Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN PRAKTIKUM

PARASITOLOGI II

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - I

IDENTIFIKASI PROTOZOA

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Identifikasi Protozoa
II. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui morfologi dan struktur protozoa
2. Mengelompokkan protozoa ke dalam classis yang berbeda berdasarkan
persamaan dan perbedaan ciri.
III. METODE
Slide atau sediaan jadi (Mikroskopis)
IV. PRINSIP
Mengamati sediaan protozoa yang sudah jadi menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40x
V. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
- Mikroskop
b. Bahan
- Slide / Sediaan jadi
VI. PROSEDUR KERJA
1. Siapkan mikroskop dan nyalakan Mikroskop.
2. Jika mikroskop sudah nyala dan sudah siap digunakan maka letakkan slide
(sediaan sudah jadi) di meja preparat dan jepit menggunakan preparat yang
ada di meja preparat.
3. Lalu atur focus untuk memperjelas objek yang ingin dilihat dengan memutar
focus kasar (pengatur kasar) sambil dilihat dari lensa okuler, jika ingin
memperjelas putarlah focus halus (pengatur halus).
4. Jika bayangan objek sudah jelas ditemukan, perbesaran diganti dengan lensa
objektif dengan ukuran 40x atau 100x, dengan memutar revolver sehingga
berbunyi klik.
5. Jika sudah maka cukup hanya memainkan focus halus saja (jagan putar focus
kasar lagi), lalu amati dan digambar.
VII. HASIL PENGAMATAN
Morfologi Larva Anopheles
- Sipon tidak ada
- Ada lubang pernapasan dan
lapisan punggung
Morfologi Larva Aedes
- Memiliki tubuh langsing
memanjang yang terbagi
menjadi tiga bagian tubuh,
yaitu kepala, thorax dan
abdomen yang secara
keseluruhan bagian abdomen
terbagi oleh 10 ruas-ruas
tubuh tetapi ruas ke-9 dan
ke-10 sulit teramati.
Morfologi Telur Aedes
- Bentuk lonjong tampak
seperti anyaman kasa,
bewarna hitam.
- Telur tanpa alat apung,
menempel pada dinding
container (tempat
penampungan air), tepat di
atas permukaan air jernih.
Morfologi Telur Mansonia
- Saling berdekatan
- Bentuk lancip seperti duri
- Biasanya terletak dibalik
permukaan tumbuhan air
- Siphon berujung lancip dan
bersegmen gelap (fase larva)
- Corong pernapasan seperti
duri (fase pupa)
- Fisik sayap lebar dan
asimetris
Morfologi Cimex Lectularius
- Tidak bersayap, hanya
nampak sisa sayap saja di
depan
- Bentuk dewasa berbadan
lonjong, pipih dorsoventral
- Tubuh tertutup oleh bulu
rambut pendek
- Panjang badan 4 - 5,5mm
Morfologi C.felis (kutu kepala )
- Kepala kecil dan panjang
mempunyai dua macam
comb yaitu oral dan pronotal
comb.
- Duri pertama dari genal
camb (oral comb) hampir
sama panjang dari ke-2
Morfologi C. felis
- Kepala kecil dan panjang
duri pertama genal comb
(oral comb).
- Memiliki ukuran tubuh kecil
1-2 mm, berwarna cokelat
tua atau hitam, tubuh pipih,
tidak bersayap tetapi
memiliki tiga pasang tungkai
yang panjang
Morfologi Ctenocephalides canis (kutu anjing)
- Dewasa , tulang genal
pertama adalah lebih pendek
dari yang kedua, kepala
bulat dari pada
ctenocephalides felis
Morfologi C.lakturalis
- Tubuhnya pipih,badannya
oval,pipih.bersegmen terdiri
atas kepala, thorak dan
abdomen, bewarna kuning
coklat pada larva dan merah
pada imago.
Morfologi Toxoplasma Gondi Tokizoit
- Bentuk tokizoit menyerupai
bulan sabit dengan ujung
runcing dan ujung lain agak
membulat
- Ukuran panjang 4-8 mikron
- Lebar 2-4 mikron dan
mempunyai selaput sel
Morfologi Gondi Ookista
- Berbentuk lonjong
berukuran 12,5 mikron
- Ookista mempunyai dinding,
berisi satu sporoblas yang
membelah menjadi dua
sporoblas
- Pada perkembangan
selanjutnya ke dua sporoblas
membentuk dinding dan
menjadi dua sporoblas
Morfologi Giardia Lamblia Vegetatif
- Hospes = manusia
- Bentuk = vegetative
- Besar = 14 mikron
- Bagian anterior membuat
dan bagian posterior
meruncing. Bagian ventral
satu batil isap yang besar
- Terdapat dua inti dengan
kariosom besar ditengah dan
empat pasang flagel. Dua
benda melintang sebagai
benda farabasal
VIII. PEMBAHASAN
Berdasarkan pratikum kali ini akan membahas tentang protozoa merupakan jenis
protista yang menyerupai hewan. Protozoa berasal dari bahasa Yunani, yaitu proto
yang berarti pertama dan zoa yang berarti hewan. Sifat umum protozoa adalah
uniselluler, heterotrofik, dan merupakan cikal bakal hewan yang lebih kompleks.
Filum protozoa merupakan hewan yang tubuhnya terdri dari satu sel. Nama protozoa
berasal dari bahasa latin yang berarti “hewan yang pertama” (proto = awal, zoon =
hewan). Hewan filum ini hidup di daerah lembab, misalnya di air tawar, air laut, air
payau, dan tanah, bahkan di dalam tubuh organisme lain. Protozoa ada yang hidup
bebas, komensal maupun parasit pada hewan lain. Hewan ini ada yang hidup
individual (soliter) dan ada pula yang membentuk koloni.
Protozoa adalah organisme-organisme heterotrofik yang ditemukan di semua
habitat utama. Sebagian di antaranya hidup bebas, sedangkan yang lainnya hidup
sebagai parasit di dalam tubuh hewan. Sebagaian protozoa juga menjalani gaya hidup
simbiotik berupa komensalisme dan mutualisme. Protozoa parasitik menyebabkan
beberapa penyakit manusia yang paling tersebar luas dan membahayakan. Pada
umumnya, reproduksi protozoa adalah aseksual, tetapi terjadi juga pola-pola seksual
yang kompleks.
Dari 7 spesies yang tergolong sebagai protozoa amuba yang hidup dalam saluran
pencernaan yaitu Entamoeba histolytica, Entamoeba coli, Entamoeba hartmanni,
Entamoeba polecki, Entamoeba gingivalis, Endolimax nana dan lodamoeba butschilii;
hanya Entamoeba histolytica yang bersifat patogen, dan juga ada yang bersifat non
patogen. Protozoa lainnya adalah non-patogen meskipun demikian adanya
kekurangtelitian dalam melakukan identifikasi di laboratorium menyebabkan sulit
membedakan antara Entamoeba histolytica dengan Entamoeba coli.
Parasit gastrointestinal memegang peranan penting terhadap kesehatan primata
dan merupakan penyebab dari timbulnya penyakit parasitik, baik yang hidup secara
ex-situ maupun in-situ. Hal ini tidak terkecuali pada spesies primata yang hidup di
kawasan wisata Pulau Weh Sabang.
Penyakit infeksi parasit usus terutama yang disebabkan oleh protozoa masih
menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia.
Walaupun telah dilakukan pemberantasan sejak lama dengan pengobatan dan lain-
lain, prevalensi penyakit ini masih cukup tinggi karena rantai penularan oleh sumber
infeksi terus terjadi. Orang-orang yang berperan dalam penularan adalah mereka yang
dalam tinjanya mengandung kista meskipun < 90% dari mereka sehat.
Protozoa terdiri dari empat kelas antara lain Flagellata, Ciliata, Sporozoa, dan
Rhizopoda. Ciri dari kelas flagellata yaitu memiliki alat gerak berupa rambut cambuk.
Memiliki bentuk yang panjang, runcing pada bagian anterior dan tumpu pada bagian
posterior dan memiliki satu inti. Terdiri dari 2 subkelas yaitu Fitomastigophora dan
Zoomastigophora. Contohmya Euglena viridis memiliki tubuh secara anatomis yang
menyerupai gelendong. Di dalam tubuhnya terdapat nukleus yang berfungsi sebagai
pusat pengendali seluruh kegiatan aktivitasnya, mempunyai vakuola kontraktil,
kloroplas sebagai tempat fotosintesis ketika sinar matahari mencukupi, terdapat pula
stigma serta flagel yang berfungsi sebagai alat gerak yang memilki stigma (bintik
mata berwarna merah) digunakan untuk membedakan gelap dan terang. Untuk
reproduksi Euglena viridis berkembang biak secara vegetatif, yaitu dengan
pembelahan biner secara membujur/longitudinal. Pembelahan ini dimulai dengan
membelahnya nukleus menjadi dua. Selanjutnya flagel dan sitoplasma serta selaput
sel juga terbagi menjadi dua. Akhirnya terbentuklah dua sel euglena baru. Sistem
sirkulasi Euglena viridis mengambil zat organik yang terlarut di sekitarnya.
Pengambilan zat organik dilakukan dengan cara absorbsi melalui membran sel.
Selanjutnya, zat makanan itu dicernakan secara enzimatis di dalam sitoplasma.
Habitat Euglena viridis air tawar seperti di kolam peternakan atau parit saluran air,
yang mengkonsumsi kotoran binatang.

