Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Tujuan Percobaan


1. Dapat memahami langkah-langkah analisa parasetamol dalam cuplikan urin.
2. Dapat melakukan analisa parasetamol dalam cuplikan urin.
3. Memahami proses ADME ( Absorpsi,Distribusi,Metabolisme,Eliminasi )
parasetamol
4. Mengetahui nilai parameter farmakokinetik paracetamol.

1.2 Dasar Teori


A. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik dan antipiretik yang
populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal dan sakit ringan,
dan demam. Digunakan dalam sebagian besar resep obat analgesik salesma dan flu. Ia
aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja
atau tidak sengaja sering terjadi.
Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen,
parasetamol tak memiliki sifat antiradang. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam
obat jenis NSAID. Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan
dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada
janin.
Farmakokinetik
Parasetamol yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai
kadar serum puncak dalam waktu 30 – 120 menit. Adanya makanan dalam lambung
akan sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas lambat.
Parasetamol terdistribusi dengan cepat pada hampir seluruh jaringan tubuh. Lebih
kurang 25% parasetamol dalam darah terikat pada protein plasma.
Waktu paruh parasetamol adalah antara 1 – 3 jam. Parasetamol diekskresikan
melalui urine sebagai metabolitnya, yaitu asetaminofen glukoronid, asetaminofen
sulfat, merkaptat dan bentuk yang tidak berubah.
Sebagian asetaminofen 80% dikonjugasi dengan asam glukoronat dan
sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu dapat mengalami hidroksilasi.
Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan
hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai
parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.

