Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM ANALISIS TOKSIKOLOGI FORENSIK DAN KLINIK


UJI KONFIRMASI NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
DALAM SAMPEL PLASMA

OLEH :
Kadek Dedi Sumawirawan (1008505001)
Putu Wida Kawistari (1008505006)
Ni Nyoman Englandari Murti (1008505011)
Ni Luh Gde Vera Yanti (1008505017)
I Gede Pasek Winantara Putra (1008505020)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Narkotika dan psikotropika merupakan zat-zat yang berguna dalam
pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi
medis atau standar pengobatan, terlebih lagi bila disertai peredaran jalur ilegal,
akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas
khususnya generasi muda mengingat bahwa narkotika dan psikotropika
merupakan suatu zat yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan,
apabila penggunanya tanpa resep dokter.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat
memprihatinkan. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak hanya sebagai tempat
singgah dan sasaran penjualan narkotika dan psikotropika, namun Indonesia
sekarang juga merupakan negara penghasil narkotika. Hal ini dibuktikan dengan
terungkapnya pabrik-pabrik pembuatan narkotika dan psikotropika di Indonesia
dan terungkapnya import prekursor atau bahan pembuatan narkotika dan
psikotropika dalam jumlah besar dari luar negeri ke Indonesia. Karena saat ini
letak Indonesia yang sangat strategis dan tidak jauh dari daerah segi tiga emas
(Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah Bulan Sabit (Iran, Afganistan, dan
Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia, menjadikan
Indonesia sebagai lalu lintas gelap narkotika dan psikotropika (BNN, 2011).
Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika memiliki dampak yang dapat
merugikan bagi diri sendiri dan orang lain. Hal ini disebabkan karena
penyalahgunaan narkotika akan merusak syaraf pusat dan organ-organ tubuh
lainnya yang dapat mengakibatkan melemahnya fisik, daya pikir, dan merosotnya
moral. Masalah lain yang ditimbulkan yaitu, rusaknya hubungan keluarga,
menurunnya kemampuan belajar dan produktivitas kerja, perubahan perilaku
menjadi perilaku antisosial, meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas dan
tindak kriminalitas lainnya (Yurliani, 2007).
Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan
Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia pada tahun 2008, angka

1
prevalensi penyalahguna narkoba nasional sebesar 1,99% dari penduduk
Indonesia (3,6 juta orang) dan pada tahun 2015 akan mengalami kenaikan menjadi
2,8% (5,1 juta orang) (BNN, 2011). Amfetamin dan morfin merupakan jenis
narkotika yang paling sering disalahgunakan. Penggunaan amfetamin secara tidak
tepat dapat menyebabkan menimbulkan irregularitas detak jantung, kenaikan
tekanan darah, dan berbagai masalah psikososial. Penggunaan jangka panjang
dapat akan membuat seorang terganggu mentalnya secara serius, mengalami
gangguan memori, dan masalah kesehatan mulut yang berat, sedangkan morfin
dapat menyebabkan retardasi kemampuan otak, ketergantungan psikis dan fisik
(MenKes RI, 2010).
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa penggunaan narkotika dan
psikotropika, khususnya amfetamin dan morfin memiliki dampak yang sangat
membahayakan bagi diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pemerintah
memasukkan kedua senyawa tersebut ke dalam Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika, dimana
morfin merupakan narkotika golongan I dan amfetamin merupakan psikotropika
golongan II. Walaupun masyakat mengetahui tentang Undang-undang tersebut
dan mengetahui bahaya yang ditimbulkan, namun masih ada masyarakat yang
menggunakan morfin dan amfetamin. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan
pemeriksaan atau analisis apakah seseorang menyalahgunakan narkoba dan
psikotropika atau tidak. Tahapan dalam analisis tersebut meliputi uji skrining, uji
konfirmasi, dan penetapan kadar. Uji skrining dilakukan untuk mengetahui
golongan narkotika ataupun psikotropika yang dikonsumsi. Uji skrining adalah
pemeriksaan pendahuluan laboratorium sebagai upaya penyaringan untuk
mengetahui ada atau tidaknya dan jenis obat yang menimbulkan efek toksik atau
efek gangguan kesehatan. Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan
psikotropika, hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan apakah orang
tersebut mengkonsumsi narkotika dan psikotropika atau tidak (Wirasuta, 2008).
Setelah dilakukan uji skrining maka selanjutnya dilakukan uji konfirmasi dan
determinasi. Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan dalam bidang forensik dan
klinik untuk memastikan narkotika atau psikotropika yang digunakan dan apabila

2
terjadi kasus kematian dapat ditentukan kadarnya apakah seseorang tersebut
memang meninggal karena overdosis narkotika atau psikotropika, atau karena
sebab lain, sehingga dapat ditentukan hukum yang berlaku. Dari penjelasan di
atas, maka pemeriksaan narkotika atau psikotropika dalam cairan biologis sangat
penting dilakukan untuk menentukan langkah hukum yang tepat.

1.2. Rumusan masalah


1.2.1. Bagaimana cara uji narkotika dan psikotropika dari sampel cairan
biologis?
1.2.2. Golongan senyawa apa saja yang terdapat dalam sampel cairan biologis
yang diuji dengan menggunakan strip test?
1.2.3. Senyawa apa yang terdapat dalam sampel biologis?
1.2.4. Berapa kadar senyawa yang terdapat dalam sampel biologis?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui cara uji narkotika dan psikotropika dari sampel cairan
biologis.
1.3.2. Untuk mengetahui golongan senyawa apa saja yang terdapat dalam sampel
biologis yang diuji dengan menggunakan strip test.
1.3.3. Untuk mengetahui senyawa yang terdapat dalam sampel biologis.
1.3.4. Untuk menentukan kadar senyawa yang terdapat dalam sampel biologis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika pasal 1 ayat (1), narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan dalam Undang-Undang tersebut atau
yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan (Kementrian RI,
2009).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika pasal 1 ayat (1), psikotropika didefinisikan sebagai zat atau obat,
baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan prilaku (Kementrian RI, 1997).
Narkotika dan psikotropika merupakan golongan senyawa yang memiliki
sifat fisiko kimia yang sangat luas. Berdasarkan atas struktur kimia dan nilai pKa
masing-masing senyawanya, obat golongan ini memiliki senyawa yang bersifat
asam seperti senyawa golongan asam barbiturat, dan basa seperti senyawa
golongan amfetamin, opiat, dan benzodiazepin. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 tahun 1997, senyawa golongan benzodiazepin, seperti
bromazepam, diazepam, klordiazepoksida, flurazepam, dan nitrazepam termasuk
ke dalam psikotropika golongan IV. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, terjadi beberapa
perubahan dalam penggolongan narkotika dan psikotropika. Senyawa-senyawa
yang pada awalnya ditetapkan sebagai psikotropika golongan I dan golongan II,
seperti metamfetamin, metilendioksiamfetamin (MDMA), dan senyawa
amfetamin lainnya, dinyatakan sebagai bagian dari narkotika dalam Undang-
Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009.
Analisis obat merupakan salah satu bidang ilmu forensik yang diperlukan
untuk investigasi analitis, dalam hal ini untuk membuktikan keterlibatan senyawa
narkotika dan psikotropika dalam suatu kasus. Untuk dapat membuktikan

4
keterlibatan narkotika dan psikotropika dalam suatu kasus, diperlukan sejumlah
analisis yang harus sesuai dengan standar ilmiah (Cole, 2003).
Secara umum tugas analisis toksikologi forensik dalam melakukan analisis
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel “sample
preparation”, 2) analisis meliputi uji penapisan “screening test” atau dikenal juga
dengan “general unknown test” dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi
dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan
penulisan laporan analisis (Wirasuta, 2005)
Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan
makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya
analit (racun) yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum
dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan
analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau
bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk
mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari
informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat
keracunan, tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat
diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari
berita acara penyidikan oleh polisi penyidik (Wirasuta, 2005).
Uji penapisan untuk menapis dan mengenali golongan senyawa (analit)
dalam sampel. Disini analit digolongkan berdasarkan baik sifat fisikokimia, sifat
kimia maupun efek farmakologi yang ditimbulkan. Obat narkotika dan
psikotropika secara umum dalam uji penapisan dikelompokkan menjadi golongan
opiat, kokain, kannabinoid, turunan amfetamin, turunan benzodiazepin, golongan
senyawa anti depresan trisiklik, turunan asam barbiturat, dan turunan metadon.
Pengelompokan ini berdasarkan struktur inti molekulnya. Sebagai contoh, disini
diambil senyawa golongan opiat, dimana senyawa ini memiliki struktur dasar
morfin, beberapa senyawa yang memiliki struktur dasar morfin seperti, heroin,
mono-asetil morfin, morfin, morfin-3-glukuronida, morfin-6-glukuronida,
asetilkodein, kodein, kodein-6-glukuronida, dihidrokodein serta metabolitnya,

5
serta senyawa turunan opiat lainnya yang mempunyai inti morfin (Wirasuta,
2005).

2.1 Sampel Biologis


Darah adalah spesimen yang dipilih untuk mendeteksi, mengkuantitatifkan
dan menginterpretasikan konsentrasi obat dalam kasus keracunan postmortem.
Interpretasi menjadi lebih susah dan penting pada kasus dimana analit yang
diketahui mengalami redistribusi postmortem. Pada kasus ini, analisis spesimen
darah perifer memiliki peran yang penting karena konsentrasi obat pada darah
perifer lebih konstan dibandingkan konsentrasi obat dalam darah jantung yang
umumnya meningkat akibat redistribusi obat pasca kematian. Jika memungkinkan
pada setiap autopsi, spesimen darah postmortem diambil pada dua bagian, yaitu
jantung dan perifer. Tapi bila tanpa autopsi, cukup hanya darah perifer saja yang
diambil (Karch, 1997).
Pada kasus terjadinya benturan pada kepala, sebaiknya diambil darah yang
menggumpal pada rongga otak (subdural, subarachnoid, dan atau subepidural).
Darah pada rongga dada dan rongga perut diambil untuk analisis hanya jika darah
atau darah kering tidak dapat diperoleh dari area tubuh lainnya. Spesimen darah
ini mudah terkontaminasi oleh mikroba dalam jumlah yang besar. Hasil kuantitatif
tunggal dari darah dapat memberikan hasil yang kurang akurat, terutama jika
sampel diambil dari jantung atau dekat pembuluh utama karena terjadi perubahan
konsentrasi obat yang besar setelah kematian. Darah perifer terutama diambil dari
femoral, iliac, atau vena subclavian karena bagian ini biasanya sedikit dipengaruhi
oleh perubahan postmortem. Vena kaki dipilih dibandingkan kepala atau leher
karena secara anatomi, vena kaki mengandung banyak katup yang menahan darah
bergerak dari saluran pencernaan. Juga karena lebih mudah untuk mendapatkan
sejumlah volume yang diinginkan. Maka, pengukuran dua atau lebih sampel
disarankan untuk memberikan hasil yang lebih akurat (Karch, 1997).
2.1.1 Sel darah merah (Eritrosit)
Dalam analisis toksikologi, sel darah merah digunakan sebagai
specimen dalam kasus keracunan carbon monoxide, cyanide dan bahan

6
volatile organik, logam berat, beberapa obat seperti chlortalidone, dan
acetazolamide, karena zat tersebut banyak berikatan dengan sel darah
merah. Di dalam darah, obat mungkin berada baik di dalam plasma atau
sel darah merah. Sampel plasma biasanya tidak bermanfaat pada kasus
dimana obat yang terlibat diketahui berada dalam sel darah merah (Karch,
1997).
2.1.2 Plasma
Plasma darah merupakan bagian cair darah berwarna kekuningan,
terdiri dari air, protein, elektrolit, karbohidrat, kolesterol, hormon dan
vitamin. Plasma lebih sering digunakan daripada serum pada analisis obat,
karena dapat disentrifugasi dengan segera, sedangkan pembentukan serum
membutuhkan lebih banyak waktu (Smyth, 1992).
2.1.3 Serum
Serum darah adalah cairan bening yang memisah setelah darah
membeku. Plasma darah berbeda dengan serum darah terutama pada serum
tidak terdapat faktor pembentukan fibrinogen. Jika darah tetap dibiarkan
selama 15 menit pada suhu-kamar dalam suatu tabung tanpa antikoagulan
maka serum dan komponen darah lainnya akan memisah (Flanagan et al.,
2007).

2.2 Uji Skrining Terhadap Narkotika dan Psikotropika


Pemeriksaan pendahuluan (uji skrining) adalah pemeriksaan laboratorium
sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada/tidaknya dan jenis obat yang
menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Uji skrining dapat
dilakukan dengan card atau strip test (untuk spesimen biologis) dan reaksi warna
(untuk sampel sediaan farmasi) (BNN, 2008).
Uji skrining ini merupakan analisis kualitatif dari sampel biologis yang
akan memberikan informasi apakah subyek yang bersangkutan menggunakan obat
terlarang atau tidak. Adanya metabolit menunjukkan bahwa zat/obat tersebut telah
dikonsumsi dan termetabolisme dalam badan. Pemeriksaan skrining positif berarti
suatu obat/metabolitnya terdapat dalam sampel biologis sebanyak/lebih banyak

7
dari batas deteksi alat. Pengeluaran dari badan dan konsentrasinya dalam sampel
biologis bergantung pada faktor-faktor sebagai berikut : cara pemakaian, lama dan
seringnya penggunaan, fungsi organ, kecepatan metabolisme obat, kondisi fisik
dari subyek, umur, jenis kelamin, waktu pengambilan sampel, pengenceran dan
lain-lain (BNN, 2008).
Dalam deteksi penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, uji skrining
dilakukan untuk menentukan golongan analit (narkotika dan psikotropika) yang
digunakan. Hasil dari uji skrining dapat dijadikan dasar dugaan atau hanya
sebagai petunjuk dan bukan merupakan bukti yang kuat bahwa seseorang telah
mengkonsumsi narkotika dan psikotropika karena uji skrining belum mampu
mendeteksi jenis zat narkotika dan psikotropika spesifik yang terkandung di
dalam sampel. Selain itu, dalam uji skrining masih mungkin terdapat hasil positif
palsu akibat adanya reaksi silang (Wirasuta, 2008). Reaksi silang timbul karena
enzim dalam alat uji skrining terkadang membentuk ikatan tidak spesifik dengan
suatu zat/obat akibat adanya kemiripan struktur zat/obat tersebut dengan golongan
narkotika dan psikotropika yang akan diuji (Liu and Daniel, 1997).
Adapun zat/obat yang dapat menimbulkan reaksi silang pada uji skrining
golongan narkotika dan psikotropika adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Zat/obat yang dapat menimbulkan reaksi silang pada uji skrining
(Liu and Daniel, 1997; BNN, 2008; Wirasuta, 2008)
Uji Skrining Golongan Zat/Obat yang Dapat Menimbulkan Reaksi
No Narkotika atau Silang
Psikotropika
1 Derivat Amfetamin Efedrin, Norpseudoefedrin, Pseudoefedrin,
Fenilpropanolamin, Fentermin,
Mefentermin, Fenfluramin, Fenmetrazin,
Metoksifenamin, Ranitidin, Prokain,
Asetilprokain, Tiramin, Tolmetin,
Kloroquin, Kuinikrin, Kuinakrin,
Selegilin, Bupropion, Klorpromazin,

