Anda di halaman 1dari 14

METODOLOGI ILMU

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas matakuliah islam disiplin ilmi (IDI)
Dosen pengampun : Dr. Fetrimen, M.Pd.

Disusun oleh :
Tri Winarto 1704015271

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR. HAMKA
JAKARTA 2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut
ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa
disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat
bergantung pada metode ilmiah. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal,
indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:
a. Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan pernyataan hasil
observasi dalam suatu pernyataan yang lebih umum dan menurut suatu pandangan yang
luas diterima, ilmu-ilrnu empiris ditandai oleh metode induktif, disebut induktif bila
bertolak dari pernyataan tunggal seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan
penelitian orang sampai pada pernyataan pernyataan universal.
David Hume telah membangkitkan pertanyaan mengenai induksi yang
membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume,
pernyataan yang berdasar observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tak
dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas. dalam induksi setelah
diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan ha-hal lain, seperti ilmu mengajarkan
kita bahwa kalau logam dipanasi juga akan mengembang, bertotak dari teori ini kita tahu
bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengambang. Dari contoh di atas bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga
dengn pengetahuan sintetik.
b. Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang harus ada dalam metode deduktif ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada bentuk logis
teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada
perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan rnenerapkan
secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Popper tidak pernah menganggap bahwa kita dapat membuktikan kebenaran teori-
teori dari kebenaran pernyataan-pernyataan yang bersifat tunggal. Tidak pernah dia
menganggap bahwa berkat kesimpulan-kesimpulan yang telah diverifikasikan teori ini
dapat dikukuhkan sebagai benar atau bahkan hanya mungkin benar, sebagai contoh,
harga akan turun. Karena penurunan beras besar. maka harga beras akan turun.
Metode deduksi adalah suatu cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan
ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yag bersifat
umum, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Apabila orang menerapkan
cara penalaran yang bersifat deduktif berarti orang bergerak dari atas menuju ke bawah.
Artinya, sebagai langkah pertama orang menentukan satu sikap tertentu dalam
menghadapi masalah tertentu, dan berdasarkan atas penentuan sikap tadi kemudian
mengambil kesimpulan dalam tingkatan yang lebih rendah.
c. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte. Metode ini berpangkal dari apa yang
diketahui yang faktual yang positif. Dia menyampingkan segala uraian persoalan di luar
yang ada sebagai fakta oleh karena itu, ia menolak metafisika yang diketahui positif,
adalah segala yang nampak dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan diatasi kepada
bidang gejala-gejala saja.
Menurut Comte, Perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap
teologis metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik
segala sesuatu hehendak khusus. Pada tahap metafisik, kekuatan itu diubah menjadi
kekuatan yang abstrak, yang dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang
disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.
d. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal manusia untuk
memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda,
harusnya dikembangkan satu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan
yang diperoleh lewat intuisi ini bias diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang
dilakukan oleh Al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang
dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Al-Ghazali menerangkan bahwa
pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan
pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya
bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu
pengetahuan yang dewasa ini bisa dikomersilkan.
e. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun, Plato mengartikannya
diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan
metode-metode penuturan, juga analisis sistematis tentang ide-ide untuk mencapai apa
yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan
perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak
tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertola paling
kurang dua kutub.
Hegel menggunakan metode dialektis untuk menjelaskan filsafatnya, lebih luas
dari itu, menurut Hegel dalam realitas ini berlangsung dialektika. Dan dialektika di sini
berarti mengompromikan hal-hal berlawanan seperti:
1. Diktator. Di sini manusia diatur dengan baik, tapi mereka tidak punya kebebasan
(tesis).
2. Keadaan di atas menampilkan lawannya, yaitu Negara anarki (anti tesis) dan warga
Negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup dalam kekacauan.
3. Tesis dan anti tesis ini disintesis, yaitu Negara demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan
warga negara dibatasi oleh undang-undang dan hidup masyarakat tidak kacau.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahannya adalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari metodelogi ilmu ?
2. Apa saja problem dan krisis sains modern ?
3. Bagaimana the Islamic world view sebagai metodologi ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang telah diajukan diatas, maka tujuannya meliputi :
1. Mengetahui pengertian dari metodologi ilmu
2. Mengetahui apa saja problem dan krisis sains modern
D. Manfaat Penulisan
Semoga hasil penulisan ini dapat dijadikan sebagai ilmu dalam matakuliah islam disiplin
ilmu
BAB II
TINJAU PUSTAKA