B. Analisis Parasetamol
Parameter farmakokinetika obat dapat diperoleh berdasarkan hasil pengukuran
kadar obat utuh dan / atau metabolitnya di dalam cairan hayati (darah, urin, saliva atau
cairan tubuh lainnya). Oleh karena itu agar nilai-nilai parameter kinetik obat dapat
dipercaya, metode penetapan kadar harus memenuhi berbagai kriteria yaitu meliputi
perolehan kembali (recovery), presisi dan akurasi. Persyaratan yang dituntut bagi
suatu metode analisa adalah jika metode tersebut dapat memberikan nilai perolehan
kembali yang tinggi (75-90% atau lebih), kesalahan acak dan sistematik kurang dari
10%.
Kepekaan dan selektivitas merupakan kriteria lain yang penting dan nilainya
tergantung pula dari alat pengukur yang dipakai. Dalam percobaan ini akan dilakukan
langkah-langkah yang perlu dikerjakan untuk optimalisasi analisis meliputi:
1. Penentuan jangka waktu larutan obat yang memberikan resapan tetap
(khusus untuk reaksi warna).
2. Penetapan panjang gelombang larutan obat yang memberikan resapan
maksimum (parasetamol).
3. Pembuatan kurva baku (parasetamol).
4. Perhitungan nilai perolehan kembali, kesalahan acak dan kesalahan
sistematik.
Ketersediaan hayati merupakan kecepatan dan jumlah obat yang mencapai
sirkulasi sistemik dan secara keseluruhan menunjukkan kinetic dan perbandingan zat
aktif yang mencapai peredaran darah terhadap jumlah obat yang diberikan.
Ketersediaan hayati obat yang diformulasi menjadi sediaan farmasi merupakan bagian
dari salah satu tujuan rancangan bentuk sediaan dan yang terpenting untuk keefektifan
obat tersebut. Pegkajian terhadap ketersediaan hayati ini tergantung pada absorpsi
obat ke dalam sirkulasi umum serta pengukuran dari obat yang terabsorpsi tersebut.
Dalam menaksir ketersediaan hayati ada tiga parameter yang biasanya diukur yang an
profil konsentrasi dalam darah dan waktu dari obat yang diberikan.
Konsentrasi puncak (Cmax), menggambarkan konsentrasi obat tertinggi dalam
sirkulasi sistemik. Konsentrasi ini tergantung pada konstanta absorbsi, dosis, volume
distribusi dan waktu pencapaian konsentrasi obat maksimum dalam darah.
Konsentrasi puncak sering kali dikaitkan dengan intensitas respon biologis dan harus
di atas MEC dan tidak melebihi MTC. Waktu untuk konsentrasi puncak (tmax)
menggambarkan lamanya waktu tersedia untuk mencapai konsentrasi puncak dari
obat sirkulasi sistemik. Parameter ini tergantung pada konstanta absorbs yang
menggambarkan permulaan dari level puncak dari respon biologis dan bias digunakan
sebagai perkiraan kasar untuk laju absorbsi. Luas daerah di bawah kurva (AUC),
merupakan total area di bawah kurva konsentrasi vs waktu yang menggambarkan
perkiraan jumlah obat yang berada dalam sirkulasi sistemik. Bila membandingkan
suatu formulasi untuk acuan, parameter ini menggambarkan jumlah ketersediaan
hayati dan biasa digunakan sebagai perkiraan kasar jumlah obat diabsorbsi.
Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannya tidak perlu
diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah, yaitu:
1. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu
penderita, artinya penyesuaian pasologi yang tepat pada setiap penderita,
dengan mempertimbangkan perubahan farmakokinetika in vivo, baik karena
interaksi obat maupun karena fungsi fisiolagi.
2. Farmasetika yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat,
yaitu penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap
karakteristik farmakokinetika zat aktif.
Kedua arah pengembangan tersebut tercakup dalam lingkup penelitian
biofarmasetika dan berkaitan dengan penyesuaian pada kurva profil kadar zat aktif
dalam darah penderita dan efek yang diteliti.
Data ketersediaan hayati digunakan untuk menentukan:
1. Banyaknya obat yang diabsorbsi dari formulasi sediaan.
2. Kecapatan obat yang diabsorbsi.
3. Lama obat berada dalam cairan biologi atau jaringan dan dikorelasikan dengan
respon pasien.
4. Hubungan antara kadar obat dalam darah dan efikasi klinis serta toksisitas.
Metode penilaian ketersediaan hayati.
Penelitian ketersediaan hayati pada sukarelawan dapat dilakukan dengan
beberapa metode:
 Metode dengan menggunakan data darah
 Data urin
 Data efek farmakologis
 Data respon klinis
Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi, metode analisis untuk
penetapan kadar obat dan sifat produk obat. Data darah dan data urin lazim digunakan
untuk menilai ketersediaan hayati sediaan obat yang metode analisis zat berkhasiat
telah diketahui cara dann validitasnya. Jika cara dan validitasnya belum diketahui
dapat digunakan data farmakologi dengan syarat efek farmakologi yang timbul dapat
diukur secara kuantitatif, seperti efek pada kecepata denyut jantung atau tekanan
darah yang dapat digunakan sebagai indeks ketersediaan hayati obat. Untuk evaluasi
ketersediaan hayati menggunakan data respon klinis dapat mengalami perbedaan antar
individu akibat farkokinetika dan farmakodinamik obat yang berbeda. Factor
farmakodinamik yang berpengaruh meliputi: umur, toleransi obat, interaksi obat dan
factor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati oabat yang digunakan
secara oral:
1) Sifat fisikokimia zat aktif.
A. Bentuk isomer; alkaloid-alkaloid dan steroid-steroid terdapat dalam
bentuk isomer, seperti misalnya isomer d atau l. seringkali yang aktif
atau diaktif hanya salah satu saja, misalnya d-etambutol, d-propoksipen,
d-amfetamin, l-kloramfenikol.
B. Polimorfisme; bentuk kristal yang kurang stabil lebih mudah larut dan
kemudian cepat terabsorbsi daripada bentuk kristalnya yang stabil,
misak kloramfenikol mempunyai 2 bentuk polimorf A dan B; kristal
bentuk A bersifat tidak aktif.
C. Ukuran partikel; bila ukuran partikel lebih kecil maka luas permukaan
akan besar sehingga obat – obat akan cepat melarut dan diabsorbsi.
D. Hidrat dan solvate; kadang – kadang beberapa bahan obat cenderung
untuk mengikat beberapa molekul pelarut. Ikatan ini disebut solvate,
dan kalau pelarutnya adalah air maka ikatan ini disebut hidrat.
Ampisilin anhidrat lebih mudah larut dibandingkan ampisilin trihidrat,
sehingga pemakaian peroral akan memberiakan blood level yang tinggi.
E. Bentuk garam, ester dan lainnya; gugusan estolat dari eritromisin estolat
dapat menyebabkan hepatotoksisitas, sedangkan stearatnya tidak. Tapi
sifat fisik eritromisin mempersulit pengisian dalam jumlah yang cukup
ke dalam kapsul yang berukuran wajar. Pemadatan yang tidak tepat atas
bahan baku ini sebaliknya dapat menimbulkan persoalan disolusi dan
ketersediaan hayati.
F. Kemurnian; bahan baku penisilin yang tidak murni bias mengandung
mikrokontaminan berupa hasil degradasi penisilin sendiri bahkan
inferior ini yang dapat menyebabkan alergi. Namun meskipun telah
menggunakan bahan – bahan baku murni jika cara dan kondisi produksi
dalam hal ini kebersihan,temperature, dan kelembapan kurang baik,
bahan penisilin akan menimbulkan efek samping yang sama.
Bahan – bahan pembantu; banyak obat – obatan dimana pengaruh
bahan – bahan pembantu dapat merubah secara drastic pola absorbsinya
dan oleh karena itu efek terapi dan toksisitasnya juga berpengaruh,
seperti meningkatnya toksisitas fenitoin setelah bahan pembantu yang
semula dipakai CaSO4 diganti dengan laktosa.
2) Cara – cara prosesing

