Anda di halaman 1dari 4

Nama : Filza Asqurini

Nim : F11071201046
Kelas : 3-A2
Prodi : Pendidikan Biologi
Matkul : ETNOBOTANI

A. Definisi Etnobotani

Etnobotani berasal dari kata "etnologi" kajian mengenai budaya, dan "botani" kajian
mengenai tumbuhan. Maka Etnobotani merupakan ilmu yang mempelajari tentang hubungan
manusia dengan tumbuhan (Walujo, 1935, dalam Munawaroh, 2012). Etnobotani adalah ilmu
yang mempelajari tentang pemanfaatan berbagai macam tumbuhan secara tradisonal oleh
masyarakat pedalaman, seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya etnobotani
berkembang menjadi cabang ilmu yang interdisipliner mempelajari hubungan manusia
dengan alam sekitarnya (Habibah, 2012).

Sedangkan menurut Suryadarma (2008) dalam Munawaroh (2012) mengatakan bahwa


etnobotani memanfaatkan nilai-nilai pengetahuan masyarakat tradisional dalam penggunaan
tumbuhan secara praktis. Dalam hal tersebut telah terjadi hubungan saling mengisi, yang
memanfaatkan keunikan-keunikan nilai pengetahuan tradisional dalam memahami
kebudayaan dan pemanfaatan tumbuhan sebagai obat secara praktis.

Menurut Soekarno dan Riswan (1992) dalam Permatasari (2013), Suatu cabang Ilmu
yang sangat kompleks, dan dalam pelaksanaanya membutuhkan pendekatan terpadu dari
banyak disiplin ilmu diantaranya ilmu taksonomi, ekologi, geografi tumbuhan, kehutanan,
pertanian sejarah, antropologi dan ilmu lain. Berbeda dengan pendapat Yatias (2015),
bahwasanya Etnobotani adalah Cabang ilmu pengetahuan yang mendalami persepsi serta
konsepsi masyarakat tentang sumber daya nabati beserta lingkungannya.

Dari beberapa pendapat diatas mengenai pengertian etnobotani maka dapat diambil
kesimpulan bahwa etnobotani adalah Suatu Ilmu yang mempelajari tentang hubungan
manusia dengan lingkungan, khususunya dengan tumbuhtumbuhan. Sehingga hubungan
tersebut menghasilkan sebuah pengetahuan lokal masyarakat dan diturunkan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Etnobotani pertamakali dikemukakan oleh Harsberger pada tahun 1895 di Pennsylvania


dalam seuah seminar oleh para ahli Arkeologi yang membahas tentang cara-cara
memanfaatkan tumbuhan oleh masyarakat primitif, seperti ditemukannya penggunaan
beberapa tanaman oleh masyarakat Indian Amerika (Amerindiens) (Friedbreg and Claudine,
1995 dalam Permatasari, 2013). Akan tetapi pengetahuan tentang etnobotani telah dikenal
lama sebelum itu. Sekitar tahun 77M, dokter bedah yang bernama Dioscorides
mempublikasikan sebuah katalog yang berjudul “de Materia Medica” berisi tentang ± 600
jenis tumbuhan Mediterania. Selain itu dalam Katalog tersebut berisi tentang cara-cara
pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai obat oleh orang Yunani.

Sejarah ilmu etnobotani di Indonesia diketahui sebelum Abad ke 18, dengan


ditemukannya fosil di tanah Jawa berupa Lumpang, Alu dan Pipisan yang terbuat dari batu,
hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ramuan untuk kesehatan telah dimulai sejak zaman
Mesoneolitikum. Penggunaan ramuan untuk pengobatan tercantum di prasasti sejak abad 5M
antara lain relief di Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Candi Penataran sekitar abad 8-
9M. Selain itu ditemukannya Usada Bali yang merupakan uraian penggunaan jamu yang
ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, Sansekerta dan Bahasa Bali di daun lontar pada tahun 991-
1016 M (Andriati dan Wahyudi, 2016).

B. Perkembangan Ilmu Etnobotani

Untuk pengembangan ilmu maka etnobotani sebaiknya dilakukan dengan multidisiplin ilmu
meliputi disiplin Botani murni, seperti taksonomi, ekologi, sitologi, biokimia, fisiologi, tetapi
juga ilmu sosial terutama antropologi budaya dan ilmu-ilmu lain dari Pertanian Kehutanan
maupun Hortikultura yang banyak memperhatikan persoalan perbanyakan, budidaya,
pemanenan, pengolahan, ekonomi produksi, dan pasar (Walujo 2008).