8
Benzfetamin, Propranolol, Tranilsipromin,
Isometeften, Nilidrin, Isoksuprin,
Fenkamin, Furfenorex, Fenproporex,
Mefenorex, Klobenzorex, Prenilamin,
Fenetilin
2 Opiat Kodein, Hidrokodon, Oksikodon,
Levorfanol, Hidromorfon
3 Benzodiazepin Ecgonin Metil Ester, Alprazolam,
Triazolam, Klobazam, Tetrazolam,
Oksazolam, Ketazolam, Midazolam,
Hidroksialprazolam, Hidroksitriazolam,
Oksaprozin, Klorazepat
4 Kokain Ecgonin

Pemeriksaan pendahuluan dengan menggunakan sampel biologis dapat


dilakukan dengan menggunakan card/strip test. Tes ini merupakan tes
Immunoassay dimana penentuan zat tertentu yang terdapat dalam sampel biologis
ditentukan secara Rapid Immunoassay (antigen-antibodi). Analisis kualitatif dari
sampel biologi akan memberikan informasi apakah subyek yang bersangkutan
menggunakan obat terlarang atau tidak. Adanya metabolit dalam sampel biologis
menunjukkan bahwa zat/obat tersebut telah dikonsumsi dan termetabolisme dalam
badan (BNN, 2008).
Strip test merupakan suatu alat yang dicelupkan ke dalam sampel biologis
dan hanya memerlukan waktu sesaat untuk membaca hasilnya secara manual.
Hasil dinyatakan - (negatif) bila tampak dua garis pada huruf C (zona kontrol
validitas) dan T (zona tes/uji), sedangkan hasil dinyatakan + (positif) bila tampak
satu garis pada huruf C (zona kontrol validitas) (BNN, 2008).
Pemeriksaan skrining positif berarti suatu obat/metabolitnya terdapat
dalam sampel biologis sebanyak/lebih banyak dari batas deteksi alat. Pengeluaran
dari badan dan konsentrasinya dalam biologis bergantung pada faktor-faktor
sebagai berikut: cara pemakaian, lama dan seringnya penggunaan, fungsi organ,

9
kecepatan metabolisme obat, kondisi fisik dari subyek, umur, jenis kelamin,
waktu pengambilan sampel dan pengenceran (BNN, 2008).
Pemilihan metode, perlatan serta reagen untuk uji skrining haruslah
mempunyai batas deteksi sama atau lebih rendah dari batas deteksi uji skrining
dengan card/strip test. Adapun batas deteksi uji skrining dengan card/strip test
untuk golongan narkotika dan psikotropika dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Batas deteksi alat card/strip test untuk berbagai golongan
narkotika dan psikotropika

No Jenis / Golongan Zat Batas


Deteksi (ng/mL)
1 Ganja 50
2 Opiat 300
3 Derivat Amfetamin 1000
4 Benzodiazepin 300
5 Kokain 300
6 Metadon 300
7 Propoksifen 300
8 Barbiturat 200
9 Methaqualone 300
10 Fensiklidin 25

(SAMHSA, 2004)
2.3 Metode Skrining
Metode atau teknologi laboratorium yang digunakan untuk skrining harus
memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi. EIA (enzyme immunoassay) dan
imunokromatografi merupakan dua metode yang memenuhi kriteria ini.
Pertimbangan tekniknya yang sederhana, membuat kedua metode ini menjadi
umum digunakan untuk skrining narkoba. Hasil skrining yang "ragu" atau positif
yang bertalian dengan hukum selanjutnya dikonfirmasi dengan metode GC/MS;
metode ini merupakan paduan optimal antara alat ukur mass spectrometry yang

10
memiliki sensitivitas sangat tinggi (mengukur intensitas ion obat) dengan gas
chromatography yang memiliki spesifisitas tinggi [men-diferensiasi obat
menurut intensitas ion (m/z), hambatan waktu (HW) dan bentuk kromatografi
(K)], dan terbukti bahwa cara ini mampu membedakan jutaan obat tanpa satupun
diketahui me-miliki m/z, HW dan K yang sama). Paduan optimal ini selain
mampu mendeteksi narkoba secara spesifik juga mampu mendeteksi dosis
abuse/toksik paling minim (Suwarso, 2002).
Enzyme-multiplied Immunoassay Technique (EMIT) termasuk dalam
teknik immunoassay dengan menggunakan dasar reaksi imunologi antara antigen
dan antibodi. Sebagai antigen adalah narkotika atau psikotropika yang terdapat
pada spesimen dan narkotika atau psikotropika (antigen) yang telah diberi label.
Kedua antigen ini akan berkompetisi mengikat sejumlah antibodi obat tersebut.
(Sukasediati dan Matta, 1987).
Test didasarkan pada kompetisi penjenuhan IgG anti-narkoba yang
mengandung substrat enzim (ada dalam keadaan bebas di zone S) oleh narkoba
sampel atau narkoba yang telah dikonjugasi enzim (ada dan terfiksir di zone T).
Prinsip immunoassay yaitu jika dijenuhi oleh narkoba sampel (sampel positif
narkoba), maka IgG anti-narkoba-substrat tidak akan berikatan dengan narkoba-
enzimnya, sehingga tidak terjadi reaksi enzim-subtrat yang berwarna. Sebaliknya
jika tidak dijenuhi (sampel negatif narkoba) atau hanya sebagian dijenuhi (sampel
mengandung narkoba dalam jumlah di bawah ambang batas pemeriksaan), maka
IgG anti-narkoba-substrat akan berikatan dengan narkoba-enzimnya secara penuh
atau sebagian, sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna penuh (gelap)
atau lamat-lamat (ragu-ragu) (Suwarso, 2002).
Valid tidaknya test dikontrol dengan mengikutsertakan pada zone S suatu
kontrol validitas yang berupa IgG goat-substrat. Karena IgG goat bukan antibodi
spesifiknya narkoba, maka baik pada sampel biologis yang ada, ada dalam jumlah
di bawah ambang batas pemeriksaan atau tidak ada sama sekali narkobanya,
semuanya tidak akan menjenuhi dan hanya akan mendifusikan IgG goat-substrat
dari zone S ke zone C untuk menemui dan mengikat IgG anti-IgG goat yang

11
dikonjugasi enzim (KAGE) sehingga terjadi reaksi enzim-substrat yang berwarna
di zone C (Suwarso, 2002).

A. Sampel Biologis Negatif B. Sampel Biologis Positif

Keterangan:
Zone.S=Sample. Zone.T=Test. Zone.C=Control. Sub=Substrat Nar(-)/(+) =
Narkoba negatif/positif <> = Narkoba. KNE = Konjugat narkoba-enzim.
KAGE = Konjugat IgG anti-IgG "goat"-enzim.

Gambar 2.1. Prinsip kerja rapid test/EMIT

Gambar 2.2. Deteksi narkoba tunggal dan metabolitnya dengan cara card atau
stick

12
Interpretasi data dari uji skrining dengan menggunakan strip atau card test :
a. Bila Sampel Biologis Negatif
Pada sampel biologis yang tidak mengandung narkoba, maka jika biologis
ini diteteskan di zone S, biologis hanya mendifusikan IgG antinarkoba-
substrat dan IgG goat-substrat dari zone S ke zone T dan zone C. Di zone
T IgG anti-Narkoba akan berikatan dengan narkoba-enzimnya (KNE);
sementara di zone C IgG goat akan berikatan dengan IgG anti-IgG goat-
enzim (KAGE), sehingga baik di zone T maupun zone C terjadi reaksi
enzim-substrat berupa pita warna pink.
b. Bila Sampel Biologis Positif
Di zone S narkoba biologis positif akan langsung berikatan dan menjenuhi
IgG anti-narkoba-substrat, sehingga waktu didifusikan ke zone T tidak
bisa mengikat (bercelah) narkoba-enzimnya (KNE), tidak terjadi reaksi
enzim-substrat dan karenanya tidak muncul reaksi warna. Sebaliknya di
zone C tetap terjadi reaksi warna (pita pink) sebab narkoba biologis tidak
spesifik untuk dapat berikatan dengan IgG goat.
c. Bila Sampel Biologis Ragu-Ragu
Di zone S narkoba biologis yang berkadar tepat di batas ambang
pemeriksaan akan menjenuhi IgG anti-narkoba-substrat tidak secara
penuh. Penjenuhan berikutnya akan dipenuhi oleh Narkoba-ensim di zone
T, sehingga terjadi reaksi ensim-substrat yang tidak penuh, yang akan
memberikan warna lamat-lamat (ragu-ragu) di zone T.
d. Bila Test Valid atau Tidak Valid
Zone C adalah zone kontrol validitas yakni zone untuk menilai apakah test
valid atau tidak. Reaksi hanya membutuhkan H2O biologis, karenanya
tidak tergantung pada ada tidaknya narkoba, hasil reaksi pada zone C ini
akan selalu muncul warna. Jika warna ini muncul berarti test dikatakan
valid dan dengan demikian hasil test dapat dipercaya dan siap diberikan ke
yang berkepentingan. Sebaliknya jika warna tidak muncul ini berarti test

13
tidak valid, dan harus diulang dengan test-kit yang baru, atau dengan kit
dari pabrik lain (Suwarso, 2002).
2.4 Uji Konfirmasi
Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu pemeriksaan lanjutan yang lebih
akurat karena hasil yang dikeluarkan sudah definitif menunjukkan jenis zat
narkotika psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut. Pemeriksaan
dilakukan apabila hasil pemeriksaan pendahuluan (screening test) memberi hasil
positif (BNN, 2008).
Uji konfirmasi bertujuan untuk memastikan identitas analit dan
menetapkan kadarnya. Konfirmatori test paling sedikit sesensitif dengan uji
penapisan, namun harus lebih spesifik. Umumnya uji pemastian menggunakan
teknik kromatografi yang dikombinasi dengan teknik detektor lainnya, seperti:
kromatografi gas- spektrofotometri massa (GC-MS), kromatografi cair kenerja
tinggi (HPLC) dengan diode-array detektor, kromatografi cair - spektrofotometri
massa (LC-MS), KLT-Spektrofotodensitometri, dan teknik lainnya.
Meningkatnya derajat spesifisitas pada uji ini akan sangat memungkinkan
mengenali identitas analit, sehingga dapat menentukan secara spesifik toksikan
yang ada.
Prinsip dasar uji konfirmasi dengan menggunakan teknik CG-MS adalah
analit dipisahkan menggunakan gas kromatografi kemudian selanjutnya
dipastikan identitasnya menggunakan teknik spektrfotometri massa. Sebelumnya
analit diisolasi dari matrik biologik, kemudian jika perlu diderivatisasi. Isolat akan
dilewatkan ke kolom CG, dengan perbedaan sifat fisikokima toksikan dan
metabolitnya, maka dengan GC akan terjadi pemisahan toksikan dari senyawa
segolongannya atau metabolitnya. Pada prisipnya pemisahan menggunakan GC,
indeks retensi dari analit yang terpisah adalah sangat spesifik untuk senyawa
tersebut, namun hal ini belum cukup untuk tujuan analisis toksikologi forensik.
Analit yang terpisah akan memasuki spektrofotometri massa (MS), di sini
bergantung dari metode fragmentasi pada MS, analit akan terfragmentasi
menghasilkan pola spektrum massa yang sangat kharakteristik untuk setiap
senyawa. Pola fragmentasi (spetrum massa) ini merupakan sidik jari molekular

14
dari suatu senyawa. Dengan memadukan data indeks retensi dan spektrum
massanya, maka identitas dari analit dapat dikenali dan dipastikan.
Dengan teknik kombinasi HPLC-diode array detektor akan
memungkinkan secara simultan mengukur spektrum UV-Vis dari analit yang telah
dipisahkan oleh kolom HPLC. Seperti pada metode GC-MS, dengan memadukan
data indeks retensi dan spektrum UV-Vis analit, maka dapat mengenali identitas
analit.
Disamping melakukan uji indentifikasi potensial positif analit (hasil uji
penapisan), pada uji ini juga dilakukan penetapan kadar dari analit. Data analisis
kuantitatif analit akan sangat berguna bagi toksikolog forensik dalam
menginterpretasikan hasil analisis, dengan kaitannya dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul baik dari penyidik maupun hakim
sehubungan dengan kasus yang terkait.
Dalam praktis analisis menggunakan teknik GC-MS, LC-MS, atau HPLC-
Diode array detektor memerlukan biaya analisis yang relatif mahal ketimbang
KLT-Spektrofotodensitometri. Sehingga disarankan dalam perencanaan
pengadaan/pemilihan peralatan suatu laboratorium toksikologi seharusnya
mempertimbangkan biaya operasional penanganan sampel. Hal ini pada
kenyataannya sering menjadi faktor penghambat dalam penyelenggaraan
laboratorium toksikologi.
Panduan dari BNN (2008) menyebutkan prinsip identifikasi KLT untuk
golongan amfetamin, metamfetamin, dan MDMA dilakukan menggunakan fase
diam plat KLT dilapisi silika gel berfluoresensi pada λ 254 nm dengan ketebalan
0,25 mm dan fase gerak metanol: amoniak (100:1,5) dan fase gerak etil asetat:
metanol: amoniak (85: 10: 5). Sedangkan untuk morfin dan derivatnya dilakukan
menggunakan plat KLT dilapisi silika gel berfluoresensi pada λ 254 nm dengan
ketebalan 0,25 mm dengan fase gerak toluene: aseton: etanol: ammonia pekat
(45:45:7:3) dan fase gerak etil asetat: etanol: ammonia pekat (85: 10: 5).
UN Office on Drug and Crime (2006) menyebutkan prinsip identifikasi
amfetamin dan metamfetamin dapat dilakukan menggunakan KLT dengan fase
diam plat KLT dilapisi silika gel berfluoresensi pada λ 254 nm dengan ketebalan

15
0,25 mm dan pilihan 3 pilihan sistem fase gerak yaitu metanol: amoniak
(100:1,5), etil asetat: metanol: amoniak (85: 10: 5) dan sikloheksen: toluen:
dietilamin (75: 15: 10), dimana reprodusibillitas metodenya dapat ditingkatkan
dengan menggunakan standar reference (hRfc).
Analisis kualitatif dengan KLT-spektrofotodensitometri salah satunya
dapat dilakukan dengan membandingkan nilai hRf. Akan tetapi menurut Zeeuw et
al. (1992), harga hRf suatu senyawa dapat mengalami perubahan karena beberapa
faktor seperti jumlah analit yang ditotolkan dan adanya pengaruh dari fase diam
yang digunakan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, maka Deutsche
Forschunsgemeinschaft (DFG) dan International Association of Forensic
Toxicologists (TIAFT) pada tahun 1992 melaporkan sistem KLT terstandarkan
untuk keperluan analisis toksikologi forensik (Zeeuw et al., 1992). DFG dan
TIAFT menawarkan sistem dengan plat KLT Silika Gel dan 10 sistem fase gerak,
dimana dalam masing-masing sistem fase gerak terdapat 4 senyawa pembanding.
Harga hRf yang diperoleh dikoreksi menjadi harga hRf terkoreksi yang dihitung
dengan metode poligonal atau rumus hRfc (Zeeuw et al., 1992).

