yang diterbitkan untuk menilai manfaat komperatif atas argatroban pada PCI untuk pasien dengan riwayat HIT. Dalam meta analisis atas 35.970 pasien dalam penelitian komparatif DTI versus heparin pada pasien ACS yang menjalani PCI, reduksi angka keatian atau infark miokard pada hirudin atau bivalirudin telah diobservasi. Namun, kondisi yang sama tidak diovsevasi pada obat univalent seperti argatroban. Tidak ada penelitian komperatif yang menjelaskan superioritas antara satu obat dengan obat lainnya diantara DTI yang ada.

14

Biography of Dabigatran etexilate for primary prevention and tratment of venous thromboembolism

Tantangan dalam profilaksis Penggunaan antikoagulan profilaksis saat ini agak sulit bagi dokter dan pasien. Masalah yang dihadapi adalah : Pemberian parenteral Tidak nyaman bagi pasien Jendela terapi yang sempit Memerlukan monitoring dan penyesuaian dosis Risiko perdarahan yang meningkat Efek samping yang serius

Strategi profilaksis yang diharapkan adalah Pemberian secara oral Memberikan manfaat yang tinggi dalam mengurangi VTE Respon dosis yang dapat diprediksi Tidak memerlukan tes koagulasi rutin Jendela terapi yang lebar Tidak memerlukan penyesuaian dosis pada banyak pasien Interaksi yang kecil pada obat dan makanan Ikatan plasma yang rendah dan nonspesifik Mula kerja yang cepat (pada pengobatan emboli pulmonal, infark miokard) atau mula kerja yang lambat (pada tromboprofilaksis operasi, kurang mempengaruhi hemostasis primer).

15

Pengobatan Tujuan pengobatan VTE adalah untuk mendorong trombolisis, mencegah perluasan trombus dan emboli pulmonal, dan mengurangi insidens VTE dan post phlebitic syndrom (PPS). Tujuan tambahan adalah obat ini dapat diterima sebagai pilihan terapi karena ketidak-nyamanan dan efek samping yang minimal.

Antikoagulan Antikoagulan merupakan terapi utama pada VTE. Pengobatan awal VTE berupa pemberian heparin selama 5 hingga 10 hari. Kemudian diteruskan dengan pemberian antikoagulan oral selama tiga bulan. Seringkali LMWH diberikan pada pasien rawat jalan menggantikan pemberian heparin pada pasien rawat inap. LMWH dosis tetap subkutan, tanpa monitor memiliki efektifitas dan keamanan yang sama dengan UFH intravena dosis penyesuaian. Dibandingkan dengan UFH, LMWH memiliki episode perdarahan mayor yang rendah dan penurunan mortalitas yang bermakna selama 3 hingga 6 bulan follow up. Tidak diperlukan monitoring laboratorium yang berkelanjutan. Terapi LMWH pada pasien rawat jalan efektif dan aman. Namun, pada pasien dengan risiko komplikasi perdarahan yang tinggi, terapi awal dengan UFH lebih disukai karena memiliki waktu paruh yang singkat dan mmemilki antidotum berupa protamine sulfat. Terapi jangka panjang UFH dapat menimbulkan komplikasi berupa osteoporosis dan heparin induced thrombocytopenia. Komplikasi tersebut jarang pada LMWH. Obat obatan lain seperti hirudin, lepirudin, dan derivat komarin (warfarin) jarang digunakan sebagai terapi antikoagulan inisial. Obat obat baru Telah tersedia oabat antikoagulan terbaru. Ximelagatran, merupakan direct thrombin inhibitor oral yang terdaftar sebagai pencegahan VTE pada pasien yang menjalani operasi penggantian lutut, pencegahan stroke dan kejadian emboli sistemik yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, dan pencegahan sekunder jangka panjang. Sementara untuk terapi sekunder jangka panjang setelah terapi standar pada episode
16

VTE, belum disetujui oleh badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration = FDA). Hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan adanya kejadian hepatotoksik yang berat. DTI oral yang lain, dabigatran etexialte, telah disetujui oleh European Medicines Agency (EMEA) dan Health Cananda untuk penceganan kejadian VTE pada pasien yang menjalani operasi total hip replacement (THR) dan total knee replacement (TKR). Hal tersebut disebabkan adanya gambaran profil keamanan hati yang lebih baik.