Saat ini, perkembangan penelitian etnobotani mengalami kemajuan di seluruh dunia, namun
fokusnya bervariasi. Penelitian etnobotani di Asia lebih diarahkan pada pendokumentasian
pengetahuan tumbuhan obat, sedangkan di Afrika lebih diarahkan pada pengetahuan
pertanian tradisional yang dipadukan dengan program pengembangan wilayah pedalaman.
Walaupun demikian bila ditelusur dari publikasi yang ada kemajuan penelitian etnobotani
paling banyak terjadi di Amerika. Lebih dari 50% publikasi penelitian yang dihasilkan
berasal dari Benua Amerika sisanya berasal dari dengan wilayah lain (Cotton 1996). Hal
tersebut menunjukkan bahwa penelitian di negara kita (Indonesia) masih tertinggal dari
negara lainnya, padahal sejak jaman dahulu Indonesia terkenal dengan tanaman rempah dan
jamu-jamuan, serta keragaman bahan pangan lokal.
Pada abad ke-18, Rumphius telah membuat Herbarium Amboinense yang kemudian
mengarah ke ekonomi botani. Kemudian Hasskarl pada tahun 1845 telah mencatat
penggunaan lebih dari 900 jenis tumbuhan Indonesia. Tahun 1982
dibangun museum etnobotani di Balai Penelitian Botani-Puslit Biologi, LIPI. Selanjutnya
setiap tiga tahun sekali diadakan seminar atau lokakarya etnobotani, sampai akhirnya pada
tahun 1998 tercapailah Masyarakat Etnobotani Indonesia. Beberapa perguruan tinggi,
seperti Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, kini membangun program
pascasarjana mengenai etnobotani. Namun masalah yang timbul dewasa ini adalah kurangnya
pendekatan partisipatif yang memungkinkan peneliti diterima di lingkungan masyarakat lokal
untuk mengurangi hambatan kultural.

Di Afrika, pemerintah telah fokus pada pengetahuan tentang


sistem pertanian tradisional masyarakat lokal untuk menunjang pembangunan pertanian bagi
masyarakat pedesaan. Sementara Australia juga fokus mempelajari cara-
cara tradisional dalam pengelolaan tumbuhan dengan memperhatikan aspek ekologis. Di
Amerika, penelitian yang paling banyak dilakukan adalah penelitian mengenai etnobotani
(sekitar 41%). Di Asia, peneliti lebih memfokuskan untuk mendapatkan senyawa kimia baru
untuk bahan obat-obatan.] Etnobotani juga mengalami perkembangan yang sangat pesat
terutama di beberapa negara seperti Amerika, India, China, Vietnam dan Malaysia
ABSTRAK

Andrade-Cetto, A. & M. Heinrich. 2011. From the field into the lab: useful approaches to selecting
species based on local knowledge. Frontiers in Pharmacology 2: 1- 5.

Betti, J.L. 2002. Medicinal plants sold in Younde market, Cameroon. African Study Monographs 2(2):

47-64. Bhasin, V. 2007. Medical anthropology : a review. Ethno.Med. 1(1): 1-20.

Boissiere, M., M. Van Heist, D. Sheil, I.Basuki, S. Frazier, U. Ginting, M. Wan, B. Hariyadi, H.D.
Kristianto, J.Bemei, R.Haruway, E.R. Ch. Marien. D.P.H. Koibur, Y. Watopa, I. Rachman & N. Liswanti.
2009. Pentingnya sumber daya alam bagi masyarakat lokal daerah aliran sungai Mamberamo, Papua,
dan implikasinya bagi konservasi. Journal of Tropical Ethnobiology 1(2): 76-95.

Cotton, C.M. 1996. Ethnobotany: principles and applications. John Wiley and Sons, West Sussex: ix +
424 hlm.

Cunningham, A.B. 2001. Applied ethnobotany: people, wild plant use & conservation. Earthscan
Publications Ltd., Abingdon: xx + 300 hlm

Daval, N. 2009. Consevation and cultivation of ethnomedicinal plants in Jharkhand. Dalam : Trivedi,
P.C. Medicinal plants utilisation and conservation. Aavishkar Publishers Distributor, Jaipur. India:
130-136

Idu, McD., J.O. Erhabor & H.M. Efijuemue. 2010. Documentation on medicinal plant sold in market in
Abeokuta, Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research 9(2): 110-118.

Anda mungkin juga menyukai