IX. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat di simpulkan bahwa pada pengamatan slide /
sediaan jadi di temukan 15 protozoa yang berbeda-beda yaitu : Toxoplasma gondii
Tokozoit, Toxoplasma gondii Ookista, Giardia Lamblia vegetatif, xenopsylla cheopis,
ctenocephalides Felis, Pedicilus humanus capitis, Ctenocephalides Canis,
Ctenocephalides Felis, Cimex Lectularis, Larva Mansonia, Telur Mansonia, Larva
Culex, Larva Anopheles, Telur Aedes, Larva Aedes.
Pada saat melakukan pengamatan mengamati dari mikroskop & Menggambar
serta menulis Morfologi nya. Protozoa merupakan makhluk uniseluler yang memiliki
alat gerak berupa rambut getar (cilia), rambut cambuk (flagel), kaki semu
(pseudopodia) atau tidak mempunyai alat gerak. Tubuh berupa gumpalan protoplasma
terdiri dari ektoplasma berupa plasma bagian luar dan endoplasma berupa plasma
bagian dalam. Umumnya hidup diperairan tawar, di tempat lembab, laut, di tanah dan
pada hewan.
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Dewi, Rita: 2010. Distribusi Parasit Usus Protozoa di Kabupaten Hulu Sungai
Utara Kalimantan Selatan. Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan. Vol 20. No. 1. Hal (9-18).
2. George H, Fried. Biologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga, 2006.
Hala, Yusminah. Biologi Umum 2. Makassar: UIN Alauddin Press, 2007.
Nurhayati: 2010. Gambaran Infeksi Protozoa Intestinal Pada Anak Binaan
Rumah singgah Amanah Kota Padang. Jurnal Penelitian Majalah Kedokteran
Andalas No.1. Vol.34. Hal (62-69).
XI. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - II

PEMBUATAN OVITRAP DAN CARA PENGGUNAANNYA

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Pembuatan Ovitrap dan cara penggunaannya
II. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui cara serta langkah-langkah pembuatan ovitrap
2. Mahasiswa mampu mengetahui cara pemeriksaan jenik nyamuk melalui metode
ovitrap.
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi jentik nyamuk yang tertangkap dalam
ovitrap.
III. METODE
Ovitrap / visual
IV. PRINSIP
Ovitrap diletakkan di tempat yang lembab dan gelap, ovitrap kemudian di isi
dengan air, kemudian nyamuk akan terperangkap kedalam tabung ovitrap,kemudian
nyamuk akan menggelurkan telur, kemudian menjadi jentik nyamuk.
V. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
- Gunting
- Pisau
- Plaster
- Plastik hitam
- Sendok
- Piring
b. Bahan
- Botol aqua bekas
- Air hangat
- Garam
VI. PROSEDUR KERJA

a. Pembuatan ovitrap
1. Siapkan alat dan bahan
2. Kemudian dipotong botol plastic, hingga terbagi menjadi dua bagian
3. Dibagain atas botol dimasukan kedalam botol bagian bawah
4. Ditutup menggunakan plastic hitam ( bagian luar saja yang ditutupi dengan
plastic hitam )
5. Jika sudah tertutupi botol siap diisi dengan air dan ovitrap siap digunakan.
b. Penggunaan ovitrap
1. Diletakkan ovitrap ketempat-tempat yang menjadi habitat bagi nyamuk-
nyamuk contohnya seperti nyamuk Aedes aegpty, seperti di tempat yang
lembab dan sedikit cahaya matahari.
2. Kemudian ditunggu kurang lebih satu sampai dua minggu, awasi agar air
tidak tumpah .
3. Diambil ovitrap, kemudian diamati jika terdapat telur atau larva nyamuk .
4. Diambil larva nyamuk atau telur nyamuk untntuk identifikasi dibawah
mikroskop.

VII. HASIL PENGAMATAN


Morfologi nyamuk Aedes aegeptiy
- Pada tabung sphon tidak
tampak duri
- Terdapat satu kelompok
rambut pada tabung shipon
- Ujungnya tidak terdapat
spina
- Dibagaian punggung (
dorsal) tamapak dua garis
melengkung

Morfologi telur Anopheles


- Berbentuk perahu dengan
pelampung di kedua
sisinya
- Satu persatu dipertemukan
di air