A. Pengertian metodologi ilmu


Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut
ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa
disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat
bergantung pada metode ilmiah.
Sejak kedatangan Islam pada abad ke-13 M. Hingga saat ini, fenomena
pemahaman keislaman umat Islam Indonesia masih ditandai oleh keadaan amat variatif.
Kondisi pemahaman keislaman serupa ini barangkali terjadi pula di berbagai negara
lainnya. Kita tidak tahu persis apakah kondisi demikian itu merupakan sesuatu yang
alami yang harus diterima sebagai suatu kenyataan untuk diambil hikmahnya, ataukah
diperlukan adanya standar umum yang perlu diterapkan dan diberlakukan kepala berbagai
paham keagaman yang variatif itu, sehingga walaupun keadaannya amat bervariasi tetapi
tidak keluar dari ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sejalan
dengan data-data historis yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Kita misalnya melihat adanya sejumlah orang yang pengetahuannya tentang
keislaman cukup luas dan mendalam, namun tidak terkoordinasi dan tidak tersusun secara
sistematik. Hal ini disebabkan karena orang tersebut ketika menerima ajaran Islam tidak
sistematik dan tidak terorganisasikan secara baik. Mereka biasanya datang dari kalangan
ulama yang belajar ilmu keislaman secara otodidak atau kepada berbagai guru yang
antara satu dan lainnya tidak pernah saling bertemu dan tidak pula berada dalam satu
acuan yang sama semacam kurikulum. Akibat dari keadaan demikian, maka yang
bersangkutan tidak dapat melihat hubungan yang terdapat dalam berbagai pengetahuan
Islam yang dipelajari itu, dan karenanya mereka tidak dapat ditugaskan mengajar di
perguruan tinggi misalnya, lantaran pengajaran keislaman di perguruan tinggi biasanya
menuntut keteraturan dan pengorganisasian sebagaimana diatur dalam kurikulum dan
silabus.
Selanjutnya kita melihat pula ada orang yang penguasaannya terhadap salah satu
bidang keilmuan cukup mendalam, tetapi kurang memahami displin ilmu keislaman
lainnya, bahkan pengetahuan yang bukan merupakan keahliannya itu dianggap sebagai
ilmu yang kelasnya berada di bawah kelas ilmu yang dipelajarinya.
Hingga saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak
parsial, belum untuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai
adanya pemahaman Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semuanya itu
belum tersosialisasikan secara merata ke seluruh masyarakat Islam. Pemahaman Islam
demikian baru diserap oleh sebagian sarjana yang secara kebetulan membaca karya-karya
mereka dengan sikap terbuka.
Pemahaman keislaman tersebut jelas tidak membuat yang bersangkutan keluar
dari Islam dan dapat kita maklumi, karena sebagai akibat dari proses pengajaran Islam
yang belum tersusun secara sistematik dan belum disampaikan menurut prinsip,
pendekatan dan metode yang direncanakan dengan baik. Namun, untuk kepentingan
akademis dan membuat Islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan
umat serta menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang
dapat menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hubungan ini
Mukti Ali pernah mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting
dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
B. Problem dan Krisis Sains Modern
Kata sains adalah adaptasi dari kata Inggris, science, yang sering juga diartikan
sebagai ilmu pengetahuan. Secara etimologis, kata "science" berasal dari kata Latin
"scire" yang arti harfiahnya mengetahui, dan derifatnya pengetahauan. Sinonim yang
paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme (Jujun S. Suriasumantri, 1998).
Tetapi secara istilahi/terminologis, kata ini mengalami perkembangan yang cukup
signifikan dan harus disadari oleh setiap pelajar sains. (Mulyadhi Kartanegara, 2003).
mengatakan bahwa ilmu (sains) adalah "any organized knowledge". Artinya ilmu apapun
yang terorganisir, sehingga pada masa itu, theology disebut juga sains sehingga
muncullah istilah theological science, mathematical science bahkam metaphysical
science, disamping tentu saja physical science.
Tetapi pada penghujung abad sembilan belas dan awal abad kedua puluh, sains
mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan pada ranah filosofis, yang dramatisa, di
mana sains kemudian atas pengaruh positivisme hanya difokuskan pada objek-objek
empiris (inderawi dan fisik) saja, sehingga pengertian sains kemudian berubah menjadi
"pengetahuan yang sistematik tentang dunia fisik" (a systematic knowledge of the
physical world), dengan konsekuensi mengeluarkan segala jenis pengetahuan yang tidak
empiris, seperti teologi, metafisik dan bahkan matematik. Semua bidang yang non-
empiris dikategorikan sebagai tidak ilmiah (Mulyadhi Kartanegara, 2003). Secara
sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang
muncul dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak
jaman dahulu, atau biasa disebut sains sebagai produk.
Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-
hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta pengetahuan ilmiah yang biasa
diibaratkan sebagai bangunan dimana berbagai hasil kegiatan sains tersusun dari berbagai
penemuan sebelumnya. Sains juga bisa berarti suatu metode khusus untuk memecahkan
masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Metode ilmiah merupakan hal yang
sangat menentukan, sains sebagai proses ini sudah terbukti ampuh memecahkan masalah
ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan
yang sudah ada.
Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat
digunakan setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang tidak lain biasa
disebut sebagai teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains,
suatu konsekwensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu.
Sehingga biasanya salah satu definisi populer tentang sains termasuk juga teknologi di
dalamnya.
Berbicara mengenai krisis peradaban, artinya berbicara mengenai sains modern
(Barat) dan penerapannya (teknologi). Apa yang dimaksud dengan krisis di sini secara
pasti akan mengarah pada peradaban. Karena sekalipun agak berlebihan, sains dan
teknologi merupakan komponen dari sebuah peradaban. Ini berarti secara inheren sains
dan penerapannya sendiri telah menjelaskan krisis yang melanda “dirinya”. Krisis global
di negara modern telah menerpa pada negara berkembang seperti pembangunan yang
tidak berorientasi kepada lingkungan, sehingga menyebabkan polusi, musim yang tidak
menentu, berkembangnya fenomena anomie dalam masyarakat, dan fenomena destruktif
lainnya yang merupakan representasi krisis peradaban (Saefudin, 2015).
Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari
penggabungan dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa
Yunani kuno serta tradisi keahlian atau ketrampilan tangan yang berkembang di awal
peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat
memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian
tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Selanjutnya, sains modern bisa
dikatakan lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang
menyodorkan logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan
pentingnya eksperimen dan observasi.
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini ialah
adanya kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Apa yang dahulu
belum dikenal manusia kini sudah tak asing lagi baginya. Bahaya kelaparan dan penyakit
menular yang dahulu sangat ditakuti sekarang telah bisa dihindari. Kesulitan dan bahaya
alamiah yang dahulu menyulitkan perhubungan, sekarang tidak menjadi soal lagi.
Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, sehingga
kebutuhan jasmani tidak sulit lagi untuk memenuhinya.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih
banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan
ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran
material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan
tekanan batin lebih sering terjadi dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan
(Zakiyah Darajat, 1979). Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupannya,
namun pada satu sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi canggih itu tidak mampu
menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Dunia modern saat ini termasuk Indonesia
