Anda di halaman 1dari 9

DARI PROGRAMMED CELL SURVIVAL

SAMPAI PROGRAMMED CELL DEATH PADA SEL OTOT JANTUNG


Faisal Baraas
Departemen Kardiologi FKUI/
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita

Ada 2 mekanisme kematian sel, yaitu secara apoptosis dan nekrosis. Kedua mekanisme
ini sesungguhnya merupakan fenomena morfologik. Kedua fenomena ini bisa disebabkan
oleh stres oksidatif sebagai pemicu awalnya, tapi proses kematian selanjutnya sangat
berbeda. Apoptosis kadang-kadang disebut juga sebagai programmed cell death kematian sel yang sudah terprogram dalam gen secara alami. Istilah apoptosis
sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani kuno yang berarti the falling off of leaves
from trees or petals from flowers. Secara alamiah daun-daun akan berguguran dari
pohonnya; demikian pula halnya dengan daun bunga akan berguguran dari tangkainya,
apabila sudah tiba takdirnya. Pembelahan sel selalu akan diimbangi oleh apoptosis, untuk
menjaga jumlah populasi sel-sel dalam jaringan tertentu senantiasa konstan.

Aspek Morfologik Kematian Sel


Dengan mikroskop elektron, apoptosis bisa dibedakan dari pola kematian sel lainnya,
yang kita kenal sebagai proses nekrosis sel (Gambar 1). Nekrosis terjadi karena adanya
faktor luar sel, seperti berba-gai faktor yang dapat menyebabkan lesi pada membran sel.
Kematian sel karena nekrosis ditandai dengan terjadinya edema sel (swelling) dan
perubahan mitokondria yang semula masih reversibel, lalu menjadi ireversibel dan
selanjutnya terjadi pemecahan membran sel, sehingga seluruh isi sel berhamburan
keluardari sel.
Berbeda dengan nekrosis, secara morfologik kematian sel karena apoptosis diawali
dengan terjadinya penciutan sel (shrinkage), benjolan-benjolan membran (blebbing) dan
kondensasi isi sel, kemudian diikuti dengan fenomena fragmentasi kromatin dan isi sel
lainnya menjadi badan-badan apoptotik yang kecil-kecil, tanpa disertai de-ngan
pecahnya membran sel. Kerusakan membran sel baru terjadi pada fase-fase akhir
apoptosis, ketika sel-sel fagosit mulai menelan dan memfagositosis sisa-sisa badan
apoptotik itu.
Morfologi apoptotik dapat diidentifikasi dalam berbagai situasi tertentu, seperti
hilangnya beberapa sel dalam masa pertumbuhan, regu-lasi hemostatik populasi sel,
atau dalam proses menua (aging process). Berbagai stres pada sel yang disebabkan oleh
apa pun dapat menyebabkan kematian sel, baik berupa apoptosis maupun nekrosis.
Dan iskemia mungkin merupakan penyebab yang paling sering terjadi yang dapat
menyebabkan stres oksidatif pada sel dalam kehidupan sehari-hari.

Gambar 1. Fenomena Kematian Sel :


Apoptosis dan Nekrosis
(Modifikasi dari Halliwell B and Gutteridge JMC. Free Radicals in Biology
and Medicine, 3rd ed. Oxford University Press, New York, 1999)

Aspek Molekuler Kematian Sel


Fase Iskemia
Karena oksigen merupakan komponen paling utama dalam proses metabolisme sel,
maka pusat awal lesi endotel karena iskemia justru terjadi pada sistem fosforilasi
oksidatif dalam mitokondria. Iskemia menyebabkan gagalnya respirasi fosforilasi
oksidatif di mitokondria sehingga pembentukan ATP menurun tajam, sementara ATP
yang ada sebagai sumber energi, dipecah menjadi ADP dan AMP untuk ber-bagai
aktivitas sel. ATP sendiri memang merupakan sumber energi dalam sel-sel endotel dan
sel-sel lainnya.
Deplesi ATP menyebabkan keluarnya ion Ca2+ dari retikulum endoplasmik ke dalam
sitoplasma; dan ion Ca2+ ini memacu aktivitas enzim fosfolipase yang dependen
terhadap kalsium, sehingga terjadi degradasi fosfolipid membran sel dan disfungsi
kanal-kanal ion (Gambar 2). Untuk mengimbangi kebutuhan energi itu, AMP akan
mengaktivasi enzim fosfofruktokinase dan fosforilase dalam pembentukan ATP kembali
dari pemecahan glikogen (glikolisis) secara anerobik. ATP juga dibentuk dari kreatin
fosfat secara anerobik dengan katalisator enzim kreatin kinase. Glikolisis anerobik