VIII. PEMBAHASAN
Pembahasan Nyamuk Ae. aegypti merupakan nyamuk vektor utama yang
menyebarkan virus dengue, penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
DBD merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Sejak
kemunculan kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya, angka kejadian DBD terhitung
tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu pengendalian yang tepat untuk menekan
kejadian DBD yaitu dengan memberantas vektor penyakit tersebut.
1. Aplikasi Metode Ovitrap
Salah satu metode pengendalian nyamuk Ae. aegypti yaitu dengan
menggunakan ovitrap. Ovitrap merupakan salah satu alat survei nyamuk yang
dilakukan dengan cara memasang ovitrap di dalam dan di luar rumah yang di
survei. Alat ini berupa container terbuat dari bahan kaleng, plastik, gelas,
ataupun bambu yang diisi air, diletakkan pada tempattempat tertentu. Alat ini
digunakan untuk mendeteksi adanya nyamuk Aedes dan juga untuk
pemberantasan larvanya. Ovitrap diletakkan di tempat yang gelap dan
lembab. Setelah satu minggu dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya
nyamuk dalam padel. Aplikasi ovitrap B2P2VRP Salatiga lebih kepada fungsi
pengukuran populasi nyamuk di masyarakat dengan menjebak telur nyamuk.
Menurut Tanjung (2011) oleh karena fungsinya, ovitrap dapat sangat
membantu dalam upaya pengendalian vektor demam berdarah. Ovitrap sering
digunakan ketika evaluasi program fogging di wilayah Salatiga. Ovitrap
dipasang di dalam dan di luar rumah, hal ini dilakukan agar pengukuran
populasi nyamuk lebih valid. Menurut Utomo dkk, (2005) kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dijalankan pengendalian nyamuk
Aedes di masyarakat, menimbulkan nyamuk ini kehilangan banyak tempat
perindukan di dalam rumah, dan mencari tempat lain di luar rumah. Penelitian
ini membuktikan bahwa ovitrap yang dipasang di luar rumah menghasilkan
kepadatan telur Aedes yang tinggi. Oleh karena itu hasil survei lebih optimal
apabila ovitrap dipasang di dalam dan di luar rumah. Perilaku/bionomik
nyamuk biasanya dijadikan sebagai dasar pengendalian yang tepat. Tempat
perkembangbiakkan utama nyamuk Aedes sp. adalah tempat-tempat
penampungan air/kontainer di dalam atau di sekitar rumah atau tempat-tempat
umum, biasanya berjarak kurang 500 meter dari rumah, berupa genangan air
yang tertampung di suatu tempat atau bejana (kontainer) dan bukan genangan
air yang langsung berhubungan dengan tanah. Nyamuk Aedes lebih tertarik
untuk meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling
menyukai warna hitam, terbuka lebar, dan terutama yang terletak di tempat-
tempat terlindung sinar matahari langsung (Purnamasari dkk, 2011). Oleh
karenanya, ovitrap dibuat mirip dengan perindukan aslinya yaitu kontainer
yang berasal dari barang bekas seperti kaleng/ gelas plastik yang berisi air
bersih didalamnya biasanya berwarna gelap. Menurut Kemenkes RI, 2011
Nyamuk Ae. aegypti betina mempunyai kebiasaan mengisap darah. Darah
diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat menetas. Waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk
mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari.
Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus gonotropik. Nyamuk ini
beristirahat pada tempat yang gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah,
berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya. Oleh karena itu, agar
mendapatkan hasil telur yang optimal, pemasangan ovitrap sebaiknya
mengikuti kebiasaan vektor. Hal inilah yang menjadikan ovitrap dipasang di
dalam dan di luar rumah dengan jarak kurang dari 500 m serta pada tempat
yang gelap dan lembab diduga habitat nyamuk. Ovitrap yang pernah
dikembangkan di B2P2VRP adalah ovitrap standar dan lethal ovitrap. Ovitrap
standar berupa gelas plastik 350 mililiter, tinggi 91 milimeter dan diameter 75
milimeter dicat hitam bagian luarnya, diisi air tiga per empat bagian, dan
diberi lapisan kertas, bilah kayu, atau bambu sebagai tempat bertelur
(ovistrip). Pada pelaksanannya yang biasa dipakai adalah ovitrap standar yang
terbuat dari gelas plastik/kaca yang diwarnai hitam yang dilapisi kertas saring
dibagian dalamnya kemudian diisi air hingga ¾ bagian gelas. Pengendalian
dengan menggunakan ovitrap juga pernah dilakukan di B2P2VRP salah
satunya saat pelaksanaan penelitian mengenai model pengendalian terpadu
vektor demam berdarah dengue di kota Salatiga. Ovitrap digunakan untuk
mengukur kepadatan nyamuk sebelum dan sesudah pengendalian. Hasil
penelitian menunjukkan adanya penurunan ovitrap indeks dari 14,49% turun
menjadi 8,88%. Sesekali air ovitrap dimodifikasi dengan atraktan berupa air
rendaman jerami. Berdasarkan uji laboratorium air jerami memamg lebih
disukai oleh nyamuk Ae. aegypti untuk bertelur. Hasil penelitian
membuktikan bahwa jumlah telur yang terperangkap pada air rendaman
jerami paling banyak (669,1 butir), dibandingkan kontrol positif (+) 314,1
butir; air hujan 297,3 butir; dan air ragi tape 114,4 butir (Bugis, 2013). Oleh
karena itu, B2P2VRP menambahkan atraktan berupa air rendaman jerami
10%. Jenis ovitrap yang lain adalah lethal ovitrap. Lethal ovitrap (LO) adalah
varian nama untuk ovitrap hasil modifikasi yang dapat membunuh nyamuk
Aedes. Lethal ovitrap di buat untuk membunuh nyamuk, dikarenakan nyamuk
yang akan bertelur bersentuhan dengan ovistrip (Oviposition trip) yang
mengandung insektisida dan dalam waktu relatif singkat akan mati (Sayono,
2008). Aplikasi dengan menggunakan insektisida tidak dianjurkan untuk
pengendalian di B2P2VRP. Hal ini dikarenakan insektisida dapat
menimbulkan resistensi pada vektor yang bersangkutan. Beberapa penelitian
juga telah melaporkan resistensi Ae. aegypti terhadap beberapa insektisida
seperti organofosfat, malathion, Allethrin, Permethrin, dan Cypermethrin.
Aplikasi lethal ovitrap dengan insektisida hanya dilakukan apabila terdapat
penelitian yang mengenai lethal ovitrap. Bilamana lethal ovitrap diaplikasikan
pada lingkungan masyarakat, maka insektisida yang digunakan harus
disesuaikan dengan kondisi daerah sasaran. Terkait dengan insektisida yang
sudah resisten di daerah sasaran sebaiknya dihindari dan tidak digunakan
untuk program pengendalian vektor Ae. aegypti. Sebagai alat survei telur
nyamuk Ae. aegypti, ovitrap memiliki beberapa keuggulan dan kekurangan
dalam penggunaannya. Ovitrap juga berfungsi dalam pengendalian yaitu
memutus siklus hidup vektor. Telur yang terjebak dalam ovitrap juga bisa
langsung dibuang sehingga telur Ae. aegypti mati dan tidak dapat berkembang
menjadi larva maupun nyamuk. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Tanjung (2011), bahwa ovitrap efektif dalam mengurangi jumlah
vektor DBD karena telur atau larva dapat sangat mudah ditemukan dan
dibuang, sehingga sangat membantu dalam program pengendalian DBD.
Ovitrap merupakan alat yang murah dan sederhana, karena komponennya
dapat dibuat sendiri dengan menggunakan barang bekas yang mudah
ditemukan di setiap rumah, seperti kaleng bekas, kepingan bambu atau kayu
dan air. Selain itu, ovitrap mudah, baik dalam pembersihan maupun
perawatan. Perawatan hanya dengan mengganti airnya setiap minggu dan
menyikat bagian dalam bejananya. Perlakuan ini sama dengan prinsip
menguras bak mandi (3M), hanya dilakukan pada wadah yang lebih kecil.
IX. KESIMPULAN
Ovitrap adalah adalah langkah pembasmian nyamuk dengan cara lebih aman bagi
lingkungan tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya bagi kesehatan.
Ovitrap adalah alat yang digunakan untuk memutuskan siklus hidup nyamuk
sebelum pupa nyamuk berubah menjadi nyamuk.

X. DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. ( Januari 2011 ). Identifikasi Nyamuk. Diakses 9 Maret 2014, dari
http://www.slideshare.net/AriniUtami/lap-parasitologi-ii-nyamuk
2. Anonim. (2010). Pengendalian Vektor Epidemiologi Pinjal. Diakses 9 Maret
2014, dari http://kesmas-unsoed.info/2011/05/makalah-pinjal-mata-kuliah-
pengendalian-vektor-epidemiologi.html
3. Anonim. (2001). Bionomik Nyamuk (Pengendalian Vektor Nyamuk). Fakultas
Kedokteran Universitas Jendral Soedirman:Purwokerto.

XI. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - III

PENGIRIMAN SPESIMEN FESES UNTUK PENDETEKSIAN PARASIT

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Pengiriman spesimen feses untuk pendeteksian parasit
II. TUJUAN
1. Mahasiwa mampu mengetahui langkah-langkah dalam pengiriman spesimen
feses
III. METODE
Pengiriman dengan medium transpor Stuart.

IV. PRINSIP

Spesimen feses mungkin dikirm ke laboratorium spesialistik untuk


pengidentifikasian parasite yang jarang ditemukan dan sulit dikenali. Dalam hal ini,
suatu bahan pengawet harus ditambhakan ke spesimen sebelum spesimen tersebut
dikirim untuk pemeriksaan.

V. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
- Wadah specimen
- Aplikator
b. Bahan
- Feses
- Larutan formaldehid 10%(reagen no.28) untuk spesimen basah
- Lugol 0,5% (reagen no.37)
- Larutan fiksatif polunil alcohol (PVA) (reagen no.44)
- Larutan fiksatif Tiometsal-Iodine-Formaldehid(TIF) (reagen no.58), untuk
spesimen basah
VI. PROSEDUR KERJA
a. Cara 1 (menggunakan larutan formaldehid)
1. Dibuat campuran feses ke dalam larutan formaldehid dengan
perbandingan 1:3
2. Ratakan campuran hingga homogen menggunakan aplikator
3. Lalu tutup wadah spesimen, diberi plester dan diberi label

` # Adapun dengan menggunakan larutan PVA pengerjaannya sama dengan cara

larutan formaldehid.

b. Cara 2
1. Siapkan kaca objek lalu diberi label
2. Ambil NaCl (yang sudah dipanaskan/fiksasi) 1-2 tetes, taruh ditengah kaca
objek, larutkan (asam asetat dan lugol yang sudah dicampur dengan
perbandingan 1:1) diambil dan dicampurkan atau teteskan diatas kaca
objek
3. Ambil feses menggunakan aplikator lalu dicampurkan merata dengan
larutan-larutan yang sudah ditetesi tadi kemudian tutup menggunakan
deckglass
VII. HASIL PENGAMATAN

Nama probandus : Intan lestari


Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
➢ Makroskopis
Warna : Kuning kecoklatan
Konsentrasi : Padat
Bau : Khas
Darah : Negatif
Lendir : Negatif