ditandai dengan gejala kemerosotan akhlak yang benar benar berada pada taraf yang
mengkhawatirkan. Kejujuran dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan,
penipuan dan saling merugikan. Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah dan
perbuatan biadab lainya.
Tragedi di atas disebabkan oleh beberapa faktor yang kini memengaruhi cara
berfikir manusia modern. Faktor tersebut menurut Zakiah Daradjat antara lain kebutuhan
hidup yang semakin meningkat, rasa individualistis dan egoistis, persaingan dalam hidup,
keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama (Zakiyah Darajat,
1979). Oleh karena itu, dalam makalah ini akan penulis sajikan secara ringkas mengenai
krisis dunia modern dan problem keilmuan yang menjadi topik menarik untuk kita bahas
lebih lanjut karena tantangan zaman akan semakin bertambah, terutama kehadiran sains
yang mana akan selalu mengalami perkembangan.
C. The Islamic World View Sebagai Metodologi Ilmu
Kehidupan manusia baik secara individu maupun kelompok akan memiliki
worldview (pandangan dunia) yang dimana setiap kepercayaan, bangsa, peradaban
bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing, dengan mengambil worldview
tertentu tatanan kehidupan manusia mengalami perbedaan satu dengan yang lainnya.
Munculnya worldview di pengaruhi bebrapa faktor, adapun faktor dominannya adalah
sistem kepercayaan, kebudayaan, agama, filsafat, tatanan nilai dan masih banyak lagi.
Terminology beberapa ahli Barat menjelaskan worldview adalah kepercayaan,
perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor
bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral (Ninian Smart). Worldview
adalahsistim kepercayaan dasar yang integral tentang diri kita, realitas, dan pengertian
eksistensi (An integrated system of basic beliefs about the nature of yourself, reality, and
the meaning of existence) (Thomas F Wall). Worldview adalah asas bagi setiap perilaku
manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia
akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya dapat
direduksi kedalam pandangan hidup (Prof.Alparslan). Setiap aktivitas manusia akhirnya
dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktivitas
manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup.
Dari ketiga devinisi tersebut terdapat tiga poin besar yang ada dalam worldview
yaitu satu, worldview adalah motor perubahan sosial. Dua, asas bagi pemahaman realitas,
dan tiga, asas bagi aktifitas ilmiah. Elemen pembentuk worldview Barat menurut Thomas
F Wall adalah kepercayaan kepada Tuhan, konsep ilmu, konsep realitas, konsep diri,
konsep etika, dan masyarakat. Sedangkan menurut Ninian Smart unsur yang membentuk
worldview adalah doktrin, mitologi, konsep etika, ritus, pengalaman dan kemasyarakatan.
Dalam terminology Islam worldview dimaknai sebagai al-tasawwur al-Islami oleh
Sayyid Qutb , Al-Mabda’ al-Islami oleh Syaikh ‘Atif al-Zayn, Islam Nazariyyat oleh al-
Mawdudi, dan ru’yat al-Islam lil Wujud oleh Syed Mohammad Naquib al-Attas.
Pertama, Al-tasawwur al-Islami adalah akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk
dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberigambaran khusus tentang wujud dan
apa-apa yang terdapat di sebalik itu. Kedua, Al-Mabda’ al-Islami. Al-Mabda’ adalah
aqidah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang berdasarkan pada akal, sebab setiap
Muslim wajib beriman kepada, hakekat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW,al-
Qur’an, hal-hal yang ghaib. Yang di maksud Al Islami adalah agama Islam sebagai Din
yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya.Ketiga,Islami Nazariyat adalah pandangan
hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah) yang berimplikasi pada
keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. ebab shahadah adalah pernyataan
moral yang mendorong manusia untuk melaksanakannya.Keempat, ru’yaat al-Islam lil-
wujud (pandangan Islam tentang wujud) adalah pandangan Islam tentang realitas dan
kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh
karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total.
Setiap worldview memiliki elemen atau unsuryang membentuk, sehingga ia dapat