menyebabkan akumulasi asam laktat dan fosfat anorganik, sehingga pH intrasel pun
menurun.

LESI ISKEMIA
Deplesi ATP
di Mitokondria

Glikolisis Anerobik
Asam Laktat

Sequestered Ca
Asidosis
Cytosolic Ca
H+
Posfolipase
dependen Ca
Degradasi posfolipid
(membran sel)
Disfungsi kanal

Lesi
Membran &
Organel Sel

Influks Na+, Influks Ca2+


Efluks K+
Gambar 2. Lesi Iskemia pada Sel: Dimulai dari Deplesi ATP diMitokondria dan Glikolisis Anerobik.

Seperti telah kita ketahui bahwa sel mempunyai tekanan koloid osmotik intrasel
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ektrasel, karena konsentrasi protein intrasel
lebih tinggi. Tapi keadaan ini diimbangi oleh konsentrasi ion Na+ ekstrasel yang lebih
tinggi, karena peranan kanal NaK-ATP-ase pada membran sel (energy dependent sodium
pump channel). Sementara itu ion K+ lebih tinggi di bagian intrasel. Dalam keadaan
normal, kanal NaK-ATP-ase sel-sel miokard dan endotel berada dalam keadaan
tertutup. Apabila ATP dan ATP-ase berkurang karena episode iskemia, maka terjadilah
disfungsi kanal ion NaK-ATP-ase itu sehingga terbuka dan ion K+ pun keluar dari sel
(efluks K+) dan ion Na+ justru masuk ke dalam sel (influks Na+). Masuknya ion Na+
selalu disertai oleh H2O dan sel pun mengalami odem - retikulum endoplasmik,
mitokondria dan sistem intrasel yang lain meng-alami dilatasi, dengan fungsi yang
makin menurun. Sintesis protein dan enzim-enzim intrasel pun menurun. Kanal ion
Ca2+ juga meng-alami gangguan, sehingga ion Ca2+ meningkat masuk ke dalam
sitoplasma (influks Ca2+). Odem sel sesungguhnya masih reversibel, apabila episode
iskemia segera diikuti oleh episode reperfusi, sehingga pembentukan ATP pun normal
kembali.