- Pada cara 1 didapatkan konsentrasi cair dengan warna coklat keruh


- Pada cara 2 diperoleh warna kecoklatan pada kaca objek sampel

VIII. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini akan membahas tentang pengambilan specimen ada
beberapa factor yang perlu diperhatikan ketika mengambil specimen pada pasien.
Yaitu keadaan fisiologi pasien, persiapkan pasien sebelum pengambilan spesimen.
Untuk menjamin bahwa spesimen yang diperoleh benar-benarbermanfaat, spesimen
tersebut harus diambil pada waktu yang tepat. Pengambilan spesimen secara
acakhanya dilakukan pada masa situasi-situasi darurat. Feces (tinja) normal terdiri
dari sisa-sisa makanan yang tidak tercerna, air, bermacamproduk hasil pencernaan
makanan dan kuman- kuman nonpatogen. Orang dewasa
normalmengeluarkan 100 – 300 gram tinja per hari. Dari jumlah tesebut 60- 70%
merupakan air dansisanya terdiri dari substansi solid (10-20%) yang terdiri dari
makanan yang tidak tercerna(selulosa), sisa makanan yang tidak terabsorbsi, sel- sel
saluran pencernaan (sel epitel) yangrusak, bakteri dan unsur- unsur lain (+
30%).
Tinja yang dikeluarkan merupakan hasil pencernaan dari +10 liter cairan
masuk dalam saluran cerna. Tinja normal menggambarkanbentuk dan ukuran liang
kolon. Tinja merupakan spesimen yang penting untuk diagnosis adanya kelainan pada
systemtraktus gastrointestinal seperti diare, infeksi parasit, pendarahan
gastrointestinal, ulkus peptikum,karsinoma dan sindroma malabsorbsi. Pemeriksaan
dan tes yang dapat dilakukan pada tinjaumumnya meliputi : Tes makroskopi, tes
mikroskopi, tes kimia dan tes mikrobiologi. Sampel tinja akan dinilai konsistensi,
warna, dan baunya, serta adanya lendir atau tidak. Selain itu, tes ini juga memeriksa
ada tidaknya bakteri, cacing, atau parasit penyebab infeksi, darah, lemak, cairan
empedu, gula, sel darah putih, dan serat daging, serta mengukur tingkat keasaman
pada sampel tinja pasien.
Pengiriman feses bisa dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya pada tes untuk
mengetahui adanya parasit atau cacing yang menempel di tinja, pengambilan sampel
bisa dilakukan sebanyak dua kali atau lebih. Pada pemeriksaan feses untuk
mengetahui ada atau tidaknya lemak, pengambilan sampel tinja dilakukan selama tiga
hari berturut-turut. Jika mengalami gejala gangguan saluran cerna setelah berpergian
ke luar negeri, dokter akan menyarankan pengambilan sampel tinja dilakukan selama
7-10 hari berturut-turut.
Pengambilan sampel tinja umumnya tidak menyebabkan rasa sakit, kecuali pada
pasien dengan konstipasi yang akan kesulitan dan sakit ketika mengejan.

IX. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil praktikum maka dapat disimpulkan bahwa campuran feses
dan larutan formaldehid yang telah tercampur. Untuk konsentrasi feses dengan
larutan formaldehid berubah bentuk menjadi cair dan diperoleh warna kuning
kecoklatan.

X. DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. 2007. Pedoman pengambilan, penyimpanan, pengemasan dan
pengiriman spesimen darah.
2. Gandahusada. S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran.
Fakultas kedokteran.
3. Hanafiah K.A, 2003. Rancangan Percobaan, Teori pengiriman spesimen
Universitas Sriwijaya. Palembang PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
4. Irianto, K. 2013. Parasitologi Medis. Alfabeta. Bandung
5. Kementrian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Pengendalian pengiriman spesimen
.Jakarta:

XI. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - IV

PEMERIKSAAN FESES MENGGUNAKAN LARUTAN

SALINE/IODINE

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Pemeriksaan feses menggunakan larutan saline dan iodine
II. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui metode dan langkah-langkah dalam
pemeriksaan feses menggunakan larutan saline dan iodine secara benar
III. METODE
Metode dalam pemeriksaan menggunakan metode makroskopis.

IV. PRINSIP
Prinsip pemerikaan dengan dilakukannya metode pemeriksaan makroskopis tinja
dan pemeriksaan mikroskopik metode ulas basah.

V. ALAT DAN BAHAN

a. Alat
- Mikroskop
- Kaca objek
- Aplikator
- Objek glass
b. Bahan
- Larutan formaldehid 10% (reagen no.18 untuk spesimennya basah)
- Larutan lugol iodine 0,5% (reagen no. 37)
VI. PROSEDUR KERJA
1. Buat campuran feses dalam larutan formaldehid dengan perbandingan 1:3
2. Ratakan campuran hingga homogeny menggunakan batang pengaduk
3. Setelah itu, menetaskan larutan saline dan iodine kekaca objek
4. Mengambil sampel feses untuk mendeteksi telur parasit
5. Teknik memasang penutup kaca objek untuk menghindari terbentuknya
gelembung udara
6. Arah pemeriksaan preparat untuk pendeteksikan parasite
7. Pewarnaan preparat saline dengan biru metilne
8. Mengawetkan specimen feses dalam larutan Formaldehid
9. Meratakan campura specimen feses dengan batang pengaduk
10. Membuat apusan feses diatas kaca objek.
VII. HASIL PENGAMATAN

Nama probandus : Intan lestari


Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
➢ Makroskopis
Warna : Kuning kecoklatan
Konsentrasi : Padat
Bau : Khas
Darah : Negatif
Lendir : Negatif

➢ Mikroskopis
Parasit :-
Ookista :-
Lemak : Terdapat lemak

VIII. PEMBAHASAN
Pemeriksaan mikroskopis merupakan langkah yang penting dalam mendeteksi
abnormalitas pada usus. Pemeriksaan mikroskopis merupakan pemeriksaan
diagnostik yang digunakan untuk melihat adanya leukosit, jenis protozoa, dan telur
cacing.
Cacing yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan makroskopis dapat dilihat
menggunakan pemeriksaan mikroskopis. Direct wet mount, saline wet mount, dan
iodine wet mount dapat digunakan untuk melihat bentuk cacing, telur, larva,
tropozoit, dan kista. Iodine wet mount lebih baik digunakan jika ingin melihat kista.
Cara sederhana tersebut ialah dengan sedikit menaruh sampel tinja yang diemulsi
dalam 1-2 tetes saline atau iodine pada slide kaca, kemudian slide kaca baru
ditempatkan di atasnya dan sediaan diperiksa di bawah mikroskop.
Leukosit : Pada keadaan normal, leukosit tidak ditemukan dalam tinja. Untuk
pemeriksaan leukosit, sampel tinja diambil pada bagian yang berlendir. Leukosit
biasanya didapati pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Dan tidak ditemukan
pada kasus diare yang disebabkan oleh virus dan parasit.
Eritrosit : Pada keadaan normal, eritrosit tidak ditemukan dalam tinja. Invasi
amoeba dapat menyebabkan adanya darah pada tinja. Keadaan seperti disentri juga
merupakan infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai darah atau lendir.
Penyebab lain adanya eritrosit pada tinja adalah inflammatory bowel disease,
keganasan, ulkus peptikum, angiodisplasia, dan divertikulosis.