A. Formulasi obat yang sudah baik dalam suatu pabrik bisa sama
sekali berubah bila dibuat oleh pabrik lain dengan
menggunakan alat – alat yang berbeda. Hal ini menjadi
masalah kritis apabila digunakan untuk memproduksi tablet –
tablet dengan kadar zat khasiat yang rendah seperti digoksin
0,25 mg/tablet 200 mg.
B. Ruangan dan kondisi – kondisinya ( temperature, kelembaban,
penerangan, dan sebagainya ) yang memenuhi syarat.
Misalnya pada pembuatan sediaan tetrasiklin yang merupakan
bahan baku yang kurang stabil pada kondisi tertentu sehingga
dapat mengakibatkan penguraian tetrasiklin menjadi nonaktif,
hepatotoksik, dan nefrotoksik.
C. Tenaga – tenaga yang kompeten.
D. Dikerjakan dengan system produksi dan system control yang
baik. Dalam hal ini persyaratan – persyaratan Good
Manufacturing Practices ( GMP ) menjadi penting.
BAB II

METODE KERJA

2.1. Alat dan Bahan

A. Alat :

· Spektrofotometer

· Botol

· Pipet ukur

· Tabung reaksi

· Rak tabung

· Beaker glass

· Pipet

· Sarung tangan

· Masker

· Sentrifus

B. Bahan :

· Paracetamol

· Urin

· HCL 4 M

· Air

2.2. Metode Kerja


A. Pemberian Paracetamol dengan Pengumpulan Urin
Cuplikan urin harus dikumpulkan selama waktu 6 jam. Probandus dapat
meminum obat dan dapat mengumpulkan cuplikan urin sehari sebelum dianalisis.
Cuplikan urin dapat disimpan selama 1 malam pada suhu 40C tanpa penguraian
yang berarti.
1. Untuk menjaga aliran urin, subjek harus minum 200 ml air setelah 30
menit. Cuplikan ini digunakan sebagai blanko, catat volumenya.
2. Paracetamol 500 mg diminum dengan 200 ml air dan waktu mulai dicatat.
Ini adalah waktu jam ke nol.
3. Setelah 1 jam, kandung kemih dikosongkan, banyaknya volume urin
diukur dan dicatat serta ditandai. Ambil kurang lebih 15 ml. Probandus
minum 200 ml air.
4. Prosedur yang sama (seperti angka 3) diulang dengan interval waktu:
2,3,4,5 dan 6 jam.

B. Analisis Cuplikan Paracetamol Total dalam Urin


1. Tentukan kadar paracetamol total dalam cuplikan urin pada masing-masing
interval waktu yang telah ditentukan (jam ke-1, 2, 3, 4, 5 dan 6). Untuk
penetapan kadarnya:
 Ambil 1 ml cuplikan urin dan tambahkan 4 ml HCL 4 M kedalam
tabung reaksi.
 Cukupkan volumenya menjadi 10 ml dengan aquadestcampur
homogen.
 Lakukan pembacaan serapan pada panjang gelombang 252 nm.
 Lakukan Triplo.
2. Selanjutnya hitung parameter farmakokinetik paracetamol.
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Data Pengamatan

Waktu
Vu Cu Du
interval Ln(Du˜-
Dukum Du˜-Dukum
Dukum)
(mL) (mg/mL) (mg)
(jam)
0-8,5 80 0,0726 5,808 5,808 8,839 2,1792
8,5-9,5 50 0,0637 3,185 8,993 5,654 1,7324
9,5-10,5 50 0,0645 3,225 12,218 2,429 0,8875
10,5-11,5 100 0,0119 1,19 13,408 1,239 0,2143
11,5-12,5 70 0,0049 0,343 13,751 0,896 -0,1098
12,5-13,5 70 0,0128 0,896 14,647 0 -

Nilai Serapan Sampel

Sampel Ao
1 1,421
2 1,247
3 1,264
4 0,242
5 0,108
6 0,259

Tabel Regresi Linear

X= Waktu interval
Y= Ln(Du˜-Dukum)
(jam)
8,5 2,1792
9,5 1,7324
10,5 0,8875
11,5 0,2143
12,5 -0,1098
IV.2 Perhitungan