Tetapi apabila secara morfologik, sel sudah mengalami defek pada membran sel,
vakuolisasi mitokondria, ruptur lisosom, piknosis nukleus, kariolisis, karioreksis dan
sebagainya, biasanya perubahan yang terjadi sudah bersifat ireversibel. Komponenkomponen sel lainnya meng-alami degradasi yang berkelanjutan, seperti protein-protein
sitoskeleton sel, enzim-enzim, ribonukleoprotein, deoksiribonukleoprotein, dan
sebagainya. Maka pH pun menurun dan asidotik, karena meningkatnya glikolisis,
akumulasi asam laktat dan pemecahan fosfat ester, disertai dengan perubahan
komposisi ion di dalam sel. Dan berbagai komponen molekuler pun lepas keluar sel.
Ireversibelitas sel sangat tergantung dari lamanya episode iskemia berlangsung dan
tingginya daya tahan masing-masing sel. Episode iskemia yang berkepanjangan dapat
menyebabkan terjadinya nekrosis sel. Sel hati misalnya, akan mengalami nekrosis
setelah iskemia berlangsung 1-2 jam; demikian pula halnya sel-sel otot jantung, cu-kup
tahan terhadap episode iskemia. Tapi sel-sel otak ternyata sa-ngat peka dan tidak begitu
mampu bertahan terhadap episode iskemia - sel-sel otak akan segera mengalami
nekrosis hanya dalam waktu 3-5 menit kemudian setelah iskemia.
Fase Reperfusi
Iskemia-reperfusi pada sel miokard merupakan sebuah fenomena, dimana episode
iskemia yang biasanya bersifat sementara, segera diikuti oleh episode reperfusi.
Reperfusi sesungguhnya bertujuan untuk revitalisasi sel, dimana sistem fosforilasi
oksidatif bisa aktif kembali untuk sintesis ATP sebagai sumber energi. Tapi oksigen
yang berlebih-an masuk ke dalam sel pada saat reperfusi, ternyata justru memberikan
efek samping yang serius, yaitu terbentuknya berbagai radikal bebas oksigen sebagai
produk-antara dalam sistem metabolisme intrasel, dengan katalisasi enzim-enzim
oksidatif yang ada dalam mitokondria, sitosol, lisosom, peroksisom, membran plasma,
dan sebagainya (Gambar 3).
Jika pada episode iskemia terjadi deplesi ATP menjadi adenosin dan hipoxantin,
maka pada episode berikutnya - yaitu episode reperfusi - terjadilah oksidasi hipoxantin
menjadi xantin (dan selanjutnya menjadi asam urat), serta terbentuknya radikal bebas
superoksid, melalui katalisasi enzim xantin oksidase. Itulah sebabnya, produksi asam
urat erat hubungannya dengan produksi radikal bebas okigen. Pada binatang, asam urat
akan didegradasi menjadi alantoin lebih dahulu oleh enzim urat oksidase (urikase) di
hepar, sebelum diekskresi melalui urin. Tetapi pada manusia, asam urat akan
dikeluarkan langsung melalui urin, karena manusia tidak mempunyai enzim urat
oksidase (urikase) itu. Kadar asam urat dalam serum yang normal berada di bawah 7
mg%. Di samping karena fenomena iskemia-reperfusi, peningkatan konsentrasi asam
urat dalam serum juga disebabkan oleh metabolisme purin yang berlebihan dan
menurunnya daya ekskresi glomerulus ginjal.

Gambar 3. Fenomena Iskemia-Reperfusi. Reperfusi sebagai mekanisme kompensasi terhadap iskemia harus
seimbang, agar tidak sampai terbentuk radikal bebas oksigen.

Menurunnya kadar asam urat dianggap sebagai marka adanya trapping terhadap
radikal bebas oksigen; dan sebaliknya, apabila kadar asam urat meningkat dianggap
sebagai marka meningkatnya produksi radikal bebas oksigen yang dikatalisasi oleh
xantin oksidase. Radikal bebas superoksid itu sendiri kemudian dapat terlibat dalam
rangkai-an reaksi lainnya, membentuk radikal hidrogen peroksid (H2O2) dan radikal
hidroksil (.OH-) yang sangat reaktif. Apabila tidak dinetralisir oleh antioksidan, radikal
hidroksil dapat menyebabkan reaksi peroksidasi lipid pada membran sel, atau bereaksi
dengan biomolekul intrasel lainnya.
Produksi radikal bebas superoksid ternyata bisa dihambat dengan pemberian
alupurinol, karena alupurinol dapat menginhibisi enzim xantin oksidase dan
mengaktivasi kembali enzim dehidrogenase, se-hingga xantin berubah kembali menjadi
hipoxantin dan selanjutnya menjadi adenosin - sebagai bahan dalam sintesis ATP itu
kembali. Adenosin sendiri sesungguhnya merupakan sinyal vasodilatasi - dan mungkin
pula berperanan sebagai mekanisme kompensasi - dengan mengaktivasi nitrik oksid
sintase dalam pembentukan nitrik oksid dari arginin menjadi sitrulin. Peningkatan
nitrik oksid akan menyebabkan vasodilatasi dan terjadinya episode reperfusi kembali,
untuk mengimbangi episode vasokontriksi koroner sebelumnya yang menyebabkan
episode iskemia itu.
Apabila mekanisme kompensasi ini gagal (dan itu berarti episode iskemia tetap
berlanjut), atau mekanisme kompensasi berupa vasodilatasi dan reperfusi ini amat
berlebihan (dan itu berarti meningkatnya oksigen dan radikal bebas oksigen), maka
akan terjadi luka pada sel endotel dan sel miokard - terjadilah programmed cell death
(apoptosis).