IX. KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang kami lakukan, dari hasil makroskopis didapatkan
hasil konsistensi dari sampel feses yaitu lunak. Tekstur feses berbentuk dan berwarna
kecoklatan,dan tidak terdapatnya lender ataupun darah.
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Natadisatra, D & Agoes, R. 2009.Parasitologi Kedokteran (Ditinjau Dari
OrganTubuh Yang Diserang).Jakarta: EGC.
2. Pusarawati, Suhintam, dkk. (2014)Atlas Parasitologi
Kedokteran.Jakarta:EGC.
XI. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - V

PEWARNAAN EOSIN UNTUK TROFOZOIT DAN KISTA FESES

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Pemeriksaan Feses menggunakan Eosin
II. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui metode dalam pemeriksaan feses
menggunakan eosin.
2. Dapat melakukan pemeriksaan feses secara makroskopis
3. Dapat membuat sediaan dan melakukan pemeriksaan secara mikroskopis
4. Melakukan interprestasi terhadap hasil pemeriksaan makroskopis maupun
mikroskopis
5. Mampu menegakkan diagnosis

III. METODE
Metode dalam pemeriksaan ini menggunakan Eosin
• Emulsikan sedikit spesies feses dalam larutan esosin 1% di atas kaca objek. buat
pulasan di atas kaca objek seluas kira-kira 2 cm x 1 cm.
• Pulasan ditutup dengan penutup kaca objek lalu letakkan di bawah mikroskop.
• Gunakan objektif x10 dan amati pulasan secara sistematis untuk tropozoit dan
kista yang tak terwarnai. Amati lebih rinci dengan objek x40.
Pewarnaan eosin memberikan latar belakang pink sehingga tropozoit dan kista
yang terwarnai dapat terlihat jelas.
IV. PRINSIP
Kromatin dalam inti akan mengikat cat yang bersifat basa (hemaktosilin) dan
protein sitoplasma akan mengikat cat yang bersifat asam (eosin) sehingga sel akan
berwarna merah muda dengan inti berwarna biru keunguan.
V. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
- Mikroskop
- Objek glass
- Pipet tetes
- Kaca objek
- Penutup kaca objek
b. Bahan
- Larutan Eosin 1%
VI. PROSEDUR KERJA
1. Ambil feses menggunakan aplikator sesuai yang diperlukan,
2. Teteskan eosin 1% didalam kaca objek sebanyak satu tetes,
3. Ratakan dengan aplikator di atas kaca objek dan buang bagian seratnya lalu,
4. Tutup dengan dack glass,
5. Kemudian amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x,40x,sampai
100x.
VII. HASIL PENGAMATAN

Nama probandus : Intan lestari


Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
➢ Makroskopis
Warna : Kuning kecoklatan
Konsentrasi : Padat
Bau : Khas
Darah : Negatif
Lendir : Negatif

➢ Mikroskopis
Parasit :-
Ookista :-
Lemak : Terdapat lemak
Dalam identifikasi ini warna lemak berubah menjadi warna kuning dan
pewarnaan eosin digunakan untuk mewarnai latar sehingga menjadi merah.

VIII. PEMBAHASAN
Pewarnaan dengan iodine atau eosin Dengan perwarnaan ini kita dapat
memperjelas gambaran telur cacing yang dalam keadaan alamiahnya memiliki
dinding yang tidak berwarna. Dengan pewarnaan ini bagian-bagian tubuh larva
cacing juga akan tampak lebih jelas sehingga lebih mudahuntuk mengidentifikasi
spesies cacingnya. Dengan cat iodine (misalnya lugol)gambaran morfologi kista dari
protozoa juga dapat menjadi lebih jelas sehingga lebih mudah diidentifikasi.
Eosin adalah larutan yang sering digunakan untuk pemeriksaan mikroskopik
sebagai usaha mencari protozoa dan telur cacing serta digunakan sebagai baham
pengencer tinja (Gandasoebatra,2007). Telur cacing akan tampak lebih jelas apabila
diberikan warna pada tinja dengan 21 menggunakan Eosin 2% sebagai pengganti
larutan Nacl fsiologis (Deokes,2006). Eosin yang digunakan adalah Eosin 2%. Eosin
2% diperoleh dengan mencampurkan 2 gr Eosin bluish dalam 100 ml sodium sitrat
2,9% atau aquades (Arifiyantini, 2006)

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemeriksaan

1. Tinja
Tinja untuk pemeriksaan sebaiknya berasal dari defeksi spontan. Untuk
pemeriksaan biasa diperlukan tinja sewaktu, jarang diperlukan tinja 24 jam
untuk pemeriksaan feses. Tinja hendaknya diperiksa dalam keadaan segar,
Apabila dibiarkan terlalu lama unsur-unsur dalam tinja akan rusak.
Pengiriman tinja dilakukan dengan menggunakan wadah yang terbuat dari
kaca atau dari bahan lain yang tidak dapat tembus misalnya plastik. Apabila
konsistensi tinja keras dapat menggunakan dos karton berlapis parafin
(Gandasoebrata, 2007). Pemeriksaan penting dalam tinja ialah terhadap parasit
dan telur cacing. Apabila akan memeriksa tinja, perlu dilakukkan pemilihan
bagian dari tinja yang memberikan kemungkinan besar dapat ditemukan
kelainan, misalnya bagian yang bercampur darah atau lendir (Gandasoebrata,
2007).
2. Kualitas reagan
Kualitas stok Giemsa yang digunaakan harus sesuai standar mutu anatara
lain tidak tercemar air dan masih aktif.kualitas air pengencer pewarna Giemsa
harus jernih, tidak berbau, dan memiliki derajat keasaman pengencer 6,8-7,2.
Perubahan PH pada pewarna Giemsa pengaruh terhadap kualitas pewarna
(Wardani,2013).
3. Teknik pemeriksaan
Teknik pemeriksaan dilakukaan dengan meneteskan larutan ke atas kaca
objek atau feses yang diambil harus sesuai kebutuhan, larutan dengan feses
harus homogen. Sediaan ditutup dengan kaca penutup sampai tidak ada
gelembung dan pemeriksaan menggunakan mikroskop harus benar. Sediaan
harus tipis, agar unsur-unsur jelas terlihat dan dapat dikenal
(Gandasoebrata,2007)
IX. KESIMPULAN
Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa dalam identifikasi ini warna
lemak berubah menjadi warna kuning dan pewarnaan eosin digunakan untuk
mewarnai latar sehingga menjadi merah dan waktu pada saat menetekan larutan eosin
1% ke kaca objek ditunggu sampai kering dan menempel pada kaca objek selama 30
menit, setelah kering dibilas menggunakan aquadest, dan tutup sampel dan larutan
eosin menggunakan dack glass, setelah itu amati dibawah mikroskop.
Dengan hasil pengamatan :
➢ Makroskopis
Warna : Kuning kecoklatan
Konsentrasi : Padat
Bau : Khas
Darah : Negatif
Lendir : Negatif

➢ Mikroskopis
Parasit :-
Ookista :-
Lemak : Terdapat lemak

X. DAFTAR PUSTAKA
1. Gandahusada. S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran.
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
2. Irianto, K. 2013. Parasitologi Medis. Alfabeta. Bandung
3. Setya, K. A. (2013). Parasitologi: Praktikum Analis Kesehatan.Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

XI. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - VI

PEWARNAAN CEPAT FIELD UNTUK TROFOZOIT FESES

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Pewarnaan cepat Field untuk trofozoit feses
II. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui metode dalam pemeriksaan
feses menggunakan Field.
III. METODE
Metode dalam pemeriksaan ini menggunakan pewarna Field
1. Buat preparat-fekal tipis dengan larutan natrium klorida di kaca objek yang
bersih.
2. Begitu preparat kering, fiksasi dengan methanol (menutupi seluruh preparat)
selama tiga menit.
3. Bilas methanol tersebut.
4. Teteskan 1 ml larutan pewarna Field B encer ke kaca objek menggunakan
pipet, selanjutnya, teteskan lagi 1 ml larutan pewarna Field A yang tidak
diencerkan ke kaca objek tersebut.
5. Campur kedua larutan di atas sampai merata dengan memiring-miringkan
kaca objek, dan biarkan preparat terwarnai selama 1 menit.
6. Setelah itu, bilas kaca objek dengan air dan biarkan mongering.
7. Setelah kering, periksa pulasan di bawah mikroskop dengan objektif 100x
(memakai minyak imersi). Amati pulasan dengan seksama, terutama di sekitar
tepi-tepinya.
Sitoplasma dan flagel trofozoit Giardia intestinalis terwarnai biru,
sedangkan nukleusnya terwarnai merah. Kista G. intetinalis juga terwarnai
biru dan nukleusnya terwarnai merah.
IV. PRINSIP
Pewarna Field A dan B, yang merupakan larutan yang dalam air, tidak seperti
pewarna yang lain yang menggunakan methanol. Pewarna field digunakan sebagai
pewarna sediaan tipis atau tebal.
V. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
- Mikroskop
- Kaca objek
- Rak kaca objek
b. Bahan
- Larutan pewarna Field (reagen no 25)
- Field A (Tidak diencerkan)
- Field B (Diencerkan 1 : 4 dengan air suling)
- Larutan Natrium Klorida 0,85% (reagen no.53)
- Metanol
VI. PROSEDUR KERJA
1. Buat preparat fekal tipis dengan larutan natrium klorida dibaca dikaca objek
setelah kering, fiksasi dengan methanol selama 5 menit.
2. Setelah kering, fiksasi dengan methanol selama 5 menit.
3. Teteskan larutan field B menggunakan pipet selanjutnya teteskan larutan Field
A 1 ml, kekaca objek.
4. Campurkan kedua larutan dan biarkan 1 menit.
5. Periksa pulasan di bawah mikroskop dengan objektif 100x
VII. HASIL PENGAMATAN