Gambar 2.1. Grafik poligonal (Zeeuw et al., 1992)


Keterangan : Sumbu Y= Harga hRf analit; Sumbu X= Harga hRfc senyawa
pembanding; A, B, C, D = Empat senyawa pembanding; X= Harga hRfc
analit

Harga hRfc analit dapat dengan mudah diperoleh dengan


menginterpolasikan hRf ke sumbu y, atau dengan menghitung menggunakan

16
rumus berikut:
1……………………………………………………...2……………………………
……………………............3
Persyaratan pemilihan senyawa pembanding dalam sistem TLC yang
terstandarkan harus memenuhi persyaratan:
a) analit harus dikerjakan (dipisahkan) menggunakan sistem TLC
b) harga Rf dari analit dan senyawa pembanding harus terdistribusi
disepanjang rentang Rf
c) dapat memberikan reprodusibilitas antarlab yang tinggi
Berdasarkan harga hRfc dari masing-masing spot, dilakukan interpretasi
indentitas analit. Uji identifikasi kualitatif analit secara sistematis dilakukan
dengan memanfaatkan pemisahan analit (harga hRfc analit) pada sistem KLT
terstandarkan (Zeeuw et al., 1992). Keuntungan hRfc dibandingkan dengan harga
hRf adalah nilai hRfc lebih konsisten dengan variasi faktor-faktor lingkungannya,
sehingga dapat digunakan sebagai data yang lebih akurat dari senyawa yang
dianalisis.
Pemeriksaan konfirmasi adalah suatu pemeriksaan lanjutan yang lebih
akurat karena hasil yang dikeluarkan sudah definitif menunjukkan jenis zat
narkotika psikotropika yang terkandung di dalam sampel tersebut. Pemeriksaan
konfirmasi memiliki batas deteksi (cut off) untuk setiap analit target yang akan
dikonfirmasi.

Tabel 2.1. Batas Deteksi (Cut off) Uji Konfirmasi dengan Metode KLT dan GC.
Jenis/ Golongan Jenis Zat Batas Deteksi (ng/ml)
zat
Kanabis Delta-9-Asam THC 15
Kokain Benzoylecgonine 150
Opiat Kodein 300
Morfin 300
6-MAM (Heroin) 10
Dihydrokodein 300
Metadon Metadon 250
EDPP 250
Amfetamin Amfetamin 500

17
Metil Amfetamin 500
MDA,MDMA,MDEA 200
Benzodiazepin Oxazepam 100
7-Amino Nitrazepam 100
Temazepam 100
Nordiazepam 100
Methaqualone Methaqualone 300
Propoksifen Propoksifen 300
Nor Propoksifen 300
Barbiturat Barbiturat 150
Fensiklidin Fensiklidin 25
(BNN, 2008)

Dalam melakukan uji konfirmasi dengan TLC dianjurkan untuk


menggunakan lebih dari 1 sistem fase gerak yang berbeda karena dapat
memperkecil senyawa yang lolos dalam uji skrining (Moffat et al, 2005).

Tabel 2.2. Harga hRf Amfetamin, MDMA, MA, Morfin, Kodein pada berbagai fase gerak.
Siste
Amfetamin MDMA MA Efedrin Pseduefedrin Morfin Kodein
m
TA 43 33 31 30 33 37 33
TB 20 24 28 05 54 00 06

TC 09 - 13 05 04 09 18
TE 43 39 42 25 17 20 35
TL 18 - 05 01 63 01 03
TAE 12 08 09 10 09 18 21
TAF 75 - 63 64 - 23 22

TAJ - 03 - 00 00 00 10
TAK - 17 03 01 01 00 00

TAL - 57 45 29 30 15 26

TAEA 44 16 15 07 65 11 17
(Moffat et al., 2005)
Keterangan:

18
TA : metanol-amonia pekat (100:1,5)
TB : sikloheksana-toluena-dietilamin (75:15:10)
TC : kloroform-metanol (90:10), dengan fase diam silika gel G
ketebalan 250 μm dicelup dalam 0,1 M KOH dalam metanol dan
dikeringkan
TD : kloroform-aseton (80:20)
TE : etilasetat-metanol-amonia pekat (85:10:5)
TL : aseton
TAE : metanol
TAF : metanol-n-butanol(60:40); 0,1mol/L NaBr
TAJ : kloroform-metanol (90:10)
TAK : kloroform-sikloheksana-asam asetat (4:4:2).
TAL : kloroform-metanol-asam propionat (72:18:10)
TAEA : toluen : aceton : etanol : amonia (45 : 45 : 7 : 3)

2.5 Senyawa Turunan Opiat


Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver
somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin.
Nama opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari
opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak
didapatkan dari opium. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari opiat alami
adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan
hydromorphine (Dilaudid). Gejala intoksitasi (keracunan) opioid antara lain,
konstraksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat) dan
satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau koma bicara cadel, gangguan atensi
atau daya ingat. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna
secara klinis misalnya, euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau
retardasi psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan fungsi sosial yang
berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid.

19
Kodein dan morfin adalah obat yang berasal dari opium yang terdaftar di
Amerika Serikat sebagai narkotika tipe II karena dianggap sangat adiktif dan
memiliki potensi tinggi untuk penyalahgunaan obat, namun keduanya juga
memiliki kegunaan yang sah dengan resep untuk penyakit fisik. Kodein sering
diresepkan untuk batuk, diare atau penghilang rasa sakit ringan, sementara
penggunaan utama morfin untuk rasa sakit yang lebih parah dan sebagai obat bius
sebelum dan sesudah operasi. Karena potensi tinggi untuk penyalahgunaan obat,
yang penggunaannya tidak sah dari kodein dan morfin erat dipantau di Amerika
Serikat dan di tempat lain (Cole et al., 2007).
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan
alkaloida utama dari opium. Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus
berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara
dihisap dan disuntikkan. Kodein termasuk garam / turunan dari opium / candu.
Efek kodein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan
ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara
pemakaiannya ditelan dan disuntikkan.

2.5.1 Sifat Fisikokimia Senyawa Golongan Opiat


a. Morfin
Morfin memiliki struktur kimiawi C17H19NO3.H2O dengan berat molekul
303,4 g/mol (Moffat et al., 2005).

Gambar 2.2. Spektrum UV morfin (Moffat et al., 2005)

Morfin berupa serbuk hablur mengkilap atau serbuk kristal. Kelarutan


morfin adalah 1 : 17,5 dalam air, 1 : 8 dalam etanol, sangat mudah larut dalam

20
campuran kloroform-isopropanol, dan praktis tidak larut dalam eter (Moffat et al.,
2005).

Gambar 2.3. Spektrum UV morfin (Camag, 1999)

Morfin memiliki pKa 8,0 dan 9,9 serta titik titik lebur 254 - 256oC. Panjang
gelombang maksimum (λmaks) spektrum UV morfin pada larutan asam adalah

285 nm ( =52), sedangkan pada larutan alkali adalah 298 nm ( =92) (Moffat et

al., 2005).
Morfin sangat cepat diabsorbsi melalui pemberian intravena (i.v),
intramuskular (i.m) dan subkutan. Kecepatan absorbsi bervariasi jika diberikan
melalui oral karena pengaruh dari metabolisme first pass effect. Morfin
didistribusi secara luas di ginjal, hati, paru-paru dan dalam konsentrasi kecil di
otot dan otak namun tidak terakumulasi dalam jaringan. Morfin dapat menembus
membran sawar otak dan plasenta serta ditemukan pada keringat dan kelenjar
susu. Sebanyak 90% morfin dimetabolisme menjadi morfin-3-glukoronid dan
morfin-6-glukoronid. Dalam 24 jam pemberian secara parenteral, 90% morfin
diekskresikan di biologis dengan persentase morfin bebas sebanyak 10% dan 70%
morfin terkonjugasi. Ekskresi morfin sangat tergantung pada pH biologis dimana
pada pH asam jumlah morfin bebas yang diekskresikan akan meningkat namun
jika dalam pH basa jumlah morfin terkonjugasi yang akan meningkat. Morfin
merupakan metabolit utama dari heroin dan kodein (Moffat et al., 2005).

21
Konsentrasi morfin dalam biologis penderita yang diobati menggunakan
morfin adalah di bawah 10 μg/mL dan dalam biologis pecandu yang meninggal
karena overdosis heroin, ditemukan sampai 86 μg/mL (Moffat et al., 2005).

b. Kodein
Kodein memiliki struktur kimiawi C18H21NO3.H2O dengan berat molekul
317,4 g/mol (Moffat et al., 2005).

Gambar 2.4. Struktur kodein (Moffat et al., 2005)

Kodein mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0
% C18H21NO3 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Kodein berupa hablur
tidak berwarna atau serbuk hablur berwarna putih dan tidak berbau (Depkes RI,
1995). Kodein sukar larut dalam air (1 : 120); larut dalam air mendidih (1 : 15),
benzena (1 : 13), dan eter (1 : 18); sangat mudah larut dalam etanol (1 : 2),
kloroform (1 : 0,5), amil alkohol, dan asam encer; hampir tidak larut dalam
petroleum eter atau dalam alkali hidroksida (DepKes RI, 1995; Moffat et al.,
2005).

Gambar 2.5. Spektrum UV kodein (Camag, 1999)

Kodein memiliki titik lebur 155 - 159oC (Depkes RI, 1995) dan pKa 8,2.
Panjang gelombang maksimum (λmaks) spektrum UV kodein pada larutan asam

22
adalah 285 nm ( =55), sedangkan pada larutan alkali tidak terjadi penyerapan

sinar UV (Moffat et al., 2005).


Kodein diabsorbsi dengan baik secara oral dimana kadar puncak plasma
diperoleh dalam waktu 1 jam. Pada pemberian oral, kodein akan diekskresikan
sebanyak 86% di biologis dalam waktu 24 jam. 70% berupa campuran kodein
bebas dan terkonjugasi, 15% berupa morfin bebas dan terkonjugasi dan 20%
norkodein dengan normorfin. Peningkatan pH pada biologis menyebabkan
peningkatan ekskresi kodein bebas. Dalam pemberian i.m, kodein bebas
diekskresikan sebanyak 20% pada biologis asam (Moffat et al., 2005).

c. Heroin
Nama sistematik : (5α,6α)-7,8-Didehydro–4,5–epoxy–17–
methylmorphinan–3,6–diol diacetate
Rumus molekul : C21H23NO5
Massa molekul : 369.4 g/mol
PKa : 7,56
Log P : 1,58
Organoleptis : kristal putih, titik lebur 173°. Dengan cepat
dihidrolisis oleh basa.
Kelarutan : larut 1 : 1700 dalam air, 1 : 31 dalam ethanol, 1 : 1.5
dalam kloroform, dan 1 : 100 dalam ether.

Gambar 2.6. Struktur Molekul Heroin (Moffat et al., 2005)

23
Gambar 2.7. Spektrum UV Heroin (Moffat et al., 2005)
Keterangan : ------------- (dalam suasana basa) - 299 nm (A11=69a)
_________ (dalam suasana asam) - 279 nm (A11=46a)

2.5.2 Derivat Amfetamin


Amphetamine merupakan salah satu obat dari golongan psikotropika
golongan II. Istilah amphetamine digunakan untuk sekelompok obat yang secara
struktural mempunyai keterbatasan dalam penggunaan klinis tetapi sangat
potensial untuk menjadi toksik adiksi dan disalah gunakan. Senyawa ini
memiliki nama kimia α–methylphenethylamine merupakan suatu senyawa
yang telah digunakan secara terapetik untuk mengatasi obesitas, attention-
deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan narkolepsi. Amfetamin memiliki
banyak efek stimulan diantaranya meningkatkan aktivitas dan gairah hidup,
menurunkan rasa lelah, meningkatkan mood, meningkatkan konsentrasi,
menekan nafsu makan, dan menurunkan keinginan untuk tidur. Akan tetapi,
dalam keadaan overdosis, efek-efek tersebut menjadi berlebihan (Japardi, 2008).
Setelah mengkonsumsi dosis oral sebanyak 2,5-15 mg amfetamin, kadar
puncak dalam plasma sebesar 30-170 μg/mL akan dicapai dalam 2 jam, dan waktu
paruh dalam plasma 8-12 jam. Kadar dalam darah yang menyebabkan kematian
biasanya di atas 500 μg/mL (BNN, 2008).
Metamfetamin dan amfetamin mulai terdeteksi dalam biologis setelah 20
menit pemakaian. Amfetamin dikeluarkan dalam bentuk aslinya 20-30 %,

24
sedangkan 25 % adalah bentuk asam hipurat dan asam benzoat (deaminasi) serta
metabolit terhidroksilasi sebagian sebagai konjugat. Kecepatan dan jumlah zat
yang dikeluarkan dalam bentuk aslinya berganutng pada pH biologis. Dalam
biologis alkali 45 % zat yang dikeluarkan dalam 24 jam, 2 % adalah bentuk asli,
sedangkan dalam biologis asam, 78% dikeluarkan dalam 24 jam, 68% adalah
bentuk bebas (BNN, 2008).
Metamfetamin dikeluarkan dalam bentuk aslinya (44%) dan metabolit
mayornya yaitu amfetamin (6-20%) dan 4-hidroksimetamfetamin (10%). Seperti
amfetamin, keasaman biologis meningkatkan kecepatan keluaran (ekskresi) dan
prosentase zat dalam bentuk asli yang dikeluarkan. Target analisis adalah zat
metamfetamin dan atau amfetamin dalam bentuk bebas (BNN, 2008). Berikut
merupakan senyawa yang merupakan derivat dari senyawa amfetamin :
Tabel 2.3. Derivat Senyawa Golongan Amfetamin (BNN, 2008)
Derivat golongan amfetamin Singkatan
3,4-metilendioksiamfetamin MDA
3,4-metilendioksimetamfetamin MDMA, Ekstasi
3,4-metilendioksietilamfetamin MDE, MDEA
5-metoksi-3,4-metilendioksiamfetamin MMDA
4-metoksiamfetamin PMA
4-metoksimetamfetamin PMMA
2,5-dimetoksiamfetamin DMA
2,5-dimetoksi-4-metilamfetamin DOM, STP
2,5-dimetoksi-4-etilamfetamin DOET
3,4,5-trimetoksiamfetamin TMA
4-bromo-2,5-dimetoksiamfetamin DOB, Bromo-STP

Setelah mengkonsumsi dosis oral sebanyak 2,5-15 mg amfetamin, kadar


puncak dalam plasma sebesar 30-170 μg/mL akan dicapai dalam 2 jam, dan waktu
paruh dalam plasma 8-12 jam. Kadar dalam darah yang menyebabkan kematian
biasanya di atas 500 μg/mL (BNN, 2008).
Metamfetamin dan amfetamin mulai terdeteksi dalam biologis setelah 20
menit pemakaian. Amfetamin dikeluarkan dalam bentuk aslinya 20-30 %,
sedangkan 25 % adalah bentuk asam hipurat dan asam benzoat (deaminasi) serta
metabolit terhidroksilasi sebagian sebagai konjugat. Kecepatan dan jumlah zat

25
yang dikeluarkan dalam bentuk aslinya berganutng pada pH biologis. Dalam
biologis alkali 45 % zat yang dikeluarkan dalam 24 jam, 2 % adalah bentuk asli,
sedangkan dalam biologis asam, 78% dikeluarkan dalam 24 jam, 68% adalah
bentuk bebas (BNN, 2008).
Metamfetamin dikeluarkan dalam bentuk aslinya (44%) dan metabolit
mayornya yaitu amfetamin (6-20%) dan 4-hidroksimetamfetamin (10%). Seperti
amfetamin, keasaman biologis meningkatkan kecepatan keluaran (ekskresi) dan
prosentase zat dalam bentuk asli yang dikeluarkan. Target analisis adalah zat
Metamfetamin dan atau Amfetamin dalam bentuk bebas (BNN, 2008).
Kebanyakan derivat amfetamin dengan cepat diabsorbsi dari saluran
pencernaan, bentuk aslinya dikeluarkan dalam biologis (65%), sehingga target
analisis adalah zat induk yang bersangkutan dalam biologis. Waktu paruh derivat
DOM dan DOET menurut data yang sudah dipublikasikan disebutkan bahwa 20%
DOM dikeluarkan dalam biologis dalam bentuk aslinya dalam 24 jam sedangkan
DOET, 10-40%. Keluaran maksimal dalam biologis terjadi pada 3-6 jam setelah
konsumsi untuk kedua jenis zat (BNN, 2008).
Pada suatu penelitian menggunakan 1,5 mg/kg berat badan MDMA, kadar
plasma maksimum yaitu 0,33 μg/mL dicapai dalam waktu 2 jam dengan waktu
paruh dalam plasma 8 jam. Metabolisme melalui beberapa rute : N-demetilasi dari
zat induk menjadi MDA (7%), lalu O-demetilasi menjadi 3,4-
dihidroksimetamfetamin (HHMA) dan 3,4-dihidroksiamfetamin (HHA). Kedua
HHMA dan HHA di O-metilasi oleh Katekol-O-Metiltransferase (COMT)
menjadi 4-hidroksi-3-metoksiamfetamin (HMMA) dan 4-hidroksi-3-
metoksimetamfetamin (HMA). Keempat metabolit diekskresikan dalam biologis
dalam bentuk glukoronida terkonjugasi atau metabolit sulfat. Metabolisme yang
terutama ditemukan dalam biologis adalah HHMA dan HHMA (BNN, 2008).

26
Gambar 2.8. Metabolisme Amfetamin

Gambar 2.9. Metabolisme Metamfetamin

27
2.5.3 Sifat Fisikokimia Senyawa Golongan Amfetamin
a. Amfetamin
Amfetamin tidak berwarna, dan merupakan cairan volatil lambat.
Kelarutannya yaitu larut 1 dalam 50 bagian air, larut dalam etanol, kloroform dan
eter, siap larut dalam asam. Titik didih 200 sampai 203 ᵒC, pKa 10,1 dan
koefisien partisi yaitu log P (oktanol/air) 1,8 (Moffat et al., 2005).

Gambar 2.10. Spektrum UV dan struktur molekul amfetamin (Moffat et al., 2005;
Camag, 1999)
b. Metamfetamin
Metamfetamin memiliki struktur kimiawi C10H15N dengan berat molekul
149,2 g/mol. Metamfetamin berupa kristal putih atau serbuk putih. Kelarutan
metamfetamin, yaitu larut dalam 2 bagian air, larut dalam 4 bagian etanol, larut
dalam 5 bagian kloroform, dan praktis tidak larut dalam eter (Moffat et al., 2005).

Gambar 2.11. Struktur dan Spektrum UV metamfetamin (Moffat et al., 2005;


Camag, 1999)

28
Metamfetamin memiliki titik lebur 170-175oC dan pKa 10,1. Panjang
gelombang maksimum (λmaks) spektrum UV metamfetamin pada larutan asam

adalah 252 nm, 257 nm ( =12,1), dan 263 nm. Tidak terjadi penyerapan sinar

UV pada larutan alkali (Moffat et al., 2005).


Metamfetamin langsung terabsorbsi setelah pemberian oral. Sekitar 70 %
dari dosis dieksresikan melalui biologis dalam waktu 24 jam. Dalam keadaan
normal, hingga 43 % dosis diekskresikan dalam bentuk tak berubah, hingga 15 %
diekskresikan sebagai 4-hidroksimetamfetamin, dan sekitar 5 % diekskresikan
sebagai amfetamin. Ekskresi obat dalam bentuk tak berubah tergantung pada pH
biologis, dimana ekskresi meningkat pada pH biologis asam dan menurun drastic
(sekitar 2% dosis) jika pH biologis basa (Moffat et al., 2005).

c. MDMA (Metilendioksimetamfetamin)
MDMA memiliki struktur kimiawi C11H15NO2 dengan berat molekul 193,2
g/mol. MDMA berupa minyak kental yang tidak berwarna. Bentuk
hidrokloridanya berupa kristal putih atau putih tulang yang berasa pahit.
Kelarutan MDMA, yaitu larut dalam benzena, heksana, dan etil asetat, dan
(Moffat et al., 2005).

29
Gambar 2.12. Struktur dan Spektrum UV MDMA (Moffat et al., 2005; Camag,
1999)

MDMA memiliki titik didih 100-110oC. Titik lebur kristal MDMA yang
terbentuk dengan isopropanol/n–heksana adalah 147° sampai 148°C, sedangkan
titik lebur kristal yang terbentuk dengan isopropan-2-ol/eter adalah 152-153oC.
MDMA memiliki 3 nilai pKa pada pH 9,0, yaitu 9,41 dalam benzene; 8.69 dalam
heksana; dan 8,84 dalam etil asetat. Panjang gelombang maksimum (λmaks)
spektrum UV dalam suasana asam pada 234 nm dan 285 nm, sedangkan dalam
suasana basa antara 232 nm dan 285 nm (Moffat et al., 2005).
MDMA terabsorbsi ke dalam aliran darah setelah pemakaian dan
dieksresikan lewat biologis dengan mayoritas berupa bentuk tak berubah (65 %
dalam 3 hari). Metabolisme terjadi melalui beberapa rute, yaitu N-demetilasi
senyawa induk menjadi 3,4-metilendioksiamfetamin (MDA) (7%) diikuti dengan
O-demetilasi menjadi 3,4-dihidroksimetamfetamin (HHMA) dan 3,4-
dihidroksiamfetamin (HHA). Kemudian. HHMA dan HHA mengalami O-metilasi
oleh katekol-O-metiltransferase (COMT) terutama menjadi 4-hidroksi-3-
metoksiamfetamin (HMA). Keempat metabolit ini diekskresikan lewat biologis
sebagai metabolit glukuronida terkonjugasi atau sulfat.

d. Efedrin
Efedrin adalah senyawa anhidrat atau mengandung tidak lebih dari
setengah molekul air hidrat. Efedrin memiliki struktur kimiawi C10H15NO
(anhidrat) dan C10H15NO.½H2O (hemihidrat) dengan berat molekul 165,23 g/mol
(anhidrat) dan 174,24 (hemihidrat) (DepKes RI, 1995).
Efedrin mengandung tidak kurang dari 98,5 % dan tidak lebih dari 100,5
% C10H15NO dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian efedrin zat
padat menyerupai lemak, tidak berwarna, atau granul, atau hablur putih. Efedrin
dapat terurai secara bertahap bila terkena cahaya (DepKes RI, 1995).
Kelarutannya, yaitu 1 bagian efedrin larut dalam 20 bagian air; dalam 1 bagian

30
etanol; dalam kloroform, dan eter; sedikit dan lambat larut dalam minyak mineral
(DepKes RI, 1995; Moffat et al., 2005).

Gambar 2.13. Struktur dan Spektrum UV efedrin (Moffat et al., 2005;


Camag, 1999)

Efedrin memiliki titik lebur 33 sampai 40oC (DepKes RI, 1995) dan pKa
9,6. Panjang gelombang maksimum (λmaks) spektrum UV efedrin dalam larutan

asam adalah 251 nm, 257 nm ( =12), dan 263 nm (Moffat et al., 2005).

Efedrin langsung terabsorbsi setelah pemberian oral atau perkutan. Efedrin


dimetabolisme melalui N-demetilasi menjadi norefedrin (fenilpropanolamin) dan
melalui deaminasi oksidatif diikuti dengan konjugasi. Efedrin terakumulasi di
hati, paru-paru, ginjal, limpa, dan otak. Sekitar 90% dari dosis diekskresikan lewat
biologis dalam 24 jam, dengan sekitar 55 sampai 75% dalam bentuk tak berubah,
8 sampai 20% sebagai norefedrin, dan 4 sampai 13% sebagai metabolit
terdeaminasi, seperti asam benzoat, asam hipurat, dan 1-fenilpropan-1,2-diol.
Pada pH biologis yang asam, ekskresi bentuk tak berubah dari efedrin sedikit
meningkat. Pada pH biologis yang basa, sekitar 20 sampai 35% dari dosis
diekskresikan dalam bentuk tak berubah dan proporsi norefedrin yang diekskresi
meningkat (Moffat et al., 2005).

e. Pseudoefedrin
Pseudoefedrin berbentuk kristal atau serbuk putih. Kelarutannya adalah
larut 1 dalam 1,6 dalam air, 1 dalam 4 etanol, dan 1 dalam 60 bagian kloroform,
sangat larut dalam eter. Titik leburnya 182,5 sampai 183,5 ºC, pKa = 9,8 dan
koefisien partisi yaitu log P (oktanol/air) 0,9. Diabsorpsi dengan cepat dengan

31
lengkap setelah pemberian oral, sekitar 90% diekskresikan dalam bentuk tidak
berubah yang ditemukan dalam biologis 24 jam (Moffat et al., 2005).

Gambar 2.14. Spektrum UV dan struktur molekul amfetamin

2.6 Ekstraksi Cair Cair


Ekstrasi cair-cair merupakan suatu teknik di mana suatu larutan (biasanya
larutan berair) dibuat bersentuhan dengan pelarut kedua (biasanya pelarut
organik). Dimana kedua pelarut tersebut tak tercampurkan dan menimbulkan
perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) ke dalam pelarut yang kedua.
Metode pemisahan ekstraksi cair-cair adalah salah satu metode pemisahan yang
sering digunakan karena dalam pelaksanaannya relatif sederhana dan tidak
memerlukan alat khusus. Teknik ekstrasi ini bersifat sederhana, bersih, cepat dan
mudah (Gandjar dan Rohman, 2007).
Ekstraksi cair-cair merupakan pemisahan komponen kimia di antara dua
fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada
fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang
mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan
sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah
ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan
perbandingan konsentrasi yang tetap. Ektraksi cair-cair dilakukan untuk
mendapatkan suatu senyawa dalam campuran berfase cair dengan pelarut lain
yang fasenya cair juga. Prinsip dasar pemisahan ini adalah pemisahan senyawa
yang memiliki perbedaan kelarutan pada dua pelarut yang berbeda. Alat yang
digunakan adalah corong pisah ( Gandjar dan Rohman, 2007).

32
Ekstrasi cair-cair ditentukan oleh hukum distribusi Nerst dan hukum
partisi, yang menyatakan bahwa “suatu zat terlarut akan membagi dirinya antara
dua cairan yang tidak dapat bercampur sedemikian rupa sehingga angka banding
konsentrasi pada keseimbangan adalah konstan pada suatu temperatur tertentu”.
Nilai angka banding tersebut berubah sesuai dengan sifat dasar kedua pelarut, sifat
dasar zat pelarut dan temperatur. Koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus
sebagai berikut:

Dimana :
KD = koefisien distribusi/ koefisien partisi
[A]1 dan [A]1 = konsentrasi zat terlarut A dalam pelarut 1 dan 2

Koefisien distibusi ini tidak bergantung pada konsentrasi total zat terlarut
pada kedua fase tersebut sehingga lebih dipilih menggunakan istilah Rasio
Distribusi (D) dengan memperhitungkan konsentrasi total zat di dalam dua fase.

Pelarut organik yang dipilih untuk ektrasi pelarut adalah yang mempunyai
kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat meguap sehingga memudahkan
pengilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstrasi, dan mempunyai
kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel (Gandjar
dan Rohman, 2007).

2.7 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang paling umum dan
paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan
untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif atau preparatif dalam
bidang farmasi, industri (Gandjar dan Rohman, 2007).