Mekanisme Molekuler pada Apoptosis


Mekanisme kematian sel secara apoptosis sesungguhnya memang berada di dalam
inti sel, berupa gen ced-3 dan ced-4 (ced, cell death). Gen pro-apoptosis ini mengkode
sintesis berbagai protease yang disebut sebagai caspases (cysteine-dependent aspartatespecific protease) - besar peranannya dalam proses cascade of proteases (proteolitik intrasel)
pada waktu terjadinya apoptosis. Caspases berada dalam sel dalam bentuk enzim
zomogen yang tidak aktif, tetapi sewaktu-waktu dapat diaktifasi menjadi aktif dan
menyebabkan proteolitik intrasel. Pada sel manusia, sudah dapat diidentifikasi sekitar
14 enzim caspases; sebagian bersifat sebagai inisiator proapoptotik dan sebagian lagi
sebagai inhibitor yang bersifat anti-apoptotik.
Protein ced-3 dan ced-4 yang dibentuk oleh gen ced-3 dan ced-4, merupakan efektor
terakhir yang akan menstimulasi proses apoptosis. Proses apoptosis dapat teraktifasi
melalui jalur ekstrinsik (reseptor TNF dan Fas), dapat pula melalui jalur intrinsik
(cytochrome-c mitokondria). Melalui jalur ekstrinsik, berbagai sinyal intrasel - seperti
protein death domains (DD) dan death effector domains (DED) - akan mengaktifasi caspase8, selanjutnya sampai pada caspase-4 dan mengaktifasi caspase-3 sebagai efektor proses
apoptosis. Jalur intrinsik akan meneruskan sinyal cytochrome-c yang keluar dari
mitokondria melalui protein sinyal intrasel Bcl-2 yang bersifat antiapoptosis atau
melalui protein sinyal Bax yang bersifat proapoptosis untuk mengaktifasi caspase-9.
Apabila Bcl-2 lebih dominan dari Bax, maka caspase-9 yang dia ktifasi akan berikatan
dengan caspase-4, sehingga mencegah aktifasi caspse-3 dan proses apoptosis pun tidak
terjadi. Tetapi apabila protein Bax lebih dominan, maka sinyal apoptotik akan
diteruskan melalui caspase-9 yang akan mengaktifasi langsung caspase-3 sebagai
efektor apoptosis.

Aspek Klinis :
Adaptasi Sel dan Kematian Sel
Dari aspek klinis, gangguan pada aliran darah koroner menyebabkan sel-sel miokard
tidak jarang mengalami iskemia, kekurangan oksigen. Hampir selalu fenomena iskemia
pada akhirnya diikuti oleh fenomena reperfusi, baik secara spontan, maupun dengan
sengaja dilakukan tindakan reperfusi langsung dengan trombolitik, angioplasti koroner,
atau pun operasi bedah pintas koroner. Itulah sebabnya, mengapa fenomena ini lebih
tepat disebut sebagai fenomena iskemia-reperfusi (Gambar 4). Fenomena iskemia-reperfusi
bisa berlangsung sesaat dan bersifat akut, bisa pula berkepanjangan dan kronik. Sel-sel
endotel dan miokard senantiasa akan merespons episode iskemia-reperfusi itu secara
imunologik untuk mengembalikan keseimbangan hemodinamik dan hemostasis
internal itu seperti semula.
Yang patut diingat adalah, bahwa tidak selamanya episode reperfusi akan selalu
berhasil sepenuhnya memperbaiki episode iskemia sebelumnya itu. Mungkin saja
episode reperfusi tidak begitu optimal efeknya, bahkan sebaliknya bisa pula justru
reperfusi terjadi secara berlebihan dan menyebabkan terjadinya nekrosis sel. Apabila
episode reperfusi paska iskemia berlangsung tidak optimal - dan itu berarti episode
iskemia tetap berlangsung berkepanjangan - maka sel-sel miokard akan mengalami

mekanisme defensif tertentu yang bersifat adaptif kronik, yang kini dikenal sebagai
hybernating myocardium.