Nama probandus : Intan lestari


Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
➢ Makroskopis
Warna : Kuning kecoklatan
Konsentrasi : Padat
Bau : Khas
Darah : Negatif
Lendir : Negatif

➢ Mikroskopis
Parasit :-
Ookista :-
Lemak : Terdapat lemak

Tidak ditemukan Parasit


VIII. PEMBAHASAN
Tinja adalah hasil dari digesti dan absorpsi asupan (intake) air, makanan (per
oral), saliva, cairan lambung, cairan yang berasal dari pankreas, dan cairan empedu
yang semuanya berperan pada proses pencernaan makanan. Orang dewasa
mengeluarkan feses antara 100-300 gram/hari yang 70% diantaranya adalah tinja.
Bentuk dan komposisi feses bergantung pada proses absorpsi, sekresi dan
fermentasi. Feses normal akan berwarna kuning (berasal dari degradasi pigmen
empedu oleh bakteri), tidak lembek dan tidak keras, berbau khas (berasal dari indol,
skatol, dan asam butirat). Protein yang tidak tercerna dengan baik akan menyebabkan
bau yang kuat.
Pemeriksaan feses di lakukan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun
larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di dilakukan untuk tujuan
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien.
Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui
adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan
mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit
berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu
pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya
berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan.
Pemeriksaan apusan darah tepi tipis dan tebal dengan menggunakan pewarnaan
Field maupun Giemsa masih menjadi baku emas diagnosis malaria dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi jika diperiksa oleh para ahli. Fields staining
adalah metode yang baik untuk mewarnai film yang tebal dan sangat cepat.
Field A dan Field B tersedia dipasaran dalam bentuk bubuk yang telah siap pakai,
tetapi kita dapat membuat sendiri larutan ini. Reagent yang digunakan untuk
membuat field A adalah methylene blue 1,6 gram, Azur 1 gram, Disodium
dihydrogen Phospate andhydrous 12,5 gram, air destilasi 1000 ml. Campurkan
garam-garam tambah 500 ml air, kemudian campurkan Methylene blue dan azur
setelah tercampur rata campurkan dengan air garam tadi dan setelah homogen
cukupkan volume menjadi 1000 ml. Sedangkan Field B dibuat dengan Eosin 2 gram,
Disodium dihydrogen phospate anhydrous 10 gram, potassium dihydrogen phospate
anhydrous 12,5 gram dan air destilasi 1000 ml. Campurkan garam-garam kedalam air
destilasi sebanyak 500 ml kemudian masukkan eosin setelah homogen cukupkan
volumenya menjadi 1000 ml.
Fields staining adalah metode yang baik untuk mewarnai film yang tebal dan
sangat cepat. Penelitian Gaikwad et al. (2016), menunjukkan bahwa pewarnaan
Leishman sebanding dengan Giemsa dalam hal sensitivitas dan spesifisitas. Fields
stain memberi 97,72% sensitivitas dan spesifisitas 100%.
Namun kenyamanan dalam menggunakan Metode pewarnaan field, stabilitas
reagennya di negara tropis, durasi metode pewarnaan yang lebih pendek
menjadikannya metode yang tepat digunakan dalam kondisi saat jumlah slide banyak
untuk diwarnai dan ditafsirkan. Menentukan metode pewarnaan yang baik yang cepat,
hemat biaya, memberikan hasil yang konsisten dan dapat digunakan oleh para ahli
dan adalah kunci untuk diagnosis yang efektif.
IX. KESIMPULAN
Tinja adalah hasil dari digesti dan absorpsi asupan (intake) air, makanan (per
oral), saliva, cairan lambung, cairan yang berasal dari pankreas, dan cairan empedu
yang semuanya berperan pada proses pencernaan makanan. Orang dewasa
mengeluarkan feses antara 100-300 gram/hari yang 70% diantaranya adalah tinja.
Pewarna Field A dan B, yang merupakan larutan dalam air, tidak seperti pewarna
yang lain yang menggunakan methanol. Pewarna Field digunakan sebagai pewarna
sediaan tipis atau tebal.
X. DAFTAR PUSTAKA
1. Gaikwad, D., C. A. Kumar and S. Baveja. 2016. Comparative Staining
Methods for Microscopic Diagnosis of Malaria. Indian Journal of Research
5(8) : 236-237.
2. Padoli, 2016. Mikrobiologi dan Parasitologi Keperawatan. Kementerian
kesehatan Republik indonesia (KEMENKESRI). Jakarta.
3. World Health Organization (WHO). 1991. Basic Laboratory Methods in
Medical Parasitology. England.

XI. LAMPIRAN
LAPORAN PRAKTIKUM

PERCOBAAN KE - VII

TEKNIK ZIEHL-NEELSEN UNTUK PEWARNAAN

OOKISTA CRYPTOSPORIDIUM SPP

DISUSUN OLEH :

NAMA : FATMAWATI

NIM : 19.72.021576

KELAS : B SEMESTER III

MATA KULIAH : PARASITOLOGI II

DOSEN PENGAMPU : NURHALINA, SKM, M.Epid

ASISTEN PRAKTIKUM : ELITA RIFIANTI,.A.Md.AK

AYUN SUNDARI,.A.Md.AK

TIO RINALDO TUMUN,.A.Md.AK

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021
I. JUDUL
Teknik Ziehl-neelsen untuk pewarnaan ookista cryptosporidium spp
II. TUJUAN
1. Mahasiswa mampu mengetahui pemeriksaan menggunakan Ziehl-Nelseen
2. Mahasiswa mampu memahami metode apa saja dalam pemeriksaan feses.
III. METODE
Metode dalam pemeriksaan ini menggunakan Ziel-Nelseen
1. Emulsikan sedikit feses dalam larutan saline di atas kaca objek yang bersih.
Buat pulasan seluas kira-kira 2 cm x 1 cm
2. Biarkan pulasan mongering sebelum difiksasi dalam methanol absolut selama
5 menit. Bila pasien diketahui, atau dicurigai, positif – HIV, fiksasi pulasan
dalam uap formalin selama 15 menit, yaitu dengan meletakkan kaca objek di
dalam cawan petri yang dialasi kapas yang dibasahi formalin
3. Celupkan kaca objek ke dalam fuksin karbol selama 15 menit. Bilas zat warna
dengan air
4. Celupkan kaca objek ke dalam larutan etanol-asam untuk melunturkan warna
sampai menjadi agak pink. Bilas kaca objek dengan air
5. Warnai kembali kaca objek tersebut dengan larutan hijau malakit selama 2
menit. Bilas dengan air dan letakkan di dalam rak hingga kering
6. Amati objek kaca tersebut di bawah mikroskop menggunakan objektif 40x
IV. PRINSIP
Mikobakterium dan ookista Cryptosporidium spp., yang diwarnai dengan larutan
fuksin karbol yang pekat dan panas, resisten terhadap pemudaran warna oleh larutan
asam atau asam-etanol sehingga tetap berwarna merah. Jaringan dan organisme
lainnya memudar warnanya oleh larutan asam-etanol dan terwarnai dengan larutan
pewarna lain, mis., terwarnai biru dengan biru metilen.
Mycobacterium Zeprae dan ookista Cryptosporidium spp. hanya resisten terhadap
pemudaran warna oleh larutan asam atau asam-etanol lemah. Spesies-spesies ini
diperlihatkan teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen yang dimodifikasi. Mycobacterium
spp. dan ookista Cryptosporidium spp. dikenal sebagai basil "tahan asam" karena
basil-basil ini resisten terhadap pemudaran warna oleh larutan asam. Basil-basil ini
tidak terwarnai dengan baik kalau memakai larutan pewarna Gram atau larutan
pewarna sederhana lainnya, seperti biru metilen.
V. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
- Mikroskop
- Kaca objek
- Rak kaca objek
- Pipet ukur
- Pipet tetes
- Ball pipet
- Labu ukur 500ml
- Aplikator
b. Bahan
- Feses
- Larutan NaCL 37%
- Karbon Fuchsin
- Asam etanol
- Metanol
- Larutan tinja malakthit
VI. PROSEDUR KERJA
1. Emulisikan sedikit feses dalam larutan saline di atas kaca objek yang bersih.
Buat pulasan seluas kira-kira 2cm x 1cm.
2. Biarkan pulasan mengering, setelah itu fiksasi dalam metanol selama 5
menit..
3. Celupkan kaca objek ke dalam karbon fuchsin selama 5 menit.
4. Celupkan kaca objek kelarutan etanol
5. Warnai kembali kaca objek tersebut dengan larutan malakhit selama 2 menit,
lalu bilas dengan air .
6. Amati kaca objek tersebut dengan perbesaran 40x.
VII. HASIL PENGAMATAN
Nama probandus : Intan lestari
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
➢ Makroskopis
Warna : Kuning kecoklatan
Konsentrasi : Padat
Bau : Khas
Darah : Negatif
Lendir : Negatif