Dabigatran etexilate Latar belakang Selama lebih dari lima dekade, antagonis vitamin K warfarin telah menjadi antikoagulan oral standar untuk pengobatan jangka panjang. Meski efektif, warfarin memiliki kekurangan yang signifikan. Banyak hal yang mempengaruhi efektifias warfarin sebagai tromboprofilaksis seperti asupan vitamin K, konsumsi alkohol, dan obat obatan yang diberikan serta makanan. Dosis harian warfarin dapat sangat berbeda, dari dosis kurang dari 1 mg hingga 20 mg/hari, untuk menjaga pasien hingga mencapai target terapi International Normalized Ratio (INR). Selain itu juga memerlukan monitoring yang ketat serta penyesuaian dosis. Warfarin memiliki mula kerja yang lambat. Ketika diperlukan antikoagulan yang cepat, pasien harus menggunakan terapi antitrombin tambahan berupa heparin. Waktu paruh warfarin yang panjang, dikombinasikan dengan waktu paruh vitamin K yang tergantung faktor pembekuan juga memiliki andil atas terjadinya mula kerja yang lambat. Sehingga diperlukan antikoagulan oral alternatif. Antikoagulan oral yang baru, dabigatran etexilate tampak

17

Laboratory monitoring of direct thrombin inhibitors Rentang terapi dan monitoring Rekombinan hirudin perlu dimonitor dengan menggunakan activated parital thromboplastin time (aPTT). Lepirudin dimonitor sejak empat jam setelah terapi inisial dan tiap perubahan dosis dan setiap hari berikutnya. Target aPTT adalah 1,5 hingga 2,5 kali rata-rata nilai referensi. Di sisi lain, desirudin hanya perlu dimonitor bila pasein memiliki insufisiensi renal atau adanya peningkatan risiko perdarahan. Bila perlu, aPTT harus diperiksa setiap hari. Namun demikian, aPTT bukanlah monitor yang ideal untuk hirudin pada tingkat dosis yang tinggi, karena tidak ada hubungan linier terhadap peningkatan respon dosis. Pada saat diperlukan dosis tinggi seperti operasi bypass kardiopulmonal, respon aPTT tetap datar sehinga perlu digunakan ecarin clotting time (ECT) untuk memonitor terapi dengan hirudin. Bivalirudin dapat dimonitor dengan activated clotting time (ACT). Namun, hanya perlu dimonitor pada pasien dengan insufisiensi renal atau risiko perdarahan yang meningkat. Argatroban sebaiknya dimonitor dengan aPTT atau ACT. Nilai aPTT harus diukur setiap dua jam sejak terapi inisial hingga rentang terapi mencapai 1,5 hingga 3 kali nilai dasar aPTT didapatkan. Untungnya melagatran dan prodrug ximelagatran memiliki respon

antikoagulan yang dapat diprediksi sehingga tidak memerlukan monitor pada kebanyakan pasien. Nilai aPTT tidak memiliki korelasi terhadap manfaat dan risiko perdarahan.

18

Direct Thrombin Inhibitor


Direct Thrombin Inhibitor Argatroban Pemberian Waktu Paruh Klirens Dosis Monitor

Intravena

39-51 menit

Hepar

HIT 2 ug/kg/mnt PCT pada HIT -

Bivalirudin

Intravena

20-30 menit

80% metabolit plasma, 20% renal

0,75 mg/kg BB bolus, disertai infus 1,75 mg/kg/jam selama PTCA atau PCI

Lepirudin Ximelagran

Intravena Oral

60 menit 1,5-4 jam

Renal. Renal

0,15 mg/kg/jam Ximelagtran 24 mg, dua kali sehari

Monitor aPTT setiap dua jam hingga nilai aPTT 1,5-3 kali. Pasien dengan gangguan ginjal dimonitor dengan activated clotting time (ACT). ACT >300 detik menunjukkan antikoagulan adekuat Target aPTT 1,5 2,5. Tidak rutin diperlukan