X = Cu =

X1 = = 72,6367

X2 = = 63,6723

X3 = = 64,5481

X4 = = 11,8948

X5 = = 4,9912

X6 = = 12,7707

Regresi:

b = -0,60961

kel = - (-0,60961) = 0,60961

t1/2 = = 1,1368

IV.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini, kami melakukan uji analisis parasetamol dalam urin. Sebelum
meminum paracetamol probandus berpuasa selama 6 jam. Hal ini dilakukan agar parasetamol
yang diberikan secara oral diserap secara cepat dan mencapai kadar serum puncak, adanya
makanan dalam lambung akan sedikit memperlambat penyerapan sediaan parasetamol lepas
lambat.Menggunakan larutan parasetamol dengan konsentrasi larutan induk 0,01 mg/ml.
Konsentrasi yang telah dibuat diukur serapannya menggunakan spektrofotometer.

Setelah perlakuan di atas, sampel diambil untuk diukur serapannya pada spektrofotometer
dengan panjang gelombang maksimum 252 nm. Hasil nilai serapan tersebut dimasukkan
dalam rumus regresi linear y = bx + a , dimana y adalah nilai serapan dan nilai x yang
diperoleh adalah konsentrasi paracetamol dalam urin (mg/mL). Dari nilai x tersebut
ditentukan nilai Ln(Du˜-Dukum) kemudian dimasukkan dalam grafik regresi linear antara
waktu dan Ln(Du˜-Dukum). Dari hasil perhitungan regresi yang diperoleh, didapatkan nilai b =
-0,60961 untuk dihitung nilai t1/2 dan diperoleh sebesar 1,1368 jam. Hasil tersebut memenuhi
syarat t1/2 untuk paracetamol yaitu 1-3 jam. Waktu paruh sangat penting untuk
menentukan interval dosis
BAB IV

KESIMPULAN

1. Konstanta eliminasi menunjukkan kecepatan eliminasi obat dalam tubuh.

2. Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan untuk mengeliminasi obat dari tubuh.

3. Waktu paruh dan kecepatan eliminasi dapat ditentukan dengan mengetahui


konsentrasi obat dalam urin (cairan biologis)
DAFTAR PUSTAKA

Rustiani, E., Rokhmah, NN., Fatmi, M., 2011. Penuntun Praktikum


Farmakokinetik. Bogor: Universitas Pakuan

Isselbacher, dkk., Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: penerbit Buku


Kedokteran.

Shargel Leon, Yu Andrew B.C. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetik Edisi


ke-2. Airlangga University Press.

Analisis Parasetamol Total dalam Cuplikan Urin

Prinsip penetapan kadar parasetamol dalam urin:


Parasetamol dihidrolisis dengan HCl pekat dengan bantuan pemanasan, menjadi
paraaminofenol dan asam asetat yang direaksikan dengan pereaksi warna sehingga
membentuk kompleks warna, dimana senyawa kompleks tersebut diukur serapannya pada
panjang gelombang 630nm..

Tujuan penambahan HCl pekat:


Untuk membuat suasana menjadi asam dan menghidrolisis parasetamol menjadi
paraaminofenol dan asam asetat.
Reaksi: parasetamol + HCl -> paraaminofenol + asam asetat
Uji kualitatif metabolit parasetamol dalam urin:
1. Uji naftoresorsinol unutk konjugat glukuronida.
Didihkan selama 3 menit dalam lemari asam, 0,5ml urin + naftoresorsinol padat 2mg +HCl
pekat 1ml -> dinginkan. Tambah 3ml etil asetat -> kocok homogen. Warna ungu dalam
lapisan organik -> (+) asam glukuronat.
2. Uji Barium Klorida untuk konjugat sulfat.
Atur PH urin 0,5ml ->PH 4-6. tambahkan 2ml BaCl 2%. BaSO4 mengendap, yang terbentuk
dari sulfat anorganik lalu disentrifugasi -> ambil beningannnya dan tambah 2 tetes HCl pekat,
didihkan dalam lemari asam selama 3 menit. Endapan/kekeruhan menunjukkan positif
adanya konjugat sulfat.
3. Uji Besii (III) Klorida untuk fenol.
Urin 0,5ml dengan PH 7, tambah beberapa tetes FeCl3 2%. Beberapa tetes pertama
membentuk endapan Besi (III) Fosfat yang dapat disentrifugasi bila perlu. Penambahan
tetesan FeCl3 selanjutnya menghasilkan warna ungu/hijau maka (+) adanya fenol dalam
urin..

Anda mungkin juga menyukai