➢ Mikroskopis
Parasit :-
Ookista :-
Lemak : Terdapat lemak

VIII. PEMBAHASAN
Komponen penting inti protozoa adalah membrana inti, kromatin, plastin dan
nukleoplasma atau cairan inti. Secara struktural inti dibagi menjadi dua tipe yaitu,
vesikuler dan kompak. Inti vesikuler terdiri dari membrana inti yang kadang-kadang
sangat lembut tetapi jelas nukleoplasma, akromatin dan kromatin. Disamping itu
badan intranuklear biasanya agak bulat, tersusun dari kromatin, nukleolus atau
plasmasoma. Sebaliknya inti kompak mengandung banyak substansi kromatin dan
sedikit jumlah nukleoplasma, karena itu bersifat padat. (Tampubolon, 2004).
Sitoplasma protozoa tidak berbeda kepentingannya dari sitoplasma hewan
multiseluler. Sitoplasrna protozoa berisi berrnacam-macam organela, diantaranya
retikulum endoplasma dan ribosom seperti pada sel eukaryotik lain. Pada
mitokondria, krista berbentuk tubuler lebih banyak daripada yang berbentuk piringan
seperti yang terdapat pada organisme yang lebih tinggi, serta organel yang lain seperti
aparat golgi, vakuola kontraktil, zat cadangan seperti glikogen, vakuola makanan, dan
silia atau flagella (Tampubolon, 2004).
Menurut Levine (1990), protozoa bergerak dengan flagela, silia, pseudopodia
(kaki palsu), dan selaput undulasi.
Flagela adalah organela yang menyerupai cambuk tersusun oleh aksonema
sentral dan selubung luar. Flagela ditemukan pada Flagellata, beberapa Amoeba, dan
gamet jantan dari beberapa Apicomplexa. Silia adalah flagela yang kecil, silia
umumnya tersusun berjajar sehingga mirip seperti bulu mata. Satu atau lebih jajaran
silia longitudinal dapat bergabung membentuk selaput undulasi. Pseudopodia
merupakan alat gerak sementara yang dapat dibentuk dan ditarik apabila dibutuhkan.
Penyakit yang disebabkan protozoa dapat terjadi di lingkungan yang memiliki
sanitasi buruk, kandang yang terlalu padat atau meminum air yang telah
terkontaminasi oleh protozoa (Chia et al., 2009). Biawak air yang digunakan pada
penelitian ini berasal dari tangkapan liar di alam bebas yang tidak memiliki
pengendalian sanitasi lingkungan, sehingga memiliki risiko penyebaran parasit
khususnya protozoa. Protozoa pada biawak yang berpotensi menular pada manusia
adalah Cryptosporidium sp. dan Giardia sp. Penularan zoonosis oleh parasit antara
lain terjadi melalui makanan (foodborne), udara (airborne), dan kontak langsung
dengan hewan sakit (Yudhastuti, 2012). Carmena (2010) melaporkan bahwa
penyebaran Cryptosporidium sp. dan Giardia sp. pada manusia terjadi melalui air
(waterborne).
Penularan Cryptosporidium sp. terjadi ketika ookista matang yang telah
mengandung 4 sporozoit ikut tertelan bersama air minum atau sumber air yang telah
terkontaminasi feses hospes yang terinfeksi atau dapat juga terhisap dari sekret
saluran respirasi hospes terinfeksi. Setelah masuk ke dalam tubuh hospes ookista
matang tersebut mengalami ekskistasi. Sporozoit dilepaskan dan menginfeksi sel
epitel pada saluran gastrointestinal dan dapat juga pada saluran pernapasan, yang
kemudian disebut meront. Kemudian meront tersebut akan mengalami skizogoni atau
merogoni dan menghasilkan merozoit yang memasuki sel lain. Ookista
Cryptosporidium sp. merupakan stadium infektif yang banyak ditemukan pada feses
manusia atau hewan yang terinfeksi (Roberts et al., 2005). Diagnosa cryptosporidiosis
dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ookista melalui pewarnaan asam pada feses,
hasil regurgitasi atau biopsi saluran pencernaan (Kahn and Line, 2010).
Diagnosa infeksi Cryptosporidium sp. dapat dilakukan dengan mengidentifikasi
ookista melalui pewarnaan modifikasi tahan asam pada feses, hasil regurgitasi atau
biopsi saluran pencernaan (Kahn and Line, 2010). Nematoda yang menginfeksi
saluran pencernaan dan pernapasan reptil antara lain cacing gelang, cacing kait
(Oswalsocruzia sp.), cacing kremi (Oxyurus sp.), cacing hati (Capillaria sp.),
Strongyloides sp., dan cacing paru (Entomelas sp.) (Mader, 1996).
Cryptosporidium sp. adalah parasit intraseluler obligat kelas Coccidia yang
menginfeksi sel-sel epitel mikrovili dari sistem pencernaan yang merupakan salah
satu patogen oportunistik yang menyebabkan penyakit jika status imun hospes
menurun. Selain menginfeksi organ intestinal Cryptosporidium sp. juga dapat
menginfeksi organ ekstraintestinal seperti saluran pernapasan, saluran empedu,
pankreas dan sendi Cryptosporidium sp. dapat ditemukan pada manusia, mamalia,
reptil dan unggas. Ookista Cryptosporidium sp. dapat ditransmisikan melalui fekal-
oral, kontaminasi pada makanan dan air. Setelah ditransmisikan, ookista melepaskan
sporozoit yang menembus dan menginfeksi sel-sel epitel usus yang menyebabkan
manifestasi klinis diare. Biasanya masa inkubasi 2-10 hari (rata-rata tujuh hari).
Terdapat dua spesies paling umum yang menjadi etiologi kriptosporidiosis pada
manusia yaitu Cryptosporidium parvum dan Cryptosporidium hominis.
Ziehl Neelsen (ZN) adalah teknik pewarnaan untuk mengetahui adanya Basil
Tahan Asam (BTA). Disebut BTA karena pada beberapa jenis bakteri sukar
dilakukan pengecatan namun setelah mendapat pengecatan/pewarnaan, dinding
bakteri tahan terhadap pencucian dengan asam tidak mudah untuk dilunturkan dengan
menggunakan zat peluntur (decolorizing agent) seperti asam alkohol. Secara
mikroskopik, dengan pewarnaan Ziehl Neelsen, BTA akan tampak berwarna merah
dengan warna biru di sekelilingnya. Pewarnaan Ziehl Neelson atau pewarnaan tahan
asam memilahkan kelompok Mycobacterium dan Nocandia dengan bakteri lainnya.
Kelompok bakteri ini disebut bakteri tahan asam karena dapat mempertahankan zat
warna pertama (carbol fuchsin) sewaktu dicuci dengan larutan pemucat (alkohol
asam). Larutan asam terlihat berwarna merah, sebaliknya pada bakteri yang tidak
tahan asam karena larutan pemucat (alkohol asam) akan melakukan reaksi dengan
carbol fuchsin dengan cepat, sehingga sel bakteri tidak berwarna (Lay, 1994).
Dinding bakteri yang tahan asam mempunyai lapisan lilin dan lemak yang sukar
ditembus cat. Oleh karena pengaruh fenol dan pemanasan maka lapisan lilin dan
lemak itu dapat ditembus cat basic fuchsin. Pada waktu pencucian lapisan lilin dan
lemak yang terbuka akan merapat kembali. Pada pencucian dengan asam alkohol
warna fuchsin tidak dilepas. Sedangkan pada bakteri tidak tahan asam akan luntur dan
mengambil warna biru dari methylen blue.
Kriptosporidiosis adalah penyakit zoonosis yang termasuk dalam kelompok es
yang disebabkan oleh parasit koksidia. Cryptosporidium, organisme patogen yang
bersifat obligat intraseluler. Cryptosporidium menyebabkan infeksi pada usus halus
