Manifestasi dasar dari SLE yaitu: arthritis, rash dan glomerulonefritis. Komplikasi umum yang menyertai biasanya trombositopenia, anemia hemolitika dan keterlibatan sistem saraf pusat. Sekitar 90% dari penderita terdiri dari wanita muda berumur sekitar 29 tahun. Perbedaan prevalansi antara kedua jenis kelamin tidak tampak sebelum pubertas dan sesudah menopause. Hal ini mencerminkan bahwa hormone (estrogen) cukup berpengaruh terhadap perkembangan SLE. Gambaran klinik penyakit SLE sangat beraneka ragam, sehingga lebih merupakan kumpulan sindrom daripada gambaran klinik penyakit yang khas. Pada beberapa kasus, manifestasi penyakit tersebut sangat parah, bahkan dapat menyebabkan kematian walaupun diobati secara instensif, sedang pada pihak lain gambaran klinik penyakit tersebut dapat sangat ringan. Aktivitas penyakit tersebut berfluktuasi: dalam periode tenang yang lama dapat dengan tiba-tiba terjadi letupan gejala yang nyata. Biasanya kerusakan pada serangan tadi merupakan ulangan dari serangan pada periode serangan sebelumnya. Dalam serum penderita SLE dapat diketemukan beraneka ragam auto-antibodi mulai dari antibody terhadap antigen komponen inti sel (DNA,histon,rRNA), sentromer sampai komponen dalam sitoplasma sel. Ciri khas dari auto-antibodi pada penderita SLE yaitu anti-DNA,khususnya terhadap dsDNA (double stranded DNA). Marka lain uyaitu antibody anti-SM yang mengikat ribonucleoprotein yang banyak mengandung protein. Hampir 35% dari serum penderita lupus mengandung antibody antiSm. Pada penelitian-penelitian dengan menggunakan antibody monoclonal, ternyata antibody anti-DNA dari penderita lupus berfsifat polispesifik, artinya dapat mengikat berbagai bentuk polinukleotida atau molekul lain. Sifat auto-antibodi lupus ini mungkin ada kaitannya dengan manifestasi auto antibodi yang bermacam-macam itu. Auto-antibodi lainnya mempunyai spesifitas terhadap eritrosit, trombosit, dan limfosit yang beturut- turut dapat menyebabkan gejala: anemia, trombositopenia dan limfopenia. Antibody limfositoksik dapat mengikat sel-sel limfosit T CD4 + , sehingga dengan menurunnya jumlah sel-sel tersebut dapat mengambil bagian dalam pathogenesis SLE. Sebelum timbulnya gejala glomerulonefritis, seringkali dalam serum penderita terjadi peningkatan kadaar antibody IgG anti-DNA khususnya IgG dan IgG3 yang merupakan subkelas yang paling mudah mengikat komplemen. Antibody tersebut membentuk kompleks imun dengan molekul DNA yang berasal dari sel yang telah rusak atau sel yang menua. Biasanya molekul kompleks imun ini berukuran sedang,
sehingga mudah diendapkan pada membrane glomerulus ginjal, batas epidermis di
kulit dan pada plexus choroideus dalam otak. Konsentrasi antibody yang terdapat pada glomerulus dapat 1000 kali lebih pekat daripada yang beredar dalam darah. Adanya penimbunan kompleks imun ini dapat mengaktifkan komplemen sehingga mengakibatkan reaksi radang. Penggunaan ini komplemen pada endapan kompleks imun tersebut menyebabkan penurun reaktivitas komplemen dalam serum. Penderita lupus dapat pula menghasilkan RF dalam bentuk IgM DAN igG yang membentuk kompleks dengan IgG (termasuk IgG anti-DNA) yang mengendap pada suhu dingin (krioglobulin). Kompleks imun dapat mengendap pada dinding pembuluh darah perifer yang suhunya mungkin lebih rendah daripada pembuluh darah pusat. Factor genetic penting dalam menentukan kepekaan seseorang untuk mendapatkan penyakit SLE. Hubungan dengan HLA ditemukan bahwa haplotipe dengan HLA-DR2 atau HLA-DR3 mempunyai risiko relative sebesar 3% untuk memperoleh SLE. Factor genetic lain telah dipetakan pada region MHC kelas III yang mengkode komponen komplemen. Namun perlu ditegaskan bahwa hubungan antara penyakit otoimun dan haplotipe MHC tertentu bukanlah hal yang absolute.