Ischemia-Reperfusion Phenomen
Severe

Necrosis

Ischemia Episode
Mild/Moderate
Reperfusion Episode

Programmed Cell Survival


Hybernating Myocardium
Programmed Cell Death
Apoptosis

Severe

Mild/Moderate

Acute

Necrosis

Programmed Cell Survival


Stunning Myocardium

Chronic

Program Cell Survival


Preconditioning
Programmed Cell Death
Apoptosis

Gambar 4. Fenomena Iskemia Reperfusi dan Mekanisme Sel Miokard dalam Mempertahankan Diri:
Hybernating, Stunning, dan Preconditioning.

Tetapi apabila episode reperfusi paska iskemia berlangsung berlebih-an, maka sel-sel
miokard akan mengalami mekanisme defensif tertentu yang justru bersifat akut, yang
disebut sebagai stunning myocardium. Dan stunning myocardium yang berlangsung secara
berulang, ter-nyata dapat meningkatkan daya tahan miokard terhadap episode iskemiareperfusi yang lebih berat berikutnya - dan fenomena inilah yang dikenal sebagai
preconditioning.
Hybernating myocardium yang bersifat kronik dan stunning myocardium yang bersifat
akut, semula merupakan istilah klinis untuk res-pons disfungsi sel-sel miokard paska
episode iskemia-reperfusi - dimana kontraktilitas miokard sangat menurun - karena
berkurangnya ATP sebagai sumber energi bagi aktivitas kanal-kanal ion, filamenfilamen kontraktil, dan berbagai sistem metabolisme intrasel yang lainnya.
Secara klinis, hybernating dan stunning myocardium adalah menurunnya kontraktilitas
ventrikel kiri karena episode iskemia-reperfusi, walau pun tidak ada kelainan filamenfilamen kontraktil yang ireversibel. Dan preconditoning adalah peristiwa stunning
myocardium yang terjadi secara berulang (repetitive stunning), yang menyebabkan sel-sel
otot jantung menjadi lebih tahan terhadap episode iskemia-reperfusi berikutnya yang
lebih berat di kemudian hari.

Hybernating myocardium disebabkan oleh episode iskemia yang berkepanjangan pada


penyakit jantung koroner, tetapi tidak disertai dengan episode reperfusi yang cukup
optimal untuk revitalisasi elemen-elemen sel secara sempurna. Menurunnya sumber
energi ATP pada fase iskemia itu - walau pun tidak sampai menyebabkan kelainan
ireversibel pada filamen kontraktil - menyebabkan sel miokard bertahan dan
menyesuaikan diri dengan keadaan itu (programmed cell survival). Dan karena episode
reperfusi ternyata tidak cukup optimal untuk restorasi sel kembali, maka hybernating
pun berlangsung kronik. Apabila dilakukan reperfusi dengan terapi trombolitik,
tindakan angioplasti atau pun bedah pintas koroner, kontraktilitas ventrikel kiri pada
hybernating myocardium akan segera menjadi normal kembali.
Berbeda dengan hybernating, pada stunning myocardium perbaikan kontraktilitas
ventrikel kiri tidak segera terjadi, ketika dilakukan tindakan reperfusi. Penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri bisa bertahan berjam-jam atau bahkan sampai berbulanbulan paska reperfusi, walau pun juga tidak terdapat kelainan yang ireversibel pada
filamen kontraktil. Gangguan pada kontraktilitas ventrikel kiri bahkan bisa berlangsung
sampai 3-6 jam kemudian paska oklusi koroner akut yang berlangsung hanya sekitar 515 menit pada binatang percobaan.
Ischemic preconditioning merupakan peristiwa iskemia-reperfusi yang berlangsung
berulang-ulang dalam tenggat waktu yang relatif pendek dengan stres yang ringan atau
moderat dan dapat menyebabkan terjadinya stunning myocardium yang berulang pula;
oleh karena itu preconditioning kadang-kadang disebut pula sebagai repetitive stunning suatu mekanisme kompensasi yang dikenal dengan istilah programmed cell survival.
Berbagai penelitian kini menunjukkan bahwa programmed cell survival berupa
hybernating myocardium dan preconditioning ini secara perlahan - apabila tidak segera
mendapatkan revitalisasi yang optimal - akan mengalami penurunan yang signifikan
dan mulai terjadi proses kematian sel yang disebut programmed cell death (apoptosis).

Kesimpulan
Sel-sel otot jantung senantiasa mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap stres apa pun yang dialaminya, yang disebut sebagai programmed cell survival.
Stres oksidatif yang disebabkan oleh faktor apapun, merupakan risiko yang paling
utama bagi sel-sel otot jantung dan dapat menyebabkan kematian sel berupa nekrosis
atau pun apoptosis. Secara morfologik dan molekuler, mekanisme nekrosis dan
apoptosis sel memang berbeda.

Daftar Pustaka
Alberts B, Bray D, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, et al. Essential Cell Biology. An Introduction to
the Molecular Biology of the Cell. Garland Publishing, New York, 1998.
Austyn JM and Wood KJ. Principles of Cellular and Molecular Immunology. Oxford University Press, New
York, 1995
Baraas F. Kardiologi Molekuler. Radikal Bebas, Disfungsi Endotel, Aterosklerosis, Antioksidan, Latihan Fisik
dan Rehabilitasi Jantung. Kardia Iqratama, Jakarta, 2006.
Cotran RS, Kumar V, Robbins SL. Robbins Pathologic Basis of Disease, 4th ed. WB Saunders Company,
Philadelphia, 1989.
Depre C, Taegtmeyer H. Metabolic Aspects of Programmed Cell Survival and Cell Death in the Heart.
Cardiovasc Res 2000; 45: 538-48.
Dispersyn GD, Borgers M, Flameng W. Apoptosis in Chronic Hybernating Myocardium: Sleeping to Death?
Cardiovasc Res 2000; 45: 696-703.
Gelehrter TD, Collins FS, Ginsburg D. Principles of Medical Genetics, 2nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore,
1998.
Halliwell B and Gutteridge JMC. Free Radicals in Biology and Medicine, 3rd ed. Oxford University Press,
New York, 1999.
Haunstetter A and Izumo S. Toward Antiapoptosis as a New Treatment Modality. Circ Res 2000; 86: 371376.
Kang PM and Izumo S. Apoptosis and Heart Failure: A Critical Review of the Literature. Circ Res 2000; 86:
1107-1113.
Kockx MM, Herman AG. Apoptosis in Atherosclerosis: beneficial or Detrimental? Cardiovasc Res 2000; 45:
736-46.
Lodish H, Berk A, Zipursky SL, Matsudaira P, Baltimore D, Darnell J. Molecular Cell Biology, 4th ed. WH
Freeman and Company, New York, 2000.
Mallat Z and Tedgui A. Current Perspective on the Role of Apoptosis in Atherothrombotic Disease. Cir Res
2001; 88: 998-1003
Reed JC. Mechanisms of Apoptosis. Am J Pathol 2000; 157: 1415-1430.
Roberts R (ed). Molecular Basis of Cardiology. Blackwell Scientific Publications, Boston, 1993.
Saikumar P, Dong Z, Mikhailov V, Denton M, Weinberg JM, Venkatachalam MA. Apoptosis: Definition,
Mechanisms and Relevance to Disease. Am J Med 1999; 107: 489-506.
Saraste A, Pulkki K. Morphologic and Biochemical Hallmarks of Apoptosis. Cardiovasc Res 2000; 45: 52837.
Swynghedauw B. Molecular Cardiology for the Cardiologist, Second Edition.Kluwer Academic Publishers,
Norwell, Massachusetts, 1998.
Wolfe SL. Molecular and Cellular Biology. Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, 1993.

***

Anda mungkin juga menyukai