dan dapat menyebabkan diare akut pada manusia dan hewan. Kriptosporidiosis
merupakan penyebab utama penyakit diare pada bayi dan anak kecil. Kasus diare
pada anak 5-15% disebabkan oleh Cryptosporidium sp. Cryptosporidium sp. pertama
sekali ditemukan tahun 1907 oleh Tyzzer dari dalam lambung dan usus halus tikus
(Sinambela, 2008).
Sejak itu Cryptosporidium sp. telah diidentifikasi lebih dari 170 spesies yang
berasal dari hewan antara lain kalkun, ayam, babi, kuda, domba, anjing, tikus liar,
ikan, burung dan reptil. Klasifikasi terdiri dari filum Apicomplexa, kelas Coccidea,
ordo Eucoccidiorida, famili Cryptosporidiidae, genus Cryptosporidium, spesies C.
baileyi (pada burung), C. felis (pada kucing), C. maleagridis (pada kalkun), C. muris
(pada sapi dan tikus), C. nasorum (pada ikan), C. serpentis (pada ular), C. wrairi
(pada babi), C. parvum (terdiri dari dua genotype yaitu genotipe I yang menyerang
manusia yaitu Cryptosporidium hominis, serta genotipe II yang menyerang manusia,
sapi dan mammalia lain (Morgan-Ryan et al., 2002). Cryptosporidium sp. pada
biawak air di Indonesia berhasil ditemukan melalui metode PCR (Prabayudha, 2017).
Cryptosporidium sp. dimulai ketika ookista matang yang telah mengandung 4
sporozoit ikut tertelan bersama air minum atau sumber air yang telah terkontaminasi
feses hospes yang terinfeksi atau dapat juga terhisap dari sekret saluran respirasi
hospes terinfeksi. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia ookista matang tersebut
mengalami ekskistasi. Sporozoit dilepaskan dan menginfeksi sel epitel pada saluran
gastrointestinal dan dapat juga pada saluran pernapasan, yang kemudian disebut
meront. Kemudian meront tersebut akan mengalami perkembangan aseksual
(skizogoni atau merogoni) dan menghasilkan merozoit yang memasuki sel lain.
Perkembangan selanjutnya adalah seksual (gametogoni) yang menghasilkan
mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit (betina) (Smith, 2009).
Mikrogametosit dan makrogametosit ini akan berkembang menjadi mikrogamet
dan makrogamet yang selanjutnya akan fertilisasi menghasilkan ookista yang
mengandung 4 sporozoit. Ookista yang dihasilkan, berukuran diameter 4-6 µm, terdiri
dari 2 jenis yaitu ookista berdinding tebal yang akan diekskresikan dari hospes
bersama feses dan ookista berdinding tipis yang umumnya berperan dalam terjadinya
autoinfeksi dengan mengeluarkan sporozoit di dalam usus pada tubuh hospes (Smith,
2009).
Menurut Smith (2009), ookista yang diekskresikan tersebut infektif yang akan
menimbulkan infeksi secara langsung dan cepat melalui transmisi fekal-oral. Masa
prepaten, yaitu waktu antara infeksi dan pengeluaran ookista berkisar antara 5-21
hari. Ookista dapat ditemukan pada feses hospes kira-kira sebulan atau lebih setelah
hospes terinfeksi.
Cryptosporidium sp. adalah parasit Coccidia bersel tunggal, merupakan protozoa
enterosit dengan ukuran sama dengan sel darah merah, yang menginfeksi mukosa
usus halus. Cryptosporidium sp. dikeluarkan dalam tinja pasien yang terinfeksi dalam
bentuk ookista. Terdapat 16 spesies Cryptosporidium yang menginfeksi ikan, reptil,
burung dan mamalia yaitu :
1. C.andersoni
2. C.muris,
3. C.serpentis
4. C.molnari
5. C.galli
6. C.meleagridis
7. C.baileyi
8. C.parvum
9. C.hominis
10. C.felis
11. C.canis
12. C.wrairi
13. C.saurophilum
14. C.suis
15. C.scophthalmi
16. C.bovis
Tetapi hanya delapan spesies yang diketahui menginfeksi manusia seperti
yang terlihat. Di antara delapan spesies tersebut yang utama dan tersering
ditemukan pada manusia adalah C.parvum dan C.muris yang dapat dibedakan
berdasarkan ukuran ookista dan sifat patogenisitasnya. Di antara dua spesies
tersebut, C. parvum lebih patogen dibandingkan C.muris.
Infeksi Cryptosporidium sp. banyak terjadi pada pasien imunokompromis
dan anak khususnya pada anak dengan umur dibawah lima tahun.1,3 Pada
penelitian ini didapatkan anak umur diatas 5 tahun terinfeksi oleh
Cryptosporidium sp. yaitu ada dua anak ( 6 tahun dan 7 tahun). Pada anak yang
terdeteksi Cryptosporidium sp. tidak menimbulkan manifestasi klinis, hal ini
mungkin disebabkan karena anak tersebut imunokompeten sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Manifestasi klinis dari kriptosporidiosis yaitu mulai
asimptomatis sampai diare kronis yang berakibat fatal. Pada individu
imunokompeten gejala yang terjadi dapat berupa asimptomatis atau diare ringan
yang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan sedangkan pada pasien
imunokompromis, gejala kinis dapat berupa diare kronis yang kalau tidak diobati
dapat mengakibatkan kematian.1,3,11.
IX. KESIMPULAN
Komponen penting inti protozoa adalah membrana inti, kromatin, plastin dan
nukleoplasma atau cairan inti. Secara struktural inti dibagi menjadi dua tipe yaitu,
vesikuler dan kompak. Inti vesikuler terdiri dari membrana inti yang kadang-kadang
sangat lembut tetapi jelas nukleoplasma, akromatin dan kromatin. Disamping itu
badan intranuklear biasanya agak bulat, tersusun dari kromatin, nukleolus atau
plasmasoma. Sebaliknya inti kompak mengandung banyak substansi kromatin dan
sedikit jumlah nukleoplasma, karena itu bersifat padat. (Tampubolon, 2004).
Sitoplasma protozoa tidak berbeda kepentingannya dari sitoplasma hewan
multiseluler. Sitoplasrna protozoa berisi berrnacam-macam organela, diantaranya
retikulum endoplasma dan ribosom seperti pada sel eukaryotik lain. Pada
mitokondria, krista berbentuk tubuler lebih banyak daripada yang berbentuk piringan
seperti yang terdapat pada organisme yang lebih tinggi.
Infeksi Cryptosporidium sp. banyak terjadi pada pasien imunokompromis dan
anak khususnya pada anak dengan umur dibawah lima tahun.1,3 Pada penelitian ini
didapatkan anak umur diatas 5 tahun terinfeksi oleh Cryptosporidium sp. yaitu ada
dua anak ( 6 tahun dan 7 tahun). Pada anak yang terdeteksi Cryptosporidium sp. tidak
menimbulkan manifestasi klinis, hal ini mungkin disebabkan karena anak tersebut
imunokompeten sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Manifestasi klinis dari
kriptosporidiosis yaitu mulai asimptomatis sampai diare kronis yang berakibat fatal.

X. DAFTAR PUSTAKA
Khan WA, rogers KA, karim MM, ahmed S, Hibberd PL, calderwoord SB, et al.
Crtptosporidiosis among bangadeshi children with diarrhea : aprospective, matched,
case-control study of clinical features, epidemyologi and systemic antibody
responses. Am J med Hyg. 2004 ;71 (4) : 412-419
Ir- perpustakaan universitas airlangga. Skripsi.identifikasi protozoa pada
biawakair. Azizah bilqis nurkarimah

XI. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai