Anda di halaman 1dari 7

LABORATORIUM FARMAKOKINETIKA

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HASANUDDIN

TUGAS PENDAHULUAN

“ABSORPSI”

OLEH

NAMA : ELFIRA INDRI BUNGA

NIM : N011191123

KELOMPOK : 3 (TIGA)

GOLONGAN : KAMIS SIANG (C)

ASISTEN PJ : RESKI AMELIA KAMRI, S.Si.

MAKASSAR

2021
SOAL
1. Tunjukkan penggunaan persamaan Henderson-Hasselbach
dalam menentukan fraksinasi suatu zat!
2. Mengapa bentuk molekul zat lebih mudah terabsorbsi
dibandingkan bentuk ionnya?
3. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses absorpsi obat!
4. Nilai F dari suatu obat yang diberikan secara intravena adalah 1.
Jelaskan pernyataan ini!
5. Suatu obat yang bersifat asam sukar dibuang dari tubuh jika
dikombinasikan dengan obat lain yang juga bersifat asam.
Mengapa hal ini dapat terjadi?
6. Apa yang dimaksud dengan lag time, negative lag time serta
mengapa flip flop dapat terjadi?
JAWABAN
1. Untuk asam lemah, persamaan Henderson-Hasselbach adalah :
𝑎
pH – pKa = log
1−𝑎

dimana α adalah fraksi terion sedangkan 1-α adalah fraksi tak


terion. Atau dapat juga dituliskan sebagai :
𝑎
= antilog (pH - pKa)
1−
𝑎

Persamaan ini menunjukkan perbandingan antara fraksi terion dan


tak terion dari suatu obat yang bergantung pada pH dan pKa.
a. Ketika pH = pKa, α = 0,5 atau 50%, obat dalam bentuk terion.
b. Ketika pH 1 unit > pKa, α = 0,909 atau ~90%, obat dalam
bentuk terion.
c. Ketika pH 2 unit > pKa, α = 0,99 atau 99%, obat dalam bentuk
terion.
d. Ketika pH 1 unit < pKa, 1-α = 0,9 atau 90%, obat dalam
bentuk tak terion.
e. Ketika pH 2 unit < pKa, 1-α = 0,99 atau 99%, obat dalam
bentuk tak terion.
Peningkatan pH larutan menyebabkan persentase terion suatu
obat asam lemah juga meningkat. Oleh karena itu, obat-obat
asam lemah lebih mudah terabsorpsi pada pH rendah. Contohnya
aspirin yang merupakan asam lemah dengan pKa ~3,47-3,50
mempunyai fraksi terion yang lebih besar pada suasana alkali [1].
Untuk basa lemah, persamaan Handerson-Hasselbuch adalah
sebagai berikut :
𝑎
pKa – pH = log
1−𝑎

Atau dapat juga dituliskan sebagai :