secara kuat di jadikan sebagai pandagan hidup. Adapun Unsur pembentuk worldview
Islam menurut Shaykh Atif al-Zayn adalah konsep wahyu, konsep Din-daulah, kesatuan
spiritual dan material. Sedang Sayyid Qutb menjebarkan unsur pembentuknya adalah
suatu keseluruhan, dipisahkan oleh elemen, atau bagian (juz'), dan menurut Naquib Al-
Attas unusr pembentuknya antara lain yaitu konsep tentang hakekat Tuhan, konsep
Wahyu (al-Qur’an), konsep penciptaan, konsep jiwa, konsep ilmu, konsep Din,konsep
kebebasan, nilai dan kebajikan, konsep kebahagiaan.
Devinisi tersebut melahirkan gejolak luar biasa yang melahirkan gerakan
orientalisme dan scularism, yang memisahkan antara Barat dan timur (Islam). Untuk
melihat lebih jelas perbedaan tersebut maka hal yang dilakukan adalah membandingkan
kedua pandagan antara worldview Islam dan Barat. Perbedaan tersebut diambil
berdasarkan asas, pendekatan, sifat, makna realitas dan kebenaran, obyek kajian, dan
elemen-elemen yang menyusunnya.
Worldview Barat berisi; Satu, asasnya menggunakan tumpuan berfikir yang
sumbernya berdasarkan rasio manusiadan spekulasi filosofis. Dua, pendekatan yang
diambil adalah dengan metode pendekatan dichotomy, dimana pendekatan ini
membagikan atas dua kelompok yang saling bertentangan. Tiga, hasil kajian
kebenarannya bersifat rasionalitas, terbuka dan selalu berubah. Empat, pemaknaan
realitas dan kebenaran mempertimangkan pandangan sosial, kultural, empirisisme
pengetahuan, dan rasionalitas manusia. Lima, objek kajian berupatata nilai yang ada di
masyarakat. Enam, Elemen-elemen pandangan hidup diambil berdasaragama, moralitas,
filsafat, politik, kebebasan, persamaan, dan individualisme. Dari ke enam hal tersebut
maka worldview Barat menempatkan agama sebagai salah satu elemen dari peradaban.
Berbeda dengan worldview Islam dimana; pertama, asasnya menggunakan
tumpuan brifikir berdasarkan wahyu, hadith, akal, pengalaman, dan intuisi. Dua,
pendekatan yang diambil adalah dengan pendekatan Tawhidi. Tiga, hasil kajian
kebenarannya bersifat otentisitas dan finalitas. Empat, pemaknaan realitas dan kebenaran
mempertimbangkan kajian metafisi yang berasaskan wahyu. Lima, Objek kajian berupa
invisible (tak kelihatan; tak terlihat) dan visible (kelihatan sekali, terang jelas dan nyata)
‘Ālam al-Mulk & ‘Ālam al-Syahādah. Enam, Elemen-elemen pandangan hidup diambil
berdasar konsep Tuhan, konsep wahyu, penciptaan, manusia, ilmu, agama, kebebasan,
nilai dan moralitas. Dari keenam hal tersebut maka worldview Islam menempatkan
Agama sebagai asas seluruh elemen peradaban.
Barat yang menempatkan agama sebagai salah satu elemen dari peradapan maka
Worldviewnya menghasilkan grakan pluralism, liberalism, nihilisme, anti-otoritas, anti
worldview, equality, empiric, dan relativism.Telah kita ketahui worldview gerakan Barat
dapat mengkaburkan kebenaran dan ajaran, sehingga worldview Barat dapat masuk
kedalam tatanan worldview Islam adapun tatanan dari hasil gesekan tersebut
menghasilkan gerakan yang berupa kesamaan agama, feminisme, gerakan gender, kritis
terhadap otoritas ulama dan ilmu-ilmu dalam Islam, kritis terhadap al-Qur’an,
hermeneutika, HAM, dan dekonstruksi/anti syariah.
BAB III
KESIMPULAN

Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan
ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur
dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan
pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut
ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan
menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat
bergantung pada metode ilmiah.
Dengan mempelajari metodologi studi Islam akan memberikan ruang dalam
pemikiran yang lebih kritis terhadap persoalan agama, sehingga tidak menganggap bahwa
ajaran Islam klasik dianggap sebagai taken for granted.
DAFTAR PUSTAKA

Ghulsyani, Mahdi. 1996. Filsafat Sains menurut Al-Qur’an. Bandung: Mizan.


Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.
Whitehead, Alferd Nort. 2005. Sains dan Dunia Modern Bandung: Nuansa.
Mason, Stephen. 1962. A History of the Science. New York: Collier Books. Sebagaimana
dikutip oleh Mahdi Ghulsyani dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Sains menurut Al-
Qur’an”.

Anda mungkin juga menyukai