33
Kromatografi lapis tipis (disingkat KLT) atau dalam bahasa inggris
disebut thin layer chromatograpHy (TLC) merupakan salah satu contoh
kromatografi planar disamping kromatografi kertas. Berbeda dengan kromatografi
kolom yang mana fase diamnya dikemas dalam kolom, maka pada kromatografi
lapis tipis (TLC), fase diamnya adalah berupa lapisan seragam pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat plastik.
Hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan KLT adalah pemilihan fase diam
dan fase gerak yang sesuai (Gandjar dan Rohman, 2007).
Teknik KLT memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
- Peralatan yang diperlukan sedikit, murah, sederhana, waktu analisis cepat dan
daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1988).
- KLT banyak digunakan untuk maksud analitik, identifikasi pemisahan
komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi atau
pemadaman fluoresensi maupun radiasi lampu UV, dapat dilakukan elusi
dengan menaik (ascending) atau menurun (descending) atau dengan cara elusi
dua dimensi, serta ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena
komponen yang ditentukan merupakan noda yang tidak bergerak (Mulja dan
Suharman, 1995).
- Kombinasi TLC/HPTLC dengan densitometer adalah dapat dilakukan
pengulangan pada tahap scanning tanpa mengkhawatirkan gangguan pada
proses lanjutan, ini dikarenakan semua proses berjalan secara independen
(Sherma and Fried, 1996).
- KLT-densitometri adalah memerlukan waktu lebih singkat dan lebih murah
biaya operasionalnya dibandingkan KCKT (Hayun,2007).
Fase diam yang digunakan dalam KLT umumnya merupakan penjerap
berupa silika gel berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm dan
ketebalan lapisan penjerapnya mencapai 250 μm. Plat KLT dapat mengandung
suatu indikator fluoresensi sehingga komponen yang mengabsorbsi UV dapat
ditempatkan sebagai spot yang gelap dengan latar yang berfluoresensi dengan
bantuan reagen visualisasi jika diperlukan (Sherma dan Fried, 1996).

34
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka. Sistem yang paling
sederhana ialah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan
mengoptimasi fase gerak :
1. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak
antara 0,2 sampai 0,8, untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga
menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti
dietil eter kedalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan
harga Rf secara signifikan.
4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut
sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan
tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan
meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Fase gerak atau pelarut pengembang akan bergerak naik sepanjang fase
diam karena adanya gaya kapilaritas pada sistem pengembangan menaik
(ascending). Pemilihan fase gerak baik untuk TLC maupun HPTLC didasarkan
pada keterpisahan senyawa-senyawa dalam analit yang didasarkan pada nilai Rf
atau hRf (100Rf). Nilai Rf diperoleh dari membagi jarak pusat kromatografik dari
titik awal dengan jarak pergerakan pelarut dari titik awal. Penghitungan nilai hRf
ditunjukkan dengan persamaan dibawah ini.

KLT digunakan secara luas untuk analisis solut-solut organik terutama


dalam bidang biokimia, farmasi, klinik dan forensik, baik untuk analisis kualitatif

35
dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau
untuk analisis kualitatif. Penggunaan KLT dapat berupa analisis kualitatif dan
analisis kuantitatif. Pada analisis kualitatif, KLT dapat digunakan untuk uji
identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk
identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai
Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT yang sama. Untuk meyakinkan
identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan lebih dari 1 fase gerak dan jenis
pereaksi semprot (Gandjar dan Rohman, 2007).
Untuk analisis kuantitatif pada KLT dapat digunakan dua cara. Pertama,
bercak pada plat KLT diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan
ukuran luas atau dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah dengan mengerok
bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut
dengan metode analisis yang lain, misalkan dengan metode spektrofotometri
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Densitometri atau Thin Layer Chromato Scanner adalah metode analisis
instrumental yang berdasarkan interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit
yang merupakan noda pada KLT. Interaksi radiasi elektromagnetik dengan noda
pada plat KLT yang ditentukan adalah absorpsi, transmisi, pantulan (refleksi)
pendar fluor atau pemadaman pendar fluor dari radiasi semula. Densitometri lebih
dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar yang sangat
kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Mulja dan
Suharman, 1995).
Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT
biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT (atau
secara in situ). Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi,
dimana kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya yang diarahkan
menuju monokromator (untuk memilih rentang panjang gelombang yang cocok
antara 200-800), sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda
foton, dan rekorder (Gandjar dan Rohman, 2007).
Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat.

36
Untuk evaluasi bercak hasil KLT Kinerja Tinggi secara densitometri, bercak di-
scanning dengan sumber sinar dalam bentuk celah (slit) yang dapat dipilih baik
panjangnya maupun lebarnya. Sinar yang dipantulkan diukur dengan sensor
cahaya (fotosensor). Perbedaan antara sinyal optik daerah yang tidak mengandung
bercak dengan daerah yang mengandung bercak dihubungkan dengan banyaknya
analit yang ada melalui kurva kalibrasi yang telah disiapkan dalam lempeng yang
sama. Pengukuran densitometri dapat dibuat dengan absorbansi atau dengan
fluoresensi (Settel, 1997).
Karena adanya penghamburan sinar oleh partikel-partikel yang ada di
lempeng, maka suatu persamaan matematis yang sederhana dan terdefinisi dengan
baik yang menyatakan hubungan antara sinyal sinar dan banyaknya (konsentrasi)
senyawa dalam lapisan lapis tipis tidak pernah dijumpai. Sebagai akibatnya
hubungan ini tidak bersifat linier. Meskipun demikian, karena saat ini tersedia
perangkat lunak (software) ataupun integrator yang dapat menangani hubungan
yang tidak linier, maka tidak diperlukan untuk melinierkan hubungan antara
konsentrasi dan respon optis (Settel, 1997).
Untuk scanning dengan fluororesensi, intensitas sinar yang diukur
berbanding langsung dengan banyaknya analit (senyawa) yang berfluororesensi
lebih sensitif dibanding dengan pengukuran absorbansi dan fungsi kalibrasi
seringkali linier pada kisaran konsentrasi yang agak luas. Karena alasan-alasan
ini, senyawa-senyawa yang bersifat fluororesensi secara inhiren selalu di-scan
dengan fluororesensi. Untuk senyawa-senyawa yang tidak berfluororesensi, maka
senyawa tersebut dapat diperlakukan dengan cara mereaksikannya dengan reagen
tertentu hingga dihasilkan senyawa yang berfluororesensi (Settel, 1997).
Sumber radiasi pada spektrofotodensitometri ada tiga macam tergantung
pada rentang panjang gelombang dan prinsip penentuan. Lampu deuterium
dipakai untuk pengukuran pada daerah ultraviolet (190-400 nm) dan lampu
tungsten digunakan untuk pengukuran pada daerah sinar tampak (400-800 nm)
sedangkan untuk penentuan secara flouresensi digunakan lampu busur merkuri
bertekanan tinggi (Deinstrop, 2007).

37
Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan TLC
biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng TLC (atau
secara in situ) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gambar 2.16. Skema instrumen spektrofotodensitometer


Keterangan: L (light); SL (slit); MC (monokromator); PM (pHotomultiplier); FF
(filter fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning).

Dalam penetapan kadar, yang ditetapkan adalah absorpsi maksimum kurva


absorpsi. Jika absorpsi ini untuk penentuan kadar sangat rendah atau senyawa
mula-mula mengabsorpsi di bawah 220 nm, maka seringkali senyawa diubah dulu
menjadi suatu zat warna melalui reaksi kimia, dan absorpsi ditentukan dalam
daerah sinar tampak (kolorimetri). Walaupun pada semua penentuan kadar
absorpsi yang diukur, penyelesaian percobaannnya sangat berbeda.

38
BAB III
METODE

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
a. Tisu l. Plat silica GF 254
b. Pipet tetes m. Penangas air
c. pH meter n. Timbangan analitik
d. Alat sentrifugasi (AND GR-200)
e. Alat vortex o. Oven (Memmert)
f. Gelas ukur p. Linomat V (CAMAG-
g. Pipet volume dan Ballfiller Muttenz-Switzerland)
h. Pipet tetes q. Bejana kromatografi
i. Gelas beker (CAMAG-Muttenz-
j. Botol vial Switzerland)
k. Tabung reaksi

39
r. Spektrofotodensitometer Mutenz-Switzerland).
TLC-Scanner 3 (Camag-

3.1.2 Bahan
a. Sampel plasma
b. HCl
c. NaOH
d. Kalium dihidrogen fosfat
e. KOH
f. Metanol
g. Kloroform
h. Isopropanol
i. Sikloheksana
j. Toluena

k. Dietilamin
l. Ammonium hidroksida
m. Plat silika GF254
n. Baku morfin 2mg/mL
o. Baku amfetamin 2mg /mL
p. Baku teofilin 2mg /mL
q. Baku papaverin 2mg /mL
r. Baku dekstrometorfan
2mg /mL
s. Baku bromheksin 2mg/mL

40
3.2. Prosedur Kerja
3.2.1. Penanganan Sampel Di Laboratorium (Pra Analisis)
1. Petugas laboratorium yang menerima barang bukti adalah petugas yang
ditunjuk khusus dan telah mengerti prosedur penerimaan barang bukti.
2. Pengecekan persyaratan penerimaan barang bukti (persyaratan teknis dan
administrasi).
3. Registrasi barang bukti
4. Dokumentasi barang bukti (foto), sebelum dan sesudah barang bukti dibuka
pembungkusnya.
5. Simpan barang bukti di dalam lemari pendingin (freezer), apabila analisis
tertunda belum sempat dianalisis segera.
6. Penyisihan barang bukti sebelum dilakukan analisis.
7. Analisis barang bukti.
8. Interpretasi hasil analisis.
9. Kerahasiaan hasil pemeriksaan.
Setiap informasi tentang donor sampel dan hasil analisis harus tetap terjaga
kerahasiaannya. Laporan harus diberikan hanya kepada petugas yang
berwenang.
10. Keamanan tenaga laboratorium
Semua petugas yang berkaitan dengan pengambilan, pengiriman dan terutama
pemeriksaan sampel harus mengetahui dan mentaati prosedur keamanan kerja
seperti pemakaian sarung tangan dan alat perlindungan diri lain terutama
dengan adanya penyakit seperti hepatitis dan AIDS.
11. Laporan Pemeriksaan pada Permintaan Kepentingan “Penyidikan
& Penegakan Hukum” dikembalikan kepada Polisi atau Penegak Hukum
yang meminta pemeriksaan sedangkan pada Permintaan Kepentingan
“Diagnosa & Terapi” dikembalikan kepada dokter yang meminta
pemeriksaan dengan ketentuan :
a. Dalam keadaan tertutup dan disegel.
b. Kerahasiaan nama, alamat, jenis kelamin tetap terjamin
(bentuk kode).
c. Diambil oleh orang yang ditunjuk dengan menunjukkan
surat keterangan penunjukan dari pejabat yang berwenang dengan buku
ekspedisi berisikan : tanggal, hari, nama, alamat yang mengambil atau
yang menerima hasil.
d. Jika akan dibuka segelnya harus ada 2 (dua) orang saksi.
(BNN, 2008)

3.2.2. Pembuatan Larutan-Larutan


a. Larutan NaOH 4 M
Ditimbang dengan teliti 0,8 gram NaOH padat dalam gelas beaker, dilarutkan
dengan aquades secukupnya, dan dipindahkan ke labu ukur 5 mL. Gelas
beker dibilas dengan aquades dan ditambahkan ke dalam labu ukur 5 mL. Ke
dalam labu ukur, ditambahkan aquades hingga tanda batas, lalu
dihomogenkan.

b. Larutan NaOH 0,5 M


Ditimbang dengan teliti 0,5 gram NaOH padat dalam gelas beaker, dilarutkan
dengan aquades secukupnya, dan dipindahkan ke labu ukur 25 mL. Gelas
beker dibilas dengan aquades dan ditambahkan ke dalam labu ukur 25 mL.
Ke dalam labu ukur, ditambahkan aquades hingga tanda batas, lalu
dihomogenkan.

c. Larutan KH2PO4 0,1 M


Dibuat larutan kalium dihidrogen fosfat 0,1 M dengan menimbang serbuk
kalium dihidrogen fosfat 0,3402 gram dan dilarutkan dengan aquades
secukupnya dalam gelas beaker, kemudian dipindahkan ke dalam labu ukur
25 mL, dilarutkan dengan aquades sampai tanda batas, kemudian
dihomogenkan.

d. Dapar fosfat 0,1 M pH 11,5


Dipipet 5 mL larutan KH2PO4 0,1 M, ditambahkan NaOH 0,5 M hingga
mencapai pH 11,5.
e. Larutan KOH 0,1 M
Ditimbang dengan teliti 0,05611 gram KOH padat dalam gelas beker,
dilarutkan dengan metanol secukupnya, dan dipindahkan ke labu ukur 10 mL.
Gelas beker dibilas dengan metanol dan ditambahkan ke dalam labu ukur 10
mL. Ke dalam labu ukur, ditambahkan metanol hingga tanda batas, lalu
dihomogenkan.

f. Pembuatan Fase Gerak Sistem TB


Dibuat 10 ml fase gerak, dengan memipet 7,5 ml sikloheksana, 1,5 ml
toluena, dan 1 ml dietilamin. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml,
kemudian digojog.

g. Penyiapan Larutan standar morfin dan amfetamin 100 ng/µL


Dipipet masing-masing sebanyak 0,5 mL larutan standar morfin 2mg/mL dan
amfetamin 2mg/mL. Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL. Ditambahkan
metanol hingga tanda Batas kemudian digojog homogen.

3.2.3. Preparasi Sampel


Sebanyak 4 mL sampel plasma dipipet dan dipindahkan ke dalam tabung
sentrifugasi, ditambahkan dengan 0,4 mL HCl pekat, tabung ditutup, dan
dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80°C selama 20 menit. Sampel
dibiarkan mendingin hingga mencapai suhu ruangan dan ditambahkan 1 mL
larutan NaOH 4 M untuk menetralkan sampel.

3.2.4. Ekstraksi Cair-Cair


Sampel plasma yang telah dihidrolisis ditambahkan dengan 0,2 mL larutan
dapar fosfat pH 11,5. Sampel diekstraksi dengan 10 mL campuran
kloroform : isopropanol (9:1, v/v) dengan pengocokan menggunakan alat
vortex selama 15 menit dengan kecepatan 1000 rpm. Selanjutnya sampel
disetrifugasi dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit, sehingga
terbentuk 3 lapisan, diambil fase teratas, kemudian dilakukan sentrifugasi
kembali dengan kecepatan 3500 rpm selama 10 menit, sehingga terbentuk 2
fase, diambil fase paling bawah.

3.2.5. Uji Konfirmasi dengan KLT - Spektrofotodensitometer


Uji konfirmasi dilakukan menggunakan fase gerak sistem TB
(Sikloheksana-Toluena-Dietilamin (75:15:10)). Fase diam yang digunakan
adalah plat silika GF254. Prosedur uji dengan KLT adalah sebagai berikut:
1. Disiapkan plat KLT silika gel GF254 dengan ukuran 4 x 10 cm dan diberi
tanda batas atas.
2. Plat dicuci dengan metanol kemudian diaktivasi dengan cara dipanaskan
pada oven dengan suhu 110oC selama 30 menit.
3. Plat diimpregnasi dengan KOH 0,1 M, kemudian dikeringkan dalam
oven pada suhu 60 oC selama 10 menit. Ditotolkan sampel kelompok 1,
sampel kelompok 2, dan standar referensi.
4. Disiapkan chamber untuk elusi dan dijenuhkan dengan fase gerak TB
selama 30 menit hingga chamber jenuh.