Melagatran

Subkutan

19

BAB II SINDROM KORONER AKUT

Sindrom Koroner Akut Penyakit jantung koroner (PJK) sering didapatkan pada populasi usia lanjut, karena progresivitas proses aterosklerosis akibat proses menua. Manifestasi klinis antara pasien PJK usia lanjut dan pasien usia dewasa muda berbeda, sehingga PJK pada usia lanjut kadang-kadang tidak tau salah terdiagnosis. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya penyakit penyerta (superimposed). Selain itu pada pasien usia lanjut, karena sudah menurunnya aktivitas fisik, dan tidak akan terasa. Keluhan sesak nafas akan lebih banyak terasa daripada nyeri dada sebagai keluhan utama, baik pada kasus angina pektoris maupun pada infark miokard.

Intervensi pada Sindroma Koroner Akut Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty

BAB III Peran Antikoagulan dan Direct Thrombin Inhibitor Pada Sindrom Koroner Akut

Peran Antitrombotik Pada PJK

20

Konsep patofisiologi trombosis arteri perlu selalu mempertimbangkan tiga faktro yaitu abnormalitas dinding vaskuler termasuk endotel, viskositas dan aliran yang melambat (trias Virchow). Pada PJK patogenesis didahului oleh terbentuknya plak aterosklerosis. Plak yang semakin berkembang dan tumbuh menyebabkan diameter lumen arteri koronaria menyempit (lesi stenotik). Karena terjadisuatu trauma (faktor pencetus) pada plak maka plak mengalami erosi/ruptur dan menjadi tak stabil yang kemudian akan diikuti respon koagulasi melalui jalur esktrinsikdan aktivasi trombosit sehingga hasil akhir akan terbentuklah trombus. Hal tersebut merupakan dasar dari patofisiologi sindrom koroner akut (SKA). Benntuk klinis SKA adalah serangan angina tak stabil, infark miokard akut (IMA) gelombang non-Q, dan IMA gelombang Q. Paham yang dianut saat ini adalah bahwa ketiga bentuk SKA tersebut mempunyai patofisiologi yang sama dengan perbedaan terletak pada bentuk trombosis yang menyertainya. Angina tidak stabil ditandai oleh termbentuknya trombus mural, IMA gelombang non-Q oleh trombus

inkomplet/nonoklusif, sedangkan IMA gelombang Q terjadi tromboemboli dengan trombus komplet/oklusif pada plak aterosklerotik yang mengalami erosi/ruptur tersebut. Terbentuknya trommbus ini menyebabkan iskemia dan hipoksemia kardiak dengan segala konsekuensinya.

Antikoagulan Obat antikoagulan secara ringkas dibedakan menjadi yang diberikan parenteral dan oral. Antikoagulan parenteral standar adalah heparin (unfractinated heparin) yang dapat diberkan secara intravena atau subkutan. Heparin masih direkomendasikan untuk beberapa keadaan klinis PJK, meski perlu pemantauan ketat untuk menilai efektifitasnya. Sementara Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
21

merupakan heparin dengan berat molekul yang lebih ringan lebih superior daripada UFH karena lebih stabil, cara pemberian mudah (hanya subkutan), t idak memerlukan monitoring APTT, tetapi lebih mahal dibandingkan heparin standar.

Antagonis Vitamin K (inhibitor faktor II, VII, IX, X) Warfarin merupakan obat antikoagulan oral yang paling banyak dipakai di Amerika. Obat ini terpilihh karena mula kerja dan lama kerja yang mudah diprediksi. Obat ini bekerja mengganggu konversi siklik vitamin K sehingga akan menginaktifasi prokoagulan yang tergantung dengan vitamin K (faktor II, VII, IX, dan X).

Inhibitor Faktor Xa Direct Thrombin Inhibitor

BAB IV MONITORING DIRECT INHIBITOR

22

BAB V RINGKASAN

23

Anda mungkin juga menyukai