𝑎
1− = anti log (pKa – pH)
𝑎
a. Ketika pH = pKa, α = 0,5 atau 50% obat dalam bentuk terion.
b. Ketika pH 1 unit < pKa, α = 0,909 atau ~90% obat dalam
bentuk terion.
c. Ketika pH 2 unit < pKa, α = 0,99 atau 99% obat dalam bentuk
terion.
d. Ketika pH 1 unit > pKa, 1-α = 0,909 atau ~90% obat dalam
bentuk tak terion.
e. Ketika pH 2 unit > pKa, α = 0,99 atau 99% obat dalam bentuk
tak terion.
Peningkatan pH larutan menyebabkan persentase terion suatu
obat basa menurun. Oleh karena itu, obat-obat basa lemah lebih
mudah terabsorpsi pada pH tinggi. Contohnya erythromycin yang
merupakan basa lemah memiliki fraksi terion yang lebih besar
dalam suasana asam [1].
2. Bentuk molekul obat lebih mudah terabsorpsi dibanding bentuk
ionnya karena molekul obat dalam bentuk non-ion biasanya larut
dalam lemak (lipid) sehingga akan mudah berdifusi pasif melalui
membran. Sebaliknya, molekul obat dalam bentuk ion akan sukar
untuk berdifusi melalui membran karena kelarutannya dalam lipid
rendah [2].
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat adalah :
a. Metode absorpsi
 Transport pasif. Transport pasif tidak memerlukan energi,
sebab hanya dengan proses difusi obat dapat berpindah
dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Transport pasif dapat terjadi
selama molekulmolekul kecil dapat berdifusi sepanjang
membran dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi
membran seimbang [3].
 Transport Aktif. Transport aktif membutuhkan energi untuk
menggerakkan obat dari daerah dengan konsentrasi obat
rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi [3].
b. Kecepatan absorbsi. Apabila pembatas antara obat aktif dan
sirkulasi sistemik hanya sedikit sel, maka absorpsi terjadi
cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam
tubuh [3].
c. Aliran darah ke tempat absorpsi, total luas permukaan yang
tersedia sebagai tempat absorpsi, serta waktu kontak
permukaan absorpsi [3].
d. Kecepatan Absorpsi dapat: diperlambat oleh nyeri dan stress,
nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi
pergerakan saluran cerna, retensi gaster; selain itu dapat juga
dipengaruhi oleh makanan tinggi lemak. Makanan tinggi lemak
dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat; faktor bentuk obat,
absorpsi dipengaruhi formulasi obat seperti tablet, kapsul,
cairan, sustained release, dan lain-lain; dan kombinasi dengan
obat lain, interaksi satu obat dengan obat lain dapat
meningkatkan atau memperlambat absorpsi tergantung jenis
obat [3].
4. Nilai F merupakan bioavailabilitas (ketersediaan hayati). Nilai F
dari suatu obat yang diberikan secara intravena adalah 1 karena
semua dosis yang diberikan masuk ke dalam sirkulasi sistemik
atau bioavailabilitas obatnya 100%. Hal ini terjadi karena obat
yang diberikan melalui intravena tidak melewati first-pass effect
(metabolisme lintas pertama) [2].
5. Sekresi tubuler aktif memerlukan pembawa (carrier) dan obat
dalam bentuk bebas. Jika obat bersifat asam dikombinasikan
dengan asam, maka kedua obat tersebut akan berkompetisi
memperebutkan pembawa, sehingga mengakibatkan klirens salah
satu obat tersebut menjadi lebih kecil. Contohnya yaitu pemberian
penisilin dan probenesid yang sama-sama bersifat asam lemah
[4]. Selain itu, obat yang bersifat asam, sukar dibuang dari tubuh
jika
dikombinasikan dengan obat lain yang juga bersifat asam karena
obat yang berada pada pH yang sama (asam) dan dalam bentuk
tak terion. Umumnya, bentuk tidak terion lebih larut dalam lemak
(kurang larut dalam air) dan memiliki permeabilitas membran yang
lebih besar. Obat yang tidak terion mudah direabsorbsi dari
tubulus ginjal kembali ke dalam tubuh. Proses reabsorpsi obat ini
dapat secara signifikan mengurangi jumlah obat yang akan
diekskresikan [5].
6. Lag time (t0) menunjukkan bahwa absorpsi tidak segera dimulai
setelah pemberian obat melalui olar atau rute ekstravaskular
lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti
disitegrasi obat yang lambat serta bentuk sediaan lepas tunda
(delayed release) [1].
Adanya lag time yang negative (-t 0) dapat dikaitkan dengan
kurangnya titik data dalam absorpsi serta dalam fase eliminasi.
Alasan lain yang mungkin ialah bahwa konstanta laju absorpsi
tidak lebih besar dari konstanta laju eliminasi [1].
Flip-Flop merupakan fenomena dimana konstanta laju absorpsi
obat lebih kecil dibandingkan dengan konstanta laju eliminasi (K >
Ka), dimana umumnya konstanta laju absorpsi obat lebih besar
dibandingkan dengan konstanta laju eliminasi (K a > K) [1].

[1].
DAFTAR PUSTAKA
[1] Jambhekar, S. S. & Breen, P. J. Basic Pharmacokinetics. London
: Pharmaceutical Press. 2009
[2] Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2.
Jakarta : EGC. 2009
[3] Noviani, N. & Nurilawati, V. Farmakologi. Jakarta : Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2017
[4] Aslam, M., et al. Farmasi Klinik (Clinical Pharmacy). Jakarta : PT
Elex Media Komputindo. 2003
[5] Shargel, L. & Yu, A.B.C. Applied Biopharmaceutics and
Pharmacokinetics 7th Ed. New York : McGraw-Hill Education.
2016

Anda mungkin juga menyukai