8 cm
10 cm

1 2 3
1 cm
Gambar 2.1. Penotolan pada sistem TB

Keterangan:
1) Standar reference
2) sampel kelompok 1
3) sampel kelompok 2

5. Plat dielusi hingga jarak pengembangan.


6. Plat dikeringkan dalam oven pada suhu 60OC selama 10 menit.
7. Dideteksi dengan pektrofotodensitometer pada panjang gelombang maksimum
yang dapat mendeteksi semua senyawa pada analit.
8. Dari hasil spektrofotodensitometer, dihitung harga hRfc dan dianalisis
spektrumnya, kemudian dibandingkan dengan literatur.

3.2.6. Determinasi dengan KLT- Spektrofotodensitometer


Untuk pemilihan fase gerak pada sistem KLT dipilih sistem TB karena
pada sistem tersebut memberikan jarak pemisahan (hRf) yang baik untuk
golongan derivat amfetamin dan opiat. Prosedur determinasi dengan KLT adalah
sebagai berikut.
1. Disiapkan plat KLT silika gel GF254 7 x 10 cm dan diberi tanda batas atas.
2. Plat dicuci dengan metanol kemudian diaktivasi dengan cara dipanaskan pada
oven dengan suhu 110oC selama 30 menit.
3. Plat diimpregnasi dengan KOH 0,1 M, kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 60 oC selama 10 menit.
4. Disiapkan chamber untuk elusi dan dijenuhkan dengan fase gerak TB selama
30 menit.
5. Larutan sampel dan standar ditotolkan pada plat.
10
8 cm
cm

1 2 3 4 5 6

1 cm

Gambar 2.2. Penotolan pada sistem TB

Keterangan :
1) sampel LLE
2) larutan standar amfetamin dan morfin 100 ng/µL (1 µL)
3) larutan standar amfetamin dan morfin 100 ng/µL (2 µL)
4) larutan standar amfetamin dan morfin 100 ng/µL (5 µL)
5) larutan standar amfetamin dan morfin 100 ng/µL (10 µL)
6) larutan standar amfetamin dan morfin 100 ng/µL (15 µL)

6. Plat dielusi hingga jarak pengembangan


7. Plat dikeringkan dalam oven pada suhu 60OC selama 10 menit.
8. Dideteksi dengan spektrofotodensitometri pada panjang gelombang
maksimum yang dapat mendeteksi senyawa analit.
9. Dibandingkan AUC sampel dan AUC dari seri.
10. Dari hasil spektrofotodensitometer, dihitung koefisien regresi dan persamaan
regeresi linearnya (y = bx + a) dengan x adalah konsentrasi dan y adalah AUC
kemudian AUC senyawa pada sampel dimasukkan ke dalam persamaan
regresi sehingga konsentrasi senyawa pada sampel dapat dihitung.
BAB IV
HASIL
4.1. Hasil Pengamatan Uji skrining:
ph : 7,06
Volume: 5 mL
Warna: kuning muda (agak keruh)
Bau: tidak berbau
Tabel 4.1. Hasil pengamatan uji skrining sampel dengan strip test
Striptest Jumlah
Gambar Hasil
Golongan Strip

Opiat 1 Positif

Metamfetamin 1 Positif

Bensodiazepin 2 Negatif
Ganja 2 Negatif

4.2. Hasil Pengamatan Uji Konfirmasi


Tabel 4.2. Pengamatan hasil uji konfirmasi dengan KLT-
Spektrofotodensitometri pada panjang gelombang 210 nm
Track Senyawa Rf
1 (Sampel) Papaverin 0,41
0,46
0,62
0,67
0,78
Bromheksin 0,84
3 (Standar Referesi) Papaverin 0,17
0,33
0,35
0,71
0,76
Bromheksin 0,91

Tabel 4.3. Pengamatan hasil uji konfirmasi dengn KLT- Spektrofotodensitometri


pada panjang gelombang 251 nm (panjang gelombang maksimum
amfetamin)
Track Senyawa Rf
1 (Sampel) Amfetamin 0,39
3 (Standar Referesi) Teofilin 0,04
Dekstrometorfan 0,15
Papaverin 0,32
Papaverin 0,69
Papaverin 0,77
Bromheksin 0,89
Tabel 4.4. Pengamatan hasil uji konfirmasi dengn KLT-
Spektrofotodensitometri pada panjang gelombang 285 nm
(panjang gelombang maksimum morfin)
Track Senyawa Rf
1 (Sampel) Morfin 0,04
Diasetilmorfin 0,09
Asetilmorfin, 6 0,84
3 (Standar Referesi) Teofilin 0,06
Dekstrometorfan 0,17
Papaverin 0,71
Bromheksin 0,91

4.3. Uji determinasi


Tabel 4.5. Pengamatan hasil determinasi dengn KLT- Spektrofotodensitometri
pada panjang gelombang maksimum Amfetamin

Konsentrasi (ng) AUC Rf


Sampel 996,2 0,48
100 941,9 0,47
200 2105,6 0,47
500 4022,0 0,47
1000 8122,6 0,47

Tabel 4.6. Pengamatan hasil uji konfirmasi dengn KLT- Spektrofotodensitometri


pada panjang gelombang maksimum morfin

Konsentrasi (ng) AUC Rf


Sampel 1105,0 0,04
100 236,8 0,04
200 450,7 0,04
500 691,3 0,04
1000 1133,6 0,04
1500 1462,2 0,04
4.4. Korelasi antara Spektrum dan Library

Gambar 4.1 Korelasi antara spektrum dan library morfin

Tabel 4.7. Korelasi antara spektrum dan library morfin


Track Keterangan Korelasi
1 Sampel 0,92407
2 Seri 100 ng 0,92860
3 Seri 200 ng 0,96245
4 Seri 500 ng 0,97930
5 Seri 1000 ng 0,99398
6 Seri 1500 ng 0,99890

Gambar 4.2. Korelasi antara spektrum dan library amfetamin

Tabel 4.8. Korelasi antara spektrum dan library amfetamin


Track Keterangan Korelasi
1 Sampel 0,92420
2 Seri 100 ng 0,99758
3 Seri 200 ng 0,81387
4 Seri 500 ng 0,99870
5 Seri 1000 ng 0,98086

BAB V
PERHITUNGAN
5.1 Pembuatan Larutan
5.1.1. Larutan NaOH 4,0 M
Diketahui : BM = 40 g/mol
V = 5 mL = 0,005 L
M = 4,0 M
Ditanya : massa
Perhitungan :
Mol = M × V
= 4,0 M × 0,005 L
= 0,02 mol

massa = Mol × BM
= 0,02 mol × 40 g/mol
= 0,8 gram

5.1.2. Larutan NaOH 0,5 M


Diketahui : BM = 40 g/mol
V = 25 mL = 0,025 L
M = 0,5 M
Ditanya : massa
Perhitungan :
Mol = M × V
= 0,5 M × 0,025 L
= 0,0125 mol

massa = Mol × BM
= 0,0125 mol × 40 g/mol
= 0,5 gram

5.1.3. Larutan KH2PO4 0,1 M


Diketahui : BM = 136,09 g/mol
V = 25 mL = 0,025 L
M = 0,1 M
Ditanya : massa
Perhitungan :
Mol = M × V
= 0,1 M × 0,025 L
= 0,0025 mol

Massa = Mol × BM
= 0,0025 mol × 136,09 g/mol
= 0,3402 g
5.1.4. Larutan KOH 0,1 M
Diketahui : BM = 56,11 g/mol
V = 10 mL = 0,01 L
M = 0,1 M
Ditanya : massa
Perhitungan :
Mol = M × V
= 0,1 M × 0,01 L
= 0,001 mol

Massa = Mol × BM
= 0,001 mol × 56,11 g/mol
= 0,05611 g

5.2. Perhitungan Nilai hRfc Senyawa Morfin dan Amfetamin pada Sampel
Tabel 5.1. Harga hRf dan hRfc dari senyawa reference yang digunakan dalam
perhitungan
Senyawa hRfc hRf
Teofilin 01 04
Dextrometorphan 42 17
Bromhexin 67 89

Tabel 5.2. Harga Δc dan Δ senyawa reference


Δc Δ
1 41 13
2 25 72

Pada tabel 5.2, Δc menunjukkan selisih antara hRfc senyawa. Δc1


merupakan selisih hRfc dari teofilin dan dextrometorphan, sedangkan Δc2
merupakan selisih hRfc dari dextrometorphan dan bromhexin. Δ menunjukkan
selisih antara hRf senyawa, dengan Δ1 bernilai 13 merupakan selisih hRf teofilin
dan dextrometorphan, sedangkan Δ2 merupakan selisih hRf dari dextrometorphan
dan bromhexin.

Tabel 5.3. Harga hRf senyawa pada sampel


Senyawa hRf
Morfin 04
Amphetamine 39

Perhitungan hRfc

- hRfc Morfin = hRfc Teofilin + [hRf Morfin – hRf Teofilin]

= 01 + 3.15[04-04]
= 01

- hRfc Amphetamine = hRfc Dextrometorphan + [hRf Amphetamine – hRf

Dextrometorphan]
= 42 + 0.34[39-17]
= 49,48

Tabel 5.4. Perhitungan untuk Sistem TB


Track Senyawa hRfc hRfc Selisih Hubungan
(Sistem TB) hitung literatur hRfc Error Window
hitung sistem TB = 8
(TB) (TB) dengan
literatur
1 Morfin 01 0 1 Terkonfirmasi
2 Amfetamin 49,48 20 29,48 Tidak
terkonfirmasi

5.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Persamaan Regresi Linier


Dilakukan pembuatan kurva kalibrasi dan persamaan regresi linier dari
larutan seri senyawa standar dimana untuk memberikan nilai korelasi lebih
besar dari 0,95 maka dilakukan perhitungan terhadap empat seri senyawa
standar amfetamin dan lima seri senyawa standar morfin.
a. Untuk larutan seri amfetamin

Konsentrasi (ng) AUC


100 941,9
200 2105,6
500 4022,0
1000 8122,6

Dari kurva kalibrasi amfetamin, diperoleh persamaan:


y = 7,780x + 296,7; dimana y = AUC dan x = konsentrasi (ng)
Nilai koefisien regresi linier (r2) = 0,996

b. Untuk larutan seri morfin


Diketahui nilai AUC masing-masing seri larutan standar morfin sulfat
sebagai berikut:
Konsentrasi (ng) AUC
100 236,8
200 450,7
500 691,3
1000 1133,6
1500 1462,2

Namun, karena dalam praktikum ini ingin diperoleh kadar morfin yang berat
molekulnya berbeda dengan morfin sulfat, maka dalam determinasi
digunakan data seri konsentrasi yang dikonversikan sebagai berikut:
 Diketahui berat molekul morfin = 303,4 gram/mol; berat molekul
morfin sulfat = 758,8 gram/mol (Moffat et al., 2005)
 Dalam pembuatan seri larutan standar, dilakukan penotolan larutan
baku morfin sulfat 100 µg/mL dengan volume yang berbeda.
Konversi yang dilakukan untuk menentukan konsentrasi larutan
baku morfin dapat dilihat dari rumus:

massa = mol x berat molekul

Dari rumus tersebut dapat dilihat bahwa dalam jumlah mol yang tetap,
massa serbuk yang ditimbang akan sebanding dengan berat molekul senyawa
itu sendiri, sehingga diperoleh perbandingan sebagai berikut:
massa morfin BM morfin
=
massa morfin sulfat BM morfin sulfat

massa morfin 303,4 gram mol


=
100 μg 758,8 gram mol
303,4 gram mol  100 μg
massa morfin =
758,8 gram mol
= 39,98 µg ~ 40 µg
Dengan volume yang sama dalam pembuatan larutan baku morfin sulfat,
maka diperoleh kadar larutan baku morfin yang digunakan dalam penotolan
seri larutan standar adalah 40 µg/mL. Konsentrasi menjadi sebagai berikut:
Konsentrasi (ng) AUC
40 236,8
80 450,7
200 691,3
400 1133,6
600 1462,2

Dari kurva kalibrasi morfin, diperoleh persamaan:


y = 2,119x + 235,3; dimana y = AUC dan x = konsentrasi (ng)
Nilai koefisien regresi linier (r2) = 0,985

5.4. Perhitungan Kadar Amfetamin dan Morfin pada Sampel


a. Perhitungan kadar amfetamin dalam sampel
Diketahui : Persamaan regresi linier : y = 7,780x + 296,7
AUC = 996,2
Volume totolan : 20 µL
Volume rekonstitusi : 100 µL
Volume sampel : 5 mL
Ditanya : Kadar amfetamin dalam sampel = ...?
Jawab :
y = 7,780x + 296,7
AUC = 7,780x + 296,7
996,2 = 7,780x + 296,7
7,780x = 996,2 – 296,7
7,780x = 699,5
x = 89,91 ng
massa
Konsentrasi amfetamin dalam totolan =
volume
89,91 ng
= 20 L

= 4,4955 ng/µL

Massa amfetamin hasil


= Kadar × V rekonstitusi
ekstraksi
= 4,4955 ng/ µL × 100 µL
= 449,55 ng

449,55 ng
Kadar amfetamin dalam sampel =
5 mL
= 89,91 ng/mL

b. Perhitungan kadar morfin dalam sampel


Diketahui : Persamaan regresi linier:
y = 2,119x + 235,3
AUC = 1105,0
Volume totolan : 20 µL
Volume rekonstitusi : 100 µL
Volume sampel : 5 mL
Ditanya : Kadar morfin dalam sampel = ...?
Jawab :
y = 2,119x + 235,3
AUC = 2,119x + 235,3
1105,0 = 2,119x + 235,3
2,119x = 1105,0 – 235,3
2,119x = 662,3
x = 410,43 ng
massa
Konsentrasi morfin dalam totolan=
volume
410,43 ng
= 20 L

= 20,52 ng/µL

Massa morfin hasil ekstraksi = Kadar × V rekonstitusi


= 20,52 ng/ µL × 100 µL
= 2052 ng

2052 ng
Kadar morfin dalam sampel =
5 mL
= 410,4 ng/mL

5.5. Perhitungan Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)


a. Perhitungan LOD dan LOQ Amfetamin
Persamaan regresi linier untuk amfetamin adalah : y = 7,780x + 296,7

X Y y” (y – y”)2
100 941,9 1075,7 17902,44
S(y/x) =
200 2105,6 1854,7 62950,81
y  y"
2

500 4022,0 4191,7 28798,09 n  2

=
1000 8122,6 8086,7 1288.81
∑ = 110940,15 110940,15
4-2
= 235,52
3 x S(y/x)
LOD =
b
3 x 235,52
= 7,780

= 90,82 ng

10 x S(y/x)
LOQ =
b
10 x 235,53
= 7,780

= 302,72 ng

b. Perhitungan LOD dan LOQ morfin


Persamaan regresi linier untuk morfin adalah : y = 2,119x + 235,3

X Y y” (y – y”)2
40 236,8 320,06 6932,23
S(y/x) =
80 450,7 404,82 2104,97
y  y"
2

n  2
200 691,3 659,1 1036,84
=
400 1133,6 1082,9 2570,49
600 1462,2 1506,7 1980,25 14624,78
5-2
∑ = 14624,78
= 69,82 ng
3 x S(y/x)
LOD =
b
3 x 69,82
= 2,119

= 98,85 ng

10 x S(y/x)
LOQ =
b
10 x 69,82
= 2,119

= 329,495 ng
BAB VI
PEMBAHASAN

Analisis toksikologi merupakan salah satu bidang ilmu forensik yang


diperlukan untuk investigasi analitis, dalam hal ini untuk membuktikan
keterlibatan senyawa narkotika dan psikotropika dalam suatu kasus
penyalahgunaan obat, keracunan, maupun kematian akibat terjadinya over dosis.
Dalam analisis toksikologi forensik dapat diawali dengan melakukan uji
penapisan (screening test) dan uji pemastian (confirmatory test). Uji penapisan
(screening test) merupakan uji pendahuluan yang dilakukan untuk pemeriksaan
laboratorium sebagai upaya penyaring untuk mengetahui ada/tidaknya dan jenis
obat yang menimbulkan efek toksis atau efek gangguan kesehatan. Uji skrining
dapat dilakukan dengan card atau strip test (untuk spesimen plasma) dan reaksi
warna (untuk sampel sediaan farmasi). Selain itu Uji penapisan (screening test)
merupakan uji yang umumnya cepat dilakukan dan menghasilkan data kualitatif
(positif atau negatif) atau pseudokuantitatif (misalnya, ada atau tidak ada pada
konsentrasi di atas konsentrasi cut off). Informasi yang didapatkan dari uji
penapisan berupa golongan obat. Uji konfirmasi merupakan suatu tahap pemastian
identitas untuk menggetahui secara spesifik senyawa-senyawa yang terdapat
didalam sampel. Pada praktikum kali ini, dilakukan 3 tahap proses analisis, yaitu
uji skrining, konfirmasi, dan determinasi senyawa narkotika yang terdapat dalam
sampel plasma.
Langkah pertama yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah uji
skrining, dimana sampel biologis yang berupa sampel plasma tiba di laboratorium
adalah melakukan penerimaan sampel sesuai dengan syarat administrasi dan
teknis penerimaan sampel, yang meliputi pencatatan identitas sampel (kode
sampel, nama pemilik sampel, tanggal/jam pengambilan sampel, lokasi
pengambilan, tanggal penerimaan, nomor penerimaan laboratorium dan kode
laboratorium), dokumentasi, dan pengamatan organoleptis (konsistensi sampel,
warna, pH, volume dan bau). Tindakan pencatatan identitas dan dokumentasi
sampel dilakukan untuk memastikan sampel yang diterima benar adanya. Hasil
pengamatan organoleptis yang dilakukan pada sampel plasma menunjukkan
bahwa sampel plasma yang diterima berupa cairan berwarna putih kekuningan
dengan kisaran pH 7,06 volume total sampel sebanyak 5 mL, dan bau yang
tercium dari sampel adalah bau khas. Setelah dilakukan prosedur penerimaan
sampel, kemudian tahap selanjutnya adalah melakukan uji skrining terhadap
adanya senyawa golongan narkotika dalam sampel plasma.
Uji skrining pada sampel plasma dilakukan menggunakan metode EMIT
(Enzym-Multiplied Immunoassay Technique). Prinsip dari metode ini adalah
terbentuknya ikatan antara antigen-antibodi yang menghasilkan warna. Alat
dengan mekanisme kerja berdasarkan pada metode EMIT yang digunakan dalam
uji skrining ini adalah strip test dan card test (Suwarso, 2002). Pada praktikum uji
skrining dilakukan dengan menggunakan empat strip test, yaitu strip test untuk
untuk mengetahui apakah sampel plasma yang dianalisis mengandung opiate/
morfin/ heroin, metamfetamin (sabu-sabu), BZO (Benzodiazepin), dan marijuana
(THC)/ ganja. Uji skrining dilakukan dengan menggunakan strip test tersebut
dilakukan dengan mencelupkan strip ke dalam sampel sampai tanda batas,
kemudian ditunggu beberapa saat ( 30 detik). Setelah itu, strip test dikeluarkan
dari sampel dan diletakkan pada tempat yang datar untuk membaca dan melihat
hasil yang didapat. Hasil positif pada strip test ditunjukkan oleh adanya pita
berwarna merah muda hanya pada zone C (1 pita) sedangkan hasil negatif
ditunjukan oleh adanya pita berwarna merah muda pada zone C dan zone T (2
pita) (Suwarso, 2002).
Zone C merupakan zone kontrol validitas, yaitu zone untuk menilai
validitas strip test yang digunakan. Reaksi hanya membutuhkan H2O plasma
sehingga tidak tergantung pada ada tidaknya narkoba. Pada zone C ini akan selalu
muncul warna. Jika muncul warna pada zone C, maka strip test dikatakan valid
dan hasil tes dapat dipercaya. Sebaliknya, jika warna tidak muncul, berarti strip
test tidak valid, sehingga harus diulang dengan test-kit yang baru, atau dengan kit
dari pabrik lain (Suwarso, 2002).
Pada strip test yang digunakan terdapat 3 zone, yaitu zona C, zone S
merupakan tempat untuk menempatkan sampel, dan zone T merupakan tempat
dimana hasil skrining dapat dilihat. Apabila plasma yang tidak mengandung
narkoba diteteskan di zone S, plasma hanya mendifusikan IgG anti-narkoba-
substrat dan IgG goat-substrat dari zone S ke zone T dan zone C. Di zone T, IgG
anti-Narkoba akan berikatan dengan narkoba enzimnya sementara di zone C, IgG
goat akan berikatan dengan IgG anti-IgG goat-enzim, sehingga baik di zone T
maupun zone C terjadi reaksi enzim-substrat berupa pita berwarna merah muda.
Sebaliknya, apabila plasma yang mengandung narkoba diteteskan di zone S, maka
narkoba plasma positif (analit) akan langsung berikatan dan menjenuhi IgG anti-
narkoba-substrat, sehingga waktu didifusikan ke zone T tidak bisa mengikat
narkoba-enzim, sehingga tidak terjadi reaksi enzim-substrat dan akibatnya tidak
muncul reaksi warna. Sebaliknya di zone C tetap terjadi reaksi warna (pita
berwarna merah muda) sebab narkoba plasma tidak spesifik untuk dapat berikatan
dengan IgG goat. Bila sampel plasma ragu-ragu, di zone S narkoba plasma yang
berkadar tepat di batas ambang pemeriksaan akan menjenuhi IgG anti-narkoba-
substrat tidak secara penuh. Penjenuhan berikutnya akan dipenuhi oleh Narkoba-
ensim di zone T, sehingga terjadi reaksi ensim-substrat yang tidak penuh, yang
akan memberikan warna lamat-lamat (ragu-ragu) di zone T (Suwarso, 2002).
Dari hasil uji skrining yang dilakukan, sampel plasma positif mengandung
senyawa golongan opiat dan senyawa golongan metamfetamin. Hasil uji skrining
dengan strip test menunjukkan adanya 1 pita berwarna merah muda. Hasil uji
skrining dengan strip test dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 6.1. Hasil skrining dengan strip test pada sampel plasma
Untuk lebih memastikan dan mengetahui jenis senyawa dari golongan
opiat dan metamfetamin yang terkandung dalam sampel plasma, perlu dilakukan
analisis lebih lanjut terhadap sampel tersebut, yaitu dengan melakukan uji
konfirmasi.
Pada praktikum ini, uji konfirmasi untuk senyawa golongan opiat dan
metamfetamin dalam sampel plasma dilakukan dengan metode KLT-
Spektrofotodensitometri. Uji konfirmasi dengan KLT-Spektrofotodensitometri
merupakan uji konfirmasi identitas dan pemastian dari suatu senyawa hasil uji
skrining, dengan melakukan pemisahan menggunakan fase gerak yang tepat. Plat
yang sudah terelusi dirajah kromatogramnya pada panjang gelombang tertentu
pada spektrofotodensitometer. Dilakukan pengkoreksian terhadap nilai hRf dari
masing-masing analit menggunakan metode poligonal (Zeuuw et al., 1992).
Adapun tahap awal yang dilakukan sebelum uji konfirmasi dengan
menggunakan TLC-Spektrofotodensitometri yaitu melaukan preparasi sampel
pemisahan dengan menggunakan metode ekstraksi untuk menghilangkan matrik-
matrik biologis yang terdapat di dalam sampel plasma. Dalam praktikum ini,
metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi cair-cair (Liquid-Liquid
Extraction/LLE).
Untuk opiat, sebelum dilakukan ektraksi, perlu dilakukan preparasi sampel
berupa hidrolisis. Hidrolisis bertujuan untuk memecah bentuk konjugasi dari
senyawa golongan opiat, seperti morfin yang umumnya termetabolisme dalam
bentuk glukuronatnya (Suzuki et al., 2005). Hidrolisis yang dilakukan adalah
hidrolisis dengan asam kuat. Sebanyak 4 mL sampel plasma dipipet dan
dipindahkan ke dalam tabung sentrifugasi, ditambahkan dengan 0,4 mL HCl pekat
untuk menghidrolisis, tabung ditutup, dan dipanaskan dalam penangas air pada
suhu 120°C selama 20 menit untuk mempercepat proses hidrolisis. Sampel
dibiarkan mendingin hingga mencapai suhu ruangan dan ditambahkan 1 mL
larutan NaOH 4 M untuk menetralkan sampel.
Metode LLE untuk senyawa opiat dilakukan berdasarkan metode yang
diberikan oleh Suzuki et al. (2005) dan untuk senyawa golongan metamfetamin
dilakukan berdasarkan metode yang diberikan oleh Huang dan Zhang (2003).
Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan 0,2 mL dapar fosfat pH 11,5 ke dalam
sampel plasma yang telah dihidrolisis sebelumnya. Dilakukan pengujian pH
larutan dengan pH-meter untuk memastikan pH larutan sampel adalah 11,5. Jika
tidak mencapai pH 11,5 sejumlah larutan dapar fosfat ditambahkan lagi ke dalam
plasma hingga mencapai pH 11,5. Penjagaan pH sampel pada pH 11,5 ini
bertujuan untuk mencegah ionisasi analit sehingga analit berada dalam bentuk
bebasnya dan dapat terekstraksi ke fase organik. Pemilihan pH 11,5 karena pada
pH tersebut senyawa golongan opiate dan metamfetamine stabil berada dalam
bentuk bebeasnya atau tidak terionisasi. Untuk senyawa golongan opiate harga
pKa morfin, yaitu 8,0 dan 9,9 dan harga pKa kodein, yaitu 8,2, sedangkan
berdasarkan pada pKa dari senyawa golongan metamfetamin MDMA, MA, dan
efedrin, dan metamfetamin, yang semuanya berada pada 10,3, sehingga pada pH
11,5 kedua senyawa ini berada dalam bentuk bebasnya. Sampel diekstraksi
dengan 10 mL campuran kloroform : isopropanol (9:1, v/v) dengan pengocokan
menggunakan alat vortex selama 10 menit. Sampel disetrifugasi dengan kecepatan
3500 rpm selama 10 menit. Larutan divortex hingga terbentuk emulsi sempurna
yang bertujuan untuk memaksimalkan kontak antara sampel dan pelarut sehingga
diharapkan senyawa dalam sampel dapat terekstraksi ke dalam fase organik
dengan maksimal. Sentrifugasi dengan bertujuan untuk memisahkan fase organik
dan fase air, sehingga terbentuk 2 fase, yaitu fase kloroform dan fase isopropanol.
Fase kloroform diambil, ditambahkan dengan 1-2 gram natrium sulfat anhidrat,
diaduk, disaring, dan diupakan pada suhu 65°C. Tujuan penambahan natrium
sulfat anhidrat adalah untuk menarik sisa fase isopropanol yang ikut terambil.
Setelah itu, ekstrak direkonstitusi dengan 100 µL metanol.
Pada langkah uji konfirmasi dengan metode KLT, digunakan fase diam
silika gel GF 254 yang impregnasi dengan menggunakam KOH dan fase gerak
(Sikloheksana-Toluena-Dietilamin (75:15:10)). Uji konfirmasi diawali dengan
penyiapan larutan standard reference setiap fase gerak. Untuk sistem TB
standard reference yang digunakan yakni teofilin, papaverin, dektrometorfan, dan
bromhexin. Senyawa standard reference dipilih berdasarkan rentang nilai Rf-nya,
dimana analit dalam sampel nilai Rf-nya ada pada rentang nilai Rf senyawa
standard reference. Senyawa standar reference merupakan larutan yang ditotolkan
pada satu spot, yang khusus dimiliki oleh masing-masing fase gerak dan
dipergunakan untuk menghitung harga hRfc dari analit dalam sampel.
Digunakan 1 buah plat KLT silica gel GF 254 dengan ukuran 4 x 10cm.
Plat terlebih dahulu dicuci dengan elusi methanol. Hal ini bertujuan agar plat yang
digunakan bebas dari pengotor. Setelah itu plat diaktivasi dalam oven pada suhu
1200C selama 30 menit yang bertujuan untuk menghilangkan sisa methanol dan
air yang terdapat pada plat sehingga plat kering dan proses penotolan dapat
dilakukan dengan baik. Setelah penotolan, plat dielusi dengan masing-masing
sistem fase gerak untuk masing-masing 1 plat. Plat yang telah dielusi kemudian
dikeringkan pada oven dengan suhu 60ºC selama 30 menit. Tujuannya adalah
untuk menghilangkan sisa pelarut yang mungkin dapat proses pendeteksian
dengan spektrofotodensitometer. Pendeteksian dilakukan dengan
spektrofotodensitometer pada panjang gelombang UV 210 nm.
Dari hasil spektrofotodensitometer didapatkan nilai Rf, puncak, dan
bentuk spektrum setiap analit yang terdeteksi. Bentuk spektrum setiap analit
kemudian dicocokkan dengan spektrum data-base yang terdapat dalam library
program WinCats. Setiap spektrum memiliki nilai korelasi yang berbeda, namun
spektrum dapat dikatakan sama apabila memberikan nilai koefesien korelasi (r) di
atas batas kesalahan yang ditetapkan (Ojanpera dan Vouri, 1994) dalam hal ini
nilai (r) yang digunakan adalah ≥ 0,90000.
Nilai hRf dapat bervariasi karena beberapa faktor, seperti fase diam yang
digunakan, ukuran partikel dan ketebalan matriks fase diam, suhu lingkungan, dan
kejenuhan chamber (Flanagan et al., 2007). Untuk tujuan analisis maka harga hRf
perlu distandarkan terlebih dahulu. Deutsche Forshchungemeinschaft (DFG) dan
International Association of Forensic Toxicologis (TIAFT) menawarkan sistem
KLT terstandarkan untuk keperluan analisis toksikologi forensik (Zeeuw et al.,
1992). Sistem ini menawarkan sistem dengan fase diam berupa plat KLT silika
gel dan 10 sistem fase gerak dimana tiap sistem fase gerak memiliki 4 senyawa
standar. Salah satu sistem yang digunakan yakni sistem TB.
Uji konfirmasi dilakukan berdasarkan hasil ektraksi fase padat untuk
golongan opiate dan amfetamin. Untuk sistem TB, pada panjang gelombang 210
nm, tidak ditemukannya senyawa golongan opiate dan amfetamin, hanya standard
reference papaverin dan bromheksin saja yang tampak. Hal ini mungkin
disebabkan karena spektrum yang terbentuk mirip dengan papaverin dan
bromheksin. Kemungkinan spektrum tersebut adalah pengotor yang belum hilang
pada saat ekstraksi. Pada pengamatan di panjang gelombang 251 nm (panjang
gelombang maksimum golongan amfetamin) pada trek 1 (sampel) positif
amfetamin dengan Rf 0,39 sedangkan pada pengamatan panjang gelombang 285
nm (panjang gelombang maksimum senyawa opiat) trek 1 positif morfin dengan
Rf 0,04.
Pemilihan metode atau pelarut yang digunakan pada ekstraksi cair-cair
sangat mempengaruhi hasil analisis ketika dipisahkan dengan KLT.
Penyimpangan yang terjadi dapat disebabkan karena semua senyawa-senyawa
tersebut merupakan senyawa basa yang memiliki nilai pKa yang berdekatan,
sehingga pada saat ekstraksi senyawa golongan opiat, ada beberapa senyawa
golongan amfetamin yang ikut terekstraksi, begitu pula sebaliknya.
Preparasi sampel, metode ekstrasi, kejenuhan chamber, dan ketepatan
perbandingan fase gerak yang digunakan sangat mempengaruhi hasil uji
konfirmasi. Berdasarkan nilai hRf dan korelasi spektrum dari uji konfirmasi yang
dilakukan, diperoleh bahwa senyawa yang terkandung dalam sampel adalah
morfin dan amfetamin. Pada uji konfirmasi ini juga harus diperhatikan error
window, dari pustaka diperoleh error window untuk sistem TB adalah 8.
Penentuan dilakukan dengan membandingkan selisih nilai hRfc hitung, hRfc
literatur yang dihubungkan dengan rentang error window masing-masing sistem
fase gerak apakah melebihi nilai error window fase gerak (tidak terkonfirmasi)
atau tidak melebihi nilai error window fase gerak (terkonfirmasi). Dari hasil yang
diperoleh bahwa dalam sampel terkonfirmasi morfin, namun amfetamin tidak
terkonfirmasi. Walaupun amfetamin tidak terkonfirmasi, namun tetap dilakukan
determinasi terhadap amfetamin. Perbedaan hRfc dengan pustaka mungkin
disebabkan karena perbedaan kondisi dengan pustaka, karena Rf suatu senyawa
sangat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi lingkungan.
Setelah diketahui senyawa yang terdapat dalam sampel, yaitu morfin dan
amfetamin, selanjutnya dilakukan proses determinasi, yaitu penentuan kadar
morfin dan amfetamin dalam sampel. Tujuan dilakukan penetapan kadar ini
adalah untuk mengetahui adanya kemungkinan drug abuse. Misalnya, pada
morfin, dapat diidentifikasi penggunaan senyawa yang sebenarnya memang
morfin atau kodein termetabolisme menjadi morfin (Moffat et al., 2005). Jadi,
dengan menetukan kadarnya dalam plasma, dapat diketahui apakah parent drug
yang dikonsumsi merupakan gabungan morfin dan kodein atau hanya kodein.
Penentuan kadar juga berguna dalam mengetahui terjadinya overdosis.
Dalam melakukan determinasi, sistem KLT yang dipilih adalah sistem TB.
Hal ini dikarenakan dengan sistem ini memberikan hasil pemisahan (hRf) yang
baik. Sama halnya ketika melakukan konfirmasi, dalam determinasi, plat KLT
yang digunakan (GF254) terlebih dahulu dicuci dengan metanol kemudian
diaktivasi dengan cara dipanaskan pada oven dengan suhu 110 oC selama 30 menit
dimana aktivasi ini bertujuan untuk mengaktifkan sisi aktif plat. Pada plat terjadi
ikatan Si-OH, agak elusi berjalan dengan baik maka gugus OH harus dilepaskan.
Dengan melakukan aktivasi ini maka gugus OH akan lepas sehingga sisi aktif plat
akan aktif dan Si dapat mengikat analit. Selanjutnya disiapkan chamber untuk
elusi dan dijenuhkan dengan fase gerak TB selama 30 menit sambil dilakukan
penotolan sampel. Penjenuhan ini bertujuan agar pengelusian berjalan dengan
baik.
Setelah dilakukan penotolan, dilanjutkan dengan proses elusi dengan fase
gerak TB lalu plat kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60ºC selama 10
menit. Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan fase gerak, sehingga pada
saat discan di densitometer, fase gerak tidak akan mengganggu pendeteksian
senyawa.
Deteksi dilakukan dengan menggunakan spektrofotodensitometer pada
panjang gelombang 251 nm yang merupakan panjang gelombang amfetamin dan
285 nm yang merupakan panjang gelombang morfin. Berdasarkam hasil scanning,
didapatkan data berupa kromatogram, spektra, nilai AUC serta nilai Rf. Adapun
kromatogram yang didapat adalah seperti berikut:
A B
Gambar 5.1. Kromatogram Hasil Determinasi. (A) Pada panjang gelombang 251;
(B) Pada panjang gelombang 285

Selain data kromatogram, didapatkan pula spektrum dari masing-masing


spot hasil elusi. Spektrum yang didapatkan tersebut kemudian dibandingkan
dengan spektrum pada library untuk dilihat kesesuaian polanya.
Hasil spektrum yang kurang baik disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah kurang jenuhnya chamber dan penguapan fase gerak yang
menyebabkan perubahan perbandingan. Meskipun demikian, keseluruhan
spektrum, baik morfin dan amfetamin dari semua track menunjukkan pola yang
sesuai satu sama lain. Hal ini menandakan bahwa memang benar bahwa dalam
sampel maupun standar terdapat morfin dan amfetamin.
Selanjutnya dengan memasukkan nilai AUC dari standar, dibuatlah
persamaan regresi yang hasilnya dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5.5. Kurva Kalibrasi Amfetamin

Gambar 5.6. Kurva Kalibrasi Morfin

Dari kedua kurva kalibrasi diperoleh persamaan regresi linier y = 7,780 x


+ 296,7 dengan r = 0,99 untuk amfetamin dan y = 2,119 x + 235,3 dengan r =
0,992 untuk morfin. Umumnya, tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95%.
Apabila koefisien korelasi (r) lebih dari 0,95 berarti kriteria linearitas terpenuhi,
sedangkan apabila (r) kurang dari 0,95 berarti kriteria linearitas tidak terpenuhi.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa hasil yang diperoleh memenuhi
kriteria validasi rentang linieritas.
Penetapan kadar morfin dan amfetamin dilakukan dengan memasukkan
nilai AUC morfin dan amfetamin pada persamaan regresi. Adapun kadar yang
didapatkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 7.1 Kadar Senyawa morfin dan amfetamin dalam Sampel
Senyawa Kadar ng/mL
Amfetamin 89,91
Morfin 410,4

Dari data pada tabel di atas dapat dinyatakan bahwa pada plasma
ditemukan morfin dalam jumlah besar. Pada konsentrasi 0,128 mg/L dalam
plasma, morfin akan menimbulkan efek toksik yaitu kematian (Moffat et al.,
2005). Pada plasma ditemukan morfin sebesar 0,4104 mg/L. Sehingga dengan
kadar tersebut akan menyebabkan kematian. Kadar toksik amfetamin adalah 0,22
mg/L sedangkan pada sampel ditemukan 0,0891 mg/L. Pada kadar tersebut
amfetamine belum menimbulkan efek toksik, jika diberikan secara tunggal.
Namun karena adanya morfin dalam tubuh, terjadi adverse drug reaction yang
menyebabkan meningkatnya aktivitas morfin karena adanya amfetamin dalam
tubuh. Jadi, kematian tidak hanya disebabkan oleh morfin tunggal, namun juga
karena adanya adverse drug reaction yang terjadi antara amfetamin dan morfin
dalam tubuh.
Batas deteksi (LOD) didefinisikan sebagai jumlah terkecil analit dalam
sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan
dibandingkan dengan blangko. Batas kuantitasi (LOQ) didefinisikan sebagai
parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam
sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).
Pada amfetamin diperoleh LOD 90,82 ng, LOQ 302,72 ng dan kadar amfetamin
dalam spot adalah 89,91 ng. Seharusnya nilai LOD yang dihasilkan lebih kecil
atau sama dengan sampel, namun terjadi penyimpangan. Pada morfin diperoleh
LOD 98,85 ng, LOQ 329,495 ng dan kadar morfin dalam spot adalah 410,43 ng.
Nilai LOD yang dihasilkan lebih kecil dari sampel sehingga dengan KLT-
spektrofotodensitometri morfin dapat dideteksi.

BAB VII
KESIMPULAN
6.1. Uji narkotika dan psikotropika dilakukan dengan 3 tahap, yaitu skrining,
konfirmasi, dan determinasi
6.2. Pada uji skrining yang dilakukan terhadap sampel, diperoleh hasil bahwa
sampel positif mengandung senyawa golongan opiat dan amfetamin
6.2. Pada uji konfirmasi diperoleh hasil, positif amfetamin dengan Rf 0,39 dan
positif morfin dengan Rf 0,04 dengan harga korelasi mendekati 1.
6.3. Pada uji determinasi diperoleh kadar amfetamin 0,089 µg/mL dan kadar
morfin 0,41 µg/mL.

DAFTAR PUSTAKA
BNN. 2008. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Narkotika, Psikotropika dan
Obat Berbahaya. Jakarta: BNN.
Camag. 1999. Welcome to the CAMAG Wincats Tutorial: Wincats Planar
Chromatography. Switzerland : Camag.
Cole, M.D. 2003. The Analysis of Controlled Substances. Chichester: John Wiley
and Sons Ltd. p. 5.
Cole, Jason., Matthew Lambing, Trisa Robarge, Thermo Fisher Scientific. 2007.
High-Throughput GC/MS Confirmation and Quantitation of Kodeine and
Morfin in Biologise Using the DSQ II. Journal Thermo Fisher Scientifics
USA. Technical 10178.
Deinstrop, E. H. 2007. Applied Thin Layer Chromatography, 2nd
Edition.Weinheim : Wiley VCH Verlag.
Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan, 2010. Kepmenkes Pedoman
Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. Hal:4.
Flanagan, R. J., A. Taylor., I. D. Watson, and R. Whelpton. 2007. Fundamentals
of Analytical Toxicology. New Delhi : John Wiley and Sons, Ltd. hal. 177-
231.
Gandjar, Ibnu Ghalib dan Abdul Rohman 2007. Kimia Analisis Farmasi.
Yogyakarta : PT. PustakaPelajar.
Hayun, D. Leswara, Camelia D.P. dan Masrijal. 2007. Penetapan Kadar
Triprolidina hidroklorida dan pseudoefedrina hidroklorida dalam sediaan
sirup obat influenza secara kromatografi lapis tipis densitometry. Majalah
Ilmu Kefarmasian. Vol. IV.
Huang, Zengping dan Shaoyu Zhang. 2003. Confirmation of Amphetamine,
Methamphetamine, MDA and MDMA in Biologise Samples Using Disk
Solid-Phase Extraction and Gas Chromatography–Mass Spectrometry
After Immunoassay Screening. Journal of Chromatography B 792 hal. 241
- 247
Japardi I. 2008. Efek Neurologi Dari Ecstasi dan shabu-shabu. Fakultas
Kedokteran Bagian Bedah [Online] 2002 (cited 2013 November 18).
Available from: http://www.usu.ac.id
Karch, Steven B. 1998. Drugs Abuse Handbook. CRC Press LLC. USA.
Kementrian Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. hal. 1-2.
Kementrian Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No.
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. hal. 1-3, 85-91.
Liu, Ray H and Daniel E. Gadzala. 1997. Handbook of Drug Analysis.
Washington DC : American Chemical Society. p 76-94.
MenKes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
422/MenKes/SK/III/2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik
Gangguan Penggunaan NAPZA. Jakarta: MenKes RI.
Moffat, C. A., M. D. Osselton, dan B. Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drugs
and Poisons (Electronic Edition). London: Pharmaceutical Press.
Mulja, M. danSukarman. 1995. Analisis Instrumental. Surabaya: Airlangga
University Press.
Settel, F. 1997. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry.
New Jersey : Prentice Hall PTR.
Smyth, Malcolm R. 1992. Chemical Analysis in Complex Matrices. England :
Ellis Horword PTR Prentice Hall.
Sukasediati, Nani dan Matta Sinta Sari W. 1987. EMIT: Salah Satu Cara
Penetapan Obat dalam Serum untuk Pemantauan Kadar Terapi. Jakarta:
Departemen Kesehatan Indonesia.
Suwarso. 2002. Manajemen Laboratoris Penyalahgunaan Obat dan
Komplikasinya. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada: Yogyakarta.
Suzuki, Osamu and K. Watanabe. 2005. Drugs and Poison in Humans: A
Handbook of Practical Analysis. Japanese: Jiho.Inc.
Wirasuta, I Made Agus Gelgel. 2008. Analisis Toksikologi Forensik Dan
Interpretasi Temuan Analisis. Bali : Universitas Udayana Press.
Zeeuw, D.R.A., Zeeuw, D. R. A., Jan P. F., Fritz D., Gunther M., Harald S., and
Jaap W. 1992. DFG (Deutsche Forschungsgemeinschaft) and TIAFT (The
International Association of Forensic Toxicologist), Thin-Layer
Chromatographic Rf Values of Toxicologically Relevant Substances on
Standardized Systems, Second, Revised and Enlarged Edition, Report XVII
of the DFG Commission for Clinical- Toxicological Analysis and Special
Issue of the TIAFT Bulletin. Weinheim : VCH Verlagsgesellschaft.

Anda mungkin juga menyukai